refferat malaria

Upload: rakhmadi-syaban-nur

Post on 17-Oct-2015

56 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat malaria

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu penyakit menular yang menjadi masalah global adalah malaria. World Health Organization (WHO) menggambarkan hingga tahun 2006, malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 109 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 247 juta orang setiap tahun dan bertanggungjawab terhadap kematian sekitar 1 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan masih sekitar 3,3 miliar orang hidup di daerah endemis malaria.1,2Di Indonesia penyakit ini menduduki urutan ke- 8 dari 10 besar penyakit utama penyebab kematian dengan angka kematian di perkotaan 0,7 % dan di pedesaan 1,7%. Diperkirakan 60% penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis terutama di Indonesia bagian tengah dan timur. Jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop positif terdapat parasit malaria) tahun 2006 sekitar 350 ribu kasus, dan pada tahun 2007 sekitar 311 ribu kasus. 3,4,5Penyakit malaria saat ini masih merupakan masalah utama di Provinsi Kalimantan Timur. Tercatat 24.066 pasien menjalani perawatan di rumah sakit, berada di peringkat keenam dari sepuluh besar penyakit terbanyak dengan angka Slide Psitivity Rate (SPR) tahun 2005 sebesar 30,99% dan tahun 2006 meningkat menjadi 36,27%. Spesies yang terbanyak dijumpai adalah P. falciparum dan P. vivax. 6Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Barat melaporkan sebanyak 2.571 kasus malaria selama tahun 2006 dan terjadi peningkatan pada tahun 2007 lalu sebanyak 2.915 penderita. Di RSUD Harapan Insan Sendawar, tercatat 345 pasien malaria selama tahun 2007 dan menduduki peringkat pertama dalam sepuluh besar penyakit di bagian rawat inap pada tahun 2007.7 Hal ini menjadi satu masalah utama dan perlu perhatian serius. Kutai Barat merupakan salah satu daerah pedalaman di Kalimantan Timur yang wilayahnya masih banyak terdiri dari hutan, sungai-sungai dan perkebunan yang diduga menjadi tempat-tempat perindukan nyamuk malaria.7 Setiap orang bisa terinfeksi malaria, bergantung pada beberapa faktor yaitu : pertama, faktor parasit misalnya, setiap spesies plasmodium akan memberikan perbedaan terjadinya manifestasi klinis. Kedua, Faktor manusia, perbedaan umur dan jenis kelamin berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan pada gigitan nyamuk, selain itu juga ada faktor genetik, dan status gizi yang ikut mempengaruhinya. Ketiga faktor nyamuk, berkaitan dengan sifat-sifat nyamuk Anopheles. Ke empat faktor lingkungan, berupa faktor fisik (diantaranya dipengaruhi oleh hujan), faktor biologi, dan faktor sosial budaya. 8Malaria sebagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium dengan gejala klinis yang dipengaruhi oleh jenis/strain Plasmodium, imunitas tubuh dan jumlah parasit yang menginfeksi. Penderita malaria secara umum diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi klinik dan parasitologik. klasifikasi klinik didasarkan atas ada tidaknya komplikasi dan keadaan umum penderita.9Pada malaria tanpa komplikasi terjadi gejala-gejala umum malaria seperti gejala-gejala prodromal sebelum terjadinya demam, setelah itu terdapat gejala klasik malaria yaitu terjadinya trias malaria (Malaria Proxysm) yang secara berurutan terdiri dari : periode dingin, periode panas, dan periode berkeringat. 9Menurut WHO Malaria berat dan berkomplikasi disebabkan oleh infeksi P. falciparum. dengan satu atau lebih komplikasi sebagai beikut : malaria serebral, anemia berat, gagal ginjal akut, edema paru/ ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome), hipoglikemia, gagal sirkulasi atau syok, perdarahan spontan dari hidung, gusi, traktus digestivus, dan/atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler, kejang berulang, asidemia, makroskopik hemoglobinuria oleh karena infeksi malaria akut, atau diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler pada jaringan otak. 10Berdasarkan hal tersebut, peneliti bermaksud mengadakan penelitian deskriptif guna memberikan gambaran karakteristik pasien malaria berdasarkan usia, jenis kelamin, waktu terjadinya, komplikasi, dan mortalitas, di unit rawat inap RSUD Harapan Insan Sendawar selama tahun 2008.

B. Rumusan MasalahBagaimana karakteristik pasien malaria di unit rawat inap RSUD Harapan Insan Sendawar selama tahun 2008?

C. Tujuan PenelitianTujuan Umum :Untuk mengetahui karakteristik pasien malaria di unit rawat inap RSUD Harapan Insan Sendawar selama tahun 2008.Tujuan Khusus :1. Mengetahui karakteristik pasien malaria berdasarkan usia.2. Mengetahui karakteristik pasien malaria berdasarkan jenis kelamin.3. Mengetahui karakteristik pasien malaria berdasarkan waktu terjadinya.4. Mengetahui karakteristik pasien malaria berdasarkan komplikasi.5. Mengetahui karakteristik pasien malaria berdasarkan mortalitas.

D. Manfaat Penelitian1. Manfaat praktis, yaitu dapat memberikan informasi statistik mengenai gambaran malaria di Unit Rawat Inap RSUD Harapan Insan Sendawar Kutai Barat2. Manfaat ilmiah, yaitu dapat menjadi sumbangsih ilmiah dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.3. Manfaat bagi peneliti, yaitu memperdalam dan mengaplikasikan ilmu ilmu yang telah diperoleh selama masa perkuliahan khususnya ilmu penyakit dalam yang sekaligus meningkatkan dan mengembangkan wawasan peneliti khususnya mengenai kasus malaria di Kutai Barat.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. PengertianMalaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler dari genus Plasmodium, menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia, splenomegali yang dapat berlangsung akut ataupun kronik.8,11,12,13

B. Etiologi Malaria disebabkan karena masuknya bibit penyakit parasit malaria dalam tubuh manusia. penyakit ini adalah penyakit menular, artinya dapat ditularkan dari seseorang ke orang yang lain. cara penularan yang terpenting adalah dengan perantaraan gigitan nyamuk. 8Plasmodium merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat empat spesies yaitu P. vivax, P. falciparum, P. malariae dan P. ovale. Penularan manusia dapat dilakukan oleh nyamuk betina dari tribus Anopheles. Selain itu juga dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta ibu hamil kepada bayinya. 8

