pola komunikasi santri dan kyai di pondok...
TRANSCRIPT
POLA KOMUNIKASI SANTRI DAN KYAI
DI PONDOK PESANTREN SALAFIYAH
DAARUL ISTIQOMAH DESA KALANG GUNUNG
CIPEUCANG PANDEGLANG
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk
Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam
(S.Sos.I)
Oleh :
Anna Lestari Anwari
NIM:108051000148
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H / 2012 M
i
ABSTRAK
Anna Lestari Anwari
Pola Komunikasi Santri dan Kyai di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul
Istiqomah Cipeucang Pandeglang.
Pondok pesantren salafiyah merupakan salah satu institusi yang memiliki
andil cukup besar dalam perkembangan dakwah Islamiyah di Indonesia. Pola
komunikasi yang berlangsung di dalamnya juga terbilang khas. Namun informasi
seputar pola komunikasi santri dan kyai pondok pesantren salafiyah masih
terbatas. Penulis memilih Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah karena
Daarul Istiqomah merupakan pesantren salafiyah murni satu-satunya di Desa
Kalang Gunung dan keadaan pesantren yang menyatu dengan masyarakat tanpa
adanya sekat yang membatasi lingkungan pesantren dengan lingkungan luar.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis melakukan
penelitian di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah dengan fokus pada
pola komunikasi santri dan kyainya. Adapun pertanyaan yang dirumuskan adalah:
bagaimana pola komunikasi santri dan kyai serta apa saja yang menjadi faktor
penghambat komunikasi santri dan kyai di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul
Istiqomah?
Teori pola komunikasi yang digunakan dalam kajian ini adalah pola
komunikasi yang dirumuskan oleh Nurudin. Yakni pola komunikasi intrapersonal,
komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa.
Untuk mendapatkan data dan hasil yang maksimal, penulis menggunakan
metode penelitian deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Penulis
menggunakan wawancara mendalam sebagai salah satu teknik pengumpulan data
karena dengan teknik tersebut data yang jelas, rinci, dan mendalam bisa diperoleh.
Metode deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif ini diharapkan akan
menghasilkan gambaran-gambaran jelas mengenai pola komunikasi para santri
dan kyai yang serta gambaran tentang hambatan yang ada dalam proses
komunikasi tersebut.
Adapun pola komunikasi yang berlangsung di Daarul Istiqomah yaitu :
pola komunikasi intrapersonal yang dilakukan semua santri khususnya ketika para
santri memutuskan untuk masuk ke Pondok Pesantren Daarul Istiqomah.Pola
komunikasi interpersonal yang terjalin antar santri maupun santri dengan kyai
yang ditandai dengan prediksi yang dilakukan pada tahap psikologis, pola
komunikasi kelompok terjadi diantaranya ketika proses belajar mengajar.
Sedangkan pola komunikasi massa merupakan pola yang tidak berkembang di
Pondok Pesantren tersebut.Selain itu terdapat juga pola komunikasi yang berbeda
dari pola-pola umumnya, yakni pola komunikasi spiritual dan pola komunikasi
stersebut menjadi ciri khas di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah.
Hambatan komunikasi yang terjadi salah satunya dikarenakan oleh perbedaan
budaya dan cara pandang masing-masing santri.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Puji syukur yang tak terhingga atas nikmat luar biasa yang
diberikan Allah SWT kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyusundan
merampungkan skripsi ini. Hambatan serta rintangan yang ada selama proses
penyusunan skripsi ini juga merupakan suatu hadiah luar biasa dari-Nya. Karena
tanpa hambatan dan rintangan mustahil skripsi ini dapat menjadi skripsi yang
layak untuk dipublikasikan.
Sholawat serta salam senantiasa kita agungkan kepada junjungan alam,
pemimpin revolusi Islam sedunia yang kemasyurannya mengudara di seluruh
jagat raya, yang syafaatnya sangat diharapkan oleh semua umat manusia. Beliau
adalah Rasulullah SAW yang senantiasa membawa kita ke jalan kebenaran.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna. Banyak kekurangan dan kesalahan
yang menyertai skripsi ini. Namun, penulis telahmengerahkan segenap
kemampuan, tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan skripsi ini. Dan penulis
mempersembahkannya kepada kedua orang tua penulis, Ibunda Neneng Awaliyah
dan Ayahanda Anwar Sanusi. Karena doa dan dukungan mereka lah yang terus
memupuk semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
Dalam kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penyusunan skripsi ini.
Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Pembantu Dekan Bid. Akademik Drs. Wahidin Saputra, MA,
Pembantu Dekan Bid. Adm. Umum Drs. Mahmud Jalal MA, Pembantu
Dekan Bid. Kemahasiswaan Drs. Studi Rijal LK, MA.
iii
2. Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Drs. Jumroni, M.Si yang
telah mengarahkan penulis dalam pemilihan judul penelitian dan memilihkan
dosen pembimbing bagi penulis.
3. Sekretaris Jurusan sekaligus pembimbing skripsi,Umi Musyarofah, MA yang
selalu sabar dalam memberikan bimbingan dan pengarahan serta setia
mengoreksi tulisan-tulisan penulis.
4. Pembimbing Akademik, Drs. Cecep Castrawijaya, MA yang telah
meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis mengenai proposal
skripsi dan menyarankan beberapa alternatif judul kepada penulis.
5. Para dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
mewariskan ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga ilmu
yang diberikan bermanfaat bagi penulis dan menjadi amal sholeh yang akan
terus mengalir bagi para dosen.
6. KH. Tubagus Uwet Bueti selaku pengasuh Pondok Pesantren Daarul
Istiqomah yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian.
7. Ustad Muhammad Taufiq yang berbaik hati memberikan segala
informasi yang dibutuhkan oleh penulis.
8. Muhammad Juhandi yang selalu memberikan dukungan luar biasa
kepada penulis sehingga tetap semangat dalam menyusun skripsi ini
dan memberikan kemudahan akses bagi penulis dalam proses
penelitian.
9. Para santri Daarul Istiqomah yang begitu ramah dan terbuka kepada
penulis saat proses observasi dan wawancara dengan penulis.
iv
10. Teman-teman KPI E Multitalenta Angkatan 2008 yang telah menjadi
teman seperjuangan selama hampir empat tahun bersama penulis.
11. Sahabat-sahabat Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) Angkatan 19
dan para senior di Rumah Dunia Serang yang telah memberikan
banyak ilmu dan masukan tentang kepenulisan sehingga penulis lebih
giat lagi belajar menulis.
12. Semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya bagi yang
tersebut di atas yang telah memberikan doa dan dukungan penuh sehingga skripsi
ini dapat dirampungkan. Tentu saja skripsi ini jauh dari nilai kesempurnaan, namun
besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat memberi manfaat khususnya bagi peneliti
dan umumnya bagi pembaca. Amin.
Jakarta, 28 Mei 2012
Anna Lestari Anwari
NIM : 108051000148
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………….........i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….v
DAFTAR TABEL……………………………………………………………...vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ………………………………………….3
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………..5
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………5
E. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………….. 5
F. Metodologi Penelitian ………………………………………………….. 7
G. Sistematika Penulisan……………………………………………………15
BAB II LANDASAN TEORI
A. Komunikasi………………………………………………………………16
B. Pola Komunikasi………………………………………………………....23
C. Santri ……………………………………………………………………30
D. Kyai ……………………………………………………………………..32
E. Pondok Pesantren ……………………………………………………….33
BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN SALAFIYAH
DAARUL ISTIQOMAH
A. Sejarah Singkat Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah....………42
B. Visi dan Misi ……………………………………………………………45
C. Susunan Kepengurusan …………………………………………………45
D. Alamat Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah ………………...47
E. Rekapitulasi Santri ……………………………………………………...47
F. Aktivitas Pesantren ……………………………………………………..49
G. Aktivitas Harian ………………………………………………………...50
H. Aktivitas Mingguan …………………………………………………….52
I. Aktivitas Tahunan ………………………………………………………53
vi
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS
A. Komunikasi Intrapersonal Santri Daarul Istiqomah ……………………..54
B. Komunikasi Interpersonal di Daarul Istiqomah ………………………....58
C. Komunikasi Kelompok di Daarul Istiqomah …………………………....65
D. Komunikasi Massa ……………………………………………………....68
E. Komunikasi Spiritual Antara Santri dan Kyai …………………………..69
F. Hambatan Komunikasi Santri dan Kyai ………………………………...72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………...77
B. Saran …………………………………………………………………….79
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..81
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Daftar Santri Mukim …………………………………………….48
Tabel 2 Daftar Santri Kalong …………………………………………….49
Tabel 3 Aktivitas Harian …………………………………………………50
Tabel 4 Aktivitas Mingguan ……………………………………………..52
Tabel 5 Aktivitas Tahunan ………………………………………………53
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pondok pesantren salafiyah merupakan institusi yang
memiliki andil cukup besar dalam perkembangan dakwah Islamiyah
di Indonesia. Hingga kini eksistensi pesantren salafiyah dalam
kiprah dakwah Islamiyah masih terlihat dengan banyaknya pondok
pesantren salafiyah yang didirikan di Pulau Jawa dan Provinsi
Banten termasuk satu diantaranya. Jika kita melewati kawasan ini,
mulai dari Kabupaten Serang sampai kabupaten Pandeglang, kita
bisa melihat papan nama pondok-pondok pesantren di sepanjang
jalan. Oleh sebab itu, tak heran bila wilayah Pandeglang dikenal
dengan kota sejuta santri.
Nuansa keagamaan di wilayah tersebut juga masih terasa
sangat kental. Banyak acara-acara budaya bernuansa keagamaan
yang sering digelar disana. Seperti acara maulid Nabi Muhammad
SAW, pembacaan manakib Syekh Abdul Qadir al-Jailani, ziarah ke
makam para wali, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sampai saat
ini Banten dikenal sebagai daerah dengan penduduk yang religius.1
1Mohammad Hudaeri, dkk., “Penyerapan Nilai-Nilai Budaya Lokal Dalam
Kehidupan Beragama di Banten,” dalam Afif HM dan Saeful Bahri, ed., Harmonisasi
Agama dan Budaya di Indonesia (Jakarta : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Jakarta, 2009), h. 63.
2
Ditengah eksistensi pondok pesantren salafiyah dari masa ke
masa, informasi menganai pondok pesantren masih terbatas.2 Hal
tersebut yang menjadi salah satu dasar awal bagi penulis mengenai
pentingnya penelitian dengan objek pesantren salafiyah ini.
Pondok pesantren salafiyah Daarul Istiqomah merupakan
satu diantara ratusan pondok pesantren salafiyah yang berada di
Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Pondok Pesantren Salafiyah
Daarul Istiqomah merupakan bagian dari masyarakat salafiyah yang
konsisten menjaga dan melestarikan nilai-nilai dan budaya salafiyah.
Hal tersebut bisa langsung terlihat dari nama yang digunakan
pondok pesantren tersebut, yakni menggunakan kata „salafiyah‟.
Selain itu, kurikulum dan metode pendidikannya pun masih sangat
bercirikan salafiyah.
Kyai dan santri menjadi dua dari lima elemen utama dari
pondok pesantren salafiyah. Kyai dan santri merupakan unsur yang
membedakan pondok pesantren salafiyah dengan lembaga
pendidikan lain.3 Pola komunikasi santri dan kyainya pun memiliki
ke-khasan yang sangat berbeda dengan komunikasi pelajar dengan
guru atau mahasiswa dengan dosennya. Santri salafiyah sangat
terkenal dengan kebiasaan mereka menjunjung tinggi etika terhadap
guru. Mereka sangat mementingkan keridhoan guru terhadap
mereka. Karena mereka yakin bahwa keridhoan seorang guru sangat
2Amin Haedari, ed., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta : IRD Press, 2004), h. iii. 3Yasmadi, Modernisasi Pesantren : Kritik Nurcholish Madjis terhadap Pendidikan
Islam Tradisional (Jakarta : Quantum Teaching, 2005), h. 63.
3
berpengaruh pada kesuksesan dan keberkahan hidup mereka. Prinsip
inilah yang akhirnya membentuk sikap takzim seorang santri kepada
gurunya. Sikap takzim tersebut tentu mempengaruhi pola
komunikasi antara santri dan kyai karena pada dasarnya, komunikasi
selalu dipengaruhi oleh pikiran, nilai-nilai yang dianut, dan sikap
seseorang. Hal tersebut yang menjadi dasar ketertarikan penulis
untuk meneliti tentang pola komunikasi santri dan kyai di Pondok
Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah.
Hal lain yang mendasari pentingnya penelitian ini dapat
dilihat dari objek penelitiannya. Adapun yang menjadi objek
penelitian ini merupakan pondok pesantren salafiyah murni yang
tidak menyelenggarakan lembaga pendidikan formal. Kajian
mengenai pondok pesantren salafiyah masih jarang ditemui di
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Oleh karena itu, kajian ini berjudul Pola Komunikasi Santri
dan Kyai di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah Desa
Kalang Gunung Cipeucang Pandeglang.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Satu diantara karakteristik santri salafiyah adalah
menjunjung tinggi etika terhadap guru atau kyai. Begitu
4
mulianya derajat seorang guru di mata mereka. Sebagai contoh,
santri salafiyah tidak berani mendahului guru mereka ketika
berjalan, tidak berani mendebat, dan lain sebagainya. Itulah yang
menjadi ciri khas yang membedakan santri salafiyah dengan
santri atau pelajar dari lembaga pendidikan lain.
Perbedaan cara pandang serta perlakuan santri salafiyah
terhadap guru atau kyainya tentu akan menghasilkan pola
komunikasi yang hanya ditemui di dunia pesantren salafiyah. Hal
tersebut menjadi hal yang menarik dan penting untuk diteliti
lebih jauh.
Dengan kata lain, kajian ini berfokus pada pola komunikasi
interpersonal, intrapersonal, kelompok, dan komunikasi massa
yang dilakukan santri dengan kyai dalam kegiatan-kegiatan
sehari-hari yang ada di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul
Istiqomah.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pola komunikasi santri dan kyai di Pondok
Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah Desa Kalang
Gunung Cipeucang Pandeglang ?
b. Apakah faktor penghambat komunikasi santri dan kyai di
Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah Desa
Kalang Gunung Cipeucang Pandeglang ?
5
C. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi pola komunikasi santri dan kyai di Pondok
Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah Desa Kalang Gunung
Cipeucang Pandeglang.
2. Mengetahui fakor penghambat komunikasi santri dan kyai di
Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah Desa Kalang
Gunung Cipeucang Pandeglang
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademis : dapat menambah koleksi kajian Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi tentang pola
komunikasi, khususnya antar santri dan kyai di pondok
pesantren salafiyah.
2. Manfaat praktis : dapat menjadi evaluasi bagi komunikasi
santri dan kyai di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul
Istiqomah dan dapat menjadi rujukan bagi penelitian
selanjutnya yang ingin membahas tentang pola komunikasi
santri dan kyai di pondok pesantren salafiyah.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis menemukan beberapa skripsi yang bisa dijadikan rujukan
dalam penelitian ini, yaitu :
6
1. Pola Komunikasi Kyai dan Santri di Pondok Pesantren Al-
Asmaniyah Kampung Dukuhpinang, Tangerang, Banten.
Skripsi tersebut ditulis oleh Fajar Adzananda Siregar pada
tahun 2008. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bagaimana
pola komunikasi kyai dan santri dalam proses belajar
mengajar di Pondok Pesantren Al-Asmaniyah. Disana juga
dijelaskan bagaimana pola komunikasi antarpribadi dan
komunikasi instruksional di Pondok Pesantren Al-
Asmaniyah.
