refleksi kehidupan sosial budaya masyarakat …

141
REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL “ATHIRAH” KARYA ALBERTHIENE ENDAH (Sebuah Telaah Sosiologi Sastra) REFLECTION OF BUGIS SOCIAL CULTURE LIFE IN “ATHIRAH” NOVEL CREATED BY ALBHERTIENE ENDAH (A SociologicalStudyof Literature) Tesis Oleh A K M A L Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR 2014

Upload: others

Post on 27-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL “ATHIRAH” KARYA ALBERTHIENE ENDAH

(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)

REFLECTION OF BUGIS SOCIAL CULTURE LIFE IN “ATHIRAH” NOVEL CREATED BY ALBHERTIENE ENDAH

(A SociologicalStudyof Literature)

Tesis

Oleh

A K M A L

Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR

2014

Page 2: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

i

REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL “ATHIRAH” KARYA ALBERTHIENE ENDAH

(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk MencapaiMagister

Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

A K M A L Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MEGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVESITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR

2014

Page 3: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

ii

TESIS

REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL ATHIRAH KARYA

ALBERTHIENE ENDAH (Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)

Yang disusun dan diajukan oleh

AKMAL Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis pada tanggal, 11 November 2014

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Muh. Rapi Tang, M. S. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.

Mengetahui,

Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia Prof. Dr. H. M. Ide Said, D. M., M. Pd. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum. NBM. 988463 NBM. 922699

Page 4: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

iii

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI

Judul : Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis

dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah (Sebuah telaah Sosiologi Sastra)

Nama : A k m a l

NIM : 04.07.750.2012

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Konsentrasi : -

Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Tesis pada tanggal 11 November 2014 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 21 Januari 2015

Tim Penguji:

Prof. Dr. Muh. Rapi Tang, M. S. ............................................... (Ketua/Pembimbing/Penguji)

Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum. ............................................... (Sekretaris/Penguji)

Prof. Dr. H. M. Ide Said, D. M., M. Pd. ............................................... (Penguji)

Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. ............................................... (Penguji)

Page 5: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Akmal

Nomor Pokok : 04.07.750.2012

Program Studi : Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-

benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan

atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat

dibuktikan bahwa sebagaian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang

lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 21 Januari 2015

Yang menyatakan,

Matrai 6000

Akmal

Page 6: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …
Page 7: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …
Page 8: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …
Page 9: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

v

ABSTRAK

AKMAL, 2014 Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Bugis dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah. Tesis Megister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar. (Dibimbing oleh Muhammad Rapi Tang sebagai Ketua Komisi dan Abdul Rahman Rahim sebagai Anggota).

Penelitian sosiologi sastra novel Athirahkarya Alberthiene Endah bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan struktur novel Athirah yang meliputi alur, penokohan, latar, tema, dan amanat yang digunakan sebagai langkah awal dalam analisis sosiologi sastra dan (2) Mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang terungkap dalam novel Athirah.

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka jenis deskriptif dengan pendekatan kualitatif.Data dalam penelitian ini adalah unsur struktur yang membangun novel Athirah dan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis meliputi kematian(maut), cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental yang terungkap dalam novel Athirah. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Athirah karya Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta , Desember 2013 cetakan pertama setebal 404 halaman. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (library research) dan teknik simak catat. Penelitian ini menggunakan beberapa tahap pengolahan data, yaitu deskripsi data, klasifikasi data, interpretasi data, dan evaluasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel Athirah,diperlihatkan adanya hubungan antarunsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra tersebut. Rangkaian kejadian yang disusun menggunakan alur kronologis dan pada tahap-tahap tertentu cerita disusun dengan sorot balik (flashback) membutuhkan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Peristiwa demi peristiwa yang dialami tokoh-tokohmembentuk sebuah jalinan peristiwa sehingga terbentuklah alur cerita. Di sinilah letak keterjalinan antara alur dan penokohan karena alur tidak akan terbentuk tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan bergerak dalam rangkaian ceritanya.latar tempat mempunyai peran penting dalam penyusunan alur cerita. Alur cerita terbentuk karena peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya dan tokoh-tokoh tersebut dihubungkan oleh latar tempat. Sedangkan, kehidupan sosial budaya Bugis yang terefleksikan dalam novel ini adalah masalahmaut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental. Kehidupan sosial tersebut direfleksikan dalam pristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Disarankan kepada penikmat sastra agar novel ini dibaca karena di dalamnya dipaparkan mengenai perjuangan seorang ibu dan sosok dibalik kesuksesan Jusuf Kalla. Layak dibaca oleh para generasi muda agar

Page 10: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

vi

dipetik manfaatnya. Diharapkan kaum muda lebih menghormati ibu dan mengambil teladan.

Page 11: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

vi

ABSTRACT

AKMAL,2014 Reflection of Bugis Social Culture Life in Athirah Novel Created by Albhertine Endah. Thesis of Magister Laguage Education and Indonesian Literature the Program of the Post Graduate for Makassar Muhammadiyah University. (Guided by Muhammad Rapi Tang as the commision chief and Abdul Rahman Rahim as a member).

The research of the literature sociology Athirah novel created by Alberthine Endah has aimed (1) is it to describe the structure of Athira novel that contains plot, figure, background theme and massage wich are used as the beginning step of analisyis for the literature sociology and (2) it is to describe the life of the social culture Bugis society that has been expressed in Athirah novel.

This research is the leabrary reseach kind of descriptive with the qualitatif approaching. Data in this reseach is the structure element in building the Athirah novel and the life of social culture for the Bugis society include the death, love, tragedy, hopeness, dedication, and the transendental cases have been expressed in the Athirah novel. The data source in this reseach is the Athira novel created by Alberthiene Endah. Noura Books Edition Jakarta, December 2013 the first edition as 440 pages. The technical collecting data in this reseach is the library reseach and the tecnical of gatherin record. This reseach uses some stages of processing data, namely, the data description, the data classification, data interpretation, and evaluation.

The result of this research shows that in the Athirah novel has shown us there is relationship between the element that build literature creation the series of events which are arranged to use cronology plot and the cartain stages the story is arrange with flashback need doers involved in it. Event by event which has been undergone by the doers it well from on event relation so iti can from a plot. Here is place of relationship between a plot and figure because the plot will not be formed without the figures narrated and moved in the series of its story. A place setting has played an important role in arranging a plot. A story plot formed because the events have been undergone by its figures and the figures are related by a setting place. While the life of Bugis social culture has been reflected in this novel is death, love, tragedy, hopeness, dedication and the transendental cases. The social life is reflected in the events undegone by its figures. It is suggested to the literature users in order this novel can be read because in novel has been explained abaut the struggle of a mothers and the succes of Yusuf Kalla. It is suitable read by the young generation in order to take its benefit. It is hoped to the youth to respect a mother and take a good example.

Page 12: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

vii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., yang

senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, menganugerahi

kesehatan dan keselamatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

dengan judul “Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis dalam

Novel Athirah Karya Albertthiene Endah”. Menyadari bahwa dalam

menyelesaikan tesis ini, berbagai macam kesulitan yang penulis alami,

tetapi dengan bekal keyakinan, ikhtiar yang maksimal dan tawakkal

kepada-Nya akhirnya tesis ini selesai sesuai rencana.

Tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak.

Untuk itu, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan

dan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Rapi Tang, M. S.,

sebagai pembimbing I dan Dr. Rahman Raahim, M. Hum., sebagai

pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing

dan mengarahkan penulis dalam merampungkan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. Dr. H. M. Ide Said. DM, M.Pd.,

sebagai Penguji I dan Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum., sebagai Penguji II

yang memberikan saran dan kritikan yang konstruktif demi penyempurnaan

tesis ini.

Page 13: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

viii

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. H. Irwan Akib, M. Pd.,

sebagai Rektor Unismuh Makassar dan Prof. Dr. H. M.Ide Said. DM, M.Pd.,

sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah

Makassar. Terima kasih pula kepada Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.

sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

serta para karyawan yang telah memudahkan pelayanan administrasi

kepada penulis selama ini.

Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-

dalamnya kepada seluruh tenaga pengajar pada Jurusan Pendidikan

Bahasa dan sastra Indonesia yang telah membekali penulis dengan

berbagai ilmu pengetahuan.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak

terhingga kepada istri dan anak-anak tersayang yang telah memberikan

segalanya kepada penulis, baik dalam bentuk material serta doa tulusnya.

Juga kepada orang tua dan keluarga yang senantiasa mendoakan penulis

untuk meraih kesuksesan. Semoga doa, bantuan, dan motivasi yang

diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah, Swt.

Makassar, November 2014

Akmal

Page 14: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ...................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS........................................ iv

ABSTRAK ................................................................................................. v

ABSTRACT .............................................................................................. vi

KATA PENGANTAR................................................................................ vii

DAFTAR ISI .............................................................................................. ix

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR................................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiv

DAFTAR ISTILAH ................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................ 11

C. Tujuan Kajian ................................................................ 11

Page 15: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

x

viii

D. Manfaat Kajian ............................................................. 12

E. Definisi Istilah ............................................................... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................... 14

A. Tinjauan Hasil Penelitian .............................................. 14

B. TinjauanTeoridan Konsep ............................................ 16

C. Kerangka Pikir ……....................................................... 44

BAB III METODE KAJIAN ............................................................. 46

A. Pendekatandan Jenis Penelitian .................................. 46

B. Sumber Data ................................................................... 48

C. Objek Kajian ................................................................. 48

D. Teknik Pengumpulan Data............................................ 48

E. Teknik Pengolahan Data .............................................. 49

F. Teknik Penarikan Kesimpulan .................................... 50

G. Tahapan dan Jadwal Pengkajian ................................. 50

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ........................... 52

A. Analisis Unsur Intrinsik Novel ....................................... 52

B. Analisis Sosiologi Sastra............................................... 87

C. Pembahasan Hasil Penelitian...................................... 101

BAB V KESIMPILAN DAN SARAN ............................................ 108

A. Kesimpulan.... .............................................................. 108

B. Saran........................................................................... 111

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 112

Page 16: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

xi

viii

RIWAYAT HIDUP ................................................................................. 114

LAMPIRAN............................................................................................ 115

Page 17: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

vi

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

Tabel 3.1 Tahapan dan Jadwal Pengkajian ....................................... 49

Page 18: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

vi

xiii

DAFTAR GAMBAR

Bagan Teks Halaman

Bagan 2.1 Bagan Kerangka Pikir ............................................. 44

Page 19: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

xiv

DAFTAR LAMPRAN

Lamiran Teks Halaman

1. Sinopsis Novel Athirah ............................................................... 110

2. Surat Izin Penelitian .................................................................... 116

Page 20: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

xv

DAFTAR ISTILAH

antagonis : tokoh yang suka menentang tokoh utama dalam cerita.

daeng : panggilan keakraban orang (bangsawan) Bugis.

eksplorasi : penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak.

ekstrinsik : bagian yang berasal dari luar, bukan merupakan bagian yang tidak terpisahhkan dari inti.

emma : panggilan akrab anak terhadap ibudikalangan orang Bugis.

flash back : kilas balik.

genre :ragam, jenis.

intrinsik : bagian yang terkandung di dalamnya, bagian dari inti.

kronologis : berdasarkan urutan waktu.

kuliner : tentang makanan.

NU : Nahdatul Ulama.

NV : Naamloze Vennootschaap (Perseroan Terbatas)

protagonis :tokoh utama berwatak baik dalam cerita.

refleksi : gerakan, pantulan, di luar kesadaran sebagai awaban ataukegiatan yang datang dari luar.

sosiologi : ilmu tentang sifat, prilaku dan perkembangan masyarakat.

tragedi : peristiwa yang menyedihkan.

transendental : menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, abstrak.

Page 21: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastrawan tidak lepas dari status sosial tertentu, sedangkan

sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai

medianya, dan bahasa itu sendiri adalah ciptaan sosial. Dengan demikian,

tidak jarang karya sastra merupakan cerminan atau pantulan hubungan

sosial individu dengan individu lain, atau antara individu dan masyarakat.

Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu

mempengaruhi masyarakat. Bahkan, seringkali masyarakat sangat

menentukan nilai karya sastra yang hidup di satu zaman, sementara

sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial

tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya

dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.

Karya sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang ada

dalam masyrakat. Ia mengungkap masalah-masalah manusia dan

kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Karya sastra

melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang,

kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Melalui karya sastra,

pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung,

ingin menafsirkan hidup dan hakikat hidup (Esten, 1989:8).

Page 22: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

2

Karya sastra merupakan sebuah potret terhadap kenyataan sosial

yang ditangkap oleh pengarang melalui indra penghayatannya terhadap

kehidupan di sekitarnya yang selanjutnya diolah dalam tungku imajinasi

dan dituangkan dalam mangkuk kreativitas. Sastra membaca fakta yang

ada sehingga “karya sastra adalah kenyataan (realitas) sosial yang

mengalami proses pengolahan oleh pengarang” (Sumardjo, 1982: 30)

Sastra menjadi dinamika sosial dalam persentuhannya antara

pengarang dengan masyarakat. Perubahan demi perubahan membentuk

konstruksi sosial yang lahir dari persoalan hidup manusia. Pengarang

mengungkapkan berbagai macam masalah yang dialami, ataupun yang

dilihat di lingkungan dia berada termasuk dalam lingkungan sosial budaya.

Fenomena ini dapat ditemukan dalam karya sastra jenis novel. Sebagai

salah satu bentuk karya sastra dan merupakan pengungkapan

pengalaman pengarang yang tersusun dalam bentuk narasi, novel lahir

dan hadir dari proses kreatif pengarang.

Sastra adalah produk masyarakat. Ia berada di tengah

masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat

berdasarkan desakan-desakan emosional ataupun rasional dari

masyarakat. Jadi, jelas bahwa kesusastraan bisa dipelajari berdasar

disiplin ilmu sosial juga, dalam hal ini Sosiologi Sastra (Sumardjo, 1982: 12).

Karya sastra tidak hanya sebagai media alternatif yang dapat

menghubungkan kehidupan manusia pada masa lampau, masa kini, dan

masa yang akan datang, tetapi juga dapat berfungsi sebagai alat informasi

Page 23: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

3

masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban manusia ke

arah kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan. Dalam

kaitan ini Wallek mengemukakan bahwa dalan aliran kritik Hegel dan

Taine, kebebasan sejarah dalam kehidupan sosial disamakan dengan

kehidupan artistik. Seniman menyampaikan kebenaran sekaligus juga

merupakan kebenaran sejarah dan kehidupan sosial sebab karya sastra

adalah dokumen karena merupakan monumen (Wallek, 1989).

Dari peryataan-peryataan di atas dapat dikatakan bahwa karya

sastra bukan hanya merupakan curahan perasaan dan hasil imajinasi

pengarang saja, namun karya sastra juga merupakan refleksi kehidupan,

yaitu pantulan respon pengarang dalam menghadapi problem kehidupan

yang diolah secara estetis melalui kreativitas yang dimilikinya, kemudian

hasil olahan tersebut disajikan kepada pembaca. Dengan demikian

pembaca dapat merenungkan dan menghayati kenyataan dan masalah-

masalah kehidupan di dalam bentuk karya sastra, sehingga memberikan

respon terhadap kenyataan atau masalah yang disajikan tersebut.

Sauatu karya sastra dianggap baik bila memenuhi syarat yang

telah ditentukan. Syarat-syarat yang harus ada dalam karya sastra adalah

aspek dari dalam yang membangun karya sastra (intrinsik) dan aspek dari

luar yang membangun karya sastra (ekstrinsik). Kedua aspek ini memiliki

peran yang vital dalam melahirkan sebuah karya sastra yang bermutu.

Isi novel adalah rekaan situasi tempat sastrawan menjalani

hidupnya sebagai makluk sosial. Sebagai bentuk cerita rekaan, menurut

Page 24: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

4

Sujiman (1988) bahwa pengarang dengan daya imajinasi yang mampu

menyusun pengalaman yang dirasakan dan dilihat dalam lingkungan

kehidupannya maka terciptalah sebuah karya sastra. Novel banyak

menampilkan berbagai problem kehidupan, pengalaman, dan gambaran

manusia dalam kehidupan ini. Pengarang dengan kepekaannya mencoba

mencernakan, menghayati problem kehidupan, dan gambaran manusia

tersebut kemudian menyusunnya kembali melalui teknik dan gaya bahasa.

Sebagai bentuk karya fiksi, novel menawarkan sebuah dunia

berupa model kehidupan yang diidealkan dan dibangun dengan berbagai

unsur intrinsiknya, seperti tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, amanat,

dan gaya bahasa semuanya bersifat imajiner. Selain itu, novel juga

menawarkan berbagai permasalahan manusia dalam kehidupannya.

Meskipun bersifat imajiner, tidak benar jika novel dianggap sebagai hasil

kerja lamunan belaka, tetapi penghayatan dan perenungan terhadap

hakikat hidup dan kehidupan yang dilakonkan dengan penuh kesadaran

dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni.

Novel berisi dasar cerita yang melukiskan cita-cita, ajaran moral,

lukisan masyarakat dan sebagainya. Sebuah karya sastra ditulis oleh

pengang dengan menawarkan model kehidupan yang diidealkan. Dari

novel yang berisi penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku tokoh-

tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dan pesan-

pesan moral yang diamanatkan.

Page 25: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

5

Pendekatan sosiologi bertolak dari pandangan bahwa sastra

merupakan citraan atau refleksi masyarakat. Melalui sastra, pengarang

mengungkapkan tentang suka duka kehidupan masyarakat yang mereka

ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak dari pandangan itu, telaah

sastra yang dilakukan berfokus pada segi sosial kemasyarakatan yang

terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang

menunjang pembinaan dan pengembangan tata kehidupan. Dalam

perkembangannya pendekatan sosiologis diharapkan pada telaah nilai-

nilai. Hal tersebut didasarkan pada pengertian bahwa karya sastra

berkaitan dengan hakikat situasi dalam sejarah. Karya sastra menyajikan

persoalan-persoalan interpretasi yang tidak terpecahkan, yang berkaitan

dengan tata nilai dan struktur dari kondisi sosial dan historis yang terdapat

dalam kehidupan manusia.

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak pada

orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada

pengarang dan pembaca. Karya sastra dapat dilihat hubungannya dengan

kenyataan, yaitu sejauh mana karya sastra itu merefleksikan atau

mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup

luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang

diacu karya sastra.

Teori sosiologi sastra tidak semata-mata digunakan untuk

menjelaskan kenyataan sosial yang dipindahkan atau yang disalin

pengarang dalam sebuah karya sastra. Teori ini juga digibahkan untuk

Page 26: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

6

menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya,

hubungan karya sastra dengan suatu kelompok sosial, hubngan antara

selera masyarakat dengan kualitas suatu ciptaan karya sastra, dan

hubungan gejala sosial yang timbul di sekitar pengarang dengan

karyanya. Karena itu, teori-teori sosiologi yang digunakan untuk

menganalisis sebuah ciptaan sastra tidak dapat mengabaikan eksistensi

pengarang, dunia, pengalaman batin, dan budaya tempat karya sastra itu

dilahirkan.

Wellek dan Warren (1989:53) membagi telaah menjadi tiga

klasifikasi, yaitu:

a. Sosiologi Pengarang: yakni mempermasalahkan tentang status

sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri

pengarang.

b. Sosiologi karya sastra: yakni memasalahkan suatu karya sastra,

yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat

dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang

hendak disampaikan.

c. Sosiologi sastra: yakni yang memasalahkan tentang pembaca dan

pengaruh masyarakat.

Nilai kehidupan sosial budaya harus bersifat lokal dan kontekstual

sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat pendukungnya.

Sejalan dengan ini, seharusnya kehidupan sosial budaya masyarakat

Bugis mencerminkan karakteristik masyarakat yang memiliki pradaban

yang tinggi.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis merasa tertarik untuk

lebih mendalami kejadian-kejadian dalam lingkungan nyata yang

Page 27: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

7

terefleksikan dalam sebuah karya sastra. Novel sebagai salah satu bentuk

karya sastra akan digunakan sebagai objek kajian dengan menggunakan

pendekatan sosiologi sastra. Adapun novel yang akan dianalisis berjudul

“Athirah” karya Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta bulan

Desember tahun 2013, cetakan pertama.

Novel ini terinspirasi dari kisah perjalanan hidup Jusuf Kalla dan

ibundanya. Dalam kisah ini bercerita tentang ketegaran sososk seorang

ibu yang harus menerima kennyataan, suaminya kawin lagi. Ia terpaksa

harus menjadi ibu sekaligus bapak dari kesepuluh anaknya. Juga tentang

tanggung jawab seorang Jusuf sebagai anak laki-laki tertua bersaudara

dalam mendampingi ibunya setelah bapaknya memutuskan untuk

berpoligami. Dalam kisah ini diceritakan tentang pengalaman terberat

seorang anak dalam kasus poligami, ketika harus menyaksikan ibundanya

menahan pedih atas peristiwa yang menekan itu. Persoalan terbesar

anak-anak keluarga poligami adalah, apakah harus berpihak kepada

bapak atau kepada ibu? Atau, berpura-pura tak ada masalah dan

memihak pada diri sendiri. Dari kisah perjalanan hidup yang dilalui Jusuf

membuatnya kuat. Awalnya batinya memang terasa berongga, seakan

belum mampu menerima kenyataan hidup yang dialaminya. Namun, lama-

kelamaan ia pun sudah terbiasa. Rongga itu tak lagi terasa kosong,

keikhlasan demi keikhlasan membuatnya terisi. Jusuf semakin jauh

menjalani kemadirian bersama ibunda dan saudara-saudaranya. Terasa

Page 28: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

8

ada kekompakan yang lahir secara alamiah. Dari Nur sampai Farida,

semua berada dalam kebersamaan yang penuh harmoni.

Dalam kisah ini juga diceritakan tentang awal ketertarikan Jusuf

kepada Mufidah. Perjalanan cintanya dengan Mufidah bergulir beriringan

dengan kedewasaanya dalam memahami persoalan Bapak dan

Emmanya. Kisah bapaknya yang berpoligami dijadikan sebagai pelajaran

terindah dari Tuhan. Dari peristiwa itu, ia mendapat pelajaran dahsyat

tentang makna cinta, kesetiaan, dan keikhlasan. Dijadikanya kesabaran

sebagai benteng pertahanan dari guncangan hidup.

Albertine Endah adalah penulis kelahiran Bandung, Jawa Barat

ini, menyelesaikan studi sarjananya pada Jurusan Sastra Belanda di

Universitas Indonesia. Ia adalah seorang pekerja sastra budaya yang

produktif. Awal kariernya sebagai penulis dimulai di majalah Hidup pada

tahun 1993, kemudian menjadi redaktur di majalah Femina tahun 1994

hingga 2004. Tahun 2004 hingga 2009 menjadi pemred majalah Prodo.

Sejak tahun 2003, puluhan biografi telah ditulisnya di antaranya:

Seribu Satu KD, Panggung Hidup Raam Punjabi, Dwi Ria Latifa: Berpolitik

dengan Nurani, Chrisye: Sebuah Memoar Musikal, Djoko Susanto:

Langkah Sukses Membangun Alfamart, Jokwi: Mempin Kota Menyentuh

Jakarta, dan lain-lain. Penulis juga membuat buku edukasi populer: 1001

Masalah Transportasi Indonesia, There Is No Shorcut to Succes, Menulis

Fiksi Itu Seksi, Penari Legong Peliatan, Mendidik dengan Hati, Al Firdaus,

Pendidikan Menerobos Jiwa. Sejumlah novel best seller yang telah

Page 29: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

9

ditulisnya di antaranya: Jodoh Monica, Dicintai Jo, Cewek Matre, I Love

My Boss, Nyonya Jetset, Rockin Girls, dan Jangan Beri Aku Narkoba.

Novel Jangan Beri Aku Narkoba mendapat penghargaan khusus dari BNN

dan meraih juara pertama nasional Adikarya IKAPI award 2005.

Pada tahun 2009, penulis novel “Athirah” ini mendapatkan

anugerah wanita inspiratif She Can Award. Dan tahun 2011, penulis

menggelar warkshop penulisan nasional Wordisme, yang diikuti 500

peserta dari seluruh Indonesia. Wordisme menjadi komunitas produktif

menggelar acara untuk membina bakat penulisan. Saat ini Alberthine

Endah aktif dengan sejumlah proyek penulisan biografi, menjadi

pembicara di berbagai seminar penulisan, dosen tamu diberbagai

universitas, dan sesekali aktif dalam pekerjaan film.

Novel Athirah ini menarik untuk diteliti karena novel ini

mengungkapkan realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang

kompleks. Dari kisah cerita ini kita diajak untuk menyimak kisah sedih,

cinta, kekonyolan, kejahatan, keputusasaan, kebanggaan, kebahagiaan,

kepasrahan, dan ketidakadilan. Hal yang paling menarik dari novel ini

adalah meskipun penulis bukan orang yang berlatar belakang orang

Bugis, tapi keberaniannya dalam mengangkat tema kehidupan sosial

budaya Bugis harus diapresiasi. Ini adalah novel berlatar budaya Sulawesi

Selatan yang ditulis oleh penulis nasional dan diterbitkan oleh penerbit

nasional pula yang pertama saya baca. Sebab selama ini novel-novel

budaya lokal yang saya baca hanya ditulis oleh penulis lokal dan di

Page 30: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

10

terbitkan oleh penerbit lokal juga. Oleh karena itu, kehadiran novel Athirah

ini merupakan salah satu wadah untuk penguatan kembali nilai-nilai sosial

budaya dan kearifan lokal. Apalagi saat ini ada kecendrungan dari

generasi muda untuk melupakan (kalau tidak mau dikatakan

meninggalkan) budaya lokal karena tidak mau dikatakan ketinggalan

zaman.

