produksi ternak perah
TRANSCRIPT
PAPER PRAKTIKUMPRODUKSI TERNAK PERAH
Oleh :
DEWI PURWATI23010112130115
KELOMPOK : II E
PROGRAM STUDI S-1 PETERNAKANFAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGOROSEMARANG
2015
Judul : PAPER PRAKTIKUM
Nama Mahasiswa : DEWI PURWATI
Nomor Induk Mahasiswa : 23010112130115
Kelompok / Kelas : DUA / E
Program Studi / Jurusan : S-1 PETERNAKAN / PETERNAKAN
Fakultas : PETERNAKAN DAN PERTANIAN
Tanggal Pengesahan : 17 APRIL 2015
Menyetujui,
Asisten Pembimbing
Diky Trizana
NIM. 23010112130182
Dosen Pengampu
Dian Wahyu H., Drh
NIP. 19801214 200501 1 001
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan menjadi salah satu faktor peningkatan
kesadaran masyarakat akan pentingnya kebutuhan gizi. Kebutuhan gizi dapat
berupa protein nabati dari tumbuhan dan protein hewani dari ternak. Sapi perah
merupakan salah satu penyuplai sumber protein hewani baik dari produk daging
maupun susu sehingga perlu adanya peningkatan kualitas susu meliputi cara
memanajemen sapi perah mulai dari perkandangan sampai menjadi susu yang
baik.
Kualitas susu meliputi solid non fat (SNF), lemak, dan total plate count
(TPC) menjadi pertimbangan dalam penjualan susu segar dan penyesuaian harga
susu tingkat peternak. Masa mendatang, terbuka peluang meningkatnya
permintaan susu segar dengan kualitas yang semakin baik. Kadar protein dapat
menjadi pertimbangan konsumen dalam mengkonsumsi susu segar, untuk
memenuhi kebutuhan gizi anak-anak balita dan anak usia sekolah, agar mencapai
pertumbuhan dan tingkat kecerdasan yang baik. Susu berkadar protein tinggi juga
diperlukan dalam proses olahan untuk menghasilkan produk-produk olahan susu
berkualitas. Perlu adanya pemahaman terhadap peningkatan kualitas susu meliputi
hubungan antara fisiologi lingkungan, fisiologi ternak, ambing dan kualitas susu
yang baik
Tujuan paper praktikum ini adalah dapat mengetahui dan memahami
tentang fisiologi lingkungan, fisiologi ternak, anatomi ambing dan kualitas susu
yang baik.
BAB II
ISI
Sapi Perah Friesian Holstein
Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan salah satu ternak penghasil susu.
Sapi FH masuk ke Indonesia sekitar abad ke-19. Asal sapi perah FH dari Holland
(Propinsi Holland Utara dan Friesland Barat). Nenek moyang sapi liar Bos
(Taurus) Typicus Primigenius dan telah diternakan di Holland sekurang-
kurangnya 2000 tahun. Karakteristik sapi ini adalah mempunyai berat badan
sekitar 1500 pon untuk betina dan 2200 pon untuk jantan, berproduksi susu tinggi
yaitu 4000-4500 liter, pertumbuhan yang cepat memungkinkan dapat
menghasilkan karkas (Ustman, 1981).
Sumber: id.wikipedia.org Ilustrasi 1. Sapi Perah FH
Sapi FH betina sebagian besar berasal dari Australia dan New Zealand,
dengan proporsi lebih kecil dari AS. Sapi FH pejantan unggul sebagai sumber
semen beku yang diproduksi oleh BIB Nasional, didatangkan dari banyak negara,
sehingga merupakan sumber materi genetik sapi FH dari banyak galur, seperti dari
Australia, New Zealand, Jepang, AS dan Kanada (Anggraeni, 2012). Ciri-ciri sapi
FH yaitu memiliki warna bulu belang hitam putih, dibagian dahi umumnya
terdapat warna putih berbentuk segitiga, kaki bagian bawah dan bulu ekornya
berwarna putih, serta tanduk pendek dan menjurus ke depan. Sapi FH biasanya
lambat dewasa, bersifat jinak dan tenang, mudah beradaptasi sehingga mudah
ditemui di seluruh penjuru dunia (Syarif & Harianto, 2011).
Fisiologi Lingkungan Sapi Perah
Fisiologi lingkungan mempengaruhi produktivitas sapi perah kerena sapi
perah FH dapat berproduksi saat berada pada lingkungan yang nyaman (sesuai).
Fisiologi lingkungan terdiri dari iklim makro dan mikro. Iklim makro meliputi
suhu, kelembaban udara, radiasi dan kecepatan angin, evaporasi dan curah hujan.
Suhu, kelembaban udara, radiasi dan kecepatan angin mempengaruhi
produktivitas ternak secara langsung, sedangkan evaporasi dan curah hujan
mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak langsung.
Suhu nyaman sapi FH antara 13 – 25 oC. Produksi sapi FH terbaik pada
suhu lingkungan 18,3o C dengan kelembaban 55%. Suhu udara yang lebih tinggi
dari suhu nyaman menyebabkan sapi FH mengalami cekaman, sedangkan sapi FH
akan mengalami kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih
rendah dari suhu nyaman.
Produksi sapi FH terbaik pada kelembaban 55% Yani dan Purwanto
(2006). Kelembaban menunjukan kandungan air dalam udara. Kelembaban tinggi
dapat menghambat proses pengeluaran panas tubuh ternak. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pengeluaran panas yaitu luas permukaan tubuh dan pori-pori kulit.
Hal ini sesuai dengan pendapat Jalur utama pelepasan panas melalui mekanisme
evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui
permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran
pernapasan (panting) (Yani dan Purwanto, 2006).
Unsur radiasi yang berperan langsung terhadap produktivitas sapi FH.
Radiasi matahari berpengaruh terhadap produktivitas sapi FH karena radiasi
menjadi penyuplai panas pada tubuh ternak. Menurut Yani dan Purwanto (2006),
perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara sensible melalui
mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Radiasi menyuplai panas secara
langsung atau tanpa bahan perantara. Radiasi ini menimbulkan dampak negatif
pada ternak terutama pada siang hari sekitar pukul 13.00-14.00 karena pada waktu
tersebut intensitas radiasi matahari mencapai 480 kKal/m2/jam. Waktu tersebut
menyebabkan ternak bernaung. Faktor yang mempengaruhi radiasi adalah warna
kulit. Semakin terang warna kulit maka daya serap panasnya semakin rendah,
begitu pun sebaliknya. Menurut Yani dan Purwanto (2006), warna terang dan
tekstur kulit yang halus dan mengkilap baik sekali untuk mengatasi pengaruh
pancaran panas radiasi matahari. Sapi FH memiliki warna kulit hitam dan putih.
Warna putih pada sapi FH menyebabkan pancaran radiasi sinar matahari yang
diserap semakin kecil (20% dari pancaran radiasi matahari) dan warna hitam
menyerap 98% pancaran radiasi matahari. Radiasi matahari maksimal dapat
diterima oleh sapi FH kurang dari 450 kcal/m2/jam.
Sumber: green-backpacker.blogspot.com Ilustrasi 2. Kandang Sapi Perah FH
Manajeman perkandangan dapat memodifikasi suhu, kelembaban udara dan
radiasi matahari yang dapat ditoleransi sapi FH. Manajemen perkandangan
dilakukan dengan memperbesar ruang kandang dengan cara meninggikan
kandang, memberikan ventilasi sebagai jalan keluar masuknya udara serta
pemilihan bahan atas berkonduktivitas rendah (daya serap panans rendah).
Ventilasi memungkinkan adanya udara atau angin yang masuk mengurangi panas
di dalam kandang. Hal ini sependapat dengan Menurut Yani dan Purwanto (2006)
bahwa pemberian kecepatan angin melalui terowongan angin yang dibuat dalam
kandang dapat menurunkan suhu (4,2 oC) dan THI (6,0) serta meningkatkan RH
(26%) dalam kandang. Atap kandang yang baik adalah bahan atap yang yang
mampu memantulkan dan menyerap radiasi sehingga dapat mengurangi
penghantaran panas ke dalam kandang. Ketinggian kandang anatara 3,6 – 4,2 m
untuk daerah-daerah yang cerah dengan sinar matahari penuh dan sekitar 2,1 – 2,7
m untuk, daerah agak berawan tinggi.
Fisiologi Ternak Sapi Perah
Fisiologi ternak sapi FH dapat dilakukan dengan cara mengukur suhu tubuh,
frekuensi nadi dan frekuensi nafas. Masing-masing pengukuran dilakukan selama
1 menit. Pengukuran suhu tubuh menggunakan thermometer sedangkan
pengukuran nadi dan napas menggunakan stetoskop. Jika tidak ada stetoskop bisa
dilakukan dengan cara meletakan tangan pada pangkal ekor selama satu menit
pada pengukuran nadi dan meletakan tangan selama satu menit pada leher untuk
pengukuran napas.
