perhitungan dinamika fluida berbasis teori medan dengan lattice
TRANSCRIPT
Perhitungan Dinamika Fluida Berbasis Teori
Medan dengan Lattice Gauge Theory
Tugas Akhir
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains
Heribertus Bayu Hartanto
0302027016
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Depok
2006
Lembar Persetujuan
Judul Skripsi : Perhitungan Dinamika Fluida Berbasis Teori Medan dengan
Lattice Gauge Theory
Nama : Heribertus Bayu Hartanto
NPM : 0302027016
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui
Depok, Mei 2006
Mengesahkan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. L. T. Handoko Dr. Terry Mart
Penguji I Penguji II
Dr. Imam Fachrudin Dr. Anto Sulaksono
Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih karena berkat dan penyertaan-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih yang tak ter-
hingga penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta dan segenap keluarga
atas dukungan yang diberikan selama penyelesaian tugas akhir ini. Topik yang
di-kerjakan pada tugas akhir ini menurut penulis sangat menarik, karena me-
rupakan suatu pendekatan yang baru dalam dinamika fluida. Dinamika fluida
yang biasanya diselesaikan dengan mekanika klasik, diformulasikan dengan teori
medan gauge dan untuk menghitung energi dilakukan dengan menggunakan Lat-
tice Gauge Theory, tool yang biasa dipakai dalam fisika partikel. Penulis secara
khusus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pe-
nyelasaian tugas akhir ini baik secara langsung maupun tidak langsung, antara
lain:
1. Dr. L.T. Handoko selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis
mulai dari awal diskusi hingga penyelesaian tugas akhir ini serta atas ide-
ide, dukungan dan saran yang diberikan.
2. Dr. Terry Mart selaku pembimbing II dan ketua peminatan Fisika Nuklir
dan Partikel atas bimbingan dan dukungan yang diberikan baik itu selama
kuliah maupun pengerjaan tugas akhir ini.
3. Rekan-rekan di Lab Teori, khususnya grup diskusi Lattice: Nowo dan Juju,
Beriya, Popo, Handhika, Arum, Ardy, Nita, Harykin, Chandi, Pak Ayung,
Pak Sulaiman, Mas Parada.
4. Semua teman-teman fisika angkatan 2002, ”rekan-rekan kerja” di Lab Fi-
sika Dasar, teman-teman di KMK MIPA dan KMK UI yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
iii
5. Special gift from God, Melvi, untuk dukungan dalam setiap langkah penulis,
dalam senang maupun sedih.
6. Juga semua pihak yang tidak dapat disebutkan di sini atas dukungan dan
doa kepada penulis selama penyelesaian tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi perkembangan
riset di Fisika UI.
Depok, Mei 2006
Heribertus Bayu
iv
Abstrak
Dinamika fluida berbasis teori medan diformulasikan dalam kisi ruang waktu
diskrit. Dengan formulasi tersebut dihitung selisih energi eksitasi (∆E) dari in-
teraksi antara materi dengan fluida dengan menggunakan simulasi Metropolis
Monte Carlo. Berdasarkan simulasi tersebut, diperoleh bahwa hubungan ∆E de-
ngan kecepatan fluida dari interaksi materi dengan fluida tidak bergantung pada
besarnya konstanta kopling interaksi g. Formulasi ini memberikan pemahaman
dasar untuk perhitungan bermacam-macam observable dari fenomena yang di-
modelkan dengan Lagrangian dinamika fluida dimana tidak ada jaminan teori
perturbasi berlaku.
Kata kunci: lagrangian Navier Stokes, lattice gauge theory
viii+34 hlm.; lamp.
Daftar Acuan: 10(1996-2006)
Abstract
Fluid dynamics based on the gauge field theory is formulated on a discrete space-
time lattice. Using this formulation, the difference of excitation energy (∆E)
from the interaction of fluids and matter is calculated using Metropolis Monte
Carlo simulation. From the simulation, it is found that relation between ∆E
with the velocity of fluid from the interaction of fluid and matter is not depend
on the interaction coupling constant g. This formulation provides basic knowledge
to calculate some observables for phenomenon modeled with the fluid dynamics
Lagrangian where the pertubation theory cannot be guaranteed.
Keywords: Navier Stokes lagrangian, lattice gauge theory
viii+34 pp.; appendices.
References: 10(1996-2006)
v
Daftar Isi
Kata Pengantar iii
Abstrak v
Daftar Isi vi
Daftar Gambar vii
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.3 Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.4 Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
2 Dinamika Fluida Berbasis Teori Medan 4
2.1 Dinamika Fluida . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
2.2 Teori Medan Gauge untuk Dinamika Fluida . . . . . . . . . . . . 6
2.3 Sistem Multi Fluida . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11
3 Teori Medan Gauge pada Lattice 13
3.1 Path Integral pada Mekanika Kuantum . . . . . . . . . . . . . . . 13
3.2 Teori Medan Kuantum dengan Path Integral . . . . . . . . . . . . 16
3.3 Diskritisasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
3.4 Transformasi Gauge pada Lattice . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20
4 Hasil dan Pembahasan 24
5 Kesimpulan 34
vi
Daftar Acuan 35
A Evaluasi Path Integral dengan Metode Monte Carlo 36
B Pemrograman 40
vii
Daftar Gambar
3.1 Interval waktu diskrit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
3.2 Lintasan partikel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
3.3 Lattice atau kisi 3 dimensi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
3.4 Lintasan C antara x dan y . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
3.5 Uµνx pada sebuah Plaquette . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22
4.1 Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida vuntuk g = 1. . . . . . . . . 28
4.2 Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida v untuk g = 0.01. . . . . . . 29
4.3 Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida beberapa nilai Ncf . . . . . . 30
4.4 Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida untuk Ncf = 100 dengan dan
tanpa bootstrap. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
4.5 Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida untuk beberapa nilai a. . . 32
4.6 Grafik ∆E terhadap v untuk m = 500 GeV, g = 1 dengan dan
tanpa bootstrap sampling. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
4.7 Grafik ∆E terhadap v untuk m = 500 GeV, g = 0, 01 dengan dan
tanpa bootstrap sampling. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
viii
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dinamika fluida secara matematis dideskripsikan oleh persamaan Navier-Stokes.
Persamaan ini diturunkan baik itu dari Hukum II Newton maupun hukum kekekal-
an massa. Sifat nonlinier pada persamaan Navier-Stokes mengakibatkan persa-
maan tersebut sulit untuk diselesaikan karena pada sistem nonlinier solusinya
tidak dapat disuperposisikan[1]. Sementara itu, banyak sistem-sistem yang da-
pat dimodelkan dengan menggunakan dinamika fluida seperti kosmologi turbu-
len, quark-gluon plasma, dll yang memerlukan solusi tersebut untuk melakuk-
an perhitungan-perhitungan berikutnya. Pendekatan alternatif untuk dinamika
fluida telah dilakukan dengan menggunakan metode mekanika analitik dengan
menggunakan lagrangian boson yang invarian terhadap transformasi gauge. Me-
tode ini telah diaplikasikan pada sistem fluida yang berinteraksi dengan soliton
yaitu protein α heliks yang berinteraksi dengan biofluida [2]. Lagrangian yang
invarian terhadap transformasi gauge tersebut dapat diformulasikan untuk sistem
relativistik yang invarian terhadap transformasi Lorentz sehingga dengan meng-
gunakan persamaan Euler-Lagrange dapat diperoleh persamaan Navier-Stokes
relativistik [4]. Dinamika fluida berbasis teori medan ini dapat juga digunak-
an untuk mendeskripsikan sistem multi fluida dengan menggunakan lagrangian
yang invarian terhadap transformasi gauge non-Abelian. Dengan menggunakan
pendekatan alternatif dinamika fluida ini kita dapat mengeksplorasi lebih lanjut
sistem-sistem yang dimodelkan dengan menggunakan fluida tanpa harus mencari
solusi persamaan Navier Stokes.
1
1.2 Perumusan Masalah
Pendekatan alternatif untuk formulasi dinamika fluida dari first principle telah
dilakukan dengan menggunakan mekanika analitik. Persamaan Navier-Stokes di-
turunkan sebagai persamaan gerak dari lagrangian boson yang invarian terhadap
transformasi gauge dengan menggunakan persamaan Euler-Lagrange. Interaksi
antara fluida dengan materi dapat dimodelkan dengan menggunakan lagrangian
medan boson yang merepresentasikan materi dengan medan gauge yang merep-
resentasikan fluida. Perhitungan observable dari interaksi antara materi dengan
fluida dapat dilakukan dengan mengevaluasi path integral. Namun besarnya kon-
stanta kopling interaksi g antara fluida dan materi tidak diketahui, sehingga path
integral tidak dapat dihitung secara perturbatif.
Perhitungan secara non-perturbatif dapat dilakukan dengan menggunakan Lattice
Gauge Theory. Lattice Gauge Theory digunakan pada teori Quantum Chromo-
dynamics atau sering disebut dengan Lattice QCD untuk menghitung besaran-
besaran QCD pada energi rendah, karena konstanta kopling QCD makin besar
pada energi rendah. Pada Lattice Gauge Theory, aksi disusun pada kisi ruang
dan waktu diskrit sehingga memungkinkan path integral dihitung secara nume-
rik dengan menggunakan metode Metropolis Monte Carlo. Dengan menghitung
observable dari lagrangian ini maka diharapkan kita bisa mempelajari perilaku
atau sifat-sifatnya terutama terhadap konstanta kopling g.
1.3 Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat teoritik. Teori yang digunakan ialah dinamika fluida dengan
pendekatan teori medan gauge. Untuk memperoleh observable dari teori ini,
aksi yang menggambarkan interaksi antara materi dengan fluida terlebih dahulu
diformulasikan dalam ruang dan waktu diskrit. Setelah itu dapat dihitung energi
dengan mengevaluasi path integral menggunakan metode Monte Carlo.
2
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari teknik dasar perhitungan Lattice
Gauge Theory dengan menggunakan metode Metropolis Monte Carlo dan im-
plementasinya pada pemrograman serta menghitung observable dari dinamika
fluida berbasis teori medan dengan menggunakan Lattice Gauge Theory. Pene-
litian difokuskan pada formulasi teori gauge untuk fluida pada kisi ruang waktu
diskrit dan perhitungan energi dari interaksi fluida dengan materi.
3
Bab 2
Dinamika Fluida Berbasis Teori
Medan
Pada bab ini penulis akan membahas secara singkat teori mengenai dinamika
fluida baik itu secara klasik maupun dengan pendekatan berbasis teori medan.