Saya kira dengan menghadirkan novel Athirah ini merupakan salah

satu cara yang dilakukan oleh penulisnya agar kita mau sejenak

menengok dan mengapresiasi nilai kehidupan sosial budaya lokal. Ini bisa

kita simak dari kisah-kisah yang dihadirkan dalam novel ini yang sarat

dengan nuansa budaya khas Bugis. Begitu juga pesan-pesan moral dalam

bahasa yang sederhana sangat jelas tergambar. Novel ini pada

hakikatnya merupakan konsep imajinatif penulisnya dipadukan dengan

cerita perjalan hidup bapak Jusuf Kalla yang berhasil menggambarkan

latar sosial budaya masyarakat Bugis dengan hidup, gaya bahasanya

mengalir, karakter tokoh-tokohnya yang kuat, sehingga membuka

cakrawala pembacanya. Hal ini menyebabkan kisah dalam novel tersebut

terasa hidup dan benar-benar terjadi.

Pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan

segi-segi kemasyarakatan disebut sosiologi sastra. Kajian terhadap karya

sastra dengan pendekatan sosiologi sastra sangatlah penting. Melalui

pendekatan sosiologi sastra diharapkan dapat menjembatani hubungan

antara pengarang sebagai pencipta karya sastra dengan masyarakat

Page 31: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

11

pembaca, sehingga pesan-pesan yang disampaikan oleh pengarang

dapat diterima oleh masyarakat. Metode yang digunakan dalam sosiologi

sastra adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian

dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala-gejala sosial yang

di luar sastra (Damono, 1978:2).

Sepengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada penelitian

sastra yang mengupas novel Athirah, baik dengan pendekatan sosiologi

sastra ataupun dengan pendekatan lain. Beberapa hal di atas merupakan

alasan yang melatarbelakangi penelitian ini. Penelitian ini diberi judul

Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Bugis dalam Novel “Athirah” Karya

Alberthiene Endah(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka

yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah unsur intrinsik novel Athirah yang meliputi: alur,

penokohan, latar, tema dan amanat novel tersebut?

2. Bagaimanakah pengambaran kehidupan sosial budaya

masyarakat Bugis yang terungkap dalam novel Athirah?

Page 32: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

12

C. Tujuan Kajian

Tujuan kajian ini sangat erat kaitannya dengan rumusan masalah.

Dengan demikian, tujuan kajian merupakan jawaban terhadap rumusan

masalah. Adapun tujuan kajian ini sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan unsur intrinsik novel Athirah yang meliputi alur,

penokohan, latar, tema dan amanat yang digunakan sebagai

langkah awal dalam analisis sosiologi sastra.

2. Mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang

terungkap dalam novel Athirah.

D. Manfaat Kajian

Dalam pengkajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik

secara teoritis maupun secara praktis. Kegunaah yang diharapkan dalam

pengkajian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, kajian ini diharapkan dapat meperkaya khasanah

penelitian sastra Indonesia khususnya novel melalui pendekatan

sosiologi sastra sehingga pembaca dapat mengetahui hubungan

sastra dengan masyarakat.

2. Secara praktis, kajian ini diharapkan dapat mengungkapkan

penggambaran kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis meliputi

maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal transendental

yang terungkap dalam novel Athirah karya Alberthine Endah agar

Page 33: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

13

ekses-ekses negatif akibat globalisasi biasa diminimalkan. Oleh

karena itu kajian ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk

mengungkap dan memberikan penguatan kembali nilai-nilai

kehidupan sosial budaya Bugis.

E. Definisi Istilah

Dalam kajian ini ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan untuk

menghindari kesalahfahaman. Istilah-istilah yang akan dijelaskan adalah

sebagai berikut:

a. Refleksi kehidupan adalah, pantulan respon pengarang dalam

menghadapi problem kehidupan yang diolah secara estetis melalui

kreativitas yang dimilikinya, kemudian hasil olahan tersebut disajikan

kepada pembaca.

b. Sosial budaya adalah, segalah sesuatu yang dihasilkan atau

diciptakan oleh manusia untuk kelangsungan kehidupan dalam

bermasyarakat.

Page 34: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian

Penelitian dengan kajian sosiologi sastra telah dilakukan oleh

beberapa peneliti di antaranya: Shintya Junarso : 2008 (tenaga teknis

Balai Bahasa Jawa Tengah) dengan judul penelitiannya Refleksi Kaum

Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Dari hasil

penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa Novel dapat merefleksikan

perasaan, pikiran, dan keinginan manusia. Novel juga dapat bercerita tentang

situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat sebagai dokumen sosial.

Penelitian yang memandang karya sastra sebagai refleksi situasi pada

masa sastra tersebut diciptakan merupakan salah satu perspektif sosiologi

sastra. Lewat novel Laskar Pelangi Andrea Hirata mengungkapkan

kehidupan sehari-hari masyarakat Belitong beserta pergulatan hidup yang

mereka alami. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa masih banyak

masyarakat Belitong yang hidup dalam kemiskinan, padahal pulau yang

mereka diami adalah pulau yang dianugrahi kekayaan timah berlimpah.

Penelitian ini mendeskripsikan seberapa jauh Laskar Pelangi merefleksikan keadaan

sebenarnya yang terjadi di masyarakat.

Ardiyonsih Pramudya : 2012 (Mahasiswa Program Pascasarjana,

Universitas Sebelas Maret Surakarta) dalam penelitiannya yang berjudul

Page 35: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

15

“Problem Sosial Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari” (Kajian

Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan). Peneliti menyimpulkan bahwa (1)

problem sosial yang terdapat dalam novel orang-orang proyek adalah

kemiskinan, korupsi, pelanggaran terhadap norma masyarakat, pencurian,

dan permasalahan birokrasi; (2) tanggapan pembaca mengenai novel

menyimpulkan bahwa novel ini sangat menarik, tokoh yang sangat

dikagumi dalam novel adalah Kabul, nilai pendidikan yang menonjol dalam

novel adalah kejujuran, tanggung jawab dan tolong menolong, serta

problem sosial dalam novel yang dominan adalah korupsi dan

penyelewengan yang terjadi selama pelaksanaan proyek; dan (3) nilai

pendidikan yang terdapat dalam novel adalah kejujuran, kerendahan hati,

kedamaian, tanggung jawab, kasih sayang, tolong menolong, budaya,

agama dan toleransi.

Yelmi Andriani : 2011 (Masiswa Fakultas Sastra Universitas

Andalas) dalam penelitiannya yang berjudul “Perubahan Sosial dalam

Novel Negeri Perempuan Karya Wisran Hadi” (Suatu Tinjauan Sosiologi

Sastra). Ia menyimpulkan bahwa bardasarkan analsis ditemukan, bentuk-

bentuk perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam

novel Negeri Perempuan meliputi: (1) perubahan pola prilaku, (2)

perubahan tentang gelar penghulu, (3) perubahan terhadap konsep

Rumah Gadang. Faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang terjadi

dalam novel Negeri Perempuan adalah: (1) dijadikannya Nagariko sebagai

objek pariwisata, (2) lemahnya tingkat ekonomi, rendahnya pendidikan

Page 36: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

16

dan dasar agama yang goyah, (3) pengaruh kebudayaan lain, (4) tidak

dilaksanakannya fungsi sosial, (5) status sosial seseorang.

Kajian struktural novel pernah dilakukan oleh Nairawati : 2011 (mahasiswa

STIM-YAPIM Maros) dengan judul Studi tentang Alur Cerita Novel Pohon-

Pohon Rindu Karya Dul Abdul Rahman dengan Pendekatan struktural,

hanya saja kajian ini terbatas pada alur ceritanya saja. Hasil kajiannya

menunjukkan bahwa alur cerita novel ini adalah alur maju dilihat dari

urutan-urutan peristiwa dalam cerita.

B. Tinjauan Teori dan Konsep

1. Hakikat dan Fungsi Novel

Hakikat novel adalah cerita, tanpa cerita novel tidak diakui

keberadaanya. Cerita dalam novel diolah berdasarkan pada imajinasi.

Imajinasi dalam hal ini bukan sekadar lamunan atau laporan pandangan

mata pengarang belaka, melainkan imajinasi yang didasarkan atas

pengalaman, pengetahuan, dan penalaran pengarang. Imajinasi yang

menajamkan pada penanganan secara intens dan relevan dalam

menginterpretasikan kehidupan ini.

Secara etimologis, kata novel berasal dari kata noellus yang

diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena jika

dibandingkan dengan jenis sastra lainya seperti puisi dan drama, maka

jenis novel muncul kemudian (Tarigan, 1998:164)

Page 37: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

17

Novel memang merupakan jenis sastra yang bersifat fiktif, namun

demikian ceritanya dapat menjadi suatu pengalaman hidup yang nyata

dan lebih dalam lagi novel mempunyai tugas mendidik pengalaman batin

pembaca atau pengalaman manusia (Damono 1978:2). Novel

menceritakan kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang. Luar

biasa karena dari kejadian ini lahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang

mengalih pada jurusan nasib kehidupan mereka. Suatu peralihan jurusan

dalam masa seakan-akan seluruh kehidupan mereka memadu kesilaman

dan keakanan yang tiba-tiba terdampar di depan kita (Jassin: 1985:78).

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel

merupakan salah satu jenis cerita rekaan berbentuk prosa yang

hakikatnya adalah sebuah hasil eksplorasi, renungan, dan ungkapan

pengarang dalam sebuah cerita naratif yang berisi lakuan tokoh-tokoh

yang mengalami banyak peristiwa dan konflik sehingga mengakibatkan

perubahan nasib para tokohnya.

Novel sebagai salah satu genre sastra berfungsi memberikan

hiburan kepada pembacanya. Horace (dalam Wellek dan Werren,

1989:25) mengatakan bahwa sastra hendaknya berciri dulce et utile, yang

berarti menyenangkan dan berguna. Dulce artinya menyenangkan, yaitu

memberikan hiburan kepada pembaca. Adapun utile artinya berguna,

yaitu dapat mengajarkan sesuatu kepada pembaca, meberikan

pengetahuan, mendidik pengalaman batin pembaca, dan memperkaya

pandangan pembaca tentang kehidupan.

Page 38: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

18

Selain itu fungsi sastra menurut Ariestoteles dalam karyanya The

Poetics, berfungsi sebagai katarsis, yaitu pembebasan jiwa kepada

pembaca, membebaskan pembaca dari tekanan emosi. Mengekspreikan

emosi, berarti melepaskan diri dari emosi itu (Wellek dan Werren: 1989:

34). Dengan demikian, fungsi novel adalah untuk memberikan hiburan,

memberikan pelajaran tentang kehidupan, dan sebagai alat untuk

pembersihan jiwa (katarsis) pembacanya.

Novel banyak menceritakan tentang keadaan sosial budaya

sekelompok masyarakat dalam sebuah daerah ataupun sebuah Negara.

Novel juga seiring menceritakan tentang keadaan hidup suatu kaum,

perkembangan zaman, agama, dan pendidikan. Tak jarang juga novel

banyak didasarkan pada kisah nyata seseorang yang dianggap pantas

untuk dijadikan sebuah cerita.

2. Teori Unsur Sastra

Dalam penelitian karya sastra, analisis terhadap unsur intrinsik

atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya

sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut. Analis karya sastra

secara sosiologis, untuk memahami lebih dalam gejala sosial yang berada

di luar karya sastra, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap teksnya

untuk mengetahui strukturnya (Damono, 1978: 2). Demikian juga hal itu

dilakukan terhadap analisis karya sastra lain secara semiotik, psikologis,

tematis filosofis, atau menganalisis dengan pendekatan lainya. Analis

Page 39: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

19

struktur ini sukar dihindari dan memang bertujuan untuk memungkinkan

mendapat pengertian dan analisis yang optimal (Teeuw, 1984:61)

Pendekatan struktural yaitu telaah atau pengkajian terhadap karya

sastra itu sendiri. Pendekatan struktural yang dimaksud ialah pendekatan

yang mencoba menguraikan dan fungsi masing-masing unsur karya

sastra sebagai sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama

menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Struktur

mengandung pengertian relasi timbal balik antar bagian-bagiannya dan

atara bagian dan keseluruhannya.

Dengan demikian, makna penuh sebuah kesatuan itu hanya dapat

dipahami sepenuhnya apabila makna menyeluruh sebuah kesatuan

sepenuhnya dan unsur-unsur pembentuknya terintegrasi ke dalam sebuah

struktur. Unsur-unsur yang dimaksud dalam struktur ini meliputi alur,

penokohan, latar, tema, dan amanat. Unsur-unsur inilah yang akan

dianalisis dalam kajian ini disertai analisis keterjalinan antar unsur-unsur

tersebut.

a. Alur

Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun

sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-

bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian alur adalah merupakan

perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan

kerangka utama cerita. Dalam pengertian, suatu jalur tempat lewatnya

rentetan peristiwa yang merupakan tindak-tanduk yang berusaha

Page 40: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

20

memecahkan konflik di dalamnya. Alur mengatur bagaimana tindakan-

tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana tokoh-tokoh yang

digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua terkait dalam suatu

kesatuan waktu. (Semi 1993: 43).

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk

mencapai efek tertentu. Alur berisi urutan peristiwa atau kejadian yang

dihubungkan oleh hubungan sebab akibat. Peristiwa yang satu

disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lainnya (Stanton dalam

Nurgiyantoro, 1995: 119). Foster menambahkan peristiwa-peristiwa yang

terjadi merupakan penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Sifat

hierarkis ini menunjukan bahwa antara peristiwa yang satu dengan yang

lainnya tidak sama kepentingannya, keutamaannya, dan fungsionalitasnya.

Unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur cerita

adalah peristiwa, konflik, dan klimaks (Nurgiyantoro, 1995: 116). Roland

Barthes membagi golongan peristiwa (menurut kepentingannya) menjadi

dua, yaitu peristiwa utama (mayor events) dan peritiwa pelengkap (minor

events) (dalam Nurgiyantoro, 1995:120). Pengertian ini hampir senada

dengan ungkapan Luxenmburg yang mengatakan bahwa pengembangan

plot dalam peristiwa dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu peristiwa

fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa acuan.

a. Peristiwa fungsional, adalah peristiwa yang menentukan

perkembangan plot. Urutan-urutan peristiwa fungsional merupakan

inti cerita sebuah karya fiksi bersangkutan.

Page 41: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

21

b. Peristiwa kaitan, adalah peristiwa yang berfungsi mengaitkan

peritiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian plot. Peristiwa

kaitan ini berbeda dengan peristiwa fungsional, sehingga tidak

mempengaruhi perkembangan plot. Peristiwa kaitan ini hanyalah

sebagai perantara di antara peritiwa-peristiwa penting.

c. Peristiwa acuan, adalah peristiwa yang mengacu pada unsur lain.

Misalnya berhubungan dengan permasalahan perwatakan atau

suasana batin seorang tokoh (dalam Nurgiyantoro, 1995: 118-119).

Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan

adanya aksi dan aksi balasan (wellek dan Warren, 1989: 285). Konflik

menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan

yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang jika tokoh-tokoh

itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih

peristiwa itu akan menimpah dirinya (Meredith dan Fitzgerald dalam

Nurgiyantoro, 1995: 122).

Konflik dalam cerita biasanya dibedakan menjadi tiga jenis antara

lain:

a. Konflik dalam diri seseorang (tokoh). Konflik jenis ini sering disebut

psychological conflict ‘konflik kejiwaan’, yang biasanya berupa

perjuangan seorang tokoh dalam melawan dirinya sendiri, sehingga

dapat mengatasi dan menentukan apa yang akan dilakukakannya.

b. Konflik antara orang-orang atau seseorang dengan masyarakat,

konflik ini sering disebut social conflict ‘konflik sosial’, yang biasanya

Page 42: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

22

berupa konflik tokoh, dan kaitannya dengan permasalahan-

permasalahan sosial. Konflik ini timbul dari sikap individu terhadap

lingkungan sosial mengenai berbagai masalah, misalnya

pertentangan ideologi, pemerkosaan hak, dan lain-lainnya. Itulah

sebabnya, dikenal dengan konflik ideologis, konflik keluarga, konflik

sosial, dan sebagainya.

c. Konflik antar manusia dan alam, konflik jenis ini sering disebut

sebagai phisical or element conflict ‘konflik alamiah’, yang biasanya

muncul tatkala tokoh tidak dapat menguasai dan atau memanfaatkan

serta membudidayakan alam sekitar sebagaimana mestinya

(Sayuti,2000:42).

Konflik dalam sebuah karya sastra bila telah mencapai puncak

menyebabkan terjadinya klimaks. Klimaks adalah saat konflik telah

mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat itu merupaka sesuatu yang

tidak dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntunan dan

kelogisan cerita, peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh

tidak. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal

(keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana

permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan. Secara lebih ekstrem,

barangkali, boleh dikatakan bahwa dalam klimaks “nasib” (dalam

pengertian yang luas) tokoh utama cerita akan ditentukan (Stanton dalam

Nrgiyantoro, 1995: 127).

Page 43: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

23

Dalam menganalisis alur, Muchtar Lubis membedakan tahapan

alur menjadi lima bagian, antara lain:

a. Tahap penyituasian, merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian

informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk

melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

b. Tahap pemunculan konflik, merupakan tahap awal munculnya

konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau

berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

c. Tahap peningkatan konflik, merupakan tahap dimana konflik yang

muncul mulai berkembang. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal,

eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-

benturan antarkepentingan semakin tidak dapat dihindari.

d. Tahap klimaks, konflik dan ataupun pertentangan-pertentangan yang

terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita

mencapai titik intesitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin

saja memiliki lebih dari satu klimaks.

e. Tahap penyelesian, konflik yang telah mencapaiklimaks diberi

penyelesaian. Ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain,

sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi

jalan keluar, dan cerita diakhiri. (Stantondalam Nurgiyantoro, 1995:

149).

Page 44: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

24

Dari segi urutan pengisahan, alur terdiri dari dua jenis, yaitu alur

dengan urutan kronologis dan alur dengan urutan nonkronologis.

a. Alur kronologis (alamiah) adalah alur yang mempunyai urutan dari

awal hingga akhir secara alamiah. Dengan kata lain alur bergerak

dari awal hingga akhir secara berurutan logis.

b. Alur nonkronologis adalah alur yang tidak menurut pada urutan

alamiah. Dengan kata lain alur yang tidak bergerak secara berurutan

atau plastis. Dalam alur nonkronologis terdapat jenis penahapan plot,

yaitu:

1) Plot sorot balik (flash back) adalah urutan kejadian cerita dimulai

dari tahap tengah atau akhir peristiwa sebagai awal cerita

kemudian berjalan ke depan kemudian kembali ke belakang

sebagai akhir cerita.

2) Plot campuran (gabungan) adalah penahapan plot yang sulit

ditetapkan penahapan yang pasti, karena peristiwa-peristiwa yang

terjadi meloncat berganti-ganti dan perkembangannya lebih tidak

kronologis.

Dengan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa alaur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang

ada dalam cerita yang berurutan dan membangun dasar cerita baik

secara lurus, balik, ataupun keduanya. Dalam pengembangan sebuah

alur, unsur yang amat esensial adalah peristiwa, konflik, dan klimaks.

Page 45: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

25

b. Tokoh dan Penokohan

Dalam suatu karya sastra, masalah penokohan merupakan suatu

hal yang kehadirannya amat penting dan bahkan menentukan, karena

tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan.

Suatu karya fiksi tidak akan mungkin ada tanpa adanya tokoh yang

bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita (Semi, 1993: 36).

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang

seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam

Nurgiyantoro, 1995:165). Penokohan berarti cara pengarang menampilkan

tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita

yang lain, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang menggambarkan

watak tokoh-tokoh itu (Nurgiyantoro, 1995:165).

Tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke

dalam tiga dimensi. Tiga dimensi yang dimaksudkan adalah sebagi

berikut:

a. Dimensi fisik (fisiologis), yaitu ciri-ciri badan. Misalnya:

1) Usia (tingkat kedewasaan)

2) Jenis kelamin

3) Keadaan tubuh

4) Ciri-ciri muka

5) Ciri khas yang spesifik

b. Dimensi sosial (sosiologis), yaitu ciri-ciri kehidupan masyarakat.

Page 46: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

26

Misalnya:

1) Status sosial

2) Pekerjaan, jabatan, dan peranan dalam masyarakat

3) Tingkat pendidikan

4) Pandangan hidup, kepercayaan, agama, dan ideologi

5) Aktivitas sosial, organisasi, dan kesenangan

6) Suku, bangasa, dan keturunan.

c. Dimensi psikologis (psikis), yaitu latar belakang kejiwaan, sifat dan

karakternya. Misalnya:

1) Mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan

2) Tempramen, keinginan, dan perasaan pribadi.

3) Kecakapan dan keahlian khusus (Waluyo, 1994: 171)

Ketiga dimensi tokoh tersebut dalam suatu karya fiksi tampil

bersama-sama, artinya tokoh yang muncul selain digambarkan secara fisik

juga secara psikis, dan sosiologis.

Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi

tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang memegang peranan

pimpinan disebut tokoh utama atau tokoh sentral. Sedangkan tokoh

bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita.

Berdasarkan pembangunan konflik cerita, terdapat tokoh protagonis dan

tokoh antagonis. Tokoh protagonis mewakili yang baik dan terpuji oleh

karena itu biasanya menarik simpati pembaca, sedangkan tokoh antagonis

mewakili pihak yang jahat atau yang salah.

Page 47: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

27

Jika dilihat dari segi perwatakannya, tokoh dibagi menjadi dua jenis,

yaitu tokoh sederhana dan tokoh kompleks.

a. Tokoh sederhana atau tokoh datar, adalah tokoh yang kurang

mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu

sisi saja. Yang termasuk dalam kategori tokoh sederhana adalah

semua tipe tokoh yang suda biasa, yang suda familiar, atau yang

stereitip dalam fiksi.

b. Tokoh kompleks atau tokoh bulat ialah yang dapat dilihat semua sisi

kehidupannya. Dibandingkan denga tokoh datar, tokoh bulat memiliki

sifat lifelike karena tokoh ini tidak hanya menunjukkan gabungan sikap

dan obsesi yang tunggal.

Menurut Atar Semi ada dua macam cara memperkenalkan tokoh

dalam fiksi yaitu:

1. Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkat tentang watak

atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh-tokoh

tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya.

2. Secara dramatik, yaitu perwatakan yang tidak diceritakan secara

langsung, tetapi itu disampaikan melalui:

a. Pilihan nama tokoh

b. Penggambaran fisik dan postur tubuh, cara berpakaian, tingkah

laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan, dan sebagainya.

c. Dialog, yaitu dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya

denga tokoh-tokoh lain (Semi, 1993:40).

Page 48: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

28

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

kehadiran tokoh dalam suatu fiksi sangatlah penting karena dengan

keberadaan tokoh-tokohnyalah yang pada akhirnya membentuk plot atau

alur cerita.

c. Latar

Latar atau setting cerita adalah lingkungan tempat peristiwa

terjadi. Termasuk dalam latar ini adalah tempat atau ruang yang diamati

(Semi, 1993:46). Sedangkan menurut Kenny (dalam Nurgiyatoro

1995:105) berpendapat bahwa latar dalam fiksi tidak terbatas pada

penempatan lokasi-lokasi tertentu dan sesuatu yang bersifat fisik saja,

akan tetapi juga berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai

yang berlaku di tempat yang bersangkutan.

Suatu cerita rekaan di samping membutuhkan tokoh dan alur juga

membutuhkan latar sebagi landas tumpu atau tempat berpijak cerita agar

cerita menjadi konkret dan jelas. Dalam sebuah cerita, latar atau setting

disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada tempat hubungan

waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa dalam

cerita yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyanto, 1995: 216).

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat

yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu

yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan

sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan

Page 49: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

29

jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan

dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai

lokasi. Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut

biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya

atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca

terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam

suasana cerita. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup,

adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap.

Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan

penamaan terhadap diri tokoh.

Menurut Sayuti bahwa ada empat elemen unsur yang membentuk

latar fiksi, yaitu :

a. Lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya

topografi, scenery (pemandangan) tertentu, dan bahkan detail-detail

interior sebuah kamar atau ruangan.

b. Pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari.

c. Waktu terjadinya action ‘tindakan’ atau peristiwa termasuk priode

historis, musim, tahun, dan sebagainya.

d. Lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-

tokohnya (Sayuti, 2000: 128).

Page 50: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

30

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah

fiksi, latar atau setting akan menginformasikan tentang sistuasi (ruang,

waktu, dan suasana) cerita sebagaimana adanya.

d. Tema

Dalam membuat cerita rekaan, biasanya seorang pengarang tidak

hanya sekadar menyampaikan ceritanya saja, tetapi juga lebih dari itu ia

ingin mengemukakan gagasan pokok atau ide yang biasanya disebut

tema. Tidak akan lahir sebuah karya sastra tanpa mengusung sebuah

tema. Ini berarti bahwa tema merupakan suatu unsur yang wajib dalam

setiap karya sastra.

Tema merupakan suatu gagasan sentral yang menjadi dasar

suatu karya sastra yang di dalamnya mencakup persoalan dan tujuan atau

amanat pengarang kepada pembaca (Semi, 1993: 42). Tema dapat

dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum dalam sebuah

karya novel (Nurgiyantoro, 1995: 70)

Sebagai gagasan pokok dalam sebuah cerita, tema mengikat

unsur-unsur lain. Unsur-unsur intrinsik tersebut harus mencerminkan atau

mendukung tema tersebut, karena tema menjiwai keseluruhan unsur

intriksik lainya.

Keberadaan tema dalam sebuah fiksi ada kalanya dinyatakan

secara eksplisit dengan dijadikan sebagi judul cerita, dana ada dinyatakan

secara sibolis. Namun, lebih sering dijumpai tema dinyatakan secara

implisit atau tersirat, yaitu dengan kenyataan-kenyataan dan kejadian-

Page 51: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

31

kejadian yang dilukiskan dalam cerita. Tema lebih merupakan sebagai

sejenis komentar terhadap subjek atau pokok masalah, baik secara

eksplisit, simbolis, ataupun implisit. Jadi, di dalam tema terkandung sikap

pengarang terhadap subjek atau pokok cerita.

Tema yang dinyatakan secara eksplisit (tema yang tersurat dalam

cerita) dan tema yang dinyatakan secara simbolis (tema yang dinyatakan

melalui simbol atau lambang-lambang tertentu) tidak memiliki masalah

dalam usaha menafsirkan tema cerita. Akan tetapi tema yang dinyatakan

secara implisit, usaha untuk menafsirkan tema bukanlah merupakan

pekerjaan yang mudah. Penafsiran terhadap tema yang implisit harus

dilakukan berdasarkan faktor-faktor yang ada secara keseluruhan

membentuk cerita itu.

Sami (1993: 43) berpendapat bahwa cara menentukan tema

tentulah dengan bimbingan cerita itu sendiri. Kita harus mulai dengan

menemukan kejelasan tentang tokoh dan perwatakannya , situasinya, dan

alur cerita. Kita harus terlebih dahulu menjawab pertanyaan: Apakah

motivasi tokoh, apa problemnya, dan apa keputusan yang diambilnya.

Adalah tepat bila menjajaki tema dengan melalui konflik sentral, ini akan

menjurus kepada sesuatu yang hendak kita cari.

Tema fiksi umumnya di klasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:

a. Tema physical (jasmaniah), merupakan tema yang cenderung

berkaitan dengan keadaan jasmani seorang manusia.

Page 52: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

32

b. Tema organic (moral), berhubungan dengan moral manusia yang

wujudnya tentang hubungan antar manusia, antara pria dan wanita.

c. Tema social (sosial), meliputi hal-hal yang berada di luar pribadi.

Contoh: masalah politik, pendidikan, dan propaganda.

d. Tema egoic (egoik), merupakan tema yang menyangkut reaksi-

reaksi pribadi yang pada mumnya menentang pengaruh sosial.

e. Tema divine (ketuhanan), merupakan tema yang berkaitan dengan

kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sayuti,

2000:194).

Sebuah karya fiksi sangat jarang memiliki tema tunggal, biasanya

memiliki tema jamak. Kejemakan tema tersebut dapat dirincilagi menjadi

tema mayor dan tema minor. Dari bebeberapa pendapat tersebut di atas

dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide sentral yang mendasari karya

sastra yang keberadaanya sangat penting karena bersifat menjiwai

keseluruhan karya sastra tersebut.

e. Amanat

Amanat tidak bisa lepas dari tema, karena amanat merupakan

jawaban-jawaban yang terkandung dalam tema. Amanat adalah suatu

ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada

pembaca. Karya sastra fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang

berhubungan dengan sifat-sifat luhur manusia, memperjuangkan hak dan

martabat manusia (Sudjiman, 1988:57).

Page 53: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

33

Pendapat tersebut menujukkan bahwa amanat merupakan suatu

hikmah dari permasalahan hidup yang terkandung dalam cerita. Melalui

amanat pengarang ingin memberikan sesuatu yang positif. Dari amanat

pula diharapkan pembaca mengambil sesuatu manfaat dari cerita

tersebut.

Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit (tersurat) dan secara

implisit (tersirat). Implisit jika jalan ke luar atau ajaran moral itu disiratkan

di dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika

pengarang pada tengah, atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran,

nasihat, peringatan, larangan, dan sebagainya berkenaan dengan

gagasan yang mendasari cerita itu (Sudjiman, 1998:57).

Nurgiyantoro (1995:321) menyebut amanat dengan moral. Moral

merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada

pembacan dan merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya

dimana makna tersebut disarankan lewat cerita.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan

hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai

kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral

dalam sebuah cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang

berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktisyang

dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh

pembaca. Moral merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh

pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah

Page 54: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

34

kehidupan seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Moral

bersifat praktis, sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan atau ditemukan

modelnya dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan

dalam cerita tersebut dalam tokoh-tokohnya (Kenny dalam Nurgiyantoro,

1995:322).

Berdasarkan pengertian amanat tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa amanat adalah suatu pesan pengarang yang

disampaikan lewat karyanya sebagai alternatif dari pemecahan masalah.

Terdapat hubungan antara amanat dengan tema. Jika tema merupakan

ide sentral, maka amanat merupakan pemecahannya dan apabila tema

merupakan pemusatan pertanyaan, maka amanat merupakan pemusatan

jawabannya.

3. Pendekatan Sosiologi Sastra

Sosiologi adalah ilmu yang menyelidiki persoalan-persoalan

umum dalam masyarakat dengan maksud menentukan dan menafsisrkan

kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan. Di dalamnya ditelaah

gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat, seperti norma-norma,

kelompok sosial, lapisan dalam masyarakat, proses sosial, perubahan-

perubahan sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan kebudayaan

serta perwujudannya (Soekanto, 1981: 367). Sedangkan Sapardi Djoko

Damono secara singkat mengatakan bahwa sosiologi adalah telaah

objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, tentang sosial dan

proses sosial (Damono, 1978:6).

Page 55: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

35

Sama halnya dengan sosiologi, sastra pun erat berhubungan

dengan manusia dalam masyarakat. Sastra diciptakan oleh anggota

masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra itu

berada dan berasal dari masyarakat. Sastra dibentuk oleh anggota

masyarakat berdasarkan desakan emosional atau rasional dari

masyarakat. Karena itulah mengapa kesusastraan bisa dipelajari

berdasarkan ilmu sosial atau sosiologi (Sumarjo, 1982:14). Antara

sosiologi dan sastra sesuangguhnya berbagai masalah yang sama.

Sebab, sebuah karya sastra merupakan suatu keseluruhan kata-kata yang

kait-mengait secara masuk akal. Dalam keseluruhan itu dilukiskan atau

dihadirkan suatu kenyataan yang ada di luar karya sastra (Luxemburg,

1982:55).

Sastra dipahami seperti halnya dengan sosiologi yang juga

berurusan dengan manusia dan masyarakat tertentu yang

memperjuangkan maslah-masalah yang sama, yaitu sosial budaya,

ekonomi, dan politik. Keduanya merupakan bentuk sosial yang

mempunyai objek manusia. Perbedaan antar keduanya adalah bahwa

sosiologi melakukan analisis yang ilmiah dan objektif, sedangkan sastra

menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan

cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya

(Damono, 1978:7). Dengan kesamaan objek ini, maka pendekatan

sosiologi sastra menjadi pertimbangan bagi sebuah karya sastra.

Page 56: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

36

Pendekatatan sosiologi sastra berangkat dari kenyataan bahwa

karya sastra itu tidak akan lepas dari kondisi sosial budaya masyarakat

yang melingkupinya, bagaimana dan apapun bentuknya. Pendekatan ini

meninjau karya sastara dengan pertimbangan segi-segi kemasyarakatannya

(Damono, 1978:2). Proses terciptanya karya sastra berhubungan erat

dengan berbagai peristiwa yang pernah, sedang, atau mungkin akan

terjadi di dalam masyarakat sehingga makna kehadiran sastra tidak hanya

dilihat dari teksnya, tetapi juga konteksnya.

Pendekatan sosiologi sastra memandang sastra sebagai refleksi

kehidupan masyarakat atau cerminan kenyataan dan bukan sebagai

kenyataan atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Meskipun peristiwa

atau kenyataan yang terjadi dalam suatu karya sastra tidak dengan tepat

mencerminkan kejadian yang ada di lingkungan pengarangnya, tetapi

lewat karya sastra dapat ditafsirkan maksud pengarang menciptakan

karyanya tersebut. Sebab, diketahui bersama bahwa karya sastra tidak

mungkin dibuat tanpa tujuan. Pengarang mungkin membuat karya sastra

didasari oleh cita-citanya, cintanya, protes sosialnya, atau bahkan juga

oleh mimpi yang jauh dari gapaiannya. Seperti ungkapan Marx (dalam

Faruk,1994: 5) yang menyatakan bahwa manusia harus hidup lebih

dahulu sebelum dapat berpikir. Bagaimana mereka berpikir dan apa yang

mereka pikirkan, secara erat bertalian dengan bagaimana mereka hidup,

karena apa yang diekspresikan manusia dan cara-cara pengekspresiannya

Page 57: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

37

tergantung pada apa dan bagaimana mereka hidup. Lebih lanjut dikatakan

bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan cara:

1. Faktor luar teks, gejala konteks sastra, teks itu sendiri tidak ditinjau.

Penulisan ini misalnya mengfokuskan pada kedudukan pengarang

dalam masarakat, penerbit dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini

dipelajari dalam sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari

menggunakan pendekatan ilmu sastra. Hal-al yang berkaitan

dengan sastra memang diberi patokan dengan jelas , tetapi diteliti

dengan metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat

mempergunakan hasil-hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin

meneliti presepsi para pembaca.

2. Hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan

masyarakat sejauh mana sistem masyarakat serta perubahannya

tercermin di dalam sastra? Sastrapun dipakai sebagai sumber untuk

menganalisis sistem masyarakat. Peneliti tidak menentukan

bagaimana menapilkan jaringan sosial dalam karyanya, melainkan

juga menilai pandangan pengarang (Luxemburg, 1984: 23).

Sehubungan dengan karya sastra dalam konteks pengarangnya,

(Ian Watt dalam Faruk, 1994:5) menemukan tiga macam klasifikasi dalam

sosiologi sastra yang berbeda yaitu:

1. Konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan posisi sosial

sastrawan dan pengaruh sosial sekitar penciptaan karya sastra.

Dalam hal ini perlu memperhatikan:

Page 58: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

38

a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya,

b) (b)sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai

profesi, dan

c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

2. Sastra sebagai cermin masyarakat. Yang perlu mendapat perhatian

di sini adalah:

a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu

sastra itu ditulis,

b) sejauhmana sifat pribadi pengarang mempegaruhi gambaran

masyarakat yang ingin disampaikannya, dan

c) sejauh mana gendre sastra yang digunakan pengarang dapat

dianggap mewakili seluruh masyarakat.

3. Fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi

perhatian, yaitu:

a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagi perombak

masyarakat,

b) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja,

c) sejauh mana terjadi sistesis antara kemungkinan (a) dan (b) di

atas.

Karya sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat. Refleksi

artinya gerakan atau pantulan kembali kesadaran manusia sebagai

jawaban suatu hal atau kegiatan yang datang dari luar. Susatra sebagai

refleksi kehidupan berarti pantulan kembali problem kehidupan yang

Page 59: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

39

meliputi falsafah hidup, maut, cinta, tradisi, harapan, kekuasaan,

pengabdian, serta hal-hal transendental dalam kehidupan manusia.

Problem kehidupan itu dikonkretkan ke dalam gubahan bahasa, baik

prosa, fiksi, puisi, maupun lakon. Jadi, membaca karya sastra berarti

membaca pantulan problem kehidupan manusia dalam wujud gubahan

seni bahasa (Santosa: 1993:40).

a. Maut

Dalam KBBI, maut berarti mati atau kematian terutama tentang

manusia (Moeliono, 1990: 518). Pengertian mati dapat dijelaskan dengan

tiga hal, yaitu:

a. kemusnahan dan kehilangan total roh dari jasad,

b. terputusnya hubungan antar roh dan badan,

c. terhentinya budi daya manusia secara total (Sulaeman, 1998:85).

Kematian pasti akan dialami oleh semua manusia. Kematian

adalah takdir yang tidak terelakkan dan manusia tidak akan dapat

menentukan kapan, dimana, dan apa sebab kematian tersebut.

Sikap manusia dalam menghadapi maut bermacam-macam

sesuai dengan keyakinan dan kesadarannya, antara lain:

a. orang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan baik karena

sadar bahwa kematian akan datang dan memiliki makna roahaniah,

b. orang mengabaikan peristiwa kematian karena menganggap

bahwa kematian adalah peristiwa alamiah yang tidak ada makna

rohaninya,

Page 60: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

40

c. orang merasa keberatan atau takut untuk mati karena terpukau

oleh dunia materi,

d. orang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap

kematian merupakan bencana yang merugikan, mungkin karena

banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya menghadapi

keharusan menyiapkan diri untuk mati (Sulaeman, 1998:87).

b. Cinta

Dalam KBBI, cinta berarti suka sekali, sayang benar, kasih sekali,

atau terpikat (antara laki-laki dan perempuan) (Moeliono, 1990:168). Kata

cinta selain mengandung unsur perasaan aktif juga menyatakan tindakan

aktif. Pengertianya sama dengan kasih sayang sehingga jika seorang

mencintai orang lain orang tersebut berperasaan kasih sayang atau

berperasaan suka terhadap orang lain tersebut (Sulaeman, 1998: 49).

Seseorang yang mencintai harus mempunyai beberapa sikap,

antara lain harus memeriksa tepat tindaknya suatu tindakan dan bertanya-

tanya bagaimanakah ia semestinya memberi bentuk kepada cinta dalam

situasi yang kongkret. Selain itu, sikap lain yang seolah-olah merupakan

prasyarat untuk dapat disebut mencintai adalah kesetiaan, kesabaran,

kesungguhan, dan memberi kepercayaan.

Muhammad (1988: 29) mengungkapkan bahwa cinta kasih adalah

kasih sayang, kemesraan, belas kasihan, dan pengabdian yang

diungkapkan dengan tingkah laku yang bertanggung jawab. Tanggung

Page 61: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

41

jawab adalah akibat yang baik, positif, berguna, saling menguntungkan,

menciptakan keserasian, keseimbangan, dan kebahagiaan.

Ada beberapa hubungan cinta yang ada dalam kehidupan

manusia, antara lain cinta antara orang tua dan anak, cinta antara pria

dan wanita, cinta antar sesama manusia, cinta antar manusia dan Tuhan,

dan cinta atar manusia dan lingkungannya (Muhammad, 1988: 30).

c. Tragedi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tragedi berarti

peristiwa yang menyedihkan (Moeliono, 1990:959). Tragedi adalah

suatu peristiwa menyedihkan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh

setiap manusia.

Sulaeman menyebut tragedi ini dengan kata penderitaan. Ia

mengungkapkan bahwa penderitaan termasuk realitas dunia dan

manusia. Intensitas penderitaan bertingkat, ada yang berat dan ada juga

yang ringan. Peranan individu juga menentukan berat tidaknya intensitas

penderitaan. Suatu peristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang

belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Akibat penderitaan

bermacam-macam, ada yang mendapatkan hikmah besar dari suatu

penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya.

Suatu penderitaan bisa juga merupakan energi untuk bangkit bagi

seseorang, sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan atau

kebahagiaan. Oleh karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat

(Sulaeman, 1989:66).

Page 62: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

42

d. Harapan

Dalam KBBI, harapan berarti sesuatu yang dapat diharapkan,

atau keinginan supaya menjadi kenyataan (Moeliono, 1990: 297).

Harapan dalam kehidupan manusia merupakan cita-cita, keiginan,

penantian, dan kerinduan supaya sesuatu itu terjadi (Sulaeman, 1998:

81).

Berdasarkan macamnya, harapan di kategorikan atas harapan

optimis (besar harapan) dan harapan pesimis (tipis harapan). Harapan

optimis artinya sesuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-

tanda yang dapat dianalisis secara rasional bahwa sesuatu yang akan

terjadi bakal muncul. Harapan yang pesimis mempunyai tanda-tanda yang

rasional bahwa sesuatu itu tidak bakal terjadi (Sulaeman, 1998: 82).

Besar kecilnya harapan ditentukan oleh kemampuan

keperibadian seseorang untuk menentukan dan mengontrol jenis, macam,

dan besar kecilnya harapan tersebut. Jenis dan besarnya harapan orang

yang mempunyai keperibadian yang kuat akan berbeda dengan orang

yang berkepribadian lemah. Kepribadian yang kuat akan mengontrol

harapan seefektif dan seefesien mungkin sehingga tidak merugikan

dirinya atau orang lain untuk masa kini dan masa mendatang (Sulaeman,

1998:82).

Page 63: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

43

e. Pengabdian

Dalam KBBI, pengabdian berasal dari akar kata dasar abdi yang

artinya hamba atau orang bawahan. Pengabdian berarti suatu proses,

perbuatan, atau cara mengabdi (Moeliono, 1990, 1-2). Pengabdian

merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghambakan diri, patuh,

dan taat kepada sesuatu atau seseorang yang kita anggap tinggi, bernilai,

berharga, atau yang lebih kita pentingkan. Pengabdian dapt diartikan

pelaksanaan tugas dengan kesungguhan hati atau secara ikhlas atas

dasar keyakinan atau perwujudan rasa cinta, kasih sayang, tanggung

jawab, dan lain-lain. Pengabdian manusia dapat bermacam-macam,

antara lain pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, negara, Tuhan,

dan lain-lain (Sulaeman, 1998: 93).

f. Hal-hal transendental

Dalam KBBI, transendental berarti menonjolkan hal-hal yang

bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, dan abstrak (Moeliono,

1990:959). Hal-hal transendental adalah hal-hal di dalam diri manusia

yang bersifat kerohanian, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya.

Transendental secara bahasa dalam istilah filsafat berarti suatu

yang tidak dialami tapi dapat diketahui, suatu pengalaman yang terbebas

dari fenomena namun berada dalam gugusan pengetahuan seseorang.

Dalam istilah agama diartikan suatu pengalaman mistik atau supernatural

karenanya berada di luar jangkauan dunia materi. Komunikasi

Page 64: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

44

transendental memang tidak pernah dibahas secara luas, cukup dikatakan

bahhwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia

dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam bidang agama. Kepercayaan

terhadap Tuhan telah membantu memberi semangat manusia dalam

menjalankan tugasnya sehari-hari. Menerima nasib yang tidak baik,

bahkan berusaha mengatasi kesukaran-kesukaran yang sering dialami

dan senantiasa berusaha mengakhirinya.

C. Kerangka Pikir

Dengan memperhatikan yang telah dipaparkan pada tinjauan teori

dan konsep, maka pada bagian ini diuraikan hal-hal yang dijadikan sebagi

landasan berpikir. Landasan yang dimaksud akan mengarahkan peneliti

menemukan informasi dalam penelitian guna memecahkan masalah.

Novel “Athirah” karya Alberthiene Endah merupakan objek pokok

dalam penelitian ini. Kajian dengan pendekatan struktural dan pendekatan

sosiologi sastra digunakan untuk mengungkap refleksi kehidupan sosial

budaya masyarakat Bugis dalam novel tersebut. Untuk lebih jelasnya

kerangka pikir dibuatkan bagan sebagai berikut:

Page 65: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

45

Bagan 2.1. Bagan Kerangka Pikir

Novel “Athirah”

Pendekatan Struktural

Kajian

Pendekatan Sosiologi Sastra

Alur

Tokoh dan Penokohan

Latar

Tema

Amanat

Maut

Cinta

Tragedi

Harapan

Pengabdian

Hal-hal transendental

Temuan

Page 66: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

46

BAB III

METODE KAJIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan adalah pandangan dan sikap kritikus terhadap karya

sastra serta kritik sastra. Pendekatan merupakan kerangka pikir dalam

melakukan kritik, yang akhirnya akan membentuk langkah kerja

selanjutnya (teknik atau metode) (Semi, 1984: 40). Pendekatan terhadap

suatu permasalahan dapat bersifat langsung ataupun tidak langsung.

Pendekatan yang bersifat langsung adalah mengenal hakikat suatu hal

tanpa melihat dulu fenomena-fenomena yang nampak, sedangkan

pendekatan yang bersifat tak langsung adalah mengenal hakikat suatu hal

dengan melihat dulu fenomena-fenomena yang nampak di sekitar

persoalan itu (Surakhmad, 1984: 38).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan

sosiologi sastra. Adapun pendekatan struktural digunakan sebagai

langkah awal dalam menganalis objek penelitian.

1. Pendekatan Struktural

Pedekatan struktural ialah pendekatan yang mencoba menguraikan

keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai

kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna

menyeluruh (Teuw, 1984: 135). Struktur mengandung pengertian relasi

Page 67: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

47

timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan

keseluruhannya (Luxemburg, 1984:38).

2. Pendekatan Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra yaitu pendekatan yang

mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang terdapat dalam karya

sastra (Damono, 1984: 2). Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa

sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat (Semi, 1984: 46).

Pendekatan sosiologi sastra dalam hal ini sangat didukung oleh

pendekatan struktural untuk mendapatkan hasil analisis yang optimal.

3. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif deskriptif yaitu

penelitian dengan menganalisis data dan hasil analisisnya berbentuk

deskskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau koefisien tentang

hubungan antar variabel. Dalam penelitian yang bersifat deskriptif, data

yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat-kalimat, konsep-konsep,

gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian

berupa kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan

tersebut. (Moleong, 1994: 7).

Senada dengan pendapat tersebut di atas, Satoto (1991) dalam

Moleong mengatakan bahwa teknik deskriptif bersifat memaparkan,

menuturkan atau memberikan, menganalisis, dan mengklarifikasikan,

menganalisis, dan menafsirkan. Sedangkan analisis datanya

Page 68: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

48

menggunakan metode kualitatif, yaitu menggunakan data yang umumnya

berupa konsep-konsep yang tidak diangkakan.

Kajian deskriptif ini bertujuan untuk melukiskan refleksi kehidupan

sosial budaya masyarakat Bugis yang terdapat dalam novel Athirah karya

Alberthiene Endah.

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah novel “Athirah” karya

Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta, Desember 2013,

cetakan pertama setebal 404 halaman.

C. Objek Kajian

Objek kajian dalam penelitian ini adalah unsur struktural atau

intrinsik yang membangun novel dan refleksi kehidupan sosial budaya

masyarakat Bugis yang meliputi maut atau kematian, cinta, tragedi,

harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental yang terkandung dalam

novel “Athirah” karya Alberthiene Endah.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian atau

kajian ini adalah:

a. Teknik kepustakaan (library reseach), yaitu teknik yang

mempergunakan suber-sumber tertulis untuk memperoleh data.

Page 69: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

49

Sumber-sumber tertulis itu dapat berupa majalah, surat kabar,

karya sastra, buku acuan ilmiah, dan buku perundang-undangan.

b. Teknik simak catat, yaitu teknik yang dilakukan dengan jalan

membaca serta mempelajari data-data penelitian. Selanjutnya

dilakukan inventarisasi data sebagai bahan yang akan diolah

dalam mengkaji novel.

E. Teknik Pengolahan Data

Dalam pengolahan data, penelitian atau kajian ini menggunakan

beberapa tahap, yaitu:

a. Tahap deskripsi data, yaitu memberi arahan untuk membuat

gambaran sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat dan

hubungan antar fenomena yang diselidiki.

b. Tahap klasifikasi data, hal ini dilakukan untuk melihat data-data

yang mungkin sma dan saling mendukung atau sama sekali

berbeda dan tidak mendukung penelitian.

c. Tahap interpretasi data, yaitu memberi pemaknaan secara

khusus dari data yang telah diklasifikasikan sesuai dengan tujuan

penelitian dengan tidak mengurangi keobjektifannya.

d. Tahap analisis data, yaitu proses mengatur urutan data yang

telah diinterpretasi dan mengorganisasikannya ke dalam satu

pola, kategori dan suatu uraian yang sesuai dengan

permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini, data dianalisis

berdasarkan strukturnya, kemudian dilanjut dengan menganalisis

Page 70: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

50

data sesuai dengan inti permasalahan, dalam hal ini yaitu, refleksi

kehidupan sosial budaya bugis yang terdapat dalam novel novel

“Athirah”.

e. Tahap evaluasi, yaitu memberikan penilaian terhadap proses

analisis yang telah dikerjakan.

F. Teknik Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini menggunakan teknik-

teknik sebagi berikut:

a. Teknik deduktif, yaitu penarikan kesimpulan yang bertolak dari

pandangan yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang

bersifat khusus.

b. Teknik induktif, yaitu penarikan kesimpulan bertolak dari

pandangan bersifat khusus untuk menarik kesimpulan yang bersifat

umum.

G. Tahapan dan Jadwal Pengkajian

Pengkajian ini direncanakan selesai dalam jangka waktu dua

bulan. Sementara itu proses pembuatan proposal sampai dengan ujian

meja dilaksanakan selama empat bulan, dimulai sejak penyusunan

proposal hingga penyusunan laporan akhir. Hal ini dimaksudkan agar

pengkaji dapat melakukan prosedur yang ada. Selain itu, agar data yang

diperoleh betul-betul objektif sesuai dengan kondisi yang terjadi saat

mengkaji. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Page 71: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

51

Tabel 3.1 Tahapan dan Jadwal Pengkajian

No Kegiatan

Bulan Ket 1 2 3 4 5

Juli Agustus September Oktober November 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Penyusunan proposal 2 Konsultasi Proposal 3 Pelaksanaan seminar

proposal

4 Perbaikan/ revisi proposal

5 Pengumpulan data 6 Pengolahan dan

analisis data

7 Penyusunan hasil penelitian

8 Seminar hasil penelitian

9 Perbaikan hasil penelitian/ujian tutup

Page 72: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

52

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik

Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, penelitian ini

terlebih dahulu akan mengkaji karya sastra dengan pendekatan struktural.

Pendekatan struktural berarti menganalisis unsur-unsur intrinsik karya

sastra. Analisis unsur intrinsik adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra

yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur yang membangun karya

sastra dari dalam dan mencari keterjalinan antarunsur tersebut dalam

rangka mencapai kebulatan makna.

Dalam penelitian ini unsur intrinsik yang akan dikaji adalah unsur

alur, penokohan, latar, tema, dan manat sebagai unsur yang paling

dominan membagun karya tersebut.

1. Alur

Dilihat dari segi penyusunan peristiwanya, novel Athirah ini

menggunakan alur kronologis yaitu ceritanya mengalir dari tahapan satu

ke tahapan berikutnya secara berurutan. Tapi pada tahap-tahap tertentu

cerita disusun dengan sorot balik (flahback) yaitu ditarik ke belakang untuk

mengenang masah lalu.

Di awal cerita dalam novel ini mengisahkan tentang masa kecil

Jusuf bersama emma (Athirah, ibu Jusuf) di Makassar. Jusuf adalah anak

Page 73: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

53

beruntung yang lahir dari keluarga berkecukupan secara materi. Ia

dibesarkan berlumuran cinta dengan kehidupan orang tua yang

sempurna. Bapaknya seorang saudagar yang memiliki kantor berlantai

empat. Kemajuan bisnisnya yang pesat membuat orang tua Jusuf banyak

mengenal orang penting di Makassar. Kehidupan Jusuf memang dinilai

sempurna sejak matanya melihat dunia. Oleh karena itu, ia sangat jarang

merasakan gelisah, apalagi dirundung duka. Bahkan jika kesedihan

datang menyapanya, hawa kegembiraan berlimpah ruah dengan segera

membersihkan perasaanya. Ia memang nyaris tak pernah berduka. Pada

suatu hari, ia merasakan sesuatu yang tak enak, sesuatu yang seperti

hadir sebagai pertanda. Ibu, yang selama ini dikenalnya sebagai

perempuan yang tentram mendadak mengalirkan gelombang gelisah.

Pertanda ia dikalahkan ketakutan. Ada sesuatu yang menganjal

perasaannya ketika melihat perubahan pada gaya hidup suaminya.

Tentang hal tersebut bisa kita lihat dalam kutipan berikut.

“Bapakmu aneh belakangan ini, Jusuf. Kau lihat gerak geriknya. Ia menyisir rambutnya hampir tiap jam. Memakai krim rambut berulang-ulang hingga wanginya mencolok. Sering keluar rumah tanpa kopiah.” Emma menarik tirai tenunan sustra berwarna gading dengan corak garis putih yang sangat lembut. Aku melihat sesuatu yang tak terlihat. Ibuku gelisah dalam ketenangan yang kentara diciptakan dengan susah pbapak. “Apa kau melihat perubahan itu Jusuf? Aku masih tercenung. Awal percakapan yang belum kumengerti arahnya. Usai mengucapkan kalimat itu, ia tertunduk di kursi tamu. Empasan tubuhnya jelas terdengar. Aku percaya, jika tak berkata-kata, perempuan akan menunjukkan amarah dengan bebunyian benda. Ibuku, yang kupanggil Emma, menunjukkanitu dengan suara empasan lembut tubuhnya di jok kursi empuk. Aku tak pernah melihatnya emosi. Usiaku 14 tahun saat itu. Makassar sedang diguyur cahaya matahari yang membakar kulit, sudah lebih dari sebulan tak turun

Page 74: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

54

hujan. Tapi aku melihat kilat yang lebih terik di mata emma.” (Alberthiene Endah, 2013:11) Setelah menyaksikan sikap suaminya itu, wajah Athirah semakin

membatu, matanya lurus terhunus ke depan. Jusuf sangat mengenal hati

ibunya. Ia tidak pernah membiarkan kulitnya membiaskan emosi sedikit

pun. Apalagi matanya. Ia orang yang sangat lurus. Inilah pertama kalinya

Jusuf menyaksikan wajah emmanya berbeda. Pertama kali terlihat ada

rona keberatan di wajahnya. Pandangan jauh menembus pikirannya

sendiri. Akhirnya apa yang menjadi kekhawatiran Athirah benar terjadi.

Suaminya mengambil keputusan untuk menikah lagi. Keputusan sang

suami benar-benar menjadi tamparan buat Athirah dan anak-anaknya.

Seakan mereka tak sanggup menerima kenyataan itu.

“Aku syok. Tak tahu apakah aku lebih layak marah atau sedih. Aku tak bisa merumuskan perasaanku. Yang pasti, aku terluka. Luka yang tak pernah kubayangkan ada dalam hidupku. Aku pernah beberapa kali terjatuh. Bahkan, pernah sobek pahaku saat tinggal di Bone sebelum kami pindah ke Makassar. Aku pernah berkelahi dengan kawanku. Pernah besitegang dengan Nur. Tapi sakit hati dan fisik yang kurasakan tidak sengilu saat kudengar Bapak hendak menikah lagi. Entahlah, itu seperti bumbu siluman tak kentara yang harus menekan-nekan ulu hatiku tanpa henti sejak aku terbangun tidur hingga hendak beranjak tidur. Benar-benar sebuah perasaan yang menyiksa. Aku mengenal kata poligami. Tapi tidak kubayangkan itu akan menjadi bagian dari sejarah keluargaku.” (Alberthiene Endah, 2013:22) Sejak pernikahan bapaknya, Jusuf seakan dipaksa untuk menjadi

dewasa, bahkan lebih dewasa dari umurnya yang sebenarnya. Ia

melewati waktunya yang penuh bumbu emosi. Sebagai anak laki-laki

tertua, ia harus mendampingi ibunya yang sakit hati.

Page 75: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

55

Alur mengalami sorot balik sejenak ketika diceritakan kisah

tentang latar belakang ibunya. Bahwa, sesungguhnya kisa poligami sudah

terjadi dalam kehidupan ibunda Jusuf. Karena Athirah, ibu Jusuf lahir dari

istri keempat dari bapaknya.

“sesungguhnya kisah poligami sudah terjadi dalam kehidupan Emma. Bahkan, sejarah poligami yang mengantarnya hadir di dunia. Emma lahir dari istri keempat laki-laki dari Bukaka. Kakekku. “ibumu lahir dari rahim kesabaran,” tutur seorang tetua, dulu saat aku masih berusia di bawah sepuluh tahun.” (Alberthiene Endah, 2013:30) Sorot balik juga terjadi ketika Jusuf mengenang kembali kampung

halamannya di Bone. Kampung yang memanjakan penduduknya dengan

segalah kekayaan alamnya. Warga Bone tidak ada yang hidup miskin asal

mereka mau bekerja.

“Bone pada tahun ’20-an sebagai surga yang memenjara penduduknya. Semua orang tak ingin pergi dari tempat sedamai itu. Alam Bone memelihara penduduknya dengan kasih. Tak ada yang merasa miskin karena laut dan tanah memberi anugerah. Para petarung nasib bermimpi bisa menginjak Makassar. Tapi, Bone memiliki magnetnya tersendiri. Tak pernah bersalah untuk ditinggalkan.” (Alberthiene Endah, 2013:31) Lebih jauh lagi, sorot balik kisah Jusuf diceritakan tentang

kehidupan kakeknya (Muhammmad) yang berpoligami, bahkan Kerra

nenek Jusuf adalah istri keempat dari pernikahan Muhammmad. Sebuah

pernikahan yang sangat kontroversial karena mendapat cibiran dari orang-

orang sekampung, tak terkecuali tiga istri Muhammmad yang lain.

“Pertengahan 1923. Muhammmad dan Kerra menikah dengan resepsi yang sangat sederhana. Hujatan yang terlalu deras membuat Muhammmad menghindari pesta besar yang ia inginkan. Ia sangat mencintai Kerra. Tak ingin istri keempatnya sakit hati. Itu adalah pernikahan yang sulit. Muhammmad

Page 76: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

56

memberi Kerra sebuah rumah kecil. Letaknya berdempetan dengan rumah-rumah para istri Muhammad yang lain. Sebuah kehidupan suram yang tajam.” (Alberthiene Endah, 2013:35) Alur kembali maju ketika dinceritakan tentang kelanjutan kisah

kehidupan Jusuf, tentang pengalaman terberat seorang anak dalam kasus

poligami. Ia menyaksikan kehidupan ibunya menahan pedih atas peristiwa

itu. Sejak pernikahan bapaknya itu, Jusuf merasakan semangat hidup di

rumahnya semakin redup. Meskipun dirundung kesedihan, Athirah tak

menampakkan perasaan itu pada anak-anaknya. Namun, Jusuf tetap

menangkap perasaan ibunya walau dunia selalu melihat kebahagiaanya.

“Aku tahu ibuku mati-matian menciptakan hari yang wajar. Sejak menikah hingga hari tu, ia dikenal sebagai perempuan kuat, dan ingin terus seperti itu. Ia ingin melewati hari yang tidak pernah ada jejak sakit hati. Kalau boleh, barangkali, ia ingin melupakan itu. Tapi realitas punya kuasa sendiri. Ketika membuka mata pada pagi hari, perasaan sakit menjelma ada.” (Alberthiene Endah, 2013:39) Sorot balik dalam novel ini kembali berkisah tentang kehidupan

Athirah yang diwarnai oleh tekanan sekaligus kemenangan mental, dan

pelajaran itulah yang mewarnai kehidupanya saat ini. Ia sangat meresapai

bagaimana ibundanya, Mak Kerra, mengandung, melahirkan, dan

membesarkan dirinya. Sebuah kisah hidup yang dinilainya tidak mudah

untuk dijalani. Ia menjadi pengikut jejak Mak Kerra. Pantang mengeluhkan

nasib.

“Kehidupan yang tidak mudah. Ia menjadi pengikut Mak Kerra. Pantang mundur dalam hidup. Jika mungkin, terus menjadi kuat. Pernikahannya dengan Bapak sebetulnya telah menjadi kapal yang berlayar dengan sangat jaya. Siapa sangka kapal itu kemudian tersangkut di celah karang. Kejayaan itulah yang sempat didongengkan orang tuaku. Bapak bercerita. Emma

Page 77: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

57

berkisah. Keduanya bangga akan masa lalu mereka.” (Alberthiene Endah, 2013:57) Setiap kali orang tua Jusuf bercerita tentang bagaimana mereka

mengawali biduk rumah tangganya, maka saat itu pula tergambar betapa

kukuhnya mereka. Tidak setitik pun Jusuf menyangka bahwa suatu hari

ketangguhan pernikahan orang tuanya akan menemukan titik yang

melukai. Persoalan besar bagi anak-anak keluarga poligami adalah,

apakah harus berpihak kepada ayah atau kepada ibu? Atau berpura-pura

tidak ada masalah, dan memihak diri sendiri. Namun, Jusuf tidak sanggup

memilih salah satu dari tiga pilihan tersebut. “Kehilangan” Bapak

membuatnya sedih. Tapi jauh lebih sedih tatkala muncul “perlawanan”

Emma. Dan, sama sedihnya ketika ia menyadari kalau ia sesungguhnya

hendak melawan.

Alur maju kemudian berlanjut, meskipun maslah demi masalah

yang dijalani Jusuf, ia tetap memusatkan perhatian pada sekolah,

kesempatan tak akan disia-siakan. Apalagi dukungan dari bapaknya

masih tetap kuat.

“Memasuki tahun 1958 aku berusaha memusatkan perhatianku pada sekolah. Aku baru masuk SMA Negeri 1 Makassar, dan tak ingin kusia-siakan waktuku. Aku ingin kuliah. Bapak telah memberikan sinyal itu. Jika aku berhasil mengambil kuliah ekonomi di Universitas Hasanuddin, ia akan sangat bangga. Perusahaanya, katanya, tak akan mencari-cari pemimpin yang lebih layak daripada aku. Akulah tumpuan harapannya.” (Alberthiene Endah, 2013:68) Pada saat ini Jusuf berjuang untuk memahami arti sebuah

ketentraman. Ledakan emosi tak ada lagi. Ibunya, ia, dan saudara-

Page 78: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

58

saudaranya sepertinya telah sembuh dari guncangan setahun

sebelumnya dan sudah mulai bisa meniti hari tanpa persoalan berarti.

Persoalan-persoalan yang pernah hadir sebagi bumerang, kini sedikit

demi sedikit sudah mulai dilupakan meskipun jejaknya susah untuk

dihapus.

Alur sorot balik kemudian muncul lagi saat Jusuf mengenang

kembali masa kecil di kampung halamanya di Bone. Subuah kenangan

yang tidak bisa dilupakan oleh keluarga Jusuf.

“Sekarang aku berlari pada masa kecilku. Lagi-lagi Bone. Watampone. Pasar Bajoe tempat bapak berjualan. Ah, pengalaman masa kecil itu. Benar kata Nur, aku dibesarkan oleh kedua tangan halus yang menempatkan aku di tempat terhormat, terindah, sesempurna mungkin. Emma. Aku mengenang kampung halamanku pada masa kecil sebagai sebuah surga. Bone pada tahun ’40-an. Masih sangat kuingat rumah panggung yang indah di desa kami. Berjejer rapi, dipisahkan satu sama lain oleh kebun-kebun mini. Setiap pagi bukan hanya suara alam yang membangunkan kami, melainkan juga teriakan orang-orang. Bukan, mereka bukan sedang bertengkar. Rumah-rumah orang Bone tidak saling berimpitan seperti di Jawa. Itu sebabnya antar penghuni rumah saling menyapa dengan berteriak, agar terdengar. Aku mendengar suara teriakan itu sebagai bagian dari seni kehidupan di desa kami.” (Alberthiene Endah, 2013:74)

Alur cerita kemudian berlanjut, saat itu Jusuf sudah mulai merasa

tenang, ia berupaya untuk tidak banyak lagi mempertanyakan tentang

persoalan Bapak dan Emmanya. Hal tersebut dapat di simak dalam

kutipan berikut.

“Memasuki tahun 1959 adalah masa ketika aku mulai menghirup rasa tenang. Kubiarkan diriku terlontar-lontar secara alami dalam pertempuran emosi. Kuajari diriku untuk tidak banyak mempertanyakan tentang persoalan Bapak dan Emma. Aku belajar semakin giat. Dan, beberapa kali dalam seminggu aku bertandang ke kantor Bapak di jalan Pelabuhan. Aku berbaur

Page 79: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

59

dengan pegawai-pegawai Bapak dan melakukan apa saja yang dapat kulakukan. Aku juga ikut ajakan Bapak untuk menemaninya bertemu dengan relasi-relasi bisnisnya. Aku melihatnya bernegosiasi dan merasakan degup menyenangkan kehidupan berdagang.” (Alberthiene Endah, 2013:125)

Dari catatan keberhasilan orang tua Jusuf, ia mengusir jauh-jauh

perasaan buruk sangka. Ia hanya menyerap energi positif agar bisa

belajar banyak dari kantor bapaknya. Pelajaran tentang pembukuan,

pembuatan surat-surat dagang, perizinan, dan juga teknik-teknik dagang.

Bahkan tak jarang ia menangkap pandangan penuh cahaya simpati dari

karyawan-karyawan bapaknya. Salah satunya adalah Daeng Rahmat. Ia

adalah karyawan yang cukup dekat dengan Jusuf. Banyak nasihat serta

semangat yang didapatkan Jusuf dari wejangan Daeng Rahmat.

Kemudian diceritakan tentang kedatangan seorang perempuan

asal Sumatra, namanya ibu Mela, ia adalah rekan bisnis ibu Athirah. Untuk

keperluan bisnis di Makassar ia menyewa mobil dari ibu Athirah. Memang

ada beberapa mobil yang dioprasikan sebagai taksi gelap dengan sewa

perjam. Kehadiran ibu Mela biasanya selalu memprovokasi ibu Athirah

dengan kondisinya sebagai istri yang di madu.

“Hei, Athirah! Kau tak boleh begini naif. Laki-laki banyak akalnya. Tapi, perempuan harus lebih berakal lagi. Istri kedua dari suamimu pasti memainkan akalnya! Kau boleh senang dengan rumah besar ini. Bisnis transportasi yang kau pegang dan lain-lain juga menguntungkan. Tapi, siapa kira pesaingmu itu memperoleh lebih banyak lagi daripada ini.... Apakah kau tak gunda memikirkan itu?” (Alberthiene Endah, 2013:136)

Kalimat provokatif dari bu Mela tak mampu menyulut ketegaran dan

kesabaran Athirah. Jawaban bijak dari Athirah membuat tawa ibu Mela

Page 80: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

60

yang melengking-lengking itu menjadi redah. Memang saat itu Athirah

telah menemukan kejernihan hatinya, seluruh masalahnya dikelola

dengan baik.

Kisah kemudian berlanjut, sekitar tahun 1960-an seolah telah

menjadi gelombang baru dalam hidup Jusuf. Gelombang yang

menggairahkan kerena ia sudah disibukkan dengan urusan bisnis.

Mengurus toko yang dipercayakan oleh bapaknya. Tiap hari agendanya

sudah terjadwal.

“Sepulang sekolah, langsung tancap gas menuju Jalan Pelabuhan. Menunggui toko atau sekadar memantau operasional. Sore aku sudah berada di rumah kembali. Pada waktu-waktu tertentu aku ikut Daeng Rahmat ke pelabuhan, mengurus pengambilan barang-barang impor yang dipesan perusahaan Bapak. Berkecimpung di tengah pekerja-pekerja pelabuhan dan kaum saudagar. Dan, pada akhir pekan aku leluasa berkumpul dengan teman-teman sekolahku. Aku melewatkan kelas 1 SMA di Sekolah Menegah Islam. Tapi aku pinda ke SMA Negeri 2 Makassar. Aku menikmati hariku!” (Alberthiene Endah, 2013:161)

Tidak lama Jusuf sekolah di SMA 2 sebab, kemudian muncul kebijakan

untuk memekarkan sekolah karena muridnya sudah terlalu banyak.

Mereka yang bernomor urut ganjil di absen dipindahkan ke sekolah baru,

SMA negeri 3 dan Jusuf ternyata masuk dalam kategori itu.

Lebih jauh lagi, diceritakan tentang awal Jusuf mulai menaruh hati

kepada perempuan. Di SMA 3 ini ia mengagumi sosok perempuan yang

muncul dan menyita perhatiannya. Meski dirasakannya masih berupa

gelagat tapi hatinya sudah tersedot dengan cepat. Inilah awal Jusuf

mengagumi sosok Mufidah.

Page 81: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

61

“Gadis itu tengah duduk di bangku koridor, berdua dengan temannya. Mereka mengobrol. “Yang kiri kan?” Anwar meyakinkan. Kami berdiri di balik rimbun pohon Palem. “Ya yang berambut sebahu itu...” “Astaga” Abdullah menepuk pundakku. “Itu, kan, Mufidah! Bodoh sekali kau ini, Jusuf! Dia adik kelas kita dari sekolah lama. Ikut pindah ke sini karena nomor urutnya ganjil, sama dengan kita.” Aku mengernyitkan dahi. Berusaha mengingat-ingat. Ya, barangkali aku pernah melihatnya. Tapi tidak semengesankan saat aku melihatnya di SMA 3. Atau, baru sekarang hatiku memiliki mata? “Dia memang cantik, Jusuf! Orangnya halus sekali...” Abdullah mendesis.” (Alberthiene Endah, 2013:177)

Sosok Mufidah betul-betul membuat Jusuf jadi penasaran, ia mencari

data-data tentang dia, mulai dari data biasa hingga data yang sangat

pribadi. Jusuf memanfaatkan temanya untuk mengumpulkan data. Jadilah

Abdullah, anwar, dan Abduh sebagai pemburu data yang gesit tentang

Mufidah. Setelah data dianggap cukup, mereka berpresentasi.

Perjuangan memburu gadis impian terkadang memang sangat

berat, apalagi respon baliknya masih nihil. Itulah pengalaman Jusuf dalam

mengejar Mufidah. Berbagai terik yang ia lakonkan untuk mendapat

simpati dari Mufida. Namun, hasilnya belum menunjukkan tanda-tanda

keberhasilan, malahan tanda-tanda penolakan yang nyaris lebih nampak.

Tapi, Jusuf tidak pernah mengendorkan perasaan. Upayanya untuk

mengenal Mufidah masih menggebu-gebu.

Alur mengalami sorot balik sejenak ketika cerita beralih pada saat

Athirah menghadiri resepsi pernikahan anak sahabatnya, Daeng Rusdi.

Namun, suaminya tidak dapat mendampingi karena ada urusan bisnis di

luar kota. Padahal, kebiasaan orang Makassar dalam acara-acara resmi,

termasuk resepsi pernikahan pasangan suami istri akan hadir berdua.

Page 82: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

62

Kala itu Athirah merasa canggung hadir tanpa suaminya. Tawaran Jusuf

untuk menemani Ibunya disambut hangat oleh Athirah.

“Jika Emma mau, aku bersedia menemani, tak mengapa kita datang berdua. Yang penting hati Daeng Rusdi senang. Kita jelaskan saja bahwa bapak sedang ke luar kota. Aku memberi usul. Emma menatapku dan tersenyum lembut. “Emma juga tadi memikirkan itu. Daripada kita datang ke rumah Daeng Rusdi untuk mengatakan bahwa kita tidak bisa hadir di resepsi, lebih baik kita usahakan hadir pada hari bahagia itu. Betul katamu, tak mengapa kita datang berdua....” Aku mengangguk dan tersenyum. Kami telah menjadi dua orang yang saling menguatkan.” (Alberthiene Endah, 2013: 212)

Alur kembali berjalan maju saat Jusuf menyadari bahwa sikap

Mufidah yang tidak serta merta menerima cintanya itu wajar. Ia

memaklumi kalau setiap perempuan harus memahami betul karakter dari

laki-laki yang akan menjadi pendampingnya. Jusuf sangat memahami

betul, karena ia banyak belajar dari kondisi ibunya.

“Jadi, aku sama sekali tak marah kepada Mufidah. Ia benar. Laki-laki memang tak sepenuhnya bisa diyakini. Cinta yang sangat kuat dengan fondasi yang kukuh di awal tak menjamin munculnya kesetiaan yang abadi. Setiap perempuan boleh angkuh memutuskan kepada siapa cinta dan kepercayaan hendak diberikan. Kubiarkan hatiku untuk tak bergejolak ketika ia terlihat berlari ke dalam kelas saat aku melewati lorong depan kelasnya. Ia menghindar dariku. Juga, aku tak lagi menghampirinyadalam jarak dekat saat ia mengeluarkan sepedanya dari dalam barisan parkir saat pulang sekolah. Aku menatapnya saja dari jauh. Ia melihatku, lalu mengayuh sepedanya lebih cepat. Tak apa. Mufidah. Ia benar dalam sikapnya.” (Alberthiene Endah, 2013: 219)

Jusuf juga sangat paham kalau Mufidah bukanlah seorang yang bisa

begitu saja didekati. Jadilah Jusuf bertarung dengan hasratnya sendiri. Ia

menjaga sikap, mengatur jarak dan memperhitungkan waktu dan

kesempatan. Ia tak ingin karena perlakuanya hingga Mufidah tidak

Page 83: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

63

simpatik kepadanya. Jusuf ingin betul-betul mendapatkan Mufidah dengan

caranya sendiri yang tak umum diperagakan oleh laki-laki lain yang

kasmaran. Jusuf membiarkan waktu berjalan dengan tenang untuk segera

mendapatkan Mufidah. Suatu waktu Jusuf memberanikan diri

mengunjungi rumah Mufidah dengan segala perasaan ia siap untuk

menerima risiko, termasuk jika kedatangannya harus di tolak oleh

keluarga Mufidah. Selama di rumah Muufidah, Jusuf disambut dengan

baik oleh Mufidah, juga oleh bapak Mufidah menghargai kedatangan Jusuf

layaknya sebagai seorang tamu. Respon ini membuat hati Jusuf legah.

Saat ini Jusuf mengayu dua perasaan utama, menjaga hati ibunya dan

merebut hati Mufidah. Ia tak ingin kehilangan orang tua yang dikasihi dan

gadis yang dicintainya itu.

Alur kemudian beralih pada cerita tentang kondisi ekonomi

perusahaan dagang Haji Kalla yang agak memburuk, nilai tukar rupiah

turun. Bahkan situasi ini mengguncang perekonomian Indonesia. Ada hal

yang unik, karena usaha transportasi yang dikendalikan ibu Athirah justru

mengalami peningkatan pendapatan, begitu pula dengan bisnis kain sutra

dan berlian cukup meraup keuntungan setiap hari. Saat itu memang

sedang terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, semua kota-kota besar di

Indonesia turut dialiri ketegangan.

