ppeessaann uuttaammaa -...

2
1. Gagasan penerapan teknologi maggot dan pemanfaatan skim CSR (corporate social responsibility) untuk mendukung gagasan tersebut dalam rangka percepatan peningkatan produksi budidaya ikan perlu mempertimbangkan berbagai tantangan yang ada, yaitu: v Tidak semua perusahaan kelapa sawit memproduksi bungkil (palm kernel meal, PKM), bahan baku utama budidaya maggot. v Penggunaan bahan baku maggot harus berkompetisi dengan aktivitas ekspor dan kebutuhan peternakan v Bahkan apabila seluruh perusahaan kelapa sawit menghasilkan PKM dan seluruhnya diperuntukkan bagi budidaya maggot, jumlah pakan yang dihasilkan tidak cukup signifikan dibanding dengan target produksi budidaya yang ada. v Perundangan yang mengatur pelaksanaan CSR belum didukung oleh peraturan operasional. 2. Terkait dengan tantangan-tantangan di atas, beberapa kebijakan perlu dipertimbangkan, di antaranya: v Perlunya pengembangan teknologi maggot dengan bahan-bahan baku lain. v Perlunya kebijakan yang menjamin terselenggaranya koordinasi dengan perusahaan kelapa sawit dan institusi terkait, yaitu Kementerian Perdagangan dalam hal ekspor PKM, Kementerian Pertanian dalam hal pemanfaatan PKM dan Kementerian Perindustriaan dalam hal produksi PKM. v Perlu dibuat peraturan pelaksanaan untuk mengoperasionalkan Undang-undang terkait CSR. PESAN UTAMA PESAN UTAMA Terkait penetapan target produksi perikanan budidaya oleh Kementerin Kelautan dan Perikanan, muncul berbagai gagasan untuk mengupayakan dukungan bagi pencapaian target tersebut. Salah satu di antaranya adalah pengembangan budidaya melalui optimalisasi peran perusahaan berbasis sumberdaya alam, yang dikaitkan dengan 'tanggungjawab sosial perusahaan' (corporate social responsibility, CSR), yang dilatar belakangi oleh tiga hal: (1) adanya payung hukum yang kuat tentang CSR, (2) keberadaan perusahaan berbasis sumberdaya yang dapat dikaitkan dengan pengembangan budidaya ikan, dan (3) adanya dukungan kerisetan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Dua produk hukum, yaitu UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal mengamanatkan adanya tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR). Menurut keduanya, CSR diwajibkan bagi perusahaan / perseroan berbasis sumber daya alam. Tanggungjawab tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan, baik bagi perusahaan, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya dan harus tertuang dalam penganggaran dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perusahaan / perseroan yang melanggar dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 74 UU 40/2007 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perusahaan-perusahaan kelapa sawit merupakan salah satu jenis perusahaan berbasis sumberdaya yang paling berpotensi untuk dikaitkan dengan pengembangan budidaya perikanan. Perusahaan kelapa sawit berpotensi menghasilkan bungkil (palm kernel meal, PKM), yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk memproduksi pakan ikan berharga murah. Perusahaan kelapa sawit tersebar di seluruh Indonesia (Gambar 1 & 2), sebagian telah mapan sedang sebagian lainnya berada pada fase pengembangan. Total konsesi perkebunan kelapa. Artikel ini dimaksudkan untuk menyampaikan tinjauan pada gagasan tersebut, yang dfokuskan pada pemaparan kondisi, permasalahan yang dihadapi dan implikasi yang relevan. 1 Istilah perseroan dan perusahaan dipergunakan secara bergantian dalam konteks CSR menurut UU 40/2007 dan UU 25/2007. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jl. KS. Tubun, Petamburan VI Jakarta 10260 Telp: (021) 53650162, Fax: (021) 53650159, E-mail: [email protected] 1 Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jl. KS. Tubun, Petamburan VI Jakarta 10260 Telp: (021) 53650162, Fax: (021) 53650159, E-mail: [email protected] 4 Prolog Gambar 1. Total Konsesi Wilayah Berkembang (hektar) yang telah Gambar 1. Total Konsesi Wilayah Berkembang (hektar) yang telah Masalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Sejauh ini, meski telah diundangkan, pengaturan tentang kewajiban CSR belum berjalan sebagaimana diharapkan. Sebagian mempermasalahkan kriteria perusahaan / perseroan yang 'telah pantas' untuk menjalankan kewajiban CSR, sebagian tidak memahami seberapa jauh kewajiban harus dilaksanakan, sebagian lain tidak mampu mendefinisikan program terbaik yang harus dijalankan dalam rangka CSR. Kesemua itu bermuara pada belum adanya peraturan operasional, yang dapat digunakan acuan lebih pasti dari undang-undang yang mengatur CSR. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Pasal 74 UU 40/2007 mengamanatkan adanya Peraturan Pemerintah yang diperlukan untuk memberikan rincian detil mengenai ketentuan lanjutan mengenai CSR. Sejalan dengan semangat yang terkandung dalam kedua undang-undang tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup telah mengembangkan piranti berupa daftar kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur penerapan CSR oleh perusahaan. Piranti yang mengacu pada UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengkategorikan perusahaan berdasar peringkat CSR-nya: perusahaan emas, perusahaan hijau, biru, merah dan hitam. Pengkategorian ini dimaksudkan sebagai sebuah instrumen yang diharapkan dapat mendorong perusahaan untuk berperilaku seperti yang diharapkan. Piranti ini jelas merupakan sebuah alternatif yang baik yang dapat melengkapi pendekatan- pendekatan lain, termasuk pendekatan command and control dan pendekatan pasar. Terkait dengan pengembangan budidaya ikan yang dikaitkan dengan CSR, piranti ini memungkinkan perusahaan kelapa sawit termotivasi untuk bekerjasama dengan program budidaya maggot, demi meningkatkan peringkatnya CSR-nya. Namun, seperti halnya pada UU 40/2007 dan UU 25/2007, pengaturan detil untuk mengoperasionalkan piranti ini secara efektif belum tersedia, misalnya peraturan turunan yang mengkaitkan peringkat dengan kemudahan tertentu bagi perusahaan. Ü Terkait dengan ketersediaan bungkil kelapa sawit yang diperkirakan tidak mencukupi kebutuhan bahan baku budidaya maggot, peneliti nutrisi / pakan ikan BRKP perlu memperluas kajiannya, yaitu dengan melakukan uji coba teknologi budidaya maggot menggunakan berbagai bahan limbah yang lain, misalnya ampas tahu, ampas kecap, ampas tokok sagu, dsb. Ü Perlu ada regulasi ekspor bungkil, yang dimaksudkan untuk memaksimalkan ketersediaan bungkil kelapa sawit untuk pemanfaatan yang lebih optimal di dalam negeri. Ü Mengacu pada kenyataan bahwa tidak semua inti kelapa sawit diolah menjadi minyak inti dan menghasilkan limbah bungkil, program pakan berbahan bungkil perlu dikaitkan dengan kebijakan lintas sektoral yang mendorong pengembangan industri minyak inti kelapa sawit. Ü Perlu ada insentif pasar yang dikaitkan dengan pengkategorian perusahaan kelapa sawit berdasarkan peringkat CSR-nya, yang memasukkan kriteria besarnya limbah termanfaatkan sebagai salah satu elemen penentunya. Ü Melakukan kontrak-kontrak jangka panjang antara perusahaan kelapa sawit dengan perusahaan atau kelompok pengguna libah bungkil. Ü Perlu membangun kelembagaan yang kuat, yang melibatkan perusahaan kelapa sawit, perusahaan pemanfaat limbah bungkil, pemerintah daerah (sebagai risk sharer), dan penyedia teknologi (lembaga penelitian) Dipersiapkan oleh: Kelompok Peneliti Sistem Usaha dan Pemasaran Hasil Perikanan Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Implikasi Kebijakan » Volume 1, No 2, 2010 »

