perubahan patofisiologis traktus gastrointestinal pada stroke iskemik
TRANSCRIPT
Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal pada Stroke Iskemik
ABSTRAK
Tujuan : Disfagia sering dijumpai setelah stroke dan menunjukkan prognosis yang buruk.
Setelah stroke iskemik, disfagia mewakili hanya satu bagian dari spektrum klinis perubahan-
perubahan pada traktus gastrointestinal (GI) dan mencakup perdarahan GI, penundaan
pengosongan GI, dan disfungsi kolorektal. Teknik pencitraan telah memulai revolusi untuk
penelitian kontrol kortikal dan batang otak terhadap gejala-gejala GI tersebut. Semakin jelas
bahwa perubahan GI pasca stroke adalah kompleks dan yang lebih kompleks lagi adalah
pemulihannya pasca stroke.
Metode : Dalam tulisan ini, dilakukan pencarian dari database elektronik MEDLINE,
EMBASE, dan COCHRAINE menggunaan istilah stroke, disfagia, motilitas GI, atau
reorganisasi kortikal; kemudaian dilakukan pencarian manual secara ekstensif.
Hasil : Iskemia serebri dapat menyebabkan gangguan aksis antara sistem saraf pusat dan
sistem GI. Gangguan interrelasi antara sistem saraf pusat dan sistem GI ini dapat
menyebabkan yang tersering yaitu disfagia, dismotilitas GI, dan perdarahan GI. Gejala klinis
yang ditimbulkan seringkali langsung disebabkan oleh lesi iskemia serebri spesifik di batang
otak maupun karena struktur kortikal dan subkortikal tertentu. Namun, pada beberapa kasus
mekanisme patofisiologi yang menimbulkan gejala GI belum dmengerti sepenuhnya.
Pengembangan tekinik pencitraan terkini, khususnya pencitraan fungsional, memberikan
pencerahan baru tentang kontrol sentral traktus GI, menunjukkan bahwa organisasi kortikal
dan medularnya multifokal, dan bilateral yang tidak tergantung hemisfer dominan.
Kesimpulan : Setelah stroke, pasien-pasien dapat mengalami gangguan menelan dan
perubahan traktus GI yang lain yang dapat mempengaruhi status nutrisi dan hidrasi dan dapat
menyebabkan pneumonia aspirasi. Gangguan status gizi berhubungan dengan penurunan
perbaikan fungsional, peningkatan komplikasi, dan memanjangnya lama rawat inap.
PENDAHULUAN
Pasca stroke iskemik, terjadi berbagai perubahan fungsional sekunder pada organ-
organ perifer yang berhubungan erat dengan daerah vaskuler serebri yang terkena. Khususnya
pada segmen-segmen sistem gastrointestinal (GI) yang berbeda yang sebagian dikontrol oleh
hirarki substrat neural yang kompleks di sistem saraf pusat maupun tepi. Ada bukti klinis
maupun eksperimental bahwa insidensi perubahan GI tertentu, seperti disfagia dan
dismotilitas traktus GI berhubungan kuat dengan lokasi topografis kerusakan iskemik serebral
1
itu sendiri dan tidak mewakili kondisi umum beratnya penyakit. Daerah vaskuler utama yang
terlibat adalah arteri serebri media dan arteri serebelli inferior posterior. Pemeriksaan
positron emission tomography (PET) dan magnetic resonance imaging (MRI) pada orang
normal mengidentifikasi perwakilan traktus GI terutama pada korteks sensorimotor (gyrus
presentral) dan batang otak. Disfagia merupakan akibat dari stroke pada daerah ini, terjadi
pada hingga 50% pasien segera setelah onset. Disfagia pasca stroke meningkatkan risiko
kematian dan memperburuk outcome fungsional pasca stroke, dengan penyembuhan yang
rendah dan memperpanjang lama tinggal di rumah sakit. Namun, meskipun derajat disfagia
saat onset sama, pola penyembuhan individual sangat bervariasi. Alasannya masih belum
jelas, tapi secara umum tidak berhubungan dengan beratnya stroke. Selain menelan, sejumlah
gejala GI lainnya yang berkaitan dengan perubahan pada otak pasca stroke belum dipahami
dengan baik.
Berat dan luasnya defisit neurologis pada sistem GI pasca stroke iskemik mungkin
tergantung pada jumlah dan lokasi jaringan otak yang mengalami gangguan aliran darah di
bawah ambang aliran kritis. Meskipun bukan satu-satunya determinan kerusakan (durasi
penurunan aliran juga penting), penelitian mengenai ambang aliran iskemik menunjukkan
bahwa ada dua ambang kritis penurunan perfusi : 1) ambang bahwa nilai dibawahnya terjadi
kegagalan neuron yang reversibel (aliran darah otak (CBF) < 20 ml/100g/menit) dan 2)
ambang di mana di bawahnya terjadi kegagalan membran dan kerusakan morfologis
ireversibel (CBF < 12 mL/100/menit). Rentang nilai perfusi antara kedua batas ini disebut
sebagai “penumbra iskemik” dan ditandai dengan potensi pemulihan fungsional tanpa
kerusakan morfologis. Selain itu, perkembangan lebih lanjut modalitas imajing dalam hal
resolusi spasial dan sensitivitas memberikan tilikan baru dalam representasi kortikal traktus
GI dan dapat membantu pemahaman yang lebih baik mengenai proses kompleks yang
mendasari kelainan sistem GI pasca stroke sebagai prasyarat perkembangan terapi baru.
Ulasan ini memfokuskan pada temuan eksperimental dan klinis terbaru mengenai
hubungan antara stroke iskemik dan disfungsi GI pada penelitian yang diperlukan di masa
mendatang untuk lebih memahami mekanisme patofisiologi sehingga dapat membantu
pengembangan pilihan terapi yang lebih baik.
