pengaruh penurunan p tersedia yang mendapat … · daftar pustaka. pernyataan ini saya buat dengan...
TRANSCRIPT
i
PENGARUH PENURUNAN P TERSEDIA YANG MENDAPAT
SUPLEMENTASI FITASE DALAM RANSUM TERHADAP
KUALITAS FISIK TELUR PUYUH
(Cortunix cortunix japonica)
SKRIPSI
untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan
di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Program Studi Peternakan
Oleh:
NOFIA PUTRI CAHYANINGRUM
H0511049
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
iii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Nofia Putri Cahyaningrum
NIM : H0511049
Program Studi : Peternakan
menyatakan bahwa dalam skripsi saya yang berjudul “ Pengaruh Penurunan P
Tersedia Yang Mendapat Suplementasi Fitase Dalam Ransum Terhadap
Kualitas Fisik Telur Puyuh (Cortunix cortunix japonica)” tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik dan sepanjang
pengetahuan penulis juga tidak ada unsur plagiasi, falsifikasi, fabrikasi karya atau
data, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila dikemudian hari
terbukti ada penyimpangan dari pernyataan tersebut, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Surakarta, Juni 2018
Yang menyatakan
Nofia Putri Cahyaningrum
NIM. H0511049
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Penurunan P Tersedia Yang Mendapat Suplementasi
Fitase Dalam Ransum Terhadap Kualitas Fisik Telur Puyuh (Cortunix
cortunix japonica)” dengan baik. Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis
telah mendapat bimbingan, dukungan, bantuan dan doa dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Ketua Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
3. Dr. Adi Magna Patriadi N., S.Pt., M.P. selaku Pembimbing Utama Skripsi
yang dengan tulus ikhlas telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta
dukungan dalam memberikan bimbingan sebelum maupun sesudah penelitian
sampai terselesaikannya skripsi ini.
4. Winny Swastike, S.Pt., M.P., selaku Pembimbing Pendamping Skripsi yang
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan
dengan penuh kesabaran, memotivasi dan saran-saran yang berguna semenjak
awal sampai akhirnya terbentuknya skripsi ini.
5. Ir. Lilik R. Kartikasari, M.P., M.Agr.Sc., Ph.D. selaku Penguji Skripsi yang
telah memberikan evaluasi dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
6. Ayu Intan Sari, S.Pt., M.Sc., selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis selama
menempuh studi di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Bapak, Ibu dosen serta staff dan seluruh civitas akademika Program Studi
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas ilmu
yang telah diberikan dan bantuannya selama penulis menempuh masa
perkuliahan.
8. Kedua orang tua, Bapak Joko Siswanto dan Ibu Sutini, serta Mas A’an Andri
Novan Supriyadi, adik-adik penulis Ikhvan Safrudin, Siti Zuliana Fatmawati
dan Izzan Serkhan Nawarudin atas segala dukungan, kasih sayang, semangat,
pengorbanan dan doanya.
v
9. Seluruh teman-teman tim penelitian dan teman-teman Peternakan angkatan
khususnya Budi Ary Nugroho, Agung Dwi, Fajar Kristiawan dan Anindia
Wistridian. yang selalu memberi dukungan, bantuan dan mengisi hari-hari
penulis selama empat tahun.
10. Semua pihak yang telah banyak membantu kelancaran penyusunan skripsi ini
dan memberi dukungan, doa serta semangat bagi penulis untuk terus
berjuang.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang mendukung dari semua
pihak untuk kesempurnaan penelitian ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca.
Surakarta, Juni 2018
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN..... .......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iii
PERNYATAAN... .................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... x
ABSTRAK ............................................................................................... xi
ABSTRACT .............................................................................................. xii
I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
A. Puyuh ............................................................................................. 4
B. Ransum Puyuh...... ......................................................................... 5
C. Asam Fitat ..................................................................................... 6
D. Enzim Fitase.... .............................................................................. 7
E. Kualitas Telur ............................................................................... 8
HIPOTESIS ............................................................................................. 9
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN ..................................... 10
A. Tempat dan Waktu Penelitian. ...................................................... 10
B. Bahan dan Alat Penelitian ............................................................. 10
C. Desain Penelitian ........................................................................... 14
D. Metode Penelitian .......................................................................... 14
E. Analisis Data ................................................................................. 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 18
A. Tebal Kerabang dan Prosentase Kerabang .................................... 18
vii
B. Indeks Putih Telur ......................................................................... 20
C. Nilai Haugh Unit (HU) ................................................................. 21
V. SIMPULAN ...................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 23
LAMPIRAN ............................................................................................. 27
UCAPAN TERIMAKASIH.................................................................... 38
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Kandungan Asam Fitat pada Beberapa Bahan Pakan. ....................... 7
2. Kandungan Nutrien Bahan Pakan Penyusun Ransum.. ..................... 11
3. Susunan Ransum dan Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan ......... 11
4. Rerata hasil penelitian pengaruh suplementasi fitase dalam ransum
terhadap kualitas fisik telur puyuh ..................................................... 18
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Hasil Analisis Variansi Tebal Kerabang ............................................ 28
2. Hasil Analisis Variansi Persentase Kerabang .................................... 32
3. Hasil Analisis Variansi Indeks Putih Telur ........................................ 35
4. Hasil Analisis Variansi Nilai Haugh Unit (HU).. .............................. 38
5. Ucapan Terimakasih .......................................................................... 41
x
PENGARUH PENURUNAN P TERSEDIA YANG MENDAPAT
SUPLEMENTASI FITASE DALAM RANSUM TERHADAP
KUALITAS FISIK TELUR PUYUH
(Cortunix cortunix japonica)
NOFIA PUTRI CAHYANINGRUM
H0511049
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh penggunaan fitase
dalam ransum terhadap kualitas fisik telur puyuh. Materi yang digunakan 480
ekor puyuh petelur (Coturnix coturnix japonica) yang berumur 28 hari dengan
rata-rata bobot badan awal 94,3±15,7 g (CV=8,38%). Desain penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola searah dengan empat
perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari enam ulangan dan setiap ulangan terdiri
dari 20 ekor puyuh. Penelitian dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu tahap
adaptasi, perlakuan dan pengujian kualitas fisik telur puyuh. Perlakuan yang
diberikan P0 = Ransum dengan P tersedia 0,6%, P1 = Ransum dengan P tersedia
0,5% + fitase 0,010% (500 FTU/kg), P2 = Ransum dengan P tersedia 0,4% +
fitase 0,015% (750 FTU/kg), P3 = Ransum dengan P tersedia 0,3% + fitase
0,020% (1.000 FTU/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum puyuh yang
diberi fitase dan P dengan level berbeda memberikan pengaruh terhadap ketebalan
kerabang, persentase kerabang dan nilai Haugh Unit (HU) pada telur puyuh (P<0,05),
tetapi tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap indeks putih telur. Simpulan dari hasil
penelitian ini adalah penurunan P tersedia sampai aras 0,5% yang mendapat
suplementasi fitase 500 FTU/kg pada ransum puyuh petelur dapat
mempertahankan kualitas fisik telur puyuh.
Kata kunci : Fitase, burung puyuh, ketebalan kerabang, persentase kerabang dan indeks
putih telur dan Nilai Hauhg Unit (HU).
xi
THE EFFECT OF DECREASE P AVAIBLE THAT GET PHYTASE
SUPLEMENTATION IN DIETS ON PHYSICAL QUALITY OF
QUAILS EGGS (Cortunix cortunix japonica)
NOFIA PUTRI CAHYANINGRUM
H0511049
ABSTRACT
This experiment purposed to determine the effect of the use of fitase in
rations on the physical quality of quail eggs. The experiment used 480 female
quails (Coturnix coturnix japonica) aged 28 days with an average body weight of
94.3 ± 15.7 g (CV = 8.38%). Data were analyzed by use analysis of variance and
by Duncan's New Multiple Range Test (DMRT) for significant results. Each
treatment consisted of six replicates and each replication consisted of 20 quails.
The experiment was conducted through three stages, namely adaptation stage,
treatment and physical quality test of quail egg. The treatment given P0 = diet
with P is available 0.6%, P1 = diet with P is 0.5% + fitase 0.010% (500 FTU / kg),
P2 = diet with P available 0.4% + fitase 0.015% 750 FTU / kg), P3 = diet with P
available 0.3% + fitase 0.020% (1,000 FTU / kg). The results showed that the
quail diet given phytase and P with different levels gave effect to the thickness of
the shell, the percentage of shell and Haugh Unit (HU) value on quail egg (P
<0,05), but no effect (P> 0,05) against the egg white index. The conclusion of this
research is decrease P available until 0,5% that get supplementation of fitase 500
FTU/ kg in female quails can maintain physical quality of quail egg.
