resume benigna prostate hyperplasia
DESCRIPTION
BPHTRANSCRIPT
Resume Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)
Kelompok IV, PKD 2 Kelas G
1. Fandiar Nur Isdiaty, 0906510810
2. Maria Lidya Algriana, 0906564132
3. Sri Mauliani, 0906629706
4. Titin Noviatiningsih, 0906629725
5. Yuli Pramita Sari, 0906629782
Pengertian
Prostat adalah suatu organ kelenjar yang fibromuskular, yang terletak persis dibawah
kandung kemih. Berat prostat pada orang dewasa normal kira-kira 20 gram, didalamnya terdapat
uretra posterior dengan panjangnya 2,5 – 3 cm. Pada bagian anterior disokong oleh ligamentum
pubo-prostatika yang melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat
terdapat vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia denonvilliers
berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan biasanya dapat
menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior
ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada
veromentanum didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada
permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna sedangkan dibagian
inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan
perineal membungkus otot levator ani yang tebal.
Pembesaran prostat jinak (BPH) merupakan penyakit pada laki-laki usia diatas 50 tahun
yang sering dijumpai. Paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Bila
mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menghambat aliran urin
keluar dari buli-buli. Benigna Prostat Hyperplasia adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra). Benigna Prostat
Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan berlebihan dai sel-sel
prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri
melebihi kondisi normal. Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hiperplasia stroma dan sel
epitelial mulai dari zona periurethra.
Gambar 1. Perbedaan aliran urin dari buli-buli pada prostat normal dan prostat yang mengalami
pembesaran
Etiologi
BPH biasanya ditemukan pada umur kira-kira 50 tahun dan frekuensi makin bertambah
sesuai dengan bertambahnya umur, sehingga di atas umur 80 tahun kira-kira 80% menderita
penyakit ini. Etiologi sekarang dianggap ketidakseimbangan endokrin testosteron dianggap
mempengaruhi akan tepi prostat, sedangkan estrogen (dibuat oleh kelenjar adrenal
mempengaruhi tengah prostat).
Beberapa hipotesis yang diduga penyebab timbulnya Hiperplasia Prostat:
Teori dihidrotestosteron
Terjadinya BPH merupakan akibat dari ketidakseimbangan hormonal oleh karena proses
penuaan. Salah satu teori ialah teori Testosteron (T) yaitu Testosteron bebas yang diubah
menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 a reduktase yang merupakan bentuk
testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor DHT didalam sitoplasma sel
prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor inti sehingga dapat masuk kedalam
inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA sehingga akan merangsang sintesis protein.
Teori yang disebut diatas menjadi dasar pengobatan BPH dengan inhibitor 5a reduktase
(Rahardjo,1997).
Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron
Ketika usia semakin tua kadar testosteron terus menurun sedangkan kadar estrogen di
dalam relatif tetap. Seperti diketahui, fungsi estrogen di dalam prostat dalam proliferasi
sel-sel kelenjar prostat, dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan
apoptosis. Hasil akhir dari keadaan ini adalah meskiun rangsangan terbentuknya sel-sel
baru akibat testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang ada mempunyai umr yang
lebih panjang sehingga massa prsotat menjadi lebih besar.
Teori stem cell hypotesis.
Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat,
selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis
sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel
aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel amplifying akan
berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga
dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan
prostat yang normal.
Teori growth factors
Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan unsur epitel
prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah
pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan
atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming
growth factor- α (TGF - α), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
Patofisiologi
BPH terjadi pada laki-laki yang berumur di atas 50 tahun di mana fungsi testis sudah
menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon
testosteron dan dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan atau pembesaran prostat.
Ukuran makroskopik dapat mencapai 60—100 gram dan kadang-kadang lebih besar lagi
sehingga 200 gram atau lebih.
Tonjolan biasanya terdapat pada lobus lateralis dan lobus medius, tetapi tidak mengenai
bagian posterior dari pada lobus medialis, yaitu bagian yang dikenal sebagao lobus posterior,
yang sering merupakan tempat berkembangnya karsinoma (Moore). Tonjolan ini dapat menekan
uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah, atau menekan dari bagian tengah.
Kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu polip yang sewaktu-waktu dapat menutup
lumen uretra.
Pada penampang, tonjolan itu jelas dapat dibedakan dengan jaringan prostat yang masih
baik. Warnanya bermacam-macam tergantung kepada unsur yang bertambah. Apabila yang
bertambah terutama unsur kelenjar, maka warnanya kuning kemerahan, berkonsistensi lunak dan
terbatas tegas dengan jaringan prostat yang terdesak, yang berwarna putih keabu-abuan dan
padat. Apabila tonjolan itu ditekan makan akan keluar cairan seperti susu.
Apabila unsur fibromuskuler, yang bertambah, makan tonjolan berwarna abu-abu padan
dan tidak mengeluarkan cairan seperti halnya jaringan prostat yang terdesal sehingga batasnya
tidak jelas. Gambaran mikroskopik juga bermacam-macam tergantung pada unsur yang
berproliferasi. Biasanya yang lebih banyak berproliferasi ialah unsur kelenjar sehingga terjadi
penambahan kelenjar dan terbentuk kista-kista yang dilapisi epitel torak/koboid selapis yang
pada beberapa tempat membentuk papil-papil ke dalam lemen. Membran basalis masih utuh.
Kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar yang kecil-kecil sehingga menyerupai
dengan karsinoma. Dalam kelenjar sering terdapat sekret granuler, epitel yang terlepas dan
corpora anylcea. Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, makan terjadi gambatan yang
terjadi atas jaringan ikat atau jaringan otot dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya saling
berjauhan.
Testosteron
DHT>>
α-1aRA
Sintesa GF>>
Pertumbuhan sel>>
Stroma (autokrin/parakrin
)
Epitel (parakrin
)
Proliferasi sel >>
Testosteron >> estrogen N
Sensitivitas RA>>
Jml RA>>
Apoptosis <<
Sel hidup lbh lama
Hyperplasia sel
Ukuran prostat membesar, tetapi kapsulnya tidak
Multiple fibroadenomatous nodules
Kompresi uretra (UTO)
NADPH+aktivitas 5-α-reduktase
Resistensi thd aliran urin >>
Tonus otot polos uretra >>Compliance VU<<
Tekanan urinasi/tekanan VU >>
Ddg VU menebal (hipertrofi , bertrabekula, irritable, divertikuli
Kekuatan kontraksi >> Destrusor instability
LUTS Komplikasi: hernia, hemorrhoid, hematuria
Incomplete bladder emptying
Retensi urin dlm VU
Overflow incontinence (dribbling, nocturia) Massa suprapubik (kistik, nyeri) Stasis urin
Hockey stick ureterHidronefrosis
Metabolic wastes tidak terbuang
Urosepsis
Hemodilusi Gangguan elektrolit
Hb, Ht<< Hiponatremia relatif
Aktivasi SRAA
BP & HR >>
Kompresi uretra (UTO)
Tanda dan gejala
Gejala klinis
Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok:
Gejala iritatif, infeksi yang menyertai residual urine akan memperberat gejala, karena
akan menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan oedem
Gejala obstruksi
• Penurunan kekuatan pancaran dan kaliber aliran urine, oleh karena lumen urethra
mengecil dan tahanan di dalam urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra
meningkat, sehingga kandung kemih harus memberikan tekanan yang lebih besar
untuk dapat mengeluarkan urine.
• Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan periode laten,
sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan intra-vesika yang cukup tinggi.
• Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih, aliran dapat
berhenti dan dribbling (urine menetes setelah berkemih) bisa terjadi. Untuk
meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya melakukan valvasa menauver sewaktu
berkemih.
• Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal mengosongkan
urine secara sempurna, sejumlah urine tertahan dalam kandung kemih sehingga
menimbulkan sering berkemih (frequency) dan sering berkemih malam hari (nocturia).
