pola komunikasi penghayat kepercayaan sapta darma...
TRANSCRIPT
i
POLA KOMUNIKASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN
SAPTA DARMA DI DUSUN LEGOWO DESA DUREN
KECAMATAN BANDUNGAN
Skripsi ini Disusun Untuk Melengkapi Persyaratan
Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
SKRIPSI
OLEH:
DINA RAHAYU
NIM. 43010-15-0055
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2019
ii
iii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lampiran : 4 (Empat) Eksemplar Salatiga, 9 Agustus 2019
Hal : Naskah skripsi
a.n Sdri. Dina Rahayu
Kepada
Yth. Bapak Dekan Fakultas Dakwah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah mengadakan koreksi dan perbaikan seperlunya bersama ini saya
kirimkan skripsi saudari:
Nama : Dina Rahayu
NIM : 43010-15-0055
Program Studi : Komunikasi dan Penyiaran Islam
Judul : Pola Komunikasi Penghayat Kepercayaan Sapta Darma
di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan
Selanjutnya saya mohon kepada Bapak Dekan Fakultas Dakwah agar
skripsi saudari tersebut dapat dimunaqasyahkan dan atas perhatian Bapak kami
ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
PEMBIMBING
Dr. Mukti Ali, S.Ag., M.Hum.
NIP.197509052001121001
iv
v
.
vi
ABSTRAK
Rahayu, Dina. 2019. Pola Komunikasi Penghayat Kepercayaan Sapta Darma di
Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan. Skripsi. Salatiga:
Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Institut
Agama Islam (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. Mukti Ali, S.Ag., M.Hum.
Kata Kunci: Pola Komunikasi, Penghayat Kepercayaan, Sapta Darma.
Penelitian ini membahas tentang Pola Komunikasi Penghayat Kepercayaan
Sapta Darma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan, dengan
rumusan masalah (1) Bagaimana pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta
Dharma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan dengan pribadinya,
(2) Bagaimanakah pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta Dharma di
Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan dengan anggota keluarganya,
(3) Bagaimana pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta Dharma di Dusun
Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan dengan masyarakat.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian
untuk menelaah sikap atau perilaku dalam lingkungan alamiah, menghasilkan data
deskriptif baik lisan maupun tulisan dari orang-orang yang diamati. Teknik
pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Untuk menguji
keabsahan data, penelitian ini menggunakan teknik Triangulasi yaitu
membandingkan keabsahan data antara sumber, teori, maupun metode penelitian.
Data yang ada dianalisis menggunakan “model of”, artinya realitas fenomena sosial
budaya komunikasi ditafsirkan atau dipahami kemudian ditarik kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penghayat Sapta Darma di Dusun
Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan menggunakan Memayu Hayuning
Pribadi sebagai pola komunikasi dengan pribadinya. Upaya Memayu Hayuning
Pribadi dilakukan dengan hening (ening), tukar hawa, tukar rasa, dan racut. Ini
bertujuan untuk menentramkan hati dan pikiran, menghilangkan rasa lelah serta
menjadikan diri (pribadi) menjadi lebih baik. (2) Penghayat Sapta Darma di Dusun
Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan menggunakan Memayu Hayuning
Keluarga sebagai pola komunikasi keluarga (3) Penghayat Sapta Darma di Dusun
Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan menggunakan Memayu Hayuning
Bawana sebagai pola komunikasi dengan masyarakat.
vii
MOTTO
لكم دينكم ولي دين “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”
(QS. Al Kafirun: 6)
Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan,
bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan
juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari
Sabang sampai Merauke!
(Ir. Soekarno)
Agama tidak melarang sesuatu perbuatan kalau perbuatan itu tidak
merusak jiwa. Agama tidak menyuruh, kalau suruhan tidak membawa
selamat dan bahagia jiwa
(Buya Hamka)
viii
PERSEMBAHAN
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga tugas akhir ini selesai. Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Ibuku tercinta Sujimah, Ayahku tercinta Juhroni, kakak-kakakku tercinta
Rina Setyawati, Rizki Zuliati, M. Nur Abidin, yang selalu memberikan
dukungan dan mendidik dengan segala kasih sayangnya.
2. Keponakan tersayangku Risma Amelia, Septianana Rahmawati, Syafiq
Abdul Fattah; Mbak Akmi Sumarsih; keluarga besar Ayah dan Ibu yang
selalu menyuntikkan semangat dan turut mendidik dengan pelajaran
yang luar biasa.
3. Bapak Dr. Mukti Ali, S.Ag., M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi.
4. Rizka Indah Anggarini, Ida Fadilah, dan Anita Anggraini yang selalu
memberikan dukungan dan motivasi.
5. Sahabat-sahabat saya Wakhid, Arip, Meli, Khoir, Ama, Ismi, Usi yang
tidak pernah bosan memberi canda tawa dan semanagat.
6. Teman-teman magang tersayang Trisnawati Diah Utami, Sofa Lailatul
Izza, Afif Jamaludin, Lakna Tulas UN, Humaida Fatwati dan keluarga
besar Jawa Pos Radar Semarang yang telah memberikan pengalaman
berharga selama 3 bulan di Semarang.
7. Sahabat Bedhes Oki Wariati, Tri Wahyuningsih, M Najmuzzaman,
Wawan Indarko, Bayu Aji P dan keluarga besar Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) Dinamika atas pengalaman berharga dan rangkulan
kekeluargaan yang telah mereka berikan.
8. Keluarga Pak Adi Pratikto dan seluruh warga penghayat Sapta Darma di
Kabupaten Semarang.
9. Teman-teman seperjuangan KPI angkatan 2015 yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu.
10. Semua pihak yang telah mendukung selesainya tugas akhir ini.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pola Komunikasi
Penghayat Kepercayaan Sapta Darma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan
Bandungan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Sosial di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga.
Selama penyusunan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Dr. Mukti Ali, S.Ag., M. Hum., selaku Dekan Fakultas IAIN Salatiga
sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu memberikan arahan, nasehat,
dan motivasi kepada penulis.
3. Ibu Dra. Hj. Maryatin, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Salatiga sekaligus Dosen Pembimbing
Akademik yang selalu memberikan bimbingan, nasehat, dan petunjuk kepada
penulis.
4. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga atas ilmu, motivasi, dan bantuan
yang telah diberikan.
5. Kepala Desa Duren yang telah memberikan perijinan selama penelitian.
6. Penghayat kepercayaan Sapta Darma di Dusun Duren dan Persatuan Warga
Sapta Darma (Persada) Kabupaten Seamarang atas bantuan kepada penulis
selama penelitian.
7. Teman-teman KPI angkatan 2015 atas pengalaman berharga selama bersama
kalian.
8. Para staf perpustakaan kampus tiga IAIN Salatiga.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam mengembangkan diri dan membantu
dalam penulisan skripsi ini, dalam bentuk apapun.
x
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini
baik dari segi penyajian maupun pembahasannya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat sekaligus
menambah pengetahuan bagi penulis sendiri khususnya dan pembaca pada
umumnya. Amin.
Salatiga, 9 Agustus 2019
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LOGO INSTITUT ........................................................................................ ii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
MOTTO ........................................................................................................ vii
PERSEMBAHAN ......................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
E. Penegasan Istilah ................................................................................. 7
F. Kerangka Berpikir ............................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan .......................................................................... 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 18
B. Landasan Teori ....................................................................................... 21
1. Pola Komunikasi ............................................................................. 21
xii
2. Komunikasi Intrapersonal ................................................................ 28
3. Komunikasi Interpersonal ................................................................ 31
4. Komunikasi Antarbudaya ................................................................ 33
5. Aliran Kebatinan ............................................................................. 34
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .................................................................................... 39
B. Objek Penelitian .................................................................................. 40
C. Lokasi Penelitian ................................................................................ 40
D. Sumber dan Jenis Data ........................................................................ 41
E. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 42
F. Teknik Analisis Data ........................................................................... 44
G. Pemeriksaan Keabsahan Data .............................................................. 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .................................................................................... 48
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................. 48
2. Aliran Kebatinan Sapta Darma ........................................................ 50
3. Ajaran Pokok Sapta Darma .............................................................. 59
4. Ibadah Penghayat Sapta Darma ........................................................ 64
B. Pembahasan ......................................................................................... 71
1. Pola Komunikasi Memayu Hayuning Pribadi ................................... 71
2. Pola Komunikasi Memayu Hayuning Keluarga ................................ 74
3. Pola Komunikasi Memayu Hayuning Bawana ................................. 85
4. Relevansi Ajaran Sapta Darma dengan Nilai-nilai Ajaran Islam ....... 100
A. Kesimpulan.......................................................................................... 105
B. Saran .................................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Peta Administrasi Desa Duren Kecamatan Bandungan .................................... 49
Gambar 4.2 Simbol Pribadi Manusia ................................................................................. ............. 53
Gambar 4.3 Sanggar Candi Busana Legowo ....................................................... 58
Gambar 4.4 Posisi Duduk Sebelum Sujud .......................................................... 65
Gambar 4.5 Sujud ................................................................................................ 66
Gambar 4.6 Tukar Hawa ..................................................................................... 69
Gambar 4.7 Racut ................................................................................................ 71
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Kerangka Berpikir .......................................................................................... 13
Bagan 2.1 Proses Komunikasi Intrapersonal .................................................................... ............. 30
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1 Instrumen Penelitian
2 Surat Ijin Penelitian Fakultas Dakwah
3 Daftar Informan
4 Daftar Penghayat Sapta Darma di Dusun Legowo Desa Duren
Kecamatan Bandungan
5 Dokumentasi Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, terdapat enam agama yang dianut
oleh penduduk Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan
Konghuchu. Namun, selain menganut salah satu dari kelima agama “resmi”
tersebut, penduduk Indonesia merupakan pemeluk agama lokal atau penghayat
kepercayaan. Penghayat kepercayaan merupakan orang-orang yang menganut
suatu gerakan kebatinan dimana orang itu mencoba mencari kesatuan total dengan
Tuhan, dengan bermacam-macam cara, baik yang bersifat samadi dan pemusatan
pikiran, maupun yang bersifat ilmu gaib dan ilmu zihir (Koentjaraningrat, 1980:
25).
Menjadi penghayat suatu kepercayaan merupakan hak setiap warga negara.
Kebebasan beragama atau berkeyakinan tersebut telah ditetapkan di dalam Pasal
29 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Kemudian ayat berikutnya menyebutkan bahwa “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Konsekuensi adanya jaminan di dalam konstitusi menjadikan setiap warga negara
Indonesia bebas untuk menjalankan ajaran agama, keyakinan maupun ritual
2
peribadatan. Mereka tidak perlu takut atau merasa dikucilkan di dalam identitas
mayoritas masyarakat..
Dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, baik itu ritual peribadatan
maupun hubungan humanis dengan makhluk, setiap penghayat kepercayaan
memiliki ajaran mereka sendiri. Pada dasarnya, ajaran tersebut menuntun kepada
kebaikan dan menjauhi keburukan. Dengan dasar ini, dipahami bahwa apapun
agama atau kepercayaan itu, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi
seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi
maupun politik.
Ajaran kepercayaan tidak hanya mengatur hubungan pribadinya dengan
Tuhan, tetapi juga mengatur bagaimana seorang penghayat berkomunikasi dengan
makhluk, yang dalam hal ini dapat dipahami sebagai keluarga. Keluarga
merupakan seseorang yang memiliki keterikatan paling dekat. Bagaimana seorang
penghayat berinteraksi di dalam keluarga menjadi sebuah contoh kerangka
hubungan emosional kelompok minoritas di tengah lingkungan beragama
mayoritas. Dunia moral dan pengalaman keluarga akan menghasilkan
konsekuensi psikologis yang penting, dan mempengaruhi persepsi diri individu
yang bersangkutan.
Selain keluarga, penghayat kepercayaan juga hidup di tengah-tengah
masyarakat pemeluk agama lain. Hal ini seringkali menjadikan penghayat sebagai
kaum minoritas dan pemeluk agama lain sebagai mayoritas. Mengalami dan
mengamati ketika dirinya sendiri terikat pada orang-orang yang memiliki
3
keyakinan mayoritas pasti tidak mudah. Kondisi psikologis seorang penghayat
(minoritas) akan bertindak untuk menjadikannya dapat diterima oleh kelompok
mayoritas. Oleh karena itu, komunikasi menjadi kunci penting penghayat sebagai
jalan menyesuaikan diri di dalam masyarakat.
Sapta Darma, salah satu aliran kepercayaan, dapat memainkan peran
komunikasi di tengah keluarga dan masyarakat pemeluk agama yang heterogen.
Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kepercayaan ini berperan dalam proses
tersebut. Ajaran Sapta Darma sekilas memiliki makna yang sederhana, tetapi
sebenarnya mencakup aspek yang sangat luas, karena meliputi segala kehidupan
manusia dan alam roh. Intisari dari ajaran ini bersumber pada tiga ajaran utama
yaitu sujud, tujuh ajaran Sapta Darma (wawarah pitu), dan semboyan Sapta
Darma (sesanti).
Tiga ajaran utama Sapta Darma merupakan tuntunan pokok kelompok
pengahayat ini ketika menjalankan kehidupan mereka di dalam lingkaran pribadi,
keluaraga dan masyarakat. Tetapi untuk dapat melihatnya, perlu untuk mengamati
pola-pola komunikasi kelompok penghayat Sapta Darma. Pola-pola komunikasi
merupakan gambaran bagaimana mereka berbicara, bersikap, dan memandang
suatu gejala yang ada di dalam mayarakat sekitar. Hal itu juga menjadi prinsip
dalam menata pribadi dan berkomunikasi dengan keluarga mereka. Selain itu,
pola-pola komunikasi menjadi titik pusat bagaimana ajaran dan konsepsi Sapta
Darma dapat dijalankan sedemikian rupa oleh kelompok penghayat tersebut.
4
Kajian tentang penghayat dalam hal ini penghayat Sapta Darma banyak
dilakukan, baik itu untuk kebutuhan karya ilmiah maupun penelitian-penelitian.
Bahkan topik ini tidak jarang muncul di dalam tulisan-tulisan di media.
Banyaknya kajian tentang kepercayaan dan penghayatnya, disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, kepercayaan maupun penghayatnya memiliki hal-hal
unik dan menarik, berbeda dengan agama besar di Indonesia. Kedua, agama lokal
atau kepercayaan masih tumbuh berkembang dan banyak dianut oleh masyarakat
Indonesia, meskipun secara formal mereka masuk ke dalam salah satu dari agama
besar. Ketiga, terdapat organisasi-organisasi yang menjadi wadah bagi penghayat
agar terus eksis. Keempat, sisi sosial kepercayaan dan kelompok penghayat tidak
jarang menjadi pendorong transformasi suatu kebijakan pemerintahan.
Skripsi ini akan membahas tentang penghayat kepercayaan Sapta Darma di
dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Penulis akan mengkaji seputar
pola-pola atau gambaran komunikasi yang mereka lakukan. Dengan memahami
sudut pandang asli kelompok penghayat Sapta Drama di Dusun Legowo Desa
Duren Kecamatan Bandungan, penulis akan menggambarkan cara orang-orang
berinteraksi dan bekerja sama melalui fenomena yang teramati di kehidupan
sehari-hari mereka. Aplikasi tiga ajaran utama yaitu sujud, wawarah tujuh, dan
sesanti dalam hubungan berkeluarga dan bermasyarakat tentu memiliki hal unik
untuk diteliti dan dampaknya terhadap revitalisasi kebijakan masyarakat maupun
penghayat kepercayaan itu sendiri.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep ajaran Sapta Darma dalam kehidupan pribadi penghayat di
Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan?
2. Bagaimana pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta Darma di Dusun
Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan dengan anggota keluarganya?
3. Bagaimana pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta Darma di Dusun
Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan dengan masyarakat?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin
dicapai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep ajaran Sapta Darma dalam kehidupan pribadi
penghayat di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan.
2. Untuk mengetahui pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta Darma di
Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan dengan anggota
keluarganya.
3. Untuk mengetahui pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta Darma di
Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan dengan masyarakat.
6
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
pengembangan ilmu komunikasi, khususnya di ranah pola komunikasi
penghayat kepercayaan.
b. Diharapkan dapat memperkaya kajian sosial budaya khususnya di bidang
penelitian agama lokal dan penghayat kepercayaan.
2. Secara Praktis
a. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengetahuan terutama yang
berkaitan dengan topik penelitian serta merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos).
b. Bagi pembaca, penelitian ini berguna sebagai wacana dalam menambah
pengetahuan mengenai agama lokal dan komunikasi, khususnya pola
komunikasi dalam sebuah kelompok kepercayaan yang berkembang di
masyarakat.
c. Bagi civitas akademika di IAIN Salatiga, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi sumbangan informasi dalam bidang ilmu komunikasi, sosial,
dan budaya.
d. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menumbuhkan pengetahuan tentang
eksistensi agama lokal atau suatu aliran kepercayaan. Selain itu, tulisan ini
diharapkan dapat memberi pemahaman dan membantu menghindari
7
kesalahpahaman persepsi tentang suatu aliran kepercayaan dan
penghayatnya. Dengan adanya tulisan ini, diharapkan dapat meningkatkan
toleransi di kalangan masyarakat.
E. Penegasan Istilah
1. Pola Komunikasi
Dalam rangka pembahasan mengenai pola komunikasi, terlebih dahulu
dijelaskan pengertian komunikasi. Dipaparkan oleh Effendy (1993: 3),
pengertian umum komunikasi dapat dilihat dari dua segi yaitu secara
etimologis dan secara terminologis. Secara etimologis atau menurut asal
katanya, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communication yang
bersumber dari kata communis. Arti communis adalah sama, yang bisa
diartikan sebagai sama makna mengenai suatu hal. Menurut pengertian ini,
komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat
kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan.
Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu
pernyataan atau informasi dari seseorang kepada orang lain. Dari pengertian
tersebut terlihat jelas bahwa terdapat tiga unsur utama di dalam komunikasi
yaitu komunikator, komunikan, dan pesan.
Komunikator adalah penghasil pesan atau pihak yang berperan
mengarahkan kegiatan komunikasi. Dia mengawali pesan tertentu kepada pihak
lain yang disebut komunikan. Komunikan atau yang sering disebut sebagai
penerima pesan (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari
8
komunikator. Informasi yang dikirim dari komunikator ke komunikan disebut
sebagai pesan, sedangkan sarana untuk menyampaikan pesan dari komunikator
ke komunikan disebut dengan media.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pola adalah gambar
yang dipakai untuk contoh, corak, model, sistem, dan cara kerja. Dengan
pengertian tersebut, pola komunikasi di dalam penelitian ini dipahami sebagai
gambaran sebuah bentuk hubungan antara dua orang atau lebih, dalam
pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang
dimaksud dapat dipahami.
Pola komunikasi penting karena memiliki efek terhadap berlangsungnya
kehidupan di masyarakat. Komunikasi dikatakan berhasil apabila efek dari pola
komunikasi yang diterapkan dianggap baik dan sesuai dengan nilai masyarakat.
Sebaliknya, komunikasi dikatakan tidak berhasil apabila efek dari pola
komunikasi yang diterapkan tidak dimaknai dengan baik, tidak sesuai atau jauh
dari pemakluman nilai-nilai di masyarakat.
2. Penghayat Kepercayaan
Kepercayaan atau keyakinan adalah suatu keadaan psikologis seseorang
saat dirinya menganggap suatu premis benar. Kepercayaan merupakan suatu
sikap. Maka dari itu, kepercayaan bisa berubah atau tidak selalu benar.
Aliran kebatinan adalah suatu kepercayaan masyarakat yang lahir dari
sikap pencarian dan pendalaman batin. Di dalam batin tersebut akan tersimpan
kewajiban moral dan etis, yang membawanya pada perilaku mengembangkan
9
budi, mencari kebijaksanaan, dan menyadari bahwa di dunia mempunyai
posisinya sendiri-sendiri. Proses tersebut akan berkembang dalam sikap
menghayati, yaitu turut mengalami dan merasakan sesuatu dalam batin.
Penghayat adalah seseorang yang menganut suatu aliran kebatinan. Ia
menghayati sesuatu dalam batinnya yang dianggap benar. Istilah penghayat
biasanya digunakan untuk menyebut penganut agama-agama lokal yang tidak
termasuk di dalam enam agama besar di Indonesia.
3. Sapta Darma
Sapta Darma merupakan salah satu aliran kebatinan yang ada di
Indonesia. Sapta berarti “tujuh”, sedangkan darma memiliki arti “kewajiban,
aturan, kebenaran”. Dari asal kata tersebut, Sapta Darma menjadi nama satu
aliran kepercayaan, dimana ajarannya memiliki tujuh kewajiban utama bagi
penghayatnya.
Sapta Darma lahir pada tanggal 27 Desember 1952 di Pare, Kediri,
Jawa Timur. Penerima wahyu ajaran ini adalah Hardjosapoero yang bergelar
Panuntun Agung Sri Gutama. Setelah ia wafat pada 16 Desember 1964, istrinya
yaitu Soewartini Martodihardjo yang bergelar Tuntunan Agung Sri Pawenang,
mengambil alih kepemimpinan hingga wafatnya pada 24 Mei 1996. Dalam
buku wewarah dan beberapa penelitian, pengikut Hardjosapoero sering disebut
sebagai penghayat kepercayaan Sapta Darma atau warga Sapta Darma.
Sapta Darma telah memiliki badan hukum sejak 17 Maret 1959. Di
dalam Sapta Darma terdapat 3 lembaga utama yaitu Tuntunan, Persatuan
10
Warga Sapta Darma (Persada), dan Yasra. Tuntunan bertugas mengurusi
urusan rohani, seperti memimpin sujud, membacakan teks suro, dan membina
kegiatan di sanggar. Persada berkaitan dengan urusan pemerintah. Organisasi
ini dibentuk pada tanggal 27 Desember 1986 di Yogyakarta. Segala bentuk
komunikasi seperti mengurus adminitrasi penduduk dan bertukar pikiran
dengan pemerintah ditangani oleh Persada. Yayasan Srati Darma adalah
lembaga yang bertugas mengurusi keuangan. Yayasan ini memiliki tujuan yaitu
mengelola kebutuhan operasional Persada.
Berdasarkan paparan di atas, penelitian akan membahas tentang pola
komunikasi penghayat kepercayaan Sapta Darma. Selain itu, penelitian juga
membahas tentang relevansi (keterkaitan) nilai-nilai ajaran Islam dengan pola
komunikasi penghayat Sapta Darma dalam kehidupan mereka sehari-hari.
F. Kerangka Berpikir
Cara berpikir atau proses berpikir ada dua, yaitu secara induktif dan
deduktif. Berfikir induktif merupakan cara berpikir melalui menarik kesimpulan
umum dari sejumlah gejala spesifik atau khusus. Berfikir deduktif merupakan
suatu proses berfikir yang bertitik tolak dari pernyataan yang bersifat umum dan
menarik kesimpulan yang bersifat khusus (Danim, 2003: 10).
Sukandarrumidi (2004: 38-43) menjelaskan pola penalaran induktif
dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang
lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi, kemudian diakhiri
dengan penyimpulan yang bersifat umum. Argumentasi merupakan hasil
11
pengamatan peneliti, dan dalam pengelompokan masalah diperlukan pengetahuan
dasar, paling tidak dari pengalaman sehari-hari yang terkait dengan pola
penalaran.
Penarikan kesimpulan dengan pola deduksi biasanya mempergunakan pola
pendekatan silogisme. Silogisme disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah
kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogisme disebut premis, yang
dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor. Premis mayor mempunyai
ruang lingkup yang relatif lebih lua, sedang premis minor mempunyai ruang
lingkup yang lebih sempit. Dalam menyusun premis, peneliti harus menguasai
bidang ilmunya agar kesimpulan yang dihasilkan tidak kabur. Contoh: semua
makhluk hidup yang mampu berjalan mempunyai mata (premis mayor). Si Luki
adalah seorang makhluk hidup (premis minor). Si Luki mempunyai mata
(kesimpulan).
Pada dasarnya esensi kerangka pemikiran berisi: (1) Alur jalan pikiran
secara logis dalam menjawab masalah yang didasarkan pada landasan teoretik dan
atau hasil penelitian yang relevan, (2) Kerangka logika (logical construct) yang
mampu menunjukan dan menjelaskan masalah yang telah dirumuskan dalam
kerangka teori, dan (3) Model penelitian yang dapat disajikan secara skematis
dalam bentuk gambar atau model matematis yang menyatakan hubungan-
hubungan variabel penelitian atau merupakan rangkuman dari kerangka pemikiran
yang digambarkan dalam suatu model. Sehingga pada akhir kerangka pemikiran
ini terbentuklah hipotesis. Inti pembicaraan dalam kerangka pikiran adalah upaya
12
mendudukkan perkara permasalahan penelitian yang telah diidentifikasikan dalam
kerangka teoritis yang relevan dengan masalah itu, yang mampu menangkap,
menerangkan, dan menunjukkan persepektif terhadap masalah itu (Bachtiar, 1997:
52).
Dengan demikian, uraian atau paparan yang harus dilakukan dalam
kerangka berpikir adalah perpaduan antara asumsi-asumsi teoretis dan asumsi-
asumsi logika dalam menjelaskan atau memunculkan variabel-variabel yang
diteliti serta bagaimana kaitan di antara variabel-variabel tersebut, ketika
dihadapkan pada kepentingan untuk mengungkapkan fenomena atau masalah
yang diteliti.
