permasalahan kabut asap dalam hubungan indonesia
TRANSCRIPT
PERMASALAHAN KABUT ASAP
DALAM HUBUNGAN INDONESIA DAN MALAYSIA
PADA PERIODE 1997-2006
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh:
DWI WAHYUNI
NIM. 106083002802
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
PERMASALAHAN KABUT ASAP
DALAM HUBUNGAN INDONESIA DAN MALAYSIA
PADA PERIODE 1997-2006
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh:
DWI WAHYUNI
NIM. 106083002802
Menyetujui,
Pembimbing Penasehat Akademik
Mutiara Pertiwi, M.A. Nazaruddin Nasution, SH., MA.
NIP. 198011292009122002 NIP. 020001548
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
PERMASALAHAN KABUT ASAP
DALAM HUBUNGAN INDONESIA DAN MALAYSIA
PADA PERIODE 1997-2006
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh :
DWI WAHYUNI
NIM. 106083002802
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Mutiara Pertiwi, M.A.
NIP. 198011292009122002
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Permasalahan Kabut Asap Dalam Hubungan
Indonesia dan Malaysia Pada Periode 1997-2006” telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 22 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata
1 (S1) Jurusan Ilmu Hubungan Intenasional.
Jakarta, 22 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan
Dina Afrianty, Ph.D Agus Nilmada Azmi, M.Si.
NIP. 1973041199032002 NIP. 197808042009121002
Pembimbing
Mutiara Pertiwi, M.A.
NIP. 198011292009122002
Penguji I Penguji II
Dina Afrianty, Ph.D Friane Aurora, M.Si.
NIP. 1973041199032002 NIP. 198606172011012009
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Juni 2011
Dwi Wahyuni
iv
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang permasalahan kabut asap dalam hubungan
Indonesia dan Malaysia pada periode 1997-2006. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis bagaimana permasalahan kabut asap terhadap hubungan
Indonesia dan Malaysia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang
bersifat deskriptif. Dalam penulisan, penulis menggunakan data primer dan
sekunder. Data primer berupa wawancara dan dokumen resmi dari pemerintah
Indonesia, sedangkan data sekunder berupa buku, jurnal, media surat kabar,
internet terpercaya dan artikel. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam
skripsi ini adalah kebijakan luar negeri, kepentingan nasional, dan diplomasi.
Penulis menemukan, bahwa kabut asap menjadi permasalahan yang
mengganggu jika dilihat dari kepentingan nasional kedua negara, namun tidak
sampai menghalangi kerjasama di berbagai bidang di antara Indonesia dan
Malaysia. Kedua negara sepakat untuk menyelesaikan permasalahan kabut asap
melalui kerjasama daripada dengan langkah konfrontasi. Hal tersebut dibuktikan
dengan adanya Memorandum of Understanding (MoU) mengenai kabut asap.
Argumen ini dirumuskan dengan analisa permasalahan kabut asap di Indonesia,
kebijakan Indonesia dan Malaysia dalam merespon isu kabut asap.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat, hidayah
serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Permasalahan Kabut Asap Dalam Hubungan Indonesia dan Malaysia Pada
Periode 1997-2006”. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide,
maupun pemikiran. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Bahtiar Efendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Program Studi Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Agus Nilmada Azmi, M.Si., sebagai Sekretaris Program Studi Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Nazaruddin Nasution, SH, MA., sebagai Pembimbing Akademik Jurusan
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Mutiara Pertiwi, MA., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan, dan ilmunya
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas
vi
kesabaran dan motivasi yang berharga sehingga menjadi pengalaman yang
tak terlupakan di hati penulis.
6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Armein Daulay M.Si.,
Kiky Rizky M.Si., Adian Firnas, S.Sos, M.Si., Rahmi Fitriyanti, M.Si.,
yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam
menyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswi.
7. Seluruh staf di Jurusan Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Bapak Amali, Bapak Nanda, Bapak Jajang yang telah memberikan
bantuan dan pelayanan yang berhubungan dengan administrasi
perkuliahan.
8. Kedua orang tua penulis, Bapak Suyitno dan Ibu Karsih yang telah
membesarkan, mendidik, mendoakan, memberikan perhatian, kasih sayang
dan membantu secara moril maupun material kepada penulis. Terima kasih
papa dan mama, aku selalu sayang kalian.
9. Kakak dan Adik penulis, Muhammad Zuhry dan Agung Setiawan yang
telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
10. Husni Mubarak SE., yang telah memberikan perhatian dan setia menemani
penulis dalam mendengarkan semua keluh kesah hingga penyelesaian
skripsi ini. Thanks for u’r support to me.
11. Sahabat-Sahabat terbaik penulis, Puji Nia Rachmatika (Niut), Umi Kulsum
(Mimi), dan Iyul Yanti (Bu’Yung) yang selalu ada dalam suka dan duka,
vii
serta memberikan keceriaan selama masa perkuliahan hingga akhir
perkuliahan. I love you, i will not forget you all.
12. Sahabat sekaligus temen-teman kosan penulis, Febrina Rizky Syahrani
(Mpeb), Nurlaila Sofwan (Layla), Shinta Oktalia (Sinto), dan Kristya
Anyarani (Tiut) yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Thanks for all, i miss you so much.
13. Teman-teman seperjuangan penulis di HI, Ita Fatimah, Shabriela Yolanda,
Rosy Kamalia, Nadya Hajarani Dwilestari, Ichsan Abidilah, Anne
Normadiah, Prila Chandra Ramadhani, dan Natiqoh yang telah berjuang
bersama-sama dan memberikan saran, kritikan dan nasihat dalam skripsi
ini. Terimakasih banyak ya kawan.
14. Seluruh teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi Jurusan Hubungan
Internasional kelas A dan B angkatan 2006 yang telah memberikan rasa
kebersamaan dan keakraban selama ini. Good Luck for you all.
15. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun
tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, Thanks for all.
Semoga segala bantuan ini memperoleh imbalan di sisi Allah SWT
sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan.
Jakarta, 7 Juni 2011
Dwi Wahyuni
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR BAGAN........................................................................................... x
DAFTAR TABEL............................................................................................ xi
DAFTAR GRAFIK......................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian .................................................................... 6
C. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 6
D. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 8
D.1 Kebijakan Luar Negeri ...................................................... 8
D.2 Kepentingan Nasional ..................................................... 10
D.3 Diplomasi ........................................................................ 11
E. Metode Penelitian ........................................................................ 12
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 13
BAB II. PERMASALAHAN KABUT ASAP DI INDONESIA PADA
TAHUN 1997-2006
A. Sumber-Sumber Kabut Asap di Indonesia .................................. 16
A.1 Kegiatan Industri ........................................................... 16
A.2 Kegiatan Transportasi .................................................... 18
A.3 Kebakaran Hutan dan Lahan ......................................... 21
B. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Kebakaran Hutan
dan Lahan di Indonesia ............................................................... 23
B.1 Faktor Manusia .............................................................. 23
B.2 Faktor Alam ................................................................... 26
C. Dampak Kabut Asap di Indonesia ............................................... 27
ix
D. Mitigasi Kabut Asap Dari Kebakaran Hutan dan Lahan
di Indonesia ................................................................................. 29
BAB III. KEBIJAKAN INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM
MERESPON ISU KABUT ASAP
A. Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu
Kabut Asap .................................................................................. 34
A.1 Indonesia ............................................................................ 35
A.2 Malaysia ............................................................................. 37
B. Kepentingan Nasional Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu Kabut
Asap ............................................................................................. 38
B.1 Indonesia ............................................................................ 38
B.2 Malaysia ............................................................................. 40
C. Diplomasi Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu Kabut Asap ... 41
D. Analisis Perrmasalahan Kabut Asap Dalam Hubungan
Indonesia dan Malaysia ............................................................... 44
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... xiii
Lampiran-Lampiran
x
DAFTAR BAGAN
I. Konsep Kebijakan Luar Negeri .................................................................... 9
xi
DAFTAR TABEL
I. Luas Kebakaran Hutan dan Perkiraan Kerugian Akibat
Kabut Asap di Indonesia Tahun 1997-2006 ............................................... 29
II. Pendanaan Mitigasi Kabut Asap dari Kebakaran Hutan
dan Lahan di Indonesia Tahun 1997-2006 ................................................. 33
III. Kerugian Kebakaran dan Kabut Asap di Indonesia Tahun 1997 ............... 39
IV. Kerugian Malaysia Akibat Kabut Asap Dari Indonesia Tahun 1997 ......... 40
V. API di Malaysia .......................................................................................... 45
VI. Tindakan Indonesia dan Malaysia Dalam Merespon Isu Kabut Asap
Tahun 1996-2006 ........................................................................................ 46
xii
DAFTAR GRAFIK
I. Jumlah Industri di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa Tahun
1997-2006 ................................................................................................... 17
II. Jumlah Kendaraan Bermotor di Indonesia Tahun 1997-2006 (Unit) ......... 19
III. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Tahun 1997-2006 (Ha) ... 22
IV. Ikhtisar Dampak Kabut Asap di Indonesia (%) .......................................... 28
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai literatur memberikan istilah berbeda mengenai kabut asap.
Berdasarkan Kamus Bahasa Inggris Oxford, kabut asap diterjemahkan dari tiga
istilah dalam bahasa inggris, yaitu (1) haze, yang berarti kabut tipis (slight mist);
(2) smoke yang berarti subtansi hasil pembakaran berupa gas yang terlihat oleh
mata (visible vapour from burning subtance); dan (3) smog adalah kabut asap
tebal (dense smoky fog).1 Menurut Winarso, haze, smog (smoke and fog) adalah
berbagai macam polutan yang berasal dari beragam sumber yang berbeda dengan
fenomena atau proses fisik yang berbeda pula.2 World Resources Institute (WRI)
memperjelas istilah kabut asap sebagai smog karena kategori kabut asap sudah
termasuk pencemaran udara (urban air pollution) yang mengandung zat kimia
berbahaya bagi manusia dan hewan.3 Sementara dalam istilah meteorologi, kabut
asap menggunakan istilah smog, yaitu debu halus atau partikel garam (salt
particle) yang berbahaya dan cenderung mengurangi jarak pandang.4
1 A.S. Homby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, New York:
Oxford University Press, 2000, h. 622 & 1268. 2 P.A Winarso, Several Aspect of Haze, Fog, and Smog, Possibility Occurrence Over
Tropical Region of Indonesia, In Proceeding The ASEAN Workshop on The Transboundary
Pollution of Haze, Balikpapan: Indonesia, 1992, h. 11. 3 Charles Victor Barber dan James Schweithelm, Penggunanaan Oleh Api: Kebakaran
Hutan dan Kebijakan Kehutanan di Masa Krisis dan Reformasi Indonesia, edisi terjemahan dari
Trial by Fire: Forest Fires and Forestry policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform,
Washington D.C: World Resources Institute, 2000, h. 10. 4 “Weather Words”, diakses dari http://www.bom.gov.au/weather-services/about/
definitions.shtml, pada tanggal 02 Mei 2011, pukul 11.09 WIB.
2
Permasalahan kabut asap mendapat perhatian khusus aktor internasional
karena memiliki potensi melintasi batas negara. Menurut Elliot, pencemaran udara
lintas batas (transboundary air pollution) bukan masalah baru dalam politik
internasional.5 Masalah ini telah menjadi pembicaraan dalam hubungan
internasional sejak tahun 19606 dan menjadi salah satu agenda yang diangkat
dalam Konferensi Stockholm tahun 1972.7 Konferensi ini dihadiri oleh 114 kepala
negara, kepala pemerintahan, dan beberapa Non Government Organization (NGO)
dari seluruh dunia yang melakukan negosiasi untuk merumuskan perjanjian-
perjanjian internasional. Salah satu isu yang dibahas dalam konferensi ini isu
pencemaran lintas batas atau yang dikenal dengan kabut asap. Hasil dari
konferensi tersebut adalah dibentuknya sebuah badan internasional yaitu United
Nations Environmental Programme (UNEP).8 Internasionalisasi masalah kabut
asap ini, dianggap penting karena berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi,
sosial, dan ekologi di dalam negeri maupun negara tetangga.
Secara umum, terjadinya kabut asap bersumber dari kegiatan industri,
kegiatan transportasi, kebakaran hutan dan lahan. Pada kegiatan industri, kabut
asap bersumber dari proses produksi yang dilakukan oleh pabrik-pabrik.9 Pada
kegiatan transportasi, sumber utama kabut asap berasal dari transportasi darat,
5 Lorraine Elliot, The Global Politics of The Environment, Second Edition, New York:
Washington Squere, 2004, h. 7. 6 Ditandai oleh pesatnya proses industrialisasi di Eropa Barat, seperti Inggris, Jerman, dan
sejumlah negara Eropa Tengah yang berimplikasi pada pencemaran udara. Polutan yang dihasilkan
mengandung sulfur dioksida dan nitrogen oksida berasal dari asap pabrik, kendaraan bermotor,
stasiun pembangkit tenaga listrik, dan pembakaran dengan menggunakan energi batubara yang
dilepas ke udara sehingga mencemari udara di negara Skandinavia, dikutip dalam Elliot, Ibid, h. 7. 7 Lorraine Elliot, The Global Politics of The Environment, London: Mac Millan Press
LTD, 1998, h. 37-39. 8 Lorraine Elliot, The Global Politics of The Environment, Second Edition, h. 11-12.
9 Lailan Syaufina, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, Prilaku Api, Penyebab dan
Dampak Kebakaran, Malang: Bayumedia, 2008, h. 62.
3
khususnya kendaraan bermotor.10
Sedangkan, pada kegiatan kebakaran hutan dan
lahan, kabut asap bersumber dari aktivitas manusia yang membuka lahan hutan
dengan cara membakar dan penebangan liar.11
Salah satu negara yang menjadi sumber kabut asap di Asia Tenggara
adalah di kawasan Indonesia. Sumber penyebab dominan kabut asap di Indonesia
yaitu dari kebakaran hutan dan lahan.12
Indikasi ini terlihat nyata sejak Indonesia
mengalami kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar, sekitar 161.798 ha lahan
pada tahun 1982. Kebakaran tersebut, khususnya terjadi di Pulau Kalimantan dan
Sumatera.13
Kemudian, tercatat beberapa kebakaran hutan dan lahan lainnya yang
cukup besar pada tahun 1997 hingga 2006. Pada periode tersebut, setidaknya
terjadi sepuluh kali kebakaran hutan dan lahan dengan kerugian sekitar 526.945
ha lahan.14
Kebakaran hutan dan lahan yang paling besar terjadi pada tahun 1997
yang membakar sekitar setengah dari total keseluruhan lahan di Indonesia yakni
263.991 ha.