Keywords: phytase, quail, thickness of the shell, percentage of shell and Haugh
Unit (HU)
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahan pakan penyusun ransum unggas sebagian besar berasal dari biji-
bijian seperti jagung, kedelai, bekatul, gandum dan wheat pollard. Bahan pakan
yang berasal dari tanaman memiliki kandungan fosfor (P) dalam bentuk senyawa
fitat (Piliang, 2002). Menurut Sariyska et al. (2005) P dalam biji-bijian sekitar 50-
80% diikat oleh asam fitat, sehingga tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan
unggas.
Asam fitat merupakan antinutrisi bagi ternak unggas, karena unggas
memiliki sedikit enzim fitase pada saluran pencernaannya. Sedikitnya enzim fitase
pada saluran pencernaan unggas menyebabkan kandungan senyawa asam fitat
dalam biji-bijian tidak bisa dicerna dengan baik karena kuatnya sifat pelekatannya
(chelating) (Shin et al., 2001). Asam fitat tidak hanya mengikat P tetapi juga
mengikat protein, mineral (Mg, Fe, Zn, Mn, Ca) dan enzim protein yang sangat
berguna bagi pertumbuhan dan produksi (Applegate dan Angel, 2004) yang dapat
mengakibatkan dampak negatif pada pencernaan mineral dan protein
(Maenz, 2005). Protein yang terikat asam fitat dapat mengakibatkan menurunnya
aktivitas enzim protease dan tripsin sehingga protein tercerna akan menurun
(Sajidan et al., 2004). Selain itu P yang diikat oleh fitat sangat reaktif mengikat
Ca sehingga terbentuk ikatan fitat-P dan Ca. Hal ini akan menurunkan
pemanfaatan Ca oleh unggas tetapi konsumsi Ca dalam ransum akan meningkat
(Panda et al., 2007).
Ikatan fitat dalam ransum dapat dikurangi dengan suplementasi enzim
fitase. Nuhriawangsa et al. (2010) menyatakan bahwa suplementasi fitase secara
in vitro dapat meningkatkan kandungan P dan Ca pada bekatul padi. Diperkuat
dengan laporan Lim et al. (2001) Suplementasi enzim fitase dalam ransum nyata
dapat meningkatkan P, Zn, Mg, dan Cu, serta dapat meningkatkan retensi
nitrogen, mineral Ca, P, Mg, dan Zn, serta dapat meningkatkan pertumbuhan dan
efisiensi penggunaan ransum (Selle et al., 2003). Ravidran et al. (2008) juga
melaporkan bahwa suplementasi enzim fitase sebesar 750 FTU/kg dapat
meningkatkan P tersedia sebesar 0,16%. Selain itu, suplementasi fitase dapat
2
meningkatkan pemanfaatan Ca dan kualitas kerabang telur pada ayam petelur
( Gordon dan Roland, 1998).
Hasil penelitian Lim et al. (2003) menunjukkan bahwa pemberian fitase
sebesar 300 FTU/kg dapat memperbaiki produksi telur dan meningkatkan
ketersedian P. Selain itu, suplementasi fitase dengan penurunan P tersedia dalam
ransum meningkatkan retensi P dan penggunaan fitase sebesar 500 FTU/kg dapat
menurunkan imbuhan P tersedia dalam ransum menjadi 0,25%
(Yang et al., 2009). Kalsium merupakan mineral penting yang dibutuhkan dalam
proses pembentukan kerabang telur. Kekurangan Ca menyebabkan terjadinya
mobilisasi Ca dari tulang meduler untuk pembentukan kerabang (Yuwanta, 2004).
Suplementasi fitase dengan aras penurunan P tersedia dan Ca tetap dalam pakan
diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan Ca pada puyuh. Berdasarkan hal
tersebut diperlukan kajian lebih lanjut mengenai pengaruh suplementasi fitase
dalam ransum terhadap kualitas fisik telur puyuh.
B. Rumusan Masalah
Bahan pakan yang berasal dari jenis biji-bijian merupakan bahan pakan
yang disukai puyuh, contohnya jagung, kedelai. Namun dalam jagung terdapat
kandungan asam fitat sehingga tidak bisa dimanfaatkan dalam saluran pencernaan
ternak puyuh. Ketidak mampuan ternak puyuh memanfaatkan asam fitat ini
sehingga dapat menyebabkan kekurangan P dari bahan pakan penyusun ransum
dan perlu ditambahkan dalam bentuk bahan anorganik untuk memenuhi
kebutuhan P. Asam fitat dapat mengikat protein dan mineral seperti Mg, Fe, Zn,
Mn, Ca serta enzim protein yang sangat berguna bagi pertumbuhan dan produksi.
Oleh karena itu suplementasi fitase akan meningkatkan kecernaan mineral P
ataupun mineral lainnya yang terikat asam fitat. Fitase juga mampu memecah
ikatan kompleks karbohidrat dan protein yang berikatan dengan asam fitat, namun
hasil pemecahan asam fitat berupa Ca dan P belum dapat digunakan secara
optimal untuk produksi telur.
Suplementasi fitase dalam ransum diharapkan meningkatkan kualitas fisik
pada telur puyuh seperti ketebalan kerabangdan putih telurnya. Berdasarkan
3
uraian di atas, maka perlu dilakukan kajian mengenai pengaruh suplementasi
fitase dalam ransum terhadap kualitas fisik telur puyuh.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penurunan
kandungan P tersedia yang mendapat suplementasi fitase dalam ransum puyuh
petelur terhadap Tebal Kerabang, Persentase Kerabang, Indeks Putih Telur dan
Nilai Haugh Unit (HU).
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Puyuh
Puyuh yang banyak diternakan di Indonesia yaitu dari jenis Coturnix
coturnix japonica. Ciri-ciri dari puyuh tersebut yaitu memiliki bentuk tubuh lebih
besar dari puyuh yang lain, badannya bulat, ekornya pendek, paruhnya pendek
dan kuat, tiga jari kaki menghadap ke muka dan satu jari kaki ke arah belakang.
Pertumbuhan bulunya lengkap setelah berumur dua sampai tiga minggu. Puyuh
jantan dewasa, bulu dadanya berwarna merah sawo matang tanpa adanya belang
serta bercak-bercak hitam. Puyuh betina dewasa, bulu dadanya berwarna merah
sawo matang dengan garis-garis atau belang-belang hitam. Puyuh jenis ini dapat
menghasilkan telur sebanyak 250-300 butir per ekor selama satu tahun.Telur
puyuh memiliki ciri warna coklat tua, biru, putih, dengan bintik-bintik hitam,
coklat dan biru (Listiyowati dan Roospitasari, 2009).
Klasifikasi puyuh menurut Wuryadi (2013) yaitu sebagai berikut:
Filum : Chordata
Class : Aves
Ordo : Galiformes
Family : Phasianidae
Subfamily : Perdicinae
Genus : Coturnix
Subspesies : Coturnix coturnix japonica
Bobot rata-rata seekor puyuh betina sekitar 150 g dan mencapai puncak
produksi lebih dari 80% pada minggu ke-13. Produktivitasnya akan menurun
dengan persentase bertelur kurang dari 50% di atas 14 bulan, kemudian sama
sekali berhenti bertelur saat berumur 2,5 tahun atau 30 bulan. Puyuh jantan
dewasa memiliki bobot badan sekitar 100 sampai 140 g (Anggorodi, 1979).
5
B. Ransum Puyuh
Ransum merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan beternak
puyuh. Puyuh membutuhkan nutrien dari ransum untuk memenuhi kebutuhan
hidup pokok, pertumbuhan jaringan, reproduksi dan produksi. Faktor ransum
mempunyai pengaruh yang cukup besar (Listiyowati dan Roospitasari, 2004).
Puyuh mempunyai dua fase pemeliharaan, yaitu fase pertumbuhan dan
fase produksi (bertelur). Fase pertumbuhan puyuh terbagi lagi menjadi dua, yaitu
fase starter (umur 0-3 minggu) dan fase grower (umur 3-6 minggu) sedangkan
fase produksi telur yaitu layer (6 minggu-afkir) (Marsudi dan Saparinto, 2012).
Perbedaan fase ini berdampak pada pemberian ransum berdasarkan perbedaan
kebutuhannya. Kebutuhan nutrien puyuh petelur pada fase grower dan layer dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan nutrien puyuh petelur fase grower dan layer.