Selanjutnya diceritakan tentang pengalaman Jusf selama kuliah di

Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dari segi akademik Jusuf

memang termasuk mahasiswa berprestasi. Sementara Mufidah sendiri

Page 84: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

64

setamatnya dari SMA ia masuk di Fakultas Ekonomi Universitas Muslim

Indonesia (UMI). Padahal Jusuf sangat berharap Mufida bisa kuliah di

Unhas juga. Meskipun demikian, selalu saja ada jalan untuk dapat

bertemu dengan Mufidah. Kebetulan saat itu Jusuf menjadi asisten Pak

Rudi dengan mata kuliah statistik. Meskipun tugas utama Pak Rudi adalah

dosen Unhas tetapi ia juga mengajar di beberapa kampus lain termasuk di

UMI. Kesempatan itu digunakan oleh Jusuf untuk mengambil alih tugas

Pak Rudi di UMI.

“Telah kudapat kepastian bahwa aku akan membantu Pak Rudi mengajar para mahasiswa tingkat satu di UMI. Mahasiswa baru. Bisa dipastikan, salah satu yang akan kuajar adalah kelas tempat Mufidah berada. Ya Tuhan, aku sangat gemetar. Sekian lama kuburuh Mufidah dengan susah payah, bahkan bisa berdekatan dengannya saja sangat sulit, kini aku akan mengajarnya! Ini jalan yang luar biasa.” (Alberthiene Endah, 2013: 292) Kedekatan Jusuf dengan Mufidah memang sudah intens, tapi

Jusuf belum mendapatkan kepastian akan perasaanya kepada Mufidah.

Jusuf berupaya untuk mendapatkan jawaban itu, namun ia tidak mau

terkesan terburu-buru. Jusuf memberanikan diri untuk mengajak Mufidah

jalan-jalan, bukan main senangnya saat Mufidah merespon keinginan

Jusuf. Dipilihnya Pantai Losari sebagai tujuan. Setelah menikmati

panorama pantai, Jusuf kemudian memilih Restoran Malabar untuk

mencicipi kuliner Losari. Saat itulah Jusuf meggunakan kesempatan untuk

mengungkapkan perasaanya kepada Mufidah.

“Mufidah, aku ingin membicarakan sesuatu. Aku berusaha menjaga nyaliku. “Sesuatu yang sudah lama ingin kukatakan padamu.” Mufidah menatapku dengan tenang. Pancara matanya tak gentar. Nyaliku nyaris berhamburan. Tapi tidak. Aku tak boleh

Page 85: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

65

menunggu terlalu lama lagi. Bertahun-tahun sudah lewat dan aku seperti berjalan di tempat. Pelayan menata cangkir teh dan piring datar berisi penganan, juga dua lipatan serbet polos berwarna biru mudah.ia kemudian pergi dengan langkah cepat. Aku menyiapkan diri. “Mufidah....” Ya Tuhan, betapa beratnya mengatakan ini. “Mufidah aku suka kepadamu. Aku mencintaimu. Kau... aku mengejarmu sudah lama...” Aku kehilangan kata-kata. Astaga. Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Mufidah masih menatapku dengan tenang. “Mufidah....” Aku mengumpulkan lagi energi keberanianku. Dan aku ingin kau bisa menerimaku. Menerima cintaku.... ” (Alberthiene Endah, 2013: 305) Setelah kalimat itu diucapkan, suasana jadi hening bahkan

tegang. Jusuf seperti kehilangan udara. Terasa sesak dan berat. Seperti

ada hawa mencekam yang menyambut akhir kalimat Jusuf. Ia mengharap

Mufidah dapat memberikan jawaban yang diharapkan. Jusuf serius dan

tulus menempatkan cintanya pada Mufidah. Jusuf tidak memaksa Mufidah

untuk menjawab saat itu, tapi perasaannya sudah tak sabar lagi untuk

mendapatkan kepastian dari Mufidah. Semakin terbebani, itulah yang

dirasakan Mufidah. Ia memang sulit untuk menyembunyikan perasaannya

kepada Jusuf, namun ia juga masih ragu, apalagi orang tua Mufidah

mengetahui tentang latar belakang orang tua Jusuf yang berpoligami dan

inilah jawaban Mufidah:

“Ia menatapku. “Ayahku mengetahui keluargamu. Orang tuaku tahu ayahmu menikah lagi. Ia selalu mengingatkan aku tentang itu. Kurasa, ia takut aku mengalami hal yang sama dengan ibumu .... Maafkan aku ....” Suara Mufidah terhenti bersamaan dengan geraknya yang sangat cepat. Ia berlari. Menuju pintu. Cepat sekali. Lalu menghilang. Aku mematung. Tak mempercayai kalimat Mufidah. Aku bahkan tak berpikir sampai ke sana. Tetapi itulah jawabannya. Jawaban yang telah menjelaskan segalanya. Jawaban yang tak bisa kubantah.” (Alberthiene Endah, 2013: 307)

Page 86: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

66

Mendengar jawaban itu Jusuf seakan tak percaya, ia mematung beberapa

lama, jawaban Mufidah terasa perih buatnya. Bahkan tidak terasa air mata

Jusuf berleleran, ia seakan tidak sanggup menerima jawaban Mufidah,

tapi itulah kenyataannya.

Kemudian diceritakan tentang ajakan Bapak untuk berlibur ke

kampung halaman di Bone. Ajakan itu disambut gembira oleh keluarga

Jusuf. Mereka memang merindukan berwisata ke kampung halaman. Tapi

berbeda dengan Jusuf, ia masih tetap terobsesi dengan jawaban Mufidah.

Dalam hati Jusuf menggumam. “Apa yang kau ciptakan untuk kami, Pak.

Kau ada ketika kau mau. Dan, kau pergi ketika kami masih ingin

bersamamu. Sekarang gadis yang kucintai bahkan menolakku karena

kisah yang kau buat.” Jusuf dijerat dengan perasaan pilu yang membakar.

Ia hanya mendekam dalam kamar. Hingga akhirnya ajakan Bapaknya ke

Bone datang, Jusuf masih dijerat dengan perasaanya. Perjalanan ke Bone

hingga kembali ke Makassar benar-benar tidak dinikmati Jusuf, ia

terpenjara oleh pikiran dan perasaanya.

Cerita selanjutnya adalah setelah beberapa lama, musim berganti

mengiringi perasaan Jusuf. Ia lebih sibuk dengan kulih dan pekerjaanya

dalam membantu mengembangkan perusaha bapaknya. Tapi, bayang

Mufidah tidak bisa menguap begitu saja. Hingga di suatu hari ia

menempuh langkah nekat. Ia mengunjungi rumah Mufidah, ingin

memastikan perasaan Mufidah yang sejujurnya. Saat itu Jusuf

mendapatkan jawaban bahwa susnggunya Mufidah tidak hanya sekadar

Page 87: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

67

mencintai Jusuf tetapi juga ia memercayainya. Tugas Jusuf selanjutnya

adalah meyakinkan orang tua Mufidah atas ketulusan dan keikhlasan

cintanya. Jusuf terus-menerus datang ke rumah Mufidah, menemui

ayahnya untuk melunakkan hatinya. Upaya Jusuf tak sia-sia, 27 Agustus

1967 Jusuf direstui oleh keluarga Mufidah untuk menikah.

“Sebuah hari yang baru. Aku terjaga saat beduk Subuh terdengar. Menyentuh sejuk seperti embun di atas daun. Syahdu. Syukurku tak habis-habis. Masih bisa menemui pagi dengan jembatan yang tentram. Subuh yang menghanyutkan. Aku pernah mendngar kalimat Emma. Azan subuh adalah pelembut ragamu sebelum memulai hari. Aku percaya itu. Kutatap sosok lembut di sebelahku. Mufidah juga telah bangun. Hanya matanya yang belum sepenuhnya terbuka. Bibirnya menyunggingkan senyum. Ada rasa tak percaya, Mufidah ada bersama pagiku. Dan akan selalu ada. Senyum perempuan yang kucintai menjadi bagian yang menentramkan di dalam kedamaian pagi.” (Alberthiene Endah, 2013: 331)

Setelah pernikahannya, dengan restu ibu, Jusuf memutuskan

untuk tinggal di rumah Mufidah. Agar Mufidah merasa nyaman dan bisa

menyesuaikan diri dengan mudah ke dalam kehidupan pernikahan jika ia

masih tinggal di rumahnya, dibandingkan tinggal di rumah mertua.

Sorot balik kembali terjadi saat Jusuf mengenang perjuanganya

dalam menggapai cintanya. Setelah ia di wisuda di Fakultas Ekonomi

Universitas Hasanuddin, ia nyaris putus asa karena sangat susah untuk

menggapai cinta Mufidah, ia mendatangi paman Mufidah untuk meminta

bantuan agar hubungan Jusuf dan Mufida mendapat restu dari ayah

Mufidah.

“Kudapatkan alamat sang paman dari Mufidah ketika ia sudah benar-benar kehilangan kemampuan untuk menjawab. “Ayahku

Page 88: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

68

sulit menerimamu, Jusuf. Ini takdir kita. taka akan bisa kau menikahiku.” Mufida mengucapkan itu sambil berurai air mata. “Aku tak menyerah.” Aku menatap wajahnya dengan tajam. Ingin kusampaikan bahwa aku tak akan begitu saja mundur dan melepaskan harapanku. Seperti menepis debu. Aku telah lumat di dalam harapanku dan tak mungkin keluar dari gumpalan itu. Mufidah memberiku sebuah alamat pamannya. Barangkali dia bisa membantu. Kalau pamanku mau bicara pada ayahku, mungkin pikiran ayahku berubah ....” Suara Mufidah lembut. Kutangkap sepercik kabar baik dari kalimatnya.” (Alberthiene Endah, 2013: 334) Sebenarnya Mufidah telah dijodohkan oleh orang tuanya.

Seorang pemudah Minang yang kuliah di Amerika dan cukup kaya. Ayah

Mufidah sangat merestui. Hanya saja, Mufidah tak menyukai pemuda itu.

Ia tidak tergiur dengan kekayaan dan label lulusan Amerika. Ia tetap

menaru hati pada Jusuf. Ia menolak dijodohkan meskipun jodoh yang

disodorkan memiliki masa depan yang menjajikan.

Alur cerita kemudian berjalan maju dengan kisah Jusuf yang

mengambil alih estafet kepemimpinan perusahaan orang tuanya. NV Haji

Kalla dan PT. Bumi Karsa semakin mengibarkan bendera kejayaan. Modal

pemdidikan bisnis yang memadai membuat perusahan yang dipimpinnya

betul-betul berada pada puncak kejayaan. Sementara Haji Kalla lebih

menjalakan fungsi pengayom. Sebagai seorang tokoh di Makassar, ia

sering bertemu dengan orang-orang pemeritahan, warga Nahdatul Ulama,

juga sibuk memimpin Yayasan Al Gazali, yang menaungi Perguruan

Tinggi Al Gazali yang menggusung pemikiran NU. Selain itu ia juga aktif

mengurus Mesjid Raya Makassar.

Page 89: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

69

Di bagian akhir kisah dalam novel ini diceritakan bahwa di balik

ketegaran seorang Athirah sebagai sosok seorang perempuan tangguh,

kondisi fisik Athirah yang makin menua kesehatannya pun semakin

menurun. Tak ada lagi keceriaan dan kelincahan menyambangi dapur di

pagi buta, lalu memulai ritual menebarkan aroma masakan yang sedapnya

tiada terkira. Athirah terbaring sakit, wajahnya pucat pasi dan sangat kuyu.

Matanya redup, kedua tangannya tampak kurus, dan yang paling

mengkhawatirkan adalah perutnya yang buncit dan membatu. Hasil

diagnosa dokter, ia sedang menderita sirosis atau pembengkakan hati.

penyakit inilah yang membawa Athirah menemui ajalnya.

“Benar. Operasi itu menjawab dugaan dokter. Emma menderita kangker hati. sironisnya luar biasa parah. Namun, operasi itu tak berhasil membawa kesembuhan. Emma keluar dari ruang operasi dengan tubuh kaku. Matanya tertutup rapat. Tak ada gelagat harapan, kecuali napanya yang muncul satu-satu.” Pada dini hari 19 Januari, Emma kami bawa pulang. Beberapa selang yang terpasang di tubuhnya kami lepas. Halim menagis dan mengankat tabung oksigeng di pundaknya membawanya ke rumah. Sepanjang jalan kami berdoa. Aku membopong tubuh Emma ke dalam rumah dengan rasa sedih yang tak terkatakan. Tepat ketika azan subuh menggema, langkahku dengan Emma dalam boponganku baru mencapai pintu rumah. Kepalanya terkulai lemas. Napasnya terhenti. Innalillah waninna ilaihi rajiun.... Emma wafat dengan tenag dalam usia 56 enam tahun, tepat di muka rumah. Tyempat yang paling ia cintai. Tempat ia menyemai kasih sepanjang hidupnya di Makassar.” (Alberthiene Endah, 2013: 377) Sepeninggalan Athirah, Haji Kalla larut dalam duka yang

mendalam. Bahkan sebagian besar orang berasumsi kalau cahaya aura

dari Haji Kalla telah hilang, jiwanya telah mati. Ia tak perna lagi tersenyum

apalagi tertawa. Ia betul-betul berkabung tanpa jedah. Suram wajahnya

Page 90: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

70

tak bisa lagi disibak. Ia salat dan mengaji dalam tangis, susah diajak untuk

bicara. Seisi pikiranya hanya tertuju pada Athirah. Ia berulang kali

mengajak Jusuf mengantarnya ke pemakaman istrinya. Ia betul-betul

merasakan kehilangan, hingga larut dalam kesedihan. Duka Haji kalalla

tak habis-habis. Hingga ia pun meninggal hanya berselang tiga bulan

setelah Athirah meninggal.

“April 1982, hanya berselang tiga bulan setelah Emma wafat, seorang kerabat kami berlari panik di halaman rumahku. “Jusuf, Jusuf! Bapak wafat, bapak wafat...” bapak menyusl Emma kurang dari seratus hari setelah napas terakhir Emma terhembus. Kesedihan yang luar biasa telah memangkas semangat hidup Bapak. Habis sudah harapannya terhadap hidup. Tubuhnya lemah karena ia jarang menyentuh makanan. Sore menjelang Magrib, ia sedianya hendak ke Mesjid Raya. Ia masuk ke kamar Mandi lalu tak keluar lagi. Bapak meninggal dalam kondisi tertelungkup di sana.” (Alberthiene Endah, 2013: 380)

2. Tokoh dan Penokohan

Tokoh yang terdapat dalam novel Athirah adalah Athirah, Haji

Kalla, Jusuf, Mufidah, Pak Rudi, Bu Mela. Berikut ini adalah pengambaran

watak masing-masing tokoh yang terdapat dalam novel Athirah sebagai

berikut:

a. Athirah (Emma)

Athirah diungkapkan oleh pengarang secara fisiologis bahwa

diera 1957 Athirah adalah seorang ibu rumah tangga muda yang cantik

umurnya 32 tahun, namun masih kelihatan lebih mudah dari umurnya.

“Aku tertengung mendengar pertanyaan terakhir Emma. Apaka ini artinya ia kalah? Oh, ia tak seharusnya mendapatkan cobaan seperti ini. Aku memandang wajahnya. Sangat cantik. Dalam usia 32 tahun saat itu ibuku tampak bagaikan perempuan di bawah

Page 91: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

71

usia 30 tahun. Kulitnya putih bersih dan wajahnya yang tak pernah dirias memperlihatkan kecantikan murni yang sangat indah. Ia juga teramat baik. Tidak seharusnya ia dimadu.” (Alberthiene Endah, 2013: 56) Secara analitik pengarang pengarang memaparkan watak tokoh

Athirah sebagai perempuan yang tangguh, sabar, penyayang, dan ikhlas.

Ia bisa melewati hari-harinya dengan semangat bersama segenap anak-

anaknya, meskipun cintanya harus dibagi oleh sang suami karena memilih

menikah lagi. Statusnya sebagai istri yang dimadu bisa dijalani dengan

segenap kesabaran dan ketabahannya.

“Tenggorokanku tercekat. Rasanya tak adil. “Emma pikir, tak perlu lagi kita mengharapkan kebaikan Bapak....” Aku menanti kalimat Emma selanjutnya. Takut sekali aku pada dugaanku. Apaka ia akan mengatakan sesuatu yang mencekam? Cerai? Ini semua telah terjadi. Barangkali sudah takdir Emma menempu hidup seperti ini.” Emma memandangku dan tersenyum lembut. Tidak ada tanda-tanda perasaan pedih. Aku melihat pancaran bening. Ringan. Tulus. Ikhlas. “Kita tak perlu lagi mencari-cari Bapak. Tak perlu berusaha membuatnya kembali seperti dulu. Ada di rumah ini untuk kia semua, setiap waktu. Biarlah bapak dengan pilihannya. Memiliki dua keluarga. Dan kita lakoni hidup dengan takdir kita, sebaik-baiknya....” Aku seperti melihat cahaya kembali. Berkali-kali lebih terang dan jernih. Emma telah kembali.” (Alberthiene Endah, 2013: 129) Dilihat dari segi sosiologis, Athirah adalah seorang pebisnis. Ia

memiliki banyak relasi bisnis baik di Makassar maupun di daerah-daerah.

Bisnis yang dilakoni adalah angkutan transportasi, jualan kain sutra, dan

perhiasan berlian. Hampir setiap hari rumahnya sesak oleh gegap-gempita

para pembeli.

“Rumah kami menjadi sagat hidup. Yang datang bukan lagi sekadar pelanggan bisnis transportasi atau rekan-rekan bisnis Bapak yang berkepentingan bertemu dengan Emma, melainkan pelanggan dagangan Emma. Benar-benar bernyawa. Emma

Page 92: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

72

benar-benar memainkan cahayanya. Pagi-pagi sekali ia merapikan kain-kain di kamar. Ketika pembeli mulai berdatangan pada siang hari, ia menjelma menjadi penjual yang sangat lincah. Disampirkannya kain-kain sutra di bahunya, di lengannya, di kursi-kursi, dan Emma mulai bercerita banyak hal tentang kain itu. Ia seperti dihujani energi. Para pembeli kebanyakan datang dari luar Makassar, menatapnya dengan takzim. Kemudian belasan, bahkan puluhan kain berpindah tangan. Aku tidak melihat lembar-lembar uang yang masuk sebagai penanda keberhasilan Emma. Tidak. Tapi bagaimana ia bisa berenag dengan kain-kain indah itu dan merajut satu warna kehidupan yang cerah. Itu membuatku bertekuk lutut. Aku hormat pada cara ibuku untuk bangkit.” (Alberthiene Endah, 2013: 164)

b. Haji Kalla

Secara analitik, Sebagai petarung nasib yang gagah berani

membuat sosok Haji Kalla di segani dan terpandang di seantero

Makassar. Prihal kesuksesannya dalam berniaga menjadi teladan dalam

menginspirasi orang-orang untuk berjuang melalui kios-kios dan toko-toko

mereka. Tentang karakter di atas dapat di simak dalam petikan berikut.

“Aku menghormati ayahku. Sangat. Haji Kalla yang terpandang di seantero Makassar. Haji Kalla yang mewarnai Bone dengan teladan kesuksesan berniaga hingga orang-orang di sana terinspirasi untuk berjuang melalui kios-kios dan toko-toko mereka. Haji Kalla yang meninggalkan Bone dengan jejak keberhasilan dan sanggup menaklukkan Makassar pedagan yang telah menyandang gelar haji sejak usia 15. Petarung nasib yang gagah berani melanjutkan hidupnya di atas “kapal” sendiri lewat kios sederhana di sebuah pasar. Ia menang atas cita-citanya.” (Alberthiene Endah, 2013: 22)

Secara dramatik, pengarang menggabarkan Haji Kalla sebagai

sosok yang berwibawa. Ia juga termasuk orang visioner, meskipun

awalnya ia adalah seorang pedagang kecil dari Bone, ia tidak pernah

minder bersaing dengan taipan-taipan besar yang telah meraja di

Page 93: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

73

Makassar. Ia sangat cekatan beradaptasi dengan kemajuan zaman.

Gambaran karakter Haji Kalla ini tersirat dalam kutipan berikut.

“Yang kukagumi pula dari Bapak adalah kemampuannya beradaptasi dengan zaman. Ia berlari dengan waktu, juga mencumbunya. Bapak tak pernah merasa minder untuk terlibat dalam berbagai kemajuan di dunia dagang. Sungguhpun semula ia hanya pedagang kecil dari bone, dibanding dengan taipan-taipan besar yang telah meraja di Makassar. Bapak mengimpor banyak barang. Susu, tekstil, furitur, obat-obatan, makanan awet, kebutuhan rumah tangga macam-macam. Berkahnya sepertinya ada di bidang itu. Usahanya, NV Hadji Kalla, berjalan dengan sukses.” (Alberthiene Endah, 2013: 22)

c. Jusuf

Secara analitik, Jusuf dikemukakan oleh pengarang sebagai

pemuda yang tabah, ikhlas, dan bertanggung jawab. Di usianya yang

masih sangat muda, sebagai anak laki-laki pertama dengan ayah seorang

poligamer, terpaksa harus menjadi pendamping ibu dalam memimpin adik-

adiknya. Tanggung jawab ini harus diemban oleh Jusuf sejak usianya baru

16 tahun. Ketabahan dan sifat bertanggun jawab pada diri Jusuf

dijelaskan dalam kutipan berikut.

“Hati kami telah menjadi kuat. Lebih kuat dari yang kuduga. Aku terbiasa dengan hari-hari yang kehilangan satu pilarnya. Pada mulanya batin kami seperti berongga. Ada yang hilang dan terasa kosong. Namun, lama kelamaan kami terbiasa. Rongga itu tak lagi terasa kosong. Keikhlasan demi keikhlasan membuatnya terisi. Aku belajar banyak dari kisa Bapak dan Emma. Sangat banyak. Meskipun baru beberapa tahun berjalan, aku terdidik untuk paham apa makna ikhlas. Ketika kau tak lagi berontak, bahkan untuk sesuatu yang pantas kau teriakkan. Aku bukan lagi melupakan atau sengaja mengubur rasa sakit hati. Melainkan, berdamai. Menerima dan mendewasakan diri. Tentu saja tak sempurna. Usiaku belum lagi mencapai 20 tahun.” (Alberthiene Endah, 2013: 132)

Page 94: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

74

Karakter Jusuf yang lain adalah orang yang optimis. Awal

perjalanan cintanya untuk menaklukkan hati Mufidah tak mudah ia raih.

Berbagai tanjakan yang harus ia taklukkan, tapi karena optimisme yang di

miliki oleh Jusuf, akhirnya cintanya bercokol juga dalam hati Mufidah.

Akhirnya hubungan mereka kukuhkan dalam ikatan pernikahan pada

tahun 1967. Tentang perjuangan dan optimisme Jusuf dalam

menaklukkan hati Mufidan dan keluarganya tergambar dalam kutipan

berikut.

“Kami menikah pada 1967. Sebuah pesta yang sederhana, tapi sangat meriah. Bertahun-tahun pendekatan dan setahun masa pacaran. Setahun yang sarat dengan suka cita. Aku melimpahkan hatiku kepadanya, perempuan yang sangat kucintai. Ibuku menyediakan banyak waktu untuk berbicara banyak hal dengan Mufidah. Aku terus menerus datang ke rumahnya, menemui ayahnya, melunakkan hatinya. Setelah cintaku dan Mufidah bersatu, kami terus berjuang. Upaya kami tak sia-sia. Orang tuanya merestui kami menikah. Bapak dan Emma memelukku. Berlinangan air mata.” (Alberthiene Endah, 2013: 329)

d. Mufidah

Secara analitik, Mufidah dipaparkan sebagai sosok perempuan

yang lembut dan menjaga pergaulan. Ia tidak mudah percaya kepada

orang yang dekat padanya. Butuh waktu untuk mempelajari maksud,

tujuan dan memahami karakternya. Itulah yang di alami Jusuf ketika

mengejar cinta Mufidah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menaklukkan

hatinya. Karakter Mufidah ini terefleksikan dalam kutipan berikut.

“Tapi kemudian sebuah sentuhan lembut mengenai bahuku ketika rombongan bergegas menuju bus. Aku menoleh. Terkejut. Mufidah tersenyum samar. Aku tak mengeluarkan suara sangking begitu kagetnya. Hanya mataku yang membelalak, dan itupun segera kubenahi. Aku memandangnya tanpa senyum. Kagetku

Page 95: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

75

membekukan wajahku. “Maafkan aku.” Ia melebarkan senyumnya. “Bukan maksudku tidak ingin berkenalan denganmu. Tapi, aku memang tidak mudah dekat dengan orang yang baru kukenal ....” Mufidah tersenyum lagi. Aku masih syok. Tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mataku tegak menatapnya.” (Alberthiene Endah, 2013: 223) Selain itu, Mufidah juga adalah sosok permpuan yang

bertanggung jawab dan peduli terhadap keluarga. Meskipun ia kuliah, ia

masih menyempatkan dirinya untuk bekerja di BNI demi membantu

prekonomian keluarga. Jadwal kuliahnya diatur sedemikian rupa agar

tidak saling menggaggu dengan pekerjaanya.

e. Ibu Mela

Ibu Mela digambarkan oleh penulis secara dramatik sebagai

sosok perempuan yang provokatif. Ia senang memprovokasi Athirah

dengan kata-kata yang menghasut agar Athirah mencurigai suami dan istri

kedua suaminya. Tentang hal itu dapat disimak dalam kutipan berikut.