Skripsi yang ditulis oleh Fajar Adzananda ini merupakan
skripsi yang mengangkat pesantren salafiyah sebagai objek
penelitiannya. Pola komunikasi yang diteliti hanya berfokus
pada komunikasi antarpribadi dalam proses belajar mengajar.
Sedangkan, skripsi yang disusun penulis lebih berfokus pada
semua pola komunikasi yang dilakukan oleh santri dan kyai
di pesantren salafiyah Daarul Istiqomah yang tidak terbatas
pada proses belajar mengajarnya saja.
2. Komunikasi Antarpribadi Pengasuh dan Santri Pondok
Pesantren Al-Idrus Kalanganyar Lebak Banten ditulis oleh
Zaeni Rokhi pada tahun 2010. Skripsi tersebut menjelaskan
bahwa komunikasi antarpribadi yang berjalan antara
pengurus dan santri pada pondok pesantren Al-Idrus
merupakan kegiatan yang dijadikan metode penunjang dalam
pembinaan santri didik.
7
Zaeni Rokhi juga mengambil latar pondok pesantren sebagai
objek penelitiannya. Namun, pesantren Al-Idrus yang diteliti
oleh Zaeni Rokhi adalah bukan pesantren salafiyah murni.
Pesantrennya sudah berkembang menjadi pesantren
campuran. Selain mempelajari kitab klasik dengan metode
salafiyah, Zaeni Rokhi juga menjelaskan bahwa terdapat
sekolah dengan pelajaran-pelajaran umum.
Hal tersebut tentu berbeda dengan penelitian yang dilakukan
penulis. Penulis meneliti pesantren salafiyah murni yang
hanya mengkaji kitab-kitab klasik tanpa tambahan pelajaran-
pelajaran umum. Perbedaan dalam objek kajian skripsi Zaeni
Rokhi dengan kajian yang diangkat penulis akan memberikan
hasil yang berbeda karena pola komunikasi yang didapatkan
juga pasti berbeda. Perbedaan tersebut bukan hanya terjadi
karena perbedaan tempat atau lokasi penelitian, namun juga
disebabkan oleh perbedaan sistem pesantren modern dengan
pesantren salafiyah.
F. Metodologi Penelitian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metodologi berarti ilmu
tentang metode atau uraian tentang metode. Metode itu sendiri
berarti cara kerja yang bersistem untuk melaksanakan suatu
pekerjaan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Maka secara
8
umum, metodologi penelitian dapat dipahami sebagai uraian tentang
tata cara dalam menjalankan suatu penelitian.
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Metode ini
digunakan bertujuan untuk mendapatkan hasil penelitian yang
objektif dan tepat untuk dijadikan dasar penelitian.
Penelitian komunikasi dengan pendekatan kualitatif biasanya
ditujukan untuk menghasilkan gambaran-gambaran mengenai
cara, proses, serta penyebab terjadinya suatu fenomena dalam
komunikasi. Metode deskriptif analisis dengan pendekatan
kualitatif ini diharapkan akan menghasilkan gambaran-gambaran
jelas mengenai pola komunikasi para santri dan kyai yang serta
gambaran tentang hambatan yang ada dalam proses komunikasi
tersebut.
Adapun tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Identifikasi Masalah
Indentifikasi masalah merupakan langkah awal yang
dilakukan dalam penelitian. Mengidentifikasi masalah
berarti menentukan atau menetapkan masalah yang
berkaitan dengan penelitian. Identifikasinya bisa diawali
dengan pertanyaan-pertanyaan seputar penelitian, seperti
9
: mengapa pola komunikasi santri dan kyai penting untuk
diteliti? Apa saja manfaat dari penelitian ini? Bagaimana
proses penelitiannya?
b. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat
penting dalam penelitian karena cara pengumpulan data
yang benar akan menghasilkan data yang berkualitas dan
memiliki kredibilitas yang baik.4 Oleh karena itu, tahap
pengumpulan data harus dilakukan dengan penuh
keseriusan dan ketelitian. Data yang dimaksud dalam
penelitian kualitatif adalah semua data yang bukan angka
seperti teks, foto, atau cerita.
Partisipan yang dipilih dalam penelitian ini
merupakan orang-orang yang memiliki kredibilitas untuk
memberikan informasi yang dibutukan peneliti. Adapun
yang menjadi partisipannya adalah santri yang memiliki
informasi seputar proses komunikasi. Kedua, santri yang
mampu menceritakan pengalaman seputar proses
komunikasi dengan kyai. Ketiga, santri senior yang sudah
nyantren lebih dari tiga tahun sedangkan santri junior
yaitu santri yang nyantren kurang dari setahun.
c. Focus Group Discussion
4Rahardjo, Mudjia., “Metode Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif,” artikel di
akses pada 6 Februari 2012 dari http://mudjiarahardjo.com/artikel/336.html?task=view.
10
Focus Group Discussion (FGD) merupakan suatu
metode penelitian yang berupaya untuk mengumpulkan
data dan informasi secara sistematis. Irwanto
menyebutkan bahwa FGD memiliki tiga kunci utama,
yakni diskusi, kelompok, dan terfokus.5
FGD juga dapat diartikan seagai teknik pengumpulan
data kualitatif berupa diskusi atau wawancara kelompok
yang dipimpin oleh moderator. FGD berfungsi untuk
mendapatkan informasi atau pandangan umum tentang
topik penelitian. Peserta FGD biasanya terdiri dari 6-12
orang.6
Dalam penelitian ini, penulis mengambil 8 santri
untuk menjadi peserta FGD. Delapan orang tersebut tentu
yang termasuk dalam kriteria partisipan sebagaimana
dikemukakan sebelumnya. FGD dilakukan di Majelis
Pondok Pesantren Daarul Istiqomah dipandu oleh penulis
sebagai moderator dan dibantu satu orang notulis.
d. Wawancara
Wawancara adalah proses pengumpulan data dengan
cara melakukan tanya jawab antara pewawancara
(peneliti) dengan informan. Dalam wawancara juga
dibutuhkan adanya pedoman atau panduan wawancara.
5Irwanto, Focused Group Discussion : Sebuah Pengantar Praktis (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 1. 6Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta : Remaja Rosdakarya,
2007), h. 226-230.
11
Panduan wawancara berisi daftar pertanyaan yang akan
diajukan. Panduan wawancara juga harus disusun
sebelum melakukan wawancara agar pada saat
pelaksanaannya, peneliti tidak lagi direpotkan untuk
mencari-cari pertanyaan.7
Selain itu, wawancara mendalam juga dilakukan
dengan intensif. Pewawancara harus mampu menggali
informasi yang lengkap dan dalam dari informan. Oleh
karena itu, butuh waktu yang lama untuk melakukan
wawancara mendalam ini.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara
di kobong atau asrama dan majelis Pondok Pesantren
Salafiyah Daarul Istiqomah. Wawancara akan dimulai
dengan menanyakan tentang latar belakang para santri
tertarik untuk masuk ke Daarul Istiqomah.
e. Observasi
Observasi atau pengamatan dilakukan dalam
penelitian kualiatif untuk mendapatkan kebenaran data.
Karena peneliti terjun langsung ke lapangan, mengamati,
dan mencatat semua hal yang berkenaan dengan
penelitian.
7Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta : Remaja Rosdakarya,
2007), h. 186-208.
12
Oleh karena itu, pengamatan langsung ke lapangan
dibutuhkan untuk melihat dan mengidentifkan situasi
Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah.
f. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian berarti proses
mengolah data hasil penelitian dengan cara membaca
ulang seluruh data yang terkumpul selama penelitian
disertai dengan pembuatan ringkasan dan klasifikasi.8
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu
mengadakan pratinjau sebelum penelitian. Peninjauan sebelum
penelitian dilakukan pada Desember 2011 – Januari 2012.
Sepanjang itu, penulis melihat dan mengenali lingkungan,
mengakrabkan diri dengan keluarga besar pesantren (kyai, ustad,
dan santri), mengurus perijinan, dan lain sebagainya. Adapun
proses penelitiannya dilakukan pada 15 Februari – 31 April
2012.
Penelitian ini berlokasi di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul
Istiqomah Desa Kalang Gunung RT. 02 RW. 02 Kecamatan
Cipeucang Kabupaten Pandeglang Banten. Daarul Istiqomah
merupakan pesantren salafiyah murni satu-satunya yang ada di
8J.R Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karateristik, dan Keunggulannya,
(Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 76.
13
Desa Kalang Gunung Cipeucang Pandeglang. Pondok Pesantren
Salafiyah Daarul Istiqomah juga tidak seperti pesantren pada
umumnya yang memiliki sistem komplek. Daarul Istiqomah
dibangun di tengah-tengah masyarakat tanpa ada sekat atau
dinding yang mengelilingi pesantren. Hal tersebut memudahkan
penulis untuk mendapatkan akses informasi yang terbuka karena
keluarga Daarul Istiqomah sudah biasa berinteraksi dengan
lingkungan luar (masyarakat sekitar yang tidak nyantren tetapi
hidup berdampingan dengan penghuni pesantren).
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah sumber utama yang
memperkaya data penelitian. Sedangkan objek penelitian
merupakan hal yang ingin diteliti. Dengan kata lain, yang
menjadi subjek dalam penelitian ini adalah kyai dan santri
Daarul Istiqomah sedangkan yang menjadi objek penelitiannya
adalah pola komunikasi santri dan kyai di Pondok Pesantren
Salafiyah Daarul Istiqomah.
Adapun kriteria subjek yang akan dijadikan informan oleh
penulis adalah sebagai berikut :
a. Santri yang memiliki informasi seputar proses
komunikasi.
b. Santri yang mampu menceritakan pengalaman seputar
proses komunikasi dengan kyai.
14
c. Santri senior yang sudah nyantren lebih dari tiga
tahun sedangkan santri junior yaitu santri yang
nyantren kurang dari setahun.
Dari kriteria yang terlah ditentukan di atas, terpilihlah
delapan orang santri yang menjadi peserta FGD dan
selanjutnya akan dipilih tiga orang dari peserta FGD
untuk menjadi sumber dalam wawancara. Adapun daftar
pesertanya adalah :
a. Andi Supandi
b. Alpin Maulana
c. Muhammad Ade Istiqorie
d. Muhammad Dahlan
e. Muhammad Juhandi
f. Rohman Iskandar
g. Surya
h. Tb. Hasan Basri
Selain sumber utama di atas, penulis juga melibatkan
beberapa sumber yang juga memiliki informasi-informasi
penting seputar pola komunikasi santri dan kyai di Daarul
Istiqomah, yaitu :
15
a. KH. Tubagus Uwet Bueti sebagai pimpinan
sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah
Daarul Istiqomah.
b. Ustad Muhammad Taufiq selaku pengajar di
Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini disesuaikan dengan
petunjuk yang terdapat dalam CeQda, yaitu skripsi terdiri dari lima
bab mengikuti pokok permasalahan yang akan dibahas oleh penulis.
Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :
Bab I adalah penjelasan tentang latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat akademis
dan praktis, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II terdiri dari landasan teori mengenai komunikasi
(definisi komunikasi, unsur-unsur komunikasi, tujuan komunikasi,
dan hambatan komunikasi), pola komunikasi (definisi pola
komunikasi, macam-macam pola komunikasi), santri, kyai, dan
pondok pesantren salafiyah.
Bab III merupakan pemaparan profil Pondok Pesantren
Salafiyah Daarul Istiqomah (sejarah singkat, alamat, visi dan misi,
aktivitas pesantren, susunan kepengurusan, metode pendidikan dan
kurikulum).
16
Bab IV adalah penjabaran analisis pola komunikasi santri
dan kyai serta analisis mengenai faktor penghambat komunikasi
santri dan kyai di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah.
Bab V adalah penutup yang menyajikan kesimpulan dan
saran.
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Komunikasi
1. Definisi Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu aspek utama dalam kehidupan
manusia. Tanpa komunikasi manusia tidak akan bisa survive untuk
melangsungkan kehidupannya. Komunikasi diibaratkan sebagai nafas
untuk melakukan semua aktivitas, mulai dari belajar, bergaul,
beribadah, dimanapun dan kapanpun aktivitas itu dilakukan tidak bisa
terlepas dari komunikasi.
Komunikasi juga berfungsi untuk membentuk konsep diri dan
aktualisasi diri. Komunikasi pula yang memungkinkan kita
berinteraksi dan melakukan kerja sama dengan orang lain. Komunikasi
pula yang menghasilkan penilaian atau persepsi orang lain terhadap
diri kita, dan sebagainya.1
Secara bahasa, komunikasi berasal dari bahasa Latin
communicatio, yang asal katanya adalah communis. Communis berarti
sama. Sama yang dimaksud adalah kesamaan makna. Menurut Onong
Uchjana, kesamaan makna yang dimaksud diatas hanya sebatas arti
kata saja. Dengan kata lain, komunikasi paling tidak harus memiliki
kesamaan makna antara komunikator dengan komunikan agar
komunikasi tersebut berjalan efektif. Karena komunikasi tidak hanya
1Deddy Mulayana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2007), h. 6.
18
bersifat informatif (sebatas memberi pengetahuan dan pengertian),
tetapi juga bersifat persuasif (memberikan pemahaman atau keyakinan
dan kesedian untuk melakukan suatu perbuatan). 2
Deddy Mulyana menyebutkan tiga konseptualisasi komunikasi.
Tiga konseptualisasi tersebut yaitu : komunikasi sebagai tindakan satu
arah, komunikasi sebagai proses interaksi, dan komunikasi sebagai
transaksi.3 Dari tiga konsep tersebut kita bisa melihat beberapa definisi
komunikasi yang dikemukakan para ahli.
Dalam konsep komunikasi sebagai tindakan satu arah, Benard
Berelson dan Gary A. Steiner mendefinisikannya sebagai transmisi
informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dengan menggunakan kata-
kata, gambar, dan lain sebagainya. Menurut Gerald R. Miller,
komunikasi berarti proses yang terjadi ketika komunikator
menyampaikan pesan kepada komunikan dengan penuh kesadaran
untuk mempengaruhi komunikan.4
Komunikasi dalam konsep interaksi memiliki arti yang lebih luas
bila dibandingkan dengan komunikasi dalam konsep tindakan satu arah
karena dalam konsep ini, komunikasi dipandang sebagai proses
pertukaran pesan dua arah. Artinya komunikan tidak hanya bertugas
menerima pesan, namun ada kalanya komunikan juga menjadi
2Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung : Rosda, 2007),
h. 9. 3Deddy Mulayana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2007), h. 67. 4Ibid, h. 67.
19
komunikator.5 Dengan kata lain, ada proses interaksi atau sebab akibat
dalam konsep ini. Pada saat komunikator memberikan pesan,
komunikan tidak hanya menerima namun juga memberikan tanggapan
sehingga komunikasi berjalan dua arah. Istilah tersebut dikenal dengan
feed back atau umpan balik.
Sementara itu menurut kerangka konsep transaksional, komunikasi
tidak terbatas pada hal-hal yang disengaja. Komunikasi juga dapat
terjadi tanpa disengaja atau disadari oleh pelakunya. Bentuk
komunikasi yang tidak disadari biasanya merupakan komunikasi non
verbal,6 seperti ekspresi wajah, cara berpakaian, gelengan kepala, dan
sebagainya. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa itu semua juga
bagian dari komunikasi.
2. Unsur-unsur Komunikasi
Unsur-unsur komunikasi terdiri dari sumber, pesan, media,
penerima, efek, dan feedback. Hal tersebut sejalan dengan definisi
komunikasi yang dirumuskan oleh Harold D. Lasswell yaitu Who Says
What In Which Channel To Whom With What Effect yang artinya Siapa
mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dan apa
pengaruhnya. Demikian pula dengan unsur komunikasi yang
5Deddy Mulayana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2007), h. 72. 6Ibid, h. 74.
20
diformulasi oleh David K. Berlo. Formula Berlo dikenal dengan
SMCR, yakni Source, Message, Channel, dan Receiver.7
Adapun umumnya, unsur-unsur komunikasi adalah sebagai
berikut:
a. Sumber
Sumber adalah pembuat dan pengirim informasi. Ada juga
yang mengartikan sumber sebagai dasar dari sebuah informasi.
Oleh karena itu sumber bisa berupa orang, buku, koran, dan
sebagainya. Bila dikaitkan dalam komunikasi antar manusia,
sumber ini biasa disebut komunikator.
Komunikator tidak hanya berfungsi sebagai pengirim
informasi, namun ia juga bisa berperan sebagai komunikan
yang memberikan tanggapan atau umpan balik dalam proses
komunikasinya.
b. Pesan
Pesan adalah sesuatu yang disampaikan komunikator
kepada komunikan dalam proses komunikasi.8 Pesan dapat
disampaikan secara langsung dengan tatap muka, atau melalui
media. Pesan juga dapat berupa informasi, hiburan, ajakan, atau
paksaan.
Agar pesan dapat diterima oleh komunikan, maka pesan
harus bisa dipahami, jelas, bahasa atau istilah yang digunakan
7Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007),
h.23. 8Ibid, h.24.
21
merupakan bahasa atau istilah yang dimengerti oleh komunikan
dan seimbang.
c. Media
Media yang dimaksud adalah saluran atau cara pengiriman
pesan dari komunikator kepada komunikan. Media ini
bermacam-macam. Ada yang menyebutkan bahwa alat indra
manusia pun masuk dalam kategori media karena alat indra
itulah yang memungkinkan manusia melakukan komunikasi.
Seperti mulut, ekspresi wajah, gerakan tangan atau kaki, dan
sebagainya.9
Media juga bisa berupa gadget seperti telepon, fax, ponsel,
laptop, dan lain-lain. Dalam komunikasi massa, kita mengenal
adanya media massa yang juga bisa menjadi media komunikasi
seperti koran, tabloid, tv, radio, internet, dan lain sebagainya.
d. Penerima
Penerima adalah pihak yang menerima pesan dari
komunikator. Penerima juga dikenal dengan istilah komunikan.
Komunikan bisa terdiri dari satu orang atau lebih.10
e. Efek
Efek atau pengaruh muncul setelah komunikasi dilakukan.
Dapat dikatakan juga bahwa efek merupakan hasil akhir proses
9Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007),
h. 23. 10
Ibid, h.27.
22
komunikasi. Efek tersebut bisa dilihat dari perubahan perasaan,
pengetahuan, atau sikap komunikan.11
f. Feedback (Umpan Balik)
Feedback merupakan tanggapan yang diberikan oleh
komunikan atas apa yang disampaikan oleh komunikator. Ada
yang beranggapan bahwa tanpa feedback pun komunikasi bisa
tetap berlangsung, namun banyak juga yang mengatakan bahwa
dalam komunikasi harus ada feedback karena feedback
merupakan indikasi dari partisipasi komunikan. Komunikasi
tidak hanya berjalan satu arah, namun juga dua arah.12
3. Hambatan Komunikasi
Hafied Cangara menyebutkan tujuh macam hambatan komunikasi
yaitu : gangguan teknis, gangguan semantik, gangguan psikologis,
rintangan fisik, status, kerangka berpikir, dan budaya.13
Pertama, gangguan teknis adalah gangguan yang terjadi pada
saluran atau media komunikasi.14
Contoh, hujan deras disertai petir
mengakibatkan gangguan pada jaringan telepon. Sehingga ketika si A
menelepon si B, suara si A terdengar terputus-putus, sehingga si B
tidak bisa menangkap apa yang disampaikan si A.
Kedua, gangguan semantik merupakan gangguan yang disebabkan
oleh penggunaan bahasa yang kurang tepat, perbedaan bahasa dan latar
11
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007),
h. 27. 12
Ibid, h.28. 13
Ibid, h.153. 14
Ibid, h.153.
23
belakang budaya, atau kalimat yang tidak sistematis sehingga
membingungkan, dan lain sebagainya.15
Contoh, Ketika seorang
mahasiswa mewawancarai seorang petani desa yang hanya lulusan SD,
dan mahasiswa tersebut menggunakan kata-kata atau istilah-istilah
ilmiah yang tidak dipahami oleh si petani tersebut.
Ketiga, gangguan psikologis ialah gangguan yang terjadi karena
adanya masalah dalam diri individu.16
Misalnya ketika seseorang
dalam keadaan takut, ia ingin sekali mengungkapkan ketakutannya,
namun sepertinya semua kata tertahan di tenggorokannya sehingga
bicaranya terbata-bata dan orang lain tak dapat menangkap pesan yang
ia berikan.
Keempat, rintangan fisik bisa berupa perbedaan letak geografis
antara komunikan dengan komunikator, ditambah lagi dengan sulitnya
mendapatkan akses media komunikasi. Selain perbedaan letak
geografis, rintangan fisik juga bisa diartikan adanya ketidaknormalan
pada panca indera komunikan, seperti kurangnya daya pendengaran
atau penglihatan.17
Kelima, rintangan status adalah rintangan yang terbentuk karena
adanya perbedaan status antara komunikator dengan komunikan.
Contoh, perbedaan status mahasiswa dan dosen sering membuat
mahasiswa canggung untuk berkomunikasi dengan dosennya.
15
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007)
h.154. 16
Ibid, h. 154. 17
Ibid, h.155.
24
Keenam, rintangan kerangka berpikir ini terjadi karena adanya
perbedaan cara pandang diantara pelaku komunikasi. Perbedaan cara
pandang atau persepsi terhadap sesuatu hal tak jarang menghambat
proses komunikasi dan menimbulkan konflik. Contoh, mantan Wakil
Bupati Garut, Dicky Chandra menyatakan mundur dari jabatannya
karena terdapat perbedaan pandangan dan prinsip antara dirinya
dengan Bupati Garut.
Ketujuh, rintangan budaya adalah rintangan berupa perbedaan
sistem nilai, adat dan kebiasaan komunikator dengan komunikan.18
Tidak semua orang bisa dengan mudah memahami dan menerima
nilai-nilai budaya masyarakat. Contoh, orang Amerika menganggap
bahwa pembicaraan seputar agama dan politik adalah hal yang sangat
privasi, sehingga dianggap kurang sopan untuk membicarakan atau
menanyakan seputar hal tersebut. Kenyataan tersebut bertolak
belakang dengan budaya di Indonesia, biasanya di Indonesia,
keyakinan dan afiliasi politik seseorang menjadi hal yang biasa untuk
diperbincangkan.19
B. Pola Komunikasi
1. Definisi Pola Komunikasi
Pola komunikasi merupakan gabungan dari dua kata, yakni pola
dan komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti
18
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007),
h. 155. 19
Deddy Mulyana, Komunikasi Humoris : Belajar Komunikasi Lewat Cerita dan Humor
(Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2008), h. x.
25
bentuk atau sistem.20
Dalam kajian ini, pola merupakan suatu rangka
atau bentuk yang digunakan untuk membuat sesuatu yang sama
dengan rangka tersebut. Pola juga dapat diartikan sebagai proses atau
sistem berjalannya sesuatu.
Nurudin menjelaskan bahwa pada dasarnya komunikasi adalah
sebuah pemrosesan ide, gagasan, lambang, dan melibatkan orang lain
di dalam proses tersebut. Setiap orang memiliki perbedaan dalam
melakukan pemrosesan ide, gagasan, dan lambang tersebut sehingga
terdapat pola-pola tertentu sebagai wujud perilaku manusia dalam
berkomunikasi.21
2. Macam-macam Pola Komunikasi
Joseph A. Devito mengelompokkan pola komunikasi menjadi
empat macam, yaitu komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok
kecil, komunikasi publik, dan komunikasi massa. Adapun Nurudin
memiliki konsep yang lain dari Joseph A. Devito. Menurut Nurudin,
pola komunikasi yang berkembang di Indonesia yaitu meliputi
komunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal), komunikasi
antarpribadi (interpersonal), komunikasi kelompok, dan komunikasi
massa.22
20
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 2005), h. 884-885. 21
Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), h.26. 22
Ibid.
26
a. Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi intrapersonal atau dalam istilah bahasa
Indonesia disebut dengan komunikasi dalam diri, atau komunikasi
dengan diri sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses komunikasi
seseorang dengan dirinya, pikirannya, dan perasaannya. Ketika kita
berpikir, merenung, dan merasakan bahwa pikiran kita mengalir
dan kita hanyut dalam pikiran kita tersebut, sebenarnya tanpa
disadari kita sedang berkomunikasi dengan diri sendiri.
Sebagai contoh, ketika seseorang yang baru lulus SMA, dia
berpikir untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.
Dia memikirkan jurusan yang diinginkan, baik buruknya, biayanya,
peluang kerjanya, dan sebagainya. Dia juga mulai mencari
informasi tentang perguruan tinggi yang ada. Dan akhirnya ia
memutuskan untuk mendaftar di beberapa perguruan tinggi negeri.
Komunikasi dengan diri sendiri ini memiliki beberapa
karakteristik, penulis mengutip dari buku Sistem Komunikasi
Indonesia yang ditulis oleh Nurudin sebagai berikut :
“Ada tanda-tanda umum sesuatu bisa dikatakan
komunikasi dengan diri sendiri, yaitu : keputusan
merupakan hasil berpikir atau hasil usaha intelektual,
keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif,
keputusan selalu melibatkan tindakan nyata walaupun
pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau dilupakan.”23
23
Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007), h. 30.
27
b. Komunikasi Interpersonal
Untuk memahami definisi dari komunikasi interpersonal
atau komunikasi antarpribadi memang tidak mudah. Menurut
Budyatna, komunikasi antarpribadi bukan hanya sebatas
komunikasi yang dilakukan dengan tatap muka dan memberikan
feedback secara langsung. Menurutnya, komunikasi antarpribadi
harus dilihat dari tingkatan analisis dalam melakukan prediksi yang
dilakukan oleh komunikator.24
Gerald R. Miller menyatakan bahwa terdapat tiga tingkatan
analisis dalam melakukan prediksi, yaitu : analisis tingkat kultural,
sosiologis, dan psikologis.25
Pertama, analisis tingkat kultural yaitu analisis yang
dilakukan oleh komunikator untuk mengetahui latar belakang
budaya komunikannya. Kedua, analisis tingkat sosiologis terjadi
ketika komunikator mengidentifikasi latar belakang sosiologis
komunikannya. Ketiga, analisis tingkat psikologis merupakan
analisis yang dilakukan komunikator dengan melihat kepribadian
dan watak komunikannya. Jika komunikan mampu melakukan
prediksi di tingkat psikologis. Maka saat itu pula bisa dinyatakan
terjadinya komunikasi antarpribadi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam komunikasi
antarpribadi segala atribut sosial dilepaskan. Artinya dalam
24
M. Budyatna dan Nina Mutmainah, Komunikasi Antarpribadi (Jakarta : Universitas
Terbuka, 1994), h. 12. 25
Ibid
28
hubungan komunikasi antarpribadi, status sosial seseorang tidak
lagi diperhitungkan. Misalnya saja komunikasi antarpribadi yang
dilakukan oleh atasan dan bawahan, mahasiswa dengan dosen, dan
lain sebagainya.26
c. Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok, sebagaimana pola-pola komunikasi
yang lain juga memiliki beberapa ciri khusus. Nurudin
menyebutkan tiga ciri yang dapat mengidentifikasi tejadinya
komunikasi kelompok. Ciri-cirinya yaitu, komunikator
menyampaikan pesan kepada komunikan dalam jumlah besar
dengan cara tatap muka, komunikasi berlangsung terus-menerus
(berkelanjutan), dan pesan yang disampaikan adalah pesan yang
sudah dipersiapkan terlebih dahulu.27
Kelompok berarti sekumpulan orang yang terikat, memiliki
tujuan dan organisasi baik formal maupun informal, dan
melibatkan interaksi antara sesama anggota kelompok.28
d. Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan
melalui media massa. Menurut Onong Uchjana Effendy dalam
26
M. Budyatna dan Nina Mutmainah, Komunikasi Antarpribadi (Jakarta : Universitas
Terbuka, 1994), h. 39. 27
Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007), h.33. 28
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011),
h.139.
29
buku Komunikasi Teori dan Praktek,29
komunikasi massa memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
Pertama, berlangsung satu arah. Komunikasi massa
berlangsung satu arah karena tidak ada feedback langsung dari
komunikan. Sebagai contoh, media massa sebagai komunikator
yang menyampaikan berita kepada masyarakat tidak dapat
mengetahui feedback masyarakat secara langsung namun bila
dilihat bila dilihat dari perkembangan media massa saat ini,
feedback dari komunikan dapat disampaikan melalui kolom opini
di koran-koran, atau program suara pemirsa di televisi, komentar-
komentar di facebook atau twitter yang biasanya disediakan oleh
media.
Kedua, komunikator merupakan sebuah lembaga karena
komunikasi massa dilakukan melalui media massa, maka yang
berperan sebagai komunikator adalah lembaga media massa itu
sendiri. Media massa pada dasarnya merupakan sebuah industri
yang memiliki organisasi. Dalam organisasi tersebut terdapat
wartawan, reporter, penyiar, dan sebagainya yang bertugas
membuat dan menyiarkan informasi untuk disampaikan kepada
masyarakat.
Ketiga, pesan bersifat umum. Karena media massa adalah
media umum yang diketahui serta dikonsumsi oleh masyarakat
luas, jadi pesan yang disebarkan juga bersifat umum. Umum dalam
29
Onong Uchjana Effendy, Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung : Rosda, 2007),
h.21.
30
arti ditujukan untuk khayalak dan untuk kepentingan khalayak.
Media massa tidak bisa mengirim pesan yang sifatnya rahasia atau
hanya ditujukan pada satu orang saja.
Keempat, disiarkan secara serempak. Salah satu kelebihan
media massa ialah kemampuannya mengirimkan pesan atau
informasi secara serempak. Media televisi atau radio dapat
menyiarkan informasinya secara serempak dan khalayak sebagai
komunikan juga dapat menerimanya secara serempak. Ketika
semua stasiun televisi memberitakan banjir di jalan tol Jakarta –
Merak, maka semua khalayak di seluruh Indonesia dapat
mengetahui dan menyaksikan informasi itu disaat yang bersamaan,
meskipun mereka tidak berada di satu wilayah.
Kelima, komunikan bersifat heterogen. Media massa
ditujukan untuk masyarakat umum yang memiliki perbedaan
wilayah geografis, budaya, agama, latar belakang pendidikan, dan
lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan komunikan bersifat
heterogen atau bermacam-macam. Tak jarang hal tersebut menjadi
salah satu kendala media massa dalam memasarkan produk atau
program-programnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pelaku
industri media massa melakukan segmentasi pasar. Mereka
membuat program-program berdasarkan segmentasi atau kelompok
sasarannya.
31
C. Santri
1. Definisi Santri
Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa makna kata santri berasal
dari dua sumber. Pertama, kata santri berasal dari bahasa Sanskerta
yang berarti melek huruf. Kedua, kata santri berasal dari bahasa Jawa
yang diambil dari kata cantrik. Cantrik berarti seorang murid yang
selalu mengikuti kemanapun gurunya pergi atau menetap.30
Dalam
literatur lain disebutkan, bahwa kata santri asalnya dari bahasa India,
yakni shastri yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau
buku-buku tentang ilmu pengetahuan.31
Santri salafiyah memiliki ciri yang khas yang membedakannya
dengan santri modern, pelajar, maupun mahasiswa. Satu diantaranya
adalah sikap ruh al-inqiyat yang tinggi, yaitu sikap mendengar dan
patuh pada kyai dan guru.32
Sikap tersebut memang sangat melekat
pada santri salafiyah karena bagi mereka keridhoan guru sangat
penting untuk kesuksesan hidup mereka. Maka mereka sangat
memuliakan kyai atau guru mereka agar mendapat keberkahan dan
ridho dari Allah SWT, sehingga ilmu yang diberikan kepada mereka
bermanfaat bagi kehidupan mereka saat ini hingga nanti.
Hal tersebut sejalan dengan salah satu bab yang dijelaskan di kitab
Ta’limul Muta’allimm karya Syekh Al-Zarnuzi. Kitab tersebut berisi
etika menuntut ilmu. Satu diantaranya yaitu dengan mengagungkan
30
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta : Paramadina, 1997), h. 19. 31
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Pesantren,” dalam Ensiklopedi Islam 4 (Jakarta :
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 99. 32
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta : Erlangga, 1992), h. 20.
32
ilmu dan ulama. Ungkapan Syekh Al-Zarnuzi ini menarik untuk
dikutip.
“Ketahuilah, bahwa penuntut ilmu tidak akan dapat meraih
ilmu dan memanfaatkan ilmunya kecuali dengan menghormati
ilmu dan ulama serta memuliakan dan menghormati guru. Orang
yang ingin mencapai sesuatu tidak akan berhasil kecuali dengan
menghargai dan orang tidak akan jatuh dalam kegagalan kecuali
dengan meninggalkan rasa hormat dan mengangungkan.”33
2. Kategorisasi Santri
Santri digolongkan menjadi dua. Pertama, santri mukim. Kedua,
santri kalong.34
Santri mukim adalah sebutan bagi santri yang tinggal
di asrama pondok pesantren yang biasa disebut kobong atau asrama.
Mereka menetap disana selama masih menimba ilmu di pondok
pesantren. Biasanya mereka hanya pulang pada waktu-waktu tertentu,
seperti Idul Fitri, Idul Adha, atau waktu-waktu lain yang
mengharuskan mereka pulang ke rumah. Bahkan ada juga santri senior
yang mengabdi di pondok pesantrennya dan biasanya bertugas
membantu kyai dalam mengurus atau mengajar para santri.
Sedangkan santri kalong adalah julukan bagi para santri yang tidak
menetap di kobong. Mereka biasanya bertempat tinggal tidak jauh dari
pondok pesantren, sehingga setelah kegiatan di pesantren selesai
mereka bisa kembali pulang ke rumah masing-masing.
33
Syekh Al-Zarnuzi, Ta’limul Muta’allim. Penerjemah Achmad Sunarto (Bandung :
Husaini, 1422 H), h.31-32. 34
Yasmadi, Modernisasi Pesantren : Kritik Nurcholish Madjis terhadap Pendidikan Islam
Tradisional (Jakarta : Quantum Teaching, 2005), h. 66.
33
D. Kyai
Dalam buku Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi yang ditulis oleh Mujamil Qomar dijelaskan
bahwa, kata „kyai‟ dalam bahasa Jawa biasanya digunakan untuk tiga jenis
gelar. Pertama, untuk seorang yang ahli agama Islam yang mempunyai
atau menjadi pimpinan pesantren dan menguasai kitab-kitab kuning serta
mengajarkan kepada para santrinya. Kedua, sebagai gelar kehormatan
untuk orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, sebutan untuk barang-
barang yang dianggap keramat.35
Aliy As‟ad menjelaskan bahwa kata kyai ditujukan kedalam tiga
dimensi. Pertama, kyai ulama seperti Kyai Hasim Asy‟ari, Kyai Ahmad
Dahlan, Kyai Abdur Rahman Wahid, dan lain-lain. Kedua, kyai sebutan
maksudnya adalah sebutan bagi orang yang memunyai kelebihan dan
memunyai pendukung untuk mengakui kelebihannya. Ketiga, kyai aku-
akuan. Kyai aku-akuan merupakan orang yang tidak memiliki kelebihan
spiritual apapun namun mengaku dirinya kyai. Biasanya orang tersebut
akan marah atau tidak mau menyahut bila tidak disapa dengan sebutan
kyai.36
Lebih lanjut dijelaskan dalam tulisan Syahrul A‟dam mengenai
ciri-ciri kyai, diantaranya adalah : menguasai ilmu agama secara
mendalam, keilmuannya diakui oleh masyarakat, menguasai kitab kuning
dengan matang, taat beribadah kepada Allah SWT, mandiri dalam
35
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta : Erlangga, 1992), h. 27. 36
Syahrul A‟dam, “Pesantren : Kiai dan Tarekat,” dalam Suwito, Sejarah Sosial
Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008), h. 273.
34
bersikap, tidak mau “mendatangi” penguasa, memperoleh ilham dari
Allah.37
Dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa gelar
kyai tidak didapatkan dalam pendidikan formal. Kyai adalah gelar yang
diberikan langsung oleh masyarakat kepada orang yang dinilai alim dalam
bidang agama, memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan
dalam masyarakat, menjadi opinion leader, dan biasanya memimpin atau
memiliki pesantren. Gelar kyai tersebut diberikan secara tulus dari
masyarakat tanpa paksaan dari pihak manapun.
E. Pondok Pesantren
1. Terminologi Pondok Pesantren
Secara umum, pesantren dapat diartikan sebagai tempat tinggal dan
tempat belajar para santri. Menurut M. Arifin sebagaimana dikutip
oleh Mujamil Qomar, pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan
Islam dengan sistem asrama (pondok) yang dipimpin oleh seorang kyai
di mana para santrinya belajar dengan sistem pengajian atau
madrasah.38
2. Sejarah Pesantren
Terdapat dua versi yang melatarbalakangi terbentuknya pesantren
di Indonesia. Versi pertama menyatakan bahwa pesantren berasal dari
tradisi tarekat dalam Islam. Hal yang mendasarinya yaitu penyebaran
37
Syahrul A‟dam, “Pesantren : Kiai dan Tarekat,” dalam Suwito, Sejarah Sosial
Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008), h. 273. 38
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta : Erlangga, 1992), h. 3.
35
Islam yang lebih banyak dikenal dengan kegiatan tarekat.39
Bahkan
sampai sekarang pun pesantren identik dengan ajaran para sufi.
Sedangkan versi kedua ialah versi yang menganggap bahwa pesantren
mengadaptasi sistem pendidikan Hindu yang awalnya menguasai
masyarakat Indonesia, serta diberlakukannya sistem asrama dalam
kegiatan belajar mengajar mereka.40
Mengenai pendiri pondok pesantren pertama kali pun belum
diketahui secara pasti namun para ahli berkeyakinan bahwa Syekh
Maulana Malik Ibrahim atau yang dikenal dengan Syekh Magribi dari
India lah yang mendirikan pesantren pertama kali. Hal tersebut
didasarkan pada anggapan mayoritas ahli sejarah. Menurut mereka,
Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah orang yang perama kali
menyebarkan agama Islam di Jawa.41
3. Jenis-jenis Pesantren
Bila dilihat dari berbagai sudut pandang, pondok pesantren dapat
dikategorisasikan kedalam beberapa bagian. Namun, karena penelitian
ini berfokus pada pesantren salafiyah, maka penulis mengutip
pandangan Dhofier yang membagi pesantren berdasarkan sifat
keterbukaan terhadap perubahan. Dhofier membagi pesantren kedalam
dua kategori, yakni pesantren salafi dan khalafi.42
39
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Pesantren,” dalam Ensiklopedi Islam 4 (Jakarta :
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 100. 40
Amin Haedari, ed., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta : IRD Press, 2004), h. 2. 41
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta : Erlangga, 1992), h. 8. 42
Ibid, h. 16.
36
Di Indonesia, pesantren salafi familiar dengan nama pesantren
tradisional. Sedangkan, pesantren khalafi disebut juga dengan
pesantren modern. Dalam pesantren khalafi terdapat pelajaran-
pelajaran umum yang diajarkan dalam sekolah-sekolah umum yang
dibuat di lingkungan pesantren. Adapun, penjelasan tentang pesantren
salafiyah akan dijabarkan secara rinci pada poin berikutnya.
4. Pondok Pesantren Salafiyah dan Karakteristiknya
Salafiyah merupakan istilah yang digunakan oleh beberapa
kalangan untuk menamakan kelompok atau alirannya. Konsep
salafiyah di Indonesia sangat bebeda dengan konsep salafiyah yang
dipahami di dunia arab atau di lingkungan universal. Dalam kajian ini,
salafiyah yang dibahas penulis adalah konsep salafiyah yang
digunakan oleh kelompok pesantren tradisional yang ada di Indonesia.
Salafiyah atau biasa juga disebut dengan salafy, atau salafi. Istilah-
istilah tersebut berakar pada satu kata yakni kata salaf yang secara
bahasa berarti telah lalu atau terdahulu. Sedangkan, secara istilah, salaf
berarti Shalafus Shalih yaitu para pendahulu umat Islam yang shalih.
Abu Abdirrahman Al Thalibi menuliskan bahwa salafiyah berarti
khasanah ilmu atau ajaran Shalafus Shalih, dan salafi berarti orang-
orang yang mengikuti ajaran Shalafus Shalih.43
Sebagaimana yang sering kita dengar, pondok pesantren salafiyah
juga disebut pondok pesantren tradisional. Tradisional itu sendiri
berasal dari kata tradisi yang artinya budaya atau tatanan yang hidup
43
Abu Abdirrahman Al Thalibi, Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak : Meluruskan Sikap
Keras Dai Salafi (Jakarta : Hujjah Press, 2006), h. 8-9.
37
dalam masyarakat. Tradisi biasanya dilakukan secara turun temurun
sehingga tradisi atau tradisional ini identik dengan istilah klasik atau
konservatif.44
Konsep salafiyah yang berarti tradisional inilah yang
digunakan oleh penulis dalam penelitian ini.
Hal tersebut sejalan dengan ciri khas yang melekat pada pesantren
salafiyah. Yakni kitab-kitab klasik yang digunakan sebagai referensi
utama kegiatan belajar mengajar mereka. Oleh karena itu, penulis
dapat menyimpulkan bahwa pondok pesantren salafiyah adalah
lembaga pendidikan Islam yang mengikuti ajaran Shalafus Shalih serta
menjaga nilai-nilai tradisi dengan menjadikan kitab-kitab klasik
sebagai bahan kajian yang dipimpin atau diajarkan oleh seorang kyai.
Mukti Ali menjelaskan karakteristik pondok pesantren salafiyah
beberapa diantaranya yaitu : Pertama, hubungan kyai dan santri terjalin
dengan akrab. Kedua, santri membudayakan tradisi kepatuhan dan
ketundukan terhadap kyai. Ketiga, pola hidup sederhana (zuhud).
Keempat, kemandirian yang tinggi. Kelima, mencoloknya suasana
tolong menolong dan persaudaraan.45
5. Unsur-unsur Pondok Pesantren Salafiyah
Menurut para pengamat, pesantren memiliki lima unsur. Yaitu :
Kyai, santri, masjid, pondok, dan pengajian. Adapun uraiannya kelima
unsur tersebut adalah sebagai berikut :
44
Amin Haedari, ed., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta : IRD Press, 2004), h. 4-5. 45
Ibid, h. 15.
38
a. Kyai
Kyai menjadi unsur yang pasti ada dalam pesantren karena
kyai adalah pendiri, pengasuh, serta pemimpin sebuah
pesantren. Biasanya pondok pesantren dibuat atas dasar
keinginan dan anggaran pribadi kyai. Oleh karena itu, kyai
adalah tokoh sentral dalam sebuah pondok pesantren.46
b. Santri
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub bab
sebelumnya, santri adalah orang yang belajar di pondok
pesantren. Kehadiran santri tentu menjadi unsur penting dalam
kehidupan pesantren. Bila hanya ada kyai, namun tidak ada
santri, maka kyai tidak akan memiliki objek yang akan ia didik
di pesantren yang ia bangun.47
c. Masjid dan Majelis
Setiap pesantren memiliki kebijakan yang berbeda dalam
menggunakan tempat mengaji atau belajar. Ada yang
menggunakan masjid sebagai tempat ibadah sholat sekaligus
tempat mengaji.48
Ada juga yang menggunakannya secara
terpisah. Masjid digunakan untuk sholat dan majelis digunakan
untuk mengaji, berkumpul, menerima tamu, dan lain-lain.
46
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta : Erlangga, 1992), h. 20. 47
Ibid, h. 20. 48
Ibid, h. 21.
39
d. Pondok
Pondok atau asrama adalah tempat tinggal para santri. Di
daerah Banten, pondok atau asrama ini biasa disebut kobong.
Kobong ini biasanya terdiri dari deretan kamar-kamar. Kamar-
kamar tersebut dibangun dengan sangat sederhana. Hal tersebut
menggambarkan kehidupan santri yang penuh dengan
kesederhanaan dan kemandirian.49
e. Pengajian
Dalam pondok pesantren salafiyah, pengajian yang
dimaksud adalah proses mempelajari kitab-kitab klasik atau
dikenal dengan sebutan kitab kuning atau kitab gundul. Istilah
kitab kuning tersebut diambil dari warna lembaran kertas yang
digunakan oleh kitab tersebut, yakni kertas berwarna kuning
dan kitab gundul dilihat dari tulisan arab gundul (tanpa harakat)
yang ditulis di kitab tersebut.50
Kitab-kitab yang dipelajari di pesantren sekurang-
kurangnya adalah kitab-kitab nahwu-sharaf, fiqih, tauhid, dan
tasawuf.51
Adapun cara mengaji kitab-kitab tersebut yaitu
dengan menggunakan metode bandungan dan sorogan.52
Bandungan adalah pengajian bersama-sama yang dipimpin
49
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta : Erlangga, 1992), h. 31. 50
Amin Haedari, ed., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta : IRD Press, 2004), h. 37. 51
Yasmadi, Modernisasi Pesantren : Kritik Nurcholish Madjis terhadap Pendidikan Islam
Tradisional (Jakarta : Quantum Teaching, 2005), h. 78. 52
Amin Haedari, ed., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta : IRD Press, 2004), h. 41.
40
oleh kyai. Para santri mendengarkan, menyimak, dan nyoret
(memberi tanda baca pada kitab) apa-apa yang disampaikan
atau dijelaskan oleh kyai berkenaan dengan kitab yang sedang
mereka kaji,53
sedangkan sorogan adalah pengajian individu,
dimana santri berhadapan langsung dengan kyai untuk
melancarkan bacaan dengan mengulang kembali pelajaran yang
sudah dilakukan dengan cara bandungan. Sorogan tersebut
juga menjadi salah satu penilaian dan evaluasi bagi santri.
Sorogan menjadi indikator bagi kyai untuk mengetahui sejauh
mana kemampuan santrinya dalam menguasa kitab kuning.
Namun, sorogan biasanya ditawarkan kyainya kepada santri
yang sudah cukup mahir dalam pembacaan kitab kuning.
Adapun santri yang kemampuan membaca kitab kuningnya
kurang, maka ia melakukan sorogan pada seniornya.54
6. Peranan Pondok Pesantren Salafiyah
Pondok pesantren salafiyah disebut-sebut memiliki peranan
penting dalam proses dakwah Islamiyah di Indonesia. Pesantren juga
memiliki peranan besar dalam peningkatan iman dan takwa serta
pembentukan akhlak yang baik di masyarakat.
“Pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan oleh
masyarakat dalam segala hal yang dilakukan atau dianjurkan untuk
dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga keberadaan pesantren di
Indonesia itu telah berperan menjadi potensi yang sangat besar
53
Wawancara penulis dengan Muhammad Juhandi, Pandeglang, halaman kobong 1, 16
Februari 2012, pukul 16.00 WIB. 54
Ibid.
41
dalam pengembangan masyarakat, terutama masyarakat muslim
lapisan menengah ke bawah.55
Selain tersebut diatas, Mujamil Qomar juga mengidentifikasi
beberapa paran penting pesantren. Peran penting tersebut adalah
sebagai berikut : Pertama, sebagai pusat berlangsungnya transmisi
ilmu-ilmu Islam tradisional. Kedua, sebagai pemelihara kaberadaan
Islam tradisional. Ketiga, sebagai pusat reproduksi ulama.56
Peran pesantren salafiyah sebagai transmisi ilmu-ilmu Islam
tradisional memang secara jelas dapat dilihat di pondok pesantren
salafiyah. Baik metode maupun kurikulum yang diterapkan di sana
berkenaan dengan ilmu-ilmu Islam tradisional yang sudah sangat
jarang dijumpai di pesantren-pesantren modern. Pesantren salafiyah
juga menjadi bagian penting dari kelestarian Islam tradisonal di
Indonesia. Seiring dengan pesatnya perkembangan pesantren modern,
pesantren salafiyah tetap bertahan dan konsisten menjaga nilai-nilai
salafiyah. Selain itu, pesantren salafiyah juga memiliki andil besar
dalam lahirnya ulama-ulama. Karena di pesantren salafiyah, para santri
dibimbing untuk menguasai ilmu agama secara mendasar. Banyak
pesantren yang hanya menciptakan dai-dai instan namun minim akan
ilmu. Biasanya ulama-ulama yang lahir dari pesantren salafiyah
memiliki keilmuan yang kuat, mendasar, dan mendalam karena proses
pengajian ilmu di pesantren salafiyah bukanlah proses yang instan.
55
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Pesantren,” dalam Ensiklopedi Islam 4 (Jakarta :
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 105. 56
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta: Erlangga 1992), h. 25-26.
42
BAB III
GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN SALAFIYAH
DAARUL ISTIQOMAH
A. Sejarah Singkat Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah
Daarul Istiqomah adalah pondok pesantren salafiyah yang sudah
mengalami empat generasi kepemimpinan. Didirikan pada tahun 1935 oleh
Abuya Tubagus Dulkarim di Desa Kalang Gunung Cipeucang Pandeglang.
Disana dibangun 4 kobong (asrama) dengan 10 kamar perkobong.
Ratusan santri dari berbagai wilayah, khususnya Pulau Jawa dan Sumatera
datang dan belajar di pesantren ini. Pondok pesantren dibangun di tengah-
tengah masyarakat, bukan dengan sistem komplek. Dengan tujuan untuk
membaurkan para santri dan kehidupan pesantren dengan masyarakat
sekitar. Sehingga masyarakatpun dapat menilai secara langsung semua
kegiatan yang ada di pesantren Daarul Istiqomah. Selain itu, diharapkan
juga dengan menyatunya lingkungan pesantren dengan lingkungan
masyarakat, para santri dapat belajar bersosialisasi dengan masyarakat dan
masyarakat pun mampu menyerap nilai-nilai luhur pondok pesantren.1
Setelah Abuya Tubagus Dulkarim wafat, pesantren ini dipimpin
oleh Abuya Tubagus Antawi yang tak lain adalah menantu dari Abuya
Tubagus Dulkarim. Sekitar 200 santri tumbuh dan berkembang disini.
Salah satu santrinya adalah Tubagus Uwet Bueti yang selanjutnya
memegang kepemimpinan pesantren. KH. Tubagus Bueti menghabiskan 7
1Wawancara penulis dengan Muhammad Taufiq, Pandeglang, Majelis Daarul Istiqomah,
15 Maret 2012, 14.00 WIB.
43
tahun di pesantren tersebut. Tubagus Uwet Bueti termasuk santri yang
rajin, ulet, dan mendedikasikan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk
mengabdi pada keluarga Abuya Antawi. Selain itu, Abuya Antawi juga
mengamati dan meyakini bahwa Tubagus Uwet memiliki kemampuan dan
kharisma seorang kyai. Hingga Abuya Antawi mewasiatkan kepada
keluarganya untuk menjodohkan dan menikahkan anak perempuannya, Hj.
Eni dengan Tubagus Bueti. Selang dua bulan setelah wafatnya Abuya
Antawi, Tubagus Bueti pun melangsungkan pernikahan dengan Hj. Eni.2
Pada saat mereka menikah, keadaan pesantren cukup
memprihatinkan. Pesantren vakum selama beberapa bulan karena belum
ada yang menggantikan kepemimpinan Abuya Antawi. Sehingga satu
persatu santrinya pulang hingga habis tak tersisa. Ditengah keterpurukan
itu, KH. Tubagus Uwet Bueti bersama istrinya berniat untuk
menghidupkan kembali ruh pesantren. Mereka berusaha dengan sungguh-
sungguh dan tak bosan-bosan berdoa agar pesantren yang pernah berjaya
itu kembali seperti semula. Tak lama kemudian, santri-santri baru dari
berbagai daerah berdatangan. KH. Uwet Bueti tampil sebagai pemimpin
dan pengajar. Pesantren pun hidup kembali. Kini hampir semua alumni
Daarul Istiqomah sudah sukses dan berkecimpung di dunia dakwah
sebagai dai. Bahkan ada juga yang sudah membangun pesantren di
daerahnya.3
Dibawah asuhan KH. Tubagus Uwet Bueti selama kurun waktu 25
tahun, pesantren ini mengalami beberapa kali pergantian nama. Awalnya
2Wawancara penulis dengan KH. Tubagus Uwet Bueti, Pandeglang, Ruang tamu
kediaman KH. Tubagus Uwet Bueti, 14 Maret 2012, pukul 14.00 WIB. 3Ibid.
44
bernama Nurul Huda, yang berarti cahaya petunjuk. Berharap pesantren
Nurul Huda dapat menjadi cahaya petunjuk pada kebenaran bagi para
santrinya. Pada masa berikutnya, Nurul Huda berganti menjadi Dakwatul
Ummah. Karena pada masa itu, banyak santrinya yang gemar dan piawai
berdakwah. Namun pada perkembangannya, sesuai dengan tingkat
keilmuan dan kualitas hidup KH. Uwet Bueti, beliau menetapkan nama
baru bagi pesantren yang ia pimpin. Yakni Daarul Istiqomah. Hal tersebut
sejalan dengan cita-cita yang diharapkan bagi para santri dan keluarga
besar Daarul Istiqomah, yakni menjadi insan yang istiqomah dalam iman
dan islamnya.4
Sejak 2009, KH. Uwet Bueti menyerahkan kewenangan belajar
mengajar pada menantunya Ustad Muhammad Taufiq. Namun, KH. Uwet
Bueti sesekali masih juga aktif mengajar. Dibawah pengajaran Ustad
Muhammad Taufiq, jadwal mengaji semakin padat. Awalnya hanya dua
kali sehari, kini empat sampai lima kali sehari. Para santri digembleng
untuk menguasai kitab kuning dengan cara belajar secara kontinyu setiap
harinya.5
4Wawancara penulis dengan Muhammad Taufiq, Pandeglang, Majelis Daarul Istiqomah,
15 Maret 2012, 14.00 WIB. 5Ibid.
45
B. Visi dan Misi
Visi :
Melahirkan generasi salafiyah yang istiqomah
dalam mengamalkan iman, islam, dan ilmunya bagi
dirinya, keluarga dan masyarakat.
Misi :
Membina santri untuk menjunjung tinggi dan
melestarikan nilai-nilai salafiyah.
Mengembangkan sikap istiqomah dalam kehidupan.
C. Susunan Kepengurusan
Pondok pesantren salafiyah Daarul Istiqomah memiliki susunan
kepengurusan yang sederhana dan tidak jauh berbeda dengan susunan
kepengurusan organisasi pada umumnya. Namun, Daarul Istiqomah
menggunakan istilah-istilah yang unik untuk jabatan-jabatan yang ada di
dalamnya.
46
Adapun susunan kepengurusannya adalah sebagai berikut :
Adapun tugas-tugas pengurus diatas yaitu sebagai berikut :
1. Pimpinan : Tugasnya memimpin, mengasuh, serta
mengarahkan para santri untuk mewujudkan visi misi
pesantren.
2. Pengajar : Bertanggung jawab penuh untuk
mengajarkan kitab-kitab kuning kepada para santri.
3. Penasehat Lurah : Membantu mengarahkan lurah dan
memberikan solusi pada setiap permasalahan yang dihadapi
lurah. Yang menjadi penasehat lurah adalah mantan-mantan
lurah yang masih aktif belajar di pesantren tersebut.
4. Lurah : Istilah yang digunakan bagi ketua santri
yang bertugas untuk mengoordinasikan program atau instruksi
dari pimpinan atau pengajar kepada para santri serta
Pimpinan/Pengasuh :
KH. Tb. Uwet Bueti
Penasehat Lurah : Surya, Abal Qosim
Lurah :
Muhammad Juhandi
Santri
Wakil Lurah :
M. Munawir Sajali
RT :
Asep Saefullah
M. Dahlan
Pengajar : Ustad Muhammad Taufiq
47
bertanggungjawab pada proses berjalannya program atau
instruksi tersebut.
5. Wakil Lurah : Membantu atau menggantikan tugas lurah.
6. RT : Mengawasi keamanan, kebersihan, dan
ketertiban kobong (asrama).
D. Alamat Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah
Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqoamah beralamat di Jl.
Raya Labuan Km. 13 Desa Kalang Gunung RT. 01 RW. 02 Kecamatan
Cipeucang Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.
E. Rekapitulasi Santri
Santri yang belajar di Daarul Isiqomah berjumlah 35 orang. Terdiri
dari 32 santri mukim, dan 3 santri kalong. Santri yang mendominasi
berasal dari Pandeglang, sisanya dari Tangerang, Lebak, Lampung, dan
Jakarta. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :
48
Tabel 1
Daftar Santri Mukim
No. Nama Daerah Asal
1 Abal Qosim Jakarta
2 Aef Saefudin Lebak
3 Afifudin Pandeglang
4 Ahmad Faezudin Pandeglang
5 Ahmad Faisal Falah Tangerang
6 Alpin Maulana Pandeglang
7 Andi Supandi Pandeglang
8 Asep Saefulloh Pandeglang
9 Asep Setiawan Lebak
10 Cecep Iskadar Pandeglang
11 Dede Joni Pandeglang
12 Dede Suryana Pandeglang
13 Eki Syahri Ramadhan Pandeglang
14 Hendri Tangerang
15 Jumanta Pandeglang
16 M. Ade Istiqory Tangerang
17 M. Munawir Sajali Pandeglang
18 Mahrom Lebak
19 Makmur Lebak
20 Makyani Lampung
21 Muhammad Dahlan Jakarta
22 Muhammad Juhandi Tangerang
23 Muhdi Pandeglang
24 Nur Ridwan Tangerang
25 Rohman Iskandar Lebak
26 Supriyanto Tangerang
27 Surya Lampung
28 Tb. Hasan Basri Pandeglang
29 Tb. Jamaludin Pandeglang
30 Tb. Saeful Rijal Pandeglang
31 Udin Pandeglang
32 Wahyudin Lampung
49
Tabel 2
Daftar Santri Kalong
No. Nama Daerah Asal
1 Ahmad Jazi Pandeglang
2 Ahmad Syafi'i Pandeglang
3 Ahmad Saripin Pandeglang
F. Aktivitas Pesantren
Secara umum, kegiatan formal para santri Daarul Istiqomah
meliputi pengajian kitab kuning dengan metode bandungan dan sorogan,
ziarah ke makam para wali atau ulama, muhadoroh, dan perayaan
peringatan hari-hari besar Islam.
Selain kegiatan-kegiatan formal tersebut, para santri juga memiliki
kegiatan lain yang bersifat praktis. Ada yang berladang, bertani, dan
berternak. Ladang ditanami cabai, tomat, dan lalapan. Sedangkan hewan
yang diternak yaitu bebek dan ikan emas.
50
G. Aktivitas Harian
Tabel 3 :
Aktivitas Harian
No. Waktu Kegiatan Keterangan
1 8.00-11.00 Bandungan
KitabFathul Mu'in, Fathul Qorib,
Rohmatul Ummah
2 13.00-14.00 Sorogan
Kitab Awamil, Al Jurumiyah, berlatih
shorof
3 17.00-18.00 Bandungan
Kitab Alfiyah Ibnu Malik, Rhiyadh al
Badi'ah, Durratun Nashihin
4 20.00-23.00 Bandungan
Kitab Awamil, Al Jurumiyah, Uqud Al-
Lujayn, Tafsir Al Qur'an Al Jalalain,
Matan Al Bukhari
Keterangan :
1. Kitab Fathul Mu’in membahas tentang permasalahan fikih
mulai dari Ubudiyah, Mu’amalah, Munakahah dan juga
Jinayah. Ditulis oleh ulama sufi dari India, yaitu Syekh
Zainuddin bin Muhammad al Ghozaly al Malibary. Kitab
ini juga menjadi kajian pokok bagi para santri di
Indonesia.6
2. Kitab Fathul Qorib juga merupakan kitab yang
menjelaskan tentang fikih. Namun, Fathul Qorib dikemas
lebih ringkas bila dibandingkan dengan Fathul Mu’in7.
3. Kitab Rohmatul Ummah FiIhtilafil A-immah adalah kitab
fikih yang membedah tentang perbedaan empat imam
mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dalam
6Wawancara penulis dengan Muhammad Juhandi, Pandeglang, teras Majelis, 31 Maret
2012, 09.00 WIB. 7Ibid.
51
menetapkan hukum. Kitab ini ditulis oleh Muhammad Bin
Abdurrahman Ad-Damsyiqy.8
4. Kitab Awamil merupakan kitab karya Syekh Nawawi
Almandaya yang makamnya berlokasi di Carenang Serang
Banten. Kitab ini berisi tentang ilmu nahwu.9
5. Kitab Al Jurumiyah adalah kitab yang juga menjelaskan
tentang ilmu nahwu. Pengarangnya adalah Imam Bahr al-
Ulum Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Daud
Assohadji.10
6. Kitab Alfiyah Ibnu Malik merupakan kitab tentang ilmu
nahwu dan shorof yang ditulis oleh Muhammad Bin
Abdullah Bin Malik Alandalusy. Kitab ini juga merupakan
kitab yang paling tinggi kajiannya bila dibandingkan
dengan kitab-kitab nahwu shorof lain.11
7. Kitab Rhiyadh al Badi'ah. Kitab yang ditulis oleh Syekh
Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi
al-Bantani ini berisi tentang ilmu fikih.
