reviews on pharmaceutical policy at healthcare facilities ... · proporsi volume obat e-purchasing...
TRANSCRIPT
November 2017
Reviews on Pharmaceutical Policy at Healthcare Facilities under Jaminan Kesehatan Nasional
Local findings
PENDISTRIBUSIANPEMBELIAN
PEMBIAYAANPERENCANAAN
TEMUAN UMUM
KETERSEDIAAN OBAT YANG
KURANG MENCUKUPI
MELALUI e-PURCHASING
PROCUREMENT
Sumber: TNP2K Study, 2017
PEMBAYARAN
2
Proporsi Volume Obat e-Purchasing terhadap RKOdi 5 provinsi sample studi
• Pembelian melalui e-purchasing meningkat (volume), tetapi RKO tetap sulit untuk di prediksi• Masih terdapat ketidaksesuaian Volume obat antara RKO dan e-purchasing• Konsisten dengan temuan Nasional, Jawa Barat 2016 menunjukkan bahwa obat yang dipesan melebihi
RKO yang diusulkan
17% 18%
2%13%
22%10%
34% 30%19%
33%
53%
32%
83%
158%
55%
75%65%
36%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
140%
160%
180%
INDONESIA JAWA BARAT SULAWESITENGGARA
SUMATERA BARAT KALIMANTANSELATAN
PAPUA BARAT
2014 2015 2016
Sumber: RKO Kemenkes dan data e-purchasing LKPP, 2014-2016
3
Tren Volume Obat RKO dan E-purchasing
-100%
-80%
-60%
-40%
-20%
0%
20%
40%
60%
Tren Volume Obat RKO
2014-2015 2015-2016
-100%
-50%
0%
50%
100%
150%
200%
250%
300%
350%
400%
450%
Tren Volume Obat E-purchasing
2014-2015 2015-2016
• Volume obat RKO baik nasional dan 5 provinsi studi mengalami penurunan kecuali di Kalimantan Selatan di tahun 2016. Sebaliknya, volume obat e-purchasing mengalami kenaikan kecuali Kalimantan Selatan danSumatera Barat di tahun 2016
• Di Jawa barat, oleh karena volume obat RKO turun dan volume obat e-purchasing naik secara substansial, maka peningkatan perbandingan volume obat e-purchasing terhadap RKO (di slide sebelumnya) sangattinggi (158%) 4
Perbandingan proporsi Volume Obat (e-purchasing & RKO) milikprovinsi vs rumah sakit di 5 provinsi studi
14% 8%
30%44%
74% 77%
Provinsi RS
Sumatera Barat
2014 2015 2016
18% 17%31% 24%
211%
43%
0%
50%
100%
150%
200%
250%
Provinsi RS
Jawa Barat
2014 2015 2016
• RKO yang diusulkan Provinsi adalah ringkasan usulan dari Dinas Kesehatan yang ada di wilayah Provinsitersebut (diluar RS)
• RKO yang diusulkan Rumah Sakit adalah ringkasan usulan dari Rumah Sakit (Pemerintah) yang ada di wilayahnya
• Volume obat di Rumah sakit Sumatera Barat lebih proporsional dibandingkan 4 provinsi lainnya
22%19%
58%
17%
69%
41%
Provinsi RS
Kalimantan Selatan
2014 2015 2016
2% 3%23% 20%
72%
8%
Provinsi RS
Sulawesi Tenggara
2014 2015 2016
11% 5%
38%
4%
40%
15%
Provinsi RS
Papua Barat
2014 2015 2016
Sumber: RKO Kemenkes dan data e-purchasing LKPP, 2014-2016
5
Volume dan Value Obat E-purchasingdi 5 Provinsi Sample Studi
Volume Obat (Juta) Value obat (Milyar Rp)
PROVINSI 2014 2015 2016 2014 2015 2016
INDONESIA 1,928 3,234 6,657 1,199 3,308 6,040
JAWA BARAT 209 340 953 90 369 464
SULAWESI TENGGARA 19 95 52 9 140 17
SUMATERA BARAT 34 91 208 12 90 106
KALIMANTAN SELATAN 38 56 92 15 41 50
PAPUA BARAT 22 34 27 11 19 9
• Volume dan total value pengadaan obat (omset) melalui e-purchasing meningkat hinggatahun 2016
• Tahun 2016, di Jawa Barat, volume (juta unit) meningkat hampir 3 kali lipat, tetapi total value Obat (Rp milyar) tidak meningkat secara substansial.
• Tahun 2016, di Sulawesi Tenggara dan Papua Barat, volume dan total omset turun secarasubstansial.
Sumber: Data e-purchasing LKPP, 2014-2016
6
1. Dimensi PERENCANAAN di 5 provinsi studi
(-) SDM dan kompetensi belummemadai(-) Belum didukung SIM dan IT(-) RKO perubahan tidaksempat disampaikan ke pusat
(-) SDM belum pernahpelatihan, hanya sosialisasi(-) SIM manual, listrik daninternet sulit(-) Butuh tim perencanaanterpadu antar Satker
(-) SDM cukup, kurang pelatihan(-) SIM manual, internet sulit sinyal(-) Hanya pakai data konsumsi obat(-) RKO perubahan tidak sempatdisampaikan ke pusat
(+) SIM OK (Depok)(-) Preferensi dokter berubahdi tengah tahun(-) Provider perlu sosialisasi
(-) SDM cukup, kompetensi kurang(-) Kurangnyakepatuhan dokter(-) RS perlu sosialiasiterkait keluhan
Jawa Barat
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Kalimantan Selatan
Sumatera Barat
7
PERENCANAAN
Kurangnya jumlah dankompetensi SDM
Sistem informasi danteknologi yang kurang
memadai
Metode/ jadwalpengumpulan RKO yang
kurang tepat
Minimnya sosialisasi daninformasi bagi provider
khususnya swasta
“(SDM) kurang, ini kan
kita bukan cuma
pengadaan yang kita
kerjakan tetapi tupoksi
kita yang lain juga
termasuk banyak juga”
(Dinkes Manokwari)
“Kan kita bisa otodidak aja belajar itu kan mudah ya…
Tapi harusnya kan sosialisasinya, tanggal-tanggalnya,
kalau ga seperti ini konsekuensinya apa, nah itu tidak
ada”(RS Stroke Nasional, Bukittinggi)8
2. PEMBIAYAAN di 5 provinsi studi
(-) Dana BLUD tidak bisa untukobat (Sorong)(-) Variasi penggunaan dana kapitasi Puskesmas
(-) Variasi serapan dana kapitasiPuskesmas, Kendari tidakboleh, Konawe boleh(-) Hanya 60% anggaran obatyang di setujui Pemda (Kendari)
(-) Variasi penggunaan dana kapitasi Puskesmas(-) Adanya perubahan anggaranobat dari Pemda, RKO harusdirevisi
(+) Faskes BLUD bisa beli obat(+) Dana kapitasi bisa dipakaiuntuk beli obat olehPuskesmas (Depok)(-) perubahan anggaran obatmembuat RKO harus direvisi
(+) Dana DAK cukup besaruntuk obat(-) Dana obat berubah, RKO harus direvisi(-) Ada variasi penyerapan dana kapitasi (Bukittinggi)
Jawa Barat
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Kalimantan Selatan
Sumatera Barat
9
PEMBIAYAAN
Pemotongananggaran obatmembuat RKO harus direvisi
Perubahan danlambatnya
pencairan anggaranobat oleh Pemda
Variasi penyerapandana kapitasi untuk
obat
“karena barangkali tidak semua sama dengan tempat-tempat lain… kecenderungan puskesmas kemudian sedikit sekali belanja obat dengan penggunaan dana kapitasi karena kekhawatiran pertanggungjawaban dan sebagainya. Sehingga akhirnya ya sudah memanfaatkan obat yang didrop atau obat-obat program.” (Puskesmas di Kendari)
“saya sudah menyusun RKO, perkiraankebutuhan saya tahun ini ‘sekian’ tapianggaran Pemprov nggak mencukupi. Nah, yang mana yang harus dikurangi, nih?” (Dinkes di Banjarmasin)
10
3. Proses PEMBELIAN OBAT di 5 provinsi studi
(-) obat kosong di distributor(-) pembelian manual lebihsering dilakukan karena lebihmudah(-) sulit entry Karena sinyaltidak bagus
(-) sulit mendapatkan obattertentu, harus ke Makassar atau Jakarta(-) Klinik swasta membeli obatke RS lain karena di distributor obat kosong (Konawe)
(-) Pembelian harus awal tahun, tapi dana belum cair(-) RS beli banyak obat agar bisadisimpan atau dijual kembali(-) entry data malam/pagi hari
(-) ketersediaan obat tidakjelas, approval industry lama(-) obat harus beli awal tahunagar tidak ditolak(-) entry data sulit Karena sinyal jelek
