presus tbi (repaired)
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indinesia saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi
terjadinya cedera kepala bukannya menurun malahan cenderung meningkat. Hal ini
disebabkan karena bertambahnya jumlah kendaraan bermotor khususnya sepeda motor, juga
oleh tidak disiplinnya perilaku pendara bermotor di jalanan. Cedera kepala merupakan
penyebab hampir setengah dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala
merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.
Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara
15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibanding dengan perempuan. Adapun
penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (49%) dan jatuh (terutama pada kelompok
usia anak-anak).
Hingga saat ini cedera kepala tetap merupakan tantangan umum bagi dunia medis, di
mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologi yang saat ini bisa diungkpkan dengan
segala bentuk kemajuan pemeriksaan diagnostik medis mutakhir ternyata bukanlah hal yang
sederhana.
BAB III
ANALISA KASUS
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenaik kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan dari trauma
kapitis, dapat disesuaikan dengan letak lesi pada susunan saraf pusatnya. Diagnosis
defisit neurologis, yakni dampak akibat dari trauma kepalanya, dapat ditegakan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis, CT-Scan atau MRI dan pemeriksaan
elektromiografi.
Pada kasus ini, dari anamnesis pasien mengalami gejala klinis berupa kelemahan
pada ekstremitas kanan. Pada perjalanan penyakitnya, pasien mengeluh sejak kurang
lebih 3 tahun sebelum masuk rumah sakit – pasca trauma dan sempat mengalami koma.
Keluhan lain yang dialami yaitu cadel.
Kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan UMN
pada belahan tubuh sisi kontralateral yang dikenal dengan hemiparalisis atau hemiplegia.
Akan terdapat perbedaan derajat kelumpuhan antara lengan dan tungkai. Perbedaan lebih
nyata apabila hemiplegia disebabkan oleh lesi vaskular di tingkat korteks dan hampir
tidak ada perbedaan jika lesi penyebab bersifat vaskular di kapsula interna. Hemiparese
karena lesi kortikal sesisi, otot-otot wajah yang berada di atas fissura palpebrae masih
dapat digerakan secara wajar. Pada tahap pertama ini lidah akan menunjukan
kelumpuhan pada sisi kontralateral, yang akan menyimpang ke sisi yang lumpuh. Lesi
yang merusak korteks piramidalis terjadi pada area 4, daerah di depan dan belakangnya,
sehingga ditemukan gejala pengiring hemiplegi berupa hipestesia atau gangguan
berbahasa (afasia motorik dan afasia sensorik). Sehubungan dengan ikut terlibatnya area
4s, 6 dan 8, maka hemiplegi piramidal disertai gejala-gejala tambahan seperti hipertoni
yang bersifat spastik, ‘forced crying’ atau ‘forced laughing’, dan ‘deviation conjugee’.
Kelumpuhan UMN ditandai dengan peningkatan refleks fisiologis, adanya
‘spastisitas’, refleks patologis (+), dan tidak ditemukannya atrofi otot.
Pada pemeriksaan fisik neurologis, didapatkan hemiparese dextra, adanya spastisitas
pada jari-jari tangan kanan, peningkatan refleks fisiologis pada bicep, tricep dan patella
pada ekstremitas kanan dan kiri. Kemudian didapatkan pares n.IX dan X di mana uvula
jatuh ke arah sinistra dan arcus faring sinistra lebih rendah. Kemudian, ditemukan juga
parese n.XII dimana lidah mengalami deviasi ke arah dextra.
Untuk terjadinya lesi kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga
menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif.
Akselerasi yang kuat berarti hiperekstensi kepala, di mana otak membentang batang otak
terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens
retikularis difus yang berakibat otak tidak mendapat “input” aferen dan karena itu
kesadaran hilang selama blokade reversibel berlangsung. Lesi kontusio sering terjadi
pada tempat-tempat yang tidak memiliki fiksasi yang kuat dan pada tempat-tempat yang
menggeresek seperti pada tepi ala magna sfenoid, krista gali, falks serebri dan tepi
tentorium. Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”), “contrecoup” dan
“intermediate”, menimbulkan gejala defisit neurologis, berupa refleks Babinski positif
dan kelumpuhan UMN. Keadaan asidosis menyebabkan “blood brain barrier” mengalami
kerusakan dan timbullah edema serebri, yang lebih mengurangi aliran darah ke otak.
Gambaran klinisnya ialah koma dengan tanda-tanda “shock” dan hiperpireksia.
Pada pasien terapi yang diberikan ialah Neurobion 5000mg satu kali sehari dan
Piracetam 1200mg satu kali sehari. Secara non-medikamentosa dilakukan fisioterapi.
Gejala yang terdapat pada pasien merupakan gejala sisa dari trauma kepalanya yang
dulu, sehingga terapi yang diberikan hanya untuk membantu pemeliharaan dari saraf-
sarafnya saja dan membantu mengembalikan fungsi kognitif pasien. Dimana fungsi-
fungsi tersebut terdapat dalam Neurobion sebagai suplement vitamin B1, B6, dan B12
dan Piracetam yang diberikan guna untuk mengembalikan fungsi serebral pasca trauma
kepala.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis.
B. Epidemiologi
Distribusi Cedera Kepala
Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala berperan
pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Distribusi cidera kepala
terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi
oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat setiap tahun hampir 2 juta penduduk mengalami cidera kepala (Packard,
1999). Menurut penelitian Evans (1996), distribusi kasus cidera kepala pada laki-laki dua
kali lebih sering dibandingkan perempuan dan separuh pasien berusia 15-34 tahun.
Berdasarkan penelitian Suparnadi (2002) di Jakarta, menunjukkan bahwa sekitar separuh
dari para korban berumur antara 20-39 tahun (47%), suatu golongan umur yang paling
aktif dan produktif. Dalam penelitian ini didominasi laki-laki (74%) dan pekerjaan
korban sebagian besar adalah buruh (25%), 11% adalah pelajar dan mahasiswa.
Berdasarkan penelitian Wijanarka dan Dwiphrahasto (2005) di IGD RS Panti nugroho
Yogyakarta, dari 74 penderita terdapat 76% cedera kepala ringan, 15% cedera kepala
sedang, dan 9% cedera kepala berat rata-rata umur 29,60 tahun. Dalam penelitian ini
didominasi laki-laki (58%) dan pelajar/mahasiswa (77%).
Menurut penelitian Amandus (2005) di RSUP Adam Malik Medan, terdapat 370
penderita cedera kepala rawat inap pada tahun 2002-2004 dengan proporsi tertinggi pada
kelompok umur 17-24 tahun (37,5%) dan didominasi oleh laki-laki (68,2%). Menurut
penelitian Riyadina dan Subik (2005) di Instalasi Gawat Darurat RSUP. Fatmawati
Jakarta kecelakaan banyak terjadi pada siang hari, namun kecelakaan pada malam hari
mempunyai proporsi yang lebih tinggi keparahan cederanya (59%) dibandingkan
kecelakaan pada siang hari. Waktu malam hari suasananya lebih gelap dan sudah mulai
sepi. Kondisi tersebut menyebabkan pengendara mengemudikan kenderaannya dengan
kecepatan tinggi (>60 km/jam), kurang waspada, dan kurang hati-hati. Risiko terjadinya
kematian dan cidera meningkat seiring dengan kenaikan kecepatan mengemudi.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro Riyadina (2005) di Instalasi
Gawat Darurat (IGD) di 5 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta didapatkan jumlah kasus
sebanyak 425 orang . Korban yang mengalami cidera parah 41,9% dan meninggal
7,04%. Cidera utama adalah cidera kepala 53,4% dengan comosio cerebri 10,59%. Jenis
luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka 58,35% dan patah tulang 31.29%.
Determinan Cedera Kepala
Berbagai faktor terlibat dalam kecelakaan lalu lintas, mulai dari manusia sampai sarana
jalan yang tersedia. Secara garis besar ada 4 faktor yang berkaitan dengan kecelakaan
lalu lintas , yaitu faktor manusia, kenderaan, fasilitas jalan, dan lingkungan.
a. Faktor manusia, menyangkut masalah disiplin berlalu lintas.
Faktor pengemudi dianggap salah satu faktor utama terjadinya kecelakaan
dengan kontribusi 75-80%. Faktor yang berkaitan adalah perilaku (mengebut,
tidak disipilin/melanggar rambu), kecakapan mengemudi, dan gangguan
kesehatan (mabuk, mengantuk, letih) saat mengemudi.
Faktor penunjang (jumlah penumpang dan barang yang berlebihan).
Faktor pemakai jalan, yakni pejalan kaki, pengendara sepeda, pedagang kaki
lima dan peminta-minta serta tempat pemarkiran kenderaan yang tidak pada
tempatnya sehingga keadaan jalan raya semakin kacau.
b. Faktor kendaraan.
Jalan raya penuh dengan berbagai kenderaan berupa kenderaan tidak bermotor
dan kenderaan bermotor. Kondisi kenderaan yang tidak baik atau rusak akan
mengganggu laju lalu lintas sehingga menyebabkan kemacetan bahkan
kecelakaan. Saat ini jumlah dan penggunaan kenderaan bermotor bertambah
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12% per tahun. Komposisi terbesar adalah
sepeda motor (73% dari jumlah kenderaan pada tahun 2002-2003 dan
pertumbuhannya mencapai 30% dalam 5 tahun terakhir). Rasio jumlah sepeda
motor dan penduduk diperkirakan 1:8 pada akhir tahun 2005.
c. Faktor jalan, dilihat dari ketersediaan rambu-rambu lalu lintas, panjang dan lebar
jalan yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah kenderaan yang melintasinya,
serta keadaan jalan yang tidak baik misalnya berlobanglobang dapat menjadi
memacu terjadinya kecelakaan.
d. Faktor lingkungan yaitu adanya kabut, hujan, jalan licin akan membawa risiko
kejadian kecelakaan yang lebih besar.
C. Mekanisme trauma kepala
Mekanisme trauma kepala dapat dikelompokan dalam dua tipe :
1. Beban statik (static loading). Beban statik timbul perlahan-lahan yang dalam hal ini
tekanan mengenai kepala secara bertahap. Dan hal ini dapat terjadi bila kepala
mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode
waktu yang lebih dari 200 mili detik. Bila kekuatan tenaga tersebut cukup besar dapat
mengakibatkan terjadiny keretakan tulang, fraktur multiple atau kominutif dari
tengkorang atau dasar tulang tengkorak. Biasanya tidak didapatkan gangguan
kesadaran atau defisit neurologis, kecuali bila deformasi tengkorak demikian hebatnya
sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya
mengalami kerusakan yang fatal.
2. Beban dinamik (dynamic loading). Peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih
singkat (kurang dari 200 mili detik). Durasi pembebanan yang terjadi merupakan
salah satu faktor yang penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi.
Terdapat 2 jenis yaitu :
a) Beban guncangan (impulsive loading).
Terjadi bila kepala mengalami kombinasi antara percepatan - perlambatan
(aselerasi-deselerasi) secara mendadak, kepala yang diam secara tiba-tiba
digerakkan secara mendadak. Atau sebaliknya bila kepala yang sedang
bergerak tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan.
b) Beban benturan (impact loading)
Merupakan jenis beban dinamik yang lebih sering terjadi dan biasanya
meripakan kombinasi kekuatan beban kontak (contact forces) dan kekuatan
beban lanjut (inertial forces). Respons kepala terhadap beban-beban ini
tergantung dari obyek yang membentur kepala. Efek awal dapat sangat
minimal pada beban tertentu, terutama bila kepala dijaga sedemikian rupa
sehingga ia tidak bergerak waktu kena benturan. Sebaliknya, akibat yang
paling hebat dapat terjadi bila energi benturan dihantarkan ke kepala sebesar
tenaga kontak dan selanjutnya menimbulkan efek gabungan yang dikenal
sebagai fenomena kontak.
Fenomena kontak adalah suatu kelompok peristiwa mekanis yang timbul di dekat
namun terpisah dari titik benturan, tergantung dari ukuran alat pembentur dan arah
tenaga pada titik benturan. Objek-objek yang lebih besar dari 5 sentimeter persegi
akan mengakibatkan deformitas lokal tengkorak yang cenderung melekuk ke dalam
tepat pada daerah benturan dan mencuat ke luar pada daerah perifernya. Bila derajat
deformitas lokal melebihi toleransi tengkorak, akan terjadis fraktur. Penetrasi,
perforasi dan fraktur depres lokal sering disebabkan oleh objek-objek dengan
permukaan yang luasnya kurang dari 5 sentimeter persegi.juga terdapat gelombang
hantaman yang berasal dari titik benturan dalam kecepatan gelombang suara yang
menembus langsung ke dalam substansi otak dan menyebabkan kerusakan jaringan
lokal, yang akhirnya dapat mengakibatkan distorsi jaringan dan kerusakan
intraparenkhim otak dan dalam bentuk perdarahan kecil-kecil.
Cedera adalah penyebab utama jejas jaringan, baik oleh beban guncangan maupun
beban campuran. Tiga jenis cedera : kompresi, regangan, dan robekan. Jenis jejas
yang terjadi ditentukan oleh tipe dan lokasi cedera dan daya tahan jaringan itu sendiri.
Cedera dapat diartikan juga sebagai jumlah deformitas jaringan yang diakibatkan oelh
suatu kekuatan mekanis. Cedera dinamik terjadi pada keadaan-keadaan dimana beban
hanya berlangsung singkat saja dan mekanisme peristiwa ini lebih rumit sehubungan
dengan adanya sifat biologis jaringan yang disebut viskoelastisitas. Jaringan biologis
yang proses deformitasnya berlangsung lebih lambat akan dapat menahan cedera lebih
baik.
D. Trauma Kapitis
I. Trauma kapitis yang menimbulkan pingsan sejenak
Trauma kapitis yang tampaknya berat atau ringan bisa hanya mengakibatkan
pingsan sejenak belaka, dengan atau tanpa amnesia retrogard. Tanda-tanda
kelainan neurologik apapun tidak terdapat pada penderita. Diagnosis yang
digunakan untuk kasus semacam itu ialah komosio serebri.
Apa yang terjadi pada susunan sarafnya belum jelas. Derajat kesadaran
ditentukan oleh “diffuse ascending reticular system” di mana lintasan tersebut
bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan yang ireversibel.
Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan otak dan bagian
kaudalnya bersambung dengan medula spinalis, mudah teregang dan terbentang
pada waktu kepala bergerak secara cepat dan sekaligus secara mendadak.
Gerakan ini disebut aselerasi. Peregangan menurut poros batang otak ini bisa
menimbulkan blokade reversibel pada lintasan retikularis asendens difus,
sehingga selama blokade itu berlangsung, otak tidka mendapat “input” aferen,
yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang terendah (pingsan).
Hilangnya blokade terhadap lintasan asendens itu akan disusul dengan pulihnya
kesadaran.
II. Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh :
kontusio serebri, laserio serebri, hemoragia subdural, hemoragia epidural,
ataupun hemoragia intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya
destruktif trauma.
III. Tekanan positif dan negatif
Tekanan intrakranial merupakan jumlah total dari tekanan volume jaringan otak,
volume cairan serebrospinal dan volume darah intrakranial. Tekanan
intrakranial pada waktu-waktu tertentu mengalami lonjakan karena peningkatan
volume salah satu unsur tersubut di atas. Pada trauma kapitis, linjakan tekanan
intrakranial terjadi dalam milidetik, sehingga mekanisme kompensasi untuk
menurunkan tekanan intrakranial belum sempat bekerja. Maka, pada trauma
kapitis bisa terdapat tekanan positif dan negatif setempat. Keadaan ini dijumpai
pada trauma kapitis yang mengakibatkan indentasi (dampak menjadi cekung
sejenak untuk menajadi rata kembali seperti keadaan semual). Osilasi
(pergerakan naik turun di tempat yang cekung setelah kena pukulan) identasi
itu, menimbulkan tekanan positif yang berselingan dengan tekanan negatif di
bawah tempat yang tertampar. Tekanan positif mengakibatkan kompresi
terhadap jaringan otak. Tekanan negatif bisa menyedot udara dari darah atau
cairan serebrospinal, sehingga terjadi gelembung-gelembung udara yang
mengakibatkan terjadinyalubang-lubang pada jaringan otak.
IV. Aselerasi dan de-akselerasi
Pada trauma kapitis terjadi aselerasi dan deselerasi. Aselerasi terjadi saat kepala
jatuh, dan deselerasi terjadi saat kepala terbanting pada tanah atau lantai. Pada
waktu aselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi otak ke arah
dampak dan pergeseran otak ke arah berlawanan dengan arah dampak primer.
Pergeseran otak merupakan hasil akselerasi tengkorak dan kelembaman otak.
Pada trauma kapitis, dengan dampak pada oksiput, gaya kompresi di bawah
dampak adalah cukup besar untuk menimbulkan lesi yang dapat berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada dura mater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka
dinamakan lesi kontusio “contrecoup”.
V. Akeselerasi linear dan rotatorik
Akibat akselerasi linier dan rotatorik terdapat lesi kontusio “coup”,
“contrecoup”, dan “intermediate” (lesi yang berada diantara “coup” dengan
“contrecoup”. Lesi kontusio sering terjadi pada tempat-tempat yang tidak
memiliki fiksasi yang kuat dan pada tempat-tempat yang menggeresek seperti
pada tepi ala magna sfenoid, krista gali, falks serebri dan tepi tentorium.
Penggeseran otak pada akselerasi dan de-akselerasi linear serta rotatorik, bisa
menarik dan memutuskan vena-vena yang menjembatani (bridging veins)
selaput araknoidea dan dura. Karena itu, perdarahan subdural akan timbul.
Kebanyakan dari pembuluh darah tersebut berada di daerah sekitar fisura Sylvii
dan pada kedua belah sisi sinus sagitalis superior.
VI. Kontusio serebri
Untuk terjadinya lesi kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu
juga menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Akselerasi yang kuat berarti hiperekstensi kepala, di mana otak
membentang batang otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade
reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus yang berakibat otak tidak
mendapat “input” aferen dan karena itu kesadaran hilang selama blokade
reversibel berlangsung.
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”), “contrecoup” dan
“intermediate”, menimbulkan gejala defisit neurologis, berupa refleks Babinski
positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran pulih kembali, si penderita
akan menunjukan gambaran “organic brain syndrome”. Akibat gaya yang
dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis
tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah serebral terganggu, sehingga
terjadi vasoparalisis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi melambat atau
menjadi cepat dan lemah. Pusat vegetatif ikut terlibat sehingga timbul rasa
mual, muntah, dan gangguan pernafasan bisa timbul.
Kontusio serebri yang tidak terlampau berat bisa berakhir dengan kematian
beberapa hari setelah kecelakaan (karena komplikasi kardio-pulmonal).
Gangguan di susunan kardiopulmonal terjadi melalui mekanisme sebagai
berikut :
Sistem vaskular bisa ikut terkena secara langsung karena perdarahan ataupun
trauma langsung pada jantung. Sebagai reaksi tubuh, volume sirkulasi ditambah
dengan cairan yang berasal dari lingkungan eksraseluler. Keadaan ini bisa
menjurus ke hemodilusi jika penderita diberi cairan melalui infus tanpa plasma
atau darah. Gangguan yang akan menyusulnya ialah tekanan osmotik dan O2
(PO2) menurun. Keadaan buruk ini akan lebih fatal, jika jantung ikut terkena
trauma juga, sehingga “output” jantung menjadi kecil dan tekanan vena sentral
meninggi. Komplikasi yang memperberat keadaan di atas disebabkan oleh
berkembangnya asidosis. Pada hari pertama pasien masih tidak sadar,
pernafasannya terganggu, refleks batuk dan menelan belum pulih, sehingga
mudah terjadi depresi pernapasan dengan bronkopneumonia aspirasi, kemudian
PO2 arterial menurun dan PCO2 meningkat. Keadaan ini menyebabkan takikardi
yang lebih memperburuk curah jantung lagi. Keadaan asidosis menyebabkan
“blood brain barrier” mengalami kerusakan dan timbullah edema serebri, yang
lebih mengurangi aliran darah ke otak. Gambaran klinisnya ialah koma dengan
tanda-tanda “shock” dan hiperpireksia.
Penderita kontusio bisa memperlihatkan sindrom metabolik lain, sebagai
manifestasi ikut terkenanya hipotalamus. Bila otak tergeser, terjadi traksi
terhadap hipotalamus karena hipofise terfiksasi di dalam sela tusika, tetapi
tangkainya bisa terbentang terlampau jauh. Karena itu produksi hormon
antidiuretik (ADH) oleh bagian rostral dari hipotalamus, bisa menurun atau
terhenti. Hal ini menyebabkan menurunnya ekskresi urin, menurunnya
osmolalitas plasma dan menurunkan konsentrasi natrium dan klorida serum.
Natrium plasma kurang dari 115-118 mEKL, sel-sel otak tidak akan berfungsi
baik, dan timbul “confusion”, apatia, stupor, dan koma. Gejala-gejala tersebut
merupakan manifestasi dari hiponatremi karena dilusi.
VII. Perdarahan subdural
Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis
walaupun traumanya mungkin tidak berarti sehingga tidak terungkap oleh
anamnesis. “bridging veins” sering kali berdarah, hal ini dikarenakan tarikan
terjadi penggerseran rotatorik pada otak. Perdarahan ini paling sering terjadi
pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal,
sesuai dengan distribusi “bridging veins” (100-200cc). Perdarahan ini bisa
berhenti sendiri hingga 10-20 hari, di mana darah yang diserap meninggalkan
jaringan yang kaya akan dengan pembuluh darah. Di situ bisa timbul lagi
perdarahan-perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom
subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil-
kecil dan pembentukan suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan
sisa darah (higroma). Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom atau jauh
setelah trauma kapitis. Adanya “latent interval”, masa tanpa keluhan, dimana
pasien mengeluh sakit kepala atau pening. Tetapi apabila di samping itu timbul
gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru
saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi. Gejala-gejala tersebut berupa
kesadaran yang semakin menurun, “organic brain syndrome”, hemiparese
ringan, hemihipestesia, ada kalanya epilepsi fokal dengan adanya tanda-tanda
papiledema.
VIII. Perdarahan intraserebral
Perdarahan yang terjadi berupa perdarahan kecil-kecil saja dan dan sering
terdapat pada lobus temporalis dan frontalis. Yang tersebut belakangan
berkorelasi dengan dampak pada oksiput dan yang pertama berasosiasi dengan
tamparan dari samping. Kebanyakan dari perdarahan intra lobus temporalis
justru ditemukan pada sisi dampak. Biasanya perdarahannya akan direorganisasi
dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini menimbulkan
manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
IX. Perdarahan epidural
Pembuluh darah yang berada di bawah fraktur tulang tengkorak bisa ikut terluka
sehingga menimbulkan perdarahan. Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh
darah bisa pecah juga karena gaya kompresi yang timbul akibat dampak. Lebih-
lebih jika tidak terdapat fraktur tengkorak, perdarahan epidural akan cepat
menimbulkan gejala-gejala. Perdarahan epidural tanpa fraktur akan
menyebabkan tekanan intrakranial yang akan cepat meningkat. Jika ada fraktur,
maka darah bisa keluar dan membentuk hematom subperiosteal (sefalhematom).
Juga tergantung pada arteri dan vena yang pecah maka penimbunan darah
ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau perlahan-lahan. Bila arteri yang pecah
dengan atau tanpa fraktur linear ataupun stelata, manifestasi neurologik akan
terjadi beberapa jam setelah trauma kapitis, yakni kesadaran yang menurun
secara progresif (sindrom kompresi serebral traumatik). Pupil pada sisi
perdarahan pertama-tama sempit, kemudian melebar dan tidak bereaksi terhadap
penyinaran cahaya. Hal ini merupakan tanda dari herniasi tentorial. Gejala-
gejala respirasi yang timbul mencermikan tahap-tahap disfungsi retrokaudal
batang otak. Saat tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai
hemiparesis atau serangan epilepsi fokal. Dekompresi dapat menyelamatkan
keadaan.
X. Trauma kapitis dan saraf otak
Saraf-saraf otak dapat terkena trauma kapitis oleh karena :
1) Trauma langsung.
2) Hematom yang menekan pada saraf otak.
3) Traksi terhdap saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi.
4) Kompresi serebral traumatik akut yang secara sekunder menekan batang
otak.
Saraf otak pertama bisa terputus oleh karena fraktur os kribiforme atau tertarik
oleh penggeseran otak akibat akselerasi, sehingga anosmia timbul. Trauma pada
bagian depan kepala bisa menimbulkan hematom di orbita atau fraktur tulang
orbita yang menimbulkan gangguan saraf otak ketiga, keempat dan keenam
secara tersendiri atau dalam kombinasi. Pada proses kompresi serebral traumatik
akut, batang otak tertekan karena herniasi tentorial atau herniasi unkus, sehingga
timbul kelumpuhan okular akibat gangguan n.okulomotorius dan n.troklearis.
perdarahan di tegmentum batnag otak yang menduduki daerah antara nukleus
n.okulomotorii atau n.abducentis bisa menimbulkan oftalmoplegia
internuklearis. N.abdusen bisa lumpuh tersendiri dan unilateral. Secara umum,
kelumpuhan saraf otak-saraf otak okular dapat pulih kembali.
Bila cabang n.trigeminus terkena dapat menimbulkan gejala defisit sensorik
pada daerah distribusi cabang yang terkena. N.fasialis ikut terkena bila ada
fraktur os petrosum dan akan tampak ada darah di kavum timpani dengan
laserasio gendang telinga.
Tuli akibat trauma dijumpai pada kasus dengan fraktur pars petrosa os
temporale dan disebabkan oleh perdarahan di labirin pars osea. Vertigo
merupakan keluhan utama akibat kontusio berkorelasi dengan edema atau
perdarahan di labirin.
Terganggunya nervus 10, 11, dan 12 disebabkan oleh hematom di fosa serebri
posterior atau fraktur baseos kranii. Gejala-gejala serebral (ataksia, nistagmus,
dan disartria) bisa dijumpai.
XI. Cairan serebrospinal dan trauma kapitis
Kira-kira 2% dari kasus rauma kapitis akan memperlihatkan komplikasi rinorre,
yaitu merembesnya cairan serebrospinal melalui hidung. Dalam hal ini dura dan
araknoid terobek sedikit oleh fraktur lamina kribosa. Jika fraktur pars petrosa os
temporale merobek selaput otak likuor bisa merembes keluar dari liang telinga.
E. Kelumpuhan UMN
Kelumpuhan UMN melanda sebelah tubuh sehingga dinamakan hemiparese, hemiplegi,
atau hemiparalisis, karena lesinya menduduki kawasan susunan piramidal sesisi. Di
batang otak daerah susnan piramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3, ke-6, ke-7, dan
ke-12, sehingga lesi yang merusak kawasan piramidal batang otak sesisi mengakibatkan
hemiplegia yang melibatkan saraf otak secara khas dan dinamakan hemiplegia alternans.
Lesi sesisi atau hemilesi yang sering terjadi di otak jarang dijumpai di medula spinalis,
sehingga kelumpuhan UMN akibat lesi di medula spinalis pada umumnya berupa
tetraplegia atau paraplegia.
Kelumpuhan UMN ditandai dengan peningkatan pada pemeriksaan refleks fisiologis,
didapatkannya refleks patologis, tidak terjadi atrofi otot, dan terjadinya spastisitas dari
otot.
Kelumpuhan UMN dapat dibagi dalam :
1. Hemiplegia akibat hemilesis di korteks motorik primer
Kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan UMN
pada belahan tubuh sisi kontralateral yang dikenal dengan hemiparalisis atau
hemiplegia. Akan terdapat perbedaan derajat kelumpuhan antara lengan dan tungkai.
Perbedaan lebih nyata apabila hemiplegia disebabkan oleh lesi vaskular di tingkat
korteks dan hampir tidak ada perbedaan jika lesi penyebab bersifat vaskular di
kapsula interna.
Pada tahap pertama hemiparese karena lesi kortikal sesisi, otot-otot wajah yang
berada di atas fissura palpebrae masih dapat digerakan secara wajar. Pada tahap
pertama ini lidah akan menunjukan kelumpuhan pada sisi kontralateral, yang akan
menyimpang ke sisi yang lumpuh. Kelumpuhan-kelumpuhan tersebut pada tahap
berikutnya akan memperlihatkan perbaikan, bahkan dapat sembuh sempurna,
kendatipun kelumpuhan pada anggota gerak masih cukup jelas.
Kelumpuhan sesisi pada otot-otot yang dipersarafi oleh n.vagus dan n.glosofaringeus
sebagai jalan bagian dari hemiplegia, pada tahap dini ditandai dengan kesukaran
menelan.
Pada penyumbatan/trombosis cabang kortikal a.cerebri media akan menimbulkan
kelumpuhan sisi kontralateral. Tumor di falks cerebri menekan pada kedua sisi
korteks piramidalis, maka kedua daerah somatotopik kedua tungkai bisa mengalami
gangguan (paraplegia).
Lesi yang merusak korteks piramidalis terjadi pada area 4, daerah di depan dan
belakangnya, sehingga ditemukan gejala pengiring hemiplegi berupa hipestesia atau
gangguan berbahasa (afasia motorik dan afasia sensorik). Sehubungan dengan ikut
terlibatnya area 4s, 6 dan 8, maka hemiplegi piramidal disertai gejala-gejala tambhan
seperti hipertoni yang bersifat spastik, ‘forced crying’ atau ‘forced laughing’, dan
‘deviation conjugee’.
2. Hemiplegia akibat hemilesis di kapsula interna
Di genu terdapat serabut-serabut yang menyampaikan impuls motorik untuk
motoneuron-motoneuron yang mensarafi otot-otot lengan. Penataan homonkulus
motorik selanjutnya dijumpai kembali pada kurs posterior,. Kawasan kapsula interna
dilewati oleh serabur-serabut susunan ekstrapiramidal. Maka karena itu, kelumpuhan
akibat lesi di kapsula interna hampir selamanya disertai hipertonia yang khas dan
tanda-tanda UMN lainnya cepat timbul secara jelas. Spastisitas hanya dapat
ditemukan pada sekelomopk otot tertentu yang lumpuh saja, sehingga menimbulkan
gerakan abnormal. Mislanya, mengepal dilakukan dengan klancar namun ketika
kepalan disuruh untuk dibuka, jari-jari tangan tidak mampu untuk
mengembangkannya.
Tergantung dari arteri yang tersumbat, maka lesi vaskular yang merusak kapsula
interna dapat melibatkan bangunan-bangunan fungsional lainnya juga (radiasio
optika, nukleus kaudatus, dan putamen). Oleh karena itu, maka hemiplegia akibat
lesi kapsular memperlihatkan tanda-tanda kelumpuhan UMN yang dapat disertai
oleh rigiditas, atetosis, tremor, atau hemianopia.
Gangguan berbahasa tidak menyertai hemiplegi kapsular. Lidah ikut terkena
hemiparese, maka artikulasi kata-kata terganggu (pelo atau cadel = disartria).
Karena lesi di susunan piramidal, terutama akibat lesi di korteks motorik primer dan
kapsula interna, gerakan sekutu patologik dapat disaksikan pada anggota gerak yang
lumpuh ringan ketika gerakan voluntar tertentu dilakukan. Sifat patologiknya dapat
dijelaskan, oleh karena pada orang normal tidak timbul. Contoh gerakan fisiologik
yang mengiringi gerakan voluntar, kedua tangan berlenggang sewaktu berjalan,
ekspresi wajah saat berpidato, dan seterusnya. Gerakan fisiologik hilang pada
penderita penyakit akibat lesi di susunan ekstrapiramidal. Gerakan sekutu patologik
mudah dibangkitkan bila pasiennya emosional atau sedang dilanda ‘stress’. Lebih
spastik hemiparesisnya, lebih jelas dan lebih mudah gerakan sekutu patologik dapat
dibangkitkan.
3. Hemiplegia alternans akibat hemilesi di batang otak, yang dapat dirinci
dalam :
Kerusakan unilateral pada jaras kortikobulbar/kortikospinal di tingkat batang otak
menimbulkan sindrom hemiplegi alternans. Terdiri atas kelumpuhan UMN yang
melanda otot-otot balahan tubuh kontralateral yang berada di bawah tingkat lesi,
sedangkan setingkat lesinya terdapat kelumpuhan LMN, yang melanda otot-otot
yang disarafi oleh nervus kranialis yang terlibat dalam lesi.
a. Sindrom hemiplegi alternans di mesensefalon
Gambaran penyakit tersebut di atas dijumpai bilamana hemilesi di batang otak
menduduki pedunkulus serebri di tingkat mesensefalon. Nervus okulomotorius
yang akan meninggalkan mesensefalon melalui permukaan ventral melintasi
daerah yang terkena lesi, sehingga ikut terganggu fungsinya. Manifestasi
kelumpuhan n.III ialah (a) paralisis m.rektus internus (medialis), m.rektus
superior, m.rektus inferior, m.oblikus inferior dan m.levator palpebrae
superioris, sehingga terdapat : strabismus divergens, diplopia, ptosis; (b)
paralisis m.sfingter pupilae, sehingga pupil midriasis.
Jika salah satu cabang dari rami perforantes paramedialis a.basilaris yang
tersumbat, maka infark akan ditemukan di daerah yang mencakup dua pertiga
bagian lateral pedunkulus cerebri dan daerah nukleus ruber. Oleh karena itu,
hemiparese alternans yang ringan sekali tidak saja disertai oleh paresis ringan
n.III, akan tetapi dilengkapi juga dengan adanya gerakan involuntar pada lengan
dan tungkai yang paretik ringan (di sisi kontralateral).
b. Sindrom hemiplegi alternans di pons
Sindrom ini juga disebabkan oleh lesi vaskular unilateral. Lesi vaskular di pons
dapat dibagi dalam :
1) Lesi paramedien akibat penyumbatan salah satu cabang dari rami
perforantes medialis a.basilaris.
2) Lesi lateral, yang sesuai dengan kawasan perdarahan cabang
sirkumferens yang pendek
3) Lesi di tegmentum bagian rostral pons akibat penyumbatan a.serebeli
superior
4) Lesi di tegmentum bagian kaudal pons, yang sesuai dengan kawasan
perdarahan cabang sirkumferens yang panjang.
Hemiplegi alternan akibat lesi di pons adalah selamanya kelumpuhan UMN
yang melibatkan belahan tubuh sisi kontralateral, yang berada di bawah
tingkat lesi, yang berkombinasi dengan kelumpuhan LMN pada otot-otot
yang disarafi oleh nervus abdusens atau nervus fasialis dan gejala-gejala
okular.
c. Sindrom hemiplegi alternans di medula spinalis
Kawasan-kawasan vaskularisasi di medula oblongata ternyata sesuai dengan
area lesi-lesi yang mendasari sindrom hemiplegia alternans di medula
oblongata. Paramedian medula oblongata diperdarahi oleh cabang a.vertebralis.
Lateralnya mendapat vaskularisasi dari a.serebeli inferior posterior, bagian
dorsalnya diperdarahi oleh a.spinalis posterior dan a.serebeli inferior posterior.
Lesi unilateral yang menghasilkan hemiplegi alternans menduduki kawasan
piramis sesisi dan harus dilintasi oleh radiks nervus hipoglosus. Maka dari itu
kelumpuhan UMN yang terjadi melanda belahan tubuh kontralateral yang
berada di bawah tingkat leher dan diiringi oleh kelumpuhan LMN pada belahan
lidah sisi ipsilateral.
4. Tetraplegia/kuadriplegia dan paraplegia akibat lesi di medula spinalis di atas
tingkat konus.
Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral
menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di bawah
tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang medula spinalis pada tingkat servikal,
misalnya C5-, mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot tubuh yang berada
di bawah C5, yaitu sebagian dari otot-otot kedua lengan yang berasal dari miotoma
C6-C8, otot-otot toraks dan abdomen serta segenap muskulatur kedua tungkai.
Kelumpuhan ini disebut tetraplegi atau kuadriplegi.
Lesi transversal yang merusak C5 tidak saja memutuskan jaras kortikospinal lateral,
melainkan kut memotong segenap lintasan asenden dan desenden lain. Disamping
itu kelompok motoneuron yang berada di dalam segmen C5 ikut rusak. Ini berarti
bahwa pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan LMN. Akibat ikut terputusnya lintasan
somatosensorik dan lintasan autonom neurovegetatif asenden dan desenden, maka
dari tingkat lesi ke bawah, penderita kuadriplegik :
a) Tidak dapat merasakan apapun
b) Tidak bisa buang air besar dan kecil
c) Tidak memperlihatkan reaksi neurovegetatif.
Lesi transversal yang memotong medula spinalis pada tingkat torakal atau tingkat
lumbal atas, mengakibatkan kelumpuhan, yang pada dasarnya adalah pada tingkat
lesi terjadi kelumpuhan LMN dan di bawah tingkat lesi terdapat kelumpuhan UMN.
Kelumpuhan LMN di tingkat lesi melanda kelompok otot yang sebagian kecil dari
muskulator toraks atau abdomen (tidak begitu jelas dibanding anggota gerak).
Tingkat lesi transversal di medula spinalis mudah terungkap oleh batas defisit
sensorik. Di bawah batas tersebut tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua
tungkai secara lengkap, namun pada toraks tidak dapat diungkapkan. Tanda UMN
satu-satunya yang dapat dibangkitkan pada otot abdomen ialah hipertonia. Oleh
karena tonus otot abdominal meningkat maka refleks otot dinding perut meninggi
(refleks kulit dinding perut menghilang). Kelumpuhan yang melanda bagian bawah
tubuh, yang terlukis di atas dinamakan paraplegia.
Lesi di segmen-segmen lumbal paling bawah dan sakral merusak motoneuron-
motoneuron berikut dengan terminalia serabut-serabut kortikospinal, sehingga
kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi itu bersifat LMN.
Paraplegi dan kuadriplegi dapat disebabkan oleh infeksi, reaksi imunopatologik, dan
trauma berat.
F. Pemeriksaan klinis cedera kepala
Pemeriksaan klinis tetap merupakan pemeriksaan yang komprehensif dalam evaluasi
diagnostik penderita-penderita cedera kepala, di mana dengan pemeriksaan-pemeriksaan
serial yang cepat, tepat, dan noninvasif diharapkan dapat menunjukan progresivitas atau
kemunduran dari proses penyakit atau gangguan tersebut. Dalam evaluasi klinis perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut sehubungan dengan tingginya insidensi
kelainan/cedera sistemik penyerta pada kasus-kasus cedera kepala berat :
1. Cedera daerah kepala ekstrakranial : laserasi, perdarahan, otorre, rinorre, Racoon’s
eyes (ekimosis preiorbital), atau Battle’s sign (ekimosis preaurikuler).
2. Cedera daerah spinal. Trauma kepala dan spinal khususnya daerah servikal dapat
terjadi secara bersamaan dan cedera kombinasi ini harus selalu dipikirkan (2-5%),
pada semua penderita cedera kepala harus diasumsikan disertai cedera servikal sampai
terbukti baik secara klinis atau radiologis bahwa tidak ada cedera servikal.
3. Cedera daerah toraks : fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, tamponade jantung
(bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi), aspirasi atau ARDS
(Acute Respiratory Distress Syndrome).
4. Cedera daerah abdomen : khususnya laserasi hepar, limpa atau ginjal. Adanya
perdarahan biasanya ditandai dengan gejala-gejala akut dari abdomen yang tegang dan
distensif. Gejala ini sering kali belum menunjukan manifestasi pada saat dini atau
tidak begitu jelas pada saat koma.
5. Cedera daerah pelvis : cedera pada penderita yang nonkomatus. Klinisnya tidak begitu
jelas dan memerlukan konfirmasi radiologis. Cedera pelvis sering kali berkaitan
dengan kejadian kehilangan darah yang okult.
6. Cedera ekstremitas yang dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot,
saraf, pembuluh darah). Terapi definitif dari cedera-cedera yang melibatkan
ekstremitas kebanyakan dapat ditunda sampai setelah masalah-masalah yang
mengancam jiwa dapat teratasi.
Pemeriksaan yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di gawat darurat :
1. Tingkat kesadaran. Dapat dinilai dengan skala Glasgow (GCS) yang merupakan
gradasi sederhana dari arousal dan kapasitas fungsional korteks serebral berdasarkan
respon verbal, motorik, dan mata penderita. Untuk fungsional batang otak dinilai dari
respon pupil dan gerakan bola mata.
Glasgow Coma Scale
Glasgow Coma Scale (GCS) mendefinisikan keparahan TBI dalam waktu 48 jam dari
cedera.
