permasalahan pelaksanaan klausula arbitrase dalam …

23
Dharmasisya Dharmasisya Volume 1 NOMOR 3 SEPTEMBER 2021 Article 30 November 2021 PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN SENGKETA PERJANJIAN DALAM UPAYA MENYELESAIKAN SENGKETA PERJANJIAN PILIHAN FORUM PILIHAN FORUM Tetty Diansari [email protected] Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya Part of the Administrative Law Commons, Civil Law Commons, Constitutional Law Commons, Criminal Law Commons, and the International Law Commons Recommended Citation Recommended Citation Diansari, Tetty (2021) "PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN SENGKETA PERJANJIAN PILIHAN FORUM," Dharmasisya: Vol. 1 , Article 30. Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss3/30 This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Dharmasisya by an authorized editor of UI Scholars Hub.

Upload: others

Post on 06-Jun-2022

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

Dharmasisya Dharmasisya

Volume 1 NOMOR 3 SEPTEMBER 2021 Article 30

November 2021

PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE

DALAM UPAYA MENYELESAIKAN SENGKETA PERJANJIAN DALAM UPAYA MENYELESAIKAN SENGKETA PERJANJIAN

PILIHAN FORUM PILIHAN FORUM

Tetty Diansari [email protected]

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya

Part of the Administrative Law Commons, Civil Law Commons, Constitutional Law Commons,

Criminal Law Commons, and the International Law Commons

Recommended Citation Recommended Citation Diansari, Tetty (2021) "PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN SENGKETA PERJANJIAN PILIHAN FORUM," Dharmasisya: Vol. 1 , Article 30. Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss3/30

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Dharmasisya by an authorized editor of UI Scholars Hub.

Page 2: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM UPAYA PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM UPAYA MENYELESAIKAN SENGKETA PERJANJIAN PILIHAN FORUM MENYELESAIKAN SENGKETA PERJANJIAN PILIHAN FORUM

Cover Page Footnote Cover Page Footnote Roy Goode, 2012, Commercial Law: “The Nature and Saurce of Commercial Law, Edisi ke 3, Penguin Books, London, hlm. 1-23. Munir Fuady, , 2000, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung), hlm. 186. Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta), hlm.3. Erman Suparman, 2012, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, (PT. Fikahati Aneska, Jakarta), hlm. 2. Ridwan Khairandy, (ed), 2002, Mencari Solusi Alternatif. Jurnal Hukum Bisnis Volume 21, Oktober-November, hlm. 4. Yahya Harahap, 1993, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta seria Pmusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi.. Citra Aditya Bakti. Bandung, hlm. 232 Abla Mays, Principles of Confluct of Laws, dalam Yansen Dermanto Latip, 2002, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kontrak Internasiona\, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 1. Suyud Margono, 2000. ADR Alternatif Disputes Resolution dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor,. hlm. 12. Elkouri Frank “How arbitration Works” dalam Soebekti, “Memahami Arbitrase”. Makalah dalam Seminar sehari Arbitrase, 16 November 1988, Yayasan Triguna, Kadin, Beni di Jakarta, November 1988; Arbitration is a simple proceesing voluntary chosen by parties who want adisput determined by an impartial judge of their own mutual selction, whose decision, based on the merit of the case, they agreed in advance to accept as final and binding.. (Varia Peradilan, Tahun IV no 40, Januari 1989 hlm 110, dalam Tineke Louise Tuegeh Longdong, 1998, Asas Ketertiban Umum Dan Konvensi New,York 1958. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.38. Komar Kantaatmadja, 1991, ”Beberapa Permasalahan Arbitrase Internasional,” Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia pada Temu Karya Hukum Perusahaan Dan Arbitrase, kantor Menko Ekuin dan Wesbang, Bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta 22-23 Januari, hlm. 4-5. Sudargo Gautama, 1975, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 32. Huala Adolf, 2002, Arbitrase Komersial Internasional, Grafindo, Jakarta, hlm. 48. M.CW. Pinto, ”Structure, Process, Outcome : toughts on the “essence” of International Arbitration”, dalam Erman Rajaguguk., 2000, Arbitrase Putusan Pengadilan. Chandra Paratama, Jakarta, hlm. 2. Elois Henderson Bozari, 1995, “Public Policy Exeption to International Arbitral Award,” “International Acceptenace Of The New York Cionvention, Reflected The Growing Appreciation To The Benefits Of Arbitration As Relatively Inexpensive, Quick Means Of Private Dispute Resolution. Texas International Law Journal, vol. 30, hlm. 209. Erman Suparman, 2006, Perkembangan Doktrin Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Makalah, Diskusi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Abdurrasyid Priyatna, 2002, Suatu Pengantar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, hlm. 63. Sudargo Gautama,1976, op. cit hlm. 7. Dengan semakim berkembangnya hubungan perdagangan internasional dan dengan berbagai klausula arbitrasenya, saat ini Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi Internasional yang berkaitan dengan dengan arbitrase internasional, misalnya Konvensi Washington dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal dan Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri yang diratifikasi dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3872. Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, Jakarta, hlm. 54 Yahya Harahap, 2006, Arbitrase. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 65. Erman Rajaguguk., 2000, Arbitrase Putusan Pengadilan, Chandra Paratama, Jakarta, hlm. 2. Gay Goodpaster, dkk, 1995, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 24. Pasal 1338 KUHPerdata antara lain menegaskan, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Gatot Soemartono, op.cit, hlm.70-71. Niwan Lely,

Page 3: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

“Mengapa Harus Arbitrase”, dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds)., 1995, Arbitrase Di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 124. Erman Suparman, 2006, Perkembangan Doktrin Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Makalah, Diskusi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, November HMN. Purwosucipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Cet Ketiga, Jakarta: Jambatan, hlm. 1. R. Subekti, 1981, Arbitrase Perdagangan, Bandung: Binacipta, hlm. 1-3. Arbitrase Perdaangan, hlm. 1. K.M. Sharma, 1999, “From Sancity to fairness: An Eneasy Transition in the Law of Contracts?”, New York School of Journal of International and Comparatively Law, Vol. 18 No. 2, hlm. 95, sebagaimana dikutip oleh Yansen Dermanto Latip, 2002, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional, Jakarta: Program Pascasarjana FHUI, hlm. 11 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal 47. Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal 27. Perjanjian Jasa Arranger oleh dan antara PT. Central Investindo Fransiscus Wongso dan Chan Shih Mei , halaman 4. M.Yahya Harahap, 2001, Arbitrase Ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, PERMA No 1 Tahun 1990, edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 83. Sudargo Gautama, 1999, Undang-Undang Arbitrase Baru, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 15. Tjip Ismail, Putusan Akhir dan Mengikat ,Indonesia Arbitration Quarterly News Letter Vol 6 No 3 September 2014.

This article is available in Dharmasisya: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss3/30

Page 4: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1499 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM UPAYA

MENYELESAIKAN SENGKETA PERJANJIAN PILIHAN FORUM

Tetty Diansari dan Rinaldi Hairlambang Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Korespodensi: [email protected] & [email protected]

Abstrak

Di zaman yang semakin berkembang ini masalah perdagangan menjadi semakin kompleks. Kebutuhan untuk saling berinteraksi dalam perdagangan dan bisnis menimbulkan adanya suatu hubungan yang membuka secara lebar terhadap kemungkinan terjadinya perselisihan dan persengketaan. Sehubungan dengan risiko sengketa dalam hubungan bisnis, saat ini Lembaga pengadilan kurang diminati oleh para pelaku usaha dengan berbagai alasan khususnya mengenai efisiensi waktu penyelesaian sengketa dan profisionalitas lembaga peradilan. Adapun forum penyelesaian sengketa yang banyak diminati oleh pelaku bisnis saat ini adalah lembaga Arbitrase. Meski demikian, masih terjadi sengketa dari perjanjian yang memuat klausula Arbitrase diajukan ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri menerima gugatan tersebut, ada juga putusan arbtrase diajukan pembatalan ke pengadilan negeri. Sehubungan dengan hal ini perlu dilakukan kajian dan analisa sehubungan dengan kekuatan mengikat klausula arbitrase dalam perjanjian dan bagaimana pertimbangkan hakim sehubungan dengan kewenangan lembaga Arbitrase, dengan menggunakan metode yuridis-normatif dan berangkat dari analisa kasus sehingga disusun menggunakan metode induksi-deduksi. Kedudukan lembaga arbitrase diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di mana, Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase telah secara tegas menentukan bahwasannya klausula Arbitrase mengikat para pihak yang membuatnya dan demi hukum menghapuskan kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sengketa yang telah memuat klausula Arbitrase.