• Residual urine juga dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu kandung kemih.
• Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat menyebabkan pembuluh
darahnya menjadi rapuh.
• Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi kandung kemih juga dapat
menyebabkan refluk vesikoureter dan sumbatan saluran kemih bagian atas yang
akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis.
• Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal failure) dan gejala-
gejala uremia berupa mual, muntah, somnolen atau disorientasi, mudah lelah dan
penurunan berat badan
Tanda klinis
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan
colok dubur/digital rectal examination (DRE). Pada BPH, prostat teraba membesar dengan
konstipasi kenyal. Jika pada colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi keras, harus
dicurigai suatu karsinoma. Franks pada tahun 1954 mengatakan: BPH terjadi pada bagian dalam
kelenjar yang mengelilingi urethra prostatika sedangkan karsinoma terjadi di bagian luar pada
lobus posterior (Jonhson,1988; Burkit,1990)
Komplikasi
Urinary traktus infection
Retensi urine akut
Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis
Bila operasi bisa terjadi:
Impotensia (kerusakan nevron pudendes)
Hemoragic paska bedah
Struktur paska bedah
Inkontinensia urine
Pemeriksaan
1. Colok dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting
pada pasien BPH, disamping pemerik-saan fisik pada regio suprapubik untuk mencari
kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan
adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu
tanda dari keganasan prostat
2. Pemeriksaan urinalisis
Pemeriksaan ini dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. BPH yang
sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang
menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya:
karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjuk-kan
adanya kelainan. Untuk itu pada kecuri-gaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan
pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat
kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada pasien
BPH yang sudah mengalami retensi
3. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah
ataupun bagian atas. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem
pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan
kadar kreatinin serum
4. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific18. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam
hal ini jika kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat
BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan
volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA, makin tinggi kadar PSA
makin cepat laju pertumbuhan prostat. Rentang kadar PSA yang dianggap
normal berdasarkan usia adalah:
o 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
o 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
o 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
o 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
5. Catatan Harian Miksi
Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian
bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat ber-guna
pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai
keluhan yang menonjol.
6. Uroflometri
Uroflowmetri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara
elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian
bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat
diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata
(Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.
Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejala
obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi.
7. Pemeriksaan Residual Urin
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di dalam
buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan
rata-rata 0,53 mL
Skoring BPH
International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor 0-7: bergejala ringan, Skor 8-19: bergejala sedang,
Skor 20-35: bergejala berat
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan BPH bergantung pada penyebab, keparahan
obstruksi, dan kondisi pasien. Menurut Smeltzer (2001), berikut adalah penatalaksanaan medis
pada pasien dengan BPH:
1. Kateterisasi
Jika pasien masuk rumah sakit dalam keadaan darurat karena tidak dapat berkemih, maka
tindakan kateterisasi harus segera dilakukan. Kateter yang lazim digunakan mungkin terlalu
lunak dan lemas untuk dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih. Apabila seperti
ini, kabel kecil bernama stylet dimasukkin (oleh ahli urologi) ke dalam kateter untuk
mencegah kateter kolaps ketika dimasukkan. Pada kasus yang berat, mungkin digunakan
kateter logam dengan tonjolan kurva prostatic
2. Penyekat reseptor alfa-1-adrenergik (mis. Terazosin)
Penyekat ini berfungsi untuk melemaskan otot halus kolum kandung kemih dan prostat.
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1, dan prostat
memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis. Komponen yang berperan dalam
mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara primer diperantarai oleh reseptor α1a.
Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa perbaikan subjektif dan
objektif terhadap gejala dan tanda (sign and symptom) BPH pada beberapa pasien.
Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya
3. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan dihidratestosteron sehingga prostat
yang membesaar akan mengecil. Namun obat ini berkerja lebih lambat dari pada golongan
alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada pembesaran prostat yang besar. Efektivitasnya
masih diperdebatkan karena baru menunjukkan perbaikan sedikit dari pasien setelah 6 – 12
bulan pengobatan bila dimakan terus – menerus. Salah satu efek samping obat ini adalah
melemahkan libido, ginekomastia, dan dapat menurunkan PSA (masking effect). Finasteride
adalah penghambat 5α-Reduktase yang menghambat perubahan testosteron menjadi
dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan
pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini
selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan
perbaikan gejala-gejala.