Berdasarkan penelitian Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 90
persen penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang terjadi tahun 1997-
2006 adalah faktor manusia dan 10% disebabkan oleh faktor alam.15
Faktor
10
Syaufina, Ibid, h. 63. 11
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, edisi terjemahan dari Indonesian’s Fires and Haze The Cost of Catastrophe,
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2002, h. 5. 12
Isu kabut asap dari kebakaran hutan mulai mendapat perhatian di Asia Tenggara pada
tahun 1985, melalui organisasi di Asia Tenggara yaitu Association of South East Asian Nations
(ASEAN) yang menghasilkan ASEAN Agreement on The Conservation of Nature And Natural
Resource. Perjanjian tersebut berisi kebijakan-kebijakan negara anggota ASEAN untuk mencegah
kebakaran hutan yang dapat mengakibatkan kabut asap, dikutip dalam “Agreement on the
Conservation of Nature and Natural Resources 9 Juli 1985”, diakses dari
http://www.aseansec.org/1490.htm, pada tanggal 04 April 2011, pukul 18.20 WIB. 13
Harry Suryadi dan Hira Jhamtani, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana
Tindak Penanggulangan Bencana, Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 1998, h. 1. 14
Yetti Rusli, Data Strategis Kehutanan 2008, Jakarta: Departemen Kehutanan, 2008, h.
153. 15
Rusli, Ibid, h. 151.
4
manusia tersebut biasanya berbentuk aktivitas pembukaan lahan dengan cara
membakar. Pada umumya, lahan atau hutan sengaja dibakar dengan alasan
berikut: (1) kegiatan perladangan oleh masyarakat sekitar hutan di Pulau
Kalimantan dan Sumatera; (2) pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI); (3)
pembukaan lahan untuk kelapa sawit; dan (4) konflik atau pertikaian hak tanah
antara pemilik Hak Pengusaha Hutan (HPH) dengan penduduk asli sekitar hutan
di Kalimantan dan Sumatera.16
Sedangkan, faktor alam biasanya timbul dari
kondisi cuaca yang sangat panas akibat fenomena El Nino.17
Fenomena El Nino
adalah gejala alam yang disebabkan naiknya suhu dipermukaan laut hingga
mencapai sekitar 5-6 derajat Celcius di wilayah khatulistiwa dan timur laut Lautan
Pasifik.18
Kenyataannya, baik faktor alam dan manusia bisa terjadi secara
bersamaan.19
Biasanya, hutan dan lahan di Indonesia dibakar untuk kegiatan
pembukaan lahan. Namun, kebakaran menjadi meluas karena didukung juga oleh
kondisi cuaca yang sangat panas akibat fenomena El Nino.
Menurut penelitian David Glover tahun 2002, kabut asap dari kebakaran
hutan di Indonesia tahun 1997 telah membawa kerugian cukup besar bagi
Indonesia, yaitu sekitar US $ 4 milyar.20
Kerugian tersebut mencakup kerugian
kayu, pertanian, perkebunan, produksi hutan, keanekaragaman hayati, pelepasan
karbon, biaya pemadaman kebakaran, kesehatan, transportasi, dan pariwisata.21
16
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, h. 6-9. 17
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Analisis Kebijakan Penanggulangan
Kebakaran Hutan dan Lahan, Jakarta: Kantor Negara Lingkungan Hidup, 1998, h. 8. 18
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Ibid, h. 14-15. 19
Harry Suryadi dan Hira Jhamtani, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana
Tindak Penanggulangan Bencana, h. 20. 20
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, h. 135. 21
Glover and Jessup, Ibid, h. 105.
5
Ini menunjukkan bahwa permasalahan kabut asap memiliki implikasi yang luas
dan lintas sektor.
Selanjutnya, kabut asap di Indonesia tidak hanya berpengaruh didalam
negeri, tetapi di beberapa negara tetangga, khususnya Malaysia. Menurut
penelitian David Glover, Malaysia adalah korban terparah dari kabut asap
Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga lain.22
Misalnya saja pada tahun
1997, Malaysia mengalami kerugian akibat kabut asap Indonesia sekitar US $
321 juta.23
Kerugian ini mencakup biaya kesehatan, pengeluaran untuk masker,
pemadaman kebakaran, penyemaian awan, pembatalan penerbangan, penurunan
jumlah wisatawan, produktivitas, dan penurunan jumlah tangkapan ikan.24
Masalah kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu
masalah yang belum memiliki penyelesaian jangka panjang dan cenderung
terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Hal ini membuat masyarakat Malaysia yang
tergabung dalam Partai Aksi Demokrasi (Democratic Action Party) mengirim
nota protes dan aksi protes ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di
Malaysia. Mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk mengambil sikap tegas
terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan di Indonesia. Nota protes dan aksi
protes tersebut dilakukan oleh masyarakat Malaysia pada tahun 199725
dan 2005
ketika kabut asap yang paling parah melintasi batas negara mereka.26
22
Glover and Jessup, Ibid, h. 29. 23
Glover and Jessup, Ibid, h. 57. 24
Glover and Jessup, Ibid, h. 29. 25
“Kabut Asap Juga Dari Lahan perkebunan Investor Malaysia”, diakses dari
http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=87332, pada tanggal 5 Maret 2011, pukul 13.24
WIB. 26
“Kabut Asap: Rakyat Malaysia Marah”, diakses dari http://www.suarakarya-
online.com/news.html?id=118116, pada tanggal 5 Maret 2011, pukul 16.33 WIB.
6
Adanya reaksi dari Malaysia terhadap masalah kabut asap di Indonesia
tersebut merupakan indikasi bahwa isu kabut asap sudah memiliki implikasi
internasional. Ini menarik untuk diteliti karena isu ini memiliki potensi
mengganggu hubungan bilateral kedua negara. Skripsi ini akan
menginvestigasinya dengan analisa dan paparan data di bagian-bagian
selanjutnya.
B. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan mendasar yang menjadi acuan penilitian ini yaitu,
“Bagaimana permasalahan kabut asap dalam hubungan Indonesia dan
Malaysia?”.
C. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian sudah dilakukan mengenai masalah kabut asap di
Indonesia dan dampaknya terhadap negara-negara tetangganya. Salah satunya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Atom Ginting Munthe dengan judul
“Kebakaran Hutan di Indonesia Sebagai Isu Keamanan Lingkungan Regional”
tahun 2008. Dalam penelitiannya, Munthe menjelaskan bahwa penyebab utama
kabut asap di Indonesia adalah kesengajaan yang dilakukan oleh manusia, antara
lain masyarakat dan pengusaha perkebunan yang membakar hutan atau lahan.
Alasan ini dianggap menghemat biaya, lebih praktis tanpa modal dan tenaga yang
besar.27
Perilaku tersebut terus dilakukan karena lemahnya hukum di Indonesia.
Munthe berargumen bahwa pemerintah seharusnya memberikan sangsi hukum
27
Atom Ginting Munthe, “Kebakaran Hutan di Indonesia Sebagai Isu Keamanan
Lingkungan Regional”, Bandung: Parahyangan Centre for International Studies (PACIS) (Jurnal
Ilmiah Hubungan Internasional) Vol. 3 No. 7, Januari 2007, h 687.
7
yang berat terhadap para pelaku pembakaran hutan dan lahan, agar menimbulkan
efek jera bagi mereka.
Penelitian lain mengenai kabut asap juga dilakukan oleh David Glover dan
Timothy Jessup dengan judul “Indonesian’s Fires and Haze The Cost of
Catastrophe” tahun 2002. Penelitiannya mengungkap bahwa dampak kabut asap
di Indonesia tahun 1997, tidak hanya dialami oleh Indonesia tetapi juga dirasakan
oleh negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Kabut asap tahun
1997 telah meningkatkan polusi udara di kedua negara tersebut sehingga
berdampak pada kesehatan, penurunan produksi perikanan, gangguan transportasi,
pariwisata dan ketidaknyamanan masyarakat Malaysia dan Singapura untuk
melakukan aktivitas diluar rumah.28
Glover dan Jessup menyarankan agar
pemerintah Indonesia secepatnya menanggulangi kabut asap supaya tidak terlalu
lama kabut asap melintasi batas negara mereka dan tidak terulang lagi dimasa
yang akan datang.
Skripsi ini ingin menambah kajian hubungan internasional dengan fokus
pada permasalahan kabut asap dalam hubungan Indonesia dan Malaysia. Dengan
melihat berbagai kebijakan mengenai permasalahan kabut asap di Indonesia dan
Malaysia, diharapkan dapat membantu dalam menganalisis permasalahan yang
ada.
28
Glover and Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia, h.
57 & 95.
8
D. Kerangka Pemikiran
D.1 Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri sebenarnya telah banyak dibahas oleh para peneliti
ilmiah dan akademisi, namun hampir semua pembahasan tersebut memiliki variasi
dasar pemikiran yang berbeda. Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau
tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara menghadapi negara lain
untuk mencapai tujuan nasional yang dituangkan dalam kepentingan nasional.
Kebijakan luar negeri menurut K.J. Holsti adalah sikap dan tindakan yang
dilakukan oleh para pembuat keputusan suatu negara terhadap negara lain
untuk mencapai kepentingan nasional yang ingin dicapai.29 Sedangkan James
N. Rosenau mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai keseluruhan sikap dan
aktivitas negara untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan
eksternalnya.30
Oleh karena itu, menurut Rosenau, dalam menjalankan kebijakan luar
negeri suatu negara terhadap kejadian dan situasi di luar negaranya mempunyai
tiga konsep yaitu: pertama, orientasi. Orientasi adalah pedoman bagi para
pembuat keputusan untuk menghadapi lingkungan eksternal yang menuntut
pembuatan keputusan dan tindakan berdasarkan orientasi tersebut. Orientasi
terdiri dari sikap, persepsi, dan nilai-nilai dari pengalaman sejarah dan keadaan
startegis yang menentukan posisi negara dalam politik internasional.31 Maka,
kebijakan luar negeri yang dipandang sebagai orientasi mengacu pada prinsip-
29
K.J. Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, Jakarta: Pedonam
Ilmu Jaya, 1987, h. 182. 30
James N. Rosenau, Gavin Boyd, and Kenneth W. Thompson, World Politics: An
Introduction. New York: The Free Press, 1976, h. 27. 31
Rosenau, Boyd, and Thompson, Ibid, h. 16.
9
prinsip negara didalam dunia internasional, misalnya UUD 1945 dan Pancasila
yang dimiliki oleh Indonesia.
Kedua, komitmen dan rencana tindakan. Dalam hal ini, kebijakan luar
negeri dipahami sebagai alat atau cara untuk menangani suatu permasalahan dari
luar negeri. Komitmen dan rencana tindakan dilakukan oleh para pembuat
keputusan untuk membina dan mempertahankan situasi lingkungan eksternal
dengan orientasi kebijakan luar negeri.32
Ketiga, perilaku. Perilaku adalah reaksi yang diambil para pembuat
keputusan terhadap kejadian dan situasi di lingkungan eksternal. Bentuk perilaku
ini merupakan kebijakan pemerintahan yang terdiri dari kegiatan dan berdasarkan
pada orientasi, komitmen dan rencana tindakan yang ingin dicapai.33
Ketiga konsep diatas menghasilkan framework kebijakan luar negeri
Indonesia. Framework tersebut di ilustrasikan sebagai berikut:
Bagan 1.
Konsep Kebijakan Luar Negeri
32
Rosenau, Boyd, and Thompson, Ibid, h. 16. 33
Rosenau, Boyd, and Thompson, Ibid, h. 17.
Kebijakan Luar Negeri
Orientasi Komitmen dan
Rencana Tindakan
Perilaku
10
Kerangka pemikiran konsep kebijakan luar negeri di atas akan digunakan
untuk menganalisis pengambilan kebijakan luar negeri baik di Indonesia maupun
Malaysia dalam merespon permasalahan kabut asap. Hal ini penting untuk dikaji
secara mendalam karena permasalahan kabut asap di Indonesia menyangkut
kepentingan dan kebijakan dua negara.
D.2 Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional menurut K.J. Holsti merupakan konsep untuk
menentukan masa depan suatu negara melalui para pembuat keputusan dalam
merumuskan kebijakan luar negeri.34 Sementara menurut Hans J. Morgenthau,
kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar kekuasaan untuk dapat
membentuk dan mempertahankan suatu negara atas negara lain.35
Tujuan nasional yang ingin dicapai dari suatu negara antara lain
keamanan, kelangsungan hidup bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan
wilayah, dan kesejahteraan rakyat.36
Kepentingan nasional suatu negara tidak
hanya diperoleh dalam lingkup domestik saja, akan tetapi melalui kerangka
hubungan antar-negara. Kepentingan nasional mengacu pada tujuan-tujuan
nasional yang merupakan sebagai dasar dari hubungan luar negeri suatu negara.37
34
K.J. Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, h. 206. 35
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace,
Michigan University: A. A. Knopf, 1948, h. 45. 36
W. David Clinton, The Two Faces of National Interest, New York: Louisiana State
University Press, 1994, h. 54. 37
Paul Seabury, Power, Freedom, and Diplomacy: The Foreign Policy of The United
States of America, New York: Random House, 1963, h. 86.
11
D.3 Diplomasi
Diplomasi menurut Geoff Berridge dan Alan James adalah
penyelenggaraan hubungan antara negara-negara yang berdaulat melalui media
diplomat untuk mempromosikan negoisasi internasional.38
Sedangkan, Daniel S.
Papp menjelaskan diplomasi sebagai pelaksana kebijakan seorang aktor
internasional terhadap aktor lainnya untuk menetapkan sebuah pedoman mengenai
apa yang akan dilakukan dan tidak dilakukan.39
Dari dua pengertian diplomasi
diatas, penulis menyimpulkan diplomasi adalah negosiasi yang dilakukan aktor-
aktor internasional untuk menyelesaikan permasalahan nasional atau internasional
dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri.
