refrat konj allergika hendrick...print

33
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tinjauan pustaka yang berjudul Konjungtivitis Alergi untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata FK UKRIDA di RS Dr. YAP, Jogjakarta. Terima kasih penyusun ucapkan kepada Dr. Rastri Paramita, Sp.M, selaku Pembimbing Penyakit Mata RS Dr.YAP yang telah membimbing dalam mengerjakan tinjauan pustaka ini sehingga dapat diselesaikan. Tinjauan pustaka ini menguraikan konjungtivitis alergi dari definisi, etiologi dan klasifikasi, epidemiologi, patofisologi, manifestasi klinis, pemeriksaan, penatalaksanaan, dan prognosis. Dengan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan bagi orang lain yang membacanya terutama mengenai konjungtivitis alergi. Penyusun menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun kami harapkan untuk perbaikan yang akan datang. Jogjakarta, 25 september 2010 1

Upload: kevin-skeith

Post on 12-Feb-2016

259 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

konjungtiva alergi

TRANSCRIPT

Page 1: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-

Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tinjauan pustaka yang berjudul Konjungtivitis

Alergi untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata FK UKRIDA di RS

Dr. YAP, Jogjakarta.

Terima kasih penyusun ucapkan kepada Dr. Rastri Paramita, Sp.M, selaku

Pembimbing Penyakit Mata RS Dr.YAP yang telah membimbing dalam mengerjakan

tinjauan pustaka ini sehingga dapat diselesaikan.

Tinjauan pustaka ini menguraikan konjungtivitis alergi dari definisi, etiologi dan klasifikasi, epidemiologi, patofisologi, manifestasi klinis, pemeriksaan, penatalaksanaan, dan prognosis.

Dengan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis

dan bagi orang lain yang membacanya terutama mengenai konjungtivitis alergi. Penyusun

menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik

yang membangun kami harapkan untuk perbaikan yang akan datang.

Jogjakarta, 25 september 2010

PENYUSUN

1

Page 2: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….................................................................................................1

DAFTAR ISI ………………..........................................................................................….….2

I PENDAHULUAN.........................................................................................................3

II ANATOMI KONJUNGTIVA.....................................................................................4

III TINJAUAN PUSTAKA

1 Definisi 6

2 Epidemiologi 6

3 Etiologi dan klasifikasi 6

4 Patofisiologi 7

5 Gejala klinis 13

6 Pemeriksaan 17

7 Pencegahan 18

8 Penatalaksanaan 18

9 Komplikasi 20

10 Prognosis 21

IV PENUTUP 22

V DAFTAR PUSTAKA 23

2

Page 3: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtiva merupakan lapisan mukosa (selaput lendir) yang melapisi palpebra bagian dalam dan sklera. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu konjungtiva tarsal, konjungtiva bulbi dan konjungiva fornik. Di klinik sehari-hari banyak penyakit atau kelainan yang terjadi di konjungtiva antara lain: konjungtivitis, pterigium, pingeukulum dan lain-lain. Konjungtivitis adalah penyakit yang paling sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. 1,2

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala seperti mata merah, nyeri pada mata, gatal dan lain-lain. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa.1

Konjungtivitis alergi biasanya mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal dan biasanya rasa gatal lebih dominan daripada konjungtivitis akibat penyebab yang lain. Produksi air mata juga akan berlebihan sehingga mata sangat berair.1

Dikenal beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi seperti konjungtivitis flikten, konjungtivitis vernal, konjungtivitis atopi, konjungtivitis alergi bakteri, konjungtivitis alergi akut, konjungtivitis alergi kronik, dan sindrom stevens Johnson.1 Yang akan dibahas lebih jauh pada tinjauan pustaka ini.

3

Page 4: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

BAB II

ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan lapisan mukosa (selaput lendir) yang melapisi palpebra bagian dalam dan sklera. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu :1,2

1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.

2. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.3. Konjungiva fornices atau forniks konjungitva yang merupakan tempat peralihan

konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Bagian forniks longgar sehingga apabila terdapat eksudat yang banyak akan tertimbun di bawah jaringan, kelopak mata kemudian menggembung dan menutup.

Lapisan-lapisan konjungitva dari luar ke dalam :1

1. Epitel terdiri atas epitel superfisial dan basalEpitel superfisial terdapat sel goblet yang menghasilkan musin yang merupakan lapisan terdalam air mata. Epitel basal terletak di dekat limbus mengandung pigmen. Pada pajanan kronik dan kering konjungitva bisa mengalami keratinisasi seperti kulit.

2. Stroma terdiri dari lapisan adenoid dan fibrosaLapisan adenoid mengandung jaringan limfoid. Lapisan fibrosa mengandung jaringan ikat. Jaringan ini padat di atas tarsus dan longgar di tempat lainnya.Stroma mengandung 2 jenis kelenjar, yaitu memproduksi musin dan kelenjar lakrimal tambahan. Kelenjar musin terdiri atas sel goblet yang terletak di lapisan epitel, terpadat di bagian inferiornasal; kripte Henle terletak di sepertiga atas konjungtiva palpebra superior dan sepertiga bawah konjungtiva palpebra inferior; serta kelenjar Manz yang berada di sekeliling limbus, tepi kornea dan batas kornea konjungtiva.

3. Endotel

Pembuluh darah konjungtiva berasal dari :2

1. Arteri konjungtiva posterior yang memperdarahi konjungtiva bulbi2. Arteri siliar anterior atau episklera yang memberikan cabang:

4

Page 5: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

a. Arteri episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan arteri siliar posterior longus bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau pleksus siliar bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau pleksus siliar, yang akan memperdarahi iris dan badan siliar.

b. Arteri perikornea, yang memperdarahi kornea.c. Arteri episklera yang terletak di atas sklera, merupakan bagian arteri siliar anterior

yang memberikan perdarahan ke dalam bola mata.

Saraf konjungtiva berasal dari n.oftalmikus. Pembuluh limfenya sangat banyak.1

5

Page 6: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

Bab III

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Konjungtivitis alergi adalah bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap non infeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan reaksi antibody humoral terhadap allergen. Biasanya dengan riwayat atopi.10

Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak dan panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainya adalah terdapatnya papil besar pada konjungtiva, datang bermusim, yang dapat mengganggu penglihatan. Walaupun penyakit alergi konjungtiva sering sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan.10

2. EPIDEMIOLOGI10

a) Frekuensi Konjungtivitis alergi terjadi sangat sering dan paling sering terlihat di daerah-daerah dengan alergen musiman tinggi.

b) Mortalitas / Morbiditas Konjungtivitis alergi jarang menyebabkan kerugian visual.

c) Ras Konjungtivitis vernal terjadi terutama di daerah dengan iklim tropis dan subtropis, seperti Mediterania, Timur Tengah, dan Afrika. Konjungtivitis vernal bentuk limbal umumnya terjadi pada orang berkulit gelap kebanyakan di Afrika dan India.

d) Jenis kelamin Angka kejadian pada laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan.

e) Usia Konjungtivitis vernal biasanya mengenai laki-laki muda antara 3-25 tahun, biasanya dimulai pada usia dibawah 10 tahun dan puncak sebelum masa pubertas dan kemudian mereda. 2,10

3. ETIOLOGI

Etiologi konjungtivitis imunologik (alergik) : 1,2,3

1. Reaksi hipersensitivitas segera (humoral)a. Konjungtivitis demam jerami (pollen, rumput, bulu hewan, dll)

Radang konjungtiva non-spesifik yang umumnya menyertai rinitis alergika. Biasanya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya.