Menurut (Mauladi, 2009), suhu tubuh sapi FH antara 38,0-39,5 0C. Suhu
tubuh sapi FH yang melebihi batas normal akan mengalami cekaman panas. Ciri-
ciri sapi terkena cekaman panas yaitu konsumsi pakannya kurang, konsumsi air
menurun dari biasanya, denyut jantung dan pernapasan lebih cepat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) bahwa pengaruh yang timbul pada
sapi FH akibat cekaman panas adalah nafsu makan turun, konsumsi minum
meningkat, proses metabolisme menurun sedangkan katabolisme meningkat,
pelepasan panas melalui penguapan meningkat, konsentrasi hormon dalam darah
menurun, temperatur tubuh meningkat, respirasi dan denyut jantung dan
perubahan tingkah laku, sapi sering berteduh.
Frekuensi nadi berbeda-beda berdasarkan umur (frekuensi nadi untuk pedet
90-110 kali/menit, pedet lepas sapih 70-90 kali/menit, sapi bunting 70-90
kali/menit, pejantan dewasa 60-70 kali/menit) (Mauladi, 2009). Menurut (Yani
dan Purwanto, 2006), peningkatan denyut jantung pada sapi FH dipengaruhi oleh
suhu lingkungan. Peningkatan denyut jantung dan frekuensi nafas merupakan
bentuk respons dari proses mekanisme tubuh sapi dalam mengurangi atau
melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak. Mekanisme penyebarkan
panas yaitu dari orang yang menerima panas kemudian disalurkan ke dalam
organ-organ yang lebih dingin. Proses pemindahan panas ini ada campur tangan
pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan denyut nadi.
Frekuensi pernapasan sekitar 15-40 kali/menit (Mauladi, 2009). Pernapasan
merupakan salah satu cara untuk mengurangi cekaman panas. Pernapasan
merupakan proses pertukaran gas CO2 yang bersifat panas dan O2 yang lebih
dingin. Semakin sering ternak melakukan pertukaran gas semakin berkurang
panas yang diterima oleh ternak. Faktor yang mempengaruhi frekuensi pernapasan
adalah suhu lingkungan (Yani dan Purwanto, 2006).
Konsumsi air minum sapi perah FH pada lingkungan nyaman sebanyak 3 liter
perhari (Akbar, 2008). Diperkuat oleh (Yani dan Purwanto, 2006) yang
menyatakan bahwa konsumsi air minum sapi perah dewasa pada lingkungan
nyaman berkisar antara 3 – 3,5 liter/kiogram konsumsi bahan kering. Pemberian
air minum dapat mengurangi cekaman panas dan meningkatkan produksi susu.
Anatomi Biologis Ambing
Ambing atau kelenjar mammae berasal dari ectoderma (kelenjar kulit).
Menurut Wikantadi (1978), ambing merupakan kelenjar kulit yang diliputi oleh
bulu atau rambut, kecuali pada puting.
Perkembangan ambing terdiri dari fase embrionik, fetus, postnatal dan
perkembangan selama kebuntingan. Perkembangan embrionik ditandai dengan
munculnya mammary band, garis mammae (mammary line), pusat mamme
(mammary crest), tonjolan mammae ( mammary hillock) dan pucuk mammae
(mammary bud). Pucuk mammae dapat terletak di tengah garis ventral embrio
(Lestari, 2009).
Anatomi ambing terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian luar dan dalam.
Bagian luar terdiri dari ambing kiri dan kanan yang dipisahkan oleh sulcus
intermamaria, dan puting. Bagian dalam terdiri dari ligamentum suspensorium
medialis yang memisahkan ambing bagian kanan dan kiri, bagian-bagian kecil
berwarna merah yang merupakan sel sekretori dibungkus oleh kapsula jaringan
ikat. Sel sekretori ini menyusun alveoli, sejumlah alveoli bergabung menjadi satu
disebut lobulus, segerombolan lobulus bergabung membentuk lobi. Lobi terdapat
saluran-saluran bermuara yang lebih besar. Saluran-saluran besar ini menuju
saluran induk (major duct) berfungsi menyalurkan susu, gland cistern yang
berfungsi sebagai penampung susu sementara sebelum pemerahan, teat
merupakan suatu rongga di dalam puting susu dna terletak dibawah gland cistern.