8. Kitab Durrotun Nashihin yaitu kitab yang berisi nasehat,
cerita-cerita merarik, peringatan, kata-kata mutiara, dan
penjelasan hukum yang bersumber dari Al-Quran, Al-
8Wawancara penulis dengan Muhammad Juhandi, Pandeglang, teras Majelis, 31 Maret
2012, 09.00 WIB. 9Ibid.
10Ibid.
11Ibid.
52
Hadis, dan Qiyas. Pengarangnya adalah Usman bin Hasan
bin Ahmad Syakir al-Khaubawi.12
9. Kitab Uqud Al-Lujayn adalahkitab karangan Syekh
Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi
al-Bantani. Kitab tersebut menjelaskan secara spesifik
tentang kehidupan rumah tangga dengan rujukan Al-Quran
dan Hadis.13
H. Aktivitas Mingguan
Tabel 4 :
Aktivitas Mingguan
No. Waktu Kegiatan Keterangan
1
Senin,
08.00-11.00
Pengajian khusus
ibu-ibu
Bandungan dan syarah
(penjelasan)
2
Selasa,
20.00-21.00 Bandungan
Ilmu Shorof, diajar oleh para
senior
3
Rabu,
20.00-22.00 Bandungan Kitab 'Arud
4
Kamis,
20.00-21.00
Yasinan , Latihan
Marhaba Dipimpin oleh Kyai
5
Kamis,
21.00-22.00 Muhadoroh
2-3 santri berlatih ceramah setiap
minggunya
Keterangan :
Kitab ‘Arud adalah kitab yang menjelaskan tentang ilmu ‘arud
yang merupakan bagian dari ilmu sastra arab.14
12
Wawancara penulis dengan Muhammad Juhandi, Pandeglang, teras Majelis, 31 Maret
2012, 09.00 WIB. 13
Ibid. 14
Ibid.
53
I. Aktivitas Tahunan
Tabel 5 :
Aktivitas Tahunan
No Waktu Kegiatan Keterangan
1
Bulan Rabi'ul
Awal
Memeringati Haul Syekh
Abdul Qadir Jaylani
Pembacaan
manaqib/sejarah syekh
Abdul Qadir Jaylani
3
Bulan Rabi'ul
Awal
Memeringati Maulid Nabi
Muhammad SAW
Mengundang Kyai dari
luar untuk memberikan
ceramah
4 Bulan Rajab Memeringati Isra Mi'raj
Mengundang Kyai dari
luar untuk memberikan
ceramah
5
5 - 10 hari
sebelum
Ramadhan
Ziarah ke makam para wali,
alim ulama
Dipimpin langsung oleh
KH. Tubagus Uwet Bueti
54
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS
Pada bab ini, penulis akan menganalis temuan hasil penelitian yang
berkaitan denganpola komunikasi yang terjadi di Daarul Istiqomah. Pola-pola
tersebut meliputi pola komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal,
dan komunikasi kelompok. Selain tipologi pola komunikasi tersebut, penulis
juga menemukan satu pola komunikasi yang khas, yaitu komunikasi spiritual.
A. Komunikasi Intrapersonal Santri Daarul Istiqomah
Komunikasi intrapersonal merupakan komunikasi yang dilakukan
oleh semua orang baik disadari atau tidak. Setiap orang pasti melakukan
proses berpikir, merenung, memilih serta memutuskan sesuatu dalam
hidupnya. Dalam kajian ini, penulis menemukan bahwa kehidupan para
santri Daarul Istiqomah tak luput dari komunikasi intrapersonal.
Komunikasi intrapersonal yang digali penulis yaitu tentang
motivasi awal para santri dalam memutuskan untuk menimba ilmu di
pesantren salafiyah, khususnya di Daarul Istiqomah. Sebagian besar santri
yang belajar di Daarul Istiqomah dilatar belakangi oleh keinginan pribadi,
beberapa diantaranya didasari oleh perintah orang tua. Selain itu, ada juga
yang termotivasi oleh temannya yang telah jadi santri Daarul Istiqomah
terlebih dahulu namun setiap santri memiliki pengalaman yang berbeda
yang melatarbelakangi kehadiran mereka di Daarul Istiqomah. Untuk lebih
55
jelasnya, penulis menjelaskan beberapa santri dengan latar belakang dan
motivasinya masing-masing.
1. Muhammad Juhandi. Santri asal Tangerang ini memang
berkeinginan untuk terjun ke dunia pesantren sejak lulus
Sekolah Menengah Pertama (SMP) namun terbentur oleh biaya
sehingga ia harus menunda keinginannya tersebut. Ia
melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan biaya
terjangkau yang berada tidak jauh dari rumahnya. Selepas
SMA ia masih memiliki motivasi yang kuat untuk menggali
dan mendalami ilmu agama di pesantren tetapi orang tuanya
kembali tidak mengijinkan. Orang tua Juhandi
memerintahkannya untuk ikut seleksi tanura Angkatan Laut
(AL). Saat itu ia masih menuruti perintah orang tuanya. Setelah
beberapa kali mengikuti seleksi tersebut dan gagal di seleksi
tahap ketiga, ia berpikir dan merenungkan kembali niatnya
untuk menuntut ilmu di pesantren. Ia mengalami pergolakan
dalam dirinya karena berada diantara dua pilihan. Orang tuanya
menginginkan ia bekerja, namun keinginannya untuk nyantren
juga tidak terbendung lagi. Akhirnya ia mengambil satu
keputusan, ia bertekad untuk tetap pergi ke Daarul Istiqomah
meskipun tanpa restu ayahandanya. Baginya menuntut ilmu
agama adalah suatu keharusan sehingga ia rela meninggalkan
zona nyaman di rumahnya. Ia pun memiliki keyakinan bahwa
suatu saat ayahnya akan mengerti dan merestuinya. Hasil
56
komunikasi intrapersonal yang ia lakukan juga dibuktikan
dengan tindakan yang nyata. Berdasarkan komunikasi
intrapersonal juga ia memikirkan semua konsekuensi yang
harus ia hadapi. Keyakinan dan tekadnya tersebut ternyata
mampu membuat ia bertahan hidup di pesantren tanpa bantuan
finansial dari orang tuanya dan hingga akhirnya di tahun kedua,
ayahnya memberikan dukungan penuh kepada Juhandi untuk
terus menyelesaikan studinya di Daarul Istiqomah. Saat ini,
sudah hampir lima tahun ia menimba ilmu di Daarul
Istiqomah.1
2. Ade Istiqorie. Dia juga mengeyam pendidikan formal tingkat
Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia memilih untuk melanjutkan
studi di pondok pesantren salafiyah meskipun orang tuanya
memberikan alternatif untuk kuliah di perguruan tinggi namun
motivasinya untuk terjun ke dunia pesantren jauh lebih besar
dibandingkan dengan keinginan untuk kuliah. Keputusannya
tersebut didasari oleh komunikasi intrapersonal yang
melibatkan proses berpikir dan merenung. Ia ingin mendalami
ilmu agama dan belajar memasuki kehidupan yang sederhana
yang jauh berbeda dari kehidupannya yang serba
berkecukupan. Akhirnya pada 11 Oktober 2011 ia pergi ke
Daarul Istiqomah.2
1 Wawancara penulis dengan Muhammad Juhandi, Pandeglang, Majelis Daarul
Istiqomah, 15 Maret 2012, pukul 16.00 WIB. 2 Wawancara penulis dengan Ade Istiqorie, Pandeglang, Kobong 2, 14 Maret 2012,14.00
WIB.
57
3. Muhammad Dahlan. Lelaki kelahiran 5 Februari 1982 tersebut
juga memiliki cerita yang tak kalah dramatis. Sejak usia 15
tahun, ia sudah tinggal di Daarul Istiqomah atas keiginan orang
tuanya. Di tahun-tahun awal, ia masih belum bisa menerima
sepenuhnya kehidupan di pesantren. Bahkan ia sempat
mengalami suatu kondisi di mana ia merasa tidak betah dan
ingin keluar dari Daarul Istiqomah. Ia mulai berkomunikasi
dengan dirinya sendiri, berpikir dan merenungkan
kehidupannya serta harapan orang tuanya agar ia menguasai
ilmu agama sejak kecil. Hasil dari komunikasi intrapersonal
yang ia lakukan akhirnya menimbulkan suatu keputusan untuk
tetap tinggal di Daarul Istiqomah dan mulai serius belajar.
Semua itu ia lakukan untuk kualitas diri yang lebih baik serta
untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Hingga tanpa terasa 15
tahun berlalu dan Dahlan sudah merasa bahwa Daarul
Istiqomah adalah keluarganya dan bagian tak terpisahkan dari
dirinya.3
Pada dasarnya, semua santri Daarul Istiqomah mengalami proses
komunikasi intrapersonal dalam proses mengambil keputusan untuk terjun
ke dunia pesantren salafiyah. Mereka tidak pergi begitu saja tanpa
pemikiran dan pertimbangan sebelumnya.Hal tersebut menunjukkan
betapa pentingnya komunikasi intrapersonal bagi santri Daarul Istiqomah.
Karena proses berpikir dan merenung tersebut memiliki andil cukup besar
3 Wawancara penulis dengan Muhammad Dahlan, Pandeglang, Kobong 2, 17 Maret 2012,
pukul 14.00 WIB.
58
dalam kelangsungan hidup serta konsekuensi yang dihadapi para santri
tersebut setelah terjun ke pondok pesantren Daarul Istiqomah.
B. Komunikasi Interpersonal di Daarul Istiqomah
Penulis menemukan bahwa komunikasi interpersonal juga tak luput
dari keseharian para santri Daarul Istiqomahyang terjadi antar santri,
maupun santri dengan kyai. Hal tersebut dapat dilihat dari hubungan
komunikasi diantara sesama santri maupun santri dan kyai. Tidak semua
santri telah mencapai komunikasi interpersonal. Ada beberapa santri yang
masih dalam taraf komunikasi impersonal. Hal tersebut terjadi karena
beberapa faktor. Diantaranya karena faktor kepribadian, lamanya waktu
nyantren, dan frekuensi komunikasi santri tersebut.
Penulis menjabarkannya ke dalam poin-poin berikut:
1. Komunikasi Interpersonal Antar Santri
Santri-santri di Daarul Istiqomah menyatu dalam satu
lingkungan pesantren. Mereka hidup berdampingan dalam satu
asrama, memasak dan makan bersama, bahkan melakukan banyak
aktivitas bersama. Meskipun begitu, tidak semua santri disana
sudah sampai pada taraf komunikasi interpesonal. Ada juga santri
yang masih berada di level komunikasi impersonal. Hal tersebut
terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah kemampuan
komunikasi yang berbeda antara santri yang satu dengan santri
yang lain, serta waktu yang relatif lama untuk mencapai
komunikasi interpersonal.
59
Pada tahap impersonal biasanya yang menjadi bahan
perbincangan adalah hal-hal yang bersifat umum, seperti : nama,
asal daerah, umur, pendidikan, dan lain sebagainya. Prediksi yang
dilakukan juga masih pada level kultural dan sosiologis. Hal
tersebut terjadi ketika para santri baru datang ke Daarul Istiqomah
dan belum mengenal satu sama lain. Santri yang tergolong baru
akan memiliki tingkat hubungan komunikasi yang berbeda dengan
santri yang sudah lama menetap disana namun tidak juga semua
santri lama memiliki hubungan interpersonal dengan santri disana.
Biasanya mereka memiliki teman akrab masing-masing. Hal
tersebut kembali lagi pada kepribadian santri dan kecocokan atau
chemistry yang mereka dapatkan.
Di Daarul Istiqomah, ketika santri baru datang ke sana biasanya
disambut oleh santri senior khususnya lurah kobong. Santri baru
akan diperkenalkan pada santri-santri lainnya, serta diajak melihat
lingkungan pesantren. Pada saat itulah komunikasi impersonal
dimulai. Saat itu pengetahuan santri baru hanya sebatas nama atau
asal daerah teman-temannya.
Komunikasi interpersonal akan muncul ketika para santri mulai
akrab dan menjalin obrolan yang lebih mendalam dan bersifat
pribadi. Seperti tentang hobi, kebiasaan, minat, atau pengalaman.
Pada tahap ini, para santri mulai melakukan prediksi di level
psikologis. Artinya, dalam berkomunikasi mereka bukan hanya
melihat latar belakang kultural dan sosiologisnya saja. Melainkan
60
juga melihat bagaimana sifat atau kepribadian lawan bicaranya
tersebut. Semakin banyak pengetahuan santri yang satu dengan
santri yang lain tentang kepribadiannya, maka hubungan mereka
menjadi semakin interpersonal. Selain itu, frekuensi komunikasi
juga sangat memengaruhi hubungan interpersonal seseorang.
Penulis melihat kasus komunikasi impersonal dan interpersonal
di Daarul Istiqomah sebagai berikut :
a. Ade Istiqorie termasuk santri baru di Daarul Istiqomah. Dia
baru berada disana sekitar 5 bulan. Ia lebih dekat dan
terbuka pada teman sekamarnya dibanding dengan teman-
teman santri yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh
kepribadian Ade yang pendiam dan senang menyendiri.4
Hubungan Ade dengan santri-santri lainnya masih pada
tahap impersonal. Ada dua santri yang sudah mengenalnya
di level psikologis, yakni : Tb. Hasan Basri dan
Muhammad Juhandi. Tb. Hasan adalah teman sekamar
Ade. Sedangkan Muhammad Juhandi adalah teman lama
Ade jauh sebelum mereka masuk di Daarul Istiqomah.5
b. Muhammad Juhandi. Sebagai lurah kobong ia dituntut
untuk berinteraksi lebih intens dengan santri lainnya. Selain
karena adanya tuntutan tugas, didukung juga oleh
kepribadiannya yang supel, ingin dekat dengan semua
4 Wawancara penulis dengan Ade Istiqorie, Pandeglang, Majelis Daarul Istiqomah, 20
Maret 2012, pukul. 09.00 WIB. 5 Wawancara penulis dengan Muhammad Juhandi, Pandeglang, Majelis Daarul
Istiqomah, 20 Maret 2012, pukul. 10.00 WIB.
61
orang, maka hampir semua santri di Daarul Istiqomah
dikenalnya dengan baik. Informasi mengenai latar belakang
kultural, sosiologis, dan psikologis para santri itu
bersumber dari Juhandi sendiri, maupun dari teman-
temannya yang lain. Meskipun begitu, tidak semua santri
melakukan timbal balik pada komunikasi interpesonal yang
dilakukan Juhandi. Ada santri-santri yang lebih terbuka dan
nyaman kepada teman sekamarnya atau juga kepada orang
lain diluar pesantren.
2. Komunikasi Interpersonal Santri dan Kyai
Penulis mendapatkan gambaran umum bahwa semua santri
Daarul Istiqomah mengangap guru dan kyai bukan hanya sekedar
orang yang mengajari mereka ilmu agama. Mereka menganggap
guru atau kyai sebagai orang tua mereka. Begitupun sebaliknya.
Kyai sudah menganggap semua santrinya adalah anaknya sendiri.
Meskipun begitu, hubungan interpersonal dengan kyai tidak
dimiliki oleh semua santri. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor
kepribadian santri dan juga waktu lamanya santri tinggal di Daarul
Istiqomah.
