pernikahan di bawah umur
DESCRIPTION
pernikahan di bawah umur dipandang dari sudut agama dan hukum negaraTRANSCRIPT
MAKALAH ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
“DILEMATIS ANTARA HAK ASASI MENIKAH DAN HAK ASASI PERLINDUNGAN ANAK DALAM
KONTROVERSI PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR”
OLEH :
RIZZA FAHRUDDIN (084674003)PANDHU YUANJAYA (084674013)ILHAM SUCAHYONO (084674014)
TITUS SATYA LAKSANA (084674040)ANDRY RISTIAWAN (084674049)
BAHRUL ULUM (084674051)
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA2008
KATA PENGANTAR
Hak asasi adalah hak yang paling dasar melekat pada diri
manusia. Hak tersebut digunakan dengan tujuan agar manusia dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupannya, sehingga
mereka akan merasakan keadilan ketika melakukan suatu hal yang
menjadi kewajibannya.
Guna menunjang pengetahuan tentang hak asasi manusia itu,
pembahasan dalam makalah ini mengarah pada penentuan titik
terang “ dilematis antara hak asasi menikah dan hak asasi
perlindungan anak dalam kontroversi pernikahan anak di bawah umur
“, dengan demikian di waktu yang akan datang diharapkan hak asasi
manusia bisa terpenuhi tanpa adanya suatu problema (kontroversi).
Demi penyempurnaan makalah ini, kami mengharapkan kritik
serta saran dari para pembaca dan pemakai makalah ini, khususnya
Bapak / Ibu dosen pengajar mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua untuk
memacu kepedulian manusia dalam menghormati dan menghargai
hak asasi.
Surabaya, Nopember 2008
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………… 1DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………. 2
BAB I :PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH ………………………………………………………… 3
B. RUMUSAN MASALAH ……………………………………………………………………… 3
C. TUJUAN ………………………………………………………………………………………… 4
D. MANFAAT …………………………………………………………………………………….. 4
BAB II :KAJIAN PUSTAKA ………………………………………………………………………………………… 5
BAB III :PEMBAHASAN
A. SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KONTROVERSI PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR ………………………………………………………………… 7
B. HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT PANDANGAN ISLAM ……………………………………………………………………… 8
C. HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA ……………………………………………………………………………… 9
2
D. UPAYA MENYIKAPI ATAU MENCEGAH TERJADINYA PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR …………………………………………… 11
BAB IV :KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………………………………… 13
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………… 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pernikahan merupakan salah satu hak asasi seseorang sebagai
puncak meraih kebahagiaan hidup, karena melalui pernikahanlah
sebuah keluarga dapat terbentuk secara utuh. Berangkat dari
pemikiran tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana konsep yang
tepat mengenai hak asasi menikah yaitu yang tidak melanggar hak
asasi yang lain.
Oleh karena itu, kami merasa perlu mengupas tuntas tentang
keberadaan pernikahan anak di bawah umur yang masih menjadi
topik pembicaraan yang hangat bagi masyarakat, sebab pernikahan
anak di bawah umur terus dibayangi kontroversi mengenai dilematis
3
dua hak asasi manusia yaitu hak asasi pernikahan/perkawinan dan
hak asasi perlindungan anak yang keduanya dihadapkan pada suatu
perdebatan sengit terkait dengan hak asasi manakah yang
diprioritaskan lebih dulu, mengingat kedua hak asasi tersebut sama-
sama penting bagai seseorang yang berkehendak untuk menuntut
akan pemenuhan hak asasi atas kepentingan pribadinya.
Perdebatan dilematis tersebut kian merebak menjadi masalah
sosial, sehingga memicu munculnya berbagai komentar atau opini
anggota masyarakat dari berbagai kalangan. Untuk itu, perlu adanya
pengkajian terhadap masalah ini, agar kita bisa menemukan jawaban
yang memuaskan dan mencari solusi yang tepat guna menghadapi
sekaligus menyelesaikan permasalahan ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan dalam pembahasan masalah maka penulis
membatasi permasalahan ini pada,
1. Mengapa pernikahan anak di bawah umur menimbulkan
kontroversi ?
