reaksi alergi lapsus.docx
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I ec ANTIBIOTIK
CEFOTAXIME
Oleh:
Ria Wulandari Soelistijanto 10700195
Pembimbing:
dr. F.X Teguh Prartono, Sp.PD.
Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepanitraan Klinik
SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Nganjuk
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2015
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny Yeni Listya
Umur : 18 tahun
Alamat : Selorejo, Bagor
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
II. ANAMNESA
Keluhan Utama : panas
RPS : Panas hari ke 6, panas sempat turun pada hari kedua setelah pasien dirawat di
RS bayangkara Nganjuk. Di RS Bayangkara Nganjuk pasien di rawat selama
1 hari saja, kemudian pasien minta pulang. Saat pertama di IGD RS
Bayangkara pasien mendapat injeksi Cefotaxime, 1 jam kemudian muncul
bentol-bentol merah di seluruh tubuh, mual (+), pusing (+) dan sesak (+)
sedikit. Pada keesokan harinya pasien minta pulang. Setelah pulang selama
satu hari pasien ke IGD RSUD Ngajuk karena panas naik kembali.
RPD : Alergi obat (?), Asma (-), DM (-) HT (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 130/90 mmHg
N : 92 x/menit
Respirasi : 28 x/m
Suhu : 39,6 C
A. Kepala Leher
Mata : Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Icterus (-)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Nafas cuping hidung (+)
Mulut : sianosis (-)
Muka : Urtikaria (+)
Leher : Urtikaria (+), JVP meningkat (-)
B. Thoraks
Inspeksi : Bentuk : Simetris
Pergerakan : Simetris
Retraksi Intercostal : (-)
Spider naevi (-)
Nafas kussmaul (-)
Urtikaria (+)
Palpasi : Pergerakan Nafas : Normal
Fremitus raba : Normal
Perkusi : Batas Jantung : dbn
Suara Ketuk : Sonor
Auskultasi : Pulmo : suara nafas : Vesikuler +/+, Ronchi -/-, Wheezing -/-
Jantung : S1S2 tunggal, reguler, mur-mur (-), gallop (-)
C. Abdomen
Inspeksi : Perut flat, Jejas (-), caput medusa (-), Urtikaria (+)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : distended (-), nyeri tekan (-)
Hepar & Lien: tidak teraba
Perkusi : Shifting dullness (-)
D. Ekstremitas
Urtikaria (+)
Akral hangat
Oedem - -
- -
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Hematologi (13-05-1015)
Darah Rutin
Leukosit : 2,43 L (3,60-11,00)
Jumlah Eritrosit : 4,75 (4,40 – 6,00)
Hb : 12,6 (11,8 – 16,00 gr/dl)
Hematokrit : 37,0 L (40 – 52,0)
MCV : 77,9 (80,0 – 100,0)
MCH : 26,5pg (26,0 – 34,0)
MCHC : 34,1g/L (32,0 – 36,0)
Trombosit : 81 x 103ul L (150 - 400)
RDW-SD : 36,5fl L (37-54)
RDW-CV : 13,1% (11,0-15,0)
PDW : 11,3
MPV : 10,4
P-LCR : 26,5
PCT : 0,08
B. SEROLOGI
WIDAL
S thypi O NEGATIF negatif
S thypi H NEGATIF negatif
S parathypi A NEGATIF negatif
S parathypi B NEGATIF negatif
C. Pemeriksaan Kimia Darah (13-05-2015)
SGOT : 121,7 (<=31,0)
SGPT : 90,2 (<=34,0)
Glukosa acak : 153 (70 – 120mg/dl)
Ureum : 15,0 (15 – 40 mg/dl)
Kreatinin : 0,89 (0,60 – 1,10 mg/dl)
Uric acid : 2,5 (2,6 – 6,0 mg/dl)
D. Pemeriksaan Darah Lengkap + hitung jenis (14-05-2015)
Leukosit 5,63 3,60-11,00
Neutrofil 68,0 40,0-70,0
Limfosit 24,3 L 25,0-40,0
Monosit 7,3 3,0-10,0
Eosinofil 0,20 L 2,0-4,0
Basofil 0,2 0-2
Jumlah eritrosit 4,72 3,80-5,20
Hemoglobin 12,5 11,7-15,5
Hematokrit 36,9 35,0-47,0
MCV 78,2 L 80,0-100,0
MCH 25,6 26,0-34,0
MCHC 33,9 32,0-36,0
Trombosit 49 L 150-400
RDW-SD 36,5 L 37-54
RDW-CV 13,0 11,0-15,0
PDW 13,5
MPV 11,8
P-LCR 37,7
PCT 0,06
LED/BBS 37 H 0-20
E. Pemeriksaan Urinalisa (14-05-2015)
Tes Kehamilan
Tes kehamilan plano NEGATIF
Urin Lengkap
Makrokopis
Warna Kuning Muda Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Kimia
Berat Jenis 1.015 1.000-1.030
pH 7,0 4,5-8,0
Leukosit Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal (<10)
Bilirubin Negatif Negatif
F. Pemeriksaan Tinja (14-05-2015)
Tinja Rutin
Makroskopis
Warna Coklat Coklat
Kosistensi Lembek Lembek
Darah Samar Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 0-1 0-1
Lekosit Negatif` 0-1
Telur Cacing Negatif Negatif
Amuba Negatif Negatif
V. DAFTAR MASALAH SEMENTARA
Panas
Mual
Muntah
Sesak
Urtikaria di seluruh tubuh
Pemeriksaan Hematologi (13-05-1015) :
Leukosit : 2,43 L (3,60-11,00)
Hematokrit : 37,0 L (40 – 52,0)
Trombosit : 81 x 103ul L (150 - 400)
RDW-SD : 36,5fl L (37-54)
Pemeriksaan Hematologi (14-05-1015)
Limfosit 24,3 L 25,0-40,0
Eosinofil 0,20 L 2,0-4,0
MCV 78,2 L 80,0-100,0
Trombosit 49 L 150-400
RDW-SD 36,5 L 37-54
LED/BBS 37 H 0-20
VI. DAFTAR MASALAH PERMANEN
VII. PLANNING
DIAGNOSTIK TERAPI MONITORING EDUKASI
- - Inf. Asering 20tpm
- Inj. Diphenhydramin 2x1
amp
- Inj. Acran 2x1 amp
- Inj. Dexamethason 2x1
amp
- Musin syr 3xCI ac
- Clast 2x1
- TTV
-
-
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang
menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya bagi
penjamu. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang
kedua dengan antigen spesifik (alergen). Kontak yang pertama kali merupakan kejadian
yang diperlukan untuk menginduksi sensitisasi terhadap alergen tersebut.
B. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi
makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang
tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi
pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali
alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan
merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal
yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai
kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria,
kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen
dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal
dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang
menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan
kematian.
C. Klasifikasi
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell diklasifikasikan menjadi 4
tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III,
dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe
IVa dan IVb.
1. Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala
yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi
berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat
mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit
atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan
eosinofil.
Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe I ini meliputi langkah-langkah
berikut ini. Antigen menginduksi pembentukan antibody IgE, yang terikat kuat dengan
reseptor pada sel basofil dan sel mast melalui bagian Fc antibody tersebut. Beberapa
saat kemudian, kontak yang kedua dengan antigen yang sama mengakibatkan fiksasi
antigen ke IgE yang terikat ke sel dan pelepasan mediator yang aktif secara
farmakologis dari sel tersebut dalam waktu beberapa menit. Nukleotida siklik dan
kalsium diperlukan dalam pelepasan mediator tersebut.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas
tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total
dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)
yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi
akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen).
Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti
infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi
hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G
(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
3. Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal
ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut
di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada
kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran
bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang
persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap
senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi
secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran
sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ,
seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks
imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat
memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan
antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam
dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya
kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi
Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit
pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-
paru pembuat keju.
4. Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas
perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam
reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta
akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa
contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
D. Tanda dan Gejala
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu
yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi
paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan
dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua
saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare.
Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita
dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala
sering disertai pruritis.
2. Demam.
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi.
4. Limfadenopati
a. kejang perut, mual
b. neuritis optic
c. glomerulonefritis
d. sindrom lupus eritematosus sistemik
e. gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini
yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
E. Penangan dan Terapi
Penanganan gangguan alergi dapat dilakukan dengan cara:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal
salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam,
menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif
mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan
analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini
tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan
asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa
pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu
penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal
langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E
atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari
basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati
memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya
melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka
telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan
dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali
sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G., 2006, Imunologi Dasar, Edisi Ke Tujuh, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Brooks G. F., Butel J. S., dan Morse S. A., 2005, Mikrobiologi Kedoteran, Edisi Pertama,
Salemba Medika, Jakarta.
Price & Wilson, 2003, Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Vol 2, Edisi 6, EGC,
Jakarta.
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, M., Setiati, S., 2007, Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Jakarta.