Nutrien Grower Layer
Energi metabolis (Kkal/kg) Min. 2600 Min. 2700
Protein kasar (%) Min. 17 Min. 17
Lemak kasar (%) Maks. 7 Maks. 7
Serat kasar (%) Maks. 7 Maks. 7
Abu (%) Maks. 14 Maks. 8
Ca (%) 2,5-3,50 0,9-1,20
P tersedia (%) 0,6-1,0 0,40
Lisin (%) Min. 0,90 Min. 0,80
Metionin (%) Min. 0,40 Min. 0,35
Metionin + Sistin (%) Min. 0,60 Min. 0,50 Standar Nasional Indonesia (2006)
Suprijatna et al. (2005) menyatakan bahwa faktor penting yang harus
diperhatikan dalam ransum adalah kebutuhan protein, energi, serat kasar, Ca dan
P. Komponen nutrien tersebut sangat berpengaruh terhadap produksi terutama
untuk pertumbuhan dan produksi telur. Roland et al. (1978) menyatakan bahwa
kebutuhan Ca dan konsumsi ransum yang tercukupi pada periode produksi akan
sangat menentukan besarnya massa Ca kerabang, bobot telur dan kualitas
kerabang telur.
6
C. Asam Fitat
Asam fitat merupakan inositol heksakisfosfat acid yang mengikat
karbohidrat, protein dan mineral yang hampir terdapat pada semua jenis tanaman
(Applegate dan Angel, 2004). Mineral yang diikat seperti besi, tembaga, seng,
kalsium, magnesium dan potassium (McCleary, 2005). Nutrien yang diikat oleh
asam fitat tidak dapat dicerna oleh ternak unggas. Senyawa ini akan membentuk
ikatan komplek dengan mineral dan protein, sehingga sulit dipecah dalam saluran
pencernaan (Applegate dan Angel, 2004). Asam fitat juga menyebabkan
penurunan ketersediaan mineral karena dapat membentuk kompleks dengan Ca
dan Mg (Panda et al., 2007).
Asam fitat pada kondisi alami akan membentuk ikatan baik dengan
mineral bervalensi dua (Ca, Mg, Fe), maupun protein menjadi senyawa yang
sukar larut. Hal ini menyebabkan mineral dan protein tidak dapat diserap tubuh,
atau nilai cernanya rendah. Oleh karena itu, asam fitat dianggap sebagai antinutrisi
pada bahan pangan. Adapun sifat-sifat dari senyawa fitat adalah melindungi
kerusakkan oksidatif pada biji-bijian selama proses penyimpanan, menurunkan
bioavaibilitas beberapa mineral dan sebagai antioksidan. Senyawa fitat dapat
menurunkan nilai gizi protein karena apabila fitat berikatan dengan protein akan
membentuk senyawa kompleks yang mengakibatkan protein menjadi tidak larut
(Fatima, 2005).
Kadar fitat dalam kacang-kacangan bervariasi, tergantung jenisnya,
misalnya 0,54-1,58% pada kacang merah; 0,43% pada kacang tolo; dan 1,4% pada
kedelai. Pada kedelai, 2 – 3% protein terikat oleh fitat ini. Hal ini menjadi masalah
karena kedelai / bungkil kedelai merupakan sumber protein utama dalam ransum
unggas. Pada jagung, wheat bran dan bekatul kadar P yang terikat dalam fitat
masing-masing 90%, 70% dan 75% dari total P. Berikut kandungan asam fitat
pada beberapa bahan pakan dalam Tabel 1:
7
Tabel 1. Kandungan asam fitat pada beberapa bahan pakan
No Bahan Pakan Kandungan Asam Fitat (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Barley
Bungkil biji kapas
Oat
Bungkil rapeseed
Bungkil wijen
Bungkil Kedelai
Terigu
0.97-1.08
2.86-4.29
0.84-1.01
3.00-5.00
1.44-5.18
1.00-147
0.62-1.35
Sumber : Widodo, 2005
Bahan pakan untuk ternak nonruminansia berbasis jagung dan kedelai,
sehingga mempunyai kelemahan yaitu kandungan fosfornya yang terikat asam
fitat sekitar 50 sampai 80% (Lantzsch, 1990). Asam fitat tersebut tidak dapat
dimanfaatkan oleh ternak nonruminansia, sehingga memerlukan tambahan fitase
yang dapat menghidrolisis asam fitat (Applegate dan Angel, 2004).
D. Enzim Fitase
Fitase (myo-inositol hexakisphosphat phosphohydrolase) merupakan
salah satu enzim yang tergolong dalam kelompok fosfatase yang mampu
menghidrolisis senyawa fitat (myo-inosotol 1,2,3,4,5,6 heksakisfosfat) menjadi
myo-inositol dan fosfat anorganik (McCleary, 2005). Pengelompokan ini
didasarkan pada kemampuan fitase untuk melepas molekul fosfor (H2O3PO) pada
atom C dari gugus benzene inositol sehingga pemanfaatan unsur P dalam tubuh
unggas menjadi optimal (Applegate dan Angel, 2004). Fosfor pada fitat tidak
dapat digunakan oleh hewan berlambung sederhana karena tidak adanya fitase di
dalam alat pencernaan (Sajidan et al., 2004).
Asam fitat akan membentuk ikatan dengan mineral yang bervalensi dua
maupun protein menjadi senyawa yang sukar larut sehingga menyebabkan mineral
dan protein tidak dapat diserap tubuh dan nilai cernanya menjadi rendah. Untuk
menekan kerugian dari asam fitat yang terkandung dalam ransum perlu
ditambahkan enzim pencerna asam fitat tersebut yaitu fitase (Maenz, 2005).
Suplementasi fitase ke dalam ransum akan mengurangi aktivitas asam fitat dalam
saluran pencernaan, sehingga bahan pakan dapat lebih efisien untuk dicerna
(Widowati et al., 2001).
8
Aktivitas fitase pada saluran pencernaan dipengaruhi oleh kandungan
mineral pakan, pH dan temperatur. Aktivitas fitase juga dipengaruhi oleh
kandungan air, sehingga aktivitas semakin baik dengan adanya kandungan air
yang tinggi (Maenz, 2005). Selain itu penggunaan fitase tidak dianjurkan pada
kondisi pH rendah (asam), karena aktivitas fitase terjadi pada pH tertentu. Fitase
sebagian besar mempunyai aktivitas pH optimal sekitar 5, sehingga aktivitas fitase
pada lambung rendah dan akan meningkat setelah mencapai usus halus
(Anselme, 2006).
Penggunaan fitase dalam ransum bermanfaat dalam optimalisasi P pada
ternak monogastrik sehingga dapat mereduksi polusi P dilingkungan (Shin et al.,
2001). Penggunaan fitase pada pakan juga efektif memperbaiki penggunaan dan
ketersediaan Ca dan P (Traylor et al., 2001). Fitase dapat meningkatkan
pemanfaatan Ca dan kualitas kerbang telur pada ayam petelur (Gordon dan
Roland, 1998).
E. Kualitas Telur
Telur dibagi atas tiga bagian utama yaitu kulit telur atau kerabang, bagian
cairan yang bening, dan bagian yang berwarna kuning. Bagian cairan yang bening
atau tidak berwarna itu dibagi atas yang berbentuk encer dan berbentuk kental
yang gunanya untuk mengikat kuning telur agar tetap pada posisinya
(Hartono, 2004).
Kualitas telur sangat mempengaruhi daya terima konsumen, seperti
kebersihan, kesegaran, berat telur, kualitas kerabang, indeks kuning telur, Haugh
Unit (HU), dan komposisi kimianya (Stadelman, 1977). Menurut North dan Bell
(1992) kualitas telur ditentukan berdasarkan kualitas secara interior dan eksterior.
Kualitas interior telur meliputi indeks kuning telur, yolk ratio, albumen ratio,
albumen index, dan Haugh Unit. Kualitas eksterior meliputi indeks telur, bobot
telur, dan bobot kerabang telur.
Nilai HU (Haugh Unit) digunakan untuk mengetahui kekentalan telur
yang ditentukan berdasarkan hubungan logaritma tinggi albumen (mm) dengan
berat telur (g). Menurut Parizadian et al. (2011) nilai HU telur puyuh adalah
9
92,88. Yuwanta (2010) menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan untuk
mengukur nilai HU telur, yaitu (1) telur disimpan pada temperatur lebih dari 12oC,
(2) putih telur tidak rusak saat telur dipecahkan, (3) pengukuran tinggi putih telur
kental dilakukan segera setelah telur dipecahkan, (4) pengukuran dilakukan
dengan menggunakan alat tripod micrometer dan (5) untuk mendapatkan hasil
yang lebih akurat dapat dilakukan pengukuran lebih dari satu kali.