2. Bagaimana hukum pernikahan anak di bawah umur menurut
pandangan Islam ?
3. Bagaimana hukum pernikahan di bawah umur berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
4. Bagaimana upaya menyikapi atau mencegah terjadinya
pernikahan anak di bawah umur ?
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :
1. Mendorong seseorang agar mengetahui konsep pernikahan
yang benar dan yang tidak menimbulkan kontroversi di
kalangan masyarakat.
4
2. Menganalisis hukum pernikahan anak di bawah umur
menurut pandangan Islam dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
3. Menciptakan upaya untuk menyikapi atau mencegah
terjadinya pernikahan anak di bawah umur.
D. MANFAAT
Adapun manfaat dari makalah ini yaitu :
1. Mewujudkan kesadaran seseorang untuk mematuhi hukum
yang berlaku.
2. Menumbuhkan sikap menghormati dan menghargai hak
asasi manusia.
3. Mengembangkan pola pikir dan perilaku manusia yang
bermoral atau yang sesuai dengan norma.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Indonesia dari waktu ke waktu kian akrab dengan berbagai
permasalahan sosial, hal tersebut dapat dibuktikan dengan
munculnya salah satu fenomena yang menjadi topik perbincangan
terkini di masyarakat, yaitu masalah tentang pernikahan atau
perkawinan anak di bawah umur. Bagaimana tidak ? Perkawinan
tersebut telah memicu munculnya kontroversi yang hebat. Adapun
‘tokoh’ yang terlibat dalam problema tersebut adalah pelaku
5
perkawinan di bawah umur beserta para pengikut atau pembela
yang bertindak sebagai pihak yang pro, sedangkan masyarakat
maupun pemerintah duduk sebagai pihak yang kotra.
Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal dengan Syekh
puji, seorang pria setengah baya yang menikahi gadis belia yang
belum genap berumur 12 tahun, menilai pernikahannya dengan anak
tersebut benar dan sah di mata agama Islam. Ia mengungkapkan
bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan sunnah Rasul dan
tidak perlu diributkan khalayak ramai.
Sedangkan di sisi lain, Muhammad Maftuh Basyumi, selaku
Menteri Agama mempunyai argumen tersendiri tentang pernikahan
anak di bawah umur. Beliau berpendapat bahwa pernikahan tersebut
tidak benar dan bisa-bisa pelakunya dikenai sanksi sesuai
pelanggaran yang dia lakukan. Di sela-sela kesibukannya membuka
Halaqah pengembangan pondok pesantren di Hotel Mercuri, Jakarta
beberapa waktu lalu, Menteri Agama menjelaskan bahwa di Indonesia
orang Islam terikat dengan dua ukuran. Di satu sisi sebagai muslim,
dia terikat pada syariat, sementara di sisi lain sebagai warga negara
yang terikat pada hukum positif, dalam hal ini UU perkawinan, dari
sudut pandang peraturan di UU perkawinan, pernikahan tersebut
tidak sah dan berpotensi menimbulkan masalah dalam hal
perlindungan anak. (Sumber : kompas.com). Namun, argumen beliau
tersebut bertolak belakang dengan opini pihak yang membenarkan
pernikahan tersebut.
Tak berhenti pada statement tersebut, Dosen Jurusan Sastra
Arab Universitas Negeri Malang juga menentang pernikahan anak di
bawah umur. Beliau menegaskan bahwa klaim sejumlah pihak yang
menikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah
Rasul itu adalah bermasalah, baik dari segi normatif (agama) maupun
sosiologis (masyarakat). (Sumber : islamlib.com).
Pengecaman terhadap pernikahan kontroversial tersebut juga
datang dari anggota masyarakat. Niam, salah seorang warga
masyarakat berpendapat bahwa pernikahan anak di bawah umur
dengan cara pernikahan siri (di bawah tangan) meski sah menurut
agama, dapat meniadakan hak-hak perdata anak, yang pada konteks
6
masalah syekh puji adalah pihak perempuan. (Sumber :
kompas.com).
BAB III
PEMBAHASAN
7
A. SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KONTROVERSI PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR
Berdasarkan kutipan- kutipan yang dijelaskan pihak-pihak
terkait dapat dipahami bahwa realita pro dan kontra tentang
pernikahan anak di bawah umur masih belum menemukan titik
penyelesaian, faktor utama yang membuat permasalahan itu
berlarut-larut adalah tidak adanya kesepahaman antara dua kubu
yang mempunyai pandangan yang berbeda. Kelompok yang setuju
berambisi mempertahankan haknya untuk menikahi anak di bawah
umur dengan alasan beribadah, mendapat persetujuan orang tua dari
anak yang hendak dinikahi, dan beberapa alibi lain yang digunakan
sebagai pendukung tanpa memperhatikan kepentingan atau hak
asasi utama si anak.
Adapun kelompok yang melarang penikahan anak di bawah
umur, berusaha memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat
oleh anak. Jika dilihat dari aspek sosial ekonomi, Pernikahan ini dicap
menimbulkan masalah dalam hal perlindungan anak, sebab dalam
relita yang sebenarnya terjadi di masyarakat, pernikahan ini acapkali
dijadikan dalih para orang tua untuk mengeksploitasi atau
‘mengorbankan’ anak mereka demi terpenuhinya kebutuhan ekonomi
keluarga. Di samping itu, jika si anak adalah pihak perempuan, maka
dapat dikatakan bahwa pernikahan anak di bawah umur telah
mengabaikan dan bahkan merendahkan derajat serta martabat
perempuan. Dampak dari perilaku pernikahan ini menyebabkan
trauma seksual serta berdampak buruk pada kesehatan reproduksi
pada anak perempuan. Secara mental psikologis, si anak juga dirasa
belum mampu membuat keputusan yang tepat bagi dirinya untuk
menanggung beban tanggung jawab mengurus kehidupan rumah
tangga yang semestinya adalah untuk orang yang sudah cukup umur
atau dewasa. Selain itu, bagi pihak anak secara tidak disadari banyak
efek negatif yang akan timbul diakibatkan pernikahan ini, mulai dari
terbatasnya pergaulan hingga hilangnya masa bermain dengan anak
sebaya yang berimbas pada perkembangan mental dan emosional si
anak.
B. HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT PANDANGAN ISLAM
8
Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk sumber
utama dari ajaran Islam, yakni Al Qur’an. Apakah Al Qur’an
mengijinkan atau justru melarang pernikahan dari gadis ingusan di
bawah umur? Yang jelas, tidak ada satu ayatpun yang secara eksplisit
mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang dapat
dijadikan inspirasi untuk menjawab persoalan di atas, meski substansi
dasarnya adalah tuntunan bagi muslim dalam mendidik dan
memperlakukan anak yatim. Meski demikian, petunjuk Al Qur’an
mengenai perlakuan anak yatim itu dapat juga kita terapkan pada
anak kandung kita sendiri. Ayat tersebut adalah : “Ujilah anak yatim
itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (mampu mengelola harta), maka
serahkan kepada mereka harta bendanya.” (Q.S. An Nisa’ : 6).
