populisme trump adalah semakin meluasnya proteksi selektif amerika serikat
TRANSCRIPT
Page 1 of 18
Populisme Trump adalah semakin meluasnya proteksi
selektif Amerika Serikat
Oleh: riza V. Tjahjadi
Simak, nih:
[E]very decision on trade, on taxes, on immigration, on foreign affairs will be made to benefit
American workers and American families. We must protect our borders from the ravages of
other countries making our products, stealing our companies and destroying our jobs.
(APPLAUSE)
Protection will lead to great prosperity and strength. I will fight for you with every breath in
my body and I will never ever let you down.
(APPLAUSE)
America will start winning again, winning like never before.
(APPLAUSE)
We will bring back our jobs. We will bring back our borders. We will bring back our wealth.
And we will bring back our dreams.
(APPLAUSE)
We will build new roads and highways and bridges and airports and tunnels and railways all
across our wonderful nation. We will get our people off of welfare and back to work,
rebuilding our country with American hands and American labor.
(APPLAUSE)
We will follow two simple rules; buy American and hire American.
and so on
Page 2 of 18
Itu adalah petikan pidato Donald Trump dalam pelantikannya sebagai presiden Amerika
Serikat 20 Januari silam.
Angin populisme yang dihembuskan Trump selama kampanyenya sebagai calon presiden
seakan memupus teori sepeda. Muncul istilah baru yaitu populisme, yang pada pokoknya
pemerintah berhubungan langsung dengan rakyatnya tanpa (terlampau) indahkan lembaga-
lembaga politik tetapi tidak aspiratif yang dapat akibatkan hubungan pemerintah dan
rakyatnya tidak mulus-lancar.
Tetapi di balik - apa yang disebut dengan - populisme akan jalan beriringan adalah adanya
kemunculan kembali motif proteksionisme dalam perdagangan yang mengabaikan ujaran:
"Kayuhlah terus pedal sepedamu. Jangan berhenti, karena jika anda berhenti mengayuh
pedal sepeda, maka anda akan jatuh." Jatuh... Dan jika itu terjadi maka yang muncul adalah
proteksionisme, karena liberalisasi perdagangan barang dan jasa harus terus berlangsung,
sebagaimana yang dipraktekkan pemerintah Amerika menganut teori kayuh sepedanya Fred
Bergsten (1973). Nyatanya?
Negosiasi dalam WTO malah mandeg, mati suri sejak tahun 2003 pada negosiasi Putaran
Doha hingga akhirnya diupayakan untuk hidup kembali pada era Presiden SBY, dengan
konferensi di Bali tahun 2013. Nyatanya, figur WTO tidak menakutkan lagi... Justru karena
banyak negara sudah menikmati era liberalisasi perdagangan, dan jasa, maka terasa
Page 3 of 18
menyentak ketika Presiden Amrik Donald Trump memaklumatkan pengutamaan keuntungan
maupun manfaat langsung bagi orang Amerika, dan negaranya - dengan yang istilah yang
diklaim banyak analis sebagai pendekatan populisme.
Faisal Basri pada peringatan HUT Indemo 17 tahun dan Peristiwa Malari 1974 memaparkan
ia bahkan memakai pendekatan kaidah Pendulum untuk mengilustrasikan mimpi
populismenyaTrump dengan perlindungan (secara langsung) bagi Amerika Serikat. Tidak
ada bumper atau pengganjal dalam hal pendekatan proteksionismenya Trump. Pendulum
untuk menyeimbangkan gerak ke kanan atau ke kiri, karena jika gerakan terlalu menjauh
maka akhirnya akan muncul keseimbangan bak gerak bandul. Itu pendekatan sah saja
Faisal Basri mengemukakan teori pendulum. Karena ia tidak mengaitkan gerak
proteksionisme Trump dengan teori sepedanya Fred Bergsten (1973).
Liberalisasi - proteksionis terbatas
Liberalisasi perdagangan itu nyaris omong kosong, karena nyatanya model yang dibangun
dengan tangan-tangan yang kasat mata (visible hands) ini sebagaimana kata Dunkley dalam
bukunya yang saya sunting (Tjahjadi, 2001) mengurai cakupan dari kelanjutan dari
proteksionis selektif.