4. Pembedahan
Prosedur pembedahan pada BPH meliputi reseksi transurethral prostat, prostatektomi
suprapubik, prostatektomi perineal, dan prostatektomi retropubik
a) Reseksi transurethral prostat (TUR atau TURP) adalah prosedur yang paling umum yang
dapat dilakukan melalui endoskopi. Instrument bedah dan optikal dimasukkan secara
langsung melalui ureta ke dalam prostat, yang kemudian dapat dilihat secara langsung.
Kelenjar akan diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prosedur ini
tidak memerlukan insisi, dan digunakan untuk kelenjar dalam ukurang yang beragam dan
ideal bagi pasien yang mempunyai kelenjar kecil dan yang dipertimbangkan mempunyai
risiko bedah yang buruk. Keuntungan prosedur iniadntara lain luka insisi tidak ada, lama
perawatan lebih pendek, morbiditas dan mortalitas rendah, prostat fibrous mudah
diangkat, perdarahan mudah dilihat dan dikontrol. Sedangkan kerugiannya antara lain
teknik sulit, resiko merusak uretra, intoksikasi cairan, trauma spingter eksterna dan
trigonum, dan tidak dianjurkan untuk BPH yang besar.
b) Trans urethral incision of prostate (TUIP)
Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya
mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang
umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli- buli
atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan
secaraendoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR
P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari
dekat muaraureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai
tampak kapsul prostat.Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan
menurunnya kejadianejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR
c) Prostatektomi suprapubis
Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat klenjar melalui insisi
abdomen. Suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat
dari atas. Pendekatan demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran,
dan beberapa komplikasi terjadi, meskipun kehilangan darah mungkin lebih banyak
dibandingkan dengan metode lainnya
d) Prostatektomi perineal
Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
e) Prostatektomi retropubik
Prostatektomi retropubik adalah teknik lain dan lebih umum dibanding pendekatan
suprapubik. Dokter bedah membuat insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat,
yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur
ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang
hilang lebih dapat terkontrol baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat, infeksi
dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis.
f) Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah
proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika.
Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang selama 6-
36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan
jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi. Stent yang telah
terpasang bisa mengalami enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan disuria
Analisa Kasus
Tn. D mengeluh nyeri dan merasa kesulitan ketika BAK sejak 4 bulan yang lalu. Ia juga
mengeluh BAK yang tidak dapat ditahan (inkontinensia) yang umumnya sering terjadi pada usia
lanjut dan bisa disebabkan oleh BPH itu sendiri. Pada pemeriksaan USG ginjal, kandung kemih,
dan prostat, Tn. D akhirnya didiagnosa mengalami pembesaran kelenjar prostat. Selain itu, Tn. D
juga mempunyai riwayat gangguan prostat, penyakit DM, dan riwayat infeksi saluran kemih.
Seseorang dapat berkemih jika otot kandung kemih kuat untuk merangsang berkemih dan
saluran dibawahnya tidak terdapat hambatan. Kualitas otot kandung kemih yang tidak baik
contohnya pada kandung kemih yang terdapat banyak jaringan parut bekas luka ataupun adanya
divertikel (yaitu suatu tonjolan di kandung kencing yang tidak memiliki lapisan otot).
Seandainya kualitas otot kandung kemih tidak baik, maka sebaik apapun saraf yang menuju
kandung kemih tidak akan mampu menggerakkan kandung kemih untuk mengosongkannya
dengan baik.
