pengembangan laser trajectory proses rapid prototyping untuk produk berkontur dan prismatik
TRANSCRIPT
1
PENGEMBANGAN LASER TRAJECTORY PROSES RAPID PROTOTYPING
UNTUK PRODUK BERKONTUR DAN PRISMATIK
Gandjar Kiswanto, Ahmad Kholil Laboratorium Teknologi Manufaktur dan Otomasi
Departemen Teknik Mesin – Universitas Indonesia
Kampus Baru UI – Depok 16424
ABSTRAK Rapid prototyping atau layered manufacturing secara singkat merupakan proses fabrikasi produk dengan layer by layer, dimana
material ditambahkan ke layer berturut-turut sesuai dengan laser trajectory. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan laser
trajectory proses rapid prototyping untuk produk berkontur dan prismatik dengan arah directional parallel. Pengembangan ini
menggunakan parameter layer thickness dan hatch space yang menjadi variabel dari interval bidang potong pembuatan laser
trajecory.
Hasil penelitian ini berupa algoritma pembuatan laser trajectory pada model STL berkontur dan prismatik yang dikembangkan oleh
Laboratorium Teknologi Manufaktur dan Otomasi – Departemen Teknik Mesin – UI bersamaan dengan pengembangan mesin RP.
Algoritma yang dikembangkan menampilkan graphic user interface (GUI) sehingga pemakai dapat menentukan model, memasukkan
nilai parameter, dan kemudian mensimulasikan. Selain menghasilkan grafik, juga menghasilkan file G-Code yang disertai titik-titik
koordinat penentu laser trajectory. Dari simulasi dengan beberapa model prismatik dan berkontur menghasilkan laser trajectory
yang teratur sesuai dengan pola model dan file G-Code dalam format text.
Kata kunci : rapid prototyping, laser trajectory
ABSTRACT Rapid Prototyping or layered manufacturing simply is parts fabrication process with layer by layer, where material added to layer
successively as according to laser trajectory. This research aim to laser trajectory generation of rapid prototyping process for
sculptured and prismatic parts with directional parallel. The development use parameter layer thickness, and hatch space as
variable of slicing interval to generate laser trajectory.
The result is algorithm of laser trajectory generation for sculptured and prismatic of STL model. The algorithm presenting graphic
user intervace (GUI) in order to user can determine model, input parameter value, and than simulate model. Beside yielding graph,
also yield G-Code file accompanied coordinate points as determinant laser trajectory. From simulation of model sculptured and
prismatic resulting laser trajectory consecutively as according to model pattern and G-Code file in text format.
Keywords : rapid prototyping, laser trajectory
1. Latar Belakang Pengembangan produk oleh perusahaan
manufaktur merupakan sebuah keharusan untuk
memenuhi kebutuhan konsumen. Beberapa
perusahaan manufaktur melakukan pengembangan
produk, yaitu proses dimana konsep produk harus
diterjemahkan dari gambar teknik menjadi produk
phisik. Pembuatan produk phisik model pertama
atau prototype dinamakan prototyping. Prototyping
sangat penting karena merupakan makna terakhir
dalam verifikasi bentuk, kesesuaian, dan fungsi
produk. Prototype dibuat dalam volume sedikit
dengan biaya tinggi karena semua biaya tool
digabungkan pada prototype yang jumlahnya
sedikit. Fabrikasi dengan tool khusus (seperti:
pattern atau molds untuk casting, dies untuk
forming, fixture untuk machining) memerlukan
waktu yang lama untuk membuat dan menguji
prototype. Rapid prototyping merupakan metode
yang membantu dalam proses pengembangan
produk yang mudah dan cepat, sehingga dapat
mempengaruhi kepuasan customer dan keuntungan
perusahaan adalah terbantu dalam mendapatkan
produk untuk pasar pertama. Wholers [2]
melakukan survey, dan menemukan bahwa sekitar
23,4% produk RP digunakan sebagai alat peraga,
sedangkan 27,5% digunakan sebagai master pola
pada proses kedua manufaktur dan untuk direct
tooling. Industri menggunakan 15,6% untuk fit dan
assembly test, 16,1% untuk test fungsional dan
sisanya untuk quoting, proposal, dan evaluasi
ergonomi.
Rapid Prototyping atau Layered
Manufacturing adalah proses fabrikasi suatu produk
dengan layer by layer, atau penambahan raw
material berturut-turut pada layer hingga terbentuk
produk yang sesuai dengan model. Prosesnya
diawali dari model facet (file STL) berisi banyak
segitiga yang membentuk model solid. Kemudian
dilakukan proses slicing dan hatching pada model
facet untuk membuat laser trajectory (lintasan
laser). Setelah laser trajectory terbentuk, proses
fabrikasi dapat dilakukan dengan mengacu pada
laser trajectory hasil generate model.
Model facet berisi sekumpulan segitiga-
segitiga pembentuk, sedangkan laser trajectory
merupakan representasi lintasan berisi koordinat
acuan mesin. Bagaimana laser trajectory ini
terbentuk merupakan suatu pertanyaan yang
mendasar dalam pengembangan mesin prototyping.
Perlu algoritma yang dapat memadukan proses
slicing dan hatching dalam pengembangan software
2
pembuat laser trajectory pada berbagai macam
produk prismatik maupun berkontur.