Upload: duongtuong

Post on 03-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PPEESSAANN UUTTAAMMAA - bbpse.litbang.kkp.go.idbbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/policybrief/02maggot.pdf · vTidak semua perusahaan kelapa sawit ... muncul berbagai gagasan untuk

1. Gagasan penerapan teknologi maggot dan pemanfaatan skim CSR (corporate social responsibility) untuk mendukung gagasan tersebut dalam rangka percepatan peningkatan p r o d u k s i b u d i d a y a i k a n p e r l u mempertimbangkan berbagai tantangan yang ada, yaitu:vTidak semua perusahaan kelapa sawit

memproduksi bungkil (palm kernel meal, PKM), bahan baku utama budidaya maggot.

vPenggunaan bahan baku maggot harus berkompetisi dengan aktivitas ekspor dan kebutuhan peternakan

vBahkan apabila seluruh perusahaan kelapa sawit menghasilkan PKM dan seluruhnya diperuntukkan bagi budidaya maggot, jumlah pakan yang dihasilkan tidak cukup signifikan dibanding dengan target produksi budidaya yang ada.

vPerundangan yang mengatur pelaksanaan CSR belum didukung oleh peraturan operasional.

2. Terkait dengan tantangan-tantangan di atas, beberapa kebijakan perlu dipertimbangkan, di antaranya:vPerlunya pengembangan teknologi maggot

dengan bahan-bahan baku lain.vPerlunya kebijakan yang menjamin

terselenggaranya koordinasi dengan perusahaan kelapa sawit dan institusi terkait, yaitu Kementerian Perdagangan dalam hal ekspor PKM, Kementerian Pertanian dalam hal pemanfaatan PKM dan Kementerian Perindustriaan dalam hal produksi PKM.

vPerlu dibuat peraturan pelaksanaan untuk mengoperasionalkan Undang-undang terkait CSR.

PESAN UTAMAPESAN UTAMA

Terkait penetapan target produksi perikanan budidaya oleh Kementerin Kelautan dan Perikanan, muncul berbagai gagasan untuk mengupayakan dukungan bagi pencapaian target tersebut. Salah satu di antaranya adalah pengembangan budidaya melalui optimalisasi peran perusahaan berbasis sumberdaya alam, yang dikaitkan dengan 'tanggungjawab sosial perusahaan' (corporate social responsibility, CSR), yang dilatar belakangi oleh tiga hal: (1) adanya payung hukum yang kuat tentang CSR, (2) keberadaan perusahaan berbasis sumberdaya yang dapat dikaitkan dengan pengembangan budidaya ikan, dan (3) adanya dukungan kerisetan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP).

Dua produk hukum, yaitu UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal mengamanatkan adanya tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR). Menurut keduanya, CSR diwajibkan bagi perusahaan / perseroan berbasis sumber daya alam. Tanggungjawab tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan, baik bagi perusahaan, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya dan harus tertuang dalam penganggaran dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perusahaan / perseroan yang melanggar dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 74 UU 40/2007 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Perusahaan-perusahaan kelapa sawit merupakan salah satu jenis perusahaan berbasis sumberdaya yang paling berpotensi untuk dikaitkan dengan pengembangan budidaya perikanan. Perusahaan kelapa sawit berpotensi menghasilkan bungkil (palm kernel meal, PKM), yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk memproduksi pakan ikan berharga murah. Perusahaan kelapa sawit tersebar di seluruh Indonesia (Gambar 1 & 2), sebagian telah mapan sedang sebagian lainnya berada pada fase pengembangan. Total konsesi perkebunan kelapa.

Artikel ini dimaksudkan untuk menyampaikan tinjauan pada gagasan tersebut, yang dfokuskan pada pemaparan kondisi, permasalahan yang dihadapi dan implikasi yang relevan.

1 Istilah perseroan dan perusahaan dipergunakan secara bergantian dalam konteks CSR menurut UU 40/2007 dan UU 25/2007.

Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jl. KS. Tubun, Petamburan VI Jakarta 10260

Telp: (021) 53650162, Fax: (021) 53650159, E-mail: [email protected] 1Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Jl. KS. Tubun, Petamburan VI Jakarta 10260Telp: (021) 53650162, Fax: (021) 53650159, E-mail: [email protected] 4

Prolog

Gambar 1. Total Konsesi Wilayah Berkembang (hektar)

yang telah Gambar 1. Total Konsesi Wilayah Berkembang (hektar)

yang telah

Masalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

Sejauh ini, meski telah diundangkan, pengaturan tentang kewajiban CSR belum berjalan sebagaimana diharapkan. Sebagian mempermasalahkan kriteria perusahaan / perseroan yang 'telah pantas' untuk menjalankan kewajiban CSR, sebagian tidak memahami seberapa jauh kewajiban harus dilaksanakan, sebagian lain tidak mampu mendefinisikan program terbaik yang harus dijalankan dalam rangka CSR. Kesemua itu bermuara pada belum adanya peraturan operasional, yang dapat digunakan acuan lebih pasti dari undang-undang yang mengatur CSR. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Pasal 74 UU 40/2007 mengamanatkan adanya Peraturan Pemerintah yang diperlukan untuk memberikan rincian detil mengenai ketentuan lanjutan mengenai CSR.

Sejalan dengan semangat yang terkandung dalam kedua undang-undang tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup telah mengembangkan piranti berupa daftar kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur penerapan CSR oleh perusahaan. Piranti yang mengacu pada UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengkategorikan perusahaan berdasar peringkat CSR-nya: perusahaan emas, perusahaan hijau, biru, merah dan hitam. Pengkategorian ini dimaksudkan sebagai sebuah instrumen yang diharapkan dapat mendorong perusahaan untuk berperilaku seperti yang diharapkan. Piranti ini jelas merupakan sebuah alternatif yang baik yang dapat melengkapi pendekatan-pendekatan lain, termasuk pendekatan command and control dan pendekatan pasar. Terkait dengan pengembangan budidaya ikan yang dikaitkan dengan CSR, piranti ini memungkinkan perusahaan kelapa sawit termotivasi untuk bekerjasama dengan program budidaya maggot, demi meningkatkan peringkatnya CSR-nya. Namun, seperti halnya pada UU 40/2007 dan UU 25/2007, pengaturan detil untuk mengoperasionalkan piranti ini secara efektif belum tersedia, misalnya peraturan turunan yang mengkaitkan peringkat dengan kemudahan tertentu bagi perusahaan.

ÜTerkait dengan ketersediaan bungkil kelapa sawit yang diperkirakan tidak mencukupi kebutuhan bahan baku budidaya maggot, peneliti nutrisi / pakan ikan BRKP perlu memperluas kajiannya, yaitu dengan melakukan uji coba teknologi budidaya maggot menggunakan berbagai bahan limbah yang lain, misalnya ampas tahu, ampas kecap, ampas tokok sagu, dsb.

ÜPerlu ada regulasi ekspor bungkil, yang dimaksudkan untuk memaksimalkan ketersediaan bungkil kelapa sawit untuk pemanfaatan yang lebih optimal di dalam negeri.

ÜMengacu pada kenyataan bahwa tidak semua inti kelapa sawit diolah menjadi minyak inti dan menghasilkan limbah bungkil, program pakan berbahan bungkil perlu dikaitkan dengan kebijakan lintas sektoral yang mendorong pengembangan industri minyak inti kelapa sawit.

ÜPerlu ada insentif pasar yang dikaitkan dengan pengkategorian perusahaan kelapa sawit berdasarkan peringkat CSR-nya, yang memasukkan kriteria besarnya limbah termanfaatkan sebagai salah satu elemen penentunya.

ÜMelakukan kontrak-kontrak jangka panjang antara perusahaan kelapa sawit dengan perusahaan atau kelompok pengguna libah bungkil.

ÜPerlu membangun kelembagaan yang kuat, yang melibatkan perusahaan kelapa sawit, perusahaan pemanfaat limbah bungkil, pemerintah daerah (sebagai risk sharer), dan penyedia teknologi (lembaga penelitian)

Dipersiapkan oleh:

Kelompok Peneliti Sistem Usaha dan Pemasaran Hasil PerikananBalai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Implikasi Kebijakan »

Volume 1, No 2, 2010

»

Page 2: PPEESSAANN UUTTAAMMAA - bbpse.litbang.kkp.go.idbbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/policybrief/02maggot.pdf · vTidak semua perusahaan kelapa sawit ... muncul berbagai gagasan untuk

No. Sentra Budidaya

Biaya Transportasi PKM (Rp/truk)

1

Singkut

1,000,000,-

2

Sungai Duren

1,500,000,-

3

Bengkulu Utara

2,500,000,-

Periode

Harga bungkil (Rp/kg)

Keterangan

Sebelum

2006

0,-

Pada awalnya,

bungkil merupakan limbah yang membebani perusahaan minyak inti (PKO)

2006

tips sukarela kepada karyawan

Saat awal bungkil mendapatkan permintaan

2007

350,-

Permintaan mulai meningkat

2008

1000,-

Permintaan sangat tinggi

2009

200,-

Terjadi kontrak kerjasama antara kelompok pembudidaya maggot dengan perusahaan penghasil bungkil

Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jl. KS. Tubun, Petamburan VI Jakarta 10260Telp: (021) 53650162, Fax: (021) 53650159, E-mail: [email protected] 2

Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jl. KS. Tubun, Petamburan VI Jakarta 10260

Telp: (021) 53650162, Fax: (021) 53650159, E-mail: [email protected] 3

Harga bungkil kelapa sawit

Pada periode-periode awal introduksi teknologi maggot, budidaya maggot merupakan usaha sangat layak secara finansial. Dengan harga bungkil hingga Rp 200,-/kg, margin yang diperoleh pembudidaya maggot adalah sebesar 35 - 44%. Bagi pembudidaya, harga itu dipandang mampu membuat investasi untuk budidaya maggot sangat kompetitif dibanding peluang-peluang investasi lain yang mereka miliki. Selain itu, budidaya maggot juga menciptakan multiplier effect yang cukup signifikan, di antaranya penumbuhan nilai tambah pada usaha pembuatan pellet pakan ikan dan pada berbagai usaha budidaya ikan. Untuk pembudidaya maggot, dengan memperhitungkan biaya penyusutan dan biaya-biaya tidak tetap dan dengan harga jual produk yang berlaku pada saat ini (Rp 2000,-/kg), titik impas dicapai pada kisaran harga bungkil Rp 400 – 400,-/kg.

Pada saat teknologi maggot telah tersosialisasikan dan

diadopsi secara lebih luas, dipastikan akan terjadi kenaikan harga

bungkil yang terkait dengan kompetisi permintaan yang lebih besar.

Sejauh ini, harga bungkil yang stabil pada angka Rp 200,-/kg dapat

terjadi dan dipertahankan melalui kontrak dengan perusahaan

kelapa sawit, yang disepakati untuk jangka waktu satu tahun.

Potensi keuntungan pada yang ada usaha budidaya maggot dan

usaha-usaha ikutannya secara teori akan mendorong perimintaan 8bahan baku dan menaikkan harga pasarnya . Pada saat itu,

budidaya maggot tidak lagi menguntungkan.

Aspek teknis

Salah stu masalah teknis yang paling signifikan dalam pembudidayaan maggot adalah musim. Siklus hidup maggot tergantung pada keberadaan habitat serangga bunga, yaitu semak bunga kuning (adelia). Densitas semak bunga kuning tersebut sangat tergantung pada musim; pada saat musim kemarau, hampir tidak ada bunga kuning yang bertahan hidup sehingga budidaya maggot tidak dapat dilaksanakan. Sementara itu, di sisi lain produksi kelapa sawit dan pengolahan minyak inti terus berlangsung, menghasilkan limbah berupa bungkil. Kecil kemungkinan bahwa bungkil tersebut dapat secara ekonomis diawetkan untuk menunggu musim yang memungkinkan budidaya maggot. Alasannya adalah bahwa bahan tersebut bersifat volumeneous sehingga teknologi yang tersedia saat ini akan menyebabkan biaya pengawetan yang tidak sebanding.

Masalah teknis lain adalah pilihan komoditas ikan. Terkait hal ini, terdapat dua alasan utama. Yang pertama adalah bahwa jenis-jenis ikan yang teridentifikasi dapat merespon positif pemberian pakan maggot masih terbatas. Jenis-jenis tersebut adalah ikan mas, ikan nila, ikan bawal. Yang kedua, di antara jenis-jenis yang dapat merespon positif pemberian pakan maggot, tidak tertutup kemungkinan terdapat jenis-jenis bernilai ekonomis tinggi, dan jenis-jenis yang tidak tidak ekonomis apabila dibudidayakan menggunakan pakan buatan. Untuk menekan harga pakan dari maggot, salah satu strategi yang dapat dipertimbangkan adalah mengembangkan budidaya ikan di lokasi-lokasi yang tidak terlalu jauh dari lokasi produksi maggot, sehingga biaya transportasi dapat ditekan. Dengan demikian, pilihan-pilihan komoditas ikan yang dikembangkan menjadi relevan. Pilihan-pilihan tersebut harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, termasuk: responnya terhadap pakan dari maggot, nilai ekonomisnya dan kesesuaiannya dengan lingkungan perairannya.

8 Besarnya harga ekuilibrium pasar perlu kajian lebih mendalam

Ketersediaan Bahan Baku

Sejauh ini, perusahaan-perusahaan konsesi perkebunan sawit secara bersama-2sama memproduksi bungkil (PKM) sebanyak 58 juta kg/ tahun, dengan sebaran

produksi seperti pada Gambar 4. Produksi sebesar itu tergolong sangat rendah; wilayah-wilayah konsesi sejauh ini hanya menghasilkan beberapa kilogram bungkil / 100 hektar (Gambar 5). Hal ini karena tidak semua perusahaan kelapa sawit mengolah minyak inti, yang menghasilkan limbah berupa bungkil (PKM). Apabila seluruh inti kelapa sawit (PK) diolah, maka dengan produksi tandan basah (FFB) saat ini sebesar 35 juta ton/tahun (setara dengan 1,75 juta ton PK), diperkirakan produksi bungkil (PKM) nasional berkisar ± 600 ribu ton pertahun. Apabila dikaitkan dengan upaya pengembangan budidaya ikan melalui teknologi maggot, produksi PKM sebanyak 600

3ribu ton tersebut setara dengan pellet pakan sebanyak 220 ribu ton. Lebih lanjut, jumlah 4tersebut setara dengan produksi ikan sebanyak 150 ribu ton. Dipandang dari sudut

5pandang target produksi nasional, angka tersebut tidak signifikan .