Perintah berkemih berasal dari otak, menuju kandung kemih melalui saraf. Kandung
kemih disarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari thorakal 11 - lumbal 2, dan serabut para
simpatis yang berasal dari sakral 2-4. Serabut simpatis eferen mensarafi otot polos bladder neck
dan spingter eksterna, dimana stimulasinya menyebabkan bladder outlet menutup sewaktu terjadi
ejakulasi. Sedangkan serabut simpatis aferen yang berasal dari fundus kandung kemih adalah
untuk membawa rangsang nyeri. Serabut para simpatis eferen adalah saraf kandung kemih yang
paling penting, bertanggung jawab terhadap kontraksi otot-otot detrusor kandung kemih, saraf ini
sering mengalami cedera pada penderita trauma tulang belakang yang menyebabkan retensi
urine. Serabut para simpatis aferen membawa rangsang distensi (Bahnson,1992; Turek,1993).
Klien yang mempunyai kadar gula darah puasa 126 mg% atau lebih yang diperoleh
setelah puasa kurang lebih 12 jam digolongkan sebagai penderita DM. Dari suatu penelitian,
meningkatnya kadar gula darah puasa pada pria menyebabkan meningkatnya 3 kali risiko
menderita BPH dibandingkan dengan pria dengan kadar gula darah yang normal (kurang dari
110 mg%).
Pada seseorang yang mengalami riwayat diabetes mellitus, seperti klien pada kasus, dapat
mengalami tidak dapat berkemih. Hal ini karena saraf yang membawa perintah berkemih dari
otak mungkin putus atau terganggu. Diabetes mellitus dapat menyebabkan kerusakan yang parah
dan beraneka pada tubuh penderitanya. Kadar gula yang tinggi dapat merusak saraf (yang dalam
bahasa medis disebut neuropati diabetik). Kerusakan saraf dapat mengakibatkan saraf tidak
dapat menghantarkan pesan dari otak dengan baik. Jika saraf yang terkena adalah saraf pembawa
pesan untuk berkemih, maka pesan itu tidak sampai, sehingga otot tidak dapat menindak lanjuti
perintah tersebut.
BPH atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu contoh gangguan saluran dibawah
kandung kemih. Jika terjadi pembesaran maka aliran urin terhambat. Tersumbat atupun tidaknya
aliran urin tergantung dari besar kekuatan memeras kandung kemih dikurangi hambatan saluran
dibawahnya. Contohnya jika kandung kemih memiliki kemampuan memeras 100 dan hambatan
dibawahnya 80 maka pasien dapat berkemih tetapi dengan aliran yang lambat. Contoh lainnya,
jika kekuatan pompa kandung kemih 100 dan hambatan dibawahnya 110 maka pasien tidak
dapat kemih sebelum sumbatan dibawahnya dikurangi atau dihilangkan.
Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan
kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya
pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat.
Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan
detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil
dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin.
Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi ureter dan ginjal, maka
ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktur urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Hal inilah
yang ditemukan pada Tn. D. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria juga bisa terjadi, tetapi pada Tn. D, hematuria
tidak terjadi.
. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
.
Penurunan aliran urin
Sebagian urin tetap berada di kandung kemih
Disfungsi ginjal
Dilatasi ginjal/hidronefrosisDilatasi ureter /hidroureter
9090
90
Sering berkemih, nokturia, urgensi dgn inkontinensia urine
Resti Infeksi
Sebagai media perkembangbiakan mikroba patogen
Refluks urine
Statis urin
Penuaan dan perubahan hormon
Penurunan testosteron
Merangsang pertumbuhan jaringan prostat di bagian periuretral
Peningkatan androgen
Terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda
Obs. Leher kandung kemihObs. Uretra pars prostatikaGg. rasa nyaman: Nyeri
Retensi urin
Diagnosa Keperawatan
Pembesaran bagian perineal prostat
1. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder
dan pembesaran prostat
Tujuan :
Pasien tidak mengalami retensi urin
Kriteria hasil:
klien mampu mengosongkan kandung kemih setiap 2 – 4 jam dan klien buang air kecil 1500
cc/24 jam.