Prinsip rapid prototyping berbeda dengan
prinsip machining, dimana rapid prototyping
merupakan proses penambahan material, sedangkan
machining merupakan proses melepas material.
Walaupun demikian keduanya memiliki kesamaan
dalam penentuan titik kontak pahat (cc-point) pada
model facet. Dengan menggunakan paramater
kontrol rapid prototyping, seperti layer thickness,
hatch space, dan orientasi produk, pengembangan
laser trajectory dapat menggunakan pengontrolan
dari parameter tersebut.
Parameter kontrol merupakan hal yang
penting yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan
keakuratan produk yang diinginkan. Parameter
tersebut disesuaikan dengan batasan minimum dan
maksimum dari kondisi mesin. Pengguna dapat
memberikan input parameter tersebut sesuai dengan
kebutuhaan dan kondisi yang dipersyaratkan.
2. Reviuw Slicing dan Pembuatan Lintasan Setiap teknologi rapid prototyping
memiliki spesifikasi sendiri-sendiri [13]. Ada yang
berbentuk formasi dinding terluar, metode
pengisian, dan pemisahan produk dari material
pelingkup yang menentukan pola lintasan mesin.
Formasi dinding terluar merupakan pola yang saat
ini banyak dipakai pada mesin prototyping, formasi
ini menghasilkan produk yang cepat dari segi
proses pembuatannya dan sedikit membutuhkan
material. Prototype yang dihasilkan sangat lemah
dari segi kekuatan sehingga tidak cocok untuk
diberi pembebanan. Formasi dengan metode
pengisian seluruhnya akan menghasilkan produk
yang sesungguhnya, formasi ini prosesnya akan
semakin lama bila dibandingkan dengan formasi
dinding terluar. Bila tujuannya untuk membuat
protoype yang kuat seperti produk yang diinginkan
formasi ini sangat diperlukan.
Pola lintasan mesin rapid prototyping
dapat digerakkan secara robotik pada bidang-XY
untuk Mesin FDM, pola laser untuk solidifikasi dan
sintering material pada Mesin SLA dan SLS, atau
pola pisau laser untuk Mesin LOM. Proses-proses
ini membutuhkan strategi pembuatan lintasan mesin
(machine path) yang berbeda. Beberapa pendekatan
pembuatan proses slicing dan NC-path sudah
diusulkan dan diimplementasikan ke karakteristik
khusus dan kebutuhan-kebutuhan berbagai proses
RP.
Pendekatan-pendekatan proses slicing
dikategorikan kedalam empat kelompok [9], yaitu:
Gambar 1 : Metode slicing pada RP [7]
a. Metode slicing model file STL dengan
ketebalan layer seragam (uniform).
b. Metode slicing model file STL dengan
ketebalan layer adaptive.
c. Metode slicing model CAD dengan
ketebalan layer adaptive.
d. Metode slicing dengan perhitungan kontur
yang tepat.
Metode slicing ketebalan layer seragam,
semua layer memiliki ketebalan yang sama,
sedangkan metode slicing ketebalan layer adaptive,
ketebalan layer akan bervariasi menurut
kompleksitas geometri. Ada empat konfigurasi
yang mungkin ketika melakukan slicing terhadap
model telah dikembangkan oleh Kulkarni dan Dutta
[11] untuk prosedur slicing yang lebih akurat pada
daerah convex dan concave curvature. Pendekatan
bertujuan menentukan ketebalan layer yang
dihitung berdasarkan kurva geometri, sehingga
pendekatan ini kurang cocok dilakukan untuk
bentuk STL karena perhitungan didasarkan pada
radius kurvatur.
Proses pembuatan lintasan pahat (tool path) dapat
mempengaruhi kualitas permukaan, kekuatan,
kekakuan, dan waktu pembuatan produk dalam
proses rapid prototyping. Perencanaan lintasan
termasuk perencaan lintasan bagian dalam dan
lintasan bagian luar [11]. Lintasan bagian dalam
merupakan proses pengisian material pada bagian
dalam layer. Sedangkan untuk bagian luar hanya
dilakukan oleh mesin LOM, karena lintasan luar
dilakukan untuk memotong lembaran raw material.
Kock B [7] menjelaskan mengenai analisa geometri
proses RP dengan formasi dinding terluar
menggunakan offset object model STL secara tidak
seragam. Metodenya menghasilkan boundary layer
yang smooth menggunakan biarch fitting. Untuk
membuat kontur yang lebih efisien dan kompleks,
Choi dan Kwok [12] mengembangkan algoritma
secara hirarki pada kontur dengan slicing yang
toleran. Hasilnya dapat digunakan untuk model
komplek dan besar. Sedangkan Asiabanpur [13]
mengembangkan proses pembuatan lintasan mesin
untuk proses rapid prototyping baru berbasis
serbuk, Selective Inhibition Sintering (SIS).
Hasilnya berupa algoritma slicing dan hatching
hanya untuk proses tersebut. Karena proses SIS
berbeda dengan RP berbasis laser, algoritma yang
a. Uniform slicing b. Adaptive slicing
3
dikembangkan belum bisa digunakan untuk laser
trajectory.