Membuka mata
• Spontan = 4
• Berdasarkan perintah verbal = 3
• Berdasarkan ransang nyeri = 2
• Tidak ada respon = 1
Respon motorik
• Mengikuti perintah = 6
• Membuat gerakan lokalisasi rasa sakit = 5
• Membuat gerakan penarikan terhadap rasa sakit = 4
• Fleksor (dekortikasi) sikap terhadap nyeri = 3
• Ekstensor (decerebrate) sikap terhadap nyeri = 2
• Tidak ada respon = 1
Respon verbal
• Berorientasi pada orang, tempat, dan tanggal = 5
• Percakapan kacau = 4
• Kata-kata kacau = 3
• Mengerang = 2
• Tidak ada respon = 1
Tingkat keparahan TBI menurut skor GCS (dalam waktu 48 jam) adalah sebagai
berikut:
• berat TBI = 3-8
• TBI Sedang = 9-12
• Mild TBI = 13-15
2. Kekuatan fungsi motorik. Masing-masing ekstremitas digradasi kekuatannya dengan
skala sebagai berikut :
5 : normal
4 : menurun tapi masih mampu melawan tahanan pemeriksa
3: mampu melawan gravitasi
2 : mampu menggeser ekstremitas
1: mampu bergerak tapi tidak mampu menggeser
0 : tidak ada gerakan sama sekali
3. Ukuran pupil, bandingkan antara kanan dan kiri, dan responnya terhadap cahaya. Hal
ini merupakan pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala. Disrupsi
lengkung aferen refleks cahaya pupil dideteksi dengan tes penyinaran indirek (refleks
cahaya indirek) untuk memeriksa N. Optikus.
Dilatasi dan perlambatan respon cahaya pupil : gejala dini dari herniasi lobus
temporal
Miosis pupil bilateral : fase dini dari herniasi sefalik sentral. Selanjutnya akan
terjadi dilatasi pupil dan paralisa respon cahayanya.
Hippus (dilatasi dan konstriksi pupil spontan) : pola respirasi Cheyne stokes. Tanda
intregritas fungsional jaras simpatis - parasimpatis pupil.
Pupil kecil bilateral : pada penderita yang menggunakan obat-obat tertentu (opium,
morfin, dan sebagainya).
Miosis pada kasus dengan lesi pons : inaktivasi struktural atau fisiologis dari jaras
simpatis yang turun dari hipotalamus melalui sistem aktivasi retikuler ke medula
spinalis.
Pupil horner unilateral : lesi batang otak, putusnya jaras simpatis eferen pada
daerah apex paru, leher bagian bawah atau carotid sheath ipsilateral.
Dilatasi pupil yang menetap : ceera saraf okulomotor traumatik.
Pupil midriasis (> 6mm) : trauma langsung pada mata, unilateral, dan tidak disertai
dengan paresis okuler.
Pupil dilatasi bilateral dan menetap : perfusi serebral yang tidak adekuat seperti
hipotensi akibat kehilangan daerah, atau gangguan aliran darah serebral karena
peningkatan tekanan intrakranial.
4. Gerakan bola mata (refleks okulosefalik dan vestibuler). Gerakan bola mata
merupakan indeks penting untum untuk penilaian aktivitas fungsional batang otak
(formatio retikularis). Penderita yang sadar penuh dan mempunyai gerakan bola mata
yang baik menandakan bahwa sistem motorik okuler di batang otaknya intak.
Padakesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga
untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.
G. Pemeriksaan diagnostik
a) Foto Polos Tengkorak
Pemeriksaan ini mulai ditinggalkan dan diganti dengan pemeriksaan CT-Scan atau
MRI. Dari pemeriksaan ini dapat didapatkan informasi antara lain :
Fraktur tulang kepala, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang lokasi dan
tipe fraktur, baik bentuk linier, stelata atau depresi.
Adanya benda asing.
Pneumocephalus (udara yang masuk ke rongga tengkorak).
Brain shift, kalau kebetulan ada kasifikasi kelenjar pineal.
b) Angiografi Serebral
Merupakan suatu prosedur ang invasif namun cenderung lebih bermanfaat untuk
memperkirakan diagnosis adanya suatu hematom/perdarahan intrakranial beserta
penanganannya, khususnya dimana belum tersedianya sarana sken komputer
tomografi otak. Pemeriksaan ini ditujukan untuk menunjukan adanya pergeseran
pembuluh-pembuluh darah serebral besar dan lokasi zona (avaskuler) suatu hematom.
Walaupun pergeseran ini tidak dapat membedakan tampilan adanya suatu edema atau
suatu hematom, corak ini dapat menentukan lokasinya.
c) Sken Komputer Tomografi Otak
Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standart terpilih untuk kasus cedera
kepala mengingat selain prosedur ini tidak invasif, juga memiliki kehandalan yang
tinggi. Akan dapat diperoleh informasi yang lebih jelas tentan glokasi dan adanya
perdarahan intrakranial, edema, kontusi, udara, benda asing intrakranial, serta
pergeseran struktur di dalam tengkorak.
d) MRI
MRI memiliki keunggulan untuk melihat perdarahan kronis maupun kerusakan otak
yang kronis. MRI mampu memberikan gambaran yang lebih jelas terutama untuk
memberi identifikasi yang lebih jelas lesi hipodens pada CT-Scan atau lesi yang sulit
dibedakan densitasnya dengan korteks.
H. Penanganan cedera kepala
Penanganan penderita cedera kepala berpatokan terhadap “6B” yakni :
Breathing (Jalan Napas dan Pernapasan)
Perhatikan adanya obstruksi jalan napas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-
tindakan : suction, intubasi, trakeostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila
perlu. Sangat penting diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernapasan penderita.
Blood (Sirkulasi Darah)
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb,
leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya
suatu peninggian tekanan intrakranial. Tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya
denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan (kebanyakan
bukan dari kepala/otak) dan memerlukan tindakan transfusi.
Brain (Otak)
Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, fungsi
motorik, dan fungsi verbal. Perubahan respon ini merupakan implikasi adanya
perbaikan/perburukan cedera kepalanya, dan bila pada pemantauan menunjukan adanya
perburukan, kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil serta
gerakan-gerakan bola mata.
Bladder (Kandung Kencing)
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa
kandung kemih yang penuh akan dapat menyebabkan penderita mengejan sehingga
tekanan intrakranial cenderung lebih meningkat.
Bowel (Sistem pencernaan)
Usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan tekanan intrakranial.
Bone (Tulang)
Adanya fraktur menyebabkan nyeri yang juga pada gilirannya akan mengakibatkan
kenaikan tekanan intrakranial. Sehingga penanganan kelainan tulang sehubungan dengan
trauma yang dialami penderita juga harus dilakukan secara adekuat.
Penanganan Berdasarkan Klasifikasi Derajat Cedera Kepala
a. Cedera kepala ringan (GCS : 14-15)
Mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat
oenurunan kesadaran atau pingsan, riwayat adanya amnesia serta kleuhan-keluhan lain
yang berkaitan dengan peninggian tekanan intrakranial seperti : nyeri kepala, pusing,
dan muntah. Amnesia retrogard cendering merupakan tanda ada-tidaknya trauma pada
kepala, sedangkan amnesia anterogard berkonotasi kepada berat-ringannya cedera
kepala yang terjadi.
Pemeriksaan fisik ditekankan untuk menyingkirkan adanya gangguan sistemik
lainnya, serta mendeteksi defisit neurologis yang mungkin ada.
Pemeriksaan foto polos kepala (radiologis) untuk mengetahui adanya fraktur
tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar pineal, pneumosefalus, korpus alinenum,
dan lain-lain. Foto servikal atau bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai indikasi. CT-
Scan idealnya perlu dilakukan.
Indikasi rawat inap :
Amnesia antegard/pascatrauma
Adanya riwayat oenurunan kesadaran/pingsan
Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat moderat sampai berat
Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
Adanya fraktur tulang tengkorak
Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (otorre/rinorre)
Cedera berat bagian tubuh lain
Indikasi sosial (tidak ada keluarga/pendamping di rumah)
Pasien rawat jalan diminta untuk segera kembali ke rumah sakit apabila didapatkan :
Mengantuk dan sukar dibangunkan
Mual dan muntah
Kejang
Salah satu pupil melebar atau adanya tampilan gerakan mata yang tidak biasa
Kelumpuhan anggota gerak satu sisi
Nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat
Kacau/bingung, tidak mampu berkonsentrasi, terjadi perubahan personalitas
Gaduh, gelisah
Perubahan denyut nadi atau pola pernapasan
Pusing hebat
b. Cedera kepala sedang
Penanganan yang dilakukan mulai dari anamnesa sampai dengan pemeriksaan CT
Scan kepala, pasien juga mempunyai indikasi untuk dirawat. Hari pertama perawatan
harus dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, dan CT Scan
kepala setelah hari ketiga atau didapatkan perburukan neurologis.
c. Cedera kepala berat
Sangat diperlukan penangangan yang cepat dan tepat. Penanganan pada kasus-kasus
ini mencakup tujuh tahap :
1) Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC. Hipoksemi, anemia
dan hipotensi akan cenderung memperhebat peninggian tekanan intrakranial dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita memerlukan tindakan
intubasi.
2) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-
gangguan di bagian tubuh lainnya.
3) Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan
pupil, refleks okulosefalik dan refleks okulovestibuler. Pemeriksaan neurologis
kurang bermanfaat bila tekanan darah rendah.
4) Penanganan cedera-cedera di bagian lainnya
5) Pemberian pengobatan seperti : antiedem serebri, antikejang, dan natrium
bikarbonat.
6) Pemeriksaan diagnostik
Pemilihan Tindakan Operasi atau Konservatif pada Kasus Cedera Kepala
Indikasi tindakan operasi :
1) Lesi massa intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah
(pembuluh darah serebral anterior) yang melebihi 5mm.
2) Lesi massa ekstra-aksila yang tebalnya melebihi 5mm dari tabula interna
tengkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri serebri anterior atau media.
3) Lesi massa ekstra-aksial bilateral dengan tebal melebihi 5mm dari tabula eksterna
(kecuali bila ada atrofi otak).
4) Lesi massa intra-aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi hebat dari
arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah.
Terapi Medikamentosa pada Cedera Kepala
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah obat-obatan golongan
dexamethason (dosis awal 10mg kemudian dilanjutkan 4mg setiap 6 jam), manitol 20%
(dosis 1-3mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema serebri yang terjadi.
Namun sebagian mengatakan tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk
menurunkan tekanan intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun
dexamethason. Dearden dan Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak
memberikan perbedaan signifikan pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak
ada perbedaan outcome yang signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia
(50%), perdarahan traktus gastrointestinal (85%). Hal ini masih kontroversi mana yang
terbaik.
Obat-obat antikejang seperti golongan fenitoin masih kontroversi sehubungan dengan
variasi insidens epilepsi pascatrauma. Namun, data statistik beberapa penilitian
menunjukan nilai isidensi epilepsi sebesar 5% dari semua kasus yang dirawat dan 15%
dari kasus cedera kepala berat, dimana hal ini dikaitkan dengan : adanya kejang dalam
waktu 1 minggu pertama, hematom intrakranial, dan fraktur depres tengkorak. Dalam hal
ini dianjurkan untuk memberikan fenitoin sebagai terapi profilaksis sedini mungkin (24
jam pertama) untuk mencegah fokus epileptigonik. Untuk penggunaan jangka panjang
dilanutkan dengan karbamazepin.
Untuk mengurangi tekanan intrakranial dapat digunakan THAM (Tris-hidroksil-metil-
aminometana) dan barbiturat. Barbiturat juga mempunyai efek protektif terhadap otak
untuk proteksi terhadap anoksia dan iskemik. Dosis awal 10mg/kgBB dalam 30 menit
dan kemudian dilanjutkan dengan bolus 5mg/kgBB setiap tiga jam serta drip
1mg/kgBB/jam untuk mencapai kadar serum 3-4mg%.
I. Komplikasi
1) Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-
25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor
risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
2) Demam dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk
“outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.
Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain
dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
3) Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan.
Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem
ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil
udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.
4) Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan.
Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.
Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan
kontraktur, Bantuan dalam posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan
splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum,
benzodiasepin
5) Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk
delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi
akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan
farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi,
antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
6) Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik
setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun
setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi
termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%,
gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi
62%.
Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan
gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem
gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae
dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat
memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan
minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita,
beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik
dengan antidepresan.
7) Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1
bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif
terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori, afektif: iritabel,
cemas, depresi, emosi labil.
J. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang
terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan
memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang
untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan
dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh
tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan
masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa
kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali
masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun
kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita
sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi
untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing,
sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke
belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi
lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan
adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan
pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan
ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse
dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah. Syok biasanya
disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.
Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,
meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada
lengan atas dan bawah tubuh.
b) Perlengkapan splint dan kaliper
c) Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman
kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian
financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a) Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga
penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b) Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).
K. Prognosis
Prognosis ditetapkan berdasarkan keadaan kesadaran pada saat pasien masuk semua
penderitamendapat terapi agresif menurut konsultasi dari ahli bedah saraf. Terutama
pada anak-anak yangmempunyai daya pemulihan yang baik. Penderita usia lanjut
biasanya mempunyai kemungkinanyang lebi rendah untuk pemulihan dari cedera kepala.
Pasien dengan GCS yang rendah pada 6-24 jam setelah trauma, prognosisnya lebih buruk
daripada pasien dengan GCS 15.
Daftar Pustaka
1. Mardjono M, Sidharta P. Trauma Kapitis. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat.2008.248-57.
2. Satyanegara. Trauma Kepala. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.2010.189-224.
3. Anurogo D. Neurologi Update 2008: Cedera Kepala Traumatik. Diunduh dari
http://www.kabarindonesia.com pada tanggal 8 April 2013.
4. Segun T Dawodu, MD, JD, MBA, LLM, FAAPMR, FAANEM. Traumatic Brain
Injury (TBI) – Definition, Epidemiology, Pathophysiology. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/326510-overview#showall pada tanggal 8
April 2013.
5. Dewanto, George, dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Saraf.EGC.Jakarta.2009.