6

Page 7: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

b. Keratokonjungtivitis vernal (musim semi)Penyakit alergi bilateral dan rekuren akibat reaksi hipersensitivitas tipe I.

c. Keratokonjungtivitis atopikReaksi alergi selaput lendir mata atau konjungtiva terhadap polen disertai demam dan sering pada pasien dengan dermatitis atopik. Kebanyakan didertita sejak lahir dan kurang aktif pada usia lebih dari 50 tahun.

d. Konjungtivitis papiler raksasaKonjungtivitis dengan tanda dan gejala seperti konjungtivitis vernal dapat timbul pada pasien yang memakai mata buatan dari plastic atau lensa kontak.

2. Reaksi hipersensitivitas tertunda (selular)a. Phlyctenulosis

Konjungtivitis yang disebabkan reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap teberkuloprotein, stafilokokus, infeksi parasit dan infeksi di tempat lain dalam tubuh. Konjungtivitis flikten adalah suatu peradangan konjungtiva karena reaksi alergi yang dapat terjadi bilateral ataupun unilateral, biasanya terdapat pada anak-anak dan kadang-kadang pada orang dewasa. Penyakit ini merupakan manifestasi alergi endogen, tidak hanya disebabkan protein bakteri tuberkulosis tetapi juga oleh antigen bakteri lain seperti stafilokokus. Dapat juga ditemukan pada kandidiasis, askariasis, helmintiasis. Pada binatang percobaan ternyata flikten juga dapat ditemukan dengan penetesan tuberkuloprotein, bahan-bahan yang berasal dari stafilokokus, serum kuda dan bahan kimia pada sakus konjungtiva. Penderita biasanya mempunyai gizi yang buruk.

b. Konjungtivitis ringan sekunder terhadap blefaritis kontakBlefaritis kontak yang disebabkan oleh atropine, neomycin, antibiotika spektrum luas, dan medikasi topical lain sering diikuti oleh konjungtivitis inflitrtif ringan yang menimbulkan hyperemia, hipertrofi papiler ringan, secret mukoid ringan, dan sedikit iritasi.

3. Penyakit autoimuna. Keratokonjungtivitis sicca pada sindrom Sjögrenb. Phemphigoid sicatriks

4. PATOFISIOLOGI

Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone. Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau .Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement

7

Page 8: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel kornea.4

Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan dalam kualitas maupun kuantitas stem cells limbus. Kondisi yang terakhir ini mungkin berkaitan dengan konjungtivalisasi pada penderita keratokonjungtivitis dan di kemudian hari berisiko timbulnya pterigium pada usia muda. Di samping itu, juga terdapat kista-kista kecil yang dengan cepat akan mengalami degenerasi.4

Sekresi mukus yang kental dan melekat pada penderita keratokonjungtivitis vernalis, menurut Neumann dan Krantz, mengandung banyak mukopolisakarida serta asam hyaluronat. Dalam hal ini memungkinkan timbulnya tarikan sel epitel kornea dan gesekan dari papil tarsal pada kornea akan mengakibatkan kerusakan kornea yang meluas ke tepi. Kerusakan kornea diduga juga berkaitan dengan infiltrasi sel radang yang berasal dari konjungtiva. Menyusul kerusakan kornea ini dapat menjadi difus, pembentukan ulkus, dan perubahan degeneratif lainnya seperti pseudogerontoxon. Pembentukan ulkus epitelial non-infeksi yang berbentuk oval atau perisai dapat terjadi yang mendasari timbulnya kekeruhan stroma kornea di sentral maupun superior. Lebih jauh, kurvatura kornea juga akan memperlihatkan perubahan disertai astigmatisme miopik dan pada tahap lanjut dapat terjadi keratokonus serta keratoglobus.4

Gambaran Histopatologik

Tahap awal keratokonjungtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam kaitan ini, akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di antara papil serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil, dan sel mast. Tahap berikutnya akan dijumpai sel-sel mononuklear seperti limfosit makrofag. Sel mast dan eosinofil yang dijumpai dalam jumlah besar dan terletak superficial. Dalam hal ini, hampir 80% sel mast dalam kondisi terdegranulasi. Temuan ini sangat bermakna dalam membuktikan peran sentral sel mast dalam kasus keratokonjungtivitis vernalis. Keberadaan eosinofil dan basofil, khususnya di dalam konjungtiva, sudah cukup menandai adanya abnormalitas jaringan.4

Hasil penelitian histopatologik terhadap 675 konjungtivitis vernalis mata yang dilakukan oleh Wang dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma pada konjungtiva. Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid. Sementara itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil, menghasilkan bahan sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan keratokonjungtivitis. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi hipersensitivitas. Tidak hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix, serta pada beberapa kasus melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar.

