politik kolonial belanda dan modernisasi di praja
TRANSCRIPT
POLITIK KOLONIAL BELANDA DAN MODERNISASI DI PRAJA
PAKUALAMAN 1906-1937
Diah Putri Hardianti, Didik Pradjoko
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini membahas kebijakan Paku Alam VII selama memimpin Praja Pakualaman dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat Pakualaman. Permasalah yang muncul akibat dari pengaruh politik kolonial pemerintah Hindia Belanda serta proses modernisasi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di wilayah vorstenlanden, telah mendorong para pemimpin swapraja untuk melakukan berbagai upaya guna mengatasinya. Meskipun disatu sisi mereka tunduk kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, tetapi di lain sisi mereka juga berupaya untuk mengadaptasi kebijakan tersebut agar sejalan dengan kepentingan rakyat. Sebagai pemimpin Praja Pakualaman, Paku Alam VII berupaya membangun Praja Pakualaman melalui berbagai kebijakan selama masa pemerintahannya (1906-1937), meliputi tatanan birokrasi, pendidikan, agraria, dan pembangunan berbagai infrastruktur. Metode dan sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah (heuristik, kritik sumber, interpretasi data, historiografi) dan sumber yang digunakan berupa sumber arsip, koran dan majalah sejaman, jurnal ilmiah, serta buku sebagai sumber pendukung.
Kata kunci: Agraria, Infrastruktur, Kebijakan, Paku Alam VII, Praja Pakualaman.
Dutch Colonial Politics and Modernisation in Praja Pakualaman 1906-1937
Abstract
This research discscuses about the policies issued by Paku Alam VII over Praja Pakualaman and the impact to its people. Problems occurred as the result of the Dutch East Indies Colonial government policy as well as the processes of modernization in the late 19th and early 20th century in the region vorstenlanden, has encouraged the leaders of the swapraja to make efforts to overcome them. Although, in the order hand they were subject to the Dutch East Indies Colonial Government, they were trying to transform the policy into line with the interest of its people. As the leader of Praja Pakualaman, Paku Alam VII tried to build Praja Pakualaman through various policies issued during the reign (1906-1937), including bureaucray, education, agriculture, and infrastructure development. The methods and sources used in this research is the historical approach (heuristic, criticism of sources, interpretation historiography), sources used by the author are archival sources, newspapers and magazines contemporary, scientific journals, and books as a source of support.
Key words: Development, Paku Alam VII, Policy, Dutch Colonial Politics, Praja Pakualaman.
Pendahuluan
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 masyarakat Jawa menghadapi masa dimana
terjadi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Salah satu faktor yang paling dominan dalam memengaruhi terjadinya perubahan di masyarakat
Jawa adalah adanya westernisasi atau proses masuknya kebudayaan Barat (Wasino, 2014:3).
Berkembangnya proses westernisasi terjadi sejalan dengan meluasnya kekuasaan Belanda hingga
ke tingkat masyarakat paling bawah. Dengan demikian terjadi interaksi secara langsung antara
orang-orang Belanda dengan penduduk pribumi melalui sarana hubungan kerja, pendidikan,
birokrasi, administrasi, dan sebagainya.
Proses westernisasi telah membawa masyarakat Jawa ke arah modernisasi. Secara
harfiah, modernisasi adalah membuat jadi modern, yaitu proses perubahan dari cara tradisional
ke cara baru yang lebih maju. Menurut Steven Vago, modernisasi dapat diartikan sebagai
perubahan dari satu masyarakat tradisional atau pramodern ke tipe teknologi dan organisasi
sosial yang berkaitan dengan kemajuan akibat perkembangan ekonomi dan dikaitkan dengan
negara Barat (Vago, 1985:40-41). Sistem sosial dan sistem nilai budaya masyarakat Jawa
mengalami perubahan akibat pengaruh Barat, yaitu sejak adanya kebijakan Cultuurstelsel hingga
Politik Etis. Dampak dari kebijakan kolonial tersebut secara tidak langsung memungkinkan
masyarakat pribumi berinteraksi dengan orang-orang Belanda dalam berbagai lembaga,
diantaranya pendidikan dan birokrasi.
Sebagai bagian dari masyarakat Jawa, proses perubahan sosial juga terjadi pada
masyarakat vorstenlanden. Pemerintahan raja-raja Jawa di vorstenlanden dihadapkan pada
pilihan untuk menanggapi zaman baru yang telah mengalami proses modernisasi dan
westernisasi tersebut. Sebagai praja kejawen yang memiliki wilayah kekuasaan paling kecil,
Praja Pakualaman tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah dirinya menjadi kerajaan yang
besar. Dalam kondisi demikian, Praja Pakualaman harus mencari strategi agar dapat menjaga
eksistensinya baik di lingkungan kerabat (trah), istana, dan legitimasi dari rakyatnya.
Menanggapi perubahan sosial sebagai akibat modernisasi dan westernisasi, para pengageng Praja
Pakualaman memilih untuk lebih bersikap inovatif. Mereka tidak menolak kehadiran budaya
Barat tersebut, tetapi berusaha untuk mengambil nilai-nilai dan kebudayaan Barat yang
dipandang baik untuk kemudian diolah sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa, melalui
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
Pelaksanaan beberapa kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda mengenai agraria
telah membuat praktik persewaan tanah di wilayah vorstenlanden, termasuk Pakualaman
semakin berkembang. Sebelumnya, masyarakat hanya mengenal sistem apanage atau tanah-
tanah lungguh, mereka menggarap tanah-tanah tersebut dengan bercocok tanam agar
menghasilkan komoditas untuk kemudian sebagian hasil panennya diberikan kepada para patuh
sebagai bentuk pajak (Suhartono, 1991:27). Sementara itu, praktik persewaan tanah mulai
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
dijalankan sejak awal abad ke-19 mengalami perkembangan. Semula hanya selama jangka waktu
maksimal 15 tahun, tetapi akibat adanya sistem Cultuurstelsel maka praktik persewaan tanah
semakin meluas karena hanya tanah-tanah di wilayah vorstenlanden yang dapat dimanfaatkan
oleh pengusaha asing (Rouffaer, 1905:588). Pemberlakuan Sistem Ekonomi Liberal juga
berdampak kepada semakin banyaknya lahan pertanian yang diubah menjadi lahan perkebunan
dan mulai mengarah ke sektor agroindustri. Perkembangan sektor agroindustri mengakibatkan
rentang waktu penyewaan tanah menjadi semakin lama, antara 50 hingga 70 tahun. Selain itu,
cakupan tanah yang disewakan menjadi perkebunan pun semakin luas. Seringkali tanah yang
disewa meliputi luas wilayah sebuah kabupaten, di mana penduduk beserta segala hal yang ada
di atas tanah tersebut menjadi kewenangan para penyewa. Hal inilah yang membuat petani
dibebankan oleh berbagai macam kerja wajib dan penyerahan wajib (pajeg). Rendahnya tingkat
pendidikan yang dimiliki oleh rakyat juga menjadi faktor mengapa mereka terjebak dalam
kondisi kesengsaraan akibat praktik persewaan tanah. Pengetahuan dan keterampilan yang
rendah tidak memungkinkan bagi mereka untuk mencari pekerjaan lain. Mereka terpaksa tetap
menjadi petani dan buruh pabrik perkebunan sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun ketika memasuki awal abad ke-20, Praja Pakualaman mulai mengalami beberapa
perubahan kemajuan. Pada masa ini Pakualaman berada dibawah kepemimpinan Paku Alam VII
yang dikenal sebagai pemimpin yang cerdas dan berpikiran maju (Moedjanto, 1994:35-36).
Melalui berbagai kebijakannya, ia berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
Pakualaman. Selama memegang tampuk pemerintahan, ia membagi tugasnya ke dalam beberapa
hal yaitu meningkatkan pendidikan, melakukan reorganisasi agraria, dan membangun berbagai
infrastruktur di wilayah Adikarto. Bersama dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Paku
Alam VII mengadakan beberapa pembaruan di bidang pemerintahan, pendidikan, agraria dan
infrastruktur.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah upaya Paku Alam VII dalam menghadapi politik kolonial Belanda dengan memodernisasi
Praja Pakualaman melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama masa kepemimpinannya
antara tahun 1906-1937.
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan kebijakan-kebijakan Paku Alam VII selama
memegang tampuk pemerintahan dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat. Tujuan lain dari
penulisan karya ini yaitu diharapkan mampu melengkapi penulisan sejarah Praja Pakualaman
dan dapat memperkaya pengetahuan terutama mengenai perkembangan masyarakat Pakualaman
sebelum melebur menjadi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Metode
sejarah terdiri atas empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Tahap
heuristik yaitu menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber yang tersebar di berbagai jenis
sumber yang mendukung penelitian ini. Sumber-sumber yang digunakan terbagi atas dua jenis,
yaitu sumber primer dan sumber sekunder (Gottschalk, 1975:42). Sumber primer yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) arsip-arsip koleksi Puro Pakualaman terdiri dari
peraturan yang dikeluarkan dalam bentuk Rijksblad Van Het Pakoe-Alamschegebied dan
laporan-laporan tentang pembangunan fasilitas desa, (2) koran atau surat kabar sejaman yaitu
Darmo Kondo, Soerabaiasch-Handelsblad dan Mataram, dan (3) majalah atau jurnal sejaman
yaitu Majalah Djawa dan Koloniaal Tijdschrift. Sedangkan sumber sekunder yang didapatkan
oleh penulis meliputi: (1) buku-buku yang membahas tentang swapraja di vorstenladen dan
Praja Pakualaman secara khusus, antara lain berjudul Kadipaten Pakualaman karya KPH MR.
Soedarisman Poerwokoesoemo, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta
1830-1920 karya Suhartono, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta 1912-1942 karya George D. Larson, dan Modernisasi di Jantung Budaya Jawa:
Mangkunegaran 1896-1944 karya Wasino, dan (2) jurnal-jurnal terbitan Patrawidya dan Prisma.
Sumber-sumber tertulis yang telah ditemukan dalam rangka penelitian ini adalah sumber-
sumber yang didapatkan dari Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perustakaan Nasional,
Perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada,
Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Ruang Koleksi Arsip Puro
Pakualaman, Perpustakaan Widyapustaka Puro Pakualaman, Perpustakaan Ignatius Collase
Yogyakarta dan beberapa website atau situs online resmi yang memuat jurnal-jurnal dari
jstor.org dan kebudayaan.kemdikbud.go.id serta koleksi surat kabar sejaman dari delpher.nl.
Dalam melakukan pencarian sumber-sumber ini, peneliti mengalami beberapa kesulitan.
Banyak dari arsip tentang laporan atau surat-surat selama masa pemerintahan Paku Alam VII
yang belum diidentifikasi dan sedang direstorasi di Arsip Nasional Republik Indonesia. Peneliti
juga menemukan kendala terutama dalam membaca sumber-sumber tertulis yang masih
menggunakan bahasa Belanda dan aksara Jawa. Selain itu, sumber sekunder berupa buku-buku
yang didapatkan oleh peneliti lebih banyak membahas tentang vorstenlanden secara umum
ataupun wilayah swapraja lainnya (Kesultanan Yogyakarta, Kesunanan Surakarta dan Kadipaten
Mangkunegaran).
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Setelah menemukan sumber-sumber terkait penelitian, tahapan selanjutnya adalah kritik
sumber. Hal ini dilakukan agar data-data yang diperoleh memiliki nilai kredibilitas yang tinggi
sehingga dalam penulisan skripsi ini dapat mempertahankan nilai akademisnya dan
menghasilkan karya tulis yang bersifat ilmiah. Metode kritik dibagi menjadi dua, yaitu kritik
interen dan kritik eksteren. Kritik interen menilai kredibilitas isi atau data dalam sumber
sedangkan kritik eksteren menilai bahwa sumber-sumber yang digunakan adalah dokumen yang
otentik. Hal ini perlu dilakukan sebab sumber-sumber yang didapatkan tidak secara langsung
berfokus kepada penelitian ini. Seperti halnya buku Perubahan Sosial di Yogyakarta karya Selo
Soemardjan dan buku Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta 1880-1930 karya
Abdurachman Surjomiharjo yang secara umum membahas tentang wilayah Yogyakarta tanpa
membedakan daerah kekuasaan Kesultanan maupun Kadipaten. Hal ini membuat wilayah yang
termasuk kekuasaan Pakualaman dibahas bersamaan dengan wilayah kekuasaan Kesultanan dan
digeneralisasi menjadi wilayah Yogyakarta. Selanjutnya, berdasarkan dengan sumber-sumber
yang didapatkan, arsip-arsip, buku, dan artikel yang telah dibaca dan diteliti adalah otentik
karena merekam peristiwa sezaman. Sebagai contoh arsip-arsip yang digunakan merupakan
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Praja Pakualaman terlihat dari tanggal yang tertera yaitu
antara tahun 1917-1937 dan adanya tandatangan dari pejabat setempat. Selain itu, digunakan
pula surat kabar Darmo Kondo yang diterbitkan tahun 1912 dan Soerabaiasch-Handelsblad yang
diterbitkan tahun tahun 1937.
Tahapan ketiga adalah interpretasi (penafsiran) terhadap data yang diperoleh. Pada tahap
ini dilakukan penafsiran akan fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta yang lain.
Dengan adanya fakta-fakta tersebut, penulis dapat menggunakannya sebagai bahan untuk
merekonstruksi dalam bentuk tulisan sesuai dengan kronologis dan dilakukan dengan sistematis.
Interpretasi yang dilakukan juga berdasarkan berbagai sudut pandang agar dapat menjaga
objektifitas, sehingga tidak merugikan pihak lain.
Terakhir adalah tahap historiografi. Dalam tahap inidilakukan penyusunan urutan
peristiwa secara kronologis berdasarkan sumber-sumber yang sudah diinterpretasikan dengan
objektif. Penulis akan memaparkan semua fakta beserta maknanya yang dirangkai secara
kronologis dan sistematis sehingga menjadi tulisan sejarah yang mudah dipahami, ilmiah, dan
dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran mengenai sejarah
perkembangan masyarakat Pakualaman dan upaya Paku Alam VII dalam mensejahterakan rakyat
melalui berbagai kebijakannya.
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Hasil Penelitian
Perubahan yang muncul akibat berbagai kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda
membuat Paku Alam VII melakukan berbagai kebijakan-kebijakan untuk membawa kemajuan
pada Praja Pakualaman. Bermula dari reorganisasi tatanan birokrasi melalui pembentukan
jabatan baru sesuai dengan kebutuhan praja, seperti halnya pembentukan dinas-dinas baru yang
mengurusi tentang pendidikan, pertanian, dan infrastruktur hingga mengeluarkan aturan dalam
bentuk lembaran negara (Rijksblad) agar segala keputusan dan kebijakannya dapat terekam lebih
rapi dan memiliki status hukum yang kuat. Ketika kondisi birokrasi pemerintahan telah stabil
dan efektif maka diadakan perubahan di berbagai bidang meliputi: (1) pendidikan, (2) agraria
atau pertanian, dan (3) infrastruktur.
Berkembangnya pendidikan di wilayah Pakualaman telah membawa dampak perubahan
bagi masyarakat, diantaranya semakin banyak masyarakat Pakualaman yang melek huruf dan
memunculkan para elit modern Pakualaman untuk berani melakukan pergerakan dan mengkritik
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pelaksanaan reorganisasi juga mengakibatkan penghapusan
sistem apanage yang mana menggugurkan sistem kerja wajib dan pemberian tanah-tanah
lungguh sebagai bentuk upah bagi para pangreh praja. Sebagai gantinya, pemerintah praja
memberlakukan penyerahan wajib (pajeg) perkepala dalam bentuk uang dan pemberian upah
bagi para pangreh praja juga dalam bentuk uang.
Pembahasan
Praja Pakualaman merupakan salah satu swapraja yang berdiri sebagai bagian dari
wilayah vorstenlanden, yang mana berhak menyandang status semi otonom. Status tersebut
diartikan bahwa Praja Pakualaman dapat menjalankan pemerintahan dan mengontrol wilayah
mereka sendiri, tetapi tetap berada di bawah pengawasan dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda melalui perwakilannya yaitu seorang Residen dan para bawahannya. Sebagai praja
kejawen, Pakualaman mendapatkan hak untuk mengurusi pajak dan memeroleh dana pemasukan
setiap bulannya dari pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk membiayai keperluan kerajaan
sehari-hari, termasuk memberikan gaji kepada birokrat-birokrat kerajaan (Suryo, 2011:3).
Secara administratif, Praja Pakualaman memiliki dua daerah kekuasaan yang letaknya
terpisah, yaitu Kabupaten Adikarto yang terletak di sisi paling selatan dari wilayah
vorstenlanden dan wilayah Puro Pakualaman yang terletak di ibukota Yogyakarta sekaligus
pusat pemerintahan bagi Praja Pakualaman (Albiladiyah, 1984:4). Wilayah Pakualaman yang
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
terletak di ibukota Yogyakarta berada di sebelah timur Sungai Code dan berbatasan langsung
dengan wilayah Kesultanan Yogyakarta dari berbagai arah. Daerah ini meliputi: kompleks istana
Pakualaman bernama Puro Pakualaman yang berfungsi sebagai tempat tinggal Paku Alam dan
para sentananya serta kantor-kantor dari pemerintahan praja, dan kompleks pemukiman di luar
puro tempat di mana para abdi dalem yaitu pegawai puro dan elit birokrat Praja Pakualaman
bertempat tinggal.
Gambar 1. Peta Kompleks Puro Pakualaman
Sementara itu, Kemudian wilayah Pakualaman yang terletak di Kabupaten Adikarto berada di
paling selatan daerah Yogyakarta, berbatasan langsung dengan Samudera Hindia di sebelah
selatan, Sungai Progo di sebelah timur, Kali Bogowonto di sebelah barat, dan Kabupaten Kulon
Progo yang merupakan wilayah Kesultanan Yogyakarta di sebelah utara.
Gambar 2. Peta Kabupaten Adikarto
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Wilayah ini menjadi wilayah terluas dari keseluruhan Praja Pakualaman. Jumlah penduduk pun
jauh lebih banyak berada di Adikarto daripada wilayah Pakualaman yang berada di ibukota.
Stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat di Pakualaman sangat bertalian dengan
kedudukan kraton. Hal tersebut telah membentuk pengklasifikasian dalam masyarakat
Pakualaman yang meliputi golongan atas dan golongan bawah. Golongan atas terdiri dari Raja,
para bangsawan dan para priyayai. Sementara itu, golongan bawah terdiri dari wong cilik atau
yang sering juga disebut rakyat jelata, baik penduduk kota maupun pedesaan (Surjomiharjo,
2006:27). Di samping itu, masyarakat Pakualaman juga tergolong ke dalam masyarakat agraris
yang mana kehidupan sosial ekonominya sangat erat kaitannya dengan pertanahan (Goenawan,
1984:34). Hal ini mengakibatkan dalam tata susunan masyarakat dikenal lapisan atau tingkatan
yang didasarkan atas hak dan kewajiban serta pemilikan tanah. Sama halnya dengan praja
kejawen lainnya di wilayah vorstenlanden, pertanahan di wilayah Pakualaman di atur melalui
sistem tanah Apanage atau tanah-tanah lungguh (Suhartono, 1991:27).
Perekonomian masyarakat Pakualaman di wilayah ibukota memiliki keterkaitan dengan
kedudukan Puro. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah
ini terdiri dari para sentana dan para abdi dalem yang bekerja untuk Paku Alam. Sementara
golongan lainnya yang tinggal di wilayah ini yaitu para kawula atau rakyat yang memiliki
pekerjaan sebagaimana ciri umum dari jenis mata pencaharian masyarakat di wilayah kota, yaitu
di bidang perdagangan, pertukangan, kerajinan dan jasa lainnya. Sementara itu, kondisi
masyarakat di wilayah Adikarto cenderung bersifat heterogen atau terdiri dari berbagai
golongan, yaitu orang-orang Pribumi, Eropa dan Tionghoa. Mereka memiliki mata pencaharian
yang berbeda-beda sesuai dengan keahlian dan kondisi dimana mereka tinggal. Adapun mata
pencaharian yang dikerjakan adalah bercocok tanam, pedagang, tukang kayu, penjual jasa,
teknisi, kuli/buruh, dan pengrajin.
Penduduk Pribumi merupakan golongan mayoritas yang menempati wilayah Adikarto,
baik di wilayah perkotaan maupun di wilayah pedesaan, dimana terdapat lebih banyak area
pertanian dan perkebunan. Keberadaan dan profesi mereka yang membuat Adikarto identik
dengan masyarakat petani. Ekonomi masyarakat petani didasarkan pada sistem pertanian, yaitu
dengan bercocok tanam dan peternakan atau perikanan yang menghasilkan pangan dengan
produksi yang tidak terspesialisasi. Artinya mereka tidak menanam tumbuhan hanya pada satu
jenis tanaman saja dan tidak berternak hanya dengan satu jenis hewan ternak saja. Para petani di
Adikarto mengembangkan sistem pertanian ke dalam beberapa jenis, yaitu sawah, tegalan, dan
kebun (Boomgaard, 2004:37-38). Bentuk ekonomi yang dianut penduduk pribumi di Adikarto
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
bisa dikatakan tertutup, biasanya para petani menggunakan hasil-hasil tanaman di sawah dan
ladang mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri Meskipun begitu, tidak jarang hasil
tersebut mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya (Kartodirdjo, 1991:3).
Sebagai kelanjutan dari Kerajaan Mataram Islam, Praja Pakualaman tetap memelihara
nilai-nilai budaya Jawa warisan tradisi Mataram. Di sisi lain, Praja Pakualaman melakukan
pembaruan sesuai dengan perkembangan zaman akibat pengaruh Barat melalui modernisasi.
Pembaruan bagi Praja Pakualaman sesungguhnya telah dimulai sejak pemerintahan Paku Alam
V (1878-1900). Ia melakukan modernisasi melalui pendidikan modern bagi para sentana Paku
Alam serta merombak susunan birokrasi menjadi lebih terstruktur dengan pembagian kerja yang
lebih jelas. Namun, usaha pembaruan yang dilakukan oleh Paku Alam V belum terlaksana secara
maksimal dan menyeluruh. Pada masa akhir pemerintahannya, pendidikan belum sampai hingga
ketingkat rakyat dan birokrasi pemerintahan pada masa tersebut belum mampu untuk mengatasi
permasalahan yang timbul sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, Paku Alam
VII selaku penerus kepemimpinan Praja Pakualaman memiliki tanggung jawab untuk mengatasi
permasalahan warisan dari masa pemerintahan Paku Alam V.
Pada tanggal 16 Oktober 1906 melalui surat keputusan (besluit) no.16 yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, BRMH Surarjo dinobatkan sebagai kepala Praja
Pakualaman menggantikan ayahnya Paku Alam VI. Ia mendapat gelar Pangeran Adipati Ario
Praboe Soeriodilogo dan diberikan pangkat Letnan-Kolonel oleh Jendral Staff Tertinggi Hindia
Belanda. BRMH Surarjo baru mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku
Alam VII pada tanggal 10 Oktober 1921 dan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda diberi
pangkat Kolonel tituler. Hal tersebut sesuai dengan tradisi di Pakualaman, yang mana gelar
KGPPA Paku Alam dapat diberikan jika kepala kadipaten telah mencapai usia empat puluh
tahun.
Gambar 3. Surat Penetapan K.G.P.A.A. Paku Alam VII
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Langkal awal yang dilakukan oleh Paku Alam VII guna meneruskan modernisasi di
wilayah Pakualaman adalah merombak susunan birokrasi pemerintahan. Beberapa jabatan
dibentuk sesuai dengan kebutuhan praja, seperti halnya pembentukan dinas-dinas baru yang
mengurusi tentang pendidikan, pertanian, dan infrastruktur. Ia juga mengeluarkan aturan yang
dalam bentuk lembaran negara (Rijksblad) agar segala keputusan dan kebijakannya dapat
terekam lebih rapi dan memiliki status hukum yang kuat (Poerwokoesoemo, 1985:317-318).
Setelah diadakan pembenahan pada birokrasi pemerintahan, kondisi pemerintahan Praja
Pakualaman menjadi lebih efisien dan efektif. Dengan kondisi demikian, telah mendorong Paku
Alam VII untuk mengadakan modernisasi pada bidang-bidang lain di luar sektor pemerintahan
yang secara langsung berhubungan dengan rakyat Pakualaman. Adapun beberapa perubahan
tersebut, meliputi bidang: (1) pendidikan, (2) agraria atau pertanian, serta (3) pembangunan
berbagai infrastruktur.
Kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh Paku Alam VII adalah pendirian sekolah-
sekolah desa dan sekolah-sekolah partikelir milik praja sebagai suatu usaha untuk mencerdaskan
rakyat. Paku Alam VII juga memberikan bantuan dana sekolah atau beasiswa bagi mereka yang
ingin melanjutkan sekolahnya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Setiap tahunnya praja
mengeluarkan anggaran untuk membiayai keperluan dalam bidang pendidikan, seperti gaji bagi
tenaga pengajar atau guru, perbaikan sarana dan prasarana sekolah serta pembangunan sekolah-
sekolah baru. Menurut H. Soemardjo salah satu ambtenaar Pakoealaman, jumlah anak pribumi
di Kabupaten Adikarto yang belajar di sekolah dari jenjang paling rendah sampai tinggi,
tergolong lebih banyak daripada di wilayah Gubernemen Yogyakarta pada saat pemerintahaan
Paku Alam VII. Beberapa sekolah yang telah berdiri di kota Wates,diantaranya: Volks-school
Mohammadijah, Standaardschool R. K., Schakel-school, Tiong Hwa Hwee Kwan school, Dessa-
meisjes-school, II kl. School, Meisjes-Verlog-school, Ambachtsschool, Shakel-school, H.J.S md
Bijbel dan Volks-school. Hingga tahun 1931 di Kabupaten Adikarto, yang besarnya hanya 53
desa (kelurahan) diperkirakan telah memiliki 55 rumah sekolah, terhitung sekolah milik
pemerintah, sekolah yang mendapat subsidi dan sekolah partikelir (Van Bunning, 1931:51).
Pada bidang agraria, Paku Alam VII menyetujui tawaran pemerintah kolonial Hindia
Belanda untuk mengadakan reorganisasi pada tanah-tanah lungguh di Praja Pakualaman. Tujuan
dilaksanakan reorganisasi tersebut adalah untuk menata kembali sistem kepemilikan dan
penguasaan tanah di wilayah vorstenlanden yang pada awalnya merupakan hak milik dan
kekuasaan raja kemudian beralih kepada rakyat. Pelaksanaan reorganisasi agraria di tanah
vorstenlanden dilakukan sejak 1912 hingga 1929 dibawah pengawasan secara langsung oleh
residen Yogyakarta, Lieferinck, dengan bantuan Paku Alam VII. Paku Alam menunjuk seorang
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Menteri Kadaster untuk mengukur tanah-tanah apanage, proses pengukuran pertama kali
dilakukan di distrik Sogan, baru kemudian dilanjutkan ke distrik Galur (Poerwokoesoemo,
1985:299-300).
Reorganisasi agraria telah menghapus kewajiban-kewajiban yang muncul dengan adanya
sistem apanage, seperti halnya penerimaan tanda bekti atau pemberian dari para patuh dan
perusahaan-perusahaan perkebunan sesuai dengan tradisi. Akan tetapi, sebagai ganti-rugi atas
hilangnya pemasukan bagi Praja Pakualaman dari tanda bekti tersebut, pemerintah kolonial
Hindia Belanda memberikan dana sebanyak f600,- tiap tahunnya kepada Praja Pakualaman
(Poerwokoesoemo, 1985:316-317).
Reorganisasi agraria merupakan suatu perubahan yang penting terhadap status hukum
pemilikan tanah, dari tanah milik Paku Alam VII dan para sentana kemudian dialihkan kepada
penduduk (domeinverklaring). Pengaturan tentang penyerahan hak tanah tersebut diatur melalui
rijksblad no.18 tahun 1918 yang tercermin dalam pasal berikut (Rijksblad Van Het Pakoe-
Alamschegebied tahun, 1918: 211):
Artikel III
(1) Alle gronden, gelegen in gereorganiseerde gebiedsdeelen welke blijvend bij de bevolking in gebruik zijn,
hetzij ter bewoning, het zij ter bebouwing, dit laatste onverschillig of zullks geregeld dan wel met
tusschenprioden van braakligging plaats vindt, zooals deze gronden zijn aangegeven in het zaakbetrekkelijk
gemeenteregister, worden met het Inlandsch bezitsrecht afgestaan aan de nieuw gevormde gemeenten en
wel aan elke dezer de gronden, die volgens bedoeld gemeenteregister bij haar gebied zijn ingedeeld.
(2) Het in het vorige lid bedoeld bezitsrecht vervalt, indien ter beoordeeling van den betrokken Regent, de
grond gedurende tien achtereenvolgende jaren niet bebouwd of bewoond is geworden.
Artikel 3
(1) Semua tanah yang terletak di bagian wilayah yang di reorganisasi, akan digunakan oleh masyarakat baik
untuk hunian maupun bangunan. Peraturan ini diterapkan ketika status tanah-tanah ini kosong,
sebagaimana pencatatan tanah-tanah ini di register kota madya. Pengaturan dan pembagian tanah-tanah ini
menjadi hak kepemilikan penduduk lokal (pribumi) diserahkan kepada kotamadya yang baru .
selang itu berarti hak milik dalam paragraf sebelumnya, jika menurut pendapat Bupati bersangkutan, tanah
tidak dibudidayakan atau telah dihuni selama sepuluh tahun berturut-turut.
Sebelum dikeluarkan sertifikat tanah, terlebih dahulu dilakukan pengukuran dan penentuan
klasifikasi tanah untuk menentukan luas pemilikan masing-masing penduduk. Penetapan luas
tanah yang dimiliki masing-masing penduduk dilakukan guna menentukan besarnya pajak bumi
yang wajib dibayarkan penduduk yang menerima hak milik tanah.
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Pada tahun 1925 pemerintah Pakualaman kemudian merubah dan menambah peraturan
mengenai hak pakai tanah oleh penduduk. Penduduk Pakualaman baik di kota maupun di
Adikarto tidak hanya diberikan hak pakai tanah melainkan diberikan dalam bentuk hak milik
pribadi. Sementara itu, untuk tanah-tanah milik desa tidak boleh diperjualbelikan dan tanah-
tanah penduduk desa hanya dapat dialihkan dalam bentuk hak pakai secara turun-temurun
(Rijksblad Van Het Pakoe-Alamschegebied tahun, 1925: 306-307). Begitupun dengan tanah-
tanah yang mencakup tanah liar atau tanah kosong, jalan dan tanah pemakaman tidak diberikan
hak miliknya kepada penduduk (Soepomo, 1931:625). Apabila Paku Alam akan menggunakan
tanah-tanah tersebut untuk kepentingan umum dan kemudian harus mengusir tanah-tanah desa
maka harus sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Praja Pakualaman. Pemberian hak
milik tanah kepada penduduk dilakukan setelah pembentukan kelurahan-kelurahan di daerah
Pakualaman. Tanah tersebut digolong-golongkan untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada
penduduk. Dengan demikian, reorganisai agraria telah memberikan hak-hak atas tanah yang
lebih kuat kepada penduduk sebagai hak milik.
Peraturan domeinverklaring juga menentukan bahwa sebagian dari tanah-tanah yang ada
di sebuah desa, dengan maksimum seperlima luas tanah desa seluruhnya, harus tetap dikuasai
oleh desa. Tanah tersebut nantinya akan dipergunakan untuk tanah lungguh bagi lurah desa dan
pamong desa, kepentingan umum dan untuk pengarem-arem (pensiun) bagi para bekel yang
mana tidak lagi mendapatkan tempat di pamong kalurahan karena adanya reorganisasi agraria
sehingga terpaksa diberhentikan. Pengarem-arem ini diberikan kepada mereka untuk seumur
hidup dan sebagai ganti rugi bagi mereka karena kehilangan jabatannya. Peraturan tersebut
menentukan bahwa Paku Alam mempunyai wewenang untuk menggunakan sebagian tanah desa
yang diperlukan untuk kepentingan perusahaan perkebunan. Tanah-tanah tersebut diberikan oleh
Paku Alam kepada perusahaan-perusahaan perkebunan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan penyewaan tanah (Rijksblad Van Het Pakoe-Alamschegebied tahun, 1926: 449-450).
Kemudian Paku Alam VII mengeluarkan aturan untuk menggadaikan tanah-tanah yang
dipergunakan oleh penduduk desa pada bank dengan maksud untuk mendapatkan kredit (credit-
verband) (Rijksblad Van Het Pakoe-Alamschegebied tahun, 1931: 198-200).
Paku Alam VII juga memberikan wewenang kepada kepala-kepala desa untuk membuat
peraturan sendiri mengenai pembagian tanah sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing
desa. Hal tersebut bertujuan agar tidak ada yang memperoleh tanah desa terlalu luas, baik
penduduk desa tersebut maupun dari luar. Dengan demikian, tanah-tanah di desa dapat terbagi
secara merata dan menghindari ada yang mempergunakan tanah terlalu luas atau sebaliknya agar
tanah-tanah di desa tidak dipecah terlalu sempit.
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Pembangunan berbagai infrastruktur, seperti saluran irigasi, jalan, jembatan dan pasar
guna menunjang aktivitas masyarakat di wilayah Pakualaman juga tak luput dari perhatian Paku
Alam VII. Meskipun pembangunan beberapa saluran irigasi lebih banyak dilakukan di daerah-
daerah perkebunan untuk keperluan pabrik gula, tetapi saluran-saluran tersebut juga banyak
digunakan untuk pertanian rakyat. Selanjutnya, Paku Alam VII juga menginstruksikan untuk
membangun dan memperbaiki beberapa jalan terutama jalan-jalan besar atau nasional yang
menghubungkan wilayah Praja Pakualaman dengan wilayah sekitarnya guna memudahkan
mobilitas masyarakat (Rijksblad Van Het Pakoe-Alamschegebied tahun, 1918: 68-70).
Sama halnya dengan jalan, beberapa jembatan juga dibangun dan diperbaiki agar
berkerangka besi sehingga dapat berdiri kokoh. Beberapa jembatan yang mengalami perbaikan
di wilayah Adikarto, diantaranya di Onderdistrik Galur, Pandjatan, Bendungan dan Temon (Van
Bunning, 1931:43). Pengelolaan terhadap pasar juga cukup diperhatikan oleh Paku Alam VII
karena berfungsi sebagai usaha bisnis guna menunjang perekonomian masyarakat Pakualaman.
Selain itu, pasar juga merupakan salah satu usaha milik Praja Pakualaman yang mana menjadi
salah satu sumber pemasukan bagi kas pemerintahan. Paku Alam VII menghendaki
pembangunan pasar-pasar baru dengan penataan bangunan yang baik. Guna menambah
keindahan dibuat ukiran dan lukisan dari kayu jati yang menghiasasi bangunan pasar serta barak-
barak yang memanjang dan besar sebagai sarana berjualanan para pedagang. Menurut catatan
seorang pegawai kadipaten, Mas Ngabehi Wirjosekarto, dalam Gedenkschrift 25 jarig
bestuursjubileum ZH Paku Alam VII, diadakan pembangunan pasar-pasar di pusat pemerintahan
Onderdistrik, yaitu di Galur, Pandjatan, Temon dan Bendungan. Pembangunan pasar di wilayah
Brosot dan Panjatan selesai dikerjakan pada 20 desember 1928, sementara pembagunan pasar di
wilayah Temon dan Bendungan dilakukan sejak 10 Juli dan selesai dikerjakan pada 26 desember
1929 (Van Bunning, 1931:44).
Kesimpulan
Melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama masa pemerintahan Paku Alam VII,
Praja Pakualaman mampu mengikuti arus perkembangan zaman. Sebagai kepanjangan tangan
dari pemerintah kolonial Hinda Belanda dan di satu sebagai pemimpin Praja Pakualaman, Paku
Alam VII tetap harus melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia
juga memilih untuk tidak menolak kehadiran perubahan sosial sebagai akibat modernisasi dan
westernisasi. Ia berusaha untuk mengadaptasi kebijakan pemerintah kolonial Hinda Belanda
menjadi kebijakan-kebijakan yang memihak kepada masyarakat Pakualaman. Meskipun Praja
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Pakualaman hanya sebuah praja kecil, tetapi keberadaannya cukup diperhitungkan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal tersebut terbukti dari eksistensi yang dibangun oleh
trah Pakualaman dengan turut menjadi pelopor bagi perjuangan pergerakan ketika bangsa
Indonesia berusaha mencapai kemerdekaan.
Daftar Referensi Sumber Arsip Rijksblad Van Het Pakoe-Alamschegebied tahun 1918, No.6 dan No.18
----------, tahun 1925, No.25.
----------, tahun 1926, No.23.
----------, tahun 1931, No.15.
Penelitian tidak diterbitkan Suryo, Djoko. Dari Vorstenlanden ke DIY: Kesinambungan dan Perubahan, Kon ferensi
Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5-7 Juli 2011.
Jurnal Soepomo. (1931). “een mededeeling over adatgrondenrecht in Jogjakarta”. Kolonial Tijdschrift,
twintigste jaargang, 1931.
Buku Albiladiyah, S. Ilmi, dan Alex Sudewa. (1984). Pura Pakualaman: Istana Jawa Paling Muda.
Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.
Boomgaard, Peter. (2004). Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-
1880. Terj. Monique Soesman dan Koesalah Soebagyo Toer. Jakarta: Djambatan.
Goenawan, Ryadi, dan Darto Harnoko. (1984). Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta:
Mobilitas Sosial DI. Yogyakarta Periode Awal Abad Duapuluhan. Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Gottschalk, Louis. (1975). Mengerti Sejarah, Terj. Dari Understanding History: A Primer of
Historical Method oleh Nugroho Notosusanto, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia.
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016
Habi Darmo Wargo. (1931). Gedenkschrift 25 jarig Bestuursjubileum van zijne hoogheid
Pangeran Adipati Ario Pakoe Alam VII 1906-1931. Jakarta.
Moedjanto, G. (1994). Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman: tinjauan historis
dua Praja Kejawen, antara 1755-1992. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Poerwokoesoemo, Soedarisman. (1985). Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Rouffaer, G. P. (1905). Vorstenlanden, dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, edisi
pertama, jilid 4, Den Haag: Nijhoff/Leiden: Brill.
Suhartono. (1991).Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Surjomiharjo, Abdurachman. (2006). Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta 1880-
1930. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.
Steven Vago. (1985). Social Change. New York: Holt Rinehart dan Winston.
Van Bunning, Druk. (1931). Gedenkschrift 25 jarig Bestuursjubileum van zijne hoogheid
Pangeran Adipati Ario Pakoe Alam VII 1906-1931. Yogyakarta: C. Bunning.
Wasino. (2014). Modernisasi di Jatung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara.
Internet http://eprints.uny.ac.id/ (Diakses pada 29 Oktober 2015, pukul 19.34 WIB).
http://media-kitlv.nl/ (Diakses pada 1 Desember 2015, pukul 20.08 WIB).
Politik Kolonial ..., Diah Putri Hardianti, FIB UI, 2016