3. Proses Rapid Prototyping Proses rapid prototyping diawali dengan
validasi model CAD tiga dimensi suatu produk,
langkah ini dilakukan untuk memastikan bentuknya
solid. Model yang sudah valid kemudian
diorientasikan terhadap ruang pembuatan (parts
orientation), dengan mempertimbangkan waktu
pembuatan dan kualitas permukaan. Beberapa
model dapat digabung menjadi satu bangunan
asembly untuk efisiensi penggunaan mesin dan
material. Berdasarkan pada persyaratan prosesnya,
dukungan struktur dapat ditambahkan ke model jika
diperlukan. Setelah validasi, kemudian model
dipotong dengan bidang horisontal. Tiap bidang
horisontal menghasilkan bidang potong sebagai
penentu laser trajectory untuk mengontrol proses
sintering atau solidifikasi.
Langkah utama untuk proses planning
termasuk orientasi, generate struktur pendukung
jika diperlukan, slicing dan pemilihan parameter
proses.
Gambar 2 : Diagram proses rapid prototyping [6]
Perencanaan proses dilakukan untuk
memilih parameter proses dan pembuatan instruksi
kontrol untuk fabrikasi produk. Umumnya desainer
menyelesaikan perencanaan proses dengan
mempelajari produk dan persyaratan kualitas, yang
tentunya sangat memakan waktu.
Gambar 3 : Proses Selective Laser Sintering (SLS)[16]
4. Model Facet
File STL merupakan kependekan dari
stereolithography. File yang berekstensi STL terdiri
dari dua jenis format. Format yang pertama adalah
binary. Pada format binary, model surface yang
tersusun atas segitiga-segitiga disimpan dalam
bentuk biner yang tidak terbaca dalam text editor.
Format lainnya adalah ASCII (American Standard
Code for Information Interchange). Format ini
adalah yang paling umum digunakan karena lebih
mudah dibaca dan dimengerti, serta dapat dibuka di
text editor. Format ASCII dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 4 : STL ASCII Format
5. Algoritma Pengembangan Laser Trajectory
Algoritma perencanaan untuk membuat
laser trajectory model prismatik dan berkontur ini
dilakukan dengan tahapan algoritma pada gambar
5.
Gambar 5 : Algoritma pengembangan laser trajectory
4
Tahapan algoritma pembuatan laser
trajectory dimulai dengan mengambil File STL
yang berisi informasi menganai data facet normal
dan tiga vertex pembentuk masing-masing segitiga.
File STL dapat diperoleh dari software-software
CAD yang ada, seperti Unigraphic, SolidWork,
Catia, atau AutoCad. Model yang dibuat harus
tegak kea rah sumbu-Z untuk mempermudah
pembuatan. Selain File STL, informasi lain yang
berkaitan dengan parameter RP seperti layer
thickness dan hatch space perlu disiapkan. Besar
kecilnya nilai parameter tersebut akan
mempengaruhi proses pembuatan, karena akan
banyak terbentuk titik potong pada segitiga facet.
Gambar 6 : Model STL
Tahapan selanjutnya adalah slicing, pada
bagian ini model File STL kemudian dipotong
dengan bidang pada sumbu-z. Interval slicing di
ambil dari parameter layer thickness dan prosesnya
dimulai dari bawah z = 0 sampai dengan z =
maksimum model, untuk penelitian ini interval
slicing dibuat seragam untuk mempermudah dalam
proses trajectory.
Gambar 7 : Slicing dengan interval seragam pada
sumbu-z
Gambar 8 : Permukaan layer pada tahapan slicing
Hasil slicing dilakukan pada sumbu-z dari
z-minimum sampai z-maksimum ini titik potongnya
disimpan dalam vector data khusus dan akan
digunakan untuk tahapan selanjutnya, yaitu path
elements generation. Tahapan ini dibuat dengan
membuat lintasan laser untuk setiap layer, lintasan
yang dibuat dengan metode directional parallel
untuk mempermudah gerakan perpindahan laser.
Pada tahap ini dilakukan proses slicing juga
terhadap sumbu-x, dengan intervalnya berdasarkan
parameter hatch space. Proses slicing dilakukan
dari x-minimum sampai x-maksimum dan
dilakukan pencarian titik yang akan digunakan
untuk lintasan laser tiap layer.
Gambar 9 : Path elements generation
Tahap terakhir adalah path lingking, pada
tahap ini setiap path element generation tiap layer
kemudian dihubungkan menjadi satu lintasan laser
dari z = 0 sampai z maksimum model. Dan output
dari tahapan algoritma ini adalah lintasan laser dan
File G-Code yang berisi kode L00, G00, G01 dan
koordinat yang mengiringinya.
• L00 = Pergerakan laser menuju layer
ke...dengan kondisi laser off.
• G00 = Pergerakan laser menuju koordinat
yang dituju dengan laser off.
• G01 = Pergerakan laser menuju koordinat
yang dituju dengan laser on.
Gambar 10 : Path lingking
Gambar 11 : Hasil output: a. laser trajectory, b. File G-Code
5.1 Penentuan Index Segitiga Yang Berpotongan
5
Algoritma untuk mendapatkan perpotongan
antara sebuah model 3D dengan bidang datar,
bidang yang dipilih adalah bidang z, yaitu bidang
yang tegak lurus dengan sumbu koordinat z (atau
bidang yang sejajar dengan bidang yang dibentuk
oleh sumbu koordinat xy). Bidang-bidang yang
digunakan sebagai pemotong model bergantung
kepada interval antar dua bidang berdekatan, serta
koordinat z-minimum dan z-maksimum. Misalnya
jika zmin=0 dan zmax=10 sedangkan interval antar
dua bidang slicing interval = 2, maka ada enam
bidang, masing-masing z={0, 2, 4, 6, 8, 10}.
Untuk mendapatkan titik-titik potong
sebuah bidang dengan model facet 3D informasi
yang sudah harus dimiliki adalah:
a. Index segitiga; untuk mengindentifikasi
semua segitiga atau facet yang ada dalam
STL. Masing-masing index segitiga
memiliki tiga index vertex sebagai
pembentuknya.
b. Index vertex; untuk mengidentifikasi semua
vertex yang yang menjadi titik-titik
pembentuk segitiga. Masing-masing index
vertex menunjuk ke satu nilai koordinat
vertex.
c. Koordinat vertex; yaitu nilai koordinat
semua vertex dalam (x,y,z).
Ketiga informasi ini menjadi database utama, bisa
digambarkan sebagai berikut: Index segitiga Index
vertex 1
Index
vertex 2
Index
vertex 3
1 1 2 3
2 1 2 4 Dst …… …….. ……
Index
vertex
Koordinat-x Koordinat-y Koordinat-z
1 0.12 0.14 0.32 2 0.29 0.33 0.45
dst …… …….. ……
Jadi, untuk menentukan lokasi sebuah
segitiga terhadap bidang, cari indexnya, kemudian
tentukan tiga index verteknya, dan dapatkan
koordinat (x,y,z) dari ketiga verteknya.
Setelah informasi mengenai index segitiga,
index vertex, dan koordinat vertex sudah
teridentifikasi dan tersimpan dalam array data,
selanjutnya adalah mencari index segitiga yang
berpotongan dengan bidang potong z. Metode
pencarian ini dilakukan dengan metode brute
searching, metode ini dilakukan dengan mengecek
setiap segitiga yang ada apakah berpotongan
dengan bidang z atau tidak. Jika berpotongan,
indeks segitiga tersebut disimpan dalam sebuah
struktur data array. Pengecekan ini dilakukan untuk
setiap bidang z yang akan diiriskan dengan model
facet.
Pendekatan untuk pengecekan setiap
bidang potong dilakukan dengan kondisi berikut:
• Jika letakZ_1 < z < letakZ_2, atau
• Jika letakZ_1 > z > letakZ_2, atau
• Jika letakZ_1 = letakZ_2 = z, atau
• Jika letakZ_1 = z, atau
• Jika letakZ_2 = z
Gambar 12 : Titik perpotongan segitiga yang mungkin.
5.2 Penentuan CC-Point Tiap Slicing
Penentuan CC-Point tiap slicing dilakukan
dengan metode adjacent serching, metode ini
diawali dengan mencari secara acak sebuah segitiga
yang berpotongan dengan bidang z (sebut saja
segitiga u), begitu didapatkan satu segitiga tersebut,
maka algoritma berjalan sebagai berikut:
1. Ambil satu sisi segitiga, misal sisi s yang
berpotongan dengan bidang z, kemudian
tentukan titik perpotongannya. Simpan titik ini
pada sebuah struktur data vektor. Segitiga
yang tersimpan dalam struktur data angkatan
kemudian diambil salah satu. Lalu salah satu
dari sisinya di ambil. Sisi yang diambil
memiliki dua titik dan dua titik tersebut di
ambil nilai Z –nya, letakZ_1 = V(index1,3) dan
letakZ_2 = V(index2,3).
2. Kemudian posisi tersebut di periksa sisi
tersebut dan dilakukan perhitungan dengan
metode yang sudah pernah dilakukan oleh
Ganjar K. [8], yaitu menetukan formulasi
untuk mencari titik potong bidang z = c
dengan sisi dari sebuah segitiga. Sisi segitiga
dibentuk oleh dua buah titik p1(x1,y1,z1) dan
p2(x2,y2,z2). Langkah pertama adalah
mengecek apakah c berada di dalam rentang z1
dan z2. Jika iya, maka berarti sisi segitiga
tersebut berpotongan dengan bidang z = c.
Langkah selanjutnya adalah mencari titik
dimana perpotongan terjadi.
Secara matematis, persamaan garis dalam
ruang R3 dirumuskan sebagai berikut.
6
Gambar 13 : Persamaan garis pada ruang R3[8].
Berdasarkan gambar di atas, persamaan garis-l
yang dibentuk oleh 2 titik adalah
+
=
1
1
1
z
y
x
t
c
b
a
z
y
x
(a)
Karena
+=
c
b
a
PP 12 , maka
−
=
1
1
1
2
2
2
z
y
x
z
y
x
c
b
a
(b)
Dengan demikian persamaan (a) dapat
disubstitusi menjadi
+
−
=
1
1
1
1
1
1
2
2
2
z
y
x
t
z
y
x
z
y
x
z
y
x
(c)
Karena z = c, maka nilai t dapat dihitung, yaitu
12
1
zz
zzt
−
−=
+
−
=
1
1
1
1
2
2
y
xt
y
x
y
x
y
x (d)
Maka dari persamaan (d) dapat diperoleh titik
(x,y,z) sebagai titik perpotongan antara sisi
segitiga yang dibentuk oleh titik p1(x1,y1,z1)
dan p2(x2,y2,z2) dengan bidang z = c. Dan titik
potong yang telah ditentukan tersebut
kemudian disimpan dalam variabel data V2
(penulisan variabel di Software pemrograman).