METODOLOGI
Untuk tujuan ulasan ini, kami mencari penelitian dari database MEDLINE, EMBASE,
dan COCHRANE, serial kasus, atau laporan kasus yang dipublikasikan antara tahun 1966
dan Agustus 2003 dan 1986 dan Agustus 2003. Istilah yang digunakan dalam pencarian
2
meliputi menelan, stroke, iskemia serebri, infark serebri. Arteri serebri media, disfagia,
motilitas GI, reorganisasi kortikal, perdarahan GI, pengosongan GI, penuaan, dan terapi atau
referensi dari artikel-artikel yang relevan. Penelitian atau laporan tersebut harus
dipubilkasikan atau diterjemahkan ke baasa Inggris, perancis, atau Jerman. Publikasi yang
lebih baru lebih dipilih daripada yang lama, karena tujuan dari ulasan ini adalah memberikan
review yang up-to-date mengenai penelitian terbaru atau pengetahuan klinis mengenai
perubahan patofisiologis traktus GI pada stroke iskemik. Publikasi yang lebih lama
digunakan apabaila disitasikan dalam publikasi terpilih dan nampaknya bermakna untuk
tujuan ulasan ini.
MENELAN
Menelan merupakan kontraksi dan relaksasi secara berkesinambungan dan
semiotomatis dari 55 otot orofaring, laring, dan esofagus, 5 nervi kranialis, dan 2 radiks nervi
servikal. Kontrol sentral menelan diatur oleh dua tingkat, melibatkan batang otak dan korteks
serebri. Stroke iskemik unilateral maupun bilateral dan khususnya stroke batang otak
seringkali mengganggu proses menelan karena kerusakan fungsional atau morfologis daerah
yang sesuai pada korteks motorik dan/atau hubungannya dengan batang otak dan/atau nervi
kranialis yang memodulasi deglutisasi. Hingga 50% pasien dengan stroke iskemik
diperkirakan mengalami disfagia, meskipun sebagian besar hanya semantara. Selain sindroma
batang otak yang diketahui disertai disfagia, kini diketahui bahwa korteks serebri juga
berperan penting dalam pengaturan sentral menelan. Apabila komponen refleks bergantung
pada pusat menelan di batang otak, maka inisiasi menelan merupakan gerakan volunter yang
melibatkan integritas daerah motorik di korteks serebri. Sejumlah regio otak dengan
peningkatan aktivitas selama menelan dideteksi dengan pemeriksaan [15O]H2O-PET; aktivasi
terkuat terutama dijumpai di korteks sensorimotor, insula/klaustrum anterior kanan,
serebellum kiri, dan batang otak dorsal. Maka, proses menelan melibatkan beragam regio
otak, menunjukkan bahwa proses menelan melibatkan jaringan neuron dengan daerah di luar
korteks motorik primer dan medulla oblongata.
Organisasi Kortikal dan Menelan
Representasi kortikal menelan diperkirakan multifokal, bilateral, dan independen
terhadap hemisfer dominan. Berbagai daerah pada korteks serebri, seperti korteks motorik
sensorik, gyrus cingulata, dan insula terbukti teraktivasi selama menelan yang volunter.
Namun, pada korteks motorik, representasi otot menelan bersifat somatotopik, dengan otot
3
oral lebih lateral dan otot faring lebih medial. Yang menarik, nampaknya refleks menelan
juga menunjukkan aktivitas bilateral yang berpusat pada regio sensorik/motorik primer.
Berdasarkan pengetahuan saat ini, pasien dengan stroke kombinasi kortikal dan batang otak
yang berkaitan dengan tanda paresis nervi kranialis bilateral berisiko paling tinggi mengalami
disfagia, namun kesulitan menelan juga terjadi pada defisit unilateral. Selain itu, stroke
supratentorial – yang terletak pada kedua hemisfer – berkaitan dengan insidensi disfagia yang
lebih tinggi dan lebih berat dibanding stroke supratentorial, unilateral – yang mengenai hanya
satu hemisfer.
Sebagian besar lesi kortikal yang menyebabkan disfagia diyakini mengenai serabut
proyeksi dari gyrus presentral atau kapsula interna. Lesi pada daerah-daerah anatomis ini
akan mempengaruhi kerja volunter dari otot-otot penyokong faring dan laring pada sisi
kontralateral, dengan spastisitas dan diskoordinasi peristaltik. Lesi pada bagian yang lebih
rendah dari gyrus presentral inferior atau bagian posterior dari gyrus frontalis inferior pada
kedua hemisfer dilaporkan menyebabkan penundaan inisiasi respon faringeal, menunjukkan
suatu masalah pada mekanisme umpan balik, dan memberikan bukti lebih lanjut mengenai
peranan korteks dalam modulasi deglutisasi. Lesi pada daerah insulae dapat meningkatkan
ambang menelan dan menunda fase faringeal menelan sehingga meningkatkan risiko aspirasi.
Pentingnya insula dalam menelan tercermin pada fakta bahwa regio ini memiliki banyak
hubungan fungsional dengan beberapa regio otak yang berkaitan dengan menelan, termasuk
korteks premotor lateral dan mesial, korteks somatosensorik primer dan sekunder, dan
operkula parietal frontal, dan temporal.
Pada percobaan binatang, dijumpai bukti bahwa kedua hemisfer berperan dalam
mengatur menelan. Meskipun pada binatang terbukti kontrol sentral bilateral, pemeriksaan
patologis cenderung menunjukkan bahwa setidaknya pada manusia, salah satu hemisfer
mungkin dominan. Fakta ini sebagian dapat menjelaskan kesulitan untuk menghubungkan
luasnya, sisi, dan lokasi jaringan otak iskemik dengan beratnya dan lokasi disfungsi GI pada
penelitian klinis.