Teat dibagi menjadi teat cistern dan teat meatus. Fungsi teat adalah sebagai
saluran keluarnya susu. (Wikantadi, 1981).
Proses pembentukan susu di ambing yang bahan bakunya diambil dari
darah. Menurut Wikantadi (1978), ambing memerlukan asupan darah sebanyak
±80% darah total glukosa, asam asetat dan asam amino untuk menghasilkan asam
amino. Bahan tersebut terdiri dari protein, karbohidrat darah (glukosa), lemak,
vitamin, mineral dan air. Protein, glukosa dan lemak diubah menjadi susu melalui
proses sintesa. Sedangkan vitamin, mineral dan air tanpa ada proses sintesa
terlebih dahulu.
Biosintesis susu terdiri dari biosintesis protein, karbohidrat dan lemak.
Sintesis protein terjadi di dalam sel epitel dikontrol oleh gen yang mengandung
materi genetik Deoxyribonucleic acid (DNA), DNA mengalami replikasi menjadi
RNA. Molekul RNA bergerak ke sitoplasma. Sebagaian besar dari ribosom terikat
pada membrane rangkap dari reticulum edoplasma sebagian lainnya terletak bebas
di sitoplasma. Asam amino tRNA kompleks bergerak dari sitoplsma ke ribosom
yang mengandung mRNA. mRNA + tRNA bergabung dengan rRNA menjadi
asam amino sebagai penyusun protein (Wikantadi, 1981).
Lemak air susu terdiri dari triglirida. Bahan pembentuk lemak yang utama
adalah asetat, asam beta-hidroksibutirat, trigliserida dari ylomicra, dan low-
density lipoprotein dan darah. Asam-asam lemak berantai pendek (C4-C14) asam
palmintat yang sintesa di dalam kelenjar susu berasal dari asetat (ruminansia) atau
glukosa (nonruminansia). Kelenjar susu tidak menggunakan acetyl-A yang berasal
dari glukosa dalam mitokondria. Beta hydrositirat juga digunakan untuk sintesi
lemak (Wikantadi, 1981).
Karbohidrat dalam susu adalah laktosa. Proses sintesa laktosa pertama
yaitu difosforilasikan pada posisi C-6. Gugus tersebut dipindahkan ke gugus C-1
oleh enzym mutase. Glukosa 1-fosfat bergabung dengan uridine triphosphate
(UTP) untuk membentuk uridine triphosphat glukosa (UDP-glukosa). UDP-
galaktosa bergabung dengan 1-galaktosa membentuk laktosa (Wikantadi, 1981).
Susu Sapi Perah
Susu merupakan salah satu produk ternak perah yang mengandung air,
lemak, protein, laktosa, vitamin, mineral. Syarat susu yang baik menurut Umar et
al., (2014), yaitu memiliki warna putih kekuningan dan tidak tembus cahaya,
komposisi rata-rata air susu sapi mengandung 3,3% protein, 3,8% lemak, 4,7%
karbohidrat, 8,76% air, dan 0,7% vitamin dan mineral. pH susu sapi berkisar
antara 6,3- 6,75. Bila pH menjadi 6 dapat disebabkan karena kolostrum atau
aktivitas bakteri pembusuk. Suwito dan Andriani, (2012) menambahkan bahwa
susu yang aman dikonsumsi apabila memiliki jumlah TPC kurang dari 1x106
cfu/ml, Salmonella negatif, E. coli negatif, Coliform 20 cfu/ml dan S. aureus
1x102 cfu/ml. Komponen susu sapi FH menurut Wikantadi (1981) yaitu 3,5%,
lemak, 3,1% protein, 4,9% laktosa, 0,7% abu, 12,2% bahan padat total. Kualitas
susu dapat dilakukan dengan cara uji fisik dan kimiawi pada susu. Uji kimiawi
dilakukan dengan menghitung kadar lemak, bahan kering, berat jenis dan kadar
protein susu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas susu yaitu santitasi dan
waktu pemerahan. Waktu pemerahan berpengaruh terhadap kualitas susu dimana
kualitas susu pada pemerahan sore hari lebih tinggi dari pada pagi hari. Hal ini
disebabkan interval waktu pemerahan pagi sampai sore hari lebih pendek dari
interval waktu pemerahan sore sampai pagi hari. Saat sapi mengkonsumsi pakan
pada sore sampai pagi hari, diperoleh waktu yang relatif panjang dalam
membentuk air susu dibanding waktu pagi sampai sore hari (Mardalena, 2008).
Proses pengeluaran susu dimulai karena adanya rangsangan kemudian
diterima oleh syarat, disalurkan ke otak (hipotalamus), disalurkan lagi ke hipofisa
posterior mengeluarkan hormone oksitosin bersama darah kemudian menuju
ambing. Darah di sintesis dan dieksresikan oleh sel epitel pada alveoli, kemudian
ke lobus, saluran induk, sinus, gland cistern, annular fod, teat cistern, teat
meatus. Hal ini sependapat dengan Tancin et al., (2006) bahwa kondisi memerah
susu yang dapat meningkatnya oksitosin dan efisiensi removal susu. Oksitosin
dalam darah selama pemerahan berasal dari kondisi sapi yang nyaman. Stres atau
ketidaknyamanan selama pemerahan dapat mengurangi oksitosin melepaskan dan
produksi susu. Dalam kondisi normal nalokson (opioid antagonis) dapat
merangsang pelepasan oksitosin selama pemerahan.
BAB III
PENUTUP
Terdapat hubungan antara fisiologi lingkungan terhadap ternak. Fisiologi
ternak, ambing akan berpengaruh terhadap produktivitas susu. Fisiologi
lingkungan dapat mempengaruhi fisiologi ternak karena fungsi organ pada ternak
akan bekerja secara optimal pada kondisi nyaman. Ternak akan merasa nyaman
pada suhu lingkungan antara 13 – 25 oC, kelembaban 55%, radiasi kurang dari
450 kKal/m2/jam. Apabila kondisi nyaman sudah dicapai maka ternak dapat
mengatur fisiologi tubuhnya. Suhu tubuh sapi FH antara 38,0-39,5 0C, frekuensi
nadi sekitar 60-70 kali/menit, frekuensi pernapasan sekitar 15-40 kali/menit.
Konsumsi air minum antara 3 – 3,5 liter/kiogram konsumsi bahan kering. Setelah
ternak dapat mengatur fisiologi tubuhnya maka ternak dapat mengoptimalkan
produksinya. Baik produksi daging (peningkatan berat badan) maupun produksi
susu.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, J., 2008. Ekspresi Berahi Ternak Sapi Perah Pasca Melahirkan Dengan Dan Tanpa Pemberian Pendingin. Skripsi.
Anggraeni, A., 2012. Perbaikan Genetik Sifat Produksi Susu Dan Kualitas Susu Sapi Friesian Holstein Melalui Seleksi. Balai Penelitian Ternak, , Bogor.
http://green-backpacker.blogspot.com
http://id.wikipedia.org
Mardalena. 2008. Pengaruh Waktu Pemerahan dan Tingkat Laktasi terhadap Kualitas Susu Sapi Perah Peranakan Fries Holstein. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu PeternakanAgustus, 2008, Vol. XI. No.3.
Mauladi, A. H., 2009. Suhu Tubuh, Frekuensi Jantung Dan Nafas Induk Sapi Friesian Holstein Bunting Yang Divaksin Dengan Vaksin Avian Influenza H5n1. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Skripsi.
Syarif, E. K., dan B. Harianto. 2011. Buku Pintar Beternak dan Berbisnis Sapi Perah. Agromedia. Jakarta.
Tancin, V., J. Macuhova, D. Schams, R.M. Bruckmaier. 2006. The Importance Of Increased Levels Of Oxytocin Induced By Naloxone To Milk Removal In Dairy Cows. Research Institute For Animal Production, Nitra, Slovak Republic. Physiology Weihenstephan, Technical University Munich, Freising, Germany.
Umar , Razali , dan A. Novita. 2014. Derajat Keasaman Dan Angka Reduktase Susu Sapi Pasteurisasi Dengan Lama Penyimpanan Yang Berbeda. Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Usman, A.M., 1981. Program Breeding Sapi Perah. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan. Departemen Pertanian.
Widodo, S., dan Andriani. Teknologi Penanganan Susu Yang Baik Dengan Mencermati Profil Mikroba Susu Sapi Di Berbagai Daerah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Jurnal Pascapanen Vol. 9(1): 35 – 44.
Wikantadi, Bambang. 1978. Biologi Laktasi. Bagian Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Yogyakarta.
Yani, A., dan B.P. Purwanto. 2006. Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya (ULASAN). Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Media Peternakan, April 2006, hlm. 35-46 Vol. 29 No. 1.