(-) pesanan ditolak Karena sudah melebihi kuota nasional(-) beli manual lebih mudahtapi sulit dapat harga e-catalog
Jawa Barat
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Kalimantan Selatan
Sumatera Barat
11
PEMBELIAN
Ketersediaan obat tidak merata, sulit mendapatkan informasi
saat memesan
Sulit internet menggangguproses entry pembelian e-
purchasing
Pembelian obat harus diawaltahun agar tidak ditolak, namun dana belum cair
Provider swasta sulit dapatobat seharga e-catalog melalui pesan manual
“untuk e-purchasing seringbermasalah karena adanyaobat kosong” (RS di Padang)
“(…cuma mungkin di kitanya aja yang harus lebih cepat soalnya sepertipengadaan obat ini kan harusnya dariawal-awal tahun sudah mulai, tapi kandi awal tahun kita baru masa persiapan…”(Dinkes Depok)
12
4. Masalah dalam PENDISTRIBUSIAN di 5 provinsi studi
(-) dropping hampir 50% tidaktersedia(-) sebagian dibebankan keProvider swasta(-) hambatan jarak, lokasi, cuaca, dan moda transportasi
(-) Obat yang diterima hanya60% dari yang dipesan(Kendari)(-) hambatan jarak, lokasi, cuaca, dan moda transportasi
(-) distributor tidak sanggupmenerima pesanan yang banyak di akhir tahun(-) obat mudah rusak, penyimpanan kurang memadai
(-) Obat yang diterima hanya 5-20% (Bandung)(-) Beberapa obat yang diterima substandard danmudah rusak
(-) distribusi tergantungketersediaan obat, ada yang seluruhnya, ada yang bertahap(-) tidak tahu kapan dan berapabanyak obat datang
Jawa Barat
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Kalimantan Selatan
Sumatera Barat
13
PENDISTRIBUSIAN
Tidak ada kepastian kapan danberapa banyak obat akandikirim oleh distributor
Tergantung jarak, lokasi, cuaca, dan moda transportasi,
khususnya di wilayah timur
Beberapa obat yang diterimasubstandard dan mudah rusak
Biaya distribusi besar, kadangsebagian dibebankan ke
provider swasta
“Selama inihambatanpemenuhan RKO dari satker, kalauyang eksternalmisalnya jarak(ongkos kirimditanggungdistributor) danfaktor cuaca saatpengiriman.” (Distributor di Kendari)
“yang terjadi itu
penyimpanannya
sebenarnya sudah
bagus tapi obatnya
rusak. obatnya itu
eee..lembek..” (Dinkes
Kendari)
14
5. Masalah dalam PEMBAYARAN di 5 provinsi studi
(-) Di Dinkes, obat datang akhirtahun/tutup anggaran
(-) Harga beli obat lebih mahal drpd harga baru di BPJS, peraturan berlaku mundur(-) Proses verifikasi klaim PRB lama
(-) Update harga BPJS lebih rendahdrpd harga obat saat apotek beli(-) BPJS menunggu berkas lengkapuntuk pembayaran klaim
(-) Ada keterlambatanpembayaran karena claim BPJS belum direimburse(-) Klaim obat PRB cukup lama (30 hari)
(-) RS di “lock” distributor Karena telat membayar(-) Proses klaim PRB di BPJS lama, petugas kurang
Jawa Barat
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Kalimantan Selatan
Sumatera Barat
15
PEMBAYARAN
Keterlambatan pembayaranmenyebabkan provider aksesnya di “lock” oleh
distributor
Pembayaran akhir tahun karenatelah distribusi, mempersulit
laporan keuangan daerah
Harga obat PRB yang dibayarBPJSK lebih rendah dan
peraturan berlaku mundur
Proses verifikasi klaim PRB yang lama memperlambat
pembayaran klaim apotek
“Terkadang di-lock oleh distributor karena keterlambatan pembayaran.
Tapi kalau pembayaran sudah dilakukanlock dibuka kembali” (RS di Bukittinggi)
“misalkan kalau ternyata gak bisadisetarakan kita pilih yang paling mendekati kayak misalkanmetfromin yang masih ada selisihharga sebenarnya kita rugi karenayang kita beli lebih mahal dariyang kita klaim ke BPJS.” (Apotekdi Manokwari) 16