prak_anggit mardiana p_13.70.0168_b2_unika soegijapranata

31
CHITIN DAN CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Anggit Mardiana Permatasari 13.70.0168 Kelompok B2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN Acara

Upload: praktikumhasillaut

Post on 10-Feb-2016

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Praktikum Teknologi hasil Laut

TRANSCRIPT

Page 1: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

CHITIN DAN CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Anggit Mardiana Permatasari

13.70.0168

Kelompok B2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Acara II

Page 2: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI METODE

1.1. Alat dan Bahan

1.1.1. Alat

Alat yang diperlukan dalam praktikum Teknologi Hasil Laut dengan judul Kitin dan

Kitosan adalah oven, blender, ayakan, dan peralatan gelas.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum Kitin dan Kitosan ini antara lain limbah udang,

HCl 0,75N; 1 N dan 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.

1.2. Metode

Demineralisasi

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Page 3: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Deproteinasi

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Page 4: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Deasetilasi

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok B1 dan B2, NaOH 50% untuk kelompok B3 dan B4, dan NaOH 60% untuk kelompok B5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

Page 5: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan rendemen kitin I, rendemen kitin II dan rendemen kitosan dapat dilihat

pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Chitin Chitosan

Kelompok Perlakuan Rendemen KitinI (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

B1 HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5% 30,00 34,88 25,00

B2 HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5% 36,00 29,40 -

B3 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% 31,82 50,00 50,00

B4 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% 28,00 22,22 19,23

B5 HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5% 28,57 20,00 -

Berdasarkan tabel 1 di atas, rendemen kitin I tertinggi (36,00%) terdapat pada kelompok B2

dengan menggunakan larutan HCl 0,75 N untuk demineralisasi sementara, rendemen kitin

I terendah (28,00%) terdapat pada kelompok B4 yang menggunakan konsentrasi HCl

sebesar 1 N. Rendemen kitin II tertinggi yakni 50% terdapat pada kelompok B3 sementara

rendemen kitin II terendah yaitu 20% ada pada kelompok B5. Rendemen kitosan tertinggi

sebesar 50% terdapat pada kelompok B3 yang menggunakan dan rendemen kitosan

terendah yakni terdapat pada kelompok B4.

3. PEMBAHASAN

Kitin memiliki rumus molekul [C8H13NO5]n dengan berat molekul 1,2x10-6 Dalton ini

tersedia berlebihan di alam dan banyak ditemukan pada hewan tingkat rendah, jamur,

insekta dan golongan Crustaceae seperti udang, kepiting dan kerang (Wijaya, 2007). Kitin

Page 6: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

memiliki sifat tidak mudah larut dalam air sehingga penggunaannya sangat terbatas

(Rismana, 2001). Namun dengan modifikasi struktur kimianya maka akan diperoleh

senyawa turunan kitin yang mempunyai sifat kimia yang lebih baik. Kitin merupakan

polimer yang memiliki kandungan total nitrogen yang kurang dari 7%, maka polimer

tersebut adalah kitin (Krissetiana, 2004). Di alam, khitin merupakan senyawa yang tidak

berdiri sendiri tetapi bergabung dengan senyawa lain. Pada crustacea, khitin bergabung

dengan protein, garam anorganik (CaCO3), dan pigmen (Rahayu et al, 2007). Struktur

kimia kitin dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia kitin (Dutta et al., 2004).

Kitin berwarna putih, keras, tidak elastic, merupakan polisakarida bernitrogen dan

merupakan sumber polusi utama di daerah pantai. Sedangkan, kitosan adalah hasil N-

deasetilasi dari kitin namun, N-deasetilasi hampir tidak pernah sempurna. Struktur kitosan

dapat dilihat pada gambar 2 (Zhang, 2011). Kitosan merupakan produk turunan deasetilase

kitin dan merupakan komponen biopolymer yang terdapat dalam crustaceae. Kitosan

memiliki sifat yang tidak beracun dan terdiri dari dari β-(1,4)-2-acetamido-2-deoxy-D-

glukosa dan -(1,4)-2-amino-2-deoxy-D-glukosa (Liu, 2004). Kitosan sangat berpotensi

untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan gugus

aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya

hambat khitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan khitosan.

Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation

Page 7: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang (Wardaniati,

2007).