Abstract In this developing era. a commerce matter is getting complex, a need to interact in commercial and business activity’ have arise a connection which open wide possibility of dispute. According to possibility of dispute, nowadays a trial was less interested far business man because many reasons, especially efficiency and profesionality. A Forum that more interested for many business man was Arbitration. Nevertheless, there are still dispute from agreement with Arbitration clause been claim in state trial, and state trial accept the claim, furthermore there’s an Arbitration adjustment requestes to be void in state court. Provided that, we need to review and analyze the binding power of Arbitration clause in agreement and judges premises connected to Arbiration authorazation, with normative method and start from cases so that is also arranged using inductive-deductive method. In Indonesia Arbitration is stated in Law of 30/1990 about Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, where as Article II of Law Arbitration have stated that Arbitration clause is binding and shall be execute by Parties when dispute is arising. Arbitration clause also erasing by law, an authorization of state court to adjudicate any dispute which have arbitration clause on it.

I. PENDAHULUAN

Perdagangan merupakan aktivitas komersial yang dilakukan oleh para pedagang untuk memenuhi kebutuhan hidup atau untuk memperoleh laba, di mana di mana memerulukan hukum untuk mengatur aktivitas perdagangan tersebut. Pada abad-abad pertengahan, aturan atau hukum dibangun dan dikembangkan sendiri oleh para pedagang tersebut yang dikenal dengan Lex Mercatoria atau the law merchant, termasuk hakim dalam pemeriksaan dan pemutusan perkara dalam aktivitas perdagangan tersebut (mercantile disputes) juga dilakukan oleh pedagang sebagai hakimnya. Dalam perkembangannya prinsip-prinsip keadilan yang terkandung ”the law

Page 5: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1500 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

of merchant”, menjadi dasar pembangunan hukum dagang diantara negara negara di dunia.1 Istilah Lex Mercatoria sering juga disebut sebagai The Law of International Trade. Law

Mercatoria merupakan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan perdagangan yang tidak berasal dari salah satu negara para pihak dan juga tidak berasal dari negara pihak ketiga, akan tetapi, Lex Mercatoria merupakan kaidah hukum kebiasaan yang biasanya dipraktekkan oleh para pedagang dalam praktek perdagangan internasional yang memang sudah lazim dipakai.2

Di zaman yang semakin berkembang ini masalah perdagangan menjadi semakin kompleks. Kebutuhan untuk saling berinteraksi dalam perdagangan dan bisnis menimbulkan adanya suatu hubungan yang membuka secara lebar terhadap kemungkinan adanya perselisihan dan persengketaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya.3

Implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap lembaga pengadilan yang dianggap tidak professional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis, tidak independen, bahkan para hakimnya telah kehilangan integritas moral dalam menjalani profesinya. Akibatnya lembaga pengadilan yang secara konkret mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan, dianggap sebagai tempat penyelesaian sengketa yang tidak efektif dan efisien.4

Penyelesian sengketa bisnis melalui pengadilan, di mata pelaku bisnis seringkali menimbulkan permasalahan yaitu: (1) lamanya proses beracara di persidangan perkara perdata; (2) panjang dan lamanya tahap penyelesaian sengketa dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga di Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung; (3) lama dan panjangnya proses penyelesaian melalui pengadilan membawa akibat pada tingkat tingginya biaya penyelesaian sengketa tersebut (legal cost); (4) persidangan dilakukan secara terbuka, padahal disisi lain kerahasian merupakan sesuatu yang diutamakan dalam kegiatan bisnis; (5) hakim yang memeriksa perkara tersebut seringkali dilakukan oleh hakim yang kurang menguasai substansi permasalahan yang berkaitan dengan perkara yang bersangkutan; dan (6) adanya citra dunia peradilan di Indonesia yang tidak baik.5 Adapun penyelesaian sengketa melalui pengadilan relatif lambat dikarenakan:6

1. Penuh dengan formalitas,

2. Terbuka upaya banding, kasasi dan peninjauan kembali sehingga jalannya proses penyelesaian, bisa berliku-liku dan memakan waktu yang sangat panjang. Bisa terbilang tahun bahkan puluhan tahun.

3. Belum lagi munculnya berbagai upaya intervensi atau perlawanan dan pihak ketig (derden verzet), menyebabkan penyelesaian semakin rumit dan panjang.

Oleh karena itu dapat dimengerti apabila kalangan dunia usaha, terutama pengusaha

1 Roy Goode, 2012, Commercial Law: “The Nature and Saurce of Commercial Law, Edisi ke 3, Penguin Books,

London, hlm. 1-23. 2 Munir Fuady, , 2000, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. (PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung), hlm. 186. 3 Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta),

hlm.3. 4 Erman Suparman, 2012, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, (PT. Fikahati Aneska, Jakarta), hlm. 2. 5 Ridwan Khairandy, (ed), 2002, Mencari Solusi Alternatif. Jurnal Hukum Bisnis Volume 21, Oktober-

November, hlm. 4. 6 Yahya Harahap, 1993, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta seria Pmusan Pengadilan dan Arbitrase dan

Standar Hukum Eksekusi.. Citra Aditya Bakti. Bandung, hlm. 232

Page 6: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1501 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

asing, ketika menghadapi sengketa akan berusaha memilih forum penyelesaian sengketa yang menurut kriteria para pengusaha lebih dapat dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis.

Hubungan usaha antara pengusaha nasional dengan pengusaha asing, umumnya akan dimulai dengan sebuah kontrak kerjasama. Dalam pembuatan kontrak biasanya para pihak terlebih dulu melakukan negosiasi tentang hal-hal yang harus mereka sepakati. Kesepakata yang paling pentmg dalam suatu kontrak dan memerlukan waktu yang panjang untuk mencapai kata sepakat adalah perjanjian penyelesaian sengketa. Bila para pihak dalam suatu perjanjian datang dari dua Negara yang berbeda dan apabila mereka tidak dapat meyelesaikaan sengketa yang timbul secara damai, maka ada tiga persoalan pokok yang lahir dari conflict of laws, yaitu : Pertama, hukum mana yang berlaku bagi perjanjian yang mereka buat. Kedua, badan mana yang berwenang untuk memeriksa atau mengadili perselisihan mereka. Ketiga, apakah suatu pengadilan asing atau arbitrase asing dapat dilaksanakan di suatu Negara salah satu pihak yang bersengketa ?7

Sejalan dengan perkembangan perdagangan dan bisnis yang semakin cepat menuntut penyelesaian sengketa yang cepat pula, karena dengan membiarkan sengketanya berlarut-larut akan mengakibatkan perkembangan pembangunan ekonomi yang tidak efisien, produktivitas menurun. dunia bisnis mengalami kemandulan dan biaya produksi meningkat. Akibatnya, konsumen adalah pihak yang paling dirugikan. Di samping itu, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum pekerja juga terhambat maka dunia bisnis disini menuntut cara penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat dan biaya nngan atau informal procedure and can be put in motion quickly.8

Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang dapat dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase. Adapun cara penyelesaian sengketa yang lebih disukai dan lebih banyak dipakai yaitu arbitrase.

Penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase bukanlah suatu hal yang baru.9 Arbitrase sebagai institusi telah dipergunakan jauh sebelum mulai berlaku Common Law, ada yang mengatakan bahwa arbitrase adalah cara menyelesaikan sengketa yang paling tua antar manusia.10

Cara penyelesaian melalui arbitrase ini sangat logis dipakai, penyebabnya adalah karena pihak asing umumnya kurang agak menyetujui dan akan merasa kuatir jika permasalahan hukum yang timbul dari kontrak dagang mereka akan diputuskan oleh hakim negara lain. Hal ini disebabkan karena sebagai pegusaha asing agak kurang paham akan formalitas-formalitas berperkara.11

Alasan lain mengapa pengusaha lebih, menyukai pemakaian arbitrase yaitu dengan cara

7 Abla Mays, Principles of Confluct of Laws, dalam Yansen Dermanto Latip, 2002, Pilihan Hukum dan

Pilihan Forum Dalam Kontrak Internasiona\, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 1.