8

Page 9: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

Fase vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada pemeriksaan klinis. Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Kolagen maupun pembuluh darah akan mengalami hialinisasi. Epiteliumnya berproliferasi menjadi 5--10 lapis sel epitel yang edematous dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah besarnya papil, lapisan epitel akan mengalami atrofi di apeks sampai hanya tinggal satu lapis sel yang kemudian akan mengalami keratinisasi.4

Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang sama berupa pertumbuhan epitel yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel (acanthosis). Horner-Trantas dot`s yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri atas eosinofil, debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit. Di dalam ulkus kornea non-infeksi pada kasus keratokonjungtivitis vernalis dapat ditemukan kristal Charcot Leyden yang merupakan granula eosinofil dan plak mukoid.4

9

Page 10: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

Reaksi hipersensitivitas tipe I 5

Sel mast dan basofil mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediatorsyaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

10

Page 11: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

1. Histamin

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

11

Page 12: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Reaksi hipersensitivitas tipe IV

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperanadalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang berakibat terjadi peradangan lokal. Reaksi ini pada kornea dijumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keratokonjungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.6

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.5

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat  sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksiT cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.5

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs.5

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+  dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan

12

Page 13: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T,  terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.5

Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II adalah reaksi autoimun dan di mediasi oleh komplemen. Reaksi ini yang mendasari beberapa penyebab kelainan mata seperti pemphigoid sikatriks.10

5. GEJALA KLINIS

Peradangan konjungtiva atau konjungtivitis memiliki gejala utama antara lain rasa seperti kemasukan benda asing, sakit di sekitar mata, bengkak dan gatal. Secara objektif bisa ditemukan reaksi-reaksi konjungtiva termasuk limfadenopati. Ciri khasnya adalah dilatasi pembuluh darah, infiltrasi selular dan eksudasi.3

Berdasarkan perjalanannya, konjungtivitis dibedakan menjadi konjungtivitis akut, subakut, subkronis, dan kronis. Berdasarkan sifat eksudatnya dapat dibedakan menjadi mukus, serosa, purulen dan hemoragis. Konjungtivitis juga dibedakan berdasarkan penyebabnya menjadi alergi, infeksi, dan lain-lain.3

Gejala utama bagi penyakit alergi ini adalah gatal yang sangat berat, disertai tanda-tanda peradangan yaitu merah, sakit dan bengkak, lakrimasi dan

bersifat menahun. Tanda karakteristik lainnya adalah terdapatnya papil pada konjungtiva, datang bermusim, yang dapat mengganggu penglihatan.3,9

Temuan Virus Bakteri Klamidia Alergi

13

Page 14: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

Klinis dan SitologiRasa Gatal Minimal Minimal Minimal BeratHiperemia Generalisata Generalisata Generalisata GeneralisataLakrimasi Minimal Sedang Sedang SedangEksudasi Minimal Banyak Banyak MinimalAdenopati preaurikuler

Lazim Tak lazim Lazim hanya pada konjungtivitis inklusi

Tidak ada

Pewarnaan kerokan dan eksudat

Monosit Bakteria, PMN PMN, badan inklusi sel plasma

Eosinofil

Radang tenggorok dan demam

Kadang-kadang Kadang-kadang Tidak pernah Tidak pernah

Dikenal beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi seperti konjungtivitis flikten, konjungtivitis vernal, konjungtivitis atopi, konjungtivitis demam jerami (hay fever), konjungtivitis giant-papillary, dan sindrom Steven Johnson.3

Gambar : Kemosis (conjunctival swelling) pada pasien Konjungtivitis Hay Fever.

