proposal

57
Proposal Penelitian Akhir ANALISIS KADAR VITAMIN D DAN KADAR INSULIN PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 ANALYSIS OF VITAMIN D AND INSULIN LEVEL IN PATIENT WITH TYPE 2 DIABETES MELITUS AGUSTINI P1507210133 PASCA SARJANA KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU (COMBINED DEGREE) PROGRAM STUDI ILMU PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 1

Upload: muhammad-achin-yasin

Post on 05-Feb-2016

226 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Dokter Laboratorium

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal

Proposal Penelitian Akhir

ANALISIS KADAR VITAMIN D DAN KADAR INSULIN PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

ANALYSIS OF VITAMIN D AND INSULIN LEVEL IN PATIENT WITH TYPE 2 DIABETES MELITUS

AGUSTINI

P1507210133

PASCA SARJANA KEDOKTERAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU

(COMBINED DEGREE)

PROGRAM STUDI ILMU PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

1

Page 2: Proposal

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. (ADA 2010).

Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi

akibat insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit

menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di

hasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes melitus tipe 2

dianggap sebagai non insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)

(Corwin, 2001).

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya

kecenderungan peningkatan insiden dan prevalensi DM tipe 2 di

berbagai penjuru dunia (Gustaviani, 2007). World Health Organization

(WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang

diabetes cukup besar untuk tahun-tahun mendatang (WHO,1999)

Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4

juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Wild,

2004). Laporan hasil penelitian dari berbagai daerah di Indonesia

yang dilakukan pada dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi

2

Page 3: Proposal

DM tipe 2 antara 0,8% di tanah Toraja sampai 6,1% yang didapatkan

di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan

prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta,

prevalansi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993

dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban

(Gustaviani,2007).

Menurut Badan Kesehatan dunia WHO, secara global, penyakit

diabetes melitus menjangkiti sekitar 220 juta orang dan mempunyai

mortalitas sebesar 3,4 juta orang setiap tahun. Berdasarkan data

statistik, badan dunia WHO memprediksi tingkat kematian yang

disebabkan oleh penyakit diabetes melitus dapat meningkat menjadi 2

kalinya pada tahun 2005 sampai 2030.

Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa

darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal

bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai.

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan

cara enzimatik dengan bahan darah serum/plasma vena, walaupun

demikian sesuai kondisi setempat dapat juga dipakai darah lengkap

vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria

diagnosik yang berbeda sesuai WHO (Gustaviani, 2007;WHO,1999).

Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe 2 disebabkan

kegagalan relatif sel beta pankreas dan resisten insulin. Resisten

insulin adalah berkurangnya kemampuan insulin untuk merangsang

3

Page 4: Proposal

pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat

produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi

resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif

insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin

pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa

bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel beta

pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Smeltzer, Bare,

2002).

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam

amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan

normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan

kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk

keperluan regulasi glukosa darah (sudoyo W, 2006, Hotamisligil G,

2006). Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang

dihubungkan oleh jembatan disulfide. Rantai A terdiri dari 21 asam

amino dan rantai B 30 asam amino.(Lina Y, 2005; Zhang B, 2002).

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor

hormone insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan

bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan

sehingga terbentuk proinsulin yang selanjutnya dihimpun dalam

gelembung-gelembung (Secretory vesicles) sel tesebut. Dengan

bantuan enzim peptidase, selanjutnya proinsulin dirubah menjadi

4

Page 5: Proposal

insulin dan peptide–C (C-peptide) yang siap untuk disekresikan

melalui membrane sel. (Sudoyo W, 2006).

Dalam keadaan fisiologis insulin disekresikan sesuai dengan

kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase yaitu fase dini

(fase 1) dan fase lanjut (fase 2). Fase dini terjadi 3-10 menit pertama

setelah makan. Insulin yang disekresikan pada fase ini adalah insulin

yang disimpan dalam sel beta (siap pakai). Pada fase lanjut sekresi

insulin dimulai setelah 20 menit setelah stimulasi dengan glukosa.

Fase 1 sekresi insulin akan meningkat pada pemberian glukosa untuk

mencegah kenaikan glukosa darah, selanjutnya akan merangsang

fase 2 untuk meningkatkan insulin. Makin tinggi kadar glukosa darah

sesudah makan makin besar pula insulin dibutuhkan (sudoyo W,

2006, Adam JMF, 2006).

Peningkatan kadar glukosa darah puasa (GDP), lebih

ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa endogen yang berasal

dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar.

Dalam hal ini, insulin berperan melalui efek inhibisi hormon tersebut

terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan.

Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan

inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan

semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar. Apabila ada

gangguan pada mekanisme kerja insulin, menimbulkan hambatan

5

Page 6: Proposal

dalam utilisasi glukosa serta peningkatan kadar glukosa darah yang

secara klinis dikenal sebagai DM (Sudoyo W, 2006).

Hubungan antara vitamin D dengan diabetes melitus tipe 1

telah banyak dilaporkan (Luong K, Mathieu C, 2005). Pengobatan

vitamin D telah terbukti mencegah risiko diabetes melitus tipe 1 pada

hewan dan manusia (Gregori S, 2002). Efek ini terutama dihubungkan

dengan fungsi imunomodulator dari vitamin D namun sedikit yang

diketahui tentang hubungan antara vitamin D dan diabetes melitus tipe

2. Vitamin D menyebabkan defisiensi sekresi insulin berkurang pada

tikus dan manusia, selain itu adanya vitamin D receptor (VDR) dan

vitamin D-binding protein (DBP) mungkin mempengaruhi toleransi

glukosa dan sekresi insulin, sehingga menyebabkan risiko timbulnya

diabetes melitus tipe 2.(Iyengar S, Ortlepp JR, 2003)

Suatu penelitian prospektif oleh Pittas et.al, menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara asupan vitamin D dengan diabetes

melitus, peran vitamin D terhadap regulasi fungsi sel beta pankreas

terbukti oleh penemuan reseptor vitamin D pada sel beta pankreas

dan gangguan kapasitas sekresi insulin pada tikus yang kekurangan

reseptor fungsional vitamin D. (Pittas AG, 2006). Studi di Selandia

Baru melaporkan bahwa pasien baru yang di diagnosis diabetes

melitus tipe 2 atau toleransi glukosa terganggu memiliki kadar vitamin

D yang rendah dibandingkan subyek kontrol (Sragg R et al, 1995).