8 Suyud Margono, 2000. ADR Alternatif Disputes Resolution dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor,. hlm. 12.

9 Elkouri Frank “How arbitration Works” dalam Soebekti, “Memahami Arbitrase”. Makalah dalam Seminar sehari Arbitrase, 16 November 1988, Yayasan Triguna, Kadin, Beni di Jakarta, November 1988; Arbitration is a simple proceesing voluntary chosen by parties who want adisput determined by an impartial judge of their own mutual selction, whose decision, based on the merit of the case, they agreed in advance to accept as final and binding.. (Varia Peradilan, Tahun IV no 40, Januari 1989 hlm 110, dalam Tineke Louise Tuegeh Longdong, 1998, Asas Ketertiban Umum Dan Konvensi New,York 1958. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.38.

10 Komar Kantaatmadja, 1991, ”Beberapa Permasalahan Arbitrase Internasional,” Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia pada Temu Karya Hukum Perusahaan Dan Arbitrase, kantor Menko Ekuin dan Wesbang, Bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta 22-23 Januari, hlm. 4-5.

11 Sudargo Gautama, 1975, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 32.

Page 7: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1502 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

ini, sengketa dapat lebih cepat diselesaikan dan lebih memuaskan dikarenakan dewan abitrase yang umumnya terdiri dari tiga orang arbitrator yaitu dua orang arbitrator ditunjuk oleh masing-masing pihak dan satu orang arbitrator dipilih bersama-sama, rata-rata adalah orang yang ahli dalam soal yang dipersengketakan. Sehingga diharapkan putusan yang dikeluarkan akan lebih cepat dan tentunya diharapkan pula putusan ini akan lebih memuaskan para pihak.12

Alasan berikutnya yaitu penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan hubungan dagang diantara mereka. Sedangkan penyelesaian sengketa melaliii arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.13

Putusan arbitrase membawa keuntungan dapat menghemat waktu, biaya, dan sifatnya tidak terbuka sehingga nama baik dan rahasia perusahaan para pihak relatif lebih terjamin.14

Dalam beberapa dekade terakhir ini, arbitrase ditengarai sebagai metode alternative yang banyak dipilih para pelaku niaga dalam penyelesaian sengketa komersial. Bahkan penggunaan arbitrase di luar bidang hukum publik sebagai salah satu metode alternatif di antara sekian jenis metode penyelesaian sengketa kemudian menjadi lebih popular dibandingkan dengan jenis metode lainnya.15

Arbitrase biasanya lebih disukai atau dipilih oleh para pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketa, karena arbitrase memiliki kelebihan dan kemudahan, di ataranya adalah :16

1. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiternya sendiri;

2. Proses majelis arbitrase rahasia dan oleh karena itu dapat menjamin kerahasiaan dan publisitas yang tidak dikehendaki:

3. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa;

4. Tata cara arbitrase lebih cepat, tidak mahal serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan; dan

5. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan oleh karena itu terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai (amicable).

Di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase mulanya hanya lazim digunakan oleh para pihak dalam transaksi bisnis internasional atau kontrak internasional. Kontrak internasional ini didefinisikan dengan kontrak nasional yang ada elemen asingnya.17

Dalam perkembanganya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase sekarang juga lazim digunakan oleh para pelaku bisnis yang kedua pihaknya merupakan warga negara Indonesia.18

12 Huala Adolf, 2002, Arbitrase Komersial Internasional, Grafindo, Jakarta, hlm. 48. 13 M.CW. Pinto, ”Structure, Process, Outcome : toughts on the “essence” of International Arbitration”,

dalam Erman Rajaguguk., 2000, Arbitrase Putusan Pengadilan. Chandra Paratama, Jakarta, hlm. 2. 14 Elois Henderson Bozari, 1995, “Public Policy Exeption to International Arbitral Award,” “International

Acceptenace Of The New York Cionvention, Reflected The Growing Appreciation To The Benefits Of Arbitration As Relatively Inexpensive, Quick Means Of Private Dispute Resolution. Texas International Law Journal, vol. 30, hlm. 209.

15 Erman Suparman, 2006, Perkembangan Doktrin Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Makalah, Diskusi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

16 Abdurrasyid Priyatna, 2002, Suatu Pengantar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, hlm. 63.

17 Sudargo Gautama,1976, op. cit hlm. 7. 18 Dengan semakim berkembangnya hubungan perdagangan internasional dan dengan berbagai klausula

arbitrasenya, saat ini Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi Internasional yang berkaitan dengan dengan arbitrase internasional, misalnya Konvensi Washington dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal dan Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri yang diratifikasi dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981.

Page 8: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1503 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

Kedudukan lembaga arbitrase diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,19 (selanjutnya disebut dengan UU No. 30 Tahun 1999). Dengan terbitnya LIU No. 30 Tahun 1999, memberikan jaminan kepada investor dan pengusaha asing pada umumnya yang melakukan usaha di Indonesia bahwa putusan arbitrase asing akan diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia.

Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat.20

Suatu sengketa dapat diselesaikan oleh arbitrase jika para pihak telah mengadakan kesepakatan dalam suatu perjanjian tertulis yang disebut dengan perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase. Pada dasamya perjanjian arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: 1). Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (factum de compromitendof); atau 2). Perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta compromis).21'

Klausul arbitrase akan menentukan apakah suatu sengketa bisa diselesaikan melalui arbitrase, di mana diselesaikannya, hukum mana yang digunakan, dan Iain-Iain. Klausul arbitrase bisa berdiri sendiri atau terpisah dari perjanjian pokonya. Klausula arbitrase harus dirumuskan secara jelas, tidak perlu panjang atau rumit. Klausula yang jelas, lengkap dan terperinci merupakan konsep yang disebut oleh Erman Radjagukguk sebagai klausula arbitrase yang komprehensif. Dalam praktek banyak klausula arbitrase yang tidak jelas atau kadang-kadang tampak sebagai “nonsense clause”.22

Klausul yang lebih komprehensif memuat syarat-syarat arbitrase, menentukan apakah akan berlangsung suatu arbitrase, bagaimana dilaksanakannya, hukum substantif apa yang berlaku, dan lain-lain.23 Klusula arbitrase harus disusun secara cermat, akurat, dan mengikat. Tujuannya untuk menghindari klausul arbitrase tersebut digunakan oleh salah satu pihak sebagai kelemahan yang bisa digunakan untuk memindahkan sengketa tersebut ke jalur pengadilan.

Adanya klausul tersebut menjadikan suatu kompetensi absolut bagi arbitrase untuk menyelesaikan kemungkinan sengketa yang timbul dari kontrak bisnis yang dibangun para pihak. Karena kontrak yang dibangun oleh kedua belah pihak merupakan Undang-Undang24 bagt para pihak yang telah membuatnya. Sebagatmana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu: Ayat (1) : “adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk

mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri“.

Ayat (2) : “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini".

Merujuk pada ketentuan tersebut. maka lembaga Peradilan diharuskan menghormati

19 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 nomor 138, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3872. 20 Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska

bekerjasama dengan BANI, Jakarta, hlm. 54 21 Yahya Harahap, 2006, Arbitrase. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 65. 22 Erman Rajaguguk., 2000, Arbitrase Putusan Pengadilan, Chandra Paratama, Jakarta, hlm. 2. 23 Gay Goodpaster, dkk, 1995, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di

Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 24. 24 Pasal 1338 KUHPerdata antara lain menegaskan, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Page 9: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1504 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement.25

Dari beberapa kelebihan atau keunggulan lembaga arbitrase sebagaimana diuraikan diatas, ternyata dalam praktek terdapat juga beberapa problem/masalah yang timbul pada arbitrase. Problem tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

1. pendirian atau sikap hakim tentang klausul arbitrase.

2. kekurangan-kekurangan dalam klausul arbitrase sendiri karena soal bahasa, misalnya menggunakan terminology yang mengandung banyak arti dapat memmbulkan penafstran yang berbeda-beda.

3. Apabila ada perbedaan tempat antara domisili badan peradilan perwasitan dan tempat (Negara) dimana putusan badan itu harus dilaksanakan.

4. Karena choice of law, penerapan strict rules of law. atau ex aequo et bono.26 Kesepakatan atau aturan main yang perlu disepakati dalam arbitrase tersebut adalah

menyangkut pilihan forum (choice of jurisdiction), pilihan hukum (choice of law) dan pilihan domisili (choice of domicilie). Namun sekalipun telah ada kesepakatan di depan atas cara-cara penyelesaian sengketa tersebut, dalam implementasinya tidaklah mudah. Adapun permasalahan yang sering muncul setelah adanya perjanjian yang memuat klausula arbitrase terutama adalah menyangkut kompetensi absolute yang dalam praktik masih sering “diambil alih” oleh pengadilan.27

Persoalan yang terkait dengan kewenangan mutlak lembaga arbitrase dalam banyak kasus ternyata menjadi persoalan tersendiri yang tidak pernah hilang. Pengadilan negeri terkadang tidak mengakui atau tidak menerima pilihan forum arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak dalam suatu perjanjian dan malah menyatakan diri berwenang menangani perkara yang sudah diserahkan kewenangannya oleh para pihak kepada arbitrase.

Selain hal tersebut diatas, sering juga terjadi gangguan dalam eksekusi putusan Arbitrase. Gangguan tersebut justru timbul dari para pihak yang membuat dan menyepakati klausul arbitrase yang secara beritikad tidak baik dalam melaksanakan klausul arbitrase, dalam praktek sering terjadi adanya pihak-pihak yang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap pihak lainnya meskipun sebelumnya telah menyepakati klausula arbitrase, mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase, melakukan perlawanan terhadap proses eksekusi dan lain sebagainya.

Beberapa contoh kasus dari persoalan mengenai kekuatan mengikat lembaga arbitrase dan kekuatan mengikat putusan arbitrase sebagaimana diuraikan di atas antara lain : a. Sengketa Perjanjian Jasa Arranger antara PT. Central Investindo melawan Fransiscus

Wongso dan Chan Shih Mei Oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Perkara ini bermula dari adanya gugatan pembatalan Perjanjian Jasa Arranger yang

diajukan oleh PT Central Investindo ( selaku Penggugat) terhadap Chan Shih Mei dan Fransiscus Wongso (selaku Tergugat) di Pengadilan Negeri Tangerang. Pada tingkat Pengadilan Negeri, Tergugat telah mengajukan eksepsi dengan menyatakan bahwa dalam Perjanjian Jasa Arranger telah disepakati forum penyelesaian sengketa melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC) di Singapura. Hakim Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara ini mengeluarkan putusan sela (No. 176/PDT.G/2CX)9/PN.TNG tanggal 1 September 2009) yang intinya menyatakan Eksepsi tergugat tidak dapat diterima, dan menyatakan Pengadilan Negeri Tangerang berwenang untuk memeriksa dan mengadili

25 Gatot Soemartono, op.cit, hlm.70-71. 26 Niwan Lely, “Mengapa Harus Arbitrase”, dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds)., 1995,

Arbitrase Di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 124. 27 Erman Suparman, 2006, Perkembangan Doktrin Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Makalah, Diskusi

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, November

Page 10: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1505 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

perkara tersebut dan memerintahkan kedua pihak untuk melanjutkan pemeriksaan pokok perkara. Selanjutnya, Pengadilan Negeri Tangerang mengeluarkan Putusan No. 176/PDT.G/2009/PN/TGN tanggal 21 Desember 2009 yang isinya membatalkan Perjanjian Jasa Arranger dan menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum.

Pada Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Banten menguatkan Putusan Pengadilan Tangerang No. 176/PDT.G/2009/PN.TNG dengan dikeluarkanya Putusan Pengadilan Tinggi Banten No. 18/PDT/2010/PT.BTN tanggal 14 April 2010.

Pada Tingkat Kasasi, Mahkamah Agung Rl memenangkan pihak Tergugat dengan dikeluarkanya Putusan Mahkamah Agung No. 2179 K/Pdt/2010 tanggal 21 Februari 2011. Putusan MA tersebut intinya menyatakan pengadilan Negeri Tangerang tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini dan menyatakan Singapore International Arbitration Center (SIAC) yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.

Atas putusan Mahkamah Agung tersebut, pihak PT Central Investindo (selaku Termohon Kasasi) selanjutnya mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung Rl. Majelis Hakim PK menguatkan Putusan Kasasi MA denga dikeluarkanya Putusan No. 275 PK/Pdt/2012 tertanggal 15 April 2013.

b. Sengketa antara PT Lirik Petroleum selaku (Pemohon Kasasi d.h Terlawan/terbanding) melawan PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP ( Para Termohon Kasasi d.h Pelawan I, Il/Para Pembanding)

Bahwa Pertamina dan PT Lirik Petroleum melakukan perjanjian Enhartched Oil Recovery (EOR) Contract tanggal 28 Maret 1991 (“EOR Contract”). EOR Contract tersebut dalam perjalanannya kedudukan Pertamina digantikan oleh Pertamina EP untuk melanjutkan seluruh hak dan kewajiban Pertamina sebagaimana disepakati dalam EOR Contract.

Bahwa dalam Pasal XII. 1.4 EOR Contract tersebut disepakati klausula arbitrase yang berbentuk Majelis dengan ICC Rules dan tempat dilakukannya arbitrase tersebut di Jakarta, Indonesia.

Bahwa kemudian pada tanggal 25 Mei 2006, PT Lirik Petroleum mengajukan permohonan arbitrase ke ICC International Court of Arbitration, Paris dan menjadikan Pertamina sebagai Termohon Arbitrase I dan Pertamina EP sebagai Termohon Arbitrase II, dengan dalil adanya tindakan wanprestasi yang dilakukan para Pertamina/Pertamina EP dalam memenuhi EOR Contract sebagai berikut:

a. Pertamina ingkar memberikan status komersialitas terhadap lapangan MIGAS molek, Pulai Utara, Pulai Selatan dan Lirik, sehingga hal tersebut PT Lirik Petroleum (Pemohon Arbitrase) menuntut ganti kerugian sebesar US$ 84.978.210;

b. Pertamina/Pertamina EP tidak memenuhi penyediaan penyaluran minyak melalui sistem jalur pipa dan memenugi kewajibannya berdasarkan EOR Contract sejak 21 Desember 1998 s.d 27 Maret 2006, sehingga hal tersebut PT Lirik Petroleum menuntut ganti kerugian sebesar US$ 44.834.524;

c. Pertamina/Pertamina EP tidak melakukan membayar kewajiban atas biaya operasi yang dikeluarkan untuk memproduksi minyak mentah sejak bulan Mei 1994 sampai dengan 27 Maret 2006, sehingga hal tersebut PT Lirik Petroleum menuntut ganti kerugian sebesar US$ 272.553.

Terkait dengan perkara arbitrase tersebut, kemudian Majelis Arbitrase memberikan putusan arbitrase International Nomor 14387/JB/JEM yang intinya menghukum Pertamina dan Pertamina EP diwajibkan untuk membayar kepada Permohon Arbitrase sejumlah US$ 34.172.178. Dengan adanya putusan tersebut kemudian pada tanggal 20 April

Page 11: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1506 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

2009, Majelis Arbitrase telah mendaftarkan putusannya tersebut melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bahwa kemudian berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 01/Pembatalan Arbitrase/2009/PNJKT.PST tanggal 3 September 2009 jo Putusan Mahkamah Agung No 904K/Pdt.Sus/2009 tanggal 9 Juli 2010 pada intinya menolak secara keseluruhan gugatan pembatalan arbitrase yang diajukan oleh Pertamina dan Pertamina EP.

Dengan ditolaknya gugatan pembatalan arbitrase tersebut, PT Lirik Petroleum meminta dilakukannya eksekusi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana pada tanggal 6 November 2009, juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menyampaikan panggilan aanmaning kepada Para Pertamina dan Pertamina EP.

Namun demikian, Pertamina dan Pertamina EP melakukan penolakan untuk melaksanakan putusan arbitrase tersebut diatas dan mengajukan gugatan perlawanan terhadap eksekusi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dalil Putusan Arbitrase sebagai berikut:

a. Melanggar ketertiban umum yang diharuskan dalam Pasal 54 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikarenakan Putusan Arbitrase sebagai putusan arbitrase nasional tidak mencantumkan kepala “ Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”

b. Melanggar ketertiban umum dikarenakan mendudukan Terlawan sebagai kontraktor setara dan sejajar dengan perusahaan negara (Pertamina);

c. Melanggar ketertiban umum karena melanggar ultra petis/ultra petita dengan mengabulkan kerugian keuntungan yang diharapkan sejak tahun 1995 padahal permintaan status komersialitas baru diajukan pada tahun 1997;

d. Melanggar ketertiban umum karena adanya saling pertentangan dalam pertimbangan angka 82 Final Award dan pertimbangan angka 87 Final Award;

e. Melanggar syarat pendaftaran dan permintaan eksekuatur yang digariskan dalam ketentuan Pasal 67 ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bahwa kemudian atas sengketa perlawanan tersebut, melalui putusan Nomor

445/Pdt.G/2009/PNJKTPST tanggal 15 April 2010 telah menolak perlawanan yang diajukan oleh Para Pertamina dan Pertamina EP sekaligus menyatakan Para Termohon Arbitrase tidak baik atau tidak jujur dalam mengajukan perlawanan tersebut.

Namun demikian, ditingkat banding putusan pengadilan negeri tersebut diatas dibatalkan dengan Putusan Banding Nomor 513/PDT/2010/PT.DKI tanggal 5 April 2011 yang kemudian mengadili sendiri dengan menyatakan bahwa Putusan Arbitrase ICC Case Nomor: 14387/JB/JEM tidak dapat dieksekusi.

Bahwa pada akhirnya melalui Putusan Kasasi, mengkoreksi Putusan Pengadilan Tinggi tersebut diatas yang pada intinya Judex Factie telah salah dalam memberikan putusan, karena hal-hal yang didalilkan dalam perlawanan tersebut telah diperiksa sebelumnya dalam perkara pembatalan putusan arbitrase yang kemudian telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, ada beberapa hal yang menjadi fokus dalam kegiatan penelitian ini yang dirumuskan dalam permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kekuatan mengikat Klausula Arbitrase dalam Perjanjian?

2. Hal-hal apa sajakah yang dapat membatalkan putusan Arbitrase di Indonesia?

3. Bagaimana pertimbangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menerima gugatan PT. Central Investindo untuk membatalkan Perjanjian Jasa Arranger dan bagaimana analisa pertimbangan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan

Page 12: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1507 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tersebut?

4. Bentuk-bentuk gangguan apasajakah terhadap penerapan arbitrase dalam kasus PT Lirik Petroleum melawan PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP dan bagaimanakah sikap Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung RI dalam menyikapi adanya gangguan penerapan arbitrase dalam kasus tersebut? Penelitian ini berguna baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis

penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya yang terkait dengan materi-materi dalam lingkup hukum bisnis.

Secara praktis, penelitian ini berguna sebagai acuan bagi para pelaku bisnis pada umumnya, terutama pelaku bisnis dalam transaksi bisnis internasional yang mewajibkan adanya kontrak dagang internasional yang didalamnya pasti memuat “klausula arbitrase”. Penelitian ini juga diharapkan berguna bagi para praktisi hukum dalam melakukan pendampingan terhadap kliennya yang akan melakukan transaksi bisnis serta untuk kepentingan pembelaan jika permasalahan Kliennya berlanjut ke proses hukum. Selain itu basil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penegak hukum lainnya khususnya kepada hakim dan para arbiter dalam menjalankan profesinya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mengkaji:

1. Perjanjian yang memuat klausula arbitrase dapat diajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan Negeri;

2. Alasan atau pertimbangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menerima gugatan PT. Central Investindo untuk membatalkan perjanjian yang memuat klausula Arbitrase;

3. Alasan atau pertimbangan Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam memutuskan perkara PT. Central Investindo melawan Fransiscus Wongso dan Chan Shih Mei di Tingkat Kasasi dan Peninjauan kembali;

4. Bentuk-bentuk gangguan terhadap penerapan arbitrase dalam kasus PT Lirik Petroleum melawan PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP dan sikap Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung RI dalam menyikapi adanya gangguan penerapan arbitrase dalam kasus tersebut.

Penelitian mengenai konsekuensi pilihan forum arbitrase terhadap kompetensi hakim pengadilan negeri dalam memeriksadan memutus perkara yang timbul dari perjanjian dengan klausula arbitrase merupakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku baik di Indonesia maupun konvensi internasional. Penelitian ini dapat pula disebut sebagai penelitian doktrinal karena peneliti berusaha menemukan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti untuk menjawab permasalahan yang ada, peneliti melakukan pengumpulan bahan hukum melalui studi dokumen (studi kepustakaan) meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yakni dengan cara melakukan inventarisasi dan diidentifikasi terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan, konvensi-konvensi intemasional, dokumen hukum, catatan hukum, hasil-hasil karya ilmiah dan bahan bacaan/literatur yang berasal dari ilmu pengetahuan hukum dalam bentuk buku, artikel, jurnal dan hasil penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Bahan hukum yang terkumpul kemudian diolah. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Teknik analisis dilakukan secara interpretasi, yaitu bahan hukum diinterpretasikan dan dijabarkan dengan mendasarkan pada suatu norma-norma dan teori-teori ilmu hukum yang berlaku, sehingga pengambilan keputusan yang menyimpang seminimal mungkin dapat dihindari. Dengan menarik kesimpulan dengan mempergunakan metode penalaran secara induktif yaitu suatu pemikiran secara sistematis dari khusus ke

Page 13: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1508 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

umum, dan deduktif ialah suatu pemikiran secara sistematis dari umum ke khusus. II. PEMBAHASAN A. Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase Dalam Kontrak.

Dalam hubungan hukum kontraktual mengandung risiko salah satunya risiko timbulnya perselisihan atau sengketa antara Para Pihak dalam Perjanjian, baik yang timbul karena adanya perbedaan penafsiran Para Pihak atas pelaksanaan kontrak maupun yang timbul karena terdapat pihak-pihak yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam kontrak.

Penyelesaian perselisihan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan suatu kontrak dapat dilakukan dengan berbagai metode, mulai dari penyelesaian yang dilakukan antara para pihak secara musyawarah maupun yang melibatkan pihak ketiga seperti mediasi, konsolidasi, arbitrase, sampai dengan pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri.

Adapun dikarenakan terdapat berbagai macam metode dan forum dalam penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian, para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan metode dan forum apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa dimaksud, dimana pada praktiknya saat ini banyak pihak yang memilih lembaga arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa.

Arbitrase atau “arbitrage” (Belanda), “arbitration” (lnggris}, secara etimologi (bahasa) berasal dari kata “arbitraer” atau “arbitrari” (Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.28 Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa Majelis arbitrase tidak perlu memperhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan hakim di pengadilan.29

Lebih lanjut Prof. R. Subekti dalam bukunya “Arbitrase Perdagangan” mendefinisikan Arbitrase sebagai berikut:

“Arbitrase adalah penyelesaian masalah atau pemutusan sengketa oleh seorang arbiter atau para arbiter yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau ntentaati keputusan yang diberikan oleh arbiter atau para arbiter yang mereka pilih atau tunjuk”.30 Pasal 1 angka 1 Undang - Undang Arbitrase mendefinisikan Arbitase dengan rumusan

sebagai berikut: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Bahwa dari definisi-definisi mengenai Arbitrase di atas dapat ditarik beberapa unsur

dalam Arbitrase antara lain :

1. Arbitrase merupakan suatu forum penyelesaian sengketa.

2. Arbitrase didasarkan pada suatu kesepatan para pihak yang diatur dalam suatu perjanjian tertulis.

3. Penyelesaian sengketa elalui lembaga Arbitrase dilakukan oleh seoran Arbiter atau para Arbiter.

4. Putusan lembaga Arbitarase niengikat para pihak. Kesepakatan para pihak untuk mengadakan arbitrase laliir dengan adanya asas

kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak dalam bidang kontrak perdagangan, telah diakui oleh hampir seluruh negara. Kebebasan berkontrak adalali "the moral farce behind contract

28 HMN. Purwosucipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Cet Ketiga, Jakarta: Jambatan,

hlm. 1. 29 R. Subekti, 1981, Arbitrase Perdagangan, Bandung: Binacipta, hlm. 1-3. 30 Arbitrase Perdaangan, hlm. 1.