14

Page 15: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

Gambar : Papil besar pada Konjungtivitis Giant Papillary

Tipe konjungtivitis alergi

Sifat Reaksi

Gejala dan temuan Karakteristik lain

Konjungtivitis demam jerami (hay fever)

Akut (musiman)

Gatal-gatal, berair mata, mata merah, severe tearing, kemosis (bisa terjadi sangat hebat), terasa seperti kemasukan benda asing, bersin-bersin, sulit ditemukan eosinofil dalam kerokan konjungtiva.

Seringkali disertai dengan rhinitis; alergi musiman terhadap pollen, grasses, dan allergen tumbuhan.

Konjungtivitis atopi

Akut Sensasi terbakar, belekan berlendir, merah, fotofobia. Tepian palpebra eritematosa dan konjungtivitis tampak putih seperti susu. Terdapat papil halus, namun tidak berkembang seperti papil raksasa (giant papillary), lebih sering pada tarsalis inferior.

Pasien biasanya dengan riwayat alergi dan pernah menderita dermatitis atopi sejak bayi.

Konjungtivitis vernal

Akut (musiman)

Sangat gatal dan belekan. Konjungtiva tampak putih seperti susu dan terdapat banyak papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior.Bentuk palpebra : terutama yang mengenai konjungtiva tarsal superior ditemukan pertumbuhan papil besar yaitu cobble stone yang diliputi secret dan mukoid.Hiperemis, pseudoptosis, terasa seperti

Sering terjadi pada anak-anak, dan dewasa muda pria. Dapat berlaku pada mata saja atau disertai generalised-asthma; mediasi reaksi IgE

15

Page 16: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

kemasukan benda asing, epiforaBentuk limbal : hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan hiperplastik gelatine, dengan Horner-Trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus dengan sedikit eosinofil. Terdapat sensasi kemasukan benda asing dan epifora.

Konjungtivitis Giant-papillary

Kronik Konjungitva hiperemis dan iritasi dengan hipertrofi papil yang mirip symptom dan temuan pada konjungtivitis vernal.

Sering disebabkan oleh penggunaan berlebihan lensa kontak (terutama soft lense)

Keratokonjungtivitis Flikten

Kronik Terdapat lesi kecil (diameter 1-3mm) yang keras, merah, menimbul dan dikelilingi zona hiperemia. Di limbus sering berbentuk segitiga dengan apeks mengarah ke kornea. Jarang: terasa kemasukan benda asing. Histologis ditemukan infiltrate sel-sel bulat kecil perivaskuler dan subepitelial fokal dan banyak sel polimorfonuklear saat epitel di atasnya mengalami nekrosis dan lepas.

Sering pada anak-anak dan dewasa muda dengan higenis dan gizi buruk.

Sindrom Steven Johnson(eritema multiforme)

Kronik Konjungtivitis bilateral, sering membranosa, alergi disertai kulit melepuh dan peningkatan simblefaron. Biasanya kulit turut terkena. Pasien mengeluh sakit, iritasi, belekan, dan fotofobia.

Gangguan toksik immunologic, biasanya diakibatkan oleh reaksi sistemik dari obat-obatan terutama antibiotik. Dapat mengancam nyawa.

6. PEMERIKSAAN

16

Page 17: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan di awali dengan anamnesis. Pasien ditanyakan tentang keluhan yang dirasakan pada matanya, riwayat penyakit sebelumnya, obat yang pernah dipakai, sudah berapa lama sakit dan sebagainya.3

Evaluasi radang konjungtiva mencakup jenis sekret, jenis reaksi konjungtiva, ada tidaknya pseudomembran atau membrane, dan ada tidaknya limfadenopati preaurikuler. Sekret yang ada bisa seperti air (watery), yaitu berupa eksudat serosa dan air mata, yang disebabkan karena infeksi virus, inflamasi toksik. Sekret juga bisa mukoid yang ditemukan pada konjungtivitis vernalis dan keratokonjungtivitis sika. Sekret purulen ditemukan pada infeksi bakteri akut yang berat. Sekret mukopurulen ditemukan pada infeksi bakteri ringan dan infeksi klamidia. Untuk dibedakan secret mukoid, kapas dibasahi lalu diusap pada sekretnya. Apabila secret terserap berarti purulen, kalau bisa memanjang berarti mukoid.3

Penemuan Laboratorium

Sediaan usap atau kerokan pada daerah konjungtiva superfisial dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis dimana akan ditemukan sel-sel eosinofil tetapi hanya pada kasus berat. Ini karena, eosinofil biasanya ditemukan pada lapisan substansia propria yang lebih dalam. Oleh itu, apabila tidak ditemukan eosinofil pada usap atau kerokan konjungtiva, diagnosa konjungtivitis alergi tidak dapat disingkirkan.10

Selain itu, dari usap air mata dapat ditemukan mediator inflamasi seperti IgE, histamine, dan triptase sebagai indikasi berlakunya aktivitas alergi. Sebagai tambahan, dapat dilakukan tes alergi kulit oleh ahli imunologis untuk mengenal pasti allergen yang menimbulkan alergi pada pasien.10

Pada pasien yang disuspek konjungtivitis vernal, kerokan konjungtiva pada bagian superior tarsal dan pada Horner-Trantas dots akan ditemukan banyak eosinofil.10

Penemuan Histologis

Pada keratokonjungtivitis vernal, kerokan pada konjungtiva tarsalis superior akan ditemukan sebukan sel-sel eosinofil. Pada biopsi konjungtiva pula akan ditemukan banyak sel mast pada substansia propria. Analisa histokimia dari sel mast yang terdapat pada konjungtivitis vernal ini memperlihatkan adanya protease, triptase dan kimase. Ditemukan juga proliferasi fibroblast dimana akan membawa kepada deposisi kolagen ke dalam substansia propria sehingga menyebabkan berlakunya penebalan konjungtiva. Sel limfosit B dan T ditemukan secara lokal dimana bergabung untuk menghasilkan IgE. Ig E dan IgG spesifik disamping mediator inflamasi seperti histamine, triptase ditemukan dari air mata pasien dengan keratokonjungtivitis. Keratokonjungtivitis vernal merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I.10

Pada keratokonjungtivitis atopi turut ditemukan sel-sel eosinofilia pada kerokan konjungtivanya tetapi tidak sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal. Sel mast juga

17

Page 18: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

ditemukan pada substansia propria konjungtiva dengan jumlah yang banyak. Granul eosinofilia bebas pada kasus ini tidak ditemukan seperti pada kasus keratokonjungtival vernal. Terdapat peningkatan IgE pada air mata pasien dengan keratokonjungtivitis atopi.10

Pada pemeriksaan histologist konjungtivitis giant papillary, ditemukan infiltrasi sel dari bermacam-macam jenis sel. Antaranya adalah sel plasma, limfosit, sel mast, eosinofil dan basofil yang dapat ditemukan di substansia propria. Sel mast juga dapat ditemukan di dalam epithelium. Pada air mata, immunoglobulin terutama IgE meningkat. Pencetus untuk berlakunya konjungtivitis giant papillary ini dipercayai akibat dari reaksi imunologi terhadap antigen spesifik pada individu yang berpredisposisi. Trauma mekanik pada konjungtiva mungkin merupakan factor kontribusi dalam berlakunya konjungtivitis ini.10

7. PENCEGAHAN

Pencegahan Konjungtivitis Allergika

1. Identifikasi allergen yg menjadi penyebab terjadinya alergi2. Menghindari kontak dengan allergen 3. Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan, karena

telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator-mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegah superinfeksi yang pada akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.