Organisasi Batang Otak dan Menelan
Masalah menelan umum dijumpai pada stroke batang otak, dan cenderung
meningkatkan risiko aspirasi. Jean dan Kessler membuktikan secara eksperimental bahwa ada
dua tingkat integrasi pusat menelan di medulla oblongata. Satu tingkat integrasi (regio dorsal
terdiri dari neuron-neuron dalam dan di sekitar nukleus traktus solitarius (NTS)) terlibat
dalam inisiasi menelan dan pengaturan urutan menelan secara keseluruhan. Sedangkan
4
tingkat kedua pengaturan menelan (regio ventral yang berhubungan dengan formatio
retikularis di sekitar nukleus ambiguus (NA)) nampaknya berperan utama sebagai jalur
penghubung ke berbagai jalur motorik yang terlibat dalam proses menelan. Kedua regio ini
ada pada kedua sisi batang otak dan saling berhubungan luas sehingga masing-masing sisi
dapat mengatur fase faringeal dan esofageal menelan. Informasi menelan dari perifer
memasuki portal reseptor aferen dari pusat menelan menuju sinaps pada neuron-neuron
“premotor”. Informasi sensoris ini dapat memulai deglutisasi dan proses menelan, mengubah
aktivitas yang dimulai sebelumnya pada pusat menelan, sehingga memodifikasi aktivitas
motorik yang sedang berlangsung. Neuron-neuron premotor esofageal juga menerima input
dari neuron-neuron premotor faringeal pada subnuklei intermedia dan interstisial NTS dan
menghubungkan dengan neuron-neuron esofageal urutan ketiga pada nuklei multipel
formatio retikularis, termasuk neuron-neuron parvoseluler. Nuklei formatio retikularis
mengandung interneuron-interneuron yang aktif sebagai bagian dari kontrol generator pola
sentral untuk menelan dan peristalsis esofageal.
Generator pola sentral secara serial mengaktivasi neuron-neuron motorik nervi
kranialis, termasuk NA dan nukleus motorik dorsal vagus (DMV), yang kemudian
menginervasi otot-otot deglutisasi. Karena serabut-serabut kortikobulber (termasuk NA dan
DMV) terlibat dalam memicu bagian inisiasi volunter refleks menelan, dan karena mereka
memiliki efek fasilitator terhadap pusat menelan bulber, penundaan dalam memicu refleks
menelan pasca stroke berhubungan dengan sistem serabut kortikobulbaris. Yang lebih jarang
dijumpai, pada beberapa penyakit kortikobulbaris yang lebih berat, refleks menelan
orofaringeal volunter masih dapat dimulai oleh pusat menelan bulber. Gangguan refleks
menelan ini dapat dideteksi secara klinis maupun elektrofisiologis. Mekanisme kedua yang
dipengaruhi oleh gangguan menelan mungkin berhubungan dengan dampak inhibisi
suprasegmental pada pusat bulber. Dampak ini nampaknya telah dihilangkan oleh beberapa
keterlibatanpatologis serabut-serabut kortikobulbaris. Pole EMG abnormal yang dicatat dari
sfingter krikofaringeal pasien-pasien stroke sama dengan pasien ALS dengan keterlibatan
kortikobulber. Lebih lanjut didapatkan bukti mengenai adanya inhibisi piramidal terhadap
refleks menelan. Maka, nampaknya keterlibatan traktus kortikobulbaris tidak hanya
mengubah pengaruh eksitatorik langsung, namun juga menyebabkan inhibisi jaringan neuron
pada interaksi hierarkis antara korteks serebri, pusat menelan batang otak, dan nervi kranialis
(N. Trigeminus, N. Glossofaringeus, N. Vagus, dan N. Hipoglossus) dengan mempengaruhi
kontrol inhibisi. Dukungan lebih lanjut terhadap mekanisme ini berasal dari pengamatan pada
pasien stroke yang mengalami peningkatan refleks mandibula dan palatofaringeal.
5
Diperkirakan bahwa pada ALS juga kemungkinan keterlibatan kontrol inhibitor suprabulber
dapat menyebabkan peningkatan refleks batang otak melalui pelepasan dari pengaruh
inhibisi.
Setelah stroke lakuner, durasi kontraksi otot submental juga memanjang,
menunjukkan bahwa pengaruh ekstrapiramidal terhadap pusat bulber juga terpengaruh.
Asumsi ini didukung oleh pengamatan pada pasien-pasien penyakit Parkinson dengan
disfagia dan menunjukkan bahwa organisasi fungsional menelan bahkan lebih kompleks dari
yang dijelaskan di atas. Akumulasi saliva dalam mulut dan drooling mungkin berhubungan
dengan keterlibatan sistem ekstrapiramidal maupun gangguan sistem kortikobulbaris.
Gambar 1. Mekanisme kontrol batang otak untuk menelan menunjukkan level dura integrasi
dalam pusat menelan di medulla oblongata. NTS = nukleus traktus solitarius; NA = nukleus
ambiguus; DMVN = dorsal motor nukleus vagus; UES = upper esophageal sphincter; LES =
lower esophageal sphincter.
6
Gambar 2. Skema potongan melintang medulla oblongata kiri pada manusia yang
berproyeksi ke divisi motorik dari nuklei N. V, VII, dan XII.
Input medullar dorsal ke divisi motorik N. V, VII, XII terutama berasal dari kolumna
retikularis medullar dorsal tepat di ventral nukleus traktus solitarius. Proyeksi dari kolumna
retikularis medullar dorsal didistribusikan terutama ke subdivisi ventrla dari divisi motrik
N.V, menuju subdivisi dorsal dan intermedial N.VII, dan ke subdivisi dorsal maupun ventral
N.XII. Subpopulasi neuron-neuron multipolar besar pada kolumna retikularis medullar dorsal
memberikan input menyilang ke subdivisi dorsal divisi motorik N.V. Sebaliknya, input
medullar dorsal menuju nukleus ambiguus berasal dari nukleus traktus solitarius tidak
menyilang dan diatur sehingga subdivisi ventrolateral, intermediat, dan intestinal dari nukleus
traktus solitarius berproyeksi ke regio formatio yang longgar dan semikompak, sedangkan
subdivisi sentral dari nukleus traktus solitarius.
DMVN = dorsal motor nukleus vagus; VN = nukleus trigeminal; VT = traktus trigeminal;
STV = spinal tract of trigeminal nucleus.
7
Gambar 3. Skema potongan melintang medulla oblongata, menunjukkan koneksi menelan.
Gambar (a) area yang dipengaruhi oleh area batang otak dengan gangguan menelan pasca
stroke iskemik dan keterlibatan nukleus traktus solitarius dan nukleus ambiguus.
Gambar (b) skema neuron-neuron premotor dan koneksi ipsilateralnya dnegan neuron
motorik N. V, VII, IX, X, dan XII.
Pusat-pusat Lain
Mekanisme yang mendasari aktivasi serebellum selama proses menelan belum
dikaetahui secara pasti. Meskipun telah dilaporkan kasus-kasus disfagia karena lesi
serebellar, namun sebagian besar melibatkan lesi yang luas melampaui serebellum.
Peningkatan aktivitas pada hemisfer serebelli kiri selama menelan tidak dapat dijelaskan
dengan gerakan lidah, menunjukkan bahwa kemungkinan mewakili regio menelan atau
faringeal/esofageal spesifik. Karena kontribusi serebellum terhadap perilaku motorik lain,
maka data dari orang sehat menunjukkan bahwa serebellum dapat membantu mengontrol
koordinasi, urutan, dan waktu menelan.
Di antara area lain yang menunjukkan aktivitas selama menelan, putamen perlu
diperhitungkan. Aktivasi putamen sesuai dengan seringnya kejadian disfagia pada pasien-
8
pasien dengan lesi ganglia basalis, seperti stroke. Saat ini masih belum jelas seberapa jauh
peningkatan aktivitas putamen selama menelan mencerminkan gerakan lidah atau aspek
menelan yang lain. Akan tetapi data ini menunjukkan bahwa ganglia basalis mungkin
berperan penting dalam kontrol motorik perilaku oromotorik.
Sfingter Esofagus Bawah dan Atas
Kerusakan jaringan otak iskemik pada medulla oblongata (termasuk NA)
berhubungan dengan penurunan tonus sfingter esofagus bawah (LES) dan peningkatan tonus
sfingter esofagus atas (UES). Neuron-neuron ini normalnya aktif secara tonik dan diinhibisi
pertama-tama kemudian diaktivasi dengan luat osebagai bagian dari urutan proses menelan
yang terprogram. Neuron-neuron ini menerima input dari korteks motorik primer bersama-
sama dengan neuron motorik menuju faring dan otot lurik esofagus, dan dapat diaktivasi oleh
jalur pausisinaptik langsung dari korteks dan melalui stimulasi vagus atau nervi kranialis lain.
Lebih lanjut, tonus UES menurun selama tidur (saat dorongan kortikal menurun) pada
kondisi menelan yang relatif absen, menunjukkan bahwa neuron-neuron menelan pada sirkuit
otak bagian bawah seperti regio medulla oblongata dorsal ikut terlibat. Oleh karena itu, input
lain menuju neuron-neuron tersebut dapat berjalan independen terhadap generator pola
sentral menelan dan mendistribusikan eksitasi menelan ke berbagai kumpulan motoneuron
yang terlibat dalam proses menelan. Hilangnya relaksasi dan kontraksi UES normal yang
diinduksi oleh menelan, bersamaan dengan hilangnya kontraksi otot lurik faringeal dan
esofageal, sesuai dengan kerusakan iskemik terutama pada organisasi tingkat kedua pada
medulla oblongata yang bekerja sebagai jalur penghubung dengan neuron-neuron NA yang
mensarafi regio ini selama proses menelan.
Motor neuron menuju otot polos esofagus, termasuk LES, terletak pada dua subregio
DMV. Nukelus ini terletak pada substansia grisea tengah di medulla oblongata dan lateral
terhadap nervus Hipoglossus dan dorsal terhadap NA. Bukti eksperimental dari penelitian
LES menunjukkan bahwa regio rostral mengandung neuron-neuron yang membantu eksitasi
dan bahwa neuron-neuron regio kaudal membantu inhibisi esofagus. Dokumentasi aktivitas
terkoordinasi otot polos esofagus dan LES pada pasien-pasien stroke menunjukkan bahwa
nukleus motorik untuk regio ini (DMV), hubungannya dengan sirkuit batang otak yang
mengatur keseluruhan urutan proeses menelan (NTS dan formatio retikularis di sekitarnya),
dan sirkuit ini sendiri intak dan fungsional.
Informasi detil mengenai efek stroke iskemik terhadap fungsi peristaltik esofagus
masih terbatas. Satu atau dua penelitian yang ada mengenai topik ini melaporkan sejumlah
9
besar kontraksi esofagus non peristaltik pada empat dari sembilan pasien hemiplegik dengan
atau tanpa disfagia menunjukkan kemungkinan relevansi fungsional pada stroke
supratentorial unilateral. Manometri, yang dilakukan pada berbagai interval onset stroke (4-
47 hari) menunjukkan bahwa tetap terjadi kenaikan abnormal tekanan UES. Penelitian lain
menunjukkan disfungsi peristaltik yang bermakna selama fase awal stroke pada subgrup
pasien tanpa ada bukti klinis disfungsi orofaring.
Implikasi Klinis
Karena risiko pneumonia aspirasi berhubungan dengan disfagia, maka diperlukan
evaluasi akurat kemampuan menelan dalam perawatan pasien pasca strok eiskemik. Hal ini
menjadi lebih penting karena keluaran untuk pasien-pasien stroke iskemik yang selamat
sangat tergantung pada apakah terjadi stroke ulang atau pneumonia. Karena alasan inilah
diperlukan teknik langsung yang dapat mengevaluasi kemampuan menelan secara akurat.
Telah dikembangkan berbagai teknik, meskipun sebagian besar tes skrining untuk disfagia
mengevaluasi kemampuan menelan air. Namun, beberapa tes gagal untuk mengidentifikasi
disfagia ringan atau aspirasi subklinis. Untuk mengatasi masalah tersebut, Smithard dkk
mengevaluasi bedside tests untuk menilai kemampuan menelan. Tes ini terdiri dari dua tahap,
dapat dilakukan dengan mudah, dan mengukur kemampuan menelan pada berbagai titik
waktu.
DAMPAK KLINIS REORGANISASI KORTIKAL
Diketahui bahwa banyak pasien dengan disfagia pasca stroke hemisferik unilateral,
menunjukkan beberapa derajat penyembuhan spontan dalam beberapa minggu pertama pasca
onset stroke. Sebaliknya, proses pemulihan dari disfagia pada infark medulla oblongata
lateral lebih lambat, meskipun stabil. Mekanisme pemulihan ini masih belum diketahui. Pada
suatu penelitian terperinci menggunakan TMS, baik pasien disfagia maupun non disfagia
diperiksa secara serial selama beberapa bulan pasca stroke iskemik di mana terjadi pemulihan
menelan. Temuan ini menunjukkan bahwa area representasi faringeal pada hemisfer yang
tidak rusak meningkat secara bermakna pada pasien yang pulih, sedangkan pada pasien-
pasien yang non disfagia tidak ada perubahan. Tidak dijumpai perubahan pada hemisfer yang
rusak dari subgrup manapun. Pengamatan ini menunjukkan bahwa, selama beberapa minggu,
pemulihan menelan pasca stroke tergantung pada reorganisasi kompensasi pada daerah otak
yang tidak rusak secara fungsional. Situasi ini nampaknya tidak berbeda secara mendasar
dengan otot-otot tungkai, di mana beberapa pemeriksaan TMS menunjukkan bahwa
10
pemulihan tungkai pasca hemiparesis merupakan hasil dari peningkatan potensi pemulihan
pada daerah yang tidak mengalami kerusakan secara fungsional, termasuk penumbra.
Reorganisasi daerah menelan ini dan perbaikan disfagia seringkali terjadi independen
terhadap pemulihan hemisfer yang terkena dan tidak saling berhubungan dengan perubahan
fungsional pada batang otak.
Teknik-teknik untuk mengobati disfagia telah dijelaskan meliputi strategi direk
maupun indirek. Strategi indirek mencakup stimulasi struktur oral dan faringeal. Namun,
terapi menelan yang berbeda, meliputi modifikasi diet atau teknik menelan bantuan telah
dicobakan dengan hasil yang belum jelas. Teknik bantuan bergantung pada penggunaan
stimulasi sensorik oro-faringeal. Selain itu, kini dikatakan bahwa modifikasi termokimiawi
dari konsistensi cairan mengubah perilaku menelan pasca stroke.
PERDARAHAN GI
Patogenesis perdarahan traktus GI bagian atas pasca stroke belum sepenuhnya
dimengerti. Pasca kerusakan otak iskemik akut, dapat terjadi stress ulcer yang diyakini
merupakan hiperaktivitas vagal yang menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung atau
menyebabkan iskemia mukosa. Ini sesuai dengan temuan bahwa perdarahan traktus GI
bagian atas pasca stroke lebih sering dijumpai pada pasien-pasien dengan status gizi kurang,
yang dilaporkan dengan frekuensi 8-34% pasca stroke. Peningkatan insidensi perdarahan
traktus GI bagian atas pada subpopulasi ini (dengan tidak adanya faktor farmakologis, seperti
ASA) mungkin disebabkan oleh beberapa hal : adanya riwayat penyakit GI sebelumnya
(misal: ulkus peptik) yang merupakan predisposisi kurang gizi dan perdarahan, gangguan
pemulihan lesi potensial hemoragik, dan efek samping enteral tube yang dimasukkan untuk
menyokong nutrisi. Namun, gastritis hemoragik atau erosiva dengan perdarahan traktus GI
bagian atas juga terjadi pasca stroke. Wijdicks dkk mencatat pemicu potensial perdarahan
traktus GI bagian atas selain stress pada mayoritas pasien stroke. Temuan ini menunjukkan
bahwa stress karena kerusakan otak iskemik akut cukup jarang atau mungkin berperan
sebagai faktor risiko tambahan pada pasien dengan predisposisi lain untuk perdarahan traktus
GI bagian atas. Nampaknya keterlambatan pengosongan gaster (gastroparesis) dan malnutrisi
berperan penting dalam perdarahan traktus GI bagian atas pada stroke. Akan tetapi dalam
suatu analisis retrospektif terhadap 16.672 pasien stroke, riwayat obat-obatan NSAID (tanpa
sitoproteksi), aspirin, terapi kortiosteroid, dan infeksi Helicobacter pylori dijumpai berperan
dalam perdarahan traktus GI bagian atas.
11
Implikasi Klinis
Perdarahan traktus GI bagian atas dilaporkan jarang dan bisanya tidak berperan
menambah morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien stroke. Dalam suatu studi
prospektif, perdarahan traktus GI bagian atas dijumpai pada 0,1% pasien stroke. Pada
penelitian lain, pasien-pasien dengan stroke berat, khususnya dengan GCS < 10 menunjukkan
frekuensi perdarahan GI yang lebih tinggi.
ASA merupakan obat yang sangat bermanfaat untuk prevensi kejadian
trombosisiserebrovaskuler pada pasien-pasien dengan atau tanpa risiko penyakit
serebrovaskuler. Akan tetapi, ASA menyebabkan peningkatan risiko cedera GI (misalnya
ulserasi) dan komplikasinya (misal: perdarahan), yang dapat disebabkan oleh efek antiplatelet
dan mukosa gasternya. Prevensi sekunder merupakan penggunaan ASA untuk mencegah
kejadian serebrovaskuler pada pasien-pasien yang telah didiagnosisi dengan penyakit
serebrovaskuler sebelunya. Risiko perdarahan GI dengan ASA setidaknya lebih besar
daripada risiko karena stroke saja. Pasien-pasien stroke yang diterapi dengan ASA harus
dinilai apakah ada faktor yang meningkatkan risiko perdarahan GI. Penelirian-penelitian telah
membuktikan bahwa terapi bersama dengan PPI atau misoprostol menurunkan risiko cedera
GI dan komplikasi pada kondisi ini. Tiga dari PPI yang tersedia saat ini diproduksi dalam
bentuk kapsul yang mengandung granula enteric-coated yang dapat dicampur dengan
makanan lunak atau jus buah sebelum pemberian oral pad apasien dengan gangguan menelan.
Selain itu, omeprazole dan lansoprazole juga dapat diberikan via gastrotomi atau NGT dalam
bentuk suspensi dalam natrium bikarbonat. Formulasi dosis terbaru lansoprazole yang
mungkin tepat untuk pasien disfagia yaitu granul enteric-coated lansoprazole rasa stroberi
untuk suspensi dan lansoprazole orally disintegrating tablets.
PENGOSONGAN LAMBUNG
Refleks relaksasi reseptif merupakan mekanisme penting yang meningkatkan volume
gaster dan menurunkan tekanan intragastrik untuk memastikan bawa makanan yang ditelan
diangkut secara efektif dari esofagus ke lambung. Sejumlah peneliti menunjukkan bahwa
relaksasi gaster proksimal poten ini dipicu oleh aktivasi mekanoreseptor aferen vagal
berambang rendah pada esofagus. Refleks ini memerlukan koneksi vago-vagal intak antara
esofagus, batang otak, dan lambung. Beberapa penelitian tracing anatomis menunjukkan
bahwa proyeksi aferen vagal dari esofagus berakhir pada dan di dekat divisi sentral NTS.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa neuron-neuron pada NTS diaktivasi
secara intensif oleh distensi esofageal bagian bawah. Hubungan antara NTS dan motoneuron-
12
motoneuron vagal yang mengontrol lambung baru-baru ini diketahui. Nanoinjeksi tracer
retrograd dan anterograd menuju neuron-neuron NTS yang merespon terhadap distensi
esofagus menunjukkan bahwa neuron-neuron ini banyak diproyeksikan ke perluasan
anterior-posterior dari DMV dan menjadi sumber utama kontrol otonom pre-ganglionik untuk
lambung. Kontrol refleks vagal terhadap tonus dan motilitas gaster dipengaruhi oleh modulasi
aktivitas dua proyeksi eferen vagal antagonistik. Peningkatan tonus dan motilitas gaster yang
diperantarai oleh eferen vagal terjadi setelah aktivasi neuron-neuron kolinergik pada pleksus
enterik gaster oleh neuron-neuron preganglionik yang tersebar pada DMV. Sebaliknya,
inhibisi gaster cepat dihasilkan oleh inhibisi neuron-neuron tersebut. Distensi intestinal,
gaster, dan esofagus menyebabkan penghentian mendadak picuan tonik neuron-neuron DMV
yang terjadi bersamaan dengan penurunan cepat serabut-serabut aferen yang sensitif teradap
distensi gaster dan esofagus dan juga dapat menghasilkan inhibisi GI poten melalui aktivasi
jalur non kolinergik, nor-adrenergik vagal menuju fundus. Masih sedikit yang diketahui
tentang mekanisme bagaimana neuron-neuron NTS menyebabkan perubahan-perubahan pada
neuron-neuron DMV yang menimbulkan refleks relaksasi reseptif. Area NTS mengandung
sejumlah fenotip neuron yang berbeda. Dua fenotip neurokimiawi yang menonjol adalah
noradrenergik dan nitrergik. Inti NTS mengandung neuron-neuron nitric oxidative sintase
yang banyak, sedangkan neuron-neuron yang imunoreaktif-tirosin hidroksilase dijumpai di
seluruh bagian NTS. Yang menarik, neuron-neuron yang imunoreaktif-tirosin hidroksilase
dijumpai mengelilingi neuron-neuron nitric oxidase sintase NTS. Penelitian
imunohistokimiawi terdahulu menunjukkan bahwa neuron-neuron yang mengandung tirosin
hidroksilase di dekat traktus NTS juga mengekspresikan dopamin β-hidroksilase, sehingga
merupakan neuron-neuron penghasil norepinefrin.
Hanya sedikit laporan mengenai topik khusus perubahan pengosongan gaster atau
traktus GI bagian atas pada stroke. Data dari Crome dkk menunjukkan penundaan resorbsi
obat yang diberikan secara oral pasca stroke dan menunjukkan bahwa pengosongan gaster
nampaknya tertunda. Akibat penting lebih lanjut dari efek GI terhadap stroke ini mencakup
intoleransi terhadap nutrisi enteral dan peningkatan insidensi kolonisasi H. pylori pada gaster
akibat penundaan pengosongan gaster ini. Berdasarkan temuan-temuan di atas, pemberian
obat per oral mungkin tidak tepat pada pasien stroke akibat pengosongan gaster yang lambat
ini. Juga dapat mengurangi manfaat terapeutik obat-obatan yang aktivitasnya dalam waktu
singkat tergantung pada kadar plasma puncak. Akibat dari gangguan pengosongan gaster ini,
beberapa penulis meyakini bahwa naso-post-pyloric tube ditoleransi lebih baik daripada
nasogastric tube. Hingga penelitian lebih lanjut dilakukan pada pasien-pasien stroke untuk
13
menentukan prevalensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengosongan gaster, harus
dipertimbangkan secara teliti menganai metode pemberian makan pada pasien-pasien ini.
DISFUNGSI USUS HALUS DAN USUS BESAR
Usus halus kaya suplai serabut-serabut sensoris. Serabut-serabut aferen vagal dan
spinal menuju SSP membawa informasi dari reseptor-reseptor sensoris yang teraktivasi.
Suplai ekstrinsik dibagi menjadi eferen dan aferen berdasarkan informasi yang dibawa oleh
traktus parasimpatis dan simpatis, yang dilakukan oleh nervus Vagus dan splanchnicus.
Sebagian besar efern parasimpatis dan simpatis berakhir pada pleksus myenterikus dan
membentuk koneksi pada ganglia enterik, meskipun beberapa akson simpatis berakhir
langsung pada otot polos sfingter. Suplai vagal eferen maksimal sampai usus bagian atas,
termasuk kolon proksimal. Badan-badan sel dari neuron-neuron eferen ini terutama dijumpai
terletak pada DMV di batang otak. Nervus vagus mengandung 3 kelompok serabut eferen :
Neuron-neuron kolinergik parasimpatis pre-ganglionik, yang mensuplai neuron-
neuron eksitatorik pada pleksus enterikus.
Neuron-neuron kolinergik pre-ganglionik, yang mensuplai neuron-neuron inhibitor
pada pleksus myenterikus.
Simpatis dari ganglia servikal.
Stimulasi neuron-neuron kolinergik vagal eferen pada prinsipnya mengaktifkan
reseptor-reseptor nikotinergik dalam ganglia enterikus, mengeksitasi aktivitas motorik. Pada
manusia, sistem saraf enterik mengandung hingga 100 juta neuron, dibanding dengan hanya
2000 serabut eferen pada vagus, menunjukkan bahwa neuron-neuron intrinsik dapat
mengarahkan sebagian besar refleks dan mengatur aktivitas dan bahwa inervasi ekstrinsik
hanya berperan dalam fungsi modulasi. Pada umumnya, letupan non-propagasi panjang dan
pendek yang sering dari aktivitas tekanan fasik terjadi di jejunum dengan berkurangnya
frekuensi dan amplitudo kontraksi pada fase puasa maupun fase makan. Fenomena letupan
panjang dan pendek ini merupakan bagian dari denervasi simpatis, dan pola motilitas usus
komposit pada fase puasa dianggap menggambarkan disfungsi suplai simpatis maupun
parasimpatis.
Pada sebagian besar pasien stroke iskemik, disfungsi kolorektal disebabkan oleh
kombinasi lesi sistem saraf pusat maupun tepi, imobilitas, atau perubahan kebiasaan makan.
Akan tetapi mekanisme pasti terjadinya konstipasi pada pasien-pasien stroke memerlukan
penelitian lebih lanjut, gangguan modulasi neuronal terhadap motilitas kolon dianggap
berperan penting. Waktu transit kolon memanjang, khususnya pad akolon kanan. Obat-obatan
14
prokinetik, yang sebelumna dianggap sebagai pilihan terapi yang menjanjikan untuk retensi
feses, kini terbukti berefek buruk terhadap penundaan transit kolon akibat kerusakan otak, di
mana terjadi kerusakan berat terhadap struktur sentral yang mungkin menuenankan
disregulasi progresi isi normal melewati usus besar. Mekanisme pseudo-obstruksi intestinal
pada stroke masih belum jelas, apakah disebabkan oleh defek neuron-neuron enterik, otot
polos, atau keduanya, sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.
PENUAAN FISIOLOGIS DAN TRAKTUS GI
Harus diperhatikan mengenai fenomena penuaan karena banyak kondisi komorbid
yang dapat mengubah fungsi fisiologis traktus GI pasca penyakit otak juga dijumpai pada
pasien lansia. Perubahan terkait umur pada fungsi GI dapat dikategorikan berdasarkan
kondisi komorbid penuaan atau yang berkaitan dengan proses penuaan itu sendiri. Identifikasi
perubahan-perubahan GI yang terjadi secara eksklusif karena fungsi penuaan, independen
terhadap kondisi komorbid, terbukti merupakan tugas yang sulit. Banyaknya kondisi
komorbid memperkecil populasi yang ada menjadi cukup sedikit, dan sifat penelitian GI yang
umumnya invasif membatasi pemilihan subjek yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut.
Selain itu, isu-isu mengenai metodologi dan teknik berbeda yang digunakan untuk menilai
motilitas GI juga menjadikan berbagai penelitian dengan hasil yang berbeda-beda menjadi
biasa. Bisa diringkas bahwa ada perubahan-perubahan utama dalam penuaan yang berkaitan
dengan penurunan refleks protektif UES dan sfingter, perubahan fungsi LES, dan tekanan
kanalis anal. Selain itu, fungsi sensoris dan persepsi viseral tetap penting, namun sering
terlewatkan dalam fungsi GI karena nampaknya menurun secara bermakna seiring penuaan.
Dari sudut pandang ini, perubahan GI yang berhubungan dengan umur relatif subklinis.
Perubahan ini menjadi faktor predisposisi gangguan menelan atau defekasi lebih lanjut bila
terjadi stroke dan/atau efek obat-obatan yang superimpos. Karena populasi lansia meningkat,
dan kontrol penyakit juga lebih baik, maka banyak hal yang perlu dilakukan untuk dapat
memehami efek penuaan terhadap fungsi GI secara tepat.
IMPLIKASI TERHADAP TERAPI DAN PROGNOSIS
Stroke merupakan penyaki tersering yang mendasari pneumonia aspirasi. Tingkat
mortalitas karena pneumonia aspirasi cukup tinggi selama fase akut stroke. Pada pasien lansia
dalam fase kronis stroke, risiko kematian karena pneumonia aspirasi masih tetap tinggi.
Aspirasi dengan kemungkinan menimbulkan pneumonia aspirasi merupakan komplikasi akut
dari disfagia yang terpenting, mengenai hingga 1/3 pasien-pasien dengan disfagia. Oleh
15
karena itu, kesulitan menelan penting mempengaruhi keluaran pasca stroke, khususnya pada
pasien-pasien lansia, dan menggambarkan prognosis yang buruk, meningkatkan risiko
infiltrasi paru, malnutrisi, disabilitas menetap, lama rawat yang memanjang, harus dirawat di
pusat rehabilitasi saat pulang, atau kematian.
Menelan pulih pada sebagian besar pasien dalam 2-4 minggu setelah onset stroke.
Oleh karena itu diperlukan diagnosis yang tepat dan segera dimulai usaha rehabilitasi
(termasuk pemberian makan dengan selang). Proses tersebut memerlukan alat skrining yang
valid. Penggunaan fungsi refleks muntah tidak dapat didukung namun bisa digunakan sebagai
salah satu komponen atau digunakan bersamaan dengan alat yang tervalidasi. Adanya
disfagia klinis menunjukkan peningkatan risiko infeksi salurannafas bawah, namun tiadanya
disfagia tidak menyingkirkannya. Aspirasi yang diamati dengan videofluoroscopic
swallowing study (VSS) juga menggambarkan peningkatan risiko, meskipun tidak selalu
universal. Eksplorasi lebih lanjut mengenai hubungan antara aspirasi dan penumonia
diperlukan. VSS dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis disfagia, namun memiliki
keterbatasan karena persyaratan fisiknya dan kadang dipengaruhi oleh aturan tidak standar
mengenai pelaksanaannya dan apakah berhubungan dengan makan pada jam makan. Masih
banyak celah untuk pengembangan dan alternatif prosedur diagnosis di masa mendatang.
Bila skrining merupakan langkah awal yang penting, maka pentingnya manajemen
ditandai dengan perkembangan infeksi saluran nafas bawah pada pasien disfagia yang
mengalami aspirasi meskipun tanpa intake oral. Pemberian makan dengan tube efektif untuk
suplai nutrisi pada pasien-pasien ini namun mengenai keamanannya masih kontroversial.
Sama halnya dengan NGT, gastrostomi tube tidak memberikan perlindungan terhadap
kolonisasi sekret oral dan diketahui meningkatkan refluks gastro-esofageal. Namun, selain
penelitian oleh Norton dkk, penelitian lain menemukan tingkat kejadian aspirasi yang sama
antara gastrostomi tube dan NGT.
Aspek Terapeutik di Masa Mendatang
Input sensorik diketahui penting untuk memulai dan modulasi proses menelan yang
normal, hal ini paling baik ditunjukkan dengan penelitian klinis menggunakan anestesia
permukaan orofaring yang menghasilkan disfagia pada subjek manusia sehat. Pengamatan ini
menunjukkan bahwa input aferen sensorik berperan penting dalam modulasi menelan
dibanding sebagai prasyarat mutlak. Kini terbukti bahwa stimulasi sensoris faring pada
pasien-pasien disfagia setelah stroke dapat menyebabkan peningkatan eksitabilitas korteks
16
motorik menelan pada hemisfer yang tidak terkena, yang berhubungan dengan perbaikan
fungsional untuk kemampuan menelan.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa repetitive transcranial magnetic stimulation
(rTMS) pada korteks motorik menelan menginduksi efek jangka panjang terhadap
eksitabilitas proyeksi kortikobulber meunju faring dalam hal frekuensi maupun otot
spesifiknya. Efek ini sama dengan yang dihasilkan oleh stimulasi listrik faringeal. Satu
implikasi yang muncul, dapat menjadi subjek untuk penelitian yang aman, adalah bahwa
rTMS dapat menjadi metode alternatif enhancement kortikal pada pasien stroke dengan
disfagia bila telah terjadi kerusakan sistem sensorik. Mekanisme neural efek jangka panjang
rTMS terhadap korteks manusia masih belum jelas.
KESIMPULAN
Menelan dan motilitas GI tergantung pada koordinasi aktivitas neuromuskuler
volunter dan involunter. Stroke iskemik dapat mengganggu modulasi neural orofaringeal
dan/atau motilitas GI dengan mengganggu atau mengubah aliran informasi dari korteks
menuju pusat regulasi yang lebih rendah. Kini, usaha-usaha untuk menghbuungkan lokasi
dan ukuran lesi serebri fokal dengan berbagai disfungsi GI dilakukan menggunakan teknik
PET dan MRI yang baru. Modalitas pencitraan ini dapat membantu medefinisikan secara
lebih tepat regio-regio otak yang penting secara fungsional yang terlibat dalam kontrol fungsi
GI pada binatang coba dengan iskemia fokal dan juga pada pasien stroke iskemik. Selain
mekanisme fisiologis menalan yang pasti, lokasi kortikal dan medular yang tepat dari
berbagai daerah yang terlibat dan pertanyaan mengenai lateralisasi dari refleks menelan
masih menjadi perdebatan, karena belum ada penelitian yang terperinci. Perubahan insidensi
atau patofisiologi perdarahan GI atau pengosongan GI setelah stroke dibanding penyakit lain
harus diperiksa dengan referensi khusus untuk perubahan farmakodinamik dan
farmakokinetik. Di masa mendatang, teknologi pencitraan otak dan molekuler dapat
membantu menentukan strategi terapi baru, yang ditujukan untuk mencapai perbaikan
fungsional dini dengan neurorehabilitasi dan reorganisasi neuronal pasca iskemia serebri.
17