Page 14: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1509 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

as promise. The parties are bound to their contract because they have chosen to be”.31 Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak sebagai

berikut:32

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

2. kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;

3. kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;

4. kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;

5. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian

6. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional).

Bahwa sehubungan dengan kekuatan mengikat klausul Arbitrase, apabila lembaga Arbitrse sudah diperjanjikan maka klausul Arbitrase tersebut mengikat para pihak, sehingga implikasi yuridis dan dipilihnya lembaga Arbitrase adalah Para Pihak yang telah bersepakat tersebut harus menyelesaikan sengketa yang timbul menggunakan lembaga Arbitrase. Kekuatan mengikat klausul Arbitrase ini didasarkan pada Asas Pacta Sunt Servanda dalam hukum perjanjian yang menyatakan bahwa kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagai para pihak yang membuat kesepakatan tersebut.33

Kekuatan mengikat klausula Arbitrase juga diatur secara tegas dalam Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Arbitrase yang menentukan : Pasal 1338 KUHPerdata :

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal 11 Ayat (1) UU Arbitrase

“Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri”.

Apabila dihubungkan dengan Perkara A quo, dalam Perjanjian Jasa Arranger antara PT. Central Investindo dengan Fransiscus Wongso dan Chan Shih Mei, para pihak telah menyepakati dalam Perjanjian Jasa Arranger secara tegas Klausula Arbitrase yang mengatur tata cara penyelesaian sengketa para pihak sebagai berikut :34

HUKUM YANG BERLAKU & PENYELESAIAN SENGKETA

“Perjanjian ini diatur dan ditafsirkan berdasarkan hukum substantij Singapura. Semua sengketa atau klaim-klaim sehubungan dengan. Perjanjian ini, haik secara kontraktual atau berdasarkan perhuatan melawan hukum yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat oleh Para Pihak, harus disampaikan kepada Singapore International Arbitration Center (SIAC)

31 K.M. Sharma, 1999, “From Sancity to fairness: An Eneasy Transition in the Law of Contracts?”, New York

School of Journal of International and Comparatively Law, Vol. 18 No. 2, hlm. 95, sebagaimana dikutip oleh Yansen Dermanto Latip, 2002, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional, Jakarta: Program Pascasarjana FHUI, hlm. 11

32 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal 47.

33 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal 27.

34 Perjanjian Jasa Arranger oleh dan antara PT. Central Investindo Fransiscus Wongso dan Chan Shih Mei , halaman 4.

Page 15: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1510 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

dan diperiksa oleh satu orang arbiter yang ditunjuk berdasarkan peraturan (SIAC) untuk arbitrase yang berlaku pada saat disampaikan, tempat arbitrase adalah di Singapura. Keputusan arbitrase adalah final dan mengikat Para Pihak. Semua biaya dan pengeluaran sehubungan dengan arbitrase ditanggung oleh Pihak yang kalah”. Berdasarkan Pasal Perjanjian Jasa Arranger di atas, diketahui bawannya Para Pihak

memilih 2 (Dua) metode penyelesaian sengketa yaitu dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dan melalui lembaga Arbitrase berupa Arbitrase dalam hal ini Singapore International Arbitration Center (SIAC).

Dilihat dari substansinya, Pasal 4 Perjanjian Jasa Arranger bersifat subsidair (pengganti), maksudnya adalah apabila penyelesaian sengketa secara musyawarah tidak berhasil maka Para Pihak selanjutnya dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui lembaga Arbitrase (SIAC) yang nantinya SLAC akan mengeluarkan putusan terhadap sengketa yang berkuatan hukum final dan mengikat (final and binding/In Kracht van gewijsde).

Oleh karena telah diperjanjikan dalam Perjanjian Jasa Arranger oleh Para Pihak, maka sesuai dengan Asas Pacta Sunt servanda dan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Arbitrase, klausul Arbitrase yang telah disepakati dalam Perjanjian Jasa Arranger mengikat dan harus dilaksanakan Para Pihak apabila terjadi 2 (dua) hal. Pertama, terjadi sengketa antara para pihak sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian Jasa Arranger. Kedua, tidak tercapai penyelesaian secara musyawarah mufakat dalam sengketa dimaksud. B. Permasalahan Pembatalan Putusan Arbitrage di Indonesia.

Bahwa mengenai pembatalan putusan arbitrase di Indonesia diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyatakan terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Kemudian Penjelasan Pasal 70 menyatakan, permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.

Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.

Selanjutnya Pasal 71 menyatakan, bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Selanjutnya Pasal 71 menyatakan, bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase sharus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Namun terkadang, banyak praktek di pengadilan para pihak mengajukan pemohonan pembatalan putusan arbitrase dengan dasar diluar Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana tercantuni diatas.

Hal ini sering terjadi karena didalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30

Page 16: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1511 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

Tahun 1999 yang menyatakan tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain :

1) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;

2) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau

3) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur syarat-syarat pembatalan putusan arbitrase secara limitatif. Dalam arti salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 70 tersebut.

Salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan berdasarkan Penjelasan Umum dari Undang-Undang tersebut, karena ketentuan yang disebutkan dalam suatu pasal (batang tubuh) lebih kuat dari Penjelasan Umum. Dasarnya adalah butir 178 Lampiran 11 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan, penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Hal ini dikarenakan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun J 999 yang menyatakan tentang pembatalan putusan arbitrase, seolah-olah membuka celah kembali dengan mencantumkan kalimat, “antara lain”

Kata antara lain itu dapat diartikan menambah alasan-alasan yang baru selain a. b. dan c. Kata-kata antara lain telah mengubah secara terselubung ketentuan yang diatur oleh Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Oleh karena itu menurut Pendapat Hukum saya, tetap yang berlaku adalah Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang merupakan batang tubuh undang-undang tersebut, dan bukan Penjelasan Umum.

Mengenai Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 15/PUU-X11/2014 tanggal 23 Oktober 2014 telah membatalkan penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya, antara lain, menyatakan pasal tersebut sudah cukup jelas (expresis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal tersebut. Paling tidak multi tafsirnya adalah, (i) bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan apakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau (ii) bahwa alasan pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan pembatalan. Dengan perkataan lain, apakah sebelum mengajukan permohonan pembatalan, pemohon harus mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan untuk memperoleh putusan dan dengan alasan yang telah diputuskan pengadilan tersebut menjadikan syarat untuk pengajuan pembatalan Atau,syarat alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut hams dibuktikannya dalam proses pembuktiaii permohonan di pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi terjadinya ketidakpastian hukum, sehingga nienimbulkan ketidakadilan. Selain itu, manakala tafsir yang pertama yang dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan permohonan pembatalan tersebut akan berhadapan dengan proses pengadilan.

Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, maka tidak mungkin jangka waktu 30

Page 17: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1512 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

(tiga puluh) hari tersebut dipenuhi. Menurut Mahkamah Konstitusi R1 Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (J) LI LID 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan penjelasan Pasal 70 Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Adanya celah yang dapat memperluaskan keberlakukan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang tersebut seringkali dijadikan para pihak yang tidak beritikad baik untuk dapat mengajukan gugatan pembatalan arbitrase melalui pengadilan.

Dengan demikian hal tersebut membuat keberlakukan putusan arbitrase di Indonesia yang seharusnya bersifat final and binding terkadang terkesampingkan dalam praktek di pengadilan karena adanya perluasan penafsiran dalam ketentuan Pasal 70 Undang-Undang tersebut, sehingga berbagai macam alasan seolah-olah dapat dimungkinkan digunakan oleh para pihak yang beritikad tidak baik untuk membatalkan suatu putusan arbitrase di Indonesia. C. Analisa Sengketa Perjanjian Jasa Arranger antara PT Central Investindo melawan

Chan Shih Mei dan Farnsiscus Wongso Yang Membatalkan Perjanjian Dengan Klausula Arbitrase di Pengadilan Negeri Tangerang.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang yang memeriksa sengketa Perjanjian Jasa Arranger mengeluarkan putusan sela (No. 176/PDT.G/2009/PN.TNG tanggal 1 September 2009) yang intinya menyatakan Eksepsi tergugat mengenai kompetensi relatif Pengadilan Negeri Tanggerang tidak dapat diterima, dan selanjutnya menyatakan Pengadilan Negeri Tangerang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dan memerintahkan para pihak untuk melanjutkan pemeriksaan pokok perkara, yang mana kemudian putusan tersebut dikuatkan juga oleh Pengadilan Tinggi Banten.

Bahwa perbuatan Judex Factie menolak eksepsi Tergugat (Chan Shih Mei dan Fransiscus Wongso) tentang komptensi relatif S1AC dalam memeriksa dan mengadili sengketa perjanjian jasa arranger menunjukkan bahwa Judex Factie menerapkan teori/aliran yang menyatakan bahwa klausula arbitrase bukanlah public order.

Bahwa dalam kekuatan mengikat klausula arbitrase memang terdapat aliran yang menyatakan klausula Arbitrase dalam suatu perjanjian bukanlah public order atau bukan ketertiban umum (niet van openbaar order). Maksud dari aliran tersebut adalah klausula arbitrase tidak mutlak menyingkirkan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang timbul dari perjanjian. Klausula arbitrase hanya memberikan hak opsi atau hak pilih bagi para pihak. Para pihak dapat memilih, apakah sengketa yang timbul diajukan kepada badan arbitrase atau ke pengadilan. Jika salah satu pihak mengajukan persengketaan kepada badan arbitrase, baru mutlak gugur yurisdiksi Pengadilan Negeri untuk menerima, memeriksa dan mengadili. Sebaliknya, apabila salali satu pihak telah mengajukan persengketaan kepada Pengadilan Negeri, dengan sendirinya gugur kewenangan badan arbitrase untuk menyelesaikan dan memutusnya.35

Sehubungan dengan putusan judex factie di atas, kemudian Terguat mengajukan Kasasi, dalam putusan No. 2179 K/Pdt/2010 tanggal 21 Februari 2011 Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Kasasi Tergugat dan menyatakan Pengadilan Negeri Tangerang tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa Perjanjian Jasa Aranger dan

35 M.Yahya Harahap, 2001, Arbitrase Ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan Prosedur BANI,

International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, PERMA No 1 Tahun 1990, edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 83.

Page 18: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1513 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

menyatakan Singapore International Arbitration Center (S1AC) yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini. Atas putusan Mahkamah Agung di tingkat kasasi tersebut, pihak Pengugat PT Central Investindo selanjutnya mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung Rl. Majelis Hakim PK menguatkan Putusan Kasasi MA dengan dikeluarkanya Putusan No. 275 PK/Pdt/2012 tertanggal 15 April 2013.

Pertimbangan Judex Juris dalam Putusan Kasasi dan Putusan Peninjauan Kembali menunjukkan bawasannya Judex Juris menganut aliran positivism yang menganggap bahwa apa yang disebut dengan hukum adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Negara, dalam hal ini peraturan perundang-undangan.

Sehubungan dengan klausula Arbitrase, Undang-Undang Arbitrase secara khusus telah mengatur secara tegas kekuatan mengikat klasula Arbitrase dalam Pasal 1J Undang-Undang Arbitrase yang menentukan : (1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian

sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. (2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa

yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka apabila terdapat suatu sengketa yang ada perjanjian arbitrasenya dan para pihak membawanya ke Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Negeri harus secara jabatan (ambtshalve) menyatakan diri tidak berwenang. Jadi tidak perlu pihak tergugat mengajukan suatu eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan. Pengadilan atas inisiatif sendiri pun karena jabatan dapat menyatakan tidak berwenang.36

Pertimbangan Judex Juris dalam sengketa a quo telah tepat dan sesuai dengan wewenangnya berdasarkan Pasal dalam memutus perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (“UU Mahkamah Agung”) yang menentukan bawasannya Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutus:

a. permohonan kasasi;

b. sengketa tentang kewenangan mengadili;

c. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Adapun pembatalan Putusan Pengadilan Negeri Tanggerang dan Putusan Pengadilan Tinggi Banten yang dilakukan oleh judex juris juga sudali tepat dikarenakan Putusan judex factie yang dibatalkan tersebut telah senyatanya salah menerapkan hukum yang berlaku dan telah melampaui batas wewenang.

Dikatakan melampaui batas wewenang dan saalali menerapkan hukum sebab sebagaimana telah diuraikan sebelumya, mengenai kekuatan mengikat klausula Arbitrase telah secara jelas diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase, Pasal 1338 KUHPerdata, dan Asas Pacta Sunt Servanda, namun Putusan Judex Factie malah mengabulkan dan menyatakan Pengadilan Negeri Tanggerang (Judex Factie) berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa Perjanjian Jasa Arranger.

Putusan Judex Factie sebagaimana diuraikan di atas juga bertentangan dengan kewajiban Judex factie berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan :

(1) Dalam Memeriksa Dan Memutus Perkara, Hakim Bertanggung Jawab Atas Penetapan Dan Putusan Yang Dibuatnya.

36 Sudargo Gautama, 1999, Undang-Undang Arbitrase Baru, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 15.

Page 19: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1514 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

(2) Penetapan Dan Putusan Sebagaimana Dimaksud Pada Ayat (1) Harus Memuat Pertimbangan Hukum Hakim Yang Didasarkan Pada Alasan Dan Dasar Hukum Yang Tepat Dan Benar.

D. Komentar terhadap Sengketa Antara PT Lirik Petroleum melawan PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP.

Bahwa yang menarik dianalisa dalam kasus tersebut adalah bagaiman cara-cara para pihak yang sebelumnya telah menyetujui klausul arbitrase namun disaat lembaga arbitrase telah memutus perkara tersebut namun justru pihak-pihak (in casu PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP) mengabaikan putusan arbitrase tersebut.

Dalam kasus tersebut terjadi (2) dua kali gangguan terhadap keberlakukan putusan arbitrase yakni:

1) Adanya gugatan pembatalan putusan arbitrase; dan

2) Adanya perlawanan terhadap eksekusi yang dilakukan oleh pihak PT Lirik Petroleum. Upaya-upaya yang dilakukan tersebut seolah-olah menilai putusan arbitrase tersebut

tidak memiliki sifat/hW and binding sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa.

Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, artinya putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut.

Padahal putusan bersifat final dan mengikat tersebut vang menjadi alasan bagi duni bisnis dalam menentukan menggunakan lembaga arbitrase karena dapat menyelesaikan sengketa dalam waktu yang singkat dan ditangani oleh tenaga profesional yang dipilih oleh para pihak. Namun demikian, dalam pelaksanaan putusan para pihak sering memanfaatkan kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang memberikan peluang kepada para pihak untuk melakukan upaya hukum luar biasa dengan hak imgkar dan/atau mengajukan permohonan pembatalan yang dilakukan sebelum dan dalam proses persidangan serta setelah putusan arbitrase sehingga hal ini dapat menunda eksekusi putusan. Dengan kondisi tersebut maka pilihan lembaga arbitrase sebagai penyelesaian sengketa alternatif diluar badan peradilan menjadi mubazir keberadaannya.

Bahwa kembali kedalam kasus, pembatalan putusan arbitrase serta perlawanan yang diajukan oleh PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP sebagai bukti bahwa tujuan tersebut untuk menghambat keberlakukan putusan arbitrase secara itikad tidak baik, karena alasan-alasan yang dikemukakan diluar ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, seperti:

a. Melanggar ketertiban umum yang diharuskan dalam Pasal 54 ayat (1) hurut g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikarenakan Putusan Arbitrase sebagai putusan arbitrase nasional tidak mencantumkan kepala “Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”;

b. Melanggar ketertiban umum dikarenakan mendudukan Terlawan sebagai kontraktor setara dan sejajar dengan perusahaan negara (Pertamina);

c. Melanggar ketertiban umum karena melanggar ultra petis/ultra petita dengan mengabulkan kerugian keuntungan yang diharapkan sejak tahun 1995 padahal permintaan status komersialitas baru diajukan pada tahun 1997;

d. Melanggat ketertiban umum karena adanya saling pertentangan dalam pertimbangan angka 82 Final Award dan pertimbangan angka 87 Final Award;

Page 20: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1515 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

e. Melanggar syarat pendaftaran dan permintaan eksekuatur yang digariskan dalam ketentuan Pasal 67 ayat 2 hurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Meskipun pada akhirnya pembatalan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung Rl, namun upaya PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP tidak berhenti begitu saja dengan tetap mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yang diajukan oleh PT Lirik Petroleum. Dimana dalam perlawanan eksekusi tersebut yang menarik perhatian, ternyata lembaga pengadilan di Indonesia dalam kasus perlawanan tersebut in casu pengadilan tinggi justru menyatakan bahwa Putusan Arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian hal tersebut menunjukan pula lembaga peradilan khususnya ditingkat pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi belum sacara keseluruhan belum menghormati putusan-putusan arbitrase.

Meskipun demikian, pendirian Hakim Agung ditingkat kasasi Mahkamah Agung RI dalam menilai keberlakukan arbitrase masih dapat diandalkan dengan menolak putusan pengadilan tinggi dan menyatakan eksekusi yang diajukan oleh PT Lirik Petroleum.

Terkait pendirian Mahkamah Agung dalam memberikan putusan mengenai upaya-upaya pembatalan putusan arbitrase tidak sedikit yang diajukan dalam proses pengadilan di Indonesia, berdasarkan catatan sekretariat BAN1 pada tahun 1977 sampai dengan tahun 201337, terdapat sejumlah 60 putusan arbitrase BANI diajukan permohonan pembatalan sampai dengan tingkat kasasi, namun sebagian besar dari putusan tersebut menguatkan putusan BANI.

III. KESIMPULAN

1. Kekuatan mengikat klausula Arbitrase dalam suatu perjanjian, didasarkan pada Asas Pacta Sunt Servanda, Pasal 1338 KUHPerdata, dan Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase dimana seluruhnya menentukan bahwa apabila penggunaan lembaga Arbitrase telah disepakati maka dalam hal terjadi sengketa, Arbitrase adalah lembaga yang memiliki kompetensi relative dan kompetensi absolut untuk memeriksa dan memutus perkara, sedangkan Pengadilan Negeri demi hukum (by the operation of law) dengan adanya klausula Arbitrase tidak berwenang secara relative untuk memeriksa dan memutus perkara yang telah memuat perjanjian Arbitrase dimaksud.

2. Sehubungan dengan kewenangan Arbitrase, masih terdapat disparitas di kalangan Hakim di tingkat pertama maupuun di tingkat Mahkamah Agung, namun dikarenakan berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman telah ditentukan bawasannya dalam membuat putusan haruslah didasarkan pada alasan dan dasar hokum yang tepat dan benar, maka apabila terdapat sengketa perjanjian yang telah memuat klausula Arbutrase segala perk ara sehubungan dengan penafsiran dan pelaksanaan perjanjian haruslah diajukan kepada Lembaga Arbitrase yang telah ditunjuk dan disepakati Para Pihak.

3. Adanya perbedaan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur syarat-syarat pembatalan putusan arbitrase secara limitatif dan kata antara lain dalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang dapat diartikan menambah alasan-alasan yang baru selain a. b. dan c, maka yang berlaku adalah ketentuan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang merupakan batang tubuh undang-undang tersebut, dan bukan Penjelasan Umum.

4. Bahwa kasus pembatalan putusan arbitrase serta perlawanan yang diajukan oleh PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP adalah sebagai bukti bahwa banyak pihak yang

37 Tjip Ismail, Putusan Akhir dan Mengikat ,Indonesia Arbitration Quarterly News Letter Vol 6 No 3

September 2014.

Page 21: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1516 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

telah menyepakati klausul arbitrase setelah ada putusan arbitrase namun justru menghambat keberlakukan putusan arbitrase secara itikad tidak baik.

Daftar Pustaka Artikel Contracts? ”, New York School of Journal of International and Comparatively Law, Vol. 18 No.

2, hal. 95, sebagaimana dikutip oleh Yansen Dermanto Latip, 2002, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional, Jakarta: Program Pascasarjana FHUI.

Elkouri Frank “How arbitration Works” dalam Soebekti, “Memahami Arbitrase”. Makalah dalam Seminar sehari Arbitrase, 16 November 1988, Yayasan Triguna, Kadin, Beni di Jakarta, November 1988; Arbitration is a simple proceesing voluntary chosen by parties who want adisput determined by an impartial judge of their own mutual selction, whose decision, based on the merit of the case, they agreed in advance to accept as final and binding.. (Varia Peradilan, Tahun IV no 40, Januari 1989 him 110, dalam Tineke Louise Tuegeh Longdong, 1998, Asas Ketertiban Umum Dan Konvensi New,York 1958. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Elois Henderson Bozari, “Public Policy Exeption to International Arbitral Award f "International Acceptenace Of The New York Cionvention, Reflected The Growing Appreciation To The Benefits Of Arbitration Av Relatively Inexpensive, Quick Means Of Private Dispute Resolution. Texas International Law Journal, vol. 30, 1995.

Erman Suparman, Perkembangan Doktrin Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Makalah, Diskusi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung , 2006.

Ridwan Khairandy, (ed), Afewcari Solusi Alternatif. Jurnal Hukum Bisnis Volume 21, Oktober-November, 2002.

Tjip Ismail, Putusan Akhir dan Mengikat ,Indonesia Arbitration Quarterly News Letter Vol 6 No 3 September 2014

Buku Abdurrasyid Priyatna, Suatu Pengantar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati

Aneska, Jakarta, 2002. Erman Rajaguguk, Arbirrase Putusan Pengadilan, Chandra Paratama, Jakarta, 2000. Erman Suparman, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2012. Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

2006. Gay Goodpaster, dkk, Tinjauan Terhadap Arbirrase Dagong Secara Umum dan Arbirrase Dagong di

Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta , 1995. HMN. Purwosucipto, Pengerrian Pokok Hukum Dagong Indonesia, Cet Ketiga, Jakarta: Jambatan,

1992. Huala Adolf, Arbitrase Komersial Intemasional, Grafindo, Jakarta, 2002. K.M. Sharma, 1999, “From Sancity to fairness: An Eneasy Transition in the Law of M.CW. Pinto, ’’Structure, Process, Outcome : toughts on the “essence” of International

Arbitration”, dalam Erman Rajaguguk., Arbitrase Putusan Pengadilan. Chandra Paratama, Jakarta, 2000.

Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Page 22: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1517 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)

M.Yahya Harahap, 2001, Arbirrase Ditinjau dari Regiemen Acara Perdata (RV), Peraruran Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, PERM A No 1 Tahun 1990, edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika

Niwan Lely, “Mengapa Hams Arbitrase”, dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds)., Arbirrase Di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta , 1995.

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, Jakarta, 2002.

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.

R. Subekti, Arbirrase Perdagangan, Bandung: Binacipta, 1981. Roy Goode, Commercial Law: "The Nature and Saurce of Commercial Law, Edisi ke 3, Penguin

Books, London, 2012. Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Intemasional, Alumni, Bandung, 1975. Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbirrase Baru, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1999. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para

Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.

Yahya Harahap, /Vrtawamn Terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi., Citra Adit ya Bakti, Bandung, 1993.

Yahya Harahap, Arbitrase. Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Lain-Lain Abla Mays, Principles of Confluct of Laws, dalam Yansen Dermanto Latip, Pilihan Hukum dan

Pilihan Forum Dalam Kontrak InternasionaX, Tesis, Program PftscaSarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.

Komar Kantaatmadja, "Beberapa Permasalahan Arbitrase Intemasional,” Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia pada Temu Karya Hukum Perusahaan Dan Arbitrase, kantor Menko Ekuin dan Wesbang, Bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta 22-23 Januari, 1991.

Page 23: PERMASALAHAN PELAKSANAAN KLAUSULA ARBITRASE DALAM …

DHARMASISYA Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Volume 1 Nomor 2 (Juni 2020) 1499-1518 e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

1518 DHARMASISYA Vol. I N0. 3 (September 2020)