pola aktivitas latihan
TRANSCRIPT
A. POLA AKTIVITAS LATIHAN
Mc Anaw seorang terapi fisik meninjau perubahan fisiologik terkait
penuaan yang terjadi pada system kardiovaskuler, pernapasan, saraf, dan
muskuluskeletal serta menguraikan kondisi kesehatan umum yang
mempengaruhi tingkat aktivitas.
Perubahan normal seiring penuaan
System kardiovaskuler, pernapasan, saraf, dan musculoskeletal berfungsi
secara terintegrasi agar aktivitas dan latihan dapat dilakukan. Akibatnya
perubahan terkait penuaan pada satu sistem akan mempengaruhi system
lain.penuaan sering dipersulit oleh perkembangan beberapa penyakit. Hingga
kini perubahan normal akibat penuaan dan perubahan akibat penyakit sangat
samar dan sulit dikaji.
1. Sistem Kardiovaskular
Faktor yang menyebabkan penurunan komplians jantung mencakup
sclerosis endokardium, fibrosis katup jantung, peningkatan kekakuan
miokardium, penurunan serat otot, dan penurunan kekuatan miokardium.
Sel pecemaker yang semakin berkurang dan fibrosis nodus sinoartrial yang
semakin luas dapat menyebabkan gangguan irama jantung.
Kekakuan arteri terjadi seiring penuaan sebagai akibat penebalan
media, fibrosis intima, penurunan sel otot polos, peningkatan deposit
kalsium, peningkatan kolagen, dan penurunan serat elastic. Perubahan ini
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer, yang meningkatkan
beban kerja jantung dan menurunkan aliran darah ke berbagai organ,
terutama ginjal. Karena kekakukan arteri dan penurunan fungsi saraf
otonom, baroreseptor berespons lebih lambat dan mengalami penurunan
kemampuan mengatur tekanan darah.
2. Sistem Pernapasan
Seiring penuaan, penurunan komplians dinding dada disertai sedikit
peningkatan komplians paru. Alveoli kehilangan recoil elastis, melebar,
dan semakin sedikit sehingga jalan napas yang lebih kecil ini kolaps
selama pernapasan normal. Permukaan alveolar menurun perdekade
kehidupan setelah usia 30 tahun.
Aliran darah ke paru menurun sebagai akibat penurunan curah jantung.
Jumlah kapiler di sekitar alveoli berkurang, dan kapiler yang masih ada
menebal karena infiltrasi jaringan ikat fibrotik. Akibatnya, kapasitas difusi
oksigen paru sedikit berkurang seiring penuaan.
Gangguan fisiologi paru yang terjadi seiring penuaan berdampak
langsung pada volume paru. Kapasitas residu fungsional meningkat.
Volume cadangan inspirasi dan ekspirasi meningkat. Kapasitas total paru
menurun, tetapi kapasitas inspirasi masih sama walaupun usia bertambah.
Volume residu meningkat seiring penuaan karena penurunan recoil elastis
pada dinding dada. Kerja napas meningkat 20% pada individu antara usia
20 dan 70 tahun untuk mengatasi kekakuan dinding dada.
Atrofi epitel menyebabkan gerakan silia, mekanisme untuk
menggerakkan sekresi paru berkurang seiring penuaan. Mucus dan benda
asing tidak dikeluarkan secara efisien dari paru. Reflex batuk menjadi
kurang efektif karena peningkatan kekakuan dinding dada dan penurunan
kekuatan otot.
3. Sistem Saraf Pusat
Pada usia 80 tahunmassa otak menurun 6% hingga 7% karena
kehilangan sel, terutama pada serebelum dan korteks serebri. Beberapa
neurotransmitter menjadi lebih sedikit pada otak yang menua, sehingga
dapat memperlambat transmisi sinaps.
Thermostat intern pada hipotalamus menjadi kurang sensitive karena
penuaan dan gangguan termoregulasi dapat terjadi.