3. Setelah titik potong sisi pertama ditemukan,
selanjutnya mencari sisi yang indek
segitiganya sama kemudian simpan sisi
segitiga tersebut. Letak Z dari sisi yang
ditemukan tersebut kemudian disimpan
sebagai titik ketiga dari indek segitiga pertama.
Sehingga proses selanjutnya adalah melakukan
pencarian titik potong untuk setiap kondisi:
• Jika titik potong jatuh diantara vertex 1
dan vertex 3
• Jika titik potong jatuh diantara vertex 2
dan vertex 3
• Jika titik potong jatuh pada vertex 2
• Jika titik potong jatuh pada vertex 3
Gambar 14 : Penentuan titik selanjutnya.
Kemudian dilakukan perhitungan untuk
mencari titik potong (x,y,z) dengan persamaan
garis lurus (c) pada bagian sebelumnya. Dan
hasil perhitungan titik potong disimpan dalam
variabel data V2.
4. Algoritma ini berjalan terus sampai
diketemukannya seluruh titik potong dengan
sumbu-z. dan akan berakhir sampai pada z-
maksimum.
5.3 Penentuan Lintasan Setiap Layer
Pada bagian ini dilakukan proses slicing
untuk membuat lintasan pada bidang-xy. Untuk itu
perlu ditentukan bidang yang akan dipotong.
bidang-x dipilih sebagai bidang potong terhadap
facet.
Algoritma dilakukan dengan mengambil
salah satu titik z bagian tertentu dari variabel data
V2 yang bersinggungan dengan potongan bidang-x
.Kondisi ini digambarkan sbb:
• Jika V2(k,satu,1) sama dengan x, maka
disimpan dalam array data V_Lintasan.
• Jika V2(k,dua,1) sama dengan x, maka
disimpan dalam array data V_Lintasan.
• Jika x diantara V2(k,satu,1) dan
V2(k,dua,1) maka dilakukan perhitungan
titik potong pada sumbu-x dengan
persamaan garis lurus.
7
Gambar 15 : Penentuan titik-titik path elements.
Seperti terlihat pada gambar garis pada
ruang R3 (gambar 13) proses pencarian titik pada
sumbu-x, dilakukan dengan persamaan (c) berikut:
+
−
=
1
1
1
1
1
1
2
2
2
z
y
x
t
z
y
x
z
y
x
z
y
x
Karena bidang potong adalah bidang-x, maka x = b,
maka nilai t dapat dihitung, yaitu 12
1
xx
xbt
−
−=
+
−
=
1
1
1
1
2
2
z
yt
z
y
z
y
z
y (e)
Maka dari persamaan (e) dapat diperoleh titik
(x,y,z) sebagai titik perpotongan antara sisi segitiga
yang dibentuk oleh titik p1(x1,y1,z1) dan p2(x2,y2,z2)
dengan bidang x = b.
5.4 Algoritma Keseluruhan Secara umum proses pembuatan laser
trajectory ini terdiri dari beberapa tahapan proses
berikut,
a. Memasukkan file yang akan dibuat laser
trajectory.
b. Menentukan index segitiga, index vertex,
dan koordinat vertex.
c. Mencari index segitiga tiap interval slicing
bidang-z (metode brute searching).
d. Menyimpan index segitiga yang telah
ditemukan kedalam variabel data.
e. Menentukan segitiga pertama yang telah
ditemukan dan disimpan dalam variabel
data, kemudian mencatat index vertexnya
dan menyimpan titik potongnya kedalam
variabel data baru.
f. Mencari segitiga selanjutnya dan kemudian
tentukan titik potongnya apakah bertemu di
titik atau diantara titik.
g. Melakukan dengan berulang sampai semua
titik potong bidang-z telah ditemukan dan
disimpan dalam variabel data.
h. Menghubungkan titik-titik potong bidang-z
yang telah ditemukan sampai membentuk
kurva kontur untuk setiap layer.
i. Membuat lintasan untuk setiap layer.
Lintasan dibuat dengan terlebih dahulu
menentukan titik x sesuai dengan hatch
space yang telah ditentukan sebelumnya.
j. Mengurutkan titik potong berdasarkan arah
sumbu-y.
k. Menghubungkan titik-titik lintasan yang
telah diurutkan dengan fungsi plot grafik.
l. Mengeluarkan file output dalam bentuk .txt,
yang berisi kode mesin L00, G00, dan G01
di ikuti koordinat lintasanya.
6. Simulasi Program dan Analisa Hasil Simulasi program dilakukan dengan
menggunakan komputer yang memiliki spesifikasi
Processor Intel Pentium Dual Core 3.20 GHz dan
Memory 512 MB. Skenario simulasi dilakukan
dengan tiga model prismatik dan tiga model
berkontur dengan nilai parameter slice interval dan
hatch space berbeda.
Model 1 Model 2
Model 3 Model 4
Model 5 Model 6
Gambar 16 : Model berkontur dan prismatik
8
Gambar 17 : Hasil simulasi model 1
Pada simulasi Model 1, parameter layer
thickness 2.50 mm, dan hatch space 1.50 mm,
program bekerja membuat lintasan pada model
selama 2 s dengan hasil yang baik. Hasil dari
gambar 17 menunjukkan lintasan laser dengan arah
directional parallel. Ada dua warna yang terdapat
pada lintasan laser, warna biru menunjukkan
lintasan laser untuk setiap layer dengan pacaran
laser on, sedangkan warna biru merupakan gerak
lintasan laser menuju ke posisi layer selanjutnya
dengan kondisi laser off. Jumlah layer yang
terbentuk berjumlah 8 layer, jumlah ini berdasarkan
dari jarak pada sumbu-z dibagi dengan layer
thickness. Semakin besar nilai layer thickness yang
dimasukkan maka akan mengurangi jumlah layer.
Dengan kata lain jumlah layer akan bergantung
pada nilai layer thickness yang dimasukkan. Jumlah
lintasan untuk masing-masing layer yang terbentuk
berjumlah 17 lintasan, jumlah ini bergantung pada
jarak sumbu-x dibagi dengan hatch space. Semakin
kecil nilai hatch space maka akan menambah
jumlah lintasan masing-masing layer.
Gambar 18 : File output model 1 dengan kode mesin
Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa program yang dihasilkan berupa
plot lintasan laser dan file output yang berisi G-
Code untuk mesin yang diikuti nilai koordinat.
Pada gambar 18 menunjukkan file output untuk
model ini, didalam file tersebut berisi kode L00
sekaligus menunjukkan tanda lokasi layer ke
berapa, diikuti G00 yang berarti gerak laser menuju
koordinat tujuan atau layer berikutnya dengan
kondisi laser off. Sedangkan G01 merupakan gerak
laser menuju koordinat tujuan dengan kondisi laser
on.
Gambar 19 : Hasil simulasi model 2
Pada gambar 19 merupakan hasil program
pada model yang berbentuk seperti cincin. Proses
generate dilakukan dengan nilai layer thicknes 1.50
mm, dan hatch space 2.50 mm. Lintasan laser
terbentuk pada model setelah proses berjalan 10 s,
dan hasilnya cukup baik walaupun model 2 ini
terbentuk dari kurva lingkaran. Jumlah layer
sebanyak 5 merupakan hasil bagi dari jarak sumbu-
z terhadap nilai layer thickness. Sedangkan jumlah
lintasan sebanyak 40 merupakan hasil dari
pembagian diameter lingkaran dengan hatch space.
Dari plot yang dihasilkan terdapat dua
warna garis. Garis biru merupakan garis lintasan
dengan kondisi laser on, dan garis merah
merupakan garis lintasan dengan laser off. Karena
model 2 ini merupakan bentuknya cincin yang
tengah-tengahnya berlubang, maka hasil laser
trajectory pada bagian lubang ditengah akan
terbentuk garis warna merah, karena bagian
tersebut dinyatakan dengan kondisi laser off.
Gambar 20 : Hasil simulasi model 3
9
Gambar 21 : Hasil simulasi model 4
Hasil gambar 21 menunjukkan lintasan
laser memiliki pola yang teratur walaupun pada
benda berkontur. Seperti pada model prismatik,
jumlah layer tergantung dari nilai layer thickness
yang dimasukkan, sedangkan jumlah lintasan untuk
tiap-tiap layer tergantung nilai hatch space. Pada
bagian berkontur akan nampak seperti efek
bertangga (stair step effect) dari setiap layer. Efek
ini dapat menyebabkan berkurangnya kualitas
permukaan produk yang dihasilkan. Pengaruh ini
dapat dikurangi dengan memperkecil nilai layer
thickness yang dimasukkan. Tetapi akibatnya akan
memperlama proses pembuatan karena semakin
banyak jumlah layer yang harus di buat lintasannya.
Waktu yang diperlukan untuk proses
pembuatan model ini sekitar 6 s, dengan kondisi
nilai parameter layer thickness 1.50 mm dan hatch
space 1.00 mm. Nilai ini terlalu besar dan sangat-
sangat tidak akurat jika dibuat dalam prototyping.
Nilai yang dimasukkan ini sebatas untuk simulasi
dan pemodelan agar mudah dilihat lintasannya.
Gambar 22 : Hasil simulasi model 5
Gambar 23 : Hasil simulasi model 6
Model 6 pada gambar 23 memperlihatkan
laser trajectory dengan nilai layer thickness 2.00
mm, dan hatch space 2.00 mm. Waktu proses
pembuatan model ini sekitar 92 s.
Bentuk permukaan atas dari model ini
sebenarnya bergelombang, tetapi karena bentuk
grafik di software pemrograman ini tidak diatur
sehingga seakan-akan seperti ada celah ditengah.
Namun bentuk lintasan yang ada sudah tampak
jelas dan mengikuti pola yang sesuai dengan
algoritma.
Lintasan setiap layer terdiri dari garis-garis
lurus dengan jarak antar garis disesuaikan dengan
nilai hatch space. Lintasan tersebut dibatasi oleh
lingkaran yang terbentuk dari titik-titik hasil
perpotongan model facet terhadap bidang-z.
Dengan merubah nilai layer thickness dan hatch
space dari model 6 tersebut dapat diperoleh
hubungan antara nilai parameter dengan waktu
generate trajectory model.
Tabel 1 Hubungan nilai parameter terhadap waktu
generate trajectory model 6 (40 x 20 mm)
Dari tabel 1 menunjukkan adanya
hubungan antara nilai parameter prototyping
dengan jumlah layer dan waktu generate model
berkontur. Semakin kecil nilai parameter yang
dimasukkan maka semakin banyak jumlah layer
yang dihasilkan dan semakin besar waktu yang
dibutuhkan untuk membuat model tersebut. Pada
gambar 24 terlihat grafik hubungan antara
parameter prototyping terhadap waktu generate.
Hubungan ini tidek linier terutama pada nilai layer
10
thickness dan hatch space yang kecil terlihat waktu
yang semakin lama.
0
50
100
150
200
250
300
350
400
LT:0.25, HS:0.25 LT:0.50, HS:0.50 LT:1.00, HS:1.00 LT:1.50, HS:1.50 LT:2.00, HS:2.00
LT:layer thickness, HS:hatch space
Tim
e (
s)
Gambar 24 : Grafik hubungan antara parameter prototyping
terhadap waktu.
Keakuratan permukaan dapat dijelaskan
sebagai deviasi geometri dari model CAD
sebelumnya terhadap produk. Kerugian keakuratan
merupakan error yang diperoleh dari tiga tahapan
proses, yaitu : (1) pre-process errors, (2) process
planning errors; dan (3) post-process errors.
Pre-process errors merupakan errror yang
tidak bisa dipisahkan dari representasi model
produk sistim CAD untuk tujuan pertukaran data.
Permukaan model produk biasanya
direpresentasikan dalam format STL, yang berisi
sekumpulan facet segitiga. Errror ini akibat dari
nilai chordal error pada saat exporting file ke
format STL. Biasanya nilai ini diset sebelum
triangulasi model CAD dilakukan. Semakin kecil
nilai chordal maka semakin baik permukaan yang
terfasetisasi. Penelitian mengenai pengaruh error
ini belum dilakukan pada saat ini, tetapi dari
penelitian ini bisa didapatkan gambaran mengenai
pengaruh error awal untuk penelitian lebih lanjut.
Process planning error, error ini terbentuk
pada bagian yang mengalami “stair-step effect”,
seperti ditunjukkan dalam gambar 25, dan
pengaruhnya akan menjadi lebih jelas dan nyata
pada permukaan berkontur. Error ini dapat dihitung
dengan tinggi cusp, yaitu jarak antara yang
diharapkan dengan pendekatan permukaan pada
tiap facet.
Gambar 25 : Stairs-step effect terhadap ketebalan layer [6]
Dengan gambar 25, process planning error bisa
ditentukan dengan menghitung nilai Cusp height
sebagai berikut [6],
Cusp height (hc) = bc cos θ (f)
Maximum cusp height (MCH) = max (hc) (g)
Average cusp height (ACH) =
f
N
i ci
N
hf∑
=1 (h)
Jadi error pada saat perencanaan proses dapat
dihitung dari nilai rata-rata cusp height yang
mencerminkan pertengahan deviasi linier dari
semua facet, dan nilai error maksimum terjadi saat
cusp height maksimum. Untuk itu penelitian
mengenai nilai error ini bisa dilakukan pada
penelitian lebih lanjut, karena titik potong untuk
setiap z dari algoritma ini telah diketahui.
Post-process error termasuk error proses,
shrinkage dan warpage. Error proses terutama pada
mekanisme penggerakan (deliver) laser dan sudut
dorongan (induced angle) dengan permukaan
produk yang dibuat. Error shrinkage terutama pada
solidifikasi produk yang dibuat. Untuk proses rapid
prototyping yang menggunakan energi panas untuk
solidifikasi/sinter material, seperti SLS, prototype
cenderung untuk menyusut setelah mendingin.
Warpage adalah bentuk lain ketidakakuratan yang
disebabkan oleh distribusi yang tidak seimbang dari
energi panas dan resultan gaya pengikatan. Error
ini jelas belum bisa dihitung jika belum
diimplementasikan ke mesin. Diharapkan dengan
adanya pengembangan ini berlanjut ke pembuatan
mesin rapid prototyping untuk diperoleh hasil yang
sempurna dari rangkaian penelitian.
7. Kesimpulan Dari hasil simulasi, penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Algoritma yang dikembangkan sudah dapat
membuat laser trajectory untuk produk
berkontur dan prismatik dengan arah
lintasan directional parallel, dan seluruh
bagian dalam dari kontur tiap layer terisi
penuh dengan lintasan.
2. Untuk melakukan proses slicing maka
informasi index segitiga, index vertex dan
koordinat vertex perlu disimpan dahulu
dalam sebuah struktur data vektor.
3. Parameter prototyping seperti:
ketebalan layer (layer thickness), hatch
space dan orientasi model produk
sangat penting dalam rapid prototyping
karena mempengaruhi keakuratan
11
permukaan dan waktu proses
pembuatan. 4. Keakuratan permukaan dapat dijelaskan
sebagai deviasi geometri dari model CAD
sebelumnya terhadap produk yang
menyebabkan kerugian keakuratan.
Kerugian keakuratan, pertama tergantung
pada proses awal karena pertukaran data
pada sistim CAD ke format STL. Kerugian
kedua pada tahap proses perencanaan
dimana pada bagian produk berkontur
akan terbentuk effek tangga bertingkat
(stair-step) yang tampak jelas akibat layer
thickness yang besar. Dan kerugian ketiga
pada saat proses, kerugian pada saat proses
terutama pada mekanisme penggerakan
(deliver) laser dan sudut dorongan (induced
angle) dengan permukaan produk dan
kerugian akibat proses solidifikasi.