2.1 Dinamika Fluida
Fluida didefinisikan sebagai bahan yang mengalami deformasi (perubahan ben-
tuk) secara kontinu bila dikenai tegangan geser. Dinamika fluida merupakan
cabang dari ilmu fisika yang mempelajari aliran fluida (cairan dan gas). Secara
matematis, dinamika fluida digambarkan oleh persamaan Navier-Stokes
∂~v
∂t+ (~v · ~∇)~v = −1
ρ~∇P + µ~∇2~v (2.1)
dengan ~v ialah kecepatan fluida, P ialah tekanan, ρ ialah kerapatan dan µ ialah
koefisien viskositas. Persamaan ini diturunkan dari hukum II Newton dan hukum
kekekalan massa. Hukum kekekalan massa menyatakan bahwa fluida tidak da-
pat diciptakan maupun dimusnahkan. Bila kita memberi gangguan pada fluida,
massa awal dan akhir fluida haruslah sama. Perhatikan volume suatu fluida V
dengan S merupakan permukaan tertutup dari volume V . Massa dari fluida ia-
lah∫
VρdV , sementara massa fluida per satuan waktu yang melewati permukaan
tertutup S ialah∮
(ρ~v) · dS sehingga hukum kekekalan massa dapat dinyatakan
sebagai berikut∮
(ρ~v) · dS = − ∂
∂t
∫
V
ρdV (2.2)
4
dengan menggunakan teorema Gauss diperoleh,∫
V
~∇ · (ρ~v)dV = − ∂
∂t
∫
V
ρdV
∫
V
[
∂ρ
∂t+ ~∇ · (ρ~v)
]
dV = 0
∂ρ
∂t+ ~∇ · (ρ~v) = 0 (2.3)
Hukum II Newton tidak lain merupakan bentuk kekekalan momentum yang me-
miliki bentuk
~F = md2~x
dt2(2.4)
Gaya yang dialami oleh fluida yang bergerak ialah
1. Gaya badan, yang bekerja secara langsung pada volume massa dari elemen
fluida. Contohnya ialah gaya gravitasi, listrik dan magnet.
2. Gaya permukaan, yang bekerja secara langsung pada permukaan elemen
fluida. Hanya ada 2 sumber gaya jenis ini: (a) distribusi tekanan pada per-
mukaan dan (b) distribusi regangan dan tegangan normal pada permukaan
elemen fluida.
untuk aliran fluida, m → ρV dan percepatan,
d2~x
dt2→ D~v
Dt
denganD
Dt=
∂
∂t+ ~v · ~∇.
Maka hukum II Newton untuk aliran fluida ialah
ρD~v
Dt=
~F
V(2.5)
Gaya yang fundamental pada aliran fluida ialah gradien tekanan yang dapat
ditulis sebagai berikut,Fi
V= − ∂
∂xk
Πik, (2.6)
dimana tensor tekanan diberikan oleh
Πik = Pδik − σik, (2.7)
5
dengan P tekanan dan σik ialah tensor viskositas. Tensor viskositas secara umum
merupakan tensor asimetrik. Tensor viskositas dapat ditulis [3],
σij = η
(
∂vi
∂xk
+∂vk
∂xi
− 2
3δij
~∇ · ~v)
+ νδik~∇ · ~v, (2.8)
dimana η dan ν merupakan koefisien viskositas kinematik dan dinamik. Subs-
titusi persamaan (2.6), (2.7) dan (2.8) ke hukum II Newton untuk fluida pada
persamaan (2.5),
ρ
(
∂~v
∂t+ (~v · ~∇)~v
)
= −~∇P + η~∇2~v +
(
ν +1
3η
)
~∇(~∇ · ~v). (2.9)
Untuk fluida inkompresibel ~∇ · ~v = 0 dan µ ≡ η/ρ diperoleh persamaan Navier
Stokes untuk fluida inkompresibel
∂~v
∂t+ (~v · ~∇)~v = −1
ρ~∇P + µ~∇2~v (2.10)
seperti pada persamaan (2.1).
2.2 Teori Medan Gauge untuk Dinamika Fluida
Persamaan Navier-Stokes menggambarkan sistem nonlinier dengan kecepatan
aliran ~v ≡ ~v(xµ), dimana xµ adalah ruang 4 dimensi, xµ ≡ (x0, xi) = (ct, ~r) =
(ct, x, y, z). Dalam hal ini digunakan ruang Minkowski dengan tensor metrik
gµν = (1,−~1) = (1,−1,−1,−1) sehingga x2 = xµxµ = xµgµνxν = x2
0 − x2 =
x20−x2
1−x22−x2
3. Karena persamaan Navier-Stokes diturunkan dari hukum II New-
ton, secara prinsip persamaan tersebut dapat diturunkan dari mekanika analitik
dengan menggunakan prinsip aksi terkecil dan telah dikerjakan dalam sejumlah
paper demikian pula dengan formulasi dinamika fluida menggunakan lagrangi-
an berdasarkan pada simetri gauge. Beberapa tulisan juga menghubungkannya
dengan persamaan Maxwell. Perlu diingat bahwa persamaan Navier-Stokes dan
persamaan Maxwell menggambarkan sistem yang berbeda, namun dapat diambil
analogi terutama dalam melakukan konstruksi dari lagrangian dinamika fluida.
Pada subbab ini akan dijelaskan konstruksi persamaan Navier-Stokes dari first
principle mekanika analitik yaitu dimulai dari lagrangian density. Diperhatikan
juga bahwa persamaan Navier-Stokes merupakan sistem ruang 4 dimensi, dengan
6
demikian dapat digunakan metode pada teori medan relativistik yang memperla-
kukan ruang dan waktu dalam dimensi yang sama. Persamaan Navier-Stokes di-
turunkan sebagai persamaan gerak dari lagrangian boson yang invarian terhadap
transformasi gauge dan transformasi Lorentz melalui persamaan Euler-Lagrange.
Lagrangian untuk medan boson yang invarian terhadap transformasi gauge lokal
ialah
L = (∂µφ∗)(∂µφ) + V (φ) + LA (2.11)
dimana
LA = −1
4FµνF
µν + gJµAµ + g2AµA
µφ∗φ (2.12)
dengan kuat tensor Fµν ≡ ∂µAν − ∂νAµ, sementara arus vektor empatnya,
Jµ = i [φ(∂µφ∗) − φ∗(∂µφ)] (2.13)
memenuhi kekekalan arus ∂µJµ = 0. Suku-suku tambahan pada LA dibutuhkan
agar lagrangian boson tersebut invarian terhadap transformasi gauge lokal U =
exp[−iθ(x)] sehingga,
φ → φ′ = e−iθ(x)φ ≈ (1 − iθ(x))φ (2.14)
Aµ → Aµ′ = Aµ +
1
g(∂µθ) (2.15)
Seperti disebutkan pada [1], kita dapat memperoleh bentuk persamaan yang mi-
rip dengan persamaan Maxwell dari persamaan Navier-Stokes dengan mengganti
medan magnet dan medan listrik dengan vektor Lamb dan vortisitas
~E → ~l = ~ω × ~v
~B → ~ω = ~∇× ~v
sehingga persamaan ”Maxwell” untuk fluida ialah
~∇ ·~l = ρ
~∇×~l = −∂~ω
∂t~∇ · ~ω = 0
~∇× ~ω = α~j + α∂~l
∂t
7
dengan α = 1/~v2. Hasil ini memberi petunjuk bahwa kita dapat mengkonstruksi
lagrangian yang bentuknya mirip dengan lagrangian elektrodinamika kuantum
yaitu LA pada persamaan (2.12). Klaim ini telah dibuktikan dengan mengambil
bentuk spesifik dari medan gauge,
Aµ =(
Φ, ~A)
=
(
1
2|~v|2 + V,−~v
)
(2.16)
dengan ~v ialah kecepatan fluida dan V ialah potensial yang diakibatkan oleh gaya
konservatif. Pemilihan bentuk medan gauge tersebut jelas tidak memenuhi tran-
sformasi Lorentz secara eksplisit. Di sisi lain, pemilihan ini menunjukkan bahwa
pada dinamika fluida, potensial skalar merupakan energi total per satuan massa
yang terdiri dari rapat energi kinetik dan rapat potensial eksternal, sementara
potensial vektor menggambarkan dinamika dalam suku kecepatan. Dengan de-
mikian, LA pada persamaan (2.12) tidak lain ialah lagrangian yang menghasilkan
persamaan Navier-Stokes dengan pemilihan medan gauge di atas, LA = LNS.
Berdasarkan prinsip aksi terkecil δS = 0 dengan S =∫
d4xLNS dapat diperoleh
persamaan Euler-Lagrange
∂ν∂LNS
∂(∂νAµ)− ∂LNS
∂Aµ
= 0 (2.17)
Substitusi persamaan (2.12) ke persamaan Euler-Lagrange di atas menghasilkan
persamaan gerak dalam Aµ,
∂ν(∂µAν) − ∂2Aµ + gJµ = 0. (2.18)
Aµ diperhatikan sebagai medan fluida. Relasi nontrivial diperoleh untuk µ 6= ν
sehingga dapat menghasilkan persamaan Navier-Stokes.
Untuk memperoleh persamaan Navier-Stokes relativistik, kita dapat mendefini-
sikan medan gauge Aaµ =
(
Φ, ~A)
dengan potensial skalar dan vektornya sebagai
berikut [4],
Φ = −c2
√
1 − |~v|2c2
+ Vrel, (2.19)
~A = −~v, (2.20)
8
dengan Vrel menyatakan potensial relativistik eksternal. Suku pertama pada per-
samaan (2.19) menunjukkan versi relativistik energi kinetik persatuan massa.
Substitusi persamaan (2.19) dan (2.20) ke persamaan (2.18), diperoleh persama-
an Navier-Stokes relativistik,
∂~v
∂t− c2~∇
√
1 − |~v|2c2
= −~∇Vrel + g ~J (2.21)
dengan Ji ≡∫
dxiJ0 = −∫
dtJi. Kita dapat memperoleh bentuk nonrelativistik
dengan mengambil |~v| ≪ c dan menggunakan relasi
1
2~∇|~v|2 = (~v · ~∇)~v + ~v × (~∇× ~v)
sehingga,∂~v
∂t+ (~v · ~∇)~v = −~∇V − ~v × (~∇× ~v) + g ~J, (2.22)
di mana diasumsikan relasi eksplisit untuk gaya eksternal ~∇Vrelnon−rel−→ ~∇V .
Dengan demikian persamaan Navier-Stokes untuk sembarang gaya konservatif te-
lah dibentuk dengan menggunakan teori medan gauge. Terlihat pada persamaan
(2.22) terdapat gaya tambahan, yaitu pada suku g ~J dan suku ~v × (~∇× ~v) yang
relevan untuk fluida rotasional ~∇× ~v. Rapat potensial yang dialami pada fluida
antara lain:
V (~r) =
P (~r)/ρ(~r) : tekananGm/|~r| : gravitasi
(µ + η)(~∇ · ~v) : viskositas
dengan P, ρ,G, µ+η menyatakan tekanan, kerapatan, konstanta gravitasi dan vis-
kositas. Bila kita hitung gradien dari potensial tekanan untuk kerapatan konstan
dan gradien potensial viskositas,
~∇Vtekanan =1
ρ~∇P
~∇Vviskositas = η~∇(~∇ · ~v) + µ(~∇2~v) + µ(~∇× ~∇× ~v)
dan memasukkan keduanya pada persamaan (2.22), maka akan diperoleh,
∂~v
∂t+ (~v · ~∇)~v = −1
ρ~∇P − η~∇(~∇ · ~v) + µ(~∇2~v)
+µ(~∇× ~∇× ~v) − ~v × (~∇× ~v) + g ~J. (2.23)
9
Untuk fluida irotasional ~∇× ~v = 0 dan fluida inkompresibel ~∇ · ~v = 0,
∂~v
∂t+ (~v · ~∇)~v = −1
ρ~∇P + µ(~∇2~v) + g ~J. (2.24)
Persamaan di atas tidak lain ialah merupakan persamaan Navier-Stokes untuk
fluida irotasional inkompresibel seperti pada persamaan (2.10). Persamaan Na-
vier Stokes relativistik (2.21) invarian terhadap transformasi Lorentz,
xi → x′i =
xi − vit√
1 − |~v|2/c2, t → t′ =
t − xi/vi√
1 − |~v|2/c2
dan ~J → ~J ′ =√
1 − |~v|2/c2 ~J .
Dari model yang dibuat untuk dinamika fluida dengan menggunakan teori med-
an gauge, kita dapat melihat interaksi antara fluida (Aµ)dan materi di dalamnya
(φ). Potensial yang terdapat pada potensial skalar muncul akibat gaya konserva-
tif eksternal yang hanya bekerja pada medan fluida (Aµ). Sebaliknya, potensial
pada lagrangian menggambarkan interaksi antar medan boson. Pada dinamika
fluida klasik, arus vektor empat Jµ = (ρ, ρ~v) menggambarkan distribusi makros-
kopik dari kerapatan dan vektor rapat arus. Sementara dalam pendekatan ini,
Jµ menggambarkan fungsi distribusi dari materi di dalam fluida. Hal ini analog
dengan arus pada persamaan Maxwell dan elektrodinamika kuantum yang me-
rupakan hasil dari interaksi pasangan fermion. Konsekuensi dari hasil ini, arus
fluida muncul akibat interaksi dari medan fluida dengan mediumnya. Jadi kita
dapat menginvestigasi dinamika fluida biarpun Jµ = 0. Dengan menggunakan
lagrangian Navier-Stokes, kita juga dapat mempelajari interaksi antara fluida
dengan medium lainnya. Seperti contohnya, potensial pada persamaan (2.11)
disubstitusi dengan
V (φ) = −1
2m2φ2 +
λ
4!φ4
dapat menggambarkan interaksi fluida dengan medium soliton, karena persamaan
gerak terhadap φ yang dihasilkan dari lagrangian ini memenuhi persamaan Klein-
Gordon nonlinear dengan solusi soliton.
10
2.3 Sistem Multi Fluida
Model yang telah dikembangkan pada sub-bab sebelumnya dapat digeneralisasi
untuk sistem multi fluida. Pada sistem ini kita menggunakan simetri SU(N) un-
tuk menggambarkan sistem multi fluida serta interaksinya dengan materi. Untuk
melakukannya, transformasi gauge yang digunakan ialah transformasi gauge lokal
yang bersifat non-Abelian
U = exp(−iT aθa(x)) (2.25)
dimana T a merupakan generator dari grup Lie dan memenuhi relasi komutasi
[T a, T b] = ifabcT c dengan fabc merupakan konstanta struktur antisimetrik. La-
grangian untuk sistem multi fluida dapat dituliskan
L = (∂µφ)†(∂µφ) + V (φ) + LA (2.26)
dimana
LA = −1
4F a
µνFaµν + gJa
µAaµ +i
2fabcg2(φ†T aφ)Ab
µAcµ (2.27)
dengan kuat tensor F aµν ≡ ∂µA
aν − ∂νA
aµ − gfabcAb
µAcν , sementara arus vektor
empatnya,
Jaµ = i
[
(∂µφ)†T aφ − φ†T a(∂µφ)]
(2.28)
dengan transformasi gauge untuk tiap-tiap medan ialah
φ → φ′ = e−iT aθa(x)φ ≈ (1 − iT aθa(x))φ (2.29)
Aaµ → Aa
µ′ = Aa
µ +1
g(∂µθ
a) + fabcθbAcµ (2.30)
Bila Aaµ diperhatikan sebagai medan fluida yang mewakili sekumpulan fluida un-
tuk tiap a, maka kita memiliki sistem multi fluida yang digambarkan oleh per-
samaan persamaan gerak tunggal dimana LA pada persamaan (2.27) merupakan
lagrangian dari persamaan Navier-Stokes (LNS). Sebagai contoh, untuk meng-
gambarkan interaksi antara 2 fluida, dapat digunakan lagrangian yang berbentuk
[5]
Ltotal = LaNS + Lb
NS + Labint (2.31)
dengan Labint merupakan lagrangian interaksi antara dua fluida. Dari model yang
dibuat untuk sistem multi fluida, kita dapat melihat interaksi antara fluida (Aaµ)
11
dan materi di dalamnya (φ) berdasarkan grup simetri SU(N) untuk n×1 medan
φ dan n × n generator T a secara umum.
12
Bab 3
Teori Medan Gauge pada Lattice
Sejak diperkenalkan oleh Feynman pada tahun 1948, metode path integral telah
menjadi alat yang penting untuk fisikawan partikel elementer. Banyak pengem-
bangan modern pada fisika partikel elementer teoritik dibuat berdasarkan metode
ini. Salah satunya ialah formulasi lattice dari teori medan kuantum yang mem-
berikan langkah baru untuk melakukan studi nonperturbatif pada suatu teori
seperti Quantum Chromodynamics [6].
3.1 Path Integral pada Mekanika Kuantum
Untuk melihat bagaimana path integral bekerja, pertama-tama perhatikan sistem
mekanika kuantum satu dimensi yang digambarkan oleh Lagrangian L = L(q, q)
atau Hamiltonian H = H(p, q),
L =1
2mq2 − V (q) (3.1)
H =p2
2m+ V (q) (3.2)
dimana p dan q dihubungkan oleh p = ∂L/∂q = mq. Pada mekanika kuantum, p
dan q menjadi operator dengan relasi komutasi [p, q] = i~.
Amplitudo transisi mekanika kuantum ialah
〈q′, t′| q, t〉 = 〈q′ | e−iH(t′−t) |q〉
= 〈q′ |U(t′, t) |q〉 (3.3)
dengan U(t′, t) = exp(−iH(t′ − t)) merupakan operator evolusi waktu. Selan-
jutnya kita lakukan diskritisasi waktu T = t′ − t = n∆t dengan ∆t merupakan
13
Gambar 3.1: Interval waktu diskrit
interval potongan waktu dan q(t) = qn serta memasukkan n−1 relasi kelengkapan
1 =
∫
dq |q〉 〈q | (3.4)
ke elemen matriks pers.(3.3) diperoleh
〈q′, t′| q, t〉 =
∫
dq1 . . . dqn−1 〈q′ | e−iH∆t |qn−1〉 〈qn−1 | e−iH∆t |qn−2〉
× . . . 〈q2 | e−iH∆t |q1〉 〈q1 | e−iH∆t |q〉 (3.5)
Matriks transfer T didefinisikan sebagai amplitudo transisi suatu sistem pada
selang waktu ∆t dengan elemen matriksnya
〈qk+1 | T |qk〉 = 〈qk+1 | e−iH∆t |qk〉
≈ 〈qk+1 | e−i∆tp2/2m |qk〉 e−i∆tV (qk) (3.6)
Elemen matriks 〈qk+1 | e−i∆tp2/2m |qk〉 dapat dievaluasi dengan menggunakan per-
samaan
〈q| p〉 =1√2π
eqp,
∫
dq |p〉 〈p | = 1 (3.7)
sehingga diperoleh
〈qk+1 | e−iH∆t |qk〉 ≈( m
2πi∆t
)1
2
exp i∆t
m
2
(
qk+1 − qk
∆t
)2
− V (qk)
(3.8)
Amplitudo transisi pers.(3.3) setelah mengevaluasi semua elemen matriks transfer
ialah
〈q′ |U(t′, t) |q〉 =
∫
( m
2πi∆t
)n2
dq1 . . . dqn−1 exp in−1∑
k=0
∆t
m
2
(
qk+1 − qk
∆t
)2
− V (qk)
(3.9)
14
Gambar 3.2: Lintasan partikel
pada n → ∞ atau ∆t → 0,
〈q′ |U(t′, t) |q〉 =
∫
Dq exp i
∫ T
0
dtm
2q2 − V (q)
=
∫
DqeiS (3.10)
dengan
Dq ≡( m
2πi∆t
)n2
dq1 . . . dqn−1 (3.11)
Di sini, S merupakan aksi fungsional dari suatu sistem,
S(q) =
∫ t′
t
dtL(q(t), q(t)), (3.12)
dan∫
Dq menunjukkan integrasi terhadap semua fungsi q(t). Path integral me-
rupakan penjumlahan terhadap semua lintasan q(t). Lintasan klasik, yang me-
menuhi persamaan gerak δS(q) = 0 atau
∂L
∂q− ∂
∂t
∂L
∂q= 0 (3.13)
hanya merupakan satu dari banyak kemungkinan lintasan yang tak berhingga.
Setiap lintasan memiliki bobot exp(iS) [7].
15
3.2 Teori Medan Kuantum dengan Path Inte-
gral
Teori medan kuantum memiliki formulasi lagrangian, dengan demikian kita dapat
melakukan kuantisasi dengan path integral. Pembahasan pada mekanika kuantum
sebelumnya merupakan contoh teori medan pada dimensi ruang 0 dan dimensi
waktu 1: q(t) → φ(t) → φ(x). Untuk mendapatkan formulasi path integral dari
teori medan, dapat dilakukan dengan penggantian variabel dasar q(t) menjadi
medan skalar φ(x, t). Penggantian variabel tersebut antara lain [8]
q(t) ↔ φ(x, t)∏
t
dq(t) ↔∏
t,x
dφ(x, t) ≡ Dφ
S =
∫
dtL ↔ S =
∫
d4xL
Besaran yang penting di teori medan ialah nilai ekspektasi vakum dari produk
time-ordered operator medan, yaitu fungsi Green:
〈0 |φ(x1)φ(x2) . . . φ(xn)) |0〉 , t1 > t2 > . . . > tn (3.14)
seperti contohnya ialah propagator
〈0 |φ(x1)φ(x2) |0〉 (3.15)
Dengan analogi path integral mekanika kuantum kita dapat menuliskan represen-
tasi fungsi Green dalam integral fungsional [9],
〈0 |φ(x1)φ(x2) . . . φ(xn) |0〉 =1
Z
∫
Dφ φ(x1)φ(x2) . . . φ(xn)eiS (3.16)
dengan
Z =
∫
DφeiS (3.17)
Agar path integral dapat dihitung secara numerik, maka dilakukan kontinua-
si analitik ke waktu imajiner. Hal ini dilakukan karena path integral pada
pers.(3.17) terdapat integran yang berosilasi akibat eksponen yang imajiner. De-
ngan melaku-kan substitusi waktu imajiner ini kita bekerja dalam ruang waktu
16
Euclidean dimana sebelumnya ialah ruang waktu Minkowski. Teori medan da-
lam ruang waktu Euclidean disebut dengan teori medan Euclidean atau Euclidean
Field Theory. Kontinuasi dilakukan dengan melakukan substitusi
t = x0 → −ix4 (3.18)
Sebagai contoh, kita akan lakukan kontinuasi ini pada medan skalar. Perhatikan
aksi untuk medan skalar
S =
∫
d4x
[
1
2(∂µφ)(∂µφ) − m2
2φ2
]
(3.19)
Aksi tersebut dapat ditulis dalam bentuk
S =1
2
∫
d4xφ(
−∂2 − m2)
φ (3.20)
bila kita melakukan kontinuasi ke waktu imajiner maka,
d4x = dx0dx1dx2dx3
= −idx1dx2dx3dx4
= −id4xE
∂2 = ∂20 − ∂2
1 − ∂22 − ∂2
3
= −∂24 − ∂2
1 − ∂22 − ∂2
3
= −∂2E
Maka eksponen pada path integral di ruang waktu Euclidean ialah
iS = i1
2
∫
(−i)d4xEφ(
∂2E − m2
)
φ
= −1
2
∫
d4xEφ(
−∂2E + m2
)
φ
= −SE
dengan
SE =1
2
∫
d4xEφ(
−∂2E + m2
)
φ (3.21)
merupakan aksi medan skalar pada ruang waktu Euclidean. Kemudian fungsi
Green versi Euclidean
〈0 |φ(x1)φ(x2) . . . φ(xn) |0〉E =1
Z
∫
Dφ φ(x1)φ(x2) . . . φ(xn)e−SE (3.22)
17
Gambar 3.3: Lattice atau kisi 3 dimensi
dengan
Z =
∫
Dφe−SE (3.23)
Selanjutnya huruf E untuk menunjukkan versi Euclidean akan dihilangkan untuk
mempermudah penulisan. Kita lihat bahwa setelah dilakukan kontinuasi ke waktu
imajiner, integran dari Z tidak lagi berosilasi sehingga integrasi tersebut dapat
dihitung secara numerik.
3.3 Diskritisasi
Setelah melakukan formulasi ruang-waktu Euclidean, selanjutnya kita akan mela-
kukan diskritisasi ruang waktu. Dengan demikian teori medan yang kita miliki
disusun pada ruang waktu diskrit. Diskritisasi dilakukan dengan membentuk
ruang waktu menjadi kisi hiperkubik empat dimensi dengan jarak antar tiap titik
kisi ialah a. Dengan demikian pada, medan hanya memiliki nilai pada titik-titik
kisi
xµ = mµa, mµ = 0, 1, . . . , N − 1. (3.24)
sehingga panjang sisi dari kotak hiperkubik ialah L = Na dan volumenya L4.
Medan pada titik kisi xµ = mµa ditulis dengan notasi φx. Dengan dilakukannya
diskritisasi, maka integral dapat digantikan dengan sumasi
∫
d4x → a4
N−1∑
m1
N−1∑
m2
N−1∑
m3
N−1∑
m4
= a4∑
m
=∑
x
(3.25)
18
Untuk fungsi di limit kontinu,
∑
x
f(x) →∫ L
0
d4xf(x), N → ∞, a → 0, L tetap (3.26)
Turunan atau derivatif diganti dengan perbedaan atau selisih medan antara dua
titik kisi,
∂µφx =1
a(φx+aµ − φx), (3.27)
∂′µφx =
1
a(φx − φx−aµ), (3.28)
dengan µ merupakan vektor satuan pada arah µ. Untuk fungsi pada limit kontinu,
∂µf(x), ∂′µf(x) → ∂
∂xµ
f(x), a → 0. (3.29)
Sedangkan operator d’Alambertian,
φx = ∂µ∂′µφx
=1
a2(φx+aµ + φx−aµ − 2φx) . (3.30)
Medan-medan pada kisi juga memenuhi periodisitas
φx+Naµ = φx (3.31)
Dari kondisi periodisitas, operator turunan ∂µ dan ∂′µ dihubungkan oleh sumasi
parsial (analog dengan integrasi parsial)
∑
x
φ1x∂µφ2x = −∑
x
∂′µφ1xφ2x (3.32)
Transformasi Fourier pada lattice dapat dituliskan sebagai berikut
φp =∑
x
e−ipxφx, (3.33)
φx =∑
x
e−ipxφp. (3.34)
Untuk fungsi f(p) pada limit volume L = Na → ∞,
∑
p
f(p) =(∆p)4
(2π)4
∑
m
f
(
2πm
Na
)
(3.35)
→∫ π/a
−π/a
d4p
(2π)4f(p), N → ∞, a tetap, (3.36)
19
dimana ∆p = 2π/Na.
Dengan diskritisasi yang telah dijelaskan maka kita dapat menulis aksi untuk
medan skalar pada persamaan (3.21) dalam bentuk diskrit
S = a4∑
m,µ
1
2
[
−φx
(
φx+aµ + φx−aµ − 2φx
a2
)
+ m2φ2x
]
(3.37)
3.4 Transformasi Gauge pada Lattice
Perhatikan aksi dari medan skalar pada persamaan (3.37). Untuk medan skalar
kompleks, aksi tersebut dapat dituliskan
S = a4∑
m,µ
Re
[
−φ†x
(
φx+aµ + φx−aµ − 2φx
a2
)
+ m2φ†xφx
]
(3.38)
Aksi tersebut invarian terhadap transformasi gauge global
φx → φ′x = Ωφx
φ†x → φ†′
x = φ†xΩ
†
dengan Ω = e−iθ merupakan elemen dari grup U(1). Kemudian, aksi tersebut
harus invarian terhadap transformasi gauge lokal U(1), dengan elemen grup Ω
bergantung pada titik kisi, Ω = Ωx. Sehingga medan φx bertansformasi sebagai
berikut,
φx → φ′x = Ωxφx (3.39)
φ†x → φ†′
x = φ†xΩ
†x. (3.40)
Dari transformasi tersebut, perhatikan besaran φ†xφx+aµ dan φ†
xφx−aµ. Besaran
tersebut tidak invarian terhadap transformasi gauge lokal yang didefinisikan pada
persamaan (3.39) dan (3.40)
φ†xφx+aµ → φ†
xΩ†xΩx+aµφx+aµ, (3.41)
φ†xφx+aµ → φ†
xΩ†xΩx−aµφx−aµ. (3.42)
Agar besaran tersebut invarian, maka kita membutuhkan suatu besaran Uµx yang
bertransformasi sebagai berikut,
Uµx → ΩxUµxΩ†x+aµ (3.43)
20
Gambar 3.4: Lintasan C antara x dan y
Uµx merupakan besaran yang menghubungkan titik kisi yang satu dengan titik kisi
lainnya pada lattice, dan disebut dengan variabel ”link”. Di dalam variabel link
terdapat medan gauge Aµ agar besaran pada persamaan (3.38) invarian terhadap
transformasi gauge lokal. Variabel link didefinisikan sebagai
Uµx = Ux,x+aµ = eigaAµx (3.44)
Sehingga kita memiliki bentuk yang invarian terhadap transformasi gauge lokal
pada lattice
φ†xφx+aµ → φ†
xUx,x+aµφx+aµ (3.45)
φ†xφx−aµ → φ†
xU†x−aµ,xφx+aµ (3.46)
dimana
U−µx = U †x−aµ,x = Ux,x−aµ = e−igaAµx−aµ (3.47)
Pada teori kontinum Uµx tidak lain merupakan parallel transporter yang analog
dengan obyek yang sama pada geometri diferensial, yang memetakan vektor dari
titik yang satu ke titik lainnya sepanjang kurva.
U(x, y; C) = eigR x
yAµ(z)dzµ . (3.48)
Parallel transporter tidak hanya bergantung pada titik x dan y tetapi juga kurva
C yang dipilih.
Dengan diperkenalkannya variabel link Uµx yang didalamnya terdapat medan
gauge Aµ, maka kita dapat menulis aksi untuk medan skalar pada lattice yang
21
Gambar 3.5: Uµνx pada sebuah Plaquette
invarian terhadap transformasi gauge lokal
S = a4∑
m,µ
Re
[
−φ†x
(
Uµxφx+aµ + U−µxφx−aµ − 2φx
a2
)
+ m2φ†xφx
]
(3.49)
Sementara itu kontribusi medan gauge pada aksi yang berbentuk 14FµνF
µν dapat
dituliskan dalam variabel link Uµx sehingga invarian terhadap transformasi gau-
ge pada lattice. Sekarang perhatikan produk dari variabel link terhadap suatu
plaquette seperti pada gambar (3.5). Plaquette ini berada pada bidang µ − ν.
Kemudian didefinisikan
Uµνx = UµxUνx+aµU†µx+aνU
†νx (3.50)
Substitusi Uµ pada persamaan (3.44) ke persamaan di atas diperoleh
Uµνx = eiga2Fµνx (3.51)
dengan Fµνx merupakan versi diskrit dari kuat tensor kontinum,
Fµνx ≡ 1
a[(Aνx+µ − Aνx) − (Aµx+ν − Aµx)] .
Untuk jarak antar titik kisi a yang kecil, dari persamaan (3.50)
1
2g2
∑
m
∑
µ<ν
Re
[
1 − 1
2(Uµνx + U †
µνx)
]
≈ 1
4
∑
m
a4FµνxFµνx. (3.52)
22
Sehingga aksi medan gauge pada lattice dapat ditulis,
SG[U ] =1
2g2
∑
P
Re
[
1 − 1
2(UP + U †
P )
]
(3.53)
dimana P merupakan produk dari variabel link terhadap suatu plaquette P de-
ngan arah berlawanan dengan putaran jarum jam.
23
Bab 4
Hasil dan Pembahasan
Interaksi antara fluida dengan materi dapat dimodelkan dengan menggunakan la-
grangian pada persamaan (2.11) untuk kasus Abelian. Dalam persamaan tersebut
terdapat suku boson yang merepresentasikan materi dan suku medan gauge yang
merepresentasikan fluida, dimana telah dibahas sebelumnya, lagrangian untuk
medan gauge bila dimasukkan ke persamaan Euler-Lagrange dan memasukkan
bentuk Aµ pada persamaan (2.16) akan menghasilkan persamaan Navier Stokes.
Lagrangian pada persamaan (2.11) dapat ditulis dalam bentuk
L = (Dµφ∗)(Dµφ) − m2φ∗φ − 1
4FµνF
µν (4.1)
dengan Dµ ialah turunan kovarian yang didefinisikan sebagai berikut,
Dµ = ∂µ + igAµ (4.2)
substitusi Dµ ke persamaan (4.1),
L = (∂µφ∗)(∂µφ) + ig[φ(∂µφ
∗) − (∂µφ)φ∗]Aµ + g2AµAµφ∗φ − m2φ∗φ − 1
4FµνF
µν .
(4.3)
Pada persamaan di atas kita dapat melihat adanya interaksi antara materi (bo-
son) dengan fluida (medan gauge). Permasalahan yang muncul ketika kita hen-
dak melakukan perhitungan dari lagrangian di atas ialah tidak diketahuinya besar
konstanta kopling interaksi g sehingga tidak ada jaminan perhitungan secara per-
turbatif, seperti yang pada umumnya dilakukan untuk perhitungan path integral,
dapat dilakukan. Dengan demikian, evaluasi path integral harus dilakukan secara
nonperturbatif.
24
Untuk menghitung path integral secara nonperturbatif, dapat dilakukan dengan
menyusun aksi pada persamaan (4.1) dalam ruang waktu diskrit seperti yang
dijelaskan pada bab 3. Sebelum melakukan diskritisasi, perhatikan lagrangian
untuk medan skalar kompleks
L = (∂µφ∗)(∂µφ) − m2φ∗φ (4.4)
Aksi dari lagrangian tersebut ialah
S =
∫
d4x[
(∂µφ∗)(∂µφ) − m2φ∗φ
]
(4.5)
Dengan menggunakan skema diskritisasi yang telah dijelaskan pada bab 3, yaitu
dengan terlebih dahulu melakukan rotasi ke waktu imajiner maka lagrangian pada
persamaan (4.4) dapat ditulis dalam bentuk diskrit
S = a4∑
m,µ
Re
[
−φ∗x
(
φx+aµ + φx−aµ − 2φx
a2
)
+ m2φ∗xφx
]
(4.6)
Aksi di atas jelas tidak invarian terhadap transformasi gauge lokal pada persama-
an (3.39) dan (3.40). Bentuk yang invarian diperoleh dengan memperkenalkan
variabel link Uµx yang di dalamnya terdapat medan gauge Aµ, sehingga diperoleh
aksi medan skalar kompleks yang invarian
S = a4∑
m,µ
Re
[
−φ∗x
(
Ux,x+aµφx+aµ + U∗x−aµ,xφx−aµ − 2φx
a2
)
+ m2φ∗xφx
]
(4.7)
Kita dapat memeriksa apakah aksi lattice di atas dapat kembali ke bentuk aksi
kontinu bila kita ambil jarak antar kisi a → 0. Dengan melakukan ekspansi Uµ
pada persamaan (3.50) menjadi
Ux,x+aµ = eigaAµx
≈ 1 + igaAµx −g2a2
2A2
µx + O(a3) (4.8)
dan
U∗x−aµ,x = e−igaAµx−aµ
≈ 1 − igaAµx−aµ − g2a2
2A2
µx−aµ + O(a3) (4.9)
25
dimana,
Aµx−aµ = Aµx − a∂µAµx + O(a2) (4.10)
serta mengekspansi φx+aµ dan φx−aµ,
φx+aµ ≈ φx + a∂µφx +a2
2φx + O(a3) (4.11)
φx−aµ ≈ φx − a∂µφx +a2
2φx + O(a3) (4.12)
Substitusi persamaan (4.13) - (4.17) ke persamaan (4.12), ambil bagian real dari
aksi dan a → 0 didapat
S =
∫
d4x[
(Dµφ∗)(Dµφ) + m2φ∗φ
]
(4.13)
Maka aksi yang akan digunakan pada simulasi tugas akhir ini ialah aksi boson
pada persamaan (4.7) dan aksi dari medan gauge pada persamaan (3.53),
Stotal[φ, U ] = Sboson[φ] + SG[U ] (4.14)
dengan
Sboson[φ] = a4∑
m,µ
Re
[
−φ∗x
(
Ux,x+aµφx+aµ + U∗x−aµ,xφx−aµ − 2φx
a2
)
+ m2φ∗xφx
]
(4.15)
SG[U ] = − 1
2g2
∑
P
Re (UP + U∗P ) . (4.16)
Berikutnya, kita dapat menghitung selisih energi ∆E dengan terlebih dahulu
menghitung propagator pada suatu titik dan waktu tertentu. Dari definisi pro-
pagator dalam ruang waktu Euclidean pada persamaan (3.15),
G(τ) = 〈0 |φ∗(x1)φ(x2) |0〉
= 〈0 |φ∗(~x, τ)φ(~x, 0) |0〉
= 〈0 | eHτφ∗(~x, 0)e−Hτφ(~x, 0) |0〉
= 〈0 |φ∗(~x, 0)e−(H−E0)τφ(~x, 0) |0〉
dimana H merupakan operator Hamiltonian yang energi pada keadaan dasar-
nya E0, H |0〉 = E0 dan τ merupakan waktu Euclidean. Dengan memasukkan
complete set dari eigenstate energi
∑
n
|n〉 〈n | = 1 (4.17)
26
diperoleh
G(τ) =∑
n
〈0 |φ∗(~x, 0) |n〉 e−(En−E0)τ 〈n |φ(~x, 0) |0〉
=∑
n
| 〈0 |φ(~x, 0) |n〉 |2 e−(En−E0)τ . (4.18)
Untuk waktu Euclidean yang besar, τ → ∞ maka keadaan yang berkontribusi
hanya keadaan dasar dan eksitasi pertama
G(τ)τ besar−→
∑
n
| 〈0 |φ(~x, 0) |1〉|2 e−(E1−E0)τ . (4.19)
Sehingga kita dapat mengekstrak selisih energi sebagai berikut
G(τ)
G(τ + at)= e(E1−E0)at (4.20)
maka,
∆E =1
at
lnG(τ)
G(τ + at)(4.21)
dengan ∆E ≡ E1 − E0.
Perhitungan propagator dilakukan menggunakan simulasi Monte Carlo dengan
mengevaluasi path integral yang berbentuk
G(τ) = 〈0 |φ∗(x1)φ(x2) |0〉
=
∫
DφDUφ∗(x1)φ(x2)e−S[φ,U ]
∫
DφDUe−S[φ,U ]
≈ 1
Ncf
Ncf∑
α=1
φ∗(α)(x1)φ(α)(x2). (4.22)
Konfigurasi acak yang memiliki probabilitas
P [φα] ∝ e−S[φ,U ]
dibangkitkan dengan menggunakan algoritma Metropolis yang dijelaskan pada
Lampiran A.
Simulasi dilakukan pada lattice 4 dimensi dengan jumlah titik kisi 83×32 dengan
jarak antar titik kisi a = 0, 5 fm, yang berarti volume lattice yang digunakan
27
0 50 100 150 200v (m/s)
0
5
10
15
∆E (
x 0,
197
GeV
)
Gambar 4.1: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida vuntuk g = 1.
ialah 43 × 16 fm4, dan beberapa jumlah konfigurasi Ncf , massa materi m = 1
dan 500 GeV, serta untuk 2 nilai konstanta kopling interaksi g yang berbeda,
yaitu g = 1 dan g = 0.01 untuk melihat bagaimana pengaruh konstanta ko-
pling interaksi g pada perubahan energi. Untuk melihat pengaruh dari besarnya
konstanta kisi yang digunakan terhadap simulasi, nilai a dan at juga divaria-
sikan. Dari konfigurasi sebanyak Ncf yang dibangkitkan, kita akan memperoleh
nilai ∆E sebanyak Ncf buah. Kita dapat merata-ratakan secara langsung untuk
memperoleh estimasi Monte Carlo dari ∆E. Selain dirata-ratakan secara lang-
sung, perhitungan estimasi Monte Carlo dari ∆E juga dapat dilakukan dengan
prosedur bootstrap sampling. Prosedur ini bertujuan untuk memperkecil kesalah-
an statistik. Prosedur bootstrap sampling dilakukan dengan membuat ”bootstrap
copy” dari konfigurasi yang dihasilkan dari simulasi Monte Carlo, yaitu dengan
memilih ∆E secara acak dari konfigurasi yang ada sebanyak Ncf kali. Dengan
demikian akan ditemui nilai ∆E yang terulang, namun ada juga yang tidak mun-
cul. Dari ensemble baru yang dimiliki, dapat dirata-ratakan untuk memperoleh
nilai estimasi Monte Carlo untuk ∆E yang baru.
28
0 50 100 150 200v (m/s)
0
5
10
15
∆E (
x 0,
197
GeV
)
Gambar 4.2: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida v untuk g = 0.01.
Gambar (4.1) merupakan hasil simulasi untuk g = 1, sementara Gambar (4.2)
merupakan hasil simulasi untuk g = 0, 01, keduanya menggunakan m = 1 GeV.
∆E untuk g = 1 pada kecepatan fluida yang rendah (v < 40 m/s) memiliki
nilai yang semakin besar terhadap v, begitu pula untuk untuk v yang besar
(v > 160 m/s). Sementara di sekitar kecepatan fluida 40 - 60 m/s nilai ∆E
berfluktuasi pada nilai 3-5 (×0, 197 GeV). Untuk hasil simulasi dengan g = 0, 01,
sama halnya dengan g = 1, pada kecepatan rendah (< 40 m/s) memiliki nilai
yang semakin besar terhadap kecepatan v sementara untuk kecepatan besar (v >
160 m/s) nilai ∆E berkurang bila kecepatan bertambah. Kemudian pada 40 <
v < 160 m/s, nilai ∆E juga berfluktuasi, namun dengan nilai yang sedikit lebih
besar dibandingkan dengan yang teramati pada kasus g = 1. Dari sini kita
mengetahui bahwa dalam intraksi fluida dengan materi untuk kecepatan yang
besar, nilai konstanta kopling yang besar akan menghasilkan ∆E yang bertambah
besar, sementara untuk konstanta kopling interaksi yang kecil, g ≪ 1, ∆E akan
berkurang bila v semakin besar. Dengan demikian, kebergantungan terhadap g
pada interaksi fluida dengan materi tidak terlalu signifikan.
29
0 50 100 150 200v (m/s)
0
5
10
15
∆E (
x 0,
197
GeV
)
Ncf
= 100
Ncf
= 10
Ncf
= 50
Gambar 4.3: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida beberapa nilai Ncf .
Hasil simulasi untuk jumlah konfigurasi (Ncf) yang berbeda-beda dapat dilihat
pada Gambar (4.3). Grafik tersebut dihasilkan dari simulasi dengan jarak antar
titik kisi a = at = 0, 5 fm dan konstanta kopling interaksi g = 1 dengan jum-
lah konfigurasi yang digunakan ialah 10, 50 dan 100. Dari hasil yang diperoleh
terlihat bahwa perbedaan jumlah konfigurasi yang digunakan memberikan hasil
yang sama untuk masing-masing konfigurasi. Bila kita lihat pada persamaan
(A.6) perbedaan jumlah konfigurasi yang digunakan akan berpengaruh terhadap
besarnya kesalahan statistik dari estimasi Monte Carlo yang dihasilkan, dimana
bila Ncf semakin besar maka kesalahan statistiknya akan semakin kecil.
σ2Γ
=〈〈Γ2〉〉 − 〈〈Γ〉〉2
Ncf
Namun pada Gambar (4.3), error bar untuk ketiga jumlah konfigurasi, tidak me-
nunjukkan perbedaan satu sama lainnya. Nilai kesalahan statistik yang kecil pada
simulasi ini disebabkan karena konfigurasi ∆E yang didapat memiliki nilai yang
hampir sama, atau dengan kata lain konfigurasi yang dihasilkan sudah stabil. Hal
ini disebabkan karena banyaknya update yang dilakukan pada saat termalisasi ya-
30
0 50 100 150 200v (m/s)
0
5
10
15
∆E (
x 0,
197
GeV
)
Ncf
= 100
Ncf
= 100, bootstrap
Gambar 4.4: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida untuk Ncf = 100 dengan dantanpa bootstrap.
itu sebanyak 200Ncf . Seperti kita ketahui, termalisasi dilakukan agar didapatkan
konfigurasi yang stabil sehingga pada saat perhitungan estimasi Monte Carlo te-
lah didapatkan konfigurasi yang stabil. Banyaknya update yang dilakukan pada
saat termalisasi juga mengakibatkan penggunaan teknik bootstrap sampling pada
simulasi ini tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini dapat dilihat pada Gam-
bar (4.4) untuk 100 konfigurasi, nilai ∆E yang dihasilkan sama untuk kedua cara
(dengan dan tanpa bootstrap), begitu pula dengan nilai kesalahan statistik yang
muncul. Adapun kesalahan statistik yang muncul pada simulasi ini diakibatkan
karena diskritisasi yang dilakukan.
Gambar (4.5) merupakan hasil simulasi dengan jarak antar titik kisi a yang ber-
variasi. Dengan berubahnya a, maka jumlah titik kisi yang harus di-update juga
berubah karena volume kisi hiperkubik yang digunakan harus tetap. Pengguna-
an nilai a yang semakin kecil mengakibatkan jumlah titik kisi yang digunakan
semakin banyak, sebaliknya bila a makin besar, jumlah titik kisi semakin sedi-
kit. Hal ini sangat berpengaruh pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
31
0 50 100 150 200v (m/s)
0
5
10
15
20
25
30
∆E (
x 0,
197
GeV
)
a = at = 0,5
a = 0,4; at = 0,2
a = at = 0,8
Gambar 4.5: Grafik ∆E terhadap kecepatan fluida untuk beberapa nilai a.
mengeksekusi program. Pada tugas akhir ini dilakukan 3 variasi a dengan g = 1
dan digunakan 100 konfigurasi. Yang pertama ialah a = at = 0, 5 fm. Kedua,
digunakan a yang lebih kecil yaitu sebesar 0,8 fm dan yang terakhir a dibedakan
antara kisi temporal dan spasial, a = 0, 4 fm dan at = 0, 2 fm. Hasil yang di-
peroleh ternyata menunjukkan nilai ∆E terhadap v yang berbeda untuk ketiga
konfigurasi. Terlihat bahwa semakin kecil a yang digunakan maka ∆E yang di-
hasilkan akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan persamaan (4.21) untuk ∆E
dimana ∆E berbanding terbalik dengan a.
Pada Gambar (4.6) dan (4.7) dapat dilihat hubungan ∆E terhadap kecepatan
fluida v bila parameter massa yang digunakan diperbesar, yaitu 500 GeV, dan
pada besar konstanta kopling interaksi yang berbeda, yaitu g = 1 dan g = 0, 01.
Terlihat bahwa nilai ∆E cenderung konstan pada kedua grafik, dan dengan atau-
pun tanpa bootstrap sampling. Hal ini berarti kontribusi dari interaksi fluida
dan materi tidak tampak dan kontribusi yang dominan datang dari massa materi
tersebut.
32
0 50 100 150 200v (m/s)
0
5
10
15
20
∆E (
x 0,
197
GeV
)tanpa bootstrapbootstrap
Gambar 4.6: Grafik ∆E terhadap v untuk m = 500 GeV, g = 1 dengan dantanpa bootstrap sampling.
0 50 100 150 200v (m/s)
0
5
10
15
20
∆E (
x 0,
197
GeV
)
dengan bootstraptanpa boostrap
Gambar 4.7: Grafik ∆E terhadap v untuk m = 500 GeV, g = 0, 01 dengan dantanpa bootstrap sampling.
33
Bab 5
Kesimpulan
Dari hasil perhitungan dan analisa yang dilakukan pada pemodelan interaksi an-
tara fluida dengan materi dengan menggunakan dinamika fluida berbasis teori
medan, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara energi eksitasi ∆E dengan
kecepatan v tidak bergantung secara signifikan pada besarnya konstanta kopling
interaksi yang digunakan. Penggunaan jumlah konfigurasi yang berbeda, begitu
pula dengan atau tanpa teknik bootstrap sampling, tidak memberikan perbedaan
yang signifikan karena update yang dilakukan saat termalisasi jumlahnya cukup
banyak sehingga menghasilkan konfigurasi yang stabil. Sementara itu apabila
jarak antar titik kisi a diubah, hubungan ∆E dengan v juga berubah dimana se-
makin kecil a maka nilai ∆E yang dihasilkan semakin besar. Untuk massa materi
yang besar, didapatkan bahwa hubungan ∆E terhadap v cenderung konstan dan
sama untuk konstanta kopling interaksi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bah-
wa interaksi materi dan fluida tidak dominan dibandingkan dengan massa materi.
Formulasi dan perhitungan dengan menggunakan lattice gauge theory merupak-
an teknik yang menjanjikan untuk mempelajari lebih lanjut sistem-sistem yang
dimodelkan dengan menggunakan lagrangian dinamika fluida dimana tidak ada
jaminan teori perturbasi berlaku. Selain itu studi lebih lanjut dapat dilakuk-
an dengan menambahkan efek-efek lain pada dinamika fluida, seperti viskositas,
turbulensi, relativistik dll. serta dapat diaplikasikan pada sistem-sistem yang
dimodelkan dengan menggunakan lagrangian fluida.
34
Daftar Acuan
[1] Sulaiman, A. Constructing Navier Stokes Equation using Gauge Fi-
eld Theory Approach. Tesis S2. (2005).
[2] Sulaiman, A. Large Amplitude of The Internal Motion of DNA Im-
mersed in Bio-fluid. arXiv:physics/0512206.
[3] http://scienceworld.wolfram.com/physics/Navier-StokesEquation.html
[4] Handoko, L.T. dan Sulaiman, A. Relativistic Navier Stokes Equation
from a Gaunge-invariant Lagrangian. arXiv:physics/0508219.
[5] Handoko, L.T. dan Sulaiman, A. Gauge Field Theory Approach to
Construct The Navier Stokes Equation. arXiv:physics/0508086.
[6] Rothe, H.J. Lattice Gauge Theories: An Introduction. World Scienti-
fic. (1997).
[7] Smit, J. Introduction to Quantum Fields on A Lattice. Cambridge
University Press. (2002).
[8] Munster, G. dan Walzl, M. Lattice Gauge Theory A Short Primer.
arXiv:hep-lat/0012005.
[9] Ryder, L.H. Quantum Field Theory. Cambridge University Press. (1996).
[10] Lepage, G.P. Lattice QCD for Novices. arXiv:hep-lat/0506036.
35
Lampiran A
Evaluasi Path Integral dengan
Metode Monte Carlo
Berikut ini akan dijelaskan metode yang digunakan untuk mengevaluasi path in-
tegral secara numerik. Banyaknya integrasi yang harus dilakukan untuk meng-
evaluasi path integral, menyebabkan kita harus menggunakan metode statistik
untuk menyelesaikannya. Sebagai ilustrasi, misalkan kita melakukan simulasi pa-
da lattice dengan 40 titik kisi pada setiap arah. Kita mempunyai variabel link
sebanyak 4 · 404. Untuk grup gauge SU(3) memberikan variabel real sebanyak
81.920.000.
Secara prinsip, rata-rata path integral 〈〈Γ[x]〉〉 dari sembarang fungsional Γ[x]
dapat digunakan untuk menghitung bermacam-macam sifat fisis dari keadaan
tereksitasi di teori kuantum. Besaran
〈〈Γ[x]〉〉 =
∫
Dx(t)Γ[x]e−S[x]
∫
Dx(t)e−S[x](A.1)
merupakan rata-rata berbobot terhadap konfigurasi dengan bobot e−S[x]. Konfi-
gurasi acak dibangkitkan dalam jumlah yang banyak, Ncf ,
xα ≡
xα0 xα
1 . . . xαN−1
, α = 1, 2, . . . , Ncf (A.2)
sehingga probabilitas untuk memperoleh konfigurasi tertentu x(α) ialah
P [xα] ∝ e−S[x] (A.3)
Kemudian rata-rata Γ[x] yang tidak berbobot terhadap himpunan konfigurasi
ini mengaproksimasi rata-rata berbobot terhadap konfigurasi yang terdistribusi
36
seragam:
〈〈Γ[x]〉〉 ≈ Γ ≡ 1
Ncf
Ncf∑
α=1
Γ[x(α)]. (A.4)
Γ merupakan ”Monte Carlo estimator” untuk 〈〈Γ[x]〉〉 di lattice. Estimasi terse-
but tentunya tidak akan pernah eksak karena jumlah konfigurasi Ncf tidak pernah
berjumlah tak berhingga. Ketidakpastian Monte Carlo σΓ pada estimasi kita me-
rupakan sumber kesalahan yang potensial; diestimasi seperti pada umumnya,
σ2Γ≈ 1
Ncf
1
Ncf
Ncf∑
α=1
Γ2[x(α)] − Γ2
(A.5)
Persamaan di atas menjadi
σ2Γ
=〈〈Γ2〉〉 − 〈〈Γ〉〉2
Ncf
(A.6)
untuk Ncf yang besar. Karena pembilang pada persamaan di atas tidak bergan-
tung pada jumlah konfigurasi, ketidakpastian statistik berkurang sesuai dengan
1/√
Ncf ketika Ncf bertambah.
Untuk mendapatkan konfigurasi acak dengan probabilitas (A.10), dibutuhkan
generator vektor acak tertentu. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk
membangkitkan konfigurasi ialah:
• Metode Metropolis
• Algoritma Langevin
• Algoritma Heatbath
• Algoritma Hybrid dan Hybrid Monte Carlo
• Metode Molecular Dynamics
Simulasi yang dilakukan pada tugas akhir ini menggunakan algoritma Metropolis.
Prosedur ini merupakan prosedur yang paling sederhana walaupun bukan yang
paling baik. Prosedur ini dimulai dengan sembarang konfigurasi x(0) dan memo-
difikasinya dengan mendatangi setiap titik kisi pada lattice, dan membangkitkan
37
bilangan acak untuk xj pada titik kisi tersebut, dengan cara yang akan dijelask-
an berikutnya. Di sini dibangkitkan konfigurasi acak yang baru dari konfigurasi
sebelumnya: x(0) → x(1). Cara ini disebut dengan meng-update konfigurasi. De-
ngan menerapkan algoritma tersebut ke x(1) kita mendapatkan konfigurasi x(2),
dan seterusnya sampai terdapat Ncf konfigurasi. Himpunan konfigurasi ini mem-
punyai distribusi yang benar bila Ncf cukup besar.
Algoritma untuk membangkitkan bilangan acak untuk xj pada titik kisi j ialah
sebagai berikut [10]:
• Bangkitkan bilangan acak ζ, dengan probabilitas terdistribusi seragam an-
tara −ǫ dan ǫ untuk suatu konstanta ǫ.
• Ganti xj → xj + ζ dan hitung perubahan aksi ∆S yang disebabkan oleh
penggantian xj.
• Bila aksi berkurang, ∆S < 0, ambil nilai baru untuk xj dan lanjutkan
proses ke titik kisi berikutnya.
• Bila ∆S > 0, bangkitkan bilangan acak η yang terdistribusi secara uniform
antara 0 dan 1; ambil nilai yang baru untuk xj bila exp(−∆S) > η, selain
itu ambil nilai yang lama dan proses ke titik kisi berikutnya.
Ada beberapa hal penting sehubungan dengan penggunaan algoritma ini. Perta-
ma, secara umum, beberapa atau benyak nilai xj akan sama pada dua konfigurasi.
Jumlah overlap ini ditentukan oleh parameter ǫ: ketika ǫ sangat besar, perubahan
pada xj biasanya besar dan kebanyakan akan ditolak; ketika ǫ sangat kecil, per-
ubahannya akan kecil, perubahannya kecil dan kebanyakan akan diterima, tetapi
nilai xj yang baru akan mendekati atau sama dengan nilai yang lama. Parameter
ǫ harus di sesuaikan sehingga 40%-60% xj akan berubah untuk tiap update pada
titik kisi. Berapapun ǫ, konfigurasi yang suksesif akan mirip (berkorelasi ting-
gi) dan mengandung informasi yang mirip pula. Kemudian bila konfigurasi x(α)
diakumulasi untuk estimasi Monte Carlo, kita hanya mengambil tiap Ncor konfi-
gurasi, memberikan kita konfigurasi yang tidak bergantung secara statistik. Nilai
38
optimal dari Ncor bergantung dari teori dan bisa diperoleh dengan eksperimentasi.
Ncor juga bergantung pada jarak antar titik kisi a,
Ncor ∝1
a2(A.7)
Hal kedua yang perlu diperhatikan ialah prosedur untuk memulai algoritma. Kon-
figurasi paling pertama yang digunakan untuk mengawali seluruh proses biasanya
kurang beraturan. Konsekuensinya kita harus mengabaikan sejumlah konfigurasi
di awal, sebelum memulai mengumpulkan x(α). Dengan mengabaikan 5Ncor sam-
pai 10Ncor konfigurasi biasanya cukup. Ini disebut dengan ”termalisasi lattice”.
Sebagai ringkasan perhitungan Monte Carlo yang lengkap untuk 〈〈Γ[x]〉〉 untuk
suatu Γ[x] dari konfigurasi x terdiri dari beberapa langkah berikut:
• Inisialisasi konfigurasi, sebagai contoh, semua x diset menjadi nol.
• Update konfigurasi 5Ncor sampai 10Ncor kali untuk termalisasi.
• Update konfigurasi Ncor kali, kemudian hitung Γ[x] dan simpan, ulangi se-
banyak Ncf kali.
• Rata-ratakan Ncf nilai dari Γ[x] yang disimpan pada langkah sebelumnya
untuk memperoleh Monte Carlo estimator Γ untuk 〈〈Γ[x]〉〉.
39
Lampiran B
Pemrograman
#include <iostream>
#include <time.h>
#include <stdlib.h>
#include <cmath>
#include <iomanip>
#include <fstream>
using namespace std;
/*===================================================================*/
/* Deklarasi konstanta dan variabel */
/*===================================================================*/
const int N =8;
const int Nt =32;
const float a = 0.5;
const float at = 0.5;
const int Ncor =20;
const int Ncf1 = 10;
const int Ncf2 = 50;
const int Ncf = 100;
const int imaks=20;
const double pi = 3.14;
int N1 = N-1;
int Nt1 = Nt-1;
int m[4];
float phi[N*N*N*Nt][2];
float U[N*N*N*Nt][4][2];
float old_U_re[4];
float old_U_im[4];
float dE[Ncf];
float rdE_a[imaks];
float sdev_a[imaks];
float rdE2_a[imaks];
float rdE_b[imaks];
float sdev_b[imaks];
40
float rdE2_b[imaks];
float rdE_c[imaks];
float sdev_c[imaks];
float rdE2_c[imaks];
float rdE_boot_a[imaks];
float rdE2_boot_a[imaks];
float boot_sdev_a[imaks];
float rdE_boot_b[imaks];
float rdE2_boot_b[imaks];
float boot_sdev_b[imaks];
float rdE_boot_c[imaks];
float rdE2_boot_c[imaks];
float boot_sdev_c[imaks];
int i, j, k, d, kk, s, sp;
int n0, n1, n2, n3;
int alpha;
double epsilon = 1.4;
float v;
const float Vpot=0;
const float mass=1;
const float g2=1;
float GG;
/*===================================================================*/
/* Prototipe fungsi */
/*===================================================================*/
void inisialisasi();
int kurangi(int m[], int d);
float S(int m[]);
void hitungstaple(int m[]);
void update();
float computeG(int n0, int n1, int n2, int n3);
void MCavg();
void rata2dE();
void rata2dE2();
void sdevdE();
void bootstrap();
/*===================================================================*/
/* MAIN PROGRAM */
/*===================================================================*/
int main()
srand(time(0));
ofstream keluar_a;
ofstream keluar_b;
41
ofstream keluar_c;
ofstream keluar_d;
ofstream keluar_e;
ofstream keluar_f;
keluar_a.open("r_1a.dat");
keluar_b.open("r_g1b.dat");
keluar_c.open("r_g1c.dat");
keluar_d.open("r_g1d.dat");
keluar_e.open("r_g1e.dat");
keluar_f.open("r_g1f.dat");
for (i=0;i<imaks;i++)
v = i*10;
keluar_a << "v = " << v << endl;
keluar_b << "v = " << v << endl;
keluar_c << "v = " << v << endl;
keluar_d << "v = " << v << endl;
keluar_e << "v = " << v << endl;
keluar_f << "v = " << v << endl;
int aaa = Nt/2;
for (int n0=0;n0<aaa;n0++)
MCavg();
keluar_a << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_a[i] << setw(15)
<< sdev_a[i] << endl;
keluar_b << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_b[i] << setw(15)
<< sdev_b[i] << endl;
keluar_c << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_c[i] << setw(15)
<< sdev_c[i] << endl;
keluar_d << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_boot_a[i] << setw(15)
<< boot_sdev_a[i] << endl;
keluar_e << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_boot_b[i] << setw(15)
<< boot_sdev_b[i] << endl;
keluar_f << setw(5) << n0 << setw(15) << rdE_boot_c[i] << setw(15)
<< boot_sdev_c[i] << endl;
keluar_a.close();
keluar_b.close();
keluar_c.close();
keluar_d.close();
keluar_e.close();
keluar_f.close();
/********************Inisialisasi field dan link*********************/
void inisialisasi()
for (m[0]=0;m[0]<Nt;m[0]++)
for (m[1]=0;m[1]<N;m[1]++)
for (m[2]=0;m[2]<N;m[2]++)
for (m[3]=0;m[3]<N;m[3]++)
s=m[0]+N*(m[1]+N*(m[2]+N*m[3]));
phi[s][0]=0;
phi[s][1]=0;
42
U[s][0][0]=exp(-1.5*g2*at*v*v);
U[s][0][1]=0;
U[s][1][0]=cos(g2*v*a);
U[s][1][1]=-sin(g2*v*a);
U[s][2][0]=cos(g2*v*a);
U[s][2][1]=-sin(g2*v*a);
U[s][3][0]=cos(g2*v*a);
U[s][3][1]=-sin(g2*v*a);
/*********************************************************************/
int kurangi(int m[], int d)
if (d==0)
kk =m[d]-1;
if (kk < 0)
kk+=Nt1;
else
kk = m[d]-1;
if (kk<0)
kk+=N1;
return kk;
/*===================================================================*/
/* Program menghitung aksi */
/*===================================================================*/
float S(int m[])
// suku kinetik dan boson
int s0p = ((m[0]+1)%Nt1)+N*(m[1]+N*(m[2]+N*m[3]));
int s0m = (kurangi(m,0))+N*(m[1]+N*(m[2]+N*m[3]));
int s1p = m[0]+N*((m[1]+1)%N1+N*(m[2]+N*m[3]));
int s1m = m[0]+N*((kurangi(m,1))+N*(m[2]+N*m[3]));
int s2p = m[0]+N*(m[1]+N*((m[2]+1)%N1+N*m[3]));
int s2m = m[0]+N*(m[1]+N*((kurangi(m,2))+N*m[3]));
int s3p = m[0]+N*(m[1]+N*(m[2]+N*(m[3]+1)%N1));
int s3m = m[0]+N*(m[1]+N*(m[2]+N*(kurangi(m,3))));
// arah t
float del0re=(U[s][0][0]*phi[s0p][0]-U[s][0][1]*phi[s0p][1]+
U[s0m][0][0]*phi[s0m][0]+U[s0m][0][1]*phi[s0m][1]-
2*phi[s][0])/(at*at);
float del0im=(U[s][0][0]*phi[s0p][1]+U[s][1][1]*phi[s0p][0]+
U[s0m][0][0]*phi[s0m][1]-U[s0m][0][1]*phi[s0m][0]-
2*phi[s][0])/(at*at);
//arah x
43
float del1re=(U[s][1][0]*phi[s1p][0]-U[s][1][1]*phi[s1p][1]+
U[s1m][1][0]*phi[s1m][0]+U[s1m][1][1]*phi[s1m][1]-
2*phi[s][0])/(a*a);
float del1im=(U[s][1][0]*phi[s1p][1]+U[s][1][1]*phi[s1p][0]+
U[s1m][1][0]*phi[s1m][1]-U[s1m][1][1]*phi[s1m][0]-
2*phi[s][0])/(a*a);
//arah y
float del2re=(U[s][2][0]*phi[s2p][0]-U[s][2][1]*phi[s2p][1]+
U[s2m][2][0]*phi[s2m][0]+U[s2m][2][1]*phi[s2m][1]-
2*phi[s][0])/(a*a);
float del2im=(U[s][2][0]*phi[s2p][2]+U[s][2][1]*phi[s2p][0]+
U[s2m][2][0]*phi[s2m][1]-U[s2m][2][1]*phi[s2m][0]-
2*phi[s][0])/(a*a);
//arah z
float del3re=(U[s][3][0]*phi[s3p][0]-U[s][3][1]*phi[s3p][1]+
U[s3m][3][0]*phi[s3m][0]+U[s3m][3][1]*phi[s3m][1]-
2*phi[s][0])/(a*a);
float del3im=(U[s][3][0]*phi[s3p][1]+U[s][3][1]*phi[s3p][0]+
U[s3m][3][0]*phi[s3m][1]-U[s3m][3][1]*phi[s3m][0]-
2*phi[s][0])/(a*a);
//total
float Sre = del0re + del1re + del2re + del3re;
float Sim = del0im + del1im + del2im + del3im;
float Sreal=a*a*a*at*(-phi[s][0]*Sre - phi[s][1]*Sim +
mass*mass*(phi[s][0]*phi[s][0]+phi[s][1]*phi[s][1]));
return Sreal;
/*===================================================================*/
/* Program untuk meng-update dengan algoritma Metropolis */
/*===================================================================*/
void update()
for (m[0]=0;m[0]<Nt;m[0]++)
for (m[1]=0;m[1]<N;m[1]++)
for (m[2]=0;m[2]<N;m[2]++)
for (m[3]=0;m[3]<N;m[3]++)
s=m[0]+N*(m[1]+N*(m[2]+N*m[3]));
float old_p_real = phi[s][0];
float old_p_imag = phi[s][1];
float old_S_real = S(m);
phi[s][0] = phi[s][0] +
(2.0*epsilon*(rand()/(RAND_MAX+1.0))-epsilon);
phi[s][1] = phi[s][1] +
(2.0*epsilon*(rand()/(RAND_MAX+1.0))-epsilon);
float dS0 = S(m) - old_S_real;
float u = rand()/(RAND_MAX+1.0);
if (dS0 >0 && exp(-dS0)< u)
phi[s][0] = old_p_real;
phi[s][1] = old_p_imag;
44
/*===================================================================*/
/* Program menghitung propagator */
/*===================================================================*/
float computeG(int n0, int n1, int n2, int n3)
GG = 0;
float g = 0;
for (m[0]=0;m[0]<Nt;m[0]++)
for (m[1]=0;m[1]<N;m[1]++)
for (m[2]=0;m[2]<N;m[2]++)
for (m[3]=0;m[3]<N;m[3]++)
s = m[0]+N*(m[1]+N*(m[2]+N*m[3]));
sp = (m[0]+n0)%Nt1+N*((m[1]+n1)%N1+
N*((m[2]+n2)%N1+N*(m[3]+n3)%N1));
g = g+phi[sp][0]*phi[s][0]+phi[sp][1]*phi[s][1];
return GG = g/(N*N*N*Nt);
/*===================================================================*/
/* Program menghitung Monte Carlo estimator */
/*===================================================================*/
void MCavg()
inisialisasi();
/* termalisasi */
for (j=0;j<200*Ncor;j++)
update();
for (alpha=0;alpha<Ncf;alpha++)
for (j=0;j<Ncor;j++)
update();
dE[alpha]=(log(abs(computeG(n0,0,0,0)/computeG(n0+1,0,0,0))))/at;
rata2dE();
rata2dE2();
sdevdE();
bootstrap();
void rata2dE()
// Ncf1
float avgdE_a = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf1;alpha++)
avgdE_a = avgdE_a + dE[alpha];
45
float ratadE_a = avgdE_a/Ncf1;
rdE_a[i] = ratadE_a;
// Ncf2
float avgdE_b = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf2;alpha++)
avgdE_b = avgdE_b + dE[alpha];
float ratadE_b = avgdE_b/Ncf2;
rdE_b[i] = ratadE_b;
// Ncf
float avgdE_c = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf;alpha++)
avgdE_c = avgdE_c + dE[alpha];
float ratadE_c = avgdE_c/Ncf;
rdE_c[i] = ratadE_c;
void rata2dE2()
// Ncf1
float avgdE2_a = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf1;alpha++)
avgdE2_a = avgdE2_a + dE[alpha]*dE[alpha];
float ratadE2_a = avgdE2_a/Ncf1;
rdE2_a[i] = ratadE2_a;
// Ncf2
float avgdE2_b = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf2;alpha++)
avgdE2_b = avgdE2_b + dE[alpha]*dE[alpha];
float ratadE2_b = avgdE2_b/Ncf2;
rdE2_b[i] = ratadE2_b;
// Ncf
float avgdE2_c = 0;
for (alpha=0;alpha<Ncf;alpha++)
avgdE2_c = avgdE2_c + dE[alpha]*dE[alpha];
float ratadE2_c = avgdE2_c/Ncf;
rdE2_c[i] = ratadE2_c;
void sdevdE()
// Ncf1
float sdev2_a = 0;
float sdevl_a = 0;
sdev2_a = (abs(rdE2_a[i]-(rdE_a[i]*rdE_a[i])))/Ncf1;
sdevl_a = sqrt(sdev2_a);
sdev_a[i]=sdevl_a;
// Ncf2
float sdev2_b = 0;
46
float sdevl_b = 0;
sdev2_b = (abs(rdE2_b[i]-(rdE_b[i]*rdE_b[i])))/Ncf2;
sdevl_b = sqrt(sdev2_b);
sdev_b[i]=sdevl_b;
// Ncf
float sdev2_c = 0;
float sdevl_c = 0;
sdev2_c = (abs(rdE2_c[i]-(rdE_c[i]*rdE_c[i])))/Ncf;
sdevl_c = sqrt(sdev2_c);
sdev_c[i]=sdevl_c;
/*===================================================================*/
/* Program menghitung Monte Carlo estimator dgn bootstrap sampling */
/*===================================================================*/
void bootstrap()
// Ncf1
float dE_boot_a = 0;
float dE2_boot_a = 0;
for (int j=0;j<Ncf1;j++)
int alpha2 = int(Ncf1*(rand()/(RAND_MAX+1.0)));
dE_boot_a = dE_boot_a + dE[alpha2];
dE2_boot_a = dE2_boot_a + dE[alpha2]*dE[alpha2];
float avg_dE_boot_a = dE_boot_a/Ncf1;
rdE_boot_a[i]=avg_dE_boot_a;
float avg_dE2_boot_a = dE2_boot_a/Ncf1;
rdE2_boot_a[i]=avg_dE2_boot_a;
float boot_sdev2_a = 0;
float boot_sdevl_a = 0;
boot_sdev2_a = (abs(rdE2_boot_a[i]-(rdE_boot_a[i]*rdE_boot_a[i])))/Ncf1;
boot_sdevl_a = sqrt(boot_sdev2_a);
boot_sdev_a[i]=boot_sdevl_a;
// Ncf2
float dE_boot_b = 0;
float dE2_boot_b = 0;
for (int j=0;j<Ncf2;j++)
int alpha2 = int(Ncf2*(rand()/(RAND_MAX+1.0)));
dE_boot_b = dE_boot_b + dE[alpha2];
dE2_boot_b = dE2_boot_b + dE[alpha2]*dE[alpha2];
float avg_dE_boot_b = dE_boot_b/Ncf2;
rdE_boot_b[i]=avg_dE_boot_b;
float avg_dE2_boot_b = dE2_boot_b/Ncf2;
rdE2_boot_b[i]=avg_dE2_boot_b;
float boot_sdev2_b = 0;
float boot_sdevl_b = 0;
boot_sdev2_b = (abs(rdE2_boot_b[i]-(rdE_boot_b[i]*rdE_boot_b[i])))/Ncf2;
boot_sdevl_b = sqrt(boot_sdev2_b);
boot_sdev_b[i]=boot_sdevl_b;
// Ncf
float dE_boot_c = 0;
47
float dE2_boot_c = 0;
for (int j=0;j<Ncf;j++)
int alpha2 = int(Ncf*(rand()/(RAND_MAX+1.0)));
dE_boot_c = dE_boot_c + dE[alpha2];
dE2_boot_c = dE2_boot_c + dE[alpha2]*dE[alpha2];
float avg_dE_boot_c = dE_boot_c/Ncf;
rdE_boot_c[i]=avg_dE_boot_c;
float avg_dE2_boot_c = dE2_boot_c/Ncf;
rdE2_boot_c[i]=avg_dE2_boot_c;
float boot_sdev2_c = 0;
float boot_sdevl_c = 0;
boot_sdev2_c = (abs(rdE2_boot_c[i]-(rdE_boot_c[i]*rdE_boot_c[i])))/Ncf;
boot_sdevl_c = sqrt(boot_sdev2_c);
boot_sdev_c[i]=boot_sdevl_c;
48