Ketajaman penglihatan menurun sehingga dapat menghambat aktivitas
fisik volunteer individu. Reseptor sensori pada saluran semisirkular dan
otolit system vestibuar menjadi kurang mampu memantau posisi dan
pergerakan kepala. Penurunan pada system penglihatan, propioseptif, dan
vestibular mengakibatkan ketidakstabilan postur, penurunan
keseimbangan, dan peningkatan insiden jatuh pada populasi lansia.
4. Sistem Muskuloskeletal
Penurunan kekuatan otot disebabkan oleh atrofi serat otot dan
penurunan neurologis akibat penuaan. Diyakini bahwa kekuatan otot
ekstremitas atas dapat dipertahankan lebih lama karena otot tersebut
digunakan lebih sering untuk menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari.
Individu lansia dapat menggunakan hanya otot ekstremitas bawah ketika
berjalan dalam jarak dekat di dalam rumahuntuk menyelesaikan tugas
rumah tangga, tetapi akan terus menggukan otot ekstremitas atas
sepanjang hari untuk melakukan hygiene perseorangan, berpakaian, dan
makan.
Factor lain yang dapat menyebabakan penurunan kekuatan otot
mencakup ketidakcukupanasupan kalium dalam diet, penurunan neuron,
perubahan hormonal, dan penurunan mobilisasi glukosa saat beraktivitas.
Otot yang menua menggunakan oksigen secara kurang efisien. Pergerakan
motoric kasar yang lebih lambatdisebabkan oleh penurunan perfusi
oksigen dan zat gizi ke otot.
B. GANGGUAN POLA TIDUR
Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia. Tidur adalah proses
fisiologis yang bersiklus yang bergantian dengan periode yang lebih lama dari
keterjagaan (potter & perrry,2005:1471). Ketika kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi, baik dalam kuantitas atau kualitas, akibat yang tidak diharapkan
cenderung terjadi. Lansia sangat rentan terhadap gangguan pola tidur terutama
mereka yang rawat inap di rumah, mereka yang berada di fasilitas perawatan
jangka panjang, mereka dengan didiagnosis depresi atau penyakit Alzheimer,
dan mereka yang berfungsi sebagai pemberi pelayanan informal. Keluhan
tidur yang sering terjadi pada lansia adalah kesulitan untuk tertidur, kesulitan
untuk tetap tertidur, terbangun lebih awal, dan mengantuk yang berlebihan.
Maggi dan Kolega menemukan bahwa tebangun di malam hari, yang
dinyatakan oleh dua pertiga partisipan penelitian, merupakan gangguan tidur
yang paling umum pada lansia.
Tidur penting bagi kesehatan dan kualitas kehidupan. Tidur yang
kurang merupakan karakteristik kondisi medis yang terjadi pada lansia,
termasuk penyakit somatic dan psikiatrik. Juga, kebiasaan dan gaya hidup
yang tidak baik adalah factor yang dapat meningkatkan kemungkinan
timbulnya masalah tidur pada lansia.
Pengukuran tidur yang objektif juga menyatakan adanya gangguan
tidur pada lansia. Pada pembahasan komprehensif tentang tidur sesuai proses
penuaan normal dan demensia, Bliwise (1993) menemukan kesamaan umum
perbedaan usia pada sebagian besar pengukuran polisomnografik,
elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG), elektrokulogram (EOG),
dengan penurunan efisiensi tidur sekitar 70% sampai 80% pada lansia.
Etiologi:
Hubungan yang harmoni antara system imun, neuroendokrin, dan
system tidur-terjaga menghasilkan pola sirkadian tidur dan terjaga
(Moldofsky, 1994). Ketidakseimbangan interaksi antara factor psikososial,
psikofisiologik, perkembangan saraf, dan kesehatan dapat menyebabkan
gangguan pola tidur. Irama sirkadian dihadapkan pada proses penuaan
(Copinschi dan Van Cauter, 1995), dan terdapat gangguan dalam siklus tidur
dan terjaga pada lansia (Pascoe, 1994).
Gangguan pola tidur disebabkan oleh factor internal (penyakit, stress
psikologis) dan factor eksternal (perubahan lingkungan, fungsi sosial) (Kim
dan Moritz, 1982). Kemudian factor yang berhubungan dengan gangguan pola
tidur tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori berikut: gangguan
dalam pola tidur-terjaga, penyakit fisik, factor psikologik, dan pengobatan.
a. Faktor internal:
Kekhawatiran dan kecemasan dapat menunda seseorang untuk
tidur, biasanya hanya beberapa malam. Walaupun demikian, kedua hal
tersebut dapat terjadi kembali secara berkala pada lansia (Fiensilver
dan Hertz, 1993). Khususnya, lansia yang dirawat inap di rumah sakit
tidak mendapat tidur yang cukup, sehingga dapat meningkatkan
kekhawatiran dan nyeri yang mereka hadapi (Spenceley, 1993). Factor
yang mungkin berhubungan pada lansia yang mengalami penyakit
kritis adalah nyeri, stress akut, depresi, gangguan dalam suhu tubuh,
distress pernapasan, dan sering berkemih (David-Sharts, 1989). Nyeri
akut memiliki dampak negatif pada pola tidur, terutama nyeri yang
disebabkan oleh prosedur pembedahan (Closs, 1992). Lansia yang
tinggal di panti wreda mengalami gangguan pola tidur yang
berhubungan dengan kemunduran, deteriorasi dalam irama sirkadian
tidur-terjaga, apnea saat tidur, dan demensia. Nokturia dan nyeri juga
merupakan factor yang umumnya tinggal dipanti wreda.
Factor pertahanan diri pada inang berperan dalam pengaturan
tidur. NonRapid Eye Movement/ NREM dapat memiliki fungsi
perlindungan terhadap system imun, walaupun hubungan antara
keduanya belum jelas dipahami. Kemungkinan juga terdapat pengaruh
beberapa sitokin tertentu seperti interleukin-1 saat siklus tidur terjaga.
Pada lansia, kadar kortisol rata-rata meningkat, dan terjadi penurunan
keefektifan system imun. Semua perubahan fisiologis ini dapat
mencetuskan gangguan pola tidur pada lansia dan diperburuk dengan
penyakit, terutama jika terdapat demam.
Angka kejadian masalah pernapasan saat tidur tampaknya
meningkat seiring dengan penambahan. Apnea saat tidur, keadaan
henti napas saat seseorang sedang tidur biasanya terjadi pada klien
lansia. Apnea tidur obstrukti (ATO) merupakan gangguan jalan napas
bagian atas yang cenderung menimbulkan apnea saat fase tidur REM.
Pada pasien yang mengalami penyakit paru obstruktif menahun
(PPOM), periode hipopnea terjadi selama fase tidur REM, namun
mekanisme yang menjelaskan proses ini masih belum jelas. Hipopnea
selama fase tidur REM pada penderita PPOM dihubungkan dengan
penurunan aktivitas otot pernapasan.
Pergerakan kaki saat tidur secara teratur saat tidur (PKTT),
merupakan keadaan abnormal yaitu seseorang melakukan gerakan
tendangan atau menghentak kakinya setiap 20 sampai 40 detik selama
tidur, dapat menyebabkan gangguan tidur.
Gejala menopause dapat mengganggu pola tidur. Selama menopause
terdapat perubahan yang besar pada system neuroendokrin, terutama
hipotalamus, yang menyebabkan wanita perimenopause mengalami
masalah tidur.
b. Factor eksternal:
Tidur dapat terganggu oleh suara bising dan stimulus
lingkungan lainnya. Penyebab gangguan pola tidur yang paling banyak
teridentifikasi oleh suara. Jumlah rata-rata durasi tidur siang pada
sekelompok lansia sehat sekitar satu jam. Perokok lebih cenderung
melaporkan beberapa keluhan seperti kesulitan untuk tetap tertidur,
keluhan terhadap perasaan ngantuk di siang hari, dan asuhan kafein
harian yang lebih tinggi, dibandingkan dengan kelompok nonperokok.
Alcohol dapat berfungsi sebagai agen sedatif dan relaksasi jika
dikonsumsi sesaat sebelum tidur, tetapi terbangun di malam hari dapat
menjadi masalah yang berhubungan dengan aktivitas simpatik akibat
meningkatnya kadar alcohol dalam darah. Terdapat bukti bahwa pasien
yang mengalami ketergantungan alcohol memperlihatkan penurunan
dalam tidur tahap 4 atau gelombang tidur yang lambat, terutama pada
alkoholik yang mengalami depresi klinik.
Obat tidur dapat menyebabkan gangguan tidur seperti
peningkatan waktu untuk tertidur dan peningkatan waktu untuk terjaga.
Struktur tidur dapat terganggu, terutama pada fase tidur REM. Dengan
demikian obat tidur harus digunakan dengan kewaspadaan, dan efek
hipnotis dan sedatif harus dipertimbangkan ketika mempelajari hal-hal
yang memengaruhi gangguan pola tidur pada lansia.
C. HAMBATAN MOBILITAS FISIK
Mobilitas fisik penting untuk mempertahankan kesehatan dan kualitas
hidup semua individu dan terutama penting bagi lansia. Mobilitas, perawatan
individu, dan performa tugas aktif untuk menghadapi lingkungan merupakan
perilaku yang mencerminkan kesehatan fungsional. Banyak lansia
mendefinisikan status kesehatan dan kebugaran fisik terkait mobilitas mereka.
Jika mobilitas fisik dipandang sebagai aspek kesehatan fungsional,
konsekuensi hambatan mobilitas fisik sangat luas, mencakup aspek fisiologik,
psikologik, dan sosioekonomi.
1. Jatuh
Lansia yang mengalami hambatan mobilitas fisik rentan jatuh
akibat perubahan gaya berjalan, kelemahan, postur gontai, dan
penurunan refleks. Sekali jatuh, lansia cenderung jatuh lagi. Hambatan
mobilitas juga dapat menyertai penyakit kronis, yang lebih umum
terjadi pada lansia. Selain itu, lansia, terutama wanita, lebih rentan
terhadap fraktur saat jatuh dibandingkan wanita yang lebih muda,
sebab insiden osteoporosis pada kelompok ini tinggi.
2. Dampak fisiologik:
Pada situasi tertentu, penurunan mobilitas fisik
menguntungkan. Dalam keadaan istirahat, konsumsi oksigen dan
metabolism menjadi lebih lambat dan beban kerja jantung menurun.
Nyeri, ketegangan, dan pengisian vena kerap berkurang saat system
musculoskeletal relaks ketika posisi tubuh supinasi. Banyak penyakit
(misalnya, CHF, fraktur) memerlukan berbagai tingkat penghambatan
aktivitas guna mencapai penanganan yang efektif. Istirahat dapat
fungsional pada kasus ini karena menyeimbangkan kapasitas
metabolik, serta meningkatkan penyembuhan. Namun, tubuh tidak
perlu imobilisasi untuk istirahat. Tubuh dan organ tubuh justru
berfungsi optimal dan kapasitas fungsi tersebut meningkat jika
kebutuhan meningkat saat kemampuan dan cadangan metabolik
meningkat. Oleh karena itu, jika jarang digunakan, kemampuan
fungsional organ dapat berkurang. Hal ini berlaku untuk seluruh
system dan oragan tubuh.
Sebagian besar hambatan mobilitas fisik, semakin besar pula
kemungkinan timbul masalah fisiologis. Jenis penurunan kondisi
fisiologik yang muncul akibat hambatan mobilitas fisik sangat luas dan
mencakup penurunan rentang pergerakan sendi (RPS), penurunan
kekuatan dan ketahanan otot, gangguan kardiovaskular,
ketidakseimbangan metabolik, ulkus iskemik, penurunan fungsi
perkemihan, penurunan fungsi pencernaan, dan gangguan pernapasan.
Penurunan RPS. Penurunan RPS terjadi akibat hambatan mobilitas
fisik karena jaringan ikat di sekitar kapsula sendi dan di dalam bidang
otot menjadi padat. Serat otot yang terkena memendek dan atrofi
karena tidak secara teratur memendek dan memanjang dalam rentang
pergerakan penuh otot tersebut. Trauma, radang, dan sirkulasi yang
buruk ditambah hambatan mobilitas dapat mempercepat pembentukan
jaringan ikat padat. Pada awalnya, sendi kehilangan fleksibilitas dan
RPS yang efektif terhambat. Jika proses berlanjut, RPS semakin
terbatas, sendi menjadi lebih kaku, dan kontraktur serta ankilosis
terjadi. Pinggul, lutut, dan pergelangan kaki merupakan sendi yang
paling rentan, meskipun semua sendi dapat terkena. Keterbatasan
ekstensi pada sendi lebih mudah terjadi akibat kekuatan otot fleksor
yang lebih besar, pengaruh gravitasi, dan kesulitan dalam melakukan
RPS penuh saat berbaring atau duduk.
Penurunan kekuatan dan ketahanan otot. Penurunan kekuatan dan
ketahanan otot terjadi jika kontraksi otot kurang dari 20% tegangan
maksimum setiap hari. Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan otot
tergantung pada frekuensi kontraksi tegangan maksimum. Ketahanan
otot merupakan fungsi sirkulasi, nutrisi dan pengeluaran sampah dari
otot. Pompa vena dari otot yang imobilisasi menjadi lebih tidak aktif,
yang menyebabkan penurunan sirkulasi. Jika sirkulasi gagal memenuhi
kebutuhan otot, ketahanan, kekuatan, dan massa otot berkurang akibat
penurunan kapasitas oksidatif otot. Otot yang paling terpengaruh oleh
imobilisasi adalah kelompok otot gastroknemiussoleus, kuadrisep,
gluteus, dan erector spina.
Penurunan kekuatan skeletal. Penurunan kekuatan terjadi akibat
peningkatan reabsorbsi tulang yang menyertai hambatan mobilitas.
Struktur skeletal biasanya selalu diperbarui melalui absorbsi dan
pergantian tulang. Proses ini bergantung pada kontraksi otot dan
tegagan otot untuk meningkatkan deposisi tulang. Osteoporosis terjadi
saat destruksi tulang dan reabsorbsi melampaui produksi tulang.
Semakin tinggi tingkat hambatan mobilisasi, semakin besar pula
kehilangan matriks dan mineral tulang, terutama kalsium dan fosfat.
Tulang panjang ekstremitas bawah, os calcis, dan vertebra paling
rentan terhadap kehilangan mineral. Kehilangan kalsium meningkat
cepat dari minggu pertama sampai ketia imobilisasi, mencapai puncak
pada minggu kelima atau keenam, dan kemudian mencapai plateu pada
tingkat yang lebih rendah, mencegah pengeroposan tulang lebih lanjut.
Lansia lebih beresiko terhadap fraktur patologik, karena tulang
menjadi semakin rapuh seiring penuaan.
Gangguan kardiovaskuler. Gangguan fungsi kardiovaskular terutama
dramatis jika hambatan mobilitas menyebabkan lansia harus tirah
baring lama atau hanya dapat duduk-duduk di kursi. Efek kemunduran
akan lebih berat jika pada saat yang sama terjadi demam, cedera, atau
penyakit. Semakin lama tirah baring, semakin tinggi resiko thrombosis
vena. Gerakan tubuh tidak lagi menstimulasi kerja pompa otot dan
pembuluh darah; akibatnya, terjadi penurunan pengosongan pembuluh
darah dan peningkatan stasis, terutama didaerah betis, tempat trombo
sering kali terbentuk. Selain itu, jika posisi tubuh rekumben dalam
waktu yang lama, jantung harus bekerja lebih keras untuk mencapai
sirkulasi akibat gangguan distribusi darah dan cairan di tubuh,
penurunan curah jantung, dan penurunan isi sekuncup.
Ketidakseimbangan metabolik. Penurunan mobilitas menyebabkan
pemecahan protein dan ekskresi nitrogen dan dengan demikian, dapat
menyebabkan ketidakseimbangan metabolik lain. Terjadi penurunan
laju metabolik, peningkatan cadangan lemak atau karbohidrat,
keseimbangan nitrogen dan kalsium metabolik negatif, penurunan
toleransi glukosa, dan alkalosis metabolik.
Ulkus iskemik. Ulkus kulit dan otot dapat menjadi konsekuensi utama
hambatan mobilitas fisik. Ulkus iskemik berkembang pada area tubuh
yang menonjol, tempat tekanan menghambat aliran darah yang
dibutuhkan untuk member nutrisi kepada sel. Ulkus juga berkembang
karena gesekan jaringan lunak saat harus bergerak atau berpindah di
tempat tidur. Selain itu, ulkus iskemik dapat terjadi semua posisi tidur
atau tirah baring yang cukup lama, yang dapat memfasilitasi tekanan
yang dapat menimbulkan nekrosis sel.
Gangguan fungsi perkemihan. Penurunan fungsi perkemihan yang
paling parah terjadi jika hambatan mobilitas mengakibatkan posisi
individu harus terus rekumben. Pada posisi tegak, gravitasi membantu
drainase urine dari pelvis ginjal. Ketidakmampuan merelaksasi otot
perineal dan sfinter eksterna yang mudah terjadi pada posisi
rekumben, mengakibatkan komplikasi perkemihan lanjutan. Karena
kesulitan ini, kerja refleks berkemih tidak terjadi meskipun sensasi
berkemih ada. Namun, imobilisasi disertai dengan insufisiensi ginjal,
penurunan laju filtrasi glomerulus, kehilangan kemampuan
memekatkan urine, penurunan toleransi kreantinin, dan peningkatan
sekresi nitrogen, fosfor, sulfur total, natrium, kalium, dan kalsium.
Ekskresi dan presipitasi banyak garam kalsium mengakibatkan
peningkatan insiden batu ginjal pada individu yang tirah baring pada
posisi rekumben dalam waktu yang lama.
Penurunan fungsi pencernaan. Individu yang keseimbangan nitrogen
negatif sering kali anoreksia, yang dapat menyebabkan kurang gizi dan
mempersulit masalah kesehatan lain. Otot defekasi atrofi akibat
imobilisasi yang lama, membuat individu kurang mampu
mengosongkan usus bagian bawah.
Gangguan pernapasan. Gangguan pernapasan akibat hambatan
mobilitas disebabkan, terutama oleh penurunan ventilasi dan
ketidakmampuan mengeluarkan sekresi. Kapasitas vital, volume tidal,
pertukaran karbondioksida dan oksigen menurun seiring penuaan.
Sekresi lebih sulit dikeluarkan pada individu yang diubah posisi
rekumben akibat peningkatan viskositas mucus, dilatasi bronkus,
penurunan volume dan tekanan udara inspirasi, ketidakefektifan
ektivitas silia, penurunan stimulasi refleks batuk, dan kelemahan otot
yang membantu natuk.
Deficit sensori. Terdapat kecenderungan penurunan stimulus
kinestetik, visual, auditori, dan taktil saat individu imobil, terutama
akibat penurunan aktivitas dan interaksi sosial. Perubahan afek,
kognisi, dan persepsi juga terjadi pada lansia imobil.
3. Dampak Psikologis
Mobilitas fisik memengaruhi konsep diri, harga diri, dan
kemampuan emosi manusia dalam menghadapi masalah. Kemampuan
berinteraksi secara fisik dengan komponen dalam lingkungan untuk
memenuhi kebutuhan manusia berkaitan erat dengan konsep diri dan
harga diri. Parent dan Whall (1984) melaporkan korelasi positif antara
peningkatan aktivitas dan harga diri serta korelasi negative antara
harga diri tinggi dan depresi pada subjek lansia. Hambatan mobilitas
mengganggu aspek konsep diri dan harga diri. Akibatnya, imobilitas
sering menyebabkan kurang minat dan kurang motivasi untuk belajar
dan untuk menyelesaikan masalah. Dorongan dan harapan menurun,
dan emosi dapat diekspresikan secara berlebihan atau tidak tepat,
termasuk apatis, marah, agresi, atau regresi. Ketakutan, depresi, dan
rasa malu dapat mengakibatkan hambatan mobilitas pada lansia.
Isolasi dan kebergantungan paksa dapat menurunkan stimulasi
intelektual dan sensori, yang dibutuhkan untuk perilaku perceptual
yang optimal. Jika kualitas dan kuantitas informasi sensoris yang
tersedia bagi lansia berkurang, kemampuan berinteraksi dengan
lingkungan dapat terganggu. Devisit visual dan somatosensori
(ketidakakuratan) terbukti berdampak negatif terhadap keseimbangan
lansia sehat hingga ke tingkat yang lebih tinggi daripada individu
dewasa muda. Depresi sensori sering kali menyebabkan distorsi waktu,
bentuk, pola, ruang, massa, dan suhu. Penyimpangan ini memengaruhi
relevansi aktivitas, seperti tidur, bekerja, berhubungan seksual, makan,
dan bersenda gurau pada lansia yang mengalami hambatan mobilitas.
Jika ancaman terhadap ego dan diri sangat kuat, jika ansietas tinggi
memicu pengembalian energy psikologik untuk melindungi diri, dan
jika tidak ada energy untuk berinteraksi dengan orang dan realitas
dalam lingkungan, lansia akan imobilisasi secara psikologis dan tidak
mampu berkoping secara efektif.
4. Dampak Sosioekonomik
Bagi lansia, dampak sosioekonomik hambatan mobilitas sering
kali berat. Hambatan mobilitas dapat mengubah aktivitas peran
individu sebagai pasangan, orang tua, karyawan, teman, dan anggota
kelompok social dan komunitas. Akibat hambatan mobilitas fisik,
jaringan dukungan social terganggu, menyebabkan lansia memiliki
kesempatan terbatas untuk dapat mempertahankan fungsi interaksi dan
hubungan social yang optimal. Hambatan mobilitas sering dikaitkan
dengan pentingnya rawat inap di tatanan perawatan akut dan jangka
panjang. Penyakit kronis yang cenderung menyertai penuaan dapat
menjadi predisposisi lansia terhadap hambatan mobilitas dan dapat
berinteraksi dengan hambatan tersebut, mengakibatkan gangguan fisik,
psikologik, dan sosioekonomik progresif. Hambatan mobilitas dapat
mengawali serangkaian peristiwa, yang meliputi cedera dan
kemunduran fisiologik, psikologis, dan social, yang dapat menambah
beban ekonomi, yang sebelumnya sudah sedemikian besar bagi
individu dan masyarakat.
5. Faktor Resiko/Etiologi
Beberapa factor yang berhubungan dengan penuaan menjadi
predisposisi lansia terhadap hambatan mobilitas fisik. Pada lansia
terjadi penurunan umum pada kekuatan, ketahanan, dan ketangkasan
otot. Kekuatan otot terus menurun setelah masa dewasa muda.
Kekuatan otot, jumlah serat otot, dan ukuran serat menurun dengan
proporsi yang sama. Penurunan ini lebih nyata pada pria dibanding
wanita, tetapi pria tetap lebih kuat.
Penurunan ketajaman penglihatan, gangguan pendengaran,
arthritis, osteoporosis (terutama pada lansia wanita), penurunan
kekuatan, keseimbangan buruk, dan konfusi mental meningkatkan
risiko jatuh pada lansia; akibatnya, jatuh sering kali menyebabkan
cedera yang dapat semakin menghambat mobilitas lansia.
Lansia juga sering mengalami perubahan dalam system
dukungan social mereka, yang menjadi predisposisi terhadap hambatan
mobilitas. Kehilangan pasangan, teman, dan peran kerja dapat
membatasi individu untuk menjadi aktif.
6. Intoleran Aktivitas
Intoleran aktivitas merupakan penurunan energy akibat
kehilangan massa otot dan tonus otot atau karena gangguan aktivitas
sel. Lansia mengalami kehilangan massa otot dan tonus otot akibat
penuaan normal, tetapi juga berisiko terhadap kelemahan lebih lanjut
akibat sindrom disuse, yang berhubungan dengan penyakit kronis dan
penurunan aktivitas dan pergerakan. Otot pernapasan juga melemah,
dan paru cenderung menjadi kurang elastic. Oleh karena itu, lansia
memiliki volume tidal yang lebih sedikit dan mengalami penurunan
kapasitas vital. Lansia sering mengalami isolasi social dan masalah
psikologik, yang dapat menurunkan motivasi untuk menjadi aktif.
7. Nyeri
Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan berat umum atau
setempat. Lansia rentan terhadap nyeri kronis dan akut, baik
somatopatik maupun psikogenik, karena memiliki insiden penyakit
kronis dan terapi yang lebih tinggi, mengalami peningkatan trauma
akibat jatuh dan fraktur, dan rentan terhadap infeksi.
8. Gangguan Neuromuskular
Gangguan neuromuscular merupakan penurunan gerakan otot
akibat gangguan system saraf pusat atau gangguan inervasi perifer.
System saraf mengendalikan inervasi dan fungsi seluruh bagian tubuh;
denagn demikian, kontraksi dan reflex otot bergantung pada system
neurologic yang baik. Banyak kondisi yang cenderung dialami lansia
mengakibatkan gangguan fungsi neurologic. Beberapa kondisi yang
lebih lazim terjadi adalah penyakit degenerative, penyakit
demielinisasi, penyakit vaskuler, trauma, tumor, dan terapi obat.
Paralisis dengan flasidisitas atau spastisitas dan paresis otot sering kali
terjadi.
9. Gangguan Muskuloskeletal
Gangguan Muskuloskeletal merupakan kehilangan atau
penurunan fungsi otot dan system penyokong skeletal yang disebabkan
factor mekanis atau structural. Penyebab mekanis adalah peralatan
eksternal, seperti restrainatau gips yang menghambat pergerakan.
Sumber structural adalah hambatan fisiologik pergerakan. Gabungan
gangguan keseimbangan dan kekuatan, terutama membuat lansia
rentan terhadap ketunadayaan mobilitas.
10. Gangguan Psikologis
Gangguan Psikologis merupakan respons emosi yang terjadi
saat stress melebihi kemampuan individu untuk dapat berkoping secara
efektif. Rasa takut dan dukacita yang berlarut-larut akibat kehilangan
yang menyertai penuaan dapat membuat lansia, yang serimg kali harus
menyesuaikan diri dengan perubahan gaya hidp dan lingkungan tanpa
didukung oleh kondisi kesehatan yang baik dan system dukungan
keluarga yang memadai, imobil. Lansia khususnya rentan terhadap
kehilangan yang melemahkan kendali mereka terhadap aspek
kehidupan yang biasanya dianggap wajar oleh kaum muda. Kondisi
imobil secara psikologis ini dapat menjadi sangat melelahkan dan
lambat laun mengakibatkan imobilitas fisik.
TUGAS KEPERAWATAN GERONTIK
SLEEP & ACTIVITY
OLEH KELOMPOK V
ANAK AGUNG YUNIARI DEWI (200902028)
CHRYSSANTUS DANANG W. (200902031)
GEOVANI FEBRIANO (200902037)
HELENA SESILIA TOKAN (200902039)
MARIA LIDWINA LEKA T. (200902054)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KATOLIK
ST. VINCENTIUS A PAULO
SURABAYA
2012
DAFTAR PUSTAKA
Maas, Meridean L. dkk. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik. Alih bahasa :
Renata Komalasari dk. 2011. Jakarta; EGC.
Potter, Patricia A. dkk. 1999. Buku ajar Fundamental Keperawatan : konsep,
proses, dan praktik. Alih Bahasa : Renata Komalasari et al. 2005. Jakarta;
EGC.