Komposisi kerabang terdiri atas 98,2% kalsium, 0,9% magnesium dan
0,9% fosfor (pada kerabang dalam bentuk fosfat). Ketebalan kerabang telur
banyak dipengaruhi oleh kadar kalsium dalam ransum yang akan menentukan
ketersediaan garam-garam kalsium dalam darah untuk pembentukan telur
(Yuwanta, 2004). Ada dua sumber kalsium untuk produksi kerabang telur, yaitu
pakan dan deposit dalam tulang tertentu. Secara normal, sebagian kalsium untuk
pembentukan telur berasal langsung dari pakan, tetapi beberapa berasal dari
timbunan kalsium, tulang meduler, terutama pada malam hari bila ayam tidak
makan (Suprijatna et al., 2005). Fungsi kerabang telur adalah melindungi bagian
dalam telur dari pengaruh tekanan luar, menjaga kestabilan anak ayam selama
stadium penetasan, sebagai sumber kalsium bagi anak ayam dan sebagai tempat
pertukaran udara selama penetasan (Yuwanta, 2010).
HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah penurunan P tersedia dengan
suplementasi fitase dalam ransum puyuh petelur meningkatkan terhadap tebal
kerabang, persentase kerabang, indeks putih telur dan nilai Haugh Unit (HU).
10
III. MATERI DAN METODE
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Januari
2015 di Kandang Percobaan Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret, yang berlokasi di Desa Jatikuwung, Kecamatan
Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Analisis kandungan bahan kering, protein
kasar, Ca dan P dalam bahan pakan dilakukan di Laboratorium Chem-Mix
Pratama, Bantul.
Bahan dan Alat Penelitian
1. Ternak
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah puyuh petelur betina
(Coturnix coturnix japonica) yang berumur 28 hari sebanyak 480 ekor dengan
rata-rata bobot badan awal 94,3 ± 15,7 g (CV = 8,38%).
2. Ransum
Ransum atau bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pakan berbasis jagung dan kedelai (corn-soybean diet) yang terdiri dari jagung
kuning, bekatul, bungkil kedelai, minyak kelapa, limestone, dikalsium fosfat, DL-
metionin, premiks, NaCl, semen merah sebagai filler dan fitase. Kandungan
nutrien bahan pakan penyusun ransum dapat dilihat pada Tabel 2 dan susunan
ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.
3. Vaksinasi
Vaksin yang diberikan adalah ND B1 dan ND La Sota. Vaksin diberikan
kepada puyuh pada umur 42 hari dengan media air minum. Vaksin diberikan
dengan dosis setengah dari dosis yang diberikan pada ayam. Sebelum dan sesudah
vaksinasi diberikan antistres melalui air minum.
11
Tabel 2. Kandungan Nutrien Bahan Pakan Penyusun Ransum Nama Bahan EM PK LK SK Ca P tersedia Lisin Metionin
Kkal/kg ---------------------------------- % ----------------------------------------- Jagung kuning 3350,001) 7,342) 3,392) 1,892) 0,242) 0,063) 0,261) 0,181)
Bekatul 2980,001) 11,712) 10,692) 13,342) 0,282) 0,053) 0,591) 0,261)
Bungkil kedelai 2230,001) 42,922) 2,882) 8,122) 0,442) 0,283) 2,691) 0,621)
Minyak kelapa 8600,001) - - - - - - -
DL-metionin - - - - - - - 99,001)
Limestone - - - - 38,001) - - -
Dikalsium
fosfat
- - - - 29,004) 19,004) - -
Premiks - - - - 48,005) 13,005) - -
Keterangan : 1) NRC (1994) 2) Hasil dianalisis Laboratorium Chem-Mix Pratama (2014)
3) P tersedia diperoleh dari hasil analisis Laboratorium Chem-Mix
Pratama dikalikan dengan proporsi P tersedia dibagi P total
menurut NRC (1994)
4) Hartadi et al. (1994)
5) Mineral B12 (Produksi Eka Farma Semarang).
Tabel 3. Susunan Ransum dan Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan
Bahan Pakan P0 P1 P2 P3
-------------------------------- % ------------------------------
Jagung kuning 50,000 50,000 50,000 50,000
Bekatul 11,170 11,170 11,170 11,170
Bungkil kedelai 30,700 30,700 30,700 30,700
Minyak kelapa 0,400 0,400 0,400 0,400
DL-metionin 0,080 0,080 0,080 0,080
Dikalsium fosfat 2,150 1,700 1,200 0,750
Limestone 5,100 5,450 5,830 6,180
Premiks 0,150 0,150 0,150 0,150
NaCl 0,250 0,250 0,250 0,250
Filler 0,000 0,090 0,205 0,300
Fitase 0,000 0,010 0,015 0,020
Jumlah 100,000 100,000 100,000 100,000
Kandungan Nutrien
Energi metabolis
(Kkal/kg) 2700,000 2700,000 2700,000 2700,000
Protein kasar (%) 18,020 18,020 18,020 18,020
Lemak kasar (%) 3,740 3,740 3,740 3,740
Serat kasar (%) 4,900 4,900 4,900 4,900
Ca (%) 3,240 3,240 3,240 3,240
P tersedia (%) 0,600 0,500 0,400 0,300
Lisin (%) 1,010 1,010 1,010 1,010
Metionin (%) 0,400 0,400 0,400 0,400
Sumber : Hasil Perhitungan Berdasarkan Kandungan Bahan Pakan pada Tabel 2.
12
4. Vitamin
Vitamin yang diberikan pada penelitian ini adalah antistres yang
diberikan melalui air minum. Antistres juga diberikan pada waktu mulai
pergantian pakan hingga awal bertelur.
5. Kandang dan Peralatan Pemeliharaan
a. Kandang
Penelitian ini menggunakan 24 unit kandang baterai untuk pemeliharaan
dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi berturut-turut 0,9; 0,6 dan 0,3 m. Setiap
unit kandang pemeliharaan diisi dengan 20 ekor puyuh.
b. Peralatan
1) Tempat pakan dan minum
Tempat pakan untuk pemeliharaan terbuat dari plastik berjumlah 120
buah yang ditempatkan 5 buah pada setiap unit kandang dan tempat minum untuk
pemeliharaan berjumlah 48 buah, pada setiap unit kandang ditempatkan 2 buah.
2) Higrometer
Higrometer digital digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban di
dalam dan luar kandang.
3) Timbangan
Timbangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan digital
dengan kapasitas 5 kg dengan kepekaan 1 g untuk menimbang bahan pakan
penyusun ransum. Timbangan digital kapasitas 500 g dengan kepekaan 0,1 g merk
camry untuk menimbang puyuh. Timbangan dengan kapasitas 400 g dan kepekaan
0,001 g untuk menimbang fitase, telur dan bobot kerabang telur puyuh.
4) Lampu pijar
Lampu yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 8 buah dengan
daya 15 watt yang ditempatkan pada setiap sudut ruangan dan 1 buah lampu
dengan daya 18 watt yang ditempatkan pada tengah kandang perlakuan.
13
6. Peralatan Uji Kualitas Fisik Telur Puyuh
a. Egg tray
Egg tray digunakan untuk menempatkan telur sampel penelitian.
b. Plat kaca
Plat kaca digunakan untuk meletakan sample telur penelitian yang telah
dipecahakan dari cangkangnya dan diukur panjang, lebar serta tingginya.
c. Jangka sorong
Jangka sorong yang digunakan dalam penelitian ini adalah jangka sorong
dengan merk vernier caliper dengan kepekaan 0,05mm, digunakan untuk
mengukur panjang diameter albumen.
d. Mikrometer
Menggunakan mikrometer dengan kepekaan 0,01mm untuk mengukur
ketebalan cangkang sample telur penelitian.
e. Tripod mikrometer
Menggunakan tripod mikrometer untuk mengukur tinggi putih telur.
f. Pisau kecil
Menggunakan pisau kecil untuk memecahkan sampel telur penelitian
g. Tisu
Menggunakan tisu untuk membersihkan plat kaca dan peralatan lain yang
digunakan dari sample telur sebelumnya.
h. Plastik clip
Menggunakan plastik clip untuk memisahkan sample-sample telur tiap
perlakuan.
i. Kertas label
Memberi tanda pada sample telur penelitian tiap perlakuan.
j. Baskom Plastik
Baskom plastik sebagai tempat menampung telur yang sudah dipecah.
k. Alat Tulis
Alat tulis digunakan untuk mencatat data yang diperoleh dalam setiap
pengukuran.
14
C. Desain Penelitian
Desain penelitian menggunakan rancangan acak lengkap pola searah
dengan empat perlakuan (P0, P1, P2 dan P3), masing-masing perlakuan diulang
enam kali dan setiap ulangan terdiri dari 20 ekor puyuh petelur yang ditempatkan
pada kandang kelompok. Adapun perlakuannya sebagai berikut :
P0 = Ransum dengan P tersedia 0,6%
P1 = Ransum dengan P tersedia 0,5% + fitase 0,010% (500 U/kg)
P2 = Ransum dengan P tersedia 0,4% + fitase 0,015% (750 U/kg)
P3 = Ransum dengan P tersedia 0,3% + fitase 0,020% (1000 U/kg)
D. Metode Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Persiapan Kandang
Tahap persiapan kandang meliputi pembersihan, pembuatan petak
kandang, pengapuran dan desinfeksi. Peralatan kandang seperti tempat pakan dan
minum dicuci kemudian direndam dalam larutan antiseptik dan dikeringkan di
bawah sinar matahari. Pengapuran dan desinfeksi dilakukan pada dinding dan
lantai kandang.
b. Persiapan puyuh
Puyuh petelur umur 28 hari sebanyak 480 ekor terlebih dahulu ditimbang
untuk mengetahui bobot badan awal pada saat penelitian. Puyuh didistribusikan
secara rata ke dalam 24 unit kandang.
c. Penentuan petak kandang
Penentuan petak kandang dilakukan secara acak yaitu dengan
pengundian.
d. Penyusunan ransum
Penyusunan ransum dilakukan dengan mencampur bahan pakan dengan
proporsi terkecil dahulu hingga terbesar secara merata. Ransum dengan proporsi
terkecil seperti limestone, dikalsium fosfat, DL-metionin, filler, premix dan NaCl
dicampur terlebih dahulu dengan cara memasukkan ke dalam kantong plastik lalu
15
digojok sampai homogen, setelah itu mencampur bungkil kedelai dengan minyak
kelapa. Ransum terbesar seperti jagung, bekatul dan bungkil kedelai dicampur
dengan ransum proporsi terkecil yang telah homogen. Ransum perlakuan disusun
dengan memperhatikan kandungan P tersedia dan menambahkan fitase sesuai
level yang telah ditentukan.
2. Tahap Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu tahap adaptasi, perlakuan
dan pengujian kualitas fisik telur puyuh. Tahap adaptasi dilakukan pada puyuh
berumur 28 hari dengan tujuan agar ternak dapat menyesuaikan dengan
lingkungan, kandang dan pakan. Selain itu pada tahap ini diharapkan konsumsi
ransum dan bobot badan dapat seragam. untuk tahap adaptasi kandang
sebelumnya disucihamakan kemudian dilakukan pengapuran untuk mencegah
tumbuhnya bakteri dan jamur. Sesuai dengan pernyataan Subekti dan Hastuti
(2013) Sebelum puyuh datang, hendaknya kandang besarta perlengkapannya
berupa tempat pakan, tempat minum, dan alat penerang harus dalam kondisi
bersih dan siap dipakai agar terhindar dari bakteri pengganggu. Penyusunan
ransum dilakukan setiap tiga hari sekali untuk menghindari ketengikan karena
adanya minyak kelapa yang dapat mengurangi palatabilitas ransum. Tahap
penyusunan ransum dengan cara bertahap yaitu mencampur bahan-bahan yang
mempunyai proporsi terkecil terlebih dahulu kemudian bahan-bahan yang
mempunyai proporsi besar agar pencampurannya bisa homogen. Cara bertahap itu
dimaksudkan agar tiap bahan makanan tercampur homogen ditiap bagian sehingga
sejumlah unsur nutrisi yang dirancang benar-benar sampai ketujuannya (Rasyaf,
2000).
Tahap adaptasi dilakukan pada puyuh berumur 28 hari dengan tujuan
agar ternak dapat menyesuaikan dengan lingkungan, kandang dan pakan. Selain
itu pada tahap ini diharapkan konsumsi ransum dan bobot badan dapat seragam.
Selama masa adaptasi puyuh diberi ransum komersial dua kali sehari yaitu pada
pukul 07.00 dan 13.30. Ransum komersial diberikan pada puyuh berumur 28-39
hari, selanjutnya pada umur 40-41 hari puyuh diadaptasi dengan ransum basal
dengan perbandingan 50% ransum komersial dan 50% ransum basal. Ransum
16
basal diberikan dari umur 42 hari sampai produksi telur mencapai 10%. Ransum
perlakuan diberikan setelah produksi telur lebih dari 10% selama dua periode
produksi (2×28 hari).
Koleksi telur dilakukan selama tiga hari dalam setiap periode. Satu periode
meliputi 28 hari (Noviandi et al., 2003). Tahap pengujian kualitas fisik telur puyuh ada
beberapa tahap. Pertama, telur dikumpulkan dan dilakukan penimbangan serta
pemilahan bobot telur yang seragam. Kedua, pemisahan antara isi telur dengan
kerabang. Kerabang telur yang bersih ditimbang untuk mengetahui bobot kerabangnya
dan diambil sampel secara komposit. Setelah itu dilakukan pengukuran kualitas fisik
telur menurut metode Yuwanta (2010), meliputi tebal kerabang, persentase kerabang,
indeks putih telur dan nilai HU.
3. Peubah Penelitian
Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah tebal kerabang, persentase
kerabang, indeks putih telur dan nilai HU.
a. Tebal Kerabang
Pengukuran tebal kerabang telur dengan menggunakan mikrometer ketelitian
0,01 mm. Pengukuran tebal kerabang telur dilakukan pada bagian ujung
tumpul, tengah (ekuator), dan ujung lancip telur kemudian dibuat rata-rata
(Yuwanta, 2010).
b. Persentase Kerabang
Persentase kerabang telur diukur berdasarkan perbandingan antara berat
kerabang telur dengan berat telur dikalikan 100% (Yuwanta, 2010). Berat kerabang
telur puyuh ini dihasilkan dengan metode pengeringan matahari selama 3 jam.
c. Indeks Putih Telur
Indeks putih telur adalah perbandingan antara tinggi putih telur dengan panjang
putih telur encer (Yuwanta, 2010). Pengukuran tinggi putih telur telur
menggunakan tripod mikrometer dengan ketelitian 0,01 mm dan lebar putih telur
telur puyuh menggunakan jangka sorong, dengan rumus sebagai berikut :
17
d. Nilai Haugh Unit (HU)
Haugh Unit yaitu satuan nilai dari putih telur yang dikemukakan oleh Haugh,
yaitu dengan cara menghitung secara logaritma terhadap tinggi putih telur kental
dan kemudian ditranformasikan ke dalam nilai koreksi dari fungsi berat telur
(Yuwanta, 2010). Perhitungan HU menggunakan rumus sebagai berikut :
HU = log 100 (H – 1,7 P0,37 + 7,57)
Keterangan :
H = Tinggi putih telur kental (mm)
P = Berat telur (g)
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisis
variansi. Apabila hasil analisis variansi terdapat pengaruh perlakuan maka
dilanjutkan dengan uji beda mean menggunakan uji Duncan’s New Multiple
Range Test (DMRT) untuk mengetahui perbedaan antar mean perlakuan
(Yitnosumarto, 1993).
18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah tabel hasil rerata analisis statistik yang menunjukan
pengaruh perlakuan terhadap beberapa variabel pada penelitian ini.
Tabel 4. Rerata hasil penelitian pengaruh suplementasi fitase dalam ransum
terhadap kualitas fisik telur puyuh
Peubah Perlakuan Nilai
P P0 P1 P2 P3
Tebal Kerabang (mm) 0,258a 0,252a 0,242b 0,250ab 0,004
Persentase Kerabang (%) 8,541a 8,458a 8,180b 8,352ab 0,029
Indeks Putih telur (%) 0,106 0,102 0,250 0,107 0,415
Nilai HU 99,780ab 98,867b 99,477b 100,681a 0,019 Keterangan : P0 = Ransum dengan P tersedia 0,6%
P1 = Ransum dengan P tersedia 0,5% + fitase 0,010% (500 U/kg)
P2 = Ransum dengan P tersedia 0,4% + fitase 0,015% (750 U/kg)
P3 = Ransum dengan P tersedia 0,3% + fitase 0,020% (1000 U/kg) a,b,c Nilai rata-rata yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris yang
sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
A. Tebal Kerabang dan Persentase Kerabang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum puyuh yang diberi fitase dan P
dengan level berbeda memberikan pengaruh terhadap ketebalan kerabang dan
persentase kerabang pada puyuh petelur (P<0,05) (Tabel 3). Hasil penelitian tebal
kerabang dan persentase kerabang setelah pemberian ransum P1 dan P3
menunjukkan sama dengan ransum P0 tetapi pada ransum P2 berbeda dengan
terjadinya penurunan tebal kerabang dan persentase kerabang. Hal ini menunjukkan
bahwa ransum P1 dengan penurunan P tersedia 0,5% disuplementasi fitase 500
FTU/kg dan ransum P3 dengan penurunan P menjadi 0,3% dengan disuplementasi
fitase 1.000 FTU/kg dapat mengimbangi ransum P0 tanpa fitase dengan kadar P
0,6%, tetapi pada ransum P2 dengan penurunan P menjadi 0,4% dengan
suplementasi 750 FTU/kg menurunkan tebal kerabang dan persentase kerabang.