Di dalam penelitian ini, kerangka befikir atau kerangka penalaran logis
yang digunakan untuk mengetahui pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta
Dharma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan penulis jabarkan
dalam skema sebagai berikut
13
Bagan 1.1 Kerangka Berpikir
Menurut Purwasito (2003: 81) masyarakat adalah sebuah sistem dimana
terdapat interaksi antarkomponen, baik individu, kelompok atau lembaga-
lembaga. Mereka saling bergantung, saling mempengaruhi, saling menjaga, dan
saling menghargai dalam harmonitas sosial. Sistem tersebut tersusun berdasarkan
suatu ikatan norma-norma dan nilai-nilai yang diakui, ditaati dan dianut untuk
mengatur jalannya interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari (social interaction
and everyday life) demi menjaga keseimbangan keberlangsungan hidup
masyarakat itu sendiri
Ralph Linton dalam Soekanto (2003: 24) menjelaskan bahwa masyarakat
adalah sekelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama,
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap mereka sebagai
suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. Bungin
Penghayat Sapta Darma
Pola Komunikasi dalam
Kehidupan Sehari-hari
Ajaran Sapta Darma
Keluarga Masyarakat Pribadi
14
(2017: 29) mengatakan bahwa ketika kelompok manusia itu hidup bersama dalam
waktu yang lama, akhirnya melahirkan manusia-manusia baru yang saling
berhubungan atau melakukan interaksi satu dengan lainnya. Interaksi adalah
proses sosial yang berjalan dinamis dan progresif yang merupakan syarat utama
adanya aktivitas sosial. Interaksi sosial akan berjalan karena adanya komunikasi
sosial, yaitu pertukaran pesan dalam pergaulan antar individu, individu dengan
kelompok dan kelompok dengan kelompok untuk mencapai tujuan tertentu
(Purwasito, 2003: 82).
Interaksi atau komunikasi sosial yang terjadi dapat melalui beberapa cara.
Pertama, melalui kontak sosial bersifat primer atau komunikasi interpersonal.
Komunikasi ini terjadi antara dua orang atau lebih yang saling berhadapan dan
masing-masing pihak memberi tanggapan secara langsung. Kedua, melalui kontak
sosial bersifat sekunder. Komunikasi ini terjadi antara dua orang atau lebih
dengan perantara, seperti media elektronik.
Di dalam komunikasi sosial yang dilakukan melalui berbagai cara tersebut,
terdapat pola-pola komunikasi yang dapat melihat penafsiran pesan dan perilaku
penghayat kepercayaan Sapta Darma. Menurut Hartini dan Kartasapura (1992:
301), pola komunikasi merupakan standarisasi dari kumpulan perilaku. Hal ini
menunjukkan bahwa pada umumnya tingkah laku memiliki kaidah yang dapat
digambarkan atau dijelaskan melalui pemolaan komunikasi (communication
patterning) (dalam Darmastuti, 2005: 106).
15
Pada dasarnya, aliran kebatinan banyak yang lahir di tanah Jawa. Di
daerah-daerah yang belum amat terpengaruh oleh kebudayaan Hindu, agama
Islam mempunyai pengaruh yang mendalam dalam keadaan penduduk di daerah
yang bersangkutan seperti di Aceh, Banten, Pantai Utara Jawa, dan di Sulawesi
Selatan. Adapun daerah lain di Sumatra seperti Sumatera Timur, Sumatera Barat,
dan Pantai Kalimantan, mengalami proses pengaruh yang sama. Sebaliknuya, di
daerah-daerah dimana pengaruh kebudayaan Hindu itu kuat dan telah
mengembangkan suatu corak tersendiri seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
agama Islam diubah menjadi suatu agama yang dikenal dengan nama agama
Jawa (Koentjaraningrat, 1980: 26).
Menurut C. Geertz dalam bukunya The Religion of Java, adapun orang
yang menganut ajaran-ajaran dan syariah agama Islam secara taat, disebut dalam
bahasa Jawa orang Islam santri. Penduduk Mataram dalam abad ke -15 dan 16
terpengaruh oleh agama Islam, tetapi mereka tidak melepaskan sifat-sifat Jawa-
Hindunya dan mengubah agam Islam tersebut menjadi apa yang diatas telah
disebut sebagai agama Jawa atau Kejawen. Asal mula kewajen merupakan akar
dari lahirnya aliran kebatinan dimana mereka tidak menjalankan salat, atau puasa,
serta tidak bercita-cita naik haji, teteapi tetap percaya kepada ajaran keimaman
agama Islam (Koentjaraningrat, 1980: 340).
Aliran kepercayaan kemudian tumbuh subur di Indonesia. Dalam
perkembangannya, masyarakat lazim menggunakan istilah “kebatinan” sebagai
sebutan umum untuk semua aliran kepercayaan, meski sebenarnya setiap aliran itu
16
memiliki nama sendiri-sendiri. Sementara itu, penganut aliran tersebut sering
disebut sebagai pengahayat kepercayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), aliran kepercayaan merupakan paham yang mengakui adanya Tuhan
Yang Maha Esa, tetapi tidak termasuk atau tidak berdasarkan ajaran salah satu
dari kelima agama yang resmi (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan
Buddha). Orang-orang yang menganut aliran kepercayaan lazim disebut sebagai
penghayat kepercayaan.
Koentjaraningrat (1980: 25) menyebut bahwa penghayat kepercayaan
merupakan orang-orang yang menganut suatu aliran kebatinan dimana orang itu
mencoba mencari kesatuan total dengan Tuhan dengan bermacam-macam cara,
baik yang bersifat samadi dan pemusatan pikiran, maupun yang bersifat ilmu gaib
dan ilmu zihir. Pada umumnya mereka itu membentuk kesatuan-kesatuan hidup
setempat yang menetap di desa-desa.
Ketika melakukan hubungan sosial kemasyarakatan di desa mereka,
pengahayat tidak terlepas dari interaksi. Dalam setiap gerak, penghayat akan
berinteraksi dengan yang lain. Pada saat itu, mereka secara langsung atau tidak
langsung telah membeberkan stock of culture yang luar biasa banyak. Dalam
interaksi tersebut akan muncul sejumlah tanda-tanda, baik verbal maupun non
verbal yang unik (Endraswara, 2003: 67).
17
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian
awal, bagian isi, dan bagian akhir. Adapun sistematika penulisannya adalah
sebagai berikut :
BAB I: PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai gambaran
menyeluruh dari skripsi, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Bab ini akan
membahas tentang landasan pemikiran dan teori yang ada hubungannya dengan
penelitian.
BAB III: METODE PENELITIAN. Bab ini akan membahas tentang
pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber dan jenis data, prosedur
pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan (validitas) data, dan
tahap-tahap penelitian.
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab ini berisi
tentang temuan penelitian dan analisis hasil penelitian mengenai pola komunikasi
penghayat kepercayaan Sapta Darma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan
Bandungan.
BAB V: PENUTUP. Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Penulis telah melakukan penelusuran tentang penelitian yang berkaitan
dengan pola-pola komunikasi di masyarakat. Namun pada dasarnya, penelitian
tersebut belum ada yang mengangkat tema khusus seputar pola komunikasi
penghayat kepercayaan terutama Sapta Darma.
Husnul Khotimah (2016) dalam penelitiannya berjudul Nilai-Nilai
Spiritualitas Ajaran Kerohanian Sapta Darma di Dukuh Sepat Kelurahan Lidah
Kulon Kecamatan Lakarsantri Kota Surabaya menjelaskan tentang nilai-nilai
spiritualitas ajaran Kerohanian Sapta Darma yang membuat para penghayatnya
bertahan di tengah dominasi agama-agama lain. Tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa loyalitas penghayat terhadap ajaran yang berasal dari Kediri begitu kuat.
Untuk itulah, Khotimah menggali alasan penganut Ajaran Kerohanian Sapta
Darma di Dukuh Sepat masih bertahan dengan keyakinannya selama ini. Nilai-
nilai spirit penghayat kepercayaan yang ditekankan pada penelitian ini menjadi
pembeda dengan penelitian terbaru yang lebih menekankan pada pola komunikasi
di masyarakat.
Fokus yang dibahas dalam penelitian berjudul Sejarah Perkembangan
Aliran Kerokhanian Sapta Darma dan Respon Umat Islam di Desa Balongdowo
Sidoarjo (1985-2015) adalah sejarah masuknya aliran kerokhanian Sapta Darma
19
di desa Balongdowo. Berbeda dengan Tri Yuliani (2016) yang membahas
perkembangan aliran kerokhanian Sapta Darma dan tantangan serta respon
masyarakat terhadap penghayat Sapta Darma, penelitian ini membahas tentang
Pola Komunikasi penghayat Sapta Darma di dusun tempat tinggal mereka. Selain
sejarah, perbedaan dengan penelitian terbaru lainnya adalah tentang lokasi objek
yang diteliti. Penelitian terdahulu berlokasi di Desa Balongdowo, Sidoarjo, Jawa
Timur. Sedangkan penelitian sekarang berlokasi di Dusun Legowo Desa Duren
Kecamatan Bandungan.
Dalam penelitian Reni Tiyu Wijayanti (2013) berjudul Pola Perilaku
Religius Aliran Kepercayaan Masyarakat Kerokhanian Sapta Darma di Desa
Brengkelan Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo, metode yang
digunakan hampir sama yaitu kualitatif dengan menggunakan pendekatan budaya.
Latar belakang program studi yaitu Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
mempengaruhi fokus dalam penelitian Wijayanti dimana kajian mendalam seputar
nilai-nilai ajaran yang semuanya bernuansa Jawa. Sedangkan penelitian terbaru
memiliki latar belakang jurusan komunikasi, sehingga kajian membahas tentang
materi komunikasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Mega Rumawati (2011) berjudul
Keberadaan Aliran Kejawen “Sapta Darma” (Studi kasus di Persatuan Warga
Sapta Darma Kabupaten Kendal) menjelaskan tentang eksistensi penghayat Sapta
Darma yang ada di Kabupaten Kendal. Bagi penghayat Sapta Darma di
Kabupaten Kendal, kewajiban untuk melestarikan budaya Jawa dianggap ssebagai
20
bagian dari menjalankan ajaran-ajaran Sapta Darma. Mereka tidak pernah
memaksa orang lain untuk mengikuti ajarannya, namun selalu meyakini bahwa
Sapta Darma adalah tepat untuk mereka karena ajarannya sesuai dengan hati
nurani mereka. Selain itu, Penghayat Sapta Darma juga di golongkan menjadi dua
macam, yaitu penghayat utuh atau penghayat total yang hanya menjalankan ajaran
Sapta Darma, tidak memeluk agama atau kepercayaan lain, sedangkan yang kedua
adalah penghayat Sapta Darma biasa atau penghayat Sapta Darma yang masih
meyakini agama lain dan menjalankan ajarannya. Warga Sapta Darma berfikir
positif terhadap pandangan-pandangan negatif dari sebagian masyarakat terhadap
ajaran-ajaran Sapta Darma.
Untuk membentengi diri dari perbuatan yang buruk, penghayat Sapta
Darma di Kabupaten kendal menjalankan wewarah pitu dan menjalankan sujud
setiap hari. Mereka meyakini bahwa ibadah yang dilakukan akan menciptakan
pola hubungan yang seimbang antara manusia dan Tuhan serta menjaga agar roso
tetap baik. Dalam penelitian tersebut Rumawati menitikberatkan pada cara
pandang anggota Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) terhadap aliran
kejawen Sapta Darma. Ia menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk kegiatan
keagamaannya serta apa saja yang penghayat Sapta Darma lakukan. Selain itu
juga dijelaskan tentang tanggapan masyarakat dengan keberadaan Persada.
Terdapat persamaan antara apa yang Rumawati sampaikan dengan apa
yang penulis teliti. Keduanya memiliki persamaan yaitu mengkaji tentang
keberadaan aliran kepercayaan Sapta Darma. Namun tentu saja terdapat
21
perbedaan di antara keduanya, yaitu terletak pada fokus penelitian. Pada
penelitian yang terbaru penulis lebih memfokuskan pada pola komunikasi
penghayat Sapta Darma yang berada di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan
Bandungan. Penelitian yang dilakukan akan menggali lebih dalam tentang
penghayat Sapta Darma kaitannya dengan komunikasi di dalam keluarga dan
masyarakat. Bagaimana suatu interaksi akan menghasilkan pola-pola yang
signifikan bagi kehidupan penghayat akan dibahas sebagaimana realita proses
tersebut berlangsung.
B. Landasan Teori
1. Pola Komunikasi
a. Pengertian Komunikasi
Dalam rangka pembahasan mengenai pola komunikasi, terlebih
dahulu dijelaskan pengertian komunikasi. Dipaparkan oleh Effendy (1993:
3), pengertian umum komunikasi dapat dilihat dari dua segi yaitu secara
etimologis dan secara terminologis. Secara etimologis atau menurut asal
katanya, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communication yang
bersumber dari kata communis. Arti communis adalah sama, yang bisa
diartikan sebagai sama makna mengenai suatu hal. Menurut pengertian ini,
komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat
kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Jadi, bila tidak
terdapat kesamaan makna, maka tidak terjadi komunikasi atau tujuan
sebenarnya dari komunikasi tidak tercapai.
22
Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu
pernyataan dari seseorang kepada orang lain. Dari pengertian tersebut
terlihat jelas bahwa manusia merupakan unsur yang penting di dalam
komunikasi. Karena itu, komunikasi yang dimaksudkan disini adalah
komunikasi manusia (human communication) atau yang sering disebut
sebagai komunikasi sosial (social communication). Komunikasi manusia
dinamakan komunikasi sosial karena hanya pada manusia-manusia yang
bermasyarakat dapat terjadi komunikasi. Misalnya ada seseorang yang hidup
seorang diri di sebuah pulau terpencil. Ia dikatakan tidak melakukan
komunikasi sosial karena tidak berkomunikasi dengan siapa pun. Mulyana
(2002: 5) menjelaskan, orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan
manusia lain bisa dipastikan akan “tersesat”, karena tidak berkesempatan
menata dirinya dalam suatu lingkungan sosial. Namun berbeda halnya
apabila seseorang di pulau terpencil tersebut keluar dari pulau itu dan
tinggal di sebuah pemukiman lalu berinteraksi dengan orang-orang, maka ia
dapat dikatakan telah melakukan komunikasi sosial.
Astrid (1992: 1) menyatakan bahwa komunikasi sosial adalah salah
satu bentuk komunikasi yang lebih intensif, dimana komunikasi terjadi
secara langsung antara komunikator dan komunikan, sehingga situasi
komunikasi berlangsung dua arah dan lebih diarahkan kepada pencapaian
suatu situasi integrasi sosial. Melalui kegiatan ini terjadilah aktualisasi dari
berbagai masalah yang dibahas. Astrid mengatakan bahwa komunikasi
23
sosial sekaligus suatu proses sosialisasi. Melalui komunikasi sosial
kesadaran masyarakat dipupuk, dibina dan diperluas untuk mencapai
stabilitas sosial, tertib sosial, penerusan nilai-nilai lama dan baru yang
diagungkan oleh masyarakat Tidak hanya itu, melalui komunikasi sosial
masalah-masalah sosial dapat dipecahkan melalui konsensus.
Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya
mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep
diri kita, aktualisasi-diri, untuk keberlangsungan hidup, untuk memperoleh
kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat
komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang
lain. Melalui komunikasi kita bekerja sama dengan anggota masyarakat
(keluarga, kelompok belajar, perguruan tinggi, RT, RW, desa, kota, dan
negara secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama (Mulyana, 2002:
5).
Thomas M. Scheidel dalam Mulyana (2003: 5) mengatakan bahwa
ketika seorang individu berkomunikasi, ia melakukannya untuk menyatakan
dan mendukung identitas diri, membangun kontak sosial dengan orang di
sekitarnya, dan mempengaruhi orang lain. Pada saat mempengaruhi orang
lain, ia ingin orang lain merasa, berpikir, dan berperilaku seperti yang ia
inginkan. Dengan kata lain, tujuan dasar ketika seorang berkomunikasi
adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis dari setiap
orang yang diajak berkomunikasi.
24
Selain pengertian secara etimologis dan terminologis, Effendy (1993:
5) merumuskan lagi pengertian komunikasi yaitu secara paradigmatis.
Dalam pengertian ini, komunikasi bersifat intensional, mengandung tujuan
tertentu; ada yang dilakukan secara lisan, secara tatap muka, atau melalui
media. Sehingga definisi komunikasi adalah proses penyampaian suatu
pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk
mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion), perilaku (behavior) baik
secara langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media. Karena
itu komunikasi harus dilakukan dengan perencanaan. Sejauh mana kadar
perencanaan itu, tergantung pesan yang akan dikomunikasikan dan pada
komunikan yang menerima pesan.
b. Prinsip-prinsip dalam Komunikasi
Ada beberapa prinsip-prinsip dalam komunikasi. Joseph A Devito
(1996: 40-49) menyebutkan ada beberapa prinsip-prinsip dalam komunikasi
antar manusia, yaitu:
1) Komunikasi adalah paket isyarat. Dalam semua perilaku komunikasi
yang kita lakukan, kita selalu menggunakan isyarat-isyarat baik itu
verbal maupun non verbal.
2) Komunikasi adalah proses penyesuaian. Komunikasi akan terjadi
apabila antara partisipan komunikasi menggunakan simbol-simbol yang
sama dan menghasilkan persepsi yang sama. Dalam proses komunikasi,
komunikator dan komunikan sering berasal dari latar belakang sifat dan
25
budaya yang berbeda sehingga akan mereka akan mempunyai
pemahaman yang berbeda. Oleh karena itu, agar proses komunikasi
dapat berjalan dengan baik, diperlukan proses penyesuaian diri antara
komunikator dan komunikan.
3) Komunikasi mencakup dimensi isi dan hubungan. Dalam setiap tindak
komunikasi yang kita lakukan bukan hanya proses penyampain pesan
saja, tetapi juga mengandung suatu hubungan atau relasi antar partisipan
komunikasi.
4) Komunikasi melibatkan transaksi simetris dan komplementer. Dalam
komunikasi, hubungan simetris berarti dua orang saling bercermin pada
perilaku lainnya. Sedangkan hubungan komplementer artinya dua orang
atau lebih saling melengkapi.
5) Komunikasi adalah proses transaksional. Komunikasi adalah transaksi,
yaitu komunikasi merupakan satu proses dimana komponen-
komponennya saling terkait. Diantara komunikator dan komunikan
terjadi aksi dan reaksi sebagai satu kesatuan dari proses komunikasi.
6) Komunikasi tak terhindarkan. Terkadang kita melakukan proses
komunikasi tanpa kita sadari. Ada kalanya kita tersenyum kepada
seseorang atau kita memperlihatkan mimik wajah kepada orang yang
baru saja melintas. Dari sikap-sikap kita tersebut artinya kita melakukan
komunikasi karena komunikasi tidak terhindarkan.
26
7) Komunikasi bersifat unreversible. Komunikasi yang kita lakukan tidak
dapat diulang lagi.
c. Pola Komunikasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pola adalah gambar
yang dipakai untuk contoh, corak, model, sistem, dan cara kerja. Dengan
pengertian tersebut, pola komunikasi dapat dipahami sebagai gambaran sebuah
bentuk hubungan antara dua orang atau lebih, dalam pengiriman dan
penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami.
Di dalam pola komunikasi terdapat bentuk-bentuk interaksi simbolik.
Interaksi simbolik berangkat dari suatu sistem sosial, yaitu suatu wawasan yang
berarti sebagai suatu sudut pandang; suatu cara khusus untuk mengamati
realitas dan menatanya sedemikian rupa sehingga menjadi bermakna dan dapat
kita pahami (Soeprapto, 2002: 31).
Bentuk interaksi simbolik diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol
tindakan, bahasa, budaya, pakaian, kegiatan keagamaan, dan tatacara ritual
kepercayaan. Simbol-simbol yang digunakan oleh Penghayat Kepercayaan
Sapta Darma dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah interpretasi dari
ajaran dan falsafah yang mereka yakini.
Pola komunikasi individu memberikan gambaran bagaimana ia bersikap
sesuai ajaran yang diyakininya. Ini memberikan pengalaman tentang
27
religiusitas pribadinya sekaligus bagaimana pengamalan emosi spiritualnya
terhadap kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Dalam mengkaji pola komunikasi di dalam masyarakat, fenomenologi
digunakan sebagai jalan untuk melihat peristiwa atau gejala-gejala yang ada.
Fenomenologi dijelaskan oleh Husserl dalam Hamdanah (2005: 26) sebagai
suatu analisa deskriptif tentang kedalaman segala bentuk kesadaran dan
pengalaman. Husserl menjelaskan lebih lanjut bahwa fenomenologi berusaha
memeriksa dan menganalisa kehidupan batiniah individu, yaitu pengalaman-
pengalamannya mengenai suatu fenomena. Dalam fenomenologi, objektivitas
dan subjektivitas harus diabaikan, karena yang diutamakan adalah pengalaman
sebagai jalan menuju kebenaran.
Fenomenologi menekankan pada penghayatan intepretatif. Menurut
Sendjaya (2002) dalam Bungin (2017: 263), pendekatan interpretatif yang
dikenal dengan istilah Jerman ‘Verstehen’ atau pemahaman, berusaha untuk
menjelaskan makna dari tindakan. Karena suatu tindakan dapat memiliki
banyak arti, maka makna tidak dapat dengan mudah ditangkap begitu saja.
Interpretasi, secara harfiah, merupakan proses aktif dan inversi. Makna
yang dimaksud oleh satu pelaku komunikasi mungkin berbeda dengan pelaku
komunikasi lainnya, tetapi hal itu bisa dianggap sebagai suatu tindakan kreatif
dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna. Pada dasarnya jika
seseorang menunjukkan perilaku tertentu dalam masyarakat, maka perilaku
28
tersebut merupakan realisasi dari pandangan-pandangan atau pemikiran yang
ada dalam benak orang tersebut (Ali, 2017: 24-26).
Pemahaman tentang hubungan atau interaksi sosial merupakan aspek
penting dalam penelitian ini. Interaksi sosial membentuk sebuah peran yang
dimainkan oleh setiap orang dalam wujud kewenangan dan tanggungjawab
yang telah memiliki pola-pola tertentu. Pola-pola itu ditegakkan oleh institusi
sosial (social institution) yang mengatur bagaimana cara berinteraksi satu sama
lain, dan organisasi sosial (social organization) memberikan wadah serta
mengatur mekanisme kumpulan orang-orang dalam masyarakat (Darmastuti,
2013: 129).
2. Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi intrapersonal merupakan pondasi untuk melakukan
komunikasi interpersonal. Dalam komunikasi intrapersonal, manusia berdialog
dengan diri sendiri dan mengenal diri sendiri. Belajar mengenai diri sendiri
artinya ia belajar untuk berpikir, merasakan, mengamati, menginterpretasikan,
dan beraksi terhadap lingkungannya.
Fisher (1987: 134) mengatakan bahwa komunikasi intrapersonal
merupakan pembangunan kesadaran pribadi (self awareness). Kesadaran ini
memiliki beberapa elemen yang mengacu pada identitas spesifik individu.
Elemen tersebut meliputi konsep diri yaitu cara memandang dirinya sendiri
dengan cara penggolongan sifat pribadi dan karakteritik sifat sosial, proses
29
menghargai diri sendiri (self esteem), dan identitas diri kita yang berbeda-beda
(multiple selves).
Elemen-elemen kesadaran diri membentuk sifat-sifat intrapersonal yang
ditampilkan dalam hubungan dengan orang lain, misalnya ramah, ketus,
terbuka, dan tertutup. Hal ini mempengaruhi peran sosial, yaitu segala sesuatu
yang mencakup hubungan dengan orang lain dan dalam masyarakat tertentu.
Komunikasi intrapersonal memiliki tujuan yaitu:
a. Mengenal diri sendiri dan orang lain. Komunikasi intrapersonal memberi
ruang untuk memperbincangkan diri sendiri, belajar bersikap terbuka
kepada orang lain, dan mengetahui sikap, nilai, dan perilaku orang lain
sehingga seorang individu dapat memprediksi atau menanggapi tindakan
orang lain.
b. Mengetahui dunia luar. Komunikasi intrapersonal memungkinkan individu
untuk memahami lingkungannya. Nilai, sikap, dan keyakinan individu
banyak dipengaruhin oleh komunikasi intrapersonal.
c. Menciptakan dan memelihara hubungan yang bermakna. Komunikasi
intrapersonal membantu mengurangi rasa kesepian dan ketegangan
sehingga dapat membuat diri lebih berpikir positif, solutif, dan bijaksana.
d. Mengubah sikap dan perilaku. Komunikasi intrapersonal dapat digunakan
sebagai bahan untuk mengubah atau memersuasi orang lain.
30
e. Bermain dan mencari hiburan. Kejadian lucu bisa membuat suasana diri
menjadi lebih baik. Hal ini bisa melepas keseriusan, ketegangan,
kejenuhan, dan sebagainya.
f. Membantu orang lain. Psikiater, ahli terapi, bahkan seorang teman adalah
contoh orang-orang yang menggunakan komunikasi intrapersonal untuk
memberikan saran dan nasehat dalam menolong orang lain.
Stanley B. Cunningham dalam Laksana (2015: 64) menyebut proses
komunikasi intrapersonal yang terjadi pada diri seseorang akan berlangung
sebagai berikut:
Bagan 2.1 Proses Komunikasi Intrapersonal
Dari bagan tersebut, proses komunikasi intrapersonal dijelaskan sebagai
berikut:
Berbicara pada
diri sendiri
Dialog dalam diri Adaptasi dengan
lingkungan
Persepsi Proses memengaruhi
dan diberi pengertian Proses data
Feedback
31
a. Berbicara pada diri sendiri, terjadinya komunikasi dengan diri sendiri.
b. Terjadi dialog. Dialog merupakan suatu proses pertukaran pesan dan
pemrosesan makna dalam diri manusia antara I and Me. I mewakili bagian
diri pribadi manusia sendiri, sedangkan Me mewakili produk sosial.
c. Jalannya proses tersebut berdasarkan perundingan manusia dengan
lingkungannya atau terjadi adaptasi dengan lingkungan. Proses ini
menggunakan stimuli dari dan dalam diri seseorang.
d. Persepsi, individu menerima, menyimpan, dan menggambarkan simbol
secara ringkas.
e. Proses saling memengaruhi antara “raw data” persepsi dan diberi
pengertian.
f. Proses data, merupakan penggambaran yang baik dari persepsi dan
pemberian pengertian
g. Timbal balik (feedback).
3. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal adalah proses penyampaian informasi antara
dua orang atau lebih melalui suatu media dan menimbulkan umpan balik.
Menurut Rakhmat (2003: 31), sistem komunikasi interpersonal terdiri dari
persepsi interpersonal, konsep diri, atraksi interpersonal, dan hubungan
interpersonal.
a. Persepsi interpersonal berobjekkan manusia. Pada persepsi interpersonal,
seseorang mencoba memahami apa yang tampak pada alat indera orang
32
lain. Namun dalam hal ini, faktor-faktor personal dan karakteristik orang
yang ditanggapi serta hubungan dengan orang tersebut, menyebabkan
persepsi cenderung keliru.
b. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan seseorang tentang dirinya. Ada
dua komponen konsep diri yaitu komponen kognitif (self image) dan
komponen afektif yang disebut harga diri (self esteem). Laksana (2015: 75)
memaparkan bahwa konsep diri yang positif ditandai dengan lima hal,
yaitu meyakini kemampuan mengatasi masalah; merasa setara dengan
orang lain; menerima pujian tanpa rasa malu; menyadari bahwa setiap
orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak
semuanya disetujui masyarakat, dan mampu memperbaiki dirinya sendiri
karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak
disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Konsep diri merupakan faktor yang sangat penting dalam komunikasi antar
pribadi karena setiap orang berusaha berperilaku sesuai dengan konsep
dirinya. Memiliki konsep diri, seseorang akan membuka diri sehingga lebih
terbuka untuk menerima pengalaman dan gagasan baru. Konsep diri yang
kuat akan menjadikan percaya diri dan ringan dalam berinteraksi dengan
orang lain.
c. Atraksi interpersonal, artinya kesukaan kepada orang lain, sikap positif,
dan daya tarik seseorang. Pendapat dan penilaian kita kepada orang lain
bukan semata-mata karena pertimbangan rasional. Misalnya, kita tidak
33
menyukai seseorang, maka kita cenderung melihat segala keburukannya.
Ketika kita menyukai seseorang, kita cenderung menyukai hal-hal
positifnya dan kadang mengabaikan sisi negatifnya.
d. Hubungan interpersonal. Dalam hubungan interpersonal, ada tiga faktor
penting yang memengaruhinya. Pertama, percaya (trust). Seseorang yang
percaya kepada orang lain menganggap bahwa orang tersebut memiliki
kemampuan, pengalaman, dan sifat-sifat yang disukai seperti bisa
diandalkan, jujur, dan konsisten. Kedua, suportif. Suportif artinya sikap
mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Perilaku suportif
ditampilakan seperti evaluasi, kontrol, strategi, netralitas, empati,
persamaan, dan kepastian. Ketiga, sikap terbuka. Sikap terbuka merupakan
lawan dari sikap tertutup atau dogmatis. Orang yang terbuka akan
menerima semua gagasan baru dan tidak kaku mempertahankan atau
membela kepercayaannya.
4. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara individu-individu
yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Budaya tersebut berasal dari
agama, suku, ras, dan golongan yang berbeda. Menurut Ali (2017: 12),
individu-individu yang berbeda budaya tidak harus selalu berasal dari negara
yang berbeda, ras atau suku yang berbeda, tetapi realitas yang ada
memerlihatkan bahwa setiap individu sudah berbeda budaya.
34
Sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh budayanya. Ajaran agama
termasuk di dalam budaya tersebut. Meskipun tidak terlalu ditonjolkan, tetapi
dalam lingkungan sekitar dan budaya yang sama, mereka akan cenderung
memerlihatkan pengaruh ajaran agama tersebut.
Dalam komunikasi antarbudaya, psikobudaya sangat berpengaruh
terhadap efektivitas komunikasi. Sikap-sikap yang muncul di dalam lingkungan
sosial memberikan konsekuensi psikologis pada diri seseorang. Misalnya
stereotip, prasangka, dan etnosentrisme. Sikap tersebut memengaruhi cara kita
menafsirkan rangsangan yang datang lalu membuat kesimpulan atas perilaku
atau keyakinan orang lain. Hal ini yang mendorong pada judgement dan
mengarah kepada perpecahan.
Schram dalam Rakhmat dan Mulyana (1990: 7) memberikan solusi agar
komunikasi antarbudaya dapat berjalan efektif. Pertama, saling menghormati
anggota budaya lain. Kedua, menghormati budaya lain sebagaimana apa
adanya dan bukan seperti yang dikehendaki. Ketiga, menghormati hak anggota
budaya lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Keempat, harus
menyenangi hidup bersama di dalam budaya yang berbeda-beda.
5. Aliran Kebatinan
a. Pengertian Kebatinan
Menurut Hamka dalam Siagian (1993: 41), kebatinan berasal dari
bahasa Arab “batin” yang artinya “yang di dalam”. Sedangkan lawan
katanya adalah “dzahir” yang berarti “yang di luar”. Kata batin dipakai
35
untuk menunjukkan sesuatu yang ada di dalam diri kita yaitu jiwa atau
nafsu. Menurut Hamka, kata kebatinan mungkin terambil dari nama suatu
golongan (pecahan yang mulanya timbul dalam Islam namun kemudian
keluar dari garis aslinya), yakni golongan “batiniah”. Golongan batiniah
merupakan suatu aliran Islam yang mementingkan urusan batin. Mereka
memberi arti Alquran tidak secara harfiah melainkan secara simbolik, begitu
juga terhadap ayat-ayatnya, lain dari yang umum.
Dalam pengertian yang lebih luas, pengembangan kata batin dikenal
sebagai kebatinan atau sebagai olah rasa, yang berarti melatih perasaan-
perasaan atau gerak-gerak hati. Batin yang tangguh memungkinkan orang
untuk tetap tenang dan tidak terganggu apa pun yang terjadi dalam dunia
lahir; tetap sabar dan menunggu saat yang tepat untuk bertindak; batin yang
kokoh membuat orang untuk dapat menerima hidup sebagaimana adanya
dan menyesuaikan diri terhadapnya.
Mulder (1997: 49) menyebut bahwa kebatinan adalah latihan dalam
menyadari dan merasakan, untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk
bertindak, untuk menyelaraskan diri dengan peristiwa-peristiwa kosmis,
untuk mengusahakan agar sesuai dengan Prinsip Ilahi, dan akhirnya
mengusahakan persatuan dengan asal dan tujuannya. Dengan
mengusahakannya manusia dapat menyadari dan mewujudkan Kebenaran
dalam diri sendiri. Dalam nuansa mistik inilah kebatinan mempunyai nuansa
36
keagamaan yang jelas dan lebih merupakan upaya untuk mencapai
kebijaksanaan dan hidup bermoral.
Menekankan kebatinan yang kuat akan membawa pemusatan pada
diri yang kuat pula. Artinya dalam batin seseorang tersebut akan tersimpan
kewajiban moral dan etis, yang membawanya pada perilaku
mengembangkan budi, mencari kebijaksanaan, dan menyadari bahwa di
dunia mempunyai posisinya sendiri-sendiri. Proses tersebut akan
berkembang dalam sikap menghayati, yaitu turut mengalami dan merasakan
sesuatu dalam batin. Seseorang yang menghayati suatu kepercayaan disebut
sebagai penghayat kepercayaan.
Agama merupakan aturan-aturan yang datangnya dari Tuhan,
diturunkan kepada manusia sebagai pedoman hidup agar memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akherat kelak. Agama dianggap sebagai suatu
jalan hidup bagi manusia (way of life) yang menuntun agar hidupnya tidak
kacau. Agama berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam
membina hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia
dan dengan alam yang mengitarinya. Oleh sebab itu, agama pada dasarnya
berfungsi sebagai alat pengatur untuk terwujudnya integritas hidup manusia
dalam hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan alam yang
mengitarinya (Subqi, 2016: 168).
37
Kepercayaan merupakan refleksi atas cara beragama yang tidak
hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga merefleksi dalam
perwujudan-perwujudan tindakan kolektifitas umat.
b. Sifat-sifat Kebatinan
Djojodiguno dalam Siagian (1993: 47-48) menyebutkan bahwa
kebatinan mengandung 5 unsur, yaitu:
1) Sifat batin, merupakan sifat dimana segala pendapat duniawi tidak lebih
berarti daripada urusan kepada Ilahi.
2) Sifat rasa atau pengalaman rohani yang bersifat subyektif. Sifat ini
merupakan kehidupan religius yang timbul dari sebuah pengalaman,
dimana orang-orang kebatinan kemudian melatih diri sebagai manusia
menerima wahyu sendiri, yakni mendengar suara hati.
3) Sifat keaslian. Kebatinan membangkitkan hasrat individu untuk
mengembangkan keaslian yaitu mengutamakan bahasa dan tradisi lokal
untuk melawan pengaruh asing.
4) Hubungan erat antar warga negara, mereka bersatu karena merupakan
satu kelompok. Kesatuan dalam kelompok ini diwujudkan oleh orang-
orang yang mempunyai pandangan hidup yang sama dan diperkuat oleh
pertemuan-pertemuan berkala. Dari hal tersebut mereka memperoleh
kesatuan masing-masing dengan-Nya (Manunggaling Kawula-Gusti).
Faktor akhlak sosial. Kehidupan yang semakin hari menandakan adanya
kemerosotan moral di masyarakat, menimbulkan protes di kalangan kebatinan.
38
Oleh karena itu, orang-orang kebatinan menyuarakan manusia lain untuk kembali
ke “jalan yang benar” melalui laku spiritualnya.
39
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Mulyana (2013: 5),
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat interpretatif (menggunakan
penafsiran) yang melibatkan banyak metode dalam menelaah masalah
penelitiannya. Sebagai sifat data, istilah kualitatif bukan dimaksudkan sebagai
lawan dari istilah kuantitatif. Data kuantitatif muncul justru sebagai instrumen
untuk menafsirkan temuan yang bersifat kuantitatif. Menurutnya, keberadaan
metode kualitatif berkesinambungan dengan kuantitatif dan dapat dikombinasikan,
meskipun salah satu kategori data misalnya data kualitatif lebih dominan daripada
data kuantitatif, atau sebaliknya.
Penelitian ini menempatkan manusia sebagai makhluk yang dinamis dan
mempertimbangkan kehidupan manusia yang selalu berubah, seperti halnya
komunikasi antar individu atau antar kelompok di dalam suatu masyarakat.
Karena itu, menggunakan metode kulaitatif lebih tepat karena metode kualitatif
lebih layak untuk menelaah sikap atau perilaku dalam lingkungan alamiah
ketimbang dalam lingkungan yang artifisial, seperti dalam survei atau eksperimen
(Mulyana, 2013:13).
Penelitian kualitatif relevan digunakan untuk pendekatan studi etnografi
komunikasi dalam meneliti pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta Darma
40
di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan. Metode etnografi
komunikasi berbeda dengan etnografi konvensional. Hal ini diungkapkan oleh
Koeswarno (2008) yaitu pada etnografi komunikasi, fokus perhatiannya adalah
perilaku komunikasi dalam tema kebudayaan tertentu, jadi bukan keseluruhan
perilaku seperti dalam etnografi. Perilaku komunikasi menurut ilmu komunikasi
adalah tindakan atau kegiatan seseorang, kelompok atau khalayak, ketika terlibat
dalam proses komunikasi. Etnografi komunikasi memulai penyelidikan dengan
mengenali perilaku yang khas dan kemudian mengakhirinya dengan penjelasan
pola-pola komunikasi dalam konteks. Perbedaan latar belakang budaya dan sistem
religi atau dalam hal ini adalah penghayat kepercayaan sebagai minoritas dan
masyarakat pemeluk agama sebagai mayoritas akan diteliti pola komunikasinya
kemudian dijabarkan secara dekriptif.
B. Objek Penelitian
Penelitian kualitatif menggunakan bahan realita sosial yang terdiri dari
tiga elemen yaitu tempat (place), pelaku (actor) dan aktivitas (activity). Berkaitan
dengan judul yang telah dikemukakan, penulis akan mengambil para penghayat
kepercayaan Sapta Darma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan
sebagai objek penelitian.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi yang diambil penulis untuk melakukan penelitian adalah Dusun
Legowo, Desa Duren, Kecamatan Bandungan. Di Dusun ini terdapat 5 Kepala
Keluarga (KK) yang merupakan penghayat kepercayaan Sapta Darma. Jumlah
41
keseluruhan penghayat di dusun ini adalah 21 orang. Selain banyaknya penghayat,
corak pemeluk agama mayoritas seperti Islam, Katolik, dan Budha di Dusun
Legowo membuat pola-pola komunikasi diantara mereka semakin penting. Oleh
karena itu, tempat ini menjadi pilihan penulis untuk mengamati pola komunikasi
pengahayat. Selain itu, lokasi ini dipilih karena salah satu penghayat yaitu Edi
Pratikto merupakan ketua Persatuan Sapta Darma (Persada).
D. Sumber dan Jenis Data
Menurut Lofland dan Lofland dalam Moleong (2009:157) sumber data
utama (primer) dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, tindakan, selebihnya
adalah data tambahan (sekunder) seperti dokumen, catatan penelitian, dan lain-
lain.
Dalam penelitian ini, kata-kata dan tindakan dari orang-orang yang diamati
merupakan sumber data utama (primer). Sumber data tersebut di dapat melalui
pengamatan berperanserta (partisipatory observation) yang melibatkan langsung
peneliti untuk melihat, mendengar, dan bertanya. Data utama merupakan hasil dari
proses wawancara dengan penghayat kepercayaan Sapta Darma di Dusun Legowo
Desa Duren Kecamatan Bandungan dan masyarakat sekitar. Instrumen yang
digunakan untuk mendapatkan data adalah catatan tertulis, perekam suara (tapes
recorder), dan kamera.
Selain sumber data utama, dalam penelitian ini menggunakan sumber data
kedua (sekunder). Sumber data sekunder ini merupakan sumber tertulis yang
meliputi buku, majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi dari
42
Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) dan pemerintah desa setempat.
Sementara itu, foto menjadi sumber tambahan lain dalam mendukung
menghasilkan data deskriptif.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan data primer untuk
keperluan penelitian. Pengumpulan data adalah langkah yang amat penting dalam
metode ilmiah, karena pada umumnya data yang dikumpulkan digunakan untuk
menguji hipotesa yang sudah dirumuskan. Dalam penelitian ini, pengumpulan data
akan dilakukan langsung oleh peneliti dalam situasi yang sesungguhnya. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan teknik pengamatan
berperanserta (partisipant observation) dan wawancara mendalam (indepth
interview) yang berhubungan dengan data yang diperlukan. Selain itu,
pengumpulan data akan menggunakan teknik dokumentasi sebagai data
pendukung.
Lewat wawancara yang mendalam dan pengamatan berperanserta yang
intensif peneliti dapat merekam data sealamiah mungkin, dengan melukiskan apa
yang subjek alami, pikirkan, dan rasakan. Dalam Moleong (2009: 186) wawancara
adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara dan terwawancara. Pewawancara merupakan orang yang
mengajukan pertanyaan (interviewer), sedangkan terwawancara adalah orang yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu (interviewee).
43
Menurut Hollan (2001: 48) dalam Mulyana (2013: 15), suatu metode yang
berdasarkan wawancara atau obrolan saja tanpa mengamati perilaku mereka atau
sekedar mengamati perilaku mereka tanpa meminta konfirmasi atas perilaku
mereka bisa menyesatkan. Dalam antropologi, metode semacam ini disebut Robert
LeVine sebagai ‘Etnografi berpusatkan manusia’ (Person-centered ethnography),
yakni upaya antropologis untuk mengembangkan cara-cara menguraikan dan
menganalisis perilaku manusia, pengalaman subjektif, dan proses pikologis yang
mendekati pengalaman yang sebenarnya. Jadi, penelitian akan memfokuskan pada
proses wawancara, namun tetap mengedepakan pengamatan terhadap perilaku
para pengahat.
Selain wawancara mendalam, peneliti juga melakukan pengamatan
berperanserta untuk mendapatkan data dan fakta di lapangan tentang pola
komunikasi penghayat di masyarakat. Dalam melakukan pengamatan
berperanserta, peneliti berpegang pada konsep Spradley. Dalam Endraswara
(2003: 240), Spradley melakukan pengamatan berperanserta dengan tahapan
menyimpan pembicaraan informan, membuat penjelasan berulang, menegaskan
pembicaraan informan, dan tidak menanyakan makna tetapi gunanya. Pengamatan
berpartisipasi dipilih untuk menjalin hubungan dengan informan. Pada saat
penelitian, penulis akan ikut mengikuti kegiatan penghayat Sapta Darma. Peneliti
akan bergabung dalam kegiatan sosial yang dilakukan oleh mereka. Selanjutnya,
berbagai kegiatan spiritual di sanggar akan diamati dari awal sampai akhir.
Dokumentasi berperan dalam proses pengamatan peribadatan di sanggar. Namun
44
pengambilan foro tersebut harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak
mengganggu kekhusyukan dalam beribadah.
Dalam melakukan wawancara, peneliti akan menggunakan bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia digunakan untuk memudahkan
pemahaman yang umum antara peneliti dengan narasumber. Sedangkan bahasa
Jawa digunakan karena ada hal-hal dan ungkapan-ungkapan tertentu yang sulit
diungkap jika tidak menggunakan bahasa tersebut.
Hasil wawancara yang menggunakan bahasa Indonesia selanjutnya
ditranskrip. Adapun yang menggunakan bahasa Jawa dialihbahasakan ke dalam
bahasa Indonesia untuk memudahkan analisis. Namun, istilah-istilah yang
berbahasa Jawa, istilah-istilah yang suit diterjemahkan dan atau bahasa lokal yang
khas tidak akan diterjemahkan, melainkan hanya diberikan padanan katanya saja
(Endraswara, 2003: 241).
F. Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan dan Bikken dalam Moleong (2009: 248) analisis data
kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
kemudian mensintesiskannya, mencari, dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain.
Dalam penelitian ini, penulis akan menerapkan konsep analisis budaya
Geertz yang disebut “model for” dan “model of”. Menurut Banton dalam
45
(Endraswara, 2003: 242) “model for” artinya konsep yang telah ada diterapkan ke
dalam realitas fenomena sosial budaya. Sedangkan “model of” artinya realitas
fenomena sosial budaya ditafsirkan atau dipahami. Penelitian ini akan
menggunakan “model of” untuk menafsirkan dan mengungkap pola komunikasi
dengan melakukan pengamatan berperanserta. Pengamatan berperanserta
(partisipatory observation) adalah suatu metode penelitian dimana peneliti
menyaksikan langsung peristiwa dengan seksama kemudian mencatat atau
merekam gejala apa saja yang terjadi lalu menafsirkan gejala tersebut.
Peneliti melakukan pengamatan dengan informan terhadap sikap, ucapan,
dan tindakan, sehingga terjadi penafsiran intersubjektif. Hasil penafsiran ini
kemudian dihubungkan dengan kerangka teori yang telah dibangun untuk
menemukan pemahaman makna terhadap pola komunikasi dan dampaknya bagi
penghayat maupun masyarakat sekitar.
Data akan disajikan secara deskriptif secara mendalam. Proses analisis
dilakukan seperti yang dijabarkan Seiddel dalam Moleong (2009: 248) yaitu
mencatat data lapangan dan memberi kode agar sumber data dapat ditelusuri;
mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat
ikhtiar, dan membuat indeksnya; berpikir dengan jalan membuat agar kategori
data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-
hubungan, serta membuat temua-temuan umum.
46
G. Pemeriksaan Keabsahan Data
Penelitian ini melakukan triangulasi di antara sumber-sumber data yang
berbeda untuk meningkatkan akurasi. Emzir (2011: 82) menyebut Triangulasi
adalah proses penguatan bukti dari individu-individu yang berbeda, jenis data
dalam deskripsi dan tema-tema dalam penelitian kualitatif. Ia menjelaskan lebih
lanjut bahwa peneliti menguji setiap sumber informasi dan bukti-bukti temuan
untuk mendukung sebuah tema. Hal ini akan mendorong terciptanya penelitian
yang akurat karena informasi berasal dari berbagai sumber informasi, individu,
atau proses. Menggunakan triangulasi, peneliti akan mengembangkan suatu
laporan yang akurat dan kredibel.
Moleong (2006: 330-331) dalam Ibrahim (2015: 124) memaknai
Triangulasi sebagai teknik pemerikasaan keabsahan data penelitian dengan
membandingkan antara sumber, teori, maupun metode atau teknik penelitian. Oleh
karena itu, Moleong membagi teknik pemeriksaan keabsahan data menjadi tiga,
yaitu triangulasi sumber, triangulasi metode, dan triangulasi teori.
Triangulasi sumber adalah salah satu teknik pemeriksaan keabsahan data
dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari masing-masing
narasumber. Triangulasi metode adalah membandingkan data yang dihasilkan
dengan teknik yang berbeda. Misalnya, data hasil observasi dibandingkan dengan
data hasil wawancara, data hasil wawancara dibandingkan dengan data
dokumentasi, membandingkan keadaan seseorang dari berbagai perspektif atau
pendapat orang lain. Triangulasi teori dilakukan dengan cara membandingkan
47
beberapa teori yang terkait secara langsung dengan data penelitian. Menurut
triangulasi teori ini, seorang peneliti berasumsi bahwa jika analisis telah
menguraikan pola, hubungan, dan menyertakan penjelasan yang muncul dari
analisis, maka penting untuk mencari tema atau penjelasan pemabanding atau
penyaring.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi yang diambil penulis untuk melakukan penelitian adalah Dusun
Legowo, Desa Duren, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Provinsi
Jawa tengah. Kecamatan Bandungan berbatasan dengan Kecamatan Sumowono
di sebelah Barat, Kecamatan Bergas dan Kecamatan Bawen di sebelah Timur,
Kabupaten Kendal di sebelah Utara, dan Kecamatan Ambarawa di sebelah
Selatan. Desa Duren terletak di ketinggian 834 m. Jarak tempuh Desa Duren ke
kantor camat adalah 0,50 km sedangkan untuk ke kantor bupati sekitar 21 km.
Mayoritas penduduk Desa Duren berprofesi sebagai petani.
Kecamatan Bandungan dikenal memiliki masyarakat yang multikultur.
Hal demikian tercermin di salah satu dusunnya, yaitu Dusun Legowo.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Semarang Tahun
2016, jumlah penduduk di Dusun Legowo Desa Duren adalah 5.748 jiwa
dengan luas wilayah 3,08 Km. Penduduknya memiliki latar belakang agama
bermacam-macam yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu,
Khonghucu, dan lainnya. Lainnya dalam hal ini merupakan penghayat
kepercayaan Sapta Darma. Penghayat Sapta Darma di dusun Legowo sejumlah
21 orang yang tergabung ke dalam 5 Kepala Keluarga (KK).
49
Gambar 4.1 Peta Administrasi Desa Duren Kecamatan Bandungan
Keragaman di Dusun Legowo membuat pola-pola komunikasi di antara
masyarakatnya menjadi penting. Tempat ini menjadi pilihan yang tepat untuk
penulis dalam mengamati pola komunikasi pengahayat. Selain itu, lokasi ini
dipilih karena salah satu penghayat yaitu Edi Pratikto merupakan ketua
Persatuan Sapta Darma (Persada).
50
2. Aliran Kebatinan Sapta Darma
a. Sejarah Berdirinya Sapta Darma
Sapta Darma merupakan salah satu aliran kebatinan (beberapa
penelitian menyebutnya dengan aliran kerokhanian) yang ada di Indonesia.
Sapta Darma lahir pada tanggal 27 Desember 1952 di Pare, Kediri, Jawa
Timur. Penerima wahyu ajaran ini adalah Hardjosapoero yang bergelar
Panuntun Agung Sri Gutama. Setelah ia wafat pada 16 Desember 1964,
istrinya yaitu Soewartini Martodihardjo yang bergelar Tuntunan Agung Sri
Pawenang, mengambil alih kepemimpinan hingga wafatnya pada 24 Mei
1996. Dalam buku wewarah dan beberapa penelitian, pengikut
Hardjosapoero sering disebut sebagai penghayat kepercayaan Sapta Darma
atau warga Sapta Darma.
Tujuan atau cita-cita dalam intisari ajaran Sapta Darma yaitu
Memayu-hayu Bagya Bawana. Dalam konsepsi ini, manusia diajarkan untuk
membudidayakan budi pekerti luhur dalam hidup agar bahagia di dunia dan
di alam langgeng. Jika ajaran (wewarah) tersebut dilaksanakan, maka
manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup jasmani dan rohani sehingga
dapat memberikan pepadhang kepada seluruh umat.
Sapta Darma telah memiliki badan hukum sejak 17 Maret 1959. Di
dalam Sapta Darma terdapat 3 lembaga utama yaitu Tuntunan, Persatuan
Warga Sapta Darma (Persada), dan Yasra. Tuntunan bertugas mengurusi
urusan rohani, seperti memimpin sujud, membacakan teks suro, dan
51
membina kegiatan di sanggar. Persada berkaitan dengan urusan pemerintah.
Organisasi ini dibentuk pada tanggal 27 Desember 1986 di Yogyakarta.
Segala bentuk komunikasi seperti mengurus adminitrasi penduduk dan
bertukar pikiran dengan pemerintah ditangani oleh Persada. Yayasan Srati
Darma adalah lembaga yang bertugas mengurusi keuangan. Yayasan ini
memiliki tujuan yaitu mengelola kebutuhan operasional Persada. Ada satu
prinsip utama dari warga Sapta Darma yang menjadi bagian dari Yasra,
yakni tidak boleh meminta kepada masyarakat. Pendanaan Persada hanya
berasal dari internal warga Sapta Darma. Orang yang memberikan dana
sering disebut sebagai orang yg darma atau beramal. Barang siapa warga
yang memiliki rejeki lebih, mereka dianjurkan untuk darma ke yayasan.
Warga Sapta Darma meyakini bahwa barang siapa menanam, pasti memetik
buahnya. Darma menjadi penting sebab akan menjadi bekal mereka di alam
langgeng. Darma nantilah yang menolong, bukan orang lain. Keberadaan
darma ini sekaligus menegaskan bahwa di dalam ajaran Sapta Darma antara
jasmani dan rohani harus seimbang.
Kini, jumlah penghayat Sapta Darma mencapai ribuan orang dengan
penghayat terbanyak berada di daerah Jawa Tengah. Kepercayaan Sapta
Darma terus berkembang dan penghayatnya mulai tersebar di seluruh
wilayah Indonesia.
52
b. Sesanti sebagai Semboyan Warga Sapta Darma
Sesanti atau semboyan warga Sapta Darma dalam bahasa Indonesia
berbunyi “Dimana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus
senantiasa bersinar laksana surya.” (Ing ngendi bae, marang sapa bae,
warga Sapta Darma kudu suminar pindha baskara). Sesanti ini bermakna
bahwa setiap warga Sapta Darma berkewajiban untuk selalu siap membantu
siapa saja yang memerlukan bantuan. Mengacu pada salah satu isi wewarah
tujuh, sesanti ini juga menguatkan agar penghayat selalu memiliki sifat adil
dan welas asih kepada siapa pun, tidak boleh membeda-bedakan termasuk
dalam memberi bantuan.
c. Simbol Pribadi Manusia sebagai Identitas Warga Sapta Darma
Pada umumnya, organisasi agama Jawa memiliki lambang atau
simbol. Simbol spiritual tersebut tidak hanya sebagai identitas, tetapi juga
sebagai gambaran wadah etika yang harus ditaati, ketika hendak menuju
sangkan paran. Selain itu, simbol juga berfungsi sebagai simbol kebanggaan
warga penghayat, memiliki khasiat tertentu, dan melukiskan cita-cita luhur.
Endraswara (2015: 125) mengemukakan bahwa ajaran yang berupa
doktrin dan simbol merupakan tuntunan; hidup manusia itu tidak diam,
melainkan bergerak mengitari poros dan menuju ke suatu titik yang
menakjubkan yaitu kemanunggalan. Untuk mencapai titik tersebut yang
diyakini adalah keindahan dan kebahagiaan yang hakiki, penghayat
senantiasa menghayati budi luhur dalam kehidupan sehari-hari.
53
Sapta Darma memiliki simbol berbentuk belah ketupat dengan
dominasi warna hijau. Semua yang tertuang di dalam simbol tersebut
memiliki makna dan fungsi spiritual, khususnya berkaitan dengan Sang
Pencipta dan makhluk-Nya. Di dalam kitab Wewarah Kerokhanian Sapta
Darma, simbol tersebut dihayati sebagai Simbol Pribadi Manusia. Adapun
simbolnya adalah sebagai berikut.
Gambar 4.2 Simbol Pribadi Manusia
Makna dari simbol kerokhanian Sapta Darma, yaitu:
1) Persegi yang berbentuk belah ketupat menggambarkan asal mula
terbentuknya manusia, yaitu: sudut atas artinya sinar Allah, sudut bawah
54
artinya sari-sari bumi, sudut kanan dan sudut kiri artinya perantara
terbentuknya manusia adalah ayah dan ibu.
2) Tepi belah ketupat yang berwarna hijau tua menggambarkan wadah (raga)
manusia.
3) Dasar warna hijau muda (maya), menggambarkan sinar cahaya Allah.
Artinya, di dalam raga manusia terdapat sinar cahaya Allah
4) Segitiga sama sisi (wajikan) yang berwarna putih (pethak) dengan tepi
kuning emas (winengku) menunjukkan asal terjadinya manusia dari tri
tunggal, yaitu sudut atas melambangkan Sinar Cahaya Allah, sudut kanan
bawah melambangkan air sarinya Bapak, sudut kiri bawah melambangkan
air sarinya ibu. Warna kuning emas melambangkan keluhuran, sedangkan
warna putih melambangkan kesucian. Warga Sapta Darma harus
memahami bahwa asal terjadinya manusia dari barang yang bersih atau
suci. Maka dari itu, mereka seharusnya “pulang” kepada Allah dengan
keadaan suci seperti asalnya, melalui jasmani dan rohani (batin) yang
senantiasa bersih.
5) Segitiga sama sisi (wajikan) yang tertutup lingkaran hitam, merah, kuning,
putih membentuk tiga buah segitiga sama sisi. Masing-masing segitiga
mempunyai tiga sudut, sehingga jumlahnya menjadi sembilan sudut. Ini
melambangkan bahwa manusia memiliki sembilan lubang (babahan hawa
sanga) yaitu; mulut ada satu lubang, mata ada dua lubang, hidung ada dua
55
lubang, telinga ada dua lubang, kemaluan ada satu lubang, pembuangan
ada satu lubang.
6) Lingkaran melambangkan keadaan manusia yang selalu berubah-ubah
(anyakra manngilingan). Ketika mati, roh manusia akan kembali kepada
Hyang Maha Kuasa ing Alam Langgeng, sedangkan jasmani akan kembali
kepada asalnya, yaitu sari-sari bumi. Di alam yang kekal manusia akan
mempertangungjawabkan perbuatannya di dunia. Mereka akan kembali ke
asalnya lagi jika ia berbudi luhur.
7) Warna hitam (cemeng) melambangkan nafsu yang keluar dari mulut ketika
manusia berbicara, misalnya kata-kata kotor. Munculnya nafsu ini
disebabkan oleh daya nafsu yang sudah beku. Nafsu hitam dapat hilang dan
menjadi bersih ketika penghayat rajin sujudan dan berbicara baik terhadap
siapa saja.
8) Warna merah (abrit) melambangkan nafsu amarah yang keluar dari telinga
ketika manusia marah. Munculnya nafsu ini karena telinga mendengar atau
pengrasa menemukan hal-hal yang tidak cocok dengan rasa dirinya. Maka
sifat amarahnya keluar dan melampiaskannya kepada siapa saja yang
dikehendaki. Maka manusia harus menghilangkan sifat buruk tersebut
dengan tidak mendengar sesatu yang jelek. Apabila mendengar, tidak usah
dirasakan atau diabaikan saja.
9) Warna kuning (jene) melambangkan nafsu keinginan yang timbul karena
indera penglihatan. Mata dapat ditujukan untuk keinginan melihat hal-hal
56
yang baik atau hal-hal yang tidak baik. Maka manusia harus menuntun
keinginan tadi kepada tujuan yang benar lagi baik.
10) Warna putih (pethak) melambangkan nafsu perbuatan yang suci. Saat
manusia memiliki nafsu ini, maka ia memperoleh sinar Allah, sehingga
nafsunya suci dan bersih. Berdasarkan makna warna-warna tersebut, jika
manusia ingin waskita, maka ia harus bisa berperilaku baik. Mata
digunakan untuk melihat hal-hal yang baik saja, telinga hanya untuk
mendengar kalimat-kalimat yang baik saja, dan mulut hanya untuk
berbicara yang baik-baik saja.
11) Besar kecilnya lingkaran menandakan besar kecilnya empat sifat tadi
yang dimiliki manusia. Maka manusia harus bisa membedakan nafsu
yang baik dan nafsu yang buruk.
12) Lingkaran di tengah-tengah berwarna putih yang ditutup gambar semar,
ini melambangkan lubang ke sepuluh yang tertutup (pudhak sinumpet)
yang letaknya di ubun-ubun. Gambar lingkaran (embun-embunan)
berwarna putih menggambarkan Nur cahaya atau Nur putih. Nur petak
adalah hawa suci (Hyang Maha suci).
13) Gambar semar melambangkan budi luhur. Warga Sapta Darma
diharapkan memiliki bebuden kados Semar.
14) Gambar semar menunjuk, melambangkan bahwa tidak ada sesembahan
yang bisa disembah kecuali Allah.
15) Semar menggenggam, melambangkan bahwa ia telah memiliki keluhuran.
57
16) Lipatan kainnya (kampuh) lima menunjukkan bahwa Semar telah
memiliki dan dapat menjalankan lima sifat Allah: Agung, Rokhim,
Wasesa, Adil, dan Langgeng. Semar memakai kelintingan, suatu tanda
agar orang mendengar. Maka, warga Sapta Darma memiliki kewajiban
agar selalu menjadi pepadhang kepada siapa saja (Darma Pepadahang).
Semar menggenggam pusaka menunjukkan bahwa tutur katanya
(sabdanya) selalu suci (Sabda Waskitha Tunggal).
17) Tulisan dengan huruf jawa: nafsu, budi, pekerti, berisi petuah bahwa
pribadi manusia memiliki nafsu, budi, pekerti (baik dan buruk). Tulisan
Sapta Darma artinya; Sapta artinya tujuh, Darma artinya amal kewajiban
suci. Maka dari itu, warga Sapta Darma wajib menjalankan isi Wewarah
Tujuh seperti yang dikehendaki Hyang Maha Kuasa.
Simbol Pribadi Manusia menggambarkan isi manusia yang perlu
dipahami oleh warga Sapta Darma. Mereka wajib mewujudkan budi pekerti
yang luhur demi tercapainya kesucian diri.
d. Sanggar sebagai Tempat Ibadah Warga Sapta Darma
Sanggar adalah tempat dimana penghayat Sapta Darma melakukan
ibadah. Sanggar dibagi menjadi dua, yaitu Sanggar Candi Busana yang
letaknya di daerah-daerah dan Sanggar Sapta Rengga yang hanya terdapat di
Yogyakarta sebagai pusat peribadatan. Pada dasarnya, kegiatan ibadah
seperti sujudan bisa dilakukan di rumah, namun berdasarkan pengamatan
penulis, penghayat sering melakukannya bersama-sama di sanggar.
58
Dalam acara tertentu seperti peringatan hari kemerdekaan Indonesia
dan turunnya wahyu, kegiatan ibadah biasanya dilakukan bersama-sama di
pusat sanggar setiap daerah secara bergiliran. Untuk melaksanakan ibadah,
warga Sapta Darma menunjuk seorang Tuntunan yang bertugas sebagai
pemimpin dan bertanggungjawab dalam membina kegiatan spiritual
penghayat di sanggar. Waktu untuk melakukan ibadah di sanggar boleh
sewaktu-waktu, tetapi lebih diutamakan bila waktunya ditentukan terlebih
dahulu. Umumnya, ibadah dilakukan pada pukul 19.00 WIB, 23.00 WIB,
dan 01.00 WIB, sesuai kemampuan penghayat.
Gambar 4.3 Sanggar Candi Busana Legowo
59
3. Ajaran Pokok Sapta Darma
a. Wewarah Pitu
Wewarah Pitu yang berarti ‘tujuh ajaran’, merupakan kewajiban dan
pedoman hidup yang harus dijalankan oleh setiap penghayat Sapta Darma.
Wewarah Tujuh tidak boleh dipisah-pisahkan, sebab itu merupakan satu
kesatuan. Berdasarkan Buku Wewarah Sapta Darma, wewarah pitu yang
harus dilaksanakan oleh penghayat dalam kehidupan adalah sebagai berikut:
1) Setia kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil,
Maha Wasesa, Maha Langgeng (Setya Tuhu marang Allah Hyang Maha
Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, lan Maha Langgeng).
Di dalam Sapta Darma, sifat Allah ada 5, yaitu:
a) Allah Hyang Maha Agung, artinya tidak ada yang menyamai
keagungan dan budi Allah. Maka, manusia harus memiliki watak
berbudi kepada sesama umat.
b) Allah Hyang Maha Rokhim, artinya tidak ada yang menyamai belas
kasihan Allah. Maka, manusia harus memiliki watak kasih dan
sayang kepada sesama umat.
c) Allah Hyang Maha Adil, artinya tidak ada yang menyamai keadilan
Allah. Maka, manusia harus bertindak adil kepada siapa saja.
d) Allah Hyang Maha Wasesa, artinya Allah yang berkuasa
menciptakan alam dan seisinya. Maka kita sebagai manusia diberi
60
purbawasesa, yaitu dapat menguasai atau mengendalikan nafsunya,
serta mampu untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya.
e) Allah Hyang Maha Langgeng, artinya Allah memiliki sifat abadi dan
tidak ada yang menyamai-Nya. Maka, manusia yang sehat jasmani
dan rohaninya semua berasal dari Sinar Cahaya Allah.
2) Dengan jujur dan suci hati, harus setia menjalankan perundang-
undangan negaranya (Kanthi jujur lan sucining ati, kudu setya
anindakake angger-angger ing negarane). Segala peraturan maupun
Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah memiliki tujuan yang baik
bagi negara dan warga negaranya. Maka, warga penghayat harus jujur
dan memiliki hati suci dalam mematuhi peraturan tersebut demi
terciptanya Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.
3) Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya nusa
dan bangsanya (Melu cawe-cawe acancut tali wanda njaga adeging
nusa lan bangsane). Warga penghayat tidak boleh bersikap masa bodoh,
melainkan harus turut bergotong royong membantu tenaga, pikiran,
maupun materi menurut kemampuan masing-masing untuk mewujudkan
kemajuan, kenyamanan, dan kesejahteraan bagi nusa bangsa.
4) Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu
balasan, melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih (Tetulung marang
sapa bae yen perlu kanthi ora nduweni pamrih apa bae, kajaba mung
rasa welas lan asih).
61
5) Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri (Wani
urip kanthi kapitayan saka kekuwatane dhewe). Manusia dibekali
dengan akal budi dan segala alat untuk mencukupi hidupnya. Warga
penghayat harus dapat mengguna bekal tersebut untuk memenuhi
kebutuhan hidup, mengupayakannya melalui kekuatan sendiri dan
jangan sampai bergantung kepada orang lain. Selain itu mereka harus
jujur, tidak boleh menginginkan milik orang lain atau membiarkan
nafsunya merugikan orang lain.
6) Sikapnya dalam hidup bermasyarakat atau berhubungan dengan orang
lain harus susila dengan halusnya budi pekerti, selalu menjadi pencerah
dan bermanfaat (memuaskan) bagi orang lain (Tanduke marang warga
bebrayan kudu susila, kanthi alusing budi pakarti tansah agawe
pepadhang lan mareming liyan). Warga penghayat harus bisa
berhubungan (sesrawungan) dengan siapa saja, baik itu laki-laki,
perempuan, tua-muda, kaya-miskin, dan sebagainya. Untuk itu dalam
berinteraksi mereka harus memiliki sifat rendah hati (andhap asor),
halus budi pekertinya, dan membuat lega orang lain.
7) Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah-
ubah (Yakin yen kahanan donya iku ora langgeng, tansah owah gingsir
(anyakra manggilingan)).
62
b. Inti Sari Cita-cita Kerohanian Sapta Darma
Tujuan atau cita-cita dalam inti sari ajaran Sapta Darma yaitu
Memayu-hayu Bagya Bawana. Dalam konsepsi ini, manusia diajarkan untuk
membudidayakan budi pekerti luhur agar dapat mencapai kebahagiaan di
dunia dan alam langgeng. Cita-cita dapat terwujud bila warga penghayat
bisa menerapkan ajaran (wewarah) dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
mereka harus menciptakan kesempurnaan hidup jasmani dan rohani serta
dapat memberi pepadhang kepada seluruh umat.
Inti sari Wewarah Sapta Darma yang ditularkan kepada semua umat
dirangkum sebagai berikut:
1) Menanamkan tebalnya kepercayaan yang menunjukkan bukti-bukti
Allah Maha Tunggal, yang menguasai alam dan seiisinya. Allah
memiliki lima sifat yaitu Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil,
Maha Wasesa, Maha Langgeng. Oleh karena itu, manusia wajib
mengangungkan Asma Allah dan menjalankan perintah-perintahNya.
2) Melatih kesempurnaan sujud, yaitu menyembahnya rohani kepada Allah
Hyang Maha Kuasa untuk mencapai budi luhur dengan cara-cara yang
sederhana dan baik.
3) Mendidik manusia untuk bertindak suci dan jujur, mencapai nafsu putih,
memiliki budi pekerti baik untuk mencapai keluhuran dan keutamaan
sebagai bekal hidup bermasyarakat di dunia dan alam langgeng. Sapta
Darma mendidik warganya agar menjadi “Satriya Utama” yang selalu
63
susila berbudi bawa leksana, pengasih dan penyayang, senang
menolong siapa saja yang membutuhkan. Selain itu juga mendidik agar
warga bisa hidup dengan kekuatannya sendiri, sepi ing pamrih rame ing
gawe dimana, kapan, dan dengan siapa saja. Maka isi Wewarah Tujuh
wajib dipahami, dihayati, dan dilaksanakan.
4) Memberikan pelajaran kepada warganya untuk dapat mengatur
hidupnya. Jasmani dan rohani harus ditata sehingga dapat membagi
waktunya dengan baik. Misalnya waktu siang untuk bekerja demi
mencukupi kebutuhn jasmani, sedangkan waktu malam untuk mecukupi
kebutuhan rohani. Jika keduanya dapat dilaksanakan dengan tertib,
maka luhurnya jasmani dan rohani dapat diraih.
5) Menjalankan Wewarah Tujuh dengan melatih kesempurnaan sujud.
Kesempurnaan sujud dapat diraih bila warga melakukannya dilandasi
ikhlas, sungguh-sungguh, dan penuh rasa halus. Menurut Sapta Darma,
hal ini dapat menjadikan manusia memiliki ketajaman dan kewaspadaan
(waskitha) yang bermacam-macam, seperti waskita dalam penglihatan
(waskitha ing pandulu), waskita dalam pembauan (waskitha ing
pangganda), waskita dalam pendengaran (waskitha ing pamiyarsa),
waskita dalam perasaan (waskitha ing rasa), dan waskita dalam berucap
(waskitha ing pangandika).
6) Menghilangkan kepercayaan terhadap takhayul. Sampai sekarang ini
fenomena tentang takhayul masih dipercaya oleh sebagian masyarakat
64
Indonesia. Hal tersebut dapat menghambat kemajuan bangsa termasuk
hubungan bermasyarakat. Maka dari itu, Sapta Darma hanya
mengajarkan untuk mengagungkan Allah Hyang Maha Tunggal dan
menyadarkan bahwa manusia adalah golongan yang paling luhur di
dunia. Bagi penghayat yang telah melakukan sujud, harus menjalankan
kewajiban Wewarah Tujuh, tidak perlu lagi takut akan hari, bulan,
musim dan waktu-waktu tertentu lainnya untuk melaksanakan
pekerjaannya.
Warga penghayat Sapta Darma yang bersungguh-sungguh
menggapai tujuan dengan menjalankan wewarah yang telah diajarkan, ia
pasti dapat meraih ketenangan pribadi, kebahagiaan di dunia dan alam
langgeng.
4. Ibadah Penghayat Sapta Darma
a. Sujud
Sujud merupakan salah satu bentuk ibadah penghayat Sapta Darma
dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah Hyang Maha Kuasa.
Penghayat Sapta Darma diwajibkan sedikitnya satu kali sehari melakukan
sujud. Apabila lebih dari sekali itu adalah lebih baik. Sujud bisa dilakukan di
sanggar bersama Tuntunan, tetapi bisa juga dilakukan sendiri di rumah.
Pelaksanaannya bisa kapan saja, namun lebih baik jika waktunya ditentukan.
Tata cara melakukan sujud dimulai dengan duduk menghadap ke
Timur. Untuk laki-laki duduk bersila, sementara untuk perempuan duduk
65
bertimpuh. Tangannya bersedekap, yang kiri di dalam dan yang kanan
berada di luar. Selanjutnya menentramkan hati, mata melihat lurus ke depan
kira-kira 1 meter dari tempat duduk. Posisi duduk tegap dengan kepala dan
tulang pinggul segaris lurus.
Setelah duduk dan hati merasa tenteram, akan muncul getaran di
dalam tubuh dari bawah ke atas, kemudian rasa menjalar sampai kepala.
Itulah tanda lidah pating trecep, yang menjadi tanda untuk menutup mata
sambil mengucapkan di dalam batin, “Allah Hyang Maha Agung, Allah
Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil.”
Gambar 4.4 Posisi Duduk Sebelum Sujud
Apabila kepala telah terasa berat, itu adalah tanda bahwa rasa
(getaran) sudah berkumpul semua di kepala. Rasa inilah yang menjadikan
badan tergoyang. Setelah itu kemudian mulai terasa sari-sari air suci yang
ada di tulang ekor. Jalannya sari air merambat sangat halus, naik lewat
66
tulang-tulang, mendorong tubuh untuk membungkuk. Membungkuknya
badan berlangsung terus sampai dahi jatuh menyentuh gelaran. Ketika dahi
menempel di kain mori (siti), penghayat mengucap dalam batin, “Hyang
Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa,” sebanyak tiga kali.
Setelah membungkuk, kepala diangkat pelan-pelan ke atas hingga
duduk tegak lagi seperti sikap awal. Begitu seterusnya sampai membungkuk
yang kedua dan membaca di dalam batin dengan ucapan, “Kesalahane
Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuasa,” sebanyak tiga
kali.
Kepala diangkat lagi seperti proses awal tadi, lalu membungkuk dan
membaca di dalam batin dengan ucapan “Hyang Maha Suci Mertobat
Hyang Maha Kuasa,” sebanyak tiga kali. Kemudian duduk lagi, hati masih
dalam sikap tenang untuk beberapa menit. Akhirnya sujud pun selesai.
Gambar 4.5 Sujud
67
Kalimat yang dibaca saat sujud mengandung makna. Pertama,
kalimat tersebut mengagungkan nama Allah dan sarana mengingat
keagungan Hyang Maha Kuasa. Tidak hanya dibaca dalam batin ketika
memulai sujud, kalimat tersebut juga senantiasa diucapkan sewaktu-waktu
saat warga Sapta Darma memulai pekerjaan. Kedua, kalimat yang diucapkan
dapat menjadikan kesucian yang meresap di dalam pribadi warga penghayat.
Kalimat ini juga merupakan sarana memasrahkan diri, bahwa roh suci dan
segala ada atau tidaknya hanya bergantung pada Hyang Maha Kuasa.
Ketiga, menandakan kepasrahan meminta pengampunan kepada Hyang
Maha Kuasa atas semua kesalahan yang telah dibuat.
b. Hening
Hening (ening) yang disebut juga sebagai semedi adalah kegiatan
menentramkan rasa dan pikiran. Semua carut-marut dalam hati dan angan
dikosongkan, rasa yang dimiliki hanya tertuju kepada Satriya Utama.
Apabila tubuh bergerak namun pikiran tenang (ayem), artinya ia sudah
hening. Sebaliknya, meskipun tubuh tenang tetapi hati campur-aduk, artinya
ia belum bisa disebut hening.
Hening tidak boleh dibuat main-main. Hening hanya boleh dilakukan
untuk tujuan yang luhur. Tujuan luhur yang dimaksud adalah untuk
menerima perintah dari Hyang Maha Kuasa, melihat arwah leluhur yang
sudah meninggal kemudian memintakan pengampunan, melihat roh
penasaran di tempat angker (papan wingit) dan memintakan pengampunan
68
baginya supaya tidak mengganggu manusia, intropeksi diri atas tindakan dan
perkataan yang telah dilakukan serta mengharapnya agar senantiasa baik,
melihat saudara yang jauh apabila ada keperluan yang penting.
c. Tukar Hawa, Olah Rasa, dan Racut
Tukar hawa (ulah hawa) merupakan suatu usaha atau tindakan yang
dilakukan untuk melepaskan atau menghilangkan rasa lelah. Kelelahan yang
dimaksud misalnya sehabis kerja berat, setelah melakukan perjalanan jauh,
dan sebagainya. Cara melakukan tukar hawa diawali dengan berbaring
membujur Timur. Kedua tangan diletakkan lurus di samping tubuh, telapak
tangan menghadap atas. Seluruh tubuh harus dalam keadaan kendor
(sumeleh). Pikiran dan angan-angan dihentikan kegiatannya, sehingga
keadaan tubuh atau pribadi dalam suasana benar-benar tenang. Raga dapat
merasakan pernapasan hingga halus agar dapat mengimbangi keluar atau
masuknya hawa tubuh. Aktivitas ini dilakukan selama sepuluh hingga lima
belas menit, kemudian dihentikan. Selanjutnya adalah mandi dan dianjurkan
mandi dengan menggunakan air panas atau hangat untuk memulihkan tubuh
agar segar kembali.
69
Gambar 4.6 Tukar Hawa
Tukar rasa (ulah rasa) adalah suatu usaha atau tindakan yang
dilakukan untuk mengadakan penelitian tentang jalannya rasa atau getaran
yang ada di seluruh tubuh. Ini dilakukan ketika sujud. Caranya yaitu setelah
selesai sujud wajib menambah satu bungkukan lagi sambil mengucap di
dalam hati, “Njaluk gerake rasa.” Kemudian dilanjutkan dengan berbaring
seperti tata cara melakukan Tukar Hawa. Berbaring membujur ke Timur,
kedua tangan diletakkan lurus di samping tubuh, telapak tangan menghadap
atas. Ketika pernapasan sudah halus, rasakan atau teliti jalannya getaran dari
telapak kaki yang merambat perlahan-lahan dan terasa halus sekali meliputi
seluruh tubuh.
Apabila pakaian yang dikenakan saat Tukar Rasa ketat, penghayat
harus melonggarkannya agar tidak mengganggu jalannya kegiatan. Pikiran
digunakan untuk merasakan atau menyelidiki (intropeksi) jalannya geteran
dari kaki ke seluruh badan, meneliti rasa yang berjalan lewat perangai badan
70
yang paling halus. Selain itu juga merasakan jalannya denyut jantung, keluar
masuknya udara lewat pori-pori. Apabila dilakukan dengan sabar dan teliti
akan diketahui seperti apa jalannya sari-sari, geteran-geteran, dan denyut
jantung. Ulah rasa dapat untuk menciptakan kewaspadaan, panggoda
pangandika, dan rasa.
Racut artinya memisahkan rasa (rohani) dan perasa (jasmani). Saat
racut, jasmani (pikiran, angan-angan, kemauan) akan dibekukan. Sedangkan
rohani akan menghadap Hyang Maha Kuasa untuk mengetahui tempat
berpulang ketika ia ada di alam langgeng. Hal ini mengisyaratkan
“Manungsa kudu bisa mati sajroning urip supaya weruh rupa lan rasane”.
Maksudnya adalah bahwa manusia harus bisa mati ketika masih hidup agar
bisa tahu rupa dan rasa ketika mati nanti. Dengan mengetahuinya, ketika
manusia kembali ke alam dunia, ia dapat menghilangkan nafsu buruk dan
mengamalkan budi yang luhur
Racut dilakukan saat sujud wajib. Setelah selesai satu bungkukan
penghayat mengucapkan dalam batin, “Hyang Maha Suci Sowan Hyang
Maha Kuasa,” kemudian berbaring seperti tukar hawa dan tukar rasa.
Namun, tangan tidak diletakkan di samping badan, melainkan ditumpuk di
dada. Posisi telapak tangan tengkurap, yang kanan ditumpangkan di atas
yang kiri. Pikiran dikosongkan seperti Satriya Utama untuk merasakan
keluarnya Nur Pethak (Hyang Maha Suci) dari embun-embun.
71
Gambar 4.7 Racut
Racut merupakan salah satu ibadah yang sangat sulit, maka dari itu
membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan ketenteraman. Latihan sangat baik
untuk dilakukan setiap ada waktu luang di rumah. Jika sering dipraktekkan,
racut bisa memberikan kewaspadaaan (kewaskitaan) yang tinggi pada diri
seseorang.
B. Pembahasan
1. Pola Komunikasi Memayu Hayuning Pribadi
Memayu Hayuning Pribadi berarti berbuat baik terhadap diri sendiri.
Dalam pandangan penghayat Sapta Darma, berbuat baik terhadap ruh atau jiwa
pribadi wajib dilakukan sebelum berbuat baik terhadap orang lain. Berbagai
aktivitas pendukung Memayu Hayuning Pribadi yang dilakukan adalah hening
(ening), tukar hawa, tukar rasa, dan racut. Semua itu dilakukan bertujuan untuk
72
menentramkan hati dan pikiran, menghilangkan rasa lelah dan carut-marut
dunia, serta menjadikan diri (pribadi) menjadi lebih baik.
Memayu Hayuning Pribadi merupakan salah satu wujud religiusitas
penghayat terhadap ajaran Sapta Darma. Glock dan Stark dalam M. Effendi
dkk (2018: 128) menyebut religiusitas sebagai komitmen religius yang
berhubungan dengan agama atau keyakinan, dan yang dapat dilihat melalui
aktivitas atau perilaku individu berkaitan dengan agama atau keyakinan yang
dianut.
Dalam menanamkan Memayu Hayuning Pribadi, penghayat senantiasa:
a. Meningkatkan keimanan mereka terhadap Allah Maha Tunggal, yang
menguasai alam dan seiisinya. Allah memiliki lima sifat yaitu Maha
Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, Maha Langgeng. Oleh
karena itu, penghayat wajib mengangungkan Asma Allah dan menjalankan
perintah-perintahNya.
b. Melatih kesempurnaan sujud, yaitu menyembahnya rohani kepada Allah
Hyang Maha Kuasa untuk mencapai budi luhur dengan cara-cara yang
sederhana dan baik. Kesempurnaan sujud dapat diraih bila penghayat
melakukannya dilandasi dengan rasa ikhlas, sungguh-sungguh, dan penuh
rasa halus. Menurut ajaran Sapta Darma, apabila hal ini dapat dilakukan,
akan menjadikan pribadi memiliki ketajaman dan kewaspadaan (waskitha),
seperti waskita dalam penglihatan (waskitha ing pandulu), waskita dalam
pembauan (waskitha ing pangganda), waskita dalam pendengaran
73
(waskitha ing pamiyarsa), waskita dalam perasaan (waskitha ing rasa), dan
waskita dalam berucap (waskitha ing pangandika).
c. Mendidik pribadi untuk bertindak suci dan jujur, mencapai nafsu putih,
memiliki budi pekerti baik untuk mencapai keluhuran dan keutamaan
sebagai bekal hidup bermasyarakat di dunia dan alam langgeng. Jiwa harus
selalu diisi dengan susila berbudi bawa leksana, pengasih dan penyayang,
senang menolong siapa saja yang membutuhkan.
d. Selalu berusaha untuk hidup dengan kekuatannya sendiri, sepi ing pamrih
rame ing gawe dimana, kapan, dan dengan siapa saja. Maka isi Wewarah
Tujuh wajib dipahami, dihayati, dan dilaksanakan.
e. Memberikan pelajaran kepada diri sendiri untuk dapat mengatur hidup.
Jasmani dan rohani harus ditata sehingga dapat membagi waktunya dengan
baik. Misalnya waktu siang untuk bekerja demi mencukupi kebutuhn
jasmani, sedangkan waktu malam untuk mecukupi kebutuhan rohani. Jika
keduanya dapat dilaksanakan dengan tertib, maka luhurnya jasmani dan
rohani dapat diraih.
f. Menghilangkan kepercayaan terhadap takhayul. Sampai sekarang ini
fenomena tentang takhayul masih dipercaya oleh sebagian masyarakat
Indonesia. Hal tersebut dapat menghambat kemajuan bangsa termasuk
hubungan bermasyarakat. Maka dari itu, Sapta Darma hanya mengajarkan
untuk mengagungkan Allah Hyang Maha Tunggal dan menyadarkan bahwa
manusia adalah golongan yang paling luhur di dunia.
74
2. Pola Komunikasi Memayu Hayuning Keluarga
Menurut Bungin (2017: 45), keluarga merupakan kelompok formal-
primer yang memiliki hubungan sosial bersifat sangat mendasar, penuh cinta
dan kasih sayang serta persaudaraan yang erat. Bungin menjelaskan bahwa
faktor utama terbentuknya sebuah keluarga adalah terdapat hubungan darah
atau adanya perkawinan di antara dua orang. Keluarga pada umumnya
memiliki hubungan timbal balik yang terjadi secara intensif-fungsional dan
emosional. Intensif-fungsional artinya ukuran bertemunya lebih sering dan
terjadi ikatan saling membutuhkan yang kuat. Sedangkan emosional
menyatakan bahwa ada ikatan saling memiliki di antara satu dengan yang lain.
Di dalam keluarga, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina,
karena itu adalah kunci agar ikatan emosional dan perasaan saling memiliki
selalu terjaga. Meskipun setiap anggota keluarga memiliki cara sendiri-sendiri
untuk berkomunikasi, namun pola komunikasi kolektif yang dibangun di dalam
keluarga adalah penting, sebab itu merupakan penguatan dari nilai-nilai ajaran
kepercayaan yang diyakini.
Kepercayaan dan pola komunikasi keluarga memiliki keterkaitan. Apa
saja yang diajarkan oleh kepercayaan akan disalurkan ke dalam wadah
keluarga. Begitu juga dengan kehidupan sehari-hari di dalam keluarga, itu
merupakan representasi dari ajaran kepercayaan yang mereka anut. Dalam
proses penyampaian nilai-nilai dari ajaran, terdapat pola komunikasi; suami ke
istri, istri ke suami, orang tua ke anak, anak ke orang tua. Namun, pola
75
komunikasi yang digunakan oleh setiap keluarga berbeda, tergantung pola yang
sesuai dengan corak keluarga mereka.
Memayu Hayuning Keluarga merupakan istilah Jawa yang artinya
berbuat baik terhadap keluarga. Hal ini merujuk agar setiap individu senantiasa
menjaga pola komunikasi yang baik diantara anggota keluarga, saling
meyayangi dan mengasihi agar tercipta keharmonisan di dalam rumah tangga.
Menurut pengamatan penulis, pola memayu hayuning keluarga penghayat
kepercayaan Sapta Darma tercermin di dalam tiga hal, yaitu pola pengambilan
keputusan, tata bicara, dan pengajaran di dalam keluarga.
a. Pengambilan Keputusan
De Vito (dalam Ali, 2017: 47) membagi pola komunikasi keluarga
menjadi empat jenis. Pertama, Pola Kesetaraan (The Equality Pattern), yaitu
pola komunikasi yang menekankan pada kesetaraan di antara setiap anggota
keluarga. Di dalam pola ini setiap anggota keluarga sepeti suami, istri, anak,
mertua, memiliki peran yang sama dalam pengungkapan pendapat,
mendengarkan, atau meminta sesuatu. Hal ini dilakukan agar tidak muncul
kecemburuan sosial di dalam keluarga. Pembagian peran tidak selalu sama
dimana mereka dapat bergantian peran.
Kedua, Pola Pemisahan Seimbang (The Balanced Spilt Pattern),
yaitu pola komunikasi yang memberikan peran seimbang pada setiap
anggota keluarganya, namun mereka memiliki porsi pada otoritasnya
masing-masing. Misalnya seorang suami menjalankan perannya sebagai
76
pencari nafkah. Ia bisa saja membelanjakan uangnya untuk kesenangannya.
Namun, ada peran seorang istri yang memiliki otoritas sebagai pengatur
keuangan kelurga. Sang suami harus tetap berada pada porsinya.
Ketiga, Pola Pemisahan tak Seimbang (The Unbalanced Split
Pattern), yaitu pola komunikasi yang memberikan porsi lebih besar terhadap
peran tertentu. Menurut pola ini, salah satu anggota keluarga dianggap
memiliki dominasi atau menguasai hal-hal yang berkaitan dengan keputusan
keluarga.
Keempat, Pola Monopoli (Monopoly Pattern), yaitu pola komunikasi
dimana otoritas berada pada satu orang. Pola ini menganggap bahwa salah
satu anggota keluarga memiliki hak penuh dalam menentukan keputusan
akhir. Selain itu ia juga cenderung menyampaian pesan dengan nada
perintah dan jarang bertanya kepada anggota keluarga yang lain.
Penghayat kepercayaan Sapta Darma di Dusun Legowo biasanya
menerapkan Pola Kesetaraan (The Equality Pattern) di dalam keluarga. Pada
pola ini setiap anggota keluarga sepeti suami, istri, anak, mertua, memiliki
peran yang sama dalam pengungkapan pendapat, mendengarkan atau
meminta sesuatu. Mereka memberi ruang kepada setiap anggota untuk ikut
andil dalam memecahkan masalah. Hal ini dilakukan agar tidak muncul
kecemburuan sosial di dalam keluarga ketika mengambil keputusan.
The equalitarian style of communication ditandai dengan berlakunya
arus penyebaran pesan-pesan verbal baik lisan maupun tulisan yang bersifat
77
dua arah (two-way traffic of communication). Dalam pola komunikasi ini,
tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya, setiap anggota
keluarga dapat mengungkapkan gagasan ataupun pendapat dalam suasana
yang rileks, santai dan informal. Dengan suasana yang demikian,
memungkinkan setiap anggota keluarga mencapai kesepakatan dan
pengertian bersama (Fajrie, 2017: 62).
Dalam konsep Wewarah Tujuh, penerapan nilai-nilai pertama yaitu
Setia kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha
Wasesa, terdapat dalam pola pengambilan keputusan ini. Pola Kesetaraan
(The Equality Pattern) merupakan cerminan dari “Setia tuhu marang Allah
Maha Adil”. Penghayat percaya bahwa tidak ada seorang makhluk pun yang
bisa menyamai keadilan Allah. Mereka harus selalu menyadari bahwa Allah
melihat setiap keadilan yang dilakukan, maka manusia harus terus berusaha
bertindak adil kepada siapa saja
Salah satu penghayat Sapta Darma, Pak Adi Pratikto, bercerita
tentang musyawarah yang dilakukannya bersama anggota keluarga. Ketika
ia akan mendaftarkan anaknya sekolah, ia bertanya terlebih dahulu kepada
anaknya ingin sekolah dimana agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Mengingat pengalaman sekolahnya dulu yang tidak terlalu baik,
Pak Adi memberikan penjelasan tentang perencanaan yang matang berkaitan
tentang pendidikan anak-anaknya.
78
Anak-anak saya masuk SD dan SMP Katolik, SMA Kristiana juga.
Mau saya masukkan ke negeri saya takut. Pengalaman saya di
sekolah negeri tidak terlalu baik. Saya dulu ikut Islam. Istilahnya
yang diajarkan di sekolah tidak sama dengan hati saya. Jadi
bertentangan terus. Maka dari itu mbak, kami musyawarahkan
terlebih dahulu sama anggota keluarga, termasuk anak-anak. Waktu
itu keluarga dan saya sepakat memasukkan anak sekolah ke yayasan.
Kami penghayat kepercayaan, tetapi sekolah menerima. Meskipun di
rumah kepercayaan, tapi di sekolah ikut agama. Administrasi juga
ikut agama. Sekarang anak saya sudah bisa menerima keputusan itu.
Sekarang teman-temannya sudah banyak (wawancara pada 28 Mei
2019, Pak Adi Pratikto).
Pengambilan keputusan yang dilakukan Pak Adi bukan tanpa alasan.
Adanya pengalaman pahit tentang status sebagai penghayat membuat
keluarganya lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan. Sebab, jika salah
dalam melangkah, psikologis anak dapat menjadi tertekan.
Jaman saya sekolah dulu, bisa sekolah saja sudah beruntung. Teman-
teman saya yang lain pada takut sekolah. Karena diajak temannya
ibadah agama, jadi takut pelajaran agama. Banyak teman-teman saya
yang tidak sekolah. Istri saya pun demikian. Mau melanjutkan
sekolah takut (wawancara pada 28 Mei 2019, Pak Adi Pratikto).
b. Tata Bicara (ways of speaking)
Dalam pengambilan keputusan dan hal-hal yang berkaitan dengan
masalah keluarga, komunikasi yang diterapkan penghayat kental dengan
budaya Jawa. Hal ini disebabkan oleh pengaruh budaya Jawa dalam ajaran
Sapta Darma, seperti Penuntun Agung yang merupakan orang Jawa dan
bahasa dalam kitab-kitabnya yang menggunakan bahasa Jawa. Selebihnya
adalah pengaruh lingkungan tempat tinggal mereka yakni berada di Jawa
79
Tengah. Salah satu ciri khas budaya Jawa dapat terlihat dalam tata cara
bicara (ways of speaking) mereka.
Ketika berbicara dengan anggota keluarga, penghayat Sapta Darma
lebih menekankan pada intonasi yang rendah dan dengan bahasa yang halus.
Hierarki penggunaan bahasa Jawa digunakan, seperti Krama Alus, Krama
Inggil, dan Ngoko. Saat berbicara dengan istrinya, Pak Adi menggunakan
suara yang lemah lembut disertai bahasa Krama Alus. Hal ini dilakukan
sebagai bentuk penghormatan kepada istrinya sekaligus basakke anak-anak
mereka. Penggunaan unggah-ungguh bahasa ini juga merupakan aktivitas
penerapan salah satu Simbol Pribadi Manusia, yaitu mencapai nafsu putih.
Saat manusia memiliki nafsu ini, maka ia memperoleh sinar Allah, sehingga
nafsunya suci dan bersih. Mata digunakan untuk melihat hal-hal yang baik
saja, telinga hanya untuk mendengar kalimat-kalimat yang baik saja, dan
mulut hanya untuk berbicara yang baik-baik saja.
Berbeda ketika dengan istrinya, saat berbicara dengan anak-anaknya
Pak Adi sering menggunkan bahasa Ngoko Alus. Ia akan menggunakan kata
“dek” untuk memanggil ketiga anaknya dan kata-kata lain seperti “mriki,
mboten pareng, enggih” dalam berbicara sehari-hari. Sementara itu, ketiga
anak Pak Adi menggunakan bahasa Kromo bercampur dengan Ngoko alus
ketika berbicara dengan orang tuanya. Mereka menggunakan kata-kata
seperti mundhut, mendhet, dan maem di dalam keseharian mereka.
80
Dalam tradisi budaya Jawa, Ngoko alus digunakan oleh seorang
yang lebih tua saat berbicara dengan orang yang lebih muda. Ini dianggap
sebagai pembatas antara kedudukan sesorang yang dihormati dan seseorang
yang berkewajiban menghormati. Apabila tidak dipraktekkan, sanksi sosial
seperti digunjingkan akan diberikan oleh masyarakat sekitar. Tata cara
bicara ini menjadi penanda bahwa unggah-ungguh berbicara merupakan
salah satu pengukur nilai kesopanan masyarakat Jawa.
Selain menggunakan bahasa Jawa Kromo dan Ngoko, Pak Adi dan
warga penghayat Sapta Darma terkadang menggunakan bahasa Indonesia
untuk berkomunikasi anggota keluarganya. Bahasa Indonesia dianggap lebih
mudah untuk memaknai kata-kata yang rumit dalam Bahasa Jawa. Hal
demikian juga diterapkan di dalam lingkungan Persatuan Warga Sapta
Darma (Persada). Penghayat lebih sering berbicara menggunakan perantara
bahasa nasional untuk menjelaskan tentang Sapta Darma kepada anggota
atau orang lain (tamu). Bahasa yang baik ketika berbicara akan membawa
pribadi penghayat kepada kebijaksanaan dalam berucap (waskitha ing
pangandika).
Keluarga di Jawa modern berbeda dengan keluarga tradisional yang
ada dulu. Hierarki penggunaan bahasa Jawa sekarang tidak sekuat dulu.
Anak-anak lebih memilih bahasa yang mudah dan “lebih dekat” untuk
berkomunikasi dengan orang tua mereka. Bila dulu aturan untuk menyapa
orang yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa Tinggi (krama), sekarang
81
ada kecenderungan untuk menggunakan bahasa Jawa Rendah (ngoko) atau
terkadang bicara menggunakan bahasa Indonesia. Anak-anak penghayat di
Dusun Legowo cenderung berbicara dengan ngoko alus ketika berbicara
dengan orang tua mereka. Terkadang mereka juga menggunakan bahasa
Indonesia sebagai pengantar yang lebih umum. Hal demikian juga dilakukan
oleh para orang tua. Penggunaan ngoko kepada anak-anak mereka sesuai
dengan harapan yaitu ingin membuang posisi mereka dulu yang terkesan
“kaku”. Mereka juga ingin menjadi lebih dekat dengan anggota keluarga
yang lain, untuk berbagi keakraban dan kehangatan dengan mereka (Mulder,
1997: 240).
Ketika berbicara di lingkungan keluarga maupun masyarakat, warga
penghayat memiliki tutur kata yang halus, jarang keluar kata-kata “kasar”.
Ini merupakan aplikasi dari Simbol Pribadi Manusia yaitu warna hitam
(cemeng) yang berada di dalam gambar belah ketupat. Warna ini
melambangkan nafsu yang keluar dari mulut ketika manusia berbicara,
misalnya kata-kata kotor. Sehingga ketika berkomunikasi secara verbal
(langsung), mereka menghindari kata-kata kasar dan kotor. Munculnya
nafsu hitam ini disebabkan oleh daya nafsu yang sudah beku. Nafsu hitam
dapat hilang dan menjadi bersih ketika penghayat rajin sujudan dan
berbicara baik terhadap siapa saja.
Tata cara bicara (ways of speaking) penghayat di dalam keluarga
memperlihatkan bagaimana penanaman pendidikan karakter dari ajaran
82
kepercayaan yang mereka hayati. Di dalam inti sari ajaran Sapta Darma
yaitu Memayu-hayu Bagya Bawana, manusia diajarkan untuk
membudidayakan budi pekerti luhur agar dapat mencapai kebahagiaan di
dunia dan alam langgeng. Orang tua mendidik anaknya untuk bertindak suci
dan jujur, mencapai nafsu putih, memiliki budi pekerti baik untuk mencapai
keluhuran dan keutamaan sebagai bekal hidup bermasyarakat di dunia dan
alam langgeng. Mereka juga mendidik anaknya agar menjadi “Satriya
Utama” yang selalu susila berbudi bawa leksana, pengasih dan penyayang,
senang menolong siapa saja yang membutuhkan. Selain itu orang tua
mendidik agar anak-anaknya kelak bisa hidup dengan kekuatannya sendiri,
sepi ing pamrih rame ing gawe dimana, kapan, dan dengan siapa saja.
Hierarki bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi di dalam
keluarga, menyiratkan bahwa orang tua mendidik anaknya menjadi
penghayat yang memiliki unggah-ungguh. Segala aspek unggah-ungguh
(sopan santun) dibagi menjadi dua. Pertama, komunikasi verbal yang
diwujudkan dengan tata cara berbicara seperti penggunaan bahasa Kromo
orang tua ke anak atau sebaliknya. Tujuannya adalah untuk membuat lawan
bicara agar senang dan merasa dihormati. Kedua, komunikasi non verbal
yang diwujudkan dalam tata cara anak atau orang tua memperlakukan orang
lain. Hal ini dapat menjadi cerminan sifat dan perilaku individu (Ali, 2017:
191).
83
c. Pengajaran di Dalam Keluarga
Pada komunikasi non verbal, keluarga penghayat kepercayaan Sapta
Darma cenderung bersikap apa-adanya dan terbuka. Ketika ada tamu yang
datang ke rumah mereka, segera disambut dengan senyuman dan di
pinarakke masuk ke dalam rumah. Orang tua menyuruh anaknya untuk
mencium tangan tamu atau menyapa seperti kebiasaan mereka. Ketika ada
tamu seorang Muslim yang datang ke rumah Pak Adi pada bulan Ramadhan,
ia mempersilakan masuk dan duduk di ruang tamu. Ia berbicara dengan
sedikit candaan dalam bahasa Jawa. “Sak jane nggih kulo kepingin nyuguhi
unjukan, mbak. Nanging mergi niki nembe siam, dadose kulo damelke
unjugan benjing nak sampun rampung sasi menika. Benjing mriki maleh,
ngunjuk kalih kulo (Sebenarnya saya ya ingin menyuguhi minuman, mbak.
Tapi karena sedang puasa, jadi saya buatkan minumannya kalau sudah
selesai bulan puasa ini. Besok kesini lagi untuk minum sama saya),” kata
Pak Adi.
Tata krama yang dipraktekkan keluarga penghayat Sapta Darma
tidak lepas dari ajaran yang mereka jalankan. Setiap hari, keluarga
penghayat melakukan sembahyang di sanggar untuk mengolah rasa dan raga
mereka agar menjadi (waskitha). Kewaskitaanan yang diharapkan seperti;
waskita dalam penglihatan (waskitha ing pandulu), waskita dalam
pembauan (waskitha ing pangganda), waskita dalam pendengaran (waskitha
ing pamiyarsa), waskita dalam perasaan (waskitha ing rasa), dan waskita
84
dalam berucap (waskitha ing pangandika). Semua hal tersebut melatih diri
menjadi seseorang yang memiliki tata krama, baik kepada Tuhannya,
maupun kepada sesama makhluk.
Setiap mau berangkat sekolah, anak-anak saya ajari doa agar diberi
kemudahan, kelancaran. Anak sekarang kan mudah terpengaruh ya,
mbak, makanya dikandani berbuat yang baik-baik. Di Sapta Darma
diwajibkan sujudan minimal 1 kali sehari. Saya ajarkan ke mereka,
Diusahakan kalau longgar pas malem sujud. Kan ada tempat sendiri
di rumah. Baru kalau ada waktu kita bersama-sama ke sanggar
(wawancara pada 2 Agustus 2019, Ibu Sulikah).
Selain diajarkan oleh orang tua di rumah, pengajaran juga diberikan
oleh penyuluh (guru) kebatinan di sekolah. Terdapat 5 aspek materi umum
yang diberikan, yaitu sejarah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
budi pekerti, Keagungan Tuhan, martabat spiritual, dan larangan serta
kewajiban seorang penghayat (wawancara pada 2 Agustus 2019, Tasminto).
Hal tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap sikap anak di dalam
keluarga. Ia akan menjadi tahu tentang ajaran yang dianutnya, memiliki
wawasan tentang spiritualnya, dan menjadi lebih percaya diri terhadap
kepercayaanya. Pengalaman traumatik penghayat dulu yakni ketika sekolah
harus mengikuti salah satu agama, menyisakan ketakutan untuk bersekolah
kepada sesamanya. Hal ini diharapkan tidak terulang, sebab nilai-nilai ajaran
akan sulit meresap ke dalam perilaku anak di dalam keluarga dan
bermasyarakat.
Terus terang pas sekolah masih ikut agama. Perasaannya ngambang,
kayak ikut ini dan ikut itu, belum pakem. Soalnya waktu ikut agama
85
harus ikut ibadah agama itu. Saya dulu harus sekolah Minggu dan
ikut doa-doanya, tapi sekarang anak saya lebih baik daripada ibunya.
Di sekolah gak harus ikut agama lagi. Di rumah juga saya ajarkan, di
kasih tahu tata caranya sujud. Saya juga sering bilang kalau
mengajari itu, “Kan di buku wewarah udah ada tata caranya”.
Sekarang udah bersyukur, ada pengikutnya banyak (wawancara pada
2 Agustus 2019, Mbak Sri Utami).
3. Pola Komunikasi Memayu Hayuning Bawana
Komunikasi menjadi sarana penting bagi penghayat kepercayaan Sapta
Darma ketika melakukan interaksi sosial dengan masyarakat di tempat tinggal
mereka. Terlebih lingkungan penghayat adalah mayoritas warga beragama
Islam. Perbedaan budaya yaitu kepercayaan di lingkungan tersebut, sangat
mempengaruhi bagaimana penghayat melihat diri mereka sendiri dan orang
lain. Bagaimana mereka bersikap terhadap masyarakat tersebut dapat
ditafsirkan sebagai nilai-nilai yang mereka pahami terhadap ajaran yang
diyakini.
Memayu Hayuning Bawana merupakan pola penghayat di dalam
kehidupan bermasyarakat. Konsepsi Jawa ini memiliki arti bahwa setiap
manusia harus berbuat baik terhadap seluruh manusia dan dunia. Memayu
Hayuning Bawana selaras dengan isi wewarah Sapta Darma, yang berbunyi
tanduke marang warga bebrayan kudu susila, kanthi alusing budi pakarti
tansah agawe pepadhang lan mareming liyan (Sikapnya dalam hidup
bermasyarakat atau berhubungan dengan orang lain harus susila dengan
halusnya budi pekerti, selalu menjadi pencerah dan bermanfaat atau
86
memuaskan bagi orang lain). Warga penghayat harus bisa berhubungan
(sesrawungan) dengan siapa saja, baik itu laki-laki, perempuan, tua-muda,
kaya-miskin, dan sebagainya. Untuk itu dalam berinteraksi mereka harus
memiliki sifat rendah hati (andhap asor), halus budi pekertinya, dan membuat
marem orang lain.
Penerimaan masyarakat terhadap keberadaan Sapta Darma tidak
langsung baik, melainkan dibentuk oleh proses sosial yang lama. Maka dari itu,
konsep Memayu Hayuning Bawana yang dijalankan oleh penghayat dapat
dilihat penerapannya dari sejarah masuk ajaran Sapta Darma di Dusun Legowo
sampai keberadaan penghayat sekarang di dusun tersebut.
a. Proses Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
Proses Pengungkapan Diri (Self Disclosure) adalah proses
pengungkapan informasi diri pribadi seseorang kepada orang lain atau
sebaliknya. Pengungkapan diri merupakan kebutuhan seseorang sebagai
jalan keluar atas tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Proses
pengungkapan diri terdiri dari dua bentuk; pertama, dilakukan secara
tertutup, yaitu ketika seseorang mengungkapkan informasi kepada orang
lain dengan cara sembunyi-sembunyi. Kedua, dilakukan secara tertutup
yaitu ketika seseorang mengungkapkan informasi dirinya secara terbuka
(Bungin, 2017: 267-268).
Proses pengungkapan diri penghayat Sapta Darma melalui proses
tertutup dan terbuka. Pola komunikasi yang mereka gunakan tidak serta
87
merta langsung jadi. Ia dibangun oleh pondasi yang kokoh dengan proses
yang lama. Membentuk pola komunikasi yang baik di masyarakat harus
melalui “penanaman” pemahaman tentang dunia penghayat dari berbagai
subjek kehidupan lebih dulu. Seperti halnya tanaman agar dapat tumbuh
subur, pemahaman tersebut didapatkan karena diberi “pupuk” yaitu
membentuk kepercayaan di masyarakat.
Jalan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat terhadap
keberadaan penghayat Sapta Darma tidak mudah. Meski awal mula ajaran
masuk ke Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan tidak dapat
dijelaskan dengan pasti, namun pada tahun 1970 keberadaan penghayat
sempat dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kalau dulu pas jaman bapak saya, masih sulit diterima. Sempat
ramai juga. Orang-orang Sapta Darma dianggap Partai Komunis
Indonesia (PKI). Pada tahun antara 1975 dan 1976, intinya sebelum
tahun 1980, warga kami sempat dilaporkan. Pimpinan-pimpinan
Sapta Darma disini dipanggil ke polisi, ditahan selama 3 hari.
Kemudian kita mengadakan pertemuan. Seperti Islam mengadakan
pengajian, Kristen kebaktian, kita melakukan sanggaran lalu
digeruduk sama orang-orang kampung sini. Sebenarnya saat kejadian
itu penghayat Sapta Darma sudah lama tinggal di kampung ini dan
banyak juga penghayatnya. Mungkin karena masyarakat merasa ‘kok
ibadahnya seperti ini’ (wawancara pada 28 Mei 2019, Pak Adi
Pratikto).
Pada masa Orde Baru masyarakat sekitar Desa Duren mayoritas
muslim. Keberadaan penghayat masih belum diakui. Permasalahan digrebek
seperti yang diungkapkan oleh Pak Adi Pratikto tadi selesai, namun
permasalahan tidak berhenti disitu. Diskriminasi semakin kental sampai
88
tahun delapan puluhan. Dari Pak Adi Pratikto berumur 3 tahun hingga ia
lulus SD permasalahan tersebut masih tetap ada. Masyarakat masih belum
menerima. Berangkat dari kesadaran itulah penghayat sedikit demi sedikit
mulai ikut kegiatan di masyarakat seperti Karang Taruna. Lewat jalur-jalur
seperti itu masyarakat mulai lunak, menyadari, mengenal, dan menerima
Sapta Darma.
b. Social Penetration
Penetrasi sosial (Social Penetration) adalah proses dimana orang
saling mengenal satu sama lain. Kepercayaan masyarakat yang mulai
terbentuk berasal dari keterbukaan warga penghayat dan sikap toleran warga
sekitar tempat tinggal mereka. Penghayat menyadari bahwa komunikasi
terbuka akan memungkinkan mereka “masuk” dalam lingkaran pertemanan.
Sikap tersebut menjadikan penghayat dan masyarakat mengenal satu sama
lain. Warga penghayat kemudian aktif di berbagai kegiatan di masyarakat
mulai dari tingkat dusun hingga desa. Selain itu mereka juga terjun di dalam
organisasi-organisasi lintas agama dan lembaga swadaya masyarakat.
Saya beranjak dewasa ikut aktif berbagai kegiatan dusun bahkan
desa seperti pengurus RW dan BPD. Semenjak itu kami mulai
diterima. Intinya perjuangannya panjang dan tidak mudah. Di luar itu
jejaring kami luas seperti ikut KUB lintas agama. Kita
mendewasakan diri. Istilahnya kita berbeda tetapi tetap satu. Kita
yakinkan masyarakat bahwa kami tidak jelek (wawancara pada 28
Mei 2019, Pak Adi Pratikto).
89
Setelah mengalami masa-masa sulit di masa Orde Baru, memasuki
tahun 2000 keberadaan penghayat di Dusun Legowo mulai membaik seiring
dengan kepercayaan sosial yang tumbuh di masyarakat. Berbagai peristiwa
menandai munculnya toleransi terhadap keberadaan penghayat di
lingkungan tersebut. Salah satu peristiwa yang menjadi tonggak
“diterimanya” penghayat adalah meninggalnya seorang penghayat Sapta
Darma di Dusun Legowo pada awal sekitar tahun 1990.
Masyarakat sekarang menerima. Diterimanya sejak ada warga yang
meninggal. Pertama kalinya mau dikuburkan dimana? Tata cara
perawatan jenazahnya bagaimana? Ini bukan Islam, juga bukan
Nasrani, tetapi penghayat kepercayaan. Sempat ramai itu. Ada yang
namanya Pak Modin. Kami bertanya, “Pak ini bagaimana? Ini ada
yang meninggal warga kami”. Pak modin menjawab, “Lha di Sapta
Darma wes ono tata carane opo durung?’. Kami menjawab,
“Sampun”. Beliau menjawab, “Ya kalau sudah silakan di rumati,
nanti warga membantu.” Setelah Pak Modin bilang gitu kita rumati
sesuai tata cara kita. Sejak saat itu warga menjadi tahu secara
langsung tata cara pemakaman kami dan kami mulai diterima
(wawancara pada 28 Mei 2019, Pak Adi Pratikto).
Kepercayaan masyarakat yang telah diperoleh, membuat penghayat
lebih terbuka dan percaya diri dalam bersosialisasi. Warga Sapta Darma
aktif dalam kegiatan gotong royong di lingkungan mereka, menjadi
pengurus Badan Permusyawaratan Desa (BPD), panitia kegiatan-kegiatan
akbar di Desa, anggota berbagai komunitas lintas agama, dan sebagainya.
Mereka selalu menampilkan diri sebagai versi terbaik seorang penghayat
sesuai ajaran yang mereka hayati. Menjadi versi terbaik dalam
bermasyarakat merupakan pengamalan dari Wewarah Pitu yaitu tanduke
90
marang warga bebrayan kudu susila, kanthi alusing budi pakarti tansah
agawe pepadhang lan mareming liyan (sikap dalam hidup bermasyarakat
atau berhubungan dengan orang lain harus susila dengan halusnya budi
pekerti, selalu menjadi pencerah dan bermanfaat (memuaskan) bagi orang
lain). Menurut ajaran ini, warga penghayat harus bisa berhubungan
(sesrawungan) dengan siapa saja, baik itu laki-laki, perempuan, tua-muda,
kaya-miskin, dan sebagainya. Untuk itu dalam berinteraksi mereka harus
memiliki sifat rendah hati (andhap asor), halus budi pekertinya, dan
membuat lega orang lain.
Wewarah nomor enam itu enggak mudah. Tingkah laku kita kepada
masyarakat dan terutama pada keluarga harus baik. Tingkah laku dan
kata-kata harus sesuai dengan ajaran. Tidak boleh pandang bulu.
Istilahnya bikin marem orang lain. Gak boleh nyela orang lain. Kalo
nyela orang lain sama aja dengan nyela diri sendiri. Dari ajaran yang
sulit itu pengamalannya. Pertama, cara manembah. Bagaimana kita
sama Allah itu menyatu dalam lahir dan batin. Istilahnya satu
perkataan, satu perwujudan; satu perwujudan, satu pengamalan; satu
pengamalan, satu pelaksanaan. Kedua, sama masyarakat itu harus
benar-benar seimbang (wawancara pada 2 Agustus 2019, Pak Hari
Suyitno).
Ikut aktif dalam berbagai kegiatan di masyarakat dan pemerintahan
juga membuktikan bahwa penghayat selalu melu cawe-cawe acancut tali
wanda njaga adeging nusa lan bangsane (turut serta menyingsingkan
lengan baju, menegakkan berdirinya nusa dan bangsanya). Warga penghayat
tidak menganggap dirinya berbeda di tengah pemeluk agama mayoritas,
melainkan selalu meyakini bahwa mereka adalah satu kesatuan nusa dan
91
bangsa. Mereka tidak bersikap masa bodoh dengan lingkungannya,
melainkan turut gotong royong membantu tenaga, pikiran, maupun materi
menurut kemampuan masing-masing untuk mewujudkan kemajuan dan
kesejahteraan bagi nusa bangsa.
c. Process View
Dalam proses ini, kualitas dan sifat hubungan dapat diperkirakan
hanya dengan menggunakan atribut masing-masing sebagai individu.
Misalnya seorang penghayat melakukan ibadah di sanggar setiap malam
hari, tetangga sudah tahu bahwa itulah waktu mereka beribadah. Apabila
masyarakat melihat posisi sedekap dan duduk timpuh dalam waktu lama,
mereka sudah tahu bahwa itulah tata cara ritual peribadatan penghayat Sapta
Darma.
Kalau puasa Ramadhan kita gak puasa, masyarakat sudah tahu.
Kalau lebaran kami ikut lebaran, ada toples juga. Solanya itu ajang
silaturahmi, ajang berkumpul. Sebaliknya kalau Suro mereka pada
datang. Pengajian dan tahlilan kalau diundang datang. Tapi datang
duduk, mendengarkan. Kami gak ikut tahlilannya, yang penting
memenuhi undangan. Kalo ada acara di kami juga berdoa secara
Sapta Darma, masyarakat diundang ya datang. Itu sudah berjalan di
masyarakat (wawancara pada 2 Agustus, Mas Tasminto).
d. Social Exchange
Proses ini menjelaskan bagaimana kontribusi seseorang dalam suatu
hubungan, dimana hubungan itu mempengaruhi kontribusi orang lain.
Ukuran kontribusi dikaitkan dengan ganjaran dan upaya untung-rugi dalam
suatu hubungan. Namun, asumsi ini tidak berarti bahwa orang selalu
92
berusaha untuk mengeksploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih
lingkungan dan hubungan yang dapat memeberi hasil yang diinginkannya.
Hubungan yang dilakukan penghayat dengan masyarakat
menggambarkan social exchange, yang di dalamnya terdapat proses sosial
asosiatif dan disosiatif. Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2002: 71-104)
menjelaskan bahwa proses asosiatif adalah sebuah proses yang terjadi saling
pengertian dan kerja sama timbal balik antara orang atau kelompok satu
dengan yang lainnya dimana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan-
tujuan bersama. Proses asosiatif meliputi kerja sama (cooperation) dan
akomodasi (accomodation).
Kerja sama merupakan usaha bersama antara antara individu atau
kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Proses
terjadinya kerja sama adalah apabila di antara individu atau kelompok
tertentu menyadari adanya kepentingan dan ancaman yang sama.
Kepentingan menjadikan tujuan bersama dapat dicapai, sedangkan ancaman
akan menjadikan kerja sama bertambah kuat. Memayu Hayuning Bawana
ditunjukkan dengan berikap susila dengan menjalin hubungan yang
bermanfaat antara satu dengan yang lain.
Beberapa bentuk kerja sama yang dilakukan oleh penghayat Sapta
Darma di Dusun Legowo adalah gotong royong dan kerja bakti. Gillin dan
Gillin menyebut gotong royong adalah sebuah proses kerja sama di
masyarakat pedesaan, dimana proses ini menghasilkan aktivitas tolong
93
menolong dan pertukaran tenaga serta barang maupun pertukaran emosional
dalam bentuk timbal balik di antara mereka. Ketika keluarga penghayat
meninggal, masyarakat sekitar datang membantu dengan menyumbangkan
tenaga atau membawa beras (nyumbang). Meski prosesi pemakaman Sapta
Darma berbeda dengan prosesi keagamaan lain, namun masyarakat
menerimanya dan tetap membantu. Hal itu menyiratkan sebuah pengakuan
emosi kolektif di antara mereka sebagai sebuah anggota masyarakat desa
yang hidup bertetangga.
Beberapa bentuk kerja sama lainnya yaitu kerja bakti. Ini merupakan
kegiatan yang mirip dengan gotong royong, namun kerja bakti terjadi pada
proyek publik atau program-program pemerintah. Penghayat Sapta Darma di
Dusun Legowo selalu terlibat dalam pembangunan desa mereka, misalnya
kerja bakti membangun jalan rabat beton dan pembangunan masjid. Mereka
saling membantu menyumbangkan tenaga, barang, bahkan makanan.
Sudah biasa sama mereka. Kalau pas kerja bakti ya kita sama-sama.
Disana kan ada masjid, sampingnya ada sanggar. Mriki tidak saling
menganggu, soale awit riyin turun temurun mpun ngoten. Teko
damai, mbak. Mungkin nak mereka pendatang mboten angsal
(wawancara pada 3 Agustus, Ibu Ngatirah)
Saat ada kegiatan keagamaan di dusun maupun di desa, warga Sapta
Darma turut membantu. Sumbangan tenaga dan barang sering dilakukan
agar terjadi keharmonisan di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun dalam
pelaksanaanya, tidak semua kegiatan diikuti. Tetap ada batasan yang telah
94
disepakati bersama oleh warga penghayat, pemeluk agama Islam, pemeluk
agama Katolik, dan pemeluk agama Kristen di wilayah tersebut. Batasan
tersebut telah dirapatkan di tingkat dusun. Apabila ada kegiatan di tingkat
intern agama, pemeluk yang lain tidak ikut. Tapi kalau itu menyangkut
kegiatan dusun misalnya kas desa seperti nyadran, semua ikut. Pada acara-
acara umum di dusun seperti kerja bakti, nyadran, Halal Bihalal, doanya
menggunakan secara Islam dan secara Sapta Darma.
Kalau Bodho Suro itu acaranya ramai-ramai.. Ada pentas seni,
membacakan teks suro. Pas suro di tingkat kabupaten seluruhnya di
undang. Tempatnya sama. Kalau di tingkat kecamatan, tempatnya
bergilir. Pejabat dihadirkan. Misal di Dusun Legowo, kita
mengundang Polsek dan dari kecamatan. Di desa ngundang
magersari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama yg ada
disini. Sekalian silaturahmi dan memperkenalkan. Jadi kita undang
mereka dua kali waktu suro di sini. Kalo ngundang tamu pemerintah
ada pertunjukan karawitan atau pentas seni, mbak. Semenjak itu,
toleransi semakin erat. Udah tahu semua sekarang (wawancara pada
2 Agustus 2019, Pak Hari Suyitno).
Selain kerja sama, bentuk proses asosiatif adalah akomodasi
(accomodation). Akomodasi merupakan proses sosial dengan dua makna,
pertama adalah proses sosial yang menunjukkan pada suatu keadaan yang
seimbang (equilibrium) dalam interaksi sosial antara individu dan
antarkelompok di dalam masyarakat, terutama yang ada hubungannya
dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat
tersebut. Kedua adalah menunjukkan pada proses sosial yang sedang
berlangsung, dimana accomodation menampakkan suatu proses untuk
95
meredakan suatu pertentangan yang terjadi di masyarakat, baik pertentangan
yang terjadi di antara individu, kelompok dan masyarakat, maupun dengan
norma dan nilai yang ada di masyarakat itu. Proses akomodasi ini menuju
pada suatu tujuan yang mencapai kestabilan. Bentuk akomodasi diantaranya
adalah koersi (coersion), kompromi (compromise), mediation (mediation),
konsiliasi (conciliation), toleransi (toleration), stalemate, dan ajudikasi
(adjudication).
Dari bentuk-bentuk tersebut, proses sosial penghayat Sapta Darma di
Dusun Legowo menunjukkan pada suatu keadaan yang seimbang
(equilibrium) dalam interaksi sosial antara individu dan antarkelompok di
dalam masyarakat. Penerimaan terhadap penghayat kepercayaan yang
berbeda dari mayoritas masyarakat sekitar dan sikap saling menghormati
kepadanya, menandakan adanya toleransi. Harmonisasi tercipta dari suasana
tersebut. Kenyataan bahwa ajaran dan segala ritus peribadatan penghayat
memiliki cara unik tersendiri, ternyata dapat diterima dan membawa
atmosfir menuju ke arah kestabilan.
Dulu pas awal saya masuk Sapta Darma banyak orang yang
bertanya-tanya tentang kepercayaan saya. Habis itu biasa. Kebetulan
saya ketemu sama kyai Sobri, teman mase saya waktu di Gontor.
Ditanya beliau dan saya jawab. Kemudian beliau bilang, ‘Ya udah’.
Di masyarakat, walaupun istilahnya dikucilkan, tapi saya merasa gak
dikucilkan, yang penting saya mendekat dengan masyarakat. Kyai di
daerah saya ada orang Katolik meninggal, ya tetap melayat. Sampai
sekarang kami hidup bersama-sama. Saya pun ketika di masjid
jaburan pas puasa tetap dapat jatah. Terus ketika halal bihalal atau
diundang pengajian tetap datang. Pokoknya gak ada masalah. Biasa
saja (wawancara pada 2 Agustus 2019, Pak Hari Suyitno).
96
Dalam komunikasinya di dalam masyarakat dan pemerintah, proses
judikasi (adjudication) pernah menjadi jalan terakhir yang ditempuh oleh
penghayat untuk melakukan pernikahan secara Sapta Darma pada awal
tahun 2000. Sebelum permasalahan Adminduk, terdapat permasalahan
perkawinan terlebih dulu. Tahun 1982 sudah ada perkawinan Sapta Darma
dan sudah ada di Dukcapil. Namun pada tahun 1990 sampai tahun 2005
penghayat tidak boleh menikah secara kepercayaan. Pernikahannya harus
ikut ke dalam salah satu agama. Ketika tahun 2006 baru ada UU lagi namun
belum sempurna.
Tahun 2000 saya menikah. Calon istri saya kebetulan Sapta Darma.
Kita bertekad kawin secara Sapta Darma dan lewat pencatatan sipil.
Terus saya mengurus dari desa sampai kecamatan, tapi prosesnya
sulit sekali, akhirnya mandek sampai kecamatan, kita tidak
melanjutkan berkas. Hal itu mandek sampai satu tahun. Saya hanya
menikah secara adat saja di tahun 2000. Ngurus lagi di tahun 2001.
Pengurus kami mengirim surat ke bupati karena ke DPR tidak bisa.
Bupati waktu itu pak Bambang Guritno. Terus kita lampirkan
contoh-contoh surat akta perkawinan sebelumnya, yaitu saat tahun
80-an. Dikasih jawaban boleh menikah secara kepercayaan jalur
Dukcapil, asalkan mendapatkan rekomendasi dari pengadilan negeri
setempat. Hal itu kita tempuh. Setelah persyaratan komplit seperti
persyaratan orang menikah pada umumnya, kita mengusulkan ke
pengadilan. Kita sidang terlebih dahulu selama 2 kali di pengadilan.
Ada saksi, orang tua dan sebagainya. Jadwal sidang seperti sidang
biasa. Istilah sidang sama: pemohon dan termohon. Pertanyaan yang
diajukan seperti apakah kamu mencintainya, benar-benar mau
menikah sama dia apa engga, apakah ada unsur paksaan, dan
sebagainya. Selain itu juga ada pertanyaan terkait pernikahan secara
Sapta Darma. Pas di pengadilan juga ditanya, “Mau menikah kok
disini?”. Lalu, kita serahkan surat dari bupati. Terus dikasih putusan
rekomendasi untuk di bawa ke Dukcapil dan dicatatkan. Pada tahun
2005, teman-teman saya sidang di pengadilan semua. Kita
mengajukan lagi ke pemerintah pusat. Pada saat masa pemerintahan
SBY dan dikabulkan. Ada Adminduk nomor 23 tahun 2005. Habis
97
itu kita tidak ke pengadilan lagi. Langsung ke Dukcapil (wawancara
pada 28 Mei 2019, Pak Adi Pratikto).
Proses ajudikasi ditempuh sebagai usaha akomodasi dimana usaha
yang dilakukan sebelumnya mengalami jalan buntu sehingga
penyelesaiannya menggunakan jalan pengadilan. Proses sosial yang terjadi
sekaligus menggambarkan pola komunikasi antara penghayat dengan
pemerintah. Kini, pencatatan administrasi pernikahan bagi penghayat telah
diresmikan. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40
Tahun 2019 tentang Pelaksana UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
Interaksi sosial yang dilakukan penghayat di Dusun Legowo tidak
hanya menggambarkan proses sosial asosiatif, tetapi juga melukiskan proses
disosiatif. Bungin (2017: 62-63) menjelaskan, proses disosiatif merupakan
proses perlawanan (oposisi) yang dilakukan oleh individu-individu dan
kelompok dalam proses sosial diantara mereka pada suatu masyarakat.
Oposisi diartikan sebagai cara berjuang melawan sesorang atau kelompok
tertentu atau norma dan nilai yang dianggap tidak mendukung perubahan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Bentuk proses disosiatif
adalah persaingan, kompetisi, dan konflik.
Persaingan (competition) adalah proses sosial dimana individu atau
kelompok-kelompok berjuang dan bersaing untuk mencari keuntungan pada
98
bidang-bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum dengan cara
menarik perhatian publik. Kontroversi (controversi) adalah proses sosial
yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Konflik
(conflict) adalah proses sosial dimana individu ataupun kelompok menyadari
memiliki perbedaan-perbedaan, misalnya ciri badan, emosi, unsur-unsur
kebudayaan, pola-pola perilakum prinsip, politik, ideologi maupun
kepentingan pihak lain.
Kontroversi merupakan proses disosiatif yang pernah dirasakan oleh
warga penghayat Sapta Darma, dimana terjadi pertentangan pada tataran
konsep dan wacana tentang ajaran Sapta Darma. Masyarakat pada awalnya
menjastifikasi ajaran tersebut, karena berbeda dengan agama pada
umumnya. Sekarang, masyarakat mulai menerima, namun masih ada
kontroversi terhadap ajaran kepercayaan di kalangan beberapa orang,
terutama orang luar (strangers) yang menutup mata segala perbedaan.
Saya aktif ikut kegiatan Forum Komunikasi Umat Beragama
(FKUB). Tetapi ada teman saya yang tidak bisa menerima.
Penghayat berteman dengan agama lain, mengadakan acara bareng
dengan agama lain, dia tidak terima. Dia bilang, “Itu gak bagus”.
Saya membalas dengan bilang, “Ini toleransi lho mas. Saya disitu
kenal dan berteman baik dengan kyai, ustad, pendeta dan pemimpin-
pemimpin agama tetapi mereka tidak mempermasalahkan keyakinan.
Itu urusan pribadi, yang penting sosialnya.” Saya jelaskan panjang
lebar tetapi teman saya itu masih belum menerima juga. Saya juga
bilang, “Saya akan terus seperti ini, meyakini kepercayaan saya
tetapi tetap menjunjung tinggi kebhinekaan. Karena perbedaan
adalah anugerah dari Tuhan”. Sedangkan teman-teman saya yang
lain menerima saya apa adanya. Saya share terus kegiatan saya yang
positif. Teman saya mendukung kegiatan-kegiatan saya (wawancara
pada 28 Mei 2019, Pak Adi Pratikto).
99
Konflik terkadang dialami oleh penghayat. Dominasi konflik
menyentuh dalam tataran konsepsi ajaran yang dianggap “melenceng”. Ciri
yang berbeda dalam kebudayaan “agama” penghayat mempertajam
perbedaan yang ada.
Tetangga nuwun sewu pernah ada yang seperti “itu”. Saya sering
ngelus dada. Kalau menyampaikan sesuatu sering menyudutkan
milik orang lain. Ajaran orang lain ya biar seperti itu. Tidak hanya
sindiran, seringkali langsung. Bahkan menyangkut kitab suci.
Padahal seperti itu tidak boleh. Saya sering ngelus dada tetapi tidak
berani melakukan apa-apa. Saya sering sharing ke teman-teman
tentang permasalahan saya. Kalau di lingkup intern tidak apa-apa,
tetapi kalau sudah di tempat umum dan memakai pengeras suara bagi
teman yang berbeda tetap saja tidak bagus. Kalau di lingkup intern
wajar kalau golongannya adalah yang paling baik tetapi kalau di
muka umum ada yang tersinggung (wawancara pada 28 Mei 2019,
Pak Adi Pratikto).
Memayu Hayuning Bawana menggiring komunikasi penghayat Sapta
Darma di dalam masyarakat. Hal ini membawa penghayat kepada kehidupan
bermayarakat yang lebih baik, meskipun harus melalui proses yang lama.
Memayu Hayuning Bawana menjadikan sikap dalam berhubungan dengan
orang lain terus susila dengan halusnya budi pekerti, selalu menjadi
pencerah dan bermanfaat atau memuaskan bagi orang lain.
Memayu Hayuning Bawana merupakan pegangan agar penghayat
senantiasa tolong menolong, jujur dan memiliki hati suci dalam mematuhi
peraturan di masyarakat, demi terciptanya Indonesia yang sejahtera, adil,
dan makmur. Selain itu, penghayat selalu turut serta menyingsingkan lengan
100
baju, menegakkan berdirinya nusa dan bangsanya (Melu cawe-cawe acancut
tali wanda njaga adeging nusa lan bangsane).
4. Relevansi Ajaran Sapta Darma dengan Nilai-nilai Ajaran Islam
Pada dasarnya, semua agama dan ajaran kepercayaan mengajarkan
pemeluknya untuk berbuat kebaikan. Semua mengajarkan agar seseorang
menjadi pribadi yang baik dalam urusannya dengan Tuhan maupun sesama
manusia. Apa yang terkandung di dalam ajaran Sapta Darma juga memiliki
relevansi dengan agama Islam. Sapta Darma mengajarkan untuk memiliki
hubungan yang baik secara vertikal dan horizontal. Dalam Islam, hubungan
yang baik secara vertikal disebut hablumminallah, sedangkan hubungan secara
horizontal disebut hablumminannas. Berikut adalah beberapa relevansi nilai-
nilai ajaran Sapta Darma dengan nilai-nilai ajaran Islam.
a. Memiliki sikap bela negara. Dalam ajaran Sapta Darma, dijelaskan bahwa
“Kanthi jujur lan sucining ati, kudu setya anindakake angger-angger ing
negarane”. Segala peraturan maupun Undang-Undang yang dibuat oleh
pemerintah memiliki tujuan yang baik bagi negara dan warga negaranya.
Maka, warga penghayat harus jujur dan memiliki hati suci dalam mematuhi
peraturan tersebut demi terciptanya Indonesia yang sejahtera, adil, dan
makmur. Melu cawe-cawe acancut tali wanda njaga adeging nusa lan
bangsane mengaruskan warga penghayat tidak boleh bersikap masa bodoh,
melainkan harus turut bergotong royong untuk mewujudkan kesejahteraan
bagi nusa dan bangsa. Hal bela negara sangat ditekankan di dalam Islam.
101
Anjuran untuk bela negara terdapat dalam Al Qur’an, salah satunya adalah
ayat QS. At Taubah ayat 122.
ولا نفر من كل فرقة منهم طائفة وما كان المؤمنون لينفروا كافة فل
ين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون ليتفقهوا في الد
Artinya: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi
(ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara
mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali,
agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122).
b. Saling tolong menolong. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling
tolong menolong dalam hal kebaikan. Seorang hamba bisa membantu
dalam hal tenaga, pikiran, maupun materi untuk meringankan beban orang
yang membutuhkan. Hal ini terdapat Q.S Al-Maidah ayat 2, yang berbunyi:
ثم والعدوان وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على ال
شديد العقاب إن الل واتقوا الل
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya
(Q.S al-Maidah: 2)
dalam Semangat tolong menolong ini juga diajarkan dalam Sapta Darma.
Nilai saling menolong di dalam Sapta Darma dijelaskan dalam wewarah,
yaitu, “Tetulung marang sapa bae yen perlu kanthi ora nduweni pamrih apa
bae, kajaba mung rasa welas lan asih”. Sama halnya dengan nilai ajaran
Islam, penghayat Sapta Darma juga harus memiliki sifat ikhlas, menolong
kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan.
102
c. Memiliki sikap toleransi. Alam ini dihuni dari berbagai suku, agama, ras,
dan golongan. Semua perbedaan ada, termasuk di dalamnya perbedaan
keyakinan atau agama. Oleh karena itu, pluralisme agama harus dijunjung
tinggi. Rasimin (2016:102) mengartikan pluralisme agama sebagai suatu
pemahaman bahwa semua agama mempunyai eksistensi hidup saling
berdampingan, saling bekerjasama dan saling berinteraksi antara satu
agama dengan agama yang lain. Pluralisme merupakan cara pandang atau
kerangka berpikir untuk menyelaraskan gaya hidup serta menyeimbangkan
makna-makna nilai sosial di dalam masyarakat majemuk dan menjunjung
tinggi nilai perbedaan agama. Oleh karena itu, toleransi adalah kunci hidup
bermasyarakat. Islam mengajarkan toleransi seperti yang tercantum dalam
لكم دينكم ولي دين Artinya: ”Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS Al Kafirun:
1-5)
Penting sekali untuk saling menjaga keberagaman dan saling menghormati.
Dalam ajaran Sapta Darma, sesrawungan itu harus sama rata, tidak
membeda-bedakan suku apa, agama apa, dan sebagainya. Menyadari bahwa
penghayat merupakan minoritas daripada pemeluk agama-agama besar di
Indonesia, Sapta Darma dapat hidup berdampingan dengan masyarakat
beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Ini juga yang
diajarakan oleh Islam. Keberamagaman diciptakan agar makhuknya saling
mengenal, saling menghormati, menghragai dan toleran.
Firman Allah pada Q.S Al Hujarat ayat 13:
103
عاارافوا ق اباائلا لت ا عالنااكم شعوبا وا ر واأان ثاى واجا لاقنااكم من ذاكا ا الناس إن خا ج يا أاي ها إن
بير ) (31اللها عاليم خا Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S Al Hujurat: 13).
d. Memiliki sifat berbudi dan bermanfaat bagi orang lain. Islam mengajarkan
kepada umatnya untuk berbakti kepada orang tua, rajin beribadah, menjaga
sifat dan sikap dalam nilai-nilai kebaikan. Dalam Islam, hal ini disebut
sebagai pribadi yang sholeh/sholehah. Rasulullah bersabda,
خير الناس أنفعهم للناس
Artinya, “Sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
orang lain.”
Di dalam ajaran Sapta Darma, bersikap baik kepada orang tua, rajin
memiliki sifat rendah hati (andhap asor), sering disebut sebagai pribadi
yang susila. Wewarahnya mengatakan, “Tanduke marang warga bebrayan
kudu susila, kanthi alusing budi pakarti tansah agawe pepadhang lan
mareming liya”. Warga penghayat harus bisa berhubungan (sesrawungan)
dengan siapa saja, baik itu laki-laki, perempuan, tua-muda, halus budi
pekertinya, dan membuat lega orang lain.
104
خير الناس أنفعهم للناس
“Sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang
lain”
e. Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah-ubah
(Yakin yen kahanan donya iku ora langgeng, tansah owah gingsir (anyakra
manggilingan). Dalam Islam, ajaran untuk senantiasa bahwa dunia tidak
abadi terdapat dalam QS. Al Hadid: 20.
اعلموا أنما الحياة الدنيا لعب ولهو وزينة وتفاخر بينكم وتكاثر في
جب الكفار نباته ثم يهيج فتراه الموال والولاد كمثل غيث أع
ا ثم يكون حطاما وفي الخرة عذاب شديد ومغفرة من الل مصفر
ورضوان وما الحياة الدنيا إلا متاع الغرور
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah
antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan
ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Al Hadid: 20).
105
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Memayu Hayuning Pribadi adalah pola yang digunakan penghayat Sapta
Darma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan untuk
berkomunikasi dengan pribadi dan Tuhannya. Memayu Hayuning Pribadi
berarti berbuat baik terhadap diri sendiri. Dalam pandangan penghayat Sapta
Darma, berbuat baik terhadap ruh atau jiwa pribadi wajib dilakukan sebelum
berbuat baik terhadap orang lain. Berbagai aktivitas pendukung Memayu
Hayuning Pribadi yang dilakukan adalah hening (ening), tukar hawa, tukar
rasa, dan racut. Semua itu dilakukan bertujuan untuk menentramkan hati dan
pikiran, menghilangkan rasa lelah dan carut-marut dunia, serta menjadikan
diri (pribadi) menjadi lebih baik.
2. Memayu Hayuning Keluarga adalah pola yang digunakan penghayat Sapta
Darma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan untuk
berkomunikasi dengan anggota keluarganya Mereka menjunjung tinggi tata
cara bicara (ways of speaking) yang luhur, mengedepankan unggah-ungguh
sesuai ajaran Sapta Darma. Penghayat memiliki tutur kata halus, jarang keluar
kata-kata “kasar” yang merupakan aplikasi dari Simbol Pribadi Manusia yaitu
warna hitam (cemeng) yang berada di dalam gambar belah ketupat. Warna ini
106
melambangkan nafsu yang keluar dari mulut ketika manusia berbicara.
Sehingga ketika berkomunikasi secara verbal (langsung), mereka menghindari
kata-kata kasar dan kotor. Penghayat kepercayaan Sapta Darma di Dusun
Legowo menerapkan Pola Kesetaraan (The Equality Pattern) di dalam
keluarga. Pada pola ini setiap anggota keluarga sepeti suami, istri, anak,
mertua, memiliki peran yang sama dalam pengungkapan pendapat,
mendengarkan atau meminta sesuatu. Mereka memberi ruang kepada setiap
anggota untuk ikut andil dalam memecahkan masalah dan bersikap terbuka
kepada anggota keluarga. Pengajaran diberikan oleh orang tua, warga Sapta
Darma, dan penyuluh (guru) kebatinan di sekolah.
3. Memayu Hayuning Bawana adalah pola yang digunakan penghayat Sapta
Darma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan untuk
berkomunikasi dengan masyarakat. Memayu Hayuning Bawana berarti
berbuat baik terhadap manusia dan dunia. Komunikasi yang terjalin baik
dengan masyarakat melalui sejarah panjang dan tidak mudah. Self Disclosure,
Warga Sapta Darma harus menumbuhkan kepercayaan masyarakat terlebih
dahulu untuk dapat menerima keberadaan mereka. Social Penetration, setelah
kepercayaan di dapat, interaksi dengan masyarakat ditingkatkan. Mereka aktif
dalam kegiatan sosial sebagai wujud pengamalan Wewarah Tujuh yaitu melu
cawe-cawe acancut tali wanda njaga adeging nusa lan bangsane (turut serta
menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya nusa dan bangsanya).
Warga penghayat tidak menganggap dirinya berbeda di tengah pemeluk
107
agama mayoritas, melainkan selalu meyakini bahwa mereka adalah satu
kesatuan nusa dan bangsa. Process View, proses saling mengenal yang baik.
Masyarakat tahu dan menerima Penghayat dan ajaran Sapta Darma. Social
Exchange, penghayat dan masyarakat bekerja sama (asosiatif), namun juga
pernah merasakan konflik (disasosiatf). Kerja sama yang dilakukan seperti
kerja bakti dan gotong royong. Konflik yang terjadi diantaranya karena
perbedaan pendapat dan pandangan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat disarankan kepada beberapa pihak
yaitu:
1. Pola komunikasi yang diterapkan warga Sapta Darma di Dusun Legowo
memberikan contoh bahwa kehalusan budi dan ketaatan dalam mengamalkan
ajaran harus dilakukan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.
Kepercayaan boleh berbeda, tetapi kesatuan harus tetap dijaga. Tanduke
marang warga bebrayan kudu susila, kanthi alusing budi pakarti tansah
agawe pepadhang lan mareming liyan (sikap dalam hidup bermasyarakat atau
berhubungan dengan orang lain harus susila dengan halusnya budi pekerti,
selalu menjadi pencerah dan bermanfaat (memuaskan) bagi orang lain).
Sebagai masyarakat majemuk harus bisa berhubungan (sesrawungan) dengan
siapa saja, baik itu laki-laki, perempuan, tua-muda, kaya-miskin, dan
sebagainya. Untuk itu dalam berinteraksi dengan siapa saja harus memiliki
108
sifat rendah hati (andhap asor), halus budi pekertinya, saling menghargai dan
menghormati serta selalu hidup tolong-menolong.
2. Kepada pemerintah, khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sebagai
Pembina Himpunan Penghayat Terhadap Tuhan Yang Maha Esa diharapkan
dapat mengenalkan tentang penghayat kepercayaan, mengkoordinir kegiatan-
kegiatan penghayat dan mensosialisasikannya. Hal ini bertujuan untuk
menghilangkan persepsi negatif masyarakat terhadap mereka. Selain itu juga
agar masyarakat menjadi tahu dan paham bahwa Indonesia memiliki aset
kebudayaan, khususnya agama Jawa yang luar biasa.
Daftar Pustaka
Ali, Mukti. 2017. Komunikasi Antarbudaya Tradisi Agama Jawa. Yogyakarta:
Pustaka Ilmu.
Badan Pusat Statistik. 2017. Kecamatan Bandungan dalam Angka 2017. Semarang:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang.
Bungin, Burhan. 2017. Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Darmastuti, Rini. 2013. Mindfullness Dalam Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta.
Effendi, M. Rahmat. Dkk. Religiusitas Masyarakat Adat Kampung Dukuh
Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal INJECT. Vol.3, No.1, Juni 2018: h.
125-146
Emzir. 2011. Analisis Data: Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali
Pers.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
. 2018. Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen.
Yogyakarta: Narasi-Lembu Jawa.
Fajrie, Mahfudlah. 2017. Gaya Komunikasi Masyarakat Pesisir Wedung Jawa
Tengah. Jurnal INJECT. Vol.2, No.1, Juni 2017: h. 53-76.
Ibrahim. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Laksana, Muhibudin Wijaya. 2015. Psikologi Komunikasi. Bandung: Pustaka Setia.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mulder, Niels. 1997. Terjemahan oleh Satrio Widiatmoko. Agama, Hidup Sehari-
hari dan Perubahan Budaya Jawa, Muangthai dan Filipina. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Mulyana, Deddy dan Solatum. 2013. Metode Penelitian Komunikasi Contoh-
Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Pawenang, Sri. 1968. Buku Wewarah Kerokhanian Sapta Darma Jilid 1.
Yogyakarta: Penerbitan Surokarsan MG II/472.
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rasimin. 2016. Toleransi dan Kerukunan Umat Beragama di Masyarakat
Randuacir. Jurnal INJECT. Vol.1, No.1, Juni 2016: h. 99-118.
Soekanto, Soeryono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Soeprapto, HR Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik. Malang: Averroes Press.
Subqi, Imam. 2016. Pola Komunikasi Keagamaan Dalam Membentuk Kepribadian
Anak. Jurnal INJECT. Vol. 1, No. 2. Desember 2016:165-180.
Sukandarrumidi. 2004. Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk Peneliti
Pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
LAMPIRAN
DAFTAR PERTANYAAN
1. Keberadaan ajaran Sapta Darma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan
Bandungan
a. Bagaimana sejarah Sapta Darma?
b. Bagaimana sejarah ajaran Sapta Darma ada dan berkembang di Dusun
Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan?
c. Ada berapa jumlah penghayat Sapta Darma di Dusun Legowo Desa Duren
Kecamatan Bandungan?
d. Apa saja profesi warga Sapta Darma di Dusun Legowo Desa Duren
Kecamatan Bandungan?
e. Apa fungsi Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) bagi penghayat Sapta
Darma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan Bandungan?
f. Bagaimana struktur organisasi Persada di Dusun Legowo Desa Duren
Kecamatan Bandungan?
2. Bentuk-bentuk praktek keagamaan yang dilakukan warga Sapta Darma
a. Apa saja kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh penghayat Sapta Darma?
b. Bagaimana bentuk-bentuk kegiatan atau ritual keagamaan yang masih
dilakukan?
c. Kapan saja dilakukan kegiatan keagamaan?
d. Dimana saja tempat dilakukannya kegiatan keagamaan?
e. Apa alasan dipilihnya tempat kegiatan keagamaan?
f. Apa tujuan dilakukannya kegiatan keagamaan tersebut?
g. Apa manfaat dilakukannya kegiatan keagamaan bagi penghayat dan
Persatuan Warga Sapta Darma?
h. Siapa yang memimpin dan terlibat dalam kegiatan keagamaan?
3. Pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta Darma dalam kehidupan
keluarga
a. Sejak kapan Anda menjadi penghayat Sapta Darma?
b. Apa alasan Anda menjadi penghayat Sapta Darma?
c. Bagaimana pandangan Anda mengenai ajaran Sapta Darma?
d. Bagaimana Anda menerapkan ajaran-ajaran Sapta Darma di dalam
keluarga?
e. Bagaimana penerapan ajaran Sapta Darma dalam berkomunikasi dengan
anggota keluarga (pengambilan keputusan, cara berbicara, pengajaran)?
f. Apakah ada hambatan dalam menerapkan ajaran-ajaran Sapta Darma di
dalam keluarga? Jika ada, apa saja?
4. Pola komunikasi penghayat kepercayaan Sapta Darma dalam kehidupan
bermasyarakat
a. Bagaimana pandangan warga sekitar terhadap penghayat Sapta Darma?
b. Bagaimana cara membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat?
c. Bagaimana menyikapi pendapat tidak menyenangkan dari orang lain?
d. Apa saja kegiatan lingkungan sekitar yang dilakukan bersama-sama?
e. Apa saja organisasi yang diikuti oleh penghayat?
f. Apakah penghayat selalu dilibatkan dalam kegiatan masyarakat?
g. Bagaimana pengajaran terhadap penghayat di sekolah?
Hasil Wawancara
1. Keberadaan ajaran Sapta Darma di Dusun Legowo Desa Duren Kecamatan
Bandungan
a. Sapta Darma itu salah satu aliran kebatinan, mbak. Sapta Darma lahir pada
tanggal 27 Desember 1952 di Pare, Kediri, Jawa Timur. Penerima wahyu
ajaran ini yaitu Panuntun Agung Sri Gutama. Hardjosapoero. Setelah ia
wafat, ia diganti istrinya yaitu Soewartini Martodihardjo yang bergelar
Tuntunan Agung Sri Pawenang.
Cita-cita dalam intisari ajaran Sapta Darma yaitu Memayu-hayu Bagya
Bawana. Dalam konsepsi ini, manusia diajarkan untuk membudidayakan
budi pekerti luhur dalam hidup agar bahagia di dunia dan di alam langgeng.
Jika ajaran (wewarah) tersebut dilaksanakan, maka manusia dapat mencapai
kesempurnaan hidup jasmani dan rohani sehingga dapat memberikan
pepadhang kepada seluruh umat.
Sapta Darma telah memiliki badan hukum sejak 17 Maret 1959. Di dalam
Sapta Darma terdapat 3 lembaga utama yaitu Tuntunan, Persatuan Warga
Sapta Darma (Persada), dan Yasra. Tuntunan bertugas mengurusi urusan
rohani, seperti memimpin sujud, membacakan teks suro, dan membina
kegiatan di sanggar. Persada berkaitan dengan urusan pemerintah. Organisasi
ini dibentuk pada tanggal 27 Desember 1986 di Yogyakarta. Segala bentuk
komunikasi seperti mengurus adminitrasi penduduk dan bertukar pikiran
dengan pemerintah ditangani oleh Persada. Yayasan Srati Darma adalah
lembaga yang bertugas mengurusi keuangan. Yayasan ini memiliki tujuan
yaitu mengelola kebutuhan operasional Persada. Ada satu prinsip utama dari
warga Sapta Darma yang menjadi bagian dari Yasra, yakni tidak boleh
meminta kepada masyarakat. Pendanaan Persada hanya berasal dari internal
warga Sapta Darma.
b. Sebenarnya datangnya ajaran Sapta Darma disini saya tidak terlalu tahu, tapi
budhe saya merupakan pengahayat pertama disini. Budhe saya Sri Jannah,
setalah itu Pak Harno. Kalo saya tahun 79 mulai masuk di sini. Sekitar tahun
1983 saya mulai masuk Sapta Darma.
c. Satu dusun sini ada 21 orang penghayat Sapta Darma, mbak. Nah, 21 orang
tersebut berada di 5 rumah, tapi bukan berarti 5 Kepala Keluarga (KK). Ada
di lima rumah gitu aja.
d. Mayoritas pekerjaan kami adalah petani. Ada juga pedagang, wiraswasta,
guru juga.
2. Bentuk Praktek Keagamaan yang Dilakukan Warga Sapta Darma
a. Ada Sujud, racut, tuker hawa, tuker roso, hening. Sujud itu salah satu
bentuk ibadah dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah Hyang Maha
Kuasa. Sujud bisa juga ditujukan untuk mendoakan orang yang sudah
meningal. Kalo orang Islam tahlilan. sini sujud.
Penghayat Sapta Darma diwajibkan sedikitnya satu kali sehari melakukan
sujud. Kalau lebih dari sekali itu adalah lebih baik. Sujud bisa dilakukan di
sanggar bersama Tuntunan, tetapi bisa juga dilakukan sendiri di rumah.
Pelaksanaannya bisa kapan saja, namun lebih baik jika waktunya ditentukan.
Minimal 25 menit. Bisa sampai 1 jam. Ucapannya di batin. Yang pertama
sebutannya di kami, Allah Yang Maha Agung, Allah Hyang Maha Adil. Kalo
mau sujud, pertama Hyang Maha Suci Hyang Maha Kuasa. Yang kedua,
Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuwun Nagpuro Hyang Maha Kuasa. Yang
ketiga, mertobat. Karena kalo kita sujud, minta maaf atas segala kesalahan,
minta pengampunan dan bertobat.
Tata cara melakukan sujud dimulai dengan lenggah, ngadep ke Timur.
Duduk seperti semedi, yang laki-laki bersila, yang perempuan timpuh.
Tangannya bersedekap, yang kiri di dalam dan yang kanan berada di luar.
Selanjutnya menentramkan hati, mata melihat lurus ke depan kira-kira 1
meter dari tempat duduk. Posisi duduk tegap dengan kepala dan tulang
pinggul segaris lurus.
Setelah duduk dan hati merasa tenteram, akan muncul getaran di dalam tubuh
dari bawah ke atas, kemudian rasa menjalar sampai kepala. Itulah tanda lidah
pating trecep, yang menjadi tanda untuk menutup mata sambil mengucapkan
di dalam batin, “Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim,
Allah Hyang Maha Adil.”
Apabila kepala telah terasa berat, itu adalah tanda bahwa rasa (getaran) sudah
berkumpul semua di kepala. Rasa inilah yang menjadikan badan tergoyang.
Setelah itu kemudian mulai terasa sari-sari air suci yang ada di tulang ekor.
Jalannya sari air merambat sangat halus, naik lewat tulang-tulang,
mendorong tubuh untuk membungkuk. Membungkuknya badan berlangsung
terus sampai dahi jatuh menyentuh gelaran. Ketika dahi menempel di kain
mori (siti), penghayat mengucap dalam batin, “Hyang Maha Suci Sujud
Hyang Maha Kuasa,” sebanyak tiga kali.
Setelah membungkuk, kepala diangkat pelan-pelan ke atas hingga duduk
tegak lagi seperti sikap awal. Begitu seterusnya sampai membungkuk yang
kedua dan membaca di dalam batin dengan ucapan, “Kesalahane Hyang
Maha Suci Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuasa,” sebanyak tiga kali.
Kepala diangkat lagi seperti proses awal tadi, lalu membungkuk dan
membaca di dalam batin dengan ucapan “Hyang Maha Suci Mertobat Hyang
Maha Kuasa,” sebanyak tiga kali. Kemudian duduk lagi, hati masih dalam
sikap tenang untuk beberapa menit. Akhirnya sujud pun selesai.
Hening (ening) yang disebut juga sebagai semedi adalah kegiatan
menentramkan rasa dan pikiran. Semua carut-marut dalam hati dan angan
dikosongkan, rasa yang dimiliki hanya tertuju kepada Satriya Utama. Apabila
tubuh bergerak namun pikiran tenang (ayem), artinya ia sudah hening.
Sebaliknya, meskipun tubuh tenang tetapi hati campur-aduk, artinya ia belum
bisa disebut hening.
Tukar hawa (ulah hawa) merupakan suatu usaha atau tindakan yang
dilakukan untuk melepaskan atau menghilangkan rasa lelah. Kelelahan yang
dimaksud misalnya sehabis kerja berat, setelah melakukan perjalanan jauh,
dan sebagainya. Cara melakukan tukar hawa diawali dengan berbaring
membujur Timur. Kedua tangan diletakkan lurus di samping tubuh, telapak
tangan menghadap atas. Seluruh tubuh harus dalam keadaan kendor
(sumeleh). Pikiran dan angan-angan dihentikan kegiatannya, sehingga
keadaan tubuh atau pribadi dalam suasana benar-benar tenang. Raga dapat
merasakan pernapasan hingga halus agar dapat mengimbangi keluar atau
masuknya hawa tubuh. Aktivitas ini dilakukan selama sepuluh hingga lima
belas menit, kemudian dihentikan. Selanjutnya adalah mandi dan dianjurkan
mandi dengan menggunakan air panas atau hangat untuk memulihkan tubuh
agar segar kembali.
Tukar rasa (ulah rasa) adalah suatu usaha atau tindakan yang dilakukan
untuk mengadakan penelitian tentang jalannya rasa atau getaran yang ada di
seluruh tubuh. Ini dilakukan ketika sujud. Caranya yaitu setelah selesai sujud
wajib menambah satu bungkukan lagi sambil mengucap di dalam hati,
“Njaluk gerake rasa.” Kemudian dilanjutkan dengan berbaring seperti tata
cara melakukan Tukar Hawa. Berbaring membujur ke Timur, kedua tangan
diletakkan lurus di samping tubuh, telapak tangan menghadap atas. Ketika
pernapasan sudah halus, rasakan atau teliti jalannya getaran dari telapak kaki
yang merambat perlahan-lahan dan terasa halus sekali meliputi seluruh tubuh.
Racut artinya memisahkan rasa (rohani) dan perasa (jasmani). Saat racut,
jasmani (pikiran, angan-angan, kemauan) akan dibekukan. Sedangkan rohani
akan menghadap Hyang Maha Kuasa untuk mengetahui tempat berpulang
ketika ia ada di alam langgeng. Hal ini mengisyaratkan “Manungsa kudu bisa
mati sajroning urip supaya weruh rupa lan rasane”. Maksudnya adalah
bahwa manusia harus bisa mati ketika masih hidup agar bisa tahu rupa dan
rasa ketika mati nanti. Dengan mengetahuinya, ketika manusia kembali ke
alam dunia, ia dapat menghilangkan nafsu buruk dan mengamalkan budi
yang luhur
Racut dilakukan saat sujud wajib. Setelah selesai satu bungkukan penghayat
mengucapkan dalam batin, “Hyang Maha Suci Sowan Hyang Maha Kuasa,”
kemudian berbaring seperti tukar hawa dan tukar rasa. Namun, tangan tidak
diletakkan di samping badan, melainkan ditumpuk di dada. Posisi telapak
tangan tengkurap, yang kanan ditumpangkan di atas yang kiri. Pikiran
dikosongkan seperti Satriya Utama untuk merasakan keluarnya Nur Pethak
(Hyang Maha Suci) dari embun-embun.
Ragane disini, tapi hidupnya di alam langgeng. Fungsinya mendoakan
kepada yang sudah meninggal. Saya dulu heran, kok bisa lihat raganya orang
yang udah meninggal. Dari situ saya masuk Sapta Darma, mulai tahun 1983.
Dari dulu lingkungan sudah ada Islam, Kristen, jadi sudah biasa. Jadi gak ada
diskriminasi.
b. Setiap hari bisa melakukan ibadah, minimal satu kali. Bisa ibadah di rumah,
bisa juga di sanggar. Ibadah setiap hari di sanggar biasanya pada jam 7
malam. Rentang waktunya tidak menentu. Pada saat menyambut hari besar
seperti Hari Raya yaitu tanggal 1 Suro biasanya dari jam 7 sampai jam 11
malam.
Hari Raya Sapta Darma diperingati setiap tanggal 1 Sura. Suro besok
peringatannya tingkat Kabupaten, di Blanter. Karena pusatnya Sapta Darma
tingkat Kabupaten Semarang di Blanter. Pemilik Pemancingan Suharno,
merupakan salah satu penghayat Sapta Darma.
Peringatan pas Suro di tingkat kabupaten seluruhnya, mbak. Kalo di tingkat
kecamatan bergilir. Misal di Dusun Legowo, kita mengundang Polsek dan
kecamatan. Di desa ngundang magersari tokok-tokoh masyarakat, tokoh-
tokoh agama yang ada disni sekalian silaturahmi dan memperkenalkan. Kita
undang 2 kali waktu Suro disini. Acara seperti itu itu toleransi semakin erat.