Studi diplomasi telah mengalami perkembangan sejak berakhirnya Perang
Dingin tahun 1990. Perkembangan disebabkan diplomasi tidak lagi hanya
dilakukan oleh seorang pemerintah, tetapi dapat juga dilakukan oleh aktor-aktor
non-negara seperti individu, organisasi internasional, dan organisasi non-
pemerintah (Non Governmental Organizations/NGO).40
Secara lebih spesifik,
terdapat dua bentuk diplomasi yang akan digunakan oleh penulis dalam merespon
isu kabut asap antara Indonesia dan Malaysia, yaitu first track diplomacy dan
second track diplomacy. First track diplomacy adalah sebuah proses komunikasi
yang bersifat resmi dan rahasia dalam menyelesaikan konflik dengan negara
lain.41
First track diplomacy ini dilakukan oleh pemerintah dengan pemerintah
(government to government/G to G). Pemerintah yang dimaksud antara lain
38
Geoff Berridge and Alan James, A Dictionary of Diplomacy, Second Edition, New
York: Palgrave Macmillan, 2003, h. 69-70. 39
Daniel Papp, Contemporary International Relation: Frameworks for Understanding,
Sixth Edition, New York: Longman, 2002, h. 388. 40
Yulius P. Hermawan, Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu,
dan Metodologi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, h. 51. 41
“Track I Diplomacy”, diakses dari http://www.beyondintractability.org/essay/track1_
diplomacy/, pada tanggal 15 Maret 2009, pukul 17.05 WIB.
12
adalah presiden, menteri, dan departemen pemerintahan. First track diplomacy
dapat dilakukan secara bilateral antara dua negara, dan mutilateral dengan
beberapa negara maupun regional melalui organisasi antar-pemerintah (inter-
governmental organizations/IGOs).42
Sedangkan, second track diplomacy adalah upaya negosiasi dalam
menyelesaikan konflik antar negara yang dilakukan oleh organisasi non-
pemerintah (non-governmental organizations/NGOs) atau masyarakat dengan
masyarakat (people to people/P to P).43
NGOs adalah organisasi yang tidak
melibatkan pemerintah dalam strukturnya, bersifat independen, pencapaian
kepentingan dan tujuannya berpengaruh terhadap negara.44
E. Metode Penelitian
Metode penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Artinya, penelitian ini
melihat permasalahan kabut asap terhadap hubungan Indonesia-Malaysia dan
mengaitkan dengan teori hubungan internasional.45
Metode yang digunakan dalam
skripsi ini adalah metode kualitatif. Analisis data yang digunakan dalam skripsi
ini adalah data kuantitatif dan kualitatif.46
Penelitian ini dilakukan untuk
mempermudah pemahaman mengenai permasalahan kabut asap di Indonesia.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber dalam
pengumpulan data yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
adalah sumber data yang langsung memberikan data, berupa dokumen resmi dari
42
Ibid. 43
Geoff Berridge and Alan James, A Dictionary of Diplomacy, Second Edition, h. 260. 44
Berridge and James, Ibid, h. 187. 45
Mas’oed Mohtar, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta:
LP3ES, 1990, h. 223. 46
John W. Creswell, Research Design Qualitative and Quantitative Approaches,
California: Sage Publications, 1994, h. 145.
13
pemerintah dan wawancara.47
Penulis melakukan wawancara langsung dengan
pihak-pihak yang berkepentingan pada masalah kabut asap di Indonesia. Di
antaranya dengan instansi dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dan
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Sedangkan, sumber sekunder berupa buku, jurnal, media surat kabar,
internet dan artikel.48
Data sekunder mengenai isu kabut asap diperoleh dari
kepustakaan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan,
Kementerian Luar Negeri, Sekretariat ASEAN, dan berbagai Universitas. Data-
data yang didapat akan digunakan untuk mempelajari permasalahan kabut asap,
faktor-faktor yang melatarbelakangi kabut asap, dampak kabut asap, memahami
hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia terkait dengan isu kabut asap,
dan konsep kebijakan luar negeri yang ingin dicapai baik oleh Indonesia maupun
Malaysia terkait masalah kabut asap di Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tinjauan Pustaka
D. Kerangka Pemikiran
D.1 Kebijakan Luar Negeri
D.2 Kepentingan Nasional
D.3 Diplomasi
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
47
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta,
2009, h. 225. 48
Sugiyono, Ibid, h. 225.
14
BAB II. PERMASALAHAN KABUT ASAP DI INDONESIA PADA
TAHUN 1997-2006
A. Sumber-sumber Kabut Asap di Indonesia
A.1 Kegiatan Industri
A.2 Kegiatan Transportasi
A.3 Kebakaran Hutan dan Lahan
B. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Kebakaran Hutan dan Lahan
di Indonesia
B.1 Faktor Manusia
B.2 Faktor Alam
C. Dampak Kabut Asap di Indonesia
D. Mitigasi Kabut Asap Dari Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia
BAB III. KEBIJAKAN INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM
MERESPON ISU KABUT ASAP
A. Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu
Kabut Asap
A.1 Indonesia
A.2 Malaysia
B. Kepentingan Nasional Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu Kabut
Asap
B.1 Indonesia
B.2 Malaysia
C. Diplomasi Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu Kabut Asap
D. Analisis Perrmasalahan Kabut Asap Dalam Hubungan Indonesia
dan Malaysia
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
15
BAB II
PERMASALAHAN KABUT ASAP DI INDONESIA
PADA TAHUN 1997-2006
Kabut asap merupakan campuran udara berupa partikel yang terjadi di
atmosfer. Partikel ini berbahaya bagi manusia dan hewan yang menghirupnya.
Berdasarkan penelitian Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), sekitar
60% penduduk Indonesia menghirup udara tidak sehat akibat kabut asap pada
tahun 1997-2006.49
Kabut asap yang terjadi di Indonesia diidentifikasi David
Glover sebagai pencemaran udara yang berasal dari kebakaran hutan dalam skala
besar.50
Namun, dari hasil penelitian Kementerian Kehutanan Republik Indonesia,
kebakaran hutan tidak hanya terjadi di kawasan hutan, tetapi juga di kawasan
lahan. Khususnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera, kebakaran yang terjadi pada
periode 1997-2006 disebabkan oleh kegiatan pembukaan lahan yang dilakukan
oleh manusia.51
Untuk mengetahui permasalahan kabut asap di Indonesia pada tahun 1997-
2006, dalam bab ini penulis akan membahas mengenai: (1) sumber-sumber kabut
asap di Indonesia, (2) faktor-faktor yang melatarbelakangi kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia, (3) dampak kabut asap di Indonesia, dan (4) mitigasi kabut
asap dari kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1997-2006.
49
ASEAN Secretariat, Third ASEAN State of the Environment Report 2006, Jakarta:
ASEAN Secretariat, 2006, h 16. 50
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, h. 5. 51
Harry Suryadi dan Hira Jhamtani, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana
Tindak Penanggulangan Bencana, h. 1.
16
A. Sumber-sumber Kabut Asap di Indonesia
Seringkali, manusia dalam beraktivitas menghasilkan zat kimia berbahaya
yang dilepas ke udara, diantaranya partikel debu halus (PM10), karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur dioksida (SO2). Zat-zat berbahaya
tersebut dapat menimbulkan kabut asap dan mengganggu kesehatan manusia
antara lain infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), iritasi kulit, dan iritasi mata.52
Selain itu, zat tersebut juga dapat mengganggu jarak pandang atau penglihatan
terhadap aktivitas manusia di luar rumah. Menurut Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia sumber kabut asap di Indonesia terdiri dari kegiatan
industri, transportasi, dan kebakaran hutan.53
A.1 Kegiatan Industri
Pada kegiatan industri, kabut asap bersumber dari proses produksi
seperti pada mesin manufaktur, pemurnian petroleum, dan peleburan baja
yang dilakukan oleh pabrik-pabrik. Aktivitas pabrik tersebut, telah
menghasilkan zat kimia berbahaya yaitu NOx dan SO2 yang dilepas ke
udara. Zat berbahaya ini, mengakibatkan kabut asap yang bersifat lokal-
domestik dan tidak melintasi batas negara. Meskipun begitu, kabut asap
dapat mengganggu kesehatan manusia dan menyebabkan penyakit seperti
ISPA.54
52
“Mutu Udara Kota”, diakses dari http://www.hpli.org., pada tanggal 24 November
2010, pukul 23.24 WIB. 53
Adang Sutisna, et.al, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003, Jakarta: Kementerian
Negara Lingkungan Hidup, 2004, h. 46. 54
Sutisna, Ibid, h. 46-48.
17
Berdasarkan data statistik Perindustrian Indonesia pada tahun
1997-2006, kegiatan industri tertinggi terjadi di Pulau Jawa, khususnya di
Propinsi DKI Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang.55
Ilustrasinya
sebagai berikut:
Grafik 1.
Jumlah Industri di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa
Tahun 1997-2006
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia dan Kementerian Perindustrian Republik
Indonesia.
Data statistik di atas menunjukkan, pada tahun 2006 jumlah
industri di Pulau Jawa mengalami peningkatan sebanyak 29.412 industri.
Peningkatan tersebut terjadi pada sektor industri makanan, minuman, dan
pakaian dengan total sebanyak 9.871.56
Sedangkan, yang terendah terjadi
pada sektor industri peralatan kedokteran sebanyak 61.57
Menurut
penelitian Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, peningkatan
jumlah industri pada tahun 2006 ini dikarenakan bertambahnya jumlah
55
“Jumlah Industri Pengolahan Besar dan Sedang, Jawa dan Luar Jawa”, diakses dari
http://www.bps.go.id, pada tanggal 06 Februari 2011, pukul 23.25 WIB. 56
“Unit Usaha Industri Manufaktur Skala Besar dan Menengah”, diakses dari
http://www.kemenperin.go.id, pada tanggal 06 Februari 2011, pukul 11.07 WIB. 57
Ibid.
0
10,000
20,000
30,000
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
18,521
18,709
17,92521,228
17,413
17,118
16,607
16,901 16,995
29,412
3,847 2,7414,145
9643,983 4,028 3,717 3,784 3,734
56
Jumlah Industri di Pulau Jawa (1997-2006)
Jumlah Industri di Luar Pulau Jawa (1997-2006)
18
penduduk di Pulau Jawa. Implikasinya, terjadi peningkatan permintaan
terhadap barang dan bertambahnya jumlah tenaga kerja pada sektor
industri.58
Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia melakukan upaya penanggulangan industri di Indonesia. Ini
berupa penataan peraturan perundang-undangan pada kegiatan industri
yang mengeluarkan emisi gas buang ke udara. Mereka harus memenuhi
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: KEP-
13/MENLH/3/1995. Peraturan tersebut menjadi acuan “baku mutu emisi
industri,59
pemantauan pada kegiatan industri, pengujian secara berkala
pada mesin industri, dan penetapan bahan bakar minyak atau batu bara
dengan kadar sulfur rendah”.60
A.2 Kegiatan Transportasi
Kegiatan transportasi di darat, air, dan udara menggunakan bahan
bakar sebagai tenaga penggerak yang dapat menghasilkan asap.
Transportasi darat, khususnya pada kendaraan bermotor, merupakan
sumber utama kabut asap di kota-kota besar. Asap tersebut dihasilkan dari
gas buang setelah mengalami pembakaran, seperti Pb, PM10, CO, NOx,
dan SO2.61
Menurut Kartodihardjo, faktor yang mempengaruhi kabut asap dari
kegiatan kendaraan bermotor adalah meningkatnya jumlah kendaran
58
Ibid. 59
Lihat lampiran. 60
Hariadi Kartodihardjo, et.al, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2002, Jakarta:
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2003, h. 54. 61
Kartodihardjo, Ibid, h. 36.
19
bermotor, minimnya budaya perawatan kendaraan bermotor secara teratur,
dan rendahnya kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM).62
Bahan bakar
kendaraan bermotor di Indonesia didominasi oleh premium dan solar.
Sebagian besar bahan bakar premium tersebut, belum ramah lingkungan
karena masih menggunakan Pb yang termasuk penghasil zat terbesar dari
kendaraan bermotor.63
Gas-gas yang terdapat dalam asap kendaraan
bermotor tersebut berdampak pada kesehatan manusia, seperti saluran
pernafasan, iritasi mata, dan paru-paru.64
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Lingkungan Hidup
Indonesia pada tahun 1997-2006, di Indonesia khususnya DKI Jakarta,
Bandung, Semarang, dan Surabaya jumlah kendaraan bermotor selalu
mengalami peningkatan setiap tahunnya.65
Ilustrasinya sebagai berikut:
Grafik 2.
Jumlah Kendaraan Bermotor di Indonesia
Tahun 1997-2006 (Unit)
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia.
62
Kartodihardjo, et.al, Ibid, h. 37. 63
Kartodihardjo, et.al, Ibid, h. 37. 64
“Pencemaran Udara dari Sektor Transportasi”, diakses dari http://www.bplhdjabar.
go.id, pada tanggal 03 Maret 2011, pukul 01.24 WIB. 65
“Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis tahun 1987-2008”, diakses
dari http://www.bps.go.id, pada tanggal 06 Februari 2011, pukul 10.50 WIB.
0
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
16,535,119
17,611,767
18,224,149
18,975,344
21,201,272
22,985,193
26,706,705
30,769,093
38,156,278
45,081,255
Jumlah Kendaraan Bermotor di Indonesia Tahun 1997-2006 (Unit)
20
Data statistik di atas menunjukkan, pada tahun 2006 jumlah
kendaraan bermotor di Indonesia mengalami peningkatan sebanyak
45.081.255 kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor tersebut meliputi
mobil penumpang sebanyak 6.615.104, bus sebanyak 1.511.129, truk
sebanyak 3.541.800, dan sepeda motor sebanyak 33.413.222.66
Menurut
penelitian Kementerian Lingkungan Hidup, peningkatan jumlah kendaraan
bermotor pada tahun 2006 ini dikarenakan semakin padatnya penduduk di
kota-kota besar dalam beraktivitas dengan menggunakan kendaraan
bermotor, khususnya sepeda motor.67
Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia melakukan upaya penanggulangan terhadap kendaraan bermotor
di Indonesia. Ini berupa penataan peraturan perundang-undangan pada
kendaraan bermotor yang mengeluarkan emisi gas buang ke udara. Mereka
harus memenuhi Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: KEP-
35/MENLH/10/1993. Peraturan tersebut menetapkan tentang “batas emisi
gas buang kendaraan bermotor, pelaksanaan uji emisi kendaraan bermotor,
pengembangan manajemen transportasi melalui pengelolaan lalu lintas di
jalan, dan pengalihan model transportasi ke jenis angkutan kereta api.
Selain itu, terdapat pula ketentuan penyesuaian angkutan umum dengan
kebijakan tata ruang kota, dan peningkatan peran masyarakat melalui
komunikasi untuk memberikan informasi pengendalian emisi kendaraan
bermotor”.68
66
Ibid. 67
Hendra Setiawan, et.al, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006, Jakarta:
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007, h. 74. 68
Hariadi Kartodihardjo, et.al, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2002, h. 52-54.
21
A.3 Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sebagai sumber penyebab
kabut asap yang bersifat lintas batas negara. Musim kemarau panjang di
Indonesia seringkali menyebabkan kebakaran hutan dan lahan berasal dari
ranting-ranting pohon kering, akibat panas yang ditimbulkan oleh batu
atau benda lainnya yang dapat menghantarkan panas. Menurut penelitian
David Glover, pada dekade terakhir ini, kebakaran hutan dan lahan
seringkali disebabkan oleh faktor manusia yang membuka lahan hutan
dengan cara membakar dan penebangan liar.69
Pembakaran hutan dan
lahan tersebut dapat menghasikan kabut asap dan zat berbahaya, seperti
PM10, CO, NOx, dan SO2. Zat berbahaya ini dapat mengganggu kesehatan
manusia, antara lain memicu ISPA, asma, iritasi kulit, iritasi mata, dan
paru-paru.70
Berdasarkan data statistik Kementerian Kehutanan Indonesia,
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 1997-2006 terjadi hampir
setiap tahun di beberapa Propinsi, khususnya Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan
Sulawesi Selatan.71
69
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, h. 5. 70
Glover and Jessup, Ibid, h. 10. 71
Yetti Rusli, Data Strategis Kehutanan 2008, h. 153.
22
Grafik 3.
Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia
Tahun 1997-2006 (Ha)
Sumber: Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia.
Data statistik di atas menunjukkan, kebakaran hutan dan lahan
pada tahun 1997 mengalami peningkatan cukup tinggi yaitu sekitar
263.991 ha lahan.72
Peningkatan ini disebabkan cuaca yang sangat panas
akibat fenomena El-Nino. Selanjutnya, peningkatan kebakaran hutan
kembali terjadi secara berangsur pada tahun 1999, 2002, dan 2006.
Namun, kenaikan pada periode tersebut tidak sebesar pada tahun 1997.
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia mengalami fluktuasi dalam periode 10 tahun dimulai dari tahun
1997-2006.
Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
melakukan upaya penanggulangan kebakaran hutan, sebagaimana terdapat
pada:73
(1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 78 tentang
penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan; (2) Peraturan
72
Rusli, Ibid, h. 153. 73
Lihat lampiran.
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Tahun 1997-2006 (Ha)
23
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Pasal 17-19 tentang penanggulangan
kebakaran hutan; dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
Pasal 23 tentang pencegahan kebakaran hutan.
B. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Kebakaran Hutan dan Lahan di
Indonesia.
Sebagaimana pemaparan di atas, kabut asap yang terjadi di Indonesia
disebabkan oleh banyak faktor. Akan tetapi, yang paling dominan menyebabkan
kabut asap di Indonesia tahun 1997-2006 adalah kebakaran hutan dan lahan.
Terdapat dua faktor yang melatarbelakangi kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia tahun 1997-2006, yaitu faktor manusia dan faktor alam.
B.1 Faktor Manusia
Berdasarkan penelitian Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia, 90% dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 1997-
2006 disebabkan oleh faktor manusia.74
Adapun 47% pembakaran hutan
dan lahan tersebut dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan, sedangkan
43% dilakukan oleh pengusaha perkebunan.75
Penelitian Rusli
mengungkapkan bahwa pembakaran lahan banyak dilakukan untuk
menghemat biaya dan mempercepat proses pembakaran lahan.76
74
Rusli, Ibid, h. 151. 75
Rusli, Ibid, h. 151. 76
Rusli, Ibid, h. 150.
24
Pada umumnya, menurut David Glover, hutan dan lahan sengaja
dibakar dengan alasan berikut:77
pertama, kegiatan perladangan khususnya
di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Pembakaran dilakukan oleh
masyarakat sekitar hutan untuk penyiapan lahan pemukiman, transmigrasi,
perindustrian, dan pertanian yang dibiayai oleh pemilik modal dengan
sistem ijon atau sistem bagi hasil. Penyiapan lahan dengan membakar
tersebut sudah menjadi tradisi masyarakat sekitar hutan di Pulau
Kalimantan dan Sumatera sejak tahun 1982 dengan menggunakan api.
Bagi masyarakat sekitar hutan, penggunaan api dalam penyiapan lahan
cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah untuk meningkatkan
kandungan unsur hara dan mengurangi kemasaman. Sampai tahun 2006,
kegiatan ini masih terus berlangsung di Pulau Kalimantan dan Sumatera
sehingga meningkatkan resiko kebakaran dan menghasilkan kabut asap.78
Alasan kedua, hutan dan lahan dibakar untuk pengembangan Hutan
Tanaman Industri (HTI) sejak tahun 1996.79
Pengembangan HTI di
Indonesia, khususnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera mengalami
peningkatan setiap tahunnya sebesar 10%.80
Pengembangan HTI pada
tahun 1997-2006, dilakukan oleh 3.378 pemegang Hak Pengusahaan
Hutan (HPH). Kegiatan ini bertujuan memanfaatkan hutan produksi
berupa penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengelolaan,
dan pemasaran hasil hutan kayu. Namun, selama periode 1996-2006
77
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, h. 6. 78
Yetti Rusli, Data Strategis Kehutanan 2008, h. 154. 79
Glover and Jessup, Ibid, h. 7. 80
“Terus Berlangsung Pembakaran Limbah Kehutanan”, diakses dari
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0107/28/IPTEK/teru10.htm, pada tanggal 02 Mei 2011,
pukul 22.38 WIB.
25
terjadi sebanyak 2.931 kasus penyalahgunaan HTI. Kasus tersebut
diantaranya adalah menebang habis kayu yang masih produktif sebanyak
1.536 kasus dan membuka lahan dengan membakar sebanyak 1.395
kasus.81
Hal ini menunjukkan bahwa banyak pemegang HPH yang justru
melakukan pembakaran sehingga menghasilkan kabut asap.
Selanjutnya alasan ketiga, pembukaan lahan untuk kelapa sawit
sejak tahun 1997.82
Pembukaan lahan untuk kelapa sawit di Indonesia,
khususnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera, mengalami peningkatan
setiap tahunnya sebesar 10%-12%.83
Kegiatan pembukaan lahan ini
dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit karena menguntungkan baik
dalam pasar domestik maupun internasional. Selama periode 1997-2006,
terjadi kasus kebakaran hutan akibat pembukaan lahan yaitu sebanyak
1.193 kasus.84
Namun, praktek pembukaan lahan dengan cara membakar
tersebut tidak mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan, yaitu
menghasilkan kabut asap.
Sedangkan alasan keempat, hutan dan lahan dibakar karena konflik
atau pertikaian hak tanah sejak tahun 1998.85
Konflik ini terjadi antara
pemilik Hak Pengusaha Hutan (HPH) seperti perusahaan industri
perkayuan, perusahaan kelapa sawit dengan penduduk asli sekitar hutan di
Kalimantan dan Sumatera. Selama periode 1998-2006, terjadi setidaknya
81
Yetti Rusli, Data Strategis Kehutanan 2008, h. 152. 82
Glover and Jessup, Ibid, h. 8. 83
Harry Suryadi dan Hira Jhamtani, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana
Tindak Penanggulangan Bencana, h. 6. 84
Yetti Rusli, Data Strategis Kehutanan 2008, h. 152. 85
Glover and Jessup, Ibid, h. 9.
26
912 kasus kebakaran hutan akibat konflik tersebut.86
Penduduk asli di
sekitar hutan merasa kepemilikan atas lahan, hutan dan tanah mereka telah
dikuasai oleh HPH, pihak yang diberi pengesahan melalui hukum
negara.87
Akibatnya, penduduk asli membakar hutan dan lahan untuk
mempertahankan semua lahan yang telah mereka miliki secara turun
menurun tersebut. Masalah ketidakadilan atas kepemilikan hak tanah ini
menjadi pemicu kebakaran hutan. Semua penduduk asli sekitar hutan,
khususnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera, tidak berpartisipasi untuk
memadamkannya sehingga mengakibatkan kabut asap.88
B.2 Faktor Alam
Selain faktor manusia, menurut penelitian Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 10% kebakaran hutan dan lahan
di Indonesia tahun 1997-2006 disebabkan juga oleh faktor alam.89
Faktor
alam ini terjadi karena kondisi cuaca yang sangat panas akibat fenomena
El Nino. Fenomena El Nino adalah gejala alam akibat naiknya suhu
permukaan laut yang diperkirakan mencapai 5-6 derajat Celcius, di
wilayah khatulistiwa dan timur laut Lautan Pasifik.90
Naiknya suhu
permukaan laut ini berakibat pada turunnya tekanan udara yang
menyebabkan perubahan arus angin timur ke barat. Dengan demikian,
uap air atau awan di wilayah Indonesia, khususnya Kawasan Timur
86
Yetti Rusli, Data Strategis Kehutanan 2008, h. 152. 87
Harry Suryadi dan Hira Jhamtani, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana
Tindak Penanggulangan Bencana, h. 10. 88
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, h. 9. 89
Yetti Rusli, Data Strategis Kehutanan 2008, h. 154. 90
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Analisis Kebijakan Penanggulangan
Kebakaran Hutan dan Lahan, h. 14.
27
Indonesia terbawa oleh angin ke kawasan Lautan Pasifik sehingga hampir
di seluruh wilayah Indonesia menjadi panas.91
Berdasarkan data Southern
Oscillation Index (SOI), El Nino di Indonesia terjadi setiap 3-7 tahun
sekali, yaitu pada tahun 1997, 2000 dan 2003.92
Walaupun pada awalnya
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh kegiatan
manusia, tetapi kebakaran menjadi lebih besar ketika didukung juga oleh
kondisi cuaca yang sangat panas.
C. Dampak Kabut Asap di Indonesia
Kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 1997-2006
membawa dampak yang cukup besar di bidang ekonomi, sosial, dan ekologi.
Penelitian David Glover menunjukkan bahwa di bidang ekonomi, kabut asap
dapat mengganggu transportasi seperti pembatalan penerbangan sebesar 7% tahun
1997, dan mengganggu pariwisata seperti penurunan kunjungan wisatawan
sebesar 13% tahun 1997.93
Di bidang sosial, tahun 1997 kabut asap berdampak
pada menurunnya kegiatan produksi seperti tenaga kerja sebesar 3%, hasil
pertanian sebesar 2%, perkebunan sebesar 2%, dan berdampak pada kesehatan
seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) sebesar 9%, alergi sebesar 2%,
asma sebesar 4%, iritasi mata sebesar 2%, dan paru-paru sebesar 1%.94
Sedangkan
di bidang ekologi, tahun 1997 kabut asap dapat mengakibatkan kerusakan
91
Ibid, h. 15. 92
Southern Oscillation Index (SOI) dikutip dari Harry Suryadi dan Hira Jhamtani,
Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana Tindak Penanggulangan Bencana, h. 19. 93
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, h. 24. 94
Glover and Jessup, Ibid, h. 21-23.
28
lingkungan, seperti jenis tanaman sebesar 10%, hewan sebesar 10%, dan kerugian
kayu sebesar 35%.95
Datanya diilustrasikan pada grafik II.3.1, berikut ini:
Grafik 4.
Ikhtisar Dampak Kabut Asap di Indonesia (%)
Sumber: David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan
Asap di Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2002, h. 25.
Dari data tersebut, terlihat bahwa bidang ekologi mengalami dampak
paling besar dari kabut asap. Menurut penelitian Iman Santoso, Indonesia
mengalami kebakaran hutan paling buruk peringkat kedua di dunia setelah Brazil
pada tahun 1997, yaitu seluas 263.991 ha. Sedangkan, Brazil mengalami
kebakaran hutan seluas 2,8 juta ha pada tahun 1997.96
Tabel II.3.2 akan merinci
luas kebakaran hutan dan nilai kerugian yang dialami Indonesia pada tahun 1997-
2006:97
95
Glover and Jessup, Ibid, h. 25. 96
Iman Santoso, “Prospek Kerjasama Indonesia-Brazil di Bidang Kehutanan”, Jakarta:
Departemen Luar Negeri (Jurnal Luar Negeri) Vol. 25 No. 2, Mei-Agustus 2008, h. 82. 97
Yetti Rusli, Data Strategis Kehutanan 2008, h. 155, dan data perkiraan kerugian
diperoleh dari Ditjen Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
pada tanggal 02 Maret 2011.
Bidang Ekonomi Bidang Sosial Bidang Ekologi
Bidang Ekonomi
20%
Bidang Sosial 25%
Bidang Ekologi
55%
29
Tabel 1.
Luas Kebakaran Hutan dan Perkiraan Kerugian Akibat Kabut Asap
di Indonesia Tahun 1997-2006
No Tahun
Kebakaran Hutan
Luas
(ha)
Perkiraan Kerugian (Rp)
1 1997 263.991 40.852.400.000
2 1998 24.253 95.760.150
3 1999 49.640 147.680.000
4 2000 43.648 111.295.000
5 2001 17.968 1.819.905.190
6 2002 45.527 122.967.050
7 2003 7.090 11.440.250
8 2004 4.868 4.309.000
9 2005 13.742 5.375.000
10 2006 56.218 107.310.000
Sumber: Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), serta Ditjen
Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
Data di atas menunjukkan bahwa luas kebakaran hutan dan perkiraan
kerugian akibat kabut asap di Indonesia tahun 1997-2006 mengalami fluktuasi.
Kerugian terparah terjadi pada tahun 1997. Rata-rata luas lahan yang terbakar di
Indonesia selama periode 1997-2006 adalah 52.695 ha per tahun. Dalam periode
tersebut, berulang kali kabut asap di Indonesia meluas ke negara tetangga,
terutama Malaysia.
D. Mitigasi Kabut Asap Dari Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitigasi adalah upaya-upaya
yang dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi dampak negatif yang
diperkirakan dapat terjadi akibat adanya suatu kegiatan. Kegiatan mitigasi kabut
asap dilakukan untuk mengurangi dampak seperti gangguan kesehatan dan
30
transportasi yang disebabkan oleh kebakaran hutan. Karena besarnya dampak
yang ditimbulkan akibat kabut asap yang terjadi di Indonesia, maka diperlukan
penanganan serius oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
(Bakornas PB) yang memiliki perangkat operasional dengan melibatkan berbagai
institusi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan organisasi
kemasyarakatan lainnya.98
Dengan demikian, Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia melakukan mitigasi yang didasari oleh Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah.99
Adapun mitigasi kabut asap dari kebakaran hutan di Indonesia, dapat
dikelompokkan menjadi dua kegiatan utama, yaitu pencegahan dan
penanggulangan.
a. Pencegahan
Pencegahan kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia dapat diminimalkan atau bahkan dihindari, apabila
dilaksanakan dengan baik sesuai teknisnya. Pencegahan ini telah
diupayakan pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2004 Pasal 23 tentang pencegahan kebakaran hutan.100
Hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara Dinas
Kehutanan, perusahaan kehutanan seperti HPH, Hak Pengusahaan Hutan
Taman Industri (HPHTI), dan masyarakat sekitar hutan.101
Menurut
98
Harry Suryadi dan Hira Jhamtani, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana
Tindak Penanggulangan Bencana, h. 22. 99
Lihat lampiran. 100
Lihat lampiran. 101
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Analisis Kebijakan Penanggulangan
Kebakaran Hutan dan Lahan, h. 38.
31
Soemarsono, pencegahan dimulai “sejak awal proses pembangunan
sebuah wilayah, perencanaan penggunaan hutan atau lahan, pemberian
izin kegiatan perkebunan, pemantauan, hingga evaluasi”.102
Sementara,
menurut penelitian Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia,
terdapat beberapa kegiatan untuk mencegah timbulnya kabut asap dari
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, antara lain: 103
“(a) pengembangan program pada masyarakat akan pentingnya informasi iklim,
bahaya kebakaran, kerugian yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan kabut
asap; (b) pengembangan sistem budi daya tanaman perkebunan dan sistem
produksi kayu yang tidak rentan terhadap kebakaran; (c) pengembangan teknik
pembukaan lahan tanpa membakar; (c) pelarangan terhadap pembukaan lahan
dengan membakar pada musim kemarau; (d) pembangunan sarana dan
prasarana untuk pencegahan kabut asap dari kebakaran hutan seperti menara
pemantau api, dan pemboman air dari udara dengan menggunakan pesawat Be-
200; dan (e) pengembangan sistem penegakan hukum bagi pelanggaran
peraturan Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan
(PPKHL).
b. Penanggulangan
Selain melakukan pencegahan, terdapat upaya penanggulangan
dalam melakukan mitigasi kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia. Penanggulangan kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan
telah dilakukan pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 2001 Pasal 17-19 tentang penanggulangan kebakaran
hutan, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 78 tentang
penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan.104
Penanggulangan
tersebut merupakan tanggung jawab Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana (Bakornas PB) dengan melibatkan berbagai
102
Soemarsono, Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia: Penyebab,
Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997,
h. 7. 103
Harry Suryadi dan Hira Jhamtani, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana
Tindak Penanggulangan Bencana, h. 23. 104
Lihat lampiran.
32
Dinas Kehutanan, Greenpeace, Center for International Forestry
Research (CIFOR), World Wide Fund (WWF) Indonesia, Satuan
Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satkorlak PB) di tingkat
Propinsi, dan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) di
tingkat Kabupaten.105
Penanggulangan dimulai dari “tahap sebelum, pada
saat, dan setelah terjadinya kabut asap dari kebaran hutan dan lahan”.106
Menurut penelitian Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia,
terdapat beberapa kegiatan untuk menanggulangi kabut asap dari
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, antara lain:107
“(a) pengembangan sistem teknologi yang mampu memadamkan kebakaran
hutan secara cepat dan tepat; (b) pengembangan sistem informasi dengan cara
pemberian pertolongan pertama bagi para korban yang mengalami gangguan
kesehatan akibat kabut asap; dan (c) peningkatkan koordinasi penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui Pusat
Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (Pusdalkarhutnas) dan di tingkat
daerah melalui Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah
(Pusdalkarhutda)”.
Dalam kegiatan mitigasi kabut asap dari kebakaran hutan dan
lahan tersebut, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia telah
menganggarkan dana setiap tahunnya untuk mencegah kebakaran hutan
dan menanggulangi kabut asap, sebagaimana pada tabel II.4.1 berikut
ini:108
105
Harry Suryadi dan Hira Jhamtani, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana
Tindak Penanggulangan Bencana, h. 22. 106
Soemarsono, Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia: Penyebab,
Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan, h. 14. 107
Harry Suryadi dan Hira Jhamtani, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana
Tindak Penanggulangan Bencana, h. 26. 108
Data pendanaan mitigasi kabut asap diperoleh dari Ditjen Pengendalian Kebakaran
Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada tanggal 02 Maret 2011.
33
Tabel 2.
Pendanaan Mitigasi Kabut Asap dari Kebakaran Hutan dan
Lahan di Indonesia Tahun 1997-2006
No
Tahun
Pendanaan Mitigasi Kabut Asap
dari Kebakaran Hutan dan
Lahan di Indonesia (Milyar Rp)
1 1997 5,61
2 1998 1,93
3 1999 3,33
4 2000 1,84
5 2001 1,18
6 2002 1,25
7 2003 2,73
8 2004 4,28
9 2005 2,48
10 2006 2,18
Sumber: Badan Litbang Kehutanan Indonesia
Besarnya pengalokasian dana untuk mitigasi kabut asap dari
kebakaran hutan di Indonesia, disesuaikan dengan kondisi kerawanan dan
kebakaran yang terjadi di masing-masing Propinsi di seluruh wilayah
Indonesia. Namun, pengalokasian dana tersebut, mengalami hambatan di
beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Kalimantan dan
Sumatera.109
Hal ini disebabkan pencairan anggaran dana yang disediakan
untuk mitigasi kabut asap tidak tepat waktu disaat kebakaran terjadi.
Selain itu, sebagaimana menurut Deny Haryanto, masih rendahnya dana
yang diberikan oleh pemerintah menyebabkan penanganan kebakaran
hutan dan lahan tidak maksimal.110
109
Wawancara Deny Haryanto, Ketua Pelaksana Pemantauan Hotspot Kebakaran Hutan
dan Lahan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 02 Maret 2011. 110
Ibid.
34
BAB III
KEBIJAKAN INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM MERESPON
ISU KABUT ASAP
Masalah kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
merupakan salah satu masalah yang masih mengganggu hubungan antara
Indonesia dengan Malaysia. Permasalahan kabut asap terhadap hubungan
Indonesia dan Malaysia akan menjadi pembahasan bab III. Pada bab III ini
membahas mengenai kebijakan Indonesia dan Malaysia dalam merespon isu kabut
asap. Bab ini terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) kebijakan luar negeri Indonesia dan
Malaysia; (2) kepentingan nasional Indonesia dan Malaysia; (3) diplomasi
Indonesia dan Malaysia berkaitan dengan kabut asap; serta (4) analisis
permasalahan kabut asap dalam hubungan Indonesia dan Malaysia. Tujuan dari
bab ini antara lain untuk mengetahui kebijakan Indonesia dan Malaysia dalam
menanggapi isu kabut asap.
A. Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu Kabut
Asap
Berdasarkan pada pemikiran James N. Rosenau yang mendefinisikan
konsep kebijakan luar negeri terdiri dari tiga elemen yaitu orientasi, komitmen
dan rencana tindakan, serta perilaku.111
Orientasi adalah hasil dari serangkaian
keputusan kumulatif yang dibuat untuk menyelaraskan tujuan, nilai, dan
kepentingan terhadap kondisi lingkungan domestik maupun lingkungan
111
James N. Rosenau, Gavin Boyd, and Kenneth W. Thompson, World Politics: An
Introduction, h. 16-17.
35
eksternal.112
Salah satu faktor yang mempengaruhi orientasi kebijakan luar negeri
adalah dinamika politik domestik, dimana tuntutan dari dalam negeri dapat
mempengaruhi kebijakan luar negeri yang akan diambil.113
A.1 Indonesia
Di Indonesia, orientasi kebijakan luar negeri Indonesia dalam
merespon isu kabut asap tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 1997
Pasal 1 ayat (12) tentang pengelolaan lingkungan hidup. UU lingkungan
hidup tersebut berbunyi: “Pencemaran lingkungan adalah masuknya zat,
energi, atau komponen lain dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”.114
Pencemaran yang dimaksud adalah berasal dari udara, air, dan makanan
yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia.115
Dalam kaitannya dengan
kabut asap, pencemaran berasal dari udara akibat pembakaran hutan yang
dilakukan oleh manusia sehingga dapat mengganggu aktivitas makhluk
hidup, khususnya manusia yang menghirup zat dari pencemaran tersebut.
Selain UU Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997, diperlukan
juga Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Pasal 7. Peraturan
Pemerintah tentang kehutanan tersebut berbunyi: “Mencegah dan
membatasi kerusakan hutan akibat pembakaran hutan yang dilakukan oleh
112
Rosenau, Boyd, and Thompson, Ibid, h. 16. 113
“Enam Dekade Dinamika Persahabatan Indonesi-Rusia”, diakses dari
http://www.politik.lipi.go.id, pada tanggal 02 Februari 2011, pukul 02.15 WIB. 114
“Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang: Pengelolaan Lingkungan Hidup”,
diakses dari http://www.menlh.go.id/Peraturan/UU/UU23-1997.pdf, pada tanggal 04 Mei 2011,
pukul 15.26 WIB. 115
Ibid.
36
perbuatan manusia”.116
Menurut Kementerian Kehutanan, pembakaran
hutan dilarang. Namun, pembakaran hutan secara terbatas diperbolehkan
hanya untuk tujuan khusus, antara lain pembasmian hama dan penyakit
tumbuhan.117
Oleh karena itu, UU kehutanan ini diperlukan untuk
mengurangi dampak pembukaan lahan dengan cara membakar hutan.
Selain itu, diperlukan juga UU Nomor 37 Tahun 1999 Pasal 1
tentang hubungan luar negeri. UU tersebut berbunyi: “Kebijakan, sikap,
dan langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam melakukan
hubungan dengan negara lain menghadapi masalah internasional bertujuan
untuk mencapai kepentingan nasional”.118
Menurut Kementerian
Lingkungan Hidup, UU ini menyatakan bahwa Indonesia turut
berpartisipasi di tingkat internasional dalam menangani masalah
lingkungan hidup, salah satunya adalah masalah kabut asap.119
Bahwasannya, UU tersebut memberikan landasan hukum yang kuat bagi
pelaksanaan hubungan luar negeri dan merupakan penyempurnaan
terhadap peraturan-peraturan yang ada mengenai lingkungan hidup,
khususnya kabut asap.
116
Departemen Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang
Perlindungan Hutan, Jakarta: Manggala Agni, 2008, h. 5-6. 117
Departemen Kehutanan, Ibid, h. 14. 118
“Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 37 Tahun 1997 tentang Hubungan Luar
Negeri”, diakses dari http://www.kemlu.go.id/PeraturanTerkait/UU%20No.37%20Tahun%
201999.pdf, pada pukul 16.28 WIB. 119
Adang Sutisna, et.al, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003, h. 25.
37
A.2 Malaysia
Di Malaysia, orientasi kebijakan luar negeri dalam merespon isu
kabut asap diperlukan untuk memelihara, mengelola, dan meningkatkan
kemajuan sektor kehutanan tanpa membakar.120
Oleh karena itu, terdapat
beberapa kebijakan luar negeri Malaysia dalam merespon isu kabut asap
ini, di antaranya adalah:
(1) Melakukan pembangunan kehutanan dan produk hutan
dimanfaatkan secara optimal oleh manusia dengan tidak membakarnya
yang dapat mengakibatkan kabut asap.121
Oleh karena itu, dalam
memanfaatkan sumber daya hutan diperlukan pemahaman oleh seluruh
masyarakat akan pentingnya lingkungan hutan bagi kelangsungan hidup
manusia.
(2) Melakukan peningkatan keunggulan dalam pengelolaan hutan
berdasarkan standar Malaysia yang sesuai dengan strategi dan dasar
negara. Strategi yang dilakukan Malaysia adalah mencegah kabut asap
akibat kebakaran hutan dari Indonesia dengan prinsip “prevention is better
than cure”. Hal ini diterapkan bagi industri yang akan melakukan investasi
di Malaysia.122
(3) Meningkatkan sektor kehutanan melalui program penghijauan
nasional dan internasional. Pemerintah Malaysia secara aktif telah
mendidik perusahaan kehutanan yang menyebabkan kabut asap untuk
memahami dan menyadari akan pentingnya pelestarian lingkungan di
120
Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia, Hutan Kita di Bakar, Jakarta:
Skephi, 1999, h. 193. 121
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, h. 31. 122
Glover and Jessup, Ibid, h. 37.
38
kawasan hutan.123
Apabila kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan
hutan telah tumbuh, maka kabut asap dari kebakaran hutan dan
pelanggaran terhadap peraturan lingkungan akan berkurang.
B. Kepentingan Nasional Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu Kabut
Asap
Mengacu pada kerangka pemikiran Holsti mengenai kepentingan nasional
merupakan konsep untuk menentukan masa depan suatu negara melalui para
pembuat keputusan dalam merumuskan kebijakan luar negeri.124 Permasalahan
kabut asap di Indonesia yang cenderung melintasi batas negara Malaysia, terdapat
kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh Indonesia dan Malaysia dalam
menyelesaikan masalah ini.
B.1 Indonesia
Kepentingan nasional Indonesia mengenai isu kabut asap antara
lain adalah kerugian kayu, pertanian, perkebunan, produksi hutan,
keanekaragaman hayati, pelepasan karbon, biaya pemadaman kebakaran,
gangguan kesehatan, transportasi, dan pariwisata.125
Bahwasannya selama
periode sepuluh tahun yaitu tahun 1997-2006, Indonesia telah mengalami
kerugian akibat kabut asap dari kebakaran hutan yang paling besar yaitu
123
Glover and Jessup, Ibid, h. 41. 124
K.J. Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, h. 206. 125
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, h. 105.
39
pada tahun 1997 sekitar US $ 4 milyar.126
Tabel III.2.1.1 berikut ini
menunjukkan data tersebut:
Tabel 3.
Kerugian Kebakaran Hutan dan Kabut Asap di Indonesia
Tahun 1997
Jenis Kerugian Nilai Kerugian Ekonomi
(juta US $)
1. Kerugian Kabut Asap
Kesehatan
Pariwisata
Transportasi
Kerugian total kabut asap
2. Kerugian Kebakaran Hutan
Kerugian kayu
Kerugian pertanian dan perkebunan
Kerugian produksi ekosistem hutan
Kerugian keanekaragaman hayati
domestik yang dapat dimanfaatkan
Biaya pemadaman kebakaran
Pelepasan karbon
Kerugian total kebakaran
924,00
70,35
17,54
1.011,89
493,67
470,39
1.782,06
30,00
25,13
272,10
3.073,35
Total Kerugian 4.085,24
Sumber: David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat
Kebakaran dan Asap di Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies, 2002, h. 135.
Berdasarkan data di atas, total kerugian dari kebakaran hutan tahun
1997 sekitar US $ 4 milyar. Kerugian US$ 1 milyar menunjukkan
kerugian jangka pendek dari kebakaran hutan dan kerugian US $ 3 milyar
merupakan kerugian jangka panjang yang dialami oleh Indonesia.127
126
Glover and Jessup, Ibid, h. 135. 127
Glover and Jessup, Ibid, h. 134.
40
B.2 Malaysia
Menurut penelitian David Glover, dari beberapa negara tetangga
yang terkena kabut asap dari Indonesia adalah Malaysia. Kepentingan
nasional Malaysia dalam merespon isu kabut asap dari kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia, antara lain adalah telah terganggunya kesehatan,
pariwisata, transportasi, produktivitas, dan hasil tangkapan ikan di
Malaysia.128
Bahwasannya Malaysia mengalami kerugian akibat kabut
asap dari Indonesia yang paling besar yaitu pada tahun 1997 sekitar US $
321.129
Tabel III.2.2.1 berikut ini menunjukkan data tersebut:
Tabel 4.
Kerugian Malaysia Akibat Kabut Asap Dari Indonesia
Tahun 1997
Jenis Kerugian Kerugian Ekonomi
(Juta US $)
Kesehatan
Pengeluaran untuk masker
Produktivitas selama keadaan darurat
Penurunan jumlah wisatawan
Pembatalan penerbangan
Penurunan jumlah tangkapan ikan
Biaya pemadaman kebakaran
Penyemaian awan
8,41
0,28
157,40
127,42
0,18
16,23
10,00
0,83
Total Kerugian 321,00
Sumber: David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan
Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia, Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 2002, h. 57.
128
David Glover and Timothy Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap
di Indonesia, h. 29. 129
Glover and Jessup, Ibid, h. 57.
41
Data di atas menunjukkan bahwa nilai kerugian yang dialami
Malaysia akibat kabut asap Indonesia tahun 1997 cukup besar. Apalagi,
dana untuk menutupi kerugian tersebut dikeluarkan dengan mengorbankan
beberapa proyek sosialnya. Berdasarkan Rencana Keenam Malaysia
(Malaysia Sixth Plan), biaya tersebut dialokasikan dari dana
penanggulangan kemiskinan sebesar US $ 5,6 milyar.130
Menurut Deny Haryanto, Ketua Pelaksana Pemantauan Hotspot
Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia,
Malaysia mengalami gangguan kabut asap yang parah dari Indonesia
sebanyak lima kali selama periode 1997-2006.131
Kabut asap di Malaysia
tersebut terjadi pada tahun 1997, 1998, 2004, 2005 dan 2006. Hal ini
dikarenakan tingkat kebakaran hutan di Indonesia dan faktor alam yang
telah mempengaruhi kabut asap sampai ke negara Malaysia.132
C. Diplomasi Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu Kabut Asap
Permasalahan kabut asap di Indonesia bukanlah isu yang baru. Masalah
kabut asap ini sudah terjadi sejak tahun 1982.133
Namun, kabut asap yang paling
parah terjadi di Indonesia yaitu pada tahun 1997. Sebagaimana yang dijelaskan
pada bab II mengenai permasalahan kabut asap di Indonesia, bahwa kabut asap
yang dihasilkan berasal dari kegiatan pembakaran hutan dan lahan. Isu kabut asap
130
Glover and Jessup, Ibid, h. 56. 131
Wawancara Ketua Pelaksana Pemantauan Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 02 Maret 2011. 132
Menurut Deny Haryanto, Ketua Pelaksana Pemantauan Hotspot Kebakaran Hutan dan
Lahan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, total kerugian yang dialami oleh Malaysia
akibat kabut asap Indonesia tahun 1998-2006, tidak disebutkan jumlahnya dikarenakan data yang
sangat terbatas. 133
Harry Suryadi dan Hira Jhamtani, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Rencana
Tindak Penanggulangan Bencana, h. 1.
42
ini cenderung melintasi batas negara Malaysia setiap tahunnya pada tahun 1997-
2006, sehingga Indonesia dan Malaysia melakukan langkah diplomasi dalam
menyelesaikan isu tersebut.
Pada isu kabut asap di Indonesia, first track diplomacy dalam bentuk
diplomasi bilateral dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Malaysia sejak tahun 1985.134
Diplomasi yang dilakukan antara lain adalah
melakukan patroli di udara dalam menangani kabut asap dan memberi peringatan
kepada masyarakat untuk tidak beraktivitas di luar rumah.135
Diplomasi diantara
keduanya mengalami perkembangan, berupa perjanjian bilateral mengenai
penanggulangan kabut asap dari kebakaran hutan. Pada tahun 1997, terjadi
perjanjian bilateral yang menghasilkan MoU mengenai penanggulangan bersama
masalah kabut asap.136
Israr Albar, Kepala Direktorat Pengendalian Kebakaran
Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, memperjelas bahwa
Memorandum of Understanding (MoU) tersebut berisi ketentuan pembukaan
lahan tanpa membakar (zero burning), pemantauan, pencegahan melalui
pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan (peatland management),
pemadaman, pengembangan sistem peringatan dini, penegakan hukum,
peningkatan kerjasama menangani kabut asap di daerah rawan kebakaran,
mempersiapkan sukarelawan petugas kebakaran, dan tenaga medis.137
Selanjutnya
pada tahun 2006, diplomasi yang dilakukan antara lain adalah lebih meningkatkan
kembali pelatihan terhadap masyarakat sekitar hutan dengan cara pembukaan
134
“Environment Aspect”, diakses dari http://www1.american.edu/ted/ice/kaliman.htm,
pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 22.20 WIB. 135
Ibid. 136
Mohd Shahwahid H.O, World Conference on Land and Forest Fire Hazard 2002,
Putra World Trade Centre: Malaysia, 2002, h. 331. 137
Wawancara Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia, pada tanggal 02 Maret 2011.
43
lahan tanpa membakar (zero burning), peningkatan sukarelawan petugas
kebakaran dan tenaga medis.138
Diplomasi multilateral mengenai isu kabut asap di Indonesia dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, dan Thailand sejak tahun 1997.139
Diplomasi tersebut menetapkan
langkah-langkah penanggulangan kabut asap. Di antaranya adalah mencegah,
memantau, menegakan hukum, mengelola lahan gambut secara berkelanjutan
(peatland management), pemadaman dan tanggap darurat.140
Selain itu, terdapat diplomasi multilateral yang dilakukan pemerintah
Indonesia dengan organisasi regional Association of Southeast Asia Nations
(ASEAN) sejak tahun 1985.141
Diplomasi tersebut menghasilkan ASEAN
Agreement on The Conservation of Nature And Natural Resource.142
Namun,
pelaksanaan diplomasi tersebut belum terwujud sehingga ASEAN melakukan
diplomasi kembali yang menghasilkan ASEAN Agreement on Trnasboundary
Haze Pollution (AATHP) pada tahun 2002.143
AATHP ini berisi langkah-langkah
untuk mencegah, mengawasi, memantau, mengendalikan kebakaran hutan,
mengurangi kabut asap, melakukan sistem peringatan dini, pertukaran informasi
dan teknologi dalam menanggulangi kabut asap, serta meningkatkan penegakan
hukum terhadap pelaku pembakaran hutan.144
Hingga saat ini, AATHP masih
138
“Haze Issue: Malaysia to Sign Mou with Indonesia”, diakses dari
http://www.thestaronline.co.my/new/story.asp, pada tanggal 13 Maret 2011, pukul 13.56 WIB. 139
“Situasi Lingkungan Strategis”, diakses dari www.deplu.go.id/Documents/
Kerjasama%20Fungsional%20ASEAN.rtf, pada tanggal 13 Februari 20011, pukul 20.31 WIB. 140
Ibid. 141
“Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources”, diakses dari
http://www.aseansec.org/1490.htm, pada tanggal 04 April 2011, pukul 17.12 WIB. 142
Ibid. 143
“ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution”, diakses dari
http://haze.asean.org/hazeagreement/, pada tanggal 10 Maret 2011, pukul 10.25 WIB. 144
Ibid.
44
dalam proses ratifikasi karena proses pengambilan kebijakan di Indonesia
membutuhkan persetujuan di tingkat eksekutif dan legislatif.145
Sedangkan, second track diplomacy Indonesia dan Malaysia dalam isu
kabut asap di Indonesia ini dilakukan sejak tahun 1998 oleh beberapa organisasi
non-pemerintah seperti: Greenpeace, Center for International Forestry Research
(CIFOR), World Wide Fund (WWF) Indonesia,146
World Wind Fund for Nature
(WWF) Malaysia dan Global Envoronment Centre (GEC). 147
Organisasi non-
pemerintah tersebut membantu first track diplomacy dalam mewujudkan
negosiasi, berupa mencegah, memberikan informasi penyebab, dampak, kerugian
kabut asap, melakukan kerjasama teknis, dan penelitian ilmiah tentang kebakaran
hutan yang dapat mengakibatkan kabut asap.148
D. Analisis Permasalahan Kabut Asap Dalam Hubungan Indonesia dan
Malaysia
Kabut asap di Indonesia bukanlah permasalahan baru, masalah kabut asap
ini setidaknya sudah diidentifikasi di Indonesia sejak tahun 1982. Seperti yang
telah dijelaskan pada bab II, permasalahan kabut asap di Indonesia bersumber dari
kegiatan pembakaran hutan. Sebanyak 90% pembakaran hutan di Indonesia
merupakan kesengajaan yang dilakukan oleh manusia untuk membuka lahan.
Masalah kabut asap di Indonesia bukan lagi masalah nasional, tetapi sudah
145
Wawancara dengan Israr Albar, Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, pada tanggal 02 Maret 2011. 146
Arild Angelsen, Realising Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation (REDD): National Strategy and Policy Option, Bogor: Center for International
Forestry Research (CIFOR), 2009, h. 13. 147
“Malaysian Environmental NGOs”, diakses dari http://www.mengo.org/index2.shtml,
pada tanggal 15 maret 2011, pukul 22.13 WIB. 148
Arild Angelsen, Realising Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation (REDD): National Strategy and Policy Option, h. 146.
45
menjadi masalah internasional. Hal ini dikarenakan kebakaran hutan di Indonesia
telah menghasilkan kabut asap hingga ke negara tetangga, khususnya Malaysia.
Bagi Malaysia kabut asap ini dianggap sebagai masalah yang serius karena
masyarakat Malaysia merasa terganggu akibat kabut asap dari Indonesia.
Kabut asap dari Indonesia pada tahun 1997-2006 selalu meningkat di
Malaysia, khususnya di Kuala Lumpur, Johor, Melaka dan Sarawak. Peningkatan
kabut asap di Malaysia ditentukan dengan menggunakan air pollution index
(API), sebagaimana pada tabel berikut ini:149
Tabel 5.
API di Malaysia
Tahun Air Pollution Index (API)
di Malaysia
1997 301
1998 322
2004 330
2005 342
2006 420
Sumber: http://www.statistics.gov.my
Berdasarkan data di atas, API terjadi pada tahun 1997, 1998, 2004, 2005,
dan 2006. Peningkatan tersebut ditunjukkan dari data statistik Lingkungan Hidup
Malaysia, bahwa API telah mencapai tingkat membahayakan yaitu pada angka
300-500 dengan standar yang baik yaitu 0-50.150
Kondisi ini akan mengganggu
kesehatan masyarakat Malaysia dan Indonesia, karena kabut asap telah
menghasilkan beberapa zat berbahaya bagi manusia yang menghirupnya dan
aktivitas mereka sehari-hari pun akan terganggu akibat adanya kabut asap.
149
“Buku Tahunan Perangkaan Malaysia”, diakses dari http://www.statistics.gov.my,
pada tanggal 25 Februari 2011, pukul 23.31 WIB. 150
Ibid.
46
Adanya kabut asap Indonesia di Malaysia selama periode 1997-2006
tersebut, membuat Malaysia mengambil tindakan kepada Indonesia karena
Malaysia telah menerima dampak dari kabut asap. Tindakan yang dilakukan oleh
Indonesia dan Malaysia dalam merespon isu kabut asap, terdapat pada data
pemberitaan media massa berikut ini:
Tabel 6.
Tindakan Indonesia dan Malaysia Dalam Merespon Isu Kabut Asap
Tahun 1997-2006
No Tindakan Aktor Tanggal Sumber
1. Aksi dan nota protes
mengenai kabut asap
Masyarakat
Malaysia yang
tergabung dalam
Partai Aksi
Demokrasi
(Democratic Action
Party/DAP)
12 Agustus
1997
“Kabut Asap Juga
Dari Lahan
perkebunan Investor
Malaysia”, diakses
dari
http://www.gatra.co
m/artikel.php?pil=23
&id=87332, pada
tanggal 5 Maret
2011, pukul 13.24
WIB.
2. Meminta maaf kepada
negara tetangga,
khususnya Malaysia atas
kabut asap dari Indonesia
Presiden Indonesia 5 Okober 1997 “Indonesia Burning”,
diakses dari
http://www.ippl.org/i
ndonesia.php, pada
tanggal 12 Mei 2011,
pukul 13.49 WIB.
3. Mengambil tindakan tegas
kepada perusahaan
Indonesia maupun
Malaysia yang terlibat
dalam pembakaran hutan
di Kalimantan dan
Sumatera.
Menteri
Lingkungan Hidup
Indonesia
22 September
1998
“Kebakaran hutan
sebagai hasil dari
kegagalan
pemerintah di
Indonesia”, diakses
dari
http://world.mongaba
y.com/indonesian/pe
merintah.html, pada
tanggal 10 Mei 2011,
pukul 12.18 WIB.
4. Meminta Pemerintah
Indonesia untuk mengatasi
kabut asap dari kebakaran
hutan di Indonesia karena
mengganggu kesehatan
masyarakat Malaysia
Pemerintah
Malaysia
15 Agustus
2004
“Buku Tahunan
Perangkaan
Malaysia, 2006”,
diakses dari
http://www.statistics.
gov.my, pada tanggal
25 Februari 2011,
pukul 23.31 WIB.
47
5. Menyalahkan Pemerintah
Indonesia atas penegakan
hukum terhadap
praktek pembakaran hutan
kurang ditegakkan.
Pemerintah
Malaysia
18 Agustus
2004
“Sumatra forest fire
haze spreads”diakses
dari
http://news.bbc.co.uk
/2/hi/asia-
pacific/3828461.stm,
pada tanggal 7 Mei
2011, pukul 11.46
WIB.
6. Meminta Pemerintah
Indonesia untuk
secepatnya menangani
kabut asap dari kebakaran
hutan, karena mengganggu
kesehatan dan pariwisata
di Malaysia
Pemerintah
Malaysia
11 Agustus
2005
“Malaysia Seeks
Talks with Indonesia
Over Haze”, diakses
dari
http://english.cri.cn/2
239/2005-8-
, pada tanggal 10
Maret 2011, pukul
22.34 WIB.
7. Membantu Indonesia untuk
mendukung upaya
penegakan hukum bagi
pelaku pembakaran hutan,
khususnya terhadap
perusahaan milik Malaysia
di Pulau Kalimantan dan
Sumatera yang turut
berperan dalam
pembakaran hutan
Presiden Malaysia 12 Agustus
2005
“Kabut Asap Juga
Dari Lahan
Perkebunan Investor
Malaysia”, diakses
dari
http://www.gatra.co
m/2005-08-
14/artikel.php?id=87
332, pada tanggal 14
Maret 2011, pukul
10.48 WIB.
8. Aksi dan nota protes
mengenai kabut asap
Masyarakat
Malaysia yang
tergabung dalam
Partai Aksi
Demokrasi
(Democratic Action
Party/DAP)
13 Agustus
2005
“Kabut Asap: Rakyat
Malaysia Marah”,
diakses dari
http://www.suarakary
a-
online.com/news.htm
l?id=118116, pada
tanggal 5 Maret
2011, pukul 16.33
WIB.
9. Menyatakan keprihatinan
kepada Malaysia yang
mengalami kabut asap dari
Indonesia
Pemerintah
Indonesia
10 Oktober
2006
“Perntaan Pers
Mengenai Kabut
Asap”, dikases dari
http://www.kbrikuala
lumpur.org/web/pres
s-release/10-10-
2006-kabut-asap.pdf,
pada tanggal 19
Oktober 2010, pukul
12.23 WIB.
48
10. Memberi peringatan
kepada Pemerintah
Indonesia agar kabut asap
tidak terjadi lagi di
Malaysia tahun depan
Duta Besar
Malaysia untuk
Indonesia
12 Oktober
2006
“Malaysia
Peringatkan
Indonesia Tidak
"Ekspor" Asap pada
2007” diakses dari
http://www.gatra.co
m/2006-10-
15/artikel.php?id=98
562, pada tanggal 12
Mei 2011, pukul
13.05 WIB.
11. Memberikan bantuan
berupa alat pemantau
indeks standar pencemara
udara (ISPU) untuk
mengantisipasi
peningkatan intensitas
kabut asap
Menteri
Lingkungan Hidup
Malaysia
2 November
2006
“Malaysia Prihatin
Kebakaran Hutan di
Riau”, diakses dari
http://koran.republika
.co.id/berita/67848/
Malaysia_Prihatin_K
ebakaran_Hutan_di
_Riau, pada tanggal
14 Maret 2011, pukul
13.29 WIB.
Sumber: data dari berbagai sumber
Berdasarkan data di atas, tindakan yang dilakukan Malaysia dan Indonesia
pada masalah kabut asap selama periode 1997-2006 sebanyak sebelas kali, yaitu
pada tahun 1997, 1998, 2004, 2005, dan 2006. Adapun, aktor-aktor yang terlibat
dalam setiap tindakan yang dimunculkan di media massa antara lain: (1) Presiden
Indonesia, (2) Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, (3) Pemerintah Indonesia,
(4) Presiden Malaysia, (5) Menteri Lingkungan Hidup Malaysia, (6) Pemerintah
Malaysia, (7) Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, dan (7) masyarakat Malaysia.
Dari data di atas, bukan hanya pemerintah kedua negara saja yang
menyikapi masalah kabut asap tetapi juga masyarakat Malaysia. Masyarakat
Malaysia memprotes adanya kabut asap di Malaysia karena telah mengganggu
kesehatan dan aktivitas mereka. Protes tersebut dilakukan ke Kedutaan Besar
Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia pada tanggal 12 Agustus 1997 dan 13
Agustus 2005. Mereka menyatakan pemerintah Indonesia untuk mengambil sikap
49
tegas terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan di Indonesia.151
Tindakan yang
dilakukan oleh Democratic Action Party (DAP) merupakan salah satu bentuk
pendapat dan persepsi sebagian masyarakat Malaysia terhadap masalah kabut asap
yang telah terjadi di Malaysia. Aksi dan nota protes tersebut, menunjukkan bahwa
bagi Malaysia penegakan hukum di Indonesia dianggap masih lemah dalam
menindak pelaku pembakaran hutan. Seperti yang dikatakan oleh Deny Haryanto,
sebaiknya pemerintah perlu melakukan pengawasan secara ketat di tingkat
nasional seperti di tingkat Propinsi dan Kabupaten dalam mengurangi dan
menanggulangi kebakaran hutan.152
Oleh karena itu, diperlukan upaya menjaga hubungan diantara Indonesia
dengan Malaysia. Seperti yang telah dijelaskan pada tabel 6, bahwa pemerintah
Indonesia telah menyatakan keprihatinan dan permintaan maaf kepada Malaysia
atas permasalahan kabut asap. Sementara, pemerintah Malaysia telah membantu
Indonesia mengatasi kabut asap di Indonesia. Dalam upaya menjaga hubungan
baik tersebut, penting sekali mengembangkan kerjasama dan perjanjian yang
mengikat diantara keduanya. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Pempel,
bahwa dalam menangani isu-isu yang terjadi diantara kedua negara diperlukan
suatu kebijakan di antara keduanya.153
Kebijakan Indonesia dan Malaysia
mengenai kabut asap, antara lain telah menghasilkan kesepakatan berupa MoU.154
151
“Kabut Asap Juga Dari Lahan perkebunan Investor Malaysia”, diakses dari
http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=87332, pada tanggal 5 Maret 2011, pukul 16.33
WIB. 152
Wawancara dengan Deny Haryanto, Ketua Pelaksana Pemantauan Hotspot Kebakaran
Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 02 Maret 2011. 153
T.J. Pempel, “Challenges to Bilateralism: Changing Foes, Capital Flows, and Complex
Forums”, dikutip dalam N. Ganesan and Ramses Amer, International Relations in Southeast Asia:
Between Bilateralism and Multilateralism, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2010,
h. 18. 154
Mohd Shahwahid H.O, World Conference on Land and Forest Fire Hazard 2002, h.
331.
50
Kesepakatan MoU mengenai kabut asap antara Indonesia dan Malaysia
dilaksanakan pada tanggal 11 Desember 1997.155
Sejauh ini, masalah kabut asap terhadap hubungan Indonesia dan Malaysia
menjadi permasalahan yang mengganggu jika dilihat dari kepentingan nasional
kedua negara, namun tidak menghalangi kerjasama di antara keduanya seperti di
bidang keamanan, ekonomi, sosial, politik, tenaga kerja, dan pendidikan. Hal
tersebut juga dikatakan oleh Direktorat Hubungan Bilateral Asia Timur dan
Pasifik (ASTIMPAS) Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, bahwa
masalah kabut asap pada kenyataannya tidak merusak terhadap hubungan bilateral
Indonesia dan Malaysia, karena terdapat kebutuhan yang lebih penting yaitu
kerjasama dalam menangani kabut asap tanpa mengambil langkah konfrontatif.156
155
“Malaysia”, diakses dari http://www.kemlu.go.id/Daftar%20Perjanjian%20
Internasional/malaysia.htm, pada tanggal 20 Maret 2011, pukul 23.48 WIB. 156
Wawancara dengan Nabil Muchalela, Kepala Direktorat Hubungan Bilateral Asia
Timur dan Pasifik (ASTIMPAS) Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, 05 April 2011.
51
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Skripsi ini telah membahas permasalahan kabut asap yang terjadi di
Indonesia pada periode 1997-2006. Berdasarkan analisa, sumber kabut asap di
Indonesia didominasi dari kebakaran hutan dan lahan, khususnya di Pulau
Sumatera dan Kalimantan. Masalah ini mulai diidentifikasi sejak tahun 1982,
tetapi gangguan kabut asap yang paling parah terjadi pada tahun 1997 oleh faktor
manusia dan faktor alam. Gangguan kabut asap yang bersumber dari ulah manusia
disinyalir terjadi sebagai akibat dari kegiatan perladangan, pengembangan Hutan
Tanaman Industri (HTI), pembukaan lahan untuk kelapa sawit, dan konflik hak
tanah antara pemilik Hak Pengusaha Hutan (HPH) dengan penduduk asli di
sekitar hutan khususnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan, faktor
alam yang juga dapat menyebabkan gangguan kabut asap di antaranya adalah
kondisi cuaca yang sangat panas akibat fenomena El Nino. Di Indonesia,
fenomena El Nino terjadi setiap 3-7 tahun sekali pada tahun 1997, 2000, dan
2003.
Penulis merangkai kesimpulannya berdasarkan temuan-temuan berikut ini:
pertama, permasalahan kabut asap yang terjadi karena kebakaran hutan di
Indonesia bukan lagi menjadi masalah nasional, melainkan masalah internasional.
Ini dikarenakan meluasnya dampak kerugian ke negara tetangga, khususnya ke
Malaysia. Bagi Indonesia, kerugian nasional yang paling besar terjadi pada tahun
1997, yaitu sebesar US $ 4 milyar. Ini mencakup kerugian kayu, pertanian,
52
perkebunan, produksi hutan, keanekaragaman hayati, pelepasan karbon, biaya
pemadaman kebakaran, gangguan kesehatan, transportasi, dan pariwisata. Pada
tahun yang sama, Malaysia mengalami kerugian sekitar US $ 321 juta mencakup
biaya kesehatan, pengeluaran untuk masker, pemadaman kebakaran, penyemaian
awan, pembatalan penerbangan, penurunan jumlah wisatawan, produktivitas, dan
penurunan jumlah tangkapan ikan. Ini menunjukkan bahwa masalah kabut asap
merugikan kepentingan nasional kedua negara yang bertetangga tersebut.
Kedua, kebijakan Indonesia dan Malaysia mencerminkan kepedulian
terhadap masalah kabut asap. Terlihat adanya diplomasi bilateral antara Indonesia
dan Malaysia untuk mengatasi masalah kabut asap. Diplomasi bilateral yang
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia, salah satunya
telah menghasilkan Memorandum of Understanding (MoU) mengenai
penanggulangan bersama masalah kabut asap pada tanggal 11 Desember 1997.
Secara umum, MoU tersebut melakukan pembukaan lahan tanpa membakar (zero
burning), pemantauan, pencegahan, pemadaman, pengembangan sistem
peringatan dini, penegakan hukum, dan peningkatan kerjasama menangani kabut
asap di daerah rawan kebakaran.
Ketiga, masalah kabut asap telah menghadirkan wacana tersendiri dalam
hubungan Indonesia dan Malaysia. Buktinya adalah adanya protes dari
masyarakat Malaysia ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia
pada tanggal 12 Agustus 1997 dan 13 Agustus 2005. Mereka menuntut
pemerintah Indonesia untuk mengambil sikap tegas terhadap pelaku pembakaran
hutan dan lahan di Indonesia karena asapnya telah mengganggu aktivitas
masyarakat di Malaysia.
53
Keempat, meskipun terjadi masalah kabut asap yang relatif merugikan
kepentingan nasional kedua negara pada periode 1997-2006, ternyata kerjasama
Indonesia dan Malaysia di berbagai bidang tetap berlangsung. Sebagaimana yang
telah dijelaskan pada bab III, hubungan kerjasama Indonesia dan Malaysia pada
tahun 1997-2006 tetap berkembang di antaranya adalah di bidang keamanan,
ekonomi, sosial, politik, tenaga kerja, dan pendidikan.
Mempertimbangkan keempat temuan diatas, penulis menyimpulkan bahwa
kabut asap menjadi permasalahan yang mengganggu jika dilihat dari kepentingan
nasional kedua negara, namun tidak sampai menghalangi kerjasama di berbagai
bidang di antara Indonesia dan Malaysia. Masalah kabut asap ini, justru membuat
kedua negara melakukan penanganan bersama untuk menyelesaikannya. Ini
terlihat bahwa Indonesia dan Malaysia telah memiliki kebijakan bersama
mengenai kabut asap, berupa MoU pada tanggal 11 Desember 1997. Hal tersebut
juga dikatakan oleh Nabil Muchalela, Kepala Direktorat Hubungan Bilateral Asia
Timur dan Pasifik (ASTIMPAS) Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia,,
yang menegaskan bahwa kenyataannya masalah kabut asap di Indonesia tidak
merusak hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia, karena terdapat kebutuhan
yang lebih penting yaitu penanganan bersama dalam damai, tanpa harus
mengedepankan konflik.
Dengan demikian, setidaknya sampai tahun 2006, masalah kabut asap
dianggap sebagai faktor yang cenderung mendorong langkah penanganan secara
bersama, daripada konflik di antara Indonesia dan Malaysia. Namun,
perkembangan masalah ini perlu dipantau secara berkala agar tidak merugikan
kepentingan nasional baik Indonesia maupun Malaysia di masa depan.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Angelsen, Arild, 2009, Realising Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation (REDD): National Strategy and Policy Option, Bogor:
Center for International Forestry Research (CIFOR).
Berridge, Geoff and Alan James, 2003, A Dictionary of Diplomacy, Second
Edition, New York: Palgrave Macmillan.
Barber, Charles Victor dan James Schweithelm, 2000, Penggunanaan Oleh Api:
Kebakaran Hutan dan Kebijakan Kehutanan di Masa Krisis dan Reformasi
Indonesia, edisi terjemahan dari Trial by Fire: Forest Fires and Forestry
policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform, Washington D.C: World
Resources Institute.
Clinton, W. David, 1994, The Two Faces of National Interest, New York:
Louisiana State University Press.
Creswell, John W., 1994, Research Design Qualitative and Quantitative
Approaches, California: Sage Publications.
Departemen Kehutanan, 2008, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, Jakarta: Manggala Agni.
Elliot, Lorraine, 1998, The Global Politics of The Environment, London: Mac
Millan Press LTD.
Elliot, Lorraine, 2004, The Global Politics of The Environment, Second Edition,
New York: Washington Squere.
Ganesan, N., and Ramses Amer, 2010, International Relations in Southeast Asia:
Between Bilateralism and Multilateralism, Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies.
Glover, David and Timothy Jessup, 2002, Kerugian Lingkungan Akibat
Kebakaran dan Asap di Indonesia, edisi terjemahan dari Indonesian’s Fires
and Haze The Cost of Catastrophe, Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies.
xiv
Hermawan, Yulius P., 2007, Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional:
Aktor, Isu, dan Metodologi, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Holsti, K.J., 1987, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, Jakarta:
Pedonam Ilmu Jaya.
Homby, A.S, 2000, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
New York: Oxford University Press.
Kartodihardjo, Hariadi, et.al, 2003, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2002,
Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 1998, Analisis Kebijakan
Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Jakarta: Kantor Negara
Lingkungan Hidup.
Morgenthau, Hans J., 1948, Politics Among Nations: The Struggle for Power and
Peace, Michigan University: A. A. Knopf.
Mohtar, Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,
Jakarta: LP3ES.
Papp, Daniel, 2002, Contemporary International Relation: Frameworks for
Understanding, Sixth Edition, New York: Longman.
Rosenau, James N., Gavin Boyd, and Kenneth W. Thompson, 1976, World
Politics: An Introduction. New York: The Free Press.
Rusli, Yetti, 2008, Data Strategis Kehutanan 2008, Jakarta: Departemen
Kehutanan.
Seabury, Paul, 1963, Power, Freedom, and Diplomacy: The Foreign Policy of The
United States of America, New York: Random House.
Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia, 1999, Hutan Kita di Bakar,
Jakarta: Skephi, 1999.
Setiawan, Hendra, et.al, 2007, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006, Jakarta:
Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Shahwahid, Mohd H.O, 2002, World Conference on Land and Forest Fire Hazard
2002, Malaysia: Putra World Trade Centre.
Soemarsono, 1997, Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia:
Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
xv
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung:
Alfabeta.
Suryadi, Harry dan Hira Jhamtani, 1998, Kebakaran Hutan dan Lahan di
Indonesia: Rencana Tindak Penanggulangan Bencana, Jakarta:
Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Sutisna, Adang, et.al, 2004, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003, Jakarta:
Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Syaufina, Lailan, 2008, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, Prilaku Api,
Penyebab dan Dampak Kebakaran, Malang: Bayumedia.
Winarso, P. A, 1992, Several Aspect of Haze, Fog, and Smog, Possibility
Occurrence Over Tropical Region of Indonesia, In Proceeding The ASEAN
Workshop on The Transboundary Pollution of Haze, Balikpapan: Indonesia.
Jurnal
Munthe, Atom Ginting, “Kebakaran Hutan di Indonesia Sebagai Isu Keamanan
Lingkungan Regional”, Bandung: Parahyangan Centre for International
Studies (PACIS) (Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional) Vol. 3 No. 7,
Januari 2007.
Santoso, Iman, “Prospek Kerjasama Indonesia-Brazil di Bidang Kehutanan”,
Jakarta: Departemen Luar Negeri (Jurnal Luar Negeri) Vol. 25 No. 2, Mei-
Agustus 2008.
Internet
http://www.bom.gov.au/weather-services/about/definitions.shtml, diakses pada
tanggal 02 Mei 2011, pukul 11.09 WIB.
http://www.aseansec.org/1490.htm, diakses pada tanggal 04 April 2011, pukul
18.20 WIB.
http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=87332, diakses pada tanggal 5
Maret 2011, pukul 13.24 WIB.
xvi
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=118116, pada tanggal 5 Maret
2011, pukul 16.33 WIB.
http://www.beyondintractability.org/essay/track1_ diplomacy/, pada tanggal 15
Maret 2009, pukul 17.05 WIB.
http://www.hpli.org, diakses pada tanggal 24 November 2010, pukul 23.24 WIB.
http://www.bps.go.id, diakses pada tanggal 06 Februari 2011, pukul 23.25 WIB.
http://www.kemenperin.go.id, diakses pada tanggal 06 Februari 2011, pukul 11.07
WIB.
http://www.bplhdjabar.go.id, diakses pada tanggal 03 Maret 2011, pukul 01.24
WIB.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0107/28/IPTEK/teru10.htm, diakses pada
tanggal 02 Mei 2011, pukul 22.38 WIB.
http://www.politik.lipi.go.id, diakses pada tanggal 02 Februari 2011, pukul 02.15
WIB.
http://www.menlh.go.id/Peraturan/UU/UU23-1997.pdf, diakses pada tanggal 04
Mei 2011, pukul 15.26 WIB.
http://www.kemlu.go.id/PeraturanTerkait/UU%20No.37%20Tahun%201999.pdf,
diakses pada pukul 16.28 WIB.
http://www1.american.edu/ted/ice/kaliman.htm, diakses pada tanggal 15 Maret
2011, pukul 22.20 WIB.
http://www.thestaronline.co.my/new/story.asp, diakses pada tanggal 13 Maret
2011, pukul 13.56 WIB.
www.deplu.go.id/Documents/Kerjasama%20Fungsional%20ASEAN.rtf, diakses
pada tanggal 13 Februari 20011, pukul 20.31 WIB.
http://www.aseansec.org/1490.htm, diakses pada tanggal 04 April 2011, pukul
17.12 WIB.
http://haze.asean.org/hazeagreement/, diakses pada tanggal 10 Maret 2011, pukul
10.25 WIB.
http://www.mengo.org/index2.shtml, diakses pada tanggal 15 maret 2011, pukul
22.13 WIB.
http://www.statistics.gov.my, diakses pada tanggal 25 Februari 2011, pukul 23.31
WIB.
xvii
http://www.kemlu.go.id/Daftar%20Perjanjian%20Internasional/malaysia.htm,
diakses pada tanggal 20 Maret 2011, pukul 23.48 WIB.
http://www.ippl.org/indonesia.php, diakses pada tanggal 12 Mei 2011, pukul
13.49 WIB.
http://world.mongabay.com/indonesian/pemerintah.html, diakses pada tanggal 10
Mei 2011, pukul 12.18 WIB.
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/3828461.stm, diakses pada tanggal 7 Mei
2011, pukul 11.46 WIB.
http://english.cri.cn/2239/2005-8-11/[email protected], diakses pada tanggal 10
Maret 2011, pukul 22.34 WIB.
http://www.gatra.com/2005-08-14/artikel.php?id=87332, diakses pada tanggal 14
Maret 2011, pukul 10.48 WIB.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=118116, diakses pada tanggal 5
Maret 2011, pukul 16.33 WIB.
http://www.kbrikualalumpur.org/web/press-release/10-10-2006-kabut-asap.pdf,
diakses pada tanggal 19 Oktober 2010, pukul 12.23 WIB.
http://koran.republika.co.id/berita/67848/Malaysia_Prihatin_Kebakaran_Hutan_di
_Riau, diakses pada tanggal 14 Maret 2011, pukul 13.29 WIB.
http://www.kemlu.go.id/Daftar%20Perjanjian%20Internasional/malaysia.htm,
diakses pada tanggal 20 Maret 2011, pukul 23.48 WIB.
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III - 28
BOX 3.5
PENAATAN BAKU MUTU EMISI SO2 DI KEGIATAN PLTU BAHAN BAKAR BATUBARA
Dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak tercantum Baku Mutu Emisis Standar untuk tahun 1995 sampai tahun 2000. Pada
prinsipnya pentaatan untuk parameter SO2 telah dilakukan oleh seluruh kegiatan PLTU berbahan bakar batubara di Indonesia, namun ada juga PLTU yang sulit untuk memenuhi ketentuan tersebut.
TABEL 3.12 BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP
BERBAHAN BAKAR BATU BARA KEP-13/MENLH/3/1995
BATAS MAKSIMUM (MG/M3)
PARAMETER BERLAKU
TAHUN 1995 BERLAKU MULAI
TAHUN 2000
Total Partikel 300 150
Sulfur Dioksida (SO2) 1500 750
Nitrogen Oksida (NO2) 1700 850
Opasitas 40% 20%
Sumber: KLH, 2002
Catatan :- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2; - Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O2;
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm);
- Opasitas digunakan sebagai indicator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel;
- Pemberlakuan BME (baku Mutu Emisi) untuk 95% waktu operasi normal selama 3 bulan.
Pihak PLTU berkeberatan untuk menggunakan batubara berkadar sulfur rendah secara kontinyu karena pembangunan FGD (Flue Gas Desulfurization) memerlukan biaya dan luas area tertentu. Sementara itu dampak pencemaran SO2 di lingkungan semakin meningkat, ditandai dengan semakin tingginya kejadian
hujan asam di Indonesia, sehingga tidak dimungkinkan untuk memberikan kelonggaran terhadap Baku Mutu Emisi tersebut dan peraturan itu tetap diberlakukan sampai saat ini. Untuk menyelesaikan polemik baku mutu emisi SO2 dari PLTU berbahan bakar batubara ternyata tidak dapat digeneralisasi, tetapi harus dilihat
kasus demi kasus karena tidak semua PLTU meminta kelonggaran peraturan tersebut.
Sumber: KLH, 2001
Lampiran 2.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00
(satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah).
(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan
dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah
kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat
(12) adalah pelanggaran.
(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan
usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan
ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana
yang dijatuhkan.
(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat
termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan
atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk
Negara.
Disahkan di Jakarta,
Pada tanggal 30 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
M U L A D I
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 167
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I,
ttd.
LAMBOCK V. NAHATTANDS
Lampiran 3.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2001
TENTANG
PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN
LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN
HUTAN DAN ATAU LAHAN
Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 17
Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran huutan dan atau lahan di lokasi
kejadian.
Pasal 18 Ayat (1)
Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi
usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau
lahan di lokasi usahanya.
Ayat (2)
Pedoman umum penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan ditetapkan lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan
setelah berkoordinasi dengan Menteri lain yang terkait dengan instansi yang
bertanggung jawab.
Ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis penanggulangan kebakaran huutan
dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan
daerah.
Pasal 19
Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan
atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) belum ditetapkan,
maka penanggulangan kebakaran dan atau lahan dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Transkip Wawancara Deny Haryanto, Ketua Pelaksana Pemantauan Hotspot
Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
Tanggal : 02 Maret 2011
1. Berkaitan dengan skripsi saya yang berjudul permasalahan kabut
asap dalam hubungan Indonesia dan Malaysia pada periode 1997-
2006. Menurut Bapak, berapa luas kebakaran hutan pada tahun
1997-2006 yang telah mengakibatkan kabut asap di Indonesia?
Kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1997 adalah yang paling besar,
kemudian mengalami penurunan dan peningkatan pada tahun setelahnya hingga
tahun 2006. Akibatnya, kabut asap di Indonesia ini mencapai negara tetangga,
seperti Malaysia dan Singapura
.
2. Sejak tahun berapa Malaysia mengalami kabut asap dari Indonesia?
Malaysia mengalami kabut asap yang parah dari Indonesia sejak tahun 1997.
Kabut asap di Malaysia tersebut terjadi sebanyak lima kali selama periode 1997-
2006 yaitu pada tahun 1997, 1998, 2004, 2005, dam 2006. Hal ini dikarenakan
tingkat kebakaran hutan di Indonesia dan faktor alam yang telah mempengaruhi
kabut asap sampai ke negara Malaysia.
3. Apa saja yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam
menanggulangi permasalahan kabut asap dari kebakaran hutan di
Indonesia?
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya mitigasi berupa pencegahan dan
penanggulangan kabut asap. Upaya tersebut berdasarkan peraturan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Pasal 23, Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 2001 Pasal 17-19, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 78, dan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2004 Pasal 7. Selain itu, pemerintah Indonesia
telah meratifikasi Keputusan Presiden Nomor 135 Tahun 1998, Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004.
4. Mengapa kabut asap dari kebakaran hutan di Indonesia selalu terjadi
setiap tahunnya? padahal pemerintah Indonesia telah melakukan
upaya penanganannya.
Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana untuk mitigasi kabut asap dari
kebakaran hutan di Indonesia. Namun, pengalokasian dana tersebut, mengalami
hambatan di masing-masing Propinsi, khususnya di Sumatera dan Kalimantan.
Hal ini disebabkan, masih rendahnya dana yang diberikan oleh pemerintah di
tingkat daerah sehingga penanganan kebakaran hutan dan lahan tidak maksimal.
Transkip Wawancara Israr Albar, Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
Tanggal : 02 Maret 2011
1. Berkaitan dengan skripsi saya yang berjudul permasalahan kabut
asap dalam hubungan Indonesia dan Malaysia pada periode 1997-
2006. Apakah kebakaran hutan Indonesia merupakan kebakaran
paling besar di wilayah Asia Tenggara?
Sebenarnya, kebakaran hutan paling besar di Asia Tenggara adalah di Thailand.
Indonesia hanya 5% kegiatan pembakaran hutan, dibandingkan dengan Thailand.
Hal ini dikarenakan, ekuator di Thailand anginnya naik ke atas sehingga tidak
sampai melintasi batas negara yang ada di bawahnya, seperti Malaysia, Singapura,
dan Indonesia.
2. Menurut bapak, kenapa Indonesia belum meratifikasi ASEAN
Agreement on Trnasboundary Haze Pollution (AATHP) di tingkat
regional? Padahal kebakaran hutan Indonesia cenderung melintasi
negara tetangga setiap tahunnya.
Menurut saya, hal ini dikarenakan masalah kabut asap dari kebakaran hutan yang
selalu terjadi setiap tahunnya di Indonesia perlu diperbaiki di tingkat nasional
terutama dengan pemerintah daerah terlebih dahulu, sebelum diratifikasi dengan
ASEAN menjadi undang-undang. Hingga saat ini, AATHP masih dalam proses
ratifikasi karena proses pengambilan kebijakan di Indonesia membutuhkan
persetujuan di tingkat eksekutif dan legislatif.
3. Apakah yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan
Malaysia dalam menanggulangi kabut asap?
Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah melakukan perjanjian bilateral mengenai
penanganan kabut asap pada tahun 1997. Perjanjian bilateral kedua negara ini
menghasilkan Memorandum of Understanding (MoU) yang berisi ketentuan
pembukaan lahan tanpa membakar (zero burning), pemantauan, pencegahan
melalui pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan (peatland management),
pemadaman, pengembangan sistem peringatan dini, penegakan hukum, dan
peningkatan kerjasama menangani kabut asap di daerah rawan kebakaran.
Transkip Wawancara Nabil Muchalela, Kepala Direktorat Hubungan Bilateral
Asia Timur dan Pasifik (ASTIMPAS) Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia
Tanggal : 05 April 2011
1. Berkaitan dengan judul skripsi saya yang berjudul permasalahan
kabut asap dalam hubungan Indonesia dan Malaysia pada periode
1997-2006. Apakah yang menjadi sumber kabut asap di Indonesia?
Kabut asap di Indonesia bersumber dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia,
khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang sebagian besar disebabkan
oleh aktivitas manusia dengan cara membuka lahan.
2. Apakah isu kabut asap di Indonesia pada periode 1997-2006
berpengaruh terhadap hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia? Pada kenyataannya, kabut asap Indonesia tidak merusak hubungan bilateral
Indonesia dan Malaysia, karena terdapat kebutuhan yang lebih penting yaitu
kerjasama dalam menangani kabut asap tanpa mengambil langkah konfrontatif.