4. Pemakaian mesin pendingin ruangan berfilter. 5. Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuksari. 6. Menggunakan kaca mata berpenutup total untuk mengurangi kontak dengan alergen

di udara terbuka.7. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari karena lensa kontak akan membantu

retensi allergen.8. Kompres dingin di daerah mata. 9. Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berfungsi

protektif karena membantu menghalau allergen

8. PENATALAKSANAAN

Non-Medikamentosa :1

Hindarkan dari terpapar penyebab pencetus penyakit Kompres dingin untuk menghilangkan edema

Medikamentosa :1

Astringen (Vasacon A®)18

Page 19: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

Steroid topical dosis rendah (prednisolon/Dexamethason) Topical imunosupresan : cyclosporine drops / salep pemberian topical mast stabilizer : sodium cromoglicate Vasokonstriktor : fenileferin (Efrisel®) Kasus berat : antihistamin ( Chlorfeninramin maleat) dan steroid sistemik Konjungtivitis vernalis : Radiasi atau pengangkatan giant papil

Kortikosteroid Topikal8

IndikasiTerapi kortikosteroid diindikasikan bagi keadaan-keadaan radang di segmen anterior

bola mata. Contohnya adalah konjungtivitis alergika, uveitis, episkleritis, sekleritis, fliktenulosis, keratitis punktata superfisial, keratitis interstisial, dan konjungtivitis vernalis.

Pemberian dan DosisAktivitas anti-radang kortikosteroid dan turunannya bervariasi. Kekuatan relatif

prednisolon terhadap hidrokortison adalah 4 kali; deksametason dan betametason adalah 25 kali. Efek sampingnya tidak berkurang dengan obat yang lebih kuat, meski dosis terapeutiknya lebih kecil.

Lama pengobatan tergantung jenis lesi dan berkisar antara beberapa hari sampai beberapa bulan.

Terapi awal bagi mata beradang berat berupa penetesan setiap 1 atau2 jam sewaktu sadar. Bila tampak responsnya baik, dosisnya berangsur diturunkan dan dihentikan sesegera mungkin.

Perhatian: steroid meningkatkan aktivitas virus herpes simpleks, seperti tampak dari fakta bahwa kadang-kadang kornea mengalami perforasi bila obat ini dipakai untuk mengobati keratitis oleh herpes simpleks. Perforasi kornea adalah komplikasi sangat jarang pada keratitis herpes simpleks, sebelum steroid dipakai secara luas. Efek samping lain terapi steroid lokal adalah penumbuhan jamur, pembentukan katarak (tidak umum), dan glaukoma sudut-terbuka (sering). Efek-efek ini lebih ringan pada terapi steroid sistemik. Setiap pasien yang menerima terapi kortikosteroid okuler lokal atau terapi kortikosteroid sistemik jangka-panjang harus dalam pengawasan seorang oftalmolog.

Berikut ini disajikan sebagian daftar kortikosteroid topikal untuk dipakai dalam oftalmologi:

1. Salep hidrokortison 0,5%2. Suspensi prednisolon asetat 0,125% dan 1%3. Larutan prednisolon Na fosfat 0,125% dan 1 %4. Suspensi deksametason Na fosfat 0,1%, salep 0,05%5. Suspensi medrysone 1%6. Suspensi fluorometolon 0,1% dan 0,25%

19

Page 20: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

Midriatika (simpatomimetika) 8

Phenylaphrine Hydrochloride

Sedian: larutan 2.5%dan 10%

Dosis: 1 tetes dan diulang 5-10 menit

Mulai dan lama kerja: efek umumnya terjdai dalam 30 menit setelah penetesan dan bertahan 2-3 jam

Catatan: Phenylephrine dipakai sendirian atau bersama sikloplegia untuk mempermudah ofthalmoskopi dalam pengobatan uveittis, dan untuk melebarkan pupil dalam operasi katarak. Obat ini hamper selalu dipilih di antara midriatika lain. Alergi phenylehphrine dipakai hydroxyiamphetamine hydrobromide. Larutan 10% jangan dipakai pada bayi baru lahir , pasien jantung, atau yang sedang minum resepin, guanethidine atau antidepresan trisiklik kerana peningkatan kepekaan terhadap efek vasopresor.