5. Parameter layer thickness akan
mempengaruhi jumlah layer, semakin kecil
parameter ini dimasukkan maka semakin
banyak jumlah layer yang dihasilkan,
menyebabkan semakin mendekati model
sebenarnya sehingga effek bertangga bisa
dikurangi untuk model berkontur. Tetapi
dengan banyaknya jumlah layer perlu
diperhatikan waktu pembuatan karena akan
semakin lama prosesnya.
6. Parameter hatch space akan mempengaruhi
jumlah lintasan untuk setiap layer. Nilai
yang kecil menyebabkan jumlah lintasan
semakin banyak sehingga jarak total dari
laser trajectory semakin panjang.
7. Pemilihan orientasi pembuatan pada
sumbu-z memudahkan proses slicing untuk
setiap layer, karena bidang potong tegak
lurus dengan sumbu-z.
8. Saran Penelitian Lebih Lanjut
Penelitian ini baru sebatas pembuatan laser
trajectory untuk produk prismatik dan produk
berkontur dalam bentuk simulasi grafik dan file G-
Code dengan format kode mesin dan koordinatnya.
Untuk itu perlu dilakukan proses pertukaran data ke
perangkat ke kontroler mesin agar bisa dilakukan
pengujian dan sekaligus sebagai pengembangan
mesin rapid prototyping demgan
mempertimbangkan error yang terjadi. Parameter-
parameter lain seyogyanya bisa dikembangkan
dengan penambahan parameter pemilihan orientasi
yang diinginkan, tidak harus dengan sumbu-z,
tetapi bisa fleksibel dengan orientasi produk yang
sesuai. Selain itu metode adaptive slicing bisa
dikembangkan untuk simulasi selanjutnya untuk
melengkapi program pengembangan mesin
prototyping yang bermutu.
DAFTAR ACUAN [1]. DeGarmo E.P., Black J.T., Kohser R.A.,
Klamecki B.E., Materials and Processes in
Manufacturing, ninth edition, John Wiley &
Sons, Inc., 2003, pp. 862.
[2]. Wholers T., Rapid Prototyping State of The
Industry – 1999 World Wide Progress, RPA-
SME Publication, 1999.
[3]. Bourell D.L, Beaman J.J, Marcus H.L, Barlow
J.W., Solid freeform fabrication: an advanced
manufacturing approach, Proceedings of the
SFF Symposium, 1990, pp. 1-7.
[4]. Diane A.S., Chu K.R., Montgomery D.C.,
Optimising Stereolythography throughput,
Journal of Manufacturing Systems, 1997,
vol.16, no.4, , pp.290 – 303.
[5]. Zhou J.G., Hersovici D., Parameter Tuning
and Optimisation for SLA Rapid Prototyping
Manufacturing Process, in: Proceeding of the
international Converence on Manufacturing
Automation (ICMA’97), 1997, vol.2, , pp.894 –
902.
[6]. Choi S.H., Samavedam S., Modelling and
Optimisation of Rapid Prototyping, Computer
in Industry, Elsevier, 2002, vol.47, pp.39-53.
[7]. Koc B., Lee Y.-S., Computational Geometric
Analysis and Planning for 3D Rapid
Prototyping Processes, Dissertation of
Industrial Engineering, North Carolina State
University, 2001, pp. 13
[8]. Gandjar K., Mujahid A., Pengembangan
Algoritma Cepat Penentuan Titik Kontak Pahat
(cutter contact point) pada Sistim-CAM
Berbasis Model Facet 3D Untuk Pemesinan
Awal (roughing) dan Akhir (finishing),
Prociding SNTTM V, UI Jakarta, 2006.
[9]. Kulkarni P., Marsan A., Dutta D., A review of
process planning techniques in layered
manufacturing, Rapid Prototyping Journal,
2000, vol.6, no.1, pp.18–35.
[10]. Dolenc A., Makila I., Slicing procedures for
layered manufacturing techniques, Computer
Aided Design, 1994, vol.26, no.2, pp.119–26.
[11]. Kulkarni P., Dutta D., An Accurate Slicing
Procedure for Layered Manufacturing,
Computer-Aided Design, 1996, vol. 28, no. 9,
pp.683-697.
[12]. Choi S.H., Kwok K.T., Hierarchical Slice
Contours for Layered-Manufacturing,
Computer in Industry, Elsevier, 2002, vol.48,
pp.219-239.
[13]. Asiabanpour B., Khoshnevisb B., Machine
path generation for the SIS process, Robotics
12
and Computer-Integrated Manufacturing, 2004,
vol.20, pp.167–175.
[14]. Dutta D., Prinz F.B., Rosen D., Weis L.,
Layered Manufacturing: Current Status and
Future Trends, Journal of Computing and
Information Science in Engineering, 2001, vol.
1, pp.63-65.
[15]. Choi S.H., Samavedam S., Visualisation of
rapid prototyping, Rapid Prototyping Journal,
2001, vol. 7, no. 2, pp. 99-114.
[16]. www.rp4baghdad.org, download 06:02:08,
jam 14.30.
50