publikasi penelitian bi (posting by. aryo dwiatmojo r.b)

Upload: aryo-dwiatmojo-raksa-buana

Post on 20-Jul-2015

123 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BULETIN

ISSN : 1693 - 3265 Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANThe Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability Peranan Hukum Dalam Krisis Perekonomian (Dunia) eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan Transaksi Elektronik Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik Di Bank Indonesia Resensi Buku: Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan Cakrawala Hukum: Kedudukan Mahkamah Kontititusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - Mei 2011 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Januari - Mei 2011

Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Ahmad Fuad, Christina Sani, Heru Pranoto, Agus Santoso Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Imam Subarkah, Sudarmaji, Arief R. Permana, Amsal Chandra Appy, Rosalia Suci, Rika S. Dewi, Amy Rachmy Budiati, Hari Sugeng Raharjo, Suprianto, Umi Widji R. Redaksi Pelaksana Dyah Pratiwi, Hernowo Koentoadji, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto, Rizal Wisnajaya Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH, LLM Dr. Inosentius Samsul, SH, LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH, MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi

Halaman ini sengaja dikosongkan

Dari Meja Redaksi

Pada penerbitan kali ini, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 9 Nomor 1, Edisi Mei s.d. Agustus 2011 kembali hadir ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya. Topik hangat pada materi muatan Buletin adalah menyoroti mengenai mandat bagi bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan sebagaimana penulisan artikel: The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability. Perkembangan trend bank sentral modern cenderung menambah tujuan bank sentral dalam UU-nya tidak hanya mencapai stabilitas harga, namun juga berkontribusi pada pencapaian stabilitas sistem keuangan, karenanya bank sentral perlu mendapat mandat eksplisit dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang SSK. Krisis yang terjadi pada tahun 2008 memberikan bukti bahwa bank sentral tidak hanya mempunyai satu tanggungjawab yaitu menjaga stabilitas harga (price stability). Dalam hal ini fungsi Lender of Last Resort (LoLR) merupakan fungsi inheren pada bank sentral sehingga secara implisit bank sentral berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Dalam perkembangannya, terdapat pemikiran yang menyarankan bank sentral untuk memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Selain artikel tersebut, secara lengkap, penerbitan Buletin edisi kali ini menurunkan 4 artikel, yaitu : 1. The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability, oleh Agus Santoso, SH., LLM. 2. Peranan Hukum Dalam (Krisis) Perekonomian, oleh Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM., Kepala Perwakilan BI London, dosen luar biasa FH UI 3. e-Notary, oleh Josua Sitompul, SH. IMM 4. Keterbukaan Informasi Publik, oleh Tim Informasi Hukum Bank Indonesia. Disamping itu, dalam cakrawala hukum redaksi menyajikan salah satu materi workshop litigasi, yaitu artikel mengenai Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Selanjutnya, sebagai referensi, redaksi juga telah menyajikan resensi buku Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundangundangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, oleh Rizal Wisnajaya, SE, MH., Analis Hukum. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai dengan Maret 2011, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Selamat membaca. Jakarta, Juni 2011 Redaksi

i

Halaman ini sengaja dikosongkan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Halaman Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ Daftar Isi.......................................................................................................................................................... The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability............................................. Agus Santoso, SH., LLM Peranan Hukum Dalam Krisis Perekonomian (Dunia)......................................................................................... Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan Transaksi Elektronik.................... Josua Sitompul, SH., IMM Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik Di Bank Indonesia.................................................................. Tim Informasi Hukum Bank Indonesia Resensi Buku: Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan ................................................................................... Rizal Wisnajaya, SE, MH, Cakrawala Hukum: Kedudukan Mahkamah Kontititusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI................................................................. Redaksi Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - Mei 2011..................... Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Januari - Mei 2011.............................................................................. Tim Informasi Hukum (Direktorat Hukum Bank Indonesia) 45 - 63 41 - 43 39 - 40 37 - 38 29 - 35 11 - 27 5-9 i iii 1-4

iii

Halaman ini sengaja dikosongkan

The Need of A Mandate for Central Bank in Dealing with Financial Stability1

By Agus Santoso2, SH, LLM

This paper focuses on the needs of central bank to have an explicit mandate in dealing with financial stability, particularly in crisis. It takes Bank Indonesia as a Central Bank of the Republic of Indonesia as a case, as it might be happened in other central banks. This paper elaborates 6 (six) topics as follows: 1. Bank Indonesia Objective 2. Bank Indonesia and Indonesia Financial Stability 3. Central Banks Conventional Mandate 4. Central Bank and Financial Stability 5. Redefining the Mandate of Central Bank 6. Autonomy and Accountability Based on Article 7 of Bank Indonesia Act, the objective of Bank Indonesia is to achieve and maintain the stability of the Rupiah, the currency of the Republic of Indonesia. The meaning of the stability of the rupiah is the stability of the Rupiah value against goods and services, as well as against foreign currencies. As an archipelago country which has 17.508 islands and thirty three provinces, stretching at 3 different time zones with over 238 million people and the worlds fourth most populous country,3 it is really challenging for the central bank to conduct macro economy policy successfully. In order to achieve its objective, Bank Indonesia has three tasks as follows: a. to formulate and to implement monetary policy b. to regulate and to safeguard the smoothness of the payment system; c. to regulate and to supervise banks.

The discharge of the three tasks above is mutually supportive to achieve the stability of the rupiah. The task of formulating and implementing monetary policy shall be conducted through among other things, targeting monetary aggregates and or interest rate. The effectiveness in implementing the monetary policy task calls for the support of an efficient, expeditious, safe, and reliable payment system (which is the target of the task in regulating and supervising the smoothness of the payment system). Further, the efficient, expeditious, safe, and reliable payment system needs a sound banking system, which is the target of the task in banking regulation and supervision. A sound banking will in turn facilitate monetary control since in Indonesia the implementation of monetary policy is transmitted primarily through the banking system (around 80% of the total financial asset is managed by 121 commercial banks and 1680 rural banks with 14.140 commercial bank branches and 3.996 rural bank branches).4 In this regards, Bank Indonesia in fact has performed a range of task related to the financial stability and has included financial stability considerations in its monetary and micro prudential policy making. The performance of the task in financial stability is related to the one of important roles of a central bank, such as lender of the last resort to provide liquidity assistance to illiquid but solvent bank.5 To prevent 2008 financial crisis, several responses have been taken, such as enacted Government Regulation in Liu of

4 5

As of April 2011 Based on Bank Indonesia Act, there are three types of liquidity assistance that can be provided by Bank Indonesia, namely intraday liquidity facility, short term liquidity support facility, and emergency liquidity assistance. The intraday liquidity facility is a funding facility extended by Bank Indonesia to a bank in their capacity as a member of payment system managed by Bank Indonesia. Under the Central Bank Act, Bank Indonesia shall have a task to ensuring and maintaining the effectiveness operation of Payment System in Indonesia. The type of payment system operation in Indonesia is 1) The Real Time Gross Settlement (RTGS) that is a system for electronic funds transfer among members in domestic currency with settlement processed individually per transaction basis; and 2) national clearing system that is the clearing system that cover debit and credit clearing in which the settlement is conducted on a nationwide basis.

1

Presented in the International Conferences on Legal Aspects in A Changing Global banking Sector held by the Association of Legal Adviser in the Financial And Banking System, Iasi Romania May 31 - June 4, 2011 Deputy Director, Directorate for Legal Affairs, Bank Indonesia http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia.html

2 3

1

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Act Number 4 of 2008 regarding Financial System Safety Net to provide coordination mechanism among authorities and a crisis prevention mechanism and crisis management system to handle financial crisis. The government also enacted Government Regulation Number 66 of 2008 regarding The Amount of Deposits Guaranteed by Indonesia Deposit Insurance Corporation, to amend the amount of the deposit guaranteed, from the most Rp100.000.000,00 (one hundred million Rupiah) to become the most Rp2.000.000.000,00 (two billion Rupiah). Besides, Bank Indonesia Act had been amended to broaden the collateral for short term liquidity support, from limited collateral consist of treasury bills and Bank Indonesia Certificate to include high rated performing loans. In fact, the 2008 crisis has impacted on a small bank, the Century Bank. Although it was considered a small bank, Bank Indonesia, Ministry of Finance and Deposit Insurance Corporation concluded that during the crisis it was a small but potentially systemic bank. For the sake of preventing banking crisis, instead of closing the bank, the failing bank has been decided to be rescued, as the best policy at that time. The bank was rescued by way of recapitalization by Deposit Insurance Corporation in the sum of 6.7 billion Rupiah, instead of giving emergency liquidity assistance to the bank as provided by Government Regulation in Liu of Act Number 4 of 2008 regarding Financial System Safety Net. By recapitalizing the rescued bank, the Deposit Insurance Corporation became the majority shareholder of the bank.6

However, the rescue of the bank from political point of view become a dispute and has been scrutinized before the parliament, and as the result: rejection of the Regulation in Liu of Act Number 4 of 2008 regarding Financial System Safety Net to become an act; investigation on the handling of the rescued bank; filing draft law on Financial Stability Safety Net to be discussed in the parliament. The rejection of Regulation in Liu of Act Number 4 of 2008 regarding Financial System Safety Net to become an act means that there is no legal basis in the level of law/statute in Indonesia legal setting providing authority coordination mechanism and emergency liquidity assistance mechanism for banks and other financial institutions if financial crisis occurs. The only legal basis to provide emergency liquidity assistance is Article 11 section (4) of Bank Indonesia Law which stipulates that in the event that a Bank experiences financial difficulties with systemic impact that may result in crisis endangering the financial system, Bank Indonesia may provide an emergency financing facility funded by the Government. Article 11 section (5) of Bank Indonesia Law states that the procedures and decision making process regarding financial difficulties of a Bank with systemic impact, provision of the emergency financing facility, and source of funding from the State Budget shall be stipulated in a separate law to be promulgated no later than the end of 2004. But until now, the law has not been enacted. This means that there is no sufficient legal basis for Bank Indonesia to provide emergency liquidity assistance. Besides, Bank Indonesia does not have an explicit legal mandate for financial stability function. Bank Indonesias tasks do not cover the oversight of the entire financial system from a macro prudential perspective.7 There is no evidence that the stability of the value of the Rupiah as an objective has a direct relationship with the financial system stability. Under the current legal framework the legal test for any decision and operation would be restricted to Bank Indonesias monetary objective, which is the stability of the value of the Rupiah.8 Realizing that in todays globalized world no country is immune from the crisis, the Governments of the Republic of Indonesia must do its utmost to protect the country from most vulnerable crisis. Hence, Indonesia is drafting Financial