Penelitian ini penggunaan kebutuhan P tersedia pada ransum puyuh petelur pada
fase layernya sebesar 0,6% di dasarkan pada NRC (1994).
Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang sama, hal ini sama dengan
pernyataan Englmaierová et al. (2014) bahwa penambahan fitase dengan level 150
FTU/kg pada ransum yang mengandung non-phytate phosphorus (NPP) (3.0, 2.1,
and 1.7 g/kg) berpengaruh terhadap tebal kerabang. Hasil penelitian Sharifi et al.
19
(2012) menunjukan hal yang sama penambahan fitase dengan level 300 FTU/kg
dan 600 FTU/kg dapat mempengaruhi persentase kerabang. Ini mungkin
dikarenakan efek fitase pada pelepasan fitat mineral (P dan Ca) dan meningkatkan
retensi kulit telur yang dapat meningkatkan kualitas cangkang telur. Ditunjang
juga oleh penelitian Ahmadi et al. (2008) penambahan fitase level 0 FTU/kg, 150
FTU/kg dan 300 FTU/kg mempertahankan persentase kerabang telur .
Penambahan P tersedia dan suplementasi enzim fitase 1.000 FTU/kg
pada ransum dapat menghidrolisis asam fitat sehingga P dalam pakan dan mineral
(Mg, Fe, Zn, Mn, Ca) dapat terserap optimal di saluran pencernaan dan akan
mengurangi pengaruh negatif antinutrisi dari asam fitat. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Shin et al. (2001) bahwa pemanfaatan unsur P dalam ransum ternak
monogastrik dapat dioptimalkan dengan penambahan fitase. Ditunjang dengan
penelitian terdahulu bahwa suplementasi fitase sebesar 1.000 FTU/kg (Amin et
al., 2011) dan 1.200 FTU/kg (Singh, 2008) pada ransum rendah P tersedia dapat
meningkatkan ketersedian P tersedia yang sama dengan ransum tanpa
disuplemntasi fitase. Peningkatan ketersediaan P dapat meningkatkan ketebalan
kerabang dan persentase kerabang. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Cabuk et al.
(2004) bahwa penambahan fitase dapat meningkatkan ketersediaan P serta
meningkatakan ketebalan kerabang dan persentase kerabang.
Perlakuan P1 dan P3 menunjukan tebal kerabang dan persentase kerabang
sama dengan P0. Menunjukkan bahwa penambahan fitase dengan mengurangi
kendungan P pada ransum menghasilkan tebal kerabang dan persentase kerabang
setara dengan P0. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan Cad an P pada
pembentukan kerabang dapat disuplai dari hasil hidrolisis fitase. Viveros et al.
(2002) yang mengatakan bahwa suplementasi enzim fitase sebanyak 500 FTU/kg
pada ransum yang mengandung P tersedia rendah (0,22% - 0,14%) mampu
meningkatkan penggunaan P, Ca, Mg, dan Zn.
Perlakuan P2 dengan suplementasi fitase 750 FTU/kg lebih rendah
daripada P3 ini disebabkan perlakuan P2 belum efisien penyerapan Ca di
bandingkan perlakuan P3 dengan suplementasi fitase 1.000 FTU/kg. Menurut
Setiyawan (2007) bahwa suplementasi enzim fitase sebesar 1.000 FTU/kg ransum
memberikan hasil yang lebih baik ketersediaan hayati mineral pada unggas.
20
Rataan nilai kerabang telur selama penelitian, yaitu 0,242-0,258 mm.
Menurut Ilsa et al. (2016) ketebalan kerabang telur rata-rata adalah 0,197 - 0,260
mm. Tebal kerabang hasil penelitian menunjukan pada kisaran, yang dapat
diartiakan bahwa ketebalan kerabang yang dihasilkan dalam penelitan normal.
Hasil rataan nilai persentase kerabang telur dari hasil peneiltian adalah 8,180% –
8,541%. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Vilchez et al. (1992) dan
Romasta (2003) bahwa rata-rata presentase kerabang telur puyuh (Coturnix
coturnix japonica) sebesar 7 - 9,5 % dari bobot telur. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa bobot kerabang telur masih dalam kisaran normal.
B. Indeks Putih Telur
Hasil penelitian menunjukkan ransum penelitian tidak berpengaruh
(P>0,05) terhadap indeks putih telur (Tabel 3). Ransum perlakuan P0, P1, P2, dan
P3 tidak berbeda, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan P tersedia 0,5% dengan
suplementasi fitase 500 FTU/kg sampai dengan penurunan P tersedia 0,3%
dengan suplementasi fitase 1.000 FTU/kg tidak mempengaruhi indeks putih telur.
Artinya penggunaan ransum perlakuan tidak memberikan efek negatif terhadap
indeks putih. Hasil penambahan fitase terhadap indeks putih telur pada penelitian
ini sama dengan penelitian Sharifi et al. (2012), penambahan fitase level 300
FTU/kg dan 600 FTU/kg tidak mempengaruhi nilai indeks putih telur. Ditunjang
oleh penelitian Cabuk et al. (2008) bahwa penambahan fitase hingga level 300
FTU/kg tidak mempengaruhi nilai indeks putih telur.
Rataan indeks putih telur dalam penelitian ini, yaitu 0,102-0,250, rataan
nilai indeks putih tersebut masih kisaran normal menurut Purnomo dan Adiyono
(1985) bahwa indeks putih telur yang baik berkisar antara 0,05 – 0,250.
21
C. Nilai Haugh Unit (HU)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum puyuh yang disuplementasi
fitase memberikan pengaruh (P<0,05) terhadap nilai Haugh Unit pada telur puyuh
(Tabel 3). Pemberian ransum P1 dan P2 tidak berbeda dengan ransum P0 begitu
juga ransum P3 tidak berbeda dengan P0. Hal ini menunjukkan penurunan P
tersedia dan penambahan fitase tidak berpengaruh terhadap nilai HU. Ransum P3
dengan kadar P tersedia 0,3% yang disuplementasi fitase 1.000 FTU/kg
menunjukkan nilai HU berbeda dengan ransum P1 dan P2. Nilai HU ransum P3
lebih tinggi dibanding P1 dan P2. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan fitase
1000 FTU dapat meningkatkan nilai HU pada P3 dibandingkan dengan P1 dan P2.
Nilai HU pada penelitian ini berbeda dengan penelitian menurut
Englmaierová et al. (2014) yang menyatakan bahwa penambahan fitase dengan
level 150 FTU/kg pada ransum yang mengandung non-phytate phosphorus (NPP)
(3.0, 2.1, and 1.7 g/kg) menunjukan nilai HU tidak berbeda nyata. Sama halnya
dengan penelitian Sharifi et al. (2012) penambahan fitase hingga level 600
FTU/kg menunjukan nilai HU tidak berbeda nyata. Perbedaan ini disebabkan
karena perbedaan penambahan level fitase dan kandungan P pada ransum.
Kualitas telur ditentukan berdasarkan nilai Haugh Unit, yaitu kualitas AA
dengan nilai HU minimal 72, kualitas A dengan nilai HU pada kisaran 60 - 72,
kualitas B dengan nilai antara 31 - 60 dan kualitas C apabila nilai HU < 31
(Nesheim et al., 1979). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Haugh Unit
tergolong dalam kelas AA (baik sekali) yaitu mempunyai nilai sebesar 98,867 –
100,681. Nilai yang didapatkan pada penelitian ini masih sesuai dengan standar
yang ditentukan oleh ISA (2009) yaitu lebih dari 82 untuk telur unggas.
22
V. SIMPULAN
Simpulan dari hasil penelitian ini adalah pemberian P-tersedia 0,5%
dengan suplementasi fitase 500 FTU/kg pada ransum puyuh petelur dapat
mempertahankan kualitas fisik telur puyuh. Penuruna P tersedia pada aras 0,4%
dengan suplementasi enzim fitase 750 FTU/kg menurunkan ketebalan kerabang
dan persentase kerabang telur puyuh.