Udah tahu semua sekarang.
Acara lebaran. malam sebelum lebaran biasanya tirakatan di sanggar 3
malam atau 6 malam. Pas malam lebaran ada penjelasan makna Suro. Salam-
salaman biasa. Kalo ngundang tamu pemerintah biasanya ada pertunjuakn
karawitan atau pentas seni atau pas tanggal 26 Desember acara ulang tahun
Sapta Darma di Jogja, Kabupaten Semarang mengeluarkan drama musikal.
c. Di rumah, di sanggar, di tempat-tempat warga penghayat lain. Kalau di
rumah, bukan di kamar umum, bukan ruang tamu atau kamar tidur. Harus di
ruang sendiri. Kalau di Islam ya tempat sholat sendiri gitu. Harus bersih,
suci. Biasanya anak-anak kami ajak. Minimal setengah jam, atau lebih dari
itu. Satu jam, dua jam, tergantung kesanggupan.
d. Biar khusyu’. Biar lebih hikmat ibadahnya. Kalau di sanggar, biar ada rasa
kebersamaan.
3. Pola Komunikasi Penghayat Kepercayaan Sapta Darma dalam Kehidupan
Keluarga
a. Saya menjadi pengahayat sejak lahir, tahun 1977. Meskipun di KTP dulu
saya ikut Islam, tapi saya tetap penghayat.
b. Pertama karena orang tua. Kedua karena keyakinan saya sudah itu, gak mau
ke lain hati, hehe.
c. Intinya, ajaran-ajaran Sapta Darma mengajarkan kebaikan. Sama seperti
ajaran-ajaran agama lain.
d. Anak-anak saya masuk SD dan SMP Katolik, SMA Kristiana juga. Mau
saya masukkan ke negeri saya takut. Pengalaman saya di sekolah negeri
tidak terlalu baik. Saya dulu ikut Islam. Istilahnya yang diajarkan di sekolah
tidak sama dengan hati saya. Jadi bertentangan terus. Maka dari itu mbak,
kami musyawarahkan terlebih dahulu sama anggota keluarga, termasuk
anak-anak. Waktu itu keluarga dan saya sepakat memasukkan anak sekolah
ke yayasan. Kami penghayat kepercayaan, tetapi sekolah menerima.
Meskipun di rumah kepercayaan, tapi di sekolah ikut agama. Administrasi
juga ikut agama. Sekarang anak saya sudah bisa menerima keputusan itu.
Sekarang teman-temannya sudah banyak (wawancara pada 28 Mei 2019,
Pak Adi Pratikto).
e. Putra saya ada pertama sudah kelas 2 SMA. Lahir pada tahun 2002. Dari
perkembangannya juga mengalami beberapa ejekan dari teman-teman
sebayanya. Tetapi seiring berjalannya waktu saya selalu menjelaskan. Sejak
kecil saya sudah sering mengajak ke kegiatan sanggaran dan sebagainya.
Kalau diajak temannya, “ayo ngaji,” dia bisa menjawabnya, “aku ora ngaji
soale nyang sanggar”. Kami beri pengertian, mbak. Sedikit demi sedikit dia
paham kalau kami beda kepercayaan. Jaman dulu anak saya masih sendiri,
sebayanya belum ada yang penghayat. Biasa, kalo anak-anak ngomongnya
aneh-aneh. Kalau masih kecil sama-sama belum mengerti, jadi bicaranya
aneh-aneh. Saya maklum. “Kamu nek ora ngaji suk ora mlebu surga lho,”
kata temen-temennya. Sering lapor ke saya, lalu saya bilang, “ndak papa”.
Terus saya kasih pengertian.
Kebetulan SD-SMP anak-anak saya di sekolah Katolik. SMA Kristiana juga.
Mau saya masukkan ke negeri saya takut. Pengalaman saya di sekolah negeri
tidak terlalu baik. Saya dulu ikut Islam. Istilahnya yang diajarkan di sekolah
tidak sama dengan hati saya. Bertentangan terus. Jadi waktu itu saya
memutuskan untuk memasukkan anak saya ke yayasan. Yayasan itu
menerima. Meskipun kami kepercayaan, tetapi sekolah menerima. Di rumah
tetap ikut kepercayaan, tapi di sekolah ikut pengajaran agama yayasan.
Administrasi ikut agama. Sekarang anak saya sudah bisa menerima. Sekarang
teman-temannya sudah banyak. Berbeda dengan jaman saya sekolah dulu.
Bisa sekolah saja sudah beruntung. Teamn-teman saya yang lain pada takut
sekolah. Karena diajak temannya ibadah agama, jadi takut pelajaran agama.
Banyak teman-teman saya yang tidak sekolah. Istri saya pun demikian. Mau
melanjutkan sekolah takut. Hehe.
Kalau anak saya yang kecil belum terlalu kami memberi pengertian. Soalnya
masih kecil. Yang satu mau TK besok. TK Pancasila Bandungan. Ditanya
juga pas daftaran. Kemarin baru satu yang sapta Darma, nah saya bilang ke
ibu gurunya, “Ini Sapta Darma. Pelajaran sekolahnya udah ada. Ini gimana
anak saya?”. Mereka menjawab, “Nanti saya rapatkan dengan yayasan.” Saya
bilang lagi, “Baik bu, saya mohon bisa bu. soalnya guru Tk-nya sudah ada.
Di TK Pancasila ada yang Katolik”.
Pengalaman saya pas SD gak terlalu pahit, masih biasa. Pas SMP teman-
teman rasa ingin tahunya besar. Jadi saya tidak terlalu membuka diri pas
SMP. Setelah SMK sedikit sedikit saya membuka diri. Teman-teman mulai
saya jelaskan. Masih mengikuti pelajaran agama yang ada di sekolah. Kalau
di SMK teman-teman tahu kalau saya bukan muslim. Jadi dulu sulit punya
kekasih. Masalah kepercayaan beda. Haha.
Dari kecil kami membiasakan untuk memakai Boso Jowo, ya meskipun gak
sempurna, masih campur-campur. Anak-anak kami biasakan memanggil
kakak atau mas. Dek Elva yg paling kecil manggilnya kakak, kalo sama yg
besar manggil mas. Haha.
Setiap mau berangkat sekolah diajari doa agar diberi kemudahan kelancaran,
dikandani berbuat yang baik-baik. Di sapta daram diwajibkan minimal 1 kali
sehari. Diusahakan kalau longgar pas malem sujud. Kan ada tempat sendiri di
rumah. Kalau ada waktu ke sanggar.
f. Pasti ada, mbak. Pengajaran kepada anak tentu punya tantangan sendiri,
apalagi anak-anak muda jaman sekarang. Bawa HP kemana-mana. Tentu
saya dan istri saya sering mengingatkan agar rajin ibadah, rajin ikut
sanggaran. Kalau tidak bisa ya minimal berdoa setiap mau berkegaiatan.
4. Pola Komunikasi Penghayat Kepercayaan Sapta Darma dalam Kehidupan
Bermasyarakat
a. Kalau saat ini, dari tahun 2000an ke sini udah bagus. Sosialnya ke
masyarakatnya sudah diterima. Kalau dulu pas jaman bapak saya masih sulit
diterima. Sempat ramai juga. Maksudnya, kalau orang-orang Sapta Darma
dianggap Paratai Komunis Indonesia (PKI). Sekitar tahun 70-an, saya masih
bayi. Pada tahun antara 1975 dan 1976, intinya sebelum tahun 1980, warga
kami sempat dilaporkan. Pimpinan-pimpinan Sapta Darma disini dipanggil
ke polisi, ditahan selama 3 hari. Kemudian kita mengadakan pertemuan.
Seperti Islam mengadakan pengajian, Kristen kebaktian, kita melakukan
sanggaran lalu digeruduk sama orang-orang kampung sini. Sebenarnya saat
kejadian itu penghayat Sapta Darma sudah lama tinggal di kampung ini, dan
banyak juga penghayatnya. Mungkin karena masyarakat merasa “kok
ibadahnya seperti ini?”.
Pada masa Orde Baru masyarakat masyoritas muslim. Jadi keberadaan
penghayat masih belum diakui. Permasalahan digrebeg tadi selesai,
permasalahan tidak berhenti disitu. Diskriminasi makin kental sampai tahun
80-an. Saya berumur 3 tahun. Hingga saya lulus SD permasalahan masih
tetap ada. Masih belum diterima. Lama kelamaan sepantaran saya ikut
kegiatan di masyarakat seperti Karang Taruna. Lewat jalur-jalur seperti itu
teman-teman mulai lunak, menyadari, dan mengenal Sapta Darma.
Saya beranjak dewasa ikut aktif berbagai kegiatan dusun bahkan desa seperti
pengurus RW dan BPD. Semenjak itu kami mulai diterima. Intinya
perjuangannya panjang dan tidak mudah. Di luar itu jejaring kami luas seperti
ikut KUB lintas agama. Kita mendewasakan diri. Istilahnya kita berbeda
tetapi tetap satu, kita tidak jelek. Ada teman-teman SMA saya, sempat dekat
di grup. Saya aktif ikut kegiatan KUB. Tetapi dia tidak bisa menerima. Orang
berteman dengan agama lain, mengadakan acara bareng dengan agama lain,
dia tidak terima. Dia bilang, ‘itu gak bagus’. Saya membalas dengan bilang,
‘ini toleransi lho mas. Saya disitu kenal dan berteman baik dengan kyai,
ustad, pendeta dan pemimpin-pemimpin agama tetapi mereka tidak
mempermasalahkan keyakinan. Itu urusan pribadi, yang penting sosialnya.
Saya jelaskan panjang lebar tetapi teman saya itu masih belum menerima
juga. Saya juga bilang, ‘saya akan terus seperti ini, meyakini kepercayaan
saya tetapi tetap menjunjung tinggi kebhinekaan. Karena perbedaan adalah
anugerah dari Tuhan’. Sedangkan teman-teman saya yang lain menerima
saya apa adanya. Saya share terus kegiatan saya yang positif. Teman saya
mendukung kegiatan-kegiatan saya.
Tetangga pernah ada yang seperti itu. Saya sering ngelus dada. Dia nuwun
sewu orang di daerah sini. Kalau menyampaikan sesuatu sering menyudutkan
milik orang lain. Ajaran orang lain ya biar seperti itu. Tidak hanya sindiran,
seringkali langsung. Bahkan menyangkut kitab suci. Padahal seperti itu tidak
boleh. Saya sering ngelus dada tetapi tidak berani melakukan apa-apa. Saya
sering sharing ke teman-teman tentang permasalahan saya. Kalau di lingkup
intern tidak apa-apa, tetapi kalau sudah di tempat umum dan memakai
pengeras suara bagi teman yang berbeda tetap saja tidak bagus. Kalau di
lingkup intern wajar kalau golongannya adalah yang paling baik tetapi kalau
di muka umum ada yang tersinggung.
Masyarakat sekarang menerima. Diterimanya sejak ada warga yang
meninggal. Pertama kalinya mau dikuburkan dimana? Tata cara perawatan
jenazahnya bagaimana? Ini bukan Islam, juga bukan Nasrani, tetapi
penghayat kepercayaan. Sempat ramai itu. Ada yang namanya Pak Modin.
“Pak ini bagaimana? Ini ada yang meninggal warga kami”. Pak modin
menjawab, “Lha di Sapta Darma wes ono tata carane opo durung?”. Kami
menjawab, “sampun”. Beliau menjawab, “Ya kalau sudah silakan dirumati.
Nanti warga membantu.” Setelah Pak Modin bilang gitu kita rumati sesuai
tata cara kita. Sejak saat itu warga menjadi tahu secara langsung tata cara
pemakaman kami dan menerima.
Permasalahan perkawinan. Itu awal-awal masyarakat sudah mulai tahu.
Sebelum Adminduk sebenarnya adalah perkawinan dulu. Tahun 1982 sudah
ada perkawinan Sapta Darma. Di Dukcapil sudah ada. Di tahun 1990 sampai
tahun 2005 gak boleh menikah. Tahun 2006 ada UU lagi.
Saya sering ke Dukcapil untuk menguruskan KTP. Keputusan MK terbaru.
Kolom agamanya diganti Penghayat Kepercayaan. Saya kebetulan mengurus
seluruh penghayat di Kabupaten Semarang. Ada sekitar 500 penghayat.
Tahun 1990-2000 tidak boleh menikah. Pernikahannya ikut salah satu agama.
Tahun 2000 saya menikah. Calon istri saya kebetulan Sapta Darma. Kita
bertekad kawin secara Sapta Darma dan lewat pencatatan sipil. Terus saya
mengurus dari desa sampai kecamatan prosesnya sulit sekali. Mandek sampai
kecamatan kita tidak melanjutkan berkas. Hal itu mandek sampai satu tahun.
Saya hanya menikah secara adat saja di tahun 2000. Ngurus lagi di tahun
2001. Pengurus kami mengirim surat ke bupati karena ke DPR tidak bisa.
Bupati waktu itu pak Bambang Guritno. Terus kita lampirkan contoh-contoh
surat akta perkawinan sebelumnya yaitu saat tahun 80-an. Dikasih jawaban
boleh menikah secara kepercayaan jalur Dukcapil, asalkan mendapatkan
rekomendasi dari pengadilan negeri setempat. Hal itu kita tempuh. Setelah
persyaratan komplit seperti persyaratan orang menikah, kita mengusulkan ke
pengadilan. Kita sidang terlebih dahulu selama 2 kali di pengadilan. Ada
saksi, orang tua dan sebagainya. Jadwal sidang seperti sidang biasa. Istilah
sidang sama: pemohon dan termohon. Pertanyaan yang diajukan seperti
apakah kamu mencintainya, benar-benar mau menikah sama dia apa engga,
apakah ada unsur paksaan, dan sebagainya. Selain itu juga ada pertanyaan
terkait pernikahan secara Sapta Darma. Pas di pengadilan juga ditanya, “Mau
menikah kok disini?,” lalu kita serahkan surat dari bupati. Terus dikasih
putusan rekomendasi dibawa ke Dukcapil dan dicatatkan. Pada tahun 2005
teman-teman saya sidang di pengadilan semua. Kita mengajukan lagi ke
pemerintah pusat. Pada saat masa pemerintahan SBY dan dikabulkan. Ada
Adminduk nomor 23 tahun 2005. Habis itu kita tidak ke pengadilan lagi.
Langsung ke Dukcapil.
Pada tahun 2000-2001, sebelum pernikahan saya dicatatkan di Dukcapil,
tetangga banyak yang bertanya, “Nikahnya cara apa? Lha suratnya?”. Saya
menjawab, “Nikahnya ya sesuai kepercayaan saya. Suratnya masih proses.
Soalnya saya bukan agama”. Setelah suratnya jadi, saya kasihkan ke kepala
dusun. Pak Kadus yang kemudian memberitahu warga. Dulu sempat heboh
juga, “Kok bisa ya?”. Saudara istri saya juga banyak yang nanya. Caranya
gimana dan sebagainya. Kemudian kita menjelaskan. Jadi dulu sebelum dapat
surat nikah seperti istilah Islam “nikah siri”.
Nikah Sapata Darma sekarang lebih mudah, udah seperti agama-agama lain.
Nikah secara adat, kita laporkan ke Dukcapil, dicatatkan disana. Yang
mimpin penghulunya, namanya pemuka penghayat kepercayaan. Dulu saya
menikah, sekarang menikahkan. Tapi gak boleh menikahkan anaknya sendiri,
harus pemuka yang lain. Saya nanti jadi orang tua.
Pemakaman ibuk saya secara Sapta Darma. Dimakamkan di makam umum.
Kalo disini gak ditolak di pemkaman, tapi tata caranya yg ditolak. Yg ngurus
warga. Ibuk saya baru 150 hari. Prosesi di rumah duka. Dimandiin,
dipakaikan kain mori. Ada tata caranya, habis itu dimakamkan. Masyarakat
disini, ikut membantu. Belasungkawa istilahnya.
b. Kami perlahan bisa menanamkan rasa percaya kepada masyarakat. Dari
yang awalnya tidak tahu tentang kami, sekarang mereka sudah tahu. Jadi
tidak menganggap kami suatu ancaman atau apa itu macam-macam
pendapatnya. Kami tetap menerima. Asal kami dapat hidup berdampingan
di dalam masyarakat.
Kalau ada masalah kami selesaikan dengan musyawarah. Saya dan warga
Sapta Darma ikut berbagai kegiatan organisasi lintas agama, organisasi di
desa, panitia acara-acara peringatan hari besar, dan masih banyak lagi mbak.
Saya ikut BPD, ikut Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), Persada,
dan lain-lain.
c. Ada, mbak. Itu wajar ya ketika kita hidup di masyarakat pasti ada susah
senangnya. Tetangga pernah ada yang seperti itu. Saya sering ngelus dada.
Dia nuwun sewu orang di daerah sini. Kalau menyampaikan sesuatu sering
menyudutkan milik orang lain. Ajaran orang lain ya biar seperti itu. Tidak
hanya sindiran, seringkali langsung. Bahkan menyangkut kitab suci. Padahal
seperti itu tidak boleh. Saya sering ngelus dada tetapi tidak berani
melakukan apa-apa. Saya sering sharing ke teman-teman tentang
permasalahan saya. Kalau di lingkup intern tidak apa-apa, tetapi kalau sudah
di tempat umum dan memakai pengeras suara bagi teman yang berbeda
tetap saja tidak bagus. Kalau di lingkup intern wajar kalau golongannya
adalah yang paling baik dan benar, tetapi kalau di muka umum pasti ada
yang tersinggung.
d. Ya kalo saya pribadi nrimo saja lah mbak. Kalau bisa dibicarakan baik-baik
ya bagus, kalau engga ya namnung ngelus dada. Yang penting saya tidak
melakukan kejahatan, hal-hal buruk atau mencampuri urusan dia.
e. Sudah dirapatkan di tingkat dusun. Kalo ada kegiatan di tingkat intern
agama, yang lain ga ikut. Tapi kalo itu menyangkut kegiatan dusun
misalnya kas desa seperti nyadran, ikut. Doanya menggunakan secara Islam
juga menggunakan secara Sapta Darma, kalo di umum. Kalo acara umum
yang biasa kami ikuti misalnya Halal Bihalal, kerja bakti, gotong royong
membangun rumah, peringatan hari-hari besar, dan masih banyak lagi.
Pas puasa, saya dapat jatah jaburan mbak. Kami bisa hidup berdampingan,
saling menghormati. Terus halal bihalal, dan diundang pengajian, pokoknya
gak ada masalah. Biasa saja.
f. Ada kunjungan dari mahasiswa seperti mahasiswa Syailendra dari Kopeng.
12 mahasiswa, dosennya satu. Ada dari UIN Walisongo Semarang, UNNES,
dan masih banyak lagi. Saya juga sering bilang ke teman-teman komunitas.
Tolong bantu kami dikenalkan ke masyarakat. Istilahnya biar gak saling
curiga. Gak ada lagi “Ini apa sih?’. Jadi kalo sudah tahu dan kenal, mereka
tahu bahwa ternyata Indonesia ada penghayat seperti kami.
g. Iya, mbak. Saya juga DPP di desa. Sekarang mau ada pemilihan kepala
desa. Saya bersyukur ikut terlibat menjadi panitia Pilkades juga.
h. Sebelumnya ada Kemendikbud 27 tahun 2016 tentang layanan pendidikan
penghayat kepercayaan. Disosialisasikan oleh Pak Anis Baswedan.
Disosialisakan kepada penghayat, dan 2017 awal sudah mulai ke sekolah-
sekolah untuk mendata siswa yang penghayat. Kalo sekolahnya bisa,
dikirim guru penghayat. Persetujuan lisan. Orang tua murid yang ingin
dididik secara kepercayaan, harus buat pernyataan tertulis dilampirkan KK
atau KTP orang tua. Perwakilan Persada akan ke sekolah. Kurikulum
bekerja sama dengan MLKI, disusun Direktorat Kepercayaan. Yang
diajarkan di sekolah oleh pendamping aliran kepercayaan secara umum ada
5 aspek yaitu sejarah kepercayaan terhadap Tuhan YME dan tokoh-
tokohnya, budi pekerti, keagungan Tuhan, martabat spiritual, dan larangan
serta kewajiban penghayat. Kita ajarkan 5 aspek tersebut, kan masih masuk.
Kita tambahkan sendiri materi Sapta Darma. Materi belum sempurna,
tantangan untuk penyuluh termasuk mengembangkan materi dan
administrasi pendidikan belum bisa masuk ke Kaprodik sekolah, jadi nilai
dompleng ke agama. Ada yang di raport di kosongi terus dilampirkan.
Daftar Informan
1. Nama : Adi Pratikto
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 42 tahun
Jabatan : Ketua Persada Kabupaten Semarang
Pekerjaan : Petani
Alamat : Dusun Legowo RT 04/RW 01
2. Nama : Sulikah
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 39 tahun
Jabatan : -
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Dusun Legowo RT 04/RW 01
3. Nama : Surani
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 33 tahun
Jabatan : -
Pekerjaan : Guru
Alamat : Dusun Legowo RT 04/RW 01
4. Nama : Budi Nurcahyono
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 38 tahun
Jabatan : -
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Dusun Legowo RT 04/RW 01
5. Nama : Ferdi Prasetyo
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 17 tahun
Jabatan : -
Pekerjaan : Siswa
Alamat : Dusun Legowo RT 04/RW 01
6. Nama : Hari Suyitno
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 65 tahun
Jabatan : Tuntunan Kerohanian Sapta Darma Kab. Semarang
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Kauman, Kebonwage, Banyubiru
7. Nama : Tasminto
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 28 tahun
Jabatan : -
Pekerjaan : Guru Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan YME
Alamat : Ngablak, Candi, Bandungan
8. Nama : Sri Utami
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 29 tahun
Jabatan : -
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Sumowono, Kab. Semarang
9. Nama : Abdul Haris
Jenis Kelamin : :Laki-laki
Umur : 45 tahun
Jabatan : -
Pekerjaan : Petani
Alamat : Bandungan, Kab. Semarang
10. Nama : Ngatirah
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 40 tahun
Jabatan : -
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Bandungan, Kab. Semarang
11. Nama : Ngatinem
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 50 tahun
Jabatan : -
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Candi, Bandungan, Kab. Semarang
Daftar Penghayat Sapta Darma Di Dusun Legowo Desa Duren
Kecamatan Bandungan
No Nama Tanggal Lahir L/P Alamat
1 Soejoet 16/01//1944 L Dusun Legowo RT 04/RW 01
2 Roemijem 02/08/1948 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
3 Basiron 31/12/1947 L Dusun Legowo RT 04/RW 01
4 Mini 31/12/1943 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
5 Iswandi 08/10/1969 L Dusun Legowo RT 04/RW 01
6 Aminah 10/06/1943 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
7 Kamrin 11/12/1972 L Dusun Legowo RT 04/RW 01
8 Mustakimah 20/10/1968 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
9 Adi Pratikto 24/11/1977 L Dusun Legowo RT 04/RW 01
10 Sulikah 05/05/1980 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
11 Budi Nurcahyono 05/10/1981 L Dusun Legowo RT 04/RW 01
12 Surani 26/09/1986 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
13 Wulan Kusmargiyono 25/02/1996 L Dusun Legowo RT 04/RW 01
14 Kastibah 22/11/1933 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
15 Hendy Hendarto 29/06/1996 L Dusun Legowo RT 04/RW 01
16 Jumini 12/09/1945 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
17 Aprililia Sekar HC 10/04/2011 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
18 Nimas Amalia C 29/12/2013 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
19 Ferdi Prasetyo 22/07/2002 L Dusun Legowo RT 04/RW 01
20 Fadli Surya Nugraha 06/06/2014 L Dusun Legowo RT 04/RW 01
21 Elfa Maya Ken U 18/04/2018 P Dusun Legowo RT 04/RW 01
Dokumentasi
Gambar 1. Sanggar Candi Busana Legowo
Gambar 2. Suasana Ibadah di dalam Sanggar
Gambar 3. Wawancara dengan Penghayat Sapta Darma
Gambar 4. Kartu Tanda Penduduk (KTP) Penghayat Sapta Darma
Gambar 5. Penghayat Sapta Darma Melakukan Sujud
Gambar 6. Penulis Foto Bersama Warga Penghayat Sapta Darma
Gambar 7. Prosesi Pernikahan Penghayat Sapta Darma
Gambar 8. Proses Pencatatan Perkawinan Penghayat di Disdukcapil
Gambar 9. Wawancara dengan Tuntunan Kerohanian Sapta Darma Kab. Semarang
Gambar 10. Penghayat Sapta Darma Terlibat dalam Rapat Pembentukan Panitia
Pilkades
Gambar 11. Penghayat Sapta Darma dan Warga Dusun Legowo Gotong Royong
CURRICULUM VITAE
Nama : Dina Rahayu
Tempat/Tgl. Lahir : Kab. Semarang, 9 November 1996
Alamat : Dusun Margosari RT 02 RW 06
Desa Koripan Kecamatan Susukan Kab. Semarang
Telepon (HP) : 085877480579
Status : Belum Menikah
Kewarganegaraan : Indonesia
Email : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
2002-2004 : TK Mekarsari Koripan
2004-2009 : SDN 2 Koripan
2009-2012 : MTsN Susukan
2012-2015 : SMAN 1 Tengaran
2015-2019 : IAIN Salatiga
PENGALAMAN ORGANISASI
2016 – 2018 : Divisi Pendidikan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika
2018 – 2019 : Divisi Komunikasi dan Publikasi Pusat Informasi Konseling
(PIK) Kec. Susukan
PELATIHAN
1. Pelatihan Keterampilan Produktif Berbasis Permintaan Pasar Bidang Handycraft
oleh Dinkop UKM Jawa Tengah (17-22 Juli 2017)
2. Pelatihan Manajemen Organisasi Pelajar, Mahasiswa dan Kepemudaan
Kabupaten Semarang (25-26 Juli 2017)
3. Pembentukan Keluarga Berkarakter Melalui Konsep Mindfull Parenting Kepada
Para Remaja Tingkat Jawa Tengah (04-05 Oktober 2018)
4. Magang di Jawa Pos Radar Semarang (28 Juli-28 September 2018)