C. Epidemiologi Spesies yang paling banyak dijumpai di Asia Tenggara termasuk di Indonesia adalah P. vivax, yang menyebabkan malaria vivax. Malaria yang disebabkan oleh P. vivax ini bila dibandingkan P. falciparum jauh leih ringan dan jarang menimbulkan kematian. P. malariae banyak dijumpai di beberapa Negara Amerika Tengah, India, Afrika Barat, dan Papua Nugini. Parasit ini menyebabkan malaria malariae, infeksi laten bisa bertahan sampai puluhan tahun. P. ovale terutama dijumpai di Afrika yang beriklim tropik, dan menyebabkan malaria yang gejala klinisnya mirip dengan P. vivax. 14

Gambar 2.1. Distribusi penyakit malaria 15

Di Indonesia penyakit malaria terbesar di seluruh kepulauan dengan intensitas dan tingkat endemisitas yang berbeda-beda. Spesies yang terbanyak dijumpai adalah P. vivax dan P. falciparum. P. malariae dapat ditemukan di Indonesia bagian Timur, sedangkan P. ovale pernah dilaporkan dari Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur. 14Penyebaran penyakit malaria ditentukan oleh faktor yang disebut host (manusia dan nyamuk Anopheles), agent (parasit Plasmodium) dan lingkungan (environment). 81. Faktor Parasit Sifat-sifat spesifik parasit berbeda-beda untuk setiap spesies malaria dan hal ini mempengaruhi terjadinya manifestasi klinis dan penularan. P. falciparum mempunyai masa infeksi yang paling pendek, namun menghasilkan parasitemia paling tinggi, gejala yang paling berat, dan masa inkubasi yang paling pendek. P. vivax dan P. ovale pada umumnya mengahasilkan parasitemia yang rendah, gejala yang lebih ringan dan mempunyai masa inkubasi yang lebih lama. Sporozoit P.vivax dan P.ovale dalam hati berkembang menjadi skizon jaringan primer dan hipnozoit. Hipnozoit ini yang menjadi sumber terjadinya relaps. 8

Tabel. 2.1 Karakteristik spesies PlasmodiumKarakteristikP.falciparumP.vivaxP.ovaleP.malariae

Siklus eksoeritrositik primer (hari)5-78914-15

Siklus aseksual dalam darah (jam)48485072

Masa prepaten (hari)6- 258-2712-2018-59

Masa inkubasi (hari)7-2713-171423-69

Keluarnya gametosit (hari)8-15555-23

Jumlah merozoitper skizon jaringan30-40.00010.00015.00015.000

Siklus sporogoni dalam nyamuk (hari)9-228-1612-1416-35

2. Faktor Manusia.Beberapa faktor yang berasal dari hospes dan dapat berperan dalam patoogensis malaria antara lain adalah endemisitas, umur dan jenis kelamin, status gizi dan status imunologi. 14Di daerah dengan tingkat endemisitas rendah, malaria berat dapat terjadipada semua golongan umur. Di daerah hiperendemis, malaria berat sering dijumpai pada anak balita, sedangkan orang dewasa pada umumnya hanya menderita malaria ringan. Sering dijumpai individu dengan parasitemia tinggi tetapi tanpa disertai gejala klinik yang nyata. 14Pada dasarnya, setiap orang dapat terkena malaria. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan host terhadap agen (parasit) meliputi; usia anak-anak lebih rentan terhadap malaria, jenis kelamin; perempuan mempunyai respon imun yang lebih kuat dibandingkan laki-laki, namun kehamilan akan menambah resiko malaria, ras; beberapa ras manusia atau kelompok penduduk mempunyai kekebalan alamiah terhadap malaria. 8Malaria berat sangat jarang terjadi pada anak-anak dengan status gizi yang jelek. Defisiensi zat besi dan riboflavin dilaporkan mempunyai efek protektif terhadap terjadinya malaria berat. Sebaliknya pemberian suplemen besi pada kasus malaria dengan anemia dilaporkan justru membuat manifestasi malaria menjadi lebih parah.14Status dan respon imun seseorang sangat menentukan manifestasi klinis serta perkembangan penyakit malaria lebih lanjut. Respon imun tersebut bersifat protektif atau non-protektif, tergantung dari beberapa faktor lain yang dimiliki oleh hospes yang bersangkutan. Faktor-faktor endemisitas, umur, dan status gizi bahkan faktor genetik juga ikut menentukan status dan tingkat respon imun hospes.14Beberapa faktor genetik bersifat protektif terhadap malaria adalah :8a. Golongan darah Duffy negatifb. Hemoglobin S yang menyebabkan sickle cell anemiac. Thalasemia ( dan )d. Hemoglobinopati lainnya (HbF dan HbE)e. Defisiensi G-6-PD (glucose-6-phosphate-dehydrogenase)f. Ovalositosis

3. Faktor nyamukPenyakit malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina. Nyamuk Anopheles terutama hidup di daerah tropik dan subtropik, dan sebagian besar ditemukan didaerah dataran rendah. Perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses penularan malaria. Nyamuk Anopheles betina menggigit antara waktu senja dan subuh. Beberapa perilaku nyamuk antara lain : tempat hinggap atau istirahat, tempat menggigit dan obyek yang digigit. 8

Efektifitas vektor untuk menularkan malaria ditentukan oleh :8a. kepadatan vektor dekat pemukiman manusiab. kesukaan menghisap darah manusia atau antropofiliac. frekuensi menghisap darah (tergantung suhu)d. Lamanya sporogoni (berkembangnya parasit dalam tubuh nyamuk sehingga menjadi infektif)e. Lamanya hidup nyamuk harus cukup untuk sporogoni dan kemudian menginfeksi jumlah yang berbeda-beda menurut spesies.4. Faktor Lingkungana. Lingkungan Fisik81) SuhuSuhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20-30oC. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.2) KelembabanKelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh terhadap parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan sering mmenggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.3) HujanPada umunya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Curah hujan membantu transmisi malaria dengan menyediakan tempat perindukan dan meningkatnya kelembaban yang meningkatkan kemampuan survival dari nyamuk. Pola curah hujan juga dapat digunakan untuk memperkirakan daerah malaria atau non malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.4) KetinggianSecara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada ketinggian di atas 2000 meter jarang ada transmisi malaria. Dataran rendah dengan suhu optimum memungkinkan lebih banyak nyamuk malaria.5) Angin6) Sinar matahari.7) Arus air.8) Kadar garam.

