prosiding lokakarya teknisi litkayasa badan …
TRANSCRIPT
PROSIDING
LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
Palembang, 28 Oktober
2015
Editor:
Prof. Dr. Ir. Gustan
Pari, M.Sc
Hak Cipta oleh Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang
Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak, mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan non komersial lainnya
dengan mencantumkan sumbernya, seper� berikut:
Untuk si�ran seluruh buku, ditulis: Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang
(2016). Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa Lingkup Badan Peneli�an, Pengembangan dan Inovasi "Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan", 28
Oktober
2015.
Balai Peneli�an dan Pengembangan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Badan Litbang dan Inovasi.
Bogor.
Untuk si�ran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa Lingkup Badan Peneli�an, Pengembangan dan Inovasi "Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan", 28 Oktober 2015. Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Badan Litbang dan Inovasi.
Bogor.
Halaman
...........
ISBN:
978-602-98588-5-3
Prosiding ini diterbitkan oleh:
Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang
Badan Peneli�an, Pengembangan dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Alamat:
Jl. Kol. H. Burlian Km 6,5 Pun� Kayu -
Palembang
Telp (0711) 414864, Fax (0711) 414864
E-mail: [email protected]
Dicetak dengan Pembiayaan dari DIPA
Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang
TA. 2016
ISBN: 978-602-98588-5-3
Prosiding
Lokakarya Teknisi Litkayasa
Lingkup Badan Peneli�an, Pengembangan dan Inovasi
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Palembang, 28
Oktober
2015
Editor:
Prof. Dr. Ir. Gustan
Pari, M.Sc
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
BALAI LITBANG
LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PALEMBANG
2016
iii
KATA PENGANTAR
Teknisi Litkayasa merupakan jabatan fungsional yang sangat pen�ng di lingkup Badan Litbang dan Inovasi, karena menjadi mitra bagi peneli� dan perekayasa dalam mengembangkan iptek yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah serta s ebagai pelaksana formula-formula yang telah dihasilkan oleh para peneli�. Untuk mendukung peran pen�ng tersebut, perlu upaya peningkatan pengetahuan ilmiah Teknisi Litkayasa melalui penyelenggaraan lokakarya.
Lokakarya Teknisi Litkayasa yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober
2015
di Ruang Rapat Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang dengan tema “Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�a n Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”, juga dilatarbelakangi masih minimnya wadah ilmiah bagi Teknisi Litkayasa di lingkup Badan Litbang dan Inovasi (BLI) untuk saling asah, asih dan asuh melalui diskusi, transfer pengetahuan dan sharing pengalaman, serta untuk mendapatkan umpan balik (feed back) bagi peningkatan kualitas peneli�an dan pengembangan.
Lokakarya menampilkan presentasi serta sharing pengalaman 18 orang teknisi litkayasa dari hasil pendampingan beragam kegiatan litbang di instansi mas ing-masing. Peserta kokakarya melipu� Teknisi Litkayasa lingkup BLI, peneli�, penyuluh, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), perwakilan dari KPH lingkup Provinsi Sumsel, serta Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si sebagai pembicara kunci dan mo�vator bagi teknisi li tkayasa agar semakin semangat berkarya sebagai teknisi litkayasa.
Prosiding ini memuat semua makalah yang dipresentasikan, makalah penunjang serta proses sharing pengalaman dan transfer pengetahuan yang berlangsung pada lokakarya. Apresiasi dan ucapan terimakasih disampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan lokakarya dan dalam penyusunan prosiding ini. Palembang, Juli 2016
Kepala Balai,
Ir. Choirul Akhmad, ME
NIP. 19670129 199403 1 007
iv
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.............................................................................................................
iii
DAFTAR ISI
..........................................................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN
.............................................................................................................
vii
SAMBUTAN
.........................................................................................................................
ix
RUMUSAN
...........................................................................................................................
xi
MAKALAH UTAMA
1.
Aklima�sasi Tanaman Hasil Kultur Jaringan
Endin Izudin
(BBPTH Yogyakarta)
................................................................................
1
2.
Pembangunan Kebun Benih Semai Generasi Pertama (F-1)
Surip
(BBPTH Yogyakarta).............................................................................................
7
3.
Penggunaan
Sumur Bor Dangkal Sebagai Sumber Air Untuk Pemadaman
Kebakaran Hutan Dan Gambut
Eko Priyanto dan Yusnan
(BPK Banjarbaru)
.................................................................
15
4.
Teknik Pematahan Dormansi Benih Tanaman Hutan di Balai Peneli�an
Teknologi perbenihan Tanaman Hutan
Anggun Musyarofah,
Danu dan
Dwi Harya� (BPTPTH Bogor)
....................................
21
5. WPC (Wood Plas�c Composite) Memaksimalkan Pemanfaatan Bahan Baku Kayu Fitri Windrasari (BPTSTH Kuok) .................................................................................... 33
6. Persepsi Masyarakat Mollo Terhadap Keberadaan Segi�ga Kehidupan (Manusia, Ternak dan Hutan) Di Cagar Alam Gunung Mu�s
Oskar K.
Oematan
(BPK Kupang)
..................................................................................
37
7.
Potensi Stok Karbon di Kawasan Hutan Tanaman Ja� Bonak Kecamatan Biboki
Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara
Mar�nus Lalus
(BPK Kupang)
.......................................................................................
45
8.
Teknik Pembibitan Bidara laut
Gipi Samawandana
(BPK Mataram)
.............................................................................
53
9.
Teknik
Isolasi Jamur Pembentuk Gaharu
Mansyur
(BPK Mataram)
..............................................................................................
59
10.
Pembuatan Filler Secara Sederhana untuk Bahan
Finishing Kayu Yang
Murah
Darta
(Puslitbang Hasil Hutan
Bogor)
..........................................................................
67
11.
Hubungan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Otonomi Daerah
Terhadap Kewenangan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
Muhamad Fajri
(BPK Samarinda)
.................................................................................
71
12.
Adopsi Lebah Apis Cerana Solusi Peningkatan
Kualitas Hidup Pegawai Litbang
Hendra Sanjaya dan Aam Hasanudin
(BPK Aek Nauli)
................................................
79
13.
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja
Yusub Wibisono
(BPTKSDA Samboja)
...........................................................................
85
vi
14.
Teknik Pemindahan Koloni Trigona ke dalam Stup
Edi Kurniawan
(BPK Mataram)
....................................................................................
97
15.
Peningkatan Pertumbuhan Tanaman Bi� Menggunakan Fungi
Mikoriza
Arbuskula dan Pupuk NPK Pada Media Sub Soil
Edi Kurniawan
(BPK Makasar)
......................................................................................
101
16.
Pengaruh Kanalisasi Dalam Pengelolaan Lahan Gambut Terhadap Kebakaran
Hutan
Johan P.
Tampubolon
(BPK Palembang)
......................................................................
115
17.
Silvikultur Prak�s Tembesu untuk Peningkatan Produk�vitas
Syaiful Islam
(BPK Palembang)
.....................................................................................
121
18.
Teknik Pemantauan Hot Spot Dalam Mendukung Kegiatan Peneli�an
Joni Muara
(BPK Palembang)
.......................................................................................
127
MAKALAH PENUNJANG
1.
Hama yang Berpotensi Menyerang Tanaman Acacia sp
di Arboretum
Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
Agus
Winarsih
(BPTSTH Kuok)
......................................................................................
135
2.
Pembangunan Plot Konservasi Jenis Kulim (Scorodocarpus borneensis)
di KHDTK Bukit Suligi
Arifin Budi Siswanto dan
Eko Sutrisno
(BPTSTH Kuok)
.................................................
147
3. Informasi Teknis Bisbul (Diospyros blancoi)
Kosasih dan Agus Winarsih (BPTSTH Kuok) ................................................................. 157
4. Petunjuk Teknis Budidaya Galo-Galo (Trigona itema) Syasri Janne�a, Irwan dan Rozi Hardinasty (BPTSTH Kuok) ........................................ 165
5.
Petunjuk teknis Mendapatkan Bibit/Koloni Apis cerana Suhendar dan Syasri Janne�a
(BPTSTH Kuok)
.............................................................
181
6.
Petunjuk Pengelolaan Arboretum
BPTSTH Kuok
Agus Winarsih dan Sunarto
( BPTSTH Kuok)
................................................................
185
7.
Pembuatan Pot Organik dengan Metode Hot Press dan Vacuum
Eko Sutrisno dan Andi Matalata Putra
(BPTSTH Kuok)
................................................
195
8.
Demonstrasi Mesin Pencacah Sampah
Dedaunan Kering sebagai Bahan
Pembuatan Pupuk Organik
Agus Hidayat,
Yayan Sugilar dan Sahro Abdul Syukur
(Puslitbang
Hasil Hutan)
.........
205
9.
Proses Pembuatan Kertas dari Limbah Pelepah Pisang
Setyani Budi Lestari dan Yuswita
(Puslitbang
Hasil Hutan)
..........................................
205
10.
Perkembangan Istrumentasi Spektroskopi
Neta Rahma�sari
(Puslitbang
Hasil Hutan)
..................................................................
213
11.
Inovasi Fourier Transform Infrared (FTIR)
Suci Aprianty Wa�
(Puslitbang
Hasil Hutan)
................................................................
219
12.
Menyemai Benih Unggul Peneli� dari Trubusan Teknisi Litkayasa
Fajri Ansari
(BPK Makasar)
...........................................................................................
223
vii
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Susunan Acara
Lokakarya
..............................................................................................
233
2.
Da�ar Peserta
Lokakarya
..............................................................................................
234
3.
Susunan Pani�a
Lokakarya
............................................................................................
236
4.
Notulensi
Lokakarya
......................................................................................................
237
viii
ix
SAMBUTAN SEKRETARIS BADAN LITBANG DAN INOVASI
PADA LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA
LINGKUP BADAN LITBANG DAN INOVASI
PALEMBANG, 28
OKTOBER 2015
Kepada yang terhormat:
1.
Kepala Balai
Peneli�an Kehutanan Palembang
2.
Kepala Balai Peneli�an Kehutanan Aek Nauli
3.
Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si
4.
Para pejabat struktural di lingkup BPK Palembang
5.
Teman-teman Teknisi Litkayasa dan Laboran lingkup BLI
6.
Hadirin para undangan yang saya horma�.
Assalamualaikum Wr.Wb.
Sepatutnya kita senan�asa mengawali segala ak�vitas kita dengan terlebih dahulu memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena kemurahan yang masih kita terima terutama berupa kesehatan dan kesempatan sehingga kita
semua dapat berkumpul di tempat ini dalam rangka Lokakarya Teknisi Litkayasa lingkup Badan Litbang dan Inovasi.
Hadirin yang berbahagia,
Teknisi Litkayasa merupakan jabatan fungsional yang sangat pen�ng di lingkup BLI -KLHK karena menjadi mitra bagi peneli� dan perekayasa dalam mengembangkan iptek yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah serta dalam memikirkan dampak penerapan hasil peneli�an terhadap umat manusia dan lingkungan hidup. Mengingat pen�ngnya keberadaan dan peran Teknisi Litkayasa dalam mendukung keberhasilan kegiatan peneli�an dan pengembangan di lingkup BLI-KLHK maka dibutuhkan adanya ruang atau kesempatan untuk sesama teknisi litkayasa saling bertemu, berdiskusi untuk transfer pengetahuan serta bertukar pengalaman dalam menjalankan tugas dan fungsinya di bidang keteknikan. Karnanya, Saya menyambut baik dan mengapresiasi Balai Peneli�an Kehutanan Palembang yang telah berinisia�f menyelenggarakan Lokakarya Teknisi Litkayasa ini.
Selain merefleksikan adanya perha�an serius dan penghargaan terhadap profesi Teknisi Litkayasa di lingkup BLI-KLHK, lokakarya ini juga menjadi ajang berbagi hal baru mengenai teknis keteknisian yang terselenggara sesuai tugas dan fungsi satker masing -masing. Mengingat teknisi �dak berbasis spesialisasi
atau kepakaran, maka moment demikian sangat berguna dalam pengembangan diri seorang teknisi untuk meningkatkan kapasitasnya dalam mendukung kegiatan pelayanan peneli�an serta untuk saling asah, asih dan asuh melalui berbagi/bertukar pengetahuan, karya dan pengalaman.
Forum ini juga diharapkan menghasilkan sebuah rumusan menyangkut pola pembinaan karir fungsional teknisi litkayasa ke depan, membahas peranan dan tantangan teknisi untuk terus berperan mendukung peneli�an yang terus berkembang, serta strat egi agar kemampuan teknisi mengkaji aspek teknis meningkat dan dengan demikian rekan-rekan teknisi semakin professional di bidangnya. Saya berharap ke depan event semacam ini dapat terselenggara secara kon�nu sebagai wadah yang efek�f untuk meningkatkan
kapasitas dan semangat berkarya rekan-rekan teknisi serta laboran yang berkecimpung dalam ranah keteknikan di lingkup BLI-KLHK. Saya juga berharap dan mendorong rekan-rekan teknisi dan laboran yang hadir agar memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk membentuk Forum Komunikasi
x
Teknisi Litkayasa Lingkup BLI KLHK. Keberadaan dan fungsi forum khusus teknisi litkayasa pen�ng untuk menjadi media dalam menyalurkan aspirasi, berbagi pengetahuan, karya dan pengalaman, serta wadah untuk memperjuangkan kebutuhan dan harapan-harapan rekan-rekan teknisi dan laboran di lingkup BLI KLHK guna peningkatan profesionalitas di bidang keteknikan.
Akhirnya saya ucapkan selamat melaksanakan lokakarya, saling asah, asih dan asuh antar sesama teknisi litkayasa dan laboran melalui presentasi, demontrasi serta diskusi, baik yang akan dilaksanakan di ruangan ini, hingga esok hari akan melakukan kunjungan ke KHDTK Kemampo. Saya himbau agar seluruh undangan yang hadir saat ini secara khusus kepada semua rekan-rekan teknisi litkayasa
dan laboran agar antusias mengiku� acara dari awal sampai akhir sehingga masing-masing memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya untuk semakin semangat bekerja dan berkarya dalam aspek keteknikan di lingkup BLI-KLHK.
Demikian, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim acara Lokakarya Teknisi Litkayasa ini, saya nyatakan resmi dibuka.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Palembang, 28 Oktober 2015
Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi,
Ir. Tri Joko Mulyono, MM. NIP. 19580713 198503 1 003
xi
RUMUSAN
Memperha�kan sambutan dan arahan Sekretaris Badan Peneli�an Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pembicara Kunci yang disampaikan Ketua Dewan Riset Prof.
Dr.
Gustan Pari dan
presentasi 18 makalah serta diskusi yang berkembang selama lokakarya teknisi Litkayasa, maka dihasilkan rumusan sebagai berikut:
1.
Hasil lokakarya merupakan salah satu kontribusi seluruh teknisi litkayasa serta seluruh peserta untuk mendukung pengembangan kemampuan teknisi litkayasa dalam rangka pembangunan lingkungan dan kehutanan. Formula yang dipakai dalam pengembangan ini adalah kemitraan antara teknisi litkayasa dengan peneli� dalam melakukan kegiatan peneli�an secara professional sesuai perananya masing-masing.
2.
Pen�ngnya teknisi untuk memahami prinsip-prinsip peneli�an dan langkah-langkah kerja dengan teli� untuk menghasilkan data yang akurat, sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan peneli�an dalam upaya menunjang visi Badan Peneli�an Pengemba ngan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
3.
Transformasi Badan Peneli�an dan Pengembangan menjadi Badan Peneli�an Pengembangan dan Inovasi memberikan kesempatan yang luas dan “strategis” kepada teknisi litkayasa untuk melakukan “inovasi”. Inovasi yang diharapkan adalah menghasilkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara luas dengan berbasis IPTEK yang telah dihasilkan oleh para peneliti
di
lingkungannya.
4.
Teknisi memiliki peran strategis untuk mencapai tujuan peneli�an dengan bermitra se cara langsung dengan peneli�. Beberapa peran strategis teknisi dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: a. Laboratorium b. Survey potensi dan pengukuran c.
Silvikultur dan Biotekhnologi
d.
Pendampingan masyarakat, Sosial Ekonomi dan Peraturan Perundangan e.
GIS dan
Teknologi Informasi
5.
Sebagai langkah kongkrit dalam untuk meningkatkan kualitas kemitraan,
peningkatan kualitas teknisi diperlukan melalui keikutsertaan dalam pela�han
dan mengiku� pendidikan
pada jenjang yang lebih �nggi (S1, S2 dan S3). Selain itu teknisi dapat beralih
profesi dari peneli� litkayasa menjadi perekayasa.
6.
Untuk memberikan kesempatan kepada teknisi litkayasa dalam bertukar informasi dan menyampaikan hasil kerjanya, maka diperlukan ruang/media
untuk pertemuan antar-teknisi litkayasa dalam bentuk forum teknisi litkayasa seper� sekarang ini dan forum ini dapat dikembangkan menjadi FORUM TEKNISI LITKAYASA DAN FUNGSIONAL LAIN yang mengadakan pertemuan se�ap 2
(dua) tahun sekali dalam bentuk Jambore atau Pekan Inovasi.
Palembang, 28 Oktober 2015
Lokakarya Teknisi Litkayasa
Tim Perumus
xii
xiii
MAKALAHUTAMA
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
1
AKLIMATISASI TANAMAN HASIL KULTUR JARINGAN
Endin
Izudin
Balai Besar Peneli�an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta
I.
PENDAHULUAN
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman (sel, kelompok sel, jaringan, organ, protoplasma) dan menumbuhkannya dalam kondisi asep�k sehingga bagian tersebut berkembang menjadi tanaman lengkap. Pada umumnya teknik kultur jaringan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu: Tahap pertama induksi (penanaman awal), untuk menumbuhkan jaringan tanaman baik berupa tunas maupun kultur kalus dengan tujuan untuk membentuk kultur masal sel/tunas yang belum terdiferensi. Tahap kedua mul�plikasi (perbanyakan), untuk memperbanyak tunas dari hasil tahap pertama dimana tunas yang sudah terbentuk dipotong-potong dengan tujuan untuk memproduksi tunas majemuk. Tahap ke�ga roo�ng (pembentukan akar), yaitu pemindahan tunas terbaik hasil mul�plikasi ke media perakaran dengan tujuan untuk merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar sehingga menjadi
planlet yang sempurna. Tahap keempat adalah aklima�sasi, yaitu penyesuaian kondisi
tempat tumbuh dari lingkungan invitro ke tempat tumbuh di rumah kaca dan atau
lapangan agar tanaman mampu beradaptasi terhadap iklim dan lingkungan yang baru (Herawan, 200 0).
Tahapan aklima�sasi ini diperlukan oleh plantlet karena terdapat perbedaan kri�s antara kedua tempat tumbuh tersebut. Tanpa proses aklima�sasi plantlet �dak akan mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi luar, kondisi lingkungan tersebut melipu� kelembaban udara, intensitas cahaya, suhu dan media tumbuh (Nugroho dan Sugito, 1996).
Pada umumnya tanaman yang tumbuh secara invitro membutuhkan proses aklima�sasi untuk meningkatkan ketahanan ke�ka dipindahkan ke lapangan. Tujuan aklima�sasi tanam an hasil kultur jaringan adalah untuk menyesuaikan (prakondisi) dari lingkungan invitro ke lingkungan
di rumah kaca dan persemaian, dari kegiatan tersebut diharapkan diperoleh
tanaman yang memiliki formasi
perakaran dan �nggi tunas yang lebih baik dan kokoh.
II.
TEKNIK AKLIMATISASI
Teknik yang paling baik untuk aklima�sasi adalah mengacu pada perubahan suhu dan kelembaban yang lebih rendah, �ngkat pencahayaan yang lebih �nggi dan adaptasi terhadap lingkungan yang �dak asep�k. Proses aklima�sasi dapat
dimulai ke�ka plantlet masih dalam kondisi invitro yang
ditunjukkan dengan telah keluarnya akar seper� pada tanaman cendana.
Plantlet yang akan diaklima�sasi terutama bagian akarnya harus dicuci; dibersihkan dari media tumbuh (agar) dan zat hara yang terdapat pada media, selanjutnya direndam dengan larutan fungisida selama 2-3 menit, sehingga
dapat menekan pertumbuhan organisme penyebab kontaminasi misalnya cendawan/jamur.
Untuk menjaga agar kelembaban udara tetap stabil, plantlet yang telah di tanam dalam media tanah di tutup dengan plas�k bening, setelah dua minggu plas�k penutup di gun�ng pada bagian ujung sedikit demi sedikit hingga tanaman tersebut sepenuhnya terbuka dan siap untuk dipindahkan ke persemaian.
Yang harus diperha�kan pada tahap aklima�sasi, adalah sebagai berikut:
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
2
A.
Ruang Aklima�sasi
Aklima�sasi tanaman hasil kultur jaringan dilakukan di rumah kaca. Kondisi yang dibutuhkan pada saat aklima�sasi tergantung pada jenis
tanaman dan kualitasnya. Secara umum faktor yang mempengaruhi keberhasilan aklima�sasi adalah:
1.
Kelembaban
Mempertahankan kelembaban rela�f yang �nggi untuk beberapa hari pertama setelah aklima�sasi merupakan hal yang pen�ng untuk meningkatkan daya hidup plantlet. Penurunan kelembaban dan penurunan intensitas cahaya harus sepelan mungkin dilakukan untuk membentuk tanaman yang makin kuat sehingga tanaman �dak stres. Beberapa teknik mendapatkan kelembaban yang sesuai adalah dengan menggunakan sistem penutupan dengan kantong plas�k bening (sungkup), sistem ini terbuk� lebih baik dan rela�f murah dan mudah dalam pengerjaannya.
2.
Cahaya
Pada kondisi invitro,
tanaman disinari pada �ngkat cahaya yang rendah. Bila tanaman langsung dipindahkan pada kondisi dengan �ngkat cahaya yang �nggi maka daun akan menjadi kering seper� terbakar. Untuk itu pada saat tanaman diaklimat isasi perlu diberikan naungan, yang akan mengurangi transpirasi dan kelebihan cahaya yang dapat merusak molekul klorofil. Setelah beberapa waktu di bawah naungan, tanaman secara perlahan -lahan dipindahkan ke kondisi pencahayaan sebenarnya dimana tanaman akan di tanam.
3.
Temperatur
Kondisi di ruang aklima�sasi (rumah kaca) diusahakan mempunyai suhu berkisar antara
25o-30oC. Pengaturan suhu dapat juga dilakukan dengan melakukan penyiraman, fen�lasi terkontrol dan sistem pengkabutan.
B. Tahap Aklima�sasi 1.
Seleksi plantlet
Plantlet yang akan di aklima�sasi terlebih dahulu diseleksi, seleksi plantlet melipu� kondisi penampakan batang dan akar, plantlet siap untuk diaklima�sasi ditandai dengan batang hijau tua dan telah mempunyai akar tunggang dan akar rambut
2.
Sterilisasi plantlet
Plantlet hasil seleksi dibawa ke ruang aklima�sasi (rumah kaca) kemudian dikeluarkan
dari botol dengan menggunakan pinset, mengeluarkan planlet dilakukan secara ha� -ha� supaya akar
�dak putus. Planlet dibersihkan dari media agar dengan cara dicuci pada air mengalir, selanjutnya direndam pada larutan fungisida dengan konsentrasi 1 gr/liter selama 2 -3 menit.
3.
Penyiapan media aklima�sasi
Media yang digunakan untuk aklima�sasi disesuaikan dengan jenis yang akan di tanam, pada umumnya media yang digunakan adalah top soil, pasir halus, sekam padi, vermikulit dan kompos. Sterilisasi media dapat dilakukan dengan cara media di goreng, di siram dengan air mendidih dan penyiraman dengan fungisida. Dalam hal penyiapan dan pemilihan media ada beberapa hal yang harus diperha�kan, yaitu antara lain: media cukup terjaga kebersihannya (terbebas dari mikroba), media cukup aerasi (porositas) dan media cukup mengandung makanan yang dibutuhkan.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
3
4.
Penanaman plantlet
Sebelum plantlet di tanam terlebih dahulu media tanam di siram dengan air secukupnya, kemudian di buat lubang tanam. Pada saat penanaman dilakukan secara ha� -ha� mengingat formasi perakaran yang halus dan mudah patah. Penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan di tempat yang terlindung dari sinar matahari.
5.
Pemeliharaan plantlet
Kegiatan pemeliharaan melipu� penyiraman, buka tutup sungkup (sungkup masal), penggun�ngan ujung sungkup (sungkup tunggal) dan penyiangan. Pembukaan dan penggun-�ngan sungkup dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit �ap minggu hingga keseluruh-annya terbuka.
C.
Teknik Penyungkupan
Penyungkupan yaitu suatu teknik untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembaban, serta meningkatkan daya tahan terhadap cahaya matahari secara langsung. Penyungkupan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.
Sungkup tunggal
Sungkup tunggal yaitu sungkup yang dilakukan satu persatu terhadap se�ap tanaman. Penggunaan sungkup tunggal untuk skala besar secara ekonomis �dak menguntungkan dan memakan waktu, tetapi kelebihannya suhu
dan kelembaban yang diperoleh tanaman dapat
lebih stabil.
2.
Sungkup masal
Sungkup masal yaitu penyungkupan yang dilakukan terhadap seluruh tanaman, misalnya dalam satu bedeng atau areal tertentu. Pengaturan s uhu dan kelembaban dilakukan dengan cara buka tutup, secara ekonomis penggunaan sungkup ini lebih menguntungkan dan lebih prak�s.
III.
APLIKASI DI KEHUTANAN
Tanaman hasil kultur jaringan Khususnya tanaman kehutanan secara umum masih sulit
untuk dipelihara sesuai dengan kondisi rumah kaca
karena masih sangat peka. Oleh karena itu, perlu ada tahap aklima�sasi atau penyesuaian untuk menghadapi kondisi yang sulit bagi tanaman yang lemah terutama menghadapi transisi dari media agar ke media tanah. Sehingga diharapkan tanaman mempunyai perakaran yang lebih baik, ke�nggian tunas yang memadai dan lebih kokoh.
Tanaman kehutanan yang telah dikembangkan perbanyakannya
melalui kultur jaringan adalah: ja�, cendana, acacia, eucalyptus, suren, hasil pengamatan persen tumbuh untuk jenis tanaman tersebut tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk jenis: ja�, acacia, eucalyptus dan suren mempunyai persen tumbuh �nggi, hal tersebut dikarenakan formasi akar telah cukup kuat sehingga mampu menyesuaikan pada media
tanah.
Sedangkan untuk jenis cendana
(Santalum album) karakteris�k formasi perakarannya miskin akar rambut walaupun sudah terbentuk sehingga banyak mengalami kema�an dengan persen tumbuh kecil, disamping itu jenis ini �dak bisa berdiri sendiri hidupnya
sehingga diperlukan adanya tanaman inang.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
4
Tabel 1.
Persen Tumbuh Beberapa Tananaman Hasil Aklima�sasi di rumah kaca BBPBPTH
No
Jenis Tanaman
Komposisi Media
Jumlah
Diaklima�sasi
Jumlah
Hidup
Persen Tumbuh
1.
Ja� (Tectona grandis)
Top soil
+
Kompos
+
arang sekam padi (2:1:1)
57
50
87,7
2.
Acacia mangium
Top soil
+
Kompos
+
arang sekam padi (2:1:1)
46
39
84,8
3.
Eucalyptus pellita
Top soil
+
Kompos
+
arang sekam padi (2:1:1)
55
51
92,7
4
Toona sinensis
Top soil
+
Kompos
+
arang sekam padi
(2:1:1)
68
65
95,6
5.
Santalum album
Top soil
+
Kompos
+
arang sekam padi (2:1:1)
62
41
66,1
Tanaman inang untuk di persemaian yang banyak digunakan pada umumnya jenis krokot merah (Altenanthera
sp.). Lebih lanjut menurut Surata (2001) dinyatakan bahwa krokot merah merupakan tanaman inang primer yang paling baik untuk membantu pertumbuhan cendana. Selain itu krokot merah memenuhi syarat sebagai inang primer, yaitu mudah tumbuh kembali setelah dipangkas, mudah didapat, �dak menimbulkan kompe�si, s istem perakaran sukulen dan sesuai dengan kondisi tempat tumbuhnya. Berikut gambar formasi perakaran tanaman hasil kultur jaringan jenis Cendana dan tanaman Suren.
Gambar 1.
Formasi Perakaran Cendana dan Suren
Menurut Bonga (1985) beberapa masalah yang juga dialami oleh tanaman kehutanan (berkayu) dari hasil kultur jaringan pada saat akan dipindahkan ke lapangan, yaitu:
1.
Planlet �dak dapat bertahan hidup jika dipindah secara �ba-�ba
2.
Planlet mengering setelah dipindahkan
3.
Damping off yang disebabkan oleh jamur, dan
4.
Terjadi dorman jika planlet terlalu besar pada saat dipindahkan
Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan aklima�sasi, dimana aklima�sasi dari tanaman berkayu bervariasi antara satu jenis dengan jenis lainnya,
tergantung pada sistem yang digunakan dan respon jenis tanaman terhadap manipulasi setelah dikulturkan.
Alterna�f yang sering digunakan adalah dengan mengakarkan plantlet pada media non agar secara invivo, misal pada vermikulit atau media lainnya, dari kondisi ini plantlet kemudian dapat diaklima�sasi.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
5
IV.
PENUTUP
Aklima�sasi adalah pengkondisian plantlet atau tunas mikro di lingkungan baru yang asep�k di luar botol dengan media tanah sehingga plantlet dapat bertahan dan terus tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan. Pada tahap ini planlet diisolasi di greenhouse atau rumah plas�k.
Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru dikatakan berhasil jika plantlet dapat diaklima�sasi ke kondisi eksternal dengan �ngkat keberhasilan yang �nggi . Tahap ini merupakan tahap kri�s karena kondisi iklim mikro di rumah kaca, rumah plas�k dan lapangan sangat jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol. Planlet lebih bersifat heterotrofik karena sudah terbiasa tumbuh dalam kondisi suhu dan kelembaban �nggi, asep�k serta cukup suplai hara mineral dan sumber energi.
DAFTAR PUSTAKA
Bonga, J.M. 1985. Tissue Culture Technique.
Tissue Culture in Forestry.
Mar�nus Nijhoff/DR.W.Junk. Publ . Nedherlands.
Herawan, 2000. Teknik Aklima�sasi Kultur
Jaringan Cendana (Santalum album
Lin.). Informasi
Teknis Balai Besar Peneli�an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta .
Nugroho, A. & H. Sugito., 1996. Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta .
Surata, K., 2001. Sekilas Mengenai Cendana. Edisi Khusus masalah cendana NTT. Berita Biologi. Balai Peneli�an dan Pengembangan Botani. Puslitbang Biologi. LIPI. Bogor .
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
6
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
7
PEMBANGUNAN KEBUN BENIH SEMAI
GENERASI PERTAMA (F-1) JENIS Acacia mangium
Surip
Balai Besar Peneli�an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta
I.
PENDAHULUAN
Uji keturunan adalah cara untuk menduga susunan gene�s suatu individu dengan meneli� sifat-sifat keturunannya (Soeseno, 1985). Sistem uji keturunan ada
dua macam yaitu sistem sub-line yaitu uji keturunan dibangun berdasarkan masing-masing
provenansi atau asal sumber benih
secara terpisah satu dengan lainnya
dan sistem single popula�on yaitu uji keturunan dibangun dengan cara menggabungkan dari
beberapa provenansi atau sumber benih dalam satu plot uji keturunan. Pada umumnya setelah dilakukan serangkaian seleksi plot uji keturunan nan�nya akan dikonversi menjadi kebun benih yang dapat menghasilkan sumber benih unggul.
Dalam era sekarang ini kebutuhan akan benih unggul sudah �dak bisa dielakan lagi, hal ini terbuk� banyak animo masyarakat dan para pengusaha hutan mencari informasi benih unggul sebagai materi untuk pengembangan hutan rakyat maupun hutan tanaman industri. Jenis Acacia mangium saat ini merupakan salah satu jenis yang banyak digunakan sebagai materi untuk pengembangan hutan rakyat ataupun hutan tanaman industri. Jenis ini juga telah membuk�kan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Namun demikian kebutuhan untuk meningkatkan produk�vitas tanaman A.mangium masih perlu terus diupayakan. Untuk itu dalam memenuhi ketersediaan benih unggul A. mangium, sejak tahun 1994 Balai Besar Peneli�an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta telah membangun sebanyak 44 Kebun Benih Semai Uji Keturunan (KBSUK) jenis Acacia dan Eucalyptus di Jawa dan Luar Jawa.
Pembangunan KBSUK merupakan salah satu program pemuliaan pohon yang sangat berguna dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas gene�k suatu jenis untuk menghasilkan benih unggul. Perbaikan gene�k yang dihasilkan dari KBSUK sebagai produksi benih unggul dapat diperoleh dari 3 langkah pokok yaitu seleksi pohon plus, seleksi famili dan seleksi individu (Nirsatmanto, 1996). Perbaikan gene�k yang dihasilkan melalui seleksi famil i dan seleksi individu suatu KBSUK sangat dipengaruhi oleh rancangan dan desain yang digunakan. Untuk mewujudkan KBSUK yang berkualitas sebagai sumber produksi benih unggul �daklah mudah, banyak hal yang harus dipersiapkan, di
antaranya adalah ketersediaan materi gene�k benih dan petunjuk teknis prak�s dilapangan.
II.
METODE PEMBANGUNAN KBSUK
A.
Eksplorasi materi gene�k
Eksplorasi adalah kegiatan pengumpulan materi gene�k benih untuk tujuan tertentu. Sebelum dilakukan pengumpulan materi gene�k harus dipersiapkan rencana dan tujuan setelah benih terkumpul. Dalam memilih lokasi eksplorasi dengan tujuan untuk pembangunan KBSUK adalah lokasi yang memiliki tegakan pohon yang rapat dan diyakini memiliki basis gene�k yang luas. Setelah lokasi ditentukan langkah selanjutnya adalah seleksi pohon induk dimana pohon
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
8
yang terpilih memiliki performa terbaik (feno�pik) diantara pohon induk yang ada dikelompoknya.
Teknik seleksi pohon induk di alam, salah satunya adalah menentukan jarak minimal antar pohon induk yaitu minimal 50 meter dan �dak dalam posisi soliter. Kemudian pohon induk terpilih tersebut diiden�fikasi ciri dan sifat yang dimiliki dan diunduh buahnya serta dinomori sesuai nomor urut pohon induk tersebut. Data pohon induk yang terkumpul akan digunakan untuk penyusunan data base benih dan tujuan lainnya. Contoh cara pemilihan pohon induk di hutan alam tercantum pada Gambar 1.
Pohon plus 1 Pohon plus 2 Pohon plus 3
Gambar 1. Teknik pemilihan pohon induk di hutan alam
B. Pengepakan dan pelabelan benih untuk persemaian Setelah materi gene�k benih terkumpul selanjutnya dilakukan pengepakan (packing)
benih dan menyusun blangko iden�fikasi data benih (recording form benih). Setelah data benih tersusun kemudian benih tersebut diberi nomor berupa tenta�ve code
atau nomor famili. Data
jumlah nomor famili tersebut dapat memberikan informasi akan kebutuhan bibit per famili, model desain dan luas areal KBSUK yang akan dibangun. Kegiatan packing
benih sebaiknya dilakukan 2 paket (ulangan) per famili untuk semua jenis, hal ini dimaksudkan apabila ulangan satu terkena serangan hama penyakit diharapkan masih ada ulangan ke dua yang bisa diharapkan sebagai materi untuk pembangunan KBSUK.
Kebutuhan benih per famili untuk jenis A.mangium cukup 2 gram untuk dua ulangan.
Sebagai contoh dalam pembuatan label pada benih: A-46-I dan A-46-II yaitu secara berturut-turut memuat informasi grup (A), nomor famili
(46), dan ulangan
(I atau II).
Setelah kegiatan pelabelan selesai, selanjutnya adalah pengecekan ulang dan mengurutkan nomor famili
dengan recording form benih yang sudah ada, untuk an�sipasi terjadi duplikasi atau famili yang terlewat.
Kemudian
benih siap digunakan dalam
proses pembuatan bibit selanjutnya dipersemaian, yaitu perkecambahan hingga menjadi bibit siap tanam di lapangan ( Gambar 2).
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
9
Gambar 2.
Recording form
data benih dan cara pengepakan benih
C.
Persemaian
Benih yang telah dipersiapkan kemudian dilakukan kegiatan perkecambahan,
yaitu persiapan bak tabur yang terisi pasir dengan ketebalan sekitar 5 cm dan disterilkan dengan obat fungisida guna mencegah �mbulnya jamur. Sebagaimana pengepakan benih, bak tabur diulang dua kali dan diberi label atau nomor sesuai dengan masing-masing nomor famili yang ditetapkan sebelumnya. Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan per kecambahan
di bak
tabur yang harus dilakukan se�ap saat, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan kecambah sekaligus mencegah hal-hal yang akan menyebabkan kondisi kecambah jadi �dak normal.
Bersamaan dengan kegiatan perkecambahan benih, perlu dipersiapkan pembuatan media sapih yaitu pengisian polybag atau pot-rays dengan media sapih. Media sapih yang baik dan biasa digunakan adalah top soil (tanah lapisan atas), kompos/pupuk kandang dan pasir. Perbandingan untuk pembuatan media sapih adalah 3:2:1 (3 : top soil, 2 : kompos/pupuk kandang, 1 : pasir). Selanjutnya kumpulan polybag yang tersusun didalam bedengan dinaungi dengan shading net dengan itensitas cahaya antara 65-80% dan pembuatan sungkup plas�k selama bibit perlu mendapat perlindungan dari percikan hujan dan hama. Bedengan yang baik adalah bedengan yang dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan bibit selanjutnya sampai bibit siap tanam.
Selanjutnya kegiatan penyapihan yang baik dengan membawa bak kecambah ke kelompok polybag yang tertata dan disiapkan di bedengan. Setelah dilakukan pencocokan label antara yang tertera pada kelompok polybag dan bak kecambah, maka baru dilakukan penyapihan. Kegiatan penyapihan sebaiknya dilakukan pada pagi hari antara jam 07.00 –
09.00 atau sore hari sekitar jam 15.00, dikarenakan pada waktu tersebut suasana udara �dak terlalu panas.
Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan bibit dipersemaian, diantaranya melalui penyiraman, penyulaman, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan seleksi bibit untuk persiapan penanaman
(Gambar 3). Setelah itu pengamatan se�ap saat untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan bibit di persemaian dan informasi tersebut sangat berguna untuk kegiatan evaluasi KBSUK lebih lanjut.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
10
Gambar 3.
Kegiatan penaburan benih di persemaian
D.
Pemilihan lokasi
Dalam pemilihan lokasi calon areal pembangunan KBSUK harus baik, dan pada akhirnya nan� areal KBSUK tersebut dapat menghasilkan benih unggul baik segi kualitas maupun kuan�tas. KBSUK tentunya diisyaratkan sebagai plot untuk pendidikan dan penyedian sumber benih unggul, sehingga harus memiliki areal yang baik dan terjamin. Secara umum syarat pemilihan calon areal KBSUK adalah sebagai berikut:
a.
Tingkat aksesibilitas �nggi
b.
Tingkat kesuburan tanah
c.
Topografi yang rela�f datar
d.
Kesesuain jenis tanah dan iklim
e. Jarak lokasi dengan tanaman yang sejenis berjauhan f. Lokasi uji keturunan mewakili kegiatan pengembangan tanaman hutan g. Kondisi tanah secara umum homogen.
Setelah lokasi ditentukan langkah selanjutnya adalah pengolahan lahan. Pada dasarnya didalam pengolahan lahan yang dipersiapkan untuk pembangunan KBSUK, yang harus diperha�kan adalah kebersihan areal dari sisa-sisa penebangan pohon. Hasil pengamatan di lapangan sisa tonggak hasil persiapan lahan dapat menimbulkan hama rayap yang akan menyerang tanaman pada waktu masih kecil. Disamping proses pengolahan lahan dan �dak kalah pen�ngnya adalah pembuatan sekat bakar sebagai perlindungan KBSUK dari bencana kebakaran hutan.
E.
Penyusunan rancangan dan desain
Kegiatan penyusunan rancangan dan desain dilaksanakan dua tahap yaitu penyusunan
desain sementara sebelum diketahui jumlah bibit se�ap familinya dan penyusunan desain permanen setelah diketahui jumlah bibit �ap familinya dan siap tanam. Ada beberapa aspek yang perlu diperha�kan dalam penyusunan rancangan dan desain adalah sebagai berikut (Nirsatmanto, 1996):
a.
Jumlah famili yang dikembangkan harus sesuai dengan ukuran kebun benih agar dicapai perbaikan gene�k yang maksimal.
b.
Kerapatan tegakan awal yang �nggi, disarankan selama ruang atau tempat masih memungkinkan untuk kegiatan evaluasi lebih lanjut.
c.
Jumlah famili yang dipilih untuk dikembangkan akan menjadi lebih banyak apabila ukuran dan kerapatan tegakan semakin besar.
d.
Jumlah blok atau replikasi ditentukan berdasarkan efisiensi operasional kegiatan selama tujuan dari pengujian dan produksi benih dapat dicapai.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
11
Selanjutnya adalah randomisasi family atau pengacakan letak famili di dalam blok. Hasil randomisasi tersebut akan digunakan sebagai dasar pembangunan KBSUK di lapangan yang melipu� penomoran famili se�ap plotnya, penomoran bibit di persemaian dan pembuatan field-note atau blangko pengamatan di lapangan.
F.
Penanaman
Setelah pengolahan lahan selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah pengeplotan desain di lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan model KBSUK yang sudah dirancang sebelumnya. Desain hasil randomisasai diterapkan di lapangan dan menempatkan plot-plot famili sesuai dengan posisinya, sehingga memudahkan dalam pendistribusian bibit di lapangan. Kemudian dilakukan pemasangan ajir sebagai tanda tempat dimana plot famili diposisikan dan untuk penempelan label nomor famili sesuai dengan desain permanen yang telah di buat sebelumnya
(Gambar
4 ).
Label nomor famili dipersiapkan 2 ulangan yaitu satu ulangan untuk di lapangan dan satu ulangan untuk ditempelkan di bibit. Sedangkan informasi yang ada di label memuat informasi row-column-famili (6
–
2 –
4) dari informasi tersebut sudah sangat memudahkan dalam pelaksanaan penanaman. Contoh pelabelan sebagai berikut:
Gambar 4.
Cara pemasangan label di ajir dan bibit
Setelah pemasangan label di ajir dan di bibit selesai dilakukan, langkah selanjutnya
adalah pengepakan bibit di persemaian. Bibit-bibit tersebut di kemas untuk masing-masing plot. Untuk jenis A. mangium dalam 1 (satu) plot terdiri 4 (empat) tanaman. Dalam proses pengepakan bibit juga dilakukan seleksi bibit di persemaian, yaitu dengan cara memilih bibit yang memiliki performa sehat dan keseragaman bibit antar famili. Setelah pengepakan bibit selesai dilakukan langkah selanjutnya adalah pengangkutan bibit ke lapangan dan pendistribusian dengan teli� dan kesabaran. Seandainnya ada bibit yang labelnya hilang akibat pengangkutan atau pendistribusian bibit dan �mbul keraguan maka sebaiknya bibit tersebut �dak di pakai dan di gan� bibit dengan nomor yang sama. Kesalahan dalam pelabelan atau penempatan bibit di lapangan berakibat fatal terhadap keakuratan data dan evaluasi KBSUK. Teknik distribusi bibit di lapangan adalah bibit yang sudah di kemas dan beberapa ikatan bibit diposisikan melalui kolom (column).Teknik ini sementara yang terbaik untuk menekan kesalahan dalam pendistribusian bibit di lapangan
(Gambar 5).
6 –
2 –
4
=
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
12
Gambar 5. Langkah dalam pendistribusian bibit di lapangan
Dari Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa step 1
merupakan kelompok dari beberapa ikatan plot yang dikumpulkan jadi satu dan ditempatkan pada column
1 yang terdiri dari plot
yang menempa� pada posisi plot di row
1, 2 dan 3, step 2: biasanya dalam satu kelompok terdiri dari 3 plot, kemudian didistribusikan plot tersebut ke masing-masing posisi yaitu row
1, 2 dan 3, step 3: setelah label di ajir dan di bibit sama baru, dilakukan pendistribusian individu bibit (tree-plot)
ke masing-masing lubang tanam. Bibit yang ada labelnya ditempatkan pada ajir yang ada labelnya dan selanjutnya tanaman tersebut dijadikan sebagai pohon pertam a dalam plot tersebut. Setelah pendistribusian bibit selesai dilakukan baru boleh dilakukan penanaman dan diperlukan pengecekan kembali terhadap kemungkinan adanya bibit-bibit yang belum tertanam atau salah dalam menempatkan plot.
Setelah kegiatan penanaman di KBSUK selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah penyusunan dokumentasi KBSUK tersebut melipu� nama lokasi, nama organisasi, informasi benih, waktu penanaman, luas areal, informasi silvikultur, posisi lokasi kebun benih, peta desain, peta posisi blok dan informasi lainnya yang diperlukan.
G.
Pengukuran dan analisa data
Untuk mendapatkan informasi terhadap perkembangan tanaman di KBSUK diperlukan pengamatan secara periodik. Untuk jenis A.mangium
pengukuran dilakukan 6 bulan sekali yang melipu� pengamatan sifat pohon yang dimuliakan seper� �nggi pohon, diameter batang, �nggi bebas cabang, penggandaan batang dan bentuk batang. Karena KBSUK di rancang sebagai proses pengujian keturunan, maka kegiatan pengukuran juga harus dilakukan dengan ha� -ha�
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
13
yaitu dengan cara pembuatan field-note atau blangko pengamatan untuk pengumpulan data. Pengukuran se�ap periodik harus konsisten dalam memasukan data di field -note dan �dak boleh ada kesalahan dalam memasukan data. Data dari hasil pengukuran di lapangan selanjutnya dimasukan ke computer dan dianalisis dengan menggunakan metoda tertentu untuk mengetahui perkembangan beberapa parameter gene�k yang dihasilkan dari KBSUK tersebut.
H.
Seleksi
Tujuan seleksi sangat berkaitan denga sifat-sifat yang ingin dimuliakan. Seleksi dilakukan dengan cara melihat pola pertumbuhan tanaman dan keunggulan yang dikehendaki, misalnya riap yang �nggi, berbatang tunggal dan lurus, percabangan halus, bebas cabang �nggi, tahan terhadap hama dan penyakit. Tahapan dalam seleksi pada kebun benih semai untuk jenis A.mangium tercantum pada table 1.
Tabel 1.
Tahapan seleksi pada kebun benih semai jenis A.mangium
Umur (tahun)
Seleksi
Penebangan
1 –
2
Seleksi dalam plot pertama
Menebang 1 pohon dari 4 pohon di dalam plot
3
Seleksi dalam
plot ke-dua
Menebang 1 pohon dari 3 pohon didalam plot
4
Seleksi dalam plot ke-�ga
Menebang 1 pohon dari 2 pohon didalam plot
5
Seleksi famili dan pohon plus
Menebang famili yang �dak memenuhi syarat (dengan intesitas seleksi tertentu) dan juga memilih pohon plus di dalam KBSUK
III. PENUTUP
Untuk mewujudkan pembangunan Kebun Benih Semai yang berkualitas diperlukan persiapan yang matang di
antaranya
pengumpulan materi gene�k benih yang memiliki basik
gene�k yang luas, menguasai secara teknis dari pengepakan benih hingga penanaman di lapangan dan menguasai teknis evaluasi KBSUK se�ap periodiknya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr.Ir. Arif Nirsatmanto, M .Sc dan �m Acapella yang telah memberikan saran dan kri�k dalam penyusunan makalah sederhana ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nirsatmanto, A. 1996. Petunjuk Teknis Penerapan Sistem Sub -line dalam Pembangunan Kebun Benih Uji Keturunan.
Informasi teknis BP3BTH Yogyakarta.
Soeseno, O.H., 1985. Pemuliaan Pohon. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
14
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
15
PENGGUNAAN SUMUR BOR DANGKAL SEBAGAI SUMBER AIR UNTUK PEMADAMAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT
Eko Priyanto dan Yusnan
Balai Peneli�an Kehutanan Banjarbaru
I.
PENDAHULUAN
Kebakaran hutan dan lahan gambut saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang perlu di cari jalan keluarnya, hal yang terbaik memang perlu di cari formula yang tepat untuk mencegah terjadinya kebakaran ataupun �ndakan awal untuk pemadaman sebelum api kebakaran menjadi �dak terkendali yang dampaknya akan menyulitkan kegiatan pemadaman, karakteris�k api kebakaran di hutan dan lahan gambut memang agak berbeda dibandingkan kebakaran yang terjadi di tanah mineral, bahkan kabut asap yang seringkali terjadi saa t ini lebih diduga karena hasil kebakaran yang terjadi di hutan dan lahan gambut. Kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut memerlukan perlakuan yang sangat Khusus
dimana ke�ka melakukan ak�fitas pemadaman �dak cukup memas�kan api telah pa dam namun juga harus memperha�kan bara yang masih terjadi terutama pada batang pohon maupun pada serasah yang menempel pada pangkal pohon/tanaman, karena bila kegiatan pemadaman dilakukan secara �dak tuntas (benar-benar padam) maka bara-bara ini akan terus melakukan proses pemanasan sehingga bila mencapai ��k bakar kembali maka api kebakaran seringkali akan �mbul dilokasi yang sebelumnya telah dilakukan kegiatan pemadaman.
Hambatan yang sering terjadi pada saat melakukan pemadaman kebakaran di hutan d an lahan gambut adalah �dak tersedianya sumber air dan akses jalan yang sulit, hal ini menyebabkan seringkali kegiatan pemadaman hanya dilakukan pada lokasi yang dekat dengan sumber air (sungai, kanal, embung dll), walaupun ketersediaan sumber daya manusia dan peralatan mesin pemadam telah ada namun bila pemadaman hanya dilakukan pada lokasi yang dekat sumber air maka bisa dikatakan api kebakaran di hutan dan lahan gambut masih terus terjadi dimana api kebakaran telah masuk kedalam yang jaraknya jauh dari jalan terdekat, hal ini ditandai kabut asap yang belum berhen� walaupun upaya pemadaman telah dilakukan, seper� kasus bencana kabut asap yang melanda beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan sampai dengan bulan Oktober 2015, dimana kabut asap masih terjadi di daerah yang terdapat hutan dan lahan gambut seper� Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sementara itu upaya pemadaman dengan metode water bombing dengan menggunakan helikopter dan pesawat
udara juga megalami kesulitan yang cukup �nggi hal ini disebabkan lokasi kebakaran yang tertutup kabut asap sehingga cukup menyulitkan kegiatan pemadaman dari udara. Upaya pembuatan kanal sebagai sumber air juga dinilai memiliki resiko �nggi terhadap kelestarian ekosistem lahan gambut, karena dengan adanya kanal ini dapat memperburuk kondisi hutan dan lahan gambut karena gambut dapat menjadi kering hal ini disebabkan kehilangan air gambut yang keluar melalui kanal ini, padahal kita harus tetap mempertahankan kelembaban lahan gambut untuk mencegah terjadinya kebakaran. Oleh sebab itu pembuatan sumur bor dangkal pada hutan dan lahan gambut dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dalam rangka pencegahan dan penggendalian kebakaran dengan menyiapkan sumber air untuk kegiatan pemadaman bila kebakaran terjadi. Sumur-sumur bor ini berfungsi sebagai hydrant seper� fungsi hydrant yang
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
16
sering kita temui pada daerah perkotaan, sumur bor dangkal ini berfungsi sama yaitu sebagai sumber air dan penyuplai
air bila kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi.
II.
MENGENAL SUMUR BOR DANGKAL DI LAHAN GAMBUT
Sumur bor dangkal ini sebenarnya bukanlah inovasi baru namun telah lama juga digunakan Khususnya untuk keperluan air bagi kebutuhan manusia untuk keperluan sehari-hari seper� mandi, cuci dan memasak di
daerah lahan gambut. Namun demikian pemanfaatan sumur bor dangkal sebagai fungsi hydrant untuk ketersediaan sumber air guna kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut ini yang perlu disosialisasikan. Balai Peneli�an Kehutanan Banjarbaru telah melakukan kegiatan dalam rangka peneli�an dan pengembangan teknologi penggendalian kebakaran hutan dan lahan, pada saat tahun 2000an metode sumur bor dangkal ini belum menjadi prioritas sebagai sumber air, karena pada saat itu pembuatan sumber air cukup dilakukan dengan cara yang sangat sederhana yaitu pembuatan sumur gali yang berukuran 2 x 2 x 1,5m dan mampu sebagai penyedia sumber air saat kegiatan pemadaman, namun saat ini bila kita menggunakan sumur gali manual ini
sudah �dak efek�f karena ketersediaan airnya sudah sangat minim, hal ini diduga akibat proses pengeringan di lahan gambut yang terus terjadi dimana air keluar melalui kanal-kanal yang telah dibuat sebelumnya (study kasus kondisi lahan gambut didaerah Tumbang Nusa Kalimantan tengah). Oleh sebab itu keberadaan sumur bor dangkal dapat menjadi satu solusi dalam rangka penyedian sumber air untuk kegiatan pemadaman di hutan dan lahan gambut. Sampai dengan saat ini memang belum ada studi yang meneli� tentang dampak keberadaan sumur bor dangkal terhadap kerusakan lahan gambut, hal ini dinilai menjadi pen�ng karena diharapkan sumur bor dangkal ini dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dalam rangka pencegahan dan pengendalian kebakaran di hutan dan lahan gambut.
Gambar 1.
Sumur gali manual di lahan gambut
Sumur bor dangkal memiliki kedalaman yang bervariasi antara 20-25m, dalam proses
pembuatannya sumur bor dangkal di lahan gambut ini dapat dibuat sendiri dan walaupun dibuat oleh orang yang ahli biayanya juga �dak telalu besar berkisar antara 1 -1,5 juta rupiah persumur (gambar 1). Didalam sumur bor ini menggunakan pipa air ukuran 2 inch yang nan�nya akan dihubungkan pada selang hisap mesin pompa pemadam saat proses pemadaman dilakukan (gambar 2 dan 3). Sumur-sumur bor ini dapat dibuat pada lokasi yang jauh dari sumber air alam ataupun buatan (sungai, kanal, embung dll), sehingga diharapkan bila kebakaran terjadi permasalahan sumber air untuk kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut sudah dapat teratasi. Selain dapat menjadi sumber air keberadaan sumur
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
17
bor ini juga berfungsi sebagai penyuplai
air pada lokasi yang jauh dari ��k keberadaan sumur bor, hal ini dapat dilakukan dengan metod e estafet.
Gambar 2. Proses pembuatan sumur bor dan sumur yang telah jadi
Ketersediaan sumber air berupa sumur bor dangkal di hutan dan lahan gambut bukan menjadi patokan bahwa kebakaran yang terjadi di hutan dan lahan gabut sudah dapat di atasi namun dengan tersedianya sumur bor dangkal ini yang ditempatkan pada lokasi rawan terjadi kebakaran sebagai upaya pencegahan sebelum terjadinya kebakaran selain itu akan mempermudah cara kerja pada saat kegiatan pemadaman dilakukan karena sumber air telah tersedia.
III. PENGGUNAAN SUMUR BOR DANGKAL DALAM RANGKA PEMADAMAN
Cara penggunaan sumur bor dangkal sebagai sumber air langsung untuk kegiatan
pemadaman bukan hal yang dirasa sulit, karena metodenya �nggal menghubungkan pipa pada sumur bor tersebut dengan selang hisap pada mesin pompa pemadam dan kemudian sumur bor ini dapat digunakan
(Gambar 4). Oleh sebab itu ketersediaan mesin pompa pemadam
menjadi hal utama untuk dapat menggunakan sumur bor dangkal ini. Mesin pompa pemadam yang digunakan juga �dak harus memiliki spek Khusus
untuk dapat mengoperasikan sumur bor ini, karena standar mesin pompa pemadam yang tersedia umum di pasaran saat ini sudah dapat digunakan untuk penggunaan sumur bor ini dalam kegiatan pemadaman kebakaran.
Gambar 3. Mesin pompa yang telah dihubungkan pada pipa sumur bor
Prosedur kerja dan kelengkapan yang harus diperha�kan dalam rangka penggunaan sumur bor ini untuk kegiatan pemadaman di hutan dan lahan gambut dapat diuraikan sebagai berikut:
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
18
1.
Pas�kan ��k keberadaan
sumur bor yang akan digunakan sebagai sumber air untuk
kegiatan pemadaman.
2.
Cek kondisi mesin pompa yang akan digunakan (kondisi selang hisap, bbm, karet klep dll) .
3.
Lepaskan saringan pada selang hisap mesin pompa, karena dalam penggunaan sumur bor
ini �dak menggunakan saringan yang terdapat pada ujung selang hisap.
4.
Sambungkan selang hisap pada ujung pipa sumur bor.
5.
Ikat kencang sambungan selang hisap dan pipa sumur bor dengan menggunakan tali karet
bekas ban dalam mobil, pas�kan �dak ada rongga udara pada sambungan ini karena dapat
mempengaruhi kualitas hisap mesin pompa pada sumur.
6.
Masukan air pancingan pada mesin pompa atau pada mesin yang telah memiliki pompa,
maka lakukan kegiatan memompa air. Hal ini perlu dilakukan agar waktu menyalakan
mesin dan keluarnya air menjadi lebih singkat.
7.
Hal yang perlu diperha�kan bila mesin pompa pemadam yang digunakan �dak tersedia alat
pompa untuk memompa air, maka untuk memancing air harus tersedia air te rlebih dahulu
yang dimasukan pada lubang pancingan yang tersedia pada mesin pompa pemadam.
8.
Sambungkan selang pemadam pada mesin pompa pemadam dan pada ujung selang
pasangan nozzel
pemadam, bila kurang panjang selang dapat disambungkan pada selang
lain yang telah disiapkan sebelumnya.
9.
Nyalakan mesin dengan cara menarik tali starter, sebelumnya pas�kan mesin dalam kondisi
on dan chock mesin dibuka.
10. Setelah mesin menyala perlahan-lahan naikan gas, setalah air dirasa sudah naik (terhisap)
maka buka kran pada mesin agar air keluar pada selang pemadam, dan kegiatan
pemadaman dapat dilakukan.
Berdasarkan hasil pengamatan oleh �m pemadaman kebakaran hutan dan lahan BPK Banjarbaru pada saat kegiatan pemadaman dengan pemanfaatan sumur bor dangkal ini kegiatan pemadaman dapat dilakukan terus-menerus (6 jam) ketersediaan air pada sumur bor masih terpenuhi. Hal ini dinilai efek�f dibandingkan bila menggunakan sumber air dari sumur gali manual atau
pun menunggu suplai
air. Namun demikian catatan yang perlu diperha�kan agar kegiatan pemadaman dengan menggunakan sumur bor dangkal ini menjadi efek�f hendaknya saat pembuatan sumur bor ini menggunakan pipa ukuran 2 inch, hal ini disebabkan mesin pompa yang tersedia dipasaran umumnya berukuran pipa hisap 2 inch dan selang lemparnya berukuran 1,5 inch.
IV.
PENUTUP
Keberadaan sumur bor dangkal ini dapat menjadi solusi kebutuhan air saat kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut, yang perlu menjadi perha�an bahwa posisi sumur-sumur bor yang telah dibuat sebelumnya perlu diberi tanda maupun lokasinya perlu dikoordinasikan dengan instansi terkait sehingga siapa
pun yang melakukan kegiatan pemadaman dapat menggunakan sumber air melalui sumur bor ini, selain itu perlu kegiatan kajian yang lebih mendalam agar sumur bor dangkal di hutan dan lahan gambut dapat menjadi salah satu kebijakan dalam rangka kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
19
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho W.C. et al. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran hutan dan lahan gambut. Wetlands Interta�onal. Bogor.
Faidil S., 2000. Pengenalan Sifat-Sifat Api. Pela�han Pencegahan dan Kebakaran Hutan Tingkat Pelaksana Lapangan. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru.
Harun M.K., 2015. Rencana kegiatan pemeliharaan dan penataan KHDTK Tumbang Nusa Tahun 2015.
Zaini M.,1998. Panduan Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran. Pen erbit Abdi Tandur Jaka.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
20
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
21
TEKNIK
PEMATAHAN
DORMANSI
BENIH
TANAMAN
HUTAN
DI
BALAI
PENELITIAN
TEKNOLOGI
PERBENIHAN
TANAMAN
HUTAN
(BPTPTH)
Anggun Musyarofah, Danu dan Dwi Haryadi
Balai Peneli�an Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
I.
PENDAHULUAN
Dormansi benih adalah suatu kejadian dimana benih dalam keadaan hidup tetapi �dak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambah an. Faktor yang mempengaruhi terjadinya dormansi adalah rendahnya atau �dak adanya proses imbibisi, proses respirasi lambat dan rendahnya proses metabolisme cadangan makanan
(Sutopo, 2004).
Schmidt (2000) menyebutkan bahwa secara umum dormansi ada enam yaitu dormansi fisik, dormansi embrio (fisiologis), dormansi mekanis, dormansi kimia, dormansi cahaya dan dormansi suhu.
1.
Dormansi Fisik
Dormansi fisik terjadi karena ada
pembatas struktural terhadap perkecambahan seper�
kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas pada berbagai jenis tanaman. Yang termasuk dormansi fisik adalah: (a). Impermeabilitas kulit biji terhadap air:
Benih-benih yang menunjukkan �pe dormansi ini disebut
benih keras contohnya seper� pada famili Leguminoceae. Hal ini mengakibatkan air terhalang kulit biji yang mempunyai struktur terdiri dari lapisan sel -sel berupa palisade yang berdinding tebal, terutama dipermukaan paling luar dan bagian dalamnya mempunyai lapisan lilin. (b) Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio: Pada �pe dormansi ini, beberapa jenis benih tetap berada dalam keadaan dorman disebabkan kulit biji yang cukup kuat untuk menghalangi pertumbuhan embrio. Jika kulit ini dihilangkan maka embrio akan
tumbuh dengan
segera. Hambatan mekanis terhadap pertumbuhan embrio dapat diatasi dengan mengekstrasi benih dari pericarp atau kulit biji. (c) Adanya zat penghambat:
Dormansi ini terjadi karena
adanya
zat-zat penghambat dalam buah atau benih yang mencegah perkecambahan. Zat penghambat yang paling sering dijumpai ditemukan dalam daging buah. Untuk itu benih tersebut harus diekstrasi dan dicuci untuk menghilangkan zat-zat penghambat.
2.
Dormansi Fisiologis (embrio)
Dormansi ini terjadi karena
embrio yang belum sempurna pertumbuhannya atau belum matang. Benih
yang
demikian memerlukan jangka waktu tertentu agar dapat berkecambah (penyimpanan). Jangka waktu penyimpanan ini berbeda-beda dari kurun waktu beberapa hari sampai beberapa tahun tergantung jenis benih. Benih-benih ini biasanya ditempatkan pada kondisi temperatur dan kelembaban tertentu agar viabilitasnya tetap terjaga sampai embrio terbentuk sempurna dan dapat berkecambah.
3.
Dormansi Mekanis
Penyebab dari dormansi ini adalah pertumbuhan embrio secara f isik dihambat karena kulit biji yang �pis.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
22
4.
Dormansi Kimia
Peyebabnya adalah terjadinya penghambatan perkecambahan karena benih mengandung zat-zat kimia.
5.
Dormansi Cahaya
Dormansi ini dikarenakan adanya keperluan cahaya tertentu yang harus dipen uhi untuk membantu benih berkecambah. Kondisi cahaya yang tepat akan memacu perkecambahan.
6.
Dormansi Suhu
Dormansi ini dikarenakan adanya keperluan kondisi suhu tertentu yang harus dipenuhi untuk membantu benih berkecambah. Kondisi suhu yang tepat akan memacu perkecambahan.
II.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENGENDALIKAN DORMASI
Ada beberapa faktor yang mengendalikan dormansi diantaranya adalah gene�k, lingkungan, hormon, dan perkembangan kulit benih yang keras.
1.
Faktor Gene�k
Benih secara umum terdiri dari 3 jaringan yang berbeda secara gene�k, yaitu: embrio diploid,endosperma triploid dan testa triploid. Dormansi dapat terjadi karena bawaan dalam embrio atau rangsangan oleh jaringan luar embrio. Pada beberapa jenis, geno�f embrio memperlihatkan pengaruh pen�ng dalam mengendalikan dormansi.
2. Faktor Lingkungan
Dormansi sangat dipengaruhi perubahan lingkungan sehingga memungkinkan terjadi keragaman dari tahun ke tahun. Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap perkembangan dan ketebalan kulit benih seperti pada Manilkarakauki (Sudrajat dkk., 2008). Hal ini tentu saja akan mempengaruhi dormansi benih karena ketebalan kulit akan mempengaruhi proses perkecambahan.
3.
Hormon
Dormansi dikendalikan oleh interaksi promotor (perangsang) dan inhibitor (penghambat)
perkecambahan. Inhibitor ABA merupakan penyebab pen�ng dormansi. Pada benih kemiri, kadar ABA pada ko�ledon semakin �nggi sejalan dengan meningkatkan kemasakan benih. Tingginya kadar ABA pada ko�ledon (5,05 μg/g BB) tersebut menyebabkan benih sulit berkecambah (Murnia�, 1995).
4.
Perkembangan Kulit Benih
Kondisi kulit benih yang keras merupakan kondisi yang diturunkan dan dapat disebabkan oleh faktor lingkungan (Schmidt, 2002). Faktor nutrisi seper� �ngkat konsentrasi kalsium yang berhubungan dengan lignifikasi akan meningkatkan kekerasan kulit benih. Waktu pembungaan dan pemanenan/pengunduhan, lokasi dan iklim akan berpengaruh Khususnya pada derajat pengeringan benih dimana benih akan lebih keras dan kedap air (impermeable) jika kadar air benih diturunkan. Umumnya jika kadar air benih melebihi kadar air 12-14%, kulit benih akan permeable, sedangkan pada kadar air 3-4%, kulit benih akan impermeable. Pada kadar air pertengahan, kulit benih mungkin impermeable namun mungkin juga permeable oleh manipulasi kelembaban di luar benih.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
23
III.
TEKNIK PEMATAHAN DORMANSI BENIH TANAMAN HUTAN DI BPTPTH
Benih tanaman hutan memiliki sifat yang unik sebagai bentuk adaptasi dari lingkungan aslinya di hutan sehingga tak jarang memberikan dampak adanya sifat dormansi pada benih tersebut. Sifat dormansi akan memberikan pengaruh pada sulit dan lamanya proses perkecambahan. Hal ini tentu saja akan memberikan pengaruh pada rendahnya persentase daya berkecambah benih sehingga diperlukan adanya pematahan dormansi.
Cara yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan dormansi benih yaitu dengan melakukan perlakuan awal. Perlakuan awal adalah perlakuan yang dilakukan sebelum penaburan dilakukan untuk menambah kecepatan dan keseragaman perkecambahan benih yang di tabur. Panduan penandaan pematahan dormansi benih pada dasarnya
sebagian besar telah ada pada ‘Petunjuk Teknis Pengujian Mutu Fisik-Fisiologis Benih’ namun untuk ketepatan teknik perlu disesuaikan kembali dengan karakteris�k dan keadaan benih. Ada beberapa pelakuan yang dilakukan
untuk mematahkan dormasi yaitu:
1.
Perlakuan Mekanis
Teknik pematahan dormansi mekanik merupakan suatu cara pematahan dormansi dengan perlukaan seper�
mengupas,
mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas empelas, melubangi kulit biji dengan pisau, perlakuan impac�on (gocangan) untuk benih-benih yang memiliki sumber gabus.Berikut beberapa hasil peneli�an teknik pematahan dormansi benih tanaman hutan di Balai Peneli�an Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (Tabel 1).
Tabel 1. Teknik pematahan dormansi mekanis pada beberapa jenis tanaman hutan
No Jenis Teknik pematahan dormasi Pustaka 1 Kemiri (Aleurites moluccana) Ditipiskan kulitnya/Amplas Bramasto dan Putri, 2005 2 Krasi karpa (Acacia crassicarpa) Pencabikan kulit Yuniarti dkk., 2013 3 Merbau (instia bijuga) Pengikiran Yuniarti, 1996 4
Mindi (Melia azedarach)
Peretakan
Danu, 2003
5
Nyampung (Colophyllum inaphillium
Pengupasan kulit
Zanzibar dkk., 2009
6
Sengon Buto (Eterolobium cyclocarpum)
Pengikiran
Djam’an, 1998
7
Pala (Myristica fragrans
Houtt)
Pengupasan kulit
Djam’am
dan Sudrajat, 2002
Salah satu hasil peneli�an di
BPTPTH
mengenai teknik pematahan dormansi dengan teknik mekanis di cabik pada benih Acacia crassicarpa (Krasi) menunjukan hasil daya berkecambah terbaik (Yuniar�
dkk.,
2013).
Berdasarkan hasil peneli�an Yuniar�
dkk.
(2013) pada Tabel 2. diketahui bahwa teknik pematahan dormansi terbaik untuk perkecambahan adalah dengan teknis mekanis dengan dicabik dan dikecambahkan dengan metode Uji Di Atas kertas dengan persentase daya kecambah 96%.
Berdasarkan Tabel 2, metode pematahan dormansi dengan perendaman air mampu meningkatkan persentase daya berkecambah benih namun belum
maksimal. Hal ini dikarenakan kulit benih Acacia crassicarpa
tebal sehingga metode mekanis dengan prinsip menghilangkan hambatan masuknya air atau gas ke embrio dengan cara mencabik benih akan lebih op�mal.
Metode mekanis dengan peretakan benih menggunakan ragum atau palu dengan arah retakan akan membantu proses perkecambahan benih mindi. Cara ini menghasilkan daya berkecambah 89% dengan kecepatan tumbuh 55% selama satu minggu (Danu, 2003).
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
24
Tabel 2.
Hasil pengujian daya berkecambah benih krasi dengan beberapa
perlakuan
pematahan dormansi
Perlakuan
Metode perkecambahan
Rata-rata
Uji Di Atas Kertas
Uji Antar Kertas
Uji Kertas Di Gulung Dengan Posisi Didirikan
Kontrol
19
37
19
25
Rendam air panas 1 menit
kemudian rendam dalam air dingin 24 jam
64
58
25
49
Dicabik
96
75
80
84
Sumber:
Yuniar� N dkk.
(2013)
2.
Perlakuan Kimia
Tujuan
teknik pematahan dormansi kimia untuk
menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Larutan asam kuat seper� asam sulfat dan asam nitrat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Bahan kimia lain yang juga sering digunakan adalah: potassium hydroxide, asam hidrochlorit, potassium nitrat, dan thiourea. Disamping itu dapat pula digunakan hormon tumbuh untuk memecahkan dormansi
pada benih,
antara lain adalah: cytokinin, gibberellin, auxin
ataupun hormon alami seper� air kelapa.
Tabel 3 . Teknik pematahan dormansi kimia pada beberapa jenis tanaman hutan
No
Jenis
Teknik pematahan dormasi
Pustaka
1
Cendana (Santalum album) Perendaman benih dalam larutan
Ethyl Alkohol
40% selama 10-15 menit
Nurhasybi dan
Widodo,
1988
2 Kayu afrika (Maesopsis emenii)
- Perendaman dalam H2SO4
selama 20 menit - Perendaman dalam KNO3 2%
selama 30 menit
Kurniaty, 1987
Yuniarti, 2002
3
Kayu Kuku (pericopsis mooniana)
Perendaman H2SO4 15 menit
Utami
dan Syamsuwida,
1999 4
Kemiri (Aleurites moluccana)
Rendam air kelapa 2 -6 jam
Eliya dkk., 2004
5
Krasikarpa (Acacia crassicarpa)
Perendaman H2SO4
7 menit
Sudrajat dkk., 2003
6
Lamtoro (Leucaena leucacephala
Perendaman H2SO4
10 menit
Suita
dkk., 2013
7
Merbau (Instia bijuga)
Perendaman H2SO4
1 jam
Yuniarti, 1996
8
Mindi (Melia azedarach)
Perendaman H2SO4
10 menit, kemudian direndam GA3 300ppm selama 10 menit
Pramono
dan danu, 1998
9
Pangkal Buaya (zanthoxyilum rhetsa
(Rox burgh))
Perendaman H2SO4
2 jam
Djam;an, 2002
10
Pilang (Acacia Leucophloea)
Perendaman H2SO4
20 menit
Suita dan Bustomi, 2014
11
Saga pohon (Adenanthera pavonina)
Perendaman Asam sulfat 30 menit
Yuniarti, 2002
12
Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum)
Perendaman H2SO4
35 menit
Yuniarti, 2002
13
Tembesu (Fragraea fragrans Roxb)
Perendaman H2SO4
24 jam
Zanzibar dkk., 2010
14
Tisuk (Hibiscus macrophylus)
Perendaman H2SO4
selama 30 menit
Yuniarti
dkk., 2002
Sudrajat dkk., 2009
15
Tusam (Pinus merkusii)
-
Perendaman dalam larutan
H202
1% selama 24 jam
-
H2O2
1% 24 jam
Yuniarti,
1996
Danu, 2005
16
Weru (Albizia procera Benth).
Perendaman H2SO4
10 menit
Suita dan Nurhasybi, 2014
Hal pen�ng yang harus diperha�kan dalam pematahan dormansi kimia adalah ketepatan pembuatan larutan. Hal ini dilakukan dengan cara menimbang/mengukur bahan
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
25
kimia sesuai yang dianjurkan. Rumus yang digunakan untuk reaksi pengenceran adalah sebagai berikut:
Dimana:
C1
: konsentrasi larutan asli
C1
: konsentrasi larutan yang diinginkan
V1
: volume larutan asli yang diperlukan untuk memperoleh larutan yang diinginkan
V2
:
volume larutan yang diinginkan
Misalnya ke�ka kita ingin membuat larutan KWO3
2% untuk larutan 100 ML maka kita harus menyiapkan 2 ml larutan KWO3
lalu ditambahkan aquades sebanyak 98 ML. Setelah itu larutan dicampurkan dan digunakan untuk merendam benih, misalnya untuk benih kayu afrika selama 30 menit. Setelah itu benih di bilas dengan aquades dan di�riskan lalu di tabur pada media. Tahapan ini pada in�nya sama untuk se�ap jenis bahan kimia
dengan waktu perendaman yang disesuaikan berdasarkan hasil peneli�an.
Beberapa hasil peneli�an BPTPTH untuk pematahan dormansi secara kimia untuk beberapa jenis benih tanaman hutan seper� pada Tabel 3.
Tabel 4.
Hasil pengujian daya berkecambah benih weru dengan beberapa perlakuan pematahan dormansi
Perlakuan
Metode perkecambahan
Rata-rata
Uji Di Atas Kertas
Uji Antar Kertas
Uji Kertas Di Gulung Dengan Posisi
Didirikan
Kontrol 36.5 30.25 31.5 32.75 H2SO4 10 menit 91.50 90.50 93 91.66 H2SO4 20 menit 87.5 89.75 84 87.08 Air Panas
85.25
84.75
83.50
84.5 Air kelapa 1 jam
33.25
29.75
32.25
31.75
Air kelapa 2 jam
36.50
31.50
32
33.33
Air kelapa 24 jam
32.5
30.75
34.50
32.58
Sumber:
Suita dan Nurhasybi, 2014
Salah satu peneli�an yang telah dilaksanakan di BPTPTH, menunjukan bahwa teknis perlakuan kimia sangat tepat untuk pematahan dormansi benih weru (Albizia procera
Benth). Benih weru memiliki kulit benih yang keras sehingga sebelum dikecambahkan memerlukan perlakuan pendahuluan untuk mempercepat mulainya berkecambah. Perlakuan pendahuluan yang dianjurkan adalah dengan perendaman H2SO4 atau perendaman dengan air panas. Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa penggunaan bahan kimia H2SO4 dalam jangka waktu 10 menit meningkatkan daya kecambah benih weru (Albizia procera
Benth) hampir 60% dengan persentase
daya kecambah ter�nggi (91,66%) dibandingkan dengan perlakuan pematahan dormansi yang lain (Suita
dan Nurhasybi, 2014).
Perendaman H2SO4 selama 20 menit untuk pematahan dormasi juga tepat digunakan untuk jenis benih pilang (Acacia Leucophloea) karena mampu meningkatkan daya berkecambah 37.41% dan kecepatan berkecambah
9.41% KN/etmal dari benih kontrol (Suita dan Bustomi, 2014). Perendaman H2SO4
10 menit pada benih lamtoro (Leucaena leucacephala) selama 10 menit juga meningkatkan daya berkecambah lamtoro 65% dari benih kontrol (Suita
dkk., 2013).
Pemanfaatan air kelapa
juga dapat dimanfaatkan sebagai pematahan dormansi pada jenis benih kilemo (Litsea cubeba). Hal ini mampu meningkatkan persentase daya kecambah
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
26
26% dari kontrol (Suita
dkk., 2013). Hal ini dikarenakan air kelapa mengandung komponen fitohormon, asamamino, asam organik, dan komponen an organik.
3.
Teknis Perlakuan Perendaman dengan Air
Pada dasarnya perendaman dengan air bertujuan untuk pencucian zat-zat yang menghambat dalam buah dan benih serta merangsang penyerapan lebih cepat (Schmidt, 2002). Beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman di dalam air panas dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih. Prosedur yang umum digunakan adalah sebagai berikut: air dipanaskan (hingga suhu tertentu sesuai ketentuan) lalu benih dimasukkan ke dalam air panas tersebut
untuk beberapa saat atau dibiarkan sampai menjadi dingin (selama beberapa waktu
yang ditentukan).
Tabel 5.
Teknik pematahan dormansi kimia pada beberapa jenis tanaman hutan
No
Jenis
Teknik pematahan dormasi
Pustaka
1
Balsa (Ochroma bicolar Rowlee)
-
Perendaman air dingin 24 jam
-
Rendam jemur 3 hari
Nurhasybi, 2002
Sudrajat dkk., 2002
2
Beringin (Ficus benyamnina)
Perendaman air panas 600C selama 10
menit
Sudrajat, dan Pramono, 2005
3
Bitti (Vitex cofassus Reinw)
Perendaman air
panas (1000C) 1 menit +
air dingin 24 jam
Kurniaty, 2003
4
Jati (Tectona grandis)
Perendaman selama 3 hari air di ganti setiap hari
Nurhasybi, 2005
5
Jelutung (Dyera spp)
Perendaman air dingin 24 jam
Kartiko dan danu, 2003
6
Johar (Cassia siamea ) -
Perendaman air panas (100
0C) 1
menit + air dingin 12-24 jam
-
Air dingin 48-72 jam Syamsuwida, 2002
7 Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Perendaman air dingin selama 24 jam Sudrajat dkk., 2004
8 Kayu Kuku (Pericopsis mooniana)
Perendaman air panas 800C dan dibiarkan
dingin selama 24 jam Yuniarti dan Kurniawati, 1999
9 Kemenyan (Styrax benzoin dryand)
Perendaman 30 menit air panas (1000C)
+24 jam air dingin
Widyani dan Rohan, 2002
10
Kemiri (Aleurites moluccana)
Rendam jemur selama 7 hari
Sudrajat dkk., 2006
11
Kemlandingan (Leucaena courbaril Linn)
Perendaman air panas 800C selama 3
menit
Sudrajat, 2002
12
Kepuh (Sterculia foetida Linn)
Perendaman Air panas (1000C) 1 menit
+air dingin 12-24 jam
Zanzibar, 2005
13
Kesambi (Sterculia foetida Linn)
Perendaman air dingin 24 jam
Danu, 2002
14
Kihiyang (Albizia procera Benth)
Perendaman air panas (1000C) 2
menit+air dingin 24 jam
Syamsuwida, 2005
15
Krasikarpa (Acacia crassicarpa)
Perendaman air panas 800C dan dibiarkan
dingin selama 24 jam
Sudrajat dkk., 2003
16
Mangium (Acacia mangium Wild)
Air panas 1000C dan dibiarkan dingin 24 jam
Yuniarti dkk., 2010
17
Sawo kecik (Manilkara kauki)
Rendam jemur 3 hari
Sudarajat dkk., 2010
18
Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)
Perendaman air dingin 24 jam
Nurhasybi, 2005
19
Sonobritz (Dalbergia latifolia Kurtz)
Perendaman air dingin 24 jam
Yuniarti dan Pramono, 2003
20
Tanjung (Mimusops elengi L)
Perendaman air dingin 24 jam
Nurhasybi, 2002
21
Tembesu (Fragraea fragrans Roxb)
Perendaman air panas 800C dan dibiarkan
dingin selama 24 jam
Zanzibar, 2010
Selain perendaman dengan air panas, beberapa benih juga dapat dipatahkan dormansinya dengan perendaman air dingin, air mengalir atau pergiliran perendaman dan pengeringan. Prosedur yang digunakan untuk perendaman dan pengeringan adalah pada langkah awal benih direndam dengan air lalu di jemur atau diangin-anginkan. Setelah itu benih
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
27
direndam kembali hingga beberapa kali sesuai ketentuan dan pada saat akan di tanam posisi benih adalah setelah perlakuan perendaman. Waktu yang digunakan untuk perendaman dan pengeringan berbeda-beda untuk se�ap jenis.
Beberapa peneli�an di BPTPTH terkait pematahan dormansi menggunakan perendaman air terdapat pada Tabel 5.
Tabel 6.
Hasil pengujian daya berkecambah benih mangium
dengan beberapa
perlakuan pematahan dormansi
Perlakuan
Metode perkecambahan
Rata-rata
Uji Di Atas Kertas
Uji Antar Kertas
Uji Kertas Di Gulung Dengan Posisi
Didirikan
Kontrol
27
37
39
34.33
Air panas 1000C dan dibiarkan dingin 24 jam
91
79
78
82.67
H2SO4
5 menit
69
74
66
69.67
H2SO4
10 menit
70
73
63
68.67
H2SO4
15 menit
72
71
60
67.67
Sumber:
Yuniar� dkk., 2010
Salah satu hasil peneli�an di BPTPTH terkait pematahan dormansi benih mangium (Acacia mangim
Wild) menyimpulkan bahwa perlakuan pematahan dormansi pada benih mangium mampu meningkatkan persentase daya berkecambah (Tabel 6).Teknik perendaman dengan air mendidih (100oC) lalu dibiarkan dingin hingga 24 jam berasarkan
hasil peneli�an
Yuniar� dkk
(2010) memberikan pengaruh daya berkecambah ter�nggi yaitu 82,67% (Tabel 6). Bahkan mendapatkan persentase daya berkecambah ter�nggi (91%) untuk pada
metode
perkecambahan uji di atas kertas. Salah satu hasil peneli�an tentang teknik perendaman dengan air dingin selama 24 jam efek�f untuk mematahkan dormansi benih kayu afrika bahkan memberikan angka nilai daya kecambah hingga 93% (Yuniar�, 2013). 4. Teknik Pematahan Dormansi Kombinasi
Merupakan cara pematahan dormansi yang dilakukan dengan menggabungkan dua teknik. Biasanya dilakukan dengan menggabungkan teknik mekanis lalu di kombinasi dengan perendaman, baik perendaman bahan kimia maupun dengan air. Hal ini bertujuan mempercepat masuknya air dan udara ke dalam kulit benih. Hal ini perlu dilakukan untuk benih yang daya berkecambahnya sudah naik persentasenya setelah pematahan dorma nsi namun masih
rendah. Sebagai contoh untuk benih merbau setelah diberi perlakuan pematahan dormansi dikikir (mekanis) setelah itu di rendam dengan air dingin selama 24 jam memberikan persentase daya berkecambah 93,33% dan KCT 13,97KN/etmal (Yuniar�, 1997). Beberapa hasil peneli�an BPTPH terkait kegiatan pematahan dormansi dengan teknik kombinasi (Tabel 7).
Tabel 7.
Teknik pematahan dormansi kombinasi pada beberapa jenis tanaman hutan
No
Jenis
Teknik pematahan dormasi
Pustaka
1.
Kenari (canarium odoratum)
Peretakan + perendaman air dingin
3 x
24 jam
Yuniarti, 2001
2.
Kourbaril (Hymenaea courbaril Linn)
Kikir + perendaman asam sulfat 20 menit
Yuniarti, 2002
3.
Merbau (Instia bijuga)
Kikir + perendaman air dingin 24 jam
Yuniarti, 1997
4.
Tanjung (Mimusops elengi)
Kikir + perendaman air 24 jam
Eliya dkk., 2004
Dari uraian dan beberapa hasil peneli�an yang telah dilakukan di BTPTPH diketahui bahwa ada beberapa jenis benih yang pematahan dormansinya dapat dilakukan dengan
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
28
beberapa teknik atau kombinasi dari beberapa teknik. Hal ini perlu disikapi dengan bijak dan disesuaikan dengan kebutuhan karena pada in�nya tujuan dari perlakuan pematahan dormansi adalah mendapat persentase daya berkecambah
yang �nggi sesuai dengan kualitas benih dalam waktu yang cepat. Untuk melihat perbandingan dari teknik pematahan dormansi terdapat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kelebihan dan kekurangan teknik pematahan dormansi
parameter
Mekanis
Kimia
Air
Biaya
Murah
Mahal
Murah
Tingkat ketelitian
Diperlukan ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi
Diperlukan ketelitian
Mudah
Waktu
Tergantung kecepatan dan jumlah tenaga yang digunakan
Lebih singkat mulai dari 1 menit hingga 24 jam
Untuk air panas lebih sing-kat sedangkan air dingin biasanya lebih dari 24 jam.
Hal yang wajib diperhatikan
Dalam perlakuan/
pengikiran
tidak boleh merusak benih
Ketepatan pengenceran bahan kimia dan waktu perendaman
Ketepatan jenis air (panas/dingin) atau perlakuan (jemur kering)
dan waktu perendaman
Penyebab kegagalan
Embrio benih rusak karena kurang kehati-hatian dalam proses mekanis
(embrio
terluka/pecah)
Embrio mati karena konsentrasi bahan kimia terlalu pekat atau waktu peren-daman terlalu lama
Embrio mati karena air ter-lalu panas atau embrio ke-racunan karena proses pe-rendaman terlalu lama tan-pa pengantian air dingin
IV. PENUTUP
Se�ap benih tanaman hutan memiliki karakteris�k yang unik sehingga memerlukan teknik pematahan dormansi yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi fisik dan fisiologis benih.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya dormansi adalah rendahnya atau �dak adanya proses imbibisi,
proses respirasi lambat dan rendahnya proses metab olisme
cadangan makanan
(Sutopo,
2004).
Schmidt,
2000 menyebutkan bahwa secara umum dormansi ada enam yaitu dormansi fisik,
dormansi embrio,
(fisiologis),
dormansi mekanis,
dormansi kimia,
dormansi cahaya dan dormansi suhu.
Teknik pematahan dormansi biji antara lain mekanis,
kimia dan air.
Secara teknis kimia membutuhkan biaya lebih mahal,
secara teknis menggunakan air lebih mudah simple dan murah tetapi perlu ha�-ha� terutama �ngkat kepanasan air dan lama perendaman.
DAFTAR PUSTAKA
Bramasto Y.
dan Putri K.
P. 2005.Kemiri ( Aleurites moluccana). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus
Vol.
4 No.
2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Danu, 2002. Kesambi (Sterculia foe�da Linn). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid IV Publikasi Khusus
Vol.
2 No.
9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Danu, 2003. Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid I. Publikasi Khusus
Vol.
3 No.
8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
29
Danu, 2005. Tusam (Pinus merkusii). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid v Publikasi Khusus
Vol.4 No.
2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Djam’an D. 1996. Pengaruh Tin gat Kematangan polong dan Skarifikasi Benih sengon Buto (Eterolobium cyclocarpum) terhadap perkecambahan. Bule�n Teknologi Perbenihan Vol.
3 No.
2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Djam’an D F. 2002. Pangkal Buaya (Zanthoxyilum rhetsa
(Rox burgh)). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid IV. Publikasi Khusus Vol.
2 No.
9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Djam’am F D dan Sudrajat D. 2002.Pala (Myris�ca fragrans Hou�).
Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus Vol.
2 No.
8,
Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Kar�ko H dan danu. 2003. Jelutung (Dyera spp). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid I Publikasi Khusus Vol.
3 No.
8,
Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Kurniawaty R. 2003. Bi� (Vitex cofassus
Reinw).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid I Publikasi Khusus
vol.3 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Nurhasybi dan W. Widodo. 1988. Cara Ekstraksi Benih Cendana (Santalum album) dengan Ethyl Alkohol. Laporan Hasil Uji Coba Balai Teknologi Perbenihan No. 49.
Bogor.
Nurhasybi. 2002. Balsa (Ochroma bicolar
Rowlee). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi
Khusus
vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Nurhasybi. 2002. Tanjung (Mimusops elengi
L. )Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Nurhasybi. 2005. Ja� (Tectona grandis).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Nurhasybi. 2005.Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus
vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Pramono AA. dan Danu 1998. Teknik Pematahan Dormansi Benih Mindi (Melia azedarach).
Balai Teknologi Perbenihan. Bule�n Vol. 5 No. 3.
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Terjemahan. Ditjen RLPS. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Yuniar�, N, Megawa� dan Leksono B. 2013. Teknik Perlakuan pendahuluan dan Metode Perkecambahan untuk mempertahankan viabilitas benih Acacia crassicarpa hasil pemulian. Jurnal Peneli�an Kehutanan Wallacea.vol 2.no1. April 2013 : 1 -11.
Sudrajat D. 2002. Kemlandingan (Leucaena courbaril Linn. Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III.
Publikasi Khusus
vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Sudrajat D, Djam’an dan Widyani N. 2004. Kaliandra ( Calliandra calothyrsus).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid II. Publikasi Khusus
vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Sudrajat, D.J. dan Megawa�. 2010. Keragaman Morfologi dan
Respon Pra Perkecambahan Benih 5 Populasi Sawo Kecik (Manilkara kauki). Balai Peneli�anTeknologi Perbenihan Bogor. Bogor.
Sudrajat D, dan Pramono A A. 2005. Beringin (Ficus benyamina). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus
vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
30
Sudrajat, D.J., E. Suita dan E.R. Kar�ana. 2003. Standardisasi Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih Acacia crassicarpa. Laporan Hasil Peneli�an. Balai Peneli�an Teknologi Perbenihan. Bogor.
Suita E dan Bustam S. 2014. Teknik Peningkatan Daya dan Kecepatan Berkecambah Pilang. Jurnal Peneli�an Hutan Tanaman Vol.II No. 1. Maret 2014 : 45 -52.
Suita E dan Nurhasybi. 2014. Pengujian Viabilitas benih Weru (Albizia procera
benth). Jurnal perbenihan Tanaman Hutan. Vol 2(1). Agustus 2014 :9-17.
Suita E, Suhar� T, Haryadi D dan Abay. 2013. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis dan Pendugaan Umur Simpan Benih Jenis Lamtoro (Leucaena leucacephala) dan Kilemo (Litsea Cubeba). Peneli�an Balai Peneli�an Perbenihan Tanaman Hutan B ogor. Tidak diterbitkan.
Sutopo, Lita, 2004. Teknologi Benih. Jakarta. Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada.
Syamsuwida D. 2002. Johar (Cassia siamea). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid IV. Publikasi Khusus
vol.2 no.9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor
Syamsuwida D. 2005. Ja� (Tectona grandis).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus
vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Utami D E dan Syamsuwida D. 1999. Efek Perendaman Benih Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Semai kayu Kuku (Pericopsis mooniana). Bule�n Teknologi Benih. Vol 5 no 1 : 10-17.
Widyani N dan Rohan D A. 2002. Kemenyan (Styrax benzoin dryand).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Yuniar�, N. 1996. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dengan Perendaman Air Dingin, GA3, dan H2O2 terhadap Viabilitas Benih Tusam (Pinus merkusii
et de Vriese). Bule�n Teknologi
Perbenihan 3(2). Bogor.
Yuniar� N.1997. Penentuan Cara Perlakuan Benih Merbau (Ins�a bijuga). Bule�n Tekonologi Perbenihan. Vol 4 no 2: 21-27. Balai teknologi Perbenihan. Litabang Kehutanan.
Yuniar�, N. 2001. Teknik Penanganan Benih Ortodoks. Laporan Hasil Uji Coba Balai Peneli�an dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor.
Yuniart N. 2002. Kourbaril (Hymenaea courbaril
Linn). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus
vol.2 n0.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Yuniar�, 2002.Saga pohon (Adenanthera pavonina). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III.
Publikasi Khusus
vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Yuniar� N. 2002. Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum). Atlas Benih Tanaman Hutan. Jilid IV. Publikasi Khusus
vol.2 no.9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Yuniar� N. 2013. Peningkatan Viabilitas Benih kayu Afrika (Maesopsis emenii)Dengan Berbagai Perlakuan Pendahuluan. Jurnal Perbenihan T anaman Hutan V ol.1 No.1, Agustus 2 013: 15-23.
Yuniar� N, Hidayat A T, Kar�ana E, Priyatna A dan sutrisno. 2010. Penanganan benih Hasil Pemuliaan Tanaman Hutan Jenis Mangium(Acacia mangium
Wild). Laporan Hasil Peneli�an. Balai Peneli�an Teknologi Perbenihan. Bogor.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
31
Zanzibar M et al.2010. Teknik penangan Benih Tanaman Hutan Penghasil Kayu Pertukangan jenis Gelam (Melaleucha leucadendron Roxb), Tembesu (Fragraea fragrans Roxb) dan Kayu bawang (Pro�um javanicum).Laporan Hasil Peneli�an. Balai Peneli�an Teknologi Perbenihan. Bogor.
Zanzibar M. 2005. Kepuh (Sterculia foe�da
Linn). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus
vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
32
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
33
WPC (wood plas�c composite),
MEMAKSIMALKAN PEMANFAATAN BAHAN BAKU KAYU
Fitri Windrasari dan Eko Sutrisno
Balai Peneli�an Teknologi Serat
Tanaman Hutan
I.
PENDAHULUAN
Penggunaan jenis kayu yang dapat tumbuh dengan cepat sekarang mulai dikembangkan sebagai bahan pengisi untuk pembuatan material komposit kayu plas�k, seper� jenis kayu akasia, ekaliptus dan jabon. Pemanfaatan jenis kayu tersebut juga didasari oleh jumlahnya yang cukup banyak dan mudah tumbuh di Indonesia. Pemanfaatan limbah kayu untuk dijadikan komposit kayu plas�k (wood plas�c composite)
yang telah lama dikembangkan merupakan salah satu alterna�f penyelesaian. Polimer yang sering digunakan sebagai matrik antara lain polipropilena, polie�lena, polivinilklorida dan polisterin.
Wood Plas�c Composite
adalah komposit polimer yang menggabungkan par�kel serbuk kayu dengan termoplas�k. Is�lah WPC mencakup bahan komposit yang
sangat luas dengan menggunakan bahan penguat plas�k dan bahan pengisi mulai dari serbuk kayu sampai serat hasil tanaman pertanian (Clemons, 2002).
Kayu plas�k memiliki beberapa keunggulan, antara lain
dapat di daur
ulang, perawatan mudah, sifat tahan panas lebih stabil dibanding plas�k, kestabilan dimensi, tahan kelembaban, tahan pembusukan, memiliki profil teknis, lebih seragam. Namun kayu plas�k memiliki beberapa kelemahan, yaitu rela�f lebih mahal, sulit dicat, nilai lentur yang rendah dan temperatur leleh lebih rendah dibanding kayu, koefisen ekspansi panas dan density yang �nggi.
Besarnya potensi biomassa limbah pabrik kayu maupun pabrik pulp merupakan potensi pengembangan komposit kayu plas�k sebagai material alterna�f penggan� kayu alam. Dengan per�mbangan tersebut, maka peneli�an ini difokuskan untuk mendapatkan komposit kayu jabon
dengan sifat mekanis yang baik. Melalui perlakuan material pengisi dalam berbagai ukuran pada persiapan material, pemberian coupling agent,
pencampuran dan perlakuan aging
setelah
pembentukan komposit.
Pemilihan produk WPC
ini
memiliki sifat ramah lingkungan karena bahan matrik plas�k dapat berasal dari plas�k asli ataupun daur ulang dan bahan pengisi serbuk kayu dapat berasal dari limbah kayu. Limbah kayu dan
plas�k daur ulang dalam banyak kegunaan
berdampak nega�f terhadap lingkungan,
sehingga penggunaan bahan tersebut sebagai komponen WPC dapat mengurangi dampak nega�f yang di�mbulkan.
II.
BAHAN DAN ALAT
1.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu: Serbuk kayu dengan ukuran 60, 80 dan 100 mesh, Bu�ran Polypropylene
(PP), Bu�ran Maleic Anydride Polypropylene
(MAPP). Alat yang dipergunakan adalah: Alat penyerbuk kayu,
Alat penyaring serbuk, Hot
Mixer
(untuk pencampuran), Hydraulic Hot Press
(untuk pengempaan panas)
dan Digital thermometer.
2.
Rancangan Percobaan
Pembuatan sampel WPC dimulai dengan penimbangan serbuk kayu atau Wood Flour (WF) dan Polipropilena (PP) dengan rasio pencampuran
yaitu:
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
34
50WF
/
50PP
=
kode A
60WF
/
40PP =
kode B
70WF
/
30PP =
kode
C
3.
Prosedur Kerja
a.
Pembuatan serbuk
Batang kayu diserbukkan sesuai dengan dimensi (ukuran mesh) yang diinginkan. Penyerbukan dapat dilakukan menggunakan hand circular saw. Untuk memas�kan ukuran yang dimaksud lakukan pengayakan menggunakan saringan mesh.
Gambar 1.
Sortasi serbuk kayu
b.
Pencampuran
Campurkan MAPP dengan PP dengan perbandingan yang telah ditentukan. Lelehkan Bu�ran PP dan MAPP dengan cara dipanaskan dalam hot mixer
pada temperatur 1900C hingga
mencair. Selanjutnya serbuk kayu dicam purkan secara bertahap sambil dilakukan pengadukan pada putaran 360 rpm selama 30 menit. Gambar 2 hasil keluaran dari hot mixer akan berupa komposit semi solid (slurry).
Gambar 2.
Proses pelelehan dan pencampuran
c.
Pencetakan
Selanjunya Hydraulic Press di se�ng pada suhu 180 0C dan tekanan 1000 psi selama ± 30 menit. Masukkan komposit semi solid
kedalam Hydraulic Press yang telah dipanaskan. Hasil yang diperoleh berupa lembaran (slab) berukuran 195 x 121 x 6 mm (Gambar 3). Kemudian dikondisikan selama 24 jam untuk mencapai distribusi kadar air yang seragam dan melepaskan tegangan sisa dalam lembaran sewaktu pengempaan.
Gambar 3.
Proses pencetakan dan produk WPC
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
35
III.
HASIL
Semua produk WPC yang terbentuk, dilakukan uji fisik yang melipu� uji kerapatan,
kadar air, pengembangan tebal dan daya serap air .
Tabel 1. Data uji fisik WPC
No
Kode sampel
Kerapatan (gram/cm3)
Kadar Air (%)
Daya Serap Air (%)
Pengembangan Tebal (%)
2 jam
24 jam
2 jam
24 jam
1
60.A
1,206
2,439
0,294
1,916
0,000
2,463
2
60.B
1,021
3,060
5,003
8,243
0,000
1,305
3
60.C
0,924
2,506
1,398
6,093
0,000
2,683
4
80.A
1,009
0,332
0,252
1,403
0,000
1,442
5
80.B
0,903
0,505
9,301
13,367
0,209
3,921
6
80.C
1,017
2,024
19,165
22,641
0,000
2,072
7
100.A
1,025
1,299
0,266
1,333
0,751
2,656
8
100.B
0,921
0,309
15,121
16,657
0,185
1,547
9
100.C
1,093
0,179
0,579
2,700
0,434
2,608
10
Kayu pejal
0,367
15,179
75,751
92,854
2,222
8,231
Mengacu
pada hasil uji fisik di Tabel 1, nilai kerapatan komposit terendah adalah sampel
80.B (0,903 gram/cm3) sedangkan nilai kerapatan ter�nggi adalah sampel 60.A (1,206 gram/cm3). Perbedaan kecenderungan pengaruh komposisi unsur komposit maupun ukuran serbuk terhadap kerapatan ditentukan oleh perlakuan proses tekan panas ( hot press) antara lain temperatur, gaya dan waktu penekanan. Selain itu komposisi dan jenis plas�k juga mempengaruhi sifat fisik papan plas�k yang dihasilkan. Menurut Osswald dan Menges (1996) dalam Mulyadi (2001), secara garis besar plas�k yang dapat digunakan dalam biokompo sit dari �pe thermoplas�c, yaitu plas�k yang dapat dilunakkan berulang kali (recycling) dengan menggunakan panas. Penambahan thermoplas�c
berperan sebagai adi�f yang dapat berikatan
dengan serat kayu. Menurut Febrianto
dkk.
(1999), penambahan polyprophylene
dapat meningkatkan kekompakan pada produk komposit.
Keterikatan ini terjadi pada polyprophylene
dengan zat pengisi (tepung kayu).
Kadar air WPC terendah pada sampel 100.B (0,309%) dan ter�nggi pada sampel 60.B (3,06%). Daya serap air terendah pada sampel 80.A (0,252%) untuk 2 jam perendaman dan 100.A (1,33%) untuk 24 jam perendaman. Daya serap air ter�nggi pada sampel 80.C yaitu 19,2% pada 2 jam perendaman dan 22,64% pada 24 jam perendaman. Penurunan kadar air WPC ini dikarenakan pengadukan dengan hot mixing dilakukan pada temperatur 190 oC sehingga akan mengurangi kadar air pada serbuk kayu. Dari data daya serap air diatas diketahui bahwa peningkatan jumlah matrik PP akan menurunkan daya serap air. Sebaliknya peningkatan komposisi serbuk kayu dalam komposit akan meningkatkan sifat daya serap airnya. Bakar (2003) menyatakan kelemahan dari wood flour
adalah bersifat higroskopis dengan mudah menyerap air dari lingkungan sekitar. Semakin kecil ukuran serbuk maka matrik PP akan lebih mudah melipu�nya secara menyeluruh. Karena sifat PP yang �dak menyerap air, maka par�kel serbuk kayu terhindar dari penyerapan air.
Pengembangan tebal sampel WPC untuk perendaman 2 jam nilainya kurang dari 1%. Setelah perendaman 24 jam nilai pengembangan ter�nggi pada sampel 80.B (3,9%). Pengembangan tebal yang rendah didominasi oleh koposisi WPC dengan mesh 60. Keadaan ini terjadi karena komposisi WPC dengan ukuran wood flour yang kasar sehingga menyerap air yang mengakibatkan pertambahan tebal. Menurut Ogorkiewicz (1970) dalam Gunara (1993)
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
36
menyatakan bahwa sifat mekanik dari bahan thermoplas�c dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya temperature, waktu pembuatan, lingkungan dan bahan penyusun. Peningkatan temperatur dan waktu pembebanan yang semakin lama cenderung
menurunkan tegangan yang dihasilkan. Demikian juga halnya dengan kondisi lingkungan yang �dak sesuai, seper� kehadiran zat kimia tertentu akan mereduksi keteguhan mekanik dari bahan thermoplas�c.
IV.
PENUTUP
Produk WPC mencapai kondisi op�mal diperoleh pada komposit dengan serbuk kayu berukuran 80 mesh dan komposisi 50% kayu. Peneli�an dalam bidang komposit kayu plas�k ini masih pada tahap peneli�an dasar untuk mencari kesesuaian sifat material kayu, we�ng agent
dan bahan adi�f. Produk WPC sudah mulai digunakan dalam industri proper�. Dengan demikian terbuka peluang untuk membuat WPC secara massal tanpa mengkonsumsi bahan baku kayu yang banyak dan utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, E.S . 2003. Kayu Sawit Sebagai Subs�tusi Kayu dari Hutan Alam. Forum
Komunikasi dan Teknologi dan Industri Kayu.
Clemons, C. 2002. Wood-Plas�c Composites in the United States. Forest Products Journal 52(6): 10-18.
Febrianto F., M.Yoshooka, Y. Nagai, M. Mihara dan N. Shiraishi. 1999. Composites of Wood and Trans-1, 4-Isoprene Rubber: Mechanical, Physical and Flow Behavior. Journal Wood Science 45 : 38-45. Kyoto.
Gunara N.
1993. Pengaruh Berat Labur Beberapa Perekat Termoplas�k terhadap Keteguhan
Rekat Kayu Perupuk (Lophopetalum Spp). Skripsi Fakultas Kehutanan Ins�tut Pe rtanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Mulyadi.
2001.
Sifat –
sifat Papan Par�kel dari Limbah Kayu dan Plas�k. Skripsi Fakultas Kehutanan Ins�tut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasika n.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
37
PERSEPSI MASYARAKAT MOLLO TERHADAP KEBERADAAN
SEGITIGA KEHIDUPAN (MANUSIA, TERNAK DAN HUTAN) DI
CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS
Oskar K. Oematan
Balai Peneli�an
Kehutanan Kupang
I.
PENDAHULUAN
Keberadaan hutan alami Ampupu (Eucalyptus urophylla) di kawasan Gunung Mu�s,
Khususnya dalam kawasan cagar alam rela�f masih utuh dan homogen. Berbagai fauna khas Nusa Tenggara menghuni kawasan ini dan telah membentuk wilayah ini sebagai kawasan spesifik dan unik. Topografi wilayah ini berbukit dengan kemiringan 60% dan memiliki curah hujan rata-rata 1500-2000
mm/tahun serta beriklim sejuk. Hulu �ga buah sungai besar juga dimulai dari kawasan ini dan memberi kontribusi untuk kebutuhan air bagi masyarakat di Timor Barat. Menurut FAO/UNDP (1982) tegakan ampupu merupakan tegakan terluas di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Di
sekitar Cagar Alam (CA) Gunung Mu�s terdapat 14 desa dan 2 diantaranya berada di
dalam kawasan cagar alam (enclave). Populasi penduduk di kawasan ini berkisar 25.486 orang yang sebagian besar
terdiri dari suku Mollo dan Miomafo. Sebagian besar mata pencaharian
masyarakat adalah bertani kebun, seper� bawang, jeruk, jagung, dan kacang -kacangan. Disamping itu, mereka umumnya memiliki ternak sapi maupun kuda yang dilepas di
dalam
kawasan. Berdasarkan sensus dari WWF Nusa Tenggara tahun 1996 di 9 desa sekitar kawasan CA Gunung Mu�s, jumlah ternak sapi dan kuda yang dilepas di dalam kawasan mencapai 11.132 ekor. Jumlah ini diluar yang diikat yaitu sekitar 3.548 ekor. Kepemilikan ternak bagi masyarakat Mollo dan Miomafo �dak hanya memiliki dimensi ekonomi tetapi juga berdimensi sosial budaya (status sosial).
Keberadaan cagar alam sangat besar manfaatnya, keanekaragaman sumber daya alam haya� yang dapat dimanfaatkan oleh manusia melipu� berbagai aspek seper� ekonomi, ekologi, sosial maupun budaya. Upaya untuk menjaga kawasan dari kerusakan dan dapat menyebabkan gangguan cagar alam juga dilakukan, �dak hanya mencegah terjadinya perambahan kawasan oleh ak�vitas manusia, akan tetapi juga mencegah pencurian dan pembakaran hutan. Pelaksanaan dalam pengelolaan hutan, yang harus diperha�kan adalah nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat serta memperha�kan hak -hak rakyat, dan oleh karena itu harus melibatkan peran serta masyarakat setempat (Departemen Kehutanan, 1993).
Sebagian besar masyarakat Mollo menggantungkan hidupnya dari kawasan CA Gunung Mu�s. Oleh karena itu masyarakat sangat patuh terhadap aturan adat untuk selalu menjaga kelestarian hutan dalam kawasan CA Gunung Mu�s. Masyarakat sangat menjunjung prinsip bahwa dengan menjaga keharmonisan antara manusia, ternak dan hutan maka akan menjamin keberlangsungan hidup mereka dan masa depan anak cucu. Pengetahuan lokal masyarakat Mollo dan kepatuhan mereka terhadap norma dan budaya lokalnya yang telah berlangsung lama dan merupakan warisan nenek moyang tentang bagaimana menjaga kelestarian kawasan hutan sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
38
II.
KEADAAN BIOFISIK KAWASAN CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS
A.
Letak dan Luas
Kawasan CA Gunung
Mu�s terletak di bagian barat laut Pulau Timor, secara geo grafis terletak antara 124010’
-
124020’ Bujur Timur dan 9030’ -
9040’ Lintang Selatan. Secara administrasi pemerintahan,
CA Gunung
Mu�s berada dalam dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan
(TTS)
dan Timor Tengah Utara/TTU( Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi kawasan CA Gunung Mu�s B.
Hidrologi dan Vegetasi
Berdasarkan peta tanah Indonesia,
�pe tanah kawasan CA Gunung Mu�s adalah tanah
kompleks dengan bentuk pegunungan kompleks dan tanah mediteran dengan bentuk wilayah pegunungan lipatan. Kawasan ini dikenal sebagai kawasan terbasah di pulau Timor dengan lima
bulan kering dan tujuh
bulan basah.
Kawasan CA
Gunung Mu�s merupakan pegunungan yang membagi
pulau Timor menjadi dua sistem: fisiografi utara dan selatan. Kondisi penutupan vegetasi
yang rapat dan keadaan fisiografi daratan �nggi menciptakan iklim makro yang khas dengan curah hujan yang �nggi. Kawasan CA
Gunung Mu�s menyediakan air sepanjang tahun bagi �ga aliran sungai utama di Timor barat yaitu
Noelmina, Benenain, dan Oebesi yang menjadi pemasok utama kebutuhan air masyarakat Timor.
Jenis tumbuhan yang paling umum dan dominan adalah Ampupu (Eucalyptus urophylla). Perbedaan �pe vegetasi penutupan di beberapa kelompok hutan lebih diakibatkan oleh kondisi topografi permukaan, tekanan angin,
zonasi kegiatan ternak, penebangan liar dan perladangan berpindah.
C.
Flora dan Fauna
Berbagai macam jenis tumbuhan dan satwa khas Nusa Tenggara bisa dijumpai di kawasan CA Gunung Mu�s, seper� yang terlihat di Tabel 1.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
39
Tabel 1.
Jenis-jenis tumbuhan
di
CA
Gunung Mu�s
No
Nama lokal
Nama ilmiah
Famili
1
Ampupu
Eucalyptus urophylla
Myratecea
2
Ajaob
Casuarina junghuniana
Casuarinacea
3
Tune
Podocarpus imbricata
Podocarpaceae
4
Hautefu
Croton caudatus geisel
Euphorbiaceae
5
Hue
Eucalyptus alba
Myrtaceae
Tabel 2. Jenis-jenis satwa
di
CA
Gunung Mu�s
No
Nama jenis Indonesia
Nama ilmiah
Keterangan
I
Aves
1
Gagak Pohon
Carvus furgilegus
2
Merpa�
Columbia livia
3
Nuri dada hijau
Tanygnathus megalorinchus
4
Elang brontok
Spizaetus cirratus
Dilindungi
5
Alap-alap layang
Falco cencrhoides
6
Puyuh
Coturnix coturnix
7
Hantu abu-abu besar
Strix nebulosa
8
Gagak hitam
Corvus corone
9
Walet
Collocalis maxima
10 Nuri kepala merah Neopsi�acauda pullicauda
11 Kipas Rhipidura javanica Dilindungi II Mamalia 1 Babi hutan Sus scrofa 2
Kera ekor panjang
Macaca fascicularis
3
Kus-kus abu-abu hitam
Phalanger gimas�s
Dilindungi
4
Kuda
Eguus p caballus 5
Sapi
Bos indicus
III.
KEBERADAAN MASYARAKAT MOLLO DAN MIOMAFO DI KAWASAN
CA GUNUNG MUTIS
Asal usul masyarakat Mollo dan
Miomafo dalam sejarah konon berasal dari luar pulau Timor. Kedatangan mereka ke Gunung Mu�s melalui arah timur dan mereka berjumlah delapan orang. Menurut pengakuan mereka,
Gunung Mu�s adalah warisan
nenek moyang karena kedelapan orang pengembara tersebut �ba di pulau Timor belum ada penghuninya.
Ketertarikan mereka untuk
datang ke Gunung Mu�s karena pada malam hari tampak api menyala di
puncak gunung tersebut. Dengan melalui suatu perjalanan yang jauh �balah mereka di
atas Gunung Mu�s dan ternyata di
sana telah ada penduduk asli dengan ciri fisik berbeda dengan mereka. Konon mereka
bertelinga lebar, berbulu lebat bahkan memiliki taring yang panjang. Pada saat ditanya siapa namamu? dijawab “fatu tu an hau tuan“ ar�nya pemilik batu dan pemilik kayu. Bergabunglah mereka di
atas Gunung Mu�s untuk beberapa saat dan selanjutnya keenam pengembara sepakat untuk menyebar ke
suluruh penjuru pulau Timor sedangkan dua orang lainnya tetap menetap di Gunung Mut is yaitu Raja Kono menguasai wilayah timur dan Raja Oematan menguasai wilayah barat sedangkan turunan penduduk asli
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
40
yang kemudian hari dikenal dengan suku Anin tersebar di wilayah �mur dan barat
Gunung Mu�s.
Dalam perkembangan selanjutnya masih adanya pengakuan dari kedua tokoh
tersebut yaitu Kono dan Oematan masih memiliki hubungan persaudaraan. Seper� tampak dalam penuturan adat (Natoni) terungkap suatu keterkaitan persaudaraan yang sangat kuat. Dimana Kono sebagai kakak menurunkan masyarakat Miomafo,
sedangkan Oematan sebagai adik menurunkan masyarakat Mollo.
Sebelum berlakunya pemerintahan baru, masyarakat Mollo
dan
Miomafo telah memiliki lembaga adat tradisional. Susunan lembaga-lembaga adat tradisional adalah:
Gambar 2. Susunan Lembaga Adat Masyarakat Mollo dan Miomafo
Berdasarkan kedudukannya dalam penyelenggaran pemerintahan dapat dibedakan lagi atas dua golongan yaitu (1) Ki� Nonot, (2) Nesu Eno. Ki� Nonot disebut juga raja dalam, di
tempat sebagai orang tua atau kepala yang kerjanya hanya duduk-
duduk dalam istananya yang disebut Sonaf, dan menunggu laporan dari Nesu Eno, karena tugasnya yang demikian dia juga dijuluki Kon hae beo kael
yang ar�nya duduk berselonjor kaki bersandar. Gol ongan Usif yang kedua disebut Nesu Eno
yang dapat diar�kan Raja Pintu. Dengan sebutan ini dimaksudkan bahwa jalannya pemerintahan �dak melalui Ki� Nonot melainkan Nesu Eno. Nesu Eno inilah yang berkuasa atas tanah dan rakyat di wilayah Mu�s.
Pengangkatan seorang Raja (Usif) biasanya �dak
terlepas dari keberadaan suku-
suku asli yang mendiami kawasan Mu�s. Secara tradisional yang berhak diangkat menjadi Usif adalah mereka yang berasal dari golongan bangsawan. Dalam pelaksanaan pemerintahan manajemen fungsional lebih diutamakan. Amaf adalah pembantu Usif dalam membantu menjalankan pemerintahannya, terutama dalam merumuskan kebijakan dan aturan -aturan adat, baik yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam maupun dalam penyelenggaraan
TEMUKUNGKECIL
MASYARAKAT
FETOR
FETOR
FETOR
USIF/KESEL
TEMUKUNGBESAR
KEPALASUKU(AMAF)
TOBE MEO
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
42
binatang asli Gunung Mu�s namun �dak ada legenda yang menceritakan asal usul kud a. Jenis ternak sapi merupakan ternak introduksi yang dibawa
oleh Belanda.
V.
PERSEPSI MASYARAKAT MOLLO TERHADAP KEBERADAAN SEGITIGA KEHIDUPAN (MANUSIA, TERNAK, HUTAN)
Suranto (2011) menyatakan bahwa persepsi adalah memberikan makna pada s�mulasi inderawi atau menafsirkan informasi yang tertangkap oleh alat indera. Persepsi interpersonal adalah memberikan makna terhadap s�muli inderawi yang berasal dari seseorang (partner komunikasi), yang berupa pesan verbal maupun nonverbal. Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2004) persepsi sosial (social percep�on) adalah suatu proses yang kita gunakan untuk mencoba memahami orang lain. Karena orang lain memiliki peran pen�ng dalam usaha untuk mencoba menger� perilaku orang lain, apa yang mereka sukai sebagai individu, mengapa mereka ber�ngkah laku (atau �dak ber�ngkah laku) tertentu dalam situasi dan bagaimana perilaku mereka nan� dalam situasi berbeda.
Pen�ngnya persepsi terhadap lingkungan menurut hasil peneli�an Erwina (2005) bahwa alasan perlunya peneli�an persepsi terhadap lingkungan adalah untuk mencapai secara op�mal kualitas lingkungan yang baik, yakni kualitas lingkungan yang sesuai dengan persepsi masyarakat yang menggunakannya. Hal ini sesuai dengan definisi persepsi mengenai lingkungan yang mencakup harapan, aspirasi dan keinginan terhadap suatu kualitas lingkungan tertentu. Kualitas lingkungan selayaknya dipahami secara subyek�f, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dan sosio kultural masyarakat. Dengan demikian kualitas lingkungan ini harus didefinisikan secara umum sebagai lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Pandangan ini menyempurnakan pandangan sebelumnya yang mengar�kan kualitas lingkungan hanya dari aspek fisik, biologis dan kimia saja.
Menurut persepsi masyarakat
Mollo dan Miomafo,
Gunung Mu�s dipercaya mempunyai makna yang pen�ng bagi kehidupan mereka. Secara turun temurun, masyarakat Mollo sangat mengagungkan batu-batu yang menjulang �nggi ibarat pohon yang dikenal dengan Faut Kanaf (Batu Nama). Di bawah Faut Kanaf keluarlah mata air yang disebut Oe Kanaf (Air Nama). Faut Kanaf diyakini masyarakat Mollo telah membentuk mata air yang mengalir dan menyatu membentuk DAS Benain dan DAS Noelmina. Kedua DAS yang bersumber dari Faut Kanaf ini telah memberikan kehidupan bagi masyarakat di Pulau Timor. Dengan demikian Faut Kanaf/ Batu Nama bukanlah sembarang batu namun memiliki makna yang berkaitan dengan pembentukan hidrologi. Oleh karena itu Faut Kanaf dan Oe Kanaf oleh masyarakat Mollo dinilai sebagai sumber kehidupan yang tetap dipelihara sampai saat ini.
Di kalangan masyarakat Pulau Timor dikenal
konsep segi�ga kehidupan yang disebut Mansian Muit Nasi Moni Nabuan
yang bermakna bahwa manusia, hutan, dan ternak merupakan satu kesatuan yang �dak dapat dipisahkan satu dengan yang lain dan memiliki saling ketergantungan. Manusia mengambil manfaat dari ternak, ternak mencari makan di hutan, dan hutan dijaga kelestariannya oleh manusia. Konsep segi�ga kehidupan lahir sebagai kristalisasi dari pengalaman interaksi yang saling hidup dan menghidupkan antara kehadiran manusia yang menghorma� keberadaan sumberdaya alam beserta hak-hak budayanya terhadap hutan, tanah dan air termasuk ternak yang merupakan bagian �dak terpisahkan dari pola sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal (Njurumana, 2006).
Persepsi masyarakat Mollo terhadap segi�ga kehidupan bahwa mereka beranggapan bahwa itu adalah warisan
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
41
kehidupan masyarakat. Amaf dapat dikatakan sebagai kepala
suku. Kepala sukulah yang menguasai lahan maupun hutan dalam suatu kawasan dan mengatur pemanfaatannya.
Wilayah yang menjadi tanggung jawab oleh seorang Amaf biasa disebut Suf. Suf ( Na’hae noe,
Na’nak Autuf) dapat diar�kan sebagai satu wilayah yang melipu� lahan kebun, ladang atau hutan yang batas-batasnya ditandai oleh benda-benda atau fenomena alamiah seper� sungai, jurang, batu besar, bagian ter�nggi dibatasi puncak gunung, sedangkan bagian terendah berbatas sungai. Amaf melakukan pengontrolan ru�n
dan menyampaikan laporan-laporan pen�ng kepada Temukung, sebagai imbalannya Amaf berhak mengambil hasil hutan berupa gaharu,
madu dan kayu cendana.
Tobe adalah pejabat yang berperan sangat pen�ng dalam penyelenggaraan upacara -upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan kalender pertanian maupun
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Sebagai contoh dalam upacara mendatangkan lebah dan pengambilan madu serta pengambilan kayu
cendana.
Meo adalah panglima perang dan penanggung jawab
keamanan dan keutuhan wilayah. Pemilihan pengangkatan meo dilakukan oleh Usif bersama-sama para Amaf dan disahkan melalui upacara adat.
Ke�ka Belanda datang dan mulai berkuasa di daratan Timor pada tahun 1905 mereka �dak membuat perubahan yang mendasar dalam susunan pemerintahan tradisonal. Sistem pemerintahan yang sudah ada tetap diberlakukan dengan membuat beberapa modifikasi. Modifikasi terhadap pemerintah tradisional antara lain menggan�kan nama jabatan yang ada sebelumnya. Ki� Nonot digan� dengan Kesel sedangkan Nesu Eno dengan sebutan Fetor.
Wilayah yang dulu dikuasai oleh Usif dinamakan Kefetoran. Kemudian dibawah Kefetoran ini ditambahkan dua lembaga yaitu Temukung Besar dan Temukung Kecil. Sistem pemerintahan kefetoran masih berlaku di wilayah Gunung Mu�s hingga beberapa waktu setelah kemerdekaan. Namun sejak ada pemerintahan gaya baru tahun 1967 kedudukan dan peranan Fetor serta pimpinan adat diambil alih oleh Camat dan Kepala desa beserta aparatnya. Perubahan kedudukan dan perangkat pemimpin adat tersebut berpengaruh pula terhadap penyelanggaraan upacara-upacara adat dan pranata-pranata pengelolaan sumber daya alam. Dalam pemerintahan gaya baru kedudukan/posisi Amaf dan Tobe digan�kan oleh seksi lingkungan di
dalam LKMD.
IV.
KEBERADAAN TERNAK KERBAU, SAPI DAN KUDA
Berdasarkan informasi masyarakat, asal usul kerbau diceritakan dalam alur yang berbeda-beda tetapi memiliki in� sama. Kerbau merupakan binatang asli pulau Timor yang berasal dari pemberian buaya di Danau
Maon Am Laime.
Konon kerbau langsung keluar dari alam yang disebut dengan is�lah poi pah
(secara harfiah ar�nya
keluar dari bumi) karena asal usulnya berasal dari buaya yang ada di danau, maka kerbau mempunyai kebiasaan be rkubang.
Pada mulanya kerbau merupakan ternak andalan
namun sejalan dengan perkembangan masyarakat, populasi kerbau menurun bahkan sampai punah. Masyarakat lebih berminat memelihara sapi dibanding kerbau karena sapi lebih mudah dipelihara
dan lebih cepat berkembang biak.
Penurunan populasi kerbau juga dipercepat dengan
suatu
penyakit
yang dikenal di kalangan masyarakat Mollo sebagai
“Kakolilo“. Selain itu, menurunnya populasi kerbau disebabkan oleh
hilangnya danau dan telaga yang dulunya terdapat di
Mu�s. Hilangnya danau ini karena adanya air bah pada tahun 1939.
Disamping kerbau, kuda diakui masyarakat sebagai
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
43
leluhur yang akan menentukan kehidupan mereka di masa yang akan datang sehingga harus dijaga kelestariaanya.
VI.
PENUTUP
Kehidupan masyarakat Mollo sangat erat kaitannya dengan kawasan CA Gunung Mu�s, sudah sejak lama mereka berinteraksi dengan kawasan tersebut baik secara langsung maupun �dak langsung. Berdasarkan adanya interaksi ini, maka masyarakat Mollo mempunyai pengalaman-pengalaman tentang kawasan hutan sehingga mereka dapat memberikan persepsi terhadap
kawasan hutan. Masyarakat Mollo tetap menjaga prinsip keharmonisan segi�ga kehidupan (manusia, ternak, hutan), patuh terhadap norma dan budaya lokal demi kelestarian kawasan yang sudah menjadi sumber kehidupan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Baron RA, Byrne D.
2004. Psikologi Sosial. Jakarta. Penerbit Airlangga.
Erwina. 2005. Analisis Persepsi dan Par�sipasi Masyarakat Terhadap Kualit as Lingkungan di Daerah Pesisir: Kasus Di Kelurahan Marinda, Jakarta Utara.[tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Ins�tut Pertanian Bogor.
FAO/UNDP. 1982. Na�onal Conserva�on Plan for Indonesia. 4: Nusa Tenggara. Bogor :FAO of the United Na�ons ((Field Report 44).
Njurumana, G. ND. 2006. Cagar Alam Mu�s Sebagai Indikator Pembangunan di Timor Barat. Sebuah Ar�kel. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi X Tahun 2006. Pusat Informasi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Suranto AW. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta. Graha Ilmu .
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
44
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
45
POTENSI STOK KARBON DI KAWASAN HUTAN TANAMAN JATI
BONAK,
KECAMATAN BIBOKI SELATAN,
KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA
Mar�nus Lalus
Balai Peneli�an Kehutanan Kupang
I.
PENDAHULUAN
Pemanasan global saat ini merupakan isu lingkungan yang pen�ng dan penyebab terjadinya perubahan iklim global. Terjadinya pemanasan global sebagai akibat peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang menyebabkan kese�mbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas. Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah yang menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming).
GRK pen�ng yang diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O)
yang kontribusinya lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2
yang diemisikan dari ak�vitas manusia (anthropogenic) mendapat
perha�an yang lebih besar. Sumber emisi GRK berasal dari pemakaian bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) dan alih fungsi lahan atau Land Use, Land Use Change and Forestry
(LULUCF). LULUCF ini menyumbang 18% terhadap konsentrasi GRK di atmosfer dan perubahan iklim (Stern, 2007 cit. Masripa�n & Rufi’e, 2008). Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 30oC lebih dingin dari kondisi saat ini.
Peranan Hutan sebagai penyerap karbon dioksida mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca tersebut, Peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju
yang mengkhawa�rkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya
mengatasi (mi�gasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan.
Peran hutan melalui proses
fotosintesis menyerap CO2 dengan bantuan cahaya matahari, air dari tanah dan klorofil daun. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin �nggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhen� tumbuh atau dipanen.
Secara umum hutan dengan ”net growth” (terutama dari pohon -pohon yang sedang
berada pada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO 2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi �dak dapat menyerap CO2
berlebih/ekstra(Kyrklund,1990). Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah
karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada
lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2
di atmosfer.
Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup (PPLH-KLH) Regional Bali dan Nusa Tenggara (2007), menyatakan bahwa dampak perubahan i klim adalah : 1) naiknya permukaan laut (tenggelamnya pulau kecil, instrusi air laut); 2) naiknya suhu laut(hasil perikanan turun); 3) naiknya suhu (penyakit meningkat, kebakaran hutan & lahan, hilangnya keanekaragaman haya�); 4) peningkatan curah hujan ( banjir & longsor, perubahan musim tanam); 5) peningkatan penguapan (rawan pangan/kekeringan) dan 6) peningkatan badai tropis (rawan transportasi).
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
46
Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah kenaikan permukaan air laut yang mengancam eksistensi pulau-pulau kecil di dunia. Bagaimana dengan propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)? NTT merupakan provinsi kepulauan terdiri dari 566 pulau
besar dan kecil, 42 pulau telah diberi nama sedangkan 524 belum bernama. Jajaran pulau besar adalah
P. Flores, P. Sumba dan P . Timor serta gugusan P. Alor (Renstra Dishut NTT, 2006). Dari kondisi tersebut, diduga NTT akan bermasalah jika dampak perubahan iklim �dak teratasi. Beberapa bencana yang terjadi di NTT terkait dengan fenomena perubahan iklim diantaranya adalah tsunami di Maumere Flores (12 Desember 1992), banjir bandang di Bena Kabupaten Bellu (2000), tanah longsor di pulau Flores (2006), dan naiknya air laut ke wilayah daratan sejauh sekitar 10 meter di Belu selatan, Kabupaten Belu dan di wilayah pantai selatan Timor Tengah Selatan (TTS) pada tahun 2007 (Sakeng, 2008; Putro, 2007). Kepala Bapedalda NTT, pada sambutannya dalam Rencana Aksi Nasional Mi�gasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (RANMAPI) pada akhir Mei 2008, mengungkapkan bahwa pada awal tahun 2008 ini dampak perubahan iklim di NTT ditandai dengan adanya badai tropis yang
melanda daerah pesisir Maumere dan Ende (Pulau Flores), abrasi pantai selatan Kabupaten Rote Ndao dan ditetapkannya beberapa daerah di NTT sebagai daerah epidemi penyakit demam berdarah dan malaria.
Mantan Sekjen PBB, Kofi Annan (2006) dalam Indonesia Civil Society Forum for Climate Jus�ce
mengungkapkan bahwa “sekarang ini pertanyaannya bukan lagi apakah pemanasan global ini benar-benar terjadi, tetapi apakah dalam menghadapi situasi darurat ini
kita dapat
menyesuaikan diri?”. Berbagai cara untuk mengatasi (merespon) kondisi lingkungan hidup yang baru (sebagai dampak perubahan iklim) dengan melakukan penyesuaian yang tepat, ber�ndak untuk mengurangi berbagai resiko/pengaruh nega�f atau memanfaa tkan efek-efek posi�fnya inilah yang kemudian disebut dengan adaptasi (Irawan�, dkk, 2008). Berbagai literatur menyebutkan bahwa negara berkembang yang akan paling banyak menderita karena �dak mampu membangun infrastruktur untuk beradaptasi, walaupun da mpak perubahan iklim juga dirasakan negara maju (Stern, 2007 dalam Ginoga, 2008).
Selain adaptasi, pengurangan emisi GRK di atmosfer menjadi salah satu upaya dalam menghadapi perubahan iklim. Dalam konteks perubahan iklim, mi�gasi merupakan intervensi manusia dalam mengurangi sumber GRK (UNFCCC, 2007). Stern (2007) dalam
Ginoga (2008),
mengungkapkan bahwa, upaya mi�gasi untuk mengurangi sumber emisi atau meningkatkan penyerapan emisi GRK yang berbasis tata guna lahan dipercaya merupakan kegiatan yang leb ih murah dibandingkan dengan melakukan mi�gasi emisi melalui kegiatan lain. Dalam kaitannya dengan tata guna lahan, kehutanan merupakan sektor yang paling disorot dalam upaya mi�gasi perubahan iklim. Vegetasi pada kawasan hutan berperan dalam menyerap da n meyimpan karbon melalui kegiatan fotosintesis.
Melalui proses fotosintesis CO2 diserap dari atmosfer dan diubah oleh tumbuhan menjadi karbon organik dalam bentuk biomassa pada waktu tertentu. Simpanan karbon inilah yang dikenal dengan is�lah stok karbon (Apps dkk., 2003).
Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni Tahun 1999 ditetapkan bahwa luas kawasan hutan Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 1.808.990 Ha atau 38,20 % dari luas daratan NTT. Dishut Provinsi NTT menyatakan bahwa, dari luasan kawasan hutan tersebut 661.680,74 ha dinyatakan kri�s (Citra Landsat ETM 7 tahun 2000). Laju lahan kri�s selama 20 tahun terakhir +
15.163,65 ha per tahun (untuk lahan kri�s di dalam dan di luar kawasan). Usaha penanganan lahan kri�s
dilakukan dengan rehabilitasi hutan dan lahan. Di propinsi NTT, kemampuan dalam melakukan rehabilitasi hutan dan lahan selama 20 tahun terakhir adalah sebesar +
3.615 ha per tahun. Banyaknya lahan kri�s di dalam kawasan hutan ini dikawa�rkan akan menurunkan simpanan karbon pada kawasan hutan NTT. Tujuan dan Sasaran : 1. Menges�masi kandungan karbon di kawasan hutan tanaman ja� Bonak Kecamatan
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
47
Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, 2. Tersedianya data dan informasi es�masi kandungan karbon di kawasan hutan tanaman ja� Bonak Kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara.
II.
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Lokasi dan waktu peneli�an
Kegiatan peneli�an dilakukan pada kawasan hutan tanaman Ja� di Bonak kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara. Waktu yang dibutuhkan selama 1 bulan mulai dari kegiatan survey lokasi, pengukuran biomassa tegakan, tumbuhan bawah, nekromassa, pengolahan data, analisa data, dan analisa tanah
B.
Bahan dan Alat :
Bahan
:
Tegakan ja� di
Bonak Kecamatan Biboki Selatan, peta pendukung.
Alat
: Alat pembuatan plot (tali,cangkul, parang, dsb); alat pengukuran (phi-band/pita ukur, hagameter,
dan �mbangan), GPS.
C.
Rancangan
Pada ekosistem daratan, karbon tersimpan dalam 3 komponen pokok: biomasa, nekromasa dan bahan
organik tanah. Karbon di atas permukaan tanah melipu�: biomasa pohon,
biomasa tumbuhan bawah, nekromasa dan seresah. Karbon di
bawah permukaan tanah melipu�: biomasa akar dan bahan organik tanah.
Peneli�an stok karbon yang akan dilakukan untuk
memperoleh data stok karbon melipu�: kegiatan survey lokasi, pengukuran biomassa tegakan, tumbuhan bawah, nekromassa, pengolahan data, analisa data, dan analisa tanah
D. Metode Peneli�an Metode pengumpulan data, tabulasi data dan analisa data dilakukan berdasarkan
“Petunjuk Prak�s Pengukuran "Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan” (Hairiah, K. dan Rahayu,2007).
Kelebihan dari pada penggunaan metode tersebut adalah metode
ini dapat digunakan diberbagai penggunaan lahan, dan �dak merusak bagian tanaman pokok kecuali untuk tumbuhan bawah. Es�masi cadangan karbon dilakukan dengan pembuatan plot pada kawasan hutan. Simpanan karbon dihitung dengan persamaan allometrik. Hasil yang diharapkan, data kandungan karbon bisa digunakan sebagai acuan untuk menjawab isu perdagangan karbon dan dijadikan per�mbangan untuk pembangunan hutan tanaman jenis Ja�.
Kegiatan utama:
1)
Pembuatan plot, pengukuran biomasa pohon, biomasa tumbuhan bawah, nekromasa seresah dan es�masi karbon tersimpan dalam akar.
2)
Menghitung jumlah karbon tersimpan.
3)
Analisa tanah.
4)
Membuat plot contoh
pengukuran (Gambar 1):
a.
Plot (20m x 100m) untuk pengukuran pohon berdiameter >30 cm.
b.
Sub Plot (5m x 40m) untuk pengukuran pohon berdiameter 5-30 cm.
c.
Sub-subplot (0,5m x 0,5m) untuk pengukuran tumbuhan bawah (understorey) seresah dan tanah.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
48
Gambar 1. Plot contoh untuk pengukuran biomasa dan nekromas
1)
Mengukur biomasa pohon
Pengukuran biomasa pohon dilakukan dengan cara 'non destruc�ve' (�dak merusak bagian tanaman).
Cara pengukuran
dan pengumpulan data:
a.
Mencatat nama se�ap pohon, dan mengukur diameter batang se�nggi dada dan �nggi.
b.
Mengukur diameter batang dan �nggi tunggak bekas tebangan yang masih hidup (�nggi >
50 cm dan diameter > 5 cm).
c. Menghitung berat jenis (BJ) kayu dari masing-masing jenis pohon dengan jalan memotong kayu dari salah satu cabang, lalu mengukur panjang, diameter dan menimbang berat basahnya kemudian di oven, pada suhu 100oC selama 48 jam dan �mbang berat keringnya.
d.
Hitung volume dan BJ kayu dengan rumus sebagai berikut: Volume (cm3) =
2
T
x100%
(gr)basahBerat
(gr)keringBerat)cmBJ(gr 3
Dimana:
R = jari-jari potongan kayu = ½ x Diameter (cm)
T = panjang kayu (cm)
2)
Pengolahan
data
a.
Menghitung biomasa pohon menggunakan persamaan alometrik
Tabel 1. Persamaan Allometrik
untuk Menghitung Biomasa Pohon
Jenis Pohon
Es�masi BiomasaPohon (kg/pohon)
Sumber
Pohon bercabang
BK = 0.11*BJ*D2.62
Ke�erings, 2001
Pohon �dak bercabang
BK = π*BJ*H*D2/40
Hairiah dkk, 1999
Sumber: Hairiah dkk, 2007
Keterangan: BK=berat kering; D=diameter pohon; H=�nggi pohon
BK = berat kering; D = diameter pohon, cm; H = �nggi pohon, cm; π
= 3,14
b.
Jumlahkan biomasa semua pohon yang ada pada suatu lahan, baik yang ukuran besar maupun yang kecil, sehingga diperoleh total biomasa pohon per lahan (kg/luasan lahan).
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
49
3)
Mengukur biomasa tumbuhan bawah ('understorey')
Pengambilan contoh biomasa tumbuhan bawah harus dilakukan dengan metode 'destruc�ve' (merusak bagian tanaman). Tumbuhan bawah yang diambil sebagai contoh adalah semua tumbuhan hidup berupa pohon yang berdiameter < 5 cm, herba dan rumput-rumputan.
Pengolahan data
Hitung total berat kering tumbuhan bawah per kuadran dengan rumus sebagai berikut:
(
)
(
)
(
)
(
)
4)
Mengukur es�masi penyimpanan karbon pada nekromasa dan seresah
Nekromasa dibedakan menjadi 2 kelompok: nekromasa berkayu dan nekromasa �dak berkayu.
a.
Nekromasa berkayu: pohon ma� yang masih berdiri maupun yang roboh, tunggul -tunggul tanaman, cabang dan ran�ng yang masih utuh yang berdiameter 5 cm dan panjang 0.5 m.
Pengolahan data
§
Menghitung berat nekromasa berkayu yang bercabang dengan menggunakan rumus allometrik seper� pohon hidup (lihat Tabel 2), sedangkan untuk pohon yang
�dak
bercabang dihitung berdasarkan volume silinder sebagai berikut:
�
BK =
0,11*BJ*D^2,62
Dimana: H = panjang/�nggi nekromasa (cm), D = diameter nekromas (cm), = BJ kayu (g cm-3). Biasanya BJ kayu ma� sekitar 0,4 g cm-3, namun dapat juga bervariasi tergantung pada kondisi pelapukannya. Semakin lanjut �ngkat pelapukan kayu, maka BJ nya semakin rendah.
§
Melakukan pengolahan data nekromasa berkayu sama caranya dengan pengolahan biomasa pohon, yaitu bedakan antara jenis nekromasa besar (berdiameter > 30 cm) dan nekromasa sedang (berdiameter antara 5-30 cm), karena luas plot pengumpulan datanya berbeda.
b.
Nekromasa �dak berkayu: seresah daun yang masih utuh (seresah kasar), dan bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian dan berukuran > 2 mm (seres ah halus).
5)
Penghitungan jumlah karbon (C)
tersimpan di atas permukaan tanah (aboveground)
Semua data (total) biomasa dan nekromasa per lahan dimasukkan ke dalam Tabel 6
yang merupakan es�masi akhir jumlah C tersimpan per lahan. Konsentrasi C dalam bahan organik biasanya sekitar 46%, oleh karena itu es�masi jumlah C tersimpan per komponen dapat dihitung dengan mengalikan total berat masanya dengan konsentrasi C, sebagai berikut:
Berat kering biomasa atau nekromasa (kg/ha) x
0,46
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
50
Tabel 2.
Form es�masi total penyimpanan karbon bagian atas tanah pada suatu
system
penggunaan lahan (Mg ha-1)
Land use
Biomasa pohon
(Mg/ha)
Tumbuhan bawah
(Mg/ha)
Nekromasa (Mg/ha)
Seresah kasar
(Mg/ha)
Seresah halus
(Mg/ha)
Total biomasa (Mg/ha)
% C
Total Penyimpanan
C (Mg/ha)
Keterangan:
Total biomasa = biomasa+tumbuhan bawah+nekromasa+seresah kasar+seresah halus
Total penyimpanan C = total biomasa x %C
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Gambaran umum Lokasi Peneli�an
Bonak termasuk dalam wilayah Kecamatan Biboki Selatan, Kelurahan Supun. Luas kawasan hutan tanaman Ja� adalah 22,25 ha, ke�nggian tempat antara 554 -571 m dpl. Jumlah penduduk yang berdekatan dengan lokasi peneli�an ini terdapat 3 desa/kelurahan, dengan total jumlah penduduk sebanyak 9404 jiwa. Lokasi ini juga selain sebagai hutan tanaman jenis ja� yang dapat berperan dalam menyerap karbon juga merupakan penghasil sumber mata air Khususnya bagi masyarakat pada kelurahan Supun dan kelurahan Upfaon, sedangkan ketergantungan masyarakat sekitar kawasan hutan selain sebagai sumber mata air juga sebagai penghasil kayu bakar. Pada umumnya lokasi ini di dominasi oleh vegetasi jenis ja�, dengan jarak tanam 3 x 1 m yang ditanam pada tahun 1961 oleh Dinas Kehutanan Kabup aten Timor Tengah Utara.
Hutan tanaman ja� di lokasi Bonak Kecamatan Biboki Selatan di tanam pada
tahun 1961 atau sudah berumur (50
tahun)
pada saat peneli�an dilakukan. Hasil pengukuran
stok/simpanan karbon disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 3.
Potensi stok/simpanan karbon Bonak Kecamatan Biboki Selatan
Lokasi
Keterangan
jumlah
Luas
Biomasa
C
30 UP
5 -30
Serasah
Tb
nekro
Tanah
Bonak 1
153,94
0
4,561
0,615
0
Bonak 2
9,99
16,97
3,27
0,14
0
Bonak 3
149,97
0
3,11
0,64
0
Total
313,9
16,97
10,941
1,395
0
Biomassa
104,63
5,66
3,65
0,47
0,00
114,40
C
48,13
2,60
1,68
0,21
0,00
6,30
58,92
22,25
2545,44
1310,97
Sumber:
Hasil pengukuran dan analisis data primer
Dari Tabel 6
terlihat bahwa total biomasa terbesar terdapat pada pohon yang berdiameter
30-up, dan seterusnya berturut-turut pohon 5 –
30, serasah, tanah, dan biomasa terkecil adalah tumbuhan bawah sedangkan nekromas �dak terdapat pada lokasi ini. Demikian pula simpanan karbon terbesar terdapat pada pohon yang berdiameter 30-up, dan seterusnya
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
51
berturut-turut pohon 5 –
30, serasah, tanah, dan biomasa terkecil adalah tumbuhan bawah dan Nekromasa �dak tersedia pada lokasi ini.
Gambar 2.
Urutan simpanan karbon
Pada gambar 2 diatas terlihat bahwa terdapat perbedaan stok karbon. Simpanan karbon pada lokasi peneli�an terbesar terdapat pada pohon yang berdiameter 30 cm up, dan berturut -turut di iku� oleh pohon 5 –
30 up, serasah, dan tumbuhan bawah. Sedangkan stok karbon pada komponen nekromasa �dak ada, Hal ini dipengaruhi oleh kebakaran hutan yang sering terjadi. Selain dari pada permasalahan kebakaran hutan, lokasi ini menjadi tempat yang menjadi obyek bagi masyarakat untuk memperoleh kayu bakar. Oleh karena hal tersebut simpanan pada komponen nekromasa �dak dijumpai sehingga jumlah stok karbon menjadi lebih kecil. Terdapat beberapa jenis vegetasi yang terdapat pada kawasan hutan ini. Sementara itu total karbon yang tersimpan di lokasi peneli�an Bonak pada pohon berdiameter 30 up adalah 144,39, pohon berdiameter 5 –
30 adalah 17,0, serasah 10, 9, tumbuhan bawah 1,4. Dan
kandungan C pada bahan organik adalah 6,3. Total stok karbon pada biomasa pohon sangat kecil, merupakan implikasi dari jumlah pohon yang berdiameter 30 cm-up/ha terdapat 85 pohon, jika dibandingkan dengan lokasi peneli�an Oeluan yang sama-sama jumlah pohon berdiameter 30 cm-up yakni 85 pohon/ha, maka Lokasi Bonak masih dianggap kurang banyak dalam menyerap karbon karena umur tanaman di lokasi Bonak sudah mencapai 50 tahun pada saat dilakukan peneli�an.
B.
Kerapatan Vegetasi
Kerapatan vegetasi sangat mempengaruhi stok biomasa atau kandungan C, dimana semakin �nggi nilai kerapatan vegetasi semakin rendah nilai C untuk pohon berukuran diameter 30 cm-up, atau sebaliknya semakin rendah kerapatan vegetasi semakin �nggi nilai C untuk pohon berdiameter 30 cm-up. Total pohon berdiameter 30 cm-up adalah sebanyak 85 pohon/Ha dan jumlah total pohon pada lokasi Bonak adalah 1891,25 pohon, sedangkan untuk pohon yang berdiameter 5-30 cm adalah sebanyak 100 pohon/ha, atau 2225 pohon untuk 22,25 Ha.
Gambar 3.
Perbedaan penyusun stok karbon se�ap komponen di Bonak Kecamatan
Biboki Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara
313,9
16,97
10,941
1,395
0
3,16
POHON 30-UP POHON 5-30 SERASAH TUM.BWH NEKRO tanah
perbedaan penyusun karbon/komponen
313,39
16,97
10,941
1,395
0
6,31
BONAK
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
52
Gambar 3
di atas menggambarkan komponen karbon yang terdapat pada permukaan tanah. Komponen penyusun karbon terbesar adalah pohon yang berdiameter 30 cm up 313,9 ton/ha, dimasukkan kedalam persamaan allometrik menjadi 144,4 ton C/ha, hal ini dipengaruhi oleh umur tanaman yaitu (50) tahun pada saat peneli�an. Sementara po hon yang berdiameter 5-30 cm lebih sedikit jika dibandingkan dengan pohon 30 cm-up. Stok karbon yang tersimpan pada pohon beriameter 5-30 cm adalah sebanyak 16,97ton/ha (biomasa) atau 7,8 ton/ha (C), selanjutnya berturut-turut kandungan komponen penyusun karbon yang menempa� urutan berikut adalah serasah dengan nilai stok karbon sebanyak 10,941 (biomasa) atau 5,0 ton/ha dan tumbuhan bawah 1,395 ton/ha stok biomasa atau 0,6 ton/ha C. Sedangkan kandungan C pada bahan organik tanah memiliki stok karbon C sebanyak 3,16. Untuk kandungan biomasa pada pohon ma� (nekromasa) �dak ada.
III.
PENUTUP
Potensi stok Karbon Pada hutan tanaman ja� dilakukan di Bonak
Kecamatan
Biboki Selatan,
Kabupaten Timor Tengah Utara, dengan luas hutan
tanaman ja� 22,25 Ha tahun tanam 1961. Adapun
total stok karbon yang tersedia antara lain pada komponen Biomasa pohon berdiameter 30 cm-up 1070,893 ton/Ha, bahan organic tanah sebanyak 140,175 ton/Ha,
57,85
ton/Ha untuk pohon berdiameter 5-30 cm, nekromasa serasah 37,38 ton/Ha, dan tumbuhan bawah
0,416/Ha atau 9,27 ton/Ha
nekromasa berkayu 0.
Jadi total stok karbon pada hutan
tanaman ja� Bonak Kecamatan Biboki Selatan adalah 1310,97 ton/Ha.
DAFTAR PUSTAKA
BMG Kupang. 2008. NTT Mengalami Perubahan Iklim yang Ekstrim. URL: h�p://www.kapanlagi.com
diakses 23 Mei 2008.
Depu� Bidang KSDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan-KLH, 2008. Rencana Aksi Nasional
dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Materi Presentasi pada Seminar RAN-MAPI. Kupang.
Dinas Kehutanan NTT. 2006. Rencana
Strategis Dinas Kehutanan NTT 2006-2009. URL: h�p://www.dephut.go.id
diakses 6 Februari 2007.
Ginoga, K.L. 2008. UKP Adaptasi dan Mi�gasi Perubahan Iklim. Puslitsosek Bogor. Bogor
Hairiah, K. dan Rahayu, S., 2007.
Petunjuk Prak�s Pengukuran ’Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Agroforestry Center-ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya (Unibraw). Bogor. 77 p.
Irawan�, S., Sakuntaladewi, N. dan Sylviani,2008.
Kajian Pola Adaptasi Masyarakat terhadap Perubahan Iklim .Materi Presentasi dalam Rakor Integra�f Puslitsosek. Bogor.
PPLH-KLH Bali & Nusa Tenggara, 2007. Perubahan Iklim Global, Dampaknya dan sUpaya Menghadapi Perubahan Iklim. Materi Presentasi pada Seminar RAN-MAPI. Mataram
Sakeng, K. 2008. NTT Rentan Bencana. URL : h�p://www.beritabumi.or.id
diakses 23 Mei 2010.
Stern, N. 2007. Stern Review: The Economics of Climate Change. dalam Ginoga, K.L. 2008. UKP Adaptasi dan Mi�gasi Perubahan Iklim. Puslitsosek Bogor. Bogor .
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
53
TEKNIK PEMBIBITAN BIDARA LAUT
(Strychnos lucida. R.Br)
Gipi Samawandana
Balai Peneli�an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Mataram
I.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara megadiversity untuk tumbuhan obat di dunia. Tumbuhan-tumbuhan obat tersebut sebagian besar dari wilayah hutan tropika. Diperkirakan di
dalam kawasan hutan wilayah asia sekitar 70-90% tanaman obat berada di berbagai wilayah di Indonesia dan dari sekitar 40.000 jenis tumbuhan obat di dunia sekitar 30.000
jenis diantaranya terdapat dalam kawasan hutan indonesia. Salah satu jenis diantaranya adalah Bidara Laut (Strychnos lucida. R.Br).
Bidara laut merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bahan obat-obatan. Tanaman ini merupakan tanaman berkhasiat obat yang telah banyak dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Khususnya di NTB dan Bali. Pemanfaatan bidara laut oleh masyarakat secara turun-temurun membuat tanaman ini sangat populer sebagai obat an� malaria sehingga jika sebelumnya masyarakat hanya memanfaatkan bidara laut hanya untuk kebutuhan pengobatan mereka sendiri, maka seiring dengan adanya komersialisasi bidara laut ini masyarakat kemudian beralih memanfaatkannya untuk dijual guna memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan kayu bidara laut sebagai obat sudah pada tahap pemasaran. Tetapi masyarakat masih menjualnya dalam bentuk utuh tanpa pengolahan lebih lanjut. Sistem pemungutan masih dengan menebang pohonnya langsung dari kawasan hutan (BPK Mataram, 2009). Kontribusi penjualan kayu bidara laut ini �dak signifikan. Justru yang terjadi adalah semakin langka tanaman ini di hutan dimana masyarakat bergantung untuk pengobatan. Akibat lebih lanjut adalah degradasi hutan dan lingkungan hidup masyarakat, disisi lain teknologi budidaya belum ada.
II.
EKOLOGI
1.
Mengenal Jenis Bidara Laut
Tanaman bidara laut ini di daerah sering dikenal dengan nama: Kesena (Lombok), Songga
(Bima-Dompu), Kayu Pait (Bali), Kayu Ular, Dara Laut (Jawa), Bidara Gunong (Madura), Bidar a Mapai (Bugis).
Taksonomi Bidara Laut:
Kingdom
:
Plantae
Sub Kingdom
:
Tracheobionta
Super Divisi
:
Spermtophyta
Divisi
:
Magnoliophyta
Kelas
:
Magnoliopsida
Sub Kelas
:
Asteridae
Ordo
:
Gen�anales
Famili
:
Loganiaceae
Genus
:
Strychnos
Species
:
Strychnos lucida
R.Br
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
54
Ciri-ciri tanaman Bidara Laut ini memiliki batang yang kecil, tetapi berkayu keras dan kuat. Bidara laut adalah tanaman yang tumbuh seper� semak.
Berikut ciri-ciri bidara laut adalah sebagai berikut (Hyne, 1987; Leenhouts, 1962):
a.
Tamanan merupakan pohon kecil yang mempunyai diameter batang dapat mencapai 30 cm dan �nggi rata-rata 12 m.
b.
Tanaman Bidara Laut yang masih muda mempunyai duri dan kadang-kadang batang membengkok.
c.
Kayunya berwarna kuning pucat, keras dan kuat.
d.
Semua bagian dari tanaman ini terasa pahit mulai dari buah, daun, batang, dan akar
e.
Daunnya mempunyai ukuran sekitar 2,6 –
6,1 cm x 1,7 –
3,7 cm dan bagian bawah daunnya pada umumnya mempunyai warna lebih pucat dari bagian atasnya
(Gambar 2).
f.
Bunga mempunyai kelopak antara 1 –
1,3 mm sedangkan mahkotanya mempunyai panjang 10 –
15 mm (Gambar 3).
g.
Buah berbentuk bulat berwarna hijau tua bila masih muda dan berwarna
orange apabila sudah tua/masak
(Gambar 1).
Gambar 1.
Buah bidara laut
Gambar
2. Bagian-bagian bidara laut
dan
Bunga bidara laut
2.
Kondisi Tempat Tumbuh
Tempat tumbuh ideal tanaman Bidara laut ini
sangat baik di ke�nggian 15-300 mdpl. Type iklim D, E, dan F, dengan curah hujan tahunan 428-1.622 mm/tahun, suhu udara 27
-
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
55
30
, kelembaban 68%
-78%
dan bulan basah rata-rata 3-5. Tanaman Bidara Laut ini mampu hidup pada lahan yang secara fisik cukup berat yaitu topografi perbukitan, kemiringan dari landai (<10%) sampai curam
(>40%), batuan permukaan 20%-60%, batuan singkapan 15%-60%. Tingkat erosi antara rendah sampai berat dan tekstur tanah antara halus sampai kasar. Jenis tanah habitat bidara laut didominasi oleh podsolik merah kuning dan sebagian kecil jenis regosol dan kambisol dengan kandungan C –
Organik dan N rendah. Unsur P didominasi �ngkat sangat rendah, unsur K �nggi, unsur KTK yang �nggi dan ka�on tanah dari sangat rendah sampai sangat �nggi.
III.
TEKNIK PEMBIBITAN
Pembibitan tanaman Bidara Laut dapat dilakukan secara genera�f (buah dan anakan alam) dan secara vegeta�f (stek batang dan stek pucuk).
PEMBIBITAN SECARA GENERATIF
A.
Berasal dari buah/ biji
Buah/biji dapat diperoleh pada saat tanaman bidara laut musim berbuah yaitu bulan Mei-Juli yang ditandai dengan buah matang/masak berwarna orange (kuning-kemerahan). Buah yang telah matang kemudian diekstraksi dengan cara mengeringanginkan buah. Kemudian keluarkan biji dengan mengupas kulit dan daging buahnya. Setelah itu dilakukan sortasi benih. Benih yang baik berukuran besar –
sedang. Sebelum di tabur, benih bidara laut
dicuci terlebih dahulu kemudian di jemur di bawah sinar matahari selama 1-2 hari. Hal ini dilakuan untuk mempercepat benih berkecambah.
Perkecambahan benih dilakukan dengan cara menabur di dalam bak – bak kecambah. Media perkecambahan yang digunakan adalah media top soil + pasir (1:3) atau menggunakan pasir halus 100% (Rahayu & Wahyuni, 2013).
Penaburan benih dilakukan dengan membenamkan seluruh bagian benih kedalam media kecambah dengan posisi benih bagian pangkal berada di posisi bawah dan kedalaman 1 cm.
Bak kecambah diletakkan dibawah naungan agar terjaga suhu dan kelembabannya. Kondisi tempat perkecambahan berada pada suhu 29
-32
dan kelembaban >75% (Kurnia� & Danu, 2012). Hasil perkecambahan dapat mencapai >80%.
B.
Berasal dari anakan alam
Anakan dari tanaman bidaral laut dapat menjadi alterna�f dalam perbanyakan tanaman.
Kriteria anakan yang diambil untuk pembibitan tanaman sebaiknya sudah berdaun minimal 2 helai daun
dan �nggi 10-20 cm (Kurniaty & Danu, 2012). Anakan disemaikan pada kantong plas�k (polybag) yang berisi media tanah + pupuk organik (1:1) dan diletakkan dibawah naungan. Hasil pembibitan dapat mencapai > 80%.
C.
Penyapihan
Penyapihan dilakukan minimal 2 bulan sejak benih disemaikan atau ditandai dengan ciri semai telah memiliki sepasang daun dan telah terbuka sempurna. Penyapihan dilakukan pada polybag yang telah berisi media sapih dengan campuran tanah + pasir + pupuk kandang (3: 2 : 1) ( Nandini & Agustarini, 2011) atau bisa juga menggunakan tanah + arang sekam + cocopeat (2 : 2 : 1) (Rahayu & Wahyuni, 2013). Semai
dipindahkan dari bak kecambah dengan cara mencabut secara ha�-ha� agar akar �dak terputus.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
56
Kelebihan pembibitan secara genera�f adalah:
1.
Mudah dilakukan
2.
Tidak memerlukan perlakuan Khusus
3.
Ketersediaan biji dan anakan alam rela�f banyak
4.
Persentasi/�ngkat keberhasilan pertumbuhan tanaman lebih besar
Kekurangan pembibitan secara genera�f adalah keter sediaan biji/benih harus menunggu pada bulan musim berbuah.
PEMBIBITAN SECARA VEGETATIF
A.
Stek Batang
Bahan stek batang yang digunakan dipilih dari cabang/batang tanaman yang umurnya masih muda. Stek dipilih yang tumbuh tegak (ortohotrop). Hal ini dimaksudkan agak nan�nya tanaman dapat tumbuh lurus ke atas, dan �dak tumbuh ke samping/miring. Cara penyetekannya adalah sebagai berikut:
1.
Stek batang bidara laut diperoleh dengan memotong cabang/batang sepanjang 10-20 cm dan berdiameter batang 1 cm.
2.
Sebelum ditanam stek batang diberi zat pengatur tumbuh terlebih dahulu. Agar cepat mengeluarkan akar nan�nya.
3.
Media stek disiapkan didalam polybag dengan campuran top soil + pasir + pupuk kandang (2 : 1 : 1)
4.
Stek batang ditanam pada polybag kemudian ditempatkan di bawah naungan agar tetap terjaga suhu dan kelembabannya.
B. Stek Pucuk/tunas Bahan stek pucuk/tunas diperoleh dari bagian tunas muda yang berada di ujung
tangkai/cabang daun ataupun tunas trubusan. Cara penyetekannya hampir sama dengan stek batang. Perbedaaannya bahan stek pucuk/tunas didapatkan dengan memotong bagian pucuk daun dengan menyisakan 2 ruas daun. Selanjutnya daun-daunnya dipotong setengah untuk mengurangi penguapan.
Setelah ditanam pada media penyetekan diberi sungkup plas�k agar kelembaban, suhu dan penguapannya terjaga.
Kelebihan pembibitan secara vegeta�f adalah:
1.
Dapat mengatasi masalah kebutuhan bibit tanpa harus menunggu bulan musim berbuah.
2.
Dapat diambil bahan stek kapan saja.
Kekurangan pembibitan secara vegeta�f adalah:
1.
Tingkat kesulitan pembibitan lebih �nggi dibandingkan dengan pembibitan genera�f.
2.
Memerlukan perlakuan Khusus.
3.
Persentasi/�ngkat keberhasilan pertumbuhan lebih kecil.
IV.
PEMELIHARAAN, HAMA DAN PENYAKIT
A.
Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan selama dipembibitan adalah penyiraman, yang
dilakukan pada pagi atau sore hari. Intensitas penyiraman disesuaikan dengan kondisi tanaman tersebut. Kelebihan dan kekurangan air harus diperha�kan agar tanaman tersebut �dak kekeringan ataupun tergenang sehingga dapat menyebabkan tanaman ma�.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
57
Pembersihan gulma dapat dilakukan 2 minggu sekali tujuannya adalah agar tanaman gulma/penganggu �dak tumbuh liar yang dapat menghambat pertumbuhan bidara laut karena persaingan cahaya matahari dan mengambil unsur hara.
B.
Hama dan Penyakit
Hama yang sering menyerang tanaman bidara laut di persemaian adalah hama perusak pucuk tanaman, hama perusak daun, hama perusak batang, hama perusak akar, dan hama perusak biji (Suhar�, 2003). Pengendaliannya dengan cara menyemprotkan insek�sida. Sedangkan Penyakit pada tanaman bidara laut diakibatkan oleh jamur, bakteri dan virus. Pengendaliannya dengan cara membuang bagian tanaman yang terserang penyakit agar �dak menular ke tanaman lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
BPK Mataram. 2009. “Kandungan Senyawa Ak�f Jenis-Jenis Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat dan Kosme�k”. Laporan Hasil Peneli�an. Mataram: Balai Peneli�an Kehutanan.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Kurniaty, R. dan Danu. 2012. “Teknik Persemaian”. Publikasi Khusus. Bogor: Balai Peneli�an
Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan.
Nandini, R. dan R. Agustarini. 2011. “Teknik Budidaya Tanaman Bidara Laut (Strychnos lucida
R.Br) secara Genera�f”. Prosiding Workshop, Sintesa Hasil Peneli�an Hutan Tanaman 2010. Hlm. 359-365. Bogor: Pusat Litbang Peningkatan Produk�vitas Hutan.
Rahayu, A.A.D. dan R. Wahyuni. 2013. “Teknik Pembibitan Genera�f dan Vegeta�f Jenis Bidara Laut/Songga”.
Laporan Hasil Peneli�an.
Mataram: Balai Peneli�an Teknologi Hasil
Hutan Bukan Kayu.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
58
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
59
TEKNIK ISOLASI JAMUR PEMBENTUK GAHARU
Mansyur
Balai Peneli�an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram
I.
PENDAHULUAN
Gubal gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah ma�, sebagai akibat proses infeksi yang terjadi, baik secara alamiah maupun buatan pada pohon tersebut yang pada umumnya terjadi pada tanaman Gyrinops spp. dan Aquilaria spp.
Gubal gaharu adalah salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang produk gubalnya mengandung damar wangi (aroma�c
resin). Keharuman aroma gaharu menjadikannya sebagai komoditas perdagangan pen�ng dalam lingkungan industri parfum, kosme�ka dan obat-obatan tradisional. Hampir seluruh produk gaharu di Indonesia diperoleh dari alam.
Di Indonesia terdapat dua genus utama penghasil gaharu yakni Aquilaria spp dan Gyrinops spp.
(Departemen Kehutanan, 2003). Daerah tumbuh tanaman gaharu beriklim panas
dengan suhu rata-rata 32°C, kelembaban sekitar 70% dan curah hujan kurang dari 2.000 mm/tahun (Sumarna, 2002). Penyebaran pohon penghasil gaharu di Indonesia antara lain terdapat di kawasan
hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan
Jawa (Sumarna, 2007). Penyebaran G. versteegii terdapat di pulau-pulau Indonesia bagian �mur, yaitu Pulau
Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Minahasa dan Irian Jaya. Spesies ini menyeba r dari dataran rendah sampai ke�nggian 900 mdpl (CITES, 2004). G. versteegii dikenal juga dengan nama daerah ke�munan (Lombok), ruhu wama (Sumba) dan seke (Flores dan Sumbawa) (CITES, 2004; Mulyaningsih dan Isamu, 2007).
G. versteegii memiliki ciri morfologi berupa pohon kecil dengan
�nggi 1-4 m, dan diameter 1-10 cm. Pohon ini �dak selalu berbunga dan buahnya berwarna kuning atau orange (Mulyaningsih dan Isamu, 2007).
Jenis Aquilaria
tumbuh baik di jenis tanah podsolik merah kuning, tanah lempung berpasir, dengan drainase sedang sampai baik, iklim A -B, kelembaban 80%, suhu 22 –
28°C, curah hujan 2000-4000 mm/th, �dak baik tumbuh di tanah tergenang, rawa, ketebalan solum tanah kurang 50 cm, pasir kwarsa, tanah dengan pH < 4 (Mogea dkk, 2001).
Zaman
dahulu gaharu diperoleh dari alam langsung untuk kepen�ngan sendiri. Tetapi dalam perkembangannya kayu gaharu menjadi komoditas yang langka karena dieksploitasi besar-besaran dan mulai diperdagangkan ke berbagai penjuru dunia (China, Arab, India dan Eropa dll). Banyak daerah saat ini sudah melakukan pembudidayaan gaharu. Tahapan rekayasa produksi gaharu dimulai dengan isolasi fungi pembentuk
gaharu yang diambil dari pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang dibudidayakan. Tahap selanjutnya adalah perbanyakan fungi pembentuk gaharu, kemudian dilakukan inokulasi.
Pohon penghasil gaharu melakukan perlawanan dengan memproduksi resin (fitoaleksin)
supaya kuman tak menyebar ke jaringan pohon lain. Lama-kelamaan, resin tersebut mengeras, dan menjadi berwarna kecoklatan serta harum bila dibakar. Mengingat jenis isolat fungi pembentuk gaharu berbeda-beda sesuai kondisi iklim dan lingkungan, maka penyedia inokulan perlu melakukan isolasi jenis penyakit yang berprospek memproduksi gaharu (Turjaman dkk, 2009).
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
60
Prinsip dari isolasi mikroba adalah memisahkan satu jenis mikroba dengan mikroba lainnya yang berasal dari campuran bermacam-macam mikroba. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkannya dalam media padat, sel-sel mikroba akan membentuk
suatu koloni sel yang tetap pada tempatnya (Sutedjo, 1996). Jika sel-sel tersebut tertangkap oleh media padat pada beberapa tempat yang terpisah, maka se�ap sel atau kumpulan sel yang hidup akan berkembang menjadi suatu koloni yang terpisah, sehingga memudahkan pemisahan selanjutnya (Sutedjo, 1996). Bila digunakan media cair, sel-sel mikroba sulit dipisahkan secara individu karena terlalu kecil dan �dak tetap �nggal di tempatnya. Beberapa faktor yang perlu diperha�kan dalam mengisolasi mikroorganisme adalah sifat dan jenis mikroorganisme, habitat mikroorganisme, medium pertumbuhan, cara menginokulasi dan inkubasi, cara mengiden�fikasi, cara pemeliharaannya, dan metode isolasinya (Dwidjoseputro, 1998).
II.
BAHAN DAN PERALATAN
1.
Bahan dan Peralatan untuk Kegiatan di Lapangan
Bahan dan alat untuk eksplorasi
Bahan:
Pohon Gyrinops
sp. yang pada bagian batang/akarnya terindikasi membentuk gaharu.
Alat :
Parang, plas�k, �su, label, spidol permanen, buku catatan, ballpoint.
Bahan dan alat untuk inokulasi
Bahan:
Alkohol 70%, isolat cair fungi pembentuk gaharu
Alat : Pipet, bor, blender, corong, genset, �su, tangga, masker, sarung tangan, plas�k, parang, label, korek api, buku catatan, penggaris, meteran, spidol permanen, paku, ballpoint, kertas kalkir/kertas minyak, pensil, penghapus, standar warna.
2. Bahan dan Peralatan untuk Kegiatan di Laboratorium Bahan dan alat untuk sterilisasi
Bahan
:
Alkohol 70%, alkohol 95%, spiritus, bayclin, aquadest
steril. Alat
:
Autoclave, bunsen, oven, korek api, masker, jas lab, sarung tangan, �su, alumunium foil, seal
Bahan dan alat untuk pembuatan medium padat
Bahan :
PDA botolan, aquadest.
Alat
:
Jas lab, masker, pisau, gelas beker, saringan, s�rrer, �mbangan anali�k, magne�c s�rsrer, gelas ukur, erlenmeyer, petridish, alumunium foil, seal.
Bahan dan alat untuk isolasi
Bahan :
Irisan kayu yang terindikasi membentuk gaharu, alkohol 70%, spiritus
Alat
:
pisau, petridish
steril kosong, �su steril, pinset, laminar air flow
(LAF), jas lab, masker, sarung tangan, jarum ose, bunsen, korek api, saringan, gelas ukur, label, spidol permanen.
Bahan dan alat untuk penanaman pada medium PDA
Bahan :
Medium PDA dalam petridish, alkohol 70%, spiritus, potongan-potongan kayu yang mengindikasikan terbentuknya gaharu.
Alat :
Jarum ose, pinset, skalpel, mata skalpel, bunsen, seal, alumunium foil, �su steril, petridish
kosong yang telah disterilisasi, korek api, label, spidol permanen.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
61
Bahan dan alat untuk penanaman pada medium cair
Bahan :
Isolat fungi pembentuk gaharu dalam petridish, alkohol 70%, spiritus
Alat
:
LAF, korek api, bunsen, �su, botol inokulan, jas lab, sarung tangan, seal, masker, spidol permanen, label.
Bahan dan alat untuk inkubasi
Bahan :
Isolat fungi pembentuk gaharu
Alat
: Rak inkubasi dan inkubator
Bahan dan alat untuk pengamatan mikroskopis
Bahan : Aquades, alkohol 70%, spiritus.
Alat
:
Jarum ose, gelas benda, gelas penutup, bunsen, korek api, �su, jas lab, masker, sarung tangan, kamera mikroskop, dan mikroskop.
3.
Eksplorasi Jamur yang Terindikasi Membentuk Gaharu
Pohon yang akan dipilih dalam eksplorasi adalah pohon dengan kriteria:
-
Belum pernah disun�k/diinokulasi
-
Terdapat indikasi pembentukan gaharu
-
Mampu disayat/diiris bagian yang terindikasi pembentukan gaharu
Eksplorasi dilakukan pada pohon jenis Gyrinops
sp. yang belum pernah disun�k/diinokulasi sebelumnya. Pada pohon tersebut disayat pada bagian batang/akar yang terindikasi membentuk gaharu, dan sayatan tersebut disimpan, diberi label, untuk kemudian dapat diisolasi dan diproses di Laboratorium Mikrobiologi.
4. Kegiatan di Laboratorium Mikrobiologi
Kegiatan di laboratorium yang secara berkala dilakukan melipu�: a. Sterilisasi
Sterilisasi dilakukan secara berkala, dengan tujuan agar kontaminasi dapat diminimalisir sekecil mungkin. Proses sterilisasi basah dilakukan menggunakan autoclave, sedangkan sterilisasi kering dilakukan menggunakan oven. Sterilisasi basah biasa digunakan untuk sterilisasi medium, sterilisasi kering biasa digunakan untuk sterilisasi alat.
b.
Pembuatan medium agar (Potato Dextrose Agar)
Proses pembuatan medium dilakukan dengan cara menimbang PDA sebanyak 20 gram, kemudian dicampur aquadest
steril 500 ml dalam erlenmeyer
sambil dipanaskan menggunakan magne�c s�rrer. Medium kemudian di autoclave
dengan tekanan 1 atm dan suhu 121°C, setelah di autoclave, medium langsung dimasukkan ke dalam petridish
yang telah disterilisasi (proses ini harus dilakukan secara asep�s di dalam LAF).
c.
Isolasi
Proses isolasi dilakukan dengan memotong-motong bagian kayu Gyrinops
sp. hasil eksplorasi menjadi bagian-bagian kecil (ukuran 2 x 2 x 2 mm), kemudian direndam dalam alkohol 70%, dikocok menggunakan vortex
atau diaduk secara cepat menggunakan spatula, dibilas dengan aquadest
steril, lalu ditanam pada media PDA, kemudian dimurnikan masing-masing koloni yang akan dipelihara.
d.
Peremajaan fungi pada media padat
Fungi yang telah dewasa dan memenuhi seluruh bagian petridish
perlu diremajakan kembali, untuk menjaga ketersediaan nutrisi agar tetap terjaga dengan baik pertumbuh annya. Peremajaan fungi pada media padat dilakukan dengan mengambil/mengiris bagian fungi termuda (bagian paling pinggir) pada petridish, dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm ke dalam media
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
62
PDA baru, dan kemudian diinkubasi pada suhu ruang (proses penanaman ini haru s dilakukan secara asep�s di dalam LAF).
e.
Inkubasi
Kegiatan inkubasi dapat dilakukan pada suhu ruang maupun di dalam inkubator.
f.
Pembuatan medium cair
Proses pembuatan medium cair dilakukan dengan metode:
menimbang kentang, dextrose, kemudian di campur aquadest
steril 500 ml, dipanaskan dalam
erlenmeyer, lalu dimasukkan ke dalam botol inokulan, kemudian di autoclave
dengan tekanan 1 atm dan suhu 121°C
g.
Pembuatan inokulan cair
Proses pembuatan inokulan cair dilakukan dengan cara membagi isolat yang telah tumb uh dalam media padat dengan masing-masing bagian yang sama, diiris membentuk juring (dari pusat lingkaran ke tepi lingkaran), kemudian dimasukkan ke dalam botol inokulan, untuk selanjutnya di kocok/di shaker
(proses pembuatan inokulan cair harus dilakukan secara asep�s di dalam LAF).
h.
Pengocokan
Proses pengocokan dilakukan 1 bulan sebelum tahap uji di lapangan dilakukan. Tahapan dari proses ini adalah meletakkan botol-botol berisi inokulan cair pada shaker, dan diatur waktu pengocokannya, yaitu dengan kecepatan 125 rpm, selama 1 bulan.
5.
Kegiatan Ujicoba Isolat di Lapangan
Tahapan kegiatan inokulasi di lapangan adalah sebagai berikut:
a. Metode yang dilakukan dengan inokulasi menggunakan metode bor 1 lajur untuk �ap -�ap jarak lubang bor pada batang pohon Gyrinops sp. dengan ukuran lubang bor 3 mm, dengan perlakuan jarak bor 30 cm, 50 cm, dan 70 cm, menggunakan isolat dan kontrol yang berisi media kosong tanpa isolat.
b.
Jarak lubang bor terbawah dari permukaan tanah sebesar 20 cm (Sasmuko dkk, 2011). Semua pohon
diperlakukan dengan jumlah lubang yang sama (yaitu untuk jarak 70 cm
sebanyak 9 lubang, untuk jarak 50 cm sebanyak 9 lubang, dan untuk jarak 30 cm sebanyak 9 lubang, dengan dosis yang sama yaitu masing-masing 3 ml. Keterangan lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.
c.
Pengamatan hasil inokulasi, melipu� luasan area, warna, dan bau.
Pengamatan dilakukan pada saat 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan setelah inokulasi, dengan mengupas bekas bor sebanyak 3 ulangan kupasan (bagian atas, tengah, dan bawah) untuk masing-masing perlakuan. Pada �ap-�ap pengamatan, dilakukan pengelupasan pada lubang bor yang berbeda (1 bekas lubang bor hanya diama� 1 kali pengamatan).
Luasan area indikasi pembentukan gaharu diama� dengan metode mengupas/menguli� bekas bor sedalam ± 0,5 cm, selanjutnya mengcopy/menjiplak luasan area yang terbentuk pada lubang bekas bor menggunakan kertas kalkir / kertas minyak, kemudian hasil jiplakan tersebut di copy
kembali ke kertas milimeter blok, dan di hitung luasan area indikasi terbentuknya gaharu.
Warna yang terbentuk diama� dengan mencocokkan warna pada bekas lubang bor yang diama� dengan standar warna yang telah ada. Bau diama� dengan membakar irisan indikasi terbentuknya gaharu, dihirup oleh 3 orang, kemudian dirata-rata hasil/pendapat dari 3 orang tersebut, kemudian dicatat skornya.Pohon yang akan dipakai dalam ujicoba ini sejumlah 2 pohon. Jumlah pohon yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 1.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
63
Tabel 1.
Jumlah Pohon yang Diperlukan
No
Inokulan
Jumlah Pohon
Dosis (ml)
1
Isolat
1
3
2
Kontrol
1
3
Total
2
Dalam 1 pohon akan diinokulasi menggunakan 1 macam isolat saja, dengan 3 perlakuan jarak lubang bor yang berbeda, yaitu jarak 30 cm, 50 cm, dan 70 cm (pembagiannya dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 1).
Gambar 1. Perlakuan pada kegiatan inokulasi di lapangan
Pencatatan pengamatan pembentukan gaharu dapat dilihat pada Tabel 2 dan standar
warna pembentukan gaharu dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 2.
Pengamatan Pembentukan Gaharu
No
Isolat
Ukuran Luasan
Warna
Bau
1
2
3
Warna
Skor
1
1
2
3
4
5
6
Gambar 2. Standar warna pembentukan gaharu
Sedangkan pencatatan metode skoring untuk indikasi bau gaharu yang diama� dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Skoring untuk Indikasi Bau Gaharu
Indikasi Bau
Berbau gaharu
Agak berbau gaharu
Tidak berbau gaharu
Skor
1
2
3
30 cm
70 cm
20 cm dari permukaan tanah
30 cm
70 cm
50 cm
Jarak 30 cm
Jarak 50 cm
Jarak 70 cm
Penampang melintang batang Gyrinops
sp.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
64
6.
Hasil Ujicoba Isolat di Lapangan
Hasil ujicoba isolat dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4.
Hasil ujicoba isolat pada pohon gaharu
No.
Jarak Antar
Lubang Inokulasi
(cm)
Bulan ke-1
Bulan ke-3
Bulan ke-6
Inokulan
Luas Area
(mm)
Warna
Bau
Luas Area
(mm)
Warna
Bau
Luas Area
(mm)
Warna
Bau
1
Isolat
30
353
5
3
421
5
2
1242
5
2
2
Isolat
50
428
4
3
716
5
2
1019
5
2
3
Isolat
70
509
5
2
532
5
2
755
5
1
4
Kontrol
30
172
5
3
270
5
3
389
5
3
5
Kontrol
50
268
5
3
319
5
2
779
5
3
6
Kontrol
70
332
4
3
295
4
3
744
5
2
Berdasarkan hasil pengamatan ternyata jarak antar lubang inokulasi dan waktu berpengaruh terhadap hasil uji coba teknik isolasi jamur pembentuk gaharu.
Dari Tabel
4. di atas diketahui bahwa jarak antar lubang 70 cm (terpanjang) baik isolate maupun control pada bulan ke enam memiliki skor bau 1 dan 2.
Sedangkan untuk warna pembentukan gaharu,
baik
jarak antar lubang inokulasi maupun waktu kurang berpengaruh.
7.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai ekonomis �nggi dan merupakan sumber pendapatan yang menjanjikan bagi masyarakat. Telah diupayakan proses budidaya untuk mengurangi adany a ilegal logging akibat adanya perburuan gaharu alam, salah satunya dengan metode inokulasi. Di Indonesia sendiri teknologi inokulasi untuk menghasilkan gaharu telah banyak dikembangkan. Teknologi inokulasi tersebut �dak lepas dari adanya peran isolat fungi pembentuk gaharu.
DAFTAR PUSTAKA
CITES. 2004. Conven�on on Interna�onal Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Gyrinops. pdf.
Departemen Kehutanan. 2003. Teknik Budidaya Gaharu. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Dwidjoseputro, D. 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi
. Djambatan. Malang.
Mogea, J.P. dkk. 2001. Tumbuhan langka Indonesia. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor.
Mulyaningsih T. dan Isamu Y. 2007. Notes on Some Species of Agarwood in Nusa Tenggara, Celebes and West Papua
h�p://sulawesi.cseas.kyotou.ac.jp/final_ reports2007/ar�cle/43-tri.pdf.
Sasmuko, S. A., Y. M. M. A. Nugraheni, A. Setyayudi. 2011. Eksplorasi dan Isolasi Jamur Pembentuk Gaharu di NTB. Laporan Hasil Peneli�an. Balai Peneli�an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram. NTB.
Sutedjo, M. 1996. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
65
Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Penebar Swadaya. Bogor.
_________. 2007. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Penebar Swadaya. Jakarta.
Turjaman, M. dkk. 2009. Overview Pengembangan Gaharu ITTO PD425/06 REV.1 (1). Makalah
Seminar Nasional Gaharu pada tanggal 12 November 2009.
Bogor.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
66
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
67
PEMBUATAN FILLER SECARA SEDERHANA
UNTUK BAHAN FINISHING KAYU YANG MURAH
Darta
Pusat Peneli�an dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor
I.
PENDAHULUAN
Finishing kayu adalah suatu kegiatan melapisi permukaan kayu dengan tujuan peningkatan nilai keindahan dan perlindungan
(terhadap kondisi cuaca, benturan/gesekan, dan
jamur).
Produk kayu
yang akan diletakkan di lingkungan terbuka (eksterior) perlu dilindungi dengan bahan finishing
agar tahan lebih lama. Sedangkan untuk pemakaian di interior, keindahan lebih diutamakan sehingga bahan finishing
yang dapat mengekspos tampilan serat kayu menjadi pilihan yang lebih tepat ( Sunaryo, 1997).
Wood filler
adalah lapisan awal dari finishing
kayu yang berfungsi untuk menutup pori-pori kayu. Bahan ini digunakan sebelum proses sanding (pemberian warna dasar). Filler yang biasa beredar di masyarakat adalah yang menggunakan bahan pelarut spritus, �ner, dan metanol. Penggunaan bahan pelarut tersebut selain mahal juga berdampak terhadap kesehatan jika �dak dilakukan secara ha�-ha�. Sehubungan dengan itu, tulisan ini akan menyajikan hasil uji coba pembuatan filler
dari bahan yang murah dan mudah diperoleh. Sebagai bahan pelarut
digunakan air.
II. BAHAN DAN METODE
Bahan untuk pembuatan filler dalam peneli�an ini menggunakan PollyVinyl Acetat (PVAC), oker tepung dari gamping, air murni, boraks boriks. Apabila filler mau berfungsi sebagai
bahan pengawet maka dalam pembuatan larutan filler dapat ditambahkan dengan bahan pengawet larut air. Alat yang digunakan antara lain: �mbangan, pengaduk (mixer), gelas ukur, wadah pengaduk plas�k (1000 ml), botol plas�k, kuas, dan ampelas nomor 100 dan 400
(Gambar 1).
1 2 3 4
Gambar 1.
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan fil ler, 1 (mikser), 2 (�mbangan),
3 (gelas ukur) dan 4 (oker)
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
68
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Membuat Kemasan
Kegiatan diawali dengan menimbang 1 ons pollyvinyl acetat
(PVAC)
dan tambahkan 5 ons tepung oker secara perlahan-lahan (atau dengan perbandingan 1 : 5). Untuk penentuan warna filler disesuaikan dengan selera pemakai. Bahan-bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam ember dan dicampurkan dengan 1.000 ml air murni serta 5% boraks boriks sebagai bahan pengawet. Untuk mendapatkan filler yang baik, bahan tersebut diaduk dengan menggunakan mikser selama ±5 menit hingga merata (Gambar 2).
Untuk mengetahui apakah filler yang dihasilkan sudah siap pakai atau belum, dapat dilihat dari homogenitas campuran yang sudah dihasilkan tersebut. Setelah campuran filler tersebut teraduk secara merata bahan filler tersebut dapat dicobakan kepada kayu yang akan di finishing.
Gambar 2. Proses pembuatan filler dan kemasan filer yang sudah jadi
B.
Cara Pelaburanan Filler Untuk menghasilkan permukaan kayu yang halus dan pori kayu menjadi tertutup,
penggunaan larutan filler dilabur secara berulang dan merata, ar�nya apabila pelaburan filler tahap pertama sudah dilakukan dan keadaan sudah kering dilanjutkan
dengan pelaburan kedua dan seterusnya sampai mendapatkan permukaan kayu kelihatan tertutup larutan filler dan merata, pengulangan filler bisa dilakukan hingga 5 kali laburan
(Gambar 3). Kayu yang sudah dilabur filler didiamkan ±1 jam sampai permukaan kayu mengering untuk keadaan cuaca panas, apabila keadaan permukaan kayu sudah kering maka dapat dilakukan proses selanjutnya.
Gambar 3.
Aplikasi filler pada contoh produk kayu
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
69
C.
Finishing
Kayu yang sudah dilabur dengan filler pas�kan dalam keadaan kering, maka untuk proses selanjutnya yaitu melakukan pengamplasan permukaan kayu yaitu untuk mendapatkan permukaan kayu yang halus dan pori kayu sudah tertutup filler secara merata, sebelum dilakukan proses lebih lanjut. Filler yang dihasilkan dipakai dalam percobaan sebagai bahan dasar finishing pada meubeler yaitu meja, lemari, dan pintu. seper� terlihat pada Gambar 4. Hasil pemakaian filler dari ke�ga jenis produk tersebut setelah diamplas menunjukkan hasil permukaan kayu yang halus dan pori-pori kayu telah tertutup secara merata. Hasil ini dapat diteruskan kepada proses finishing selanjutnya.
Gambar 4. Contoh produk jadi aplikasi filler
D.
Keuntungan dan Kerugian
1.
Keuntungan: -
Kayu limbah dan bertekstur murah atau berkualitas murah bisa dima nfaatkan
-
Bahan dan alat terjangkau dan murah sederhana
-
Tidak perlu modal �nggi
-
Ramah lingkungan
-
Tidak mengandung kimia berbahaya �nggi
-
Resiko kegagalan rendah
-
Bisa dilakukan manual
-
Tahan lama pada kemasan sederhana yang pen�ng tertutup.
2.
Kelemahan:
-
Lambat mengering karena pelarut yang dipakai air
-
Waktu yang diperlukan untuk mengering cukup lama yaitu sampai 60 menit (Panas matahari) dapat dilanjutkan tahapan kefinishing selanjutnya
-
Bila pemileran dilakukan pada saat kondisi lembab/hujan, untuk mencapai
kering bisa mencapai 12 Jam, berbeda dengan sifat cat minyak yang dapat menutup seluruh permukaan produk kayu yang mudah kering sehingga dapat dilanjutkan kefinishing selanjutnya.
-
Penggunaan filler ini cenderung ke produk interior yang memakai bahan baku kayu berkwalitas rendah dan harga kayu murah, seper�
kayu yang sudah diserang blue
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
70
steen, kayu bekas jamuran, kayu bersifat blok tetapi corak kayu masih dapat ditampilkan.
-
Filler ini hanya Khusus
untuk produk kayu, bersifat menutup pori-pori yang akan di finishing seper�: kursi, meja, lemari dll yang biasa lazim disebut juga filler cair.
IV.
PENUTUP
Filler yang digunakan untuk bahan finishing
dapat dibuat secara sederhana dengan harga yang dapat terjangkau, namun hasil yang diperoleh cukup baik. Bahan
filler tersebut menggunakan pelarut air dengan pemakaian pada mebel secara mudah dan �dak membahayakan kesehatan. Hasil pemakaian filer terhadap meubelair
menunjukan hasil yang baik, baik itu kesan raba, penutupan tektur serat kayu, pelunturan dan pembor osan pemakaian bahan, serta ramah lingkungan. Namun ada satu kekurangan yaitu lambat kering mengingat bahan pelarut yang dipakai adalah air.
DAFTAR BACAAN
Agus Sunaryo. ( 1997).
Reka Oles Mebel Kayu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
71
HUBUNGAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2014
TENTANG OTONOMI DAERAH
TERHADAP KEWENANGAN PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG
M. Fajri
dan M.Andriansyah
Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa
I.
PENDAHULUAN
Pada tahun 2014 telah terbit
undang-undang tentang otonomi daerah yang berisi tentang hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepen�ngan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diterbitkannya
UU no 23 tahun 2014 ini bertujuan untuk memperbaiki sistem otonomi daerah yang sudah berlaku sebelumnya.
Pemberan otonomi daerah
oleh pemerintah pusat dimaksudkan adalah agar daerah mempunyai
kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah
tersebut
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang -undangan (pasal 1 huruf (h) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepen�ngan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Pada hakekatnya, otonomi merupakan wujud nyata desentralisasi. Dalam bahasa yang sederhana otonomi adalah suatu keadaan yang �dak tergantung pada siapapun. Dalam bahasa yang lebih poli�s, dalam konteks hubungan pusat daerah, otonomi merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh daerah untuk mengatur sistem administrasi birokrasi, keuangan, kebijakan publik, sumberdaya alamnya, dan hal-hal lain dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan dan disepaka� bersama.
Salah satu yang menjadi kewenangan otonomi daerah adalah pemerintah daerah berwenang dalam mengelola kawasan hutan
lindung. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan lindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah (Keppres no 32 tahun 1990). Oleh sebab itu Dengan terbitnya UU no 23 tahun 2014 ini penulis ingin mencoba menganalisa perubahan apa saja yang ada pada UU no 23 tahun 2014 ini terhadap pengelolaan sumberdaya alam terutama pengelolaan kawasan hutan lindung. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah mengkaji tentang pengelolaan kawasan hutan lindung sebelum dan sesudah terbitnya undang-undang
no23
tahun 2014 tentang otonomi daerah.
II.
PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG
A.
Sejarah perkembangan otonomi daerah
Otonomi daerah sudah berjalan hampir lima belas
tahun, sejak keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, direvisi lagi oleh UU no 12 tahun 2008
dan terakhir UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Tapi, dalam kurun waktu berlakunya UU No.
22 tahun 1999 sampai dengan UU No.
12 tahun 2008 tersebut
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
72
ternyata dinilai belum berjalan secara
efek�f. Sejak UU Nomor 22 tahun 1999 disahkan, �dak ada hubungan hirarki yang jelas antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota. Setelah itu, dari tahun 1999 hingga kemudian terbit UU No.
12
tahun 2008
tentang Pemda, kondisi �dak banyak berubah. Bahkan,
kedudukan Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah daerah juga �dak tegas diatur. Di sini Gubernur diberi kewenangan melakuka n pengawasan dan pembinaan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tapi aturan ini hanya semu, dan �dak pula memuat sanksi tegas bagi Kabupaten dan Kota yang melanggar aturan. Paling Gubernur cuma sebatas menegur Bupa� atau Walikota yang melanggar, kalau diindahkan ya bagus, kalau �dak ya jalan terus.
Konstruksi yuridis
UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004 dan UU No.
12 tahun 2008, hanya menggeser pusat
kekuasaan dari elit poli�k pusat kepada elit poli�k daerah sebagai bentuk akomodasi poli�k kekuasaan terhadap usaha memisahkan diri dari NKRI yang sebagiannya dikomandani oleh elit poli�k daerah, sementara konstruksi yang mampu menciptakan tatanan yang cheks and balance antara masyarakat dan pemerintahan daerah dilupakan oleh UU ini. Dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa kita sebut telah ada desentralisasi namun dalam hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat tetap mempertahankan “sentralisasi”. Padahal sentralisasi dengan beragam bentuknya terbuk� telah menyengsarakan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60 tahun, namun nampaknya kita �dak mau belajar dari pengalaman masa lalu dan ingin masuk pada jurang yang
sama.
B.
Kawasan hutan lindung
Menurut UU No. 5 tahun 1967 dalam pasal 3 ayat 1, berbunyi bahwa yang dimaksud Hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata-air, pencegahan bencana banjir dan erosi ser ta pemeliharaan kesuburan tanah. Sedangkan menurut UU No. 41 tahun 1999 pasal 1 ayat 8, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengend alikan erosi, mencegah intrusi
air laut dan
memelihara kesuburan tanah. Apabila hutan lindung di ganggu, maka hutan tersebut akan kehilangan fungsinya sebagai pelindung, bahkan akan menimbulkan bencana alam, seper� banjir, erosi, maupun tanah longsor.
III. PEMBAHASAN
A.
Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
sebelum terbitnya UU No.
23 Tahun 2014
Sebelum terbitnya UU No.
23 tahun 2014 yang menggan�kan UU No.
32 tahun 2004 tentang otonomi daerah
maka pengelolaan kawasan hutan lindung sudah diatur di
dalam aturan sebagai berikut:
1.
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 maupun PP No. 25 Tahun 2000 menegaskan “Kewenangan Daerah Atas Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. Pada
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Pasal 10 dapat disimpulkan, bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggungjawab untuk memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Keputusan Presiden RI No.
32/1990 tentang “Pengelolaan Kawasan Lindung” dapat disimpulkan bahwa untuk pemahaman fungsi dan manfaat kawasan lindung perlu diupayakan kesadaran masyarakat akan tanggungjawabnya dalam pengelolaan kawasan
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
73
lindung, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemda Provinsi yang mengumumkan kawasan-kawasan tertentu sebagai kawasan lindung.
3.
Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 25/2000 dapat disimpulkan
pula, bahwa untuk pengelolaan Kawasan Hutan Lindung yang terletak di Pemerintahan Kabupaten/
Kotamadya, Pemda Kabupaten atau Kotamadya dapat segera membuat Perda ataupun untuk sementara SK
Kepala Daerah.
Dari beberapa uraian tentang aspek hukum pengelolaan suatu kawasan lindung terlihat bahwa pada dasarnya pengelolaan hutan lindung berada di tangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten. Akan tetapi dalam kaitannya dengan otonomi, PP No. 25 Tah un 2000 �dak tercantum adanya kewenangan pengelolaan hutan lindung pada Pemerintah Provinsi, maka pengelolaan hutan lindung berada ditangan Pemerintah Kabupaten/Kota akan tetapi kewenangan tersebut baru efek�f apabila pemerintah daerah propinsi, kabupate n maupun kotamadya telah membuat landasan hukumnya. Selain itu di dalam PP No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan
di bidang kehutanan kepada daerah, dimana hutan Lindung diserahkan kepada daerah maka dalam rangka otonomi daerah p erlu ditetapkan dengan peraturan daerah.
B.
Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung setelah terbitnya UU No.
23 Tahun 2014
Sebelum kita membahas mengenai pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan siapa yang berhak mengelola
Kawasan Hutan Lindung,
apakah Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi atau
Pemerintah Kota/Kabupaten, maka kita bisa bahas dulu pasal-pasal UU No.
23 tahun 2014 dimulai dari:
1. BAB IV URUSAN PEMERINTAHAN, Bagian Kesatu, mengenai Klasifikasi Urusan Pemerintahan, yaitu: a. Pasal 9 yang berbunyi: (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum; (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota; (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah; (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Dari pasal 9 di
atas dapat dijelaskan bahwa urusan pemerintahan ada 3 yaitu
1). urusan pemerintahan absolut yang dikelola oleh pemerintah pusat (pasal 10 ayat 1, UU no 23 tahun 2014), 2). Urusan pemerintahan konkuren (pasal 11 dan 12 UU no 23 tahun 2014),
3).Urusan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan Presiden.
b.
Pasal 13 yang berbunyi (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepen�ngan strategis nasional;
(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah; provinsi atau lintas negara; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah; provinsi atau lintas negara; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak nega�fnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepen�ngan nasional. (3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
74
ayat (1) kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi adalah: a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota; b. Urusan
pemerintahan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota; c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak
nega�fnya lintas daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah provinsi. (4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota adalah: a. Urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota; b. Urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah
kabupaten/kota; c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau
dampak nega�fnya hanya dalam daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah
kabupaten/kota.
c. Pasal 14 yang berbunyi (1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi;
(2) Urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kab upaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota; (3) Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan pemerintah pusat;
(4) Urusan pemerintahan
bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. (5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Penentuan daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. (7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaima na dimaksud pada ayat (6) kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari daerah yang berbatasan.
d.
Pasal 15 yang berbunyi (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah pusat
dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang �dak terpisahkan dari Undang-Undang ini;
(2) Urusan pemerintahan konkuren yang �dak tercantum dalam lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan �ap �ngkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan
presiden;
(4) Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang �dak berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada �ngkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah;
5) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang �dak bertentangan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
e.
Pasal 16 yang berbunyi (1) pemerintah pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk: a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteri a dalam rangka penyelenggaraan
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
75
urusan pemerintahan; dan b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah;
(2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan yang menjadi kewenangan daerah.
(3) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian; (4) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah non
kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dikoordinasikan dengan kementerian terka it; (5) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.
f.
Pasal 17 berbunyi (1) Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; (2) Daerah dalam menetapkan kebijakan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat; (3) Dalam hal kebijakan daerah yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah �dak mempedomani norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dima ksud pada ayat (2), Pemerintah pusat membatalkan kebijakan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (4) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (5) pemerintah pusat belum menetapkan norma, standar, prosedu r, dan kriter ia, penyelenggara pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Dari penjelasan bab III mengenai urusan pemerintahan dari pasal 9 sampai dengan pasal 17 dalam hubungannya dengan kewenangan pengelolaan kawasan lindung sebagai berikut:
1.
Dari pasal 9 diatas dapat dijelaskan bahwa urusan pemerintahan ada 3 yaitu 1). urusan pemerintahan absolut yang dikelola oleh pemerintah pusat (pasal 10 ayat 1, UU no 23 tahun 2014), 2). Urusan pemerintahan konkuren (pasal 11 dan 12 UU no
23 tahun 2014); 3) urusan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan presiden.
2.
Pasal 13 menjelaskan bahwa pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat(3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepen�ngan strategis nasional;
3.
Pasal 14 menjelaskan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi sedangkan urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kab upaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota, ini berar� pengelolaan kawasan
hutan lindung sekarang di bawah kewenangan propinsi sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 1.
4.
Pasal 15 yang berbunyi (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang �dak terpisahkan dari Undang-
Undang ini. Pada Tabel 1, bisa dilihat bahwa pengelolaan hutan lindung menjadi kewenangan pemerintah propinsi, kecuali kawasan taman hutan raya menjadi kewenangan oleh pemerintah kabupaten dalam pengelolaannya.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
76
5.
Pemerintah propinsi dalam mengeluarkan aturan yang mengatur pengelolaan kawasan hutan lindung harus berkoordinasi dengan kementerian terkait serta berpatokan dengan norma, standar, prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah pusat (pasal 16 (a yat 4) dan pasal 17 ayat 1, 2, 3,) dan apabila 2 tahun setelah UU ini terbit, pemerintah pusat belum mengeluarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, maka pemerintah daerah hanya melaksanakan kewenangannya
saja (pasal 17 ayat 4).
IV.
PENUTUP
Dari uraian dalam tulisan ini, maka dapatlah diberikan kesimpulan demi menjawab permasalahan, yaitu:
1.
UU no 23 tahun 2014 tentang otonomi daerah telah memberikan wewenang kepada pemerintah propinsi untuk mengelola kawasan hutan lindung.
2. Terbitnya UU no 23 tahun 2014 telah memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah propinsi secara proporsional untuk mengembangkan potensi yang ada dalam proses pengelolaan hutan lindung dan tetap berkoordinasi dengan kementerian terkait serta berpatokan dengan norma, standar, prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah pusat.
3.
Pelaksanaan kebijakan mengenai sumber daya alam, Khususnya kawasan hutan lindung di daerah
merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sejalan dalam rangka
implementasi otonomi daerah, berbagai kebijakan dan program yang telah dilakukan bertujuan dalam rangka peningkatan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan .
B. Saran-saran Diharapkan kepada pemerintah daerah se�ap mengeluarkan kebijakan yang berkaitan
dengan proses pembangunan daerahnya berkoordinasi dengan kementerian terkait serta berpatokan dengan norma, standar, prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah pusat dengan
tetap memperha�kan aspek pengelolaan lingkungan hidup dan melibatkan peran serta masyarakat untuk ak�f dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga secara dini dapat dian�sipasi munculnya permasalahan dan resiko lingkungan yang nega�f.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1967. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Setneg. Jakarta.
Anonim. 1990. Undang-
undang no. 5 tahun 1990 tentang: konservasi sumberdaya alam haya� dan ekosistemnya. Setneg. Jakarta.
Anonim. 1990. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang: Pengelolaan Kawasan Lindung. Setneg. Jakarta.
Anonim. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah Presiden Republik Indonesia. Setneg. Jakarta.
Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
77
Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Setneg. Jakarta.
Anonim. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Setneg, Jakarta.
Anonim. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta .
Anonim. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta.
Anonim. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman Wisata Alam. Setneg. Jakarta.
Anonim. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
78
Lampiran
1.
Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Pemerintah Pusat dan
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
Tabel 1.
Pembagian kewenangan pengelolaan di bidang kehutanan
No.
Sub urusan
Pemerintah pusat
Pemerintah propinsi
Pemkab/pemkot
Pengelolaan hutan
a.
Penyelenggaraan tata hutan
b.
Penyelenggaraan rencana pengelolaan hutan
c.
Penyelenggaraan
pemanfa-atan hutan dan pengguna-an kawasan hutan
d.
Penyelenggaraan
rehabili-tasi dan reklamasi hutan
e.
Penyelenggaraan
perlin-dungan hutan
f.
Penyelenggaraan
pengolah-an dan
penatausahaan hasil hutan
g.
Penyelenggaraan pengelo-laan kawasan hutan dengan tujuan Khusus
(KHDTK)
a.
Pelaksanaan tata hutan kesatuan penge-lolaan hutan kecuali pada
kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK)
b.
Pelaksanaan rencana pengelolaan kesa-tuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK)
c.
Pelaksanaan pemanfaatan hutan di ka-wasan hutan produksi dan hutan lin-dung, melipu�: 1) Pemanfaatan kawa-san hutan; 2) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; 3) Pemungutan hasil hutan; 4) Pemanfaatan jasa lingkungan kecuali
pemanfaatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon
d.
Pelaksanaan rehabilitasi diluar kawasan hutan negara
e.
Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung, dan hutan produksi
f.
Pelaksanaan pengolahan hasil hutan bukan kayu
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
79
Adopsi Lebah Apis cerana
Solusi Peningkatan Kualitas Hidup Pegawai Litbang
Hendra Sanjaya
dan Aam Hasanudin
Balai Peneli�an Kehutanan Aek Nauli
I.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara tropis merupakan tempat yang sangat baik dalam budidaya lebah madu, karena variasi jenis tumbuhan yang sangat �nggi dapat memenuhi kebutuhan sumber pakan sepanjang tahun, sehingga jika madu merupakan salah satu komoditas unggulan sebagai pengembangan usaha sangat dimungkinkan. Variasi sumberdaya pakan yang �nggi juga sangat mempengaruhi variasi produk madu cair yang dihasilkan seper� halnya, warna, aroma, rasa yang khas berbeda sesuai dengan dominan pakan sumber nektar yang dihisap oleh lebah itu sendiri (Hasanudin,
2010). Hal ini berbeda dengan negara luar tropis dimana produksi madu sangat dipengaruhi oleh musim tersebut karena �dak adanya sumber pakan madu akibat perubahan 4 musim yang terjadi.
Madu adalah cairan manis hasil proses campuran bahan kimia tertentu dengan nectar bunga yang telah dihisap oleh lebah yang selanjutnya dimasukkan kedalam tabung kantung madu ditubuh lebah, kemudian selanjutnya setelah sampai disarangnya zat campuran tersebut dimasukkan kedalam sel heksagonal dan dimasak menjadi madu (Walji, 2001). Madu telah dikonsumsi sejak zaman dahulu, baik sebagai minuman kesehatan, fungsi obat-obatan tradisional, hingga saat ini variasi pengolahan bahan baku madu dan produksi ikutannya banyak digunakan dalam industri farmasi, industri minuman kesehatan, kecan�kan dan lain sebagainya, sementara �ngginya �ngkat kebutuhan global akan madu sebagai bahan baku �dak berbanding lurus dengan produksi yang dihasilkan secara nasional.
Novandra, Widnyana, 2013, menyatakan bahwa pada tahun 2012 Indonesia mengalami defisit perdagangan madu yang sangat besar, dengan jumlah total pendu duk sekitar 250 juta jiwa dan asumsi konsumsi madu perkapita hanya 30gr/tahun, kebutuhan madu domes�k membutuhkan madu sebesar 7.500 ton pertahun, sementara data Kementerian Kehutanan tahun 2010, produksi madu kita pada tahun 2009 hanya 1.932 ton saja. Pr oduksi ini juga disuplai sebesar 70% dari produksi hasil madu liar alam (kuntadi, 2008) atau hanya 30% dari hasil budidaya, sementara potensi sumberdaya yang sangat �nggi �dak dimanfaatkan sebagai peluang domes�k meningkatkan produksi madu hasil budidaya.
Budidaya lebah madu merupakan jawaban yang tepat dalam memenuhi kebutuhan
tersebut, banyak hal yang telah dilakukan baik dari sisi peneli�an hingga kepada pengembangannya, baik dengan pengadaan diklat-diklat oleh ins�tusi terkait, gelar teknologi dan
bentuk lainnya, akan tetapi secara hasil ini belum op�mal mampu meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk serius dalam mengembangkan madu budidaya ini. Banyak hal yang menjadi kendala pengembangan budidaya lebah madu ini baik modal, pengetahuan, tempat dan pemasarannya, sementara rendahnya konsumsi masyarakat juga disebabkan oleh pasaran umum harga madu dengan �ngkat kepercayaan asli
mendapa� posisi harga yang sangat mahal.
Menyadari hal tersebut diatas dimana madu sangat dibutuhkan oleh se�ap strata kebutuhan, penulis menawarkan konsep adopsi lebah dalam sekala kecil dan sebagai demplot uji coba adalah masing-masing satker litbang dimana peserta adopsinya adalah pegawai litbang itu sendiri. Tulisan ini bertujuan mendapatkan solusi peningkatan kualitas
hidup pegawai
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
80
litbang dari hasil litbang itu sendiri, sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah adopsi lebah merupakan salah satu konsep tepat dan dapat diterapkan di lingkungan litbang.
II.
SEBUAH BUDIDAYA DAN PROYEKSI HASIL
A.
Sekilas Lebah Apis cerana
Lebah lokal ini memiliki daya adaptasi yang �nggi dengan kualitas hasil madu yang baik pula, merupakan lebah lokal asli Asia menyebar mulai dari Afganistan, Cina, Jepang termasuk Indonesia. Habitat jenis ini di alam sangat varia�f menyesuaikan dengan kondisi alam sekelilingnya, sering ditemukan pada batang pohon berlubang, di pemukiman sangat suka bersarang didalam atap rumah, bawah kolong rumah atau pada habitat buatan “glodog” merupakan batang kelapa yang dibuat sebagai sarang. Di Kabupaten Simalungun-
Sumatera Utara pada beberapa daerah perladangan dan pemukiman desa terkecuali daerah kebun teh dan kebun sawit,
jenis A.
cerana ini ditemukan bersarang pada rongga �ang listrik beton PLN. (Hasanudin,
2012).
B.
Budidaya
Sejarah mencatat bahwa kegiatan budidaya
lebah madu Khususnya jenis A.cerana
ini telah dilakukan oleh Dr.
D.
Horst di Indonesia sejak tahun 1884, kemudian Mr.
M Kutsche di
Nongkojajar telah membangun pusat percontohan ternak modern lebah lokal A.cerana, seterusnya berkembang dan pada tahun 1973, oleh Pusat Perlebahan Pramuka dibuka Pela�han Perlebahan Nasional (Apiari, 2002).
Suhu ideal yang cocok bagi lebah adalah sekitar 26o C, pada suhu ini lebah dapat berak�fitas normal walaupun pada suhu di atas 10o C lebah juga masih mampu berak�fitas dan syarat utama keberhasilan budidaya adalah pasokan sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun dan ini tentu saja mampu disuplai dari keberadaan hutan kita yang luas dan produksi pertanian yang terus meningkat.
Kesederhanaan, teknologi tepat guna, biaya rendah serta �ngkat keberhasilan yang �nggi dalam budidaya ini memudahkan dalam pengembangan dan manajemen pengelolaannya, perilaku budidaya lebah pada jenis ini selain peralatan standar pekerja berupa masker topi dan baju lebah, alat panen, dan untuk pengelolaan lebah berupa glodog serta stub/kotak dengan frim didalamnya yang telah dipenuhi oleh koloni lengkap dengan ratu didalamnya, mampu berproduksi ak�f pada musim panas dan menurun pada musim penghujan sepanjang tahun serta dapat dipecah koloni dalam
1 tahun sekali, merupakan modal utama keberhasilan budidaya dan konsep adopsi lebah.
C.
Produksi Madu Global
Indonesia mempunyai keunggulan kompara�f dari negara lain dengan potensi sumberdaya alam yang sangat luas dan dapat dijadikan sebagai modal dasar ji ka dikembangkan melalui pembangunan ekonomi sehingga dapat menjadi keunggulan bersaing yang bisa menjadi pendorong bagi pertumbuhan perekonomian nasional secara umum (Novandra
dan Widnyana, 2013).
Salah
satu sumberdaya tersebut adalah madu.
Kebutuhan madu
dunia mencapai angka 15.000 ton per
tahun, dan angka itu masih sangat jauh walaupun Indonesia mampu memproduksi dari para petani sebesar 5000 ton per tahun yang merupakan para petani jaringan madu hutan Indonesia.
Buwono,
2014, menyatakan bahwa pemerintah dalam upayanya melalui Kementerian Kehutanan akan membangun daerah percontohan pengembangan madu dalam negeri
untuk meningkatkan daya dukung madu hutan Indonesia yang pada tahun 2014 memilih Provinsi
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
81
Nusa Tenggara Barat sebagai daerah pengembangan madu tersebut, walaupun jenis yang banyak dikembangkan pada wilayah ini adalah jenis Apis dorsata
yang hanya mengandalkan dari kelangsungan hidup pada wilayah berhutan saja.
Madu Budidaya yang menempa� posisi 30% dari produksi dalam negeri saat ini mutlak perlu di�ngkatkan, karena secara kualitas madu Indonesia sangat baik dan mampu bersaing di pasar global. Sehingga perkiraan potensi berdasarkan perhitungan potensi oleh Madu pramuka sebagai salah satu negara penghasil madu terbesar dunia sebesar 2,5 juta ton dapat tercapai dan menjadi peluang yang cukup besar bagi pemasukan negara.
D.
Konsep Adopsi Lebah
Konsep adopsi lebah A.cerana ini menggunakan analogi sederhana dengan manajemen pengelolaan �m kerja pengelolaan dan peserta adopsi dimana asumsi lebah adopsi adalah lebah koloni utuh pada 1 stub/kotak dengan lima frime/bingkai dan �m pengelola tenaga ahli dan �m pemelihara lebah. Sistem bagi hasil yang ditawarkan adalah 50% hasil untuk pengadopsi, 30% hasil untuk pengelola dan 20% hasil untuk pemeliharaan dan pemecahan koloni.
Ilustrasi konsep adopsi dapat dilihat di
bawah ini.
1.
Modal awal/tetap perlengkapan standar
-
Masker baju
Rp
200.000
-
Masker topi
Rp
200.000
- Smoker Rp
200.000
- Ekstraktor fiber Rp
900.000
Total
Rp
1.500.000
2.
Modal adopsi dan proyeksi hasil
Modal Stub Adopsi produk�f: Rp.500.000/stub, sedangkan proyeksi hasil budidaya dapat dilihat pada Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1.
Proyeksi hasil budidaya
Hasil madu
Harga jual
pasar /kg
Bln
op�mal
Jumlah Hasil
Proyeksi Bagi hasil (Rp)
a (min)
B (maks)
a (Rp)
B (Rp)
30%
20%
50%
a
B
a
b
a
b
0,5
1,5
65.000
10
325.000
75.000
97.500
292.500
65.000
95.000
162.500
487.500
Harga 1 stub/kotak lebah A.cerana produk�f
sebesar Rp. 500.000,-, dimana dengan sumber daya cukup dan kondisi lebah prima dengan memper�mbangkan musim penghujan sehingga diperoleh sebanyak 10 bulan panen dengan rata-rata hasil madu antara 0,5-1,5 kg/kotak, maka hasil ini setara dengan Rp 325.000-
Rp 975.000,-
/tahun. Berdasarkan metode bagi hasil untuk pengelola, koloni dan pengadopsi maka rata -rata hasil sebesar 30% (Rp. 97.500-Rp.292.500), 20% (Rp 65.000-Rp 195.000) dan 50% (Rp 162.500-Rp 487.500) dalam se�ap kotaknya.
Angka 20% untuk pemeliharaan koloni lebah dimanfaatkan untuk pengembangan koloni, dimana dalam 1 tahun koloni yang sehat dapat memecah dari satu koloni menjadi dua koloni. Kebutuhan alat dalam pemecahan koloni ini adalah kotak lebah dengan bingkai
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
82
di
dalamnya, harga pasaran kotak saat ini adalah sebesar Rp200.000/kotak, sehingga melihat besaran nilai biaya pemeliharaan koloni maka selisih nilai rupiah dari harga pasaran kotak adalah menjadi tanggungjawab peserta adopsi lebah.
Berdasarkan hasil proyeksi diatas dengan mengabaikan modal awal/perlengkapan standar, maka peserta adopsi dan �m pengelola secara utuh baru dapat menikma� hasil pada tahun ke dua, karena masing-masing peserta telah memiliki 2 lebah adopsi dan selanjutnya tahun ke�ga akan terus berkelipatan menjadi mempunyai 4 lebah adopsi dan seterusnya.
Proyeksi adopsi lebah ini jika pesertanya adalah seluruh pegawai pada masing -masing satker litbang, sebagai ilustrasi seandainya Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Aek Nauli sebagai contoh dari pilot project adopsi lebah ini dengan jumlah pegawai (PNS dan Pegawai kontrak) sekitar 100 orang, maka dalam setahun produksi madu dari jenis A.cerana sebesar 50-150 kg /tahun pada tahun pertama dan pada tahun kedua berlaku kelipatan dan jika diilustrasikan pada tahun kelima hasil madu BPK Aek Nauli sebesar 800-2400/kg/tahun.
Asumsi jika pilot project ini dapat berhasil dilaksanakan oleh Badan Litbang Inovasi (BLI) dimana pesertanya adalah pegawai litbang dengan beberapa lokasi wilayah satker didaerah, dengan asumsi jumlah pegawai litbang sebesar 1.000 orang maka BLI sendiri mampu menghasilkan madu sebesar 500-1500 kg/tahun dan pada akhir renstra BLI mampu menghasilkan madu sebesar 8.000-24.000kg/tahun, sehingga produk ini bukan hanya menjadi salah satu andalan litbang juga mampu meningkatkan kualitas hidup pegawai litbang itu sendiri.
III. PENUTUP
Lebah A.
cerana
merupakan lebah lokal dengan adaptasi �nggi sehingga sangat potensial untuk dibudidayakan sebagai salah satu altena�f peningkatan kualitas hidup.
Strategi
peningkatan kualitas hidup pegawai salah satunya adalah dengan mengembangkan budidaya lebah A.
cerana sebagai penghasil madu dengan model adopsi lebah.Adopsi lebah selain bermanfaat kepada pegawai lingkup litbang juga dapat menunjang kebutuhan madu
nasional.
BP2LHK Aek Nauli sangat cocok dijadikan lokasi pilot project model adopsi lebah A.
cerana pada Badan Litbang Inovasi.
DAFTAR PUSTAKA
Apiari P, 2002. Lebah Madu, Cara Beternak dan Pemanfaatannya. Seri Agribisnis. Pusat Perlebahan Apiari Pramuka.
Buwono, A, 2014. Indonesia Mampu Hasilkan Madu 5000 Ton pertahun. beritadaerah.co.id, Member of Vibiz Media Network. 2014/10/17.
Hasanudin, A, 2010. Makalah Budidaya Lebah Madu Apis cerana.
Laporan Gelar Teknologi Gaharu dan Lebah Madu, Jhanto-Nangroe Aceh Darusalam 2010. Balai Peneli�an Kehutanan Aek Nauli.
Hasanudin, A, 2012. Perkembangan Jumlah Koloni Lebah Apis cerana Yang bersarang pada Tiang Listrik Beton pada Berbagai Penggunaan Lahan di Kecamatan Sidamanik-
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
83
Kabupaten Simalungun. Skripsi Progam Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Simalungun-Pematangsiantar.
Kuntadi, 2008. Perbandingan �ga cara uji untuk mengukur agresivitas koloni madu Apis cerana. Info Hutan Vol.V.No 4 Tahun 2008.
Novandra Alex, Widnyana I Made, 2013. Peluang Pasar Pr oduk Perlebahan Nasional. Alih Teknologi 2013. Balai Peneli�an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.
Walji H, 2001. Terapi Lebah, Daya Kekuatan dan Khasiat Lebah Madu, dan Serbuk Sari, Bergizi Bagi Kesehatan. Prestasi Pustaka Publisher.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
84
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
85
KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN BERKHASIAT OBAT
DI KHDTK SAMBOJA
Yusub Wibisono
Balai Peneli�an Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam
I.
PENDAHULUAN
Kawasan hutan hujan tropika merupakan lingkungan terkaya di bumi da lam ukuran ekosistem dan keanekaragaman haya� baik flora maupun fauna, dari total 250.000 spesies tumbuhan yang terdapat di bumi, sekitar 100.000 dari spesies tumbuhan terdapat di hutan tropika. Dari sekian banyak tumbuhan tersebut beberapa kelompok etnis
telah mengetahui khasiat dan memanfaatkan tumbuhan disekitarnya sebagai bahan obat-obatan. Beberapa kelompok etnis ini umumnya memiliki pengetahuan lokal serta tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan obat untuk mengoba� penyakit tertentu (Sangat
dkk, 2000).
Pada era seper� saat ini pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat atau herbal menjadi salah satu alterna�f bagi masyarakat untuk menjaga kesehatan dan mengoba� suatu penyakit, hal ini disebabkan karena penggunaan tumbuhan berkhasiat obat atau herbal di
samping
murah juga �dak menimbulkan efek samping dibandingkan menggunakan obat modern atau obat-obatan dari bahan kimia. Pramono (2002) dalam Zuraida dkk
(2009) melaporkan bahwa
diperkirakan 30.000 jenis tumbuhan ditemukan di dalam hutan tropika Indonesia,
1.260 jenis diantaranya berkhasiat sebagai obat. Meskipun demikian, baru sekitar 180 jenis yang telah digunakan untuk keperluan industri obat herbal dan jamu.
Sebagian besar tumbuhan berkhasiat obat digunakan oleh masyarakat yang bertempat �nggal di pedesaan terutama daerah yang belum terjangkau fasilitas kesehatan umum. Untuk kebutuhan sehari-hari biasanya masyarakat sering mengambil tumbuhan sebagai bahan baku obat langsung dari alam, sedangkan dipihak lain permintaan bahan baku obat dan jamu untuk kebutuhan industri terus meningkat, sehingga dikhawa�rkan akan mengancam ketersediaan dan kelestarian tumbuhan berkhasiat obat. Hal tersebut dapat terjadi apabila upaya pelestarian tumbuhan berkhasiat obat �dak dilakukan.
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) Samboja dengan luas 3.504 Ha adalah bagian dari Taman Hutan Raya Bukit Suharto yang mempunyai potensi keragaman biodiversitas hutan hujan (rain forest) yang cukup banyak. Berbagai jenis keragaman flora dan fauna asli Kalimantan masih dapat ditemukan di dalam kawasan ini. Beragamnya potensi flora tersebut merupakan salah satu kawasan yang berpotensi sebagai tumbuhan berkhasiat obat.
Saat ini informasi mengenai potensi dan manfaat tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja masih sangat kurang. Berkaitan dengan hal tersebut maka peneli�an ini perlu dilakukan untuk mengetahui potensi dan manfaat yang dimiliki. Hasil peneli�an ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar upaya pemanfaatan, pengembangan dan pelestarian tumbuhan berkhasiat obat di kawasan
ini.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
86
II.
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi dan Waktu
Peneli�an ini dilaksanakan di areal KHDTK Samboja. Secara administra�f pemerintahan, kawasan ini terletak di wilayah Kelurahan Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara
dan Desa Semoi,
Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara,
Kalimantan Timur. Peneli�an ini telah dilakukan pada bulan Mei -
September 2015.
B.
Kondisi Umum Lokasi Peneli�an
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) Samboja, ditunjuk sebagai kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.201/MENHUT-II/2004 tanggal 10 Juni 2004 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Seluas ± 3.504 (Tiga ribu lima ratus empat) Hektar pada Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
Samboja.
Jenis tanah pada lokasi KHDTK Samboja adalah Podsolik Merah Kuning (PMK), yang terbentuk dari perkembangan profil tanah dari batuan liat dan batu pasir. Fraksi pasir terdiri dari kuarsa dengan fragmen batuan kuarsit, konkresi besi dan mineral lapuk yang kandungan mineralnya sangat rendah.
KHDTK Samboja termasuk ke dalam iklim �pe A berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Suhu udara berkisar antara 26o-28oC dengan perbedaan suhu siang dan malam berkisar antara 5-7oC. Kelembapan rata-rata berkisar antara 63-89%. Rata-rata curah
hujan
tahunan berkisar 1.682-2.314 mm dengan jumlah hari hujan 72-154 hari. Ke�nggian KHDTK Samboja di wilayah Samboja antara 50-150 m dpl, sedangkan di wilayah Semoi ke�nggiannya adalah 40 - 140 m dpl (Atmoko, 2007).
C. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dengan cara
survey. Data yang dikumpulkan berupa: 1. Data primer, melipu� nama jenis tumbuhan (lokal, ilmiah), famili dan habitus dari tumbuhan
berkhasiat obat. Data primer dikumpulkan dengan cara pengamatan langsung dilapangan.
2. Data sekunder, melipu� manfaat dan bagian yang digunakan. Data sekunder dikumpulkan dengan cara studi pustaka.
Objek dari kegiatan ini adalah semua jenis tumbuhan berkhasiat obat yang berada di
KHDTK Samboja.
D.
Analisis Data
Analisis data dalam peneli�an ini menggunakan pendekatan deskrip�f kualita�f yaitu dengan mengelompokkan se�ap jenis tumbuhan obat ke dalam
suku, habitus, bagian yang digunakan, serta potensi khasiat yang dimiliki. Iden�fikasi se�ap jenis tumbuhan dilakukan di Herbarium Wanariset Samboja bagi se�ap jenis tumbuhan yang �dak teriden�fikasi di lapangan.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
87
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja
Dari hasil pengamatan terdapat 96 jenis tumbuhan yang telah teriden�fikasi berkhasiat sebagai tumbuhan obat. Untuk lebih jelasnya mengenai jenis, famili, habitus, bagian tumbuhan yang digunakan dan kegunaannya dapat dilihat pada Tabel
1 berikut.
Tabel 1.
Jenis Tumbuhan berkhasiat Obat di KHDTK Samboja
Nos
Jenis tumbuhan berkhasiat obat/nama
daerah
Famili
Habitus
Bagian yang
digunakan
Kegunaan
1
2
3
4
6
7
1.
Ageratum conyzoides
Linn./Bandotan
Asteraceae
Herba
Daun
Obat luka, diare, wasir
Akar
Penurun panas, disentri
2.
Aleurites moluccana
(L.) Willd./Kemiri
Euphorbiaceae
Pohon
Kulit batang
Malaria
3.
Alstonia iwahigensis
Elmer/Pulai
Apocynaceae
Pohon
Kulit batang
Diabetes, tekanan darah �nggi,
diare, malaria
4.
Anthocephalus cadamba
(Roxb.) Miq./Jabon
Rubiaceae
Pohon
Kulit batang
Obat kuat
5.
Allamanda cathar�ca
L./Bungo cino
Apocynaceae
Perdu
Pucuk
Batuk berdahak
6.
Alpinia galanga
Willd./Lengkuas Zingiberaceae
Herba
Umbi
Diabetes
Akar
Penyakit kulit
7.
Aquilaria microcarpa
Baill./Gaharu Thymelaeaceae
Pohon
Kulit dan kayu
Obat asma, penyakit ha�, tonikum
Daun penahan muntah 8. Archidendron jiringa
(Jack) I.C. Nielsen/ Jengkol
Fabaceae Pohon Akar Diabetes
9.
Areca catechu Linn./Pinang
Arecaceae
Pohon
Biji
Obat cacingan, luka, batuk, peluruh haid, pelangsing, peluruh air seni, pencahar, koreng, sakit gigi
Daun
Sakit pinggang, kudis, an�sep�c
10.
Arenga pinnata
(Wurmb.) Merr./Aren
Arecaceae
Pohon
akar
Obat batu ginjal, peluruh air seni, peluruh haid
Getah
Obat sariawan, pencahar, radang paru-paru, disentri, wasir
11.
Artocarpus elas�cus Reinw./Teureup
Moraceae
Pohon
Pucuk daun
Mimisan, sakit kepala, TBC
Getah
Disentri
12.
Asplenium nidus
Linn/Kadaka
Aspleniaceae
Paku
Daun
Penyubur rambut
13.
Bauhinia tomentosa
Linn./Daun kupu-kupu
Fabaceae
Liana
Daun
Demam, luka, diare
14.
Bhesa paniculata
Arn.
Celastraceae
Pohon
Kulit
Muntaber
Akar
Demam, sariawan
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
88
1
2
3
4
6
7
15.
Blenchnum orientale L./
Paku lencir
Blechnaceae
Paku
Umbi
Gatal-gatal (bengkak)
Daun
Bisul
16.
Callicarpa longifolia
Lam/Nasi-nasi
Lamiaceae
Perdu
Akar, batang
Gusi bengkak, malaria
Daun
Gusi bengkak, malaria, diare, demam, mencret
17.
Cananga odorata
(Lam.) Hook. F. & Thoms./
Kenanga
Annonaceae
Pohon
Bunga
Nyeri haid, malaria, asma, sesak nafas, bronchi�s
18.
Cayra�a
sp./Cawat palui
Vitaceae
Liana
Batang
Ginjal, sakit pinggang, pemulih stamina, impotensi, penguat kandungan
19.
Caryota mi�s Lour./
Sarai
Arecaceae
Pohon
Umbut batang
Rema�k
20.
Clidemia hirta
D.Don./ Harendong bulu
Melastomataceae
Perdu
Daun
Luka
21.
Cnes�s platantha
Griff./
Belimbing bikut
Connaraceae
Liana
Daun
Kontrasepsi, sari rapat
22.
Coscinium fenestratum
(Gaertn.) Colebr./Akar kuning
Menispermaceae
Liana
Akar
Sakit kuning, hepa��s, malaria
23.
Costus speciosus
(Koenig) Smith/Pacing Zingiberaceae
Herba
Batang
Penurun panas, mata, cacar, penyubur rambut, batuk, bengkak
Akar/rimpang
Spilis
24. Cratoxylum formosum
(Jack) Dyer/Mampat Hypericaceae Pohon Daun Sakit pinggang
Getah Sakit kulit 25. Cratoxylum
sumatranum (Jack) Blume./Limbutun
Hypericaceae Pohon Daun Pegal-pegal Pucuk Jerawat
26.
Curculigo la�folia Dryand./Lemba
Amarylindaceae
Herba
Buah
Menambah nafsu makan, peluruh air seni,
Akar
Kencing berdarah, demam
Daun
Bengkak, luka
27.
Dillenia excelsa
(Jack.) Gilg.
Dilleniaceae
Pohon
Kulit
Kutu air, malaria
Daun
Demam, sakit perut, bengkak
28.
Diplazium esculentum
Swartz/Paku sayur
Polypodiaceae
Paku
Daun
Menghilangan bau keringat
29.
Donax caniformis
(G.Forst) K.Schum./
Bamban
Maranthaceae
Herba
Daun
Obat bisul, bengkak, gigitan ular, mata,
Batang
Gigitan ular
30.
Dracontomelon dao
Merr. & Rolfe/
Singkuang
Anacardiaceae
Pohon
Batang
Mempermudah keluarnya ari-ari pada persalinan
31.
Drymoglossum pilosello-ides
(L.) Presl. Sisik naga
Polypodiaceae
Paku
Daun
Radang gusi, rema�k, sakit kuning, sariawan
32.
Dryobalanops lanceolata/Kapur
Dipterocarpaceae
Pohon
Getah
Sakit perut
33.
Duabanga moluccana
Blume/Binuang laki
Sonnera�aceae
Pohon
Kayu
Pasca melahirkan
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
89
1
2
3
4
6
7
34.
Durio zibethinus
Murr./Durian
Bombacaceae
Pohon
Akar
Demam
Kulit buah
Memperlancar BAB
35.
Dyera costulata (Miq.) Hook. F/Jelutung
Apocynaceae
Pohon
Getah
Disentri
36.
Endospermum diadenum
(Miq.)/Kayu raja
Euphorbiaceae
Pohon
Akar
Luka
Daun
Pencahar
Kulit batang
Busung air
37.
Erigeron sumatrensis
Retz./Jabung
Asteraceae
Perdu
Daun
Sakit kepala
Akal
Pegal linu
38.
Eupatorium inulifolium
Kunth.
Asteraceae
Perdu
Daun
Demam berdarah, sakit perut
39.
Eurycoma longifolia
Jack./Pasak bumi
Simarubaceae
Perdu
Akar
Diabetes, tekanan darah �nggi, rema�k
40.
Eusideroxylon zwageri
Teijsm & Binn./Ulin
Lauraceae
Pohon
Daun
Ginjal
Biji
Penyubur rambut
41.
Fagraea racemosa
Jack
ex Wall./Mengkudu
hutan
Loganiaceae
Pohon
Daun
Nyeri haid
42.
Fibraurea �nctoria
Lour./
Akar Kuning
Menispermaceae
Liana
Daun, akar
Sakit kuning, malaria
43.
Ficus benjamina
Linn./
Beringin
Moraceae
Pohon
Akar
Pilek, demam, rema�k
Daun
Influenza, batuk, disentri
44.
Ficus variegata
Blume/
Nyawai Moraceae
Pohon
Buah
Diare
45.
Flagellaria indica
Linn./ Selanak wowo
Flagellariaceae
Liana
Daun
Obat luka
Getah Obat sakit mata, kontrasepsi
Akar Obat kuat 46. Fordia splendidissima
(Blume ex miq.)/Kayu kayan
Fabaceae Perdu Akar Daun
Sakit sendi Luka
47.
Goniothalamus macrop-hyllus
(Blume) Hook.f. &
Thoms/Empalis
Annonaceae
Perdu
Biji
Sakit Kulit
48.
Hedyo�s diffusa
Willd./
Lidah �ong
Rubiaceae
Herba
Demam, peluruh air seni
49.
Helmintostachys zeylani-ca
Hook./Tunjuk langit
Ophioglossaceae
Herba
Seluruh bagian
Sakit kepala, lemah syahwat
Daun
Mimisan
Akar
Batuk, disentri
50.
Homalanthus populneus (Geiseler) Pax /Buta-buta lalat
Euphorbiaceae
Perdu
Daun
Sakit perut, demam
Bunga
Paru-paru, TBC
51
Hyp�s brevipes
Poit./
Daun pusar
Lamiaceae
Herba
Daun
Luka
52.
Imperata cylindrica
(Linn.) Beauv./Alang-alang
Poaceae
Herba
Akar
Peluruh air seni, penu-run panas, asma, mimis-an, kepu�han, tekanan darah �nggi, prostat, diare, kencing nanah, disentri, sakit pinggang, hepa��s, kanker, tumor
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
90
1
2
3
4
6
7
53.
Lansium domes�cum
Corr./Langsat
Meliaceae
Pohon
Buah
Peluruh air seni, mem-perlancar pencernaan
Kulit buah, biji
Diare, demam
Kulit batang
Disentri
54.
Lantana camara
L./
Tembelekan ayam
Verbenaceae
Perdu
Daun
Sakit perut, luka, kontrasepsi
55.
Leea indica
(Burm. F.) Merr./Mali-mali
Leeaceae
Perdu
Daun
Sakit kepala
56.
Lepisanthes amoena
(Hassk.) Leenh./Kayu kupu
Sapindaceae
Perdu
Daun
Shampo, sabun
57.
Ligodium circinatum
(Burm.f.) Sw./Litu
Schizaeaceae
Paku
Akar
Pasca melahirkan, sakit gigi
58.
Luvunga eleutherandra Dalz./Seluang belum
Rutaceae
Liana
Batang, akar
Stamina
59.
Macaranga bancana
Muell. Arg./Makaranga
Euphorbiaceae
Pohon
Akar
Sariawan
Daun, buah
Diare
60.
Macaranga gigantea
Muell. Arg./Merkubung
Euphorbiaceae
Pohon
Akar, kulit
Diare
61.
Macaranga hypoleuca
(Reichb.f.
& Zoll) Muell Agr./Amporan
Euphorbiaceae
Pohon
Daun, buah
Diare
62.
Macaranga tanarius (Linn.) Muell. Arg./ Mapu
Euphorbiaceae
Perdu
Kulit batang
Disentri, pasca lahiran
Akar
Demam
Daun
Luka
63. Mallotus paniculatus
(Muell.) Arg./Empawa Euphorbiaceae Pohon Daun Perut kembung
Pucuk Demam Batang Gusi bengkak
64. Mapania cuspidate (Miq.) Ui�en./Lidah adam
Cyperaceae Herba Seluruh bagian Kontrasepsi
65.
Melastoma malabathricum
Linn./Karamun�ng
Melastomataceae
Perdu
Daun
Menetralkan racun, luka bakar, buang air berdarah, kepu�han
66.
Melicope glabra
(Blume) T.G. Hartley/Lepotung
Rutaceae
Pohon
Daun
Pilek
67.
Merremia peltata
(Linn.) Merr./Blaran
Convolvulaceae
Liana
Daun, batang
Luka
68.
Mikania scandens (L.) Wild.
Asteraceae
Liana
Umbi
Luka bakar
69.
Mimosa pudica
Linn./Putri malu
Fabaceae
Perdu
Akar
Demam, batuk
Daun
Sakit kepala
70.
Paspalum conjugatum
Berggr./Beriwit
Poaceae
Herba
Pucuk
Luka
71.
Passiflora foe�da
L./
Kelubut
Passifloraceae
Liana
Daun
Luka
Akar
Diabetes, hipertensi
72.
Peperomia pellucida (L.)/
Ancin-ancinan
Piperaceae
Herba
Daun
Bisul
73.
Peronema canescens
Jack./Sungkai
Verbenaceae
Pohon
Daun
Penurun panas, sakit gigi
74.
Phyllantus niruri
L./
Meniran
Euphorbiaceae
Herba
Seluruh bagian
Hepa��s, sakit kuning, sariawan, pelancar haid
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
91
1
2
3
4
5
6
75.
Piper aduncum
L./
Gedebong
Piperaceae
Perdu
Daun
Diare
76.
Polyalthia rumphii
(Bl. Ex Hensch) Merr./ Sigam
Annonaceae
Pohon
Daun muda
Sakit mata
77.
Pome�a pinnata
Forst./ Matoa
Sapindaceae
Pohon
Kulit batang
Luka
78.
Pycnarrhena tumefacta
Miers/Bekei
Menispermaceae
Liana
Peluruh air seni
79.
Rhodamnia cinerea
Jack./Mempoyan
Myrtaceae
Pohon
Akar, daun
Pasca melahirkan
80
Scaphium macropodum Beumee/Kepayang
Sterculiaceae
Pohon
Buah
Asma, demam
Akar
Muntaber
81.
Schima wallichii
(DC.) Korth./Puspa
Theaceae
Pohon
Bunga
Gangguan syaraf
82.
Scleria laevis
Willd./Hiring
Cyperaceae
Herba
Umbut
Maag, batuk
Akar
Nyeri haid
83.
Shorea leprosula
Miq./
Mengkorau
Dipterocarpacea
e
Pohon
Pilek
84.
Shorea ovalis
(Korth.) Blume/Ponten
Dipterocarpaceae
Pohon
Daun muda
Memperhalus kulit
85.
Smilax zeylanica
L./Akar
bentul Smilacaceae
Liana
Akar
Rema�k, kencing nanah, disentri
Umbi
Bisul
86.
Solanum jamaicence Mill./Terong PKI
Solanaceae
Perdu
Buah
Sakit kepala
87. Stachiphrynium borneensis Ridl/Lirik
Maranthaceae Perdu Daun Luka
88. Stachytarpheta jamai-censis
(L.) Vahl/Pecut
kuda
Verbenaceae Perdu Herba Batuk, rema�k Akar
Kepu�han
Tangkai bunga
Hepa��s
89.
Stenochlaena palustris
(Burm.f.) Bedd.
Blechnaceae
Paku
Daun
Impotensi, anemia
90.
Swietenia mahagoni
Jacq./Mahoni
Meliaceae
Pohon
Biji
Tekanan darah �nggi, kencing manis, kurang nafsu makan, rema�k, demam, masuk angin
91.
Syzygium polyanthum
(Wight) Walp./Salam
Myrtaceae
Pohon
Daun
Diare, diabetes, maag
Kulit
Kudis
92.
Tetracera
sp. /Kayu Amplas
Dilleniaceae
Liana
Diabetes
93.
Urena lobata L./Pulut-pulut
Malvaceae
Herba
Daun
Diare, disentri, sakit kuning
Akar
Batuk
Bunga
Mempermudah persalinan
94.
Vernonia arborea Buch. Ham./Seringan
Asteraceae
Pohon
Awet muda
95.
Vernonia cinerea (Linn.) Less./Sawi langit
Asteraceae
Herba
Seluruh bagian
Bisul, sakit kepala
96.
Vitex pinnata
Linn./
Laban
Verbenaceae
Pohon
Kulit, daun
Stamina, luka
Biji
Malaria
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
92
9
7
4
4
3
3
3
33
3
Dari 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang berhasil diiden�fikasi di KHDTK Samboja, ini lebih sedikit
bila dibandingkan dengan hasil peneli�an yang telah dilakukan oleh Sangat
dkk (2000) di sekitar kawasan konservasi Pulau Weh, Aceh ditemukan 98 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang digunakan untuk mengoba� berbagai macam penyakit. Meskipun demikian, bila
dibandingkan dengan
peneli�an yang dilakukan oleh Zuraida
dkk (2010) di kawasan Taman Wisata Alam Buyan-Tamblingan, Bali dan di Nusa Tenggara Barat, telah dikumpulkan jenis -jenis tumbuhan berkhasiat obat yang sering digunakan dalam pengobatan maupun kosme�k oleh masyarakat sebanyak 70 jenis, maka hasil ini lebih �nggi. Teriden�fikasinya 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja membuk�kan jika KHDTK Samboja sebagai kawasan hutan peneli�an berfungsi sebagai habitat pen�ng bagi berbagai jenis
tumbuhan berkhasiat obat.
B.
Famili Tumbuhan Berkhasiat Obat
Dari 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang sudah teriden�fikasi di KHDTK Samboja terdiri dari 49 famili. Pemanfaatan terbanyak adalah famili Euphorbiaceae yaitu 9 jenis.
Gambar 1.
Sepuluh famili ter�nggi tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja
Berdasarkan jumlah famili dari gambar di atas nampak bahwa dari 48 famili, yang paling banyak ditemukan adalah famili Euphorbiaceae sebanyak 9 jenis, selanjutnya famili Asteraceae sebanyak 7 jenis, famili Verbenaceae dan Fabaceae masing 4 jenis, Annonaceae, Apocynaceae, Moraceae, Dipterocarpaceae, Arecaceae dan Menispermaceae masing-masing 3 jenis,
Hyperi-caceae, Myrtaceae, Sapindaceae, Meliaceae, Rutaceae, Rubiaceae, Dilleniaceae, Melastoma-taceae,
Piperaceae, Lamiaceae, Zingiberaceae, Poaceae, Marantaceae dan Polypodiaceae masing-masing 2 jenis, Lauraceae, Loganiaceae, Thymelacaceae, Theaceae, Anacardiaceae, Son-nera�aceae, Bombacaceae, Celastraceae, Simarubaceae, Solanaceae, Amarylindaceae, Malva-ceae, Connaracaceae, Flagellariaceae, Vitaceae, Smilacaceae, Convolvulaceae, Stercu liaceae dan Passifloraceae masing-masing 1 jenis
(Gambar 1).
Famili Euphorbiaceae lebih �nggi pemanfaatannya sebagai obat dibandingkan dengan famili lainnya,
hal ini disebabkan famili ini memiliki karakteris�k populasi yang cukup banyak karena umumnya tergolong sebagai penciri hutan sekunder yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
93
C.
Habitus Tumbuhan Berkhasiat Obat
Jenis tumbuhan hutan berkhasiat obat di KHDTK Samboja dapat dikelompokkan menjadi lima �ngkatan yaitu �ngkat pohon, perdu, herba, liana dan paku-pakuan.
Berdasarkan habitus nampak bahwa tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat dan yang paling banyak ditemukan yaitu �ngkat pohon sebanyak 43 jenis, kemudian diiku� oleh perdu 19 jenis, herba 14 jenis, liana 13 jenis dan paku-pakuan 7 jenis
(Gambar 2).
Tumbuhan berkhasiat obat dengan habitus pohon lebih �nggi dibandingkan dengan habitus lainnya, hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukan oleh Z uhud dan Hikmat (2009) bahwa dari 7 (tujuh) pengelompokan habitus tumbuhan obat yang ada di Indonesia, spesies tumbuhan obat yang termasuk ke dalam habitus pohon mempunyai jumlah spesies dan persentase yang lebih �nggi dibandingkan habitus lainnya, yaitu sebanyak 717 spesies (40,58%).
Gambar 2. Habitus Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja
D. Tujuan Pemanfaatan Tumbuhan Berkhasiat Obat Tujuan pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat adalah sebagai obat alterna�f untuk
mengoba� berbagai jenis penyakit yang ada di masyarakat.
Dari hasil yang diperoleh menunjukkan 84 jenis penyakit yang dapat dioba� dengan menggunakan 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang ada di KHDTK Samboja. Jenis tumbuhan terbanyak yang ditemui berkhasiat obat yaitu untuk mengoba� luka, diare, demam, disentri, batuk, malaria, diabetes, sakit kepala, peluruh air seni dan rema�k.
Gambar 3.
Sepuluh jenis penyakit ter�nggi yang dapat dioba� dengan menggunakan tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja
43
19
14
13
7
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
94
Berdasarkan gambar di atas nampak bahwa 10 jenis penyakit ter�nggi adalah sakit luka 14 jenis, diare dan demam masing-masing 13 jenis, disentri 10 jenis, batuk 9 jenis, malaria 8 jenis, diabetes dan sakit kepala masing-masing 7 jenis, peluruh air seni dan rema�k masing-masing 6 jenis
(Gambar 3). Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat terlihat bahwa luka merupakan sakit dengan jumlah terbanyak. Hal ini disebabkan karena masyarakat lokal yang �nggal di sekitar kawasan hutan banyak melakukan ak�vitas di lua r rumah seper� bertani atau berburu. Kegiatan bertani atau berburu ini kalau �dak dilakukan dengan ha� -ha� maka akan menyebabkan luka. Dan apabila mereka mengalami luka biasanya mereka memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang berada di dekat tempat ak�vitas mereka.
E.
Bagian Tumbuhan Yang Dimanfaatkan
Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat adalah daun, akar, kulit batang, pucuk, umbi, kayu, biji, getah, batang, bunga, umbut, buah, kulit buah, tangkai bunga dan seluruh bagian tumbuhan.
Gambar 4 menunjukkan bahwa bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah daun sebanyak 42 jenis, akar 24 jenis, kulit 10 jenis, batang dan buah masing-masing 7 jenis, getah 5 jenis, pucuk, umbi dan biji masing-masing 4 jenis, bunga 3 jenis, kayu, umbut dan kulit buah masing-masing 2 jenis dan tangkai bunga 1 jenis
(Gambar 4).
Gambar 4.
Sepuluh Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai obat
di KHDTK Samboja
Bagian daun paling banyak dimanfaatkan karena daun mengandung zat yang bisa
menyembuhkan penyakit dan daun dapat langsung dikonsumsi tanpa harus memerlukan proses dan ada juga melalui pemrosesan. Selain itu dilihat dari �ngkat ketersediaan tumbuhan berkhasiat obat yang memanfaatkan bagian daun akan lebih menjamin ketersediaan sumber bahan baku
karena pengambilan daun �dak akan mema�kan dari tumbuhan tersebut. Kondisi ini berbeda bila dibandingkan dengan pemanfaatan pada bagian akar seper� jenis pasak bumi di mana potensi kepunahan menjadi lebih �nggi karena pengambilan bagian akar dilakukan
dengan teknik pencabutan sehingga dapat mengganggu keseimbangan populasi alami dari jenis tersebut.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
95
IV.
PENUTUP
Dari hasil yang telah diperoleh ternyata tumbuhan yang berkhasiat obat di KHDTK Samboja, ditemukan 96 jenis yang sudah teriden�fikasi dari 49 famili. Pemanfaatan terbanyak adalah famili Euphorbiaceae. Jenis tumbuhan berkhasiat obat yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi lima �ngkatan yaitu �ngkat pohon sebanyak 43 jenis, perdu 19 jenis, herba 14 jenis, liana 13 jenis dan paku-pakuan 7 jenis.
Dari segi pemanfaatannya se�daknya ada 84 jenis penyakit yang dapat dioba� dengan menggunakan 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang terdapat di KHDTK Samboja. Diketahui 10 jenis penyakit ter�nggi adalah sakit luka 14 jenis, diare dan demam masing-masing 13 jenis, disentri 10 jenis, batuk 9 jenis, malaria 8 jenis, disentri, diabetes dan sakit kepala masing-masing 7 jenis, peluruh air seni dan rema�k masing-masing 6 jenis. Bagian dari tumbuhan berkhasiat obat yang paling banyak digunakan adalah daun sebanyak 43 jenis, akar 24 jenis, kulit 10 jenis, batang dan buah masing-masing 7 jenis, getah 5 jenis, pucuk, umbi dan biji masing-masing 4 jenis kayu, bunga 3 jenis, kayu, umbut dan kulit buah masing-masing 2 jenis dan tangkai bunga 1 jenis.
DAFTAR PUSTAKA
Atmoko, T. 2007. Rin�s Wartono Kadri “Pusat Keanekaragaman Haya� di KHDTK Samboja”. Wana Tropika vol.2 (4) 2007. Pusat Peneli�an dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Sangat, M.H., Ervizal A.M.Z., E.K. Damayan�. 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat Indonesia (Etnofitomedika). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Zuhud, E.A.M., Siswoyo, E. Sandra, A. Hikmat dan E. Adhiyanto. 2013. Buku Acuan Umum Tumbuhan Obat Indonesia Jilid X. Dian Rakyat. Jakarta.
Zuraida, A. Lelana dan H.S. Nuroniah. 2009. Perkembangan Biofarmaka Kehutanan. Bunga
Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia dari Tumbuhan Hutan untuk Keunggulan Bangsa dan Negara. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor. Hal. 3 -13.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
96
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
97
TEKNIK PEMINDAHAN KOLONI TRIGONA KE
DALAM STUP
(Trigona clypearis dan Trigona sapiens)
Edi Kurniawan
Balai Peneli�an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram
I.
PENDAHULUAN
Trigona
spp
merupakan lebah tanpa sengat yang menghasilkan propolis selain madu dan bee bread.
Flavonoid yang terkandung dalam propolis bermanfaat untuk manusia dimana Flavonoid adalah zat an�oksidan yang mempunyai fungsi memperlancar peredaran darah, menyembuhkan penyakit, dan menambah daya tahan tubuh.Propolis sudah banyak dikenal dikalangan masyarakat sebagai obat untuk segala macam penyakit sehingga kebutuhan industri akan propolis mentah meningkat untuk itu diperlukan langkah-langkah budidaya trigona sebagai penghasil propolis.
Ada beragam jenis trigona di dunia dan penyebaran Trigona
spp
di Indonesia sangat beraneka ragam, Sumatra ada sekitar 31 jenis, Kalimantan ada 40 jenis, Jawa 14 jenis, dan Sulawesi ada 3 jenis (Guntoro, 2013). Beberapa jenis diantaranya adalah T. minangkabau dan T. fimbriata (Sumatra), T. apicalis dan T. incisa (Kalimantan), T. terminata dan T. Incisa (Sulawesi),
T.laeviceps dan T.moorei (Jawa), sedangkan di Nusa Tenggara Barat teriden�fikasi 2 jenis yaitu Trigona clypearis dan Trigona sapiens (BPTHHBK, 2012)
Teknik pemindahan koloni trigona kedalam stup yang dijelaskan adalah jenis Trigona clypearis dan Trigona sapiens yang telah teriden�fikasi di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Dimana jenis ini sudah banyak dikembangkan dimasyarakat di pulau Lombok.
II.
PERSIAPAN
Untuk melakukan pemindahan koloni ke dalam stup dibutuhkan persiapan sebagai
berikut:
a.
Pengambilan Koloni di Alam
Perburuan koloni trigona di
alam biasanya ditemukan di pohon lapuk, pohon bambu, batang pohon gerowong, �ang bambu, batok kelapa, pondasi rumah dll. Setelah ditemukan ambilah koloni yang dianggap mudah untuk dilakukan pemindahan kedalam kotak/stup seper� di bambu, batok kelapa dll. Pengangkutan koloni dari alam ke tempat lainya (ke rumah) sebaiknya dilakukan pada malam hari dengan tujuan seluruh koloni sudah kembali kesarangnya karena pada malam hari lebah trigona �dak keluar dari sarangnya, Jika �dak memungkinkan pada malam hari pengangkutan dapat dilakukan siang hari dengan menutup lubang dengan menggunakan jaring kecil atau kain.
b.
Stup/Kotak
Standar ukuran stup trigona jenis Trigona clypearis dan Trigona sapiens belum ada standar, diupayakan �dak terlalu besar dan �dak terlalu kecil pada dasarnya lebah dapat mengontrol sarang dengan baik.
Contoh yang pernah dilakukan 15
cm x 10
cm x 40 cm. Bahan kayu yang digunakan untuk pembuatan stup usahakan kering dan bagian dalam dihaluskan.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
98
c.
Alat dan Bahan
Alat yang perlu dipersiapkan yaitu Topi Lebah, gergaji, palu, parang, sendok, paku dll disesuaikan dengan kebutuhan.
Gambar 1.
Proses pembuatan stup dari bahan kayu
d.
Tempat pemindahan dan penyimpanan bebas semut
Sebelum dan setelah dilakukan pemindahan koloni kedalam stup,
koloni lebah
membutuh-
kan waktu untuk membersihkan sarang dan menutup celah agar terhindar dari serangan predator (semut) oleh karena itu dibutuhkan tempat pemindahan dan penyimpanan bebas semut seper� contoh menyiapkan gantungan yang telah diberikan oli, tempat penyimpanan adalah tempat yang teduh bebas trik matahari.
Gambar 2.
Penyimpanan stup lebah Trigona spp
III.
PELAKSANAAN
Pemindahan koloni sebaiknya dilakukan pada siang
hari, pemindahan koloni pada malam hari dalam proses pemindahan dapat menyebabkan beberapa koloni yan g bisa terbang mengejar lampu-lampu kemudian ma� karena panasnya bola lampu. Tahap pemindahan koloni dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.
Ambillah
stup/kotak
diletakkan pada tempat atau alas yang telah disiapkan agar terhindar dari serangan semut
(Gambar 2)
b.
Ambillah
koloni pada bambu kemudian dibelah dengan ha�-ha� agar anak lebah yang belum bisa terbang �dak jatuh dari bambu dan madu �dak bocor.
Setelah terbelah,
bambu di
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
99
ketok-ketok supaya lebah yang bisa terbang keluar untuk mengurangi kema�an . Pindahkan telur lebah ke stup menggunakan sendok dengan memperha�kan ratu lebah agar �dak ma� . Ratu lebah memiliki ukuran perut yang lebih besar dari lebah pekerja.
c.
Setelah telur dipindahkan ambillah madu dan bee bread (ro� lebah) ke wadah yang telah disiapkan dengan tetap memperha�kan ratu yang bisa saja pada bagian madu dan bee bread.
Untuk madu dan bee bread �dak perlu dimasukkan kedalam stup.
d.
Setelah semua telur, anak lebah dan ratu dimasukkan tutup rapat stup kemudian ambil sedikit getah yang terdapat pada pintu masuk di oles atau tepelkan pada pintu masuk agar lebah bisa mendeteksi lubang masuk, maka lebah akan masuk dengan sendirinya.
e.
Stup yang telah terisi tetap diamankan dari serangan semut hingga terbentuknya pertahanan lebah ditandai dengan beberapa celah atau lubang pada stup akan ditutup menggunakan propolis (Gambar 3)
f.
Setelah koloni terisi,
letakkan stup pada tempat yang teduh tidak tekena terik matahari langsung hal ini dapat menyebabkan getah yang terdapat pada stup mencair dan lebah bisa ma� atau kabur.
Gambar 3.
Stup Sudah Terisi Madu
IV.
PENUTUP
Trigona
spp
merupakan lebah tanpa sengat yang menghasilkan propolis selain madu dan bee bread (ro� lebah). Trigona memiliki kelebihan �dak mudah kabur, �dak memiliki sengat sehingga aman utuk anak-anak. Trigona
spp
menghasilkan sedikit madu dibanding lebah yang lainnya namun dengan memiliki kelebihan �dak mudah kabur dapat dilakukan perbanyakan koloni untuk menghasilkan madu yang lebih banyak.
Pemindahan koloni jenis Trigona clypearis dan Trigona sapiens
sangat mudah dilakukan pemindahan kedalam stup yang perlu diperha�kan sebelum dan setelah dilakukan pemindahan dilakukan pengamanan dari predator (semut) sampai terbentuk pertahanan ditandai dengan seluruh celah dan lubang stup tertutup oleh propolis dan simpanlah setup yang terbebas dari terik matahari secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Guntoro, Y.P. 2013.
Ak�vitas Dan Produk�vitas Lebah Trigona laeviceps di Kebun Polikultur Dan Monokultur Pala (Myris�ca fragrans).
Skripsi.
Ins�tut Pertanian Bogor.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
100
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
101
PENINGKATAN PERTUMBUHAN TANAMAN BITTI MENGGUNAKAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
DAN PUPUK NPK
PADA MEDIA SUB SOIl
Edi Kurniawan
Balai Peneli�an Kehutanan Makassar
I.
PENDAHULUAN
Lahan kri�s merupakan kondisi dimana
kemampuan lahan sudah �dak sesuai dengan penggunaan lahannya, baik sebagai media produksi, pengatur tata air maupun sebagai perlindungan alam lingkungan. Keberadaan lahan kri�s saat ini sudah merupakan masalah nasional yang perlu mendapatkan perha�an yang serius dari pemerintah. Inventarisasi lahan kri�s sampai tahun 2011 di Indonesia mencapai angka 27.294.842 hektar yang terdiri atas lahan kri�s seluas 22.025.581 hektar dan sangat kri�s 5.269.260 hektar dengan laju deforestasi sebesar 613.480,7 hektar per tahun (Kementerian Kehutanan, 2013).
Reklamasi dan rehabilitasi lahan kri�s
(RHL)
diperlukan untuk mengembalikan fungsi lahan
tersebut secara op�mal. Dalam pelaksanaan kegiatan RHL diperlukan bibit dalam jumlah yang besar dan se�ap tahunnya sekitar 1,5 milyar bibit yang disediakan oleh pemerintah
(Kementerian Kehutanan, 2013). Besarnya target luas penanaman berimplikasi pada besarnya jumlah bibit yang harus disediakan, namun tetap harus diingat bahwa besarnya kuan�tas bibit yang harus disediakan jangan sampai mengabaikan segi kualitas bibit tersebut.
Dalam kegiatan RHL, pemilihan jenis tumbuhan setempat yang cocok dengan tapak akan membantu dalam upaya mempercepat suksesi. Salah satu jenis tumbuhan asli Sulawesi yang digunakan dalam kegiatan RHL adalah tanaman bi� (Vitex cofassus Reinw.). Namun dalam penyediaan bibit di lapangan mengalami banyak kendala yaitu dengan adanya fa ktor pembatas yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam pembibitan.
Salah satu faktor pembatas dalam menyiapkan bibit yang cukup, baik dalam kualitas maupun kuan�tas adalah media sapih dari tanah sub soil.
Tanah ini memiliki sifat kurang subur
karena memiliki kandungan zat makanan yang sangat sedikit, berbatu,
testurnya agak kasar dan agak lengket. Pada lapisan ini, ak�vitas organisme dalam tanah mulai berkurang, demikian juga dengan sistem perakaran tanaman
untuk mengatasi hal tersebut diperlukan
input untuk meningkatkan pertumbuhan semai di
persemaian dan meningkatkan daya tahan hidup bibit di
lapangan. Dalam rangka menyiapkan bibit yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuan�tas perlu dicari alterna�p yang �dak saja efek�f
tetapi
lebih murah dan bersahabat dengan lingkungan.
Salah satu teknologi yang digunakan untuk memperbaiki media tumbuh yang digunakan dalam pembuatan bibit bi� adalah dengan penggunaan fungi Mikoriza arbuskula
(FMA). Se�adi (2000) mengemukakan bahwa peran fungi mikoriza
arbuskular (FMA) sangat pen�ng dalam memperbaiki lingkungan, diantaranya dapat memperbaiki nutrisi tanaman dan peningkatan pertumbuhan
bibit, memperbaiki sifat fisika tanah, sebagai pelindung haya� (bio-protec�on), melindungi tanaman dari
patogen
akar, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim.
Peran FMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman berkaitan dengan kemampuan FMA untuk menyediakan unsur fosfor dari tanah. Selain meningkatnya penyerapan fosfor menurut
Bowen dan Smith (1981) penyerapan unsur lain juga meningkat terutama ion-ion kurang mobil seper� Cu2+, Zn2+
dan Amonium (NH4+).
Selain itu Fungi mikoriza mampu
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
102
menghasilkan ectoenzym yang
memengaruhi eksudasi akar sehingga meningkatkan keterlarutan P (Simanungkalit, 2007 dan Bucher, 2007 dalam
Prayudyaningsih, 2014)
Pemupukan adalah upaya pemberian atau penambahan hara dalam jumlah dan cara sesuai yang diperlukan tanaman ke dalam tanah dalam waktu tertentu (Setyaningsih
dkk, 2000). Penyerapan P melalui pemupukan dapat di�ngkatkan dengan adanya fungi mikoriza pada akar tanaman (Se�awa�
dkk, 2000). Kombinasi antara inokulasi fungi mikoriza dan pemberian pupuk dapat meningkatkan hasil tanaman terutama melalui peningkatan serapan P (Se�awa�
dkk, 2000).
Penggunaan subsoil sebagai media tumbuh mempunyai keuntungan karena dengan menggunakan subsoil maka tanah akan terpakai secara ver�kal dibandingkan penggunaan tanah topsoil yang akan menghabiskan luas tanah secara horizontal. Jika penggunaan fungi Mikoriza arbuskular
(FMA) dan pupuk NPK dapat membantu memperbaiki kondisi fisik dan kimia dari tanah subsoil sehingga dapat membantu pertumbuhan tanaman maka hal ini akan sangat menguntungkan karena berar� tanah subsoil dapat produk�f kembali dan kita �dak akan
tergantung pada tanah topsoil semata sebagai media tumbuh di persemaian.
Penggunaan FMA
dan pupuk NPK tentunya memperha�kan dosis yang tepat. Penggunaan inokulum FMA dan pupuk yang baik merupakan langkah yang efesien dalam menunjang pertumbuhan tanaman di pembibitan dan keberhasilan pada saat pemindahan bibit ke lapangan. Ber��k tolak dari uraian di atas bahwa aplikasi FMA dan pupuk NPK di persemaian untuk menghasilkan bibit yang berkualitas baik perlu dikaji lebih dalam Khususnya mengenai penggunaan dosis isolat fungi Mikoriza arbuskula
dan pupuk NPK pada pertumbuhan bibit tanaman bi�.
Peneli�an ini bertujuan mengevaluasi respon pertumbuhan tanaman bi� terhadap inokulasi fungi Mikoriza arbuskula
(FMA) dan pupuk NPK pada berbagai dosis.
II.
BAHAN & METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam peneli�an ini adalah mikroskop binokuler (Nikon), cawan petri (Pyrex), gelas ukur (Pyrex), erlenmeyer (Pyrex), pipet tetes, 1 set saringan spora (100 mesh), botol sampel, gun�ng, oven, pinset, ayakan tanah, oven listrik (Memmert), mistar, caliper, �mbangan digital ( Sartorius), bak kecambah dan polybag ukuran 12 X 17 cm.
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam peneli�an ini adalah benih bi�, pupuk NPK
(20:10:10), Fumigan bahan ak�f Dazomet 98%, alkohol 70%, KOH 10%, HCl 1%, HCl 2%, gliserin, asam fuchsin, aquadest, lactogliserol, air, kertas label tanah subsoilI
dan
yang disimpan 6 bulan dan FMA ( Isomik MK1).
Rancangan Peneli�an
Rancangan peneli�an yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 3 x 4. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10
kali, sehingga diperoleh 120 satuan percobaan.
Faktor A
(dosis inokulasi mikoriza):
A0
=
Tanpa inokulasi mikoriza, A1
= Inokulasi mikoriza 5 gram (Mansur, 2010) ,
dan A2
=
Inokulasi mikoriza 10 gram. Faktor B (dosis pupuk NPK):
B0 = dosis 0 gram per polybag, B1 = dosis 0,5 gram per polybag, B2 =
dosis 1 gram per polybag (Suharta�, 1997), dan B3 = dosis 1,5 gram per polybag.
Pemupukan yang tidak optimal
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
103
Menurut Gaspersz (1994), model sta�s�k untuk percobaan faktorial dua faktor
dengan menggunakan rancangan dasar RAL adalah:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
i = 1, 2 ,3
j = 1, 2, 3,4
k = 1,
2,...10
Ket : Yijk
=
Nilai pengamatan pada faktor A
(inokulasi FMA) taraf ke-
i, faktor B
(dosis pupuk NPK)
taraf ke-j dan ulangan ke-k
µ
=
Rata-rata umum
αi
=
Pengaruh faktor inokulasi FMA
βj
=
Pengaruh faktor dosis pupuk NPK
(αβ)ij
=
Komponen interaksi dari faktor inokulasi FMA
dan faktor dosis pupuk NPK
εijk
=
Pengaruh
acak yang menyebar normal
Prosedur Kerja
Kegiatan peneli�an ini dibagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:
1.
Sterilisasi
Media Tumbuh
Tanah dikeringanginkan kemudian dihaluskan dan diayak dengan ayakan berdiameter 3 mm agar bu�ran yang diperoleh seragam. Sterilisasi dilakukan dengan cara mencampur tanah dengan basamit sesuai takaran, kemudian diaduk sampai merata. Agar uap fumigan dari basamit bereaksi dengan baik dalam tanah maka tanah disiram sedikit demi sedikit sampai seluruh permukaan bu�ran tanah menjadi basah. Tanah yang telah diberi basamit disimpan dalam tempat tertutup rapat, sehingga gas/uap fumigan dari basamit �dak menguap bebas. Tanah didiamkan selama 11 hari. Pada hari ke-11 sampai hari ke-18 tanah dibuka dan dikeringanginkan untuk menghilangkan pengaruh uap fumigan (Misto, 2001).
2.
Persiapan Polybag dan Media Tumbuh
Ukuran polybag yang digunakan adalah 12 x 17 cm. Polybag diisi tanah sampai penuh sebanyak 400 gram. Setelah polybag terisi tanah kemudian diberi kode sesuai perlakuan. Tiga
hari sebelum dilakukan pemindahan tanah disiram dengan air hingga jenuh kemudian didiamkan.
3.
Penaburan Benih
Benih dikecambahkan pada bak perkecambahan dengan metode tabur. Media perkecam -bahan adalah pasir halus yang telah disterilkan dengan cara dioven p ada suhu 100oC selama 2 jam. Sebelum ditabur, benih direndam dalam air dingin selama 24 jam. Penaburan dilakukan dengan cara mengisi bak perkecambahan dengan pasir setebal ±10 cm. Kemudian benih ditabur secara larikan dan ditutupi dengan pasir setebal ½ dari panjang benih, kemudian disiram merata.
4.
Penyapihan, Inokulasi FMA dan Pemupukan
Penyapihan dilakukan pada saat kecambah telah siap disapih, yaitu kecambah telah mempunyai empat daun.Inokulasi dilakukan pada saat penyapihan dengan cara memberikan inokulum FMA hasil isolasi dari tanah lahan bekas tambang kapur yang terdiri dari �ga jenis spora yaitu Gigaspora, dan
Acaulospora sesuai perlakuan di dalam lubang tanam. Selanjutnya semai ditanam dengan posisi akar mengenai inokulum FMA. Pemupukan dilakukan pada saat semai berumur 1,5 bulan setelah penyapihan.
5.
Pemeliharaan Bibit
Bibit dipelihara di dalam green house dengan melakukan penyiraman sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari. Pengaturan bibit dalam ruang perakaran
sesuai dengan perlakuan.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
104
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Ragam. Apabila terjadi perbedaan yang nyata/signifikan dilanjutkan dengan Duncan Mul�ple Range Test
(DMRT). Menurut Gaspersz (1994), rumus Uji Beda Duncan adalah sebagai berikut:
S
Ϋ = (s2/r)1/2
=
(KTG/r)1/2
Dimana:
s2
=
nilai kuadrat tengah galat
r
=
jumlah ulangan
KTG
=
kuadrat tengah galat
Variabel yang diama�
1.
Pertumbuhan �nggi
2.
Pertumbuhan diameter batang
3.
Jumlah daun
4.
Nisbah Pucuk Akar (NPA)
5.
Indeks Mutu Bibit (IMB)
Indeks mutu bibit diukur berdasarkan cara Dickson et al.
(1960) dalam
Putri (2008):
(
)
(
)
(
)
(
)
6.
Persen Kolonisasi FMA
Pengamatan kolonisasi FMA dilakukan dengan metode pewarnaan akar (Kormanik dan McGraw, 1982). Perhitungan presentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang akar terkolonisasi (slide)
menurut Giovanne� dan Mosse (1980). Potongan -potongan akar sepanjang 1 cm memiliki 6 bidang pandang. Bidang pandang yang menunjukkan tanda-tanda kolonisasi (terdapat hifa, vesikula, arbuskula atau spora) diberi tanda posi�f (+) sedangkan yang �dak terdapat tanda diberi tanda nega�f (-). Persentase kolonisasi FMA pada akar dihitung menggunakan rumus:
III.
HASIL PENELITIAN
Pertambahan Tinggi Tanaman
Pertambahan �nggi semai bi� yang diama� 2 minggu sekali selama 3 bulan menunjukkan bahwa semai bit�,
yang diinokulasi FMA
hasil isolasi dari tanah lahan bekas tambang kapur yang terdiri dari �ga jenis spora yaitu Gigaspora dan
Acaulospora mempunyai pertambahan �nggi yang lebih baik dibanding semai bi�
yang �dak diinokulasi FMA (kontrol). Perbedaan �ngkat
pertambahan �nggi semai bi�
yang diinokulasi FMA dengan kontrol
pada umur empat minggu belum terlihat. Pengaruh
asosiasi FMA mulai terlihat setelah inokulasi lebih dari empat minggu (Gambar 1a).
Peranan mikoriza terhadap pertambahan �nggi se mai dapat di�ngkatkan dengan penambahan pupuk NPK. Pertambahan �nggi semai yang diinokulasi mikoriza dan diberi pupuk NPK semakin meningkat, sedangkan semai yang �dak diberi pupuk
%KolonisasiFMA=
∑bidangpandangbertanda(+)
∑keseluruhanbidangpandang
bertanda
X100%
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
105
NPK terjadi pertambahan �nggi semai rendah dibandingkan semai yang diber i pupuk NPK pada umur 8 minggu (Gambar 1a).
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 1), perlakuan dosis mikoriza, dosis pupuk NPK dan interaksinya menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan �nggi semai. Berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode
Duncan
memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis pupuk �dak menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan �nggi semai (Tabel 1), tetapi menunjukkan interaksi perlakuan FMA dosis 5 g/polybag dengan NPK dosis 0,5 g/polybag menghasilkan pertambahan �nggi ter�nggi dan berbeda nyata dengan pemupukan dengan dosis 1 g/polybag dan 1,5 g/polybag tanpa diinokulasi FMA.
Tabel 1 dan Gambar 2 juga memperlihatkan bahwa, dengan menambahkan dosis FMA dan dosis pupuk NPK �dak serta merta bahwa dosis FMA dan NPK
yang �nggi lebih baik daripada dosis yang rendah dalam meningkatkan pertumbuhan �nggi semai
bi�.
Interaksi perlakuan inokulasi FMA dan pupuk NPK (20:10:10) mempunyai pertumbuhan �nggi yang lebih �nggi dan berbeda nyata dengan semai bi� yang �dak diinokulasi FMA. Semai yang �dak diinokulasi FMA (A0B0, A0B1, A0B2 dan A0B3) mempunyai pertumbuhan �nggi yang lebih rendah (Tabel 2
dan Gambar 1a).
Pertambahan Diameter Batang
Pertambahan �nggi semai bi� yang diama� 2 minggu sekali menunjukkan bahwa
semai bi�,
yang diinokulasi FMA mempunyai pertambahan diameter
yang lebih baik dibanding semai bi�
yang �dak diinokulasi FMA (kontrol). Perbedaan peningkatan pertambahan diameter
semai bi�
yang diinokulasi FMA dengan kontrol
pada umur empat minggu tidak terlalu berbeda jauh. Namun setelah berumur enam minggu
peningkatan pertambahan �nggi semai bi�
yang diinokulasi FMA sangat berbeda jauh dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh asosiasi FMA mulai terlihat setelah inokulasi lebih dari empat minggu (Gambar
1b).
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 2)
menunjukkan bahwa, perlakuan dosis mikoriza dan interaksinya menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan diameter semai sedangkan dosis pupuk NPK �dak menunjukkan perbedaan respon. Kemudian berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode Duncan memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis pupuk �dak menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan diameter semai (Tabel 1), tetapi kombinasi perlakuan menghasilkan pertambahan diameter yang paling besar adalah A1B1 (4,33 mm), A1B2 (4,29 mm), A1B3 (4,25 mm), A2B1 4,02 mm) dan A2B3 (4,01 mm). Dari ke lima kombinasi perlakuan tersebut, diketahui bahwa inokulasi FMA dosis 5 gram sangat menonjol apabila dikombinasikan dengan pupuk NPK dosis 0,5
(Tabel 2).
Perlakuan A1B1 meningkatkan pertumbuhan diameter semai antara 156,21%-283,28% dibandingkan dengan semai tanpa diinokulasi FMA.
Pertambahan Jumlah Daun
Pengamatan pertambahan jumlah daun se�ap 2 minggu menunjukkan semai yang diinokulasi FMA mempunyai pertambahan jumlah daun yang lebih baik dibanding yang �dak diinokulasi FMA walaupun ditambahkan pupuk NPK (Gambar
1c). Waktu pertambahan jumlah daun pada semai yang diinokulasi FMA lebih cepat dibanding dengan tanaman yang �dak diinokulasi FMA, pada umur 5 minggu tanaman yang diinokulasi FMA memiliki pertambahan daun 10 helai sedangkan tanaman tanpa inokulasi FMA memiliki pertambahan daun 10 helai pada umur 10 minggu (Gambar 1c)
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa, perlakuan dosis mikoriza, dosis pupuk NPK dan interaksinya menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan jumlah daun semai. Kemudian berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
106
Duncan memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis pupuk NPK �dak menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan �nggi semai (Tabel 2). Dosis pupuk 1,5 g (A0B3) menghasilkan pertambahan �nggi ter�nggi tetapi berbeda �dak nyata dengan dosis 0,5 g (A0B1) dan 1 g (A0B2).
Kombinasi perlakuan yang menghasilkan pertambahan jumlah daun yang paling besar adalah: A1B3 (31,20 helai) namun �dak beda nyata A1B2 (31,20 helai), A2B3 (28,40 helai), A2B2 (28,00 helai) dan A1B1 (27,80 helai). Dari hasil uji
Duncan, diketahui bahwa pada dasarnya semua perlakuan dengan perlakuan inokulasi
FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan tanaman tanpa inokulasi FMA (Tabel 2).
Prosentase Kolonisasi FMA
Tingkat kolonisasi mikoriza merupakan salah satu indikator keberhasilan perkembangan mikoriza di dalam akar maupun pada rhizosphere. Hasil analisis ragam (Tabel 2), menunjukkan bahwa interaksi antara inokulasi FMA dan pemupukan berpengaruh sangat nyata terhadap prosentase kolonisasi FMA.
Berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode Duncan memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis
pupuk �dak menunjukkan perbedaan respon terhadap prosentase kolonisasi FMA tetapi memperlihatkan kombinasi perlakuan yang menghasilkan kolonisasi FMA yang paling
�nggi adalah A2B1 yaitu 76,66%, tetapi terjadi penurunan kolonisasi FMA berkaitan dengan penambahan dosis pupuk yang diberikan dan berkaitan dengan penambahan dosis FMA �dak memberikan perbedaan yang nyata.
IV. PEMBAHASAN
Rendahnya kandungan unsur hara dalam media semai bi� terutama unsur hara makro N unsur P yang sedang menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Hal tersebut terbuk� pada pertumbuhan semai bi� yang �dak diinokulasi FMA (kontrol). Semai bi� yang �dak diinokulasi FMA dengan penambahan pupuk NPK mempunyai pertumbuhan �nggi yang paling rendah yaitu 8,19
cm-15,02 cm
pada umur �ga bulan (Tabel 2). Menurut Hanafiah
(2012) gejala
paling menonjol dari defisiensi unsur hara adalah pertumbuhan yang sangat terhambat sehingga tanaman menjadi kerdil.
Menurut Se�adi
(1997), salah satu cara meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah dengan cara menginokulasi akar tanaman dengan fungi pembentuk mikoriza. Sebagaimana telah diketahui asosiasi FMA pada akar tanaman mampu meningkatkan penyerapan unsur hara dan air. Peningkatan unsur hara terjadi karena hifa eksternal FMA memperluas jang kauan penyerapan unsur hara dan menyediakan permukaan yang lebih efek�f (lebih ekstensif dan lebih baik penyebarannya) dalam menyerap unsur hara dari tanah yang kemudian akan dipindahkan ke akar inang. Selain itu luas permukaan penyerapan akar tanaman yang bersimbiosis dengan FMA meningkat 18 kali lipat dibandingkan akar yang �dak bermikoriza (Orcu� dan Nielsen,
2000 dalam Prayudyaningsih, 2014).
Berdasarkan hasil analisis tanah media tanam semai bi� ( Lampiran 4) menunjukkan bahwa kandungan kalsiumnya (Ca) sangat �nggi. Sehingga walaupun unsur hara P pada media termasuk sedang
dengan kandungan Ca yang sangat �nggi dapat menyebabkan rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P karena P akan terikat Ca membentuk mineral kalsium trifosfat (Ca3(PO4)2) (Rosmarkam dan Yuwono, 2002; Hardjowigeno, 2010;
dan Hanafiah, 2012).
Fosfat dalam bentuk demikian disebut occluded phosphate
dan merupakan bentuk yang tak tersedia bagi tanaman. Fungi mikoriza mampu menghasilkan ectoenzym yang
memengaruhi
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
107
eksudasi akar sehingga meningkatkan keterlarutan P
(Simanungkalit, 2007 dan Bucher, 2007 dalam
Prayudyaningsih, 2014)
Unsur P merupakan unsur hara yang sangat pen�ng bagi pertumbuhan tanaman. Unsur P berperan dalam pembentukan senyawa berenergi �nggi yaitu ATP yang mempuny ai peran pen�ng dalam berlangsungnya proses-proses metabolisme dan pertumbuhan tanaman seper� pembelahan dan pemanjangan sel, respirasi dan fotosintesis (Hanafiah, 2012 dan Bucher, 2007 dalam
Prayudyaningsih, 2014). Dengan demikian meningkatnya penyerapan P dalam jaringan tanaman akan meningkatkan proses pembelahan dan pemanjangan sel sehingga meningkatkan pertumbuhan �nggi dan diameter tanaman. Seper� telah dijelaskan sebelumnya, unsur hara P tersedia pada media semai bi� yang terikat dengan Ca menj adi tersedia dengan diinokulasi
FMA.Kombinasi antara inokulasi fungi mikoriza dan pemberian pupuk dapat meningkatkan hasil tanaman terutama melalui peningkatan serapan P (Se�awa�
dkk, 2000). Akibatnya Interaksi
FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag dapat meningkatkan pertambahan �nggi
300,99% dibanding kontrol atau meningkatkan �nggi 635,40% dibanding semai yang di pupuk NPK dosis 1,5 gram tanpa diinokulasi.
Rahayu (1999) dalam Misto (2001) menulis bahwa standar kualitas semai siap tanam apabila �nggi semai telah mencapai 30–50 cm, akar dalam media telah membentuk gumpalan yang kompak padat, batang kokoh tegar dan bibit dalam kondisi sehat serta penampakannya baik. Mengacu pada standar tersebut, maka inokulasi FMA dengan dosis 5 gra m dikombinasikan dengan pupuk NPK 0,5 gram menghasilkan bibit yang memenuhi standar kualitas pada umur 2,5 bulan. Bila dibandingkan dengan hasil peneli�an Suharta�
(1997),
pemberian pupuk pada bibit bi� dengan media topsoil dan pasir dengan perbandingan 1:1 sebanyak 1 g/polybag NPK (15:15:15) dapat memberikan peningkatan pertumbuhan �nggi sebesar 22% dan diameter 5.6%, dengan menggunakan media subsoil yang inokulasi FMA tentunya dapat menghemat 50% penggunaan pupuk NPK/semai.
Inokulasi mikoriza dapat meningkatkan penyerapan unsur hara N melalui pemupukan NPK dalam menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penyebaran hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil akar meningkat (Santoso dkk, 2006). Peningkatan suplai air kedalam tanah menghasilkan serapan hara meningkat. Penyerapan unsur hara N yang terdapat dalam pupuk NPK 20:10:10 akan meningkat seiring tersedianya air yang cukup. Unsur N berperan sebagai komponen utama berbagai senyawa di dalam tubuh tanaman. Selain itu
unsur ini juga merupakan bahan penyusun tubuh vegeta�f tanaman.
Pemberian pupuk NPK (20:10:10) pada kondisi agak alkalis �dak efek�f meningkatkan
pertambahan jumlah daun tanpa diinokulasi FMA. Pengaruh FMA terhadap peningkatan pertumbuhan bibit bi� lebih di�ngkatkan dengan pemberian pupuk NPK, ini dibuk�kan dengan Interaksi
FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag dapat meningkatkan pertambahan jumlah daun
13,40 helai
dibanding kontrol atau meningkatkan �nggi 13,8 helai, dibanding dengan jumlah daun tanaman semai yang di pupuk NPK dosis 1,5 g/polybag, hal ini membuk�kan adanya interaksi posi�f antara perlakuan FMA dan pupuk NPK. Hal ini dibuk�kan dengan adanya gejala defisiensi semai yang diinokulasi FMA tanpa diberi pupuk NPK .
Berdasarkan SK.17/PTH-3/2014 direktur bina perbenihan tanaman hutan, kualitas bibit bi� siap tanam apabila �nggi bibit ≥ 25 cm, diameter ≥ 3 mm, akar dalam media telah membentuk gumpalan yang kompak padat, batang kokoh tegar, umur bibit lebih dari 4 bulan dan bibit dalam kondisi sehat serta penampakannya baik. Mengacu pada standar tersebut, maka inokulasi FMA dikombinasikan dengan pupuk NPK dapat mempersingkat waktu persemaian 1 bulan.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
108
Tingkat prosentase kolonisasi mikoriza merupakan salah satu indikator keberhasilan perkembangan FMA di
dalam akar. Uji kolonisasi dilakukan untuk mengetahui apakah peningkatan
nilai parameter yang diukur merupakan akibat atau pengaruh adanya asosiasi FMA. Dari Tabel 2 terlihat terjadi penurunan kolonisasi FMA berkaitan dengan penambahan dosis pupuk yang diberikan dan berkaitan dengan penambahan dosis FMA �dak memberikan perbedaan yang nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukarno (1998) dalam Setyaningsih dkk., (2000) yang mengemukakan bahwa pemupukan yang tepat dapat meningkatkan kemampuan FMA untuk menginfeksi akar dan bila berlebihan akan berakibat sebaliknya.
Misto (2001)
mendapatkan hal yang sama, yaitu FMA dengan tanpa penambahan serbuk arang mendapatkan 82,25 % terinfeksi sedangkan pada parameter �nggi, diameter, serapan fosfat, nisbah pucuk/akar, indeks kualitas bibit dan berat kering semai mendapatkan hasil yang rendah. Beberapa analisis dapat dikemukakan, antara lain: (1) kandungan spora potensil berbeda. Memperha�kan
pengaruhnya terhadap parameter yang diukur, menunjukkan ke�dak jelasan hubungan antara �ngkat infeksi dan �ngkat efek� fitas FMA. Hasil peneli�an sejalan dengan hasil peneli�an Setyaningsih dkk (2000). Keadaan ini diduga berkaitan dengan penger�an parameter �ngkat infeksi sebagai indikator ak�vitas infeksi. Tingkat infeksi FMA hanya menunjukkan prosentase dari akar terinfeksi (Abbot dan Robson, 1982). Walaupun demikian �dak dapat juga disimpulkan bahwa �ngkat infeksi FMA �dak mempengaruhi bibit, karena (1) �ngkat infeksi merupakan gambaran yang paling tepat untuk ak�vitas FMA, (2) �ngkat infeksi dan berat segar akar merupakan komponen penghitung nilai berat segar akar bermikoriza, yang diduga berkaitan dengan keefek�van peran FMA (Komarayan�, 1993). Pendapat lain menyebutkan bahwa luas penyebaran hifa ekstraradikal dan intensitas infeksi FMA �dak selalu berkolerasi posi�f dengan efisiens i suatu jenis FMA. Diduga pula bahwa perkembangan FMA terkait dengan perkembangan akar itu sendiri.
Bila dikaitkan dengan pertumbuhan tanaman, terlihat bahwa interaksi antara FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag memberikan pertumbuhan �nggi dan diameter semai terbaik. Interaksi antara FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 1,5 g/polybag memberikan pertambahan jumlah daun dan nisbah pucuk akar semai terbaik, interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 1,5 g/polybag memberikan indeks mutu bibit terbaik dan prosentase kolonisasi FMA terbaik terdapat pada interaksi FMA dosis 10 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag, namun berbeda �dak nyata dengan interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag. Dengan demikian interaksi perlakuan yang efek�f meningkatkan pertumbuhan semai bi� adalah interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag.
IV.
PENUTUP
Pemberian dosis FMA 5 g/polybag meningkatkan pertumbuhan �nggi, diameter, jumlah daun, dan prosentase kolonisasi FMA dibanding dosis FMA 10 g/polybag. Pemberian dosis 0,5 g/polybag pupuk NPK meningkatkan pertumbuhan �nggi dan diameter. Pemberian dosis 1 g /
polybag menghasilkan prosentase kolonisasi ter�nggi. Interaksi FMA dosis
5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag dapat meningkatkan pertambahan �nggi, diameter, jumlah daun, dan prosentase kolonisasi FMA.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
109
DAFTAR PUSTAKA
Abbot L.K. dan Robson A.D. (1982). The Role of Vesicular Arbuscular Fungi in Agriculture and Selec�on of Fungi for Inoculum. Aust. J. Agr. Research 33:389.
Gaspersz V. (1994).Metode Perancangan percobaan. Untuk ilmu -ilmu Pertanian,Ilmu-Ilmu Teknik dan Biologi Edisi kedua. Armico,Bandung. Hal 33-185.s
Giovanne� M. dan Mosse B. (1980). An Evaluation of Tecnique for Measuring Vesicular Arbuskular Mycorrhizal Infec�on in Roots. New. Phytol . 84 : 489 –
500.
Hardjowigeno S. (2010). Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hal 59-97.
Hanafiah
K.A. (2012). Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal 258-263.
Kementerian Kehutanan.
(2013). Sta�s�k Kehutanan Indonesia 2013.
h�p://www.dephut.go.
id/uploads/files/2�a7c7da8536e31671e3bb84f141195.pdf.
Diakses tanggal 19 Januari 2015.
Komarayan� S. (1993). Pengaruh Inokulasi Jamur dan Pemberian Batuan Fosfat Tehadap Pembentukan Ekto dan Endomikoriza Serta Efek�vitasnya Pada Semai Eucalyptus deglupta di Tanah Marginal Samas. Tesis Pascasarjana UGM. Yogyakarta.
Kormanik P.P. dan McGraw A.C. (1982). Quan�fica�on
of Vesikular-Arbuskular Mycorrhizal in Plant Roots. dalam : Schenk, N.C, Penyun�ng. Methods and Principles of Mycorrhizal Research. The American Phytopathological Society. Minnesota.
Misto. (2001). Efek�vitas Inokulasi Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA ), Penambahan Serbuk Arang dan Batuan Fosfat pada Pertumbuhan Semai Vitex cofassus Reinw . Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta . Hal 30 -45.
Prayudyaningsih R.
(2014). Pertumbuhan Semai Alstonia scholaris, Acacia auriculiformis
dan Mun�ngia calabura
yang diinokulasi Fungi Mikoriza arbuskular
(FMA) pada Media
Tanah Bekas Tambang Kapur. Jurnal Peneli�an Kehutanan Wallacea , Vol. 3 No 1, April 2014.
Hal 13-21.
Rosmarkam A. dan Yuwono N.W. (2002). Ilmu KesuburanTanah . Kanisius. Jakarta Hal 48-83.
Santoso E.,
Turjaman M.,
dan Irianto R.SB. (2006). Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Dalam Prosiding dan Ekspose Peneli�an Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan. Padang 20 September 2006.
Pusat Peneli�an dan Pengembangan
Konservasi Alam. Bogor.
Hal 71-80.
Se�adi Y. (1997). Peranan Mikoriza arbuskula
untuk Hutan Tanaman Industri. Proceedings
Seminar on mycorrhizae.ODA. Samarinda, 1997. Hal 11-21.
Se�awa� MR., Fitria�n B. N., dan Suryatman P. (2000). Pengaruh Mikoriza dan Pupuk Fosfat terhadap Drajat Infeksi Mikoriza dan Komponen Pertumbuhan Tanaman Kedelai. Proseding Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor.
Hal 92-99.
Setyaningsih L., Munawar Y., dan Turjaman M. (2000). Efek�fitas Cendawan Mikoriza Arbusula
dan Pupuk NPK terhadap Pertumbuhan Bi�. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor.
Hal 192-201.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
110
Suharta�. (1997). Teknik Pemeliharaan Bibit Gofasa (Vitex sp.) dan Bintangur (Calophyllum sp.) di Persemaian.
Bule�n Peneli�an Kehutanan.
IV (3): 12-24. Balai Peneli�an Kehutanan Ujung Pandang.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
111
Tabel 1.
Hasil uji duncan pengaruh perlakuan tunggal terhadap
pertambahan �nggi (T), pertambahan diameter (D), jumlah
daun (JD), nisbah pucuk akar (NPA), indeks mutu bibit (IMB), dan persen kolonisasi FMA (PKF)
bibit bi�
Keterangan:
angka yang diiku� oleh huruf
yang sama berbeda �dak nyata pada taraf
kepercayaan 95%
Tabel 2.
Hasil uji duncan interaksi inokulasi FMA dengan beberapa dosis dan pupuk NPK terhadap terhadap pertambahan �nggi (T), pertambahan diameter (D), jumlah daun (JD), nisbah pucuk akar (NPA), indeks mutu bibit (IMB), dan persen kolonisasi FMA (PKF) bibit bi�
No
Perlakuan
T (cm) D (mm) JD (helai) NPA IMB PKF (%) 1
A1B1
60,23 a
4,33 a
27,80a
3,52a
0,41ab
76,11 a
2
A1B2
58,74 a
4,29 a
31,20a
3,34 def
0,43ab
69,44ab
3
A2B3
58,60 a
4,01 b
28,40a
3,61a
0,31bc
67,22abc
4
A1B3
54,06 ab
4,25 a
31,20a
3,17 def
0,48a
50,88 bc
5
A2B1
53,91 ab
4,02 b
27,20a
2,94def
0,40abc
76,66 a
6
A2B2
51,87 b
3.93 b
28,00a
3,25 def
0,38abc
44,99 cd
7
A2B0
36,61 c
3,61 b
19,20b
2,36bcd
0,28bcd
46,66 cd
8
A1B0
33,97 c
3,54 b
18,80bc
2,46 def
0,24 cd
46,66 cd
9
A0B0
15,02d
1,13 d
14,40cd
2,25 bcd
0,08 e
0,00e
10
A0B3
11,29 de
1,40 cd
14,00d
1,54 abc
0,08 e
0,00 e
11
A0B1
10,13 de
1,30 cd
12,80d
1,34 ab
0,03 e
0,00 e
12
A0B2
8,19 e
1,69 c
14,40cd
1,16 a
0,02 e
0,00 e
Keterangan: angka yang diiku� oleh huruf yang sama berbeda �dak nyata pada taraf kepercayaan 95%
Perlakuan
Respon
T (cm)
D (mm)
JD (helai)
NPA
IMB
PKF (%)
FMA
A1
27,25a
4,10b
27,25a
3,12a
0,34a
60,77a
A2
25,70a
3,89b
25,70a
3,04a
0,39a
58,88a
A0
13,90b
1,38a
13,90b
1,57b
0,05b
6,66b
Pupuk
B3
24,53a
-
24,53a
-
0,29a
50,92a
B2
24,53a
-
24,53a
-
0,28a
45,55a
B1
22,60a
-
22,60a
-
0,28a
39,99ab
B0
17,46b
-
17,46b
-
0,20b
31,96b
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
112
Gambar 1.
Grafik pengaruh inokulasi FMA terhadap pertambahan �nggi, diameter,
dan jumlah
daun
semai bi�
sampai
umur 12 minggu
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
113
Lampiran 1.
Hasil Analisi Ragam Pertambahan Tinggi (cm) Bibit Bi� umur 3 bulan
Keterangan:
Db
:
Derajat bebas
*
:
Berbeda nyata pada taraf uji 0,05
**
:
Berbeda nyata pada taraf uji 0,01
Lampiran 2.
Hasil Analisi Ragam Pertambahan Diameter (mn) Bibit Bi� umur 3
bulan
Keterangan: Db
:
Derajat bebas
*
:
Berbeda nyata pada taraf uji 0,05
**
:
Berbeda nynata pada taraf uji 0,01
Lampiran 3.
Hasil Analisi Ragam Pertambahan Jumlah Daun Bibit Bi� umur 3 bulan
Keterangan:
Db
:
Derajat bebas
*
:
Berbeda nyata pada taraf uji 0,05
**
: berbeda nynata pada taraf uji 0,01
Sumber Variasi
Jumlah Kuadrat
db
Kuadrat Tengah
F.hitung
F.tabel
5%
1%
Mikoriza
42373,822
2
21186,911
446,155**
3,08
4,71
NPK
3437,398
3
1145,799
24,128**
2,69
3,96
Mikoriza * NPK
3950,856
6
658,476
13,866**
2,18
2,97
Galat
5128,684
108
47,488
Total
225611,480
119
Sumber Variasi
Jumlah Kuadrat
db
Kuadrat Tengah
F.hitung
F.tabel
5%
1%
Mikoriza
183,327
2
91,663
331,027**
3,08
4,71
NPK 1,496 3 ,499 1,801tn 2,69 3,96
Mikoriza * NPK 5,469 6 ,912 3,292** 2,18 2,97
Galat 29,906 108 ,277 Total 183,327 119
Sumber Variasi
Jumlah Kuadrat
Db
Kuadrat Tengah
F.hitung
F.tabel
5%
1%
Mikoriza
4264,867
2
2132,433
94,994**
3,08
4,71
NPK
1002,767
3
334,256
14,890**
2,69
3,96
Mikoriza * NPK
614,333
6
102,389
4,561**
2,18
2,97
Galat
2424,400
108
22,448
Total
67892,000
119
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
114
Lampiran 4.
Hasil Analisi sifat kimia tanah
Sifat
Nilai
Harkat
C-Organik (%)
0,58
Sangat rendah
N-Total (%)
0,09
Sangat rendah
C/N
6
Rendah
P2O5 (me/100g)
37
Sedang
P2O5 Bray/(ppm)
130
Sangat �nggi
P2O5 Olsen/(ppm)
130
Sangat �nggi
K2O HCL 25% (me/100g)
106
Sangat �nggi
KTK (me/100g)
26,82
Tinggi
K tertukar (me/100 g)
0,12
Sangat rendah
Na tertukar (me/100 g)
0,27
Rendah
Mg tertukar (me/100 g)
1,83
Sedang
Ca tertukar (me/100 g)
22,83
Sangat �nggi
KB (%)
93
Sangat �nggi
Kejenuhan Al (%)
0,00
Sangat rendah
pH H2O
7,6
Agak basa
Sumber:
Hasil analisis tanah laboratorium tanah
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
115
PENGARUH KANALISASI DALAM PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
TERHADAP KEBAKARAN LAHAN
Johan Tampubolon
Balai Peneli�an Kehutanan Palembang
I.
PENDAHULUAN
Lahan gambut adalah bagian dari ekosistem hutan tropis dengan tanah yang lembab dan banjir berkala menghalangi kayu dan daun ma� dari proses pembusukan. Ke�ka materi organik ini semakin terkumpul ia menyerap lebih banyak air, mirip spons raksasa. Lahan gambut kemudian membentuk kubah materi organik yang basah dengan �ngkat kedalaman yang berbeda. Lahan gambut yang paling rawan terbakar memiliki kedalaman sebesar 4 meter, dan bisa mencapai kedalaman lebih dari 20 meter (Gambar 1). Selama gambut tersebut masih basah, ia �dak akan mudah terbakar. Tapi ke�ka lahan gambut dikeringkan dengan sistem kanal guna menjadi lahan HTI/Pertanian/Perkebunan, lahan tersebut menjadi mudah terbakar. Begitu api mulai menyala di lahan gambut, akan sangat sulit dipadamkan karena bara api dapat tersimpan di dalam tanah selama berbulan-bulan
(The World Bank, 2015).
Gambar 1.
Peat fire/kebakaran di lahan gambut
(Dr. Guillermo Rein )
Dampak Kebakaran Hutan Dan Asap Indonesia telah menyebabkan kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi Indonesia dan negara-negara tetangga. Jumlah kerugian dan dampak jangka panjangnya belum sepenuhnya diketahui. Bank Dunia tengah ikut serta menghitung dampak kerugian dari kebakaran dan asap, untuk berbagai sektor. Lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar pada tahun 2015 mencapai 4,5 kali lebih luas dari Pulau Bali. Dampak pada wilayah yang terbakar termasuk hilangnya kayu atau produk non-kayu, serta sebagai habitat satwa. Meski belum dianalisa secara penuh, kerugian lingkungan terkait keanekaragaman haya� diperkirakan bernilai se kitar $295 juta pada tahun 2015
(belum termasuk kerugian ekonomi dan sosial). Dampak jangka panjang terhadap kehidupan alam bebas dan biodiversitas belum sepenuhnya dikaji. Ribuan hektar habitat orangutan dan hewan yang hampir punah lainnya pun ikut hancur. Pada �ngkat global, kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Pada bulan
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
116
Oktober 2015, emisi per hari kebakaran hutan di Indonesia melebihi emisi perekonomian Amerika Serikat, atau lebih dari 15,95 juta ton emisi CO2 per hari. Jika Indonesia bisa menghen�kan kebakaran, Indonesia dapat mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar
29% pada 2030
(The World Bank, 2015).
Indonesia memiliki luasan lahan gambut lebih dari 14,9 juta Ha. Dalam pengelolaannya haruslah dilakukan dengan desain yang mampu melindungi lahan gambut, karena emisi yang dihasilkan jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan kebakaran pada lahan mineral. Tabel
1
dan Tabel
2 dibawah ini
memberikan gambaran luas lahan gambut yang kita miliki serta dampak emisi yang dihasilkan kebakaran lahan gambut bila dibandingkan terhadap lahan mineral.
Tabel
1.
Luas Lahan Gambut per Pulau Besar di Indonesia berdasarkan Ketebalan
Tabel
2.
Emisi (Mt) Kebakaran Hutan 1997 di Sumatera dan Kalimantan
(Levine, 2004)
II.
DESAIN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
Saat ini kondisi lahan gambut di lapangan yang telah dikelola dalam bentuk HTI, Perkebunan maupun pertanian berada dalam keadaan yang mempriha�nkan. Kanal -kanal yang dibangun membelah sampai pada kubah gambut. Keadaan ini tentu menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan antara lain, laju penurunan muka tanah (subsiden), emisi, kering �dak balik, dan bahan organik terlarutkan (DOC). Ditambah lagi, bahaya kebakaran, perubahan iklim, pemanasan global, peningkatan muka air laut, kelangkaan air bersih musim kemarau,
polusi air, dan berdampak bagi masyarakat lokal setelah ada perubahan lingkungan.
GHG(greenhousegas)
Mineral
Gambut
CO2
11.00
171.00(16xMineral)
N2O(Dinitrogenmonoxide)
0.03
0.92(31xMineral)
CH4(Metana/hidrokarbon)
0.04
1.80(45xMineral)
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
117
Pengelolaan Lahan gambut idealnya melihat satu kesatuan hidrologis (lansekap) dengan mengedepankan desain fungsional (zonasi konservasi, konversi). Juga hubungan serasi antara penguasaan lahan skala besar dan masyarakat dalam satuan hidrologis/landscape
yang saling terhubung (Sapariah
Saturi,
2015).
Untuk itu perlu sinkronisasi peraturan perundangan biofisik terkait pemanfaatan dan konservasi.
Termasuk, pemerataan kesempatan akses terhadap lahan gambut dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. Hal -hal yang perlu diperha�kan, antara lain,
perhitungan
neraca air/lengas tanah di zonasi peruntukan dalam satuan hidrologis, gambut �dak kering di permukaan, lembab dan mampu menyerap air, dan minimum gangguan. Kemudian, pemilihan jenis tanaman yang mampu menyesuaikan diri terhadap ekosistem gambut. Tanaman yang ditanam adalah tanaman yang dapat beradaptasi dengan gambut. Bukan sebaliknya, lahan gambut yang dikondisikan mengiku� persyaratan tumbuh tanaman. Lahan gambut merupakan tempat penyimpanan air, apabila pengelolaannya �dak memperha�kan karakteris�k lahan, maka yang terjadi adalah pengeringan lahan gambut yang kemudian akan memicu kebakaran.
Menjaga
kubah gambut menjadi pen�ng agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun, dan terhindar dari banjir maupun kekeringan. Satuan hidrologis, menjadi dasar peruntukan, zona konservasi (kubah), zona penyangga, dan zona pemanfaatan, dengan densitas saluran makin sedikit ke arah kubah. Pilihan komoditas adap�f ke lingkungan alami untuk zona yang makin mendeka� kubah. Pengeringan lahan gambut demi mengakomodir tanaman lahan kering (karet, sawit, akasi, dll) sangat �dak dianjurkan. Kondisi air tanah harus tetap se gar bergerak, �dak stagnan. Secara berurut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Kubah Gambut dipertahankan dalam kondisi alami.
2. Zona penyangga dapat ditanami HTI dengan tanaman adap�f rawa seper� jelutung atau pulai.
3. Zona kanalisasi terbatas HTI. 4. Zona aerasi dapat ditanami perkebunan. 5.
Zona tanggul alam dan pasang surut itu tanaman pangan atau tanaman semusim.
Selain itu, gambut �dak boleh dibiarkan terbuka tanpa tumbuhan penutup. Untuk tujuan penataan air, perhitungan neraca air, perlu peta lebih ri nci, peta yang dihasilkan dengan teknologi LiDAR (Light Detec�on and Ranging) dapat sangat membantu. Peta ini, sangat berguna bagi penyusunan rencana tata ruang wilayah, konservasi dan pemanfaatan, perancangan zona adapatasi, serta dalam menilai dampak lingkungan, termasuk bahaya kebakaran lahan.
III.
PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DI LAHAN GAMBUT
Beberapa hal penyebab gambut mudah terbakar seper� terjadi selama ini. Antara lain, aturan pengelolaan air berbasis neraca lengas tetapi tak me mperha�kan satuan hidrologis, hanya berdasar konsesi atau penguasaan lahan, dan tak ada sumber air di posisi lebih �nggi karena kubah rusak. Lalu, saluran dan bangunan pengontrol, drainasi berlebihan hingga menguras air ke posisi lebih rendah, kemarau, lama �dak hujan berurutan dan akumulasi penguapan. Penyebab lain, air tanah terlalu dalam hingga kemampuan aliran kapiler gambut rendah, kesadaran lingkungan rendah, dan cara termudah membuka lahan dengan membakar. Selain itu, terjadi konflik kepen�ngan, pengawasan lemah. Kondisi ini akan bertambah parah bila antar pemegang kendali kewenangan �dak bersinergi.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
118
Beberapa upaya pencegahan kebakaran di lahan gambut:
1.
Moratorium/menghen�kan pembuatan kanal dan pembangunan di lahan gambut; Sebelum desain pengelolaan lahan gambut yang mampu melindungi lahan gambut dari bahaya kebakaran, disepaka� dan ditetapkan, �ndakan moratorium pembuatan kanal adalah �ndakan yang paling bijaksana. Hal ini pen�ng, mengingat dampak buruk yang sangat besar akibat dari kebakaran lahan gambut.
2.
Program rehabilitasi lahan gambut yang rusak;
Lahan gambut yang telah rusak pen�ng untuk kembali ditanami dengan jenis-jenis tanaman yang adap�f terhadap karakteris�k lahan gambut itu sendiri. Kondisi lahan gambut yang kembali basah akan mencegah terja dinya kebakaran lahan.
3.
Pengelolaan kebakaran hutan yang lebih bertumpu pada pencegahan.
Dapat dilakukan dengan hal-hal berikut:
a. Penyatuan sistem peringatan dini potensi mudah terbakar, baik aspek hidrometeorologi, posisi gambut terhadap bentang lahan. Juga kondisi fisik gambut dan tumbuhan di atasnya, muka air tanah, keterlintasan, status penguasaan, kerawanan sosial, sampai kesiapan sarana pemadaman dini. Juga pengelolaan air yang dilakukan bersama -sama, baik, Pemerintah (Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian LHK, Kementerian Pertanian, Kemendagri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Bappenas), Masyarakat dan Perusahaan.
b.
Pengelolaan Lahan gambut sebagai satu kesatuan hidrologis (lansekap), bukan berdasarkan pembagian hak konsesi.
c.
Menerapkan eko-hidro
yang arif, bukan hanya menata air di saluran, tetapi lebih pen�ng menjamin ada cukup air di posisi lebih �nggi. Hingga secara gravitasi mampu membasahi gambut di bagian bawah, dan kubah terlindungi.
d. Penutupan kanal pembatas yang terlanjur dibuat di batas satuan penguasaan dalam satu kesatuan hidrologis.
e.
Kejelasan status lahan, hindari kawasan abu-abu yang �dak ada penanggungjawab. Hal ini dapat sangat membantu, agar se�ap tapak ada pengelolanya, yang kemudian bertanggungjawab, dalam mencegah terjadinya kebakaran dilahan yang dikelolanya.
III.
PENUTUP
Pengelolaan Lahan Gambut, harus sesuai karakteris�k
gambut
yang
basah. Dalam konteks lebih
besar harus mampu mengakomodir
semua kepen�ngan baik itu usaha kehutanan, pertanian, perkebunan maupun perikanan. Namun desain pengelolaannya �dak boleh merubah karakter gambut itu sendiri, karena merubah karakter gambut yang basah menjadi kering hanya akan menghasilkan kebakaran lahan gambut yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Guillermo Rein. 2008. E.
Burns: Peat
fire/kebakaran di lahan gambut.
Levine. 2004. Emisi (Mt) Kebakaran Hutan 1997 di Sumatera dan Kalimantan.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
119
Ritung dkk. 2011.
Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi
: Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertani an .
Mongabay. Ar�kel “ Mau Kelola Lahan Gambut? Inilah Pesan Para Pakar (bagian 2”) ,
January
16,
2015
Sapariah
Saturi
(h�p://www.mongabay.co.id/2015/01/16/mau -kelola-lahan-gambut-inilah-pesan-para-pakar-bagian-2/).
The World Bank.
Ar�kel “Indonesia’s fire and haze crisis”, November 25, 2015 (h�p://www.
worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis).
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
120
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
121
SILVIKULTUR PRAKTIS TEMBESU
UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
Syaiful Islam
Balai Peneli�an
Kehutanan Palembang
I.
PENDAHULUAN
Tembesu (Fragraea fragrans) merupakan jenis tanaman lokal potensial di Sumatera Bagian Selatan.
Menurut Heyne (1987), Khususnya di wilayah Sumatera Selatan, tembesu dikenal sebagai kayu unggul dengan sebutan kayu raja, yang pada masa lalu hak penebangannya diatur oleh para kepala adat.
Menurut Martawijaya dkk. (2005), kayu tembesu memiliki
kualitas kayu yang sangat baik
dan
termasuk dalam kelompok kayu berkualitas (kelas kuat I –
II),
kelas awet I, kelas ketahanan terhadap jamur II.
Dengan kualitas dan sifat kayunya, pemanfaatan kayu tembesu bisa dikatakan sangat luas. Tembesu juga memiliki nilai jual �nggi, dimana harga jual kayu tembesu di �ngkat desa berkisar
antara 3-4 juta per m3 (Mar�n
dkk, 2014).
Selain nilai ekonomi, bagi masyarakat sumsel kayu tembesu merupakan warisan budaya lokal terutama bagi pegiat seni ukir palembang, kayu tembesu merupakan bahan utama berbagai jenis ukiran Palembang. Sedangkan potensi sumberdaya gene�c tembesu masih cukup banyak, karena potensi alaminya di beberapa daerah di Sumsel cukup baik (Sofyan,
2011). Oleh
karena itu, pemilihan tanaman tembesu untuk komodi� pembangunan hutan tanaman maupun hutan rakyat di wilayah Sumatera Selatan merupakan langkah yang logis ditambah lagi bila di�njau dari dari aspek kesesuaian lahan.
Minat masyarakat untuk mengembangkan jenis tanaman tembesu rela�f cukup baik, namun pemahaman yang masih rendah terhadap teknik budidaya tembesu menyebabkan rendahnya produk�vitas tanaman tembesu. Selain riap pertumbuhannya lambat, penampilan fisik tanaman tembesu seper� bentuk batang, percabangan serta tajuk juga �dak beraturan.
Hal ini tentu dapat menurunkan minat masyarakat, apalagi bila membandingkan dengan komoditas lain terutama tanaman perkebunan.
Budidaya jenis tembesu selama ini memang masih dilakukan secara tradisional, dimana sebagian besar petani masih memanfaatkan regenerasi yang berasal dari trubusan alami yang terdapat di areal kebun, dengan merawatnya bersama -sama dengan tanaman pokok (karet atau sawit) yang mereka kelola
(Sofyan dkk, 2010). Dari sini terlihat bahwa aspek sumber benih/bibit tanaman tembesu yang dikembangkan masyarakat belum memperha�kan aspek kualitas. Selain aspek asal bibit, hal yang �dak kalah pen�ng dalam budidaya tanaman tembesu adalah pemeliharaan tanaman sejak tahun pertama penanaman. Pengabaian ataupun teknik pemeliharaan yang �dak tepat akan mengakibatkan pertumbuhan yang �dak op� mal dan menurunnya riap.
Pertumbuhan tembesu secara alami termasuk lambat dengan daur tebang 25 tahun, sehingga untuk mempercepat daur pada hutan tanaman atau hutan rakyat tembesu diperlukan manipulasi atau teknik silvikultur yang benar dan tepat. Peneli� an tentang teknik budidaya tembesu juga telah dilakukan dalam satu dekade terakhir dengan berbagai macam percobaan dan perlakuan silvikultur. Tulisan ini akan membahas tentang silvikultur prak�s pada tanaman tembesu dari beberapa rangkaian silvikultur yang ada dengan harapan akan mudah diterapkan oleh masyarakat serta hasil peneli�an yang telah dilakukan terhadap tanaman tembesu dalam rangka meningkatkan produk�vitas tanaman.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
122
II.
SILVIKULTUR PRAKTIS TEMBESU
Silvikultur adalah perpaduan antara ilmu dan seni menumbuhkan hutan, dengan berdasarkan ilmu silvika. Penerapan teknik silvikultur yang lengkap dan intensif sudah pas� akan memberikan pengaruh yang besar terhadap produk�vitas tanaman termasuk pada budidaya tembesu. Rangkaian kegiatan silvikultur sudah dimulai sejak pemilihan benih, pembibitan/persemaian, penyiapan lahan, penanaman hingga pemeliharaan. Peneli�an terhadap keseluruhan rangkaian tersebut telah dan terus
dilakukan pada tanaman tembesu dan hasil yang diperoleh telah memberikan beberapa informasi pen�ng tentang teknik budidaya tembesu yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Dari beberapa perlakuan atau penerapan silvikultur yang telah dilakukan, terdapat beberapa perlakuan yang memberikan dampak sangat signifikan pada peningkatan produk�vitas tanaman. Perlakuan silvikultur bersifat prak�s dan dapat dijadikan panduan mudah bagi masyarakat dalam membudidayakan tanaman tembesu.
A. Pemangkasan cabang (prunning)
Pemangkasan cabang merupakan salah satu aspek yang sangat pen�ng dalam rangkaian teknik silvikultur tanaman tembesu. Sebagaimana diketahui, tembesu memiliki kemampuan yang rendah untuk meluruhkan cabangnya secara alami. Pada tanaman tembesu umur 7 tah un, cabang-cabang yang tumbuh sama sekali �dak mengalami peluruhan atau rontok secara alami sama sekali (Junaidah
dkk, 2014). Karena tembesu adalah tanaman yang peruntukannya untuk
kayu pertukangan, dengan kondisi alami seper� itu maka pemangkasan cabang
harus
dilakukan (Gambar 1).
Gambar 1.
Pohon tembesu tanpa pemangkasan
Untuk mendapatkan hasil op�mal, pemangkasan cabang pada tanaman tembesu harus
dimulai sedini mungkin sejak tahun pertama (Gambar 2)
dengan memperha�kan:
1.
Waktu dan Frekuensi pemangkasan
Pemangkasan cabang harus dilakukan sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang op�mal serta untuk menjaga kualitas batang. Pemangkasan dilakukan saat cabang masih muda akan mempercepat pemulihan luka pada mata kayu. Karena itu pada tahun pertama dan kedua frekuensi pemangkasan harus di�ngkatkan. Pada tahun pertama pemangkasan dapat dilakukan mulai umur 4 bulan setelah tanam selanjutnya dilakukan ru�n se�ap 4 bulan. Hal ini karena pemangkasan yang dilakukan sebelum tanaman berumur 2 ta hun memberikan pengaruh yang besar pada pertumbuhan diameter.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
123
2.
Cara dan alat pemangkasan
Pada tanaman yang masih muda, pemangkasan sebenarnya rela�f mudah dilakukan yaitu dengan memotong cabang miring 45º. Alat yang digunakan pada cabang muda cukup menggunakan gun�ng pruning, sedangkan pada cabang yang sudah besar pada tanaman umur di atas 2 tahun dapat menggunakan gergaji prunning bergagang baik manual maupun bermesin.
Gambar 2.
Kegiatan pemangkasan cabang pada tanaman tembesu
3.
Intensitas pemangkasan
Intensitas pemangkasan yang op�mal bagi tanaman tembesu adalah 50% dari �nggi total. Hasil peneli�an yang dilakukan Lukman dkk
(2014) menunjukkan bahwa pemangkasan dengan intensitas 50% menghasilkan pertambahan diameter batang 23,7% lebih �nggi.
Beberapa hal di atas perlu diperha�kan dalam kegiatan pemangkasan cabang pada tanaman tembesu. Pemangkasan cabang yang tepat pada dua tahun awal sangat pen�ng dilakukan karena pengaruh yang diberikan sangat signifikan bagi pertumbuhan tanaman Khususnya diameter. Setelah umur dua tahun pemangkasan tetap harus dilakukan, walaupun pengaruhnya terhadap pertambahan diameter �dak terlalu nyata, namun memberikan dampak pada �nggi bebas cabang tanaman
(Gambar 3).
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
124
Gambar 3.
Tegakan tembesu umur 4 tahun hasil pemangkasan
B.
Penjarangan
Salah satu �ndakan pemeliharaan yang juga harus dilakukan adalah penjarangan. Menu -rut Kosasih dkk. (2002) dalam Lukman dkk
(2014), penjarangan merupakan �ndakan pengu-rangan jumlah batang per satuan luas untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegak -an. Oleh karena itu penjarangan perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produk�vitas tanaman. Pada umumnya penjarangan dapat dilakukan pada tanaman berumur 5 tahun.
Uji coba perlakuan penjarangan telah dilakukan pada tanaman tembesu di KHDTK Benakat pada umur tegakan 5 tahun dengan jarak tanam awal adalah 3x2 meter. Penjarangan dilakukan dengan dua pola penjarangan yaitu untu walang dan tebang satu baris. Kedua pola tersebut bisa dilakukan, namun dari hasil peneli�an pola untu walang memberikan pengaruh lebih �nggi pada peningkatan diameter tanaman berkisar antara 4,1-8,2% (Gambar 4).
Gambar 4. Penjarangan tegakan tembesu
C.
Asal benih
Pemilihan asal benih merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pembibitan tembesu sendiri dapat dilakukan melalui dua cara yaitu generative dan vegeta�ve. Peneli�an terhadap kedua teknik pembibitan tembesu baik perbanyakan melalui biji maupun vegeta�ve (stek) telah dilakukan dengan informasi yang sangat bermanfaat.
Permudaan alam tembesu yang banyak dijumpai jarang sekali terjadi secara
genera�ve atau dari biji, biasanya tembesu beregenerasi
dari tunas yang muncul pada akar tembesu. Padahal tembesu termasuk jenis yang memproduksi buah cukup banyak bahkan berlimpah.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
125
Hasil peneli�an juga menunjukkan bahwa daya kecambah benih tembesu sangat �nggi dapat mencapai 100% (Sofyan
dkk, 2014).
Untuk meningkatkan hasil pada budidaya tembesu terutama pada masyarkat yang selama ini hanya mengandalkan tunas atau trubusan yang ada, maka pemahaman tentang pembibitan tembesu dan pemilihan asal benih tembesu yang baik menjadi hal yang sangat pen�ng dilakukan.
Untuk memilih asal benih yang baik sebenarnya cukup mudah yaitu dengan mengumpulkan benih/buah dari pohon yang baik, memiliki pertumbuhan dan penampilan yang baik. Dengan pemilihan induk yang baik (pohon plus) itu diharapkan akan diperoleh keturunan yang baik pada tanaman yang dikembangkan. Benih yang diperoleh dari pohon plus tersebut kemudian dilakukan proses selanjutnya berupa pembibitan tanaman.
Pemilihan pohon plus dapat dilakukan oleh masyarakat secara mudah pada tanaman tembesu yang ada di alam asalkan telah memahami pohon plus seper� apa yang harus dipilih. Tentu lebih baik lagi bila pohon penghasil benih tersebut sudah berupa pohon yang di tanam dengan perlakuan silvikultur yang baik dan di bangun sebagai tegakan benih.
III.
PENUTUP
Penerapan teknik silvikultur
sangat pen�ng dalam pengembangan tanaman tembesu dalam upaya meningkatkan produk�vitas tanaman. Minat masyarakat dalam membudidayakan tembesu dapat di�ngkatkan dengan memberikan informasi yang bermanfaat mengenai teknik budidaya tembesu yang baik dan tepat yang dapat dengan mudah diaplikasikan di lapangan.
Seluruh rangkaian silvikultur pada tanaman tembesu sangat baik bila dapat diterapkan secara lengkap, mulai dari pemilihan asal benih, teknik penyimpanan benih, pembibitan, penyiapan lahan, penanaman hingga pemeliharaan. Namun untuk mempersingkat dan mempermudah langkah budidaya, ada beberapa aspek yang paling signifikan yang dapat dilakukan berupa silvikultur prak�s sebagaimana telah dijelaskan.
Hasil peneli�an menunjukkan, aspek pemangkasan cabang pada penanaman tembesu memberikan pengaruh yang sangat baik bagi peningkatan produk�vitas tanaman, selanjutnya aspek penjarangan. Tentu saja aspek pemilihan asal benih juga merupakan salah satu faktor pen�ng, namun setelah fase penanaman, walaupun berasal dari bibit yang baik ke�ka pemangkasan cabang �dak atau terlambat dilakukan, pertumbuhan tembesu �dak akan op�mal sehingga �dak dapat meningkatkan produk�vitas atau mempercepat daur tebangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A, Kadir, K. 2005. Atlas K ayu Indonesia. Jilid II. Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Junaidah, A., Sofyan, Nasrun. 2014. Mengenal Karakteris�k Tanaman Tembesu.
Mar�n, E., B.T., Premono. 2014. Upaya Komoditasi Tembesu dalam Prespek�f Sosi al Budaya Petani dan Pasar.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
126
Lukman,. A.H., A., Sofyan. 2014. Budidaya Tanaman Tembesu.
Sofyan, A., Junaidah., Lukman, A.H., Nasrun. 2010.
Teknik Budidaya Tembesu. Aspek Silvikultur. Laporan Hasil Peneli�an.Balai Peneli�an Kehutanan Palembang.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
127
TEKNIK PEMANTAUAN HOTSPOT
DALAM MENDUKUNG KEGIATAN PENELITIAN
Joni Muara
Balai Peneli�an Kehutanan Palembang
I.
PENDAHULUAN
Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah yang ru�n menimpa wilayah Sumatera dan Kalimantan Khususnya di daerah yang sebaran lahan gambutnya cukup luas. Salah satu diantara daerah tersebut adalah Provinsi Sumatera Sel atan yang luas lahan gambutnya mencapai 1,42 juta hektar (Wahyunto
dkk, 2005). Kebakaran kerapkali melanda lahan gambut tersebut menimbulkan bencana kabut asap yang sangat merugikan (Tacconi, 2003).
Penyebab kebakaran lahan gambut antara lain adalah pembakaran lahan gambut secara sengaja hal ini terjadi saat penyiapan lahan untuk penanaman, Khusus
di daerah Ogan Komering Ilir Pembakaran dilakukan sebagai proses persiapan lahan untuk budidaya padi rawa yang dikenal dengan is�lah sonor. Ak�vitas yang sudah turun temurun itu ditengarai sebagai penyebab kebakaran lahan gambut, selain kegiatan sonor pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara juga menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran lahan gambut.Kebakaran lahan gambut dapat terpantau melalui satelit sebagai ��k panas (hotspot). Pembukaan lahan dengan membakar masih menjadi cara paling efek�f bagi masyarakat dalam membuka lahan. Hal yang paling efek�f dalam menghambat dan menghen�kan pembukaan lahan dengan di bakar tersebut adalah peraturan daerah yang mengikat dan memberikan sangsi sosial sangat �nggi pada isu lingkungan. Peraturan pemerintah yang ada juga mendukung pencegahan pembukaan lahan dengan di bakar,terutama di daerah -daerah yang �dak memiliki peraturan adat yang terfokus pada pelestarian lingkungan hidup.
BPK Palembang sebagai salah satu Balai di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang berada di Sumatera selatan ikut berperan serta melaksanakan kegiatan kajian pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada tahun 2015 hingga 2019. Kegiatan peneli�an tersebut dilaksanakan sebagai salah satu bentuk peran ak�f BPK Palembang dalam mencari solusi permasalahan di daerah.
II.
BAHAN DAN METODE
Alat dan bahan survei yang digunakan dalam mendukung pengolahan data antara lain:
1.
Perangkat Keras (Hardware)
a.
Laptop Pen�um Core 2 Duo 1.86 GHz, Memori DDR 1500 MB
b.
Sistem Operasi: Microso� Windows XP SP2
c.
GPS sebagai alat ground cek lapangan
2. Perangkat Lunak (So�ware)
a.
So�ware FTP filezilla (open source)
b.
Arc Gis 10 untuk pengolahan data sebaran hotspot dan pembuatan layout peta
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
128
Pengumpulan Data Ti�k Panas
Pada kegiatan pemantauan hotspot terdapat beberapa tahapan sebagai berikut:
1.
Menda�ar pada website penyedia untuk mendapatkan akses masuk guna
mendownload data hotspot dari website penyedia.(lakukan penda�aran untuk 1 akun)
2.
Download data hotspot
dari penyedia dengan menggunakan akun yang sudah di dapat sewaktu menda�ar sebelumnya. Gunakan aplikasi FileZilla untuk mempermudah proses download dan penyimpanann data yang di download.
3.
Lakukan pengolahan menggunakan Toolbox
Proses dan Tahapan Pengelolaan Data Ti�k Panas (hotspot)
Menda�arkan user baru pada website penyedia
1.
Buka link: h�ps://urs.earthdata.nasa.gov
2. Klik tombol REGISTER dan iku� petunjuk pada lembar isian yang disediakan oleh website penyedia Buat usernama dan password
Contoh: Username (Jhonmamora_BTR)
Password (Jhonmamora_234) Note: untuk password harus di buat dengan kombinasi angka-huruf-karakter
Apabila proses penda�aran telah selesai maka pihak penyedia akan mengirimkan email konfirmasi ke alamat email yang digunakan untuk menda�ar pada web penyedian data tersebut.
Langkah selanjutnya adalah melakukan konfirmasi dengan mengklik alamat site melalui
email yang dikirim dan secara otoma�s akan diarahkan langsung pada website sebagai buk� bahwa akun tersebut telah berhasil di buat dan dikonfirmasi.
Sampai dengan tahapan ini ar�nya:
Operator telah mempunyai akun yang dapat digunakan se�ap melakukan pengambilan data pada website tersebut .
Langkah selanjutnya mulai mendownload Data Harian dengan tahapan
Lakukan instalasi aplikasi Filezilla dan buat folder lokal sesuai dengan struktur yang sudah ditetapkan
3. Jalankan aplikasi Filezilla
4. Masukkan alamat host di: �p://nrt1.modaps.eosdis.nasa.gov
Masukkan username: (Jhonmamora_BTR)
Masukkan password dari username: (Jhonmamora_234)
atau gunakan
username dan password masing-masing yang sudah dibuat.
5.
Masuk ke folder FIRMS kemudian masuk ke Folder South East Asia
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
129
6.
Contoh data ��k panas yang telah di dowload dan di buka dengan aplikasi Excel untuk
melihat informasi atribut data
Catatan 2. Perhitungan hari di Ti�k Panas Data yang diambil dari satelit Terra dan Aqua MODIS. Pemberian nama pada file mengiku� perhitungan jumlah hari dalam satu tahun. Misalnya: SouthEast_Asia_MCD14DL_2015200
Nomor
Bulan
Tahun Biasa
Tahun Kabisat Musim
Jumlah Hari
Nomor Hari
Jumlah Hari
Nomor Hari
1
Januari
31
1 –
31
31
1 -
31
Hujan
2
Februari
28
32 –
59
29
32 -
60
Hujan
3
Maret
31
60 –
90
31
61 -
91
Hujan
4
April
30
91 –
120
30
92 -
121
Hujan
5
Mei
31
121 –
151
31
122 -
152
Hujan
6
Juni
30
152 –
181
30
153 -
182
Kemarau
7
Juli
31
182 –
212
31
183 -
213
Kemarau
8
Agustus
31
213 –
243
31
214 -
244
Kemarau
9
September
30
244 –
273
30
245 -
274
Kemarau
10
Oktober
31
274 –
304
31
275 -
305
Kemarau
11
November
30
305 –
334
30
306 -
335
Kemarau
12
Desember
31
335 –
365
31
336 -
366
Hujan
Ar�nya:
SouthEast_Asia: data dikumpulkan di seluruh Asia Tenggara
MCD14DL: kodifikasi dari penyedia data
2015200: Tahun pengambilan 2015 dan hari ke 120
200: Kalkulasi dari bulan januari sampai april (31+28+31+30 +31+30+31= 200)
Sehingga data ini diambil pada tanggal 19 Juli 2015.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
130
III.
PROSES PENGOLAHAN AWAL TITIK PANAS HARIAN
Penyiapan data spasial (Langkah 1)
Data spasial ini akan digunakan sebagai informasi tambahan yang berupa layer-layer pen�ng untuk memberikan gambaran pada para pihak tentang sebaran lokasi Ti�k Panas tersebut. Beberapa layer pen�ng yang perlu dimasukkan antara lain:
n
istrasi Provinsi Sumatera
Konversi data Ti�k Panas TXT hasil download ke data spasial (Langkah 2)
Setelah di download se�ap hari, data hasil download di ubah menjadi Shp agar dapat diolah di Argis.
C.
Konversi data ke shapefile (Langkah 3)
Data hasil proses langkah kedua untuk konversi data spasial belum menjadi database spasial yang tersimpan di dalam struktur folder database kerja kita. Sehingga
kita perlu
melakukan tahap konversi data tersebut menjadi shapefile. Perlu kita ingat bahwa di data spasial kita mengenal 3 bentuk data yaitu: polygon (area), poliline (garis) dan dot (point) . Karena data Ti�k Panas ini memiliki koordinat XY (longitude -la�tute) dan bersifat �dak terhubung satu dengan yang lain maka akan kita simpan dalam bentuk dot atau point data spasial.
IV.
HASIL PEMETAAN
Membuat tampilan peta
Pembuatan peta hasil di ArcGIS akan dilakukan secara manual dan �dak menggunakan
toolbox. Tetapi pada pela�han ini sudah disiapkan template-nya supaya peserta pela�han Khususnya operator bisa lebih fokus pada proses pengolahan data. Namun untuk memberikan pemahaman tentang pembuatan peta atau kartografis akan diingatkan lagi komponen peta. Antara lain:
1. Memiliki judul peta
2. Tahun Pembuatan Peta
3. Tahun dari sumber data
4. Petunjuk arah atau kompas
5. Legenda
6. Skala
7. Garis Astronomi
8. Garis Tepi
9. Insert
Peta
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
131
Di
bawah adalah contoh peta hasil pengolahan untuk pemantauan
Ti�k Panas di Provinsi Sumatera Selatan. Khusus
untuk tabel pemantauan Ti�k Panas ini dihubungkan dengan data perhitungan di excel
file sehingga bisa dilakukan secara otoma�s.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
132
IV.
PENUTUP
Dalam rangka mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan akibat kebakaran,
diperlukan pemetaan tentang sebaran ��k api (Hot Spot). Pemetaan ini berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem hutan.
Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan kendala kelangkaan data kebakaran lahan. Sebagai alterna�f dikembangkan teknik penginderaan jauh. Teknik ini memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan daerah -daerah yang sulit dijangkau dengan perjalanan darat.
Pemantauan ��k api (Hot Spot) dengan metoda penginderaan jauh dapat menyingkat waktu pelaksanaan dan mencakup wilayah yang lebih luas dengan biaya lebih murah bila dibandingkan dengan cara konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Wahyunto,
S.
Ritung,
Suparno, and H. Subagjo.
2005.
Peatland Distribu�on and its C content in Sumatera and Kalimantan. Wetland Int,
Indonesia Programme and wildlife Habitat Canada.
Bogor,
Indonesia.
Tacconi L,
2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: penyebab,
biaya dan implikasi kebijakan
Bogor CIFOR.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
133
MAKALAHPENUNJANG
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
134
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
135
HAMA YANG BERPOTENSI MENYERANG TANAMAN Acacia sp. DI ARBORETUM
BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN (BPTSTH) KUOK
Agus Winarsih
Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I.
PENDAHULUAN
Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dibangun umumnya digunakan untuk pemasok kebutuhan industri perkayuan, seper� ply wood, kayu gergajian, dan pulp. Produk�vitas hutan tanaman dipengaruhi oleh iklim, tanah, fisiografi dan faktor pengelolaan. Kondisi tanah yang berpengaruh langsung terhadap vegetasi adalah komposisi fisik dan kimia tanah, kandungan air, suhu dan aerasi tanah.
Tanaman yang diusahakan pada lahan HTI masih terbatas pada tanaman yang pertumbuhannya cepat (fast growing). Sedikitnya ada 18 jenis tanaman HTI yang dianjurkan oleh Departemen Kehutanan, yaitu Acacia sp., Eucalyptus sp., Paraserienthes falcataria, Ceiba petandra, Cassia siamea, Pinus sp., Peronema canescens, Pterocarpus indicus, Hevea
sp., Aleurites molucana, Anthocephalus cadamba, Shorea sp., Dyera costulata, dan kayu energi (Kherudin, 1994).
Diantara 18 jenis tanaman HTI tersebut, Acacia sp.termasuk jenis tanaman HTI yang pertumbuhannya cepat, �dak memerlukan persyaratan tumbu h yang �nggi dan �dak begitu terpengaruh oleh jenis tanahnya (Litbanghut, 2004). Kayunya bernilai ekonomi karena merupakan bahan yang baik untuk industri pulp. Berdasarkan data dari Insect and Pest in Indonesian Forest, luas Hutan Tanaman Industri yang ditanami oleh Acacia sp. mencapai hampir 80% atau hampir 470 ribu hektar (Nair, 2000). Pada umumnya Acacia sp. mencapai �nggi lebih dari 15 meter, kecuali pada tempat yang kurang menguntungkan akan tumbuh lebih kecil antara 7-10 meter. Pohon Acacia sp.
yang tua biasanya berkayu keras, kasar, beralur
longitudinal dan warnanya bervariasi mulai dari coklat gelap sampai terang (Litbanghut, 2004).
Seper� jenis pionir yang cepat tumbuh dan berdaun lebar, jenis Acacia sp.
sangat membutuhkan sinar matahari, apabila mendapatkan naungan akan tumbuh kurang sempurna dengan bentuk �nggi dan kurus (Litbanghut, 2004).
Arboretum BPTSTH Kuok memiliki luas 7,6 Ha dengan jenis yang paling banyak yaitu
akasia. Keanekaragaman yang rendah ini tentu saja akan mengganggu keseimb angan
ekosistem yang pada akhirnya dapat terjadi booming
hama dan penyakit pada tanaman. Selain tersusun atas tegakan yang bersifat monokultur, tanaman HTI juga kebanyakan berusia sama. Hal Ini dapat berdampak pada bermunculannya hama dan penyakit. Hal ini
disebabkan oleh ketersediaan makanan maupun inang yang sesuai cukup banyak sehingga hama dan penyakit pada tanaman akan dapat berkembang dengan cepat.
Hama adalah semua jenis organisme mul�sel (biasanya berasal dari golongan arthopoda, nematoda, dan bahkan mammalia) yang bersifat merugikan bagi tanaman inang, misalnya adalah Pteroma plagiophelps
yang menyerang Acacia sp. Sedangkan yang dimaksud dengan penyakit adalah semua jenis mikroorganisme (umumnya dari golongan bakteri dan jamur) yang bersifat merugikan tanaman inang. Misalnya adalah Fusarium oxysporum
yang dapat menyebabkan penyakit damping off pada tanaman Benuang Laki (Duabanga moluccana).
Timbulnya hama pada tanaman hutan dapat menyebabkan kerugian yang diperkirakan dalam bentuk uang dan dalam bentuk yang sukar diukur seper� progam penanaman,
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
136
penyediaan bahan baku industri kayu dan pemandangan yang �dak menarik. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar akibat gangguan hama dan penyakit perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian sesegera mungkin. Untuk mendapatkan cara pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit yang aman, efek�f, dan efisien perlu diketahui terlebih dahulu mengenai jenis-jenis hama pada hutan tanaman.
II.
HAMA YANG BERPOTENSI MENYERANG
Hama yang banyak menyerang tanaman hutan diantaranya berasal dari golongan arthopoda dan nematode. Sebenarnya mereka memiliki peranan yang besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Peranannya dalam siklus energi di hutan hujan tropis adalah 4 kali peranan vertebrata. Tetapi sehari -hari kita mengenal kelompok ini hanya dari aspek merugikan kehidupan manusia karena banyak diantaranya menjadi hama perusak dan pemakan tanaman hutan dan menjadi pembawa (vektor) bagi berbagai penyakit tanaman.
A.
Insecta (serangga)
Tabel 2.1. Tabel da�ar hama yang menyerang tanaman Acacia sp.
No
Jenis Hama
Nama umum
Bagian tanaman yang diserang
1.
Xystrocera fes�va
Penggerek batang
Batang
2. Eurema sp. Kupu-kupu kuning Daun
3. Aegus acuminatus Penggerek batang Batang 4. Rhopalosiphum maidis Kutu Daun 5. Valanga nigricornis Belalang Daun dan batang (bibit) 6.
Coptotermes curvignathus
Rayap
Akar
7.
·
Pteroma plagiophelps ·
Ama�ssa sp.
·
Cryptothelea sp.
Ulat kantong
Daun
8.
Heliopel�s sp.
Kutu
Pucuk dan daun
9.
Xylosandrus compactus
Pengebor batang
Batang
1.
Xystrocera fes�va
Hama ini merupakan jenis hama yang termasuk pengebor batang, Khususnya pada batang dari jenis leguminosae. Kerusakan pertama akan muncul ke�ka
bagian dari kulit pohon mengalami nekrosis dan menunjukkan adanya lubang yang berbentuk oval sebagai ak�vitas pengeboran dari larva hama ini. Gejala selanjutnya adalah cabang dan batang akan menjadi ma�. Jalan masuk hama pada batang akan tampak berwarna
hitam dan kering. Daerah penyebaran hama ini adalah India (Assam), Myanmar, Vietnam utara, Laos, Indonesia (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) ((Kalshoven, 1981).
Larva hama ini berwarna kuning kecoklatan dan berukuran 5 cm. Larva ini biasanya hidup secara berkelompok dan memakan kulit kayu, lapisan cambium, xylem, dan berdiam di bawah kulit kayu. Mendeka� fase pupa, larva akan melubangi sebuah saluran sekitar 20 cm. Bahkan saluran yang di buat dapat sampai ke pembuluh xylem. Hama ini mulai menyerang tanaman Acacia sp. yang berymur 2 atau 3 tahun (Matsumoto and Irianto, 1994).
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
137
Gambar 2.1.
Xystrocera fes�va
(Sumber: www.malaeng.com/blog/index.php?paged=15)
X. fes�va be�na hanya dapat hidup selama 4 hari. Selama masa hidupnya yang singkat itu, hama ini mampu mendepositkan sekitar 200 telur. Telur yang dihasilkan hama ini berwarna hijau terang dan berbentuk oval (2x1 mm).
Ukuran
tubuh jantan dewasa 40,2 x 15 mm dan yang be�na 29,71 x 7,3 mm (Kalshoven, 1981).
Untuk mengendalikan hama boktor, sesuai dengan tuntutan akan kelestarian lingkungan, diperlukan cara pengendalian yang selain efek�f juga ramah lingkungan. Salah satunya adalah dengan menggunakan pes�sida alami. Surian (Toona sisnensis
Roem)
merupakan jenis pohon yang memiliki banyak kegunaan, selain kayunya dipergunakan untuk bahan kontruksi, pertukangan, mebelair dan bahan perkapalan, pohon ini juga memiliki potensi lain karena mengandung senyawa yang dapat digunakan sebagai biopes�sida (Hidayat dan Kuvaini, 2005).
2. Eurema sp. Kupu-kupu ini ditemukan di India, Birma, dan Sri Langka. Sebenarnya hama ini
merupakan hama pen�ng yang terdapat pada pohon pelindung (shade tree) area perkebunan teh. Pada tahap instar awal, larva akan berada di bagian terluar epidermis daun dan akan memakan daun-daun tersebut ke�ka tumbuh besar. Hal inilah yang sering terjadi pada tanaman muda sehingga sering kali tanaman tampak gundul karena �dak memiliki daun (Kalshoven,1981).
Gambar 2.2.
Euremma
sp. (fase dewasa)
(Sumber: www.pbase.com/uplepidoptera/family_pieridae )
Kupu-kupu ini ak�f selama musim dingin dan awal musim semi. Telurnya sering diletakkan pada posisi terbawah dari daun (lateral daun) dan sering kali diletakkan pada ujung
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
138
tunas yang masih inak�f secara berkelompok. Telurnya berwarna pu�h dan diselimu� oleh benang-benang seper� jala. Tiap kelompok telur terdiri dari 28 sampai 137 bu�r. Masa inkubasi telur adalah 12-14 hari. Setelah menetas, fase berikutnya adalah larva yang akan tumbuh sempurna selama 22-26 hari pada bulan Desember dan 11-14 hari pada bulan Maret. Larva ini memiliki panjang 26-30 mm. Pada fase larva inilah terjadi proses perusakan yang �nggi. Hal ini disebabkan karena ak�vitas makan yang �nggi untuk persiapan pada fase pupa. Larva kemudian akan berubah menjadi pupa. Pupa ini memiliki warna hijau olive sampai dengan coklat kehitaman. Setelah fase pupa berlalu maka akan muncul kupu-kupu dewasa (Nayar dkk., 1976).
Beberapa organisme yang potensial dijadikan biokontrol untuk mengendalikan populasi Euremma
sp. Adalah:
1.
Euplectrus sp. dan Charops obtusus
yang menyerang pada fase larva.
2.
Brachymeria megaspila
yang menyerang pada fase pupa (Nayar, Ananthakrishnan, and David, 1976).
3.
Aegus acuminatus
Organisme ini bersifat destruk�f. Hal ini telah dapat dilihat pada fase larva yang telah memiliki kepala dan rahang yang
keras. Larva ini sering kali tampak menggulung. Larva ini memiliki habitat di dalam tanah, kayu ma�, dan sisa tanaman. Kumbang ini dinamakan stag beetles
karena kumbang jantan memiliki capit yang kuat dan keras (Kalshoven, 1981).
Gambar 2.3.
Aegus acuminatus
(sumber: www.flickr.com/photos/�magpie/1721946568 )
4.
Rhopalosiphum maidis
Tanaman yang menjadi inang utama bagi kutu daun ini sebenarnya adalah jagung. Akan
tetapi kutu ini memiliki inang alterna�ve mulai dari tanaman padi sampai pada tanaman hutan seper� Acacia
sp. Kutu ini menginfeksi semua bagian tanaman, akan tetapi infeksi terbanyak terjadi pada daun. Kutu ini selain merusak daun tanaman inangnya juga membawa sebaga i vector dari berbagai macam virus penyakit (Mau and Kessing, 1992).
Populasi kutu ini dapat mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini disebabkan oleh sifat perkembangbiakkannya yang parthenogenesis. Perkembangbiakan secara parthenogenesis memungkinkan suatu spesies untuk melestarikan jenisnya tanpa harus melakukan perkawinan (Kalshoven, 1981).
Daur hidup kutu ini dimulai dari telur, kemudian nympha, dan kutu dewasa. Pada fase nympha, kutu ini mengalami 4 tahapan. Tahapan pertama nympha akan tampak berwarn a hijau cerah dan sudah terdapat antena. Tahap nympha kedua tampak berwarna hijau pale dan sudah tampak kepala, abdomen, mata berwarna merah, dan antena yang terlihat lebih gelap dari pada warna tubuh. Pada tahap ke�ga, antena akan terbagi menjadi 2 segm en, warna tubuh
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
139
masih hijau pale dengan sedikit lebih gelap pada sisi lateral tubuhnya, kaki tampak lebih gelap dari pada warna tubuh (Kalshoven, 1981).
Gambar 2.4.
Rhopalosiphum maidis
(�dak bersayap)
(sumber: www.aphidweb.com/)
Kutu dewasa ada beberapa yang memiliki sayap (alate) dan yang �dak memiliki sayap (apterous). Sayap pada kutu ini memiliki panjang antara 0,04 to 0,088 inchi. Tubuh kutu dewasa berwarna kuning kehijauan sampai berwarna hijau gelap (Kalshoven, 1981).
Populasi kutu ini dapat dikontrol dengan kehadiran Aphelinus maidis. A. maidis
akan memparasit kutu ini pada fase nympha. Selain itu, terdapat juga organisme predator seper� Allograpta
sp. dan beberapa jenis kumbang (Kalshoven, 1981).
5.
Valanga nigricornis
Daur hidup Valanga nigricornis termasuk pada kelompok metamorfosis �dak sempurna. Pada kondisi laboratorium (temperatur 28°C dan kelembapan 80% RH) daur hidup dapat mencapai 6,5 bulan sampai 8,5 bulan. Fekunditas rata-ratanya mencapai 158 bu�r. Keadaan yang ramai dan padat akan memperlambat proses kematangan gonad dan akan mengurangi fekunditas (Kok, 1971).
Metamorfosa sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui �ga stadia
yaitu telur, nimfa, dan dewasa ( imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya.
Gambar 2.5.
Valanga nigricornis
(Sumber: www.forestpests.org/subject.html?SUB=282 )
Alat-alat tambahan lain pada caput antara lain: dua buah (sepasang) mata facet, sepasang antene, serta �ga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta �ga pasang kaki terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran a lat pendengar yang disebut tympanum. Spiralukum yang merupakan alat pernafasan luar terdapat
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
140
pada �ap-�ap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen) (Kalshoven, 1981).
Pengendalian populasi hama ini dapat dengan menggunakan ekstrak daun dan biji nimba (Azadirachta indica). Pengujian ekstrak ini terhadap hambatan makan belalang,
menunjukkan adanya kenaikan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak nimba (Dahelmi, 2012).
6.
Coptotermes curvignathus
Banyak ditemukan di daerah tropika dan subtropika dengan 45% spesiesnya terdapat di daerah tropis. Bersarang di atas ataupun di bawah tanah pada batang pohon yang ma� dan banyak menyerang kayu-kayu konstruksi pada bangunan dengan sifat
serangannya yang meluas. Hal ini menjadikan rayap C. curvignathus
sebagai rayap yang menimbulkan kerugian ekonomis yang besar.
Gambar 2.6 Coptotermes curvignathus
(sumber: www.termitesurvey.com/distribu�on/images)
C. curvignathus memiliki kandungan populasi flagelata yang �nggi dalam saluran pencernaannya. Hal tersebut jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa rayap C. curvignathus merupakan rayap perusak kayu yang paling ganas di Indonesia. Daya rusaknya yang sangat hebat nampaknya didukung oleh daya cerna selulosa yang �nggi sehubungan dengan �ngginya populasi flagelatanya dengan rata-rata 4682 ekor flagelata/rayap. Di Sumatera bagian tengah, dilaporkan bahwa hama ini dapat merusak tanaman Acacia
sp. usia 1 tahun sebanyak 10-50% (Nair, 2000).
Pengendalian populasi rayap ini dapat menggunakan kitosan. Kitosan mampu
meningkatkan derajat ketahanan kayu seiring dengan semakin �ngginya konsentrasi kitosan. Sifat trofalaksis rayap dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan rayap menggunakan kitosan. Kitosan bekerja sebagai racun perut, sehingga dapat mengganggu kinerja protozoa dalam sistem pencernaan rayap dan secara perlahan akan mema�kan rayap (Zakiah dkk., 2007).
Senyawa kitosan yang berasal dari limbah kulit rajungan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pengawet kayu untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus. Limbah kulit rajungan sebagai salah satu sumber daya lokal dapat dimanfaatkan untuk bahan pengawet kayu yang ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi penggunaan bahan kimia (Zakiah dkk., 2007).
7.
Bag worms
Hama ini dinamakan ulat kantong dikarenakan pada fase larva, hama ini akan membentuk struktur seper� kantong dan larva
akan �nggal di dalam kantong tersebut sampai dewasa. Pada fase larva kelompok hama ini hanya akan menggerakkan kepala dan thoraknya saja yang terbuat dari ki�n ke�ka sedang makan (Kalshoven , 1981).
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
141
Hama be�na �dak dapat melakukan metamorfosis secara
sempurna sehingga tampak seper� “pupa” biasa. Be�na ini �dak mempunyai sayap berbeda dengan jantan yang memiliki sayap karena mengalami metamorfosis yang sempurna.
1.
Cryptothelea sp.
Hama jenis ini secara umum menyerang tanaman secara umum ( polyphagus). Larva hama ini berukuran 4-7 cm dan diselimu� oleh material
kering yang berasal dari bagian tanaman di sekitarnya. Be�na mampu memproduksi sampai 450 bu�r telur untuk satu kali bertelur.
Gambar 2.7 Gambar Cryptothelea sp. (fase dewasa)
(sumber: www.mothphotographersgroup.msstate.edu/Files/JV/J... )
2.
Amma�sa
sp.
Hama ini pada fase larva akan membentuk kantong yang menyerupai ujung panah atau piramida dengan ukuran (6x36 mm). Hama ini juga bersifat polyphagus.
3. Pteroma plagiohelps Hama ini pada fase larva akan membentuk kantong yang kecil �dak lebih dari 16 mm dan diselimu� oleh material-material daun yang telah kering. Ke�ka memasuki fase pupa, kantong akan berubah menjadi bentuk elips dan akan menggantung pada bagian bawah cabang (Kalshoven, 1981).
Hama ulat kantung ini memiliki musuh alami yang dapat digunakan untuk usaha pengendalian populasinya, yaitu Nealsomyia rufella, Exorista psychidarum, Thyrsocnema caudagalli, dan beberapa nematoda entomophagus (Kalshoven, 1981).
8.
Heliopel�s sp.
Kutu penghisap (Heliopel�s sp.) merupakan hama yang pen�ng di hutan tanaman
industri di Sumatera. Kutu ini juga dikenal sebagai hama yang menyerang beberapa tanaman hor�kultura
dan perkebunan di daerah tropis, misalnya teh dan coklat. Kerusakan yang disebabkan oleh kutu ini terhadap Acacia sp
telah dilaporkan terjadi di Malaysia dan Filipina yang merusak tanaman ini pada umur 6 sampai 18 bulan. Bagian tanaman yang diserang hama ini akan tampak menjadi nekrosis dan bahkan dapat menimbulkan kema�an pada pucuk tanaman (Kalshoven, 1981).
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
142
Gambar 2.8 Heliopel�s sp.
(sumber: ditjenbun.deptan.go.id/perlinbun/linbun/index)
Kema�an pucuk tanaman kemungkinan disebabkan oleh racun yang diinjeksikan oleh kutu ini. Beberapa perusahaan menggunakan urea untuk meningkatkan kekebalan tanaman ini terhadap serangan kutu dan juga mengaplikasikan insek�sida. Serangan hama ini dapat menye-babkan kema�an pada pucuk tanaman sehingga pucuk tanaman menjadi kering (Nair, 2000).
9.
Xylosandrus compactus
Hama ini berukuran kecil (1/16 inchi), berwarna hitam cerah, dan berbentuk silinder. Lubang yang dibuat hama ini memiliki lebar sebesar 1/32 inchi yang terletak di bawah cabang. Hama ini terdapat di Sumatra, Vietnam, dan Afrika (Kalshoven, 1981).
Kumbang be�na merupakan penyebab kerusakan yang paling serius karena kumbang be�nalah yang melubangi batang untuk membuat jalan masuk. Saluran yang terbentuk oleh kumbang be�na ini akan menjadi “ladang jamur”. Jamur-jamur yang tumbuh ini akan menjadi makanan bagi larva-larva jika sudah menetas. Pada fase larva, hama ini �dak memi liki kaki. Pada fase pupa, hama ini sudah tampak seper� induk dewasanya dan telah memiliki kepala, sayap, dan anggota tubuh (Anonim, 2005).
Gambar 2.9. Xylosandrus compactus
(sumber: www.extento.hawaii.edu/Kbase/view/beetles.htm )
Be�na dapat bertelur sebanyak 30-50 bu�r. Telur menetas setelah 5 hari. Setelah melengkapi pertumbuhannya selama 10 hari, larva akan berubah menjadi pupa. Fase dewasa terjadi setelah fase pupa berlangsung selama 1 minggu. Populasi kumbang ini dapat dikontrol dengan kehadiran
Tetras�chus xylebororum yang merupakan parasit dari kumbang ini (Kalshoven, 1981).
B.
Mite (tungau)
Tungau merupakan salah satu anggota dari kelompok arthopoda selain insecta, crustacean, dan mryapoda. Tungau termasuk dalam kelompok arachnida yang anggotanya
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
143
terdiri atas laba-laba dan tungau itu sendiri. Ciri khas yang membedakan kelompok ini dengan insecta adalah jumlah kakinya yang mencapai 4 pasang, berbeda dengan insecta y ang hanya memiliki 3 pasang kaki (Denmark, 2006).
Tungau yang menyerang tanaman Acacia sp. adalah Brevipalpus californicus.
Brevipalpus californicus
sering kali disebut juga sebagai tungau omnivora. Hal ini disebabkan karena di Amerika Serikat hama ini menyerang banyak tanaman (polyphagus) dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Brevipalpus californicus telah banyak dilaporkan menyerang tanaman Acacia
sp. di banyak Negara, diantaranya Algeria, Angola, Australia, Brazil, Kongo, Papua New Guinea, South Africa, Thailand, dan Amerika Serikat (Denmark, 2006).
Tungau be�na memiliki panjang 228 mikrometer. Tungau ini berwarna kemerahan pada saat dewasa. Morfologi tubuhnya pipih dan berbentuk seper� segi�ga dengan lebar kira -kira 2/3 panjang tubuhnya.
Tungau ini pernah dilaporkan menyerang tanaman Acacia sp. Mekanisme Brevipalpus californicus dalam menyerang tanaman inang adalah dengan menginjeksikan cairan toxic
ke bagian tanaman inangnya. Gejala yang tampak adalah klorosis, bronzing, atau membentuk area nekrosis pada daun (Childers et al., 2005). Selain dapat menyebabkan kerusakan pada bagian tanaman yang diserang, tungau ini juga dapat berlaku sebagai vector pembawa penyakit.
Gambar 2.10.
Brevipalpus californicus
(www.forestryimages.org)
Pengendalian populasi tungau ini dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami, misalnya adalah dengan menggunakan tungau predator (dari famili Phytoseiidae).
C.
Nematoda (cacing)
Nematoda yang biasa menyerang tanaman Acacia
sp. adalah Meloidogyne incognita. Nematoda ini merupakan hama yang dapat menyebabkan “kanker” pada akar. Sel -sel pada akar yang terinfeksi oleh cacing ini pertumbuhannya akan jauh dari
normal dan akan tampak membesar seper� kanker (Kalshoven, 1981).
Meloidogyne
pada stadium larva juvenil II akan menyerang bagian ujung akar yang bersifat meristema�k. Sel-sel ini akan selalu mengadakan pembelahan dan pembelahannya dikendalikan oleh senyawa IAA. Pada saat nematoda menyerang tanaman, dari kelenjar subdorsal dikeluarkan enzim protease. Enzim ini akan memecah protein menjadi asam amino. Salah satu jenis asam amino hasil pemecahan adalah triptofan. Triptofan diketahui sebagai precursor terbentuknya IAA. Dengan semakin banyak IAA yang terbentuk mengakibatkan peningkatan pembelahan sel. Oleh karena itu tanaman akan membentuk sel yang berukuran lebih besar (giant sel). Sebenarnya tujuan pembentukan puru ini bagi tanaman adalah untuk menghambat gerakan nematoda dalam jaringan (Anonim, 2012)
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
144
Cacing be�na dewasa
meletakan telurnya pada sebuah kantung pada bagian posterior tubuhnya. Sel telur yang diprediksi dapat mencapai 3000 bu�r. Pada waktu tertentu, telur tersebut akan menetas dan berubah menjadi larva juvenil I akan tetapi masih berada di dalam kantung induknya. Setelah larva ini lepas dari kantung induknya, larva ini berubah menjadi larva juvenil II yang berukuran (0,4-0,5 mm). Larva juvenil II ini sudah memiliki bentuk seper� cacing. Mereka dapat bergerak bebas di dalam tanah dan akan segera tertarik dengan eksudat yang dikeluarkan oleh akar tanaman. Mereka mulai mempenetrasi jaringan akar dan mencari tempat dekat dengan jaringan pembuluh. Setelah cacing tersebut menginvestasikan dirinya pa da jaringan di akar maka cacing tersebut akan memulai simbiosis parasi�smenya dengan tanaman inang (Kalshoven, 1981).
Gambar 2.11. Meloidogyne incognita
(sumber: www.nature.com/.../v96/n4/fig_tab/6800794f1.html )
Keterangan gambar: a. Larva juvenil II yang bersifat infek�f b.
Cacing be�na dewasa dengan kantung telur pada bagian posterior (h= bagian anterior)
c.
Gejala yang tampak pada akar akibat serangan Meloidogyne incognita
Kerusakan yang di�mbulkan oleh cacing ini �dak terlalu nyata. Gejala yang tampak adalah menurunnya jumlah suplai makanan dan pertumbuhan yang stagnant.
Tanaman muda yang terserang hama ini akan lebih menderita lebih parah jika dibandingkan dengan t anaman yang dewasa. Kerusakan lebih serius terjadi pada tanaman muda yang ditanam pada periode yang bersamaan (Kalshoven, 1981).
Pengendalian populasi hama ini dapat dilakukan dengan pemberian pengaruh fisik.
Misalnya dengan pengeringan dan pemanasan tanah. Pemberian pengaruh seper� ini dapat memaksa cacing ini untuk keluar dari jaringan akar. Perendaman dengan air dapat mencegah perkembangan larva juvenil dan cacing dewasa akan tetapi �dak dapat menghambat perkembangan telur (Anonim, 2012). Selain itu pengendalian Meloidogyne
spp. dapat dilakukan secara biologi dengan menggunakan Pasteuria penetrans
(Panggeso dan Mulyadi, 1999).
III.
PENUTUP
Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai macam jenis hama yang menyerang Acacia sp.,
di Arboretum BPTSTH Kuok
yaitu: Pteroma plagiophelps,
Ama�ssa sp.,
Cryptothelea sp. (Ulat kantong),
Xystrocera fes�va
(Penggerek batang),
Coptotermes curvignathus (Rayap),
Valanga nigricornis (Belalang),
Aegus acuminatus
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
145
(Penggerek batang),
Eurema sp.
(Kupu-kupu kuning),
Rhopalosiphum maidis (Kutu),
Heliopel�s sp.
(kutu),
Xylosandrus compactus (Pengebor batang),
Brevipalpus californicus (tungau), Meloidogyne incognita
(nematoda).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005.
Xylosandrus compactus
(insect,).
h�p://www.issg.org. Diakses tanggal 13 Juni 2014.
Anonim. 2012. Gejala Serangan Nemotoda. h�p://mail.uns.ac.id/~subagiya. diakses
tanggal 13 Juni 2014.
Anonim. 2012. Trees In Agricultural Systems. h�p://www.echotech.org/ . Diakses tanggal 10 Juni 2014.
Badan Litbanghut. 1999. Pedoman Teknis Penanaman Jenis-jenis Kayu Komersial. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Childers C.C., Mc Coy C.W., Nigg H.N., Stansly P.A., Rogers M.E. 2005. Florida citruss pest management guide: rust mites, spider mites, and other phytophagous mites. h�p://edis.ifas.ufl.edu/CG002
diakses tanggal 1 Juni 2014.
Dahelmi. 2012. Pengaruh Ekstrak Nimba (Azadirachta Indica
A. Juss) terhadap Ak�vitas Makan Belalang Valanga Nigricornis Burm. h�p://anekaplanta.wordpress.com/ . Diakses 12 Juni 2014.
H.A. Denmark. 2006. Brevipalpus californicus (Banks) (Arachnida: Acari: Tenuipalpidae). DPI Entomology Circulars, Florida.
Hidayat, Y and A Kuvaini. 2005. The Keefek�fan Ekstrak Daun Surian ( Toona sinensis Roem) Dalam Pengendalian Larva Boktor (Xystrocera fes�va Pascoe). Agrikultura 16: 133-136.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT Ich�ar Baru, Jakarta.
Kazuma Matsumoto and Ragil S. B. Irianto. 1994. Ecology and Control of the Albizzia Borer, Xystrocera fes�va. www.jircas.affrc.go.
diakses tanggal 12 Juni 2012.
Kherudin. 1994. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar Swadaya, Jakarta .
Kok M.L. 1971. Laboratory studies on the life-history of Valanga nigricornis. Bulle�n of
Entomological Research 60, 439-446.
Mau, R.F.L. and J.L.M., Kessing. 1992. Rhopalosiphum maidis
(Fitch). h�p://www.extento.hawaii.edu/Kbase/Crop/Type/rhopalos.htm . diakses tanggal 12 Juni 2012.
Nair, K.S.S. 2000. Insect Pests and Diseases in Indonesian Forests: of the major threats, research efforts and literature. CIFOR, Bogor.
Nayar, K.K., T.N. Ananthakrishnan, and B.V David. 1976. General and Applied Entomology . Mc Graw-Hill Publishing co. ltd., New Delhi.
Panggeso, J. dan Mulyadi. 1999. Perkembangan bakteri Pasteuria penetrans
pada nematoda puru akar (Meloidogyne spp.). Jurnal Agroland. v. 6(1-2) p. 82-87.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
146
Zakiah, S., Purnomo, D., Nugraheni, E., dan Adi Se�adi . 2007. Pemanfaatan Limbah Kulit Rajungan untuk Pengendalian Rayap Tanah. H�p://Adioke.Mul�ply.Com/
Journal/
Item/9. Diakses Tanggal 12 Juni 2014.
www.forestryimages.org
diakses tanggal 30 Mei 2014.
www.extento.hawaii.edu/Kbase/view/beetles.htm . diakses tanggal 30 Mei 2014.
www.mothphotographersgroup.msstate.edu/Files/JV/J.
diakses tanggal 1 Juni 2014.
www.termitesurvey.com/distribu�on/images . diakses tanggal 1 Juni 2014.
www.forestpests.org/subject.html?SUB=282 . diakses tanggal 28 Mei 2014.
www.aphidweb.com/
diakses tanggal 28 Mei 2014.
www.flickr.com/photos/�magpie/1721946568 . diakses tanggal 28 Mei 2014.
www.pbase.com/uplepidoptera/family_pieridae. diakses
tanggal 28 Mei
2014.
www.malaeng.com/blog/index.php?paged=15. diakses tanggal 28 Mei 2014.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
147
PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI JENIS KULIM (Scorodocarpus borneensis)
DI KHDTK BUKIT SULIGI
Arifin Budi Siswanto dan Eko Sutrisno
Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan
I.
PENDAHULUAN
Kulim atau dikenal juga dengan nama kayu bawang merupakan nama lokal di Sumatera dan Kalimantan untuk
Scorodocarpus borneensis. Jenis ini tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sabah dan Serawak, Brunai, Semenanjung Malaysia hingga Semenanjung Thailand (Sleumer, (1984), Kebler, (1994), Tipot (1995)). Scorodocarpus borneensis
sering dikenali dengan cepat di hutan karena
memiliki ciri khas
berbau bawang pu�h hampir di
seluruh bagian tumbuhan. Bau bawang pu�h ini akan tercium kuat terutama setelah hujan atau ada bagian tumbuhan yang patah atau luka.Jenis ini memiliki habitus pohon besar dengan �nggi mencapai 40-60 m dan diameter 60-80 cm.
Scorodocarpus borneensis
memiliki habitat hutan primer dan sekunder dataran rendah dan sering ditemui terutama sepanjang sungai atau pada tempat-tempat yang sering tergenang (Sleumer,1984).
Pada
hutan
sekunder
bekas terbakar di Kalimantan, S.
boornensis
merupakan sisa-sisa dari individu pada kondisi habitat sebelumnya dan jarang ditemukan pada diameter >20 cm (Schulte, 1996).
Kayu
Scorodocarpus borneensis
potensial untuk dibuat kusen pintu rumah, konstruksi ringan dan bahan kapal kayu terutama bagian dinding/palka, dan �ang kapal (Martawijaya dkk.(1989), Heriyanto dkk (2004), Tipot (1995). Masyarakat Kalimantan menggunakan kulit dan biji S. borneensis sebagai bumbu masakan penggan� bawang pu�h. Biji yang dipanggang dapat dimakan dengan garam dan daun mudanya dimasak sebagai sayur (Lim, 2012). Kubota dkk (2009)
menemukan bahwa biji S. borneensis
memiliki kandungan sulphur yang berpotensi
sebagai bahan pengawet alami. Scorodocarpus borneensis saat ini masih belum tercatat sebagai jenis yang dilindungi.
Sidiyasa dkk (2006)
menyatakan bahwa jenis ini sudah sulit ditemui oleh masyarakat di Desa Setulang dan Sengayan, Kalimantan Timur.
Heriyanto dkk
(2004) memperkirakan akan terjadi kelangkaan kayu Scorodocarpus borneensis
dalam ukuran siap tebang sebagai bahan baku pembuatan kapal di Bagan Siapi-Api, Provinsi Riau. Kondisi ini diperkirakan karena pertumbuhan dari jenis tanaman ini yang sangat lambat sedangkan permintaan akan kayunya �nggi, sehingga keberadaan jenis ini mulai jarang dijumpai lagi. Tanaman Kulim menjadi jenis yang langka dan hanya dapat dijumpai pada areal hutan konservasi/taman nasional itupun berada jauh di dalam kawasan.
Upaya yang dilakukan dalam rangka melindungi dan melestarikan pohon kulim ini melalui konservasi insitu dan eksitu. Namun dalam pelaksanaanya diperlukan pengetahuan mengenai ekologi seper� habitat, penyebaran, morfologi, fisiologi, demografi, dan areal yang masih tersedia.
Berdasarkan hasil ekspedisi yang dilakukan oleh �m Balai Peneli�an Teknologi serat Tanaman Hutan (BPTSTH) saat ini habitus kulim berada di Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
148
II.
BAHAN DAN ALAT
1.
Tempat dan Waktu
Pembangunan plot konservasi jenis kulim ini dimulai pada April 2014 di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) Bukit Suligi, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Pengamatan terakhir dilakukan pada April 2015.
2.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam pembangunan plot konservasi jenis kulim ini berupa bibit kulim berjumlah 20 famili, pupuk dasar, pupuk pertumbuhan, so�ware design p enanaman dan ATK. Alat–alat yang dipakai adalah golok, cangkul, paranet, solo sprayer, ajir, gerobak, kompas dan meteran.
3.
Rancangan Plot
Plot konservasi dibangun dengan acuan desain single tree plot
yang terdiri atas 20 famili dan 20 blok. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 4x4 meter dan disekeliling plot dibuat border berupa jalur hijau sekaligus sebagai sekat bakar.
III.
PROSEDUR KERJA
Konservasi eksitu merupakan metode yang mengkonservasi suatu jenis di luar distribusi alaminya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melindungi suatu jenis tanaman yang biasanya sudah langka atau terancam punah, dengan mengambil materi gene�k pada keseluruhan habitat alaminya dan atau pada habitat yang sudah terancam keberadaannya. Kegiatan ini �dak hanya dimanfaatkan untuk pelestarian dari suatu jenis saja, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan lainnya di masa mendatang. Sebagai salah satu bentuk konservasi eksitu, plot konservasi kulim yang di bangun melalui tahapan sebagai berikut:
A.
Eksplorasi pohon indukan
Sebagai tahapan awal dalam membangun sebuah plot konservasi adalah mengumpulkan materi gene�knya. Jumlah individu yang dikoleksi materi gene�knya dapat berupa buah, biji atau cabutan akan mempengaruhi keterwakilan variasi gene�k yang ada dalam suatu populasi. Berbagai sumber mensyaratkan jumlah minimum individu yang harus dikoleksi untuk mendapat keterwakilan variasi gene�k dari suatu populasi. Jenis materi gene�k berupa buah, biji dan atau cabutan yang dikumpulkan dipisahkan per individu (famili) atau
untuk suatu populasi.
B.
Pembuatan desain plot konservasi
Desain plot ini disesuaikan dengan ketersediaan materi gene�k yang dapat dikumpulkan.
Idealnya desain plot akan ditentukan setelah penentuan tujuan pembangunan plot, tetapi mengingat kemungkinan hasil pengumpulan materi gene�k �dak selalu sesuai dengan target yang telah ditentukan, maka desain ini dibuat setelah materi gene�k dikumpulkan. Desain plot konservasi eks-situ ini melipu� luasan plot yang akan dibangun, jarak tanam, lokasi penanaman dari masing-masing populasi, Oleh karenanya, sebelum desain dibuat, perlu terlebih dahulu melakukan survei calon lokasi pembangunan plot konservasi eksitu.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
149
C.
Perawatan di persemaian
Persyaratan kondisi dan media persemaian tergantung dari jenis tanaman yang
dikembangkan. Suhu, kelembaban dan media persemaian merupakan beberapa faktor yang perlu diperha�kan dalam persemaian. Pemisahan, baik antar individu maupun populasi, perlu dilakukan sesuai dengan desain dari plot konservasi eksitu agar �dak tercampur semai antar individu ataupun antar populasi. Apabila materi gene�k berupa cabutan sehingga susah untuk menentukan kepas�an induknya, maka pemisahan lebih difokuskan pada antar populasi.
D.
Survey lokasi plot
Lokasi untuk pembangunan plot konservasi eks-situ perlu memper�mbangkan beberapa hal, antara lain kesesuaian iklim, jenis tanah, perlu �daknya naungan, aksesibilitas dan keamanan dari perambahan, konflik masyarakat atau kepen�ngan dan lain -lain. Mengingat plot konservasi eksitu ditujukan untuk pemanfaatan di masa mendatang, maka perlu dipas�kan adanya jaminan keamanan dari plot tersebut.
E.
Penanaman plot konservasi
Lokasi penanaman perlu disiapkan terlebih dulu sesuai dengan desain plot konservasi yang telah dibuat. Pekerjaan pertama yang dilakukan adalah pembuatan jalur sesuai jarak tanam yang telah ditentukan. Selanjutnya adalah pembersihan lahan dan pemasangan ajir sebagai tanda lokasi semai yang akan di tanam. Pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk dasar perlu dipersiapkan sebelum bibit/semai di tanam.
Masing-masing bibit yang telah siap tanam diletakkan pada dekat lubang penanaman sesuai dengan penempatan yang telah ditentukan. Perlu diperha�kan label bibit yang akan di tanam agar �dak terjadi kekeliruan. Setelah semuanya dipas�kan kebenarannya, bibit dikeluarkan dari polybag dan dimasukkan ke lubang dan ditutup (termasuk pupuk dasar). Bekas polybag di taruh pada ujung atas ajir yang tersedia sebagai tanda bahwa polybag sudah diambil dari bibitnya. Penyiraman dilakukan sesudah penanaman apabila diperlukan. F.
Pemeliharaan dan pengamatan
Pemeliharaan yang biasanya dilakukan adalah penyiangan,
pemupukan, pendangiran, penyiraman, penanggulangan hama dan penyakit, serta penyulaman. Semuanya dilakukan sesuai dengan kondisi pertumbuhan tanaman di lapangan. Untuk penyulaman, bibit yng digunakan harus sama asalnya dengan yang digan�kan. Apabila memungkinkan, bibit sulaman berumur sama dengan yang digan�kan, tetapi bila �dak ada, dapat berasal dari pembibitan yang baru apabila faktor umur bibit �dak mempengaruhi tujuan dari pembangunan plot tersebut. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui daya tumbuh ( survival rate) sampai dengan riap tumbuh tanaman. Pengamatan dilakukan dengan interval 12 bulan sekali, dikarenakan pertumbuhan kulim yang sangat lambat. Menurut Sosef dkk (1988),
riap tahunan dari pohon kulim hanya 0,2-0,3cm. Lambatnya pertumbuhan ini dikarenakan kandungan zat ekstrak�fnya yang �nggi.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembangunan plot konservasi eks-situ dapat ditujukan untuk berbagai keperluan, antara
lain sebagai tempat penyimpanan materi gene�k dengan keragaman yang cukup untuk pemanfaatan di masa mendatang, sebagai sumber benih untuk menyediakan benih dalam jumlah yang cukup dan sebagai populasi dasar untuk kegiatan pemuliaan pohon. Setahun kegiatan pembangunan plot konservasi jenis kulim ini menghasilkan informasi sebagai berikut:
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
150
A.
Hasil eksplorasi
Eksplorasi bertujuan mengumpulkan biji dan cabutan anakan kulim sebagai sumber material gene�k. Eksplorasi dilakukan di seluruh kabupaten yang ada di Pr ovinsi Riau. Namun yang dapat dinilai sebagai habitat atau sebaran alami pohon kulim adalah Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hulu. Menurut Yoza (2015),
Potensi pohon kulim yang ada di Provinsi Riau tersebar pada kelompok hutan
Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasim, Tahura Aek Martua –
Hutan Produksi Terbatas Kai� –
Kubu Pauh, Hutan Gua Sikafir, Hutan Adat Rumbio dan eks areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kampar dan Bengkalis.
Pemisahan materi gene�k antar indukan atau populasi dilakukan sejak awal kegiatan. Pemisahan antar individu ini bertujuan agar keragaman gene�k dari masing -masing individu guna mendapatkan keragaman gene�k dalam populasi yang lebih besar.
Gambar 1. Kegiatan eksplorasi: a. pendataan pohon induk; b. penandaan pohon induk
Gambar 2.
Hasil eksplorasi: a. buah kulim; b. biji kulim; c. cabutan �ngkat semai
Kegiatan eskplorasi dalam rangka pengumpulan materi gene�k ini
sangat strategis karena keberhasilan dari pembangunan plot konservasi sangat ditentukan oleh kegiatan ini. Keberhasilan ini lebih mengarah kepada kemampuan untuk mengkoleksi materi gene�k yang dapat mewakili sebaran alam maupun variasi gene�k dari jenis
tersebut. Oleh karenanya, waktu dan dana kegiatan haruslah difokuskan untuk kegiatan ini. Dalam pelaksanaan kegiatan eksplorasi beberapa hal yang harus diperha�kan diantaranya: penentuan lokasi eksplorasi memper�mbangkan aspek teknis & non teknis, informasi sebaran alami pohon kulim dan penentuan jumlah individu untuk �ap populasi.
Tahapan pengumpulan material gene�k pada kegiatan eksplorasi melipu�:
1.
Pengumpulan data pohon induk yang terekam dalam tally sheet yang memuat informasi berupa: posisi koordinat, ke�nggian tempat, diameter, �nggi total, �nggi bebas cabang dan kondisi lingkungan sekitarnya.
2.
Pengumpulan material gene�k berupa buah matang, biji dan atau cabutan.
3.
Pemilihan pohon induk di pilih yang paling dewasa guna meminimalkan pengumpulan
dari keturunan yang sama.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
151
4.
Pengumpulan material gene�k dari buah yang terbaik yaitu apabila buah sudah matang di pohon namun belum jatuh. Untuk pohon yang terlalu �nggi, tentunya harus menunggu buah sampai jatuh di lantai hutan.
5.
Pengumpulan material gene�k dari cabutan �ngkat semai dengan cara membawa tanah disekitarnya menggunakan teknik stump dan usahakan biji/keping lembaga masih terbawa.
6.
Jumlah buah dan atau biji yang dikumpulkan per pohon induk harus sebanyak mungkin, dikarenakan musim buah yang �dak ru�n sepanjang tahun. Pohon induk yang diperoleh sekurang kurangnya 25 pohon atau populasi. Menurut Widyatmoko
(2014) plot konservasi eksitu dapat di buat sesuai dengan material gene�k yang terkumpul dengan memper�mbangkan keterwakilan dari se�ap pohon induk dalam suatu populasi.
7.
Pengepakan buah, biji dan cabutan yang telah ditandai harus dilakukan secepat mungkin. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerusakan material gene�k yang sudah terkumpul. Pengepakan harus mampu menjaga kelembaban.
B.
Pembuatan desain dan karakteris�k lokasi
Desain plot konservasi eks-situ idealnya ditentukan setelah penentuan tujuan pembangunan plot, tetapi mengingat hasil pengumpulan materi gene�k �dak sesuai dengan target yang ditentukan, maka desain ini di buat setelah materi gene�k dikumpulkan. Sebelum membuat desain plot telah dilakukan survey calon lokasi plot dengan hasil: memiliki pH 5,9 (mendeka� normal), berjenis tanah ul�sol, karakteris�k tanah berdasarkan perbandingan fraksi berjenis liat berpasir, nilai KTK
cukup besar sekitar 18,80 meq/100 gr, hal ini dapat menjadi
per�mbangan dalam tahap pemupukan,
topografi berkisar 2-5º
(landai sampai berlereng) dengan posisi 173 mdpl dan terdapat aliran air sebagai sumber air saat penyiraman. Lokasi plot konservasi mudah diakses dengan kendaraan roda dua yang berguna pasa saat pelangsiran bibit maupun untuk kegiatan pemeliharaan.
Berdasarkan informasi awal tersebut dan dengan jumlah material gene�k yang �dak terlalu banyak maka design yang dibuat pada plot konservasi
jenis kulim ini menggunakan
desain single tree plot
dan memiliki 20 blok dengan luas keseluruhan adalah 1 hektar. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 4 x 4 meter. Hal ini mengingat �dak ada penjarangan setelah penanaman.
Gambar 3. Survey penentuan lokasi : a. pemilihan lokasi; b. persiapan lokasi tanam
Lokasi penanaman perlu dipersiapkan terlebih dahulu sebelum bibit di bawa ke lokasi tersebut. Persiapan ini mengiku� desain plot yang telah ditetapkan. Kegiatan yang dilakukan pada persiapan lokasi ini adalah: pengukuran dan pemetaan ulang sesuai desain plot, pembersihan jalur tanam, pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam dan pemberian pupuk dasar (kompos:top soil
= 1:1). Seluruh rangkaian kegiatan persiapan tersebut dilakukan bersamaan dengan kegiatan persiapan dan pemeliharaan material gene�k di persemaian.
a
b
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
152
C.
Pembibitan dan pemeliharaan material gene�k
Kegiatan pembibitan biji dan pemeliharaan cabutan di persemaian merupakan kegiatan awal sebelum dilakukan penanaman di lapangan. Oleh karenanya hasil dari kegiatan di persemaian menjadi pen�ng karena menentukan jumlah bibit yang dapat di tanam pada plot konservasi. Sebelum kegiatan persemaian dilaksanakan, perlu dilakukan persiapan antara lain: pemilihan lokasi persemaian, kebutuhan bahan dan peralatan, kebutuhan tenaga kerja, tata waktu kegiatan persemaian dan penyiapan media.
Mengingat materi gene�k yang diperoleh dari lapangan kemungkinan berupa buah, biji dan atau cabutan, maka kegiatan di persemaian juga perlu dibedakan untuk masing-masing materi. Berikut kegiatan di persemaian yang perlu dilakukan untuk masing-masing materi gene�k adalah:
1.
Biji
Biji kulim dikecambahkan dapat langsung di dalam polybag mapun di bedeng tabur yang berisikan media pasir dan ditutup sungkup dari bahan plastik. Biji kulim memiliki cangkang atau kulit biji yang sangat keras, sehingga ke�ka akan dikecambahkan harus diretakkan terlebih da -hulu. Pada umumya waktu perkecambahan biji kulim berkisar 3 -6 bulan. Tahapan selanjutnya setelah biji berkecambah
adalah penyapihan jika terlebih dahulu dikecambahkan di
bedeng tabur.
2.
Cabutan �ngkat semai
Cabutan yang diperoleh langsung dapat ditanam di polybag. Untuk
penyesuaian lingkungan, seper� halnya pada bibit yang baru di sapih, cabutan disungkup hingga tahan terhadap sinar matahari dan suhu udara sekitar persemaian. Selama perjalanan, kemungkinan ada daun yang layu. Oleh karenanya, setelah ditanam di polybag, daun -daun yang layu ini diambil/dipotong. Menjadi mudah ke�ka dalam tahap pengumpulan material gene�k su dah dipisahkan antar pohon induk, maka di persemaian �nggal memisahkan antar populasi.
Tahap akhir dan sangat menentukan setelah material gene�k tumbuh adalah pemeliharaan. Kegiatan tersebut melipu� penyiraman, penyiangan, penyemprotan fungisida atau insek�sida dan pembukaan naungan/paranet sesuai dengan kebutuhan sinar matahari bagi pertumbuhan bibit. Pengamatan kondisi bibit dilakukan se�ap 3 minggu sekali sampai bibit siap tanam.
Gambar 4. Pembibitan: a. fase dipersemaian; b. bibit siap tanam
D.
Penanaman
Kegiatan penanaman dilakukan setelah bibit sudah siap tanam dan lokasi penanaman telah dipersiapkan seper� dijelaskan di atas. Pada kegiatan ini hal -hal yang perlu diperha�kan adalah sebagai berikut:
1.
Bibit dari persemaian (berasal dari biji dan cabutan) dan yang sudah siap tanam diletakkan pada tempatnya masing-masing.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
153
2.
Bibit antar populasi jangan sampai tercampur. Cara yang dapat digunakan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan pada saat pelangsiran adalah pemberian label dengan warna yang berbeda.
3.
Setelah semuanya dipas�kan kebenarannya pada lubang tanam, bibit dikeluarkan dari polybag dan dimasukkan ke lubang tanam lalu ditutup. Diusahakan tanaman �dak tertekuk, dan jika ada akar yang telah menerobos polybag sebaiknya dipotong dan bibit ditanam secara tegak sedalam leher akar. Tanah untuk mengisi lubang hendaknya gembur dan jika perlu bibit diikat dengan ajir agar tetap tegak. Bekas polybag ditaruh pada ujung atas ajir yang tersedia sebagai tanda bahwa polybag sudah diambil dari bibitnya. Penyiraman dilakukan sesudah dilakukan penanaman apabila diperlukan.
Setelah selesai menanam, kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan dilakukan untuk mempertahankan persen hidup bibit yang di tanam dan u ntuk meningkatkan pertumbuhannya. Kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan adalah: pemberian paranet sebagai naungan dan pagar, penyiangan dan pembersihan gulma, pendangiran dengan metode piringan, pemberian pupuk pertumbuhan (NPK), perlindungan dan pengamanan dari gangguan hama, pemberantasan hama dan penyakit dan penyulaman.
Gambar 5.
Penanaman: a. bibit yang telah ditanam; b. paranet sebagai naungan
Dalam mengevaluasi pertumbuhan pada plot konservasi kulim, tahapan awal adalah pe-nyulaman. Kegiatan penyulaman dilakukan sebulan setelah bibit ditanam, tujuannya adalah mendapatkan jumlah tanam/kuan�tas yang dipersyaratkan dalam pembangunan plot kon ser-vasi. Secara populasi untuk tahap pertama daya tumbuh bibit kulim adalah 78,21% atau hi dup sebanyak 427 bibit dari 545 bibit yang ditanam. Famili yang dominan mampu beradaptasi di lapangan adalah dari famili yang bersal dari Kabupaten Rokan Hulu, Kampar dan Indragiri Hulu.
E.
Hasil pengamatan (tahun 1)
Pembangunan plot konservasi kulim agar sesuai dengan tujuan dan desainnya maka harus dilakukan pengamatan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjamin pertumbuhan dalam satu populasi, mengetahui kemampuan adaptasi serta adanya recording data base
jika nan� akan dilakukan ser�fikasi.
Gambar 6.
Pengamatan: a. pengukuran �nggi; b. pengukuran diameter
a
b
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
154
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
SLG
001
SLG
002
TPG
001
TPG
005
TPG
006
TPG
00
7
TPG
01
0
TPG
01
2
TPG
013
TPG
01
4
TPG
022
TPG
02
3
RLS
T 0
01
RLS
T 0
03
RLS
T 0
04
RLS
T 0
05
RLS
T 0
10
AR
B 0
01
AR
B 0
04
RH
L 00
2
�n
ggi (
cm)
kode famili
�nggi T 0
�nggi T 1
Hasil pengamatan parameter �nggi pada tahap awal memiliki nilai yang baik, sampai pada pengamatan kedua. Famili yang mampu bertahan dan mempunyai adaptasi ter�nggi adalah dari Tapung, Kabupaten Kampar. Secara umum pertumbuhan plot konservasi ini sudah baik, semua famili yang berasal dari Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu bertambah nilainya pada pengamatan kedua. Beberapa faktor yang turut mempengaruhi pertumbuhan �nggi diantaranya :
intensitas naungan, keberadaan gulma serta �pologi lahan. Grafik pertumbuhan �nggi dari masing-masing famili tergambar pada gambar 7.
Gambar 7. Grafik pertumbuhan �nggi pada plot konservasi jenis kulim
Pertambahan diameter untuk masing masing famili berkisar 0,1-0,2 mm. pertumbuhan paling sesuai untuk lokasi didominasi dari famili yang berasal dari Kabupaten Kampar. Pertambahan diameter paling �nggi terjadi pada famili yang berasal dari Kabupaten Rokan Hulu. Hal ini diduga secara tapak tumbuh lebih sesuai karena merupakan habitat alaminya. Hasil pengamatan diameter dari masing masing famili terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Grafik pertumbuhan diameter pada plot konservasi jenis kulim
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
0,60
0,70
0,80
SLG
001
SLG
002
TPG
001
TPG
005
TPG
006
TPG
00
7
TPG
01
0
TPG
012
TPG
01
3
TPG
01
4
TPG
02
2
TPG
02
3
RLS
T 0
01
RLS
T 0
03
RLS
T 0
04
RLS
T 0
05
RLS
T 0
10
AR
B 0
01
AR
B 0
04
RH
L 00
2
dia
met
er (
cm)
Kode famili
diameter T0
diameter T1
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
155
V.
PENUTUP
Pembangunan plot konservasi jenis pohon kulim (Scorodocarpus borneensis), merupakan salah satu bentuk konservasi secara eksitu. Selain untuk tujuan konservasi, plot konservasi kedepan diharapkan mampu menyediakan kebutuhan bibit pohon yang sudah langka ini. Tahapan pembangunan plot konservasi dimulai dari pengumpulan material gene�k berupa buah, biji dan cabutan �ngkat semai, kemudian persiapan di persemaian, penentuan lokasi plot konservasi, pembuatan desain, penanaman dan pengamatan pertumbuhan. Plot konservasi yang di bangun pada tahun 2014 di KHDTK Bukit Suligi ini berhasil mengumpulkan 20 pohon indukan (famili) yang berasal dari Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu. Sampai saat ini pertumbuhan sudah cukup baik, terlihat dari persentase tumbuh, pertambahan �nggi dan diameter. Masing masing famili menunjukkan pertumbuhan yang berbeda terhadap pertambahan �nggi dan diameter.
DAFTAR PUSTAKA
Heriyanto,
N.M. dan R. Garse�asih. 2004. Potensi Pohon Kulim ( Scorodocarpus borneensis
Becc.) di Kelompok Hutan Gelawan Kampar, Riau. Bule�n Plasma Nu�ah Vol. 10. No.1.
Kebler, P.J.A. dan Kade Sidiyasa. 1999. Pohon -pohon Hutan Kalimantan Timur (Pedoman Mengenal 280 jenis pilihan di Daerah Balikpapan-Samarinda). MOFEC-Tropenbos. Balikpapan.
Kubota, Kikue dan Akio Kobayashi. 2009. Sulfur Compounds in Wood Garlic (Scorodocarpus borneensis Becc.) as Versa�le Food Components. (Sulfur Compounds in Foods). Department of Nutri�on and Food Science, Ochanomizu University. Japan
Lim, T. K. 2012 Edible Medicinal And Non-Medicinal Plants Volume 4: Fruits.Springer Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu
Indonesia jilid II. Departemen Kehutanan. Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Schulte, A., Dieter Schone.
1996.
Dipterocarps Forest Ecosystems: Towards Suis�nable Management.
World Scien�fic.
Sidiyasa, K., Zakaria, Iwan R.2006. The forests of Setulang and Sengayan in Malinau, East
Kalimantan: their poten�al and the iden�fica�on of steps for their protec�on and sustainable management.CIFOR.Bogor
Sleumer,
H.O. 1984. Flora Malesiana I Vol. 10 (Olacaceae). Rijksherbarium/Hortus Botanicus. Leiden.
Sosef, M.S.M, L.T. Hong, and
Prawirohatmodjo. 1988. Timber trees: Lesser-Known Timber. Prosea 5. Bogor, Indonesia.
Tipot, L. 1995. Tree Flora of Sabah and Sarawak Vol.1 (Olacaceae). Forest Research Ins�tute Malaysia.
Widiyatmoko A.Y.P.B.C. 2014. Manual Pembangunan Plot Konservasi Ek s-Situ Shorea Penghasil Tengkawang. Balai Besar Peneli�an Dipterocarpa.
Samarinda.
Yoza D. 2015. Sebaran, Potensi, Pengelolaan dan Strategi Konservasi Kulim dan Giam. Prosiding Seminar ITTO PD 710/13 Rev.1 (F) 23 April 2015. Balai Peneli�an Teknolog i Serat Tanaman Hutan.
Kuok.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
156
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
157
INFORMASI TEKNIS BISBUL
(Diospyros blancoi
A. DC)
Kosasih dan Agus Winarsih
Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I.
PENDAHULUAN
Bisbul
( Diospyros blancoi
A.
DC), dikenal juga sebagai Velvet Apple (Inggris) dengan panggilan persamaan
Diospyros blancoi
A.
DC
yaitu Diospyros discolor atau Buah Mentega. Ia merupakan buah yang awalnya hidup liar di hutan-hutan Filipina, namun kini telah menyebar di berbagai negeri tropis, termasuk Indonesia, terutama di Bogor, Jawa Barat. Bentuknya bulat gepeng, dengan besar kira-kira 5-12 cm x 8-10 cm dan berbulu halus seper� beledru. Buah ini termasuk dalam keluarga eboni (suku Ebenaceae) dan berkerabat dengan buah kesemek dan kayu hitam.
Tak heran jika di negeri asalnya ia dipanggil Buah Mabolo atau Buah Berbulu.
Tumbuhan ini berkerabat dengan
kesemek dan
kayu hitam, merupakan pohon yang sedang �ngginya, 10-30
m, meskipun umumnya hanya sekitar 15 m atau kurang. Berbatang lurus, dengan pepagan berwarna hitam atau kehitaman, diameter hingga 50 cm atau lebih di pangkal batang, bercabang kurang lebih mendatar dan ber�ngkat, dengan tajuk keseluruhan berbentuk
kerucut yang lebat dan rapat daun-daunnya sehingga gelap di bagian dalamnya.
Bisbul tumbuh dengan baik di daerah tropika beriklim muson, pada berbagai jenis tanah sampai dengan ke�nggian 800 m dpl. Di Filipina, bisbul berbuah antara Juni-September, namun di Bogor buah telah dapat dipe�k antara Maret - Mei.
Pohon bisbul terutama di tanam untuk buahnya, yang dapat di makan segar atau sebagai campuran minuman dan rujak. Kayunya berkualitas baik, coklat kemerahan hingga hitam, bertekstur halus, kuat dan keras; di Filipina (dinamai kamagong) merupakan bahan kerajinan yang berharga dan dilindungi oleh undang-undang.
Karena tajuknya yang bagus,
pohon bisbul juga kerap ditanam di taman-taman dan tepi jalan.
Tumbuh baik di daerah yang beriklim muson, dari 0 m sampai 800 m dpl, dan pada hampir segala �pe tanah. Bisbul sangat tahan terhadap angin topan. Diduga potensi tanaman ini terus menurun sehingga semakin jarang ditemukan sebagai tanaman pekarangan apalagi dalam bentuk tegakan yang lebih luas. Banyak dilaporkan bahwa jenis ini sekarang sudah langka dan hanya bisa ditemukan di daerah -daerah tertentu. Oleh karena itu upaya upaya -upaya pelestarian jenis ini sangat diperlukan melalui serangkaian kegiatan iden�fikasi keragaman gene�k dan daerah populasi sebaran alami, koleksi materi gene�k dan pengembangan iptek pembibitan. Upaya-upaya tersebut sangat diperlukan sebagai dasar untuk menentukan strategi pengembangan jenis ini pada masa yang akan datang.
II. TAKSONOMI TUMBUHAN DAN DESKRIPSI
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan
:
Plantae
Divisi
:
Magnoliophyta
Kelas
:
Magnoliopsida
Ordo
:
Ericales
Famili
:
Ebenaceae
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
158
Genus
:
Diospyros
Spesies
:
Diospyros blancoi
Nama Binomial
:
Diospyros blancoi
A.DC
Bisbul berperawakan pohon, berkelamin dua dan selalu hijau, �ngginya 7 -15(-32) m, diameter pangkal batangnya 50(-80) cm, tajuknya berbentuk kerucut. Daunnya berselang-seling, berbentuk lonjong, berukuran (8-30) cm x (2,5-12) cm, pinggirannya rata, pangkalnya biasanya membundar, ujungnya melancip, menjangat; lembaran daun sebelah atas be rwarna hijau tua, berkilap, tak berbulu; lembaran daun sebelah bawah berbulu perak; daun mudanya berwarna hijau pucat sampai merah jambu, berbulu perak; tangkai daunnya mencapai panjang 1,7 cm.
Daun Bisbul
Sumber : h�ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul
Bunga-bunga jantannya tersusun dalam payung menggarpu, di ke�ak daun, terdiri atas 3-7 kuntum; tangkai bunganya pendek; daun kelopaknya berbentuk tabung, bercuping 4 yang dalam, panjangnya kira-kira 1 cm; daun mahkotanya sedikit lebih besar daripada daun kelopak, berbentuk tabung dan bercuping 4 juga, berwarna pu�h susu; benang sarinya 24-30
utas,
menyatu dipangkalnya, membentuk pasangan-pasangan; bunga be�na soliter, berada di ke�ak daun, bertangkai pendek, ukurannya sedikit lebih besar daripada bunga jantan, memiliki 4-5(-8) staminodia. Pohon asal benih cenderung tumbuh tegak,
kadang-kadang hanya memiliki satu batang tanpa cabang. Akan tetapi, pohon yang berasal dari sambungan perawakannya pendek dan mengeluarkan lebih banyak cabang lateral. Pohon yang berasal dari semai berbuah 6-7 tahun setelah di tanam, sedangkan yang berasal dari sambungan 3 -4 tahun. Pohon bisbul bervariasi terutama dalam bentuk dan perbuluan daun serta bentuk dan rasa buah.
Buahnya ber�pe buah buni yang berbentuk
bulat atau bulat gepeng, berukuran (5-12) cm x (8-10) cm, berbulu beludru, berwarna coklat kemerahan, dipangkalnya ada topi dari kelopak yang kaku dan �dak rontok; kulit buahnya �pis, tertutup rapat oleh bulu -bulu pendek yang berwarna coklat keemasan, mengeluarkan bau keras yang mirip bau keju; daging buahnya berwarna kepu�h-pu�han, keras, agak kering, rasanya manis, sepet, berbau harum. Bijinya 0-10 bu�r per buah, berbentuk baji, ukurannya mencapai 4 cm x 2,5 cm x 1,5 cm. Nama daerah bisbul di Filipina ialah 'mabolo',
berar� buah berbulu, mengacu kepada buahnya yang berbulu. Buah bisbul memiliki 60-73% dari bagian yang dapat dimakan.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
159
Buah Bisbul/Buah Mentega
Sumber: h�ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul
III.
BUDIDAYA BISBUL
A.
Syarat tumbuh
Tumbuh baik di daerah yang beriklim muson, dari 0 m sampai 800 m dpl, dan pada hampir segala �pe tanah. Bisbul sangat tahan terhadap angin topan .
bisbul berbuah antara Juni-September, namun di Bogor buah telah dapat dipe�k antara Maret-Mei.
Buah Bisbul/Buah Mentega
Sumber: h�ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
160
B.
Pembibitan
Diospyros
blancoi
biasanya diperbanyak dengan benih yang memerlukan waktu 24 hari untuk berkecambah. Juga dapat diperbanyak secara vegeta�f dengan cangkokan, sambungan mata, atau sambungan pucuk.
Penyemaian benih Diospyros
blancoi
di persemaian
Penyapihan benih Diospyros
blancoi
di persemaian 3 bln setelah semai
Benih cepat mengalami kecambahnya namun pada saat sdh mengeluarkan daun dan
batang akan mengalami perlambatan pertumbuhan dengan demikian tanaman ini menjadi langka dikarenakan pertumbuhan lambat tetapi permintaan akan buah dan kayu banyak. Cara terakhir pembibitan
dipraktekkan secara komersial di Filipina. Pada sambungan celah digunakan batang bawah bibit yang berumur 1 tahun. Batang atasnya diperoleh dari cabang dewasa yang tumbuh pada musim terakhir, yang memiliki kuncup ujung yang tumbuh balk, dipotong sepanjang 10-12 cm. Anakan pohon yang berasal dari sambungan dapat ditanam di lapangan dengan jarak tanam 8-10 m, pada awal musim hujan. Pohon yang berasal dari semai
di tanam di sepanjang jalan dengan jarak tanam 10-15 m.
C.
Pemeliharaan
Setelah tanaman tumbuh dengan baik dan siap tanam di lapangan, pohon bisbul hampir �dak memperoleh
perawatan apa pun.Tunas-tunas liar dan cabang-cabang yang bertumpang-�ndih seringkali dipangkas, begitu pula cabang-cabangnya yang menyentuh tanah.
D.
Hama dan Penyakit
Ada laporan mengenai beberapa jenis serangga yang memakan pucuk dan daun bisbul, seper� kumbang kecil, penggulung daun,
siput lunak dan ulat rumpun, cacing kantung, dan
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
161
serangga bersisik merah. Akan tetapi dijumpai juga hama -hama yang kurang berar�. Tidak diperoleh laporan mengenai penyakit yang berbahaya
Aulocophora similis oliver (oteng-oteng).
Hama ini berupa kumbang daun
yang panjangnya ± 1 cm, bersifat pemangsa segala jenis tanaman (polifag) serta dapat berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain dengan terbang. Hama ini merusak dan memakan daging daun, sehingga menimbulkan gejala bolong-bolong dan jika serangan cukup berat maka semua jaringan daun habis di makan dan �nggal tulang-tulang daunnya. Pengendaliannya dengan cara melakukan rotasi tanaman, waktu tanaman serempak dan di semprot dengan insek�sida atau pengendalian natural BVR atau PESTONA.
Oteng-oteng atau Kutu Kuya (Aulocophora similis Oliver)
Sumber: h�p://mitalom.com/mengendalikan-hama-oteng-oteng-kumbang-perusak-daun/
E. Panen dan Pasca Panen
Buah bisbul dianggap matang jika telah berubah dari coklat kehijau-hijauan menjadi merah kusam. Setelah di panen buah bisbul dilap dengan secarik kain untuk menghilangkan bulu-bulunya agar penampilannya lebih menarik. Dalam 3-4 hari buah menjadi lunak dan harum baunya.
IV.
ANATOMI KAYU
Kayu dari pohon bisbul ini
punya
kualitas baik, warna kayu coklat kemerahan hingga hitam, bertekstur halus, kuat dan keras mirip kayu hitam sulawesi.
Di Filipina kayu pohon bisbul atau pohon mentega ini merupakan bahan kerajinan, meubel dsb yang berharga mahal dan termasuk pohon dilindungi.
Pohon ini jika sudah tua bisa mencapai 30 meter, dan lurus batangnya dan jika sudah terlalu �nggi kita harus pakai galah panjang untuk mengambil buahnya.
A
B
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
162
Keterangan :
Nama daerah bisbul di Filipina ialah 'mabolo,' berar� buah berbulu, mengacu kepada buahnya yang berbulu. Buah bisbul memiliki 60-73% dari bagian yang dapat dimakan.Wood anatomical structure of Bisbul (D. Blancoi A.DC.)
a. Transverse surface, scale bar = 1 mm
b. Transverse surface, scale bar = 200 µm
Sumber:
Krisdianto and Abdurachman, Forest Products Technology Research and Development, Bogor
C D
Keterangan:
Kayu pohon buah mentega/Bisbu
Wood anatomical structure of Bisbul (D. Blancoi A.DC.)
c. Radial surface, scale bar = 80 µm
d. Tangen�al surface, scale bar = 40 µm
Sumber: Krisdianto and Abdurachman, Forest Products Technology Research and Development, Bogor
Keterangan:
Kayu pohon buah mentega/Bisbu
Sumber: h�p://infotanam.blogspot.co.id/2013/09/buah-mentega-bisbul-buah-langka-asal.html
Kayu dari pohon bisbul ini
punya
kualitas baik, warna kayu coklat kemerahan hingga hitam,
bertekstur halus, kuat dan keras mirip kayu hitam sulawesi.
Di Filipina kayu pohon bisbul atau pohon mentega ini merupakan bahan kerajinan, meubel dsb yang berharga mahal dan termasuk pohon dilindungi.
Pohon jika sudah tua bisa mencapai 30 meter, dan lurus batangnya dan jika sudah terlalu �nggi kita harus pakai galah panjang untuk mengambil buahnya.
V.
PENUTUP
Bisbul
(Diospyros blancoi A DC) dikenal juga sebagai Velvet Apple (Inggris) atau buah mentega.
Di negeri asalnya Filipina disebut buah mabolo atau buah berbulu,
buah ini
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
163
mengeluarkan bau harum agak keras mirip keju,
rasanya manis agak sepet tapi disukai masyarakat sebagai buah segar atau sebagai campuran minuman dan rujak.
Kayunya berkualitas baik berwarna coklat kemerahan hingga hitam,
bertekstur halus kuat da keras.
Di Filipina merupakan bahan utama kerajinan yang berharga dan dilindungi undang-undang.
Tanaman ini sudah termasuk langka dan hanya bisa ditemukan di daerah-daerah tertentu,
oleh karena itu upaya-upaya pelestarian jenis ini sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Saleh, M., Mawardi, M., Edi, W. dan Hatmoko, D.
t.t. Determinasi dan Morfologi Buah Ekso�s Potensial di Lahan Rawa. Balai Peneli�an Pertanian Lahan Rawa Banjar Baru. bali�ra.litbang.deptan.go.id/ diakses tanggal 11 Desember 2013.
h�p://www.hort.purdue.edu/newcrop/morton/mabolo.html
Diakses tanggal 10 Desember 2013
h�p://beritaciamik.com/buah-mentega-atau-bisbul-buah-yang-sudah-sangat-langka-di-indonesia. Diakses tanggal 12 Desember 2014.
h�p://indonetwork.co.id/sentratani_bogor/1989879 . Diakses tanggal 15 Desember 2014.
h�p://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul . Diakses tanggal 12 Desember 2014.
h�p://www.mekarsari.com/index.php ?op�on=com_content&view=ar�cle&id=52%3Abisbul&ca�d=39%3Abuah-langka&Itemid=96&lang=en. Diakses tanggal 12 Desember 2014.
h�p://www.enclaveconserva�on.com/fruits1.html . Diakses tanggal 12 Desember 2014.
h�p://beritaciamik.com/buah-mentega-atau-bisbul-buah-yang-sudah-sangat-langka-di-indonesia-20120501.html. Diakses tanggal 15 Desember 2014.
h�p://naturindonesia.com/tanaman-pangan/tanaman-buah-dan-sayuran-b/615-bisbul-buah-
mentega.html. Diakses tanggal 12 Desember 2014.
h�p://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/hama-dan-penyakit-dominan-pada-men�mun-0.
Diakses tanggal 12 Desember 2014.
h�p://nasa88.wordpress.com/2012/07/16/hama -dan-penyakit-tanaman-men�mun/.
Diakses tanggal 12 Desember 2014.
h�p://penyakitutama.blogspot.com/2007/09/01archive.html. Diakses tgl 12 Desember 2014.
h�p://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul . Diakses tanggal 12 Desember 2014.
h�p://beritaciamik.com/buah-mentega-atau-bisbul-buah-yang-sudah-sangat-langka-di-indonesia-20120501.html. Diakses tanggal 12 Desember 2014.
h�p://aspal-pu�h.blogspot.co.id/2013/09/mengenal-buah-langka-buah-beludru-atau.html. Diakses tanggal 12 Desember 2014.
h�ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul . Diakses tanggal 15 Desember 2014.
www.theplantlist.org/tpl/record/kew -2769627. Diakses tanggal 15 Desember 2014.
id.wikipedia.org/wiki/Bisbul. Diakses tanggal 15 Desember 2014.
h�p://wikimedia.org/wiki/Diospyros_blancoi . Diakses tanggal 12 Desember 2014.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
164
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
165
PETUNJUK TEKNIS
BUDIDAYA GALO-GALO (Trigona itama Cockerell)
Syasri Janne�a, Irwan
dan
Rozi Hardinasty
Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I.
PENDAHULUAN
Sejak zaman dahulu usaha di bidang perlebahan sudah dilakukan oleh sebagian masyarakat, Khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan. Usaha yang dilakukan adalah memungut atau berburu madu lebah hutan (Apis dorsata F) yang bersarang secara liar di pohon-pohon yang menjulang �nggi (rata-rata diatas 20m). Selain berburu madu hutan kegiatan budidaya lebah sayak (Apis cerana F) juga sudah dilakukan oleh sebagian masyarakat dan dipelihara di lahan-lahan pekarangan di sekitar tempat �nggal mereka.
Lebah galo-galo (Trigona itama) merupakan salah satu jenis lebah sosial suku Apidae yang keberadaannya mudah dijumpai di areal hutan, kebun maupun lahan -lahan pekarangan. Sampai saat ini lebah jenis tersebut belum dimanfaatkan bahkan masih di pandang sebelah mata dan dibiarkan hidup liar di alam. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi perlebahan pada saat ini telah banyak mengungkap hasil riset produk lebah yang berupa
propolis.
Beberapa hasil riset yang dilakukan oleh Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) kuok dapat diinformasikan bahwa budidaya T. itama mudah dilakukan karena �dak membutuhkan tempat Khusus, mudah beradaptasi dan �dak tergantung musim pembungaan. Tanaman pakan T. itama sangat beragam dari rerumputan, tanaman semak sampai dengan tanaman keras sehingga lebah tersebut dapat dipelihara secara menetap di lahan-lahan disekitar tempat �nggal, Khususnya di pedesaan. Produk utamanya yang berupa propolis dan madu mempunyai nilai jual lebih �nggi dibandingkan produk dari lebah Apis.
Keter�nggalan petani lebah di banding petani lebah daerah lain seper� di jawa atau petani lebah di negara-negara lain yang telah maju di bidang perlebahannya adalah dalam hal diversifikasi produk. Produk-produk lebah seper� bee pollen, lilin, royal jelly, bee venom dan propolis sampai saat ini belum dieksplore, begitu juga dengan beberapa jenis lebah lokal selain A. dorsata juga belum dikelola dengan baik bahkan untuk jenis Trigona sampai saat ini masih di pandang sebelah mata dan dibiarkan hidup liar di alam.
Tahapan dalam budidaya T. itama harus dimulai dari mempelajari biologi T. itama,
tanaman pakan, peralatan budidaya, cara mendapatkan bibit, manajemen pen gelolaan dan Prospek pasar. Makalah ini di tulis untuk memberikan informasi kepada berbagai pihak, Khususnya petani lebah madu bagaimana cara budidaya T. itama merupakan jenis lebah yang memiliki potensi penghasil propolis, mudah dalam budidaya dan berpeluang besar untuk diternakkan pada skala usaha rumah tangga.
II.
MENGENAL LEBAH T. itama
A.
Morfologi dan Taxonomi
Lebah T. itama merupakan salah satu dari beberapa jenis lebah sosial yang termasuk suku apidae (Gambar 1). Lebah jenis ini tak bersengat (s�ngless), bertubuh kecil dan ramping, berwarna hitam dan panjang 6 mm. Memiliki kepala yang membesar ke arah depan, matanya
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
166
sempit ke arah mandibula, mata majemuk (Ocelli) membentuk garis lurus pada vertek, antenna filiform, torak agak membulat, abdomen pendek berbentuk oval, s�gma kecil, kakinya kuat dengan bagian ujung melebar dan pipih serta berbulu (Sakagami dkk., 1990) Gambar 2.
T. itama diklasifikasikan masuk pada:
Kelas
:
Insecta
Bangsa/ Ordo
:
Hymenoptera
Suku/ Famili
:
Apidae
Anak Suku/ Sub Famili
:
Apinae
Tribus
:
Meliponidae
Marga
:
Trigona
Jenis /Species
:
Trigona itama Cockerell
B. Koloni, Sarang dan Habitat
T. itama hidup berkoloni, dalam satu koloni lebah memiliki satu ratu, lebih dari 1000 pekerja dan lebih dari 100 lebah jantan. Masing-masing individu mempunyai tugas dan saling bertautan. Lebah ratu bertugas hanya untuk bertelur dan mengedalikan koloni (Eckert & Shaw,
1977). Lebah pekerja membuat sarang, membersihkan sarang, memberikan makanan ke lebah muda dan lebah ratu, menyimpan makanan, mencari makanan dan manjaga sarang sesuai dengan �ngkat umurnya. Lebah jantan bertugas hanya mengawini lebah ratu (Free,
1982).
Sarang T. itama terbuat dari material resin yang berasal dari tumbuhan. Hanya memil iki satu pintu masuk dan keluar untuk semua anggota koloni. Pintu terbuat dari resin menyerupai bentuk sebuah corong, berukuran panjang yang beragam, pendek (Gambar 4) atau panjang menyerupai belalai (gambar 5). Salmah (1983) melaporkan bahwa sarang T. itama terbagi menjadi 3 bagian sebagian tempat anakan, nectar atau madu dan pollen (Gambar 6). Sarang untuk menyimpan berbentuk Comb
yaitu susunan sel yang teratur seper� sisir (Gambar 7).
Gambar.1. Lebah Pekerja T. itama
Gambar.2. Morphologi T. itama (Sakagami dkk, 1990)
Gambar
3. Lebah Ratu,
Jantan dan Pekerja T. itama
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
167
Habitat T. itama banyak dijumpai hidup di hutan primer dan hutan sekunder dan lahan-lahan pertanian dan perkebunan (Inoue dkk., 1984). Pohon yang memiliki lubang berongga adalah tempat yang paling disukai untuk bersarang dan berkembang biak (Sakagami,
1982).
III. PAKAN LEBAH T. itama
Pakan T. itama adalah cairan gula sederhana berupa nektar, nektar flora dan nektar ekstraflora seper�: pucuk/tunas daun muda atau bagian ke�ak/stomata daun. (Nektar
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat). Pakan lain berupa pollen (tepungsari bunga) dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan protein, vitamin dan mineral. T. itama
juga membutuhkan getah (resin) tanaman untuk keperluan membangun sarang dan pertahanan diri dari berbagai gangguan. Umumnya lebah T. itama menyukai daerah dengan suhu 26-340C.
Tabel
1. Jenis tanaman dan bagian tanaman yang dikunjungi lebah T. itama
No
Jenis Tanaman
Bagian Tanaman yang dikunjungi
Nama Lokal
Nama La�n
Nektar
Pollen
Getah
1
2
3
4
5
6
1
Mangga
Mangifera indica
V
v
v
2
Manggis
Garcinia mangostana L
V
-
v
3
Keluwih
Artocarpus al�lis
V
-
v
4
Nangka
Artocarpus heterophyllus
V
-
v
5
Sawo
Manilkara kauki
V
-
v
6
Jarak
Jatropha sp
V
-
v
7
Nyamplung
Canophylum innophylum
V
v
v
8
Pulai
Alstonia scholaris
V
v
v
9
Juwet
Syzygium cumini
V
v
v
Gambar
4.
Pintu Keluar Masuk T. itama
(Bentuk Corong)
Gambar
5.
Pintu Keluar Masuk T. itama
(Bentuk Belalai)
Gambar 7. Sisiran Brood T. itama (Bentuk Comb)
Gambar 6. Sarang Koloni T. itama (Brood, Sel madu, sel
pollen)
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
168
1
2
3
4
5
6
10
Kumbi
Ervatamia sphaerocarpus
V
v
v
11
Buni
An�desma bunius (l) Spring
V
-
v
12
Ela-ela
Sansevieria trifasciata
V
-
-
13
Belimbing
Averhoa sp
V
v
-
14
Jambu Biji
Psidium guajava
V
v
-
15
Jambu Air
Eugenia aquea
V
v
-
16
Jambu Mete
Anacardium occidentale
V
v
-
17
Kelapa
Cocos nucifera
V
v
-
18
Jeruk
Citrus sp
V
v
-
19
Alpukat
Persea gra�ssima Gaertn
V
v
-
20
Coklat
Theobroma cacao
V
-
-
21
Rambutan
Nephelium lappaceum
V
v
-
22
Pinang Areca
Catechu L
V
v
-
23
Aren
Arenga pinnata
V
v
-
24
Flamboyan
Delonix regia
V
-
-
25
Bidara
Ziziphus mauri�ana
V
-
-
26
Asam
Tamarindus indica
V
-
-
27
Bantenan
Spandias pinnata
v
-
28
Sonokeling
Dalbergia la�folia
V
v
-
29
Pisang
Musa sp
V
v
-
30
Pepaya
Carica papaya
V
v
-
31
Buah Naga
Hylocereus undatus
V
v
-
32
Randu
Ceiba pentandra
V
v
-
33 Durian Durio zibethinus V v -
34 Kelengkeng Niphelium longanum V v - 35 Kacang Arachis hypogaea V v - 36
Jagung
Zea mays
-
v
-
37
Cempaka
Michelia sp
V
-
- 38
Matahari
Helianthus annuus
-
V
-
39
Bougenvil
Bougainvillea glabra
V
-
-
40
Kendal
Cordia obliqua Auct
V
-
-
41
Ceruring
Lansium domes�cum Correa
V
-
-
42
Kepundung
Baccaurea racemosa Muell.
V
-
-
43
Bunga Bangkai
Amorpophalus sp
V
V
-
44
Kelor
Moringa oleifera
V
-
-
45
Asoka
Saraca asoca (Roxb.) Wilde
V
-
-
46
Anggrek tanah
Spathoglo�s plicata
V
-
-
47
Kenanga
Cananga odorata
V
-
-
48
Euphorbia
Euphorbia dentata Michx
V
-
v
49
Mawar
Rosa sp
V
-
-
50
Bunga Pukul 8
Turnera ulmifolia L
V
v
-
51
Matoa
Pome�a pinnata
V
v
-
52
Akasia
Acacia mangium
V
-
-
53
Kelapa Sawit
Elaeis guineensis Jacq.
-
v
-
54
Mengkudu
Morinda citrifolia L
V
v
-
55
Meran�
Shorea sp
-
-
v
Sumber:
Hasil pengamatan ak�vitas lebah di Desa Sei Maki, Desa Kuok, Kecamatan Kuok, Bulan
Februari –
April 2015
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
169
IV. CARA MENDAPATKAN BIBIT T. itama
T. itama ditemukan hidup liar di alam dan menyebar disekitar hutan, kebun dan lahan pekarangan. Individu lebah pekerja T. itama dengan mudah dijumpai di bunga-bunga tanaman yang sedang mekar dalam rangka ak�fitasnya mengambil nektar dan atau pollen. Hasil survey koloni T. itama yang hidup liar di alam Riau umumnya ditemukan di rongga-rongga pohon baik dipohon yang masih hidup maupun di pohon yang sudah ma�. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan bibit T. itama sebetulnya �dak terlalu sulit. Berikut diuraikan beberapa cara untuk memperoleh bibit T. itama antara lain:
A. Mengambil langsung koloni lebah yang sedang bersarang di alam.
T. itama sangat menyukai tempat yang teduh dengan berbagai jenis tanaman. Semakin banyak jenis tanaman maka akan semakin banyak populasi T. itama yang ditemui.
T.
itama sangat menyukai rongga-rongga pohon yang masih hidup maupun yang sudah ma�, ditandai dengan adanya material
yang menonjol pada batang berbentuk seper� cerobong berfungsi sebagai “pintu” keluar masuk koloni. Seandainya pohon tempat bersarang sulit kita temukan, maka yang diuraikan di bawah dapat membantu menemukan koloni lebah tersebut.
1.
Menggunakan Ikan asin
Ikan asin dibakar sampai aromanya menyebar dan tercium oleh T. itama. Gerombolan T. itama akan berdatangan menghampiri ikan asin
tersebut. Setelah aroma ikan asin hilang,
lebah akan kembali ke sarang. Saat itulah kita dapat mengiku� arah lebah pulang sehingga letak sarang
dapat diketahui dengan pas�.
2. Melukai batang pohon
Batang pohon dilukai dengan pisau/parang, batang yang terluka akan mengeluarkan getah dan akan mengundang koloni T. itama untuk datang mengambil getah yang keluar sebagai sumber resin. Ke�ka lebah kembali ke sarang, arah kembali lebah dapat diiku� untuk mengetahui keberadaan lebah tersebut.
Pemindahan koloni yang bersarang di rongga pohon ke lokasi tempat budidaya dapat
dilakukan dengan melihat kondisi pohon.
Apakah batang atau cabang yang berisi koloni lebah memungkinkan di potong atau �dak. (1). Seandainya memungkinkan di potong maka batang di potong sepanjang 50-100 cm tergantung besar kecilnya sarang
mereka.
Setelah di potong batang pohon dibiarkan di tempat semula sampai matahari terbenam
atau malam hari. Pada sore hari lebah-lebah pekerja yang sedang diluar mencari makan akan
kembali ke dalam sarang. Setelah koloni lengkap potongan batang dapat di pindah ke tempat yang diinginkan. Jika �dak memungkinkan di bawa malam hari,
maka potongan batang yang berisi koloni lebah tersebut
dimasukkan kedalam karung dan langsung di bawa ke tempat yang kita inginkan. Konsekuensinya, koloni lebah �dak sempurna karena
ada beberapa lebah pekerja yang sedang diluar akan ter�nggal. (2). Seandainya batang pohon �dak memungkinkan di potong maka sarang anakan (brood) yang terdapat pada rongga pohon dapat
dipindahkan langsung ke kotak pemeliharaan. Setelah sarang anakan berhasil dipindahkan ke kotak,
lubang masuk kotak diolesi cerumen sel atau memindahkan cerobong pintu ke lubang kotak agar lebah dapat mengenali koloninya. Kotak yang berisi sarang anakan ditempatkan terlebih dahulu di
tempat semula agar lengkap lebah pekerja yang berada di luar masuk ke dalam kotak. Setelah koloni lebah lengkap, kemudian
kotak tersebut dapat dipindahkan ke tempat yang diinginkan.
B.
Memancing dan Membuat Perangkap.
Perangkap terbuat dari ruas bambu yang diberi lubang pada bagian bawah dengan diameter 15 mm dan digantung ver�cal di cabang-cabang pohon yang agak terlindung (Gambar
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
170
8). Lebah yang
masuk adalah koloni hasil penangkaran alami bukan koloni lebah yang bermigrasi. Koloni Trigona �dak mempunyai sifat yang suka migrasi ,
seper� genus Apis. Setelah bambu terisi koloni lebah maka bambu tersebut dapat di pindah ke lokasi yang diinginkan. Budidaya
dapat dilakukan dengan tetap menggunakan bambu tersebut sebagai tempat bersarang,
atau
sel-sel anakan (brood) dipindahkan ke
dalam kotak yang telah kita siapkan.
V. PERALATAN BUDIDAYA T. itama
Budidaya
T. Itama dilakukan dengan menggunakan kotak pemeliharaan (stup) yang terbuat dari kayu/papan (Gambar 9). Stup merupakan elemen pen�ng dalam budidaya T. Itama, agar mudah melakukan pemeriksaan koloni maupun saat panen. Cara membuat stup �dak sulit, cukup memotong papan, di bentuk kotak (kubus atau persegi panjang), di buat lubang pada salah satu sisi sebagai tempat keluar masuk lebah T. Itama, plas�k transpasan/mika pada bagian atas dan tutup atas (cover). Pelalatan dan bahan yang dibutuhkan untuk budidaya T. Itama berupa pelindung kepala, sarung tangan, pisau stenlis, penyedot madu, alat saring, nampan dan toples.
VI. MANAJEMEN KOLONI T. itama
A.
Beberapa Kemudahan Budidaya lebah T. itama
1.
Budidaya dengan cara menetap
Ukuran tubuh T. itama yang lebih kecil dari tubuh lebah A. mellifera dan A. cerana F memungkinkan mereka masuk ke kelopak bunga yang cukup kecil sehingga ketersediaan pakan T.
itama lebih beragam. Oleh karena itu budidaya T. itama �dak perlu digembalakan dan cukup ditempatkan di sekitar rumah (Gambar 10).
Gambar
8.
Perangkap
Bambu
A
C
Gambar
9.
A). Stup Ver�kal Keatas, B). Stup Bentuk kubus, C) Stup Ber�ngkat,
D). Stup Memanjang
D
B
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
171
Lebah dari genus Apis,
misalnya A. mellifera
membutuhkan sumber nektar dan polen yang melimpah sebagai pakan. Jika ketersediaan pakan ini �dak lagi memadai, peternak lebah akan menggembalakannya mengiku� siklus pembungaan tanaman sumber pakan. Hal
sebaliknya justru terjadi genus
Trigona. T. itama
bukan lebah penghasil madu
yang utama
maka kebutuhan nektar dan polen �dak terlalu besar. Dengan sumber pakan yang terbatas, ia masih bisa bertahan hidup.
T. itama
lebih banyak menghasilkan propolis. Sehingga getah pohon harus dalam jumlah yang memadai. Getah berbagai pohon tetap tersedia sepanjang hari selama pohon tersebut hidup.
2.
Tidak perlu di pelihara secara itensif
Budidaya lebah T. itama
�dak sama dengan budidaya lebah A. mellifera atau A.
cerana
yang membutuhkan perha�an Khusus
dari pemiliknya.
Dalam budidaya T. itama cukup ditempatkan pada tempat teduh. Sarang bisa berupa satu ruas bambu yang dilubangi pada bagian bawah sebagai pintu, kotak kayu (papan) sederhana, atau silinder yang terbuat dari pohon aren.
T. itama adalah lebah liar yang biasa hidup bebas di alam dan mengurus sendiri seluruh kebutuhan hidupnya. Trigona akan mencari sendiri nektar, polen dan nutrisi lainnya. Dengan ketersediaan sumber pakan yang minim, T. itama
mampu bertahan dan �dak mudah
bermigrasi. Namun, yang perlu diperha�kan adalah ketersediaan pohon penghasil getah.
3.
Tidak perlu peralatan Khusus
Untuk membudidayakan A. mellifera,
dibutuhkan sejumlah peralatan, misalnya masker, alat pengasap, pisau, sikat lebah, pengungkit, kotak eram, kotak kawin, kotak starter, polen trap, tempat air, cadangan makanan (feeder frame),
serta ekstraktor. Budidaya
T. itama
�dak memerlukan peralatan, cukup menyediakan kotak budidaya, penutup
rambut, pisau panen untuk mengambil propolis dan penyedot madu untuk pemanenan madu.
4.
Tidak perlu takut di sengat
T.
itama adalah lebah berukuran sangat kecil dan �dak memiliki sengat. Ke�ka kotak di
buka untuk mengecek atau memanen propolis, masker sebagai pelindung dan alat pengasapan untuk mengusirnya
�dak diperlukan. Jika
mereka merasa terganggu, mereka
akan menggigit, tetapi gigitannya �dak sakit. T.
itama
juga punya kebiasaan mengerumuni rambut di kepala seseorang yang dianggapnya mengancam keberadaan koloninya. Saat itu
T. itama akan mengeluarkan propolis yang menempel di
rambut sehingga rambut perlu
ditutupi.
5.
Tahan hama penyakit
Sarang
T. itama
tertutup dengan lubang sempit, ditambah kondisi dalam sarang (cadangan madu,polen,dan royal jelly) dipenuhi propolis, sehingga
T. itama
tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang biasa ditemukan pada lebah Apis,
�dak dikenal pada kehidupan lebah T. itama. Hama yang kadang ditemukan pada sarang T. itama
adalah semut, namun jarang terjadi.
Gambar
10. Budidaya T.
itama Di sekitar BPTSTH, Kuok
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
172
6.
Tidak mengenal masa paceklik
Masa paceklik atau produksi yang menurun pada budidaya lebah A. mellifera
biasa terjadi. Bahkan, masa paceklik sudah merupakan ru�nitas tahunan. Kondisi perubahan iklim, misalnya hujan hampir di sepanjang tahun,
masa paceklik panjang adalah risiko yang harus dihadapi.
Pada masa paceklik, ketersediaan nektar dan polen dari alam menurun di bawah kecukupan bagi koloni lebah. Nektar adalah karbohidrat sumber energi kehidupan lebah. Jika karbohidrat ini lebih dari kebutuhan hidupnya, lebah mengubahnya menjadi madu. Para peternak biasa menyediakan gula agar lebah tetap bertahan hidup dan �dak kabur. Sedangkan Pollen, merupakan senyawa protein yang digunakan oleh lebah untuk pertumbuhan dan perkembangan koloni. Jika ketersediaan polen minim maka pertumbuhan dan pertambahan koloni terhambat, bahkan terhen�.
Kesulitan ru�n yang biasa terjadi saat masa paceklik pada lebah genus
Apis, �dak berlaku untuk lebah T. itama.
Hal ini karena, 1). T.
itama
adalah lebah berbadan mini. Sehingga kebutuhan terhadap nektar dan polen �dak terlalu besar, 2).
T. itama bukanlah lebah yang memproduksi madu
sebagai hasil utama, sehingga �dak membutuhkan nektar dalam jumlah yang banyak, 3). T.
itama
mampu mengambil sumber nektar dengan
jenis
yang
beragam dan luas, 4). T. itama lebih suka untuk memproduksi propolis, diutamakan getah sebagai sumbernya yang rela�f tersedia sepanjang tahun.
7. Produk�vitas propolis lebih �nggi
Kemampuan T. itama
dalam memproduksi propolis lebih �nggi dibanding A. mellifera. Fenomena ini terjadi secara alamiah, karena T.
itama
adalah lebah yang lemah. Oleh karena itu,
sebagai bentuk pertahanan diri beserta koloninya, T. itama dianugerahi kemampuan
memproduksi propolis. Propolis ini akan melindunginya dari ancam an predator dan hama lainnya.
B. T. itama Sebagai Agen Penyerbuk Tanaman Proses penyerbukan tanaman terjadi apabila serbuk sari menempel pada kepala pu�k.
Serbuk sari yang menempel pada kepala pu�k bisa jadi berasal dari bunga itu sendiri atau dari bunga lain dari tanaman sejenis. Akan tetapi �dak semua tanaman berbunga mampu melakukan penyerbukan sendiri. Mereka memerlukan perantara yang dapat membantu proses penyerbukan, seper�: air, angin, serangga, burung dan kelalawar (Crene & Walker, 1984). Perantara
kelompok serangga yang paling efek�f membantu proses penyerbukan adalah suku Apidae marga Trigona (Free,
1993).
Gambar 11. Hubungan antara Lebah madu, tanaman dan manusia
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
173
Tubuh yang mungil dengan dipenuhi bulu-bulu pada badan dan kaki-kakinya sangat efek�f untuk membawa pollen dan berpindah ke
kepala pu�k dalam proses penyerbukan pada tanaman. Banyaknya jenis dan luasnya sebaran lebah Trigona membuatnya banyak dimanfaatkan sebagai penyerbuk tanaman. Di Australia bagian utara, lebah Trigona digunakan untuk penyerbukan tanaman mangga (Mangifera indica), (Anderson dkk., 1982). Di Mexico, Amerika tengah dan Guiana Perancis Trigona
dimanfaatkan untuk peningkatan hasil panen Vanilla (Vanilla planifolia), (Schwarz 1984). Di Brazil, lebah Trigona digunakan untuk membantu penyerbuk Kluwih (Arthocarpus ar�lis), (Brantjes 1981). Produksi buah strawberi sebesar 15% dengan citarasa lebih manis dengan proses penyerbukan melibatkan peran lebah Trigona dapat meningkat (Erniwa�, 2013). Lebah Trigona berperan pen�ng dalam penyerbukan tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan, sehingga membantu proses regenerasi dan suksesi tanaman. Hambali,
(1979) mencatat 25.000 tanaman berbunga asal Indonesia proses penyerbukannya sangat tergantung pada kehadiran Trigona dan lebah lain. Banyak ilmuan menduga, bila lebah punah dari
muka bumi, maka 30% sumber pangan akan ikut menurun.
Di Indonesia, budidaya lebah madu sudah populer dan banyak dilakukan, namun berbeda untuk budidaya lebah Trigona. Budidaya
Trigona masih minim.
C.
T. itama Sebagai Penghasil Propolis
Propolis berbentuk padat namun lembut, lentur dan sangat lengket menyerupai aspal. Propolis merupakan campuran dari liur lebah dengan getah (resin) yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai jenis tanaman. Sumber getah dapat berasal dari bunga, pucuk (tunas) daun, dahan yang patah atau batang yang terluka. Warna propolis bervariasi dari kuning terang, coklat kemerahan hingga hijau tergantung sumber tanamannya. Di daerah Riau, propolis T. itama yang paling sering dijumpai yang berwarna coklat gelap cenderung hitam. Substansi (propolis) tersebut oleh lebah digunakan sebagai bahan perekat sarang dan senjata untuk melindungi diri dari berbagai gangguan seper� bakteri, cendawan, maupun virus.
Letak propolis pada sarang terletak di pintu masuk sarang dan di seluruh tepian sarang yang biasanya tersimpan dengan pola zig zag (Gambar 12). Pola zig zag ini merupakan cara penyimpanan propolis yang efek�f untuk mengisi celah, menyumbat jalan masuk ke sarang. Lapisan �pis yang menyelimu� sel-sel larva dan sel-sel madu juga merupakan propolis. Propolis juga berperan sebagai filter alami yang melindungi sarang lebah dari udara luar yang dapat mengancam kehidupan koloni lebah. Propolis juga menjadi lapisan an�sep�k yang dilalui oleh lebah, sehingga lebah seper� “baru mandi” se�banya di pusat sarang yang steril.
Potensi propolis sebagai obat sudah banyak diungkap oleh banyak ilmuan dan terbuk� dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Kandungan an�oksidan pada propolis sangat �nggi yaitu 9.674 atau 403 kali lebih banyak dibandingkan dengan jeruk, dan kandungan fenolnya 135,68 atau 320 kali lebih banyak dibandingkan apel merah (Trubus, 2010). Dikatakan oleh
Gambar 12.
Raw Propolis pada sarang
(pola zig zag)
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
174
Hasan
(2006) bahwa propolis Trigona spp
mempunyai daya hambat bakteri sekitar 1,5-2 kali lipat dibandingkan propolis lebah bersengat (Apis), dan mengandung an�bio�c golongan ampisillin 10 mg/Kal. Menurut Moppatoba S dalam
Trubus (2010) Propolis Trigona mengandung flavonoid 4%, sedangkan Apis hanya 1,5% dan jauh diatas standar internasional yang hanya 1%. Hasil peneli�an Mustofa tentang Nutrisi Propolis dalam Trubus (2010) propolis mengandung lebih dari 180 unsur fitokimia, beberapa diantaranya adalah flavonoid berbagai turunan asam carbonat, fitosterol dan terpenoid. Zat tersebut di atas terbuk� memiliki sifat an�inflamantesi, an�microbial, an�histarmin, an� mutagenic dan an� alergi. Flavonoid bersifat an� oksidan yang dapat mencegah infeksi serta turut menumbuhkan jaringan.
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi raw propolis T. itama dengan memanipulasi udara dan cahaya pada salah satu sisi bagian stup. Hasil uji penggunaan propolis trap dari bahan plas�c sreamin yang dipasang di sisi bagian samping ternyata dapat meningkatkan produksi raw propolis kering sebanyak 34,840 gram/koloni sampai 37,203 gram/koloni sedangkan penggunaan propolis trap dari bahan plas�c transparan dapat meningkatkan produksi raw propolis sebanyak 11,096 gram/koloni sampai 12,85 gram/koloni dibandingkan dengan produksi dari stup tanpa propolis trap (kontrol).
VII. PROSPEK PASAR DAN ANALISA PENDAPATAN BUDIDAYA T. itama
Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa produk utama dari budidaya lebah T. itama
adalah propolis. Dalam satu koloni, propolis dan madu Trigona
dilakukan
se�ap 3 bu-lan sekali, panen propolis mentah kisaran 300gr
-
400gr/koloni/3 bulan, panen madu antara 250-300 ml/koloni/3 Bulan. Harga raw propolis Trigona saat ini berkisar Rp 400.000,-/Kg sedangkan harga 1 liter madu T.
itama
pada saat ini berkisar Rp
250.000,-. –
Rp
300.000,-/kg.
Dari analisa pendapatan budidaya T. itama yang dilakukan (Tabel
2), dengan mengeluarkan biaya Rp
1.550.000,-
dalam satu tahun, akan diperoleh keuntungan sebesar Rp
350.000,-
dengan �ngkat
efisiensi RCR (Return Cost of Ra�o)
budidaya T. itama sebesar sebesar RCR 1,23 ar�nya adalah budidaya T. itama sangat efisien dan layak untuk dilakukan.
Gambar 13. Modifikasi Stup (Sisi bagian samping dengan menggunakan plas�c strimin)
Gambar 14. Modifikasi Stup (Sisi bagian samping
dengan menggunakan plas�c mika)
Gambar 16.
Modifikasi Stup (Sisi bagian atas dengan menggunakan plas�c
mika)
Gambar 15. Modifikasi Stup (Sisi bagian atas dengan menggunakan plas�c strimin)
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
175
Tabel
2. Analisis Usaha Tani Budidaya lebah T. itama
NO
URAIAN
VOLUME
HARGA
SATUAN
NILAI (Rp)
PERSEN
(%)
A
BIAYA
1
Pengadaan Koloni
795.000
51,29
Koloni Trigona itama
3
Koloni
200.000
600.000
Stup
3
Buah
50.000
150.000
Standar Stup
3
Buah
15.000
45.000
2
Peralatan Budidaya
325.000
20,97
Penutup Kepala
1
Buah
300.000
300.000
Sarung Tangan
1
Buah
25.000
25.000
3
Peralatan Panen/ Pasca
Panen
430.000
27,74
Penyedot Madu
1
Buah
200.000
200.000
Pisau Stainless
1
Buah
50.000
50.000
Alat Saring
1
Buah
55.000
55.000
Nampan
1
Buah
50.000
50.000
Topless Madu Trigona 75 ml
5
Buah
15.000
75.000
Total Biaya
1.550.000
100,00
B Pendapatan Kotor
- Penjualan Raw Propolis 3 Kg 400.000 1.200.000 63,16 - Penjualan Madu T. itama 2 Liter 250.000 500.000 26,32 -
Penangkaran Koloni T.itama
1
Koloni
200.000 200.000
10,53
Total Pendapatan Kotor
1.900.000
100,00
C
Pendapatan Bersih
350.000
D
RCR
1,23
VIII. PENUTUP
Budidaya T. itama mudah dilakukan karena �dak membutuhkan tempat Khusus, mudah beradaptasi dan �dak tergantung musim berbunga. Tanaman pakan Trigona itama sangat beragam dari rerumputan, tanaman semak sampai dengan tanaman keras sehingga lebah tersebut dapat dipelihara secara menetap di lahan -lahan disekitar tempat �nggal, Khususnya di pedesaan. Produk utamanya yang berupa propolis dan madu mempunyai nilai jual lebih �nggi dibandingkan produk dari lebah Apis. Hasil analisa
pendapatan budidaya T. itama disimpulkan bahwa lebah T. itama adalah layak untuk dikembangkan dan dapat menjadi kegiatan usaha yang menjanjikan bagi masyarakat.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
176
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
D.L., M. Sedgley., J.R.T. Short & A.J. Allwood 1982.
Insect Pollina�on of Manggo in Northern Australia. Aust.J. Res.33. 541-548.
Brantjes, N.B.M. 1981. Nectar and Pollina�on of bread fruit Artocarpus al�lis. Morales. Acta Bot. Neerl (4): 345 -
352.
Crane,
E & P. Walker. 1984. Pollina�on directory for world crops. Interna�onal Bee Research Associa�on, London: 183 PP.
Eckert, J.E. & F.R. Shaw. 1977. Beekeeping, Mac Millan Publishing Co Inc, New York: ix + 536 PP.
Erniwa�., 2013. Kajian Biologi Lebah Tak Bersengat (Apidae
: Trigona) di Indonesia. Fauna Indonesia Vol. 12 (1), 29-34.
Fearnley, J. 2001. Bee Propolis : Natural Healing From The Hive. Souvenir Press Ltd, London.
Free,
J.B. 1982. Bees and Mankind . George Allen & Unwin, London: xi +455 PP
Free,
J.B. 1993. Insect Pollina�on of Crops. Academic Press, London, 544 PP
Hasan,
A.E.Z. 2006. Potensi Propolis Lebah Madu Trigona spp Sebagai Bahan An�bakteri. Seminar Nasional HKI: Bogor.
Hambali, G.G. 1979. Potensi Lebah Getah Trigona. Dalam Kongres Nasional Biologi IV. Perhimpunan Biologi, Indonesia Bandung: 1 -
10.
Inoue, T.S.F. Sakagami., S.Salmah & S. Yamane. 1984. The Process of Colony Mul�plica�on in the Sumatera S�ngless bees Trigona (Tetragonula) leeviceps.
Michener, C.D. 1974. The Social Behavior af The Bees: A Composa�ve Study. The Belknap Press of Havard University Press, Cambridge: xii + 312 PP
Sakagami, S.F., T.Inoue., S. Salmah. 1990 S�ngless Bees of Central Sumatera in: Ohgushi R.,
Sakagami,S.E and Roubik, D.W. (Eds). Natural History of Social Bees in Eguatorial Sumatera. Hokaido University Press, Japan. 125-137 P.
Sakagami, S.F, 1982. S�ngles Bees in: H.R. Herman (ed) 1082. Social Insects. Academic Press, New York.
Salmah, S. 1983 Aspek Morphologi dan Ekologi lebah tak bersengat Trigona (Tetragonula) leaviceps smith di Sumatera Barat in: Prosiding Kongress Entomologi II, Jakarta.
Schwarz, H.Z.1984. S�ngless bees (Meliponinae) of The Western Memisphone Bult. Am. Mus.
Nat. Hist 90: XVIII + 546 pp.
Trubus EXO, 2010, Propolis dari Lebah Tanpa Sengat Cara Ternak dan Olah,. Trubus Swadaya, Depok.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
177
PETUNJUK TEKNIS MENDAPATKAN BIBIT/ KOLONI
Apis cerana
UNTUK DIBUDIDAYAKAN
Suhendar, Syasri Janne�a
dan Lolia San�
Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I.
PENDAHULUAN
Indonesia dikenal memiliki potensi yang cukup besar dalam pengembangan perlebahan yang berupa kekayaan sumber daya haya� seper� berbagai jenis lebah asli Indonesia,
beranekaragam jenis tumbuhan sebagai sumber pakan lebah serta kondisi agroklimat tropis. Selain itu Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang termasuk daerah penyebaran lebah hutan (Apis dorsata)
(Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007).
Dari aspek lingkungan tempat hidup komponen yang mempengaruhi serangkaian
ak�vitas lebah dalam memproduksi madu dan produk lainnya yakni. Pertama kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi ak�vitas lebah dalam mengumpulkan nektar serta kualitas dan kwan�tas nektar yang disekresikan sumber pakan lebah. Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi produksi madu antara lain curah hujan, intensitas cahaya matahari, suhu udara dan kelembaban udara.
Kedua ketersediaan
pakan. Semua jenis tanaman berbunga (tanaman hutan, tanaman pertanian, tanaman perkebunan, tanaman hor�kultura dan tumbuhan liar) yang mengandung unsur nectar sebagai bahan baku madu, tepung sari dan propolis merupakan sumber makanan utama lebah. Nectar merupakan cairan yang kaya kandungan berbagai jenis gula (sukrosa, glukosa dan fraktosa) yang disekresikan oleh tumbuhan pada bagian bunga atau selain bunga. Nectar yang disekresikan pada organ tumbuhan selain bunga disebut nectar ekstraflora. Acacia sp mensekresikan nectar ekstrakfloranya pada bagian pangkal daun (Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007).
Selama ini masyarakat kita memandang lebah hanya sebagai binatang penghasil madu (Belum menghargai lebah sebagai makhluk Tuhan yang mendapatkan wahyu).Sejak dimulainya sejarah manusia, telah termuat dalam semua kitab suci umat beragama tertera di ayat ayat kitab suci mengenai himbauan untuk umat manusia memanfaatkan produk lebah madu, bagi kesehatan kita masing-masing, seper� Zabur, Taurat, Injil dan Al Qur’an mengenai hasil lebah sebagai sumber makanan alami yang mengagumkan.
Dalam
Surat
An Nahl:
68. “Dan Tuhan mewahyukan kepada lebah “Bersaranglah di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan pada bangunan-bangunan lainnya yang dibuat oleh manusia“
69. “Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaranTuhan) bagi orang-orang yang memikirkan“
Pada surat An-Nahl dapat diambil makna sbb:
1.
Lebah adalah satu-satunya binatang yang memperoleh wahyu dari Tuhan.
2.
Makna kata Wahyu disini sangat dalam, karena sesuai petunjuk-NYA lebah diberi jalan Allah untuk mengambil sari buah-buahan sehingga terjadi penyerbukan tanaman dan terjadi pembuahan yang akan terjadi penyerbukan tumbuhan di dunia untuk mendukung kehidupan manusia di bumi (sumber makanan dan oksigen)
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
178
3.
Pada saat lebah terbang kembali kesarangnya, Tuhan menggariskan
jalan sehingga lebah �dak pernah tersesat atau bingung dalam menempuh jalan kembali kesarangnya, meskipun letak dan jarak bunga-bungaan sangat bervariasi se�ap saat.
4.
Makanan berupa nectar dan pollen yang di bawa pulang lebah kesarangnya, selain bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan lebah sendiri, juga merupakan obat yang mujarab dan menyembuhkan bagi manusia, karena mengandung semua unsur makanan&berbagai enzim dan hormone yang diperlukan oleh tubuh manusia.
5.
Hal-hal tersebut merupakan kebesaran Tuhan bagi orang-orang yg memikirkannya.Mudah-mudahan kita semua termasuk golongan ini.
Manfaat langsung yang dapat dihasilkan dari lebah antara lain madu, lilin lebah
(beeswak),
tepungsari
(beepollen),
propolis,
royaljelly,
dan
sengatan
lebah
(beevenon)
sedangkan manfaat �dak langsung,
yang �dak kalah pen�ngnya yaitu membantu proses penyerbukan
(Sarwono, 2001).
II.
CARA MENDAPATKAN BIBIT/KOLONI Apiscerana
A.
Menangkap langsung atau berburu di
alam
Menangkap langsung atau berburu dialam yaitu menangkap koloni lebah yang hidup liar dialam, biasanya dirumah-rumah, pohon-pohon atau di gua batu.Apabila perburuan lebah dilakukan pada tempat yang jauh maka diperlukan peralatan sebagai berikut: Kurungan Ratu, Kotak Baru (seper� kotak eram tetapi hanya cukup 3 -5 sisiran), Kain kasa hitam berbentuk kerucut (seper� jaring) dan Masker Perburuan dengan membawa peralatan tersebut bisa mendapatkan koloni dalam jumlah banyak.
Gambar 1.
Apis cerana Bersarang di dinding rumah
Gambar 2.
Apis cerana Bersarang di dalam gudang
Gambar 3.
Apiscerana
bersarang di pohon yang lapuk
B.
Memasang glodok atau perangkap lebahApis cerana
Glogok merupakan alatataukotak yang dipasang
untuk
memancing
lebah agar bersarang didalamnya sehingga memudahkan dalam mendapatkan bibit/koloni lebah.
Gelodog terbuat dari batang kelapa/randu yang dibelah menjadi dua bagian yang sama, kemudian masing -masing belahan diambil bagian dalamnya sehingga apabila kedua belahan tersebut disatukan kembali akan terbentuk rongga. Rongga inilah tempat bersarang leba h.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
179
Gambar 4.
Glodok (perangkap lebah)
Glodok terbuat dari batang kelapa/randu yang dibelah menjadi dua bagian yang sama, kemudian masing-masing belahan diambil bagian dalamnya sehingga apabila kedua belahan tersebut disatukan kembali akan terbentuk rongga. Rongga inilah tempat bersarang lebah
1.
Cara Membuat Gelodog atau perangkap Lebah Apis Cerana
a.
Pilih Pohon/Batang Kelapa yang sudah tua
Pohon/Batang kelapa harus yang sudah tua agar tahan lama, �dak mudah berjamur dan berkerut. b. Batang Kelapa dibelah dan dilubangi pada kedua belah sisinya
Untuk melubangi atau membelah pohon/batang kelapa dapat dilakukan dengan
menggunakan chainsaw dan pahat.
c.
Batang Kelapa yang telah dilubangi dijemur di bawah terik matahari
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
180
d.
Batang Kelapa yang telah dijemur di bakar/diasapi
Tujuan pohon/batang kelapa dibakar atau diasapi antara lain:
1.
Membersihkan/atau merapikan serabut-serabut pohon/batang kelapa yang masih tersisa.
2.
Agar menimbulkan aroma khas pohon/batang kelapa yang disukai oleh koloni lebah Apis cerana.
Sebelum gelodog di pasang perlu dipersiapkan hal-hal antara lain:
a.
Pada sisi bagian bawah gelodog yang akan dipasang harus dibuat lubang agar air hujan �dak tergenang apabila gelodog telah dipasang nan�nya.
b.
Gelodog baru hendaknya dilumuri dengan lilin lebah terlebih dahulu.
c.
Siapkan tali atau kawat untuk menggantungkan gelodog di lokasi.
d.
Tempatkan gelodog pada lokasi yang diperkirakan terdapat habitat lebah biasanya di daerah perlintasan lebah maupun daerah yang tersedia pa kan lebah.
e.
Ikat gelodog dengan kawat/tali untuk memudahkan menggantungkan gelodog di
lapangan.
2.
Cara menempatkan gelodog atau perangkap Lebah Apis Cerana di lapangan
Tempatkan gelodog pada lokasi yang diperkirakan terdapat habitat lebah biasanya d i
daerah perlintasan lebah maupun daerah yang tersedia pakan lebah.
Bagan pemilihan lokasi untuk penempatan gelodog di lapangan
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
181
Apabila gelodog telah berisi biarkan beberapa lama,
apabila koloni telah stabil baru dipindahkan ke kotak budidaya (stup).
3.
Cara memindahkan koloni Apis cerana dari gelodog atau perangkap Lebah Apis Cerana ke dalam stup
Untuk memindahkan Koloni Apis cerana dari perangkap lebah (gelodog) ke kotak budidaya (stup) bisa diiku� langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Letakkan glodok di samping kotak yang akan ditempatkan koloni baru
b. Balikkan glodok dengan ha�-ha� yaitu memutar posisi glodok yang semula di atas diletakkan di bawah
c.
Asapi koloni dengan menggunakan smoker secukupnya
d.
Ambil ratu secara ha�-ha� dan masukkan dalam kurungan ratu.
e.
Ikatlah kurungan ratu pada permukaan bawah bingkai, masukkan ke dalam kotak budidaya.
f.
Pilihlah sarang dalam keadaan baik (ada telur, anakan, polen, madu) dan di potong secara ha�-ha� supaya �dak rusak.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
182
g.
Sisiran sarang yang sudah terlepas di ikat dengan menggunakan tali raffia dan dimasukkan satu demi satu ke dalam kotak lebah. Usahakan bingkai terpenuhi oleh sisiran, bila sisiran masih kurang maka potongkan sisiran yang lain.
h.
Masukkan seluruh lebah ke dalam kotak lebah
i.
Lebah-lebah yang masih ter�nggal biarkan masuk sendiri ke dalam kotak lebah. Setelah seluruhnya masuk tutuplah kotak dan letakkan pada tempat yang telah disediakan.
j.
Apabila pada sarang �dak dijumpai
madu, maka diberikan s�mulasi gula
k.
Satu hari kemudian kurungan ratu dapat di buka (setelah lebah dalam keadaan tenang)
l.
Tidak disarankan memotong sayap ratu karena bila koloni pindah maka ratu akan jatuh dan ma�. Sehingga koloni yang pindah �dak mempunyai ratu.
m.
Selama beberapa hari (3-5 hari) janganlah kotak lebah dipindah-pindah sebelum sarang lebah melekat betul pada bingkainya
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
183
n.
Pintu jangan di buka seluruhnya, kurang lebih 3-5 cm. Jika lebah telah tenang dan konstan pintu dapat di buka seluruhnya.
C.
Membeli koloni (paket)
Membeli koloni (paket) dari apiari yang menjual bibit lebah, biasanya dijual dalam kondisi lengkap dengan kotak pemeliharaannya (stup).
III.
PE
NUTUP
Alam Indonesia sangat mendukung dalam pengembangan perlebahan,
selain itu menurut Hadisoesilo dan Kuntadi,
2007
Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang termasuk daerah penyebaran lebah madu hutan (Apis dorsata).
Manfaat langsung yang dapat dihasilkan dari lebah madu antara lain madu,
lilin lebah (beeswak),
tepung sari (beepollen),
propolis,
royal jelly dan sengatan lebah (beevenon) sedangkan manfaat �dak langsung adalah membantu proses penyerbukan tanaman.
Dalam rangka pengembangan perlebahan ada beberapa cara untuk mendapatkan koloni Apis cerana,
antara lain: menangkap langsung atau berburu di alam, memasang glodok atau perangkap lebah Apis cerana
dan yang paling mudah membeli koloni (paket).
DAFTAR PUSTAKA
Hadisoesilo S. dan Kuntadi, 2007. Kearifan Tradisional dalam ”Budidaya” Lebah Hutan ( Apis dorsata), Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
184
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
185
TEKNIS PENGELOLAAN ARBORETUM BPTSTH KUOK
Agus Winarsih dan Sunarto
Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I.
PENDAHULUAN
Arboretum berasal dari kata arbor yang berar� pohon dan retum yang berar� kebun, sehingga arboretum dapat dikatakan sebagai kebun pepohonan. Dalam ar� luas arboretum didefinisikan sebagai kebun koleksi pepohonan dengan luasan tertentu berisi berbagai jenis pohon yang di tanam sedapat mungkin mengiku� habitat aslinya dan dimaksudkan sebagai areal pelestarian keanekaragaman haya� dan sedikitnya dapat memperbaiki atau menjaga kondisi iklim disekitarnya. Selain itu arboretum juga bermakna sebagai salah satu bentuk konservasi plasma nu�ah yang diwujudkan dalam bentuk koleksi atau kumpulan pepohonan hidup baik yang di bangun melalui penanaman maupun pertumbuhan secara alami seper� di hutan alam. Namun arboretum dapat disiasa� memiliki fungsi yang lain. Pembangunan arboretum juga ditujukan sebagai bentuk lain dari konservasi sumberdaya haya� ex-situ yang aman dan efisien dalam pelestarian sumber daya gene�k.
Konservasi ex-situ dapat berfungsi menyelamatkan jenis-jenis langka atau yang �dak dapat tumbuh dan berkembang secara normal di lingkungan alaminya, sehingga populasi dari jenis-jenis tersebut terjamin kelestariannya. Sedangkan menurut Riskawa� (2010) arboretum sangat layak untuk dijadikan objek wisata eduka�f karena didalamnya para pengunjung dapat mempelajari beraneka ragam spesies flora bahkan fauna yang terdapat di dalam arboretum. Selain itu keberadaan arboretum juga dimanfaatkan sebagai sarana konservasi plasma nu�ah, wisata ekologi, laboratorium alam, pendidikan, peneli�an dan pengembangan. Salah satu upaya dalam menginformasikan potensi arboretum BPTSTH Kuok Khususnya teknik pengelolaan dan mengenal jenis-jenis tanaman.
II.
SEJARAH SINGKAT ARBORETUM BPTSTH
Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) pada awalnya adalah Stasiun Peneli�an dan Pengembangan Lebah Madu (P2LM) yang dibangun oleh PT. Caltex Riau pada Tahun 1984, kemudian dihibahkan ke Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Riau pada tahun 1985 yang pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kehutanan Riau. Pada tahun 1986 Dinas Kehutanan Provinsi Riau menyerahkan P2LM kepada Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan untuk kegiatan Proyek Peneli�an dan Pengembangan Lebah Madu. Pada Tahun 1992 pengelolaannya dilimpahkan ke Balai Peneli�an Kehutanan Pematang Siantar dan pada tahun 1998 ditetapkan menjadi Wanariset II Kuok. Pada Tahun 2002 Wanariset II Kuok ditetapkan menjadi Loka Peneli�an dan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (LP2HHBK). Berdasarkan kebijakan Depertemen Kehutanan yang dituangkan dalam peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/Menhut -II/2006 tanggal 2 Juni 2006 LP2HHBK diubah menjadi Balai Peneli�an Hutan Penghasil Serat (BPHPS). Pada tahun 2011 BPHPS berubah menjadi BPTSTH sebagaimana Permenhut No P.33/Menhut -II/2011 tanggal 20 April 2011.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
186
Kawasan BPTSTH seluas 9 ha, terdiri atas bangunan gedung kantor, perpustakaan, laboratorium, mess, perumahan karyawan, persemaian dan arboretum. Arboretum dibangun bersamaan dengan ditetapkannya sebagai Stasiun Peneli�an dan Pengembangan Lebah Madu. Koleksi tanaman pada saat itu didominasi oleh jenis buah-buahan untuk pakan lebah seper� kapuk, pinang, rambutan, jambu, durian, nangka dan tanaman hias. Saat ini arboretum sedang dilakukan penataan dan pengembangan yang diarahkan pada penataan ruang, infrastruktur, sarana dan prasarana, pengayaan koleksi vegetasi terutama jenis lokal, jenis kayu serat, jenis langka dan tanaman buah-buahan.
III.
KONDISI BIOFISIK
Arboretum berada dalam areal kompleks perkantoran BPTSTH Kuok, dengan total luas sekitar 7,6 ha. Secara administra�f berlokasi di Desa Kuok, Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Areal ini berada pada ke�nggian ± 87 m di atas permukaan laut, secara geografis terletak pada 0O19’06” LU dan 100O57’53” BT. Berdasarkan peta klasifikasi tanah, areal arboretum tergolong jenis t anah Kandidults, Dystropepts dan Hapludox dengan bahan induk dari batuan halus dan kasar dengan pH masam. Topografi datar sampai berombak, rata-rata curah hujan ± 2103,6 mm/tahun dengan rata -rata jumlah hari hujan 133,8 hari termasuk �pe iklim A, suhu udara maksimum dan minimum rata-rata 34.8OC-20.14O C (Stasiun Klimatologi Simpang Tiga Pekanbaru).
Areal arboretum terdiri atas beberapa blok berdasarkan jenis vegetasi yang dikoleksi:
1. Blok A seluas 0,78 ha, adalah koleksi dari family Dipterocarpaceae. 2. Blok B seluas 0,69 ha, adalah koleksi dari family Leguminosae, Myrtaceae dan Thymelaceae. 3. Blok C seluas 1,94 ha, adalah koleksi dari famili Araucariaceae, Bombaceae, Leguminosae,
Myrtaceae dan kelompok jenis tanaman serat. Sebagian areal dalam blok ini diperuntukkan sebagai lokasi penanaman tanaman monumental.
4. Blok D seluas 0,97
ha, adalah koleksi jenis lokal, jenis komersil, jenis pakan lebah dan jenis tanaman serat.
5.
Blok E seluas 2,07 ha, adalah koleksi dari famili Pinaceae, Verbenaceae, Pa lmae dan Meliaceae. Sebagian areal dalam blok ini diperuntukan sebagai lokasi penanaman tanaman langka.
6.
Blok F seluas 1,15 ha, adalah koleksi vegetasi lahan basah/rawa dari famili Dipterocarpaceae dan jenis tanaman serat seper� mahang, terentang dan gerunggang. Blok ini arealnya tergenang air sehingga digolongkan sebagai lahan basah (rawa).
IV.
TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan terwujudnya fungsi dan peranan arboretum BPTSTH yang mul�fungsi dan bermanfaat dalam menunjang kegiatan peneli�an,
pendidikan,
dan sasaran pengelolaan arboretum yaitu: Terpeliharanya tanaman koleksi di arboretum BPTSTH,
Terpeliharanya sarana dan prasarana yang ada, serta terpeliharanya lingkungan arboretum dan bertambahnya koleksi tanaman.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
187
V.
JENIS KEGIATAN PENGELOLAAN
A.
Pemetaan batas areal arboretum, pengukuran tofografi, penataan batas blok berdasarkan fungsinya, sehingga di peroleh peta situasi areal arboretum
B.
Menginventarisasi jenis-jenis vegetasi dan melakukan pengayaan. Kegiatan pengayaan jenis tanaman dilakukan secara periodik. Penanaman pohon monumental dilakukan pada momen-momen tertentu misalnya hari bersejarah, ada pejabat dari pusat dan daerah atau dari instansi lain.
C.
Iden�fikasi jenis vegetasi untuk mengetahui nama ilmiahnya (botanis).
D.
Pemasangan papan informasi di areal arboretum, sebagai panduan bagi pengunjung untuk memudahkan se�ap pengguna pada saat berada di arboretum
E.
Pemeliharaan ru�n areal arboretum dan perawatan tanaman koleksi , melipu�:
1.
Pemeliharaan areal arboretum melipu� pembersihan lantai hutan arboretum dari ran�ng-ran�ng kayu dan semak belukar (pemangkasan rumput) di sekitar drainase dari ran�ng-ran�ng yang menyumbat aliran air yang dilakukan secara ru�n se�ap hari.
2.
Perawatan tanaman koleksi dilakukan dengan pemupukan menggunakan pupuk kandang 2 x
dalam setahun dan mengunakan pupuk buatan 2 x dalam setahun sehingga dalam setahun dilakukan pemupukan sebanyak 3 bulan sekali dengan selang-seling antara pupuk kandang dan pupuk NPK, pemangkasan dilakukan pada tanaman yang dianggap menggangu/menutupi tanaman yang berumur muda jenis toleran terhadap cahaya, penyulaman dilakukan dengan mengan�kan tanaman yang telah dianggap ma� atau terserang hama/penyakit serta pendangiran di Khususkan untuk jenis yang berumur muda.
3. Sterilisasi bagi jenis yang berada di sekitar bangunan, serta tanaman yang terserang hama/penyakit. Sterilisasi disesuaikan dengan kemungkinan kerusakan yang akan di�mbulkan, misalnya dengan pemotongan hanya di beberapa cabang yang mengganggu bangunan atau dapat dilakukan penebangan pohon yang dikhawa�rkan akan roboh dan menimbulkan kerusakan yang besar terhadap bangunan.
4.
Pengumpulan benih dari koleksi tanaman arboretum dilakukan guna memperbanyak koleksi bibit di persemaian. Benih dikumpulkan dan di semaikan di persemaian kemudian pemeliharaannya diserahkan ke pengelola persemaian. Benih di catat kapan dipungutnya, dilokasi mana, jenis apa dan dihitung jumlahnya. Sehingga diketahui kapan musim berbuah dari masing-masing pohon yang tumbuh di arboretum.
F.
Penataan dan pengembangan arboretum mul�fungsi
Pembangunan dan pengelolaan arboretum BPTSTH merupakan kegiatan yang dilakukan
secara bertahap dan memerlukan waktu yang �dak singkat. Pemetaan dan pembagian blok yang dilakukan pada tahun 2008 merupakan awal dari penataan arboretum yang dilanjutka n dengan penanaman beberapa jenis koleksi ekso�k dan pengurangan pohon yang jumlahnya banyak dengan tujuan untuk memberikan ruang yang lebih luas pada penanaman koleksi berikutnya.
Untuk tahap awal pengembangan arboretum yang mul�fungsi dapat di buat sa tu konsep perencanaan yang terdiri dari konsep tata ruang, tata hijau, fasilitas u�litas, wisata eduka�f dan sirkulasi (Baskara dkk, 1998).
1.
Konsep tata ruang
Konsep tata ruang arboretum BPTSTH dibagi menjadi blok tanam (Nurrohman, 2011) yaitu:
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
188
a.
Blok A seluas 0.78 ha, adalah
merupakan koleksi dari family Dipterocarpaceae dan sebagian kecil diperuntukan untuk blok monumental.
b.
Blok B seluas 0.69 ha, adalah koleksi dari family Leguminosae, Myrtaceae dan Thymelaceae.
c.
Blok C seluas 1.94 ha, adalah
koleksi dari family Araucariaceae, Bombaceae, Leguminosae, Myrtaceae dan jenis tanaman serat.Sebagian areal diperuntukkan sebagai lokasi penanaman monumental.
d.
Blok D seluas 0.97 ha, adalah koleksi jenis lokal, jenis komersil, jenis pakan lebah dan jenis penghasil serat.
e.
Blok E seluas 2.07 ha,
merupakan koleksi dari family Pinaceae, Verbenaceae, Palmae, Meliaceae. Pada tahun 2015 sebagian areal diperuntukkan sebagai lokasi penanaman tanaman langka.
f.
Blok F
seluas 1,15 ha adalah koleksi jenis lahan basah/rawa
dari family Dipterocarpaceae
dan jenis penghasil serat seper� mahang, terentang dan gerunggang.
2.
Konsep tata hijau
Konsep ini didasarkan atas fungsi tanaman yang disesuaikan dengan fungsi ruang, kebutuhan dan kondisi tapak. Adapun dua fungsi
utama
yang
dapat diwujudkan
pada konsep tata hijau yaitu
fungsi pelestarian dan fungsi este�ka.
3.
Konsep fasilitas dan u�litas
Beberapa fasilitas dan u�litas yang telah ada pada areal arboretum adalah papan nama BPTSTH, papan nama arboretum, peta arboretum, jalur tracking, label ta naman dan lampu taman. Namun untuk pengembangan sebagai arboretum yang mul�fungsi (ekowisata) diperlukan beberapa fasilitas penunjang lainnya seper� papan informasi untuk deskripsi jenis, papan nama di se�ap blok, rambu-rambu penunjuk jalan dan tempat sampah. Pemeliharaan dan perawatan fasilitas yang ada juga perlu terus dilakukan sebagai bentuk pengelolaan arboretum.
4.
Konsep wisata eduka�f
Konsep wisata eduka�f yang diterapkan pada arboretum BPTSTH yaitu konsep dimana dapat menjangkau kalangan pelajar
baik di �ngkat SD dan SLTP. Tahap awal kegiatan tersebut telah dilakukan pada bulan Maret tahun 2013 serta akan dilanjutkan se�ap tahunnya. Seper� bulan Agustus 2015 yang lalu Arboretum BPTSTH melakukan Edu Fun Games merupakan suatu kegiatan Edukasi Lingkungan yang melibatkan siswa SD di Kecamatan Kuok. Dalam kegiatan tersebut 30 orang siswa di bawa untuk mengelilingi jalur tracking sambil mengenal berbagai pepohonan dan morfologinya, melakukan praktek penanaman serta meningkatkan pengetahuan mengenai l ingkungan (pembuatan kompos, pengenalan sampah organik dan anorganik). Kegiatan edukasi lingkungan ini di kemas dalam bentuk observasi/pengamatan, rekrea�f dan uji krea�fitas.
5.
Konsep sirkulasi melipu� sirkulasi pejalan kaki (jalur tracking) dan sirkulasi kendaraan.
G.
Pelabelan pada semua koleksi vegetasi. Contoh label pada pohon koleksi.
Nama Ilmiah
Family
Nama Lokal/Daerah
Acacia mangium Willd.
Leguminosae
Akasia
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
189
H.
Kegiatan pengelolaan arboretum kedepannya masih perlu di�ngkatkan baik dengan mengintensi�an pemeliharaan areal arboretum, antara �m manajemen, sumber daya
manusia yang terampil dan tersedianya dana yang mamadai, perbaikan sarana dan fasilitas yang ada, perawatan tanaman koleksi, penataan areal dan �ndak lanjut pengembangan konsep perencanaan (perpaduan konsep tata ruang, tata hijau, fasilitas dan u�litas dan sirkulasi) untuk mendukung fungsi-fungsi arboretum yang diharapkan.
VI.
DAFTAR KOLEKSI VEGETASI ARBORETUM BPTSTH
Hasil iden�fikasi jenis yang telah dilakukan di areal arboretum ditemukan 137 jenis tanaman yang tergabung dalam 41 famili, sedangkan yang
belum teriden�fikasi ±60 jenis lagi.
No
Nama Daerah
Nama Ilmiah
Family
1
2
3
4
1
Akasia
Acacia mangium Willd.
Leguminosae
2
Alpukat
Persea americana Miller
Lauraceae
3
Angsana
Pterocarpus indica Willd.
Leguminosae
4
Araukaria
Araucaria sp.
Araucariaceae
5
Asam Jawa
Tamarindus indica Linn.
Leguminosae
6
Balam
Palaqium obovatum (Griffith) Enql.
Sapotaceae
7
Balangeran
Shorea balangeran (Korth.) Burck
Dipterocarpaceae
8
Bambu Hijau
Gigantochloa nigrociliata Kurz.
Gramineae
9
Bambu Kuning
Bambusa vulgaris Schrad.
Gramineae
10 Bambu Tali Gigantochloa apus Kurz. Gramineae
11 Bangkinang Elaeocarpus glaber Elaeocarpaceae 12 Bayur Pterospermum javanicum Jungh. Sterculiaceae 13 Belimbing Manis Aveirhoa carambola Linn. Oxalidaceae 14
Belimbing Sayur
Aveirhoa bilimbi Linn.
Oxalidaceae
15
Benuang
Octomeles sumatrana Miq.
Da�staceae
16
Bintangur
Calophyllum inophyllum L.
Clusiaceae 17
Bunga Kupu-Kupu
Bauhinia acuminata Linn.
Leguminosae
18
Bungur
Lagerstroemia speciosa Pers.
Lythraceae
19
Cempedak
Artocarpus champeden Spreng.
Moraceae
20
Damar Mata Kucing
Shorea javanica Koord. & Valeton.
Dipterocarpaceae
21
Dolok
Fordea splendidissima
Papilionaceae
22
Durian
Durio zibethinus Murr.
Bombaceae
23
Duwet
Euginia cuminii Merr.
Myrtaceae
24
Eboni
Diospyros celebica Bakh.
Ebenaceae
25
Cempaka
Michelia campaka L.
Magnoliaceae
26
Ekaliptus
Eucalyptus sp.
Myrtaceae
27
Flamboyan
Delonix regia
Leguminosae
28
Gaharu
Aquilaria malaccensis Lamk.
Thymelaceae
29
Gerunggang
Cratocylon arboresncens Blume
Clusiaceae
30
Jabon
Anthocephalus cadamba Miq.
Rubicaceae
31
Jambu Air
Euginia aquea Burm.
Myrtaceae
32
Jambu Biji
Psidium guajava Linn.
Myrtaceae
33
Jambu Bol
Euginia malaccensis Linn.
Myrtaceae
34
Jambu Monyet
Anacardium occidentale Linn.
Anacardiaceae
35
Jambu-Jambu
Syzygium cuprea
Myrtaceae
36
Ja�
Tectona grandis Linn.f.
Verbenaceae
37
Jelutung
Dyera costulata Hook.f.
Apocynaceae
38
Jelutung Rawa
Dyera lowii Hk.f.
Apocynaceae
39
Jengkol
Phitecolobium lobatum Benth.
Leguminosae
40
Johar
Cassia siamea Lamk.
Leguminosae
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
190
1
2
3
4
41
Kaliandra
Calliandra callothyrsus
Leguminosae
42
Kamboja
Plumiera acuminata Ait.
Apocynaceae
43
Kandis
Garcinia parvifolia Miq.
Gu�ferae
44
Kapuk
Ceiba pentandra Gaertn.
Bombaceae
45
Karet
Hevea brasiliensis Muell.Arg.
Euphorbiaceae
46
Kayu Musang
Alangium begoniifolium
Alangiaceae
47
Kayu Ti�
Gmelina moluccana Backer.
Verbenaceae
48
Kedondong
Spondias dulcis Forst.
Anacardiaceae
49
Kelapa
Cocos nucifera Linn.
Palmae
47
Kayu Ti�
Gmelina moluccana Backer.
Verbenaceae
48
Kedondong
Spondias dulcis Forst.
Anacardiaceae
50
Kelat
Euginia sp.
Myrtaceae
51
Kemenyan
Styrax benzoin Dryand
Styraceae
52
Kemiri
Aleurites moluccana (L) Wild.
Euphorbiaceae
53
Ketapang
Terminalia ca�apa Linn.
Combretaceae
54
Klakok
Gluta sp.
Anacardiaceae
55
Kopi
Koffea arabica L.
Rubiaceae
56
Kulim
Scorodocarpus borneensis Becc.
Olacaceae
57
Laban
Vitex pubescens Vahl.
Verbenaceae
58
Langsat
Lancium domes�cum Coor.
Meliaceae
59
Lawang
Cinnamomum koordensii Linn.
Lauraceae
60
Lengkeng
Dimocarpus longan Lour
Sapindaceae
61
Mahang Kri�ng
Macaranga pruinosa
Euphorbiaceae
62
Mahang Pu�h
Macaranga hypoleuca
Euphorbiaceae
63
Mahoni
Swietenia mahagoni Jacq.
Meliaceae
64
Mangga
Mangifera indica Linn.
Anacardiaceae
65 Manggis Garcinia sp. Gu�ferae
66 Marpoyan Rhodamnia cenerea Myrtaceae 67 Matoa Pome�a pinnata Forst. Sapindaceae 68 Medang Alseodaphne coriacea Kosterm Lauraceae 69
Melinjo
Gnetum gnemon Linn.
Gnetaceaea 70
Mengkudu
Morinda citrifolia L.
Rubiaceae
71
Mentangor
Callophylum pulcherimum
Gu�ferae
72
Meran�
Shorea sumatrana
Dipterocarpaceae
73
Meran� Bapa
Shorea selanica Bl.
Dipterocarpaceae
74
Meran� Bukit
Shorea platyclados Slooten ex Foxw.
Dipterocarpaceae
75
Meran� Merah
Shorea johorensis Foxw.
Dipterocarpaceae
76
Meran� Merah
Shorea selanica Blume.
Dipterocarpaceae
77
Meran� Rawa
Shorea macranta
Dipterocarpaceae
78
Meran� Sabut
Shorea ovalis (Korth.) Blume.
Dipterocarpaceae
79
Meran� Tembaga
Shorea leprosula Miq.
Dipterocarpaceae
80
Meran�
Hopea odorata
Dipterocarpaceae
81
Merawan
Hopea mangarawan
Dipterocarpaceae
82
Merbau
Intsia bijuga
Leguminosae
83
Mindi
Melia azedarach Linn.
Meliaceae
84
Namnam
Cynometra cauliflora
Leguminosae
85
Nangka
Artocarpus integra Merr.
Moraceae
86
Nibung
Oncosperma �gillarium (Jack) Ridl.
Palmae
87
Pakis Haji
Cycas rumphii Miq.
Cicadaceae
83
Mindi
Melia azedarach Linn.
Meliaceae
84
Namnam
Cynometra cauliflora
Leguminosae
85
Nangka
Artocarpus integra Merr.
Moraceae
86
Nibung
Oncosperma �gillarium (Jack) Ridl.
Palmae
87
Pakis Haji
Cycas rumphii Miq.
Cicadaceae
88
Pasir-Pasir
Stemonurus secundiflorus Blume
Icacinaceae
89
Paulonia
Pawlania tomentosa
Paulowniaceae
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
191
1
2
3
4
90
Petai
Parkia speciosa Hassk.
Mimosaceae
91
Petai Cina
Leucaena leucocephala Lamk.
Mimosaceae
92
Pinang
Areca catechu Linn.
Palmae
93
Pinus
Pinus merkusii Jungh.
Pinaceae
94
Pulai
Alstonia scholaris R.Br.
Apocynaceae
90
Petai
Parkia speciosa Hassk.
Mimosaceae
91
Petai Cina
Leucaena leucocephala Lamk.
Mimosaceae
92
Pinang
Areca catechu Linn.
Palmae
93
Pinus
Pinus merkusii Jungh.
Pinaceae
94
Pulai
Alstonia scholaris R.Br.
Apocynaceae
95
Rambutan
Nephelium lappaceum Linn.
Sapindaceae
96
Ramin
Gonystylus bancanus Kurz.
Thymelaceae
97
Randu
Gossampinus heptaphylla Bakh.
Bombaceae
98
Roda -
Roda
Hura crepitans Linn.
Euphorbiaceae
99
Saga
Adenanthera pavonina Linn.
Leguminosae
101
Sengon
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen.
Leguminosae
102
Sentul
Sandoricum koetjape (Burm.F.) Merr.
Meliaceae
103
Sesendok
Endospermum malaccense Benth.
Euphorbiaceae
104
Skubung
Macaranga gigantea Muell.Arg.
Euphorbiaceae
105
Sukun
Artocarpus al�lis (Parkinson) Fosberg.
Moraceae
106
Sungkai
Peronema canescensJack.
Verbenaceae
107
Tampinai Kecil
Artocarpus ni�dus
Moraceae
108
Tampui Buah
Baccaurea macrocarpa Miq. Muell
Euphorbiaceae
109
Tanjung
Mimusops elengi L.
Sapotaceae
110
Tembesu
Fagraea fragrans Roxb.
Loganiaceae
111
Tengkawang
Shorea macrophylla
Dipterocarpaceae
112 Terentang Campnospermum coriaceum Anacardiaceae
113 Uar Artocarpus s.p Moraceae 114 Punak Tetramerista glabra Miq Theaceae 115 Balsa Ocroma bicolor Bombacaceae 116
Keruing
Dipterocarpus indicus
Dipterocarpaceae 117
Tengkawang
Shorea stenoptera
Dipterocarpaceae
118
Suntai
Palaqrum dasyphylum Pierre ex Dubard
Sapotaceae
119
Pisang-pisang
Mezze�a parui�lora Becc
Annonaceae
120
Makadamia
Macadamia ternifolia FvMUELL
Proteaceae
121
Bisbul, Buah Mentega
Diospyros blancoi
Ebenaceae
122
Kayu Pu�h
Melaleuca leucadendron
Myrtaceae
123
Giam
Cotylelobium spp
Dipterocarpaceae
124
Ulin
Eusideroxylon zwageri
T.et B.
Lauraceae
125
Sawo Kecik
Manilkara
spp
Apocynaceae
126
Bira-bira
Fagraea crenulata
Gen�anaceae
127
Pronojiwo
Sterculia javanica
R.Br
Sterculiaceae
128
Buni
An�desma bunius L. Spreng.
Phyllanthaceae
129
Darsono Mawar
Syzygium Malaccense
Myrtaceae
130
Asem Londo
Pitchecolobium dulce
Leguminosae
131
Kesambi
Schleichera oleosa
Sapindaceae
132
Bi�/Vitex
Vitex cofassus
Reinw.
Verbenaceae
133
Kepuh
Sterculia foe�da
L
Sterculiaceae
134
Va�ca
Va�ca Sumatrana
Dipterocarpaceae
135
Nogosari/Pupus Merah
Palaquium rostratum
(Miq. Burck)
Sapotaceae
136
Sawo Bludru
Chrysophillum cainato
Sapotaceae
137
Kepel
Stelechocarpus burahol
Annonaceae
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
192
Peta Lokasi Arboretum BPTSTH
Keterangan: Blok A 0,78 Ha, Blok B 0,69 Ha, Blok C 1,94 Ha, Blok D 0,97 Ha, Blok E 2,07 Ha dan Blok F 1,15 Ha
VII.
PENUTUP
Arboretum merupakan kebun koleksi pepohonan dengan luasan tertentu berisi berbagai jenis pohon yang di tanam mendeka� habitat aslinya dan diharapkan dapat sebagai areal pelestarian keanekaragaman haya� atau juga bermakna sebagai salah satu bentuk konservasi plasma nu�ah.
Selain itu dapat berfungsi sebagai konservasi sumberdaya haya� eksitu dalam pelestarian sumberdaya gene�k.
Menurut Baskara dkk,
1998 untuk tahap awal pengembangan arboretum yang mul�fungsi dapat di buat satu konsep perencanaan yang terdiri dari konsep tata ruan g, konsep tata hijau, konsep fasilitas dan u�litas, konsep wisata eduka�p dan konsep sirkulasi.
DAFTAR PUSTAKA
Baskara, M., Aris, M. dan Tjahjono, S., 1998. Perencanaan Lanskap Arboretum Sumber Brantas sebagai Obyek Wisata Alam. Bule�n Taman dan Lanskap Indonesia Vol. 1 No. 3
F
C
D
A
B
E
G
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
193
Nurrohman, E., dan Tri H. S., 2011. Info teknis arboretum. Kementerian Kehutanan. Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan. Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan.
Riskawa�,
T.,
2010.Arboretum yang bukan sekedar arboretum. h�p://edukasi.kompasiana.
com/2010/05/03/arboretum-itu-bukan-sekedar-arboretum-131782.html.
Diakses tgl
8 Desember 2014.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
194
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
195
PEMBUATAN POT ORGANIK DENGAN METODE HOT PRESS
DAN VACUUM
Eko Sutrisno dan Andi Mandala Putra
Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok
I.
PENDAHULUAN
Pembuatan bibit di persemaian, pada saat ini masih menggunakan media yang belum ramah lingkungan seper� kantong plas�k/polybag, po�ray dan poly
tube. Penggunaan polybag dalam penyiapan bibit tanaman menimbulkan permasalahan tersendiri dalam penanaman di lapangan. Media bibit tanaman yang berupa polybag akan menimbulkan limbah yang
akan menjadi bahan pencemar lingkungan.
Plas�k-plas�k bekas polybag yang digunakan dalam rehabilitasi lahan dan hutan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terdekomposisi secara alami.
Selain permasalahan lingkungan yang di�mbulkan oleh pemakaian polybag tersebut, di
dalam proses pengeluaran bibit tanaman seringkali akar tanaman mengalami kerusakan yang akan mengakibatkan terganggunya kesehatan bibit. Kondisi tersebut biasanya disebabkan akar tanaman
yang tumbuh melingkar. Dengan terganggunya sistem perakaran bibit, adaptasi
terhadap lingkungan menjadi menurun yang dapat mengakibatkan persentase hidup dan pertumbuhannya menjadi rendah.
Menurut Budi (2012) kerusakan akar pada saat proses
pengeluaran bibit dari media tumbuhnya dapat mempengaruhi proses adaptasi dan pertumbuhan tanaman di lapangan.
Kembali ke alam merupakan is�lah yang tepat untuk menggambarkan kondisi ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Konsep daur ulang telah menjadi cerminan manusia sa at ini yang secara garis besar telah peduli dengan lingkungan. Memaksimalkan penggunaan suatu produk sampai dengan umur ekonomisnya atau bahkan sampai mengubah bentuk dan fungsi dari produk awal secara �dak langsung telah meminimalisir limbah.
Pemerintah
Indonesia Khususnya Kementerian
Kehutanan
telah membuat kebijakan so�
landing
yang antara lain isinya mengurangi peranan hutan alam sebagai bahan pemasok kayu industri pengolahan kayu Khususnya penggergajian, venir dan kayu lapis serta industri pulp dan kertas (Prakosa, 2002).
Pada tahun 2003-2008 sekitar 2,8 milyar bibit tanaman kehutanan dari berbagai jenis telah di tanam di lapangan untuk merehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi (Kementerian kehutanan, 2010). Selain menunjang kebijakan pemerin tah terkait pembangunan hutan tanaman sebagai pemasok kayu, dalam rangka konservasi dan rehabilitasi hutan juga memerlukan pasokan bibit tanaman. Untuk memproduksi bibit sebanyak itu diperlukan sekitar 7,119 ton polybag yang selama ini digunakan untuk wada h media tumbuh bibit di persemaian.
Pemanfaatan berbagai bahan organik dan konsep daur ulang diharapkan dapat berperan sebagai mi�gasi limbah plas�k polybag. Pot organik yang dihasilkan akan menjadi barang baru dan bernilai ekonomi lebih �nggi dan ramah
lingkungan.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
196
II.
BAHAN DAN ALAT
A.
Tempat dan Waktu
Peneli�an ini dilakukan di laboratorium pulp Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan. Peneli�an dilaksanakan pada tahun 2012 sampai dengan 2014.
B.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas bekas HVS, koran dan karton pembungkus (kardus). Alat-alat yang dipakai adalah ember stainless steel, oven, kompor gas, alat pengaduk, alat pengukur derajat giling (CSF), alat penyaring, holander beater, mesin mould hot press dan mesin vacuum.
III.
PROSEDUR KERJA
A.
Penguraian serat (pulping)
Semua bahan sebelum diuraikan kembali seratnya di rendam terlebih dahulu dalam air selama 1 x 24 jam dengan air.
Hasil rendaman kemudian di
buat serpih dengan ukuran 3 x 2 cm kemudian di
saring dalam kondisi kering udara. Proses penguraian kembali serat ini menggunakan hollander beater (konsistensi 3%).
Dengan konsep penggunaan kembali maka
derajat kehalusan serat karton bekas ini berkisar 300-500 ml CSF.
Gambar 1. Proses pulping, a. penggilingan; b. pencucian dan penyaringan
B.
Pencampuran bahan
Setelah seluruh bahan baku menjadi pulp,
masing-masing di �mbang.
Penimbangan dilakukan dengan memperhitungkan berat kering oven. Untuk meningkatkan sifat fisik dan mekanik pot organik dapat ditambahkan dengan perekat alami. Sesuai formulasi yang di buat campurkan seluruh komposisi sampai homogen dan siap untuk di cetak.
Gambar 2.
A). penimbangan pulp; b).
penimbangan pulp, c). pencampuran
C.
Pencetakan
Proses pencetakan merupakan tahapan akhir dari pembuatan pot organik. Pencetakan dilakukan pada kondisi basah, hasil akhir pot organik berbentuk gelas.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
197
Gambar 3. Desain pot organic
a.
Metode hot press
Pencetakan dengan metode hot press ini dilakukan dengan kondisi bahan dan air berbanding 1 : 1 (w/w). Kondisi pengempaan dilakukan pada suhu 150-1750C selama 15-20
menit. Setelah pengempaan dilakukan pengkondisian selama 1-2
minggu, kemudian dilakukan pengujian sifat fisis
dan pengujian di persemaian.
Gambar 4. Pencetakan dengan metode hot press
b. Metode vacuum Pencetakan dengan metode vacum dilakukan dengan kondisi bahan dan air berbanding 1:20 (w/w). Pencetakan pot organik dilakukan dengan ketebalan ±2 mm. Tahap selanjutnya dilakukan pengeringan
pada suhu 1050C selama 24 jam.
Setelah pengeringan,
dilakukan pengkondisian selama 1 minggu, kemudian dilakukan pengujian.
Gambar 5. Pencetakan dengan metode vacuum
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pencetakan menggunakan metode hot press
dan vacuum secara umum telah sesuai dengan desain yang ditetapkan. Pemanfaatan kertas bekas HVS, koran dan karton pembungkus (kardus) sebagai bahan baku pembuatan pot organik merupakan implementasi dari konsep 4 R (Reduce of Energy, Reuse, Recycle dan Replace). Secara umum pot organik dari kedua metode tersebut terlihat pada Gambar 6.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
198
Gambar 6.
Pot organik. a). hasil hot press; b). hasil metode vacuum
Selanjutnya pot organik diharapkan selain berfungsi sebagai wadah tumbuh juga dapat memberikan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan meningkatkan diversitas mikroorganisme tanah. Pot organik yang ramah lingkungan dianggap prak�s karena dapat langsung di tanam ke dalam tanah tanpa harus membuka pada saat penanaman di lapangan. Selain itu diharapkan pot organik dapat terdekomposisi secara cepat serta �dak menyebabkan kerusakan lingkungan, dan pot organik �dak menyebabkan terjadinya kerusakan perakaran saat bibit dipindahkan ke lapangan. Menilai karakteris�k detail mengenai d an kekurangan pot organik yang dihasilkan dari kedua metode tersebut dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tabel Penilaian Pot Organik
No.
Kriteria
Hot press
Vacuum
1.
Penampakan (performance)
Baik
Baik
2.
Sifat fisik*
Berkerapatan rendah Berkerapatan sedang
3. Daya jebol Kurang Sangat baik 4. Penetrasi akar Mudah Sedang 5. Kandungan hara Sedang Kurang 6. Nilai pH Asam – basa Asam – normal 7.
Input komponen lain (pupuk dll)
Tertentu
Apa saja
8.
Jumlah produk akhir
Terbatas
Tidak terbatas 9.
Kemudahan pengerjaan
Sedang
Mudah
10.
Jenis bahan baku
Tidak terbatas
Tidak terbatas
Mengacu pada Japanese Industrial Standard (JIS)
Berdasarkan Tabel 1, secara umum produk yang dihasilkan sudah baik dan layak
digunakan sebagai penggan� polybag dalam
menyemaikan dan atau menumbuhkan bibit. Melalui pot organik ini, diharapkan mampu mengurangi energi bibit pada saat penyapihan karena pot organik ini hanya untuk sekali pakai dimulai dari penyemaian sampai dengan penanaman di lapangan. Karakteris�k pot organik ini secara umum melipu� pengujian dari sifat fisik, yaitu kadar air, pengembangan tebal, daya serap air dan kerapatan. Wahyudi (2012) menyatakan
pot organik sebagai kontainer bibit yang di buat dengan metode hot press
tergolong ke dalam jenis kerapatan rendah. Berbanding terbalik dengan hasil peneli�an selanjutnya, Wahyudi (2014) menyatakan bahwa pot organik yang di buat dengan metode vacuum tergolong kepada produk berkerapatan sedang.
Daya jebol diasumsikan kemampuan pot organik menahan beban media tanam. Hal ini tentunya berkorelasi dengan kemampuan penetrasi akar terhadap pot organik tersebut. Menurut Nursyamsi (2014), biopo�ng yang di cetak secara kompak menjadikannya lebih padat dan kuat. Hal ini menyebabkan pertumbuhan sengon laut kurang bagus, karena akar kurang dapat menembus biopo�ng dan menyerap unsur hara yang terdapat pada biopo�ng.
Kandungan hara dan nilai pH di duga dipengaruhi oleh prinsip kerja dari alat yang menggunakan hot press
dan vacuum. Kondisi suhu yang �nggi pada saat di kempa sedikit
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
199
banyak mempengaruhi sifat kimia organik bahan baku, begitu juga dengan perbandingan bahan baku dan air pada metode vacuum. Untuk memperbaiki hal ini terbuka peluang melalui input komponen lain dari luar seper� penambahan kapur dolomit, kompos,pupuk dan lainnya. Budi (2012) menyatakan bahwa bahan baku pembuatan pot organik yang diberi tambahan kompos komposisi terbaiknya adalah pada perbandingan 50 : 50 (v/v). Sehingga aplikasi kedua alat tersebut yang �dak terbatas pada semua jenis bahan baku, dapat digunakan untuk mencari campuran sebagai bahan penolong.
Perbedaan prinsip kerja dan desain alat pencetak pot organik pada hasil akhir akan mempengaruhi kuan�tas produksi. Alat hot press sangat dipengaruhi oleh cetakan ( moulding) dengan waktu produksi yang terbatas se�ap jam dan harinya. Pada alat vacuum, faktor yang mempengaruhi kuan�tas produksi adalah keterampilan (skill) operator dan ketersediaan bahan baku. Tingkat kesulitan dalam produksinya sejauh ini disebabkan karena adanya ketergantungan pada kondisi alat.
V.
PENUTUP
Proto�pe pot organik yang dihasilkan dari metode hot press
dan vacuum
secara umum telah layak dan memenuhi kriteria sebagai media tumbuh untuk tanaman. Aplikasi pot organik telah turut serta dalam penyelamatan lingkungan dari polusi tanah yang diakibatkan oleh plas�k polybag. Selain itu, juga memberikan efek posi�f terhadap fisiologis tanaman mulai dari penyemaian sampai dengan penanaman di lapangan. Karena terbuat dari bahan organik, pada saat proses dekomposisi turut berperan sebagai input hara bagi lingkungan dan tanaman. Peluang riset masih terbuka lebar terkait jenis bahan baku, komposisi bahan baku, penambahan zat penolong dan teknik produksi massal.
DAFTAR PUSTAKA
Budi S.W., A. Sukendro dan L. Karlinasari.
2012. Penggunaan Pot Berbahan Dasar Organik untuk Pembibitan Gmelina arborea Roxb. di Persemaian.
Jurnal Agronomi 40 (3): 239-245.
Kementerian Kehutanan.2010.Peraturan Menteri Kehutanan No:P.08/Menhut -II/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementrian
Kehutanan
Tahun 2010-2014. Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Nursyamsi dan H. Tikupadang.
2014.
Pengaruh Komposisi Biopo�ng Terhadap
Pertumbuhan Sengon laut (Paraserianthes falcataria
L. Nietsen) di Persemaian.
Jurnal Peneli�an Kehutanan Wallacea Vol 3 No:
1.
April 2014:
65-73. Balai Peneli�an Kehutanan
Makassar.
Prakosa M. 2002. Kebijakan rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan. Policy Paper Departemen Kehutanan. Jakarta.
Wahyudi A. Suharta�, R. Rinanda. 2012. Formulasi Kontainer Bibit Tanaman Kehutanan Ramah Lingkungan Dari Limbah Perkebunan Kelapa Sawit. Laporan Hasil Peneli�an PKPP Ristek Balai Peneli�an Teknologi Serat. Kuok. Tidak dipublikasikan.
Wahyudi A. R. Rinanda, A.M.Putra. 2012. Pembuatan Po�ray Dari Jenis Kayu Ja bon (Anthocephalus cadammba) dan Limbah Pembalakan Hutan Tanaman Industri. Laporan Hasil Peneli�an Balai Peneli�an Teknologi Serat. Kuok. Tidak dipublikasikan.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
200
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
201
DEMONSTRASI MESIN PENCACAH SAMPAH DEDAUNAN KERING
SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN PUPUK ORGANIK
Agus Hidayat, Yayan Sugilar dan Sahro Abdul Syukur
Pusat Peneli�an dan Pengembangan Hasil Hutan
I.
PENDAHULUAN
Pengolahan sampah organik seper� rumput dan daun-daun pohon yang kering di lingkup Pustekolah Badan Litbang dan Inovasi, pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Namun dalam pelaksanaannya dihadapkan dengan berbagai kendala yang �mbul, mulai dari komitmen petugas pengolahan sampah organik, alat/mesin utama dan penunjang serta tempat/lokasi pengolahan sampah organik. Untuk mengatasi kendala tersebut, perlu dukungan terutama dari satuan kerja dan atau himpunan/forum/satuan/ikatan lingkup Pustekolah, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kegiatan pengolahan sampah organik yang saat ini dilaksanakan, didukung satuan kerja dan ikatan karyawa� lingkup pustekolah.
Gambar 1. Demo kegiatan pencacahan daun-daun pohon, disaksikan oleh pejabat struktural,
peneli� dan pengurus ikatan karyawa� lingkup Pustekolah (Bogor 08 Mei 2015)
Tujuan kegiatan pengolahan sampah organik adalah untuk membuat pupuk kompos, yang akan dimanfaatkan pada tahap awal untuk kalangan sendiri.
II.
BAHAN DAN ALAT
A.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan adalah daun-daun kering, alat/mesin penyor�r, grobak dorong,
mesin pencacah daun, sapu lidi, pengki, terpal, karung dan �mbangan.
B.
Kegunaan
1.
Daun
Daun-daun kering digunakan pada proses penghancuran/pencacahan daun untuk bahan baku pembuatan kompos.
2.
Alat penyor�r daun
Alat penyor�r daun berfungsi untuk memisahkan bahan organik (dedaunan kering) dari bahan-bahan lain, seper� biji pohon, kerikil, kaleng, plas�k yang akan menghambat proses pencacahan daun.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
202
3.
Gerobak dorong
Gerobak dorong digunakan untuk alat angkut daun-daun pohon ke tempat penghancuran/pencacahan dan
alat angkut ke tempat membuat kompos.
4.
Mesin pencacah daun
Mesin pencacah daun digunakan untuk menghancurkan/mencacah daun-daun sehingga menjadi serpihan untuk bahan kompos.
5.
Sapu lidi, pengki, karung dan �mbangan
Sapu lidi dan pengki digunakan untuk mengumpulkan daun-daun pohon. Terpal digunakan sebagai alas untuk menaruh/mengumpulkan sementara serpihan dedaunan saat dilakukan pencacahan. Karung digunakan sebagai wadah/tempat untuk menaruh serpihan dedaunan yang telah dicacah. Sedangkan �mbangan digunakan
untuk menimbang serpihan dedaunan.
III. PROSES KERJA
A.
Pengumpulan Daun
Kegiatan pengumpulan daun dilakukan oleh petugas kebersihan, menggunakan sapu lidi dan pengki, kemudian dikumpulkan di
dekat mesin penghancur/pencacah daun.
B.
Penyor�ran Daun
Kegiatan penyor�ran daun dilakukan dengan maksud untuk memisahkan sampah organik (dedaunan kering) dari bahan-bahan lain, seper�; biji pohon, kerikil, kaleng, plas�k yang akan menghambat proses pencacahan daun. Kegiatan penyor�ran dilakukan secara manual dengan menggunakan sapu lidi dan pengki. C.
Proses Pencacahan Daun
Mesin untuk proses pencacahan daun ini, menggunakan mesin pencacah daun yang
merupakan gagasan dari Bapak Wesman Endom, MSc., ahli peneli� dan dibuat oleh para teknisi litkayasa di kel� keteknikan hutan dan pemanenan hasil hutan, Pustekolah, pada tahun 2015. Mesin ini dibuat berdasarkan pengalaman uji coba yang telah dilakukan dimana sebelumnya proses pencacahan daun menggunakan mesin chipper yang dibuat tahun 2013 oleh Wesman Endom et al., yang tujuan awalnya untuk pembuatan chip/serpihan kayu.
Kegiatan pencacahan daun-daun pohon yang dilaksanakan di lingkup Pustekolah, disajikan pada Gambar 2.
Adapun proses pencacahan daun dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan
daun-daun menjadi serpihan dedaunan. Proses pencacahan daun sebagai berikut; 1.Penyor�ran daun-daun; 2. Memasukan daun-daun kedalam mesin pencacah dengan menggunakan alat bantu sapu lidi; 3. Mengumpulkan hasil pencacahan berupa serpihan daun-daun dengan ukuran tertentu (2 cm) tergantung ukuran yang terpasang pada saringan mesin.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
203
Gambar 2. Kegiatan pencacahan daun-daun pohon di lingkup Pustekolah
D.
Pengumpulan Hasil Pencacahan Daun
Hasil pencacahan daun dikumpulkan, dimasukan ke
dalam karung untuk di�mbang kemudian di
angkut ke
bak/tempat pembuatan kompos.
IV.
PENUTUP
Pengolahan sampah organik seper� rumput,
daun-daun kering dan ran�ng kecil memerlukan alat atau mesin.
Dalam pelaksanaannya diperlukan komitmen petugas
pengelolaan sampah, alat atau mesin dan tempat/lokasi pengolahan sampah organik. Proses kerja melipu� kegiatan pengumpulan daun-daun kering yang dikumpulkan dalam satu tempat, penyor�ran daun untuk menghindari bahan-bahan lain masuk mesin dan kemudian baru proses pencacahan daun. Hasilnya dikumpulkan untuk dibuat kompos.
V.
SARAN
Kegiatan pencacahan daun-daun pohon/sampah organik untuk bahan pupuk kompos
perlu dilanjutkan, mengingat beberapa hal antara lain; bahan baku/daun-daun pohon cukup banyak tersedia, alat utama dan penunjang sudah tersedia meski pun belum
cukup memadai. Dengan demikian, untuk kelanjutan kegiatan ini perlu komitmen dan dukungan pihak terkait, sehingga tujuan dan manfaat yang di dapat akan lebih op�mal.
DAFTAR PUSTAKA
Endom, Wesman., 2015. Proto�pe portable chipper: Sebuah kenyataan dan
harapan.hhtp:// www.pustekolah.org/index.php/detail/750/PROTOTIPE -PORTABBLE-CHIPPER-SEBUAH-KENYATAAN-DAN-HARAPAN#. Diakses tanggal 17 juni 2015.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
204
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
205
PROSES PEMBUATAN KERTAS DARI LIMBAH PELEPAH PISANG
Setyani Budi Lestari
dan Yoswita
Pusat Peneli�an dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor
I.
PENDAHULUAN
Keterbatasan sumber serat sebagai bahan baku pembuatan kertas, terutama kayu yang berasal dari hutan yang merupakan bahan baku utama serat mulai dirasakan dampaknya. Hal ini
sebagian besar disebabkan oleh adanya penebangan kayu yang berlebihan (over cu�ng) dan �dak diimbangi dengan penanaman hutan kembali dengan benar. Menipisnya sumber serat dari hutan tersebut juga dikarenakan produksi pulp di dunia sebagian besar mengg unakan bahan baku kayu.
Dalam rangka mengan�sipasi penurunan potensi sumber serat yang berasal dari hutan, dan guna meningkatkan efisiensi penggunaan sumber serat yang ada, telah banyak dilakukan upaya penghematan sumber bahan baku serat. Salah satu upaya
yang kemungkinan dapat dilakukan
adalah dengan memanfaatkan limbah daur ulang. Pemanfaatan kertas bekas sebagai sumber serat yang menurut Indonesian Pulp and Paper Industry directory 1999, Indonesian Pulp and paper associa�on sampai tahun 1998 pemanfaatan daur ulang kertas tercatat sekitar 24,69% produksi kertas yang ada. Juga adalah dengan memanfaatkan limbah yang mengandung lignoselulosa termasuk limbah pelepah pisang sebagai bahan pembuatan kertas.
Menurut Ary Saputra (2014), pelepah pisang mempunyai kadar lignin 5%, selulosa 63-64%, hemiselulosa 20% dan serat rela�ve panjang sekitar 4,29 mm. Kandungan serat selulosa pada pelepah pisang yang �nggi, bahan bakunya yang mudah didapat dan daur hidup piasang yang rela�ve pedek juga cara pembuatan yang rela�ve mudah sangat memungkinkan dipergunakan sebagai bahan baku kertas. Penggunaan limbah tersebut dapat dijadikan salah satu solusi bagi pemenuhan kebutuhan bahan baku serat.
Keunggulan dari penggunaan serat limbah pelepah pisang ini selain dapat memenuhi kebutuhan kertas juga dapat menghasilkan produk kertas seni yang mampu meningkatkan nilai jual yang rela�f �nggi dan dapat dikembangkan dalam bentuk usaha bagi industri kertas. Di dalam tulisan ini akan disajikan proses pembuatan dari limbah pelepah
pisang yang didapat pada saat mengiku� pela�han di Bandung.
II.
PERSIAPAN
PROSES PEMBUATAN KERTAS
A.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kertas dari limbah pelepah pisang adalah:
1.
Limbah pelepah pisang
2.
Air
3.
Bahan kimia: NaOH 10%, Natrium hypochlorit 15%, H2O2
4.
Bahan pewarna, jenis pewarna yang dipakai adalah Direx/pewarna tex�l (bila diperlukan).
Contoh bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kertas dari limbah pelepah pisang, seper� pada Gambar 1.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
206
Gambar 1. Contoh pelepah pisang
B.
Alat
Alat yang digunakan dalam proses pembuatan kertas dari limbah pelepah pisang adalah:
1.
Bak plas�k besar
2.
Beater holander
3.
Papan triplek yang di
lapis kain
4.
Cetakan dari kayu yang terdiri dari screen, frame, rachel, rak pengering
III.
PROSES PEMBUATAN LEMBARAN KERTAS
1.
Bahan baku (contoh) pelepah pisang di
rajang dengan ukuran 2 X 3 cm.
2.
Ambil contoh kira kira 6 kg dengan kekeringan sekitar 60 –
90% dalam wadah.
3. Kemudian ditaburi bahan kimia NaOH 10%, seper� pada Gambar 2.
Gambar 2. Penaburan bahan kimia dan perendaman dengan air panas
4.
Di
rendam dengan air panas (mendidih) selama 2,5 Jam sampai terendam.
5.
Setelah 2,5 jam, di
angkat dan di
cuci sampai bersih bebas bahan kimia, air bekas cucian di
sebut black liquor atau lindi hitam.
6.
Contoh yang telah bebas bahan kimia di
giling dengan alat beater holander selama 5 menit, hasil penggilingan tersebut di
sebut buburan pulp.
7.
Sebelum di
bentuk lembaran dilakukan tahapan, sebagai berikut:
a.
Pemu�han dengan menggunakan bahan kimia: natrium hypochlorit 15%, selama lebih kurang 15 menit dengan perhitungan 6 kg contoh +15% natrium hypochlorit +20 gayung air, untuk mempercepat reaksi yang terjadi tambahkan H 2O2
0,5 -
1 liter, selanjutnya dilakukan pencucian, pencucian dihen�kan setelah terasa kesat di
tangan, seper� pada
Gambar 3 dan 4.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
207
Gambar 3. Penggilingan dengan Beater holder
Gambar 4. Tahap pemucatan dengan Nat.hypochlorit dan H202
b.
Pewarnaan dilakukan dengan cara:
a) Didihkan air dan masukkan zat pewarna direx/tex�l (20g/2 lt)
b) Tuang ke dalam wadah yang berisi pulp hasil penggilingan tadi c) Diaduk sampai rata (dianjurkan dalam pengadukan ini memakai sarung tangan)
8. Pulp yang sudah tercampur rata dapat langsung di cetak/di bentuk sesuai dengan ukuran yang diinginkan
9.
Pencetakan lembaran kertas yang biasa dilakukan adalah dengan menimbang 6 kg pulp dalam 30 gayung air (sekitar 30 lt) dalam bak plas�k, �nggi air dalam bak harus dapat membuat cetakan terendam, seper� pada Gambar 5.
Gambar 5. Pencelupan cetakan pada bak berisi bubur kertas
10.
Siapkan alas dari triplek yang telah dilapisi kain
11.
Masukkan cetakan kedalam bak berisi buburan pulp, cetakan screen di
bawah sedangkan cetakan kosong di
atas, seper� pada Gambar 6.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
208
Gambar 6. Pengangkatan cetakan dan penirisan air
12.
Angkat cetakan, �riskan sebentar agar air pada buburan berkurang
13.
Cetakan kosong di
angkat, tempelkan papan triplek yang telah dilapisi kain pada cetakan berscreen yang telah dileka� buburan pulp kertas, balikkan posisi cetakan screen di
atas
14.
Tekan-tekan cetakan dengan rachel atau bahan yang mudah menyera p air, seper� pada Gambar 7.
Gambar 7. Pengeringan air dan penggunaan rachel atau bahan
yang mudah menyerap air 15.
Angkat cetakan perlahan-lahan agar cetakan �dak rusak.
16.
Keringkan di
udara terbuka (kertas lebih cepat kering di
cuaca panas )
IV.
HASIL PEMBUATAN KERTAS
Setelah cetakan yang berisi bahan kertas atau buburan pulp dikeringanginkan di udara terbuka,
kemudian lepas kertas dari papan cetakan triplek. Kertas-kertas hasil cetakan yang sudah jadi tampak seper� lembaran-lembaran kertas pu�h yang mempunyai corak indah dan menarik seper� Gambar 8.
Gambar 8. Pengangkatan dan pengeringan lembar kertas
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
209
Contoh hasil lembar kertas dari pelepah pisang dengan kombinasi bahan baku lainnya,
seper� enceng gondok,
aspal,
kertas HVS,
mendong,
daun pandan,
kulit bawang merah,
kulit bawang pu�h,
rumput dan pewarna dapat dilihat pada Gambar
1 hingga Gambar 16.
Gambar 1. Pelepah Pisang
Gambar 2. Pelepah Pisang + Kertas HVS
Gambar 3. Eceng gondok
Gambar 4. Kertas + Aspal
Gambar 5. Mendong
Gambar
6. Pandan
Gambar 7. Kertas HVS + Kulit Bawang-Merah
Gambar 8. Kertas
+ Eceng gondok
Gambar 9. Pelepah Pisang + Pewarna Gambir
Gambar 10. Pelepah Pisang + Pewarna
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
210
Gambar 11. Pelepah Pisang+Pewarna
Gambar 12. Kerats + Kulit Bawang Pu�h
Gambar 13. Merang + Eceng gondok
Gambar 14. Kertas koran + Rumput
Gambar 15. Kerats + Pewarna Gambar 16. Kertas Kardus + Eceng gondok
V.
PEMBAHASAN
Pada pembuatan kertas dari pelepah pisang yang dilakukan di Bandung tersebut, lebih cenderung penggunaannya sebagai kertas seni, karena kertas yang dihasilkan dapat memberikan nilai ars�s�k pada lembaran kertasnya.
Penggunaan pewarna teks�l yang dipakai sudah biasa ditambahkan dalam pembuatan kertas, hal ini kemungkinan bisa berdampak pada lingkungan, tetapi sebenarnya pewarnaan dapat menggunakan bahan alami seper� gambir, kunyit,
daun pandan dan untuk mendapatkan mo�f mo�f yang sangat menarik dapat menggunakan daun bawang, serat nanas dan berbagai jenis bunga serta bahan lain yang berserat.
Pemu�han/bleaching yang dilakukan di Bandung tersebut, menggunakan Natrium hypochlorite dan peroksida. Ada cara yang ramah lingkungan adalah dengan menambahkan peroksida dan asam acetat dengan katalis Asam sulfat pada pulp kemudian dipanaskan. Keuntungan bleaching dengan metode ini adalah untuk meningkatkan derajat pu�h kertas dan mendegradasi lignin
(delignifikasi) yang mungkin masih terdapat dalam pulp. Selain itu �dak merusak selulosa, menyempurnakan proses ase�lasi dan bebas khlorin (Hidaya�,
2000)
Keuntungan dari pembuatan kertas dari pelepah pisang ini adalah:
·
Permukaan kertas bersifat agak kasar tergantung dari nilai seninya
·
Memiliki porositas �nggi dan porosi�nya �dak seragam, karena pengaruh cara manual.
·
Dalam kertas seni �dak dipen�ngkan
sifat kekuatan, penampakan seni lebih utama.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
211
VI.
PENUTUP
1.
Bahan baku mudah didapat
2.
Cara pembuatan kertas yang rela�ve mudah
3.
Pada produk lembaran kertas yang dihasilkan dapat
digunakan/dimanfaatkan sebagai media lukisan, kartu nama/undangan, map, kotak/box, figura, dan suvenir lainnya.
4.
Dari segi effisiensi pemanfaatan limbah dapat menjaga kelestarian hutan.
5.
Segi teknologi tepat guna proses pembuatan kertas ini dapat diterapkan di masyarakat dengan menggunakan peralatan sederhana dan mudah dikerjakan
6.
Segi peningkatan ekonomi, hasil produk
mempunyai daya jual �nggi, dapat dijadikan kegiatan masyarakat di rumah tangga untuk menambah penghasilan dan peningkatan ekonomi yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hidaya�,
S. 2000. Pemu�han pulp Ampas tebu sebagai Bahan dasar Pembuatan CMC, Judul Agro Sains Vol 13 (1).
Indonesian Pulp and Paper Industry Directory 1999.
Indonesian Pulp and Paper Associa�on. PT.
Gramedia Jakarta.
Saputra,
Ary. 2014. Paper Teknologi Pengolah Limbah.pengolahan Batang PohonPisang menjadi Kertas. Program studi Teknik Pertanian. Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Inderalaya
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
212
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
213
PERKEMBANGAN INSTRUMENTASI SPEKTROSKOPI
Nela Rahma� Sari
Pusat Peneli�an dan Pengembanga Hasil Hutan
I.
PENDAHULUAN
Laboratorium Instrument dan Proksimat Terpadu Pusat Litbang Hasil Hutan telah memperoleh akreditasi ISO/IEC 17025:2005 yang menerima berbagai jasa pengujian. Saat ini kebutuhan jasa uji terus meningkat seiring dengan perkembangan industri, perdagangan, inovasi-inovasi hasil hutan dan jasa analisa lainnya. Tuntutan kebutuhan tersebut mengharuskan se�ap laboratorium uji meningkatkan kemampuan atau kompetensinya baik dalam hal kehandalan data (dapat dipercaya kebenaran datanya) maupun kecepatan dan biaya analisis. Kemampuan laboratorium penguji selain bergantung pada SDM juga amat bergantung pada instrument analisa. Hal inilah yang mendorong perkembangan instrumentasi analisis berkembang amat pesat dengan dukungan perkembangan ilmu, elektronik dan komputer. Instrumentasi atau peralatan baru terus diciptakan untuk memenuhi kebutuhan uji termasuk instrumentasi spektroskopi.
Teknik spektroskopik adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengama� tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagne�k (REM). Pada prinsipnya interaksi REM dengan molekul akan menghasilkan satu atau dua macam dari �ga kejadian yang mungkin terjadi. Ke�ga macam kejadian yang mungkin terjadi sebagai akibat interaksi atom molekul dengan REM adalah hamburan (sca�ering), absorpsi (absorp�on) dan emisi (emision) REM oleh atom atau molekul yang diama�.
Hamburan REM oleh atom atau molekul melahirkan spektrofotometri Raman, absorpsi melahirkan spektrofotometri UV-Vis dan infra merah sedangkan absorpsi yang disertai emisi melahirkan fotoluminesensi yang kemudian lebih dikenal sebagai fluorosensi dan fosforesensi. Dari bermacam-macam metode spektrofotometri tersebut diatas, antara satu dengan yang lain memberikan kegunaan dan keunggulan yang berbeda-beda dalam bidang analisis instrumental. (Mulja dan Suharman, 1995).
Spektroskopi merupakan instrument analisa kimia yang banyak digunakan dalam dunia
laboratorium baik untuk pengujian kualita�f maupun kuan�ta�f terutama untuk analisa u nsur logam. Analisa logam semakin berkembang �dak hanya untuk parameter air limbah, mining, soil, tapi juga sudah merambah kebidang lain yaitu food
sehingga diperlukan keteli�an dan sensi�vitas yang lebih �nggi. Dari bermacam-macam metode spektrofotometri tersebut diatas, pada tulisan ini akan dibahas sekilas mengenai perkembangan instrumentasi spektroskopi dari masa ke masa yang kami dapat dari salah satu pela�han yang telah kami iku� diantaranya spektroskopi molekuler (UV-Vis) dan spektroskopi ionik
(AAS Flame, MPAES, Graphite Furnace AAS, ICP OES, ICP MS).
Spektroskopi Molekuler
Spektroskopi molekuler terdiri dari spektrofotometer UV Vis dan Infra Red (jarak dekat, pertengahan dan jarak jauh). Pada kesempatan kali ini, yang akan dibahas mengenai spektrofotometer UV-Vis. Spektrofotometer
merupakan alat yang digunakan untuk mengukur absorbansi
dengan cara melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu pada suatu obyek kaca atau kuarsa
yang disebut kuvet. Spektrofotometer mampu membaca/mengukur kepekatan warna dari sampel tertentu dengan panjang gelombang tertentu pula. Alat ini
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
214
dilengkapi dengan sumber cahaya (gelombang elektromagne�k), baik cahaya UV ( ultra-violet) atau pun cahaya nampak (visible).
Sinar UV digunakan untuk mengukur bahan (larutan) yang terbaca dengan panjang gelombang diantara 190-380 nm (radiasi UV dekat). Sedangkan visible light (sinar tampak) bisa digunakan untuk mengukur bahan dengan panjang gelombang 380-780 nm. (Kosasih Sa�adarma, 1981)
Spektrofotometer ada 2 jenis yaitu spektrofotometer
single beam
dan spektrofotometer double-beam. Perbedaan kedua jenis spektrofotometer ini hanya pada pemberian cahaya, dimana pada single-beam, cahaya hanya melewa� satu arah sehingga nilai yang diperoleh hanya nilai absorbansi dari larutan yang dimasukan. Berbeda dengan single-beam, pada spektrofotometer
double-beam, nilai blanko
dapat langsung diukur bersamaan dengan larutan yang diinginkan dalam satu kali proses yang sama. Spektrofotometer double-beam
memiliki keunggulan lebih dibanding single-beam, karena nilai absorbansi larutannya telah mengalami pengurangan terhadap nilai absorbansi
blanko. Selain itu, pada single-beam
ditemukan juga beberapa kelemahan seper� perubahan intensitas
cahaya akibat fluktuasi
voltase.
Pada mulanya spektrofotometer hanya memiliki 1 sumber cahaya yaitu cahaya UV, namun seiring berkembangnya teknologi, range panjang gelombang yang dimiliki semakin panjang (sinar tampak/visible).
Untuk spektrofotometer UV menggunakan lampu deuterium atau disebut juga heavy hidrogen. VIS menggunakan lampu tungsten yang sering disebut lampu wolfram.
Saat ini beberapa spektrofotometer UV Vis menggunakan lampu Xenon sebagai sumber lampu sehingga range panjang gelombangnya lebih panjang mencakup panjang gelombang UV dan visible. Dengan menggunakan lampu Xenon, pengukuran spektrofotometer ini �dak lagi harus dalam kondisi tertutup atau open sample area sehingga dapat ditambahkan aksesoris fiber op�c (seper� elektroda pada pH meter) dan fiber op�c ini sangat dibutuhkan untuk sampel yang memiliki volume kecil. (h�ps://www.agilent.com/en -us/products/uv-vis-uv-vis-nir/uv-vis-uv-vis-nir-systems/cary-60-uv-vis)
Gambar 1 dan Gambar 2.
Penggunaan aksesoris fiber op�c
pada sistem open sample area
dan untuk sampel yang memiliki volume kecil
Teknologi terbaru spektrofotometer UV-Vis menggunakan kombinasi 2 lampu yaitu tungsten dan deuterium untuk mendapatkan spectrum yang lebih komplit dan diode array
sebagai detector. Spektrofotometer �pe ini mampu menganalisa sampel fluorescens. Dengan
diode array detector, alat ini juga dapat digunakan dengan sistem open sample area.
Mulja dan Suharman (1995) dalam bukunya mengatakan bahwa radiasi ultraviolet jauh (100-190
nm) �dak dipakai, sebab pada daerah radiasi tersebut diabsorpsi oleh udara. Spektrofotometer di atas panjang gelombang 780 nm merupakan daerah radiasi infra merah sehingga harus dipakai detector dengan kualitas sensi�f terhadap radiasi infra merah (infrared
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
215
sensi�ve). Berikut contoh spektrofotometer UV-Vis yang dikombinasikan dengan panjang gelombang near infra red (UV-VIS-NIR) berdasarkan pela�han yang kami iku�.
Gambar
3.
Skema sistem op�c Spektrofotometer UV-Vis dengan kombinasi 2 lampu (tungsten dan deuteurium)
Spektroskopi Atom/Ion
Spektroskopi atom/ion memiliki 2 prinsip dasar yaitu emisi dan absorbsi. Semua metode spektrofotometri emisi nyala mempunyai prinsip kerja yang sama yaitu penyemprotan sampel berupa tetesan-tetesan yang sangat halus ke dalam nyala api dan se�ap unsur logam akan memancarkan warna/spectrum yang khas, perbedaan prinsip dengan spektrofotometri serapan/absorpsi atom yaitu terjadi penyerapan sumber radiasi (diluar nyala) oleh atom -atom netral dalam keadaan gas yang berada dalam nyala, radiasi yang diserap biasanya UV/Visible. Pada
kali ini akan dibahas spektroskopi atom/ion berdasarkan perkembangan �ngkat
sensi�vitasnya secara berurutan. Atomic Absorb�on Spectroscopy (AAS) adalah spektroskopi yang berprinsip pada
serapan cahaya oleh
atom. Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu,
tergantung pada sifat unsurnya. Instrumen AAS melipu� Hollow Cathode Lamp sebagai sumber energi, flame untuk menguapkan sampel menjadi atom. Monokromator sebagai filter garis absorbansi, detektor dan amplifier sebagai pencatat pengukuran. Dulu alat ini hanya bisa dipasang 1 lampu katode namun sekarang alat ini dapat dipasang 8 lampu katode baik single element maupun mul� element. AAS digunakan untuk analisa logam umumnya pada level ppm (mg/L) dan dapat ditambahkan aksesoris Vapour Genera�on Accessory untuk menganalisa unsur Hg dan hydride-forming elements (unsur pembentuk hidrida) dengan sensi�vitas lebih �nggi hingga level ppb (µg/L).
Gambar 4.
Spektrofotometer UV Vis NIR
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
216
Microwave
Plasma-Atomic Emission Spektroskopi (MP-AES) merupakan teknik baru analisis unsur logam yang telah dirancang untuk meningkatkan kinerja dan produk�vitas, sekaligus mengurangi biaya operasional dengan menghilangkan kebutuhan gas yang mudah terbakar dan/atau mahal yang biasa digunakan dalam AAS. Plasma dihasilkan
dari nitrogen yang dapat dibuat dengan Nitrogen Generator dari udara sekitar, menghasilkan penurunan yang signifikan dalam biaya operasional dan mengurangi biaya infrastruktur. MP -AES juga mengurangi bahan consumable seper� lampu katoda yang digunakan da lam AAS.
Pengukuran
AAS berdasarkan absorbansi (selisih energi lampu utuh dengan energi ke�ka ada sampel) sedangkan AES berdasarkan emisi langsung dari sampel. Berdasarkan teknik emisi atom, teknik analisis unsur ini menghasilkan simpler spectra dari ICP-OES dan sensi�vitas yang lebih besar dari api AAS.
Graphite Furnace Atomic Absorp�on Spectroscopy (GF AAS) merupakan teknik spektroskopi yang sangat sensi�f dengan limit deteksi yang sangat baik untuk mengukur konsentrasi logam dalam sampel cairan dan padatan. Graphite furnace adalah sistem atomisasi tanpa nyala (dengan elektrothermal/tungku) yang dapat menghasilkan suhu se�nggi 3000°C. GFAAS memiliki sensi�vitas lebih besar dan limit deteksi lebih kecil dari pada AAS dan MPAES; gangguan spektral yang rendah dan mengurangi jumlah sampel.
Gambar 6. Skema sistem GFAAS
Induc�vely
Coupled Plasma Atomic-Op�cal Emission Spectrometry (ICP OES)
digunakan untuk analisis unsur-unsur kimia secara simultan dalam matriks yang kompleks. Plasma (ICP) memecah senyawa kimia menjadi unsur-unsur penyusunnya yang selanjutnya dieksitasi oleh plasma berenergi �nggi sehingga memancarkan sinar. Spektrometer memisahkan panjang gelombang spesifik dari sinar yang dipancarkan oleh �ap-�ap unsur. Sinar yang dipancarkan selanjutnya diubah menjadi sinyal listrik yang kemudian dikonversi menjadi
Gambar 5. Atomic Absorb�on Spectroscopy
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
217
konsentrasi berdasarkan intensitas sinar yang dipancarkan. ICP berfungsi untuk menganalisis komposisi unsur-unsur kimia suatu material padatan dan cairan. Dapat menentukan komposisi hingga 30 unsur secara simultan dengan konsentrasi hingga �ngkat ppb (µg/L).
ICP menyelesaikan pembacaan
berbagai elemen yang dianalisis dapat dilakukan dalam jangka waktu yang singkat yaitu 30 de�k dan hanya menggunakan ±5 ml sampel. Walaupun secara teori, semua unsur kecuali Argon dapat ditentukan menggunakan ICP,
namun beberapa unsur �dak stabil memerlukan fasilitas Khusus
untuk menanganinya. Selain itu, ICP memiliki kesulitan menangani analisis senyawa halogens, op�k Khusus
untuk transmisi wavelengths sangat singkat sangat diperlukan.
ICP
Mass Spectrometry (ICP MS) merupakan pengembangan dari ICP OES. Dikarenakan analisa
logam semakin berkembang �dak hanya untuk parameter air limbah, mining, soil, tapi juga sudah merambah kebidang lain yaitu food. Diperlukan keteli�an dan sensi�fitas yang lebih �nggi
untuk
pangan. ICP OES �dak cukup bisa mengcover regulasi yang telah ditetapkan. Regulasi pada food berkisar di level ppb. Oleh karena itu muncul ICP -MS untuk mengatasi permasalahan sensi�vitas yang kurang baik pada generasi ICP-OES.
Sebelumnya ada GFAAS yang juga mampu mengcover sampai level ppb, keuntungan ICP-MS dibanding GF AAS adalah pengerjaan yang lebih cepat karena mul�compound dapat simultan dianalisa dengan ICP-MS dengan sensi�vitas yang juga lebih baik dari GFAAS. Prinsip kerja ICP MS yaitu sampel dimasukkan dengan pompa
peristal�k ke dalam nebulizer dan akan
dihasilkan
aerosol yang kemudian masuk kedalam plasma argon. Plasma mengeringkan aerosol,
mengatomisasi dan mengionisasi. Hasil ionisasi kemudian disaring massa yang memang akan dianalisa dengan
penyaring
massa.
System ICP MS yang paling biasa dipakai
menggunakan
spektrometer massa quadrupole yang cepat memindai rentang massa. Pada waktu tertentu, hanya satu massa akan diizinkan untuk melewa� spektrometer massa dari pintu masuk ke keluar menuju detektor. Saat ini sudah ada teknologi triple quadropole sehingga dapat menganalisa lebih sensi�f.
II. PENUTUP
Spektroskopi merupakan instrument analisa kimia yang banyak digunakan dalam dunia laboratorium baik untuk pengujian kualita�f maupun kuan�ta�f terutama untuk analisa unsur logam. Instrumentasi Spektroskopi ini mengalami perkembangan yang amat pesat dan sangat mendukung dalam dunia analisis kimia. Berdasarkan
pela�han mengenai instrumentasi spektroskopi yang telah diiku� maka dapat disimpulkan bahwa Spektroskopi dibagi menjadi 2 yaitu spektroskopi molekuler dan spektroskopi atom/ion.
Gambar 7. ICP MS Triple Quadropole
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
218
Spektroskopi molekuler salah satu diantaranya yaitu spektrofotometer UV -Vis yang saat ini proses pengukurannya �dak lagi terpengaruh oleh cahaya, dengan adanya dioda array detector
atau penggunaan sumber lampu Xenon maka sampel dapat diukur dalam kondisi terbuka (open sample area), penggunaan aksesoris fiber op�c
sangat bermanfaat untuk mengukur sampel dengan volume kecil dan telah dikombinasikan dengan infra merah seper� Spektrofotometer UV-Vis NIR.
Spektroskopi ion/atom digunakan untuk menganalisis unsur logam baik kualita�f maupun kuan�ta�f. Penggunaan instrumentasi analisis tergantun g pada rentang konsentrasi sampel yang akan dianalisa (ppm-ppb-ppt level). Berikut urutan sensi�vitas instrumentasi spektroskopi atom/ion: ICP MS QQQ, ICP MS, ICP OES, Graphite Furnace AAS, MPAES dan AAS Flame.
DAFTAR PUSTAKA
Mulja,
M
dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Airlangga University Press. Surabaya.
Kosasih Sa�adarma. 1981. Spektrofotometri Absorpsi Molekul. Lembaga Peneli�an Farmasi Bagian Farmasi ITB. Bandung
h�ps://www.agilent.com/en -us/products/uv-vis-uv-vis-nir/uv-vis-uv-vis-nir-systems/cary-60-uv-vis
h�ps://www.agilent.com/en -us/products/molecular-spectroscopy
GOOGLE. 2015. Atomic Spectroscopy Innova�on. h�p://www.agilent.com/en -us/promo�ons/ atomic-spec-por�olio
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
219
INOVASI FOURIER TRANSFORM INFRARED (FTIR)
Suci Aprianty Wa�
Pusat Peneli�an dan Pengembangan Hasil Hutan
I.
PENDAHULUAN
Teknologi semakin berkembang pesat dewasa ini, apalagi dengan mulainya memasuki era globalisasi. Perkembangan inovasi teknologi itu juga terlihat pada instrument yang dipakai dalam analisa dan peneli�an. Inovasi ini menghasilkan suatu hasil pekerjaan yang murah dari segi biaya dan baik dari segi kualitas. Ada berbagai macam
penyebab �mbulnya inovasi teknologi seper� kebutuhan akan pengurangan biaya dan waktu, kebutuhan akan peningkatan mutu, kemudahan dan keunggulan bersaing.
Sudah banyak instrument kimia yang mengalami perkembangan. Salah satu instrument yang digunakan untuk analisa dan peneli�an adalah FTIR (Fourier Transform Infrared). Salah satu jenis spektroskopi adalah spektroskopi infra merah (IR). Spektroskopi ini didasarkan pada vibrasi suatu molekul. Spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang mengama� interaksi molekul dengan radiasi elektromagne�k yang berada pada daerah panjang gelombang 0.75 -
1.000 µm atau pada bilangan gelombang 13.000 -
10 cm-1.
Prinsip kerja spektrofotometer infra merah adalah sama dengan spektrofotometer yang lainnya yakni interaksi energi dengan suatu materi. Spektroskopi inframerah berfokus pada radiasi elektromagne�k pada rentang frekuensi 400 – 4.000 cm-1, di mana cm-1 yang dikenal sebagai wavenumber (1/wavelength), yang merupakan ukuran unit untuk frekuensi. Untuk menghasilkan spektrum inframerah, radiasi yang mengandung semua frekuensi di wilayah IR dilewatkan melalui sampel. Mereka frekuensi yang diserap muncul sebagai penurunan sinyal yang terdeteksi. Informasi ini ditampilkan sebagai spektrum radiasi dari % ditransmisikan bersekongkol melawan wavenumber.
Spektroskopi inframerah sangat berguna untuk analisis kualita�f (iden�fikasi) dari senyawa organik karena spektrum yang unik yang dihasilkan oleh se�ap organik zat dengan puncak struktural yang sesuai dengan fitur yang berbeda. Selain itu, masing-masing kelompok fungsional menyerap sinar inframerah pada frekuensi yang unik. Sebagai contoh, sebuah gu gus karbonil, C = O, selalu menyerap sinar inframerah pada 1.670
–
1.780 cm-1, yang menyebabkan ikatan karbonil untuk meregangkan (Silverstein, 2002).
Atom-atom di dalam suatu molekul �dak diam melainkan bervibrasi (bergetar). Ikatan
kimia yang menghubungkan dua atom dapat dimisalkan sebagai dua bola yang dihubungkan oleh suatu pegas. Bila radiasi inframerah dilewatkan melalui suatu cuplikan maka molekul -molekulnya dapat menyerap (mengabsorpsi) energi dan terjadilah transisi di antara �ngkat vibrasi dasar
dan �ngkat tereksitasi.
Inframerah merupakan radiasi elektomagne�k dari suatu panjang gelombang yang lebih panjang dari gelombang tampak tetapi lebih panjang dari gelombang mikro. Spektroskopi inframerah merupakan salah satu teknik spektroskopi yang didasarkan pada penyerapan inframerah oleh senyawa. Karena spectrum IR memiliki panjang gelombang yang lebih panjang dari panjang gelombang yang lain maka energi yang dihasilkan oleh spectrum ini lebih kecil dan hanya mampu menyebabkan vibrasi atom-atom pada
senyawa yang menyerapnya. Daerah radisai sinar inframerah terbagi menjadi 3 antara lain:
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
220
1.
Daerah IR dekat (13.000
–
4.000 cm-1)
2.
Daerah IR tengah (4.000
-
200 cm-1)
3. Daerah IR jauh (200
-
10 cm-1)
Kebanyakan analisis kimia berada pada daerah IR tengah. IR jauh digunakan untuk menganalisis zat organik,anorganik dan organologam yang memiliki atom berat (massa atom diatas 19). Sedangkan IR dekat menganalisis kuan�ta�f dengan kecepatan �nggi. Karena panjang gelombang IR lebih pendek dari panjang gelombang
sinar tampak ataupun sinar UV maka energi IR �dak mampu mentransisikan elektron,
melainkan hanya menyebabkan molekul bergetar.
Oleh karena FTIR dapat memudahkan pekerjaan Khususnya bidang analisis maka untuk mendapatkan informasi tentang inovasi alat-alat tersebut dibutuhkan seminar dari produsen alat tersebut. Oleh karena itu saya akan membahas sekilas tentang hasil seminar mengenai FTIR. Inovasi FTIR ini mempunyai kelebihan
diantaranya ukurannya yang kecil dan ringan sehingga bisa dibawa kemana-mana, tanpa memerlukan preparasi sampel, tanpa menggunakan pelet KBr sehingga mengurangi biaya, pengukuran hanya membutuhkan waktu kira -kira 1 menit, jumlah sampel yang diperlukan untuk pengukuran hanya sedikit dan tahan terhadap lingkungan yang lembab dan tropis/
dapat dibawa ke lapangan (Farooq, 2012).
II.
PERALATAN DAN BAHAN
Seminar FTIR dilakukan di ancol pada tanggal 25 Agustus dengan tema atomic spectroscopy seminar and user mee�ng. Peralatan yang dipakai seper� pada Gambar 1. Sebelum digunakan, alat harus dibersihkan dengan aseton agar pembacaan bisa akurat.
III.
CARA KERJA DAN HASIL
Untuk FTIR terdiri dari beberapa komponen dan memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat digunakan pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara simultan sehingga analisis
dapat dilakukan lebih cepat daripada menggunakan cara sekuensial atau scanning. Sensi�fitas dari metoda Spektrofotometri FTIR lebih besar daripada cara dispersi, sebab radiasi yang masuk ke sistem detektor lebih banyak karena tanpa harus melalui celah (s litless). Teknologi FTIR sudah lama dikenal dan diterima secara luas sebagai pilihan teknologi analisa akurasi �nggi memenuhi standar.
Gambar 1. Sensor FTIR dibersihkan dengan aseton
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
221
Untuk pengukuran menggunakan FTIR biasanya menggunakan pelet KBr dan membutuhkan waktu kira-kira 10 menit
dari pengukuran hingga mendapatkan hasil. Namun dengan munculnya inovasi terbaru, pengukuran FTIR bisa lebih cepat. Selain itu FTIR inovasi terbaru sangat mudah digunakan dan mampu menganalisa berbagai sampel cairan, padatan dan gas (Aderson,
2013).
Untuk cara kerja FTIR inovasi terbaru cukup mudah. Sebelumnya dialpath harus dibersihkan dahulu meggunakan aseton lalu sampelnya (cukup 2 tetes) disimpan pada sensor kemudian �nggal dipilih metodenya yang sesuai dengan jenis sampelnya. Lalu hasilny a akan muncul berupa peak yang khas.
FTIR inovasi terbaru memberi kemudahan sebagai peralatan uji portable. Hanya
memerlukan sedikit sampel dengan lama proses pengukuran kurang dari 1 menit.
Fitur FTIR inovasi terbaru:
·
Ukurannya yang kecil dan
ringan sehingga bisa dibawa kemana-mana.
·
Tanpa memerlukan preparasi sampel.
·
Tanpa menggunakan pelet KBr sehingga mengurangi biaya.
·
Pengukuran hanya membutuhkan waktu kira -kira 1 menit.
·
Jumlah sampel yang diperlukan untuk pengukuran hanya sedikit.
·
Tahan terhadap lingkungan yang lembab dan tropis (dapat dibawa ke lapangan).
Gambar 4. Contoh Hasil Pengukuran FTIR terbaru
Gambar 2. FTIR lama dan FTIR terbaru
Gambar 3. (a) dialpath yang sesuai dengan jenis sampel,
(b) sampel diteteskan (c) metode yang digunakan
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
222
IV.
PENUTUP
FTIR (Fourier Transaform Infrared) inovasi terbaru memberi kemudahan sebagai peralatan uji portable. Selain itu FTIR inovasi terbaru sangat mudah digunakan dan mampu menganalisa
berbagai sampel (cairan, padatan dan gas).
Waktu pengukuran lebih singkat dengan sampel hanya sedikit dan prak�s untuk dibawa ke lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Aderson. 2013. Infrared Spectroscopy (FTIR) (dipe�k bulan Oktober 2015) dari h�p://www.anderson materials.com/�ir.html.
Z. Farooq, A. 2012. Ismail, QA/QC of sugars using the Agilent Cary 630 ATR-FTIR analyzer, Agilent, publica�on number 5991-0786EN.
Agilent. 2015. Cary 630 FTIR Spectrometer
(dipe�k bulan Oktober 2015) dari h�ps://www.agilent.com/en -us/products/�ir/�ir-benchtopsystems/cary-6
Day, R.A dan A.L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuan�ta�f. Jakarta: Erlangga30 -�ir-spectrometer
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
223
MENYEMAI BENIH UNGGUL PENELITI DARI TRUBUSAN TEKNISI LITKAYASA
Fajri Ansari
Balai Peneli�an Kehutanan Makassar
I.
PENDAHULUAN
Jabatan fungsional Teknisi Peneli�an dan Perekayasaan (Litkayasa) pertama kali ditetapkan sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) No. 33 Tahun 1990, serta Surat Edaran Bersama antara Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Ketua Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) No. 256/M/VI/1991 dan No. 12/SE/1991. Sebagaimana jabatan fungsional lainnya, pada periode awal ini, rumpun jabatan fungsional teknisi litkayasa dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yang terbagi menjadi sembilan jenjang jabatan. Besarnya nilai angka kredit pada unsur pelayanan dihitung berdasarkan lamanya waktu dalam ukuran/hitungan jam yang digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dengan kisaran nilai antara 0,0011 s/d 0,0069 per �ap jam kerja efek�f. Jam kerja efek�f adalah jumlah jam
yang digunakan secara berhasil guna oleh teknisi litkayasa untuk
melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan peneli�an dan perekayasaan. Jumlah jam efek�f maksimum dalam satu hari kerja adalah sebesar tujuh jam. Sedangkan pada unsur pendidikan, ijazah Diploma IV/Sarjana dinilai sebesar 75 poin kredit dan ijazah pasca sarjana/S2 dinilai sebesar 100 poin kredit.
Beberapa tahun kemudian, terjadi perubahan yang cukup besar dalam aturan mengenai jabatan fungsional yang ditandai dengan berlakunya Keputusan Presiden No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Sebagai �ndak lanjut, pada tahun 2003 Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara kemudian secara Khusus
merevisi aturan
mengenai teknisi litkayasa. MenPAN mengeluarkan SK MenPAN No. 23/Kep/M.PAN/2/2003 tentang Jabatan Fungsional Teknisi Peneli�an dan Perekayasaan dan Angka Kreditnya. Sebagai kementerian yang menaungi jabatan teknisi litkayasa, Kementerian Riset dan Teknologi (Menristek) kemudian menerbitkan
SK Menristek No.92 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya.
Kemudian pada tahun 2004, Menpan mengeluarkan SK Menpan No. 193/KEP/
M.PAN/
11/2004 yang menetapkan perubahan atas SK Menpan No. 23/Kep/M.PAN/2/2003 perihal pelimpahan wewenang instansi Pembina Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Perekayasa dari Kementerian Riset dan Teknologi kepada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Berdasarkan SK tersebut diatas, BPPT dan BKN kemudian menerbitkan Peraturan Bersama No. 160/KA/BPPT/X/2005 dan No. 19 A Tahun 2005 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka kreditnya. Selanjutnya berdasarkan petunjuk pelaksanaan tersebut, BPPT selaku Pembina jabatan fungsional teknisi litkayasa kemudia n mengeluarkan SK No. 147/Kp/BPPT/V/2007 tentang petunjuk teknis jabatan fungsional teknisi litkayasa dan Angka kreditnya.
Jika pada periode awal, jabatan fungsional teknisi litkayasa terbagi atas 9 jenjang, maka pada saat ini, teknisi litkayasa hanya terbagi atas 4 jenjang yaitu Teknisi Litkayasa Pelaksana Pemula, Teknisi Litkayasa Pelaksana, Teknisi Litkayasa Pelaksana Lanjutan dan Teknisi Litkayasa Penyelia. Demikian pula dengan nilai angka kredit pada unsur pelayanan, jika sebelumnya berdasarkan jam kerja efek�f, maka saat ini nilai angka kredit dinilai berdasarkan jumlah
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
224
laporan pelaksanaan kegiatan. Beberapa perubahan tersebut cukup membawa angin segar bagi para teknisi.
II.
UJUNG TOMBAK
PENELITIAN
Teknisi peneli�an dan perekayasaan (Litkayasa) merupakan PNS pada instansi pemerintah yang
diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang, untuk melakukan kegiatan pelayanan peneli�an dan perekayasaan pada instansi pemerintah.
Menurut BPPT 2007, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pelayanan seorang teknisi litkayasa dalam kegiatan peneli�an
adalah sebagai berikut: melaksanakan kegiatan percobaan, melaksanakan kegiatan survei, melaksanakan kegiatan rancang bangun/perekayasaan, memberikan pelayanan jasa teknis, memelihara alat dan fasilitas, memasyarakatkan hasil peneli�an dan perekayasaan, melakukan pemrosesan hasil peneli�an dan perekayasaan.
Jika memperha�kan tugas teknisi litkayasa yang memikul tugas untuk memberikan pelayanan
dalam kegiatan peneli�an dan perekayasaan, maka �dak terlalu berlebihan jika sekiranya para teknisi dianggap sebagai ujung tombak peneli�an. Perlu tangan dingin seorang teknisi dalam menerjemahkan rencana peneli�. Tanpa pengetahuan yang mumpuni dan keterampilan yang memadai, rencana peneli�an boleh jadi akan salah diterjemahkan dan dilaksanakan di lapangan yang tentu saja berakibat fatal dalam menghasilkan data. Namun sayangnya, para teknisi yang menjadi ujung tombak peneli�an tersebut seper�nya belum mampu mengembangkan potensi dirinya.
III. TERPUTUSNYA JABATAN TEKNISI LITKAYASA Pada umumnya, jabatan fungsional keterampilan akan selalu diiku� oleh jabatan
keahlian sebagai jabatan penjenjangan. Misalnya pada jabatan PEH, terdapat jabatan PEH Terampil dan PEH Ahli. Demikian pula pada
jabatan fungsional lainnya, hampir dipas�kan akan terdapat dua rumpun jabatan pada jabatan fungsional tersebut yaitu jabatan keterampilan dan jabatan keahlian. Selain sebagai suatu kesatuan rumpun jabatan, rumpun jabatan tersebut hampir dipas�kan akan dibina oleh satu ins�tusi yang sama.
Namun sayangnya hal tersebut di atas �dak berlaku pada jabatan fungsional teknisi
litkayasa. Pada jabatan fungsional teknisi litkayasa, jabatan keahlian sebagai jabatan penjenjangan seolah-olah �dak ada wujudnya. Menurut Ansari, 2011, sebagai jabatan fungsional keterampilan, sebenarnya teknisi litkayasa mempunyai peluang beralih jenjang ke jabatan fungsional keahlian peneli�. Namun untuk alih jenjang ke jabatan fungsional peneli� kurang memungkinkan mengingat persyaratan alih jenjang ke jabatan fungsional peneli� dari jabatan fungsional lain mempersyaratkan kualifikasi pendidikan minimal Pascasarjana (S2). Sementara bagi seorang teknisi litkayasa butuh waktu yang lama untuk menyesuaikan ijazah S1 -nya. Seorang teknisi
harus menduduki golongan II/a, II/b, II/c, II/d sebelum pencantuman/
pengakuan gelar Sarjana di golongan III. Demikian pula dengan alih jenjang ke jabatan fungsional keahlian Perekayasa. Meskipun �dak mempersyaratkan kualifikasi pendidikan S2, namun hingga saat ini belum ada informasi yang jelas mengenai ketentuan alih jabatan dari Teknisi Litkayasa ke Perekayasa.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
225
Padahal jika memperha�kan tupoksi pelayanan seorang teknisi litkayasa terutama pada unsur “Pelaksanaan kegiatan percobaan” yang mana pada unsu r tersebut diuraikan tugas teknisi litkayasa adalah menyusun rencana percobaan, menyusun kebutuhan percobaan, menyiapkan kebutuhan percobaan, melakukan pengamatan/pengukuran obyek percobaan, mengolah data percobaan hingga menganalisis hasil percobaan, maka
dapat dilihat jika teknisi litkayasa tersebut pada dasarnya telah melakukan kegiatan seorang peneli�. Apalagi jika kegiatan tersebut dilanjutkan oleh teknisi litkayasa hingga pada unsur kegiatan “pengembangan profesi” yang mana pada unsur tersebut seoran g teknisi litkayasa bertugas untuk membuat karya tulis/karya ilmiah dibidang peneli�an dan perekayasaan termasuk petunjuk teknis dan saduran, maka teknisi litkayasa tersebut telah memiliki pengalaman yang cukup untuk diangkat sebagai peneli�.
IV.
MENGURAI MASALAH
Jika mencerma� permasalahan mendasar jabatan fungsional teknisi litkayasa, terutama pada teknisi litkayasa yang bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), maka dapat diasumsikan jika pada dasarnya, hanya terdapat dua jalan keluar bagi seorang teknisi litkayasa yaitu beralih jenjang jabatan ke jabatan peneli� yang menjadi jabatan keahlian atau beralih jenjang ke jabatan fungsional lain yang berar� pindah kantor.
Untuk mengatasi masalah jabatan teknisi dengan menggunakan jalan keluar pertama yaitu dengan beralih jenjang ke jabatan peneli� bukan merupakan suatu hal yang mudah bagi seorang teknisi litkayasa. Peralihan jabatan teknisi litkayasa jenjang terampil ke jenjang jabatan keahlian peneli� cukup berbeda kondisinya jika dibandingkan alih jabatan terampil fungsional tertentu lainnya ke jenjang jabatan keahliannya. Menjadi peneli� memerlukan persiapan dan keahlian tertentu yang memerlukan kerja keras dan pengalaman terutama dalam menulis jurnal. Tentu saja keahlian meneli� dan menuangkannya dalam sebuah tulisan ilmiah bukan merupakan suatu perkara yang mudah.
Untuk membentuk karakter teknisi litkayasa yang kemudian siap menjadi seorang peneli� memerlukan usaha yang keras dan proses yang cukup lama. Diperlukan perencanaan
yang matang untuk mewujudkan hal tersebut, mulai dari menghitung kebutuhan teknisi litkayasa itu sendiri, bagaimana menciptakan lingkungan yang mendukung teknisi litkayasa agar termo�vasi menjadi peneli�, hingga membuat terobosan atau solusi melalui for um teknisi litkayasa.
1.
Simulasi Kebutuhan Teknisi Litkayasa
Jika melihat laju rata-rata kenaikan pangkat teknisi litkayasa, dapat disimpulkan bahwa pemenuhan angka kredit bukan menjadi suatu halangan bagi seorang teknisi litkayasa dalam meningkatkan karier
pangkat dan jabatannya. Pada umumnya teknisi litkayasa mampu untuk mengumpulkan nilai angka kredit secara tepat waktu sehingga kenaikan pangkat seorang teknisi litkayasa selalu memenuhi minimal waktu kenaikan pangkat yakni �ap 2 tahun. Demikian pula dengan jabatan teknisi, mereka mampu untuk menduduki jenjang jabatan yang lebih �nggi dari pangkat mereka.
Seorang teknisi litkayasa yang diangkat pertama kali sebagai PNS pada golongan IIa dengan perhitungan kenaikan pangkat sesuai kondisi saat ini yaitu
kenaikan pangkat melewa� semua golongan, maka akan membutuhkan minimal 2 tahun dikali 5 jenjang pangkat = 10 tahun. Ditambah setahun masa CPNS, maka akan membutuhkan waktu 11 tahun masa kerja sebelum mengalami masa keinginan untuk mengembangkan karir. Pa da waktu 11 tahun
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
226
biasanya teknisi akan melanjutkan pendidikan S2 sehingga terdapat waktu 13-14 tahun bagi teknisi sebelum memutuskan untuk beralih jabatan ke fungsional peneli� atau beralih jabatan ke fungsional lainnya.
Pada tahap ini, pihak kepegawaian hendaknya melakukan peneli�an untuk mengetahui seberapa banyak teknisi yang mau beralih jenjang ke tahap peneli� atau beralih jenjang ke fungsional lain atau tetap bertahan di teknisi. Misalnya dengan melakukan wawancara terhadap teknisi litkayasa.
Pada tahap ini pula sebaiknya dilakukan wawancara terhadap peneli� sejauh mana mereka membutuhkan teknisi ? sehingga dapat dipetakan kebutuhan jumlah teknisi pada suatu kantor peneli�an.
Penghitungan jumlah teknisi yang dibutuhkan oleh sebuah kantor peneli�an sangat perlu dilakukan mengingat teknisi litkayasa pada kantor tersebut tentu memiliki keinginan untuk mengembangkan karir mereka. Apapun yang menjadi pilihan para teknisi sedapat mungkin diketahui sejak dini sehingga iklim kerja yang baik bagi teknisi tersebut tetap terjaga. Pengetahuan mengenai kondisi teknisi litkayasa juga pen�ng ar�nya dalam mengatur atau mengarahkan karir para teknisi.
2.
Peran Lingkungan Kantor
Membentuk karakter teknisi litkayasa menjadi seorang peneli� yang professional cukup sulit, diperlukan peran dan keikhlasan para pihak terutama para peneli�. Teknisi litkayasa tentu saja sangat membutuhkan bimbingan peneli�, peneli� hendaknya mengajarkan bagaimana penyusunan proposal misalnya dengan melibatkan teknisi dalam menyusun proposal peneli�annya. Peneli� harus membimbing teknisi tentang bagaimana cara menyusun metode peneli�an, mengambil data hingga menganalisa data, termasuk bagaimana cara berdiskusi secara ilmiah. Tidak hanya sampai disitu, peneli� hendaknya juga turut membimbing para teknisi bagaimana cara membuat tulisan popular untuk keperluan majalah hingga bagaimana cara membuat jurnal ilmiah yang baik.
Sedangkan dari pihak manajemen kantor, dapat berpar�sipasi dalam membentuk
karakter peneli� melalui pemberian mo�vasi terhadap teknisi litkayasa untuk melanjutkan pendidikan �dak hanya sampai pada jenjang pendidikan Sarjana saja tetapi hingga mencapai jenjang pendidikan S2 agar mampu memenuhi persyaratan untuk alih jenjang menjadi peneli�. Jika memungkinkan pihak manajemen membuka peluang beasiswa bagi teknisi litkayasa dalam melanjutkan pendidikan formalnya. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi teknisi litkayasa untuk mengiku� seminar atau lokakarya.
3.
Persiapan
menjadi peneli�
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada simulasi teknisi, berdasarkan asumsi normal kenaikan pangkat dan jabatan, seorang teknisi perlu memperhitungkan atau membuat rencana mengenai pengembangan karir mereka bila ingin menjadi peneli�. Salah satunya dengan menggunakan periode pangkat dan raihan ijazah sebagai dasar dalam peningkatan kapasitas diri sebelum menjadi peneli�.
Periode CPNS, pada periode ini, teknisi litkayasa kemungkinan besar masih akan dimagangkan pada se�ap seksi
maupun kel� di kantor tempat penempatannya. Pada periode ini, seorang teknisi litkayasa sedapat mungkin belajar mengenai tupoksi masing -masing seksi atau kel�, karena pada kenyataannya seorang teknisi �dak hanya akan berhubungan dengan kegiatan teknis peneli�an saja. Mereka akan menjadi tulang punggung juga pada urusan peneli�an yang berkaitan dengan administrasi.
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
227
PNS dengan pangkat pengatur muda/II a, pada periode ini teknisi litkayasa sudah bisa mengiku� diklat pembentukan teknisi litkayasa. Pada periode ini pula, teknisi dapat mengusulkan jabatan dari calon teknisi litkayasa menjadi teknisi litkayasa pemula atau langsung menjadi teknisi litkayasa pelaksana.
Pada golongan II b, II c atau pada golongan II d, seorang teknisi litkayasa sudah bisa untuk melanjutkan pendidikan formalnya yakni menempuh kuliah S1. Sedapat mungkin untuk mengambil kuliah di universitas terbaik yang dekat dengan kantor dimana teknisi bekerja. Pada saat kuliah sebaiknya sudah memperhitungkan dengan cermat fakultas hingga jurusan yang dipilih. Termasuk memper�mbangkan minat teknisi dan kelompok peneli�an (kel�) yang dimasuki.
Tabel 1. Proses pembentukan karakter peneli� seorang teknisi litkayasa
No
Golongan Ruang
Proses pembelajaran
I.
CPNS, II a
Magang, belajar tentang hal-hal yang nan�nya
mendukung pekerjaan sebagai teknisi litkayasa
II.
II b, IIc, IId
Kuliah S1, belajar membuat proposal,
mempertajam metode, belajar menulis tulisan
popular dan semi ilmiah
III.
III a, III b
Kuliah S2, belajar menulis tulisan ilmiah, rajin
mengiku� seminar, menentukan pilihan karir
IV. III c, III d Batas mulai menentukan pilihan karir
Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana S1, jika masih menduduki golongan II d ke
bawah maka teknisi litkayasa tersebut akan menunggu proses penga kuan gelar hingga golongannya minimal mencapai golongan III a. Sehingga secara normal teknisi litkayasa akan melanjutkan pendidikan Master minimal pada saat golongan III a. Setelah dua tahun, pada saat menyelesaikan pendidikan S2, seorang teknisi litkayasa
akan menduduki minimal pangkat III b.
Selama selang waktu yang dibutuhkan oleh teknisi litkayasa dalam mencapai ijazah S2 yang memungkinkan teknisi litkayasa tersebut untuk beralih jabatan ke jenjang peneli�, hendaknya mempersiapkan diri untuk belajar mengenai membuat proposal peneli�an atau rencana peneli�an, belajar menulis dari hasil kegiatan peneli�an berupa tulisan majalah, belajar menulis dari kegiatan peneli�an berupa karya tulis ilmiah, berusaha menulis karya ilmiah dari hasil peneli�an sendiri misalnya dengan menjalin kerjasama dengan peneli� untuk melakukan kegiatan peneli�an yang pembiayaannya diluar pembiayaan negara, dll.
4.
Forum Teknisi Litkayasa
Teknisi litkayasa berbeda dengan fungsional lainnya. Jumlah Teknisi litkayasa jauh lebih sedikit dibanding fungsional lain yang dibina langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seper� PEH dan Polhut sehingga mungkin kurang mendapat perha�an. Jumlahnya memang sedikit namun ternyata menyebar di semua kementerian dan atau lemba ga yang mempunyai ins�tusi peneli�an. Tersebarnya fungsional teknisi tentu mempunyai dampak tersendiri terutama dalam masalah yang dihadapi.
Masalah-masalah yang terjadi dalam teknisi litkayasa sebaiknya menjadi perha�an banyak pihak, sehingga pemecahan masalah yang dihadapi �dak hanya dari satu sudut pandang kementerian atau lembaga atau bersifat lokal tanpa memandang litkayasa sebagai suatu jabatan lintas sectoral kementerian atau lembaga. Padahal sebagai jabatan yang terdapat pada
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
228
hampir se�ap kementerian atau lembaga, permasalahan-permasalahan Teknisi Litkayasa telah berkembang menjadi lebih kompleks dan rumit karena boleh jadi permasalahan teknisi pada masing-masing kementerian atau lembaga berbeda-beda dan bersifat Khusus.
Manajemen atau aturan yang mengatur teknisi litkayasa hendaknya dirumuskan secara holis�k yaitu memandang masalah secara utuh, terpadu dan memecahkannya secara mul�disiplin, lintas kementerian dengan memandang jabatan teknisi litkayasa sebagai satu kesatuan jabatan di bawah binaan BPPTP.
Untuk itu dalam rangka menjamin terselenggaranya pengelolaan jabatan teknisi litkayasa maka se�ap kementerian atau lembaga yang memiliki jabatan fungsional teknisi litkayasa seyogyanya duduk bersama untuk merumuskan pengelolaan jabatan teknis i litkayasa. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu wadah untuk berkoordinasi, berkomunikasi dan berkonsultasi untuk memecahkan se�ap permasalahan teknisi litkayasa. Ber��k tolak dari kondisi dan pemikiran tersebut, untuk penguatan par�sipasi semua stak eholders, maka perlu dibuat suatu forum yang mewadahi para teknisi litkayasa.
Saat ini forum teknisi litkayasa belum terbentuk di se�ap balai peneli�an kehutanan. Padahal forum teknisi litkayasa pada se�ap kantor Balai Peneli�an Kehutanan (BPK) diharap kan akan sangat berperan pen�ng dalam memberikan masukan dalam pengelolaan jabatan teknisi litkayasa. Sebagai sebuah forum, kekuatan payung hukum akan lebih kuat dalam menyuarakan kepen�ngan teknisi litkayasa yang selama ini seper�nya kurang mendapat pe rha�an.
Forum teknisi litkayasa yang terbentuk hendaknya �dak hanya berhen� di �ngkat balai saja. Setelah �ngkat balai terbentuk, selanjutnya dibentuk forum litkayasa yang menyatukan forum teknisi litkayasa antar BPK. Forum induk ini kemudian harus bisa menjalin kerjasama dengan forum kementerian dan atau lembaga lain. Forum dari KLHK seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi kementerian atau lembaga lain untuk membentuk forum teknisi litkayasa. Forum KLHK hendaknya mampu memberikan masukan bagi BPPTP selaku Pembina jabatan agar mampu mendorong terbentuknya forum teknisi di se�ap kementerian atau lembaga, menyatukan dan menerima aspirasi atau masukan dari forum-forum tersebut.
Forum teknisi litkayasa minimal dapat berfungsi sebagai wadah pengkajian, konsultasi, koordinasi dan komunikasi antar teknisi litkayasa dari berbagai kementerian dan atau lembaga dan mampu memberi masukan kepada pengambil keputusan. Forum teknisi diharapkan dapat mengkaji kebijakan, rencana dan aturan mengenai jabatan teknisi litkayasa. Forum ini dapat pula berfungsi mengkaji permasalahan-permasalahan yang ada dalam masing-masing kementerian dan kemudian memberi per�mbangan dan saran pemecahan masalah kepada kementerian yang bersangkutan dan BPPTP selaku Pembina jabatan bahkan kepa da Menpan seandainya terdapat masukan atas aturan yang berlaku.
V.
PENUTUP
Lokakarya teknisi merupakan sesuatu hal yang baru buat teknisi litkayasa yang bekerja di KLHK. Mudah-mudahan dalam lokakarya atau seminar ini
para teknisi litkayasa lingkup KLHK dapat berkumpul untuk saling bertukar pikiran, pendapat, dan lain sebagainya dalam rangka untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sekaligus untuk menciptakan peluang dan atau krea�fitas bagi teknisi litkayasa Lingkungan Hidup Dan kehutanan.
Tiada kata terlambat dalam upaya menuju suatu perbaikan. Seorang teknisi litkayasa harus
mampu menciptakan dan membuka peluang dalam usaha menuju perbaikan. Jika seorang teknisi litkayasa menganggap semuanya sudah terlambat, pasrah dengan keadaan, dan
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
229
�dak bekerja keras untuk berubah ke arah yang lebih baik, maka itu pertanda bahwa teknisi litkayasa tersebut an�pa� dengan perubahan dan mungkin �dak pantas bekerja dalam lingkungan peneli�an, karena seseorang yang berkutat dengan peneli�an harus selalu dan senan�asa berusaha untuk merubah keadaan menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Peraturan Pemerintah Tentang Pegawai Negeri Sipil. Citra Umbara. Bandung.
Anonim. 2003. Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya. Menristek. Jakarta.
Anonim. 2003. Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya. Menristek. Jakarta.
Anonim. 2003. Tugas Pokok dan Fungsi Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa. Bagian Kepegawaian Organisasi dan Tata Laksana Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan.
BPPT. 2007. Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya. BPPT. Jakarta.
Ansari, Fajri. Teknisi Litkayasa: Permasalahan dan Strategi Pemecahannya. Info SDM.
Kumbuh,
dkk. 2000. Penyusunan Rencana Operasional Pelayanan Teknisi Litkayasa. Disampaikan pada pela�han Teknisi Litkayasa Budidaya Tanaman Kehutanan dan Perkebunan Tgl 21 September s/d 20 Oktober 2000.
Se�awan, Iwan. 2009. Langkah Menuju Penyempurnaan Polhut (dari terampil menuju ahli). Pusdiklat Kehutanan. Bogor.
Sumarna, Anang. 2000. Tata Cara Prosedur Pengusulan dan Penilaian Teknisi Litkayasa. Disampaikan pada pela�han Teknisi Litkayasa Budidaya Tanaman Kehutanan dan Perkebunan Tgl 21 September s/d 20 Oktober 2000.
Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK
230
Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa
231
LAMPIRAN
232
233
Lampiran 1. Susunan Acara Lokakarya
Waktu
Acara
Pembicara
08.00 -
08.30
Registrasi Peserta
Panitia
08.30 -
08.35
Doa
Purwanto,
S.Hut
08.35 -
08.45
Laporan Pelaksanaan Kegiatan
Kepala
BPK Palembang
08.45 -
09.00
Arahan dan Pembukaan oleh Sekbadan Litbang
Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi KLHK
09.00 -
09.20
Keynote Speech
Peran Strategis Teknisi Litkayasa Sebagai Mitra Penelitian
Prof. Gustan Pari
09.20 -
10.00
Diskusi
10.00 -
10.15
Coffee Break
10.15 -
12.15
Sesi 1
Moderator :
Drs.
Agus Sofyan,
M.Sc
10.15 -
10.25
1.
Aklimatisasi Tanaman Hasil Kultur Jaringan
Endin Izudin
(BBPBPTH Yogyakarta)
10.25 -
10.35
2.
Pembangunan Kebun Benih Semai Generasi Pertama
(F-1) Jenis A. mangium
Surip
(BBPBPTH Yogyakarta)
10.35 –
10.45
3.
Teknik Pematahan Dormansi Benih Tanaman Hutan
Anggun Musyarofah
(BPTPTH
Bogor)
10.45 –
10.55
4.
Teknik Pembibitan Bidara Laut
Gipi Samawandana
(BPTHHBK Mataram)
10.55 –
11.05
5.
Silvikultur Praktis Tembesu untuk Peningkatan Produktivitas
Saiful Islam
(BPK Palembang)
11.05 –
11.15
6.
Peningkatan Pertumbuhan Tanaman Bitti Menggunakan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Pupuk NPK Pada Media Sub Soil
Edi Kurniawan
(BPK Makassar)
11.15 –
12.15
Diskusi
12.15 –
13.30
ISHOMA
13.30 –
15.00
Sesi 2
Moderator:
Hengki Siahaan,
S.Hut.,
M.Si
13.30 – 13.40 7. Teknik Isolasi Jamur Pembentuk Gaharu Mansyur (BPTHHBK Mataram)
13.40 – 13.50 8. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja
Yusub Wibisono (BTKSDA Samboja)
13.50 – 14.00 9. Potensi Stok Karbon di Kawasan Hutan Tanaman Jati Bonak Kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara
Martinus Lalus (BPK Kupang)
14.00 –
14.10
10.
Pengaruh Kanalisasi dalam Pengelolaan Gambut terhadap Kebakaran Lahan
Johan P.
Tampubolon (BPK Palembang)
14.10 –
14.20
11.
Teknik Pemantauan Titik Api (Hot Spot)
Joni Muara
(BPK Palembang)
14.20 –
14.30
12.
Penggunaan Sumur Bor Dangkal Sebagai Sumber Air untuk Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Eko Priyanto dan Yusnan
(BPK Banjarbaru)
14.30 –
15.30
Diskusi
15.30 –
15.45
Coffee Break
15.45 –
16.45
Sesi 3
Moderator :
Edwin Martin,
S.Hut.,
M.Si
15.45 –
15.55
13.
Pembuatan Filler Secara Sederhana untuk Bahan
Finishing Kayu yang Murah
Darta
(Puslitbang Hasil Hutan)
15.55 –
16.05
14. WPC (wood plastic composite), Memaksimalkan Pemanfaatan Bahan Baku Kayu
Fitri Windrasari dan eko sutrisno
(BPK Kuok)
16.05 –
16.15
15.
Persepsi Masyarakat Mollo terhadap Keberadaan Segitiga Kehidupan (Manusia, Ternak, dan
Hutan) di Cagar Alam Gunung Mutis
Oskar K.
Oetaman
(Puslitbang Hasil Hutan)
16.15 –
16.25
16. Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Menurut UU No 23 Tahun 2014
Muhammad Fajri dan Robianto Felani
(BBPD Samarinda)
16.25
–
16.35
17. Teknik Pemindahan Koloni Trigona spp ke dalam Stup
Edi Kurniawan
(BPTHHBK Mataram)
16.35 –
16.45
18.
Adopsi Lebah Apis Cerana, Solusi Peningkatan Kualitas
Hidup Pegawai Litbang
Hendra Sanjaya
(BPK Aek Nauli)
16.45 –
17.45
Diskusi
17.45
–
17.55
Pembacaan rumusan
Sahwalita,
S.Hut.,
MP
17.55 –
18.15
Penutupan
Kepala BPK Palembang
234
Lampiran 2. Da�ar Peserta
No.
Nama
Instansi
1
Oskar K. Oetaman
BPK Kupang
2
Mar�nus Lalus
BPK Kupang
3
Sahwalita
BPK Palembang
4
Imam Muslimin
BPK Palembang
5
Edi Kurniawan
BPTHHBK Mataram
6
Anggun Musarofah
BPTHHBK Mataram
7
Dewi Sahmin PS
BPTHHBK Mataram
8
Mega Selviani
KPHL Banyuasin
9
Darta
Puslitbang Hasil Hutan Bogor
10
Gii Samawandna
BPTHHBK Mataram
11
Ramdiawan
BPTHHBK Mataram
12
Mansyur
BPTHHBK Mataram
13
Hendra Sanjaya
BPK Aek Nauli
14
Fitri Windrasari
BPTSTH Kuok
15
Dian Haya�
BPK Palembang
16
Nanang Herdiana
BPK Palembang
17
Abdul Hakim Lukman
BPK Palembang
18
Siskha H
BPPHP Wilayah V
19 Joni Muara BPK Palembang
20 Nasrun BPK Palembang 21 Asmaliyah BPK Palembang 22 E�k Ernawa� Hadi BPK Palembang 23
Pidin Mudiana
BPK Aek Nauli
24
Hendra A
Dishutbun Lahat
25
Agus Sofyan
BPK Palembang
26
Eni Rulian�
BP DAS Musi
27
Sufyan Suri
BPK Palembang
28
Saripin
BPK Palembang
29
Hengki Siahaan
BPK Palembang
30
Syaiful Islam
BPK Palembang
31
Andi Nopriansyah
BPK Palembang
32
Paizal Abidin
BPK Palembang
33
Udi Se�awan
KPHL Banyuasin
34
Tri Joko Mulyono
Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi
35
Iton Bambang Patono
BPK Aek Nauli
36
Helen Vaviarsi
BPTH Sumatera
37
Agus Rialyan A
BPTH Sumatera
38
Nia Kurniasih
BPTH Sumatera
39
Bambang Tejo Premono
BPK Palembang
40
Efendi Agus Waluyo
BPK Palembang
41
Nur Arifatul Ulya
BPK Palembang
42
Sunelia�
BP4K Kabupaten MUBA
43
Totok Hernawan
BKSDA Sumsel
235
No.
Nama
Instansi
44
Tubagus Angga R
BPK Palembang
45
Yulia Farida
BP4K Kabupaten MUBA
46
Teten Rahman S.
BPK Palembang
47
Heriyanto
BPK Palembang
48
Edwin Mar�n
BPK Palembang
49
Hadian Bayu
BPPHP Wilayah V
50
Sucia� N
BPPHP Wilayah V
51
Agung Suprianto
B2PD Samarinda
52
Robianto
B2PD Samarinda
53
Edi Kurniawan
B2PD Samarinda
54
Ahmad Rojikin
B2PD Samarinda
55
Yudhis�ra
BPK Palembang
56
Kusdi Mulyadi
BPK Palembang
57
Choirul Ahmad
BPK Palembang
58
Kania Agus�ni
BPK Palembang
59
Diana Febrian�
BPK Palembang
60
Fajri Ansari
BPK Makasar
61
Eko Priyanto
BPK Banjarbaru
62
Zainudin
BPK Makasar
63 Edi Kurniawan BPK Makasar
64 Yusuf Wibisono BPTKSDA Samboja 65 Purwanto BPK Palembang 66 Surip BP3BTH Yogyakarta 67
Endin Izzudin
BP3BTH Yogyakarta
68
Agung Suprianto
B2PD Samarinda
69
Robianto
B2PD Samarinda
70
Adi Kunarso
BPK Palembang
71 Ahmad Rojikin B2PD Samarinda
72 Anita TL Silalahi BPK Palembang 73 Suningsih BPK Palembang 74 Hendra Priatna BPK Palembang 75
Mamat Rahmat
BPK Palembang
236
Lampiran 3. Susunan Panita
Lokakarya
1.
Penanggung jawab
:
Kepala
Balai Peneli�an Kehutanan Palembang
2.
Ketua
:
Anita T. L Silalahi,SP.,
M.Si
3.
Sekretaris
:
Suningsih, S.Hut
4.
Seksi
Kesekretariatan
Koordinator
:
Hendra Priatna,ST
Anggota
1.
Syaiful Islam
2.
Johan P. Tampubolon
5.
Seksi
Acara
dan
Persidangan
Koordinator
:
Adi Kunarso, S.Hut.,M.Si
Anggota
:
1.
Joni Muara, SP.
2.
Kusdi,S.Hut
6.
Seksi Konsumsi
Koordinator
:
Shinta Friska Simbolon, SH
Anggota
:
1.
Rista Novalina Sihombing, S. Sos
2.
Nes� Andriani
7.
Seksi
Transportasi
dan
Umum
Koordinator
:
Agus Yanto,
SH
Anggota
:
1.
Teten R.Saepulloh
2. Sudarto
8. Seksi Dokumentasi
Koordinator : Andi Nopriansyah Anggota : 1. Nasrun Sagala
2.
Saripin 9.
Seksi Fieldtrip
Koordinator
:
Sufyan Suri,SP
Anggota
:
1.
Mualimin
2.
Wen� Irvantya
237
Lampiran 4. Notulensi Diskusi Lokakarya
1.
Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Joni Muara (BPK Palembang).
Tanya
:
Mengingat cakupan areal yang luas,
untuk mendeteksi Hot Spot
perlu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan aplikasi ini ?
Jawab
:
Dalam aplikasi ini sangat tergantung dari kecepatan Internet untuk
mengunduh data karena data pendukung sudah dimiliki.
2.
Edi Kurniawan
(BPK Makasar) untuk Joni Muara (BPK Palembang).
Tanya
:
Karena hasil akhir dari aplikasi ini berupa peta maka sebaiknya
di
cantumkan skala peta dan jenis peta yang digunakan.
Jawab
:
Di dalam makalah sudah dijelaskan,skala peta yang di
gunakan tergantung dari pemakaian peta.
3.
Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Yusub Wibisono (BPTKSDA Samboja)
Tanya
:
Keanekagaman jenis tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja
cukup banyak mencapai 96 jenis.
Dari sekian banyak jenis tadi apakah
sudah ada uji kimianya atau masih berupa pendapat atau pengalaman
yang �mbul di masyarakat.
Jawab
:
Sampai saat ini,pengobatan menggunakan tumbuhan obat atau herbal
masih berasal dari pengalaman yang ada di masyarakat dan belum di uji klinis.
4.
Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Mar�nus Lalus (BPK Kupang)
Tanya
:
Apakah pengamatan stok karbon di kawasan hutan tanaman ja� Bonak
Kecamatan Biboki selatan Kabupaten Timor tengah selatan merupakan plot permanen.
Jawab : Plot pengamatan stok karbon di hutan tanaman ja� Bonak bukan sebagai plot permanen.
5. Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Oskar K Oematan (BPK Kupang) Tanya
:
Biasanya kondisi hutan di Cagar Alam masih potensial,
banyak kayunya
bagaimana pengelolaan Cagar Alamnya dan apakah �dak ada pencurian di Cagar Alam tersebut.
Jawab
:
Pengelolaan Cagar Alam di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam
sehingga kami �dak tahu masalah ada atau �daknya pencurian kayu di sana.
6.
Edi Kurniawan (BPK Makasar) untuk Mansyur (BPTHBK Mataram).
Tanya
:
Dalam makalah teknik isolasi jamur pembentuk gaharu,
belum dijelaskan
diameter minimum yang bisa disun�k isolate dan jenis jamur apa yang
digunakan.
Jawab
:
Dalam peneli�an teknik isolasi jamur pembentuk gaharu digunakan jenis jamur fusarium sedangkan diameter pohon gaharu yang di
inokulasi
berdiameter 15 cm/10 tahun,berbatang lurus dan dalam kondisi sehat.
7.
Aam Hasanudin (BPK Aek Nauli) untuk Mansyur (BPTHBK Mataram)
Tanya
:
Sebagaimana kasus sengonisasi yang kesulitan pemasaran pasca panen,
bagaimana prospek pemasaran kayu gaharu.
Jawab
:
Berdasarkan pengalaman di Mataram penjualan kayu gaharu hanya sampai ke pengepul saja,
sedangkan standar harga belum ada.
Menurut
Agus Sofyan dari BPK Palembang,pasar gaharu sudah ada,
untuk minyak gaharu dan air sulingan sudah bisa di jual.
Di Kabupaten Musirawas Provinsi Sumatera Selatan untuk gaharu kualitas super B berharga 8.000.000 s/d 12.000.000.
238
8.
Aam Hasanudin (BPK Aek Nauli) untuk Yusub Wibisono (BPTKSDA Samboja)
Tanya
:
Saat ini sedang gencarnya promosi obat-obatan herbal,
mungkin karena
harganya yang rela�ve murah.
Yang saya tanyakan apakah ada efek sampingnya.
Jawab
:
Selama pemakaiannya mengiku� aturan dan dosisnya terukur selama ini �dak ada efek samping.
9.
Edi Kurniawan (BPK Makasar) untuk Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli)
Tanya
:
Dalam pengembangan budidaya lebah madu Apis cerana,
dimana
stup-stup sudah banyak.Apakah ada kendala dalam proses adopsi lebah madu dengan kebutuhan lahan untuk mencari pakan nektar.
Jawab
:
Selama ini �dak ada kendala,karena lebah madu Apis cerana
hidup
tersebar di seluruh Indonesia.
Indonesia sebagai negara tropis merupakan
tempat yang sangat baik untuk pengembangan budidaya lebah madu karena variasi jenis tumbuhan yang sangat �nggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan sumber pakan sepanjang tahun.
10.
Effendi AW (BPK Palembang) untuk Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli)
Tanya
:
Seper�nya BPK Aek Nauli sudah berpengalaman dalam pengembangan
lebah madu,
apakah selain lebah Apis cerana
juga dikembangkan jenis lain,
bagaimana prosesnya selain itu apakah madu yang dihasilkan sudah
di uji kualitasnya.
Jawab
:
Di BPK Aek Nauli juga sudah dikembangkan jenis lebah madu lain yaitu Trigona
sp,
yang propolisnya memiliki kandungan an� kanker paling �nggi.
Di tempat kami belum ada fasilitas untuk uji laboratorium madu tetapi kami memiliki petani binaan yang cukup banyak.Tambahan keterangan dari Edwin Mar�n (Moderator) bahwa kegiatan ini bisa diaplikasikan di KHDTK dan KPH.
11. Fitri Windrasari (BPTSTH KUOK) untuk Edi Kurniawaan (BPK Mataram) Tanya : Pengembangan budidaya lebah madu penghasil propolis di Mataram sudah
cukup lama,tapi apakah sudah ada cara untuk mengekstraksi propolis. Jawab
:
Kebiasaan masyarakat di Lombok,propolis yang masih di dalam lilin rumah lebah langsung di hisap/di makan.sedangkan dibalai belum
memiliki alat untuk
ekstraksi propolis. Sebagian masyarakat sudah ada yang mengekstraksi propolis dengan menggunakan Aquades dan alkohol.
12.
Siska (BP2HP) untuk Edi Kurniawan (BPK Mataram)
Tanya
:
Apakah teknik pemindahan koloni lebah ke stup bisa dilaksanakan pada
lebah alam yang �nggal di pohon-pohon (Apis cerana/dorsata).
Jawab
:
Pada prisipnya semua lebah bisa di adopsi,tapi untuk saat ini di Lombok
belum pernah ada yang berani membudidayakan jenis Apis cerana
atau
Apis dorsata,terutama saat mengambil ratunya karena takut disengat.
13.
Oskar Oematan (BPK Kupang) untuk Robianto (BPK Samarinda)
Tanya
:
Pengalaman di KHDTK Kupang,sudah ada masyarakat yang menghuni di dalam kawasan baru ditetapkan sebagai KHDTK.Langkah yang sudah dilakukan baru sebatas buat surat pemberitahuan belum sampai pada
tahap paksa. Bagaimana pengalaman pembuatan KHDTK di BPK Samarinda.
Jawab
:
KHDTK di BPK Samarinda (Labanan) adalah eks areal konsesi Inhutani masyarakat di sekitar Hutan dibebaskan untuk membuat ladang.
Penetapan KHDTK dilakukan
setelah masyarakat ada di sana dan banyak perusahaan
kebun dan tam bang di sekitarnya. Tambahan keterangan dari Agung S (BPK Samarinda) bahwa
239
masyarakat yang menggali tambang di dalam areal akhirnya lahan tersebut dikuasai perusahaan tambang.
Langkah
preven�f sudah dilakukan.sekarang langkah par�sipa�f dengan mencari
alterna�f penghasilan yang bisa diambil dari hutan tapi �dak merusak hutan.
14.
Edi Kurniawan (BPK Mataram) untuk Fitri Windrasari (BPTSTH Kuok)
Tanya
:
Dengan kemajuan teknologi maka akan memaksimalkan pemakaian bahan Baku kayu yang ada.Seper� juga WPC (Wood Plas�c Coposite), yang saya
tanyakan apa kegunaan hasil dari WPC ini.
Jawab
:
Kondisi saat ini yang kekurangan bahan baku kayu maka WPC adalah sebagai alterna�f penggan� kayu untuk keperluan eksterior,
interior, sekat
kursi,
lemari dan lain lain.
15.
Edwin Mar�n (BPK Palembang/moderator) untuk Fitri Windrasari (BPTSTH Kuok)
Tanya
:
Apa Inovasi yang bisa dikembangkan terkait dengan mahalnya harga
WPC.
Jawab
:
Untuk menekan biaya produksi kami menggunakan kayu jabon sisa
peneli�an,
sehingga dapat menurunkan harga bahan baku dimana
implikasinya harga WPC bisa turun.
16.
Mar�nus Lalus (BPK Kupang) untuk Syaiful Islam (BPK Palembang)
Tanya
:
Bagaimana perkembangan tanaman tembesu (Fragrea fragan)
kalau secara
genera�ve dan bagaimana caranya kami bisa mendapatkan benihnya untuk di
bawa ke Kupang,
untuk coba di
kembangkan di sana.
Jawab
:
Di BPK Palembang tembesu yang di tanam berasal dari biji (genera�ve)
tetapi juga sudah dilakukan peneli�an perkembangbiakan secara vegeta�f dengan hasil yang cukup baik. Secara genera�ve, prosesnya cukup sederhana buah tembesu yang masak berwarna merah diekstraksi, kemudian di tabur/di semai, kurang lebih 3 minggu sudah mulai berkecambah dan setelah satu bulan bisa dipindahkan ke polybag.
Khusus buat BPK Kupang masih ada stok benih tembesu
untuk dibawa pulang.
17.
Robianto (BPK Samarinda) untuk Syaiful Islam (BPK Palembang)
Tanya
:
Pohon tembesu ini merupakan jenis unggulan di Sumatera,
apakah
pohon ini
jenis pionir dan bagaimana perkembangbiakannya.
Selain itu
apa kendala kalau di tanam secara monokultur seper� serangan hama dan penyakit.
Jawab
:
Perkembangbiakan pohon tembesu umumnya secara genera�ve seper�
penjelasan pada pertanyaan sebelumnya.
Di
BPK Palembang pohon
tembesu di tanam secara monokultur,
yang sampai saat ini sudah
berumur 10 tahun.Hama yang ada belum mengganggu perkembangannya tapi ada juga ditemukan rayap,
sedangkan penyakitnya adalah jamur.
Tambahan keterangan dari Nasrun Sagala (BPK Palembang) kalau ada tanaman tembesu yang terserang jamur maka harus di
bongkar dan dibakar agar �dak menyebar.
Sebagai penutup sesi ini ada masukan dari Moderator,
Edwin Mar�n, S.Hut, M.Si
Peneli� BPK Palembang antara lain :
1.
Acara ini akan luar biasa sekali kalau dilakukan secara nasional karena teknisi -teknisi kita memahami apa yang sudah disampaikan.
2.
Saat menghadapi KPH teknisi kita bisa diandalkan dan �dak tergantung peneli�.