Pandangan dari kelompok-kelompok tersebut tentang Putaran Uruguay dan perdagangan
bebas sangat banyak dan bervariasi, tetapi termasuk kepedulian bahwa: rejim tarif baru
akan meneruskan proteksi selektif untuk Dunia Pertama sedangkan pembukaan Dunia
Kedua dan Ketiga untuk TNC Barat yang mengusulkan ‘reformasi’ pertanian akan memberi
sedikit peluang ekspor untuk Dunia Ketiga tetapi akan meningkatkan ketergantungan impor
pangan bagi banyak negara; subsidi baru, anti-damping dan ketentuan TRIM akan sangat
mengurangi kemampuan pemerintah untuk menggunakan kebijakan industri yang
konstruktif; restrukturisasi industri akan memberi pengaruh buruk pada perempuan dan
banyak kelompok sosial yang lemah, sehingga akan sangat meningkatkan ketidak adilan
Page 4 of 18
yang telah ada; TRIPs akan sangat
menguntungkan TNC Dunia Pertama dan
memberdayakan mereka untuk
mengeksploitasi secara tidak adil
sumberdaya dan pengetahuan dasar
tradisional masyarakat Dunia Ketiga, GATT
akan memfasilitasi pembanjiran negara-
negara Dunia Ketiga dengan jasa komersil
bergaya Barat; ketentuan harmonisasi akan
menurunkan standar tenaga kerja,
lingkungan dan hak asasi manusia menjadi
yang paling rendah; sistem WTO yang baru
akan bersifat rahasia, tidak demokrasi,
birokrasi, pro-Barat dan didominasi oleh
orang-orang dengan sudut pandang
ekonomi yang sempit. Lebih umumnya,
dikhawatirkan bahwa perdagangan bebas
dan investasi akan meningkatkan gaya
materialistik dari pembangunan,
memberdayakan TNC untuk mendominasi
dunia, mempercepat swastanisasi dan
‘marketisasi’, menguruskan pemerintah
nasional, menghancurkan masyarakat,
menghalangi pilihan pembangunan alternatif,
memfasilitasi monopoli dari pandangan
dunia tertentu dan membanjiri masyarakat
tradisional dengan budaya hedonistik dari
Barat.Pada sisi lain, lebih luas daripada
sekadar cakupan perdagngan, maka terlihat
juga bahwa pandangan Fukuyama sudah
semakin tidak populer dengan (teori) akhir
dari sejarah (End of History, 1990). Kasus
911 atau penghancuran menara kembar di
New York oleh Alqaeda adalah salah satu
perontok tesis Francis Fukuyama.
Maksudnya, dalam konteks ini ialah
munculnya kembali nilai-nilai yang
dikelompokkan sebagai ideologis. Populisme
akankah berbenturan dengan (kelompok
pengusung) ideologis? Itu akan tampak
dengan berjalannya waktu.
Tangerang 28 Januari 2017
---
Page 6 of 18
Lampiran
Situasi proses liberalisasi perdagangan dan jasa, terkait dengan resistensi soal pangan dan
pertanian; cikal-bakal mandegnya negosiasi di WTO.
Page 7 of 18
Simaklah:
Andalkan Perdagangan Bebas Bagi Ketahanan Pangan Global,
Bumerang..!
oleh: Riza V. Tjahjadi
<><><><><><><><><><><><><><><><>
Pencantuman perdagangan sebagai unsur kunci (Komitmen 4) dalam Deklarasi Roma
2002 mengenai Ketahanan pangan merupakan salah satu puncak kontroversi dalam
Page 8 of 18
masyarakat dunia. Perdagangan bebas versus ketahanan pangan, maupun liberalisasi
perdagangan sebagai instrumen bagi tercapainya ketahanan pangan merupakan hal yang
tidak masuk logika etis bagi ornop/ masyarakat madani bagi masyarakat dunia. Hal ini sudah
tampak pada arena, dan auranya sejak Agustus tahun silam dalam persiapan hingga dalam
Pertemuan Puncak Pangan Dunia Lima Tahun Kemudian (World Food Summit: 5yl)
Organisasi pangan Dunia (FAO) di Roma Italia pada awal Juni 2002. Tentangan ini hingga
kini masih berlanjut diwacanai di berbagai penjuru, sementara di Indonesia proses
sosialisasi Deklarasi Roma 2002 tengah berlangsung pula.
Bagi publik di Indonesia tentangan itu rasanya muncul dadakan, bagaikan mengisi ruang
yang semula tampak kosong dalam tatapan masyarakat dunia. Nah, ini dia... tema baru:
perdagangan bebas akan meruyak ketahanan pangan. Marilah, kita advokasikan..! Hal
nyaris serupa terpapar pula dalam arena menjelang Pertemuan Puncak Pembangunan
Berkelanjutan Dunia (WSSD) minggu mendatang di Johannesburg Afrika Selatan,
kendatipun rumusannya berbeda, yaitu Partnership.
Sebenarnya, bagi kita jika mau kritis dan jeli menelusuri ke belakang - lantaran kita belum
cukup intens bergabung dalam gerakan sosial global - maka tentangan itu bukanlah hal
yang baru. Kenapa?
Perdagangan bebas, yang diasumsikan akan menggasak masyarakat yang belum maju,
akan semakin tersisih dalam pemanfaat arus globalisasi, karenanya perlu diantisipasi
dengan ketahanan yang paling memadai bagi keberlanjutan masyarakat tersebut.
Ketahanan yang paling pokok itu ialah pangan. Sementara bagi penganut paham
perdagangan bebas, maka kebutuhan akan ketahan pangan dapat diselesaikan dengan
semakin berperannya perdagangan bebas mendunia. Karena kunci ketahanan pangan yang
dapat diperluas partisipasinya bagi para pemain yang berpengaruh, ialah dengan
melakukan reformasi pasar: agar dapat memajukan unsur ketersediaan dengan distribusi
yang stabil.
Lembaran sejarah beberapa tahun silam, sebenarnya sudah mencatat, bahwa para
penganut perdagangan bebas sudah mendesakkan urgensinya perdagangan, bagi
kemajuan dunia, termasuk juga pemenuhan ketahanan pangan - dengan konsep self
reliance. Ada ekspor sehingga menghasilkan devisa negara, maka pangan dapat dibeli dari
mana pun.
Page 9 of 18
Jocelyn Cajiuat (2001) mencatat: "Semenjak dimulainya negosiasi dalam Putaran
Uruguay dari GATT pada tahun 1986 masyarakat madani telah menentang pemerintah
(Filipina) guna menyetujui bersama dengan Kelompok Cairns untuk mencakup pula
pertanian ke dalam GATT. Dewasa ini asumsi dan solusi dari badan-badan internasional
(FAO, WTO, Bank Dunia) ialah memastikan ketahanan pangan melalui reformasi pasar dan
liberalisasi perdagangan. Hal ini perlu dilakukan tinjauan kritis dan penjelasan yang terinci."
Kekuatiran ini, terbukti, yaitu alam perdagangan bebas menjadi andalan, dalam arena
internasional manapun. Artinya, pandangan bahwa perdagangan bebas akan mampu
mengatasi segala-galanya – meskipun suka dan tidak suka semakin kentara pada negara-
negara di dunia ini - sudah menjadi hitam-putih persetujuan warga dunia.
Khusus di Indonesia pernah cukup banter diwartakan pada awal dekade 1990-an konsep
on-trend self sufficiency yang dipromosikan oleh Bulog. Maknanya, ada kelebihan beras
diekspor, dan bila terjadi kekurangan maka dilakukan impor beras. Konsep ini nyaris paralel
dengan konsep self-reliance dari penganut paham perdagangan bebas.
Selang beberapa tahun kemudian, dunia mencatat bahwa kelaparan di dunia harus
dapat dipangkas separuhnya pada tahun 2015. Tak pelak instrumen penting sebagai
pemangkas kelaparan dunia adalah perdagangan - yang tentu saja berpaham bebas. Ini,
misalnya tertuang dalam Deklarasi Roma tahun 1996.
Mungkin saja secara nakal dapat dipertanyakan, liberalisasi perdagangan yang masih
balita belum mampukah menjadi instrumen utama bagi upaya terpangkasnya kelaparan di
dunia. Namun apa yang terjadi lima tahun kemudian setelah pertemuan puncak pangan?
Penjajakan mengenai situasi ketahanan pangan dunia yang dilakukan oleh badan-badan
internasional, jika dikombinasikan, mengindikasikan, bahwa lebih dari 800 juta jiwa (792 juta
jiwa di negara berkembang, dan 34 juta jiwa di negara maju) masih menderita kekurangan
Page 10 of 18
gizi dalam periode 1996 hingga 1998. Mayoritas mereka yang kekurangan gizi itu terdapat di
Asia dan Pasifik (515,2 juta jiwa). Negara-negara seperti Korea Utara mencapai lebih dari
separuh (57%), Mongolia (45%), Kamboja (33%), Laos (29%), Bangladesh (38%) dan Nepal
(28%). Sementara itu jumlah tertinggi terdapat di Cina, yang mencapai 11% dari total
populasi sebanyak 1.244,1 milyar pada tahun 1997. Data FAO lainnya (2001) menunjukkan
angka tertinggi kekurangan gizi sebesar 36% bagi Asia (Asia Timur dan Asia Selatan)
disusul oleh Sub-Sahara Afrika 34%. Kekurangan gizi pada periode 1996-1998 di kawasan
Asia Tenggara dengan populasi 491,3 juta jiwa tercatat proporsinya sebesar 13%,
sedangkan Indonesia dengan populasi hampir separuhnya, 203,4 juta jiwa sebanyak 6%.
Asia Tenggara dan Indonesia mengalami penurunan, yaitu semula 18%, dan 10% pada
periode 1990-1992.
Kanak-kanak di Asia yang kondisi berat badannya kurang tercatat, selama 20 tahun pada
tahun 1980 hingga 2000, tertinggi dengan jumlah 108 juta jiwa (44%) meskipun mengalami
penurunan yang sebelumnya tercatat sebanyak 146 juta jiwa. Amerika Latin dan Karibia
mengalami penurunan pula, yaitu 3 juta jiwa (6%) semula 7 juta jiwa (14%). Tetapi Afrika
mengalami peningkatan Afrika 38 juta jiwa (29%) semula 22 juta jiwa (29%).
Lembaga-lembaga keuangan internasional dan pemerintah negara-negara maju
berargumen bahwa ketersediaan pangan adalah inti permasalahan ketahanan pangan
dunia, dan dengan gampangnya menambahkan argumen bahwa solusinya adalah
membangun sistem distribusi yang berfungsi baik, yaitu melalui pasar. Fokus argumen
demikian ialah mempersilahkan perdagangan global dalam pangan butiran yang akan
merawat kelaparan dunia.
Ketersediaan pangan merujuk kepada berbagai kemungkinan entah memberikan makan
dirinya sendiri secara langsung dari hasil lahannya atau sumberdaya alam, atau distribusi
yang berjalan baik, pengolahan dan sistem pasar yang dapat mengerakkan pangan dari
lahan produksi ke mana pun yang membutuhkan berdasarkan permintaan.
Masalah ketersediaan pangan dapat diatasi jika pasokan pangan secara global adalah
lebih dari berkecukupan untuk memasok bagi setiap orang dengan cukup pangan manakala
pangan didistribusikan berdasarkan kebutuhan gizinya. Ini jelas menunjukkan bahwa pasar
yang lebih bebas dan akses pasar yang lebih besar bagi negara-negara berkembang yang
Page 11 of 18
kurang mampu melakukan efisiensi merupakan pemecahan yang terbaik terhadap
kekurangan gizi dan kelaparan.
Tetapi tanpa suara kritis dan desakan dari masyarakat madani, demikian asumsi Jocelyin
Cajiuat (2001), maka pertemuan puncak pangan telah berubah semata-mata menjadi forum
para penganut perdagangan bebas guna melegitimasikan bahkan lebih merasionalkan
liberalisasi perdagangan dalam pertanian. Ia menambahkan, jika makalah dan deklarasi
ornop/masyarakat madani disampaikan kepada FAO, maka hal itu hanya dipandang sebagai
alternatif belaka. Sayangnya, ketika WFS: fyl berlangsung bulan Juni silam amat merosot
jumlah ornop yang hadir dibandingkan dengan WFS tahun 1996 silam. Sebaliknya yang
lebih menonjol – sebagai posisi yang dominan - dalam pandangan banyak ornop, ialah wakil
pemerintah, dan lembaga keuangan internasional dan kalangan bisnis semakin
mempromosikan perdagangan global sebagai solusi.
Di balik itu, lembaran sejarah dunia menunjukkan tafsiran pula bahwa dominannya alam
pikiran perdagangan bebas itu sendiri - meskipun didukung pula oleh bantuan lembaga
"bantuan" internasional – ternyata, sekaligus memupus harapan terpangkasnya kelaparan.
Dalam WFS: fyl, dan deklarasinya, terungkap bahwa perhitungan sebesar 60% target
yang ditetapkan pada tahun 1996 gagal tercapai. Bahkan dewasa ini kondisi dunia
bertambah buruk. Namun, lagi-lagi, perdagangan bebas diunggulkan sebagai salah satu
instrumen utama lagi. Instrumen lainnya, ialah pemakaian benih transgenik. Lalu.., apakah
alam pikiran mengenai perdagangan bebas inikah yang yang akan kita utak-atik lagi sebagai
unggulan pada sekian tahun mendatang guna menghadirkan satu deklarasi yang lebih baru,
dan lebih baru lagi? Sementara itu komitmen negara-negara maju untuk menyediakan dana
bagi ketahanan pangan dunia, semakin memudar, terkecuali swastanisasi. Hal ini semakin
jelas pula dalam Deklarasi Roma 2002, dan juga pada naskah-naskah utama WSSD di
Johannesburg Afrika Selatan.
Jika kita asumsikan bahwa perdagangan bebas itu sama artinya dengan perluasan
dagang perusahaan besar negara maju (Utara), sehingga sering disebut sebagai corporate-
driven globalisation, maka masyarakat dunia sama saja memperpanjang hidup paham
globalisasi itu, meskipun asumsi itu adalah palsu atau sudah lebih dari setengah tidak benar.
Bukti empiris dapat kita tatap dengan mudah.
Page 12 of 18
Lalu, apa lagi yang hendak dikatakan oleh Indonesia, sebagai anggota Cairns Group,
yang dalam Putaran Uruguay, yang telah menyetujui masuknya pertanian ke dalam
Persetujuan mengenai WTO? Meskipun krisis multi dimensional sejak 1997, proses
liberalisasi perdagangan sudah merupakan kepatutan yang perlu diikuti, sementara itu
ketersediaan beberapa pengecualian (exemptions) dalam persetujuan itu seolah tidak
diperlukan. Namun, nyatanya Indonesia merupakan pasar globalisasi, entah itu damping
(gandum, dan tepung terigu), entah itu produk-produk buatan Cina, beras, dan gula. Hanya
saja hingga kini belum terdengar adanya pengakuan rasa bersalah, bahwa kita belum
banyak memetik manfaat dari perdagangan bebas bagi produk pertanian.
Bagaimanapun ornop, akademisi, pembuat kebijakan lokal, dan lebih-lebih lagi petani
maupun penduduk di pedesaan sudah semestinya menyikapi secara kritis terhadap alam
pikiran dominan dalam masyarakat dunia.
Kita ingat masih ingat Menteri Pertanian Bungaran Saragih mendesak terciptanya
perdagangan yang adil, meskipun disadari berat nian meningkatkan daya saing yang
efisien. Ornop dan masyarakat madani peduli pangan dan reforma agraria di Indonesia -
sebagaimana telah dirumuskan secara internasional - mempernyaring tuntutan pengakuan
politik adanya kedaulatan pangan. Di Jerman, akademisi penganut neoliberal sudah
menginsafi perlunya katup pengaman - ketahanan pangan - dalam rejim perdagangan
bebas ala WTO. Kini, bagi masyarakat Indonesia perlu memahami instrumen lainnya, dalam
Deklarasi Roma 2002, yaitu hak asazi manusia, yang sudah harus tersedia dalam dua tahun
mendatang, agar dapat turut memantau upaya-upaya pencapaian ketahanan pangan
nasional dan bagi keluarganya.
Jakarta, 19 Agustus 2002.
Riza V. Tjahjadi
Koordinator PAN (Pesticide Action Network) Indonesia, anggota dan salah satu pendiri SEA
Council for Food Security and Fair Trade, pernah menjadi tuan rumah bagi Fact Finding
Mission on Food Crisis in Indonesia Februari 1999, menulis pantauan terhadap Persetujuan
mengenai Pertanian (Agreement on Agriculture) WTO dan dampaknya di Indonesia. dan
pengamat WFS: fyl di FAO Roma Italia, 7-13 Juni 2002.
Page 13 of 18
<><><><><><><><><><><><><><><>
SUARA PEMBARUAN DAILY
AFTA Perburuk Ketimpangan Ekonomi Indonesia
JAKARTA - Kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) hanya memperburuk
ketimpangan ekonomi Indonesia dengan negara-negara di ASEAN. Kompetisi antaranggota
AFTA perlu dikembangkan menjadi kolaboratif perwilayahan untuk menghadapi pangsa
pasar di luar ASEAN.
Demikian disampaikan Koordinator Pesticide Action Network (PAN) Indonesia Riza V
Tjahjadi di Jakarta, Rabu (8/1) dalam diskusi Proyeksi Ekonomi Nasional di era AFTA.
Menurut Riza, keberadaan AFTA sebagai bagian dari liberalisasi dunia lebih banyak
menguntungkan negara-negara maju. Untuk itu, konsep AFTA dan mekanisme pendukung
harus diubah menjadi kolaborasi wilayah untuk mencegah kompetisi antaranggota ASEAN.
Hal itu dapat dilakukan melalui penyatuan unit-unit komoditas, khususnya pertanian, yang
sejenis untuk mengembangkan pasar di luar ASEAN. Dengan demikian perlu dilakukan
desain ulang terhadap keberadaan AFTA dengan melihat dampak globalisasi yang semakin
kuat.
Page 14 of 18
Gagasan tersebut, katanya, perlu didukung dengan kontribusi masyarakat untuk lebih
meningkatkan solidaritas ASEAN. Hal itu penting agar ASEAN mampu bertahan dalam arus
utama perdagangan liberal yang sangat dominan.
Sementara itu, pengamat etika dari Universitas Atmajaya menilai dalam kemampuan
ekonomi yang tidak sama maka AFTA hanya menambah ketimpangan ekonomi regional.
Kondisi tersebut semakin memperparah kemiskinan yang ada dan diperlukan perlakukan
khusus sesuai mekanisme AFTA untuk mengurangi ketidakadilan yang semakin besar.
"AFTA merupakan bagian dari globalisasi dunia dan perlu dikritisi secara cermat tentang
dampaknya pada ketidakadilan ekonomi. Kemiskinan semakin lebar dan kesejahteraan
semakin jauh dari harapan," ujar mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup ini.
Sejalan dengan itu, pemerintah perlu merumuskan secara jelas dan terencana kebijakan-
kebijakan sehingga tidak merugikan rakyat dalam praktek liberalisasi tersebut. Kebijakan
domestik perlu dibenahi dengan mengurangi kolusi, korupsi dan praktek nepotisme.
Namun demikian, lanjutnya, keberadaan AFTA perlu diambil hikmahnya untuk membenahi
struktural kelembagaan yang ada agar tidak tenggelam dalam ketimpangan tersebut. Jika
tidak dilakukan maka secara ekonomi Indonesia akan kembali terjajah. (H-12)
Last modified: 9/1/2003
EPA RI-Japan, exclude Rice, Woods, Fisheries but Possible Develop Nuclear Reactor Will
be signed July 2005
By Riza V. Tjahjadi
June 17, 2005
Page 15 of 18
Indonesia and Jepang agreed on two economic cooperation projects, which are essentially
boosting trade and investment to be materialized in an Economic Partnership Agreement
(EPA) and Stragegic Investment Action Plan (SIAP).
The two forms of economic cooperation had been reached in a memorandum of
understanding signed by President Susilo Bambang Yudhoyono and Japanese Prime
Minister Junichiro Koizumi at the premier`s residence in Tokyo on June 3, 2005.
In their Joint Statement on the EPA, the two leaders agreed to hold negotiations aimed at
boosting trade cooperation by opening their markets.
Regarding the MoU on the SIAP, the two countries agreed to seek new initiatives in
increasing foreign investment, especially from Japan with a view to reducing the poverty rate
and creating employment opportunities.
SIAP, had been prepared by a Private Sector Joint Forum on December 19, 2004 in Jakarta,
following a meeting of President Yudhoyono with PM Koizumi in Santiago, Chile, in
November 2004.
With regard to the EPA, the President said, the two countries will discuss in greater detail
matters relating to cooperation in trade liberalization, increasing laws and cooperation in
specific products of the two countries.
Under the EPA, Indonesia may provide a number of incentives for Japanese businessmen
seeking to invest in the country; in return, Indonesia expects Japan to lift trade barriers which
have hampered trade between the two countries.
Indonesia and Japan also reached agreement for more constructive, flexible and positive
negotiations on sensitive sectors like problems on farm products in Japan.
Page 16 of 18
Indonesia and Japan have agreed slash import duty regularly in the next 5-10 years.
However, rice, woods and fisheries is classified into sensitive list products, as said by Trade
minister Mari E. Pangetu (06/10/2005).
Meanwhile with regard to SIAP, Japan also expressed agreement to increase its investment
in Indonesia in the hope to double its investment to 20 billion US dollars in the next five
years.
The Japan International Corporation Agency (JICA), Japan Bank for International
Cooperation (JBIC), Japan External Trade Organization (Jetro), Nippon Kaidanren,
Association of Japanese Businessmen, had also been called on to actively take part in
persuading Japanese companies to invest in Indonesia.
If the EPA is agreed on, we will propose to the Indonesian government the possibility of a
joint venture to establish a nuclear-power plant (in Jepara, Central Java; retrieving the
controversy issue in 19990s), which I believe was halted six years ago due to the financial
crisis and objections from local residents, as saying by Tadashi Okamura, president and
chief executive officer of Japanese electronic and infrastructure giant Toshiba Corporation,
and chairman of the Japan-Indonesia economic committee at the Nippon Keidanren..
Besides economic cooperation, President Yudhoyono and PM Koizumi also agreed to
increase cooperation in maritime affairs and in overcoming the aftermath of natural
disasters.
Meanwhile in the maritime sector, focus will be on cooperaiton in the eradication of crime in
the Malacca strait, especially piracy.
With regard to cooperation in dealing with natural disasters, Indonesia and Jepang agreed to
form a Joint Committee cochaired by Japanese State Minister of Natural Disastger Handling
Yoshitaka Murata and Indonesian Coordinating Minister of Social Welfare Alwi Shihab.
The Joint Committee will have an exchange of knowledge and experience in the natural
disasters which had occurred in Japan, and the experience will be used as consideration in
preparations by Indonesia in facing future disasters.
Japan Investment in Indonesia
Page 17 of 18
Compiled by:
Riza V. Tjahjadi
Biotani Indonesia Foundation
Jl. Persada Raya No. 1
Menteng Dalam
Jakarta 12870 Indonesia
Page 18 of 18
Telp. +62-21-8296545
email: [email protected], [email protected]
appeared in
Opinions expressed in various sections are the sole responsibility of their authors and they
may not represent Al-Jazeerah's.