D. Siklus hidup plasmodiumSiklus hidup plasmodium terbagi menjadi dua yaitu : 1. Siklus Hidup dalam tubuh manusia (siklus aseksual/skizogoni)Infeksi parasit pada manusia mulai bila nyamuk anopheles betina menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati. Masuknya sporozoit ke dalam hepatosit merupakan awal pembentukan skizon hati, ini disebut dengan siklus eksoeritrositik primer. Dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony atau pre-erythrocytes schizogony). 3Kurang lebih 2 minggu setelah gigitan nyamuk, hepatosit pecah dan melepaskan merozoit yang masuk ke aliran darah. Pada siklus pre-erythrocytes hanya terjadi satu generasi skizogoni, kecuali pada infeksi P.vivax dan P. ovale dimana sebagian sporozoit tetap berada dalam stadium istirahat (dorman/tidak membelah) yang disebut hipnozoit. Stadium ini dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan menyebabkan relaps pada malaria. 9Merozoit yang masuk ke aliran darah sebagian masuk ke sel darah merah/eritrosit, untuk memulai siklus yang baru yaitu siklus eritrositik (erythrocytic cycle atau erythrocytic schizogony). Merozoit berubah bentuk menjadi tropozoit yang berinti satu, yang memanfaatkan sebagian dari sitoplasma eritrosit (hemoglobin) untuk metabolisme, sehingga pada tropozoit tua terlihat adanya pigmen dalam eritrosit. Tropozoit akan membelah, baik inti maupun sitoplasmanya, dan berkembang dalam eritrosit, dan berubah menjadi skizon, suatu stadium yang berinti banyak. Eritrosit yang mengandung skizon matang kemudian pecah, dan keluarlah merozoit-merozoit bersel tunggal ke dalam aliran darah. Merozoit-merozoit ini lalu memasuki eritrosit baru dan mengulangi siklus eritrositik. Peristiwa inilah yang menimbulkan serangan demam yang spesifik pada penderita malaria, dan akan berulang terus setiap 36-42 jam pada P. falciparum, 48 jam pada P. vivax dan P. ovale, serta 72 jam untuk P. malariae, sampai proses ini terhenti karena pengaruh obat atau karena pengaruh obat atau karena adanya penekanan oleh sistem kekebalan tubuh. 3,14Dari merozoit yang memasuki eritrosit, beberapa diantaranya ada yang tidak mengadakan pembelahan inti, tetapi berdiferensiasi seksual lalu berkembang menjadi gametosit jantan (mikrogametosit) dan gametosit betina (makrogametosit). Proses ini disebut sebagai proses gametogoni. Gametosit ini merupakan bentuk infektif bagi vektor (nyamuk). Apabila darah manusia terhisap oleh nyamuk maka semua bentuk yang ada dalam eritrosit ikut masuk ke lambung nyamuk, namun hanya stadium gametosit saja yang mampu melangsungkan kehidupannya sedangkan bentuk stadium yang lain akan mati.3,142. Siklus hidup dalam tubuh nyamuk (exogenous sexual phase atau sporogony)Setelah lebih kurang 5 menit di dalam lambung nyamuk, mikrogametosit dan makrogametosit masing-masing berubah menjadi mikrogamet dan makrogamet. Perubahan satu mikrogametosit menjadi 2-8 mikrogamet yang berbentuk memanjang menyerupai cambuk, melalui suatu proses yang disebut eksflagelasi, sedangkan makrogamet terbentuk setelah makrogametosit melepaskan sebutir kromatin. Beberapa saat kemudian terjadilah proses pembuahan di dalam usus nyamuk, yaitu mirogamet mamasuki badan makrogamet, dan terbentuk zigot. Dalam beberapa jam zigot berubah bentuk menjadi lonjong dan dapat bergerak. Stadium ini disebut ookinet, bergerak menembus dinding lambung nyamuk dan membentuk ookista yang berbentuk bulat seperti kantong dan didalamnya berisi banyak sel yang terus-menerus mengadakan pembelahan inti diikuti oleh sitoplasmanya.14Setelah 2-3 minggu sel yang berjumlah ribuan tersebut berubah menjadi spoorozoit. Apabila sudah matang, setelah 2-3 minggu sel yang berjumlah ribuan tersebut berubah menjadi sporozoit. Apabila sudah matang, ookista yang berisi puluhan ribu sporozoit tersebut pecah dan keluarlah sporozoit-sporozoit ke dalam cairan rongga tubuh nyamuk, dan terkumpul dalam kelenjar ludah nyamuk, siap untuk ditularkan kembali ke tubuh manusia pada saat nyamuk menggigit. 14

Gambar 2.2. Siklus hidup plasmodium. 16

E. Patogenesis MalariaSetelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk anopheles betina menggigit manusia dan selanjutnya akan masuk ke dalam sel-sel hati (hepatosit) dan kemudian terjadi skizogoni ekstraeritrositer. skizon hati yang matang selanjutnya akan pecah (ruptur) dan selanjutnya merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan terjadi skizogoni intra eritrositer, menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit (EP) mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. 17Perubahan tersebut meliputi mekanisme transport membrane sel, penurunan deformabilitas, perubahan reologi, pembentukkan knob, ekspresi varian neoantigen di permukaan sel, sitoadherens, resetting dan sekuestrasi. skizon yang matang akan pecah, melepaskan toksin malaria yang akan menstimulasi sistem RES dengan dilepaskannya sitokin proinflamasi seperti TNF dan sitokin lainnya dan mengubah aliran darah local dan endothelium vaskular, mengubah biokimia sistemik, menyebabkan anemia, hipoksia jaringan dan organ. 171. Penghancuran eritrositEritrosit dihancurkan tidak saja oleh pecahnya eritrosit yang mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intravaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal. 182. SitoadherensSitoadherens adalah melekatnya EP matang dipermukaan endotel vaskuler. Perlekatan terjadi dengan cara melakukan adhesif yang terletak dipermukaan knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak di endotel vaskular. 10Molekul-molekul adhesif pada EP yang berperan sebagai ligand untuk perlekatan pada endotel pembuluh darah adalah suatu protein Pf-EMP-1 (P. falciparum erythrocyte membrane protein-1) yang terletak dipermukaan knob. Protein ini merupakan protein-protein hasil ekspresi oleh sekelompok gen yang berada dipermukaan knob. kelompok gen ini disebut gen VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi antigenik yang sangat besar. 9,19 Molekul adhesif lain yang diduga ikut berperan sebagai ligand pada sitoadherens adalah sekuestrin, modifikasi eritrosit band II, dan protein rosetting yang berperan pada proses pembentukan roset. 19Sedangkan reseptor pada sel endotel pembuluh darah yang berikatan dengan Pf-EMP-1 pada knob EP sewaktu proses sitoadherens adalah CD 36, trombospondin, ICAM-1 (intracellular cell adhesion molecule-1), kondroitin sulfat. Distribusi resptor-reseptor ini dalam jaringan tubuh manusia tidak sama, hal ini mencerminkan heterogenitas fenotipe serta keragaman fungsi endotel pada organ yang berbeda. pada infeksi ekspresi reseptor-reseptor tersebut meningkat akibat induksi oleh sitokin. Pada malaria fatal ditemukan peningkatan ekspresi ICAM-1 dan ELAM-1 (E-selektin) yang bermakna pada vaskular otak. 193. Sekuestrasi Eritrosit yang terinfeksi dengan stadium lanjut P. falciparum dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knob) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung P. falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler alat-alat dalam. Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi permebel) dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. 18Sitoadherens menyebabkan EP matang tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginal, paru, jantung, usus, dan kulit. Sekuestrasi ini diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat. 104. RosettingRosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga dapat melakukan rosettiing. 10Rosetting berperan dalam terjadinya obstruksi mikrovaskular sehingga mempermudah teradinya sitoadherens dan melindungi parasit dari fagositosis dan parasit bersirkulasi di sel darah merah mengurangi aliran yang bisa menyebabkan glikolisis anaerobik, penurunan pH dan perlekatan eritrosit parasit ke venul endotelium. 10,19

5. SitokinSitokin terbentuk dari sel endotel, monosit, dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari malaria toksin berupa lipo polisakarida (LPS) dan glycosyl phospatydil inositol (GPI). Sitokin ini antara lain tumor nekrosis faktor alfa (TNF-), interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), interleukin-3 (IL-3), LT (Lymphotoksin), dan interferon gamma (INF-).10Sitokin berperan dalam tanda dan gejala infeksi termasuk demam dan malaise. Konsentrasi plasma pada sitokin meningkat baik pada malaria vivax akut dan malaria falciparum. 19Sitokin-sitokin ini saling berinteraksi dan menghasilkan efek patologi yang lebih nyata, sitokin diketahui mempunyai efek antiparasit secara in-vitro. TNF- berperan dalam patogenesa malaria oleh karena molekul ini mnyebabkan upregulation ligand endotelial ICAM-1, merangsang pelepasan NO (nitrit oksida) dari sel endotel, mengakibatkan hipoglikemia dengan cara menghambat glukoneogenesis, serta menyebabkan diseritropoesis. 20Kadar TNF- dan IL-6 berkorelasi secara positif dengan parasitemia, bilirubin serum. Penelitian di Gambia dan Madagaskar melaporkan TNF- berkorelasi positif dengan pembentukkan rosset. Konsep ini membawa pemikiran bahwa suhu dan berkorelasi secara negatif terhadap trombosit sehingga kadar rendah sitokin mempunyai efek protektif sedangkan kadar tinggi mengakibatkan proses patologik.

Diduga adanya peranan dari neurotransmitter yang lain sebagai radikal bebas dalam kaskade ini seperti NO sebagai faktor yang penting pada patogenesa malaria berat. 10,206. Nitrit Oksida (NO)Peranan NO dalam patogenesa malaria masih belum jelas. Diduga bahwa penurunan sintesa NO merupakan predisposisi terhadap teradinya malaria serebral dan fatal. NO dikatakan mempunyai efek protektif melalui inhibisi perkembangan parasit dan menurunkan proses sitoadherens sebab berbeda dengan efek upregulation reseptor endotel oleh TNF dan IL-1, NO menurunkan aktivasi endotelial. Sintesa NO mengganggu neurotransmisi sehingga mengakibatkan kelainan neurologik yang berat tapi reversibel. Reactive nitrogen intermediate berhubungan dengan terjadinya koma. 21Produksi NO dipengaruhi oleh kadar TNF, IL-10 dan faktor parasit. IL-10 mensupresi produksi NO, TNF- menyebabkan pelepasan NO, dan seperti pada TNF, produksi NO diduga dipengaruhi oleh strain parasit. Agaknya terjadi keseimbangan antara TNF dengan NO, sebab inhibisi sintesa NO dapat mengakibatkan peningkatan TNF sirkulasi yang tinggi. 20

F. Imunitas Pada malariaKekebalan residual ialah kekebalan terhadap infeksi yang timbul akibat infeksi terdahulu dengan strain homolog spesies parasit malaria, kekebalan ini menetap untuk beberapa waktu. 18Di daerah endemi dengan transmisi malaria yang tinggi hampir sepanjang tahun, penduduknya sangat kebal dan sebagian besar dalam darahnya terdapat parasit malaria dalam jumlah kecil. Keadaan kebal pada hospes yang telah diinfeksi sebelumnya dengan parasitemia asimtomatik disebut premunisi. 18Pada umunya, penduduk daerah endemi yang terpapar malaria secara terus menerus, membentuk suatu kekebalan terhadap infeksi. Manifestasi klinis, parasitemia dan mungkin pembentukkan gametosit juga berkembang oleh adanya kekebalan ini. Di daerah holo/hiperendemik, prevalensi malaria dan pembentukkan gametosit paling banyak terjadi pada bayi dan anak kecil. Kelompok tersebut mempunyai kekebalan yang paling rendah. Orang dewasa mempunyai titer antibodi malaria yang tinggi dan jumlah parasit yang beredar dalam darah, paling rendah dan parasit ini membentuk kekebalan. Pada wanita dengan kehamilan, kekebalan terhadap malaria menurun, sehingga seringkali menimbulkan infeksi berat. 18

G. Manifestasi Klinis Malaria1. Malaria tanpa komplikasiGejala klinis dipengaruhi oleh jenis/strain Plasmodium, imunitas tubuh dan jumlah parasit yang menginfeksi. Waktu mulai terjadinya infeksi sampai timbulnya gejala klinis disebut sebagai masa inkubasi, masa inkubasi bervariasi pada masing-masing Plasmodium, sedangkan waktu antara terjadinya infeksi sampai ditemukannya parasit dalam darah disebut periode prepatent. 22,23Gejala awal tidak spesifik dan serupa dengan gejala penyakit virus ringan, yaitu keluhan tidak enak badan (malaise), nyeri kepala, mudah lelah, rasa tidak enak pada abdomen dan pegal-pegal pada otot yang kemudian diikuti oleh panas dan menggigil. Keluhan prodromal sering terjadi pada P.vivax dan P.ovale, sedang pada P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak. 24,22,Gejala utama malaria adalah demam yang spesifik, tetapi terkadang sangat bervariasi dan sangat sulit dibedakan dengan demam karena penyakit lain. Pola manifestasi klinik yang spesifik pada malaria disebut trias malaria atau gejala utama (cardinal sign), yang dipakai untuk petunjuk kearah dugaan malaria, yaitu demam paroksismal, anemia, dan splenomegali. 8,14a. Demam ParoksismalSerangan demam yang khas terdiri dari beberapa stadium :1. Stadium menggigil dimulai dengan perasaan dingin sekali, sehingga menggigil. Penderita menutupi badannya dengan baju tebal dan selimut. Nadinya cepat dan lemah, bibir dan jari-jari tangannya kebiruan, kulitnya kering dan pucat, kadang-kadang disertai muntah. Pada anak sering disertai kejang-kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam. 182. Stadium puncak demam dimulai pada saat perasaan dingin sekali berubah menjadi panas sekali. Muka menjadi merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, sakit kepala makin hebat, biasanya ada mual dan muntah, nadi penuh dan berenyut keras. Perasaan haus sekali pada saat suhu naik sampai 41oC (106oF) atau lebih. Stadium ini berlangsung selama 2 sampai 6 jam. 183. Stadium berkeringat dimulai dengan penderita berkeringat banyak sehingga tempat tidurnya basah. Suhu turun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah ambang normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan waktu bangun, merasa lemah tetapi sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam. 18

b. SplenomegaliPembesaran limpa merupakan gejala khas terutama pada malaria manahun. Perubahan pada limpa biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi kemudian limpa berubah berwarna hitam karena pigmen yang ditimbun dalam eritrosit yang mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid. Eritrosit yang tampaknya normal dan yang mengandung parasit dan butir-butir hemozoin tampak dalam histiosit di pulpa dan sel epitel sinusoid. Hiperplasia, sinus melebar dan kadang-kadang trombus dalam kapiler dan fokus nekrosis tampak dalam pulpa limpa. Pada malaria menahun, jaringan ikat makin bertambah sehingga konsistensi limpa menjadi keras. 18

c. AnemiaDerajat anemia tergantung pada spesies yang menyebabkannya. Anemia terutama tampak jelas pada malaria falciparum dengan penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat dan pada malaria menahun. Jenis anemia pada malaria adalah hemolitik, normokrom dan normositik. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak. 18