Dalam kasus anak yang ditinggal wafat orang tuanya, seorang
bapak asuh diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji
kedewasaan mereka “sampai usia menikah” sebelum
mempercayakan pengelolaan keuangan sepenuhnya. Di sini ayat Al
Qur’an mempersyaratkan perlunya tes dan bukti obyektif perihal
kematangan fisik dan kedewasaan intelektual anak asuh sebelum
memasuki usia nikah sekaligus mempercayakan pengelolaan harta
benda kepadanya. Logikanya, jika bapak asuh tidak diperbolehkan
sembarang mengalihkan pengelolaan keuangan kepada anak asuh
yang masih kanak-kanak, tentunya bocah ingusan tersebut juga tidak
layak, baik secara fisik dan intelektual untuk menikah. Oleh karena
itu, sulit dipercaya, Abu Bakar As Shiddiq, seorang pemuka sahabat,
menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun, untuk
kemudian menikahkannya pada usia 9 tahun dengan sahabatnya
yang telah berusia setengah abad. Demikian pula halnya, sungguh
sulit dibayangkan bahwa Nabi SAW menikai gadis ingusan berusia 7
atau 9 tahun. Ringkasnya, pernikahan ‘Aisyah pada usia 7 atau 9
tahun itu bisa bertentangan dengan prasyarat kedewasaan fisik dan
kematangan intelektual yang ditetapkan Al Qur’an. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa cerita pernikahan ‘Aisyah gadis belia
berusia 7 atau 9 tahun dengan Nabi SAW, itu adalah mitos yang perlu
diuji kesahihannya.
Di samping persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di
atas, seorang wanita sebelum dinikahkan harus ditanya dan dimintai
9
persetujuan agar pernikahan yang dilakukannya itu menjadi sah.
Dengan berpegang pada prinsip ini, persetujuan yang diberikan gadis
belum dewasa (berusia 7 atau 9 tahun) tentu tidak dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun intelektual.
Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakar meminta persetujuan
puterinya yang masih kanak-kanak. Buktinya, menurut hadis riwayat
Ibn Hanbal, ‘Aisyah masih suka bermain-main dengan bonekanya
ketika mulai berumah tangga dengan Nabi SAW. Nabi SAW sebagai
utusan Allah yang maha suci juga tidak akan menikahi gadis ingusan
berusia 7 atau 9 tahun, karena hal itu tidak memenuhi syarat dasar
sebuah pernikahan Islam tentang klausa persetujuan dari pihak istri.
Besar kemungkinan pada saat Nabi SAW menikahi ‘Aisyah, puteri Abu
Bakar As Shiddiq itu adalah seorang wanita yang telah dewasa secara
fisik dan matang secara intelektual.
Sebetulnya, dalam masyarakat Arab tidak ada tradisi
menikahkan anak perempuan yang baru berusia 7 atau 9 tahun.
Demikian juga tak pernah terjadi pernikahan Nabi SAW dengan
‘Aisyah yang masih berusia kanak-kanak. Masyarakat Arab tak pernah
keberatan dengan pernikahan seperti itu, karena kasusnya tak
pernah terjadi. Menurut hemat kami, riwayat pernikahan ‘Aisyah pada
usia 7 atau 9 tahun tak bisa dianggap valid dan reliable mengingat
sederet kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain dalam catatan
sejarah Islam klasik. Lebih ekstrim, dapat dikatakan bahwa informasi
usia ‘Aisyah yang masih kanak-kanak saat dinikahi Nabi SAW
hanyalah mitos semata.
Nabi adalah seorang gentleman. Beliau takkan menikahi bocah
ingusan yang masih kanak-kanak. Umur ‘Aisyah telah dicatat secara
kontradiktif dalam literatur hadis dan sejarah islam klasik. Karenanya,
klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan
dalih meneladani sunnah Nabi SAW itu adalah bermasalah, baik dari
sisi normatif (agama) maupun secara sosiologis (masyarakat). Jikalau
riwayat-riwayat seputar pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang
masih kanak-kanak itu valid, itu juga tidak bisa serta merta dijadikan
sandaran untuk mencontohnya. Tidakkah Nabi SAW itu memiliki
previlige (hak istimewa) yang hanya diperuntukkan secara khusus
untuknya, tapi tidak untuk umatnya? Contoh yang paling gamblang
adalah kebolehan Nabi SAW menikahi lebih dari 4 orang istri.
10
C. HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA
Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 Pasal 1 tentang
perlindungan anak, definisi anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang
tertuang dalam UU No. 23 tahun 2002 Pasal 4 : setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, Pasal 9
ayat 1 : Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakatnya, Pasal 11 : setiap anak berhak
untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat,
dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri, Pasal 13 ayat
1 : setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak
lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan (a) diskriminasi (b) eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual (c) penelantaran (d) kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan (e) ketidakadilan (f) perlakuan salah
lainnya. Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab terhadap anak seperti yang tertulis di UU no. 23
tahun 2002 Pasal 26 ayat 1 : orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anak (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya (d) mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak-anak.