Gambar 2. Struktur Kimia Kitosan (Zhang, 2011)

Dalam praktikum ini, pembuatan kitin dan kitosan berasal dari kulit udang. Kulit udang

merupakan sumber potensial pembuatan kitin. Kitin serta turunannya mempunyai sifat

sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi. Kulit udang mengandung protein

25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, tetapi besarnya kandungan

komponen tersebut tergantung pada jenis udang dan tempat hidupnya (Marganov, 2003).

Kitin dan kitosan keduannya merupakan polimer yang terdiri dari N-asetil-glukosamin dan

N-glukosamin yang secara acak terdistribusi dalam rantai biopolimer. Perbedaan utama

antara kitin dan kitosan terletak pada tingkat deasetilasinya dimana apabila tingkat

deasetilasi lebih rendah dari 50% maka disebut kitin sedangkan bila lebih tinggi dari 50%

disebut dengan kitosan. Tingkat deastilasi ini dipengaruhi oleh sumber dari biopolimer dan

metode persiapan. (Wang et al, 2010).

Secara umum proses pembuatan khitosan meliputi 3 tahap, yaitu deproteinasi,

demineralisasi, dan deasetilasi. Proses deproteinasi bertujuan mengurangi kadar protein

dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan yang cukup. Proses

demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) dengan

menggunakan asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan khitin, sedangkan proses

Page 8: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil dari khitin melalui pemanasan dalam

larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi. Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali

pada suhu tinggi akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul

khitin (Rahayu et al, 2007).

1.1. Demineralisasi dan Deproteinasi

Tahap pertama dalam pembuatan kitin dan kitosan adalah demineralisasi. Proses

demineralisasi dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan mineral. Langkahnya diawali

dengan proses pencucian limbah udang dengan menggunakan air. Proses pencucian dengan

air mengalir ini dilakukan untuk membersihkan limbah udang dari kotoran-kotoran yang

menempel pada limbah udang (Rochima, 2005). Selanjutnya, limbah udang dilakukan

proses pencucian dengan menggunakan air panas sebanyak dua kali dan kemudian

dikeringkan. Proses pencucian dengan air panas ini dilakukan kembali untuk membersihkan

limbah udang dari kontaminan yang tidak diinginkan. Penggunaan air panas dalam

pencucian kedua ini dimaksudkan untuk membunuh bakteri pembusuk. Lalu, limbah udang

yang telah dikeringkan, dihancurkan hingga menjadi serbuk dan kemudian diayak dengan

menggunakan ayakan berukuran 40-60 mesh, sehingga terbentuk serbuk kulit udang.

Tujuan dari proses pengayakan ini adalah untuk mengurangi ukuran limbah udang (size

reduction).

Selanjutnya, serbuk kulit udang dicampurkan ke dalam larutan HCl dengan perbandingan

10 (larutan HCL) :1 (serbuk). Dalam praktikum ini ada 3 konsentrasi HCl yang digunakan

yaitu 0,75N; 1N; serta 1,25N. Setelah dicampur, kemudian dilanjutkan dengan proses

pemanasan dan pengadukan selama 1 jam pada suhu 90oC. Dalam tahap ini, harus

dipastikan terlebih dahulu bahwa larutan telah mencapai suhu 90oC baru kemudian,

dilakukan pengadukan selama 1 jam. Suhu larutanpun harus dijaga agar tetap stabil selama

pemanasan di hotplate. Menurut Johnson dan Peterson (1974), proses pemanasan dan

pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk melarutkan mineral dalam larutan HCl dan

Page 9: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

membantu proses terbentuknya gelembung gas CO2, sehingga proses pemisahan mineral

bisa berjalan lancar.

Penggunaan larutan HCl sesuai dengan teori Wang et al (2010) dan Hargono & Djaeni

(2003) yang menyatakan bahwa proses dekalsifikasi (penghilangan kandungan CaCO3

dalam kulit udang) dilakukan dengan menggunakan larutan HCl. Angka & Suhartono

(2000) menambahkan bahwa, komponen mineral bisa dilarutkan dengan menggunakan

asam encer, seperti HCl atau H2SO4. Larutan HCl ini akan melarutkan kalsium dalam

bentuk kalsium klorida dan menyebabkan depolimerisasi kitin. Menurut Mudasir (2008)

dalam proses demineralisasi dalam pelarut asam akan terjadi reaksi sebagai berikut ;

HCl (aq) H+ (aq) + Cl-(Aq)

H+ (aq) + H2O H3O+ (aq)

Ca3(PO4)2 (s) + 2 H3O+ (aq) 3 Ca2+ (aq) + 2 H3PO4 (aq) + O2(g)

CaCO3 (s) + 2 H3O+ (aq) Ca2+ (aq) + CO2 (g) + 3 H2O (l).

Setelah proses pemanasan, larutan kemudian disaring dengan kain saring, Endapan yang

tertahan kemudian dicuci dengan air mengalir hingga pH netral. Proses pengukuran pH

dalam praktikum ini dilakukan dengan menggunakan kertas pH. Dimana pH netral dapat

diketahui bila kertas pH telah menunjukan warna menjadi hijau muda. Proses pencucian

hingga pH netral ini menurut Johnson dan Peterson (1974) dilakukan untuk mencegah

terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan. Selanjutnya, endapan hasil

pencucian diletakkan dalam wadah yang sebelumnya telah ditimbang berat kosongnya.

Setelah diisi dengan endapan, wadah ditimbang kembali, sehingga didapatkan berat basah.

Selanjutnya pengovenan dengan suhu 800C selama 24 jam. Proses pengeringan ini

bertujuan untuk mengurangi kadar air dari kitin yang dalam prosesnya melibatkan banyak

air. Dengan proses pengeringan ini akan diperoleh kitin kering yang tidak mengandung

Page 10: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

mineral. Berat kitin kering ini berguna dalam penghitungan rendemen dari kitin Ramadhan

et al (2010). Berat setelah pengeringan merupakan berat basah 1. Rendemen kitin I dapat

dihitung dengan menggunakan rumus :

Rendemen Kitin I = %

Tahap kedua adalah proses deproteinasi yang bertujuan untuk memisahkan ikatan protein

dan kitin atau untuk mengurangi kandungan protein (Hargono & Djaeni, 2003). Rendemen

kering yang didapatkan dari proses demineralisasi dapat diolah lebih lanjut menjadi kitin

dengan proses deproteinasi ini. Proses deproteinasi dilakukan dengan menambahkan NaOH

3,5% (6:1) ke dalam rendemen kering untuk semua kelompok. Langkah ini kerja telah

sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Hargono & Djaeni (2003) dan Wang et al

(2010) yang menyatakan bahwa proses deproteinasi bisa dilakukan melalui proses ekstraksi

dengan menggunakan larutan alkali kuat, seperti NaOH atau Na karbonat. Dalam

praktikum ini, proses deproteinasi dilakukan dengan cara yang sama dengan proses

demineralisasi, namun menggunakan larutan basa (NaOH) dengan perbandingan 6 (larutan

basa): 1 (berat hasil demineralisasi)

Menurut Rochima (2005), penambahan NaOH bertujuan untuk memutuskan ikatan antara

protein dan kitin, sehingga kita dapat mendapatkan kitin yang nantinya dapat kita olah lebih

lanjut menjadi kitosan melaui proses deasetilasi. Setelah tepung (hasil demineralisasi)

ditambah dengan larutan NaOH, kemudian larutan diaduk dan dipanaskan pada suhu 90oC

selama 1 jam. Penggunaan suhu tinggi ini dimaksudkan untuk membantu proses pemisahan

protein (Das & E. Anand, 2010) Sedangkan pengadukan berfungsi untuk mempercepat

reaksi untuk merusak protein. Setelah dipanaskan, larutan dicuci dengan air mengalir

hingga pH larutan netral. Proses pencucian ini dilakukan untuk mengurangi alkali yang

tertinggal dalam padatan (Hargono & Djaeni, 2003). Selanjutnya residu tersebut kembali

dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selam 24 jam. Berat sebelum dioven adalah berat

Page 11: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

basah sementara berat serbuk setelah pengovenan merupakan berat kitin. Berat rendemen

kitin II dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Rendemen Kitin II =

Menurut Alamsyah, et al. (2007), isolasi kitin yang dilakukan melalui tahap demineralisasi-

deproteinasi akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan tahap

isolasi kitin yang melalui tahap deproteinasi-demineralisasi. Hal ini disebabkan karena

mineral akan membentuk pelindung yang keras pada kulit udang. Sehingga bila dilakukan

tahap penghilangkan mineral terlebih dahulu, maka pada tahap deproteinasi basa dapat

berjalan dengan lebih optimal dalam penghilangkan protein, karena pelindung yang terbuat

dari mineral telah dihilangkan.

Berdasarkan hasil pengamatan rendemen yang dihasilkan pada tahap demineralisasi untuk

kelompok B1, B2, B3, B4 dan B5 secara berturut-turut adalah 30%, 36%, 31,82%, 28% dan

28,57%. Rendemen kitin I tertinggi (36%) terdapat pada kelompok B2 sementara,

rendemen kitin I terendah (28%) terdapat pada kelompok B4. Hal ini sesuai, karena

perlakuan kimia seperti asam atau basa dengan dosis yang lebih tinggi disertai dengan

proses/waktu yang lebih lama dapat melepaskan atau meregangkan ikatan protein dan

mineral dengan kitin serta bahan organik lainnya pada kulit udang (Hartati et al., 2002).

Berat rendemen kitin setelah proses deproteinasi cenderung menurun karena telah

kehilangan padatan berupa protein. Rendemen kitin II tertinggi (50%) terdapat pada

kelompok B3, sementara rendemen kitin II terendah (20%) ada pada kelompok B5.

Menurut Puspawati et al (2010) kitin yang berasal dari udang akan menghasilkan rendemen

sebanyak lebih dari 20%. Sementara pada hasil pengamatan, masih terdapat rendemen kitin

akhir (setelah deproteinasi) yang kurang dari 20%. Menurut Naznin (2005), ketika larutan

Page 12: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

asam dan basa ditingkatkan pada saat proses demineralisasi dan deproteinasi maka produksi

kitin dan kitosan akan menurun akibat kehilangan kandungan mineral dan proteinnya.

Dalam praktikum ini, tidak semua percobaan memberikan hasil seperti teori tersebut.

Adanya ketidaksesuaian hasil dengan teori dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara

lain proses pencucian residu yang kurang tepat, banyak residu yang ikut terbuang ketika

pencucian sehingga hasil yang diperoleh semakin sedikit. Selain itu, juga dapat disebabkan

oleh proses pengeringan masih terlalu banyak air yang terikut bersamaan dengan residu

sehingga saat ditimbang berat rendemennya menjadi sangat besar. Hal lain yang mungkin

berpengaruh adalah pH yang belum netral sehingga, kitin mengalami degradasi selama

pengovenan oleh larutan asam maupun basa yang digunakan sehingga, rendemen yang

dihasilkan sangat sedikit. Hartati et al (2002) juga menjelaskan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi keberhasilan proses pembuatan kitin, antara lain jenis bahan baku, proses

ekstraksi kitin (deproteinasi dan demineralisasi), di mana kitin dapat diisolasi dengan

proses kimia yang cukup sederhana, disamping itu juga dapat juga dilakukan secara

enzimatis.

1.2. Deasetilasi

Pada tahap 3, dilakukan proses deasetilasi dari kitin yang terbentuk setelah proses

demineralisasi dan deproteinasi sebelumnya untuk menghasilkan kitosan. Menurut Balley

& Ollis (1977), kitosan dapat dihasilkan dari proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat.

Hal yang menjadi pembeda utama antara kitin dan kitosan terletak pada tingkat

deasetilasinya dimana apabila tingkat deasetilasi lebih rendah dari 50% maka disebut kitin

sedangkan bila lebih tinggi dari 50% disebut dengan kitosan. Prasetyaningrum (2006)

menambahkan bahwa kitosan dapat dihasilkan dari kitin dengan cara menghilangkan gugus

asetil (CH3-CO) sehingga molekul ini dapat larut dalam larutan asam, proses ini disebut

sebagai deasetilasi, yaitu suatu proses untuk melepaskan gugus asetil agar kitosan memilki

karakteristik sebagai kation

Page 13: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Knoor (1982) menyebutkan bahwa derajat deasetilasi merupakan suatu parameter mutu

kitosan yang menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen

kitin maupun kitosan. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan, maka gugus asetil kitosan

semakin rendah sehingga interaksi antar ion dan ikatan hidrogennya akan semakin kuat.

Derajat deasetilasi dan massa molekul kitosan hasil deasetilasi kitin pada dasarnya

dipengaruhi oleh konsentrasi alkali/basa, rasio larutan terhadap padatan, suhu dan waktu

reaksi, lingkungan/kondisi reaksi selama deasetilasi. Semakin tinggi derajat deasetilasinya

semakin tinggi kemurniannya, yang artinya kitin dan kitosan sudah murni dari pengotornya

yaitu protein, mineral dan pigmen serta gugus asetil untuk kitosan yang disertai

kelarutannya yang sempurna dalam asam asetat 1%.

Proses diasetilasi ini dilakukan dengan mencampurkan kitin dan NaOH dengan

perbandingan 20 (larutan basa) :1 (kitin). Dalam percobaan ini, digunakan 3 tingkat

konsentrasi basa yaitu 40%, 50%, serta 60%. Menurut Hirano (1989), proses penambahan

NaOH dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kitosan dari kitin. Hal ini dilakukan

karena kitin memiliki struktur kristal yang panjang dengan ikatan kuat ion nitrogen dan

gugus karboksil. Hal tersebut didukun oleh Radhakumary et al (2005) yang menagatakan

bahwa penambahann NaOH ke dalam kitin bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil

dari kitin. Larutan NaOH yang digunakan untuk produksi kitosan bersifat reaktif sehingga

mudah mereduksi air melalui reaksi yang sangat eksoterm dan larut dalam air.

Kemudian, larutan dipanaskan pada suhu 900C dan diaduk selama 1 jam. Proses

pengadukan akan meningkatkan penumbukan antarpartikel kitin dan larutan NaOH

sehingga proses deasetilasi akan berlangsung dengan lebih sempurna. Suhu yang tinggi

akan mengkonsentrasi larutan NaOH sehingga menjadi lebih pekat karena adanya evaporasi

dari air. Proses ini akan meningkatkan reaksi deasetilasi yang terjadi. Puspawati et.al.

(2010) menambahkan bahwa pemanasan dilakukan dengan tujuan meningkatkan derajat

deasetilasi kitosan tersebut. Gabungan proses pengadukan dan pemanasan yang dilakukan

Page 14: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

bertujuan untuk mempermudah/mempercepat proses penghilangan protein yang terkandung

dalam limbah udang.

Setelah proses pemanasan, larutan lalu disaring dengan kain saring. Endapan yang

tertinggal di kain saring dicuci dengan menggunakan air mengalir hingga pH netral. Proses

pencucian ini digunakan untuk membersihkan larutan alkali yang masih tertinggal dalam

bahan (Hargono & Djaeni, 2003) dan untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama

proses pengeringan (Johnson dan Peterson, 1974). Setelah mencapai pH yang netral,

kemudian dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven bersuhu 700C selama 24 jam.

Proses pengeringan ini dimaksudkan untuk mengurangi kadar air dalam kitosan sehingga

kitosan memiliki umur simpan yang panjang. Berat massa sebelum pengeringan merupakan

berat basah dan berat massa setelah pengovenan 24 jam merupakan berat kitosan.

Rendemen kitosan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Rendemen Kitosan =

Metode yang digunakan dalam pembuatan kitosan ini sesuai dengan Hargono & Sumantri

(2008) yang menjelaskan bahwa kitin yang telah dihasilkan pada proses dimasukkan dalam

larutan NaOH dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50 dan 60% (berat) pada suhu 90-100°C

sambil diaduk kecepatan konstan selama 60 menit. Hasilnya berupa slurry disaring,

endapan dicuci dengan aquadest lalu ditambah larutan HCl encer agar pH netral kemudian

dikeringkan. Perbedaannya dalam praktikum ini pH dinetralkan dengan pencucian air

sedangkan dalam teori pH dinetralkan dengan ditambah larutan HCl encer namun, prinsip

kerjanya sama yaitu penetralan.

Berdasarkan hasil pengamatan, kitosan yang diperoleh pada kelompok B1, B2, B3, B4 dan

B5 secara berturut-turut memiliki rendemen sebesar 25%; - ; 50%; 19,23% dan - . Menurut

Page 15: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Macklin (2008), untuk ekstrasi kitin dari limbah cangkang udang rendemennya sebesar

20%, sedangkan rendemen kitosan dari kitin yang diperoleh adalah sekitar 80%. Akibat

adanya kesalahan dan ketidaktepatan prosedur pembuatan kitin yang menyebabkan

rendemen kitin yang didapat tidak optimal, maka mengakibatkan rendemen kitosanpun

tidak mencapai jumlah yang optimal. Untuk Kelompok B2 dan B5 tidak mendapatkan hasil

dikarenakan kesalahan yang dilakukan praktikan yang salah dalam menambahkan bahan,

sehingga tidak menghasilkan suatu yang sebenarnya.

Menurut Rochima (2005), tujuan penggunaan alkali konsentrasi tinggi adalah untuk

memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen. Penggunaan konsentrasi

NaOH yang tinggi pada proses deasetilasi akan menghasilkan rendemen kitosan yang

memiliki derajat deasetilasi tinggi. Hal ini disebabkan gugus fungsional amino (-NH3+)

yang mensubtitusi gugus asetil kitin di dalam sistem larutan semakin aktif, maka semakin

sempurnalah proses deasetilasi. Suhu dan lama perendaman NaOH meningkat

mengakibatkan derajat deasetilasi meningkat. Berdasarkan teori tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa hasil pengamatan tidak sesuai dengan teori karena seharusnya semakin

tinggi konsentrasi larutan NaOH yang ditambahkan pada kitin maka akan semakin tinggi

pula rendemen kitosan yang diperoleh.

Adanya ketidaktepatan tersebut, dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut

Ramadhan et al (2010), proses pencucian sebaiknya dilakukan dengan menggunakan

aquades. Proses pencucian dengan menggunakan air dapat mempengaruhi jumlah kitosan

yang diperoleh, dimana air yang digunakan tersebut bisa saja mengandung mineral

bermassa molekul tinggi yang apabila dipanaskan akan menjadi garam seperti kalsium.

Hartati et al (2002) melengkapi bahwa selama proses pembuatan kitosan ada beberapa

faktor yang mempengaruhi yaitu konsentrasi enzim, pH dan suhu proses. Selain itu, jenis

bahan baku, proses ekstraksi kitin (deproteinasi dan demineralisasi), dan proses diasetilasi

(pembuatan kitosan) juga turut mempengaruhi keberhasilan pembuatan kitosan yang

dihasilkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Naznin, Rokshana tahun 2005

Page 16: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

mengenai “Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros)

Shell by Chemical Method”, pada konsentrasi basa 1,5 N dan asam HCl 30% akan

menghasilkan produk (kitin dan kitosan) dengan kualitas yang baik yaitu berwarna putih

dan aman untuk lingkungan karena meninggalkan sangat sedikit residu asam di tanah.

4. KESIMPULAN

Proses deproteinasi bertujuan mengurangi kadar protein dengan menggunakan larutan

alkali encer dan pemanasan yang cukup.

Proses deproteinasi dilakukan melalui proses ekstraksi dengan menggunakan larutan

alkali kuat, seperti NaOH atau Na karbonat dengan perbandingan 6 (larutan basa): 1

(berat hasil demineralisasi)

Proses demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) dengan

menggunakan asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan khitin

Proses dekalsifikasi (penghilangan kandungan CaCO3 dalam kulit udang) dilakukan

dengan menggunakan larutan asam encer seperti HCl atau H2SO4 dengan perbandingan

10 (asam encer) :1 (serbuk)

Proses deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil dari khitin melalui pemanasan

dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi untuk menghasilkan kitosan.

Proses diasetilasi ini dilakukan dengan mencampurkan kitin dan NaOH dengan

perbandingan 20 (larutan basa) :1 (kitin)

Penggunaan larutan HCl 0,75N saat demineralisasi menghasilkan rendemen tertinggi

yaitu 36%

Penggunaan larutan HCl 1N saat demineralisasi menghasilkan rendemen terendah yaitu

28%

Penggunaan HCl 1N dan NaOH 3,5% serta NaOH 50% menghasilkan rendemen kitin

tertinggi yaitu sebesar 50%

Penggunaan HCl 1,25 N dan NaOH 3,5% serta NaOH 50% menghasilkan rendemen

kitin terendah yatu 20%

Rendemen kitosan tertinggi yaitu 50% sementara rendemen terendah yaitu 19,23%.

Penambahan NaOH bertujuan untuk memutuskan ikatan antara protein dan kitin

Page 17: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan, maka akan semakin sedikit

rendemen yang didapat

Semakin tinggi derajat deasetilasi kitin dan kitosan maka, semakin murni dari

pengotornya yaitu protein, mineral dan pigmen serta gugus asetil untuk kitosan yang

disertai kelarutannya yang sempurna dalam asam asetat 1%.

Semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH yang ditambahkan pada kitin maka akan

semakin tinggi pula rendemen kitosan yang diperoleh.

Semarang, 01 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Praktikum :

- Tjan, Ivana Chandra

Anggit Mardiana P.

13.70.0168

5. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rizal, et al., (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.

Das, Sunita & E. Anand Ganesh.(2010). Extraction of Chitin from Trash Crabs (Podophthalmus vigil) by an Eccentric Method. http://www.academicjournals.org/IJMMS/PDF/pdf2009/May/Palpandi%20et%20al.pdf

Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan: Chemistry, properties, and applications. Journal of Scientific and Industrial Research Vol. 63 January 2004. pp 20-31.

Page 18: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Hargono & Djaeni, M. (2003). Utilization of Chitosan Prepared from Shrimp Shell as Fat Diluent.

Hargono, Abdullah & Sumantri, Indro. (2008). Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57

Johnson AH, Peterson MS. 1974. Encyclopedia of Food Technology. Vol 1.Wesport Connecticut : The AVI Publ. Co. Inc.

Krissetiana, Henny, Mei. 31, 2004, Khitin dan Khitosan dari Limbah Udang,

Knorr D. 1982. Functional Properties Chitin and Chitosan. Journal of Food Science. 47. 593-595.

Liu, Hui et al. (2004). Chitosan Kills Bacteria Through Cell Membrane Damage. www.elsevier.com/locate/ijfoodmicroWang, Z., et al. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. http://downloads.hindawi.com/journals/ijps/2013/369759.pdf didownload tanggal 1 Oktober 2015

Macklin, B. Limbah Cangkang Udang Menjadi Kitosan. http://onlinebuku.com/2013/09/27/ limbah-cangkang-udang-menjadi-kitosan/

Marganov. (2003).Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan.

Mudasir, et al. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd(II) Ion. Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Gadjah Mada University. Yogyakarta.

Naznin, Rokshana. 2005. Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus

monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan journal of Biological Sciences 8(7) :

1051-1054

Page 19: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Prasetyaningrum, A. ; N. Rokhati & S. Purwintasari. (2006). Rekayasa Teknologi Produksi Chitosan dari Limbah Kulit Udang sebagai Pengawet Bahan Makanan Pengganti Formalin: Upaya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Kabupaten Pati. Semarang, jawa Tengah, 5-8 September, Hal 203 – 208.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Radhakumary, C.; Prabha D. Nair; Suresh Mathew; dan C.P. Reghunadhan Nair. (2005).

Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications.

Journal of Trends Biomater Artif Organs, Vol 18 (2).

Rahayu, L.H. & Purnavita. S. (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan Dari Kitin Limbah Cangkang Rajungan (Portunus Pelagicus) Untuk Adsorben Ion Logam Merkuri. http://eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 29 September 2013.

Ramadhan, L.O.A.N.; C.L. Radiman; dan D. Wahyuningrum. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertaha dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1) 2010 h. 17-21.

Rismana, E. 2001. “Langsing dan Sehat Lewat Limbah Perikanan”. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. www.sinarharapan.com/IPTEK No 3994

Rochima, Emma. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon Jawa Barat.

Wang, Zhengke; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010, Article ID 369759, 7 pages.

Wardaniati, R. A. (2007). Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang Dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso.

Page 20: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Wijaya, G. P. A. (2007). Pembuatan Kitosan dari Kulit Udang Windu (Penaeus monodon). http://www.scribd.com/doc/17669849/PEMBUATAN-KITOSAN-DARI-KULIT-UDANG-WINDU-Penaeus-monodon

Zhang, Hongyin; Renping Li and Weimin Liu. 2011. Effects of Chitin and Its Derivative Chitosan on Postharvest Decay of Fruits: A Review. Int. J. Mol. Sci. Vol 12, 917-934

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Kelompok B1

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitosan

Kelompok B2

Rendemen Kitin I

Page 21: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitosan

Kelompok B3

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitosan

Page 22: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Kelompok B4

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitosan

Kelompok B5

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin II

Page 23: PRAK_ANGGIT MARDIANA P_13.70.0168_B2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Rendemen Kitosan

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal