referat bedah apppp
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
REFERAT
APENDISITIS
Pembimbing :
dr. Benno Syahbana, SpB, FINANCS
Disusun oleh :
Dewi Setyowati Widjojo
030.08.076
KEPANITERAAN KLINIK BEDAH
RSUD BUDHI ASIH
PERIODE 12 NOVEMBER 2012-19 JANUARI 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Dewi Setyowati Widjojo
NIM : 030.08.076
Bagian : Bedah
Judul referat : Apendisitis
Pembimbing : Dr. Benno Syahbana, SpB
Referat “Apendisitis” telah di setujui oleh Dr. Benno Syahbana, Sp.B, dalam rangka
memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu bedah di RSUD Budhi Asih. Periode 12 November 2012-19
Januari 2013.
Jakarta, Desember 2012
Pembimbing,
Dr. Benno Syahbana, Sp.B
KATA PENGANTAR
Dengan rahmat Allah SWT, saya dapat menyelesaikan penyusunan referat saya yang
berjudul “Apendisitis”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik
Bedah di RSUD Budhi Asih, periode 12 November 2012-19 Januari 2013.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing saya dr. Benno
Syahbana, Sp.B dan seluruh pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan referat ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Demikianlah kata pengantar dari saya, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-
besarnya jikalau masih banyak kekurangan dan kesalahan pada referat ini. Oleh karena itu
saya berharap para pembaca dapat memberikan saran dan kritik untuk perbaikan referat ini.
Jakarta, Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan.........................................................................................................
Kata Pengantar.................................................................................................................
Daftar Isi...........................................................................................................................
BAB I Pendahuluan.........................................................................................................
BAB II Pembahasan........................................................................................................
2.1 Anatomi telinga tengah......................................................................................
2.2 Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)............................................................
2.2.1 Patogenesis................................................................................................
2.2.2 Kuman Penyebab OMSK...........................................................................
2.3 Penatalaksanaan OMSK Benigna.......................................................................
2.4 Antibiotik dan OMSK.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal masyarakat
awam sebenarnya kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Organ yang
tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Yang paling sering
adalah peradangan akut pada apendiks. Peradangan akut ini memerlukan tindakan bedah
segera agar tidak terjadi komplikasi(1). Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di
umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan tindakan bedah dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak
terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai
cacing yang terinfeksi hancur.
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus
buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol
dari bagian awal usus besar atau sekum. Kejadian apendisitis ini dapat terjadi di seluruh
kelompok umur. Diagnosa apendisitis pada kelompok usia muda biasanya sangat sulit
dilakukan mengingat penderita usia muda sulit melukiskan perasaan sakit yang dialaminya,
sehingga kejadian apendisitis pada usia muda lebih sering diketahui setelah terjadi perforasi.
Berdasarkan jenis kelamin, angka kejadian apendisitis pada pria 1,4 kali lebih besar dari pada
kelompok wanita(2).
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Anatomi
Apendiks atau Appendix vermiformis (dari bahasa latin “worm” = cacing) merupakan
organ berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal
pada sekum yaitu pada pertemuan ketiga taenia coli: 1) Taenia libera, 2) Taenia Colica,
3) Taenia omentum dan berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks.
Posisi apendiks terhadap sekum bervariasi, yaitu terdiri atas posisi retrosekal (65%),
antesekal, pelvinal, medial, preileal, postileal, dan lain-lain. Pada posisinya yang normal,
Appendix vermiformis terletak pada dinding abdomen di bawah titik Mc Burney. Titik Mc
Burney dicari dengan menarik garis dari spina iliaka superior kanan ke umbilicus. Titik
tengah garis ini merupakan pangkal apendiks. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens atau di tepi
lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.
Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proksimal dan melebar pada bagian distal.
Sekum merupakan bagian pertama usus besar. Proksimal dimana apendiks melekat pada
terminal ileum pada usus halus berhubungan dengan sekum. Pada hubungan ini valvula
ileocecal mengatur masuknya chyme ke dalam kolon. Apendiks mempunyai mesenterium
sendiri yang disebut sebagai meso-apendiks, yang gambarannya dapat membantu
Ke arah pelvs
antesekal
retro sekal
Post ileal
membedakannya dengan sekum yang tidak mempunyai mesenterium Saat lahir (bayi),
apendiks berbentuk kerucut lebar pada pangkal dan menyempit di ujungnya. Keadaan ini
yang mungkin menyebabkan rendahnya insiden apendiks pada usia itu(1). Selama anak-anak,
pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam intraperitoneal.
Apendiks mendapat vaskularisasi oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari arteri
ileocolica. Arteri ini tanpa kolateral (end artery) sehingga jika arteri ini tersumbat contohnya
karena trombosis pasa infeksi, apendiks akan mengalami gangren. Apendiks memiliki lebih
dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks dan dari sini dialirkan menuju ke nodi
mesenterici superiores(3). Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus. (1)
II. 2 Histologi Apendiks
Lapisan dinding saluran cerna terdiri dari 4 lapisan : 1) tunika mukosa, 2)
tunikasubmukosa, 3) tunika muskularis, dan 4) tunika serosa (adventisia). Pada tunika
mukosa sama seperti bagian usus lainnya terdiri dari sel epitel selapis torak yang mempunyai
sel goblet yang banyak. Bagian usus ini tidak mempunyai vilus, yang ada hanya kriptus
Lieberkuhn saja. Di dalam lamina propria terdapat banyak nodulus limfatikus, memenuhi
sekeliling dindingnya serupa dengan yang ada pada tonsila palatina. Tunika muskularis
mukosa juga dapat dikenali disini. (4,5)
Tunika submukosa berupa jaringan ikat jarang tanpa kelenjar dan terdapat banyak
sebukan limfosit yang berasal dari lamina propria. Tunika muskularis tetap tampak
membentuk dua lapisan seperti pada usus lainnya sekalipun garis tengah appendiks lebih
kecil yaitu stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale ( gabungan tiga tinea coli)
sebelah luar. Tunika serosa (adventisia) organ ini juga sepadan dengan yang lain, bila letaknya
intraperitoneal asalnya dari peritoneum viscerale.(4)
Gambaran histologis apendiks.
II. 3 Fisiologi apendiks
Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung
amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen dan
selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada
patofisiologi appendiks.
Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid
Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A.
Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali
jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh.
II. 4 Apendisitis
II.4.1 Definisi
Apendisitis akut merupakan peradangan pada apendiks yang diawali oleh proses obstruksi
penyumbatan lumen apendiks oleh mucus, fekalit, atau benda asing yang diikuti oleh proses
inflamasi dan infeksi bakteri.
Klasifikasi
Menurut Cecily & Linda (2000) klasifikasi appendicitis terbagi atas 2, yaitu :
1. Apendisitis akut, dibagi atas :
Appendicitis akut fokalis atau segmental, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur
local.
Apendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas :
Appendicitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur local.
Appendicitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya jarang ditemukan.
3. Apendisitis rekurens
Diagnosis apendisitis rekuren baru dapat di pikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong untuk dilakukan apendiktomi dan
hasil patologi menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun apendiks tidak pernah kembali
ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut.
Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan
limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk
ascaris.Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada
apendiks. Post operasi apendisitis juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau
stasis fekal(7). Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit
ditemukan pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis
gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture.(8)
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan
makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya
akan mempermudah terjadinya apendisits akut.(8)
Patofisiologi
Penyebab utama appendisitis adalah obstruksi penyumbatan yang dapat disebabkan
oleh hiperplasia dari folikel limfoid merupakan penyebab terbanyak,adanya fekalit dalam
lumen appendiks. Adanya benda asing seperti cacing, stiktura karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, sebab lain misalnya keganasan (karsinoma karsinoid).
Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung, makin
lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks oedem serta
merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh karena itu persarafan appendiks sama
dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar
umblikus.Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah, kemudian
timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritomium parietal setempat, sehingga menimbulkan rasa sakit
dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan
appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan
appendisitis perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang
meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai
appendisitis abses. Pada anak – anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang
relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih
kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka
perforasi terjadi lebih cepat. Bila appendisitis infiltrat ini menyembuh dan kemudian
gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi appendisitis kronis
Jadi secara garis besar ada 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya apendisitis :
a) Adanya isi lumen
b) Sekresi mukus yang terus menerus
c) Sifat inelastik dari mukosa apendiks
Produksi musin 1-2ml/hari. Kapasitas apendiks 3-5ml/hari. Jadi nyeri Mc Burney akan
muncul setelah terjadi sumbatan ± 2 hari.
Penegakan Diagnosa Apendisitis Akut
Gambaran klinis pada apendisitis akut yaitu :
Tanda awal nyeri di epigastrium atau regio umbilicus disertai mual dan anorexia.
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi.
Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum
lokal di titik Mc Burney, nyeri tekan, nyeri lepas dan adanya defans muskuler.
Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung nyeri kanan bawah pada tekanan kiri
(Rovsing’s Sign) nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg’s Sign) batuk atau mengedan
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Tidak ditemukan gambaran spesifik
Kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masaa atau abses
periapendikuler
Tampak perut kanan bawah tertinggal pada pernafasan
Palpasi
nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas.
defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk
menentukan adanya rasa nyeri.
Perkusi
pekak hati menghilang jika terjadi perforasi usus.
Auskultasi
biasanya normal
peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata
akibat apendisitis perforata
Rectal Toucher
tonus musculus sfingter ani baik
ampula kolaps
nyeri tekan pada daerah jam 9 dan 12
terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses).
Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan.
Bila apendiks yang meradang menepel di m. poas mayor, tindakan tersebut
akan menimbulkan nyeri.