Obat-obat Lain yang Dipakai dalam Pengobatan Konjungtivitis Alergika8

1. Cromolyn sodium

Sediaan: larutan 4%

1 tetes 4 sampai 6 kali sehari

Catatan: cromolyn berguna dalam pengobtana banyak jenis konjungtivitis alergika. Respon terhadap pengobatan umumnya terjadi terjadi dalam beberapa hari,, namun kadang-kadang belum muncul sampai pengobatan berlangsung beberapa minggu. Cromolyn bekerja dengan menghambat pelepasan SRS-A ( slow reacting substance of anaphylaxis) dari sel mast. Obat ini tidak bermanfaat untuk mengobati gejala akut. Lensa kontak sebaiknya tidak dipakai dengan cromolyn.

2. Vasokonstriktor + antihistamine (pheniramine maleat 0.3%)

Cara kerja : mengkonstriksi pembuluh-pembuluh superficial konjungtiva dan menghilangkan kemerahan. Obat ini mengatasi iritasi ringan dan gatal pada konjungtiva.

9. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada konjungtivitis alergi adalah antara lain bisa meyebabkan ulkus kornea, keratokonus dan ketidak-nyamanan yang berpanjangan. Pada konjungtivitis flikten dapat mengakibatkan menyebarnya flikten ke dalam kornea atau terjadinya infeksi sekunder sehingga membentuk abses. Pada Sindrom Steven Johnson dapat memberikan penyulit endofthalmitis pada mata.2

10. PROGNOSIS

20

Page 21: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

Dapat sembuh sendiri dalam 2 minggu, dengan kemungkinan terjadi kekambuhan. Keadaan akan lebih berat apabila kornea ikut tekena.

Bab IV

21

Page 22: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

PENUTUP

Konjungtivitis alergi merupakan peradangan pada konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi alergi. Gejalanya yang berupa gatal hebat dibandingkan dengan konjungtivitis lain disertai lakrimasi, mata merah dan bersekret dapat mengganggu kehidupan sehari-hari. Terapi terutama ditujukan untuk mengeridikasi penyebabnya serta pemberian steroid bila gejalanya memberat. Perlu diperhatikan juga higiene mata untuk mencegah infeksi sekunder. Dengan pengobatan yang adekuat diperoleh hasil yang baik.

Bab V

22

Page 23: Refrat Konj Allergika Hendrick...Print

DAFTAR PUSTAKA

1. Suhardjo, S.U; Hartono. Anatomi Mata dan Fisiologi Penglihatan. Ilmu Kesehatan Mata. Ed-1. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada;2007.h.18-19

2. Ilyas, S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2006.h.2-3

3. Vaughan, D.G; Asbury, T; Eva; Riordan, P. Konjungtiva. Oftalmologi Umum.

Jakarta: Widya Medika;2000.h.99-128

4. Suhardjo. Penanganan Keratokonjungtivitis Vernalis Masa Kini. Diunduh dari www.tempo.co.id. 4 Agustus 2010

5. Reaksi Hipersensitivitas. Children Allergy Center. 2009 Diunduh dari www.wordpress.com. 4 Agustus 2010

6. Gunawan. Beberapa kelainan kornea yang berhubungan dengan proses imunologik. Cermin dunia kedokteran 1993;87:17-21

7. Suhardjo, S.U; Hartono. Kelainan Palpebra, Konjungtiva, Kornea, Sklera dan Sistem Lakirmal. Ilmu Kesehatan Mata. Ed-1. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada;2007.h.34-41

8. Vaughan, D.G; Asbury, T; Eva; Riordan, P. Obat-obat Mata yang Biasa Dipakai.

Oftalmologi Umum. Jakarta: Widya Medika;2000.h.64-80

9. Ilyas, S. Mata Merah dengan Penglihatan Normal. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2006.h.116-46

10. Conjunctivitis. Diunduh dari www.emedicine.com. 4 Agustus 2010

11. Konjungtivitis. Diunduh dari www.refratku.com. 5 Agustus 2010

23