If a bank has difficulty to settle its financial obligation related to payment transaction through clearing system or through electronic funds transfer in Real Time Gross Settlement System (RTGS), the bank may ask the central bank provide funds to clear its obligation. This fund shall be settled in the same day and covered with very liquid collateral. Short term liquidity support facility is a support from Bank Indonesia for any bank experiencing a short term liquidity problem (liquidity mismatch). The duration of this lender of the last resort facility is up to 90 days. This facility is deemed as a secured loan because it is fully backed by high quality of collateral with minimum value equivalent to the amount of facility received. Among the collaterals which are considered as high quality is government bond/bill or central bank bill. Meanwhile, the emergency liquidity assistance is an unsecured loan which is provided by the central bank as the lender of the last resort, but is guaranteed by the Government. The bank may obtain emergency assistance if its liquidity problem is considered to trigger systemic failure. Indeed, this facility is provided to prevent systemic failure in banking system that can lead to the banking crisis. 6 In its development, the Deposit Insurance Corporation has changed the name of the bank, from Century Bank to Permata Bank. This bank has become solvent and has been ready to be divested from this year to 2013.

7 8

Bank Indonesia is only authorized to regulate and supervise banks. International Monetary Fund Report, November 2010

2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

System Safety Net Act and the new Bank Indonesia Act. These two acts must give the clear mandate to do proper actions by the government and central bank in preventing and managing crisis.

conditional degree of responsibility for outcomes, like: to maintain, to contribute, to participate, to promote, and to support. A few description of central banks laws as followed:11 The Peoples Bank of China Act states that the Bank shall, under the leadership of the State Council, formulate and implement monetary policies, guard against and eliminate financial risks, and maintain financial stability. The Statute of Bank of Thailand states that the BOTs objectives are to carry on such tasks as pertain to central banking in order to maintain monetary stability, financial institution system stability and payment system stability. Bank Negara Malaysia Act states that the principal objects of the Bank shall be to promote monetary stability and financial stability conducive to the sustainable growth of the Malaysian economy. In Japan, the purpose of the Bank of Japan, or the central bank of Japan, is to issue banknotes and to carry out currency and monetary control. In addition to what is prescribed in the preceding paragraph, the Bank of Japans purpose is to ensure smooth settlement of funds among banks and other financial institutions, thereby contributing to the maintenance of stability of the financial system. England states that an objective of the Bank shall be to contribute to protecting and enhancing the stability of the financial systems of the United Kingdom (the Financial Stability Objective.) Zambia states that the central bank shall formulate and implement monetary and bank supervisory policies that will ensure the maintenance of price and financial systems stability. As mentioned before, the language implies a conditional degree of the responsibility of outcomes: to maintain, to contribute, to participate, to promote, or to support.

Preceding the global crisis 2008, many central banks concerned to narrow definition of the mandates of central banks in performing price stability. In this regards, the central banks conventional mandate broadly divided into three main categories (keeping in view the prime emphasis of their mandate:9) firstly, central banks with a primary mandate. For European Central Bank, the primary objective is to maintain price stability. Secondly, central banks with two co-equal primary goals, like US Federal Reserve, which has long had a dual mandate: long term price stability and full employment. Thirdly, central banks with a broader mandate, such as Reserve Bank of India, it includes currency and stability, flow of credit, and price stability with growth. However, the great majority of central banks operate under the presumption that they have a policy responsibility for financial stability. The responsibility for financial stability is usually inferred from the existence of functions that relate to it. Such functions include bank regulation (and /or licensing) and bank supervision, deposit insurance, the provision of safety nets through emergency liquidity assistance, provision of honest broker services, and involvement in the payment system in general.10 Bank for International Settlement (BIS) Report shows that less than half of central bank statutes contain objectives relating to financial stability in which from 146 central bank laws, less than one fifth have an explicit objective for financial stability per se- for instance an objective that extends beyond objectives for functions that contribute to financial stability. In some cases in which the central banks has an explicit legal objective for financial stability, the objective is broadranging and the central banks responsibility apparently far reaching, inter alia by using the language which implies a

9

Grace Koshie, Reserve Bank of India Impact of Changing Mandates on Central Bank Governance presentation to the Seminar on Central Bank Governance: The Role of the Board, Windsor, United Kingdom, April 2011 11 Issues in the Governance of Central Banks; A Report from the Central Bank Governance Group chaired by Guiilermor Ortiz, the Governor of the Bank of Mexico, BIS, May 2009

10 source: Issues in the Governance of Central Banks; A Report from the Central Bank Governance Group chaired by Guiilermor Ortiz, the Governor of the Bank of Mexico, BIS, May 2009

3

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

The crisis triggered the debate on role and responsibility of central bank. Should central bank persist with inflation targeting? The role of central banks as an anchor for price stability remains crucial. But in the post-crisis environment, central banks are expected to ensure stability in a broader sense than just price stability. In particular, it is now more or less universally recognized that central banks should have a formal mandate for financial stability.12 Because central banks are increasingly being put in charge of overseeing systemic risk in the context, as the ultimate provider of liquidity, in which central banks also focus on system-wide risks and obtain an integrated view of both the individual micro and macro prudential supervision, for Indonesia case, the IMF has recommended Bank Indonesia to have the financial system stability mandates. Such a framework would provide a sound legal basis for operations and accountability for its macro prudential work. The financial stability objective of Bank Indonesia should be explicit and aligned with its functions and powers. The specific wording of Bank Indonesias financial stability objective should be carefully crafted to avoid creating expectations that Bank Indonesia cannot fulfill. The wording should not reflect Bank Indonesia full responsible for handling financial crisis. All Bank Indonesias functions and objectives should be clearly stated and mandated in the Bank Indonesia Act. The mandate shall comprise a consistent set of objective, functions, policy instruments, and legal powers. This is because the policy taken has allowed public question and political interference in supervisory actions, which could caused a slowing down decision making process and occasionally paralyzing the prudential system. Therefore, central bank needs legal basis and also effective coordination among authorities involved, in which responsibility for financial stability cannot be beared solely to the central bank, and therefore must be shared by the government, the central bank and other regulators. As for Indonesia, there are three authorities involved in Indonesia financial system, namely Bank Indonesia, Indonesia Deposit Insurance Corporation, and Ministry of Finance. This financial stability mandate will raise some concerns to be addressed further, namely central bank independence,

financial stability measures which is often carry a cost, and greater considerations with government.13 Even though the role of capital market and non bank financial industry in Indonesias financial system is less crucial than banking sector, the Ministry of Finance has important role in maintaining financial stability by guaranteeing an emergency liquidity support provided by Bank Indonesia to illiquid-systemic bank. Minister of Finance also preside the Committee of Financial System Stability which sets the policy for crisis prevention or crisis management, because the cost of crisis resolution will burden the Government Budget. From my point of view, the central bank, therefore needs enhancing powers to influence macro-prudential conditions. As a conclusion, learning from the financial crisis in the period of 1990s and the effort to response the global financial crisis 2008, the need to push back the boundaries of central banks conventional mandate to do such intervention on financial sector in order to prevent the collapse of the financial system must be precisely designed on the statute to legitimate a mandate of central bank in handling financial stability. Indeed, well-built micro and macro prudential supervision are essential elements in maintaining financial stability. Strong good corporate governance, risk management and qualified bank supervisors have also contribute to the development of sound national banking system significantly. Moreover, good coordination among the authorities and, without any intention to simplifying the situation, quick and proper responses could be a pivotal factor in preventing contagious effect of a crisis.

12 Herve Hannoun, Deputy GM, Bank for International Settlements: The expanding role of central banks since the crisis: what are the limits?, BIS, June 2010

13 Under current regime, Indonesia adopts fragmented supervisory agency for financial sector. Bank Indonesia as the central bank is authorized as a banking supervisor both compliance based supervision and risk based supervision. While Indonesia Deposits Insurance Corporation (IDIC)s main task is to provide (a limited) guarantee for deposits and to participate in maintaining banking system stability. The aim of guaranteeing the deposits is to maintain the publics trust in the banking system and to protect depositors. In this regards, any bank operates in Indonesia is mandatory to be a member of IDICs guarantee scheme. On the other hand, the Ministry of Finance is a capital market and non bank financial industry supervisor. Currently Government of Indonesia is preparing draft law to integrate financial supervisory agency into single instruction (FSA)

4

Peranan Hukum Dalam Krisis Perekonomian (Dunia)Oleh: Dr. Dian Ediana Rae, SH., LL M.(Dosen Luar Biasa Hukum Perbankan/Keuangan/Perbankan Universitas Indonesia, Universitas Tarumanegera dan Universitas 17 Agustus 1945/Kepala Perwakilan Bank Indonesia-London)

Pendahuluan Dalam bukunya yang baru saja diterbitkan pada akhir tahun 2010 yang lalu, mantan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyatakan bahwa pasar memerlukan apa yang tidak bisa dibuatnya sendiri yaitu moral. Pendapat ini sebenarnya bukan pendapat baru tetapi semakin menegaskan berbagai tulisan yang dibuat oleh banyak penulis yang mengupas masalah krisis ekonomi yang terjadi dewasa ini yang mempersalahkan pasar yang tidak bermoral. Pendapat Gordon Brown ini tentu saja tidak diragukan kebenarannya, dengan moral yang baik tentu saja pada dasarnya semua aktivitas manusia, tidak saja persoalan perekonomian, pada hakekatnya akan berjalan dengan baik. Sebagai seorang dosen ilmu hukum (ekonomi) tentu saja pernyataan seperti ini sangat menggelitik karena menyentuh filosofi dasar kenapa masyarakat, ditengahtengah perkembangan moral agama dan moral sosial, masih membutuhkan hukum. Hukum dalam tataran filosofis secara pengertian sederhana dimaksudkan untuk menjamin kehidupan manusia yang tertib dengan menghormati hak dan kewajiban dalam semua aktivitas kehidupannya secara normatif, dimana setiap pelanggaran hak dan kewajiban akan memiliki implikasi hukum. Dengan adanya hukum yang baik dan ditegakkan secara benar akan dapat ditekan sekecil mungkin semangat naluri dasar manusia (basic instinc) yang cenderung mementingkan diri sendiri (selfinterest) dan bahkan rakus (greedy). Tanpa adanya keterlibatan hukum yang efektif, re-introduksi aspek moral dalam aktivitas perekonomian semata hanya akan mengakibatkan semua proses ekonomi tergantung kepada sesuatu yang penuh ketidakpastian. Adalah benar apa yang dikatakan oleh Gordon Brown apabila pengertian moral dimaksudkan sebagai sesuatu yang diharapkan dilakukan para pelaku bisnis dalam kondisi kekosongan hukum yang mengatur transaksi bisnis secara sehat. Kondisi ini terlihat dari fakta yang terjadi dimana krisis terjadi bukan karena terjadinya pelanggaran hukum, melainkan karena apa yang disebut sebagai financial

engeenering dan excessive risk taking dalam transaksi ekonomi. Dengan demikian, justru disinilah letak persoalan yang utama yaitu terjadinya pelemahan atau bahkan pembusukan peranan hukum didalam pengelolaan transaksi perekonomian yang demikian dinamis dan berisiko. Hukum lebih sering dianggap sebagai faktor penghambat inovasi daripada sebaliknya. Hukum kini dihadapkan pada tantangan yang tidak pernah terjadi sebelumnya (unprecedented) ditengah-tengah dalam situasi perekonomian global yang bergerak dengan cepat dengan persoalan yang semakin rumit, luas dan berisiko. Hukum harus membuktikan peranannya yang besar didalam mendorong daya saing perekonomian bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan ditengah gejolak dan komplikasi transaksi perekonomian. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila para pihak yang terlibat dengan hukum memiliki pemahaman ekonomi dan bekerjanya transaksi perekonomian dengan baik. Krisis Ekonomi dan Keuangan: Perlunya Peningkatan Peranan Hukum Perkembangan yang terjadi dalam transaksi perekonomian masyarakat yang disertai dengan proses globalisasi perekonomian merupakan tantangan terbesar bagi perkembangan ilmu hukum ekonomi dewasa ini. Ilmu hukum sebagai ilmu normatif, nampaknya belum dapat memberikan kontribusi yang nyata didalam upaya mengelola proses perkembangan transaksi perekonomian dan proses globalisasi yang dewasa ini berjalan dengan sangat cepat. Globalisasi telah membuat negara-negara di dunia in menjadi saling terkait dan saling tergantung (interdependent). Interdependensi ini di satu sisi telah memberikan dampak positif berupa peningkatan kegiatan perdagangan dan investasi antar negara sehingga telah membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, tetapi disisi lain globalisasi ini juga telah menimbulkan tambahan risiko berupa kerawanan

5

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

(vulnerability) dalam perekonomian, dimana masalah ekonomi yang timbul di suatu negara akan dengan mudah mengenai negara lainnya. Terjadinya persoalan ekonomi dalam skala makro tidak dapat dilepaskan dari perilaku pelaku bisnis dalam tingkat mikro. Kita sudah menyaksikan berbagai skandal yang terkait dengan pengelolaan bisnis, baik di Indonesia maupun diberbagai negara yang menuntut perhatian khusus para praktisi dan akademisi hukum untuk merespon persoalan tersebut dengan memberikan perhatian khusus terhadap pengembangan hukum korporasi, dan hukum-hukum khusus seperti hukum perdagangan internasional (publik), keuangan dan perbankan, hukum pasar modal. Disamping itu, perlu pula membenahi hukum yang mengatur pemberi jasa keuangan seperti Akuntan Publik, penasehat hukum, penasehat keuangan. Demikian pula perbaikan perlu dilakukan di bidang hukum yang terkait dengan kebijakan persaingan usaha dan perlindungan konsumen (market conduct and consumers protection). Hukum dibidangbidang ini harus dijadikan terintegrasi dan saling mendukung, dan hal ini tentu saja memerlukan rekonstruksi pengajaran dan pembangunan infrastruktur hukum yang besar. Beberapa kali krisis yang dialami oleh Indonesia maupun negara-negara lainnya telah menimbulkan kerugian yang luar biasa, baik kepada Pemerintah Indonesia maupun kepada seluruh pelaku bisnis itu sendiri. Kondisi yang berulang ini telah menimbulkan pertanyaan yang serius mengenai peranan dan kedudukan hukum dalam keseluruhan sekuen krisis ekonomi tersebut, baik dalam konteks peran pencegahan (preventive role) ataupun dalam konteks peranan penyelesaian krisis (curative role). Hukum seolah menjadi penonton yang pasif dari bekerjanya semua mekanisme pasar dengan segala konsekwensinya terhadap kehidupan perekonomian kita. Peranan hukum sering disamakan dengan peranan pelayan yang harus bisa melayani para pelaku bisnis dan membersihkan piring kotor, ketika terjadi persoalan kemudian. Dalam ranah perdata peranan konsultan hukum dalam penanganan suatu transaksi perekonomian tidak sepenuhnya bisa independen menghadapi kekuatan korporasi. Demikian pula di ranah publik, peranan hukum dalam perumusan peraturan perundang-undangan hanya sebatas menilai adanya inkonsistensi atau tidak dengan berbagai peraturan

perundang-undangan lainnya, tapi tidak atau belum diberikan peranan didalam perumusan rancang bangun substansi peraturan perundang-undangan, termasuk peranan didalam melakukan penilaian atas risiko terhadap kesehatan institusi dan atau sistem ekonomi. Demikian pula didalam pelaksanaan penanganan masalah hukum yang timbul, baik sebagai akibat transaksi bisnis biasa maupun akibat pengambilan kebijakan ekonomi otoritas perekonomian, dunia hukum kita masih menghadapi kendala kredibilitas yang serius. Dalam banyak kasus penyelesaian masalah hukum tidak menghasilkan keputusan yang berkualitas, bahkan semakin menciptakan ketidakpastian hukum. Banyak keputusan pengadilan tidak bisa dijadikan precedent yang baik dalam memprediksi arah perilaku ekonomi atau kebijakan ekonomi di masa mendatang. Kondisi ini telah mengakibatkan biaya yang tidak sedikit terhadap keuangan negara, keuangan pelaku bisnis dan juga risiko reputasi terhadap banyak pejabat pengambil keputusan. Pertanyaannya adalah bagaimana untuk selanjutnya hukum dapat memainkan peran yang lebih berarti didalam ikut mendorong pelaksanaan aktivitas ekonomi yang lebih predictable, secure dan risk free atau paling tidak less risky didalam dunia yang semakin mengglobal dan terintegarasi ini. Nampaknya diperlukan perubahan paradigma (paradigm shift) yang luar biasa didalam kita melakukan perumusan dan penegakan hukum ekonomi dewasa ini, perlu keterlibatan langsung (hands on approach) dari para ahli hukum didalam semua proses transaksi perekonomian, atau bahkan instrusif. Perubahan paradigma berpikir juga terkait dengan orientasi jurisdiksi. Logika bisnis sedang bergerak ke arah global, ilmu hukum itu sendiri masih sangat berorientasi secara domestik. Dewasa ini banyak norma, standar, prinsip-prinsip, dan aturan dalam kegiatan perekonomian, termasuk penegakan aturannya (enforcement) dilakukan oleh berbagai organisasi Internasional publik maupun privat. Di banyak negara, kini pemerintahan tidak lagi menjadi pembuat aturan (rule-makers) tapi menjadi penerima aturan (rule takers). Globalisasi norma, standar, prinsip-prinsip, aturan-aturan dan penegakannya merupakan bentuk globalisasi yang paling menantang untuk dunia hukum. Globalisasi dengan demikian telah meningkatkan komplikasi didalam merumuskan peraturan perundangundangan nasional. Oleh karena itu penyusunan peraturan perundang-undangan bisa dipastikan tidak akan sempurna tanpa penguasaan yang komprehensif dari semua aturan

6

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

terkait dan komitmen internasional. Peraturan perundangundangan tidak saja harus compatible dengan praktekpraktek internasional terbaik (International best practices), tetapi juga harus berdaya saing (competitive) terhadap negara-negara lain. Masalah ini telah menimbulkan banyak persoalan serius didalam penanganan perumusan peraturan perundang-undangan nasional, pemahaman pelaku bisnis, dan penyelesaian masalah hukum sehingga menjadi tantangan tersendiri untuk para praktisi hukum dan kalangan akademisi. Sampai dengan saat ini persoalan utama yang menghambat pengembangan perekonomian nasional adalah aspek kepastian hukum dari tahap penyusunan peraturan perundang-undangannya sampai kepada tahap penegakkannya. Kebijakan yang dilakukan oleh berbagai negara didalam mengatasi krisis juga menarik untuk dicermati dari aspek paradigma hukum ekonomi yang dewasa dewasa ini berlaku. Langkah yang telah dilakukan berbagai Pemerintahan telah menimbulkan pertanyaan filosofis mengenai batas antara Pemerintah dan Pasar (redrawing the boundaries between government and markets). Krisis keuangan yang melanda tersebut telah menuntut pemerintahan di dunia untuk menjadi semakin intrusif kedalam kegiatan bisnis. Dalam pengamatan penulis, krisis yang terjadi ini antara lain disebabkan adanya jarak yang cukup lebar antara perkembangan pasar keuangan dan pemahaman regulator. Hal ini terjadi antara lain karena beberapa hal: Pertama, pendekatan economic orthodoxy yang menjauhkan regulator (pemerintah) dari pasar; Kedua, terlalu tergantungnya kegiatan ekonomi terhadap mekanisme pasar yang cenderung mengembangkan sikap kepentingan pribadi dan rakus (greedy) didalam memaksimalkan share holders values; Ketiga, kekurang mampuan regulator didalam memahami komplikasi perkembangan instrumen keuangan dan dampaknya terhadap kesehatan dan integritas sistem keuangan. Keempat, pengembangan komunikasi antara regulator dan para pelaku ekonomi yang masih terbelakang dan rigid yang masih yang masih memelihara pemikiran bahwa kepentingan kedua lembaga ini berbeda. Inovasi Transaksi Perekonomian dan Globalisasi Ekonomi: Tantangan Dunia Hukum Menarik untuk melihat perkembangan hubungan antara

hukum dan ekonomi di masa mendatang yang ditandai dengan kemajuan teknologi, inovasi transaksi perekonomian dan globalisasi ekonomi. Bisakah hukum memainkan peranannya didalam menjaga ketertiban kegiatan perekonomian yang ditandai dengan keseimbangan antara manfaat bagi pelaku bisnis dan perlindungan kepentingan umum. Persoalan hubungan hukum dan ekonomi menyentuh hal yang lebih mendasar yaitu ketidakmampuan hukum memerankan posisinya sebagai the guardian of the sound economic transaction as well as economic stability. Persoalan yang dihadapi hukum ekonomi, bukan saja karena ketidakmampuan sistem hukum untuk mengejar praktek transaksi dan kebijakanekonomi yang terjadi, melainkan terjadinya jurang pengetahuan (knowledge gap) yang akut diantara perumus peraturan perundang-undangan dengan para pelaku transaksi perekonomian yang mengakibatkan deteksi dini dari setiap permasalahan selalu terlambat. Hukum nampaknya gagal untuk bisa memahami dengan baik perkembangan dinamika transaksi perekonomian yang cenderung sangat teknis dan kompleks. Hukum oleh karenanya dihadapkan kepada wilayah yang tidak atau kurang diketahuinya. Hukum bahkan dapat dikatakan ikut bertanggung-jawab didalam menciptakan sistem yang selfdefeating seperti dalam konteks hukum korporasi yang medorong berkembangnya model kepemilikan saham dan penciptaan instrumen yang melegalisir pengambilan risiko dan utang yang berlebihan (excessive risk taking dan excessive leverage) dalam pengelolaan dana masyarakat yang pada gilirannya dapat membahayakan perekonomian secara makro. Dalam kenyataannya sistem hukum juga harus mampu menangani kecenderungan prilaku manusia (human factor) dalam aktivitas perekonomian seperti sifat mementingkan diri sendiri dan serakah (self-interest and greed) dan moral hazard dari suatu kebijakan ekonomi. Sistem hukum harus mampu untuk mendeteksi and mencegah setiap kemungkinan risiko terhadap para pihak didalam transaksi perekonomian, dan bahkan bisa mendeteksi kemungkinan dampak terhadap sistem perekonomian secara keseluruhan. Persoalan ini tentu hanya mudah diucapkan tapi tidak gampang dilakukan, masalah teknikalitas transaksi dan self interest and greed begitu tersembunyi dan tidak gampang diketahui sebelum masalah benar-benar menjadi serius. Kita bisa dengan jelas

7

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

melihat dalam hal terjadi kegagalan suatu bank, baik di Indonesia maupun di negara lainnya. Kesulitan seperti ini sebenarnya bisa diatasi dengan studi yang mendalam dan sistematis terhadap kekayaan precedent/jurisprudensi yang dimiliki ilmu hukum sehingga akan dapat memberikan clues untuk banyak perilaku transaksi perekonomian dewasa ini dan di masa mendatang.

dan mampu menangani berbagai persoalan yang menjadi inti aktivitas bisnis itu sendiri seperti aspek efisiensi dan daya saing, bekerja atau tidak bekerjanya pasar (market failure), dan aspek risiko dari setiap transaksi perekonomian. Hanya dengan pemahaman yang baik dari aspek ini maka kita bisa menciptakan regulasi yang lebih baik, interpretasi yang cerdas, dan implementasi yang lebih konsisten. Aturan yang semata-mata menggantungkan kepada regulasi

Memahami aspek hukum suatu transaksi perekonomian tanpa memahami transaksi perekonomian itu sendiri telah menjadikan hukum yang tidak efektif dan tidak relevan. Kita menyaksikan suatu kerancuan kepada kerancuan lainnya dalam penanganan sengketa hukum dari suatu transaksi atau pemahaman aspek hukum dari suatu kebijakan ekonomi, yang justru semakin menempatkan negara kita dalam situasi ekonomi yang kurang kompetitif dan kepastian hukum yang semakin memburuk. Didalam dunia yang global dan kompetitif seperti sekarang, suatu sistem hukum harus mampu memberikan nilai tambah yang signifikan dalam mendorong inovasi dengan tetap memelihara tingkat kepastian berusaha yang tinggi sehingga hukum bisa memberikan kontribusi kepada daya saing suatu negara dalam persaingan global dewasa ini. Tekanan penyesuaian hukum nasional untuk menjadi hukum yang fungsional dalam mendorong efisiensi dan daya saing ekonomi nasional semakin meningkat dengan keikutsertaan Indonesia diberbagai forum ekonomi bilateral, regional maupun internasional. Adalah jelas bahwa akan sulit untuk suatu negara untuk mempertahankan daya saing perekonomiannya tanpa kerangka hukum dan regulasi yang dapat mendorong efisiensi dan daya saing perekonomian suatu negara. Sistem hukum yang bekerja dengan baik mendorong kegiatan pasar keuangan dan lembaga perantara (intermediary). Membedakan negara-negara berdasarkan efisiensi dari sistem hukumnya dalam mendorong transaksi keuangan lebih berguna dibandingkan dengan membedakan negara-negara berdasarkan apakah negara tersebut memiliki sistem keuangan berdasar bank atau berdasar pasar (Jakob De Haan, Sander Oosterloo, and Dirk Schoenmaker, 2009). Untuk bisa memainkan peranan hukum seperti itu tentu saja tidak mudah karena para ahli hukum harus memahami

kehati-hatian (prudential regulation) dan pengawasan berbasis risiko (risk based supervision) sebagaimana dipraktekan didalam dunia keuangan diberbagai negara terbukti tidak mampu mengurangi pengambilan risiko yang berlebihan (excessive risk taking) sehingga tidak mampu untuk mencegah terjadinya krisis keuangan dan perekonomian yang telah terjadi berulang-ulang. Sistem penilaian risiko yang diterapkan oleh lembaga pengawas maupun lembaga pemeringkat (rating agencies) terbukti tidak mampu mengungkapkan risiko tersembunyi karena rekayasa keuangan/akutansi dan hukum (financial/accounting and legal engeenering) yang disinyalir banyak berkembang selama ini, dan bahkan banyak diapresiasi di banyak institusi keuangan dalam rangka mendorong peningkatan keuntungan yang sebenarnya tidak dengan benar merefleksikan transaksi ekonomi nyata. Ketidakpercayaan (distrust) terhadap regulator keuangan dan lembaga pemeringkat dewasa ini masih terjadi dibanyak negara. Krisis keuangan dan ekonomi dunia dewasa ini berdampak luar biasa terhadap kesejahteraan dan prospek kesejahteraan rakyat kedepan. Krisis yang oleh Gordon Brown disebut sebagai The First Crisis of Globalization telah menunjukkan persoalan yang sangat fundamental dari dinamika transaksi perekonomian yang selama ini berlangsung, dan dalam waktu bersamaan disertai dengan proses liberalisasi dan globalisasi perekonomian dunia. Proses inovasi perekonomian dan globalisasi itu sendiri dilakukan dengan hanya melibatkan peranan ahli hukum secara marginal. Oleh karena itu kedepan para perumus kebijakan harus benar-benar memperhatikan pendekatan holistik didalam mendorong dinamika dan daya saing ekonomi nasional. Investasi dibidang kajian penelitian interdisipliner harus menjadi investasi utama, baik untuk pihak eksekutif, legislatif maupun yudikatif didalam merumuskan kebijakan perekonomian nasional dan memberikan suatu komitmen dalam kesepakatan global. Globalisasi perekonomian telah menjadi bagian dari

8

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

kehidupan nyata masyarakat kita, demikian pula halnya demokratisasi kehidupan perekonomian nasional. Hukum ekonomi pada hakekatnya harus mampu memainkan peranannya yang lebih menonjol dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu, sistem hukum ekonomi nasional harus dijadikan sistem hukum yang efisien dan efektif didalam mendorong transaksi perekonomian nasional dan global. Paradigma berpikir para perumus peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, para penegak dan praktisi hukum ekonomi kita harus integrated, mengglobal dan tidak cenderung tunduk kepada kelompok kepentingan domestik semata. London, 2011.

9

Halaman ini sengaja dikosongkan

eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan Transaksi ElektronikOleh: Josua Sitompul, SH., IMMSecurity world and legal world are really hard to combine. (M.B. Voulon, Consultant in Governance, Law and ICT)

ABSTRAK: Perkembangan dan penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang diterapkan dalam transaksi komersial secara elektronik memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat, dan baik secara perlahan-lahan maupun secara radikal sedang mengubah kebiasaan, pola pikir dan budaya masyarakat, serta peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, perkembangan dan penerapan teknologi tersebut menyisakan setidaknya dua masalah yang masih terus dibahas dan dicari titik temunya: legalitas dan keamanan informasi. Dalam transaksi yang dilakukan secara elektronik, para pihak tidak perlu bertemu muka secara langsung, dan peranan saksi semakin tidak terlihat. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme yang dapat digunakan oleh para pihak untuk memastikan identitas dan kecakapan para pihak serta untuk memastikan persetujuan yang diberikan masing-masing pihak. Tanda tangan elektronik adalah salah satu teknologi yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang di maksud diatas. Penyelenggara sertifikasi elektronik merupakan pihak ketiga yang dapat dipercaya untuk memberikan tanda tangan elektronik. Terkait dengan hal ini, ada dua pertanyaan besar: (i) peranan notaris dalam penyelenggaraan transaksi elektronik, dan (ii) kemungkinan pengaturan akta notaris secara elektronik sebagai akta autentik di Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengangkat wacana dalam menjawab kedua pertanyaan di atas dengan melakukan komparasi awal antara pengaturan penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan peranan notaris di Belanda dan di Indonesia. Dari perbandingan tersebut, terlihat jelas bahwa sebagai negara-negara yang menganut Civil Law, Belanda dan Indonesia mengatur notaris sebagai profesional yang memiliki kewenangan publica fides. Negara-negara tersebut mengakui akta notaris sebagai akta autentik. Lebih lanjut, notaris di Belanda telah mengembangkan bidang baru bagi notaris, yaitu sebagai registration authority (RA) dalam bidang penyelenggaraan sertifikasi elektronik. Peranan notaris

sebagai RA juga dapat diterapkan di Indonesia karena dimungkinkan berdasarkan UU Jabatan Notaris dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Peranan notaris sebagai RA harus diatur dalam peraturan perundangundangan. UU ITE juga mengatur bahwa akta autentik elektronik belum dapat diterapkan. Hal ini sejalan dengan konsep publica fides. Oleh karena itu, pengaturan ini perlu dipertahankan Development and deployment of information and communication technology (ICT) in electronic commercial transaction have provided many benefits for societies. ICT is changing habits, paradigm, and law and regulations. However, there are two issues remain: legal and security issues. In electronic transaction, parties have no need to meet their counterparts personally and directly; the importance of witness is also getting blurred. Therefore, it is necessary for parties to establish mechanisms to ensure the identity and capability of their counterparts and to ensure their consent. Electronic signature is one of many technologies developed to solve the issues. Certification Authority (CA) is a service provider that can act as trusted third party to deliver electronic signature. Discussion related to this topic raised two main questions: (i) notaries role in certification authority scheme, and (ii) the possibility to regulate electronic notaries deed as authentic document in Indonesia. This paper attempts to address the issues through comparison of regulations in Netherland and Indonesia. From the comparisons, it is sufficiently clear that as civil law countries, Netherland and Indonesia regulate notaries as professional who have publica fides. The countries acknowledge notary deed as authentic instrument. Further, notaries in Netherlands have developed specialization in electronic transaction process, particularly in certification authority area; notaries can be part of electronic transaction process as registration authority (RA). However, it is not possible for notaris to establish electronic notarial deed as authentic instrument. Notaries role as RA can be implemented in Indonesia since

11

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Notary Law and Electronic Information and Transaction Law (EIT) open the possibility; implementation regulation should follow. EIT also regulate that it is not possible to establish electronic notary deed. Such provision should not be revised. A. Pendahuluan Perkembangan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat: komunikasi yang semakin cepat dengan biaya yang semakin murah dan dapat dilakukan dari berbagai tempat dan waktu di dunia; transaksi komersial dengan sistem online di berbagai bidang seperti di perbankan, penerbangan, atau perasuransian; serta akses terhadap informasi yang semakin luas. Perkembangan dan penerapan teknologi informasi tersebut baik secara perlahan-lahan maupun secara radikal mengubah kebiasaan, pola pikir dan budaya masyarakat, serta peraturan perundang-undangan. Salah satu perubahan yang terjadi adalah dalam bidang transaksi elektronik yang bersifat komersial. Menurut M.B. Voulon (2011)1 dalam transaksi elektronik yang bersifat komersial, perkembangan teknologi menyisakan setidaknya dua masalah yang masih terus dibahas dan dicari titik temunya: legalitas dan keamanan informasi. Legalitas berbicara mengenai keabsahan suatu transaksi elektronik, termasuk mengenai informasi yang dipertukarkan secara elektronik, dan dapat/tidaknya suatu informasi elektronik digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Keamanan informasi, di lain pihak, menekankan pada perlindungan terhadap data untuk menjaga kerahasiaan (confidentiality), keutuhan (integrity), dan ketersediaan (availability) data. Para pihak yang melakukan transaksi komersial secara konvensional bertemu muka dan menyepakati hak dan kewajiban yang akan mengikat mereka secara hukum. Untuk itu, mereka harus cakap dalam melakukan perbuatan hukum dan memiliki itikad baik (good will). Dalam transaksi komersial ada resiko, dan resiko dapat dipengaruhi oleh, antara lain, nilai transaksi dan adanya itikad baik dari pihak lawan (counter part). Selain itu, muncul kebutuhan untuk membuat kesepakatan dalam

bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh para pihak sehingga diperlukan kertas dan pena untuk menuangkan hak dan kewajiban sehingga masing-masing pihak mengingatnya dan tidak memungkirinya. Para pihak juga menggunakan pengaman lain dengan meminta kehadiran saksi dalam transaksi yang mereka lakukan untuk melindungi kepentingan mereka masing-masing. Para pihak juga dapat meminta kehadiran pejabat, yaitu orang yang memiliki kewenangan untuk membuat dokumen dimaksud dan menyimpannya, dan pejabat yang dimaksud mengukuhkan kesepakatan antara pihak. Akan tetapi, dalam transaksi yang dilakukan secara elektronik, para pihak tidak perlu bertemu muka secara langsung. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai identitas dan kecakapan mereka dalam melakukan perbuatan hukum. Peranan saksi juga semakin tidak terlihat. Dengan demikian, dalam transaksi elektronik diperlukan mekanisme yang dapat digunakan oleh para pihak untuk memastikan identitas dan kecakapan para pihak serta mekanisme untuk memastikan persetujuan yang diberikan masing-masing pihak. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang di maksud diatas, dikembangkan teknologi untuk mengidentifikasi dan mengautentikasi orang yang melakukan transaksi secara elektronik, yaitu bahwa orang tersebut adalah orang yang dimaksud dan bahwa dia-lah yang memberikan persetujuan terhadap transaksi yang dilakukannya. Salah satu teknologi yang dikembangkan ialah tanda tangan elektronik. Penyelenggaraan tanda tangan elektronik dapat dilakukan oleh para pihak atau menggunakan pihak ketiga yang dapat dipercaya (trusted third party) yang mengeluarkan sertifikat tanda tangan elektronik bagi pengguna. Berbicara mengenai tanda tangan elektronik dan pihak ketiga yang dapat dipercaya, muncul diskusi mengenai peranan notaris dalam transaksi elektronik. Notaris adalah pejabat yang berwenang untuk mengautentikasi tanda tangan dan juga membuat akta. Berdasarkan diskusidiskusi tersebut, muncul dua pertanyaan besar: (i) peranan notaris dalam penyelenggaraan transaksi elektronik, dan (ii) kemungkinan pengaturan akta notaris secara elektronik sebagai akta autentik di Indonesia.

1

Wawancara tanggal 8 April 2011.

12

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengangkat wacana dalam menjawab kedua pertanyaan di atas yang didasarkan pada perbandingan dengan pengaturan eNotaris di Belanda. B. Konsep eNotaris Konsep eNotaris masih merupakan konsep yang ambigu dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu, sebelum membahas mengenai konsep yang dimaksud, perlu dipaparkan secara singkat mengenai beberapa konsep yang membangun konsep eNotaris. 1. Tanda Tangan Dalam suatu perbuatan hukum, tanda tangan memiliki banyak fungsi. Pada dasarnya, tanda tangan melekat pada si pemilik tanda tangan itu sendiri. Dengan demikian, ketika seseorang membubuhkan tanda tangannya, tanda tangan itu merujuk pada identitas pemilik yang sekaligus merupakan alat identifikasi. Selain itu, tindakan yang dimaksud mengindikasikan bahwa penanda tangan hadir dan terlibat dalam suatu perbuatan hukum2. Di sisi lain, kehadiran tanda tangan dalam suatu dokumen menunjukkan maksud dan tujuan perbuatan hukum yang tercantum dalam dokumen, dan bahwa penanda tangan menyetujui isi dari dokumen tersebut serta mengikatkan diri dalam suatu perbuatan hukum yang diatur dalam dokumen yang dimaksud.

notaris memiliki publica fides, yaitu kewenangan untuk mengautentikasi dan menyatakan kebenaran identitas para pihak, termasuk tanda tangan mereka. Selain itu, notaris berwenang untuk menentukan keakuratan dan kebenaran informasi yang diberikan para pihak mengenai perbuatan hukum yang mereka lakukan. Semua informasi yang dimaksud ditulis dalam suatu akta yang dibuat berdasarkan format tertentu3. Oleh karena itu, notaris bertanggung jawab atas kebenaran identitas para pihak, keautentikan tanda tangan mereka, dan keabsahan perbuatan hukum yang mereka lakukan. Notaris Latin menekankan tanggung jawab profesi dalam suatu transaksi daripada tanggung jawab kepada para pihak karena notaris memberikan layanan kepara para pihak yang berkepentingan, dan bukan klien4. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, kemandirian dan ketidakberpihakan merupakan prinsip-prinsip yang harus diterapkan. Yang dimaksud dengan keabsahan transaksi ialah semua fakta hukum dalam transaksi haruslah benar, misalnya: kebenaran waktu, kesesuaian transaksi dengan peraturan perundang-undangan, dan pemahaman para pihak terhadap transaksi yang mereka lakukan. Untuk itu, para pihak harus menghadap notaris dan notaris harus memeriksa semua persyaratan tersebut. Semua detail transaksi harus tertuang dalam akta

2. Notaris Civil Law dan Common Law Penjabaran mengenai peran dan fungsi notaris dalam sistem Civil Law dan Common Law sangat penting dalam mendiskusikan konsep eNotaris. Peran dan fungsi notaris dalam kedua sistem hukum ini memiliki kesamaan yang dapat dilihat mulai dari jaman Romawi, tetapi peran dan fungsi notaris menjadi berbeda semenjak abad pertengahan. Notaris Civil Law lebih dikenal dengan Latin Notary, sedangkan notaris Common Law dikenal dengan Notaries public.3

notaris yang merupakan dokumen yang dibuat berdasarkan format baku atau standar tertentu. Notaris harus menyimpan dan memelihara protokol, yaitu kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara. Dengan kata lain, notaris adalah wali negara yang diberikan wewenang untuk menyimpan dan memelihara dokumen negara5.

Notaris Civil Law merupakan pejabat publik yang diangkat oleh negara. Dalam konsep hukum ini,2 Yin-Miao (Vicky), Liu, 2004, Thesis, Visually Sealed and Digitally Signed Electronic Documents: Building on Asian Tradition, Information Security Research Centre Faculty of Information Technology, Queensland University of Technology. 4

Pedro A. Malavet, Counsel for the Situation: The Latin Notary, a Historical and Comparative Model, January 1996, Hastings Intl & Comparative Law Review, Vol. 19, No.3, hal. 440. Council of the Notariats of the European Union, Comparative Study on Authentic Instruments: National Provisions of Private Law, Circulation, Mutual Recognition and Enforcement, Possible Legislative Initiative by European Union England, France, Germany, Poland, Romania, Sweden, Study for the Europen Parliament No IP/C/JURI/IC/2008-019. Pedro A. Malavet, Op. Cit. hal. 391.

5

13

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Untuk menjadi notaris, seseorang harus telah mencapai usia tertentu (misalnya 25 tahun), dan telah menyelesaikan studi yang khusus di bidang kenotariatan. Tidak hanya itu, untuk menjadi notaris, seseorang juga harus telah lulus ujian notariat dan telah pernah bekerja di kantor notaris untuk waktu yang ditentukan. Di lain pihak, notaris Common Law, bukan merupakan pejabat publik dan tidak memiliki kewenangan publica fides. Tugas utama notaris ialah mengidentifikasi para pihak dan mengautentikasi tanda tangan mereka. Notaris tidak memiliki kewenangan untuk memastikan keabsahan transaksi yang dilakukan para pihak. Untuk menjadi notaris dalam sistem hukum Common Law tidak diperlukan persyaratan seketat dalam sistem Civil Law. Secara umum, untuk menjadi notaris seseorang harus telah mencapai usia tertentu (misalnya 18 (delapan belas tahun) di Amerika Serikat), serta dapat membaca dan menulis dengan baik. Notaris diharuskan memiliki pemahamanpemahaman dasar mengenai hukum dan memiliki moral yang baik. Untuk menjadi notaris, seseorang harus mengajukan permohonan kepada pejabat negara dan diangkat oleh pejabat negara yang bersangkutan (misalnya gubernur, letan gubernur, atau hakim)6.

dan bukan isi dari kesepakatan para pihak. Dengan demikian, pejabat tersebut tidak berkewajiban untuk memberikan konsultasi mengenai isi kesepakatan dan bagaimana seharusnya kesepakatan tersebut tertuang dalam suatu dokumen. Ketiga, akta dibawah tangan, yaitu akta yang ditandatangani oleh para pihak tanpa diautentikasi oleh pejabat yang berwenang8. Dalam sistem Civil Law, konsep preventive justice merupakan dasar untuk memahami fungsi akta autentik. Pada dasarnya mekanisme preventive justice dalam akta autentik ialah mekanisme kontrol yuridis yang diterapkan dalam suatu transaksi untuk memberikan kepastian hukum melalui autentikasi terhadap legalitas dan validitas suatu dokumen yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang9. Oleh karena itu, akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (res judicata probative value binding effect without the possibility of further judicial review) dan dapat dipaksakan kepada para pihak. Dengan demikian para pihak dapat mencegah proses peradilan yang memakan waktu dan biaya untuk memeriksa keabsahan akta yang merupakan bukti bagi para pihak, termasuk ketentuan-ketentuan dalam akta tersebut. Kehadiran pejabat (misalnya notaris) dalam

3. Akta Autentik Dalam sistem Civil Law, secara umum, dikenal tiga bentuk dokumen. Pertama, Akta autentik (authentic instruments). Akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (probative value) karena dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan publica fides dengan kualifikasi yang ketat sebagai profesional. Dalam hal terjadi sengketa, akta notaris merupakan dokumen yang langsung dapat dijadikan alat bukti tanpa perlu meminta notaris memberikan kesaksian di hadapan pengadilan7.

pembuatan suatu akta autentik dalam sistem Civil Law menunjukkan adanya kewenangan dari negara dan kompetensi untuk membuat akta. Oleh karena itu, kewajiban untuk tidak berpihak (impartial) adalah salah satu syarat utama dalam menjalankan profesi sebagai pejabat yang dimaksud. Pejabat yang berwenang itu telah melengkapi fungsi hakim sebagai pihak yang menyelesaikan sengketa mengenai ketentuan yang disepakati sebelumnya oleh para pihak10. Oleh karena itu, pihak yang melakukan autentikasi tidak dapat berasal dari privat11. Pejabat pembuat akta, sebelum akta yang dimaksud ditandatangani oleh dan diserahkan kepada para

Kedua, akta yang ditandatangani oleh para pihak. Dalam hal ini, pejabat yang berwenang hanya mengautentikasi keaslian tanda tangan para pihak,8 6 7 Pedro A. Malavet, Op.Cit. Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. iv. 9

Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 9-11. Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 3.

10 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 3-4. 11 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 22-25.

14

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

pihak, harus melakukan autentifikasi dengan memastikan bahwa para pihak yang melakukan transaksi memiliki kecakapan (secara mental dan hukum), ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh para pihak tidak bertentangan dengan hukum, dan para pihak mengerti tentang apa yang mereka sepakati12. Mengingat notaris Common Law tidak memiliki kewenangan publica fides, dalam sistem Common Law secara umum, tidak dikenal konsep akta autentik. Dalam hal terjadi sengketa, akta notaris tidak dapat langsung dijadikan alat bukti. Notaris harus memberikan kesaksian di hadapan pengadilan bahwa notaris membuat akta yang disengketakan serta memberi kesaksian mengenai kebenaran identitas

para pihak dan keautentikan tanda tangan. Sistem hukum Common Law hanya mengenal adanya dokumen yang dibuat oleh para pihak yang tanda tangannya diautentikasi oleh pejabat yang berweanag, dan akta di bawah tangan13. Dalam sistem hukum Common Law dikenal adanya dokumen publik (public document), tetapi konsep ini berbeda dari konsep akta autentik karena dokumen publik adalah dokumen yang terkait dengan aktivitas dari suatu instansi pemerintah dan dikeluarkan oleh institusi pemerintah atau pejabat publik lainnya, misalnya: akta kelahiran atau kematian serta putusan pengadilan. Dengan demikian, konten dari dokumen publik adalah hal-hal yang terkait dengan publik14.

Tabel Perbandingan Notaris Civil Law dan Notaris Common Law Perbandingan Fungsi Notaris Civil Law Profesional & pejabat publik yang memiliki publica fides (governmental power administrative to authenticate or to certify) the contents of the documents Tugas utama membuat akta autentik (termasuk di dalamnya mengautentikasi fakta hukum) mengidentifikasi para pihak mengautentikasi tanda tangan menyimpan protokol (kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris) Notaris Common Law Tidak dapat dikatakan sebagai professional & bukan pejabat publik

-

identifikasi para pihak autentikasi tanda tangan

(tidak memiliki kewenangan untuk mengautentikasi fakta hukum)

Persyaratan untuk menjadi notaris

Persyaratan ketat: memiliki pendidikan hukum yang memadai dan lulus ujian serta diangkat oleh negara Dikenal Akta autentik (dibuat berdasarkan ketentuan yang ketat mengenai bentuk dan isi) Kekuatan pembuktian yang sempurna (probative value)

Persyaratan: memiliki moral yang baik, kemampuan menulis dan membaca, dan ditunjuk oleh pejabat negara Tidak dikenal - Tidak ada konsep akta autentik

Konsep Akta Autentik Sifat akta yang dibuat notaris

-

Konsekuensi dari kewenangan publica fides Akta Notaris di pengadilan Tidak perlu dibuktikan dihadapan pengadilan Notaris harus memberikan kesaksian di hadapan pengadilan

13 Pedro A. Malavet, Op.Cit. 12 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 36-37. 14 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit.

15

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

4. Tanda Tangan Elektronik Tanda tangan elektronik pada dasarnya adalah teknik dan mekanisme yang digunakan untuk memberikan kesamaan fungsi dan karakteristik tanda tangan tertulis (basah) yang dapat diterapkan dalam lingkungan elektronik (functional equivalence approach). Tanda tangan elektronik merupakan data dalam bentuk elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik yang berguna untuk mengidentifikasi penanda tangan dan menunjukkan persetujuan penanda tangan atas informasi elektronik yang dimaksud. Dengan kata lain, tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Ada berbagai jenis tanda tangan elektronik. Akan tetapi, secara umum tanda tangan elektronik dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu tanda tangan digital dan tanda tangan elektronik selain tanda tangan digital. Tanda tangan digital dihasilkan dan diverifikasi dengan menggunakan kriptografi, yaitu cabang matematika terapan yang digunakan untuk mengubah pesan ke dalam bentuk yang tidak dapat dibaca secara langsung dan kembali kepada bentuk awalnya. Tanda tangan digital menggunakan kriptografi kunci publik (public-key cryptography) yang didasarkan pada fungsi logaritma untuk menghasilkan dua jenis kunci yang berbeda tetapi saling terkait secara matematis. Kunci pertama adalah kunci privat yang digunakan untuk menghasilkan tanda tangan digital, sedangkan kunci yang kedua adalah kunci publik yang berfungsi untuk memverifikasi tanda tangan digital. Dengan demikian, tanda tangan digital telah diverifikasi apabila: (i) kunci privat digunakan untuk menandatangani pesan, (ii) pesan tidak berubah.

(EU Directive on eSignature). Dalam bagian ini dibahas secara singkat EU Directive on eSignature dan penerapannya dalam sistem hukum Belanda. a. EU Directive on eSignature EU Directive on eSignature dimaksudkan untuk memfasilitasi penggunaan tanda tangan elektronik dan mengatur akibat hukumnya. Akan tetapi, directive ini tidak mengatur mengenai penyelesaian kontrak dan keabsahannya atau mengenai kewajiban hukum lainnya tentang penggunaan dokumen yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan nasional atau peraturan Uni Eropa untuk dibuat dalam bentuk tertentu. EU Directive on eSignature mengatur tiga jenis tanda tangan elektronik sebagai berikut. 1) Tanda tangan elektronik secara umum, yaitu data dalam bentuk elektronik yang dilekatkan kepada, atau secara logis terasosiasi dengan, data elektronik lainnya dan berfungsi sebagai satu metode autentikasi15. 2) Advanced electronic signatures, yaitu tanda tangan elektronik yang memenuhi persyaratan: a) secara unik terkait dengan penanda tangan; b) mampu mengidentifikasi penanda tangan; c) dibuat dengan alat yang hanya berada dalam kuasa penanda tangan; dan d) terkait dengan data yang lain yang terkait sehingga dalam hal terdapat perubahan data dapat diketahui. 3) Advanced electronic signature yang

C. Penyelenggaraan CA & Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan CA di Belanda 1. Penyelenggaraan Certification Authority (CA) Penyelenggaraan CA di Negara Belanda terkait dengan berbagai instrumen Uni Eropa yang diterapkan dalam sistem hukum Belanda. Salah satu instrumen yang dimaksud ialah European Union Directive 1999/93/EC tentang Electronic Signature

menggunakan qualified certificate. Qualified certificate yang dimaksud harus memenuhi persyaratan tertentu dan dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikat elektronik yang telah memenuhi persyaratan terkait dengan prosedur, pengoperasian, personel, sistem, serta alat dan perangkat yang digunakan.15 data in electronic form which are attached to or logically associated with other electronic data and which serve as a method of authentication;

16

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

EU Directive on eSignature mengatur dengan tegas bahwa advanced electronic signature yang menggunakan qualified certificate dan dibuat dengan secure-signature-creation device merupakan jenis tanda tangan yang memiliki tingkat keamanan yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua jenis tanda tangan lainnya sehingga memiliki akibat hukum yang sama dengan tanda tangan tertulis, dan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan16. Namun demikian, tanda tangan elektronik lainnya masih tetap dapat memiliki akibat hukum dan dapat diajukan dalam proses peradilan17. b. Perundang-undangan di Belanda EU Directive on eSignature diterapkan di Belanda dengan mengamandemen Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), UndangUndang Telekomunikasi (Telecommunicatiewet), dan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Wet op de Economische Delicten). Tujuan pengaturan tanda tangan elektronik tersebut ialah dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik harus memiliki fungsi yang ekuivalen atau memenuhi fungsi-fungsi yang sama dari dokumen kertas dan tanda tangan konvensional. Beberapa fungsi tersebut adalah: fungsi pembuktian, fungsi informasi dan komunikasi, dan perlindungan terhadap pihak ketiga18. (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (Burgelijk Wetboek - BW Belanda) Dalam Buku III KUHPerdata Belanda telah ditambahkan satu bagian baru yaitu Section 1A tentang Electronic Transactions in Respect of Proprietary Rights (elektronisch vermogensrechtelijk rechtsverkeer). Berdasarkan Pasal 15a Buku III BW, tanda tangan elektronik memiliki akibat hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional apabila tanda tangan elektronik

tersebut menggunakan qualified certificate sebagaimana diatur dalam EU Directive on eSignature19. Dengan kata lain, pada prinsipnya, tanda tangan elektronik yang tidak menggunakan qualified certificate tidak memiliki akibat hukum yang sama seperti tanda tangan tertulis atau konvensional. Akan tetapi, para pihak yang melakukan transaksi dapat mengecualikan prinsip ini sebagaimana diatur dalam Pasal 15a (6) Buku III BW. Pengecualian tersebut harus memenuhi ketentuan pada ayat 1, yaitu sufficiently reliable, having regard to the purpose for which the electronic data are used. Berdasarkan Pasal 6:227a(2) BW mengatur bahwa sepanjang udang-undang mengharuskan dibuatnya akta autentik, maka akta tersebut tidak dapat dibuat dalam bentuk elektronik. Akan tetapi, dalam BW telah diatur kemungkinan akta dibawah tangan yang dibuat secara elektronik. (2) UU Telekomunikasi (Telecommunicatiewet) Pasal 15a Buku III BW mengacu kepada Telecommunicatiewet. Menurut Pasal 1.1 (ss) yang dimaksud dengan sertifikat elektronik ialah sertifikat yang digunakan untuk memverifikasi tanda tangan elektronik seseorang dan memastikan identitas orang tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan qualified certificate ialah sertifikat yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 18.15, paragraf kedua dan dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 18.15, paragraf pertama20. Akan tetapi, Pasal 18.15 tidak mengatur secara spesifik ketentuan mengenai persyaratan qualified certificate dan persyaratan penyelenggara sertifikasi elektronik yang dapat mengeluarkan qualified certificate. Pasal 18.15 mengatur bahwa

16 Pasal 5.1 dan lihat pertimbangan EU Directive on eSignature butir 20. 17 Pasal 5.2 EU Directive on eSignature. 18 Corien Prins, Regulating Electronic Commerce in the Netherlands, vol 6.4 ELECTRONIC JOURNAL OF COMPARATIVE LAW, (December 2002),

19 Standar yang digunakan oleh pemerintah Belanda ialah ETSI. 20 Pasal 1.1 (tt) Telecommunicatiewet.

17

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

ketentuan mengenai kedua hal tersebut diatur oleh suatu organisasi tersendiri. Organisasi inilah yang akan melakukan audit mengenai terpenuhinya seluruh persyaratan yang dimaksud dan menerbitkan sertifikat bagi penyelenggara sertifikasi elektronik. Sertifikat inilah yang menjadi bukti bahwa penyelenggara telah memenuhi seluruh persyaratan dan dapat mengeluarkan qualified certificate21. Onafhankelijke Post en Telecommunicatieautoriteit (OPTA) adalah organisasi yang menjalankan fungsi yang diamanatkan dalam Pasal 18.1522.

bagi para pihak yang melakukan transaksi. Misalnya, dalam transaksi jual beli tanah, notaris harus memberikan layanan dan pemahaman hukum baik kepada penjual maupun kepada pembeli. Untuk menjadi notaris, seseorang harus lulusan dari fakultas hukum. Selain memberikan nasehat hukum, notaris juga menyimpan salinan perjanjian yang dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan atau berdasarkan permintaan para pihak. Akta yang dibuat oleh notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Notaris diatur dalam Wet Op Notarisambt (UU Notaris Belanda) yang diundangkan pada 1 Oktober 1999. Beberapa hal yang diatur dalam UU Notaris Belanda ialah notaris dilarang mejalankan profesi selain profesi notaris. Akan tetapi notaris dapat mengembangkan layanan jasanya dan melakukan spesialisasi, seperti dalam bidang mediasi, pertanian, dan penyelenggaraan transaksi elektronik. Notaris diawasi oleh Koninklijke Notariele Beroepsorganisatie (KNB). Pengawasan yang dimaksud mencakup penyelenggaraan layanan notaris dan biaya layanan notaris. Layanan yang diberikan oleh notaris mencakup jual beli tanah dan bangunan, membuat atau menerbitkan perjanjian, melegalisasi tanda tangan, membuat dan mengubah serta melaksanakan surat wasian, dan membuat akta pendiriaan perusahaan. Akan tetapi, berdasarkan Undang-Undang Notaris Belanda, notaris memiliki keleluasaan untuk menentukan biaya layanannya. Untuk menjalankan profesinya, seorang calon notaris harus menyerahkan rencana bisnis kepada Komite untuk dievaluasi. b. Akta Autentik dalam Sistem Hukum Belanda Dalam Wetboek van Burgeligjke van Rechtvordering (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Belanda WBR) diatur mengenai akta sebagai alat bukti. Dalam Pasal 156.1 WBR diatur bahwa akta yang ditandatangani dapat

(3) Undang-Undang Tindak Pidana Perekonomian (Wet op de Economische Delicten) Wet op de Economische Delicten mengatur bahwa pelanggaran terhadap Pasal 15d (paragraf pertama dan kedua) dan Pasal 15e (paragraf pertama dan kedua) dari Buku III BW merupakan salah satu tindak pidana di bidang perekonomian. 2. Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan CA a. Pengaturan Notaris Dalam sistem hukum Belanda yang menganut sistem hukum Civil Law, notaris merupakan profesi yang memiliki dua peran sekaligus. Di satu sisi notaris merupakan profesi yang sejajar dengan advokat yang memberikan layanan komersial kepada klien. Akan tetapi, di sisi lain, notaris sama seperti seorang hakim yang ditunjuk dan diangkat oleh Kerajaan untuk seumur hidup (sampai berumur 65 tahun). Oleh karena itu notaris juga harus bertindak secara seimbang

21 Pasal 18.16a Telecommunicatiewet. 22 Secara umum, OPTA adalah organisasi yang dibentuk untuk membangun lingkungan bisnis pos dan telekomunikasi di Belanda dan mengawasi serta mengevaluasi para pelaku usaha di bidang pos dan telekomunikasi. OPTA merupakan suatu organisasi administrasi yang bersifat independen dan melekat kepada Kementerian Perekonomian, Pertanian dan Inovasi (Ministrie van Economische Zaken, Landbow en Innovatie). Walaupun melekat, Kementerian Perekonomian tidak memiliki kontrol langsung terhadap OPTA termasuk yang keputusan yang dibuat oleh oranganisasi independen tersebut. Akan tetapi, Kementerian Perekonomian memiliki tanggung jawab secara politik dalam penunjukan dan pengangkatan Komisi OPTA, persetujuan anggaran dan kelangsungan OPTA.

18

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

dijadikan alat bukti. Akta autentik ialah akta yang dibuat berdasarkan format tertentu oleh pejabat yang berwenang23. Akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang penuh terhadap setiap orang tentang apa yang pejabat nyatakan dalam lingkup kewenangannya mengenai hal-hal yang ia amati atau nyatakan. Sedangkan berdasarkan Pasal 156.3 WBR ditegaskan bahwa akta dibawah tangan tidak termasuk dalam kategori akta autentik. 3. DigiNotar, suatu contoh DigiNotar adalah salah satu penyelenggara sertifikasi elektronik yang mengeluarkan qualified certificate di Belanda24. Organisasi ini merupakan trusted third party (TTP) yang dibentuk oleh notaris Civil Law dan spesialis IT di Belanda.

kodrati sebagai pekerja dari suatu organisasi tanpa mengindikasikan adanya kewenangan pribadi tersebut untuk mewakili organisasi; 4) Sertifikat Profesi (Beroepscertificaat), dimaksudkan untuk mengidentifikasi pribadi kodrati sebagai pekerja professional yang idendependen. Sertifikat ini diberikan kepada, misalnya, notaris, Inspektur Pencatat Kapal (Inspecteur Scheepsregistratie), Juru Sita (Gerechtsdeurwaarder), dan Juru Sita Kekaisaran (Rijksdeurwaarder); 5) Sertifikat Amplop (Envelopcertificaat), dimaksudkan untuk mengidentifikasi suatu organisasi atau departmen dari organisasi tanpa mengidentifikasi pribadi kodrati; 4. Peranan Notaris dalam Penerbitan Sertifikat

Bekerja sama sama dengan sekitar 50 (lima puluh) notaris di Belanda, DigiNotar menerbitkan beberapa jenis sertifikat yang didasarkan pada siapa atau apa yang diidentifikasi oleh DigiNotar dan kewenangan yang dimiliki oleh pengguna sertifikat. Semua sertifikat adalah milik DigiNotar, dan semua pengguna diberikan hak untuk menggunakan Sertifikat dan Kunci, sehingga tidak diperbolehkan peralihan kepemilikan. Sertifikat yang pernah dikeluarkan oleh DigiNotar, antara lain:

Elektronik Dalam struktur DigiNotar, notaris berperan sebagai Registration Authority (RA) dan bertugas melakukan verifikasi data25. Menurut regulasi di Belanda, fungsi RA dapat dilakukan tidak hanya oleh notaris. Akan tetapi, salah satu keuntungan notaris yang berfungsi sebagai RA ialah Notaris memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk melakukan identifikasi seseorang dan autentikasi tanda tangan. Seseorang yang akan menggunakan layanan sertifikat

1) Sertifikat Perorangan (Natuurlijk Persoonscertificaat) ditujukan bagi pribadi kodrati (naturlijk person) dan digunakan untuk mengidentifikasi seseorang sebagai pribadi kodrati; 2) Sertifikat Perusahaan (Bedrijfscertificaat) dimaksudkan untuk mengidentifikasi seseorang yang diberi kewenangan suatu perusahaan untuk mewakili perusahaan tersebut; 3) Sertifikat Organisasi untuk Perorangan (Persoonsgebonden Organisatiecertificaat), yaitu dimaksudkan untuk mengidentifikasi pribadi

elektronik yang diterbitkan oleh DigiNotar harus mengisi formulir yang dapat diakses dari website DigiNotar sesuai dengan sertifikat yang akan digunakan. Formulir tersebut memuat permintaan informasi tentang, antara lain, identitas pemohon dan kartu identitas. Dalam hal yang pemohon diwakilkan, maka wakil tersebut harus menunjukkan kuasa yang diberikan olehnya. Setelah semua informasi dipenuhi, pemohon atau wakil pemohon harus mendatangi notaris yang beraliansi dengan DigiNotar26 atau notaris lain yang ada di Belanda

25 CPS DigiNotar 30 October 2007, CPS DigiNotar General Version 3.5. 23 Pasal 156.2 WBR. 24 MHM Schellekens, Electronic Signatures Authentication Technology from a Legal Perspective, TMC Asser Press, the Hague, Information Technology & Law Series 5, hal. 38-39. 26 Biaya legalisasi tanda tangan sangat beragam (sekitar 25 s.d. 50) karena regulasi di Belanda telah meliberalisasi biaya layanan kenotariatan, kecuali biaya di bidang hukum keluarga. Dengan adanya kerja sama antara DigiNotar dengan notaris, maka biaya legalisasi sudah tercakup dalam keseluruhan biaya pembuatan sertifikat elektronik.

19

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

dengan membawa formulir dan dokumen pendukung (seperti kartu identitas, paspor, dan akta pendirian perusahaan). Notaris secara konvensional memeriksa dan memastikan bahwa pemohon telah mengisi formulir dengan benar dan memeriksa kesesuaian antara informasi yang diberikan dan dokumen pendukung. Dalam hal pemohon berada di luar negara Belanda, ia dapat mendatangi Notaris Civil Law di negara Uni Eropa lainnya atau pihak lainnya yang berwenang.27 Melalui prosedur inilah identitas dan tanda tangan seseorang dapat diverifikasi. Setelah itu, notaris akan memberikan surat pertanyaan yang dibubuhkan cap Notaris. Selain itu, RA juga berwenang untuk menolak pengajuan penerbitan, perubahan, pembaruan, atau pencabutan sertifikat jika hasil verifikasi menunjukkan adanya kekurangan. Kemudian, pemohon harus mendatangi DigiNotar dengan membawa seluruh dokumen termasuk surat pernyataan notaris. Sebagai CA, DigiNotar dapat menghubungi Notaris yang bersangkutan untuk melakukan klarifikasi. Setelah semua persyaratan dinilai lengkap, DigiNotar mengeluarkan sertifikat dengan dua cara, yaitu dengan cara diberikan langsung kepada pemohon, atau diberikan melalui pos (dalam hal ini pegawai pos harus memastikan bahwa pemohon sendiri yang menerima sertifikat). Sertifikat diberikan dalam media yang cukup beragam, mulai dari smart card, USB, sampai token. Secara umum sertifikat berlaku untuk 3 (tiga) tahun. D. eNotaris Indonesia: Suatu Proposal 1. Pengaturan Notaris di Indonesia Berdasarkan sejarah, negara Indonesia menganut sistem Civil Law yang diwarisi dari hukum Belanda sejak zaman kolonialisasi. Pada awalnya, pengaturan mengenai notaris diatur dalam Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3). Reglemen ini diubah terakhir dengan Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101. Selain reglemen tersebut, peraturan

peninggalan Belanda lainnya terkait dengan notaris ialah Ordonantie 16 September 1931 yang mengatur tentang Honorarium Notaris. Akan tetapi, mengingat peraturan perundang-undangan di atas sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)28. Salah satu pertimbangan dasar pembentukan UUJN ialah kebutuhan akan akta autentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh dalam berbagai hubungan hukum dan transaksi, seperti dalam perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain. Akta autentik dinilai dapat memberikan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban dari para pihak yang melakukan hubungan hukum dan transaksi yang dimaksud. Kepastian hukum ini sangat diperlukan dalam hal terjadi sengketa sehingga penyelesaian sengketa tersebut dapat lebih cepat dan murah. Berdasarkan UUJN, akta autentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan yang dinyatakan para pihak kepada notaris. Akan tetapi, notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak. Hal ini dilakukan dengan cara membacakan akta yang dimaksud sehingga menjadi jelas bagi para pihak. Notaris juga wajib memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundangundangan yang terkait bagi para pihak yang akan menandatangani akta. Tujuannya ialah agar para pihak memahami hubungan hukum yang mereka lakukan sehingga dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta yang akan ditandatanganinya.

27 CPS DigiNotar 30 October 2007, CPS DigiNotar General Version 3.5, hal. 13.

28 Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata adalah dua perundang-undangan yang diterapkan langsung dari Wetboek van Strafrecht dan Boergelijk Wetboek Belanda. Regulasi Belanda lain yang sudah dinasionalisasi misalnya Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 jo Staatsblad 1906 Nomor 348 yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.

20

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

2. Kewenangan Notaris Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Notaris membuat akta notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan atau berdasarkan permintaan para pihak. Secara umum, persyaratan untuk menjadi notaris sama dengan notaris latin lainnya yang mengharuskan adanya pelimpahan wewenang dari negara untuk menjalankan publica fides melalui penunjukan oleh pejabat yang berwenang (dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM). Untuk menjaga fungsi tersebut, UUJN mengatur persyaratan secara ketat baik dari segi pendidikan maupun profesi. Kewenangan utama notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yaitu membuat akta autentik mengenai semua perbuatan hukum dan transaksi yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh para pihak untuk dinyatakan dalam akta autentik. Notaris juga berwenang menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, serta salinan dan kutipan akta. UUJN juga memberikan kemungkinan bagi notaris untuk menjalankan kewenangan lain, sepanjang kewenangan yang dimaksud diatur dalam peraturan perundangundangan. 3. Esensi Akta Autentik Sama seperti Belanda yang menganut Civil Law, sistem hukum Indonesia mengenal konsep akta autentik. Akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat29. Akta autentik memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak yang berkepentingan beserta ahli warisnya dan setiap orang yang mendapat hak dari mereka mengenai apa yang termuat dalam akta tersebut30. Dalam hal persyaratan yang dimaksud

tidak terpenuhi, akta yang dimaksud memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan sepanjang ditandatangani para pihak31. Pasal 1874 KUHPerdata mengatur bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Sedangkan yang dianggap sama dengan tanda tangan suatu tulisan di bawah tangan ialah pembubuhan suatu cap jempol. Pembubuhan cap jempol yang dimaksud harus disertai dengan pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undangundang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan yang dimaksud di hadapan pejabat yang bersangkutan. Akta dibawah tangan dapat memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan akta autentik sepanjang akta yang dimaksud diakui kebenarannya oleh orang yang membuatnya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya. Dengan demikian, kekuatan pembuktian tersebut berlaku bagi ahli warisnya dan orang yang mendapatkan hak berdasarkan akta yang dimaksud32. 4. eNotaris Indonesia Peranan Notaris dalam penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dikembangkan dari fungsi Notaris sebagai pejabat yang berwenang yang memiliki kewenangan publica fides. Secara harfiah, publica fides memiliki arti kepercayaan dari publik, dan dengan kewenangan publica fides yang dimiliki, notaris dapat mengautentikasi identitas seseorang, termasuk menyatakan kebenaran serta keakuratan dan keaslian informasi yang d