Akses Terhadap Bahan Baku

Sebagian besar sentra budidaya ikan berjarak jauh dari sentra produksi bungkil (PKM). Sebagai contoh, untuk perkebunan sawit di Kabupaten Sarolangun (Jambi), sentra produksi budidaya ikan yang menjadi wilayah pasokan produksi bungkilnya tersebar di lokasi berjarak ratusan kilometer, baik di dalam propinsi maupun di luar propinsi. Hal ini tidak hanya menyebabkan kesulitan teknis, melainkan juga berakibat pada tingginya biaya pengadaan bungkil oleh pembudidaya maggot. Tabel 1 menunjukkan besarnya biaya transportasi PKM dari perkebunan Sarolangun ke beberapa wilayah tujuan.

Tantangan pembudidaya maggot untuk memperoleh akses terhadap bungkil kelapa sawit (PKM) juga terkait dengan kebijakan perusahaan perkebunan. Perusahaan perkebunan pada umumnya memberikan prioritas penjualan bungkil (PKM) kepada karyawan, untuk memberikan tambahan kesejahteraan bagi kayawan perusahaan perkebunan. Kebijakan tersebut tidak sepenuhnya efektif karena pada umumnya para karyawan tersebut tidak memanfaatkannya untuk kegiatan produksi, melainkan menjual kembali kepada pembudidaya maggot, sehingga margin yang diperoleh para karyawan tersebut tidak cukup tinggi. Namun, di sisi lain margin rendah yang diperoleh para karyawan perusahaan tersebut menyebabkan kenaikan beban biaya cukup signifikan bagi pembudidaya maggot. Hal ini karena bungkil merupakan komponen bahan baku utama bagi pembudidaya maggot.

Kompetisi untuk memperoleh bahan baku

Permintaan terhadap bungkil kelapa sawit tidak hanya datang dari pembudidaya maggot. Bahkan sejak sebelum ditemukannya teknologi maggot untuk budidaya ikan,

6bungkil kelapa sawit telah dimanfaatkan untuk pakan ternak. Di beberapa wilayah , pemerintah daerah telah membuat berbagai kebijakan untuk mendorong pengembangan peternakan terpadu dengan perkebunan, termasuk melalui

7pemanfaatan bungkil untuk campuran pakan ternak, baik unggas maupun ruminan . Tidak hanya dari dalam negeri, permintaan bungkil kelapa sawit juga datang dari luar negeri. Berkembangnya kompetisi bahan baku tersebut membawa pengaruh pada harga bungkil. Tabel 2 menunjukkan perkembangan harga bungkil yang diterima oleh pembudidaya maggot di Sarolangun, Jambi.

2Sebagian perkebunan kelapa sawit mengolah minyak inti (PKO) dan memproduksi limbah bungkil (PKM), sebagian lainnya hanya memproduksi minyak sawit (CPO), sebagian lainnya tidak memiliki perkebunan tetapi mengolah minyak inti (PKO) dan memproduksi PKM.

3Untuk menghasilkan 100 kg pellet pakan ikan, diperlukan 225 kg bungkil untuk menyediakan 75 kg maggot dan 45 kg bungkil yang dicampurkan langsung sebagai komponen pellet.

4Dengan asumsi bahwa FCR = 1,55Produksi nasional ikan budidaya Tahun 2009 mencapai 4,7 juta ton/tahun (Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2009)6Misalnya Bengkulu7Ditjen Peternakan, Dep Pertanian tengah menggalakkan penggunaan PKM untuk ternak, dengan mengasumsikan bahwa PKM dapat memasok 40% komponen pakan

Kondisi dan Permasalahan

Gambar 4. Produksi Inti (PK) dan Bungkil Kelapa Sawit (PKM)

Gambar 5. Produktivitas PKM di Berbagai Wilayah Konsensi

Tabel 1. Biaya Transportasi PKM dari Pabrik Kelapa Sawit ke Sentra Budidaya Maggot & Ikan di Sarolangun

Gambar 3. Maggot yang Siap Dipanen

Tabel 2. Perkembangan Harga Bungkil di Sarolangun