proposal skripsi najma
DESCRIPTION
Proposal skripsiTRANSCRIPT
I. INTISARI
Thiametoxam termasuk pestisida golongan neonikotinoid yang walaupun
baru dikembangkan namun penggunaannya cukup luas dalam bidang pertanian
sebagai agen pembasmi hama yang cukup ampuh. Sifat thiametoxam yang selektif
terhadap insekta dengan mekanisme sebagai agonis resptor asetilkolin nikotinik
(nAChR) membuat thiametoxam semakin banyak digunakan karena. Namun,
penggunaan yang makin meluas dari thiametoxam mengakibatkan diperlukannya
suatu regulasi mengenai nilai batasan dari penggunaan thiametoxam yang berguna
uintuk mencegah intoksifikasi pada makhluk hidup non-target lainnya. Residu
pestisida yang tertinggal dalam lingkungan dapat berbahaya sehingga diperlukan
adanya ambang batas minimum residu yang telah dinyatakan aman.
Pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan mengetahui laju disipasi
serta mendapatkan nilai DT50 thiametoxam dengan menganalisis secara kuantitatif
residu pestisida dalam skala kelumit yang berada dalam matriks kulit dan buah
jeruk siam. Digunakan instrumen kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan
detektor UV sebagai alat pengkuantifikasi kadar residu. Efek adanya pengaruh
penyinaran juga akan diteliti pada penelitian, untuk mengetahui pengaruh
fotodegradasi terhadap thiametoxam dalam sampel buah jeruk.
KATA KUNCI: thiametoxam, laju disipasi, jeruk siam, DT50, kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT)
II. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang dan Perumusan Masalah
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin
pesat mengakibatkan makin tingginya keinginan manusia untuk mencari
yang terbaik untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satunya contohnya
adalah dalam bidang pertanian dimana dewasa ini makin banyak penelitian
serta usaha yang dilakukan untuk mendapatkan produk-produk pertanian
yang melimpah, berkualitas dan unggul.
Hasil perkebunan buah yang semenjak dahulu sudah banyak
dimanfaatkan adalah buah jeruk. Konsumsi masyarakat terhadap buah
jeruk yang tinggi seharusnya mampu dijadikan salah satu lahan
perkembangan usaha bagi petani dalam negeri. Namun, tingginya tingkat
impor jeruk dari luar negeri serta hambatan dalam pemeliharaan seperti
hama mengakibatkan petani Indonesia masih belum mampu
memaksimalkan hasil. Hama merupakan salah satu faktor penghambat
untuk mencapai hasil pertanian yang maksimal. Penggunaan pestisida dan
insektisida merupakan cara yang paling banyak digunakan karena dapat
mengeliminasi hama secara cepat dan signifikan. Melindungi tanaman dari
serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan suatu
rangkaian kegiatan dalam usaha memantapkan produksi pertanian.
Berbagai usaha dilakukan oleh petani untuk melindungi tanaman dari
gangguan OPT agar terhindar dari kerugian secara ekonomi dalam usaha
taninya (DEPTAN, 1998).
Dibalik semua manfaat dari penggunaan pestida, terdapat
sisi buruk dimana pestisida dapat menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan, terutama jenis pestisida yang berasal dari senyawa organik
sintetik yang bersifat toksik apabila terpaparkan pada manusia. Perhatian
khusus diberikan terhadap pencemaran hasil pertanian mengingat
komoditas ini khususnya pangan dapat mengancam kesehatan manusia
2
secara langsung. Untuk mengantispasi hal yang tidak diinginkan terjadi
maka pengujian laboratorium lazim digunakan sebagai tolak ukur untuk
menentukan keamanan serta kelayakan dari hasil pertanian untuk
dikonsumsi.
Thiametoxam adalah salah satu pestisida baru jenis neonikotinoida
yang sedang dalam tahap pengujian untuk pemakaiannya disektor
pertanian Indonesia. Sifat thiaetoxam sebagai racun saraf spesifik terhadap
serangga mengakibatkan aktifitasnya cukup tinggi sebagai insektisida.
Sebagai agonis reseptor asetilkolin nikotinik thiometoxam mampu
menghambat penghantaran impuls saraf sehingga mengakibatkan paralisis
pada target.
Dengan dikembangkannya penggunaan thiometoxam yang belum
diteliti sebelumnya tentang batas maksimum residu (BMR) di tanaman
jeruk menjadi alasan mengapa penelitian ini diajukan. Diharapkan dengan
data serta hasil yang didapat maka penggunaan pestisida makin terarah
serta meningkatkan keamanan hasil perkebunanan terutama pada buah
jeruk siam.
b. Perumusan masalah
Dari uraian masalah disampaikan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah pengaruh cahaya matahari daerah tropis memegang peran
yang penting dalam proses fotodegradasi pestisida thiametoxam
pada buah dan kulit jeruk siam?
2. Berapa nilai DT50 dari pestisida thiametoxam pada sampel jeruk
siam setelah perlakuan dengan adanya pengaruh penyinaran cahaya
matahari daerah tropis dan yang tidak adanya perlakuan
penyinaran?
3
c. Faedah Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui laju disipasi dari
pestisida thiametoxam dalam buah jeruk pada daerah tropis sehingga dapat
diaplikasikan untuk menjaga keamanan penggunaan pestisida pada buah
jeruk yang dikonsumsi masyarakat.
d. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju disipasi pestisida
thiametoxam dalam sampel buah jeruk siam sehingga dapat dijadikan
suatu landasan keamanan dalam penggunaannya.
e. Tinjauan Pustaka
1. Pestisida
Pengertian dan batasan pestisida yang tertera pada Keputusan
Menteri Pertanian No.434.1/Kpts/TP.270/7/2001 masih mengacu pada
Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas
Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida. Pestisida
merupakan semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus
yang dipergunakan untuk:
a. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak
tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
b. Memberantas rerumputan.
c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak
diinginkan.
d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-
bagian tanaman (tidak termasuk pupuk)
e. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan
piaraan dan ternak.
f. Memberantas atau mencegah hama-hama air.
4
g. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad
renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat-alat
pengangkutan.
h. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu
dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.
Bidang penggunaan pestisida meliputi:
- Pengelolahan tumbuhan
- Peternakan
- Penyimpanan hasil pertanian
- Pengawetan hasil hutan
- Pengendaliuan vector penyakit manusia
- Pengendalian rayap
- Pestisida rumah tangga
- Fumigasi
Secara garis besar pestisida dapat digolongkan berdasarkan (Gunawan,
1988) :
1. Bentuk sediaan, pestisida dibagi menjadi:
a. Bentuk cairan
b. Bentuk butiran
c. Bentuk debu
d. Bentuk tepung
e. Bentuk pasta
f. Bentuk gas
2. Mekanisme kerjanya, pestisida dibagi menjadi:
a. Pestisida kontak
b. Pestisida fumigan
c. Pestisida sistemik
d. Pestisida lambung
5
3. Susunan kimia
a. Pestisida anorganik
b. Pestisida organik
2. Thiametoxam
Thiametoxam memiliki nama IUPAC [(E,Z)-3-(2-chloro-
thiazol-5-ylmethyl)-5-methyl-[1,3,5]oxadiazinan-4-ylidene-N-
nitroamine] dan rumus molekul C8H10CIN5O3S.
Gambar 1. Struktur Kimia Thiametoxam
Thiametoxam merupakan suatu pestisida golongan
neonikotinoida yang masuk ke dalam sub kelas thianikotinil. Senyawa
ini pertama kali disentesis pada tahun 1991 dan sekarang telah
digunakan secara luas pada sektor pertanian. Thiametoxam telah mulai
dipasarkan pada tahun 1998 dengan merk Actara ® dan Cruiser ®
(Maienfisch, 2005). Thiametoxam bersifat spektra luas untuk pestida
serta memiliki efikasi tinggi dan profil keamanan yang baik untuk
digunakan dipertanian modern (Ramesh, 2007).
6
Tabel 1. Sifat Fisik dan Kimia Thiametoxam (European Commision, 2006)
Bentuk fisikWarnaKerapatan Massa molekul relatifTitik leburTitik didihKelarutan dalam airKelarutan dalam pelarut organik : Diklorometana
Aseton Toluol Etil asetat
HeksanMetanolN-oktanol
Tekanan uap (250C)log PowDT50 pada:
pH 7pH 9
Kristal halus Krem1.57 • 10³ kg / m³ pada 20°C 291,7139.1°C (Kemurnian: 99.7%)Terurai di atas 147°C4,1 g/L pada suhu 25°C
110 g/L48 g/L680 mg/L7,0 g/L< 1 mg/L13 g/L620 mgL6,6 x 10-9 Pa pada suhu 25°C-0.13 ± (0.0017) pada 25°C
640 hari8,4 hari
.
Thiametoxam stabil selama 2,3 hingga 3,1 hari pada 25°C di
dalam larutan buffer pH 5 dengan konsentrasi 10 mg/L, dan diji coba
dengan cara diberi penyinaran selama 30 hari dengan masa penerangan
selama 12 jam setiap harinya menggunakan lampu xenon arc.
Mekanisme kerja pestisida jenis neonikotinoid seperti
thiametoxam pada serangga adalah sebagai agonis reseptor asetilkolin
nikotinik (nAChR) sehingga mampu menstimulasi asetilkolin dan
berikatan pada sarap post sinaptik yang mengakibatkan paralisis serta
kematian Pada mamalia thiametoxam tidak terlalu berbahaya karena
jalur neural yang dihambat oleh thiametoxam jauh lebih banyak pada
insekta dibandingkan mamalia sehingga tingkat ketoksikan pestisida
jenis ini pada mamalia jauh lebih rendah.
Thiametoxam dapat termetabolisme menjadi suatu senyawa
yang biasa digunakan sebagai pestisida juga, yaitu clothianidin.
Clothianidin merupakan pestisida golongan nikotinoid dan memiliki
7
mekanisme aksi yang serupa dengan thiametoxam dalam
penggunaannya sebagai pestisida, yaitu dengan cara mengaktifkan
respttor asetilkolin post-sinaptik tanpa menghambat kerja enzim
asetilkolinesterase (AChE).
3. Iklim Tropis
Klasifikasi iklim matahari, didasarkan pada banyak sedikitnya
sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Pembagian daerah
iklimnya adalah:
a. Daerah iklim tropis : 0o – 23,5o LU/LS
b. Daerah iklim sub tropis : 23,5o – 40o LU/LS
c. Daerah iklim sedang : 40o – 66,5o LU/LS
d. Daerah iklim dingin : 66,5o – 90o LU/LS
Iklim tropis terletak antara 0° - 231/2° LU/LS dan hampir 40 %
dari permukaan bumi. Ciri-ciri iklim tropis adalah sebagai berikut:
- Suhu udara rata-rata tinggi, karena matahari selalu vertikal.
- Umumnya suhu udara antara 20- 23°C. Bahkan di beberapa tempat
rata-rata suhu tahunannya mencapai 30°C.
- Amplitudo suhu rata-rata tahunan kecil. Di katulistiwa antara 1-
5°C, sedangkan amplitudo hariannya lebih besar.
- Tekanan udaranya rendah dan perubahannya secara perlahan dan
beraturan.
- Hujan banyak dan lebih banyak dari daerah-daerah lain di dunia.
(Tsayjono, 1999)
Iklim tropis yang dimiliki wilayah Indonesia meyebabkan
wilayah Indonesia menerima penyinaran cahaya matahari dengan
intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah iklim lain di
dunia. Dari aspek-aspek iklim tersebut, sangat mendukung dalam
pertumbuhan flora maupun fauna di Indonesia, termasuk juga dalam
pertumbuhan mikroorganisme yang ada di alam. Faktor keberadaan
mikroorganisme, intensitas penyinaran matahari dan suhu yang tinggi
8
ini sangat berpengaruh dalam berbgai hal, termasuk salah satu
diantaranya yaitu peningkatan laju disipasi pestisida di daerah tropis
(Noegrohati, 2008).
Tingkat humiditas dan penyinaran yang cukup tinggi
mengakibatkan banyak hal yang dapat mempengaruhi laju disipasi
pestisida di daerah tropis. Humiditas tinggi mengakibatkan proses ko-
evaporasi, yaitu suatu proses dimana pestisida akan terdesak oleh
adanya air sehingga pestisda tersebut akan teruapkan dan cepat hilang.
Proses degradasi oleh mikroba juga akan semakin tinggi karena
diakibatkan oleh kecocokkan suhu dan humiditas daerah tropis untuk
pertumbuhan mikroba. Selain itu iradiasi matahari yang lebih tinggi
serta fotodegradasi yang tinggi pula menyebabkan DT50 pada daerah
iklim tropis lebih kecil dibandingkanDT50 pada daerah lainnya.
4. Jeruk Siam (Citrus nobilis)
Klasifikasi Tanaman
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Ordo : Rutales
Familia : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : Citrus nobilis
Tumbuhan ini adalah jenis pohong yang tingginya 2-8 meter.
Tangkai daun bersayap sangat sempit hingga dapat dikatakan tidak
bersayap, panjang 0,5-1,5 cm. Helaian daunnya berbentuk bulat telur
memanjang, elliptis atau berbentuk lanset dengan ujung tumpul,
melekuk sedikit ke dalam, tepinya bergerigi beringgit sangat lemah
dengan panjang 3,5-8 cm. Bunganya berdiameter 1,5-2,5 cm,
berkelamin dua daun mahkotanya putih. Buahnya berbentuk bola
9
tertekan dengan panjang 5-8 cm, tebal kulitnya 0,2-0,3 cm dan daging
buahnya berwarna oranye. Rantingnya tidak berduri dan tangkai
daunnya selebar 1-1,5 mm (Van Steenis, 1975). Jeruk ini kulit buahnya
berwarna hijau kekuningan, mengkilat, dan permukaannya halus
dengan ketebalan kulitnya sekitar 2 mm. Berat tiap buah sekitar 75,6 g
dan memiliki bagian ujung buah berlekuk dangkal. Daging buahnya
bertekstur lunak dan mengandung banyak air dengan rasa manis segar.
Produksi buahnya antara 1.000-2.000 buah per pohon per tahun dan
biasanya dikenal sesuai dengan nama tempat daerah penanamannya.
5. Penilaian Keamanan Residu Pestisida
Penggunaan pestisida bermanfaat dalam meningkatkan hasil
panen baik secara kualitatif dan kuantitatif. Namun harus disadari
bahwa penggunaan pestisida dapat memberikan residu pestisida yang
berbahaya bagi pekerja, konsumen dan lingkungan.
Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam
hasil petanian, bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat
langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini
mencakup senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi,
metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pengotor yang dapat
memberikan pengaruh toksikologis (DEPTAN, 2006).
Masalah residu pestisida sudah menjadi persyaratan
internasional yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commision
(CAC), yaitu komisi internasional yang dibentuk oleh FAO dan WHO
yang khusus menangani masalah keamanan pangan.
Konsentrasi residu pestisida yang dapat dianggap aman yakni
bila telah 95% terdisipasi dari dosis awal yang diaplikasikan. Suatu
pestisida perlu ditetapkan dalam hal nilai DT50, yaitu waktu yang
dibutuhkan suatu pestisida untuk mengalami proses disipasi sehingga
kadarnya menjadi separo dari kadar awal yang diaplikasikan. Nilai
10
DT50 ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam penilaian keamanan
residu pestisida. Batas kandungan residu pestisida ini perlu ditetapkan
bilamana pestisida tersebut memiliki DT50 yang cukup panjang, yaitu
lebih dari 1 hari. Namun, bila nilai DT50 dari pestisida tersebut kurang
dari 1 hari, maka pestisida tersebut dinyatakan aman bagi lingkungan
karena waktu disi[pasi yang pendek ini memperkecil kemungkinan
tertinggalnya residu pestisida di alam dalam jumlah yang besar.
Pestisida dengan nilai DT50 ini tidak perlu ditetapkan batas kandungan
maksimumnya (BMR) di alam (Noegrohati, 2008).
Untuk mengurangi residu setelah aplikasinya, suatu pestisida
harus efisien dan memiliki waktu degradasi yang cukup untuk
memberikan efek yang maksimum sesuai tujuan penggunaannya,
namun pestisida yang dipilih hendaknya mempunyai DT50 kecil
(mudah rusak di alam) sehingga memperkecil efek yang tidak
diinginkan dari penggunaan pestisida ini. Namun, informasi tentang
DT50 tidak mudah diperoleh karena tidak tercantum dalam label
pestisida.
6. Proses Disipasi Pestisida
Laju disipasi merupakan kecepatan hilangnya pestisida dari
suatu subtansi yang diaplikasi dengan pestisida tersebut. Disipasi
pestisida meliputi degradasi pestisida dan pindahnya pestisida ke
subtansi lain.
Jalur degradasi pestisida terdiri dari fotodekomposisi,
transformasi kimiawi dan degradasi mikrobiologis.
1. Fotodekomposisi
Merupakan jalur degradasi pestisida oleh adanya sinar matahari.
Radiasi sinar matahari dapat member kontribusi untuk terjadinya
transformasi dan degradasi senyawa organic yang ada di
permukaan suatu subtansi, termasuk kulit jeruk.
11
2. Transformasi kimiawi
Khan (1978) menyimpulkan bahwa transformasi kimiawi pestisida
diperantarai oleh air sebagai media reaksi, suatu reaktan atau
keduanya. Enzim-enzim ekstraseluler memegang peranan penting
dalam degradasi banyak pestisida dan mewakili transisi antara
pemutusan kimiawi dan mikrobiologis intraseluler.
3. Degradasi mikrobiologis
Pada jalur ini melibatkan jasad renik (actinomycetes, jamur dan
bakteri). Jasad renik dapa mendegradasi pestisida melalui oksidasi,
pemutusan eter, hidrolisis ester dan amida, oksidasi alcohol dan
aldehid, dealkilasi, hidroksilasi, dehidrohalogenasi, epoksidasi,
dehalogenasi reduktif dan dealkilasi-N. Dehidrohalogenasi
merupakan proses utama dalam degradasi mikrobiologis karena
sebagain besar pestisida mengandung unsur halogen.
7. Sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau biasa disebut
dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography)
dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan saat ini merupakan
teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan
pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel. Kelebihan KCKT
dibandingkan metode analisis kromatografi lainnya antara lain:
- Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran
- Mudah melaksanakannya
- Kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi
- Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang
dianalisis
- Resolusi yang baik
- Dapat digunakan bermacam-macam detektor
12
- Kolom dapat digunakan kembali
- Mudah melakukan "sample recovery"
(Putra, 2006)
Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan
komponen pokok yaitu: wadah fase gerak, system penghantaran fase
gerak, alat untuk memasukkan sampel, kolom, detector, wadah
penampung buangan fase gerak, tabung perekan, dan suatu computer
perekam atau integrator.
Gambar 2. Sistem KCKT
Fase diam pada KCKT dapat berupa permukaan zat padat atau
permukaan zat cair yang terdapat pada sejenis zat padat. Jika fase diam
berupa zat padat maka mekanisme pemisahan yang terjadi berdasarkan
pada mekanisme adsorbs, sedangkan jika fase diam berupa zat cair
maka mekanisme pemisahannya berdasarkan pada mekanisme partisi.
Berdasarkan gugusnya, fase diam dibagi menjadi fase diam tak terikat
dan fase diam terikat. Fase diam tak terikat merupakan fase diam yang
tidak mengalami modifikasi pada gugusnya, jika gugus pada fase diam
mengalami modifikasi maka disebut sebagai fase diam terikat. Fese
diam tak terikat contohnya adalah alumina dan silica, sedangkan fase
diam terikat contohnya adalah silika yang gugus hidroksilnya diganti
dengan aktadesil, oktil, metal atau gugus lainnya (Gritter, dkk., 1991).
Pemilihan fase gerak berhubungan dengan fase diam yang
digunakan. Jika fase diamnya adalah silika atau alumina tidak
termodifikasi maka digunakan fase gerak pelarut organik agak non
13
polar atau campuran pelarut tersebut. Jika fase diamnya adalah fase
diam termodifikasi maka digunakan pelarut relative polar. (Gritter,
dkk., 1991). Selain itu ada beberapa sifat umum yang harus dipenuhi
fase gerak, yaitu:
- Murni, tidak terdapat kontaminan
- Tidak bereaksi dengan wadah (packing)
- Sesuai dengan defektor
- Melarutkan sampel
- Memiliki visikositas rendah
- Bila diperlukan, memudahkan "sample recovery"
- Diperdagangan dapat diperoleh dengan harga murah (reasonable
price)
Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan
yaitu: detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum,
tidak bersifat spesifik, dan tidak bersifat selektif) seperti detektor
indeks bias dan detektor spektrometri massa; dan golongan detektor
yang bersifat spesifik dan selektif, seperti detektor UV-Vis, detektor
fluoresensi, dan elektrokimia (Rohman, 2007).
8. Analisis Residu Thiametoxam
Analisis residu insektisida thiametoxam dalam matriks
lingkungan (tanaman, tanah dan air) melalui 3 tahapan yaitu ekstraksi,
clean up dan penetapan kadar.
8.1. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan tahapan awal dari serangkaian analisis
pestisida.. Ekstraksi bertujuan untuk memisahkan senyawa analit
secara kuantitatif dari matriks pembawanya. Proses ekstraksi yang
meliputi metode ekstraksi dan pemilihan pelarut berpengaruh terhadap
efisiensi ekstraksi dan efisiensi tahapan selanjutnya yakni cleanup dan
hasil recovery. Pelarut yang ideal harus menghasilkan tingkat recovery
14
yang tinggi terhadap senyawa target, tetapi cukup selektif terhadap
senyawa ko-ekstraktan pengganggu.
8.2. Clean up (Pembersihan)
Proses clean up merupakan tahapan selanjutnya setelah proses
ekstraksi. Pada penelitian ini, proses clean up bertujuan untuk
menghilangkan ko-ekstraktan yang dapat mengganggu proses analisis.
Pada umunya proses clean up pada analisis residu pestisida
menggunakan kromatografi kolom terbuka cair-padat yang ditujukan
untuk menghilangkan pengotor. Pengepakan kolom dapat dilakukan
secara kering atau basah (slurry method) dalam pelarut yang sesuai.
Kolom harus dibuat seragam dan bebas dari rongga udara (dead
space), yang menyebabkan pemisahan analit buruk.
8.3. Determinasi (penetapan kadar analit)
Penetapan kadar merupakan langkah selanjutnya yang dilakukan
pada ekstrak sampel yang relatif bersih dari ko-ekstraktan yang tidak
diharapkan dan dilakukan menggunakan suatu sistem kromatografi.
9. Validasi Metode Analisis
Metode analisis kimia memerlukan validasi untuk mengetahui
kualitas dan kelayakan metode, sehingga data yang dihasilkan dapat
dipercayai kebenarannya. Tingkat kepercayaan terhadap hasil suatu
analisis diwakili oleh beberapa parameter, diantaranya : (Noegrohati,
1998)
1. Sensitivitas suatu teknik analisis merupakan parameter yang
menggambarkan kemampuan suatu metode analisis untuk
mendeteksi analit dalam jumlah kecil. Sensitivitas metode
dinyatakan sebagai batas deteksi (LOD), yaitu besaran yang
menyatakan kadar terkecil analit yang dapat memberikan respon
analitik dan secara signifikan dapat dibedakan dari blangko.
15
Semakin rendah batas deteksi suatu metode, semakin tinggi
sensitivitas metode tersebut. Pada prakteknya, batas deteksi
didefinisikan sebagai kadar analit yang memberikan respon sebesar
tiga kali simpangan baku pengukuran blangko.
2. Ketepatan merupakan parameter yang menggambarkan kedekatan
hasil analisis dengan harga sebenarnya. Ketepatan metode analisis
dapat dievaluasi menggunakan uji perolehan kembali (recovery
test). Pada prinsipnya, uji dilakukan dengan mengerjakan analisis
contoh suatu obyek yang diperkaya dengan sejumlah kuantitas
analit yang akan ditetapkan. Berat total analit yang diperoleh dari
analisis contoh yang diperkaya dikurangi berat analit dalam contoh
yang tidak diperkaya, dibandingkan terhadap jumlah analit yang
ditambahkan, maka akan menggambarkan recovery analit tersebut.
3. Presisi bertujuan memberi informasi derajat repeatabilitas suatu
metode. Presisi menunjukkan kecermatan suatu metode dalam
memberikan hasil yang mirip bila dilakukan pengamatan berulang.
Presisi dinyatakan dalam nilai simpangan baku atau koefisien
variansi.
4. Linearitas merupakan parameter yang menggambarkan kisaran
kadar analit yang memberikan respon yang besarnya proporsional
terhadap perubahan kadar analit.
Sensitivitas metode juga dinyatakan sebagai LOD (Limit of
Detection). LOD atau batas deteksi adalah konsentrasi terendah yang
memberikan respon analitik secara signifikan berbeda dari fluktuasi
pengukuran blanko dengan keadaan analitik yang sama. Pada analisis
instrumental, LOD dinyatakan sebagai konsentrasi yang memberikan
respon analitik sebesar tiga kali deviasi standar pengukuran blanko.
Apabila di dalam sampel terdapat kadar senyawa yang dianalisis
dibawah nilai LOD, maka hasil tersebut tidak dinyatakan sebagai kadar
senyawa yang dianalisis tetapi dinyatakan sebagai trace (kadar
senyawa yang dianalisis dibawah nilai LOD).
16
Penentuan recovery bertujuan untuk mengetahui ketepatan
suatu metode. Ketepatan merupakan keterdekatan hasil yang diperoleh
dengan harga sebenarnya. Penentuan ketepatan metode analisis
dinyatakan sebagai persen perolehan kembali terhadap sampel yang
kadarnya sudah diketahui secara pasti.
Pengukuran presisi bertujuan memberikan informasi derajat
repeatabilitas suatu metode. Presisi menunjukkan kecermatan suatu
metode dalam memberikan hasil yang mirip apabila dilakukan
pengamatan berulang. Presisi dinyatakan sebagai nilai simpangan baku
atau koefisien variansi.
III. HIPOTESIS
Berdasarkan sifat fisika kimia thiametoxam di dalam matriks kulit
dan daging buah jeruk maka thiametoxam akan mengalami peristiwa
translokasi, dimana thiametoxam akan berpindah dari kulit jeruk menuju ke
daging buah. Hal ini dikarenakan sifat kulit buah jeruk yang berpori serta
lapisan bagian dalam jeruk yang cenderung bersifat polar memudahkan
peristiwa translokasi untuk terjadi. Radiasi sinar matahri tropis yang tinggi
mengakibatkan peningkatan proses translokasi dan degradasi residu
thiametoxam. Dengan begitu, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
a. Apabila thiametoxam diaplikasikan pada buah jeruk, maka rasio kadar
residu thiamtoxam dalam kulit jeruk dengan daging buah jeruk tidaklah
linier
b. Laju disipasi residu thiametoxam pada buah jeruk yang dipaparkan pada
radiasi sinar matahri tropis akan lebih besar dibandingkan dengan laju
disipasi residu thiametoxam pada buah yang disimpan di tempat gelap.
17
IV. RENCANA PENELITIAN
1. Data Empiris
Data empiris yang ingin diketahui kadar residu thiametoxam yang
terdapat pada sampel buah jeruk pada masing-masing hari sampling serta
untuk mendaptkan nilai DT50 dari thiametoxam pada sampel daging buah
dan kulit jeruk siam.
2. Rencana Penelitian
Langkah-langkah yang akan dikerjakan dalam penelitian ini adalah :
a. Penyiapan alat dan bahan
b. Sampling pada hari ke 0, 1, 2, 3, 5, 7, 10, 14, 21, 28, dan 42
c. Preparasi sampel
d. Optimasi kondisi KCKT
e. Analisa kadar thiametoxam dengan KCKT
V. METODOLOGI PELAKSANAAN PENELITIAN
1. Alat dan Bahan
a. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : KCKT
dilengkapi dengan detektor UV-Vis, rotavapor (Heidolph Laborata
4000 Eficient), neraca analitik (Scaltec, SBA 33 ), pompa vakum,
kolom kromatografi ( 250 mm x 10 mm), ultra turax, corong pisah,
labu hisap, spuit injeksi, Eppendorf, dan peralatan gelas
b. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini, antara lain: pestisida
Alika®, standar internal asam nikotinik, carbon decolorizing (Merck),
florisil (Merck). Bahan-bahan kimia lain, meliputi: diklorometana, n-
heksan, metanol, natrium sulfat anhidrat, serta glass wool. Bahan-
18
bahan tersebut semuanya berkualitas proanalisis (E. Merck Darmstat,
Germany). Bahan lain yang digunakan adalah buah jeruk siam Citrus
nobilis dan air bebas mineral (aquadest).
2. Jalannya Penelitian
a. Aplikasi pestisida thiametoxam pada sampel buah jeruk siam
Sediaan Alika® diencerkan menggunakan aquadest untuk
disemprotkan kepada sampel buah jeruk siam.
b. Preparasi Sampel
Terdapat 3 macam perlakuan yaitu kontrol, dosis 1, dan dosis 2
baik pada sampel jeruk yang diberi penyinaran maupun yang tidak.
Masing-masing jeruk dicelupkan ke dalam cairan pestida dengan
dosis yang telah ditentukan kecuali jeruk kontrol tidak dipaparkan
terhadap pestida.
Tabel II. Rancangan percobaan
Perlakuan SampelSinar Jeruk Kontrol Jeruk Dosis 1 Jeruk Dosis 2Tanpa sinar Jeruk Kontrol Jeruk Dosis 1 Jeruk Dosis 2
c. Teknik sampling
Sampel jeruk diambil dengan interval hari ke-0, 1, 2, 3, 5, 7, 10,
14, 21, 28, dan 42 dimana interval sampling ini berkorelasi
langsung dengan lamanya penyinaran yang diperoleh tiap-tiap
sampel. Penyinaran dilakukan selama 8 jam, terhitung mulai pukul
07.00 – 15.00 WIB. Terhadap sampel yang diperoleh, dipreparasi
sesegera mungkin untuk meminimalkan kehilangan kadar residu
insektisida. Setiap hari sampling dari masing-masing sampel
diambil 2 buah jeruk untuk dianalisis.
19
d. Ekstraksi
Potong buah jeruk kemudian pisahkan antara daging buah dengan
kulit. kemudian ditimbang 25 gram sampel. Tambahkan 50 mL
diklorometana, ultra turaks selama kurang lebih 1 menit pada
kecepatan tinggi kemudian disaring menggunakan corong Buchner
yang telah diberi kertas saring dengan bantuan pompa vakum. dan
kumpulkan hasil saringan di dalam labu hisap. Digunakan pelarut
diklorometana karena kelarutan thiametoxam paling besar di dalam
pelarut tersebut. Lapisan organik (bawah) dilewatkan melalui
Na2SO4 anhidrat sebanyak 5 g untuk menghilangkan air yang
kemungkinan besar terikut. Lapisan air diekstraksi kembali dengan
menggunakan 10 mL diklorometana sebanyak 3 kali. Hasil
ekstraksi digabung dengan hasil sebelumnya dan kemudian
diuapkan menjadi ekstrak kental menggunakan rotavapor
evaporator. Hasil penguapan kemudian di clean up untuk
menghilangkan ko-ekstraktan yang dapat mengganggu saat
analisis.
e. Clean up
Prosedur clean up pada matriks sampel menggunakan sistem
kromatografi kolom. Kolom kromatografi yang digunakan berupa
kolom kaca dengan dimensi kolom 250 x 6 mm diameter.
Sebelum fase diam dimasukkan, pada dasar kolom diberi glass
wool untuk menjaga fase diam tidak lolos selama elusi
berlangsung. Kemudian berturut-turut dimasukkan Na2SO4
anhidrat setinggi 1 cm. Carbon decolorizing dimasukkan hingga
memadat, setlah itu ditambahkan ± 0,5 g Na2SO4 anhidrat
kemudian selanjutnya dimasukkan florisil. Carbon decolorizing
digunakan untuk menghilangkan warna ekstrak sedangkan florisil
berfungsi untuk menjerap ko-ekstraktan sehingga tidak
20
mengganggu saat analisis dengan KCKT. Fase gerak yang
digunakan adalah diklorometana dan n-heksana dengan
perbandingan 1:1. Fase gerak ini yang digunakan karena sifat
campuran ini cukup polar sehingga thiametoxam dapat diambil
namun tidak terlalu polar sehingga ko-ekstraktan yang bersifat
polar dan mengganggu tidak terikut. Ekstrak kental sampel
ditambahkan Na2SO4 anhidrat 0,5 g kemudian dimasukkan
secara perlahan ke dalam kolom. Kolom ditambahkan fase gerak
sedikit demi sedikit dari 25 mL fase gerak sampai sampel menjadi
bening dan miniskus tepat di atas karbon, kemudian sisa fase gerak
dituang ke dalam kolom. Eluat ditampung dalam flakon dan
diuapkan sampai kering. Sampel dimasukkan dalam Eppendorf dan
ditambahkan standard internal sebelum diinjeksikan.
f. Optimasi Sistem Kromatografi
Dari penelitian sebelumnya telah diperoleh optimasi sistem KCKT
untuk pemisahan thiametoxam. Berdasarkan serangkaian kerja
optimasi, diperoleh kondisi optimum sebagai berikut :
Fase gerak : Metanol:Air (1:9)
Fase diam : Supelcosil C18
Kolom : panjang 250 mm, diameter dalam 4,6 mm,
5µm ukuran partikel
Detektor : UV-Vis, λ 254nm
(Urzedo, 2009)
Sistem yang diaplikasikan dalam penelitian ini merupakan sistem
kromatografi fase terbalik (reversed phase) dimana fase gerak yang
besifat polar dan fase diam yang berifat non ploar. Pemilihan
sistem ini dikarenakan sifat thiametoxam yang relatif polar
sehingga sesuai untuk dianalisis dengan metode ini.
21
VI. JADWAL PENELITIAN
No. Tahap Waktu Pelaksanaan Kegiatan
1.
2.
3.
Persiapan
Pelaksanaan
Penyelesaian
10 Februari-10 Maret 2010
11 Maret-25 April 2010
26 April- 30 Juni 2010
Studi pustaka
Pembelian bahan kimia
Pembelian jeruk
Perendaman jeruk
Sampling
Preparasi sampel
Determinasi dengan
KCKT
Analisis data
Penyusunan laporan
VII. DAFTAR PUSTAKA
22
Europian Commision, 2006, Health & Consumer Protection Directorate
General: Thiamethoxam, Europe
Gritter, R.J., Bobbit, J.M., dan Schwarting, A.M., 1991, Pengantar
Kromatografi, edisi kedua, Penerbit ITB, Bandung.
Gunawan, Didik, 1988, Pestisida, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
Khan, S.U., 1978, The Interaction of Organic Matter with Pesticide, Elsevier
Scientific Publishing Co., 1978, 137-11
KOMPES DEPTAN, 2001, http://www.deptan.go.id/pesantren/data/Web-site
%20Ind/pestisida/pestisida.htm, Jakarta
KOMPES DEPTAN, 1998, Peraturan-peraturan Tentang Pestisida untuk
Tanaman Pangan, Koperasi Daya Guna, Jakarta.
Maienfisch, Peter, 2005, Synthesis and Properties of Thiamethoxam and
Related Compounds, Z. Naturforsch., 2006, 61b, 353 – 359
Miller, G., 1992, Manual of Food Quality Control : Pesticides Residue
Analysis in the Food Control Laboratory, Fooad Agriculture
Organization of the United Nation, Roma
Putra, Effendy de Lux, 2004, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi di Bidang
Farmasi, USU Library Lab, Medan
Ramesh, Atmakuru, dkk., 2007, Hapten synthesis, generation of polyclonal
antibodies and development of ELISA for determination of
thiamethoxam residues in food and environmental samples, Indian
Journal of Biotechnology, 2007, Vol. 6, 365-371
Rohman, Abdul, 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sri Noegrohati, 2008. Pelatihan Pengambilan Contoh dan Analisis
Multiresidu Pestisida, Peningkatan SDM BPMPT, Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan,
Yogyakarta.
Tsayjono, Bayong Dr., 1999, Klimatologi Umum, ITB Press, Bandung
23
United States Environmental Protection, 2003, Pesticide Fact Sheet:
Clorthianidin, Office of Prevention, Pesticides and Toxic Substances
Uzedo, Ana P.F.M. de., dkk., 2008, Degradation of the Insecticides
Thiamethoxam and Imidacloprid in Aqueous Solution as Promoted by
an Innovative Feº/Fe3O4 Composite, Journal Brazillian Chemistry
Society 2009, Vol. 20, No. 1, 51-56
Van Steenis, C.G., 1975, Flora Voor de Scholen in Indonesie, diterjemahkan
oleh Sorjowinoto, M., edisi VI, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta.
24