Selain itu data epidemiologis di London dan Bangladesh

6

Page 7: Proposal

menunjukkan penurunan konsentrasi serum vitamin D pada populasi

berisiko diabetes melitus tipe 2. (Boucher BJ, 1995)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana kadar vitamin D

dan insulin pada penderita DM tipe 2, Toleransi glukosa tergganggu

dan bukan penderita DM tipe 2 ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum:

Menganalisis kadar vitamin D dan insulin sebagai faktor risiko

terjadinya resistensi insulin pada penderita DM tipe 2.

2. Tujuan Khusus:

a. Menentukan kadar vitamin D dan insulin pada penderita DM

tipe 2

b. Menentukan kadar vitamin D dan insulin pada penderita

toleransi glukosa tergganggu

c. Menentukan kadar vitamin D dan insulin pada bukan penderita

DM tipe 2

d. Membandingkan kadar vitamin D dan insulin pada penderita

DM tipe 2, toleransi glukosa tergganggu dan bukan penderita

DM tipe 2

7

Page 8: Proposal

e. Menentukan hubungan kadar vitamin D dan insulin pada

penderita DM, toleransi glukosa tergganggu dan bukan

penderita DM tipe 2.

D. Hipotesis Penelitian

Kadar vitamin D dan insulin pada penderita DM tipe 2 lebih

rendah dibandingkan kadar vitamin D dan insulin pada toleransi

glukosa tergganggu dan bukan penderita DM tipe 2

E. Manfaat Penelitian

1. Dengan menganalisis kadar vitamin D dan insulin pada penderita

DM tipe 2, bila terbukti mempunyai nilai yang bermakna, maka

dapat dijadikan anjuran pemeriksaan sebagai upaya pencegahan

penderita DM tipe 2.

2. Menambah informasi ilmiah mengenai peranan vitamin D dan

insulin pada patogenesis DM tipe 2.

8

Page 9: Proposal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Assosiation (ADA) tahun 2010,

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (ADA, 2010,

Gustaviani, 2007). Menurut World Health Organization (WHO) pada

tahun 1980 dikatakan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak

dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi

secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problem

anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor

dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan

fungsi insulin (WHO,1999).

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya

kecenderungan peningkatan insiden dan prevalensi DM tipe 2 di

berbagai penjuru dunia (Gustaviani, 2007). World Health Organization

memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup

besar untuk tahun-tahun mendatang (WHO,1999) Untuk Indonesia,

WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun

2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Wild, 2004). Laporan

hasil penelitian dari berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada

9

Page 10: Proposal

dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8%

di tanah Toraja sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil

penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang

sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta, prevalansi DM

1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian

menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban

(Gustaviani,2007).

Penyebab DM tipe 2 belum sepenuhnya jelas, tetapi

diperkirakan disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan

faktor lingkungan (Suryohudoyo, 2007).

a. Faktor genetik

Penelitian menunjukkan bahwa 40 penderita DM tipe 2

mempunyai keluarga DM. Hal ini tampak pada penelitian

DM tipe 2 kembar identik ternyata 60-90% keduanya

mengidap DM. Mutasi gen untuk glukokinase juga

dibuktikan sebagai penyebab hiperglikemia pada DM usia

muda atau Maturity onset of Diabetes of the Young (MODY)

(Sanusi, 2006).

b. Faktor Lingkungan

Disamping adanya kepekaan genetik, faktor lingkungan

sangat berperan dalam proses timbulnya DM tipe 2.

Kelebihan energi dan perubahan pola hidup dalam

kehidupan sehari-hari seperti aktifitas fisik yang kurang dan

pola makan yang tidak seimbang sangat berisiko timbulnya

DM tipe 2. Faktor lingkungan lainnya yang berperan adalah

10

Page 11: Proposal

malnutrisi yang terjadi pada awal kehidupan terutama pada

waktu janin dalam kandungan dan tahun pertama dari

kelahiran, secara lambat laun dapat menyebabkan

kerusakan sel-sel beta pankreas pada usia dewasa.

Demikian pula obat-obatan diabetogenik seperti kortisol

(Sanusi, 2006).

Patogenesis DM tipe 2 belum sepenuhnya dipahami, namun

ada beberapa faktor yang menyebabkan peralihan dari toleransi

glukosa normal menjadi DM tipe 2 antara lain berkurangnya sekresi

insulin, pemanfaatan glukosa menurun, dan peningkatan produksi

glukosa (Powers AC, 2005). Ada dua kelainan utama yang

mendasarinya yaitu defek sel beta pankreas sehingga pelepasan

insulin berkurang, dan adanya resistensi insulin (Adam, 2006;

Masharani, 2007).

a. Gangguan sekresi insulin pada sel β pankreas

Pankreas terdiri dari sel α dan sel β pulau-pulau langerhans

pankreas. Apabila kadar glukosa darah meningkat, maka

sel β pankreas akan melepaskan insulin ke sirkulasi untuk

menurunkan kadar glukosa darah, sebaliknya apabila kadar

glukosa darah menurun, sel α pankreas akan melepaskan

glucagon yaitu hormon yang meningkatkan glukosa darah

(Schteingart, 2006).

11

Page 12: Proposal

Sekresi insulin pada orang non diabetes meliputi dua fase

yaitu fase dini (fase 1) yang terjadi dalam 3-10 menit

pertama setelah makan. Insulin yang disekresi pada fase ini

adalah insulin yang disimpan dalam sel β dan fase lanjut

(fase 2) yang terjadi 20 menit setelah stimulasi dengan

glukosa. Sekresi insulin fase 1 akan meningkat pada

pemberian glukosa untuk mencegah kenaikan kadar

glukosa darah dan kenaikan glukosa darah selanjutnya

akan merangsang fase 2 untuk meningkatkan insulin. Makin

tinggi kadar glukosa darah sesudah makan makin besar

pula insulin dibutuhkan, akan tetapi kemampuan ini hanya

terbatas pada kadar glukosa darah dalam batas normal.

(Sanusi, 2006)

Pada DM tipe 2, fase 1 sekresi insulin tidak dapat

menurunkan glukosa darah yang merangsang fase 2 untuk

menghasilkan insulin lebih banyak, akan tetapi sudah tidak

mampu meningkatkan sekresi insulin seperti pada orang

normal (Sanusi, 2006).

Gangguan sekresi insulin ini menyebabkan sekresi insulin

fase 1 tertekan, akibatnya kadar insulin dalam darah

menurun, kondisi ini memacu sel α pankreas menghasilkan

glucagon. Glukagon meningkatkan pelepasan glukosa dari

hepar yang disebut hepatic glucose output (HGO), keadaan

12

Page 13: Proposal

ini mengakibatkan kadar glukosa darah puasa meningkat.

Sebaliknya secara berangsur-angsur fase 2 akan menurun.

Dengan demikian perjalanan DM tipe 2 dimulai dari

gangguan pada fase 1 yang menyebabkan hiperinsulinemia

dan gangguan fase 2 menyebabkan gangguan sel β

(Sanusi, 2006).

Apabila terjadi resistensi insulin yaitu ketidak sanggupan

insulin memberi efek biologi yang normal pada kadar

glukosa plasma tertentu (Sanusi, 2006) maka pada tahap

awal sekresi insulin akan meningkat untuk mempertahankan

toleransi glukosa normal. Tetapi dalam perjalanan penyakit

sekresi insulin tidak lagi mencukupi kebutuhan tersebut

sehingga terjadi hiperglikemia (Powers, 2005).

Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kadar

glukosa plasma puasa dengan kadar insulin puasa. Pada

kadar glukosa plasma puasa 80-140 mg% maka kadar

insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi bila kadar

glukosa darah puasa melebihi 140 mg% maka kadar insulin

tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi dan pada tahap ini

mulai terjadi kelelahan sel β bahkan sel β fungsinya

menurun (Sanusi H, 2006). Hal tersebut dapat diperlihatkan

dengan kurva Starling (Gambar 1).

13

Page 14: Proposal

b. Resistensi Insulin

Resistensi insulin didefinisikan sebagai gangguan respons

biologis terhadap insulin baik yang endogen maupun

eksogen. Pada keadaan resistensi insulin, sel β pankreas

memacu sekresi insulin untuk mempertahankan keadaan

normoglikemia. Walaupun mekanisme belum jelas

sepenuhnya, namun diduga penyebabnya antara lain

karena kelainan fungsi reseptor insulin, gangguan transport

glukosa dan peningkatan asam lemak bebas (Adam, 2006).

Pada awal resistensi insulin, tampak adanya resistensi dari

sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula

terikat pada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,

kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan

mobilisasi pembawa GLUT-4 glukosa dan meningkatkan

transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-

pasien DM tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin

dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh

berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel

yang responsif terhadap insulin atau akibat

ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya terjadi

penggabungan yang abnormal antara kompleks reseptor

insulin dengan sistem transport glukosa (Gambar 2).

14

Page 15: Proposal

Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja

insulin (Schteingart, 2006).

Resistensi insulin mengakibatkan aktifitas glukoneogenesis

di hati meningkat sehingga menghasilkan glukosa lebih

banyak, di otot menyebabkan gangguan ambilan glukosa

dari darah sehingga terjadi hiperglikemia, sementara di

jaringan lemak terjadi peningkatan proses lipolisis

menyebabkan pelepasan asam lemak bebas berlebihan ke

aliran darah (Mcphee, 2003).

Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa

darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal

bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai.

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan

cara enzimatik dengan bahan darah serum/plasma vena, walaupun

demikian sesuai kondisi setempat dapat juga dipakai darah lengkap

vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria

diagnosik yang berbeda sesuai WHO (Gustaviani, 2007;WHO,1999).

Ada perbedaan antara uji diagnotik dan pemeriksaan penyaring

DM. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala

DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk

mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko

DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan pada mereka yang

15

Page 16: Proposal

hasil pemeriksaan penyaring positif, untuk memastikan diagnosis

definitif (ADA, 2010;Gustaviani, 2007).

Pemeriksaan penyaring dilakukan dengan kelompok salah satu

risiko DM sebagai berikut: 1) usia >45 tahun, 2) berat badan lebih

atau IMT >23 kg/m2, 3) Hipertensi, 4) riwayat DM dalam garis

keturunan, 5) riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau

berat badan lahir bayi >4000 gram, 6) kolesterol HDL rendah dan

trigliserida tinggi (Gustaviani, 2007;PERKENI, 2006).

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan

khas berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan

pasien adalah lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada pasien wanita.

Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan

kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl juga digunakan untuk patokan

diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan yang khas, hasil

pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali diambil saja abnormal,

belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan

konfirmasi lebih lanjut dengan satu kali lagi hasil yang abnormal baik

glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥200

mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral

16

Page 17: Proposal

(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200

mg/dl (Gustaviani, 2007).

Beberapa dekade terakhir hasil penelitian klinik maupun

laboratorik menunjukkan bahwa DM merupakan suatu keadaan yang

heterogen baik penyebabnya maupun jenisnya. Selama bertahun-

tahun hal ini telah didiskusikan oleh banyak ahli dengan tujuan

mencapai persetujuan internasional tentang prosedur diagnostik,

kriteria dan terminologi (Brownlee, 2005, Gustaviani, 2007).

Berdasarkan penyebabnya DM dapat diklasifikasikan sebagai

berikut: (Gustaviani, 2007)

a. Tipe 1: destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi

insulin absolut

1) Autoimun

2) Idiopatik

b. Tipe 2: bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin

disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek

sekresi insulin disertai resistensi insulin.

c. Tipe lain:

1) Defek genetik fungsi sel beta

2) Defek genetik kerja insulin

3) Penyakit eksokrin pankreas

4) Endokrinopati

5) Karena obat atau zat kimia

17

Page 18: Proposal

6) Infeksi

7) Sebab imunologi yang jarang

8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

d. DM Gestasional.

B. Vitamin D

Vitamin D2 (ergocalciferol) dan vitamin D3 (cholecalciferol),

merupakan derivate steroid yang terbentuk dari ergosterol dan 7-

dehydrocholesterol. Vitamin D2 berbeda dari vitamin D3 dalam proses

pembentukan rantai 19-carbon, tetapi dua sterol mempunyai

kesamaan dalam aktifitas sebagai anti rakhitis pada manusia. Struktur

metabolik aktifnya berupa 1,25-dihydroxyvitamin D3 (1,25(OH)2D3.

(Permana H, 2004)

Vitamin D akan diangkut ke hati dan terikat oleh alfa globulin

spesifik (vitamin D-binding protein / DBP) dan sebagian kecil oleh

albumin dan lipoprotein. Kemudian mengalami hydroksilase menjadi

25-hydroxylated vitamin D (25(OH)2D3, calcidiol yang merupakan

bagian terbesar metabolit vitamin D yang berada di dalam sirkulasi,

oleh karena itu, 25(OH)2D3 merupakan ukuran terbaik status overall

vitamin D. Kadar normal berkisar 15-50 ng/dl (25-125 mmol/ml), tetapi

kadar < 15 ng/ml sudah mengarah ke defisiensi vitamin D. Selanjutnya

25(OH)2D3 di tubulus proksimal ginjal yang akan mengalami

hydroksilasi oleh 1 α-hydroxylase menjadi bentuk 1,25 dihydroxytamin

18

Page 19: Proposal

D (1,25(OH)2D3). Hasil ini merupakan bentuk vitamin D yang paling

aktif. Langkah hidroksilasi tersebut dikendalikan oleh beberapa faktor

antara lain paratiroid hormone (PTH), fosfor, dan kalsium serum.

Konsentrasi 1,25 dihydrocholecalciferol D yang normal di dalam serum

adalah 20-60 pg/ml (50-150 pmol/L). Ginjal juga dapat mengkonversi

25(OH)2D menjadi 24,25-dihydroxyvitamin walaupun di sirkulasi

metabolit tersebut kadarnya 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan

kadar 1,25(OH)2D namun peran biologisnya sampai saat ini masih

belum jelas (Permana H, 2004).

Vitamin D yang dibentuk di kulit atau diobsorpsi melalui usus

akan dirubah oleh hati menjadi 25-hydroxycholecalcipherol, yang

kemudian oleh ginjal akan dirubah menjadi 1,25

dihydroxycholecalciferol (1,25 dihydroxy vitamin D3 = 1,25 DHCC)

yang merupakan suatu hormon dan berperan meningkatkan

penyerapan kalsium dan fosfat dari usus untuk kebutuhan mineral

pada pembentukan tulang dan sebagai perangsang pembentukan

osteoklast. Vitamin D larut dalam lemak dan oleh sebab itu untuk

dapat diangkut dalam darah membutuhkan vitamin D-binding protein

(DBP) yang spesifik (Permana H, 2004;Holick,2004). Pembentukan

1,25(OH)D3 terjadi terutama di ginjal, tetapi sintesis ekstrarenal juga

dapat terjadi seperti dalam sel pembuluh darah, kelenjar paratiroid,

dan makrofag. Reseptor vitamin D terdapat dalam beberapa sel target

yang mengatur penyerapan kalsium dan fosfor, proliferasi sel, fungsi

19

Page 20: Proposal

kekebalan tubuh dan merangsang sintesis dan sekresi insulin pada

pankreas. (Albert S, Valdivielso JM,2009).

Gambar 1. Sintesis dan target organ vitamin D. (Valdivielso JM,

2009)

20

Page 21: Proposal

Pada intoleransi glukosa dan DM tipe 2 umumnya didapatkan

adanya gangguan fungsi sel beta pankreas, resistensi insulin, dan

inflamasi sistemik. Terdapat bukti yang mendukung adanya pengaruh

vitamin D pada mekanisme ini, yaitu vitamin D dan fungsi sel beta

pankreas pada sekresi insulin terdapat beberapa bukti yang

mendukung peran menguntungkan dari vitamin D terhadap fungsi sel

beta pankreas (Gambar 1). Pada penelitian in vitro dan in vivo,

defisiensi vitamin D menyebabkan gangguan sekresi insulin glukosa –

mediated dari sel beta tikus, sementara pemberian vitamin D

mempengaruhi sekresi insulin. Vitamin D memiliki efek langsung

terhadap fungsi sel beta yang dimediasi / diperantarai oleh ikatan

vitamin D bentuk aktif di sirkulasi, 1,25(OH)2D dengan VDR, yang

diekspresikan oleh sel beta. Pada tikus dengan gangguan fungsional

VDR menunjukkan tergangguanya sekresi insulin.(Pittas G, Eliades

M, 2009)

Vitamin D dapat membantu fungsi sel beta pankreas melalui

beberapa cara:

1. Bentuk aktif vitamin D (1,25(OH)2D) memasuki sel beta dari sirkulasi

dan berinteraksi dengan kompleks reseptor vitamin D-asam retinoid X

(VDR-RXR), yang terikat pada elemen vitamin D reseptor (VDRE)

yang terdapat di dalam promotor gen human insulin, untuk

meningkatkan aktivasi gen insulin dan meningkatkan sintesis insulin.

21

Page 22: Proposal

2. Vitamin D dapat membantu daya tahan sel beta dengan cara

mengatur inaktivasi dan efek sitokin dan faktor nuclear-kb (NF-kb).

Efek anti-apoptosis vitamin D juga dimediasi melalui down-regulasi

Fas-related pathways (Fas/fas-L).

3. Aktivasi vitamin D juga terjadi di intraseluler oleh bantuan enzim 1-

alpha hydroxylase yang diekspresikan dalam sel beta pankreas.

4. Efek vitamin D mungkin diperantarai/dimediasi secara tidak langsung

melalui regulasi Ca (Ca2+), kalsium flux melalui sel beta, dan kalsium

intraseluler. Proses pada kalsium flux dapat secara langsung

mempengaruhi sekresi insulin, yang merupakan proses calcium-

dependent.

5. Vitamin D juga mengatur calbidin, suatu protein sitosolik calcium-

binding yang ditemukan pada sel beta pankreas, yang juga bekerja

sebagai modulator pelepasan depolarization-stimulated insulin melalui

regulasi pada kalsium intraseluler. Calbidin juga dapat melindungi dari

kematian sel apoptosis melalui kemampuannya untuk menstabilkan

kalsium intraseluler. (Pittas G, Eliades M, 2009)

22

Page 23: Proposal

Gambar 2. Fungsi sel beta pankreas dan vitamin D.(Eliades M,

Pittas G, 2009)

Penyebab utama defisiensi vitamin D adalah berkurangnya

asupan nutrisi, kurangnya paparan sinar matahari, keadaan yang

menyebabkan penurunan sintesa vitamin D di kulit dan penurunan

sintesa 25(OH)2D di ginjal akibat proses penuaan ginjal. Defisiensi

vitamin D yang terjadi dalam jangka waktu lama dan berat pada

dewasa muda akan menimbulkan osteomalasia, sedangkan pada

anak-anak akan mengalami rikect (suatu kelainan tulang yang khas

ditandai dengan adanya abnormalitas biokimiawi dan tulang), terjadi

kerusakan mineralisasi yang terus menerus, hiperparatiroid sekunder

berat, hipokalsemia, hipofosfatemia dan peningkatan fosfatase alkali.

Defisiensi vitamin D baru ditegakkan apabila dilakukan pemeriksaan

23

Page 24: Proposal

kadar 25(OH)2D dengan hasil biasanya sangat rendah bahkan dapat

tidak terdeteksi (Permana H, 2004)

Hubungan antara vitamin D dengan diabetes melitus tipe 1

telah banyak dilaporkan (Luong K, Mathieu C, 2005). Pengobatan

dengan vitamin D telah terbukti mencegah risiko diabtes melitus tipe 1

pada hewan dan manusia (Gregori S, 2002) Efek ini terutama

dihubungkan dengan fungsi imunomodulator dari vitamin D namun

sedikit yang diketahui tentang hubungan antara vitamin D dan

diabetes melitus tipe 2. Vitamin D menyebabkan defisiensi sekresi

insulin berkurang pada tikus dan manusia, selain itu adanya vitamin D

reseptor (VDR) dan vitamin D-binding protein (DBP) mungkin

mempengaruhi toleransi glukosa dan sekresi insulin, sehingga

menyebabkan risiko timbulnya diabetes melitus tipe 2 (Iyengar S;

Ortlepp JR, 2003).

Suatu penelitian prospektif oleh Pittas et.al, menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara asupan vitamin D dengan diabetes

melitus, peran vitamin D terhadap regulasi fungsi sel beta pankreas

terbukti oleh penemuan reseptor vitamin D pada sel beta pankreas

dan gangguan kapasitas sekresi insulin pada tikus yang kekurangan

reseptor fungsional vitamin D (Pittas AG, 2006). Studi di Selandia

Baru melaporkan bahwa pasien baru yang di diagnosis diabetes

melitus tipe 2 atau toleransi glukosa tergganggu memiliki kadar

vitamin D yang rendah dibandingkan subyek control (Sragg R et al,

24

Page 25: Proposal

1995). Selain itu data epidemiologis di London dan Bangladesh

menunjukkan penurunan konsentrasi serum vitamin D pada populasi

berisiko diabetes melitus tipe 2 (Boucher BJ, 1995).

Faktor risiko utama DM tipe 2 adalah obesitas, namun

kehilangan berat badan sulit dicegah dalam waktu jangka panjang

pada penderita DM tipe 2 dengan obesitas. Hal yang sangat menarik

bahwa obesitas sering berkaitan dengan hipovitaminosis D. Massa

tubuh absolut memiliki hubungan yang terbalik dengan konsentrasi

serum 25(OH)2D dan berkorelasi positif dengan kadar serum PTH.

Hubungan ini dapat disebabkan oleh kapasitas jaringan adipose yang

besar dan penyimpanan vitamin D yang menyebabkan vitamin D

secara biologis tidak tersedia, peningkatan kadar PTH dan penurunan

serum 25(OH)2D3 sama halnya dengan 1,25(OH)2D3 dapat

meningkatkan kalsium intraseluler pada adiposity, yang kemudian

menstimulasi lipogenesis dan merupakan predisposisi peningkatan

berat badan. Dengan demikian nampak bahwa defisiensi vitamin D

yang ringan berkonstribusi atau merupakan konsekuensi obesitas

(Epstein S, 2010)

Defisiensi vitamin D berhubungan dengan risiko sindrom

metabolic dan DM tipe 2. Populasi menunjukkan bahwa vitamin D dan

kalsium penting dalam patogenesis DM tipe 2 karena dapat memicu

fungsi sel beta dan sensitivitas insulin. The National Health and

Nutrition Examination Survey (NHNES) melakukan penelitian Cross

25

Page 26: Proposal

sectional berskala besar dan memdapatkan korelasi yang terbalik

antara serum 25(OH)2D3 dengan insiden DM tipe 2 dan resistensi

insulin. Penelitian prospektif dari Medical Research Council Ely tahun

1990 sampai 2000, ditemukan hubungan antara serum 25(OH)2D3

dengan stasus glikemik dan terdapat korelasi positif antara plasma

25(OH)2D3 dengan sensitivitas insulin pada subyek sehat yang

dilakukan tes toleransi glukosa. Selain itu terapi osteomalasia yang

lama dengan vitamin D dapat meningkatkan sekresi insulin dan

memperbaiki toleransi glukosa (Epstein S, 2010).

Diabetes melitus tipe 2 merupakan kelainan poligenik, tetapi

kelainan monogenik yang sangat berkaitan dengan DM tipe 2 juga

ditemukan. Bentuk monogenik kurang ditemukan dan termasuk DM

subtipe maturyti onset diabetes (MODY). Protein yang berkaitan

dengan MODY adalah faktor transkripsi (seperti HNF-4α, HNF-1α,

IPF-1, HNF-1β dan NEUROD1). Sedangkan gen penyebab dari

bentuk poligenik dari DM tipe 2 sulit diidentifikasi namun terdapat

beberapa indikasi bahwa polimorfisme dari DBP dan VDR berkaitan

dengan toleransi glukosa tergganggu (Epstein S, 2010).

Protein DBP diketahui sebagai protein spesifik, terletak pada

kromosom 4q12 dan merupakan protein serum yang sangat

polimorfik, terutama diproduksi oleh hati, dengan tiga alel yang umum

(Gc1F, Gc1S, dan Gc2) dan 120 lebih varian yang jarang. Beberapa

penelitian menunjukkan polimorfisme DBP dan risiko penyakit karena

26

Page 27: Proposal

vitamin D. Hirai et al, mengevaluasi variasi DBP pada orang Jepang

dengan toleransi glukosa normal, penelitian ini memperlihatkan bahwa

orang dengan Gc1S/Gc2 dan Gc1s/Gc1S memiliki konsentrasi plasma

puasa lebih tinggi dari pada Gc1F/Gc1F.

Gen VDR terletak pada kromosom 12q13.11 dan mengandung

11 ekson. Gen polimorfisme dari VDR antara lain Bsml, Apal dan Taql.

Pada penelitian observasional dilaporkan hubungan antara

polimorfisme VDR dan DM tipe 2, glukosa puasa, intoleransi glukosa,

sensitivitas insulin, sekresi insulin dan kadar calcitriol. Dilmec et al

tidak menemukan korelasi antara polimorfisme VDR (Apal, Taql) dan

risiko DM tipe 2 pada suatu penelitian terhadap 241 individu (72 DM

tipe 2 dan 169 sehat). Hubungan antara polimorfisme VDR dan risiko

DM tipe 2 pada populasi etnik yang berbeda memberikan hasil yang

bervariasi. Mekanisme dari hubungan ini masih belum dapat

dijelaskan, tetapi terdapat hubungan antara genotif VDR tertentu

dengan DM tipe 2 dan telah dilaporkan polimorfisme VDR dan vitamin

D berperan dalam diferensiasi dan metabolisme adiposity.

Polimorfisme VDR dapat berperan dalam patogenesis DM tipe 2

melalui pengaruhnya terhadap kapasitas sekretori sel beta pankreas.

VDR berkaitan dengan glukosa puasa tergganggu dan memberikan

pengaruh terhadap pentingnya vitamin D dalam modulasi sekresi

insulin (Epstein S, 2010).

27

Page 28: Proposal

Terdapat bukti yang kuat bahwa vitamin D penting untuk

mempengaruhi hemostasis glukosa dan juga diperantarai oleh aksinya

secara langsung pada fungsi sel beta pankreas. Beberapa penelitian

pada binatang dan manusia menunjukkan korelasi yang positif antara

defisiensi vitamin D dan intoleransi glukosa, serta sekresi insulin yang

terganggu. Defisiensi ini tampaknya memiliki pengaruh yang spesifik

pada insulin dan tidak pada hormon yang dihasilkan pankreas lainnya

seperti glucagon. Penelitian pada sel beta pankreas yang distimulasi

glukosa dan sulfonylurea yang dilakukan pada tikus dengan diet

kurang vitamin D memperlihatkan sekresi insulin dan toleransi glukosa

yang tergganggu. Kelainan ini dikoreksi sebagian oleh penambahan

vitamin D. Namun kelainan ini secara langsung disebabkan oleh

kurangnya vitamin D atau secara tidak langsung oleh hipokalsemia

masih tidak jelas (Epsten S, 2010).

Data yang lebih meyakinkan pada efek yang menguntugkan

dari vitamin D pada sekresi insulin diperoleh dari penelitian yang

memperlihatkan sintesis dan pelepasan insulin oleh sel beta pankreas

yang diisolasi dari binatang normal dapat ditingkatkan oleh

rangsangan glukosa pada pemberian dosis tinggi 1,25(OH)2D3.

Stimulasi sel beta pankreas oleh 1,25(OH)2D3 menunjukkan

peningkatan kadar kalsium sitosolik, merupakan mekanisme dari

1,25(OH)2D3 memungkinkan stimulasi sekresi insulin. Kalsium penting

untuk eksositosis insulin dari sel beta dan untuk glikolisis sel beta

28

Page 29: Proposal

yang berperan dalam translasi kadar glukosa sirkulasi. Vitamin D

dapat mengatur sekresi dan sintesis insulin melalui fasilitasi konversi

proinsulin menjadi insulin, yang diketahui tergantung pada pemecahan

oleh endopeptidase yang tergantung kalsium pada sel beta pankreas.

Kalsium intraseluler yang tinggi memperbaiki ikatan kalmodulin pada

substrat-1 reseptor insulin, dengan demikian mengganggu fosforilasi

tyrosin dan aktivasi kinase phosphoinositide-3 yang distimulasi insulin.

Sedangakn PTH ditemukan berhubungan terbalik dengan sensitivitas

insulin. Mekanisme lain yang mungkin berhubungan adalah vitamin D

dapat secara langsung memodulasi pertumbuhan dan differensiasi sel

beta pankreas (Epstein S, 2010).

1,25(OH)2D3 dan analognya telah diketahui terikat pada VDR

inti dan VDR membran, yang kemudian menginduksi masing-masing

respon genomik dan nongenomik. Melalui penelitian ini, Sergeev dan

Rhoten melaporkan bahwa pemberian 1,25(OH)2D3 menimbulkan

osilasi kalsium intraseluler pada sel beta pankreas dalam beberapa

menit (Epstein S, 2010)

Kajikawa dan kawan-kawan menunjukkan bahwa analog 6-s-

cis, 1,25(OH)2lumisterol3 memiliki efek insulinotropik yang cepat,

melalui transduksi signal nongenomik melalui VDR membran, dan

mungkin tergantung pada tambahan aliran kalsium yang masuk

melalui saluran kalsium yang tergantung tegangan pada membran

plasma, juga berkaitan dengan signal metabolik yang dibawa dari

29

Page 30: Proposal

glukosa pada sel beta pankreas. DM tipe 2 berkaitan dengan inflamasi

sistemik, yang berkaitan dengan resistensi insulin primer, Vitamin D

juga dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan fungsi sel beta

pankreas melalui modulasi langsung serta mempengaruhi

pembentukan sitokin inflamasi (Epstein S, 2010).

C. Insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam

amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan

normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan

kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk

keperluan regulasi glukosa darah (sudoyo W, 2006, Hotamisligil G,

2006). Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang

dihubungkan oleh jembatan disulfide. Rantai A terdiri dari 21 asam

amino dan rantai B 30 asam amino.(Lina Y, 2005; Zhang B, 2002).

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor

hormone insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan

bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan

sehingga terbentuk proinsulin yang selanjutnya dihimpun dalam

gelembung-gelembung (Secretory vesicles) sel tesebut. Dengan

bantuan enzim peptidase, disini proinsulin dirubah menjadi insulin dan

peptide–C (C-peptide) yang siap untuk disekresikan melalui

membrane sel. (Sudoyo W, 2006).

30

Page 31: Proposal

Dalam keadaan fisiologis insulin disekresikan sesuai dengan

kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase yaitu fase dini

(fase 1) dan fase lanjut (fase 2). Fase dini terjadi 3-10 menit pertama

setelah makan. Insulin yang disekresikan pada fase ini adalah insulin

yang disimpan dalam sel beta (siap pakai). Pada fase lanjut sekresi

insulin dimulai setelah 20 menit setelah stimulasi dengan glukosa.

Fase 1 sekresi insulin akan meningkat pada pemberian glukosa untuk

mencegah kenaikan glukosa darah selanjutnya akan merangsang

fase 2 untuk meningkatkan insulin. Makin tinggi kadar glukosa darah

sesudah makan makin besar pula insulin dibutuhkan (sudoyo W,

2006, Adam JMF, 2006).

31

Page 32: Proposal

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian merupakan penelitian observasional dengan

pendekatan cross sectional study.

B. Tempat dan Waktu penelitian

1. Tempat Penelitian

a. Pengambilan sampel : Poliklinik endokrin dan Ruangan

Perawatan Penyakit dalam BLU RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar.

b. Pemeriksaan Laboratorium: Instalasi Laboratorium Patologi

klinik BLU RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2. Waktu penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2013 sampai

sampel mencukupi.

C. Populasi dan sampel penelitian

Penderita DM yang menjalani pemeriksaan dan perawatan di

Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

D. Perkiraan Besar sampel

Besar sampel diperkirakan berdasarkan rumus:

n = za 2 pq

32

Page 33: Proposal

d2

Keterangan:

n = besar sampel minimal

za = nilai standar untuk 0,05 = 1,96

p = prporsi variable yang diteliti = 0,28

q = 1 – p = 0,72

d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 0,1

dari perhitungan dengan rumus di atas, maka jumlah sampel minimal

77 orang.

E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria inklusi

a. Orang dewasa yang datang ke poliklinik penyakit dalam BLU

RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan setelah dilakukan

pemeriksaan fisik dan laboratorik dinyatakan sebagai penderita

DM.

b. Bersedia ikut dalam penelitian dengan mengisi dan

menandatangani lembar Informed Consent.

c. Tidak mengkomsumsi vitamin D

2. Kriteria eksklusi

Penderita DM dengan terapi insulin

F. Izin subyek penelitian

33

Page 34: Proposal

Dalam pelaksanaan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan

seizin dan sepengetahuan pasien yang dijadikan sampel penelitian

melalui lembar Informed Consent dan dinyatakan memenuhi

persyaratan etik untuk dilaksanakan dari Komisi Etik Penelitian

Biomedik pada Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar

G. Cara kerja

1. Alokasi subyek

Penelitian dilakukan pada semua orang dewasa yang memenuhi

kriteria inklusi dan melakukan pemeriksaan di Poliklinik Penyakit

Dalam RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2. Cara penelitian

a. Dilakukan pencatatan identitas penderita yang memenuhi

kriteria inklusi dan memberikan penjelasan lengkap mengenai

apa yang akan dilakukan terhadap mereka dan bila setuju

mereka akan mengisi dan menandatangani Informed Consent.

b. Pada subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi

dilakukan pengambilan sampel darah vena.

c. Sampel dibawa ke Instalasi Laboratorium Patologi Klinik RSUP

Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar untuk pemeriksaan kadar

Vitamin D dan Insulin.

3. Tes laboratorium

34

Page 35: Proposal

1. Pertama Inkubasi: inkubasi sampel (15 ml) dengan reagen

persiapan 1 dan 2 terikat vitamin D (25-OH) dilepaskan dari

protein vitamin D mengikat.

2. Kedua Inkubasi: inkubasi sampel kaleng ruthenium-label

kompleks protein D- mengikat vitamin terjadi antara vitamin D

(25-OH) dan ruthenilovaným protein vitamin D mengikat.

3. inkubasi: Setelah penambahan mikropartikel dilapisi

streptavidin dan vitamin D (25-OH), diberi label dengan biotin

akan kosong ruthenium-berlabel protein vitamin D mengikat.

Dibuat kompleks terdiri dari ruthenium-binding protein berlabel

vitamin D dan terbiotinilasi vitamin D (25-OH), yang mengikat

ke padat fase interaksi biotin dan streptavidin.

4. Campuran reaksi disedot ke dalam sel ukur dimana

mikropartikel magnetis ditangkap ke permukaan elektroda.

komponen yang tidak terpakai dihapus ProCell / M. ProCell

tegangan elektroda kemudian menginduksi emisi

chemiluminescent yang diukur dengan photomultiplier.

5. Hasilnya ditentukan dari kurva kalibrasi untuk unit 2-titik

kalibrasi dan kurva utama disediakan barcode reagen.

H. Alur Penelitian

35

Populasi penelitian

Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Pemeriksaan kadar vitamin D dan insulin

Analisis data

Page 36: Proposal

I. Definisi Operasional dan Kriteria obyektif

1. Penderita DM tipe 2 adalah penderita dewasa yang melakukan

pemeriksaan di poliklinik Penyakit Dalam atau dirawat di Bagian

Perawatan Penyakit Dalam BLU RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo

dan didiagnosis DM tipe 2 oleh dokter Bagian Penyakit Dalam

berdasarkan PERKENI 2006 yaitu poliuria, polidipsi, poliphagia,

penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Kriteria

objektif: GDS >200 mg/dl dan atau GDP >126 mg/dl.

2. Bukan DM tipe 2 adalah orang dewasa yang tidak menderita DM

dengan kadar GDS normal.

3. Kadar vitamin D adalah kadar 25(OH)D3 yang diukur

menggunakan Elecsys 2010

J. Metode Analisis

Seluruh data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan

tujuan dan jenis data. Data diolah menggunakan uji T tidak

berpasangan.

36

Hasil penelitian

Page 37: Proposal

KEPUSTAKAAN

American Diabetes Association, 2010. Standar of Medical Care in

Diabetes-2010, Diabetes Care, vol.33 (Suppl 1): s11-

s61

Adam JMF, The first east Indonesia endo-metabolik update,

Makassar, Mei 2006

Adam JMF, Obesitas dan sindrom Metabolik, Ilmu Penyakit Dalam

fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,

Makassar, Cetakan Pertama, bandung, 2006, p: 9-10

Boucher BJ, Mannan N, Noonan K et al. Glcose intolerance and

impairement of insulin secretion in relation to vitamin D

deficiency in East London Asians. Diabetologya 1995;

38:1239-1245

Eliades M, Pittas AG, Vitamin D and Type 2 Diabetes, Cinic Rev Bone

Miner Metabolic, 2009

Epstein S, Vitamin D in Endocrinology And Metabolism Clinics of

North America, volume 39, Number 2, 2010; 243-446

Gregori S, Giarratama N, Smiroldo S et al. A 1alpha,25-

dihydroxyvitamin D(3) analog enhances regulatory T-

37

Page 38: Proposal

cell and arrests autoimmune diabetes in NOD mice

Diabetes 2002; 51:1367-1374

Gustaviani R. 2007. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In :

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: FK UI.

P. 1857-1859

Hesmat R, Malazy OT, Effect of vitamin D on insulin resistance and

anthropometric parameters in type 2 diabetes; a

randomized double-blind clinical trial, Journal of

Pharmaceutical Sciences, 2012

Iyengar S, Hamman RF, Marshall JA et al. On the role of vitamin D

binding globulin in glucose homeostasis: result from the

San Luis Valley Diabetes Study. Genet Epidemiol

1989;6:1239-1245.

Lina Y, Wijaya A, mekanisme molecular diabetes tipe 2 dalam forum

diagnostikum prodia, No.2, 2005

Liu J, Vitamin D and Diabetes Mellitus: What Do We Know? In Journal

of Hypo and Hyperglycemia, 2013

Luong K, Nguyen LTH, Nguyen DNP, The role of vitamin D in

protecting type 1 diabetes mellitus. Diabetes Metab res

Rev 2005; 21:338-346

Mathieu C, Gysemans C, Guilietti A et al. Vitamin D and diabetes.

Diabetologia 2005; 48:1247-1257.

38

Page 39: Proposal

Mezza T, Muscogiuri G, Vitamin D Deficiency: A new risk factor for

Type 2 diabetes, Review Article, 2012

Ortlepp JR. Metrikat J, Albrecht M et al. The vitamin d receptor gene

variant and physical activity predicts fasting glucose

levels in healthy young men. Diabet Med 2003;20:451-

454

Ozfirat Z and Tahseen AC, Vitamin D deficiency and type 2 diabetes,

2010

Permana H.,2004. Patofisiologi Primary Osteoporosis, Metabolisme

vitamin D, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUP

Bandung,1-9.

Pitta AG., 2005. Diabetes Melitus: Diagnosis and Pathofisiology

(online).

http://ocw.tufts.edu/Content/14/lecturenotes/265878

Scragg R, Holdaway I, Singh V et al. Serum 25-hydroxyvitamin D3

levels decreased in IGT and diabetes. Diabetes Res

Clin Pract 1995: 27:181-188

Shankar A, Sabanayagam C, Kalindindi S, Serum 25-Hydroxyvitamin

D levels and Prediabetes Among Subjects free of

Diabetes, Diabetes Care, volume 34, may 2011

Shanthi B, Revathy C, Serum 25(OH)D and Type 2 Diabetes

mellitus.Original Article, 2012

39

Page 40: Proposal

Sung CC, Liao MT, Lu KC, Role of Vitamin D in Insulin Resistance,

Review Article, 2012

Sudoyo W, ARV, dkk, Insulin: Mekanisme sekresi dan aspek

metabolisme, buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,

Edisi IV, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta,

2006, 1890-91

Suyono S., 2007. Diabetes Melitus di Indonesia, Dalam buku ajar Ilmu

Penyakit dalam, edisi ke 4, Pusat Penerbitan Ilmu

Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2007; 1852-1856

Talaei A, Mohamadi M, the effect of vitamin D on insulin resistance in

patients with type 2 diabetes, Diabetology and

metabolic syndrome, 2013

Tsur A, Feldman BS, Decreased serum concentrations of 25-

hydroxycalciferol are Associated with increased risk of

progression to impaired fasting glucose and diabetes,

Diabetes care, volume 36, May 2013.

Valdivielso JM, A new role for vitamin D receptor activation in chronic

kidney disease, Am J Physiol renal Physiol 297, 2009

Wild S., Roglic G., Green A., et al. 2004. Global Prevalence of

Diabetes, Estimates for the year 200 and Projection for

2030. Diab Care. 27(5): 1047-1053

WHO. 1999. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes

melitus and lts Complication. Geneva

40

Page 41: Proposal

Zhang B, Insulin signaling and action: Glucose, lipids, protein,

www.endotext.com, April, 2002

41