UU pelindungan anak dengan sangat jelas mengatur segala
sesuatu yang berkaitan dengan anak, jadi sangatlah mengherankan
jika masih banyak pelanggarn yang terjadi terhadap anak dalam
konteks ini adalah pernikahan anak di bawah umur. Hal seperti ini
sangatlah tidak bisa diterima, dimanakah keberadaan pemerintah
sebagai pemegang otoritas tertinggi di RI ? Pernikahan di bawah
umur sebenarnya kerap kali terjadi di masyarakat khususnya di
daerah pedesaan tertinggal dimana kemiskinan dan kebodohan masih
11
menjadi momok yang menakutkan, contohya : salah satu kabupaten
di Jawa Barat terkenal dengan pernikahan anak di bawah umur
dimana para anak gadis yang masih lugu sengaja “dijual” orang
tuanya untuk melakukan pernikahan dengan tujuan memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga. Hal seperti sangatlah memilukan,
pemerintah acapkali tutup mata dengan kasus pernikahan anak di
bawah umur dan baru bertindak jika kasusnya terekspos ke khalayak
luas oleh media seperti yang sempat terjadi beberapa waktu lalu
dimana pernikahan syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa, gadis yang belum
genap berusia 12 tahun terekspos oleh media dan menjadi
kontroversi di masyarakat. Pemerintah diharapkan lebih serius
menindak setiap pelanggaran yang berkaitan dengan anak dalam
konteks ini adalah pernikahan anak di bawah umur. Setiap
pelanggaran terhadap pernikahan anak di bawah umur dapat
dikenakan sanksi pidana sesuai UU no. 23 tahun 2002 Pasal 77
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Selain UU perlindungan anak ada UU alternatif lain yang bisa
dijadikan acuan dalam menentang perkawinan anak di bawah umur,
yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. UU ini
menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai
sebelum melangsungkan pernikahan, menurut UU no.1 tahun 1974
Pasal 6 ayat 1 : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat 2 : untuk melangsungkan
perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh
satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 :
perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun.
D.UPAYA MENYIKAPI ATAU MENCEGAH TERJADINYA PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR
Pernikahan anak di bawah umur merupakan suatu fenomena
sosial yang kerap terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena
pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti fenomena
gunung es, sedikit di permukaan atau yang terekspos dan sangat
marak di dasar atau di tengah masyarakat luas. Dalih utama yang
12
digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan
anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun,
dalih seperti ini bisa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak
pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi
mengenai pernikahan di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW
dengan ‘Aisyah r.a. . Selain itu peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan
pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi bagi pihak-
pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan
dengan pernikahan anak di bawah umur.
Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan
hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga
pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah
umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain
itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan UU terkait
pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksinya bila
melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko-resiko terburuk yang
bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada
masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu
dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu
yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak
di bawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota
masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan
anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara
pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara
ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur
sehingga kedepannya diharapkan tidak akan ada lagi anak yang
menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak-anak Indonesia
bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
13
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral.
Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan
dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku
baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat
berlangsungnya pernikahan tersebut.
Pernikahan anak di bawah umur masih menjadi kontroversi di
tengah masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan
pandangan diantara pihak-pihak terkait dalam hal menyikapi
pernikahan anak di bawah umur. Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi di negara Indonesia diharapkan bisa menjadi
penengah diantara pihak-pihak yang berselisih dan mampu
menegakkan regulasi terkait pernikahan anak di bawah umur. Sinergi
14
antara dua belah pihak yaitu pemerintah dan masyarakat merupakan
jalan keluar terbaik yang bisa diambil sementara ini agar pernikahan
anak di bawah umur bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin
keberadaannya di tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Islamlib.com
Kompas.com
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
15