23
DAFTAR PUSTAKA
Amin M., D. Jusadi dan I. Mokoginta. 2011. Penggunaan enzim fitase untuk
meningkatkan ketersediaan fosfor dari sumber bahan nabati pakan dan
pertumbuhan ikan lele (Clarias sp). Jurnal Saintek Perikanan. 6:52-60.
Anggorodi, H. R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. P.T. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Anselme, P. 2006. Considerations on the Use of Microbial Phytase. CEFIC.
Inorganic Feed Phosphates, Brussels.
Applegate, T. J. and R. Angel. 2004. Phytase: Basic of Enzyme Function. Farm
Animal Management at Purdue. Department of Animal Science. Purdue
University, West Lafayette.
Cabuk, M., M. Bozkurt, F. Kırkpınar and H. Ozkul. 2004. Effect of phytase
supplementation of diets with different levels of phosphorus on
performance and egg quality of laying hens in hot climatic conditions.
South African Journal of Animal Science. 34: 13-17.
Englmaierová, M., V. Skřivanová and M. Skřivan. 2014. The effect of non-
phytate phosphorus and phytase levels on performance, egg and tibia
quality, and pH of the digestive tract in hens fed higher-calcium-content
diets. Czech Journal of Animal Science. 59 (3): 107–115
Gordon, R. W. And D. A. Sr. Roland. 1998.Ifluence Of Supplemental Phytase On
Calcium And Phosporus Utilization In Laying Hens. Poultry Science.
77: 290-294.
Hartadi, H., S. Reksohadiprojo dan A. D. Tillman. 1994. Tabel Komposisi Pakan
untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hartono, T. 2004. Permasalahan Burung Puyuh dan Solusinya. Penebar Swadaya,
Jakarta.
ISA. 2009. Hisex Nutrition Management Guide. A Hendrix Genetik Company.
Institut de Sélection Animale B.V., Netherlands.
Lantzsch, H. J. 1990. Untersuchungen uber ernahrungsphysiologische effekte des
phytats bei monogastriern. Ubers. Tierernahr. 18:197-212.
Lim H. S., H. Namkung and I. K. Paik. 2001 Effect of Fiber and Phytate Source
and of Calcium and Phosphorus Level on Phytate Hydrolysis in the
Chick1. Poultry Science. Volume 63: 333–338.
Lim H. S., H. Namkung and I. K. Paik. 2003. Effects of phytase supplementations
on the performance, egg quality and phosphorous excreation of laying
hens fed different levels of dietary calcium and nonphytate phosphorous.
Poulty Science.82:92-9.
Listiyowati, E dan K. Roospitasari. 2004. Puyuh Tata Laksana Budidaya Secara
Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta
24
Listiyowati, E dan K. Roospitasari. 2009. Beternak Puyuh secara Komersial.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Maenz, D. D. 2005. Enzymatic characteristic of phytases as they relate to their use
in animal feeds. In: Enzyme in Animal Nutrition. (Ed. M. R. Bedford
dan G. G. Partridge). CABI Pub. United Kingdom. pp: 61-84.
McCleary. 2005. Analysis of feed enzymes. In: Enzyme in Animal Nutrition. (Ed.
M. R. Bedford dan G. G. Partridge). CAB International Publishing,
United Kingdom. pp: 85-108.
National Research Council. 1994.Nutrient Requirement of Poultry. Ninth Revised
Edition. National Academic Press, Washinton DC.
Nesheim, M.C., R. E. Autic and L. E. Card. 1979. Poultry Productin. 12th Ed. Lea
& Febiger, Philadelphia.
North, M. O. and D. D. Bell. 1992. Commercial Chicken Production Manual. Van
Nostrand Reinhold. New York.
Nuhriawangsa, A. M. P., Sajidan, Z. Bachruddin dan A. Wibowo. 2010. Produksi
Pakan Tambahan yang Mengandung Fitase dari Bakteri Rekombinan
untuk Meningkatkan Kualitas Pakan dan Daging Ayam Broiler. Laporan
Penelitian Hibah Bersaing. Fakultas Pertanian. UNS. Surakarta.
Panda, A. K., S. V. R. Rao, M. V. L. N. Raju, S. S. Gajula and S. K. Bhanja.
2007. Performance of broiler chicken fed low non phytate phosphorous
diets supplemented with microbial phytase. The Journal of Poultry
Science. 44:258-264.
Piliang, W.G. 2002. Nutrisi Mineral. Edisi V. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rasyaf, M. 2000. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ravidran, V., A. J. Cowieson and P. H. Selle. 2008. Influence of dietary
electrolyte balance and microbial phytase on growth performance,
nutrient utilization, and excreta quality of broiler chickens. Poultry
Science. 87:677-688.
Roland, Sr. D. A., D. R. Sloan and R. H. Harms. 1978. The ability of hens to
maintain calcium deposition in the egg shell and egg yolk as the hen ages.
Poultry Science 54: 1720-1723.
Romasta. 2003. Studi pemberian empat campuran minyak ikan hiu, dedak
gandum kasar dan eceng gondok (Eichhornia crassipes) terhadap kualitas
telur burung puyuh (Cortunix coturnix japonica). Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sajidan, A. Ratriyanto dan A. M. P. Nuhriawangsa. 2004. Pengaruh bakteri
penghasil fitase pada pakan campuran wheat pollard terhadap performan
ayam broiler. Buletin Peternakan. 28:105-114.
Sariyska, M. V., S. A. Gargova, L. A. Koleva and A. I. Angelov. 2005.
Aspergillus niger phytase: Purification and characterization. Journal
Biotechnology. 19:98-105.
25
Selle, P. H., A. J. Cowieson and V. Ravindran. 2003. Consequences of calcium
interactions with phytate and phytase for poultry and pigs. Livestock
Science. 124: 126-141.
Setiyatwan H. 2007. Suplementasi fitase, seng, dan tembaga dalam ransum
sebagai stimulan pertumbuhan dan status mineral pada ayam broiler.
[Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sharifi, M. R., M. Shams Shargh, S. Hassani, H. Senobar and S. Jenabi. 2012. The
effects of dietary nonphytate phosphorus levels and phytase on laying
performance and egg quality parameters of Japanese quails (Coturnix
coturnix japonica). Arch Geflugelk. 76: 13-19.
Shin, S., N. C Ha, B, C .Oh, T. K. Oh and B. H. Oh. 2001. Enzyme mechanism
and catalytic property of Propeller phitase. Structure. 9: 851-858.
Singh, P. K. 2008. Significance of phytic acid and supplemental phytase in
chicken nutrition.World's Poultry Science Journal. 64:553-580.
Stadelman. W. J and O. J Cotteril, 1977. Egg Science and Technology. Fourt Ed.
Food Product Press. An Imprint of the Haworth. Press. Inc. New York.
London.
Standard Nasional Indonesia. 2006. Pakan Puyuh Petelur (Quail Layer). Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Subekti, E dan D. Hastuti. 2013. Budidaya puyuh (coturnix coturnix japonica ) di
pekarangan sebagai sumber protein hewani dan penambah income
keluarga. Mediagro. 9:1-10.
Suprijatna, E., S. Kismiati, & N. R. Furi. 2005. Penampilan produksi dan kualitas
telur pada puyuh (Coturnix-coturnix japonica) yang memperoleh ransum
protein rendah disuplementasi enzim komersial. J. Indonesia. Trop.
Anim. Agric. 33 (1): 68.
Traylor, S. L., G. L. Cromwell, M.D. Lindermann And D. A. Kuabe. 2001. Effect
Of Levels Of Suplemental Phitase On Ileal Digestibility Of Amino Acid,
Calcium And Phosporus In Dehulled Soybean Meal For Growing Pigs.
Journal Of Animal Science. 79: 2634-2642.
Vilchez, C., S. P. Touchburn, E.R. Chavez, and P. C. Laque. 1992. Research Note
: Eggshell quality in japanese quail fed different fatty acids. Poultry Sci. 71:
1568 – 1571.
Viveros, A., A. Brenes, I. Arija And C. Centeno. 2002. Effects of microbial
phytase suplementation on mineral utilization and serum enzyme
activities in broiler chicksfed different levels of phosphorus. Poult. Sci.
81: 1172–1183.
Widowati, S. D., E. Riyanti, P. Raharto dan L. Sukarno. 2001. Karakter fitase dari
Bacillus coagulans. Dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan
dan Bioteknologi Tanaman. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Peranian, Bogor. hal. 245-255.
26
Yang, Z. B., Z. Y. Huang, J. P. Zhou, W. R. Yang, S. Z. Jiang and G. G. Zhang.