Intervensi :
a. Lakukan pemasangan kateter
Rasioanal: membantu pengeluaran urin
b. Kaji haluaran urin dan sistem kateter atau kesterilan sistem drainase
rasional: retensi dapat terjadi karena spasme kandung kemih.
c. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup
rasional: mempermudah aliran urin ke urin bag dan observasi aliran urin serta adanya
bekuan darah
d. Ukur intake output cairan. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika
tidak ada kontra indikasi.
rasional: mempertahankan keseimbangan cairan
e. Ajarkan dan motivasi klien untuk melakukan latihan otot dasar panggul (kegel exercise)
Rasional: latihan ini dapat membantu meningkatkan kembali kekuatan otot dasar panggul
2. Nyeri berhubungan dengan spasme otot kandung kemih
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari nyeri hilang/terkontrol, pasien mampu
mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil :
- Klien mengatakan nyeri berkurang/hilang,
- Klien menunjukkan ketrampilan relaksasi
- Ekspresi wajah klien tenang.
- Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji nyeri, intensitas (1 – 10), monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan
faktor pencetus serta penghilang nyeri.
rasional: nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih atau pasase urine sekitar
kateter menunjukkan spasme kandung kemih.
b. Kaji tanda-tanda vital dan observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening
mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
rasional: mengetahui keadaan umum
c. Pertahankan potensi kateter dan sistem kateter
rasional: mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi
atau spasme kandung kemih.
d. Berikan tindakan kenyamanan (relaksasi, napas dalam, kompres hangat)
rasional: menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
e. Kolaborasi medis dengan pemberian analgesic atau antispasmodic
rasional: merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan spasme dan nyeri.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan
- intoleransi aktivitas klien berkurang
Kriteria Hasil
- klien mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang menurunkan toleran aktivitas
- klien melaporkan penurunan gejala-gejala intoleransi aktivitas.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda vital
rasional: mengetahui keadaan umum pasien
b. Kaji respon individu terhadap aktivitas
rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-
hari.
c. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas kebutuhan sehari-hari dengan tingkat keterbatasan
yang dimiliki klien.
rasional: pengeluaran energi agar lebih optimal
d. Jelaskan pentingnya pembatasan energi
rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh.
e. Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
rasional: klien dapat dukungan psikologi dari keluarga.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan
Klien tidak menunjukkan tanda–tanda infeksi .
Kriteria hasil
- Klien tidak mengalami infeksi
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
- Tidak ada bengkak, eritema, nyeri
- Luka insisi semakin sembuh dengan baik.
Intervensi:
a. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
b. Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial
infeksi.
Rasional: meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal.
c. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup
Rasioanal: menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung
kemih.
d. Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
Rasional: mencegah sebelum terjadi shock.
e. Observasi urine: warna, jumlah, bau
Rasioanal: mengidentifikasi adanya infeksi.
f. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
Rasional: untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
5. Resiko gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri/efek pembedahan
Tujuan
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
- Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
- Klien mengungkapan sudah bisa tidur
- Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Intervesnsi:
a. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk
menghindari.
Rasional: meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan
perawatan .
b. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan.
Rasional: suasana tenang akan mendukung istirahat
c. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur
Rasional: menentukan rencana mengatasi gangguan
d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri
(analgesik).
Rasioanal: mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .
Perawat melakukan asuhan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan.
Dengan proses keperawatan, perawat memakai latar belakang, pengetahuan yang komprehensif
untuk mengkaji ststus kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa merencanakan
intervensi, mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi intervensi keperawatan. Pengkajian
merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Dalam kasus dijelaskan bahwa klien
telah menjalani operasi TURP, maka pengkajian yang dilakukan pada klien pada saat ini adalah
pengkajian post operasi TURP. Perawat perlu terus memantau keadaan klien selama masa post
operasi. Berikut ini hal yang perlu dipantau:
A. Kumpulan gejala pada BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) antara lain:
1) Nyeri pada daerah tindakan operasi
2) Perubahan frekuensi berkemih
3) Urgensi
4) Luka tindakan operasi pada daerah prostat
5) Retensi, kandung kemih penuh
6) Inkontinensia
7) Terdapat luka insisi
8) Terpasang kateter
B. Pengkajian Fisik
1) Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang lain.
Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi TUR-P adalah keluhan
rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas
insisi pada waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan
dari klien sendiri.
2) Keadaan umum
Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara.
3) Sistem respirasi
Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau tidak. Apakah
perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara nafas. Ada wheezing dan
ronchi atau tidak. Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung, gerakan
dada dan perut. Tanda – tanda cyanosis ada atau tidak.
4) Sistem sirkulasi
Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah, suhu tubuh, monitor
jantung ( EKG ).
5) Sistem gastrointestinal
Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi, konstipasi / obstipasi,
bagaimana dengan bising usus, sudah flatus apa belum, apakah ada mual dan muntah.
6) Sistem neurologi
Hal yang dikaji: keadaan atau kesan umum, GCS, adanya nyeri kepala.
7) Sistem muskuloskleletal
Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi? Bagaimana memenuhi
kebutuhannya? Apakah terpasang infus dan dibagian mana dipasang serta keadaan
disekitar daerah yang terpasang infus? Bagaimana keadaan ekstrimitas?
8) Sistem eliminasi
Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung kemih penuh? Masihkah ada
gangguan miksi seperti retensi? Kaji apakah ada tanda-tanda infeksi. Memakai kateter
jenis apa? Irigasi kandung kemih. Bagaimana warna urine dan jumlah produksi urine
tiap hari? Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan kateter?
9) Terapi yang diberikan setelah operasi
Infus yang terpasang, obat-obatan seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi
kandung kemih.
C. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto polos abdomen, dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran
ginjal atau buli-buli, adanya batu atau kalkulosa prostat dan kadang kadang dapat
menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda dari
suatu retensi urine.
2) Pielografi intra vena, dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis, dan
hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter berkelok kelok di vesikula)
inclentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urine atau filling defect divesikula.
3) Ultrasonografi (USG), dapat dilakukan secara transabdominal atau trasrektal
(trasrektal ultrasonografi = TRUS) Selain untuk mengetahui pembesaran prostat,
pemeriksaan USG dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urine dan
keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu.
4) Cystoscopy (sistoskopi) pemeriksaan dengan alat yang disebut dengan cystoscop.
Pemeriksaan ini untuk memberi gambaran kemungkinan tumor dalam kandung kemih
atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu
radiolusen didalam vesika. Selain itu dapat juga memberi keterangan mengenahi besar
prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjalan prostat
kedalam uretra.
D. Flowmetri
Flowmetri adalah alat kusus untuk mengukur pancaran urin dengan satuan ml/detik.
Penderita dengan sindroma protalisme perlu diperiksa dengan flowmetri sebelum dan
sesudah terapi. Penilaian :
1) Fmak <10ml/detik --------obstruktif
2) Fmak 10-15 ml/detik-----borderline
3) Fmak >15 ml/detik-------nonobstruktif
REFERENSI
Anonim. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. http://iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. diakses
pada 17 April 2012, pukul 10:02 WIB
Carpenito J.Lynda. ( 2008). Nursing Diagnosis: Application to Clinical practice 8th ed. USA:
Lippincott
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Furqan. (2003). Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita Bph Setelah Pemasangan Kateter Menetap:
Pertama Kali Dan Berulang. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-furqan.pdf. diakses
pada 17 April 2012, pukul 12:33
Hardjowidjoto S. (1999). Benigna Prostat Hiperplasia. Surabaya: Airlangga University Press.
Kumpulan Kuliah. (2010). Modul Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Cirebon.
NANDA International. (2009). Nursing Diagnosis: Definition & Classification. USA: Willey-
Blackwel.
Price, S.A. dan Wilson, L.M. (2006). “Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit”.
Vol 2. Ed 6. Terj: Brahm U Pendit, dkk. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G. (2002). “Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah”. Edisi 8. Vol
2. Terj. Agung Waluyo, dkk. Jakarta: EGC