2. Malaria dengan komplikasiInfeksi malaria yang berat (malaria dengan komplikasi) umumnya didapati pada penderita yang tidak kebal, cenderung bersifat gawat, kematiannya mencapai 20-40%, sehingga memerlukan perawatan yang segera. 22Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefiniskan sebagai infeksi P.falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut :a. Malaria serebral : koma tidak bias dibangunkan, Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 11Malaria serebral ditandai dengan tanda-tanda penurunan kesadaran berupa apatis, disorientasi, somnolen, stupor sopor, koma yang dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari atau mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, yang seringkali disertai dengan kejang, bila dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale) ialah kurang dari 11.10,17Diduga pada malaria serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang mengandung parasit sulit menembus kapiler karena proses sitoadherensi dan sekuestrasi parasit. 10b. Anemia Berat Definisi WHO menyatakan malaria berat dan perlu transfusi bila Hb < 5gr% atau hematokrit kurang dari 15%. Hal ini terjadi karena percepatan destruksi eritrosit dan peningkatan bersihan oleh limpa, dan bersamaan dengan itu juga disertai gangguan eritropoiesis. 17,10c. Kelainan Hati (Malaria Biliosa)Ikterus (bilirubin >3mg%) sering dijumpai pada infeksi P.falsiparum, hal ini mungkin disebabkan karena sekuestrasi dan sitoadherens yang menyebabkan obstruksi mikrovaskular. Ikterik karena hemolitik sering terjadi. Ikterik yang berat karena P. falciparum lebih sering terjadi pada penderita dewasa dibandingkan pada anak-anak, hal ini karena hemolisis, kerusakan sel-sel hepatosit. 17Ikterus berat terjadi karena infeksi P. falciparum ini terjadi akibat hemolisis, kerusakan hepatosit dan kolestasis. Ketika disertai dengan disfungsi organ vital lain prognosa kerusakan hepar semakin buruk. Kerusakan fungsi hepar berperan terhadap terjadinya hipoglikemia, asidosis laktat dan gangguan metabolisme obat. 25d. Gagal ginjal akut (GGA)Gagal ginjal akut merupakan sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang nyata dan cepat. GGA ditandai dengan produksi urin kurang dari 400ml/24 jam atau < 12ml/KgBB pada anak-anak stelah dilakukan rehidrasi, dan atau kreatinin > 3 mg%.10Kelainan fungsi dapat terjadi prerenal karena dehidrasi sekitar 50% dan hanya sekitar 5-10% disebabkan oleh nekrosis tubular akut. Gangguan fungsi ginjal ini disebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat dari dehidrasi dan sumbatan mikrovaskular akibat dari dehidrasi dan sumbatan mikrovaskuler akibat sekuestrasi, sitoadherens dan rosetting. 17e. Edema paru/ ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)Edema paru dapat terjadi karena hiperpermeabilitas kapiler dan atau kelebihan cairan dan mungkin juga oleh karena peningkatan TNF-. 17f. Hipoglikemia Hipoglikemia ditandai dengan glukosa darah kurang dari < 40 mg%. Hal ini disebabkan karena cadangan glukosa yang kurang pada starvasi atau malnutrisi, gangguan absorbsi glukosa oleh karena berkurangnya aliran darah ke splanchnicus, meningkatnya metabolisme glukosa di jaringan, pemakaian glukosa oleh parasit, sitokin akan mengganggu glukoneogenesis dan hiperinsulinemia yang terjadi sewaktu pengobatan kuinin. 10,17g. Malaria algidMerupakan syok vaskular, ditandai dengan hipotensi (Sistolik 50%) dan menjadi penyebab kematian utama. Penelitian di Samarinda tahun 2003-2005 menunjukkan manifestasi malaria serebral dijumpai pada 58% kasus malaria berat yang dirawat di Bangsal Penyakit Dalam RSUD AW. Syahranie. 38Pada malaria serebral terjadi infeksi secara hematogen dan sekuestrasi eritrosit berparasit dalam otak. Infeksi oleh parasit malaria (pRBC) akan merangsang respon imun yang akan menyebabkan produksi IFN- yang berlebihan. Pengaturan dari reseptor seperti CD-36 dan IFN- juga merangsang monosit untuk menghasilkan TNF sehingga akan meningkatkan bentuk sitokin yang dapat menembus membran. IFN- dan CD-36 melakukan interaksi dengan TNF yang jumlahnya meningkat dan akan menyebabkan ICAM-1 meningkat. Dengan meningkatnya ICAM-1 akan menyebabkan platelet semakin mudah melakukan adhesi ke sel endotel otak sehingga akan berakibat gangguan fungsional berupa peningkatan adhesi parasit malaria melalui CD-36 dan Leukosit melalui LFA-1 dan P-Selectin. Kesemuanya ini menyebabkan permeabilitas vaskuler meningkat, blood brain barrier rusak, edema serebral dan menginduksi respon radang pada dan sekitar pembuluh serebral. Terjadi perdarahan dan nekrosis sekitar venule dan kapiler. 39 Diduga pada malaria serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang mengandung parasit sulit menembus kapiler karena proses sitoadherensi dan sekuestrasi parasit. 10 Manifestasi klinik dari malaria serebral berupa kebingungan yang diikuti dengan menurunnya kesadaran, delirium dan kejang. 39,19Hasil penelitian menggambarkan komplikasi malaria berat dengan ikterik ditemukan 3 kasus (21,43%). Penelitian di RSUP Manado tahun 1998 menyebutkan dari 70 koplikasi malaria berat terdapat 41,6% berupa komplikasi ikterus. Penelitian yang sama tahun 1995 juga melaporkan bahwa malaria berat dengan Ikterik merupakan komplikasi malaria berat terbanyak sebesar 36,8%.10 Penelitian Zein dkk di Medan pada tahun 2001-2002 dimana ikterik merupakan komplikasi malaria berat terbanyak sebanyak 11 kasus (68,8%). 40Ikterus ini terjadi karena infeksi P. falciparum ini dapat terjadi akibat proses hemolisis, kerusakan hepatosit, ataupun kolestasis. 25 Peningkatan destruksi eritrosit menyebabkan pembentukan bilirubin berlebihan karena sel hati tidak dapat mengekskresi bilirubin secepat pembentukannya yang disebut ikterus hemolitik (pre-hepatik). Kerusakan sel hepatosit disebabkan karena adanya sekuestrasi dan sitoadherens akan menyebabkan obstruksi mikrovaskuler sehingga terjadi penurunan aliran darah ke hepar yang selanjutnya akan mengakibatkan iketrus.17Komplikasi malaria berat dengan gagal ginjal akut terjadi sebanyak 3 kasus (21,43%). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian di RSUP Manado bahwa malaria berat dengan gagal ginjal akut tahun 1995 adalah 20,6% dan tahun 1998 10%. 10 Pasien dikatakan mengalami gagal ginjal akut bila kreatinin > 3 mg% dan atau produksi urinn < 400ml/24 jam. Kelainan fungsi ginjal dapat terjadi pre-renal karena dehidrasi (>50%) dan hanya 5-10% disebabkan nekrosis tubulus akut. Gangguan ginjal diduga disebabkan adanya anoksia karena penurunan aliran darah ke ginjal akibat dari sumbatan kapiler.10Komplikasi malaria berat dengan anemia berat terdapat 2 kasus (14,29%) dan menempati urutan ke-4. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian di Medan tahun 2001-2002 dimana anemia berat menempati urutan keempat komplikasi malaria sebanyak 8 kasus (50%). 40Pasien dinyatakan mengalami anemia berat bila kadar Hb < 5mg% atau hematokrit kurang dari 15%. Patogenesis anemia yang berkaitan dengan bentuk malaria masih belum diketahui. Anemia pada malaria P. falciparum mempunyai suatu mekanisme multifaktorial dengan elemen destruksi meningkat dan defektif produksi eritrosit. Pada infeksi P. falciparum anemia adalah berat karena affinitas terhadap setiap eritrosit tanpa memandang umur sehingga semua umur eritrosit dapat terserang dan terjadi kerusakan pada sel darah merah dimana permukaan sel darah merah menjadi tidak teratur. Eritrosit berparasit maupun tidak berparasit mengalami hemolisis, karena fragilitas osmotik meningkat atau perkembangan dari eritrosit berparasit maupun tidak berparasit meningkat dan karenanya waktu hidup eritrosit diperpendek dan mempercepat perkembangan anemia. 39Komplikasi malaria berat dengan hipoglikemia dalam penelitian ini tidak ditemukan. Hal ini berbeda dengan penelitian di Minahasa insiden hipoglikemia berkisar 17,4%-21,8%, di Thailand dilaporkan pasien malaria serebral yang mengalami hipoglikemia sebanyak 12,5%. Penyebab terjadinya hipoglikemia adalah peningkatan uptake glukosa oleh parasit, pemberian terapi kina akan merangsang sel beta pankreas mensekresikan insulin sehingga menimbulkan hiperinsulinemia. 41Perbedaan distribusi pasien malaria dengan komplikasi ini dengan beberapa penelitian lain, kemungkinan juga disebabkan tidak semua pasien malaria diperiksa kelima parameter malaria berat di atas. Parameter yang pasti di nilai dari setiap pasien adalah adakah penurunan kesadaran. Sehingga, kemungkinan malaria serebral untuk terdeteksi lebih besar di banding komplikasi lain yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium khusus. Perbedaan ini juga dapat dikarenakan jumlah sampel pasien malaria dengan komplikasi yang terlalu kecil (9 pasien) sehingga kurang dapat mewakili dengan tepat distribusi dari komplikasi malaria berat, selain itu, penatalaksanaan yang tepat juga akan mencegah pasein mengalami komplikasi lebih lanjut.Pada tabel 5.7 terlihat bahwa distribusi malaria dengan komplikasi di unit rawat inap RSUD Harapan Insan Sendawar Kutai Barat tahun 2008 yaitu pasein malaria yang mengalami 3 komplikasi sebanyak 1 orang (11,11%), 3 pasien (33,33%) mengalami 2 komplikasi, dan 5 pasien (55,56%) mengalami 1 komplikasi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian di RSUD AW. Syahranie Samarinda tahun 2003 bahwa terdapat 3 pasien (20%) dengan 3 komplikasi, 10 pasien (28,6%) dengan 2 komplikasi, dan 17 pasien (48,6%) dengan 1 komplikasi. 32 Banyaknya komplikasi berhubungan dengan tingkat mortalitas. Mortalitas malaria berat bergantung dari jenis organ dan jumlah organ yang terlibat dalam komplikasi. Dari penelitian di Minahasa, bila komplikasi hanya pada satu organ, mortalitasnya 10,5%, dengan 2 organ terkena mortalitasnya 47,6% dan bila 3 organ terkena mortalitas 88,9%.10

E. Karakteristik pasien malaria berdasarkan mortalitasPada penelitian ini dari 152 pasien malaria selama tahun 2008, yang terdiri dari 143 (94,08%) pasien malaria tanpa komplikasi dan 9 (5,92%) pasien malaria dengan komplikasi, tidak ada pasien meninggal akibat penyakit malaria atau dengan kata lain seluruh pasien mengalami perbaikan keadaan setelah menjalani perawatan di unit rawat inap RSUD Harapan Insan Sendawar selama tahun 2008. Hal ini berbeda dengan penelitian di RSUP Manado bahwa mortalitas akibat malaria berat adalah 15,8% pada tahun 1995 dan 11,4% pada tahun 1998. 10Penyakit malaria tanpa komplikasi pada umumnya akan mengalami perbaikan dengan pengobatan atau bahkan dapat spontan tanpa pengobatan. Tetapi pada malaria berat atau disertai komplikasi pada berbagai organ vital dapat mengakibatkan kegagalan fungsi organ. Semakin banyak komplikasi biasanya mortalitas juga semakin meningkat.Perbedaan dengan penelitian-penelitian lain kemungkinan disebabkan oleh penanganan yang segera dan adekuat pada pasien malaria berat ini, sehingga pasien tidak sampai jatuh ke kondisi yang lebih parah atau kemungkinan lain karena jumlah pasien malaria berat di penelitian ini jumlahnya sedikit, sehingga hasilnya kurang menggambarkan tingkat mortalitas yang sesungguhnya.

BAB VIIPENUTUP

A. KesimpulanDari penelitian yang telah dilaksanakan dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :1. Kelompok usia pasien malaria di unit rawat inap RSUD Harapan Insan Sendawar Kutai Barat tahun 2008 terbanyak adalah kelompok usia 25-44 tahun (usia produktif).2. Jenis Kelamin pasien malaria di unit rawat inap RSUD Harapan Insan Sendawar Kutai Barat tahun 2008 terbanyak adalah laki-laki, dengan rasio laki-laki dengan perempuan 2,5:1.3. Waktu terjadinya malaria di unit rawat inap RSUD Harapan Insan Sendawar Kutai Barat tahun 2008 adalah hampir merata sepanjang tahun 2008.4. Pasien malaria yang mengalami komplikasi hanya 9 orang, sedangkan 143 lainnya tidak mengalami komplikasi dari 152 pasein di unit rawat inap RSUD Harapan Insan Sendawar Kutai Barat tahun 2008, dengan komplikasi terbanyak adalah malaria serebral.5. Mortalitas pasien malaria baik malaria dengan atau tanpa komplikasi di unit rawat inap RSUD Harapan Insan Sendawar Kutai Barat tahun 2008 tidak ditemukan. Semua pasien malaria mengalami perbaikan keadaan.

B. Saran1. Diperlukan adanya pemeriksaan yang lengkap dan terpadu, serta tercatat lengkap di rekam medis baik klinis maupun laboratorium terutama pada pasien malaria yang dicurigai mengalami komplikasi, sehingga memudahkan dalam penelitian-penelitian selanjutnya2. Diperlukan adanya peningkatan kemampuan Puskesmas dalam penanganan malaria, khususnya di pedalaman melalui pembinaan dan pelatihan petugas, perbaikan sarana penunjang diagnosa, peningkatan fasilitas rawat inap, dan perbaikan sistem rujukan sehingga pasien malaria akan cepat mendapat pertolongan agar tidak samapai jatuh ke kondisi yang lebih parah.3. Perlu adanya program penyuluhan dan pemberantasan malaria oleh Dinas Kesehatan setempat, terutama pada masyarakat pedalaman yang bertempat tinggal di kawasan hutan, sekitar sungai, perkebunan, dan pertanian. Sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kesakitan malaria di Kabupaten Kutai Barat. 4. Perlu penelitian lebih lanjut dan berkala tentang hubungan antara waktu kejadian (bulan) dengan penyakit malaria dengan rentang waktu yang lebih panjang dan kaitannya dengan jenis dan lingkungan pekerjaan.5. Perlu adanya penelitian mengenai tempat-tempat perindukan vektor malaria dan kaitannya dengan musim.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. World Malaria Report. Geneva: World Health Organization, 2008. hal. 1-2.

2. WHO. Global burden of disease: 2004. [Online] World Health Organization, 2008. [Dikutip: 16 Januari 2009.] www.who.int/healthinfo/bodestimates/en/index.htm.

3. Harijanto, Paul N. Malaria. [penyunt.] Aru W Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006, hal. 1732-1744.

4. Departemen Kesehatan. Indonesia Masih Berisiko Malaria. BadanPenelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. [Online] 24 April 2008. [Dikutip: 28 Januari 2009.] http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/malaria240408.htm.

5. Ludji, Ina Debora Ratu. Pengaruh Faktor Penderita dan Lingkungan Terhadap Kesembuhan Penderita Malaria di Kecamatan Kupang Timur - NTT. Airlangga University Library. [Online] 12 Pebruari 2007. [Dikutip: 10 Maret 2008.] http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2-2007-ludjiinade-5667&PHPSESSID=be3ac3e2c99d340eeb7523e092bee3 3d.

6. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur. Profil kesehatan 2006. Samarinda: Dinkes Kaltim, 2007.

7. Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Barat. Profil Pelayanan Kesehatan. Sendawar: Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Barat, 2008.

8. Gunawan, Suriadi. Epidemiologi Malaria. [penyunt.] P.N Harijanto. Malaria : Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganannya. Jakarta: EGC, 2000, hal. 1-16.

9. Harijanto, P. N. Gejala Klinik Malaria. [penyunt.] P.N. Harijanto. Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: EGC, 2000, hal. 151-153.

10. Harijanto, P N. Gejala Klinik Malaria Berat. [penyunt.] P.N Harijanto. Malaria : Epidemiologi, Ptogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, 2000, hal. 166-183.

11. Ramdja, M. Mekanisme Resistensi Plasmodium falciparum Terhadap Klorokuin. Jakarta: Medika, 1997,hal. 873.

12. Kartono, M. Anopheles: VektorPenyakit Malaria di Indonesia. Jakarta: Medika, 2003, hal. 615.

13. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria Di Indonesia. JakartaDepartemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. hal. 1-12.

14. Sardjono, Teguh W. Malaria, Mekanisme Terjadinya Penyakit Dan Pedoman Penanganannya. Malang: Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2005.

15. WHO. World Malaria Report 2005. [Online] 2006. [Dikutip: 12 Pebruari 2009.] http://www.rbm.who.int/wmr2005/html/map3.htm.

16. CDC. Malaria. Centers for Disease Control and Prevention. [Online] 17 Pebruari 2006. [Dikutip: 2009 Pebruari 12.] http://www.cdc.gov/malaria/biology/life_cycle.htm.

17. Zulkarnain, Iskandar dan Setiawan, Budi. Malaria Berat. [penyunt.] Aru W Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006, hal. 1745-1751.

18. Pribadi, Wita. Parasitologi Kedokteran. [penyunt.] Srisasi Gandahusada, Herry D. Ilahude dan Wita Pribadi. Jakarta: Fakultas Kedoketran Universitas Indonesia, 2004. hal. 171-175.

19. White, NJ. Manson's Tropical Disease. London: Saunders Company, 2003. hal. 1205-1222.

20. Langi, J, Harijanto, PN dan Richie, LT. Patogenesis Malaria Berat. [penyunt.] PN Harijanto. Malaria : Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinik dan Penanganannya. Jakarta: EGC, 2000, hal. 118-126.

21. Strickland, GT dan Taylor, TE. In Hunter's Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease Eight Edition. United States of America: W.B. Saunders Company, 2000. hal. 614-630.

22. Wardoyo, A. B. Malaria dan Pencegahannya. Waspadai Ancaman Kesehatan Kita. Solo: CV. Aneka, 1997, 5, hal. 28-34.

23. Isselbacher, KJ, et al. Penyakit Malaria dan Babesiosis. [penyunt.] AH Asdie. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 2. 13. Jakarta: EGC, 1995, hal. 1001-1012.

24. Gunawan, S. Epidemiologi Malaria. [penyunt.] P. N. Harjanto. Malaria : Epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan penanganannya. jakarta: EGC, 2000, hal. 1-16.

25. Osler, W. [pengar. buku] et al Braunwald. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15. United States of America: The Mc Graw Hill Companies, 2001, hal. 1207.

26. Gilles, H. M. Penatalaksanaan Malaria Berat dan erkomplikasi. [penyunt.] Eddy Kosin. [penerj.] Irawati Setiawan. Jakarta: Hipokrates, 1997.

27. Menteri Kesehatan Repubilk Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Repubilk Indonesia :Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta: Departemen Kesehatan Repubilk Indonesia, 2007.

28. Mitiku, Kassahun, Mengistu, Getahun dan Gelaw, Baye. The reliability of blood film examination for malaria at the peripheral health unit. Ethiopian Journal of Health Development. Vol. 17, 2003, hal. 197-204.

29. Maude, Richard J, et al. Malaria in southeast Bangladesh. Bangladesh Medical Research Council Bulletin, Vol. 34, 2008 hal. 87-89.

30. Jamaiah, I, et al. Malaria : A 10-year (1994-2003) retrospective study at University Malaya Medical Center (UMMC), Kuala Lumpur, Malaysia. Bangkok: Southeast Asian journal of tropical medicine and public health, Vol. 36, 2005, hal. 60-63.

31. Sukisno. Gambaran Penderita dan Faktor-faktor Lingkungan yang Berhubungan Dengan Kejadian Malaria di Kabupaten Tananggus Propinsi Lampung Tahun 2008. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999.

32. Gunawan, Carta A dan Harijanto, P.N. Severe Malaria With Jaundice. 12th international Congress on Infectious Diseas. Lisbon: s.n., 2006.

33. CDC. Geographic Distribution and Epidemiology. [Online] 2007. http:\\www.cdc.gov\malaria\epidemiology\.

34. CDC. Anopheles. [Online] 2007. http:\\www.cdc.cov/malaria/mosquito/.

35. Badan Pusat Stastistik Kabupaten Kutai Barat. Kutai Barat Dalam Angka tahun 2008. Sendawar: Badan Pusat Stastistik Kabupaten Kutai Barat, 2009. hal. 2-10.

36. Pranoto dan Munif, Amrul. Korelasi Musim terhadap Populasi Tiga Vektor Malaria. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran, Juli 1994,hal. 52-58.

37. Rathnam, Priya Joy, Bryan, Joe P dan Wolf, Martin. Epidemiology of Malaria Among United States Goverment Personal Assigned yo Diplomatic Posts. Washington: The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, Vol. 72, Juli 1994, hal. 260-266.

38. Gunawan, Carta A. Malaria Serebral dan Penanganannya. [penyunt.] P N Harijanto. Malaria dari Molekuler ke Klinis. Jakarta: EGC, 2009, hal. 289-297.

39. Tambajong, E.H. Patobiologi Malaria. [penyunt.] P.N Harijanto. Malaria : Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: EGC, 2000, hal. 88-91.

40. Zein, Umar, et al. Medan Diduga Daerah Endemik Malaria. Medan: USU digital Library, Juli 1994,hal. 4.

41. Fairhurst, R M dan Wellems, T E. Principles and Practice of Infectious Disease Sixth Edition. United States of America: Elsevier, 2005. hal. 3121-3125.