2009. Effects of a new recombinant phytase on performance and mineral
utilization of laying ducks fed phosphorus-deficient diets. Journal of
Applied Poultry Research.18:284-291.
Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan Perancangan, Analisis dan Interprestasinya.
P.T. Gramedia Pustaka Utama, Yogyakarta.
Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Cetakan ke-1. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
28
Lampiran 1. Hasil Analisis Variansi Tebal Kerabang
The SAS System 05:55 Friday, January 2, 2009 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
perlk 4 P0 P1 P2 P3
Number of Observations Read 24
Number of Observations Used 24
The SAS System 05:55 Friday, January 2, 2009 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: tblkrb tblkrb
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 3 0.00086117 0.00028706 6.06 0.0042
Error 20 0.00094685 0.00004734
Corrected Total 23 0.00180802
R-Square Coeff Var Root MSE tblkrb Mean
0.476307 2.741140 0.006881 0.251012
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
perlk 3 0.00086117 0.00028706 6.06 0.0042
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
perlk 3 0.00086117 0.00028706 6.06 0.0042
The SAS System 05:55 Friday, January 2, 2009 3
29
The GLM Procedure
Levene's Test for Homogeneity of tblkrb Variance
ANOVA of Squared Deviations from Group Means
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
perlk 3 1.896E-8 6.319E-9 2.42 0.0959
Error 20 5.216E-8 2.608E-9
Welch's ANOVA for tblkrb
Source DF F Value Pr > F
perlk 3.0000 4.48 0.0282
Error 10.7461
The SAS System 05:55 Friday, January 2, 2009 4
The GLM Procedure
Level of ------------tblkrb-----------
perlk N Mean Std Dev
P0 6 0.25873810 0.01016814
P1 6 0.25297619 0.00500773
P2 6 0.24210317 0.00659687
P3 6 0.25023016 0.00416926
The SAS System 05:55 Friday, January 2, 2009 5
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for tblkrb
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error
rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 20
Error Mean Square 0.000047
30
Number of Means 2 3 4
Critical Range .008287 .008698 .008960
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlk
A 0.258738 6 P0
A
A 0.252976 6 P1
A
B A 0.250230 6 P3
B
B 0.242103 6 P2
Lampiran 2. Hasil Analisis Varians Persentase Tebal kerabang
The SAS System 06:13 Friday, January 2, 2009 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
perlk 4 P0 P1 P2 P3
Number of Observations Read 24
Number of Observations Used 24
The SAS System 06:13 Friday, January 2, 2009 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: prokrb prokrb
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 3 0.43598348 0.14532783 3.69 0.0290
Error 20 0.78693751 0.03934688
Corrected Total 23 1.22292099
31
R-Square Coeff Var Root MSE prokrb Mean
0.356510 2.366157 0.198360 8.383234
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
perlk 3 0.43598348 0.14532783 3.69 0.0290
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
perlk 3 0.43598348 0.14532783 3.69 0.0290
The SAS System 06:13 Friday, January 2, 2009 3
The GLM Procedure
Levene's Test for Homogeneity of prokrb Variance
ANOVA of Squared Deviations from Group Means
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
perlk 3 0.00291 0.000970 0.84 0.4889
Error 20 0.0231 0.00116
Welch's ANOVA for prokrb
Source DF F Value Pr > F
perlk 3.0000 4.18 0.0335
Error 10.9422
The SAS System 06:13 Friday, January 2, 2009 4
The GLM Procedure
Level of ------------prokrb-----------
perlk N Mean Std Dev
P0 6 8.54110322 0.14702993
P1 6 8.45873512 0.20095936
P2 6 8.18049683 0.19146697
P3 6 8.35259998 0.24233332
32
The SAS System 06:13 Friday, January 2, 2009 5
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for prokrb
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error
rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 20
Error Mean Square 0.039347
Number of Means 2 3 4
Critical Range .2389 .2508 .2583
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlk
A 8.5411 6 P0
A
A 8.4587 6 P1
A
B A 8.3526 6 P3
B
B 8.1805 6 P2
Lampiran 3. Hasil Analisis Varians Indeks Putih Telur
The SAS System 07:23 Thursday, January 2, 2009 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
perlk 4 P0 P1 P2 P3
Number of Observations Read 24
Number of Observations Used 24
33
The SAS System 07:23 Thursday, January 2, 2009 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: inalb inalb
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 3 0.09535013 0.03178338 1.00 0.4152
Error 20 0.63850283 0.03192514
Corrected Total 23 0.73385296
R-Square Coeff Var Root MSE inalb Mean
0.129931 126.0872 0.178676 0.141708
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
perlk 3 0.09535013 0.03178338 1.00 0.4152
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
perlk 3 0.09535013 0.03178338 1.00 0.4152
The SAS System 07:23 Thursday, January 2, 2009 3
The GLM Procedure
Levene's Test for Homogeneity of inalb Variance
ANOVA of Squared Deviations from Group Means
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
perlk 3 0.0509 0.0170 1.56 0.2298
Error 20 0.2171 0.0109
Welch's ANOVA for inalb
Source DF F Value Pr > F
34
perlk 3.0000 1.33 0.3169
Error 10.4774
The SAS System 07:23 Thursday, January 2, 2009 4
The GLM Procedure
Level of ------------inalb------------
perlk N Mean Std Dev
P0 6 0.10633333 0.00450185
P1 6 0.10233333 0.00417931
P2 6 0.25083333 0.35722453
P3 6 0.10733333 0.00731209
The SAS System 07:23 Thursday, January 2, 2009 5
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for inalb
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error
rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 20
Error Mean Square 0.031925
Number of Means 2 3 4
Critical Range .2152 .2259 .2327
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlk
A 0.2508 6 P2
A
A 0.1073 6 P3
A
A 0.1063 6 P0
35
A
A 0.1023 6 P1
Lampiran 4. Hasil Analisis Varians Nilai Haugh Unit (HU)
The SAS System 10:04 Thursday, March 15, 2016 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
perlk 4 P0 P1 P2 P3
Number of Observations Read 24
Number of Observations Used 24
The SAS System 10:04 Thursday, March 15, 2016 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: HU HU
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 3 10.28207183 3.42735728 4.16 0.0192
Error 20 16.46541331 0.82327067
Corrected Total 23 26.74748515
R-Square Coeff Var Root MSE HU Mean
0.384413 0.910059 0.907343 99.70156
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
perlk 3 10.28207183 3.42735728 4.16 0.0192
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
36
perlk 3 10.28207183 3.42735728 4.16 0.0192
The SAS System 10:04 Thursday, March 15, 2016 3
The GLM Procedure
Levene's Test for Homogeneity of HU Variance
ANOVA of Squared Deviations from Group Means
Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
perlk 3 1.4789 0.4930 0.53 0.6666
Error 20 18.5889 0.9294
Welch's ANOVA for HU
Source DF F Value Pr > F
perlk 3.0000 3.87 0.0415
Error 10.8854
The SAS System 10:04 Thursday, March 15, 2016 4
The GLM Procedure
Level of --------------HU-------------
perlk N Mean Std Dev
P0 6 99.780092 1.11629905
P1 6 98.867170 0.93137486
P2 6 99.477135 0.63976971
P3 6 100.681835 0.87760735
The SAS System 10:04 Thursday, March 15, 2016 5
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for HU
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error
rate.
37
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 20
Error Mean Square 0.823271
Number of Means 2 3 4
Critical Range 1.093 1.147 1.182
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlk
A 100.6818 6 P3
A
B A 99.7801 6 P0
B
B 99.4771 6 P2
B
B 98.8672 6 P1
38
Lampiran 5. Ucapan Terima Kasih
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi berjudul Pengaruh Penurunan P Tersedia yang mendapat
Suplementasi Fitase dalam Ransum terhadap Kualitas Fisik Telur Puyuh
(Coturnix coturnix japonica) merupakan bagian penelitian dari :
Nama Dosen : Dr. Adi Magna Patriadi Nuhriawangsa, S. Pt., M. P.
Dr. sc. agr. Adi Ratriyanto, S. Pt., M. P.
Rysca Indreswari, S. Pt., M. Si.
Winny Swastike, S. Pt., M. P.
Judul Penelitian : Aplikasi Fitase untuk Meningkatkan Kualitas Pakan dan
Produksi Puyuh Petelur dengan Limbah Ramah Lingkungan
Skema Penelitian : Hibah Penelitian Strategis Nasional
Tahun : 2014
Sumber Dana : DP2M DIKTI
Nomor Kontrak : 499/UN27.11/PL/2014
Penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk
melaksanakan penelitian tersebut.
Surakarta, Juni 2018
Penulis
Nofia Putri C
H0511049