Ada 2 cara memeriksa :
i. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan, pemeriksa,
pasien memfleksikan articulatio coxae kanan à nyeri perut kanan
bawah.
ii. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan,
pemeriksa, nyeri perut kanan bawah
Uji Obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.
obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks
Dunphy’s sign
Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk
Ten Horn sign
Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign
Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian berpindah
ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign
Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien
dibaringkan pada sisi kiri
Bartomier-Michelson’s sign
Nyeri yang semakin bertambah pada kuadran kanan bawah pada pasien dibaringkan
pada sisi kiri dibandingkan dengan posisi terlentang
Aure-Rozanova’s sign
Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Darah
Leukositosis pada kebanyakan apendisitis akut
Hematokrit normal, hemoglobin normal
LED yang meningkat (pada apendisitis infiltrat)
C-reaktif protein meningkat
2. Pemeriksaan urin
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding
seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis
yang hampir sama dengan appendisitis
3. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Foto polos terutama
dilakukan pada anak-anak, namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam
menegakkan diagnosis apendisitis.
Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis
terutama untuk wanita dan anak-anak. Dengan USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.
Appendicogram
Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan.
Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran apendiks.
Sistem skoring Alvorado
Alvorado Score
1. Apendisitis point pain (nyeri fossa iliaka kanan) 2
2. Leukositosis (>10000) 2
3. Vomitus 1
4. Anoreksia 1
5. Nyeri lepas 1
6. Nyeri berpindah 1
7. Peningkatan suhu > 37,30C 1
8. Jumlah neutrofil segmen > 75% 1
Total point 10
Keterangan Alvorado score :
1) Dinyatakan apendisitis akut bila >7 point
2) Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:
a. 1 – 4 dipertimbangkan appendicitis akut
b. 5 – 6 possible appendicitis tidak perlu operasi
c. 7 – 9 appendicitis akut perlu pembedahan
3) Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
a. 1 – 4 : observasi
b. 5 – 6 : antibiotic
c. 7 – 10 : operasi dini
I. Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit.Sakit perut lebih
ringan dan tidak berbatas tegas.Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan
leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut
yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual-
muntah.
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang anorexia,
mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi insidental diindikasikan
utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan.
4. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ ini
sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis. Untuk
menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya
disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa
nyeri.
5. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi
ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang
mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada
pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas, dan
pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
6. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang
dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada
diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.
7. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi
intravena dapat memastikan penyakit tersebut.(10)
II. Penatalaksanaan
Appendiktomi
§ Cito : akut, abses & perforasi
§ Elektif : kronik
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang
dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak
masalah. Macam-macam insisi pada apendiktomi:
1. Insisi Grid Iron (McBurney Incision)
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi parallel dengan otot oblikus eksternal,
melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang menghubungkan spina liaka anterior
superior kanan dan umbilikus.
2. Lanz transverse incision
Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis miklavikula-
midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik dari pada insisi grid iron.
3. Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika apendiks terletak di
parasekal atau retrosekal dan terfiksir.
4. Low Midline Incision
Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.
5. Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di atas pubis.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun
atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya
dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi
rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi
menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas
batasnya. (2)
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah bilamana
penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang
apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan
sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular,
sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat
mudah didrainase.(2)
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang
pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum
jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit
tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu
2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,
massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi
elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat
ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini
ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba
pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. (2)
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses
apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya
mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana
tanpa perforasi. (6)
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila
dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah
terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera
bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum. (6)
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil,
dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi
abses, dianjurkan operasi secepatnya. (2)
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup
lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan
tindakan bedah.(7,2)
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja.Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala
akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan
appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya
pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil,
tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.(7)
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan adalah
maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila apendiks mudah
diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks
sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan
infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah
kurang dari 100 cc/hari, drain dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci
tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk
mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT. (7)
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
LED
Jumlah leukosit
Ukuran massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamnesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen.
2. Pemeriksaan fisik :
o Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur
rectal dan aksiler)
o Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
o Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil
dibanding semula.
o Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
1. Bila LED telah menurun kurang dari 40
2. Tidak didapatkan leukositosis
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil
lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
o Apakah penderita sudah bed rest total
o Pemakaian antibiotik penderita
o Kemungkinan adanya sebab lain.
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan, operasi
tetap dilakukan.
Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah
drainase.(7)
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui insisi Mc Burney
(Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut
dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi
(Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
1. Cutis 6. MOI
2. Sub cutis 7. M. Transversus
3. Fascia Scarfa 8. Fascia transversalis
4. Fascia Camfer 9. Pre Peritoneum
5. Aponeurosis MOE 10. Peritoneum
III. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang
terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.(2)
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata.
Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.(7)
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen,
dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.(7)
IV. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit
ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila
terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.
Daftar Pustaka
1) De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.
Hal 639-646
2) Anonim.Apendiks.Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21447/5/Chapter%20I.pdf. Accesed
on : 10 Desember 2012
3) Snell, Richard S., 2006. Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 229-230
4) Arifin, Fajar. Kartawiguna, Elna. 2007. Penuntun Praktikum Kumpulan Foto
Mikroskopik Histologi. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti. Hal 124
5) Paparo, Lesson. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta : EGC. Hal 370
6) Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7) Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis
Akut. Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
8) Anonim, .Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR.
Surabaya.