Pada hubungan antarpribadi yang terjalin antara santri senior
dengan kyai dapat dilihat dari kontak yang terjadi satu sama lain,
perolehan informasi mengenai satu sama lain, serta prediksi yang
dilakukan ditahap psikologis. Sebenarnya, baik santri senior
maupun junior memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan
62
kontak dengan kyai karena mereka tinggal di lingkungan yang
sama dengan kyai. Hampir setiap hari mereka berinteraksi dengan
kyai. Meskipun hanya sekedar saling sapa namun frekuensi
hubungan santri senior jauh lebih banyak daripada santri junior.
Oleh karena itu, santri yang baru beberapa bulan biasanya belum
bisa menjalin hubungan interpersonal dengan kyai.
Perolehan infomasi santri senior tentang kyai juga lebih banyak
dibanding santri junior. Informasi tersebut tidak hanya sekedar
informasi biasa, namun ada juga informasi yang mengarah pada
hal-hal yang bersifat pribadi yang mendukung terciptanya
hubungan interpersonal. Dari pertukaran informasi itulah yang
membawa santri dan kyai melakukan prediksi atas dasar
psikologis. Artinya, baik santri maupun kyai berusaha mengerti
satu sama lain, dan melakukan prediksi terhadap hasil komunikasi
berdasarkan informasi sifat atau kepribadian yang didapatkan.
Meskipun begitu, kesopanan santri terhadap kyai harus tetap
terjaga. Begitupun sebaliknya, kyai pun tetap menghargai para
santrinya.
Adapun contoh nyata yang ada di Daarul Istiqomah yaitu :
a. Muhammad Dahlan. Dahlan adalah santri terlama yang
ada di Daarul Istiqomah. Dia sudah 15 tahun hidup di
sana. Hubungan interpersonal antara Dahlan dengan kyai
sudah terjalin sejak lama. Hal ini terbukti dengan
informasi yang luas yang dimilikinya mengenai kyai
63
(latar belakang kultural, sosiologis, dan psikologis).
Begitupun sebaliknya, KH. Tb. Uwet Bueti sudah sangat
mengenal Dahlan yang sudah menjadi asuhannya selama
15 tahun. Dahlan dan dibantu santri-santri lain juga
diberi kepercayaan dan wewenang utuh untuk
menggarap sawah dan ladang milik kyai.
b. Muhammad Juhandi. Meskipun baru 5 tahun Juhandi
hidup di Daarul Istiqomah, namun karena
kepribadiannya yang supel ia sudah mampu menjalin
hubungan interpersonal dengan kyai serta keluarganya.
Ia mengetahui informasi mengenai latar belakang
kultural, sosiologis, dan psikologis kyainya. Tak jarang
ia menceritakan keluhan atau curahan hatinya kepada
kyai atau keluarga kyai. KH. Tb. Uwet Bueti juga telah
mengenal baik sifat Juhandi. Kepribadian kyai yang
humoris juga sama dengan kepribadian Juhandi yang
humoris sehingga hal tersebut semakin menambah akrab
hubungan interpersonal diantara keduanya.
Sebagaimana karakteristik santri salafiyah pada umumnya
yang menjunjung tinggi etika kepada guru termasuk dalam tata
cara berkomunikasi. Para santri Daarul Istiqomah juga sangat
menekankan etika dalam hubungan komunikasi dengan kyai dan
64
guru mereka. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah dalam Al-
Qur‟an Surat Al-Kahfi ayat 66 dan ayat 70 sebagai berikut :
Artinya : “Musa berkata kepada al-Khidhir, “Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang
benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”
Artinya : “Dia berkata, “jika kamu mengikutiku, maka
janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang peristiwa yang
terjadi pada Nabi Musa saat bertemu dengan Nabi Khidir dalam
rangka pencarian ilmu. Ayat 66 mengajarkan cara bersikap dan
berakhlak kepada seorang guru serta cara lemah lembut yang harus
dilakukan oleh seorang guru ketika berkata kepada muridnya.6
Sedangkan ayat 70 juga mengajarkan tentang adab seorang
penuntut ilmu. Adab tersebut berkenaan dengan cara menghormati
guru, memperhatikan keterangan guru, serta tidak memaksa dan
menekan guru.7 Seorang guru diperbolehkan untuk melarang
muridnya bertanya tentang sesuatu hal yang dikhawatirkan belum
dapat dijangkau oleh pemahaman muridnya. Dengan pertanyaan
6Syaikh Ibrahim Fathi Muqtadir, Menyibak Tirai Misteri Nabi Khidhir : Meneladani Ilmu
Ladunni Nabi Khidhir (Jakarta : Akbarmedia, 2011), h. 156. 7Ahmad Muhammad Yusuf, Himpunan Dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits : Cara Mudah
Menemukan Dalil Jilid 2 (Jakarta : Segoro Madu Pustaka), h. 30-33.
65
tersebut bisa membuat muridnya kewalahan. Oleh karena itu,
sebaiknya seorang murid bersabar sampai gurunya sendiri yang
menjelaskan.8
C. Komunikasi Kelompok di Daarul Istiqomah
Para santri Daarul Istiqomah merupakan suatu kelompok. Karena
sebagaimana definisi kelompok yang dijelaskan oleh Jalaluddin Rakhmat,
bahwa kelompok merupakan sekumpulan orang yang terikat, memiliki
tujuan dan organisasi, serta melibatkan interaksi antar sesama anggotanya.
Bagitupun dengan santri Daarul Istiqomah, mereka berkumpul, memiliki
tujuan tertentu, memiliki organisasi, dan berinteraksi dengan sesama
anggotanya. Mereka juga memiliki norma sosial, prosedural, dan tugas-
tugas tertentu.
Para santri salafiyah termasuk juga santri Daarul Istiqomah,
memiliki pedoman atau aturan-aturan etika sebagai seorang santri
sebagaimana yang dituliskan di kitab Ta’lim Muta’allim. Kitab tersebutlah
yang menjadi rujukan bagaimana seharusnya seorang santri bersikap.
Adapun aturan-aturan sosial, prosedural, dan tugas-tugas yang
menyangkut kepentingan kelompok mereka antara lain yaitu : harus
menjaga ukhuwah islamiyah antar santri juga santri dengan kyai dan
keluarga kyai, menjaga nama baik pesantren, mengikuti pengajian sesuai
jadwal yang ditetapkan, tidak dengan sengaja meninggalkan pengajian
tanpa alasan yang jelas, melaksanakan tugas piket, dan lain-lain.
8Syaikh Ibrahim Fathi Muqtadir, Menyibak Tirai Misteri Nabi Khidhir : Meneladani Ilmu
Ladunni Nabi Khidhir (Jakarta : Akbarmedia, 2011), h. 232.
66
Para santri berkumpul dan melakukan aktivitas-aktivitas bersama.
Dalam aktivitas-aktivitas tersebut juga terdapat indikasi komunikasi
kelompok. Baik itu dalam aktivitas formal maupun non formal. Aktivitas
formal yang dimaksud salah satunya adalah aktivitas belajar mengajar
yang dijadwalkan oleh pengajar. Sedangkan aktivitas non formal berarti
kegiatan belajar mengajar diluar jadwal yang ada dan atas dasar inisiatif
para santri.
Aktivitas belajar mengajar baik formal maupun non formal tersebut
merupakan bentuk dari komunikasi kelompok. Dapat dikatakan bahwa
komunikasi kelompok terjadi disana karena karakteristik komunikasi
kelompok melekat pada aktivitas belajar mengajar para santri Daarul
Istiqomah tersebut. Mereka belajar secara langsung dan tatap muka,
dilakukan secara sengaja atau direncanakan terlebih dahulu, terdapat
prosedur-prosedur yang harus dijalankan, setiap santri memiliki peranan
dan tanggung jawab masing-masing.
Dalam aktivitas formal, yaitu pengajian kitab kuning dengan
metode bandungan, berlangsung komunikasi kelompok karena dalam
pengajian dengan metode bandungan tersebut dilakukan secara tatap
muka, terdapat komunikator yang menyampaikan pesan kepada
komunikan dalam jumlah besar, dilakukan secara berkelanjutan, dan
pesannya sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun yang bertugas
sebagai komunikator adalah pengajar (Ust. Muhammad Taufiq) dan
komunikannya adalah para santri. Para santri sebagai komunikan sadar
67
betul bahwa mereka harus mendengarkan secara seksama apa yang
dijelaskan oleh komunikator.
Adapun kegiatan bandungan tersebut dimulai ketika bel
dibunyikan. Para santri langsung menuju majelis dengan kitab kuning
masing-masing. Sesampainya di majelis, setelah semuanya berkumpul,
pengajian dibuka dengan tawasul dan doa yang dipimpin langsung oleh
ustad. Setelah bertawasul dan berdoa, bandungan pun dimulai. Ustad
mulai membacakan dan mensyarah kitab yang dikaji. Para santri
mendengarkan dengan seksama dan mencatat (nyoret) di kitab masing-
masing. Selama proses bandungan berlansung, santri dilarang gaduh,
mengobrol, makan, dan melakukan kegiatan apapun yang mengganggu
proses bandungan. Dibalik larangan0larangan tersebut di atas, para santri
masih mendapatkan dispensai dengan diperbolehkan membawa minuman
karena dikhawatirkan santri merasa pusing dan haus karena kegiatan
bandungan cukup menguras tenaga dan pikiran.
Selain dalam kegiatan bandungan, komunikasi kelompok juga
terjadi pada saat muhadoroh. Muhadoroh merupakan kegiatan belajar
berpidato atau berceramah. Dalam pelaksanaannya, 2-3 santri (yang sudah
ditunjuk seminggu sebelumnya) maju satu persatu menyampaikan pidato
atau ceramahnya. Dan santri yang lain bertindak sebagai penonton.
Dalam aktivitas belajar non formal, komunikasi kelompok
berlangsung ketika muzakarah atau diskusi. Diskusi tersebut dipimpin
oleh santri senior yang memiliki pengetahuan yang lebih dibanding santri
68
lainnya. Muzakarah biasanya dilakukan disela-sela waktu senggang dan
tempatnya tidak tetap (kadang di kobong, kadang di majelis).
D. Komunikasi Massa
Sebagaimana pondok pesantren salafiyah lainnya yang selama ini
penulis ketahui, Daarul Istiqomah juga tidak bersinggungan dengan media
massa. Di sana tidak tersedia televisi, radio, maupun internet, tidak juga
ada media massa seperti majalah atau buletin yang dibuat oleh pengurus
pesantren. Selain itu, pengasuh dan pengurus Daarul Istiqomah juga tidak
berkenan bila ada media yang meliput tentang Daarul Istiqomah. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pola komunikasi massa di Daarul
Istiqomah.
Penulis meninjau lebih jauh dengan tidak adanya komunikasi
massa di Daarul Istiqomah bisa menjadi salah satu kekurangan pesantren
tersebut. Karena diera media ini, hampir semua orang dituntut untuk bisa
mengakses media, baik itu koran, televisi, radio, dan sebagainya. Selain
diperuntukkan sebagai sumber informasi tentang peristiwa-peristiwa yang
terjadi di dunia luar, media massa juga memberikan peluang yang cukup
bagus sebagai media promosi pesantren Daarul Istiqomah. Karena selama
ini, pesantren Daarul Istiqomah hanya mengandalkan media orang dari
mulut ke mulut dalam proses promosinya. Hal tersebut menjadi faktor
yang cukup penting dalam keberlangsungan pesantren Daarul Istiqomah.
Terlepas dari tinjauan penulis mengenai kekurangan tersebut, pihak
pesantren Daarul Istiqomah memiliki argumen tersendiri. Mereka
69
berkeinginan untuk tetap mempertahankan nilai-nilai salafiyah yang
mereka yakini sejak dulu. Meskipun tanpa kehadiran media massa atau
promosi lewat media massa seperti yang marak dilakukan banyak lembaga
saat ini, pesantren Daarul Istiqomah akan tetap menjunjung nilai-nilai
salafiyah karena dikhawatirkan media massa akan lebih banyak
memberikan efek negatif dari pada efek positifnya umumnya bagi Daarul
Istiqomah, dan khususnya bagi para santrinya.
Adapun mengenai jumlah santri Daarul Istiqomah yang relatif
sedikit, pengasuh Daarul Istiqomah tidak terlalu mempermasalahkan hal
ini. Karena dengan santri yang sedikit itu, pengasuh dan guru di sana bisa
lebih fokus mengajardan membimbing para santrinya sehingga memiliki
kualitas yang bagus, baik dari sisi akhlaknya maupun penguasaan kitab
kuningnya.
E. Komunikasi Spiritual Antara Santri dan Kyai
Komunikasi spiritual merupakan pola komunikasi yang menjadi
ciri khas santri dan kyai di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah.
Komunikasi spiritual tersebut berkenaan dengan hubungan antara santri
dan kyai yang dilandaskan oleh keyakinan yang kuat para santri kepada
kyainya. Keyakinan itu ditandai oleh kepasrahan atau penyerahan
sepenuhnya yang dilakukan oleh santri terhadap keputusan-keputusan
kyai, sekalipun mengenai kehidupan pribadi santri.
Para santri Daarul Istiqomah tidak lagi menganggap kyai sebagai
orang tua biasa. Mereka menyerahkan segala masalah dan rencana
70
hidupnya pada kyai. Mereka melakukan konsultasi kepada kyai tentang
berapa lama mereka harus belajar di Daarul Istiqomah, hal apa yang harus
mereka lakukan setelah dinyatakan lulus dari Daarul Istiqomah, atau kapan
mereka bisa pulang ke kampung halaman. Dan para santri akan
melaksanakan sesuatu sesuai dengan mandat dari kyainya.
Para santri Daarul Istiqomah memiliki keyakinan bahwa segala
keputusan kyai adalah sesuatu yang terbaik yang telah dipikirkan oleh kyai
secara matang. Dan mereka yakin bila menuruti apa yang diperintahkan
kyai (selama perintah itu tidak melanggar syariat Islam) maka mereka
akan mendapatkan doa restu kyai. Doa restu tersebut yang akan
memberikan keberkahan kepada para santri. Konsep keberkahan (barokah)
merupakan hal yang sangat penting yang harus didapatkan oleh para santri
agar kebaikan dalam hidup mereka senantiasa bertambah.
Komunikasi spiritual yang terjadi pada santri dan kyai di Daarul
Istiqomah diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Muhammad Dahlan. Dalam kurun waktu 15 tahun yang
dihabiskan Dahlan di Pondok Pesantren Salafiyah Daarul
Istiqomah mungkin membuat sebagian orang berasumsi bahwa
ia sudah cukup matang dalam ilmu agama yang diajarkan di
sana dan sudah saatnya Dahlan keluar dan mengembangkan
diri di luar pondok pesantren. Asumsi tersebut merupakan
asumsi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada pada diri
Dahlan. Dahlan merasa belum cukup atas ilmu yang ia
dapatkan selama 15 tahun sehingga ia merasa perlu lebih lama
71
lagi tinggal di Daarul Istiqomah. Selain karena merasa masih
kekurangan ilmu, Dahlan juga belum mendapatkan mandat dari
kyai untuk pulang ke kampungnya. Menurutnya, ia masih harus
mengerjakan tugasnya (bertani dan berladang) di Daarul
Istiqomah dan ia pun sangat yakin bila waktunya untuk
„pulang‟ sudah tepat, maka kyai akan memberitahunya.
2. Muhammad Juhandi. Sejalan dengan Muhammad Dahlan,
Juhandi juga memiliki keyakinan yang kuat akan nasehat atau
anjuran kyainya mengenai hal yang harus ia lakukan di Daarul
Istiqomah. Juhandi juga sedang fokus pada kajian kitab kuning
yang mulai dikuasainya selama lima tahun terakhir. Jika kyai
memintanya untuk fokus pada kitab, maka ia akan fokus. Jika
kyai menyuruhnya untuk berpuasa, maka ia akan berpuasa.
Saat ini Juhandi dipercaya untuk memimpin para santri,
mengajar dan membimbing santri-santri senior, mengawasi
kegiatan sehari-hari, dan sebagainya. Juhandi juga belum
mengetahui kapan waktu yang tepat baginya untuk pulang dari
Daarul Istiqomah,ia menunggu perintah dari kyai. Ia juga
yakin, kyai lebih mengetahui apakah ilmunya sudah cukup dan
sudah pantas untuk diamalkan di kampung halaman.
Menurutnya, jika santri memaksakan diri „pulang‟ dan tidak
bersabar dalam menuntut ilmu di Daarul Istiqomah,
dikhawatirkan hal-hal yang mereka dapatkan selama nyantren
72
tidak membawa manfaat dan keberkahan bagi hidup santri
tersebut.
F. Hambatan Komunikasi Santri dan Kyai
Dalam setiap hubungan komunikasi tentu akan selalu ada
hambatan. Begitupun yang terjadi di Daarul Istiqomah baik pada santri
maupun kyainya. Namun, hambatan-hambatan tersebut biasanya hanya
terjadi diawal-awal perkenalan dan adaptasi masing-masing santri. Dan
setiap santri memiliki hambatan-hambatan tersendiri. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Gangguan teknis. Gangguan yang bersifat teknis biasanya
terjadi pada komunikasi yang berlansung lewat media
komunikasi. Yang pernah terjadi di Daarul Istiqomah salah
satu contohnya yaitu ketika bel yang digunakan sebagai
tanda masuk atau akan dimulainya pengajian, bunyinya
hanya terdengar di kobong 1, tidak terdengar sampai ke
kobong 2. Jadi biasanya para santri yang tinggal di kobong
2 harus datang ke majelis lebih awal karena khawatir bel
sudah berbunyi. Selain itu, para santri di kobong 2 juga
tidak bisa mengetahui jika sewaktu-waktu pengajian yang
terjadwal itu diliburkan. Untuk mengatasi hal tersebut,
biasanya lurah kobong memberikan informasi dengan cara
mendatangi langsung kobong 2 atau mengirim pesan lewat
SMS atau telepon.
73
b. Gangguan semantik. Gangguan semantik merupakan
gangguan yang terjadi karena perbedaan bahasa atau
penggunaan bahasa yang kurang tepat antara pelaku
komunikasi. Hal tersebut bisa terjadi karena setiap santri
memiliki bahasa daerah yang berbeda. Meskipun mayoritas
santri di Daarul Istiqomah berbahasa sunda, namun
gangguan semantik ini tak luput dari mereka. Hal tersebut
biasanya terjadi pada santri yang berbahasa sunda kasar,
yakni santri yang berasal dari Tangerang. Bahasa yang
mereka anggap baik, ternyata sangat kasar bila dipakai di
lingkungan orang-orang Pandeglang. Hal tersebut juga
sering memicu konflik ringan. Seperti terjadinya saling
ledek antara santri yang berbahasa halus dengan yang
kasar. Meskipun ledekan tersebut berawal dari candaan,
namun santri yang merasa dihina akan berbalik marah.
Selain itu, kesalahan penggunaan bahasa ini juga sering
terjadi ketika mereka berkomunikasi dengan kyai atau guru
mereka yang berbahasa sunda halus. Biasanya santri akan
merasa malu bila telah salah menggunakan bahasa.
Dalam hal belajar, para santri juga diharuskan untuk
mengerti bahasa jawa. Bahasa jawa yang digunakan untuk
membaca atau menerjemahkan kitab-kitab kuning yang
mereka kaji. Pada santri pemula mungkin akan merasa
kesulitan, namun karena bahawa jawa tersebut selalu
74
digunakan maka lama kelamaan para santri akan terbiasa
dan faham dengan sendirinya.
c. Gangguan psikologis. Gangguan ini bersifat pribadi.
Biasanya terjadi saat individu sedang memiliki masalah.
Ketika seseorang memiliki masalah, maka ada tekanan-
tekanan dalam dirinya yang kadang membuatnya sulit
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Jadi, seseorang
tersebut cenderung diam atau menunjukkan sikap yang
tidak dimengerti oleh orang lain. Dalam kasus yang terjadi
di Daarul Istiqomah, gangguan psikologis tersebut biasanya
juga dialami oleh santri-santri baru. Mereka yang belum
bisa beradaptasi dan tidak kuat dengan dunia pesantren,
biasanya mengurung diri di kamar dan menangis. Hal
tersebut pernah terjadi di Daarul Istiqomah. Ada beberapa
santri yang menangis, mengurung diri, bahkan ada yang
sempat kabur dari pesantren karena tidak betah. Namun, hal
tersebut bisa diatasi oleh perhatian khusus dari para senior
serta kyainya. Para santri senior melakukan pendekatan
secara persuasif dan memotivasi santri baru tersebut agar
mendapatkan kenyamanan sehingga bisa menceritakan apa
yang menjadikannya tidak betah di pesantren tersebut.
d. Rintangan fisik. Di Daarul Istiqomah, rintangan fisik ini
hampir tidak ada. Karena mereka tinggal di satu wilayah
sehingga tidak ada perbedaan geografis antara mereka.
75
Selain itu, secara fisik juga mereka semua normal. Tidak
ada gangguan yang terjadi pada panca indera mereka.
e. Rintangan status. Dalam pergaulan sesama santri, rintangan
status ini tidak terasa. Karena antara lurah, wakil lurah,
maupun RT tidak ada kesenjangan status. Mereka tetap
berbaur dan tidak semena-mena menggunakan jabatan
mereka untuk memberikan jarak pada hubungan mereka
dengan santri-santri lain. Rintangan status ini sedikit terasa
ketika santri dihadapkan dengan kyai mereka. Meskipun
mereka menganggap kyai atau guru sebagai orang tua
kedua. Namun kyai atau guru tetaplah seseorang yang
memiliki derajat yang tinggi karena keilmuan yang mereka
miliki. Hal tersebut biasanya membuat para santri agak
canggung untuk memulai percakapan dengan guru atau
kyai mereka.
f. Rintangan kerangka berpikir. Cara pandang antar santri,
atau antara lurah, wakil lurah, atau santri lainnya tidak
menjadi hambatan yang berarti. Dalam program-program
yang dicanangkan lurah biasanya semua memiliki pendapat
yang sama. Meskipun ada pendapat yang berbeda, hal
tersebut tidak memicu keributan. Justru menjadi masukan
yang berharga. Mengenai perbedaan kerangka berpikir,
mereka menyikapinya dengan santai. Karena mereka sadar
bahwa perbedaan adalah rahmat. Dan dalam
76
pelaksanaannya, bila perbedaan itu muncul diantara mereka
maka dikembalikan pada pribadi masing-masing asalkan
tetap saling menghargai.
g. Rintangan budaya. Dalam hal budaya juga tidak terlalu
banyak perbedaan. Karena santri Daarul Istiqomah
umumnya berasal dari Banten. Dan sebagai santri salafiyah,
budaya mereka adalah budaya salafiyah yang sudah
diketahui dan dipahami oleh semua santri salafiyah.
Namun, biasanya rintangan budaya ini terjadi pada hal-hal
yang sepele. Seperti dalam proses masak memasak. Santri
Tangerang atau Jakarta mengenal sambel itu dengan rasa
pedas karena memakai banyak cabai. Namun, santri dari
Pandelang lebih menyukai sambal yang tidak terlalu pedas
dan banyak memakai tomat. Tapi perbedaan tersebut tidak
terlalu dipermasalahkan.
Demikianlah analisis yang penulis kemukakan mengenai pola
komunikasi serta hambatan-hambatan komunikasi santri dan kyai di
Pondok Pesantren Salafiyah Daarul Istiqomah.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada kesempatan ini penulis menyimpulkan kajian ke dalam
beberapa poin berikut:
1. Pola komunikasi santri Daarul Istiqomah terdiri dari pola komunikasi
intrapersonal, komunikasi interpersonal, dan komunikasi kelompok.
Komunikasi intrapersonal dialami oleh semua santri tanpa terkecuali.
Terutama saat santri tersebut memutuskan untuk masuk ke Daarul
Istiqomah. Mereka melakukan proses komunikasi intrapersonal dengan
berpikir dan merenungkan semua konsekuensi yang akan mereka
hadapi di Daarul Istiqomah. Dari proses komunikasi intrapersonal
tersebut lahirlah keputusan untuk pergi dan tinggal di Daarul
Istiqomah.
Pola komunikasi interpersonal juga terjadi di antara sesama santri
Daarul Istiqomah dengan diawali oleh hubungan atau komunikasi
impersonal. Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya
frekuensi komunikasi di antara mereka, maka hubungan impersonal
meningkat menjadi hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal
tersebut biasanya terjalin karena kesamaan kepribadian. Kesamaan
tersebut memberikan rasa nyaman sehingga hubungan interpersonal
dapat terjalin. Faktor lain yang memengaruhi para santri melakukan
komunikasi interpersonal adalah kecenderungan lebih dekat dengan
78
teman sekamar. Karena teman sekamar adalah teman yang memiliki
frekuensi komunikasi paling tinggi. Sehingga kemungkinan terjalin
komunikasi interpersonalnya pun semakin tinggi.
Pola komunikasi santri dan kyai Daarul Istiqomah berlangsung dalam
dua pola. Yakni pola komunikasi interpersonal dan pola komunikasi
kelompok. Komunikasi interpersonal dengan kyai sudah terjalin antara
santri senior. Sedangkan komunikasi santri junior masih sebatas
komunikasi impersonal. Faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan
tersebut antara lain disebabkan oleh kurangnya pengetahuan santri
junior tentang sifat dan kepribadian kyai serta frekuensi komunikasi
yang masih sangat minim. Begitupun sebaliknya, kyai belum terlalu
mengenal kepribadian para santri junior sehingga komunikasi di antara
mereka baru sebatas komunikasi impersonal. Namun pada umumnya,
komunikasi interpersonal itu dapat tercipta antara santri dan kyai
seiring dengan berjalannya waktu.
Komunikasi kelompok terjadi ketika proses belajar mengajar.
Terutama proses mengkaji kitab kuning dengan metode bandungan.
Selain itu, proses muhadoroh juga merupakan pola komunikasi
kelompok.
Pola komunikasi yang khas yang ditemukan dalam kajian ini yaitu
komunikasi spiritual antara santri dan kyai. Komunikasi spiritual
didasarkan oleh kepercayaan yang tinggi seorang santri kepada
kyainya dalam memberikan keputusan apapun. Hal tersebut dilakukan
untuk mendapatkan keberkahan.
79
2. Hambatan komunikasi santri dan kyai terjadi karena beberapa hal,
diantaranya : perbedaan budaya dan bahasa. Namun faktor
penghambat yang memberikan pengaruh yang cukup besar adalah
sikap santri terlalu canggung untuk berkomunikasi dengan kyai karena
perbedaan status di antara mereka.
B. Saran
Berdasarkan temuan di lapangan serta analisis yang dilakukan terhadap
santri dan kyai di Daarul Istiqomah, penulis menyatakan beberapa saran
yang ditujukan kepada para santri Daarul Istiqomah demi terciptanya
komunikasi yang lebih baik. Adapun saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Para santri hendaknya bisa membuka diri kepada santri lainnya. Tidak
hanya bergaul dengan santri sekamarnya saja. Melainkan juga bergaul
dengan santri-santri lain. Karena pada dasarnya kehidupan pesantren
identik dengan kebersamaan dan kekeluargaan. Apabila semua santri
mau membuka diri dan membagi informasi seputar dirinya, maka akan
lebih banyak lagi santri lain yang mengerti dan memahaminya.
Sehingga, persoalan pribadi yang dihadapi oleh santri bisa dipecahkan
bersama.
2. Pesantren Daarul Istiqomah hendaknya terbuka pada media massa
sebagai sumber informasi tambahan bagi para santri dengan tidak
mengenyampingkan upaya meminimalisir dampak negatif dari media
tersebut. Selain itu, media massa juga bisa membantu mempromosikan
80
pesantren Daarul Istiqomah informasi seputar pesantren Daarul
Istiqomah dapat diketahui oleh masyarakat luas.
81
DAFTAR PUSTAKA
A’dam, Syahrul. “Pesantren : Kiai dan Tarekat,” Dalam Suwito dan Fauzan, ed.
Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana, 2008.
Al Thalibi, Abu Abdirrahman. Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak : Meluruskan
Sikap Keras Dai Salafi. Jakarta : Hujjah Press, 2006.
Al-Zarnuzi, Syekh. Ta’limul Muta’allim. Penerjemah Achmad Sunarto. Bandung :
Husaini, 1422 H.
Budyatna, M dan Mutmainah, Nina. Komunikasi Antarpribadi. Jakarta :
Universitas Terbuka, 1994.
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Rajagrafindo Persada,
2007.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka, 2005.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. “Pesantren.” Dalam Ensiklopedi Islam 4
NAH-SYA. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2007.
Fathi Muqtadir, Syaikh Ibrahim. Menyibak Tirai Misteri Nabi Khidhir :
Meneladani Ilmu Ladunni Nabi Khidhir. Penerjemah Helmi Shaleh
Bazher. Jakarta : Akbarmedia, 2011.
Haedari, Amin. ed. Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta : IRD Press, 2004.
Hudaeri, Mohammad. dkk. “Penyerapan Nilai-Nilai Budaya Lokal Dalam
Kehidupan Beragama di Banten.” Dalam Afif HM dan Saeful Bahri, ed.
Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia. Jakarta : Balai Penelitian
dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009.
Irwanto. Focused Group Discussion : Sebuah Pengantar Praktis. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 2006.
J.R Raco.Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karateristik, dan Keunggulannya.
Jakarta: PT Grasindo, 2010.
Madjid, Nurcholis. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta : Paramadina, 1997.
82
Meinarno, Eko W, ed. Psikologi Sosial : Pengaruh Sosial. Jakarta : Salemba
Humanika, 2009.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Remaja Rosdakarya,
2007.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2007.
---------------------Komunikasi Humoris : Belajar Komunikasi Lewat Cerita dan
Humor. Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2008.
Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007.
Qomar, Mujamil. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta : Erlangga, 1992.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya,
2011.
Rumondor, Alex. dkk. Komunikasi Antar-Budaya. Jakarta : Universitas Terbuka,
2001.
Yasmadi. Modernisasi Pesantren : Kritik Nurcholish Madjis terhadap Pendidikan
Islam Tradisional. Jakarta : Quantum Teaching, 2005.
83
Rokhi, Zaeni. “Komunikasi Antarpribadi Pengasuh dan Santri Pondok Pesantren
Al-Idrus Kalanganyar Lebak Banten.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010.
Siregar, Fajar Adzananda. “Pola Komunikasi Kyai dan Santri di Pondok Pesantren
Al-Asmaniyah Kampung Dukuhpinang, Tangerang, Banten.” Skripsi S1
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
84
Mudjia Rahardjo. “Metode Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif.” Artikel di
akses pada 6 Februari 2012 dari
http://mudjiarahardjo.com/artikel/336.html?task=view.