“Kau tak pernah bertanya berapa uang yang diberikan suamimu kepada istri keduanya?” ibu Mela melontarkan pertanyaan kepada Emma. Pertanyaan yang tidak sejuk. Barangkali perlu. Tapi itu mengganggu. “saya menghormati sikap Pak Kalla. Dia pasti memutuskan paling tepat....” Suara lembut Emma Muncul. “Hei, Athirah kau tak boleh begini naif. Laki-laki banyak akalnya. Tapi, perempuan harus lebih berakal lagi. Istri kedua suamimu pasti memainkan akalnya! Kau boleh senang dengan rumah besar ini. Bisnis transportasi yan kau pegang dan lain-lain dengan menguntungkan, tapi, siapa kira pesaingmu itu memperoleh lebih banyak lagi daripada ini.... Apa kau tak gundah memikirkan itu?” suara Bu Mela melengking-lengking, membelah sore yang semula tentram. “coba kau selidiki, Athirah. Istri tua biasanya hanya dapat yang sisa. Atau, yang rutin-rutin saja. Selebihnya, yang banyak itu akan jatuh kepada istri muda. Kalau kau tak pandai-pandai menyelidiki, habislah jatah kau dan anak-anakmu!” ibu mela semakin berapi. Aku jadi tak konsentrasi. Kututup buku pelajaranku. Telingaku makin tajam menyedot pembicaraan mereka.” (Alberthiene Endah, 2013: 136)

Page 96: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

76

Setiap kata-kata Bu Mela selalu diiringi dengan tawa tak sedap

yang melengking-lengking. Namun, setiap itu pula Athirah menjawab

dengan kata-kata bijak yang diiringi dengan tawa lembut. Akhirnya Bu

Mela mengalah sendiri ia meredahkan kata-kata dan tawa provokasinya.

f. Daeng Rahmat

Secara analitik penulis mengambarkan perwatakan Daeng

Rahmat baik dari segi fisik, sosial, maupu psikis. Tentang karakter Daeng

Rahmat dapat disimak dalam kutipan berikut.

“Daeng Rahmat seorang pria berprawakan gempal, berkulit gelap rahangnya kuat, tetapi memiliki sorot mata yang teduh. Wajahnya khas laki-laki Sulawesi Selatan. Aku bisa bercerita apa saja kepadanya. Kecuali, tentang Emma. Namun, suatu kali ia dapat membaca pikiranku. “Kau sangat dewasa dibandingkan dengan usiamu, Jusuf. Kurasa kau selama ini sangat cakap menjaga dan memimpin adik-adikmu....” Daeng Rahmat seperti memberi tekanan pada kata “menjaga dan memimpin”. Aku mengangguk pelan. Bisa meraba kedalama kalimat Daeng Rahmat. “Alhamdulillah, kami baik-baik saja, Daeng....” Ia tersenyum memandangku dengan sorot yang damai. “Ibumu sangat baik. Dan, sebagai anak laki-laki tertua, kulihat kau pun mewarisi kedewasaan sikap ayahmu. “Terima kasih Daeng.” Aku senang. “Doakan kami selalu dalam keadaan baik.” “Jagalah hati ibumu ....” Akhirnya Daeng Rahmat mengeluarkan puncak dari topik percakapan kami. “Hanya kau yang bisa berbuat itu di rumah.” (Alberthiene Endah, 2013: 126) Secara analitik, fisik Daeng Rahmat dipaparkan sebagai lelaki

berbadan kekar namun memiliki sorot mata yang teduh. Bentuk fisik ini

juga tercermin pada psikis. Daeng Rahmat, meskipun kelihatan kekar tapi

ia memiliki hati yang lembut dan penyayang. Sifat sosial Daeng Rahmat

adalah perhatiannya kepada pihak lain sangat menonjol, ia senang

Page 97: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

77

berbagi kepada sesama, meskipun itu kepada orang yang lebih mudah

dari dirinya.

g. Pak Rudi

Secara dramatik, pengarang menggambarkan tokoh Pak Rudi

sebagai sosok yang cerdas, perhatian, dan sosial. Asumsi tersebut di

peroleh dari profesi Pak Rudi sebagai dosen di dua perguruan tinggi yaitu

Unhas dan UMI. Pengangkatan Jusuf sebagai asisten menujukkan kalau

Pak Rudi adalah orang yang memiliki perhatian dan jiwa sosial. Ia mau

berbagi dengan orang yang memiliki kapabel di bidangnya. Tentang hal

tersebut tersirat dalam kutipan berikut.

“Pak Rudi mengangguk dan tersenyum arif. “Jusuf saya yaki kau dapat melakukan pekerjaan ini dengan baik. Nilaimu selalu lebih dari cuku. Hanya saja satu pesan saya, kau tak boleh terlambat. Seorang asisten dosen harus biasa menjadi teladan mahasiswa. Usahakan datang tepat waktu di kelas....” Aku menyalami Pak Rudi dengan gembira. “Semoga saya tidak mengecewakan Bapak!” Aku krluar dari ruangan dosen dengan hati berbunga.”

h. Abdullah

Secara analitik, Abdullah memiliki sikap jail. Namun, pada kondisi

tertentu, ia juga terkadang serius untuk memberi perhatian dan semangat

kepada temanya. Tentang karakter Abdullah bisa kita cermati dalam

kutipan berikut.

“Tapi lama kelamaan mereka berhenti menertawaiku. Mereka paham, sedihku tak lagi dalam ranah lelucon. Aku bahkan tak tertawa ketika mereka sibuk mencari celah lucu dari ceritaku. Orang yang sungguh-sungguh jatu cinta sangat muda diajak bercanda, atau justru tidak sama sekali. “Kau bersabarlah, Jusuf. Gadis-gadis kadang memerlukan waktu lebih lama daripada perjalan naik haji untuk menilai laki-laki,” ujar Abdullah. “Justru kau harus bangga. Dia tidak begitu saja mau menerimamu. Dia

Page 98: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

78

benar-benar menilaimu.” Benar. Abdullah sunggu benar. Aku tak pernah tersinggung dengan sikap tak ramah Mufidah.” (Alberthiene Endah, 2013:204) Terlepas dari karakter Abdullah yang jail, ia juga memiliki

solidaritas yang tinggi. Untaian kata-kata penyemangat yang dilontarkan

cukup memberi ketenangan kepada Jusuf. Ini mengisyaratkan kalau

Abdullah adalah sosok yang sangat memiliki kepekaan sosial.

i. Abduh

Secara analitik, pengarang menjelaskan bahwa salah satu dari

tiga sahabat Jusuf saat sekolah di SMA, Abduh yang paling jail. Setiap

saat selalu menggoda Jusuf dengan kata-kata usil dengan sindiran karena

sampai SMA Jusuf belum punya pacar, padahal ia adalah anak orang

tepandang dan saudagar kaya.

“Kau tak pernah membonceng perempuan.” Abduh paling jail. “sulit dibayangkan, anak muda cakap seperti dirimu, berayah saudagar terpandang, punya toko, punya rumah besar, ada skuter, tapi tak seorang gadis pun pernah menclokdi boncengan skutermu ....” (Alberthiene Endah, 2013: 167)

Dari kutipan tersebut tergambar tingkah laku tokoh Anwar. Kata-katanya

yang bermuatan ejekan, usil tapi menantang, mengisyarakan kalau tokoh

ini memiliki karakter jail. Meskipun demikian, ia juga memiliki kepekaan

sosial yang tinggi.

j. Anwar

Ketiga sahabat Jusuf digambarkan pengarang secara dramatik

memiliki karkter yang sama. Serupa dengan Abduh dan Abdullah, Anwar

juga memiliki karakter yang jail. Kata-katanya terkesan pedas tapi

Page 99: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

79

sesungguhnya ia hanya melucu. Hal tersebut dapat disimak dalam

petikan berikut.

“Dia sangat pendiam. Dingin. Sepertinya belum pernah pacaran. Dia hanya keluar untuk pergi sekolah saja. Selebihnya di rumah, membantu ibunya. Anwar menambahkan. Aku masih belum puas. “Di mana rumahnya? Tiga sahabatku tertawa. “di mana? “Hei, seorang kesatria tak boleh hanya mengandalkan informasi orang lain. Kau berjuanglah mencari tahu di mana rumanya. Kalau kau benar kepincut kepadanya, jangan tunggu matahari tenggelam untuk berkenalan dengannya.” (Alberthiene Endah, 2013: 179)

Dari kutipan tersebut tergambar karakter Anwar yang jail.

Meskipun ia telah membantu mencari informasi tentang gadis yang di

taksir Jusuf, namun kata-kata yang berupa ledekan kepada Jusuf terus

dilancarkan.

3. Latar

a. Latar Tempat

Sebagian besar peristiwa-persitiwa yang ada dalam novel Athirah

berlatar tempat di Makassar dan beberapa tempat lain di Bone,

Bantimurung, dan Sengkang. Berikut ini akan dipaparkan latar tempat

dalam novel dengan kutipan-kutipan.

Tempat terjadinya peristiwa pertama dalam novel ini yaitu di

Makassar tepatnya di ruamah kediaman Jusuf di Jalan Andalas . Diawali

saat sebuah percakan antara Athirah (Emma) dengan Jusuf. Dalam

Page 100: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

80

suasana santai mereka sedang memperbincangkan gerak-gerik ayah

Jusuf yang dinilainya aneh.

“1955. Sebuah percakapan sederhana. Aku tak pernah menyangka bahwa percakapan singkat itu akan membawa perubahan besar dalam hidup kami. Diucapkan saat Makassar sedang dibakar matahari pada tengah hari. Itulah kali pertama aku melihat ibuku disakiti dunia.” (Alberthiene Endah, 2013: 10) Tak hanya di rumah Jusuf, latar tempat peristiwa dalam novel ini

juga terjadi di rumah Mufidah, sebuah rumah sederhana dan mungil.

Gambaran tentang latar ini dapat disimak dalam kutipan berikut.

“Aku tak melewatkan kesempatan itu. Pada hari yang dipastikan aku kembali datang ke rumahnya. Persis seperti waktu yang ia minta, ketika sore masih diwarnai matahari garang. Dan, kutemui pemandangan yang membuatku geli. Delapan orang adiknya dari yang tertua hingga yang termuda berkumpul di ruang tamu mengelilingi kotak catur. Padat sekali. Aku tidak bisa melangkah dengan leluasa ke kursi. “Lewat sini....” Mufidah menggeser sebuah kursi dan memberi jalan kepadaku. Suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk teriakan adik-adiknya. Sangat berisik. Aku bahkan tak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan. Semuanya berseru-seru.” (Alberthiene Endah, 2013: 248) Masih di wilayah Makassar, peristiwa yang diceritakan dalam

novel ini juga terjadi di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI).

Sebuah kampus selain Unhas yang menjadi favorit bagi anak muda

Makassar dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan yang ingin melanjutkan

pendidikan di Perguruan Tinggi. di kampus ini Jusuf menjadi asisten

dosen, ia mengajarkan mata kuliah Statistik yang di bina oleh Pak Rudi.

Gambaran tentang hal ini dapt di simak dalam kutipan berikut.

“Aku memacu skuterku dengan cepat pada hari pertama aku mengajar. Kampus itu terasa romantis pada sore hari. Pohon-pohon yang menjulang tinggi menciptakan bayangan indah di layar langit kemerahan. Angin pantai mengibas-ngibas tengkuk.

Page 101: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

81

Lorong depan kelas-kelas di UMI seperti gelaran karpet merah yang menyambutku dengan antusias. Entalah, perasaanku yang antusias barangkali yang akhirnya memantulkan gelombang riang.” (Alberthiene Endah, 2013:293)

Pantai Losari juga tak pelak menjadi latar tempat dalam novel ini.

Pantai Losari merupakan tempat favorit bagi warga Makassar yang ingin

menikmati wisata pantai. Di pantai ini kita bisa menyaksikan

pemandangan menakjubkan di sore hari karena di sini kita bisa

menyaksikan dengan langsung matahari terbenam di seberang laut.

Tentang latar pristiwa yang tergambar dalam novel Athirah dapat disimak

dalam kutipan berikut.

“Kau menyukai pantai pada sore hari? Aku mengulang kalimat Mufidah. Kami sudah duduk di sebuah kedai es kelapa dan ikan bakar yang mengarah ke bibir Pantai Losari. Angin pantai buas menerpa wajah dan rambut kami. Cuaca sedang sedikit ekstrem. Anak-anak kecil riang bermain bola di atas pantai dan memekik-mekik setiap kali angin kencang, disusul bunyi ombak yang bergemuruh. Tapi langit cerah.” (Alberthiene Endah, 2013:293)

Peristiwa dalam novel ini juga terjadi di kampus SMA 2 Makassar

tempat Jusuf mengenyam pendidikan sebelum sebelum pinda ke SMA 3.

Di sini jusuf bertemu dengan tiga sahabat yang mereka yang memiliki

chemistry.

“Di SMA 2 aku bersahabat dengan tiga siswa, Abdullah, Abduh, dan Anwar. Sejak kali pertama duduk di kelas kami segera merasakan chemitry. Sama seperti persahabatanku dengan Bahar, Rudi, dan somad, aku pun merasakan karakter hangat pada diri mereka. Tiga sahabatku di SMP itu sayangnya berpencar di SMA yang berbeda-beda. Abdullah, Abduh, dan Anwar punya karakter yang nyaris mirip dengan Somad, Bahar, dan Rudi. Terutama dalam hal usil.” (Alberthiene Endah, 2013: 167)

Page 102: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

82

Tidak hanya di SMA 2, latar tempat dalam novel ini juga di SMA 3 karena

adanya kebijakan untuk memekarkan sekolah ini sangkin banyaknya

murid. Jusuf dan tiga sahabatnya bersyarat pindah ke sekolah baru

tersebut.

“Tidak lama aku sekolah di SMA 2. Sebab, kemudian muncul peraturan untuk memekarkan sekolah, sangking muridnya sudah terlalu banyak. Mereka yang urutan absenya ada di nomor ganjil harus pindah ke sekolah baru, SMA Negeri 3. Aku termasuk siswa yang bernomor ganjil. Ketika kenaikan kelas dari kelas 2 ke kelas 3 aku hijrah ke SMA baru itu. Yang membuatku riang, Abdullah, Abduh, dan Anwar pun termasuk siswa yang pindah.” (Alberthiene Endah, 2013: 176)

SMA Negeri 3 merupakan pemekaran dari SMA Negeri 2, sebagian besar

siswanya merupakan pindahan dari sekolah induk.

Selain Makassar, latar tempat cerita dalam novel ini adalah

Taman Wisata Bantimurung, Kabupaten Maros. Saat itu beberapa siswa

dari teman kelas Mufidah berinisiatif untuk melakukan perjalan wiasata ke

Bantimurung. Untuk lebih meriah mereka mengajak siswa dari kelas lain

untuk berpartisipasi. Tak pelak lagi, Jusuf, Abdullah, Abduh, dan Anwar

ikut ambil bagian.

“Bantimurung dan segala pesonanya menjadi tempat bagiku untuk menerima penegasan sikap Mufidah. Ia memang sungguh-sungguh tak tertarik berteman denganku. Aku bisa membuktikannya dari bagimana ia berusaha tak berpapasan denganku, apalagi saling bertegur sapa. Ia membuat dunianya sendiri. Aku, terpaksa pula memuaskan diri dengan duniaku sendiri, berkelompok bersama Abdullah, Abduh, Dan Anwar. Beberapa siswa bergabung dengan kami.” (Alberthiene Endah, 2013: 222)

Selain Makassar dan Bantimurung, pristiwa dalam novel ini juga

terjadi di Sengkang. Sebuah kota kecil yang berbatasan dengan Bone.

Page 103: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

83

Sengkang sangat terkenal dengan sentra kain hasil tenunan terbaik di

Sulawesi Selatan. Sauatu ketika Athirah mengajak Jusuf untuk

mengunjungi kota ini guna membeli barang-barang hasil tenunan asli

sengkang. Gambaran tentang perjalanan mereka dapat disimak dalam

kutipan berikut.

“Banyak Hal yang ia lakukan di sana. Kami mengunjung sentra-sentra penenun. Emma melihat alat-alat tenun mereka dan entah apa yang ia katakan. Ia juga membicarakan desain. Memperlihatkan benang-benang sutra yang telah ia celupkan dan menerangkan dengan sangat lincah. Selama Emma melakukan banyak hal dalam kunjungan itu, aku lebih banyak berada di luar rumah-rumah tenun. Menikmati ketentraman baru yang mendadak menyeruak masuk ke dalam batin. Aku memandang jalan utama di Sengkang yang sangat legang. Hening mengalir perasaan tenang. Sayup suara Emma bersama penenun terdengar dan mengemakan kidung kegembiraan. Kutatap langit biru jernih yang bersih.dari awan. Kuharap luka pada diri Emma menjelma benih semangat yang tak pernah lagi luruh.” (Alberthiene Endah, 2013: 145) Persitiwa dalam cerita juga terjadi di Bone. Bone adalah tanah

kelahiran Jusuf, masa kecilnya ia habiskan di Bone sebelum ayahnya

kemudian hijrah ke Makassar. Suatu saat, ayah Jusuf mengajak

keluarganya berlibur ke Bone. Selama di Makassar, sudah lama memang

mereka tak mengunjungi Bone dan mereka sangat rindu. Saat itu Jusuf

masih dalam suasana kalut, ia baru saja menyampaikan hasratnya

kepada Mufidah. Namun, jawaban yang didapatkan adalah penolakan

dengan alasan latar belakang orang tua Jusuf yang berpoligami. Keluarga

Mufidah tak ingin hal yang sama terjadi pada dirinya. Jadilah wisata ke

Bone hal yang tak menggairahkan oleh Jusuf.

Page 104: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

84

“Bone yang hangat, terasa sunyi untukku. Emma menikmati pertemuan dengan ibunda dan adik-adiknya. Ia telah jauh lebih bercahaya. Harum dalam kematangannya. Kukuh setelah lulus ditempa ujian. Bapak terus menerus menatap Emma. Entah apa dalam pikirannya. Tapi aku menangkap cinta yang besar dalam tatapannya. Dan, sedikit penyesalan. Aku terkubur dalam sedihku. Matahari datang menghangatkan Bone, lalu pergi saat senja telah mencapai keindahannya. Tawa riang-saudara-saudaraku dan kecipak suara para tetua keluarga Bapak dan Emma mengudara melintasi hari.” (Alberthiene Endah, 2013: 145).

b. Latar Waktu

Waktu terjadinya peristiwa dalam novel Athirah secara rinci

diceritakan dari tahun 1955 hingga tahun 1982. Dimulai saat melihat

gelagat perubahan pada sang suami, ibu Athirah mecoba berbagi

tanggapan dengan Jusuf dalam sebuah percakapan sederhana. Usia

Jusuf saat itu baru 14 tahun, adalah umur tergolong masih sangat mudah

jika ingin diajak berbagi tentang perasaan orang tua. Kemudian peristiwa

susul menyusul terjadi hingga terjadi peristiwa paling akhir dalam novel ini

yaitu saat Haji Kalla meninggal dunia tepatnya pada bulan April 1982.

c. Latar Sosial Budaya

Latar sosial budaya dalam novel Athirah adalah kehidupan sosial

budaya masyarakat Bugis. Kehidupan sosial budaya yang digambarkan

dalam novel ini adalah kehidupan sosial budaya masyarakat yang sangat

majemuk, kondisi dengan latar belakang pendidikan, profesi, dan tingkat

ekonomi yang berbeda.

Budaya Bugis dalam novel ini sangat terasa. Hal ini tergambar

dari kutipan-kutipan bahasa Bugis yang disisipkan pengarang dalam

Page 105: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

85

tulisan ini. Misalnya kata kue Barongko dan Sarebba. Kue Barongko

adalah makanan khas orang Bugis dan hanya bisa ditemukan di tengah-

tengah masyarakat Bugis. Hal ini dapat kita simak dalam kutipan ini “aku

duduk di kursi kayu dalam dapur. Tanganku sudah menjama kue

Barongko yang kelima. Sunggu lezat barongko buatan Emma. Santan dan

gulanya terasa pas. Kepadatan dan empuknya sempurna.” (Alberthiene

Endah, 2013: 211). Barongko adalah sejenis kue khas orang Bugis,

sedangkan Sarebba adalah sejenis minuman khas orang Bugis. Minuman

ini merupakan ramuan berbahan dasar jahe ini tidak sulit ditemukan ketika

berada wilayah oarng Bugis.

Selain itu, dalam novel ini juga kita temukan kata patellu. Patellu

artinya dalam bahasa Indonesia adalah saudagar atau pedagang. Di sini

diungkapkan bahwa dalam keluarga Jusuf, profesi dagang sudah menjadi

urat nadi kehidupannya. Hal ini bisa disimak dalam kutipan berikut.

“Mereka sangat mengagumkan. Ini dunia yang menyenangkan. Aku

menyukai niaga. Darah patellu mengalir kuat di sekujur tubuhku. Yang

kukagumi dari bapak adalah kemampuanya beradaptasi dengan zaman.”

(Alberthiene Endah, 2013: 243)

4. Tema dan amanat

Tema merupakan suatu gagasan sentaral yang menjadi dasar

suatu karya sastra yang di dalamnya mencakup persoalan dan tujuan atau

amanat pengarang kepada pembaca (Semi, 1993:42). Tema dapat

Page 106: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

86

dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum dalam sebuah

karya novel (Nurgiyantoro, 1995:70).

Amanat adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin

disampaikan pengarang kepada pembaca. Karya sastra fiksi senantiasa

menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur

manusia, memperjuangkan hak dan martabat manusia (Sudjiman,

1988:57).

Hubungan antara tema dengan amanat sangat erat. Jika tema

merupakan ide sentral, maka amanatlah yang menjadi penjelas dari ide

tersebut. Jika tema merupakan perumusan pertanyaan, maka amanatlah

yang menjadi perumusan jawabannya.

Novel Athirah memiliki tema jamak, artinya dalam novel ini

memiliki lebih dari satu tema. Tema dalam novel ini terdiri dari satu tema

mayor dan beberapa tema minor. Tema mayor dalam novel ini adalah

Kesetiaan dan ketulusan dalam setiap kondisi kapan dan dimana pun.

Sedangkan tema minor yang terdapat dalam novel ini antara lain:

a) Sifat dan watak manusia berbeda-beda.

b) Usaha dengan kerja keras adalah kunci kesuksesan.

c) Kesabaran dalam menyikapi masalah dalam kehidupan

Novel Athirah terdiri dari beberapa tema, maka novel ini juga

mengandung beberapa amanat di antaranya:

a) Kesetiaan sesuatu yang tidak hanya ada saat kau dihadapkan pada

sesuatu yang membuatmu bahagia tapi, juga saat kau berhadapan

Page 107: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

87

dengan sesuatu yang membuatmu berat. Ketika kita mencintai

sesuatu maka cintailah dengan ketulusan, cinta yang tidak

bersyarat, kecuali yang disyaratkan oleh cinta itu sendiri.

b) Sifat dan karakter setiap manusia berbeda-beda. Oleh karena itu,

janganlah menilai baik dan buruknya sesorang hanya dari sisi

luarnya saja termasuk latar belakang kehidupan keluarganya.

c) Ketika mengupayakan sesuatu harus dilakukan dengan total

kemampuan dengan iringan doa. Seperti yang tertera dalam

falsafah Bugis “resopa temmangingi namaloma naletei pammasena

dewatae”.

d) Setiap orang akan diuji sesuai dengan kemampuanya, jalanilah

ujian dengan ikhlas agar Sang Penguji menghadiaimu benteng

dengan sifat sabar.

B. Analisis Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra meninjau karya sastra dengan

mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1978: 2). Karya

sastra merupakan refleksi kehidupan, yaitu pantulan respon pengarang

dalam menghadapi dan menjalani kehidupan di masyarakat sebagai

makhluk sosial. Oleh karena itu, dalam analisis sosiologi sastra ini akan

dijabarkan bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat setempat

yang terefleksikan dalam novel Athirah. Latar sosial budaya dalam novel

ini adalah kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan sosial yang

digambarkan dalam novel ini adalah kehidupan sosial masyarakat yang

Page 108: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

88

sangat majemuk, kondisi dengan latar belakang pendidikan, profesi, dan

tingkat ekonomi yang berbeda.

Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali

problem dasar kehidupan (Santosa, 1993:40). Masalah-masalah dasar

kehidupan sosial budaya masyarakat adalah masalah-masalah yang

sering dialami oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti kematian

(maut), cinta, pengharapan, tragedi, pengabdian, arti dan tujuan hidup,

serta hal-hal transendental. Penelitian ini difokuskan pada masalah

kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang terefleksikan dalam

novel Athirah yang meliputi kematian, cinta, tragedi, harapan, pengabdian,

dan hal-hal transendental.

1. Kematian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maut berarti mati

atau kematian terutama tentang manusia (Moeliono, 1990:518).

Pengertian mati dapat dijelaskan dengan tiga hal, yaitu:

a) Kemusnahan dan kehilangan total roh dari jasad

b) Terputusnya hubungan antara roh dan badan

c) Terhentinya budi daya manusia secara total (Sulaeman, 1998:85).

Kematian pasti akan dialami oleh semua manusia. Kematian

adalah takdir yang tidak terelakkan dan manusia tidak akan dapat

menentukan kapan, dimana dan apa sebab datangnya kematian tersebut.

Sikap manusia dalam menghadapi maut bermacam-macam sesuai

dengan keyakinan dan kesadarannya, antara lain:

Page 109: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

89

a. Orang yang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan yang baik

karena menyadari bahwa kematian bakal datang dan mempunyai

makna rohaniah.

b. Orang yang mengabaikan peristiwa kematian karena menganggap

bahwa kematian adalah peristriwa alamiah yang tidak ada makna

rohaninya.

c. Orang yang merasa keberatan atau takut untuk mati karena

terpukau oleh dunia materi.

d. Orang yang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap

kematian merupakan bencana yang merugikan, mungkin karena

banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya menghadapi

keharusan menyiapkan diri untuk mati (Sulaeman, 1998:87).

Persoalan maut di lukiskan dalam novel Athirah dengan peristiwa

meninggalnya Athirah karena komplikasi penyaki diabetes dan sirosis atau

pengerasan hati yang menderanya. Pertolongan medis dengan operasi

pun tak mampu lagi menyelamatkan nyawa Athirah.

“Pada dini hari 19 Januari 1982, Emma kami bawa pulang. Berbagai selang yang terpasang di tubuhnya dilepas. Halim menangis dan mengangkat tabung oksigen di pundaknya membawanya ke rumah. Sepanjang jalan, kami membaca doa. Aku membopong tubuh Emma ke dalam rumah dengan rasa sedih yang tak terkatakan. Tepat ketika azan subuh menggema, langkahku dengan Emma dalam boponganku baru mencapai pintu rumah. Kepalanya terkulai lemas. Napasnya terhenti. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.... Emma wafat dengan tenang dalam usia 56 tahun, tepat di muka ruamah. Tempat yang paling dicintai. Tempat ia menyemai kasih sepanjang masa hidupnya di Makassar”. (Alberthiene Endah, 2013: 377)

Page 110: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

90

Kematian Athirah semakin mengharu biru, Haji Kalla seakan tidak

sanggup menerima kenyataan ini. Ia larut dalam sedih dan duka yang

dalam. Banyak orang mengatakan bahwa sejak kepergian Athirah, cahaya

di wajah Pak Haji Kalla telah hilang, bahkan mati. Ia tidak pernah lagi

tersenyum apalagi tertawa. Betul-betul merasakan kehilangan, ia

berkabung tanpa pernah berjedah. Matanya terus-menerus nanar dan

menerawang. Pikiranya hanya tertuju pada sosok Athirah. Sekan ada

penyesalan besar di sana atas penghianatan cinta yang di lakukannya

terhadap Athirah.

Persoalan maut yang diceritakan dalam Novel Athirah juga

tentang kematian Haji Kalla yang cukup mengagetkan. Hanya berselang

tiga bulan setelah Athirah wafat, tepatnya pada bulan April 1982, Haji

Kalla pun menyusul istrinya tercinta. Rasa sakit dan kepedihan yang

dialaminya sepeninggalan Athirah benar-benar menyayat, hidupnya tak

bergaira lagi, tak bisa lepas dari bayang sosok seorang Athirah.

2. Cinta

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cinta berarti suka sekali,

sayang benar, kasih sekali, atau terpikat (antara laki-laki dan perempuan)

(Moeliono, 1990:168). Kata cinta selain mengandung unsur perasaan aktif

juga menyatakan tindakan yang aktif pengertiannya sama dengan kasih

sayang sehingga jika seseorang mencintai orang lain berarti orang

tersebut berperasaan kasih sayang atau berperasaan suka terhadap

orang lain tersebut (Sulaeman, 1998:49). Seseorang yang mencintai

Page 111: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

91

harus mempunyai beberapa sikap, antara lain harus memeriksa tepat

tidaknya suatu tindakan dan bertanya-tanya bagaimanakah ia semestinya

memberi bentuk kepada cinta dalam situasi yang konkret. Selain itu, sikap

lain yang seolah-olah merupakan prasyarat untuk dapat disebut mencintai

adalah kesetiaan, kesabaran, kesungguhan, dan memberi kepercayaa

(Leenhouwers, 1988:246).

Abdul Kadir Muhammad (1988:29) mengungkapkan bahwa cinta

kasih adalah perasaan kasih sayang, kemesraan, belas kasihan, dan

pengabdian yang diungkapkan dengan tingkah laku yang bertanggung

jawab. Tanggung jawab artinya adalah akibat yang baik, positif, berguna,

saling menguntungkan, menciptakan keserasian,keseimbangan, dan

kebahagiaan. Ada beberapa hubungan cinta yang ada dalam kehidupan

manusia, antara lain cinta antara orang tua dan anak, cinta antara pria

dan wanita, cinta antarsesama manusia, cinta antara manusia dan Tuhan,

dan cinta antara manusia dengan lingkungannya (Muhammad, 1988:30).

Cinta adalah bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia.

Perasaan cinta adalah anugerah dari Tuhan yang datangnya membawa

pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Seseorang yang

mencintai sesuatu akan merasa senang terhadap sesuatu itu dan apabila

yang dicintainya itu meninggalkannya, ia akan merasa kehilangan.

Cinta memang sesuatu yang tak pernah habis untuk di bicarakan.

Mulai dari para filosof, sastrawan hingga pada level kasta terendah cinta

merupakan hal yang sangat menarik untuk dibicarakan. Ribuan karya dan

Page 112: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

92

tulisan-tulisan telah dihasilkan dari tema tentang cinta. Romeo and Juliet

dan Layla Majnun adalah dua karya besar tentang cinta yang tidak pernah

lekang oleh waktu.

Dalam novel Athirah kembali mengulas dan tentang cinta. Akan

tetapi, dalam novel ini mencoba mengulas cinta dari sisi lain. Cinta

diartikan sebagai keinginan untuk berkorban melindungi serta mengayomi

orang yang dicintai. Perasaan cinta tak selalu diaktualkan dengan pacaran

sebagaimana presepsi kebanyakan orang sekarang. Perasaan cinta dapat

diwujudkan dalam bentuk persaudaraan yang saling mendukung dan

membantu sebagaimana kisah cinta antara Jusuf dan Mufidah.

Dalam novel ini juga terungkap permasalahan-permasalahan

yang berhubungan dengan cinta. Di antaranya kisah cinta antara Jusuf

dan Mufidah. Cinta yang terjalin di antara mereka bukanlah sesuatu yang

tanpa melewati tantangan. Status sosial, keinginan, adat istiadat, dan

karakter yang dimiliki oleh setiap orang terkadang menjadi alasan untuk

mengakhiri hubungan cinta antara sepasang kekasih. Tapi, oleh Jusuf dan

Mufidah, dengan kekuatan cinta dan perjuangan, mereka dapat

melewatinya. Cinta mereka adalah cinta yang tulus. Cinta yang mereka

jalani adalah keinginan untuk memberi tanpa mengharap pamrih dari yang

dicintainya. Oleh karena itu, keagungan cinta mereka sangat layak untuk

ditunjukkan dengan menyatunya dua hati dalam satu ikatan suci. Itulah

makna cinta yang dapat dipetik dari dari kisah cinta Jusuf dan Mufidah

dalam novel Athirah ini.

Page 113: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

93

3. Tragedi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tragedi berarti peristiwa

yang menyedihkan (Moeliono, 1990:959). Tragedi adalah suatu peristiwa

menyedihkan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh setiap manusia.

Sulaeman menyebut tragedi ini dengan kata penderitaan. Ia

mengungkapkan bahwa penderitaan termasuk realitas dunia dan

manusia. Intensitas penderitaan bertingkat, ada yang berat dan ada juga

yang ringan. Peranan individu juga menentukan berat tidaknya intensitas

penderitaan. Suatu peristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang

belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Akibat penderitaan

bermacam-macam. Ada yang mendapatkan hikmah besar dari suatu

penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya.

Suatu penderitaan bisa juga merupakan energi untuk bangkit bagi

seseorang, sebagai langkah awal untuk

mencapai kenikmatan atau kebahagiaan. Oleh karena itu, penderitaan

belum tentu tidak bermanfaat (Sulaeman, 1989:66).

Seseorang yang tegar akan menganggap kejadian yang

menyedihkan itu sebagai suatu cobaan yang harus dilewati dan mencari

hikmah dari kejadian tersebut untuk kemudian dijadikan pedoman dalam

menjalani hidup selanjutnya agar kejadian yang menyedihkan itu tidak

terulang atau dapat ditanggulangi. Sedangkan seseorang yang lemah dan

tidak tegar dalam menghadapi cobaan dan rintangan akan menganggap

kejadian itu sebagai suatu bencana dan seringkali terjerumus pada hal-hal

Page 114: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

94

yang menyimpang dari norma agama maupun sosial. Pada tahap

selanjutnya, tragedi akan berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan

seseorang.

Tragedi yang terlukis alam novel Athirah ini di antaranya adalah

tragedi yang menimpa Athirah dan anak-anak atas perkawinan kedua

yang dilakukan oleh suaminya. Mereka tak menyangka hal itu akan terjadi

dalam keluarganya. Untung saja Athirah adalah sosok perempuan yang

cukup kuat, diterimanya peristiwa itu dengan ikhlas dan sabar, “ia

mengalah tapi bukan kalah”. Itulah realitas yang harus ia terima meski

dalam hati terasa berat. Tentang tragedi itu dapat disimak dalam kutipan

berikut.

“Pengalaman terberat seorang anak dalam kasus poligami, ketika harus menyaksikan salahsatu dari orang tua menahan pedih atas peristiwa menekan itu. Kadan tak kupikirkan lukaku sendiri. Lebih sedih memikirkan luka seorang yang menjadi payung hidupku. Emma. Sejak bapak menikah lagi, rumah kami redup tapi ibuku adalah perempuan pemantik cahaya. Aku bisa menagkap sedihnya walau dunia selalu melihat kebahagiaannya. Aku tahu ibuku mati-matian menciptakan hari yang wajar. Sejak menikah hingga hari itu, ia dikenal sebagai perempuan yang kuat, dan ia ingin terus seperti itu.ia ingin melewati hari yang tak pernah ada jejak sakit hati. kalau boleh, barangkali, ia ingin melupakan itu. Tapi realitas punya kuasa sendiri. Ketika mereka membuka mata pada pagi hari, perasaan sakit menjelma ada.” (Alberthiene Endah, 2013: 39) Tragedi selanjutnya yang terjadi selajutnya adalah saat perahu

yang ditumpangi Athirah dan anak-anaknya terbalik saat pulang berwisata

dari sebuah pulau kecil yang tidak jauh dari Pantai Losari. Pulau yang

sering dijadikan tujuan wisata masyarakat Makassar. Kejadian itu

membuat panik Jusuf. Ia tidak ikut dengan ibunya saat itu, karena banyak

Page 115: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

95

pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Trgadi tersebut dapat di simak

dalam kutipan berikut.

“Aku berlari tak tentu arah. Kuhampiri kerumunan demi kerumunan yang berpencar bagai pulau-pulau kecil. Di antara bising tangis dan teriakan panik aku berusaha mencari orang-orang yang kucintai. “Emmaaaaaa!” Aku mulai kesetanan. “Jusuf” Ya Allah, suara itu. “Jusuf!” Aku menoleh cepat. Diantara kerumunan dipenuhi perempuan paru baya kulihat ibuku. Emma duduk memeluk Zohra dan Farida. Tubuh mereka basa kuyup. “Emmaaa!” Aku menyeruduk cepat. Kupeluk mereka dengan erat. Aku menangis. Entah berapa lama. Tubuh basah mereka terasa dingin. “Emma, aku takut sekali!” Emma bisa menyelamatkan dirinya, padahal ia tak bisa berenang. Ia menemukan sebatang kayu yang mengapung saat perahu terbalik. Dengan kayu itu ia, Zohra, dan Farida berpegangan.” (Alberthiene Endah, 2013: 256) Tragedi yang lain adalah tragedi yang menimpa Jusuf. Saat

pertama kali ia menyatakan perasaanya kepada Mufidah, ia mendapat

penolakan dengan alasan latar belakan keluarga yang berpoligami. Jusuf

stres memikirkan hal itu. Sejak kejadian itu ia tampak tak menikmati hidup,

perjalananya ke Bone saat itu terasa hambar. Ia terus terobsesi dengan

kata-kata Mufidah. Tentang hal tersebut tergambar dalam cuplikan berikut.

“Skuter telah menyusuri jalan depan rumahnya. Dan, berhenti. Mufidah turun dengan tenang. Tubuhnya sedikit oleng. Ia tidak langsung masuk, tapi berhenti di sisiku dan memandangku. “Jusuf.” Ia menatapku. “ayahku mengetahui keluargamu. Orang tuaku tahu ayahmu menikah lagi. Ia selalu mengingatkan aku tentang itu. Kurasa, ia takut aku mengalami hal yang sama dengan ibumu.... Maaafkan aku....” Suara mufidah berhenti bersamaan dengan gerakannya yang sangat cepat. Ia berlari menuju pintu. Cepat sekali. Lalu, menghilang. Aku mematung tak mempercayai kalimat Mufidah. Aku bahakan tak berpikir sampai ke sana. Tapi itulah jawaban Mufidah. Jawaban yang telah menjelaskan segalanya. Jawaban yang tak bisa kubantah. Aku masih mematung beberapa lama. Sesuatu yang perih menggigit perasaanku. Nyerih sekali.” (Alberthiene Endah, 2013: 307).

Page 116: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

96

4. Harapan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, harapan berarti sesuatu

yang dapat diharapkan atau keinginan supaya menjadi kenyataan

(Moeliono, 1990:297). Harapan dalam kehidupan manusia merupakan

cita-cita, keinginan, penantian, dan kerinduan supaya sesuatu itu terjadi

(Sulaeman, 1998:81).

Menurut macamnya, ada harapan yang optimis (besar harapan)

dan harapan yang pesimistis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya

sesuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat

dianalisis secara rasional bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul.

Harapan yang pesimistis mempunyai tanda-tanda yang rasional bahwa

sesuatu itu tidak bakal terjadi (Sulaeman,1998:82).

Besar kecilnya harapan ditentukan oleh kemampuan kepribadian

seseorang untuk menentukan dan mengontrol jenis, macam, dan besar

kecilnya harapan tersebut. Jenis dan besarnya harapan orang yang

mempunyai kepribadian kuat akan berbeda dengan orang yang

berkepribadian lemah. Kepribadian yang kuat akan mengontrol harapan

seefektif dan seefisien mungkin sehingga tidak merugikan dirinya atau

orang lain untuk masa kini dan masa mendatang (Sulaeman, 1998:82).

Setiap manusia yang hidup di dunia ini memiliki harapan. Manusia memilki

sesuatu keinginan yang diharapkan bisa terwujud di masa yang akan

datang.

Page 117: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

97

Harapan yang dimiliki oleh manusia dilukiskan dalam novel

Athirah lewat harapan para tokohnya. Di antaranya adalah harapan Jusuf

yang sangat besar untuk menjadikan Mufidah sebagai pendamping hidup.

Berbagai upaya yang telah dilalui oleh Jusuf untuk mewujudkan harapan

ini. Perjuangannya untuk mewujudkan harapan ini sangat luar biasa.

Apalagi ia harus menghapus image negatif tentang poligami yang

menyelimuti keluarga Jusuf. Gambaran tentang beratnya perjuangan

Jusuf untuk mewujudkan harapanya dapat disimak dalam kutipan berikut.

“Pengakuan Mufidah begitu melukai perasaanku. Bukan, bukan aku marah kepadanya. Tidak. Ia sangat berhak mengucapkan pemikiran orang tuanya. Ya, orang tua mana yang mau putrinya memiliki potensi untuk di madu? Untuk dilukai perasaannya? Aku bisa menerima, orang tuanya khawatir jika menikah denganku, aku akan meniru jejak Bapak, menikah lagi dan membiarkan Mufidah terluka. Tapi, yang tidak bisa aku terima, aku tidak diberi kesempatan untuk mengatakan bahwa aku berbeda dengan Bapak. Aku Jusuf Kalla, anak laki-laki yang telah melihat perjalan seorang perempuan untuk sembuh dari sakit hatinya. Dan, tak pernah ingin kubuat penyebab sakit hati seperti itu. Amat tak ingin.” (Alberthiene Endah, 2013: 313)

Inilah yang membuat Jusuf memiliki harapan besar untuk

menjadikan Mufidah sebagai pendamping hidupnya. Meskipun ia berasal

dari keluarga dengan latar belakang poligami, tapi bagi Jusuf, itu cukup

dijadikan pelajaran berharga. Dari situ ia paham betapa sakitnya

perempuan yang dimadu dan betapa susahnya ia untuk bangkit dari

keterpurukannya.

Dalam novel ini juga digambarkan bagaimana harapan besar Haji

Kalla kepada Jusuf untuk meneruskan usahanya. Sejak awal Jusuf sudah

Page 118: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

98

ditempa dengan kiat-kiat memajukan usaha. Ia banyak belajar dari Bapak

dan karyawan bapaknya.

“Memasuki paruh kedua dasawarsa ’60-an, rencana Bapak melebarkan sayap usaha mulai teralisasi satu demi satu. Payung usahanya NV Hadji Kalla, terus menguat. NV kependekan dari Namlozee Venonschap atau perseroan terbatas. Lewat payung inilah kreativitas Bapak membesarkan usaha tak kenal letih. Emma mengatakan setelah kondisi ekonomi tanag air berangsur-angsur membaik, bapak tak mau membuang kesempatan untuk membenahi keadaan. Jaringan usahanya mulai merambah bidang produksi tekstil dan konstruksi. Bshksn, Bapak juga telh mulai membicarakan mimpinya. Ia ingin menjemput kesempatan menjadi diler mobil untuk wilayahSulawesi Selatan. Bila mungkin, lebih luas lagi. Industri otomotif segera berkembang di Indonesia, kata Bapak. Kemajuan negara dan peningkatan ekonomi akan menciptakan kebutuhan yang tinggi pada kendaraan bermotor. Aku mengamini semua harapan Bapak. Aku tahu semua harapanya berporos pada satu hal: kesejahtraan keluarga. Selain juga, segenap karyawan tentu saja.” (Alberthiene Endah, 2013: 31-312)

5. Pengabdian

Dalam KBBI, pengabdian berasal dari akar kata dasar abdi yang

artinya hamba atau orang bawahan. Pengabdian berarti suatu proses,

perbuatan, atau cara mengabdi (Moeliono, 1990, 1-2). Pengabdian

merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghambakan diri, patuh,

dan taat kepada sesuatu atau seseorang yang kita anggap tinggi, bernilai,

berharga, atau yang lebih kita pentingkan. Pengabdian dapat diartikan

pelaksanaan tugas dengan kesungguhan hati atau secara ikhlas atas

dasar keyakinan atau perwujudan rasa cinta, kasih sayang, tanggung

jawab, dan lain-lain. Pengabdian manusia dapat bermacam-macam,

antara lain pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, negara, Tuhan,

Page 119: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

99

dan lain-lain (Sulaeman, 1998: 93). Timbulnya suatu pengabdian berawal

dari rasa percaya akan sesuatu hal untuk mengabdi. Kepercayaan yang

demikian akan menimbulkan ketulusan sikap dalam pengabdian. Setiap

pengabdian akan menuntut pengorbanan, baik besar maupun kecil.

Pengabdian manusia dapat bermacam-macam, antara lain

pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, negara, Tuhan, alam, dan

lain-lain (Sulaeman, 1998:93).

Dalam novel Athirah tercermin beberapa peristiwa yang

menggambarkan pengabdian manusia. Pengabdian terhadap terhadap

keluarga yang diperagakan oleh Jusuf mendampingi ibunya dalam

memimpin saudara-saudaranya karena ayahnya memiliki rumah tangga

yang kedua. Gambaran tentang pengabdian ini dapat disimak dalam

kutipan berikut.

“Aku berusaha membangun perasaan yang baik di rumah. Kulayangkan pikiranku kepada banyak anak yang malang. Yang kehilangan orang tua. Yang berada dalam kehidupan yang tak tentu arah. Aku masih jauh lebih beruntung. Orang tuaku lengkap walau ada peristiwa yang harus meninggalkan jejak luka. Tetapi pada 1958 adalah masa aku berjuang keras untuk mengartikan apa itu ketentraman. Ya. Apa arti ketentraman.rumah kami hening tanpa ada keributan. Kami juga berlaku sama sehari-hari. Tak ada yang meledakkan emosi. Kami, Emma, aku, dan saudara-saudaraku sepertinya telah sembuh dari guncangan setahun sebelumnya dan mulai bisa menitihari tanpa persoalan berarti." (Alberthiene Endah, 2013: 69) Selain pengabdian Jusuf, dalam novel ini digambarkan juga

pengabdian yang ditunjukan oleh Athirah kepada suaminya. Meskipun ia

dimadu, tetapi penghargaan kepada suaminya tetap ia jalankan dengan

ikhlas. Tentang gambaran ini dapat di simak dalam kutipan berikut.

Page 120: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

100

“Pertemuanku dengan Bapak seperti sebuah lembaran baru menuju fase lanjutan dari kehidupan kami yang diwarnai awan poligami. Tidak hanya siang itu ternyata Bapak berkunjung. Aku kemudian mulai melihatnya terbiasa datang pada siang hari dan lama-lama baring di kamar Emma. Nur mengatakan Bapak sedang banyak pikiran. Aku percaya, sebabkulihat letih di wajahnya. Emma tak banyak bicara tentang Bapak. Ia menambahkan ritual baru dengan menghidangkan santap siang khusus bagi Bapak, sebuah kebiasaan yang telah menghilang selama beberapa tahun.” (Alberthiene Endah, 2013: 259) Masalah pengabdian juga ditunjukkan oleh Mufidah. Sebagai

bentuk tanggung jawab kepada keluarganya, Mufidah memilih kuliah

sambil bekerja demi meringankan beban keuangan orang tuanya. Tentang

pengabdian Mufidah ini tergambar dalam kutipan berikut.

“Sebuah info muncul lagi. Mufidah mengambil kuliah sore. Sebab, pagi hari ia bekerja di BNI ’46. Cekatan sekali Mufidah. Memang kudengar bank terkemuka itu membuka banyak lowongan pekerjaan. Gadis itu rupanya memilih untuk memanfaatkan kesempatan itu sambil terus melanjutkan pendidikannya. Aku tahu, Mufidah pasti ingin membantu perekonomian keluarganya.” (Alberthiene Endah, 2013: 291)

6. Hal-hal Transendental

Dalam KBBI, transendental berarti menonjolkan hal-hal yang

bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, dan abstrak (Moeliono,

1990:959). Hal-hal transendental adalah hal-hal di dalam diri manusia

yang bersifat kerohanian, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dalam kehidupannya, manusia tidak terlepas dari hal-hal yang

bersifat kerohanian. Hal ini juga tercermin dalam novel Athirah.

Hubungan antara manusia dengan Tuhannya terlihat pada kebiasaan

Jusuf melaksanakan Shalat di Mesjid Raya Makassar di jalan Andalas

Page 121: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

101

nomor 2 yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya. Ia

membawa gelisa ibu dalam doa-doanya. Hal tersebut tergambar dalam

petikan berikut.

“Aku membawa gelisah Emma dalam shalatku. Aku tafakkur berlama-lama di masjid. Mataku terbang di permmukaan karpet berwarna hijau tua yang melapisi masjid besar itu. Masjid Raya, yang dibangun menjadi lebih besar oleh campur tangan Bapak dan kawan-kawan pedagang. Aku selalu merasakan mesjid ini bagai rumahku. Karpet hijau tua itu bagai kerabat yang mengenal baik diriku. Kumaki diriku yang kurang cakap menebak isi kepala Emma. Apa yang bisa kuterjemahkan dari keterangannya?” (Alberthiene Endah, 2013: 16)

Dari kutipan tersebut tergambar jelas tentang ketergantungan

hamba dengan penciptanya. Seluruh masalah Jusuf bermuara pada doa-

doa yang ia panjatkan dalam shalatnya. Di situlah tumpuan terakhir

segalah permasalahan hidup dilabuhkan.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam novel

Athirah, terefleksikan tentang kehidupan sosial budaya masyarakat.

Beberapa diantara kehidupan sosial budaya yang terefleksikan adalah

maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental.

Tidak hanya menyodorkan kenyataan yang ada dalam masyarakat saja

tetapi juga mengolahnya sesuai dengan pandangan-pandangannya.

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Pada bagian ini diuraikan pembahasan temuan yang diperoleh

dari hasil analisis data penelitian tentang refleksi kehidupan sosial budaya

masyarakat Bugis yang terdapat dalam novel “Athirah”. Berdasarkan hasil

Page 122: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

102

analisis unsur intrinsik dari segi kuantitasnya, novel Athirah mempunyai

alur jamak (plot dan sub-sub plot) yaitu mengisahkan pengalaman hidup,

permasalahan, dan konflik yang dihadapi oleh lebih dari seorang tokoh.

Ada urutan peristiwa atau kejadian yang dihubungkan oleh hubungan

sebab akibat. Peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan

peristiwa yang lainnya (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995: 119). Alur

utama dalam novel ini pusat penceritaannya terletak pada tokoh sentral,

yaitu Athirah. Sedangkan alur tambahan pada novel ini pusat

penceritaanya terletak pada tokoh bawahan, yaitu Jusuf, Mufidah, Haji

Kalla, Daeng Rahmat, Bu Mela, Pak Rudi, Abdullah, Abduh, dan Anwar.

Sedangkan dari segi kualitasnya, novel Athirah menggunakan alur

longgar, yaitu hubungan antar peristiwa dalam novel ini tidak erat benar

sehingga memiliki kemungkinan untuk disisipi alur lain.

Karakter dari masing-masing tokoh dalam novel Athira

digambarkan secara analitik yaitu pengarang menceritakan secara rinci

watak tokoh-tokohnya. Selain itu, penggambaran karakter tokoh juga

diungkapkan secara dramatik yaitu pengarang tidak secara langsung

menggambarkan watak tokoh-tokohnya, tetapi menggambarkan tokoh-

tokohnya melalui: pelukisan tempat dan lingkungan sang tokoh,

mengemukakan atau menampilkan dialog tokoh yang satu dengan tokoh

yang lain, dan menceritakan perbuatan dan tingkah laku atau reaksi tokoh

terhadap suatu peristiwa (Semi, 1993:40).

Page 123: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

103

Dalam novel Athirah , latar menginformasikan tentang situasi baik

tempat, waktu, maupun suasana cerita apa adanya (Semi 1993: 46). Latar

tempat yang digambarkan oleh pengarang dalam novel ini sebagian besar

bertempat di Makassar dan beberapa tempat lain di Bone, Bantimurung,

dan Sengkang. Latar waktu secara rinci diceritakan berawal dari tahun

1955 saat itu Athira melihat adanya gelagat perubahan pada suaminya

hingga berakhir pada saat Haji Kalla meninggal pada bulan april 1982.

Sedangkan latar suasana yang digambarkan pengarang dalam nove ini

adalah latar sosial budaya masyarakat Bugis yang majemuk, dengan

kondisi latar belakang pendidikan, profesi dan tingkat ekonomi yang

berbeda. Di sini latar berfungsi sebagai pendukung alur dan perwatakan.

Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang

sedang di ceritakan.

Hubungan antara tema dan amanat dalam novel Athirah sangat

erat. Tema merupakan ide sentral dalam cerita sedangkan amanat adalah

penjelas ide tersebut (Semi, 1993: 42). Dalam novel Athirah memiliki tema

jamak, artinya dalam novel ini memiliki lebih dari satu tema. Tema dalam

novel ini terdiri dari satu tema mayor dan beberapa tema minor. Dengan

demikian amanat dalam novel ini hakikatnya merupakan penjelasan tema-

tema yang ada. Setiap tema memiliki pesan moral tersendiri dan itulah

yang menjadi amanat dalam novel ini.

Dengan pendekatan sosiologi sastra, penelitian terhadap novel

Athirah difokuskan pada masalah kehidupan sosial budaya masyarakat

Page 124: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

104

Bugis yang terefleksikan dalam novel ini meliputi kematian, cinta, tragedi,

harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental. Dari hasil analisis data

diungkapkan bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak dapat diduga

kedatangannya. Penyebab terjadinya kematian pun bermacam-macam.

Kematian bisa terjadi karena usia yang sudah tua, dibunuh, kecelakaan,

ataupun karena penyakit. Oleh karena itu kita harus selalu siap untuk

menerima kematian ini (Sulaeman 1998:87).

Masalah cinta juga terefleksikan dalam novel Athirah. Kisah cinta

dua pasang tokoh yaitu kisah cinta Athirah dengan Haji Kalla dan kisah

cinta Mufidah dengan Jusuf cukup banyak memberi pesan moral. Cinta

merupakan salah satu permasalahan kehidupan yang sangat kompleks.

Hal ini terlihat dari banyaknya permasalahan-permasalahan hidup yang

berhubungan dengan cinta (Muhammad 1998: 29). Oleh karena itu, dalam

mencintai harus didasari dengan tulus dan ikhlas. sebab hanya dengan

ketulusan, cinta akan tetap kokoh. Ketulusan cinta yang diperakan oleh

Athirah kepada keluarganya membuat keluarga ini tetap eksis hingga

akhir hayatnya, meskipun keluarga ini dirundung dengan prahara

poligami. Demikian halnya ketulusan cinta yang diperagakan oleh Jusuf,

berkat pelajaran yang di dapat dari pengalaman orang tuanya ia dapat

mempertahankan keutuhan keluargnya.

Tragedi adalah masalah kehidupan yang juga tereflesikan dalam

novel Athirah. Setidaknya ada tiga tragedi yang paling mengesankan

dalam novel ini yaitu saat Haji Kalla memilih untuk berpoligami, saat

Page 125: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

105

perahu yang ditumpangi Athirah dan anak-anaknya terbalik saat pulang

berwisata dari sebuah pulau kecil yang tidak jauh dari Pantai Losari, dan

tragedi penolakan yang diterima Jusuf ketika pertama kali

mengungkapkan perasaanya kepada Mufidah. Respon penulis terhadap

tragedi adalah bahwa tragedi adalah suatu kejadian yang menyedihkan

dan tidak dapat dihindarkan. Tragedi yang menimpa seseorang akan

memengaruhi kondisi kejiwaannya. Oleh karena itu, dalam menyikapi

tragedi harus dibarengi dengan keimanan agar tidak terjadi hal-hal yang

tidak diinginkan (Sulaeman: 1989: 66).

Masalah harapan, adalah hal yang juga terefleksikan dalam novel

Athirah. Harapan besar Jusuf untuk menjadikan Mufidah sebagai

pendamping hidupnya harus melewati perjuangan yang sangat luar biasa.

Demikan halnya harapan Haji Kalla kepada Jusuf untuk meneruskan

usahanya. Lebih awal Jusuf sudah ditempa dengan kiat-kiat memajukan

usaha. Setiap manusia selalu memiliki harapan yang terbaik untuk dirinya.

Namun, kemampuan manusia hanya terbatas pada harapan, yang

menjadi penentu adalah Allah, Swt. Oleh karena itu, manusia harus

berupaya maksimal untuk mewujudkan harapannya. Setelah ikhtiarnya

sempurna baru menyerahkan segalanya kepada Sang penentu takdir

(Sulaeman: 1989: 82).

Dalam novel Athirah, masalah pengabdian terefleksikan pada

pengabdianJusuf mendampingi ibu dalam memimpin saudara-saudaranya

karena ayahnya memilih untuk berpoligami adalah sebuah tanggung

Page 126: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

106

jawab besar. Hal ini sudah dilakoni Jusuf meskipun usianya pada saat itu

baru 14 tahun, usia yang masih tergolong anak-anak. Inilah awal Jusuf

ditempa dengan sikap tanggung jawab yang besar. Demikian halnya

pengabdian Athirah kepada suaminya. Meskipun ia dimadu, tetapi

pengabdian dan penghargaan kepada suaminya tetap dijalankan dengan

ikhlas. Pengabdian terhadap keluarga juga dilakukan Mufidah dalam

membantu perekonomian keluarganya dengan kuliah sambil bekerja.

Masalah pengabdian memang membutuhkan pengorbanan. Oleh karena

itu, pengabdian harus dilaksanakan secara penuh dan ikhlas. Pengabdian

yang tidak dilakukan secara penuh dan ikhlas akan membuat

kekecewaan (Sulaeman: 1989: 93).

Dalam novel Athirah juga terrefleksikan hal-hal transendental.

Secara bahasa dalam istilah filsafat transendental berarti suatu yang tidak

dialami tapi dapat diketahui, suatu pengalaman yang terbebas pada

fenomena, namun berada dalam gugusan pengetahuan seseorang.

Menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, dan

abstrak (Moeliono, 1990: 959). Dalam istilah agama diartikan suatu

pengalaman mistik atau supernatural karenanya berada diluar jangkauan

dunia materi. Komunikasi transendental memang tidak pernah dibahas

secara luas, cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah

komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam

bidang agama. Kepercayaan terhadap Tuhan telah membantu memberi

semangat manusia dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Menerima

Page 127: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

107

nasib yang tidak baik, bahkan berusaha mengatasi kesukaran-kesukaran

yang banyak dan berusaha mengakhirinya. Dalam kehidupan, manusia

tidak terlepas dari hal-hal yang bersifat kerohanian.

Page 128: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

108

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah melakukan analisis terhadap novel Athirah karya

Alberthiene Endah, maka penulis dapat merumuskan kesimpulan bahwa

berdasarkan strukturnya, novel Athirah memperlihatkan adanya hubungan

antarunsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra

tersebut. Rangkaian kejadian dalam novel Athirah yang disusun

menggunakan alur kronologis dan pada tahap-tahap tertentu cerita

disusun dengan sorot balik (flashback) membutuhkan para pelaku yang

terlibat di dalamnya. Peristiwa demi peristiwa yang dialami tokoh-tokoh

yang ada dalam novel Athirah ini membentuk sebuah jalinan peristiwa

sehingga terbentuklah alur cerita. Di sinilah letak keterjalinan antara alur

dan penokohan karena alur tidak akan terbentuk tanpa adanya tokoh yang

diceritakan dan bergerak dalam rangkaian ceritanya. Dalam novel

Athirah ini, latar tempat mempunyai peran penting dalam penyusunan alur

cerita. Alur cerita terbentuk karena peristiwa-peristiwa yang dialami oleh

tokoh-tokohnya dan tokoh-tokoh itu dihubungkan oleh latar tempat awal

mereka bertemu yaitu di SMA Negeri 3 Makassar. Dari sekolah inilah

peristiwa demi peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya diceritakan. Di

sinilah letak keterjalinan antara latar dengan alur dan penokohan. Tema

yang merupakan gagasan pengarang diwujudkan dalam jalinan alur,

Page 129: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

109

latar, dan penokohan sehingga amanat yang ingin disampaikan

pengarang dapat sampai kepada pembaca. Jalinan peristiwa yang

terbentuk tersebut dijadikan langkah awal untuk pembahasan selanjutnya

pada analisis sosiologi sastra.

Sebagai sebuah karya sastra, novel Athirah merupakan refleksi

kehidupan, yaitu pantulan respon pengarang tentang kehidupan sosial

budaya. Latar sosial budaya dalam novel ini adalah kehidupan sosial

budaya masyarakat Bugis. Kehidupan sosial budaya yang tercermin

dalam novel ini meliputi maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan

hal-hal transendental. Persoalan maut dilukiskan dalam novel Athirah ini

dengan dua peristiwa yaitu saat peristiwa kematian Athirah dan kemudian

disusul oleh sang suami, Haji Kalla yang hanya berselang tiga bulan dari

kematian Athirah. Permasalahan cinta yang terefleksikan dalam novel

Athirah ini adalah cinta yang diartikan sebagai keinginan untuk berkorban,

melindungi, serta mengayomi orang yang dicintai. Perwujudan cinta dalam

bentuk persaudaraan yang saling mendukung dan membantu

sebagaimana kisah cinta Jusuf dan Mufidah. Tragedi yang terlukis alam

novel Athirah ini di antaranya adalah tragedi yang menimpa Athirah dan

anak-anak atas perkawinan kedua yang dilakukan oleh suaminya. Tragedi

selanjutnya adalah saat perahu yang ditumpangi Athirah dan anak-

anaknya terbalik saat pulang berwisata dari sebuah pulau kecil tidak jauh

dari Pantai Losari. Kejadian itu membuat panik Jusuf. Respon penulis

terhadap tragedi adalah bahwa tragedi adalah suatu kejadian yang

Page 130: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

110

menyedihkan dan tidak dapat dihindarkan. Tragedi yang menimpa

seseorang akan memengaruhi kondisi kejiwaannya. Oleh karena itu,

dalam menyikapi tragedi harus betul-betul dibarengi dengan keimanan

agar tidak tejadi hal-hal yang tidak diinginkan. Harapan yang dimiliki oleh

manusia dilukiskan dalam novel Athirah lewat harapan para tokohnya. Di

antaranya adalah harapan Jusuf yang sangat besar untuk menjadikan

Mufidah sebagai pendamping hidup. Selanjutnya adalah harapan Haji

Kalla kepada Jusuf untuk meneruskan usaha niaga yang telah dirintis

dengan susah payah. bahwa setiap manusia selalu memiliki harapan yang

terbaik untuk dirinya. Namun, kemampuan manusia hanya terbatas pada

harapan, yang menjadi penentu adalah Allah, Swt. Oleh karena itu,

manusia harus berupaya maksimal untuk mewujudkan harapannya.

Setelah ikhtiarnya sempurna baru menyerahkan segalanya kepada Sang

penentu takdir. Dalam novel Athirah tercermin beberapa peristiwa yang

menggambarkan pengabdian manusia. Pengabdian terhadap terhadap

keluarga yang diperagakan oleh Jusuf mendampingi ibunya dalam

memimpin saudara-saudaranya karena ayahnya memiliki rumah tangga

yang kedua. Selain itu, pengabdian yang tulus juga di tunjukkan oleh

Athirah kepada suaminya meskipun dalam kondisi dimadu. Sedangkan

hal-hal transendental yang terefleksi dalam novel ini bahwa manusia tidak

terlepas dari hal-hal yang bersifat kerohanian. Hal ini juga tercermin

dalam novel Athirah. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya terlihat

pada kebiasaan Haji Kalla dan Jusuf melaksanakan Shalat di Mesjid

Page 131: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

111

Raya, bahkan oleh Jusuf menganggap bahwa Masjid Raya adalah rumah

keduanya. Di tempat ini ia selalu mengadu dan menumpahkan doa-

doanya.

B. Saran

Hal-hal yang perlu penulis sampaikan sebagai saran terhadap

pembaca antara lain:

1. Novel Athirah adalah nove berlatar belakang lokal Sulawesi Selatan

yang ditulis dan diterbitkan oleh penerbit nasional, ini perlu dibaca

karena novel ini mengetengahkan bagaimana besarnya pengaruh

seorang ibu dalam membentuk karakter anak. Aneka nasihat

kehidupan yang juga disajikan dalam buku ini.

2. Ada baiknya dilakukan penelitian lanjutan terhadap novel Athirah,

tentunya dengan teori, pendekatan, dan metode yang berbeda

sehingga dapat memberikan variasi dalam khasanah penelitian sastra

Indonesia.

3. Novel ini sarat dengan nilai pendidikan atau edukasi sehingga

penelitian lanjutan terhadap novel ini disarankan menggunakan

pendekatan yang berkaitan dengan nilai edukasi.

Page 132: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

112

DAFTAR PUSTAKA

Andriani Yelmi. 2011. Perubahan Sosial dalam Novel Negeri Perempuan Karya Wisran Hadi. Padang: Universitas Andalas.

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar

Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Endah, Alberthiene. 2013. Athirah. Jakarta: Noura Books. Esten, Mursal. 1989. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah.

Bandung: Angkasa. Faruk, HT. 1994. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jassin, HB. 1985. Tifa Penyiar dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.

Junaso, Shintya. 2008. Refleksi Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Semarang: Balai Bahasa Jawa Tengah.

Junus, Umar. 1983. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:

Gramedia. Luxemburg, J van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Moeliono, Anton M dkk 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Moleong, L.J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosda Karya. Muhammad, Abdul Kadir. 1988. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Fajar Agung.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pramudya, Ardiyonsih. 2012. Problem Sosial Novel Orang-orang Proyek

Karya Amad Tohari. Surakarta: Univesitas Sebelas Maret. Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Sastra.

Bandung: Angkasa.

Page 133: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

113

113

Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

Semi, M. Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

. 1993. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa.

Soekanto, Sarjono. 1981. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Universitas Indonesia.

Subroto, 1992. Penelitian Kwalitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudjiman, Panutti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sulaeman, Munandar. 1998. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar.

Bandung: Refika Aditama. Sumardjo, Jakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta:

Nur Cahaya. Syani, Abdul. 1993. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Jakarta:

Pustaka Jaya. Tarigan, Henry G. 1998. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wallek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan

Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: UNS Press.

Page 134: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

115

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1

SINOPSIS NOVEL “ATHIRAH”

ATHIRAH

Berawal sejak tahun 1955, sebuah percakapan sederhana yang

membawa perubahan besar dalam hidup kami. Itulah kali pertama aku

(Jusuf) melihat ibuku (Athirah) disakiti dunia. Ada perasaan tidak enak

yang hadir sebagai pertanda. Ibuku, perempuan paling tentram yang aku

kenal, mendadak mengalirkan gelombang gelisah. “Ayahmu (Haji Kalla)

aneh belakangan ini, Jusuf. Kau lihat gerak-geriknya. Ia menyisir

rambutnya hampir setiap jam.Memakai krim rambut berulang-ulang hingga

wanginya mencolok. Sering keluar tanpa kopiah.” Aku tercenung awal

percakapan yang aku belum kumengerti arahnya. Selanjutnya kulihat

wajahnya membatu. Matanya lurus terhunus ke depan. Aku mengenal hati

emma. Ia tak pernah membiarkan kulitnya membiasakan emosi sedikit

pun. Ini adalah kali pertama aku melihat rona keberatan di wajahnya.

“Jika ada perubahan bapak, apakah itu sesuatu yang perlu

dikhawatirkan, Emma (Athirah)?” Aku bereaksi sopan. Kupikir, ada hal

yang perlu kupahami dari perempuan. Bagaimana mereka mengelolah

Page 135: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

116

kegelisahan. Emma tak bicara. Beberapa detik kemudian wajahnya

melembut.

Percakapan dengan Emma siang itu adalah awal dari perjalan

batinyang tak pernah kuduga akan datang pada hidupku. Aku membawa

gelisa Emma dalam salatku. Aku tafakkur berlama-lama di masjid. Aku tak

pernah membayangkan ada sesuatu yang buruk di rumahku. Seharusnya

rumahku adalah pelabuhan damai. Tak pernah ada penjelasan dari Emma

tentang apa yang ia gelisahkansetelah percakapan yang membingungkan

aku.

Banyak di antara kita, khususnya orang Bugis Makassar

mengenal sosok Athirah hanya sebagai ibu dari Pak Jusuf Kalla, di mana

padanya beliau mengabadaikan namanya di salah satu sekolah yang

terkemuka di kota Makassar. Dari bapak, Pak Jusuf Kalla belajar tentang

perdagangan, kegigihan, Kemandirian, dan kejujuran. Tapi banyak yang

tidak pernah tau dari Emma pak Jusuf Kalla belajar arti sebuah kesetiaan,

keikhlasan dan rasa tanggung jawab.

Sosok seorang ibu sangat tegar mengetahui suaminya menikah

lagi dan memilih tinggal di rumah keduanya. Mengharuskan dia harus

lebih mandiri, mengasuh ke sepuluh anaknya menjadi ibu sekaligus

sebagai bapak untuk mereka. Mengingat bapaknya telah memiliki

keluarga baru lagi.

Page 136: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

117

Berbagai gejolak rumah tangga yang harus dihadapinya, bersama

Pak Jusuf tanggung jawab dibebankan oleh bapaknya menjaga Emma

dan adik-adiknya. Pada umur masih sangat mudahnya tugas itu harus dia

jalankan yaitu di umur 16 tahun. Hanya dengan Jusuf, Emma Athirah

menentramkan keadaan rumah bahwa semua baik-baik saja ada bapak

atau tak ada bapak. Emma Athirah sanggat tangguh, keadaan

mengharuskan beliau meredam emosi hati melanjutkan hidup dengan

separuh hati yang hilang.

Emma Athirah dengan pengenalannya tentang kain sutra yang

dia dapat dari Emma Kerra yaitu ibunya dari kecil, mewujudkan impiannya

dengan berbisnis kain sutra. Rumah di Jalan Andalas diubahnya menjadi

butik kain sutra. Tak ada papan terpasang di depan rumah. Semuanya

dari mulut ke mulut ibu Athirah mengenal beberapa orang penting di kota

Makassar dari orang pemerintahan sampai ibu-ibu pengajian dan

pengusaha.

Selain itu pula Emma Athirah mengeluti bisnis angkutan Cahaya

Bone, Bisnis berjalan dengan baik di balik gejolak rumah tangganya.

Tuhan merahmati segala usahanya, semua bisnis yang dia jalankan

mampu mengobati segala sakit hatinya, mampu membantu menopang

ekonomi keluarganya.

Jusuf remaja tumbuh di tengah gejolak rumah tangga orang

tuanya penuh badai, tumbuh di tengah poligami yang dilakukan bapaknya,

Page 137: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

118

tumbuh di tengah gejolak hati Emmanya sangat perih, mau tidak mau

sangat mempengerahui untuk mengenal kawan wanita seusianya.

Novel ini juga meceritakan kisah awal pertemuan Pak Jusuf dan

Ibu Mufidah. Yang dibumbui oleh aroma asmara anak muda. Pertemuan

awal dan pegejaran Pak Jusuf sungguh membuat pembaca tersenyum

senyum sendiri hehehe. Semua berawal di bangku SMA 3 Makasar.

Sosok seorang begitu pendiam, dingin dan orangnya sangat

halus. Seperti itulah Mufidah di kenal. Belum pernah malamku berjalan

dengan kegelisahan yang asing. setelah Emma yang sangat merana yang

membuat sulit tidurku. Memikirkan Mufidah, malamku bagai di ayun-ayun,

Mufidah... Mufidah aku harus mengenalmu. Lebih cepat lebih baik.

Tidak mudah mendapatkan cinta Mufidah mengingat Jusuf

berasal dari orang tua yang berpoligami, dan Mufidah telah ada calon dari

orang tua, tapi Jusuf tidak mundur sekalipun, “kau tidak akan melihat

indahnya puncak jika Kau tak melewati beberapa tanjakan”. Sabar!

Hampir tiap pulang sekolah menemani Mufidah pulang tidak dengan naik

skuternya, karena Mufidah tidak ingin naik skuter untuk diantar pulang,

jadinya di tengah panas matahari Makassar Jusuf mendorong skuternya

dan Mufidah berjalan di sisinya, begitu seterusnya.

Hari berganti hari waktu berlalu begitu cepat, Mufidah tidak

sekalipun menunjukkan perasaannya ke Jusuf. Ketegasan Pak Jusuf

Kalla terlihat dari pengambilan-pengambilan keputusan. Ternyata dalam

Page 138: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

119

urusan hati pun demikian . Akhir dari pengejarannya, suatu sore Jusuf

bertandang ke rumah Mufidah di berinya dia kartu hijau dan merah. “Ida

jika engkau memilih kartu hijau itu kau mencintaiku dan kartu merah kau

menolakku dan tidak mencintaiku. Mufidah diam terpaku. Lama dia

memandang kartu itu.aku bersabar. kemudian perlahan tangannya

mengambil kartu hijau. membawanya, dan menghilang di kamar. Mufidah

menerima cinta Jusuf.

Yang cukup mengelikan Pak Jusuf kalla Menikah dengan

memakai baju adat Makassar dan Ibu Mufidah mengenakan baju Minang.

Satu yang tidak biasakan? Selama kebersamaan Mufidah dan Emma ia

banyak belajar tentang cara berumah tangga, sementara Emma sendiri

merasa sangat terhibur dengan kehadiran Mufidah sebagai anggota

keluarga yang baru. Sementara itu, diluar dugaan Bapak (H. Kalla) juga

cocok dengan Mufidah dalam berbagi rasa. Kehadiran Mufidah, diam-

diam menjadi tempat curhat Bapak tentang keluarga keduanya. Pesan

dari Bapak Jusuf (H. Kalla), jaga Mufidah dengan baik, jangan engkau

lakukan apa yang telah aku lakukan kepada Emma. Sungguh penyesalan

itu di bawa Pak Kalla sampai Emma Athirah harus duluan meniggalkannya

dari dunia setelah menjalani operasi karena komplikasi penyakit diabetes

dan sirosis atau pengerasan hati yang dideritanya.

Sejak sepeninggalan Athirah, Pak Haji Kalla seakan tak semangat

lagi menjalani hari-harinya. Ia betul-betul larut dalam suasana duka yang

mendalam. Bahkan, banyak orang mengatakan bahwa cahaya di wajah

Page 139: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

120

Pak Haji Kalla telah hilang. Jiwa Pak Haji Kalla telah mati. Ia berkabung

bahkan nyaris tanpa jeda. Perasaan kehilangan yang mendala itu jugalah

yang mengantar Pak Haji Kalla menemui ajalnya. Hanya selang tiga bulan

kepergian istrinya tepat 100 hari, bapak menyusulnya.

Dari cerita Athirah ini dapat ditarik benang merah bahwa harta

benda mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan harian, tapi tidak dengan

menjaga perasaan masing-masing. Pelajaran kehidupan didapat dalam

rumah dan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dari bangku sekolah. Tapi,

jauh lebih sempurna hidup jika belajar dari kehidupan, yaitu sabar, ikhlas,

bersyukur,kesetiaan, dan kejujuran lebih didalami.

Page 140: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

Lampiran 2

116

Lampiran 2

Page 141: REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT …

114

RIWAYAT HIDUP

AKMAL, lahir di Sinjai, 21 Januari 1976.

Anak pertama dari pasangan Muh. Arif dan

Hudayah ini, pertama kali mengenyam

pendidikan formal di SD Negeri 107 Kaloling

(1982-1988), pendidikan menegah ditempuh di

SMP Negeri Tondong (1988-1991). Jenjang

pendidikan berikutnya di SMA Negeri Tondong

Kabupaten Sinjai (1991-1994). Selang dua tahun

kemudian tepatnya tahun 1996 ia diterima sebagai mahasiswa pada

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas

Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP Ujung Pandang (sekarang

Universitas Negeri Makassar) dan selesai pada tahun 2001.

Sejak tahun 2005 ia diamanatkan sebagai tenaga pendidik di

lingkup Dinas Pendidikan Kabupaten Bulukumba. Hingga saat ini, ia masih

aktif sebagai tenaga pendidik pada SMA Negeri 17 Bulukumba. Untuk

menambah dan mengembangkan wawasan, sejak tahun 2012 mendaftar

sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah

Makassar, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tahun

2014, gelar Magister Pendidikan diperoleh dengan menyusun tesis yang

berjudul “Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis dalam

Novel “Athirah” Karya Alberthiene Endah(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra).