proposal gizi terakhir - baru
TRANSCRIPT
DAFTAR ISIDAFTAR ISI...................................................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................5
1.3 Pertanyaan Penelitian...................................................................................................................5
1.4 Tujuan Penelitian.........................................................................................................................6
1.5 Manfaat penelitian.............................................................................................................................6
1.5.1 Manfaat Teoritik.........................................................................................................................6
1.5.1 Manfaat Metodologi....................................................................................................................6
1.5.1 Manfaat Aplikatif........................................................................................................................6
1.6 Ruang Lingkup Penelitian............................................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................................8
2.1 Kerangka Teori............................................................................................................................8
2.1.1 Definisi Status Gizi..............................................................................................................8
2.1.2 Dampak Kekurangan Gizi pada Balita.................................................................................8
2.1.3 Penilaian Status Gizi............................................................................................................9
2.1.4 Metode dan Penilaian Status Gizi.......................................................................................16
2.1.5 Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi....................................................................16
2.1.6 Program Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P).................................................24
2.2 Kerangka Konsepsional..............................................................................................................30
Hipotesis................................................................................................................................................31
2.3 Identifikasi Variabel...................................................................................................................31
BAB III METODE PENELITIAN......................................................................................................................34
1
3.3 Populasi......................................................................................................................................34
3.4 Sampel.......................................................................................................................................35
3.5 Responden..................................................................................................................................35
3.6 Pengumpulan Data...........................................................................................................................35
3.8 Teknik Analisa Data.........................................................................................................................36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................................................37
4.1 Gambaran Umum Status Gizi Balita di Kecamatan Kelapa Gading Tahun 2010 yang mendapatkan PMT-P...................................................................................................................................................37
4.2 Gambaran Umum Karakteristik Ibu dan Hubungannya dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Kelapa Gading 2010..............................................................................................................................43
4.2 Gambaran Umum Faktor Ekonomi dan Hubungannya dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Kelapa Gading 2010..............................................................................................................................48
Pemodelan status gizi balita setelah pemberian PMT-P.........................................................................55
BAB IPENDAHULUAN
2
1.1 Latar Belakang
Unsur gizi merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan sumber daya
manusia yang berkualitas yaitu manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Anak-anak yang
kekurangan gizi akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik, mental dan intelektual.
Kekurangan gizi pada umur dini mempunyai dampak yang buruk pada masa dewasa yang
dimanifestasikan dalam bentuk fisik yang lebih kecil dengan produktivitas yang lebih rendah.
(Benny dkk, 2004)
Masalah kekurangan gizi merupakan masalah kesehatan tertinggi di dunia, terutama
di negara-negara berkembang. Data statistik dari United Nation Foods and Agriculture
Organization (FAO), menyatakan bahwa kekurangan gizi di dunia mencapai 1,02 milyar
orang yaitu kira-kira 15% populasi dunia dan sebagian besar berasal dari negara berkembang.
Anak-anak adalah golongan yang sering mengalami masalah kekurangan gizi. Kira-kira
setengah dari 10,9 juta anak yaitu kira-kira 5 juta anak meninggal setiap tahun akibat
kekurangan gizi (FAO, 2009).
Banyaknya balita yang kekurangan gizi dan kelaparan menjadi permasalahan yang
sampai saat ini berusaha diselesaikan oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan.
Namun, dalam 3 (tiga) tahun terakhir, upaya yang dilakukan Pemerintah melalui Departemen
Kesehatan tidak signifikan mengurangi angka balita gizi kurang dan gizi buruk. Berdasarkan
data Departemen Kesehatan, jumlah kasus balita gizi kurang dan gizi buruk pada tahun 2004,
sebanyak 5,1 juta jiwa. Pada tahun 2006, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun
menjadi 4,28 juta anak, dan 944.246 orang di antaranya berisiko gizi buruk. Pada tahun 2007,
jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun lagi jadi 4,13 juta anak, dan 755.397 orang
di antaranya tergolong risiko gizi buruk (Kompas, Senin, 10 Maret 2008). Secara kuantitas
masih banyak balita kurang gizi yang belum tersentuh. Sementara secara kualitas, tingkat
kehidupan dan kesehatan bayi masih rendah dan rentan.
3
Data SUSENAS didapatkan
prevalensi balita gizi buruk yang cenderung
meningkat setiap tahunnya. Tahun 2001
prevalensi gizi buruk 6,3%, tahun 2002 7,47%,
tahun 2003 8,55%, (Depkes 2006). Tahun
2005 8,8% dan untuk privinsi DKI Jakarta
7,3% gizi buruk dan 15,03% gizi kurang (BPS
2006). Hal ini menunjukkan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di DKI Jakarta lebih rendah
dari rata-rata nasional, namun jika tidak ditangani maka angka prevalensi DKI Jakarta dapat
meningkat dengan cepat karena DKI Jakarta merupakan ibukota Negara yang juga wilayah
urban yang memiliki permasalahan kesehatan yang sangat kompleks.
Kurang Energi Protein (KEP) pada balita
masih merupakan masalah kesehatan di
Kecamatan Kelapa Gading. Pada tahun
2009 jumlah balita BGM sebanyak 327
balita, balita gizi buruk menurut BB/U table
Z-Score sebanyak 194 balita dan balita
kurang 133 balita, sedangkan balita kurus
sekali menurut BB/TB table Z-Score
sebanyak 17 orang. Kurus 97 balita, dan normal 22 balita. Data ini diambil dari tiga kelurahan
di kecamatan kelapa gading yang merupakan daerah yang rawan gizi buruk. Daerah rawan
gizi buruk ini meliputi Kelurahan Pegangsaan II (Rw01, Rw 02, Rw 03, Rw 04, Rw 05),
Kelurahan Gading Timur (Rw 04 dan Rw 06) dan Kelurahan Gading Barat (Rw 04, Rw 010,
Rw 013) (Puskesmas Kec. Kelapa Gading 2009)
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia dimulai melalui pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Perhatian utamanya terletak
pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda .
(Depkes, 2002).
4
Berdasarkan BB/U table Z-Score
Indonesia masih menetapkan paradigma lama yang berorientasi pangan atau
makanan. Hal ini berbeda dengan paradigma kebijakan gizi Thailand yang berorientasi
paradigma outcome, yaitu pertumbuhan anak dan status gizi. Thailand mengukur kemajuan
kesejahteraan rakyatnya antara lain dengan indikator pertumbuhan berat badan anak, bukan
hanya dengan berapa rata-rata persediaan atau konsumsi energi dan protein penduduk seperti
yang sering kita lakukan di Indonesia. Paradigma baru menekankan pentingnya outcome
daripada input. Persediaan pangan yang cukup (input) di masyarakat tidak menjamin setiap
rumah tangga dan anggota memperoleh makanan yang cukup dan status gizinya baik.
Paradigma inilah yang memperlihatkan bahwa pada tahun 1982 lebih dari separuh anak balita
Thailand bergizi kurang atau buruk (underweight) namun dalam waktu kurang dari sepuluh
tahun Thailand sudah dinyatakan oleh berbagai badan PBB sebagai negara yang bebas gizi-
buruk (BB/U < - 3SD).(Soekirman,2000)
Hasil RISKESDAS 2010 menunjukan 40,6% penduduk mengonsumsi makanan
dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang
dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan kelompok umur dijumpai 24,4 persen Balita, 41,2
persen anak usia sekolah, 54,5 persen remaja, 40.2 persen Dewasa, serta 44,2 persen ibu
hamil mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal.
Pemberian makanan tambahan bertujuan untuk memperbaiki keadaan gizi pada anak
golongan rawan gizi yang menderita kurang gizi, dan diberikan dengan kriteria anak balita
yang tiga kali berturut-turut tidak naik timbangannya serta yang berat badannya pada KMS
terletak dibawah garis merah. Bahan makanan yang digunakan dalam PMT hendaknya
bahan-bahan yang ada atau dapat dihasilkan setempat, sehingga kemungkinan kelestarian
program lebih besar. Diutamakan bahan makanan sumbar kalori dan protein tanpa
mengesampingkan sumber zat gizi lain seperti: padi-padian, umbi-umbian, kacang-
kacangan, ikan, sayuran hijau, kelapa dan hasil olahannya. (judiono 2003)
Penelitian marsono (1998) menemukan bahwa ada penurunan persentase status gizi
kurang pada balita yang mendapat PMT-P bulan pertama 14% menjadi 7,5% pada bulan
ketiga pengamatan. Dan berdasaran penelitian Khabib, 2001 di Kabupaten Tumenggung
didapatkan hasil bahwa status gizi balita sebelum PMT-P 100% KEP berat sesudah PMT-P
meningkat ke KEP sedang 63,73%
5
Hasil senada ditemukan oleh Yunarto (2004) ada perubahan status gizi buruk pada
balita yang mendapat PMT-P dari bulan pertama 51,7% menjadi 42,9% pada bulan ketiga
pemberian PMT-P.
1.2 Rumusan Masalah
Menurut hasil penelitian RISKESDAS 2010 diketahui prevalensi “gizi burkur” balita
pada tahun 2010 sebanyak 17,9%, prevalensi balita pendek 35,6% dan prevlensi balita kurus
sebanyak 13,3%. Sedangkan data yang didapatkan di puskesmas Kecamatan Kelapa Gading
pada tahun 2009 jumlah balita BGM sebanyak 327 balita, balita gizi buruk menurut BB/U
table Z-Score sebanyak 194 balita dan balia kurang 133 balita, sedangkan balita kurus sekali
menurut BB/TB table Z-Score sebanyak 17 orang. Kurus 97 balita, dan normal 22
balita.Salah satu upaya langsung dalam penanggulangan masalah gizi adalah dilakukan
Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) pada balita, hal ini disebabkan pada
masa ini anak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat, sehingga diperlukan
gizi untuk dapat tumbuh kembang secara optimal (Depkes, 2002). Untuk melihat
keberhasilan PMT-P terhadap peningkatan status gizi balita maka perlu dilakukan penelitian
untuk melihat faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap status gizi balita setelah
pemberian PMT-P di Puskesmas Kecamatan Kelapa Gading 2010.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran status gizi (BB/U) balita sebelum dan sesudah mendapat PMT-P
selama 3 bulan di Kecamatan Kelapa Gading tahun 2010?
2. Apakah ada hubungan antara faktor anak (frekuensi makan dan penyakit infeksi) dengan
status gizi (BB/U) setelah mendapat PMT-P selama 3 bulan di Kecamatan Kelapa Gading
tahun 2010?
3. Apakah ada hubungan antara faktor ibu (usia, pendidikan, pengetahuan, pola asuh)
dengan status gizi (BB/U) balita setelah mendapat PMT-P selama 3 bulan di Kecamatan
kelapa Gading tahun 2010?
4. Apakah ada hubungan antara faktor ekonomi keluarga dengan status gizi (BB/U) balita
setelah mendapat PMT-P selama 3 bulan di Kecamatan Kelapa Gading tahun 2010?
6
5. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan status gizi balita setelah pemberian
PMT-P?
6. Bagaimana evaluasi program PMT-P?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Terjadi gizi kurang pada balita di wilayah kecamatan kelapa gading, peneliti ingin
mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan hal tersebut.
.4.2 Tujuan Khusus
a. Diketahuinya prevalensi status gizi kurang balita yang mendapatkan
PMT-P di Kecamatan kelapa Gading, 2010
b. Diketahuinya faktor ibu (usia, pendidikan, pengetahuan dan pola asuh),
faktor anak (penyakit infeksi dan frekuensi makan), dan faktor ekonomi
keluarga berhubungan dengan status gizi balita setelah program PMT-P
selama 3 bulan di Kecamatan Kelapa Gading
1.5 Manfaat penelitian
1.5.1 Manfaat TeoritikPengembangan substansi ilmu kedokteran, khususnya kasus gizi kurang pada balita
yang mendapatkan PMT-P di Kecamatan Kelapa Gading, 2010
1.5.1 Manfaat MetodologiMempelajari dan mempraktekkan ilmu metodologi dalam sebuah penelitian
mengenai “ kasus gizi kurang pada balita yang mendapatkan PMT-P di Kecamatan
Kelapa Gading,2010”.
1.5.1 Manfaat Aplikatif1.5.1.1 Puskesmas tempat penelitian tersebut
7
Puskesmas Kecamatan Kelapa Gading dapat mengetahui tingkat
keberhasilan program PMT-P yang telah dilaksanakan. Sehingga mampu
memberikan penilaian apakah program ini dapat diteruskan atau tidak.
1.5.1.2 Penelitian
Peneliti dapat belajar lebih dalam lagi tentang kasus gizi kurang pada
balita dan melakukan penelitian. Selain itu juga, sebagai data bahwa
peneliti telah memenuhi salah satu syarat kelulusan dengan
menyelesaikan penelitian.
1.5.1.3 Fakultas kedokteran dan kesehatan Muhammadiyah
Menambah hasil karya tulis ilmiah yang dapat diletakkan di perpustakaan.
1.5.1.4 Penelitian lain
Sebagai bahan acuan atau perbandingan untuk penelitian berikutnya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita setelah diberikan PMT-P survei
dilakukan pada balita dengan status gizi kurang yang mendapat PMT-P di Puskesmas
Kecamatan Kelapa Gading, Program gizi tahun 2010. Desain penelitian deskriptif analitik
melalui pendekatan “ cross sectional “.
8
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Teori
2.1.1 Definisi Status Gizi
Menurut Suhardjo (2003 : 55), status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu
atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan
zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur
secara antropometri.Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa,
dkk, 2001). Sedangkan menurut Almatsier, 2001 Status gizi adalah keadaan tubuh
sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Keadaan tersebut dapat
dibedakan dengan status gizi kurang, baik, dan lebih
2.1.2 Dampak Kekurangan Gizi pada Balita Gizi kurang berdampak pada pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas.
(Adisasmito, 2008)
Anak yang kurang gizi pada usia balita akan tumbuh pendek dan mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan otak yang akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan
karena tumbuh kembang otak 80% terjadi pada masa dalam kandungan sampai usia 2
tahun (Adisasmito, 2008)
Gizi kurang juga bisa menyebabkan perilaku abnormal pada anak-anak. Ada hubungan
antara gizi kurang yang amat parah pada masa bayi dan penampilan dibawah optimal
pada usia sekolah (Berg, 1986).
Gizi kurang bisa menganggu motivasi anak, kemampuan untuk berkonsentrasi dan
kesanggupan untuk belajar (Berg, 1986).
9
2.1.3 Penilaian Status Gizi1. Definisi Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan
menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang
beresiko atau dengan status gizi buruk. Seperti halnya pada RISKESDAS 2007, status
gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan
panjang/tinggi badan. Indikator status gizi yang digunakan adalah: Berat Badan menurut
Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi
Badan (BB/TB). Untuk menilai status gizi balita digunakan Standar Antropometri yang
dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau yang disebut dengan “Standar WHO
2005”. Dalam Millenium Development Goal (MDGs), indikator status gizi yang dipakai
adalah BB/U dan angka prevalensi status “underweight” (gizi kurang dan buruk atau
disingkat “Gizi Burkur”) dijadikan dasar untuk menilai pencapaian MDGs.
Secara umum penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Penilaian status gizi secara langsung menurut Supariasa (2001) dapat dilakukan
dengan:
A. Antropometri
Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Sedangkan antropometri gizi adalah
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dan tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk
melihat keseimbangan asupan protein dan energi.
B. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode untuk menilai status gizi berdasarkan atas
perubahan-perubahan yang terjadi dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi,
seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau organ yang dekat dengan
permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
10
C. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan. Jaringan tubuh yang
digunakan antara lain darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati
dan otot.
D. Biofisik
Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melibat kemamapuan fungsi dan melihat perubahan struktur dari jaringan.
Penilaian status gizi secara tidak Iangsung menurut Supariasa, IDN (2001) dapat
dilakukan dengan:
A. Survey Konsumsi Makanan
Survey konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung
dengan melihat jumlah dan jenis zat dan gizi yang dikonsumsi.
Kesalahan dalam survey makanan bisa disebabkan oleh perkiraan yang tidak tepat dalam
menentukan jumlah makanan yang dikonsumsi balita, kecenderungan untuk mengurangi
makanan yang banyak dikonsumsi dan menambah makanan yang sedikit dikonsumsi (
The Flat Slope Syndrome ), membesar-besarkan konsumsi makanan yang bernilai sosial
tinggi, keinginan melaporkan konsumsi vitamin dan mineral tambahan kesalahan dalam
mencatat (food record).
B. Statistik Vital
11
Yaitu dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian karena penyebab tertentu dan data
lainnya yang berhubungan dengan gizi.
C. Faktor Ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi antara beberapa faktor
fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung
dan keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain.
2. Pengukuran Berdasarkan Antropometri
Definisi Antropometri
Antropometri berasal dari kata antrophos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan
metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Pengertian ini
bersifat umum sekali. Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi
badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah ulit. (Supriasa dkk, 2002)
Data Antropometrik
Ada beberapa jenis parameter yang dilakukan untuk mengukur tubuh manusia
yaitu: umur, berat badan, panjang badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala,
lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak bawah kulit. (Hadi, 2002;
Soetjiningsih, 1998; Supariasa, dkk, 2001; Nurrahmah, 2001).
A. Berat Badan
12
Berat badan merupakan pengukuran yang terpenting pada bayi baru lahir.
Dan hal ini digunakan untuk menentukan apakah bayi termasuk normal atau tidak
(Supariasa,dkk, 2001).
Berat badan merupakan hasil peningkatan / penurunan semua jaringan yang
ada pada tubuh antara tulang, otot, lemak, cairan tubuh. Parameter ini yang paling
baik untuk melihat perubahan yang terjadi dalam waktu singkat karena konsumsi
makanan dan kondisi kesehatan (Soetjiningsih 1998).
Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang
digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Mudah digunakan
dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain, (2) Mudah diperoleh dan relatif murah
harganya, (3) Ketelitian penimbangan maksimum 0,1 kg, (4) Skalanya mudah
dibaca, (5) Aman untuk menimbang balita.
B. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan ukuran antropometrik kedua yang cukup penting.
Keistemewaannya bahwa ukuran tinggi badan akan meningkat terus pada waktu
pertumbuhan sampai mencapai tinggi yang optimal. Di samping itu tinggi badan
dapat dihitung dengan dibandingkan berat badan dan dapat mengesampingkan umur.
Cara mengukur panjang badan usia 0-24 bulan yaitu: (1) alat pengukur
diletakkan di atas meja atau tempat yang datar, (2) bayi ditidurkan lurus di dalam alat
pengukur, (3) bagian bawah alat pengukur sebelah kaki digeser sehingga tepat
menyinggung telapak kaki bayi dan skala pada sisi alat ukur dapat dibaca.
C. Lingkar Kepala
Lingkar kepala dipakai untuk mengetahui volume intrakranial dan dipakai
untuk menaksir pertumbuhan otak. Apabila kepala tumbuh tidak normal maka kepala
akan mengecil dan menunjukkan retardasi mental sebaliknya bila kepala membesar
13
kemungkinan ada penyumbatan aliran serebrospinal seperti pada hidrosefalus yang
akan meningkatkan volume kepala.
D. Lingkar Lengan Atas
Pengukuran ini mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak
terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan berat badan.
E. Lipatan Kulit
Tebalnya lipatan kulit bagian triseps dan subskapular menggambarkan refleksi tubuh
kembang jaringan lemak di bawah kulit, yang mencerminkan kecukupan energi
(Soetjiningsih, 1998).
Indeks antropometri dan interpretasi
Beberapa jenis antropometri yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah KEP,
diantaranya yang sudah terkenal yaitu: BB, TB, LLA, LD, LLBK. Diantara beberapa
macam indeks tersebut yang paling sering digunakan adalah BB, TB, dan LLA. Adapun
jenis antropometri yang digunakan untuk pengukuran status gizi digunakan indeks Berat
Badan menurut Umur (BB/U).
Indeks Berat Badan Menurut Umur ( BB/U) Berat badan (BB) merupakan salah
satu antropometri yang memberikan gambaran tentang massa tubuh (Otot dan Lemak).
Berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Indeks berat badan menurut umur
(BB/U) digunakan sebagai salah satu indikator status gizi karena sifat berat badan yang
labil, maka indeks berat badan menurut umur (BB/U) lebih menggambarkan status gizi
seseorang saat kini. Penggunaan indeks BB/Usebagai indikator status gizi memiliki
kelebihan dan Kekurangan yang perlu mendapat perhatian. Kelebihan indeks ini, yaitu:
Dapat lebih mudah dan dimengerti oleh masyarakat, sensitif untuk melihat perubahan
status gizi jangka pendek, dapat mendeteksi kegemukan.
14
3. Klasifikasi Status Gizi
Tabel 2.1. Tabel Status Gizi
INDEKS STATUS GIZIAMBANG
BATAS *)
Berat badan
menurut umur
(BB/U)
Gizi Lebih > + 2 SD
Gizi Baik ≥ -2 SD sampai +2
SD
Gizi Kurang < -2 SD sampai ≥ -
3 SD
Gizi Buruk < – 3 SD
Tinggi badan
menurut umur
(TB/U)
Normal ≥ 2 SD
Pendek
(stunted)
< -2 SD
Berat badan
menurut tinggi
badan (BB/TB)
Gemuk > + 2 SD
Normal ≥ -2 SD sampai +
2 SD
Kurus (wasted) < -2 SD sampai ≥ -
3 SD
Kurus sekali < – 3 SD
Sumber : Wiku Adisasmito, 2008
Klasifikasi di atas berdasarkan parameter antropometri yang dibedakan atas:
15
1) Berat Badan / Umur
Status gizi ini diukur sesuai dengan berat badan terhadap umur dalam bulan yang hasilnya
kemudian dikategorikan sesuai dengan tabel 2.1.
2) Tinggi Badan / Umur
Status gizi ini diukur sesuai dengan tinggi badan terhadap umur dalam bulan yang
hasilnya kemudian dikategorikan sesuai dengan tabel 2.1.
3) Berat Badan / Tinggi Badan
Status gizi ini diukur sesuai dengan berat badan terhadap tinggi badan yang hasilnya
kemudian dikategorikan sesuai dengan tabel 2.1
4) Lingkar Lengan Atas / Umur
Lingkar lengan atas (LILA) hanya dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu gizi kurang dan
gizi baik dengan batasan indeks sebesar 1,5 cm/tahun.
Parameter Berat Badan / Tinggi Badan banyak digunakan karena memiliki
kelebihan:
1) Tidak memerlukan data umur
2) Dapat membedakan proporsi badan ( gemuk, normal, kurus)
Menurut Depkes RI (2005) Parameter berat badan / tinggi badan berdasarkan kategori Z-
Score diklasifikasikan menjadi 4 yaitu:
1) Gizi Buruk ( Sangat Kurus) : <-3 SD
2) Gizi Kurang (Kurus) :-3SDs/d<-2SD
3) Gizi Baik (Normal) :-2SDs/d+2SD
16
4) Gizi Lebih (Gemuk) :>+2SD
2.1.4 Metode dan Penilaian Status Gizi
Metode dalam penelitian status gizi dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu secara langsung,
tidak langsung dan adanya factor ekologi. Penelitian status gizi secara langsung dapat
diukur dengan pengukuran antropometri, pemeriksaan klinis, laboratorium dan
pemeriksaan biofisika. Sedangkan penelitian status gizi tidak langsung melalui angka
kesehatan, kesakitan, dan kematian dalam suatu populasi. Dan faktor ekologi dilakukan
pengumpulan data lapangan misalnya 24-hour food recall.(Supariasa, 2002)
2.1.5 Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan
secara internasional, yang meliputi beberapa tahapan penyebab timbulnya kurang gizi
pada anak balita, baik penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah dan pokok
masalah. Berdasarkan Soekirman dalam materi Aksi Pangan dan Gizi nasional (Depkes,
2000), penyebab kurang gizi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyakit Infeksi
Infeksi dapat menurunkan nafsu makan anak sehingga kecukupan gizi tidak terpenuhi.
Jika berlangsung lama akan menyebabkan kekurangan gizi pada anak. (Arisman,
2004)
Infeksi menyebabkan terjadinya percepatan proses katabolisme sehingga
meningkatkan sekaligus menambah kehilangan zat gizi (Arisman, 2004)
Infeksi menyebabkan anak sulit makan karena adanya luka di mulut, hidung
tersumbat, atau sulit bernafas. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian makanan cair,
tetapi ini mengurangi asupan zat gizi yang seharusnya.
Infeksi menyebabkan pemecahan jaringan di otot dan lemak karena tubuh
membutuhkan energi yang tinggi saat infeksi sedangkan asupannya kurang sehingga
menyebabkan penurunan berat badan pada anak (king dan Burgess, 1993).
17
Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam
dapat menderita kurang gizi. Demikian pada anak yang makannya tidak cukup baik
maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya
baik makanan maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang
gizi. Gangguan gizi yang kronis pada masa anak akan tampak akibatnya terhadap
pertumbuhan pada usia selanjutnya bila tidak segera ditanggulangi (Soekirman,
1999)..
Masalah pada anak yang digunakan sebagai penilaian, klasifikasi dan
tindakan/pengobatan anak sakit umur 2 bulan sampai 5 tahun diantaranya adalah
batuk, diare dan demam. (WGO 2009)
Hubungan Lingkungan dengan Terjadinya Penyakit
Menurut HL Blum (1974) bahwa status kesehatan dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :
Lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik. Lingkungan merupakan faktor
yang paling berpengaruh terhadap status kesehatan. Sedangkan menurut John Gordon,
penyakit dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : Host (tuan rumah), Agent, dan Environment
(lingkungan).
Memang penyebab utama penyakit adalah bakteri, virus atau makhluk renik yang
lain. Tetapi bakteri, virus atau makhluk renik yang lain tersebut sangat dipengaruhi oleh
18
lingkungan. Dalam gambar di atas menunjukkan bahwa lingkungan merupakan
pengendali dari host dan agent. Dengan demikian, untuk mencegah munculnya
ketidakseimbangan host dan agent, maka lingkungan harus tetap dijaga dengan baik.
Ketidakberesan di lingkungan berakibat tidak beresnya agen ataupun host, sehingga
penyakit itupun mudah muncul. Penyakit TB Paru, diare, flu burung, flu babi, maupun
penyakit menular yang lain adalah akibat berkembang biaknya bakteri maupun virus di
tubuh manusia. Sedangkan penularan dan berkembangbiaknya bakteri maupun virus
sangat dipengaruhi kondisi lingkungan di sekitar manusia tersebut.
2. Jenis Kelamin
Menurut Suharto (1996) secara tradisional seringkali anak perempuan mendapat
prioritas makanan yang kedua daripada anak laki-laki, sehingga jika terjadi musim
paceklik, anak perempuan lebih rentan menderita kurang gizi karena diskriminasi dalam
pembagian makanan.
Menurut baku standar WHO-NCHS dalam Depkes (2002a) jenis kelamin juga
mempengaruhi ukuran tubuh anak dimana laki-laki lebih berat dan lebih tinggi dari
perempuan pada umur yang sama dalam keadaan status gizi baik. Sehingga, kebutuhan
zat gizi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena perbedaan luas tubuh dan
aktivitasnya (Apriadji, 1986)
3. Perilaku Makan
Setiap kebutuhan anggota keluarga khususnya balita harus cukup makan setiap hari
untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sehingga keluarga perlu belajar menyediakan gizi
yang baik di rumah melalui pangan yang disiapkan dan dihidangkan serta perlu
membagikan pangan di dalam keluarga secara merata, sehingga setiap orang dapat
makan cukup pangan yang beraneka ragam jenisnya guna memenuhi kebutuhan
perorangan (Suhardjo dkk, 1986 : 114). Membentuk pola makan yang baik untuk
seorang anak menuntut kesabaran seorang ibu. Pada usia pra sekolah, anak-anak
seringkali mengalami fase sulit makan. Kalau problem makan ini berkepanjangan maka
19
dapat mengganggu tumbuh kembang anak karena jumlah dan jenis gizi yang masuk
dalam tubuhnya kurang (Ali Khomsan, 2004 : 33).
Anjuran pemberian makanan selama anak sehat maupun sakit pada balita berusia
dua tahun atau lebih adalah engan memberikan makanan keluarga 3x sehari, sebanyak
1/3-1/2 porsi makan orang dewasa yang terdiri dari nasi, lauk-pauk, sayuran dan buah.
Kemudian dapat diberikan makanan selingan kaya gizi 2x seharu antara waktu makan
(Depkes RI 2008).
Gizi kurang banyak menimpa anak-anak balita sehingga golongan anak ini disebut
golongan rawan gizi. Masa peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola
makanan orang dewasa atau bukan anak merupakan masa gawat karena ibu atau
pengasuh anak mengikuti kebiasaan yang keliru (Sajogyo et al, 1994 : 31)
Hal inilah yang perlu menjadi perhatian sang ibu, karena tidak jarang anak akan
sering mengkonsumsi makanan lain selain yang disediakan oleh keluarga seperti jajan.
Syahmien Moedji 1986 membahas hal-hal yang berhubungan dengan jajan, diantaranya
adalah kue yang dibeli untuk jajan ini biasanya dibuat dari tepung dan gula. Jadi
semata-mata mengandung hidrat arang. Walaupun ada zat-zat makanan lain seperti
protein, tentu jumlahnya sedikit sekali. Dengan jajan, sering anak terlalu kenyang,
lebih-lebih jika jajan itu diberikan berulang kali dalam sehari. Akibatnya anak tidak
mau lagi makan nasi, atau jika mau jumlah porsi yang dihabiskan sedikit sekali.
Membeli jajan itu jangan dilakukan oleh anak sendiri, tetapi bersama-sama dengan
orang tua, sehingga orang tua dapat memilihkan makanan yang baik dan tidak baik.
Disamping itu, orang tua dapat menunjukkan mana tempat yang bersih dan mana yang
tidak bersih.
4. Umur Ibu
20
Usia produktif ibu dalam masa reproduksi berperan dalam membantu
pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Usia produktif ibu berkisar 20-30 tahun,
penelitian Farida (2002) mengungkapkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
umur ibu dengan status gizi balita.
Penelitian Karyadi (1998) menemukan ibu yang berusia antara 20 hingga 30 tahun
lebih banyak anak balitanya dengan status gizi baik daripada ibu-ibu yang lebih muda
atau lebih tua dari usia 20-30 tahun.
5. Pola Asuh Ibu
Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan terdapat kemungkinan
makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dan
keluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan keluarga
juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga, serta
pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Selain itu tingkat pendapatan juga menentukan
pola makan apa yang dibeli dengan uang tersebut. Jika pendapatan meningkat,
pembelanjaan untuk membeli makanan juga meningkat. Dengan demikian pendapatan
merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kualitas makanan yang selanjutnya
akan berpengaruh terhadap status gizi (Alan Berg dan Sayogya, 1986).
Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan
waktu, perhatian, dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-
baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat
kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak berusia di bawah lima tahun.
Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan
suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang memadai. Pada masa ini juga, anak-anak
masih sangat tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Oleh karena itu,
pengasuhan kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting
untuk perkembangan anak (Sarah, 2008)
6. Pendidikan Ibu
21
Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subyek
sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Pendidikan sangat
berperan sebagai faktor kunci dalam meningkatkan sumber daya manusia. Indikator
untuk tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan yang telah dicapai oleh penduduk
usia 15 tahun ke atas. Data SUSENAS tahun 2002 menyebutkan bahwa rata-rata
tertinggi jenjang pendidikan yang dicapai oleh penduduk adalah provinsi DKI Jakarta
rata-rata sampai kelas 1 SMU (BPS 2002).
Syamsul (1999) dalam Tarigan (2003) menyatakan bahwa rendahnya tingkat
pendidikan keluarga khususnya ibu, memberikan suatu gambaran bahwa adanya
keterbatasan sumber daya manusia dalam mengakses pengetahuan khususnya di bidang
kesehatan untuk menerapkan dalam kehidupan keluarga terutama pada pengasuhan
anak balita.
Faktor pendidikan turut pula menentukan cara memahami pengetahuan gizi. Dari
kepentingan gizi keluarga pendidikan amat perlu agar lebih tanggap terhadap adanya
masalah gizi dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Apriadji 1986).
Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga
berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta pengasuhaan dan perawatan anak.
Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima
informasi kesehatan khususnya di bidang gizi, sehingga dapat menambah
pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari- hari. (Depkes RI,
1990)
Menurut Slope (1989), pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah
dialami seseorang dan berijazah. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam
kesehatan terutama pada pola asuh anak, alokasi sumber zat gizi serta utilisasi informasi
lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan ibu menyebabkan berbagai keterbatasan dalam
menangani masalah gizi dan keluarga serta anak balitanya. (Herman, 1990)
7. Pengetahuan Ibu
22
Sebagian besar kejadian gizi buruk dapat dihindari apabila ibu mempunyai
pengetahuan tentang cara memelihara gizi dan mengatur makanan anak (Moehji 1988).
Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pengalaman, media masa, pengaruh
kebudayaan, pendidikan baik formal atau informal. (Suhardjo, 1986)
Penelitian dilakukan Hermina (1992), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
pengetahuan gizi ibu maka semakin baik pula status gizi anaknya. Hasil yang sama
ditemukan Husaini, dkk (1982) dalam Hermina (1998), dengan adanya peningkatan
pengetahuan gizi ibu sesudah program intervensi berupa penyuluhan gizi dan
pengobatan infeksi ternyata dapat menurunkan jumlah anak yang menderita gizi buruk
dan angka kematian balita menurun
Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang
bersangkutan (Hermina, dkk 1997). Ibu yang memiliki pengetahuan tentang adanya
makanan khusus tersebut serta mengusahakan agar makanan khusus tersebut tersedia
untuk dikonsumsi anaknya cenderung mempunyai bayi atau anak dengan gizi baik
(Jus’at 1999). Hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Yuliana, dkk
(2002) menyatakan bahwa status gizi sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang
gizi.
Penelitian Kusnadi (2001), menemukan bahwa 44,6% balita yang mengalami
kekurangan gizi,ternyata mempunyai ibu dengan pengetahuan gizi yang kurang juga.
Semakin rendah pengetahuan ibu tentang gizi maka akan semakin buruk pula status gizi
anaknya.
Ibu yang memiliki pengetahuan gizi dan kesadaran gizi yang tinggi akan melatih
kebiasaan yang sehat sedini mungkin kepada putra putrinya . Anak-anak biasanya akan
meniru apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Bila anak melihat anggota keluarga mau
makan apa saja yang dihidangakan ibu di meja makan maka anak pun akan ikut makan
juga. Jelas ini penting dalam melatih kebiasaaan anak makan makanan yang sehat
(Suhardjo 1989).
23
Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, disamping pendidikan yang
pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media masa juga
mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi adalah
kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tentang gizi
dalam kehidupan sehari-hari. (Suhardjo, 2003)
Tingkat pengetahuan gizi seseorang besar pengaruhnya bagi perubahan sikap dan
perilaku di dalam pemilihan bahan makanan, yang selanjutnya akan berpengaruh pula
pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Keadaan gizi yang rendah disuatu
daerah akan menentukan tingginya angka kurang gizi secara nasional. (Sri Mulyati,
1990)
8. Ekonomi Keluarga
Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada
besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan serta tingkat pengelolaan
sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas, besar
kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang
diperlukan tubuh. Setidaknya keanekaragaman bahan makanan kurang bisa dijamin,
karena uang yang terbatas maka tidak akan banyak pilhan (Apriadji 1986).
Penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan keluarga baik kualitas atau
kuantitas (Supariasa 2002). Diberbagai Negara berkembang termasuk Indonesia,
masalah gizi kurang banyak diderita oleh penduduk terutama golongan miskin, hal ini
di karenakan pendapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan yang bergizi.
Mutmainah, dkk (1996) menyatakan orangtua yang berpenghasilan rendah
cenderung mempunyai anak kekurangan gizi dan tidak sehat, hali ini didukung oleh
Sihadi (1999), menyatakan ada kaitan antara keadaan gizi balita dengan ekonomi
rumahtangga, disimpulkan bahwa rata-rata persen BB/U pada kelompok ekonomi
rendah selalu lebih rendah dari kelompok ekonomi tinggi, situasi ini akan diperburuk
lagi pada golongan masyarakat dengan jumlah anggota keluarga besar.
24
akar dari masalah yang menyebabkan tingginya anak yang menderita kurang gizi,
yang mencapai 4 juta adalah kemiskinan (Khomsan 2008 dalam
(http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/11/22340095/gizi.buruk.ancam.4.juta.anak.
indonesia, 11/29/2008)
DAMPAK
25
KURANG GIZI
PENYEBAB
LANGSUNG
PENYEBAB
TIDAK LANGSUNG
POKOK MASALAH
DI MAYARAKAT
PENGANGGUR, INFLASI, KURANG PANGAN DAN KEMISKINAN
AKAR MASALAH
NASIONAL
Penyebab kurang gizi balita (disesuaikan dari UNICEF, 1998 dalam Soekirman 2000).
9. Asupan Energy
26
MAKANAN TIDAK SEIMBANG PENYAKIT INFEKSI
TIDAK CUKUP
PERSEDIAAN PANGAN
POLA ASUH ANAK TIDAK MEMADAI
SANITASI DAN AIR
BERSIH/PELAYAN KESEHATAN
DASAR TIDAK MEMADAI
KURANG PENDIDIKAN,PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN
KURANG PEMBERDAYAAN WANITA DAN KELUARGA, KURANG PEMANFAATAN
SUMBER DAYA MASYARAKAT.
KRISIS EKONOMI, POLITIK, SOSIAL
Asupan zat gizi sangat mempengaruhi status gizi, jika asupan suatu zat gizi dalam
jumlah yang kurang, akan berakibat terjadinya defisiensi zat gizi tersebut. Hal ini juga
terjadi jika kekurangan konsumsi energy dalam waktu yang cukup lama, akan berakibat
pada terjadinya kurang gizi atau bahkan gizi buruk (Sudiarti & Utari, 2007).
AKG 2005 : kebutuhan protein anak umur 7-11 bulan 15 gr/hari, umur 1-3 tahun 25
gr/hr, umur 4-6 tahun 39 gr/hr (Depkes, 2005).
2.1.6 Program Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P)1. Definisi
Pemberian Makanan Tambahan merupakan salah satu komponen penting Usaha
Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan program yang dirancang oleh pemerintah. PMT-
P sebagai sarana pemulihan gizi dalam arti kuratif, rehabilitatif dan sebagai sarana
untuk penyuluhan merupakan salah satu bentuk kegiatan pemberian gizi berupa
makanan dari luar keluarga, dalam rangka program UPGK. PMT-P ini diberikan setiap
hari selama 3 bulan, sampai keadaan gizi penerima makanan tambahan ini
menunjukkan perbaikan dan hendaknya benar-benar sebagai penambah dengan tidak
mengurangi jumlah makanan yang dimakan setiap hari dirumah. Pada saat ini program
PMT-P tampaknya masih perlu dilanjutkan mengingat masih banyak balita dan anak-
anak yang mengalami kurang gizi bahkan gizi buruk.
2. Tujuan PMT-P balita
Pemberian makanan tambahan bertujuan untuk memperbaiki keadaan gizi pada
anak golongan rawan gizi yang menderita kurang gizi, dan diberikan dengan kriteria
anak balita yang tiga kali berturut-turut tidak naik timbangannya serta yang berat
badannya menurut KMS terletak dibawah garis merah. Bahan makanan yang digunakan
dalam PMT-P hendaknya bahan-bahan yang ada atau dapat dihasilkan setempat,
sehingga kemungkinan kelestarian program lebih besar. Diutamakan bahan makanan
sumbar kalori dan protein tanpa mengesampingkan sumber zat gizi lain seperti: padi-
padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, ikan, sayuran hijau, kelapa dan hasil
27
olahannya. (judiono 2003). Selain itu untuk mempertahankan dan meningkatkan status
gizi balita dari keluarga miskin
3. Sasaran PMT-P
Sasaran intervensi Gizi PMT-P adalah anak balita dengan kriteria:
a. Usia 24-59 bulan
b. Status gizi >/60-70% dari BB normal/ gizi kurang
c. Balita BGM berdasarkan KMS
ALUR KONFIRMASI STATUS GIZI BALITA BGM
28
4. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Pada Balita
29
BGM
UKUR KEMBALI BB & PB/TB
PERIKSA TANDA-TANDA KLINIS MARASMUS/ KWASHIORKOR
Z–SCORE : -. BB/U < -3 SD
-. BB/TB <-3 SD
TIDAK YA
GIZI BURUK
ADA TIDAK ADA
BUKAN GIZI BURUK
PENYULUHAN, dst CARI PENYAKIT PENYERTA, PEMBIAYAAN, GAKIN dst
Nomor Zat Gizi StatusUmur
1-3 Tahun
Umur
4-6 Tahun
1. Energi Kkal 1000 1550
2. Protein Gr 25 39
3. Vit. A RE 400 450
4. Vit. D Ug 5 5
5. Vit. E Mg 6 7
6. Vit. K Ug 15 20
7. Thiamin Mg 0.5 0.6
8. Riboflavin Mg 0.5 0.6
9. Niacin Mg 6 8
10. Vit. B 12 Ug 0.9 5
11. Asam Folat Ug 150 200
12. Piridoksin Mg 0.5 0.6
13 Vit. C Mg 40 45
14. Kalsium Mg 500 500
15. Fosfor Mg 400 400
16. Magnesium Mg 60 80
17. Besi Mg 8 9
18. Seng Mg 8.2 9.7
19. Yodium Ug 90 120
30
Zat Gizi Prioritas
Nomor Zat Gizi Alasan
1. Kalori Tinggi Meningkatkan berat badan
2. Protein Tinggi
Mencegah dan mengurangi
kerusakan jaringan tubuh,
meningkatkan daya tahan tubuh
3.
Zat besi (Fe)
Membantu pembentukan sel
darah merah untuk mengatasi
dan mencegah anemia
4. Kalsium Pertumbuhan tulang dan gigi
5. Zinc Daya tahan tubuh
6. Asam Lemak Essensial Untuk kecerdasan
5. Kontribusi PMT- P Untuk Balita Gzi Kurang
31
Sumber : WKPG, 2004
Dilihat dari nilai gizinya yaitu : 1/3 angka kecukupan gizi yang dianjurkan yaitu
- Kalori : 360 - 430 Kkal
- Protein : 15 - 20 Gram
Dengan melihat angka kecukupan zat gizi ( zat gizi utama, kandungan Vitamin dan
mineral ) yang ada dalam makanan atau minuman maka ada beberapa factor
pertimbangan dalam menentukan jenis PMT-P yang berupa formula yaitu :
a. Kontribusi terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan.
b. Kandungan zat gizi prioritas.
c. Kandungan zat-zat gizi yang bermanfaat dalam perbaikan status nutrisi
(karbohidrat, protein, oligosakarida, fitokimia, antioksidan dan prebiotik).
Sumber: dr.Marcell, FKUI- RSCM.
d. Aman bagi balita perbandingan dan kandungan mineral vit. yang mengacu
pd Codex Alimentarius.( EPS GAN yaitu nutrisi keamanan makanan )
yaitu standar minimum sampai dengan maksimum zat yang ada dalam
makanan.
6. Pelaksanaan program PMT-P
Pemberian makanan tambahan pemulihan di rekomendasikan oleh Depkes 90 hari
(Depkes 2002). Namun, pada pelaksanaannya di lapangan didapatkan adanya PMT-P
yang diberikan kurang dari 90 hari atau lebih dari 90 hari.
32
2.2 Kerangka Konsepsional
Konsumsi makanan dan penyakit infeksi yang kurang memenuhi syarat gizi
merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan status gizi anak hal
inilah yang disebut dengan penyebab langsung, sedangkan penyebab tidak langsung
diantaranya adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Kesemua faktor ini tidak terlepas dari
adanya peranan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga. Dimana
makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin
baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dan
keluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan
keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli
keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Soekirman dalam materi
Aksi Pangan dan Gizi nasional (Depkes, 2000)
Pola asuh ibu terhadap anaknya berkaitan erat dengan keadaan ibu, terutama
kesehatan, pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan tentang pengasuhan anak
(Adni Abdul Razak 2009)
33
Faktor Ibu
Usia
Pendidikan ibu
Pengetahuan Gizi Ibu
Pola asuh ibu
Status Gizi
Faktor Anak
Penyakit infeksi
Frekuensi makanan
Ekonomi Keluarga
Variabel independen Variabel Dependen
Hipotesis
H1 : Ada hubungan antara faktor anak dengan status gizi balita setelah pemberian PMT-P
H2 : Ada hubungan antara faktor ibu dengan status gizi balita setelah pemberian PMT-P
H3 : Terjadi peningkatan berat badan balita setelah pemberian PMT-P
H4 : PMT-P mampu mengubah status gizi balita
2.3 Identifikasi VariabelVariabel dependen :
Status Gizi
Variabel independen:
1. Usia
2. Pendidikan ibu
3. Pengetahuan Ibu
4. Pola asuh ibu
5. Ekonomi keluarga
6. Penyakit infeksi
2.4 Definisi Operasional
No. Variabel DO Kategori Skala Cara Ukur
1. Status Gizi Keadaan tubuh
balita dinilai dari
pengukuran
antropometri yang
membandingkan
berat badan
terhadap umur
menurut WHO-
Standar baku rujukan
WHO-NCHS
Gizi buruk <-3 SD,
gizi kurang -3 SD s/d -
2 SD, gizi baik >-2
SD s/d -2 SD (hasil
ukur)
Ordinal Antropometri
34
NCHS (DO)
2. Penyakit
Infeksi
Kondisi anak
selama mengikuti
program PMT-P
Sakit dan tidak
sakit
Nominal Quisioner
3. Frekuensi
Makan
Berapa kali anak
makan dalam
sehari
Sering >3 kali
Jarang 1-2 kali
Ordinal Quisioner
4. Usia Ibu Lamanya waktu
hidup ibu sejak
lahir sampai
waktu wawancara
<20 tahun dan >30
tahun
20-30 tahun
Ordinal Quisioner
5. Pendidikan Ibu Jenjang
pendidikan formal
terkahir yang
pernah di tempuh
ibu.
Rendah : tidak
sekolah, tidak tamat
SD, SD, tidak tamat
SMP, SMP
Tinggi : tamat SMA,
D3, PT
Ordinal Quisioner
6. Pengetahuan
Gizi Ibu
Pengetahuan
mengenai status
gizi anak dan
jenis makanan
bergizi
1. Kurang, jika jawaban yang benar < 60%
2. Sedang, jika jawaban yang benar 60%-80%
3. Baik, jika jawaban yang benar > 80%
(Khomsan dkk,
2004)
Ordinal Quisioner
7. Pola Asuh Ibu Kemampuan ibu Kurang mampu, jika Ordinal Quisioner
35
untuk
menyediakan
waktu, perhatian,
dan dukungan
terhadap anak
agar dapat
bertumbuh dan
berkembang
dengan sebaik –
baiknya secara
fisik, mental dan
sosial
jawaban benar 0-5
Cukup mampu, jika
jawaban benar 6
Mampu, jika jawaban
benar 7-8
8. Ekonomi
keluarga
Pendapatan
keluarga perbulan
untuk memenuhi
kebutuhan
keluarga
Tinggi : Diatas
UMR DKI Jakarta
2011.
Rendah : Dibawah
UMR DKI Jakarta
2011.
Ordinal Quisioner
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
36
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan
suatu keadaan secara sistematis, faktual, dan akurat (Myrnawati, 2004). Dengan desain
penelitian yang digunakan adalah penelitian Cross Sectional, yaitu jenis desain penelitian
yang berupa pengumpulan data dari sampel tertentu yang hanya dilakukan satu kali.
(Malhotra, 2007). Sedangkan berdasarkan teknik pengumpulan datanya, penelitian ini
termasuk dalam penelitian survey dimana informasi dikumpulkan dari responden dengan
menggunakan kuesioner (Singarimbun 1989).
3.2 Waktu dan Tempat
a. Waktu
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari 2011.
b. Tempat
Penelitian ini dilakukan di keempat puskesmas kelurahan di wilayah kecamatan Kelapa
Gading, Jakarta Utara.
3.3 Populasi
Populasi merupakan balita BGM berdasarkan KMS dengan status gizi kurang / status gizi
>/ 60-70% BB normal yang berjumlah 55 balita di Kecamatan Kelapa Gading yang terbagi
ke dalam empat kelirahan:
a. Kelurahan Kelapa gading Barat : 15 balita
b. Kelurahan Kelapa Gading Timur : 12 balita
c. Kelurahan Pgengsaan 2-A : 20 balita
d. Kelurahan Pegangsaan 2-B : 8 balita
3.4 Sampel Kelurahan Kelapa Gading Barat sebanyak : 15 orang
Kelurahan Kelapa Gading Timur sebanyak : 7 orang
37
Kelurahan Pegangsaan IIA sebanyak : 20 orang
Kelurahan Pegangsaan IIB sebanyak : 8 orang +
Total 55 orang
3.5 Responden
Responden yang akan diwawancarai adalah :
1. Ibu yang memiliki balita dengan status gizi buruk, gizi kurang dan mengikuti program
pemberian makanan tambahan pemulihan di Kecamatan Kelapa Gading.
Adapun kriteria responden yaitu :
a. Ibu yang mempunyai balita dan telah terdaftar mengikuti program pemberian makanan
tambahan
b. Bersedia menjadi responden
c. Tidak ada gangguan mental
d. Dapat berkomunikasi dengan lancar
3.6 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan oleh tim dokter muda yang berjumlah 6 orang dengan
cara kunjungan ke puskesmas kelurahan yang melakukan program pemantauan terhadap
PMT-P. Prosedur ini dilakukan pada semua ibu yang memiliki balita dengan status gizi
kurang yang mendapatkan PMT-P di keempat kelurahan di wilayah Kecamatan Kelapa
Gading, Jakarta Utara untuk dijadikan sampel sampai mencapai jumlah keseluruhan sampel.
3.7 Pengukuran dan Pengamatan Variabel
a. Pembuatan kuesioner
38
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuisioner yang diisi sendiri oleh
responden yang diberikan penjelasan sebelumnya mengenai tata cara pengisian kuisioner.
Setelah selesai, kuisioner langsung dikumpulkan saat itu juga agar tidak terjadi kecurangan.
b. Uji coba kuesioner
Dilakukan sebelum membagikan kuisioner kepada ibu dari 20 balita yang datang ke poli
MTBS puskesmas kecamatan kelapa gading.
3.8 Teknik Analisa Dataa. Pengolahan Data
Setalah pengumpulan data selesai dilakukan pengolahan data melalui beberapa tahapan
yakni editing data, koding data, penyimpanan data, validasi, dan tabulasi data.
b. Analisa Data
Analisa data dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1) Analisa Univariat
Analisa univariat untuk melihat distribusi frekuensi dari semua variabel.
2) Analisa Bivariat
Tujuan analisa bivariat untuk melihat kecenderungan hubungan antar variabel dan
melihat kemungkinan variabel independent (faktor risiko) masuk sebagai kandidat
model. Hubungan antara variabel tersebut adalah antara variabel independent X (faktor
risiko) dengan variabel dependent Y (efek).Hal ini dapat dibuktikan dengan
menggunakan metode tes chi square, dan analisis multivariat dengan logistik regresi
untuk melihat besarnya peranan variabel-variabel bebas yang bermakna terhadap
perubahan status gizi balita setelah diberikan PMT-P.
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
39
4.1 Gambaran Umum Status Gizi Balita di Kecamatan Kelapa Gading Tahun 2010 yang mendapatkan PMT-P
a. Status Gizi Balita sebelum PMT-P
Pada penelitian ini, diambil sebanyak 55 responden untuk mengetahui kondisi gizi
balita di Kecamatan Kelapa Gading. Status gizi balita pada penelitian ini dibagi menjadi
tiga kategori yakni gizi baik, gizi kurang dan gizi buruk. Pengumpulan data mengenai
status gizi dilakukan empat kali yakni data sebelum pemberian PMT-P, evaluasi bulan
pertama, evaluasi bulan kedua dan evaluasi bulan ketiga setelah pemberian PMT-P.
Sebelum pemberian PMT-P, sebanyak 80 persen balita di kecamatan ini memiliki
kondisi gizi dengan status kurang dan sebanyak 20 persen balita berstatus gizi buruk.
Distribusi balita berdasarkan status gizinya sebelum pemberian PMT-P disajikan pada
gambar 4.1 di bawah ini.
b. Status Gizi Belita setelah PMT-P
Setelah pemberian PMT-P selama tiga bulan, terjadi perubahan proporsi status gizi
balita di kecamatan tersebut. Setelah diadakannnya program tersebut, diketahui bahwa dari
sejumlah responden yang sama, terdapat 29,1 persen balita dinyatakan berstatus gizi baik,
sebanyak 54,5 persen berstatus gizi kurang dan sisanya yakni sebanyak 16,4 persen balita
masih mengalami gizi buruk. Distribusi balita di Kecamatan Kelapa Gading berdasarkan
status gizinya setelah pemberian PMT-P disajikan pada gambar 4.2 di bawah ini.
40
4.1. Gambaran Umum Karakteristik Balita dan Hubungannya dengan Status Gizi Balita
di Kecamatan Kelapa Gading Tahun 2010
Dari sejumlah sampel yang diambil pada penelitian ini, ditemukan balita berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 50,9 persen dan balita yang berjenis kelamin perempuan
sebanyak 49,1 persen.
Tabel 4.1 Proporsi Status Gizi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
TotalLaki-laki Perempuan
Status gizi balita
baik 10 6 16
kurang 15 15 30
buruk 3 6 9
Total 28 27 55
Sumber: Data diolah
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 28 balita laki-laki, sebanyak
10 balita memiliki status gizi baik, 15 balita memiliki status gizi kurang dan sebanyak 3
balita memiliki status gizi buruk. Sementara itu, dari 27 balita perempuan, diketahui bahwa
sebanyak 6 balita memiliki status gizi baik, 15 balita memiliki status gizi kurang dan
41
sebanyak 6 balita memiliki status gizi buruk. Angka pada tabel tersebut menunjukkan
perbandingan yang tidak terlalu signifikan antara balita laki-laki dan perempuan. Jadi dapat
dikatakan tidak ada perbedaan proporsi status gizi antara balita laki-laki dan balita
perempuan.
a. Penyakit Infeksi
Ditinjau dari infeksi penyakit yang menyerang balita pada saat program pemberian
PMT-P berlangsung, diketahui bahwa terdapat 22 balita atau sebanyak 40 persen pernah
mengalami sakit selama pemberian PMT-P dan sebanyak 33 balita atau 60 persen balita
tidak pernah mengalami sakit selama pemberian PMT-P.
Tabel 4.2 Hubungan Status Gizi Balita Setelah Pemberian PMT-P dengan Status
Kesehatan Selama Pemberian PMT-P
Penyakit Infeksi
TotalSakit Tidak Sakit
Status gizi
balita
Baik 4 12 16
kurang 14 16 30
Buruk 4 5 9
Total 22 33 55
Sumber: data diolah
Tabel diatas menunjukkan hubungan antara status gizi balita setelah pemberian
PMT-P dengan status kesehatan balita selama pemberian PMT-P yakni selama tiga bulan
menjalani program.
Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa dari 16 balita yang berstatus gizi baik
diketahui 4 orang pernah mengalami sakit sedangkan 12 orang diantaranya tidak megalami
sakit selama pemberian PMT-P.
Sementara itu, dari 30 balita yang berstatus gizi kurang, sebanyak 14 balita pernah
mengalami sakit selama pemberian PMT-P dan sisanya yakni sebanyak 16 balita tidak
pernah mengalami sakit. Dari 9 balita yang berstatus gizi buruk, diketahui bahwa
sebanyak 4 balita pernah mengalami sakit dan sebanyak 5 balita tidak mengalami sakit.42
Untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel tersebut maka statistik yang
digunakan adalah koefisien kontingensi. Nilai koefisien tersebut dengan dihitung
menggunakan komputer adalah 0,193 dengan signifikansi 0,345 (lebih besar dari α =
0,05). Karena signifikansi koefisien tersebut lebih besar dari taraf uji, maka dapat
disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95 persen tidak ada hubungan yang
berarti antara status kesehatan selama pemberian PMT-P dengan status gizi balita setelah
pemberian PMT-P.
b. Frekuensi makan
1. Hubungan antara Frekuensi Makan Balita dengan Status Gizi Balita
Tabel 4.5 Hubungan Status Gizi Balita Setelah Pemberian PMT-P dengan Frekuensi Makan
Sehari
Frekuensi Makan
Total2-3 kali > 3 kali
Status gizi balita
Baik 13 3 16
kurang 29 1 30
Buruk 7 2 9
Total 49 6 55
Sumber: data diolah
Dari tabel diatas diketahui bahwa 16 balita dengan status gizi baik, 13 balita
diantaranya memiliki kebiasan makan 2-3 kali dalam sehari sedangkan 3 balita lainnya
memiliki kebiasaan makan >3 kali.
Pada 30 balita dengan status gizi kurang, 29 balita diantaranya memiliki
kebiasaan makan 2-3 kali sehari dan hanya terdapat 1 balita saja yang memiliki kebiasaan
makan >1 kali perhari.
Dan pada 9 balita dengan status gizi buruk, 7 balita diantaranya memiliki
kebiasaan makan 2-3 kali sehari dan sisanya 2 balita memiliki kebiasaan makan >3 kali
sehari.
43
Tabel 4.5 menunjukkan hubungan antara status gizi balita dengan frekuensi
makan balita dalam satu hari. Nilai koefisien Kendall’s tau-b untuk tabulasi silang diatas
adalah -0,035 dengan signifikansi 0,837 (lebih besar dari α = 0,05). Karena signifikansi
koefisien tersebut lebih besar dari taraf uji, maka dapat disimpulkan bahwa dengan
tingkat kepercayaan 95 persen tidak ada hubungan yang berarti antara komposisi
makanan sehari-hari dengan status gizi balita setelah pemberian PMT-P.
2. Hubungan antara Kebiasaan Balita Menghabiskan Makanan dengan Status Gizi
Habis tidaknya balita dalam memakan makanan yang diberikan ibunya merupakan
salah satu aspek yang perlu diperhatikan. Tabel 4.6 di bawah ini menunjukkan tabulasi
silang antara habis tidaknya balita memakan makanan yang diberikan oleh ibu dengan
status gizinya.
Tabel 4.6 Hubungan Status Gizi Setelah Pemberian PMT-P dengan Kemampuan
Balita Menghabiskan Makanan
Habis tidaknya makan
Totalhabis tidak habis
Status gizi balita
Baik 12 4 16
kurang 18 12 30
Buruk 6 3 9
Total 36 19 55
Sumber: data diolah
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari sebanyak 36 balita yang
mampu menghabiskan makanannya, terdapat 12 balita yang berstatus gizi baik, 18 balita
berstatus gizi kurang dan 6 balita berstatus gizi buruk.
Dari 19 balita yang tidak mampu menghabiskan makanannya, terdapat 4 balita
yang berstatus gizi baik, 12 balita berstatus gizi kurang dan 3 balita berstatus gizi buruk.
Untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel diatas, maka digunakan
koefisien kontingensi. Nilai koefisien kontingensi untuk tabulasi silang diatas adalah 0,137
dengan nilai signifikansi sebesar 0,593 (lebih besar dari α = 0,05). Karena signifikansinya 44
lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95
persen, tidak ada hubungan yang berarti antara status gizi balita dengan habis tidaknya
makan sehari-hari.
Selain mengkonsumsi makanan utama, ternyata hampir semua balita di Kecamatan
Kelapa Gading yang dijadikan sampel juga mengkonsumsi jajanan atau makanan ringan
untuk anak-anak. Rata-rata frekuensi jajanan balita di kecamatan ini adalah 4 hingga 5 kali
dalam sehari.
4.2 Gambaran Umum Karakteristik Ibu dan Hubungannya dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Kelapa Gading 2010
a. Usia Ibu
Rata-rata umur ibu yang diteliti pada penelitian ini adalah 31,5 tahun dengan
simpangan baku sebesar 5,9 tahun.
b. Pendidikan Ibu
Berdasarkan tingkat pendidikannya, diketahui bahwa sebanyak 38 ibu balita
memiliki latar pendidikan yang masih rendah dan sebanyak 17 ibu balita memiliki latar
belakang pendidikan yang cukup tinggi. Seorang ibu dikatakan berpendidikan rendah jika
pendidikan yang ditamatkannya adalah setingkat SD atau SMP. Sementara itu, seorang ibu
dikategorikan berpendidikan cukup tinggi jika pendidikan yang berhasil ditamatkannya
minimal SMA. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikannya disajikan pada
gambar 4.3 di bawah ini.
45
Pendidikan yang ditamatkan oleh ibu diprediksikan akan berpengaruh terhadap
status gizi balita. Hal ini dikarenakan ibu yang berpendidikan tinggi diasumsikan akan
memiliki pengetahuan yang cukup baik untuk merawat anaknya sehingga status gizi balita
akan lebih baik daripada ibu yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah.
Hubungan antara latar pendidikan ibu dengan status gizi balita dapat dilihat pada tabulasi
silang di bawah ini.
Tabel 4.7 Hubungan Status Gizi Balita Setelah Pemberian PMT-P dengan Tingkat
Pendidikan Ibu
Pendidikan Ibu
Totalrendah tinggi
Status gizi balita
baik 10 6 16
kurang 21 9 30
buruk 7 2 9
Total 38 17 55
Sumber: data diolah
Nilai koefisien Kendall’s tau-b untuk tabulasi silang diatas adalah -0,104 dengan
signifikansi 0,415 (lebih besar dari α = 0,05). Karena signifikansi koefisien tersebut lebih
besar dari taraf uji, maka dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95 persen
tidak ada hubungan yang berarti antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita
setelah pemberian PMT-P.46
c. Pengetahuan Gizi Ibu
Selain tingkat pendidikan, pengetahuan gizi ibu juga diduga akan mempengaruhi
status gizi balita. Hubungan mengenai status gizi balita dengan pengetahuan gizi ibu
disajikan pada tabulasi silang di bawah ini.
Tabel 4.8 Hubungan Status Gizi Balita Setelah Pemberian PMT-P dengan Pengetahuan Ibu
Mengenai Kondisi Gizi
Pengetahuan ibu mengenai kondisi
gizi balita
TotalBaik Cukup Buruk
Status gizi balita
baik 10 6 0 16
kurang 10 10 10 30
buruk 1 6 2 9
Total 21 22 12 55
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari 16 balita yang berstatus gizi baik,
10 diantaranya memiliki ibu yang memiliki pengetahuan baik dan 6 orang ibu memiliki
pengetahuan cukup.
Dari 30 balita yang berstatus gizi kurang, terdapat 10 balita yang memiliki ibu
berpengetahuan baik, 10 balita memiliki ibu dengan pengetahuan cukup, dan 10 balita
lainnya memiliki ibu dengan pengetahuan buruk.
Dari 9 balita yang berstatus gizi buruk, terdapat 1 balita yang memiliki ibu dengan
pengetahuan baik, 6 balita dengan ibu yang berpengetahuan cukup dan 2 balita dengan ibu
yang berpengetahuan buruk.
Untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel diatas, maka digunakan kendall’s
tau b. Nilai kendall’s tau b untuk tabulasi silang diatas adalah 0,327 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,000 (lebih kecil dari α = 0,05). Karena signifikansinya lebih kecil dari 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95 persen ada hubungan yang berarti
antara status gizi balita dengan pengetahuan gizi ibu. Hubungan kedua variabel ini bernilai
47
positive, hal ini dapat diartikan bahwa jika pengetahuan gizi ibu baik maka status gizi balita
akan semakin baik, begitu pula dengan sebaliknya.
Hal ini didukung dengan teori yang menyebutkan bahwa sebagian besar kejadian gizi
buruk dapat dihindari apabila ibu mempunyai pengetahuan tentang cara memelihara gizi dan
mengatur makanan anak (Moehji 1988).
Tingkat pengetahuan gizi seseorang besar pengaruhnya bagi perubahan sikap dan
perilaku di dalam pemilihan bahan makanan, yang selanjutnya akan berpengaruh pula pada
keadaan gizi individu yang bersangkutan. Keadaan gizi yang rendah disuatu daerah akan
menentukan tingginya angka kurang gizi secara nasional. (Sri Mulyati, 1990)
d. Pola Asuh
Hubungan pola asuh dengan status gizi balita
Pola Asuh Ibu
Total
Kurang
Baik Cukup Baik
Baik
Status gizi balita
baik 2 3 11 16
kurang 8 3 19 30
buruk 2 4 3 9
Total 12 10 33 55
Sumber: data diolah
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 16 balita berstatsu gizi baik
diketahui bahwa, 2 balita memiliki ibu dengan pola asuh kurang baik, 3 balita memiliki ibu
dengan pola asuh cukup baik, dan 11 balita memiliki ibu dengan pola asuh baik.
Sedangkan dari 30 balita dengan status gizi kurang diketahui bahwa 8 balita
memiliki ibu dengan pola asuh kurang baik, 3 balita memiliki ibu dengan pola asuh cukup
baik, dan 19 balita memiliki ibu dengan pola asuh baik.
48
Dan dari 9 balita dengan status gizi buruk diketahui bahwa 2 balita memiliki ibu
dengan pola asuh kurang baik, 4 balita memiliki ibu dengan pola asuh cukup baik, dan 3
balita mamiliki ibu dengan pola asuh baik.
Untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel diatas, maka digunakan
kendall’s tau b. Nilai kendall’s tau b untuk tabulasi silang diatas adalah 0,170 dengan nilai
signifikansi sebesar 0,124 (lebih besar dari α = 0,05). Karena signifikansinya lebih besar
dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95 persen tidak ada
hubungan yang berarti antara status gizi balita dengan pola asuh ibu.
4.2 Gambaran Umum Faktor Ekonomi dan Hubungannya dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Kelapa Gading 2010
Pada penelitian ini, faktor ekonomi keluarga diukur dengan melihat pendapatan yang
diterima oleh keluarga tersebut dalam kurun waktu satu bulan kemudian dikategorikan
sesuai UMR DKI Jakarta 2011 sebesar Rp. 1.289.000,00, jika lebih dari UMR DKI Jakarta
2011 maka dikategorikan pendapatan tinggi, jika kurang dari UMR DKI Jakarta 2011 maka
dikategorikan pendapatan rendah. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan
disajikan pada gambar 4.4 di bawah ini.
49
Untuk mengetahui hubungan antara pendapatan per bulan dengan status gizi balita
dapat dibuat tabulasi silang antara dua buah variabel tersebut. Tabulasi silang antara
pendapatan per bulan dengan status gizi balita disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.10 Hubungan Pendapatan per Bulan dengan Status Gizi Balita
Klasifikasi Pendapatan
TotalTinggi Rendah
Status gizi balita
baik 3 13 16
kurang 11 19 30
buruk 1 8 9
Total 15 40 55
Sumber: data diolah
Dari data yang telah diolah diketahui bahwa dari 16 balita yang berstatus gizi baik 3
balita dintaranya memiliki keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dan 13 balita
diantaranya memiliki tingkat pendapatan rendah.
Sedangkan 30 balita dengan status gizi kurang diketahui bahwa 11 balita memiliki
keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dan 19 balita memiliki keluarga dengan tingkat
pendapatan rendah.
Dan dari 9 balita dengan status gizi buruk diketahui bahwa 1 balita memiliki
keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dan 8 diantaranya memiliki keluarga dengan
tingkat pendapatan rendah.
Dengan menggunakan ukuran asosiasi korelasi Rank Kendall’s, diperoleh koefisien
korelasi Kendall’s tau-b sebesar -0,008 dengan signifikansi sebesar 0,943 (lebih besar dari
α = 0,05). Karena signifikansi koefisien tersebut lebih besar dari taraf uji, maka dapat
disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95 persen tidak ada hubungan yang berarti
antara pendapatan keluarga per bulan dengan kondisi gizi balita setelah pemberian PMT-P.
50
4.2. Evaluasi Program PMT-P di Kecamatan Kelapa Gading Tahun 2010
Program PMT-P dilakukan dengan tujuan memperbaiki kualitas gizi para balita di
Indonesia. Program ini dilakukan dengan cara memberikan suatu makanan tambahan untuk
para balita yang berstatus gizi kurang dan buruk. Pada penelitian ini, evaluasi mengenai
program tersebut dilakukan melalui beberapa variabel yakni tingkat preferensi makanan
PMT-P yang pada akhirnya diduga akan mempengaruhi habis tidak PMT-P tersebut.
Kemudian akan dievaluasi apakah pemberian PMT-P tersebut dapat meningkatkan berat
badan balita dan pada akhirnya akan mengubah status gizi balita.
Tingkat kesukaan balita terhadap PMT-P yang diberikan diklasifikan menjadi dua
yaitu suka dan tidak suka. Di Kecamatan Kelapa Gading, terdapat 49 balita atau sebesar
89,09 persen dari total balita yang dijadikan responden pada penelitian ini menyukai
makanan tambahan yang diberikan. Sementara itu, sebanyak 6 balita atau sebesar 10,91
persen tidak menyukai makan tambahan yang diberikan.
Suka atau tidaknya PMT-P yang diberikan diduga akan mempengaruhi habis atau
tidaknya makanan tersebut. Dari 49 balita yang menyukai PMT-P yang diberikan, 41 balita
mampu menghabiskan makanan tersebut dan sisanya tidak mampu menghabiskan makanan
tersebut. Sementara itu, dari 6 balita yang tidak menyukai PMT-P diketahui hanya 2 balita
yang mampu menghabiskan dan sebanyak 4 balita tidak mampu menghabiskan makanan
tersebut. Hubungan antara kedua variabel tersebut disajikan pada tabulasi silang di bawah
ini.
Tabel 4.11 Hubungan antara Tingkat Preferensi dengan Habis Tidaknya PMT-P yang diberikan
Suka tidaknya PMT-P
TotalSuka tidak suka
Habis tidaknya
PMT-P
habis 41 2 43
tidak habis 8 4 12
Total 49 6 55
Sumber: data diolah
51
Nilai koefisien kontingensi untuk tabulasi silang diatas adalah 0,355 dengan nilai
signifikansi sebesar 0,005 (lebih kecil dari α = 0,05). Karena signifikansinya lebih kecil
dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95 persen, ada
hubungan yang berarti antara tingkat kesukaan balita dengan habis tidaknya PMT-P yang
diberikan. Akan tetapi nilai koefisien kontingensi sebesar 0,355 menunjukkan bahwa
hubungan antara kedua variabel tersebut adalah hubungan yang lemah. Dari tabulasi diatas
dapat diperoleh nilai odd ratio yang menunjukkan seberapa besar kecenderungan balita
yang menyukai PMT-P akan menghabiskan makanannya. Nilai odd ratio untuk tabulasi
diatas adalah 10,25 yang artinya balita yang menyukai PMT-P yang diberikan cenderung
akan menghabiskan makanan tersebut sebanyak 10 kali lipat dibandingkan balita yang
tidak menyukainya.
Tabel 4.12 Hubungan antara Habis Tidaknya PMT-P yang diberikan dengan Status Gizi Balita
Habis tidaknya PMT-P
TotalSuka Tidak suka
Status gizi balita
Baik 13 3 16
kurang 23 7 30
buruk 7 2 9
Total 43 12 55
Sumber: data diolah
Berdasarkan tabulasi diatas, diketahui bahwa dari 43 balita yang menyukai PMT-P
yang diberikan, 13 balita berstatus gizi baik, 23 balita berstatus gizi kurang dan sisanya
berstatus gizi buruk sebesar 7 balita. Dari 12 balita yang menyukai PMT-P yang diberikan,
3 balita berstatus gizi baik, 7 balita berstatus gizi kurang dan sisanya berstatus gizi buruk
sebesar 2 orang.
Nilai koefisien kontingensi untuk tabulasi silang diatas adalah 0,048 dengan nilai
signifikansi sebesar 0,937 (lebih besar dari α = 0,05). Karena signifikansinya lebih besar
dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95 persen, tidak ada
hubungan yang berarti antara status gizi balita dengan habis tidaknya PMT-P yang
diberikan.52
Sementara itu, hubungan antara tingkat kesukaan balita terhadap PMT-P yang
diberikan dengan status gizinya disajikan pada tabulasi silang di bawah ini.
Tabel 4.13 Hubungan antara Tingkat Kesukaan terhadap PMT-P yang diberikan dengan Status
Gizi Balita
Suka tidaknya PMT-P
TotalSuka Tidak suka
Status gizi balita
Baik 14 2 16
kurang 27 3 30
buruk 8 1 9
Total 49 6 55
Sumber: data diolah
Nilai koefisien kontingensi untuk tabulasi silang diatas adalah 0,035 dengan nilai
signifikansi sebesar 0,967 (lebih besar dari α = 0,05). Karena signifikansinya lebih besar
dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95 persen, tidak
ada hubungan yang berarti antara status balita dengan tingkat preferensi balita terhadap
PMT-P yang diberikan.
Berat Badan Balita Sebelum dan Sesudah Pemberian PMT-P
Salah satu cara untuk mengetahui efektif tidaknya program PMT-P adalah dengan
melakukan pengujian perbedaan rata-rata berat badan balita sebelum dan setelah program
dilakukan. Program dikatakan berhasil jika secara rata-rata berat badan akhir balita
meningkat dibandingkan rata-rata berat badan awal. Untuk mengetahui apakah ada
perbedaan rata-rata antara berat badan awal dan akhir, digunakan t-test untuk data
berpasangan.
Langkah pengujiannya adalah sebagai berikut:
53
H0 : (rata-rata berat badan balita setelah pemberian PMT-P lebih kecil atau sama
dengan rata-rata berat badan awal)
H1 : (rata-rata berat badan balita setelah pemberian PMT-P lebih besar daripada rata-
rata berat badan awal)
Taraf uji: α = 5%
Statistik uji: uji T untuk data berpasangan
Wilayah kritik: Tolak H0 jika p-value < α (one-tail)
Dengan menggunakan program komputer 16.0 diperoleh output sebagai berikut:
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 Berat badan balita
awal - Berat badan
balita akhir
-.76364 .71915 .09697 -.95805 -.56922 -7.875 54 .000
Dari output diatas diperoleh nilai t sebesar -7,875 dan nilai signifikansi sebesar
0.000 sehingga lebih kecil dari taraf uji (5%).
Keputusan: Tolak H0
Kesimpulan:
Dengan tingkat kepercayaan 95 persen dapat disimpulkan bahwa rata-rata berat
badan balita setelah pemberian PMT-P lebih besar daripada rata-rata berat badan awal.
Hasil ini menunjukkan bahwa program pemberian PMT-P ini efektif menaikkan rata-rata
54
berat badan para balita yang mengikuti program PMT-P di Kecamatan Kelapa Gading
tahun 2010.
Status Gizi Balita Sebelum dan Sesudah Pemberian PMT-P
Inti dari pelaksanaan program PMT-P ini adalah perbaikan status gizi balita.
Karena itu, berhasil tidaknya program ini sangat ditentukan oleh kondisi gizi balita
sebelum dan sesudah pelaksanaan program selama tiga bulan.
Tabel 4.14 Perbandingan Status Gizi Balita di Kecamatan Kelapa Gading Sebelum dan Sesudah
Pemberian PMT-P
Status gizi balita
sebelum diberi PMT-P
Totalkurang buruk
Status gizi
balita setelah
diberi PMT-P
baik 16 0 16
kurang 25 5 30
buruk 3 6 9
Total 44 11 55
Sumber: data diolah
Langkah pengujiannya adalah sebagai berikut:
H0: Tidak terdapat perbedaan kondisi status gizi balita sebelum dan sesudah pemberian
PMT-P.
H1: Terdapat perbedaan kondisi status gizi balita sebelum dan sesudah pemberian PMT-P
Taraf uji: 5%
Statistik uji: Uji Wilcoxon
Wilayah kritik: Tolak H0 jika p-value < α (one-tail)
Dengan menggunakan program komputer 16.0 diperoleh output sebagai berikut:
55
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Status gizi setelah mendapat
PMTP - Status gizi sebelum
PMTP
Negative Ranks 21a 12.50 262.50
Positive Ranks 3b 12.50 37.50
Ties 31c
Total 55
a. Status gizi setelah mendapat PMTP < Status gizi sebelum PMTP
b. Status gizi setelah mendapat PMTP > Status gizi sebelum PMTP
c. Status gizi setelah mendapat PMTP = Status gizi sebelum PMTP
Test Statisticsb
Status gizi
setelah
mendapat PMTP
- Status gizi
sebelum PMTP
Z -3.674a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Keputusan: Tolak H0 (karena p-value = 0,000 lebih kecil dari 0,05)
Kesimpulan:
Dengan tingkat kepercayaan 95 persen dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara kondisi status gizi balita sebelum dan sesudah
pemberian PMT-P atau dapat dikatakan bahwa program PMT-P berhasil mengubah
kondisi status gizi balita.
56
Pemodelan status gizi balita setelah pemberian PMT-P
Pada penelitian ini beberapa karakteristik ibu dan balita serta keadaan keluarga
diregresikan dengan status gizi balita untuk mendapatkan faktor-faktor apa saja yang
secara statistik terbukti dapat mempengaruhi status gizi balita.
Variabel dependen pada penelitian ini adalah status gizi balita setelah pemberian
PMT-P. Variabel ini memiliki skala pengukuran berupa ordinal sehingga alat analisis
yang digunakan untuk meregresikan variabel dependen dengan variabel independennya
adalah analisis regresi logistik ordinal berganda. Status gizi balita dibagi menjadi tiga
kategori yakni gizi baik, kurang dan buruk. Sementara itu, variabel yang akan
diregresikan adalah variabel-variabel yang telah dijelaskan pada kerangka pikir yakni
umur ibu, latar pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, pola asuh ibu, penyakit infeksi,
frekuensi makan dan frekuensi jajan serta pendapatan rumah tangga per bulan.
Dengan menggunakan program komputer 16.0 diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.15 Tabel Estimasi Parameter Model Analisis Regresi Logistik Ordinal Berganda
(Multiple Ordinal Logistic Regression)
Variabel Independen Koefisien
Standar
Error
Koefisien
Signifikansi
(1) (2) (3) (4)
Konstanta (1) -0,366 2,386 0,878
Konstanta (2) 0,2526 2,411 0,295
X1 = umur ibu 0,039 0,049 0,426
X2 = pendidikan ibu 0,042 0,707 0,651
X31 = pengetahuan gizi ibu (Baik) -1,634 0,892 0,067
X32 = pengetahuan gizi ibu (cukup) -0,600 0,844 0,477
X41 = pola asuh ibu (Baik) 0,320 0,888 0,824
X42 = pola asuh ibu (cukup) 0,920 0, 829 0,267
X5 = infeksi penyakit 0,163 0,661 0,805
57
X6 = frekuensi makan -0,140 0,906 0,877
X7 = frekuensi jajan 0,042 0,042 0,789
X8 = pendapatan -1,594E-7 0,000 0,858
Sumber: data diolah
Pada software komputer, default reference category atau standar kategori
pembandingnya adalah kategori terakhir, jadi pada model ini yang dijadikan pembanding
adalah kategori gizi buruk. Karena terdapat tiga kategori respon maka model logit yang
terbentuk adalah dua model yaitu sebagai berikut:
Model untuk gizi baik:
Logit (γ1) = log = -0,366 + 0,039x1 + 0,042x2 – 1,634x31 – 0,006X32 +0,320x41 + 0,920X42
+ 1,63x5 – 0,140x6 – 0,042x7 – 1,594E-7x8
Model untuk gizi kurang:
Logit (γ2) = log = 0,2526 + 0,039x1 + 0,042x2 – 1,634x31 – 0,006X32 +0,320x41 + 0,920X42
+ 1,63x5 – 0,140x6 – 0,042x7 – 1,594E-7x8
Penilaian kelayakan model dilakukan untuk mengetahui apakah model yang
digunakan yakni model logistik ordinal berganda ini pas atau tidak dengan data yang ada.
Penilaian dilakukan dengan melihat nilai G, model dikatakan pas atau fit jika
signifikansinya lebih kecil dari taraf uji (5%). Berdasarkan output yang dihasilkan nilai G
untuk model ini adalah 10,189 dengan signifikansi 0,424. Nilai signifikan tersebut
menunjukkan bahwa model ini tidak tepat digunakan untuk memodelkan data.
Untuk mengetahui variabel-variabel mana saja yang mempengaruhi status gizi
balita maka perlu dilihat tingkat signifikansi untuk masing-masing variabel yakni kolom 4
pada tabel 4.15. Pada tabel tersebut sangat banyak variabel yang tidak signifikan sehingga
dilakukan pendekatan metode backward selection untuk mencari kombinasi variabel yang
signifikan. Metode ini dilakukan dengan cara mengeliminasi variabel-variabel
58
independen yang paling tidak signifikan satu persatu hingga diperoleh model dimana
semua variabelnya signifikan.
Setelah dilakukan beberapa kali pengujian ulang maka diperoleh hasil bahwa
variabel independent yang signifikan mempengaruhi status gizi balita hanya pengetahuan
gizi ibu kategori baik. Hasil pengolahannya disajikan pada table di bawah ini.
Tabel 4.16 Tabel Estimasi Parameter Model Analisis Regresi Logistik Ordinal Berganda
(Multiple Ordinal Logistic Regression)
Variabel Independen Koefisien
Standar
Error
Koefisien
Signifikansi
(1) (2) (3) (4)
Konstanta (1) -1,843 0,711 0,010
Konstanta (2) 1,058 0,659 0,108
X31 = pengetahuan gizi ibu (Baik) -1,893 0,805 0,019
X32 = pengetahuan gizi ibu (cukup) -0,600 0,736 0,415
Sumber: data diolah
Berdasarkan table diatas, diketahui bahwa pengetahuan ibu kategori 2 (cukup)
terbukti tidak signifikan karena p-value lebih dari taraf uji. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan signifikan antara pengetahuan ibu kategori cukup dengan buruk
(kode 2 dan 3), sehingga pengetahuan ibu hanya dibagi menjadi dua kategori yakni
baik=1 dan cukup=2.
Setelah pengklasifikasian ulang, maka diperoleh model baru seperti di bawah ini.
Model untuk gizi baik:
Logit (γ1) = log = -1,590 + 1,524x3
Model untuk gizi kurang:
Logit (γ2) = log = 1,216 + 1,524x3
59
Dimana
X3 = pengetahuan ibu
Sedangkan model summary-nya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Estimasi Parameter
Variabel independenKonstanta
(1)
Konstanta
(2)X3
Koefisien -1,590 1,216 1,524
Standar Error Koefisien 0,430 0,392 0,584
Signifikansi 0,000 0,002 0,009
Penilaian Kelayakan Model
G Pearson Deviance
Chi-square 7,392 0,108 0,112
Signifikansi 0,007 0,743 0,738
Berdasarkan output yang dihasilkan nilai G untuk model ini adalah 7,392 dengan
signifikansi 0,007. Nilai signifikan tersebut menunjukkan bahwa model ini cocok
digunakan untuk memodelkan data.
Selain dengan menggunakan besaran diatas, penilaian kelayakan model juga
diukur dengan menggunakan besaran Pearson dan Deviance. Model dikatakan cocok jika
nilai signifikansi kedua besaran tersebut lebih besar dari taraf uji. Pada output yang
dihasilkan, nilai signifikasi untuk besaran Pearson adalah 0,743 sedangkan besaran
Deviance adalah 0,738. Kedua nilai tersebut lebih besar dari 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa model ini cocok digunakan untuk data.
Variabel pengetahuan gizi ibu memiliki nilai signifikansi kurang dari taraf uji
(5%). Hal ini menunjukkan bahwa variabel tersebut terbukti secara signifikan dapat
mempengaruhi status gizi balita dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Sementara itu, konstanta yang signifikan menunjukkan bahwa status gizi antara
gizi baik, kurang dan buruk memiliki perbedaan yang signifikan, artinya memang ada
perbedaan antara balita yang berstatus gizi baik, kurang dan buruk.
60
Nilai koefisien untuk variabel pengetahuan gizi ibu adalah 1,524. Koefisien yang
bernilai positif ini memiliki makna bahwa kondisi status gizi balita akan semakin baik jika
ibu memiliki pengetahuan gizi baik.
61