s1-2013-267370-chapter1 (2)

Upload: mhddayat

Post on 06-Jul-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    1/34

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Kondisi sosial saat ini berada pada globalisasi, suatu kondisi sosial yang

    membawa masyarakat pada tatanan yang mendunia, membuat terhubungnnya setiap

    subsistem seperti perdagangan, akses teknologi dan informasi, komunikasi serta

    budaya pada sistem yang global atau mendunia. Kondisi seperti ini membuat

    seseorang dengan sangat mudah terhubung dengan siapapun dan untuk mendapatkan

    segala informasi serta berkomunikasi nyaris tanpa sekat. Begitupun dengan

    pembangunan yang selalu berjalan, diselaraskan dengan kondisi globalisasi ini.

    Kemajuan dalam berbagai sisi kehidupan memang telah memberikan efek positif 

    dengan meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik, namun di sisi

    lain pembangunan yang sedang berjalan ini juga memberikan efek-efek negatif yang

    tak sedikit

    Beberapa tahun terakhir ini, angka jumlah perikahan dini Indonesia khususnya

    Yogyakarta mengalami peningkatan yang sangat mengejutkan, dan ini telah menjadi

    fenomena yang cukup mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Angka

    pernikahan dini tertinggi berada di daerah pedesaan yang relative miskin seperti di

    Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul, akan tetapi pada dasarnya fenomena ini terjadi

    merata di setiap daerah. Penyebab utama dari pernikahan dini ini adalah hamil diluar

    nikah, dan pemuda adalah rentang umur yang berada dalam usia dini tersebut.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    2/34

    Menurut data dari situs resmi KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia),

     jumlah anak-anak yang menjadi korban pernikahan dini sangatlah banyak, menurut

    data yang tercatat yaitu 34,5% atau sekitar 2 sampai 2,5 juta pasangan setiap

    tahunnya. Kemungkinan masih lebih banyak lagi, hal ini di karenakan jumlah

    pernikahan yang tidak tercatat di Indonesia yang masih sangat tinggi, kawin siri

    misalnya. Padahal, pernikahan dini mempunyai banyak risiko yang diantaranya

    adalah risiko perceraian, risiko tingginya angka kematian bayi dan ibu dan lain-lain.

    Dalam setahun di Indonesia terdapat 250.000 kasus perceraian dan 10% nya sebagian

    besar adalah mereka yang menikah di usia dini. Selain itu, pernikahan dini

    menyebabkan risiko tingginya angka kematian bayi dan ibu, di Indonesia jumlahnya

    masih berada pada 34/1000, atau dalam setiap 1000 kelahiran ada 34 orang yang

    meninggal.

    Dari data hasil Susenas Tahun 2009 dan 2010 dari Badan Pusat Statistik Provinsi

    DIY, Kabupaten Gunung Kidul tercatat sebagai daerah di Yogyakarta dengan jumlah

    kasus pernikahan dini terbanyak dan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2009

    perempuan yang menikah usia dibawah 16 tahun di Daerah Istimewa

    Yogyakarta sekitar 8,74% dengan prosentase terbesar di Kabupaten

    Gunungkidul (15,40%) diikuti oleh Kabupaten Sleman (7,49%). Prosentase tersebut

    meningkat pada tahun 2010 menjadi 10,81% dengan prosentase terbesar di

    Kabupaten Gunungkidul (16,24%), diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo (10,81%) dan

    Kabupaten Sleman (9,12%). Dalam surat kabar haran digital solopos.com, hingga 21

    Oktober 2011 terdapat 118 pengajuan dispensasi nikah dini, angka tersebut

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    3/34

    meningkat dibanding tahun 2010 lalu yang hanya mencapai 113 permohonan per 31

    Desember. Keputusan memberikan dispensasi nikah berdasar pada pasal 7 Ayat 2 UU

    Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Berdasar UU tersebut, usia nikah bagi

    perempuan minimal 16 tahun, dan jika kurang dari itu maka harus mengajukan

    permohonan dispensasi. Sebagian besar pemohon mengajukan dispensasi nikah

    disebabkan karena keterpaksaan, yaitu kondisi perempuan yang telah lebih dulu

    hamil.

    Kondisi tersebut tidak bisa lepas dari kenyataan kehidupan sosial pemuda yang

    sebagian berada dalam kelompok usia dini dan remaja. Pada masa remaja ketertarikan

    pada lawan jenis adalah hal yang sangat wajar, dan pacaran dikalangan remaja pun

    menjadi sangat lumrah. Evi Nur (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Kehamilan

    Tidak Diinginkan sebagai Ketimpangan Relasi Kuasa pada Remaja Perempuan

    dalam Pacaran” mejelaskan bahwa meskipun tidak ada keharusan berpacaran, akan

    tetapi bagi remaja ini berpacaran adalah sebagai keharusan, apabila tidak atau belum

    pernah berpacaran maka akan mendapat berbagai cap dari teman-temannya seperti

    kuper, nggak gaul, gak laku dan sebagainya. Adanya nilai-nilai tersebut dalam

    pergaulan teman sebayanya itu, maka lahirlah dorongan untuk mendekati lawan

     jenisnya sebagai tanda ketertarikan dan penunjukkan kemampuan. Pengaruh  peer 

    group terlihat sebagai dorongan untuk mengikuti tren yang ada dalam kelompok usia

    mereka, sehingga berpacaran tidak hanya sekedar kebutuhan dan dorongan secara

    pribadi, namun juga sebagai tuntutan secara sosial ada disana. Ada tujuan-tujuan

    sosial yang ingin mereka capai dalam nilai-nilai pergaulan remaja, pacaran adalah

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    4/34

    salah satu indikator nilai dalam pergaulan remaja yang dilakukan untuk mendapat

    pengakuan identitas remaja akhil baligh yang mampu mencari pasangan.

    Pacaran memang sudah menjadi hal yang lumrah dan telah menjadi hal yang

    sangat wajar bagi sebagian besar remaja. Kenyataan hubungan pacaran yang sampai

    pada tahap intercourse  juga sudah sangat jelas terlihat dari banyaknya kasus hamil

    diluar nikah yang terjadi. Teknologi menjadi kambing hitam yang dituduh

    menyediakan dan mempengaruhi remaja untuk melakukan tindakan-tindakan negatif 

    tersebut. Hal tersebut memang cukup beralasan, menurut Nasikun (2005) dalam Ilmu

    Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, dalam setiap perkembangannya

    teknologi tersebut selain memiliki dampak positif (tonic potentialities) juga memiliki

    dampak negative (toxic potentialities). Memang kedatangan teknologi canggih dan

    peran negatifnya tidak dapat disangkal lagi, bahwa ia turut memberi pengaruh negatif 

    bagi perkembangan pemikiran negatif remaja yang memiliki rasa ingin tahu yang

    besar. Karena pengetahuan mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksi tidak 

    mereka dapatkan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat, maka mereka mencari

    tahu sendiri melalui teknologi, internet dan handphone adalah solusi yang sangat

    membantu bagi mereka. Konten-konten ‘dewasa’ pun bertebaran siap dihisap oleh

    rasa penasaran mereka. Masuknya konten-konten ‘dewasa’ seperti gambar dan video

    porno misalnya, dapat menjadi masukan negatif bagi perilaku remaja, terlebih saat hal

    itu berpengaruh dan menjadi nilai wajib dalam hubungan pacaran remaja. jika

    demikian hal itu akan sangat mudah menyebar pada remaja lain melalui peer group.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    5/34

    Tingginya kasus kehamilan diluar nikah dalam usia remaja menjadi indikator

    bahwa seks bebas dikalangan pemuda yang sangat tinggi pula. Peer group telah

    menunjukkan pengaruhnya yang menjadikan pacaran sebagai tren dalam pergaulan

    yang kemudian diterima oleh pemuda dan masyarakat. Apabila hal itu benar adanya,

    pastinya ada nilai-nilai baru dalam pergaulan remaja yang menjadi dorongan mereka

    dalam bergaul atau berpacaran, bisa jadi tren telah bergeser, bukan hanya sekedar

    pacaran namun pacaran yang sebenarnya juga harus sampai pada hubungan seks

    adalah gaya pacaran saat ini. Pacaran mungkin bisa diterima masyarakat sebagai

    sebuah proses pubertas, asalkan masih pada batasnya hal tersebut tidak dilarang oleh

    sebagian masyarakat, namun jika pacaran sampai pada tahap intercourse, itu sudah

    merupakan pelanggaran terhadap nilai dan norma yang melarang tindakan free sex.

    Masyarakat memiliki nilai dan norma yang mengatur setiap anggotanya.

    Budaya ketimuran seperti halnya jawa dan Yogyakarta khususnya, masalah seperti ini

    sangat sensitif dan sakral. Nilai sopan santun dan norma kesusilaan mengatur

    hubungan anggotanya, terutama hubungan laki-laki dan perempuan, tidak ada

    peraturan yang membolehkan hubungan seks sebelum resmi sebagai pasangan suami

    istri, itu artinya perbuatan tersebut dilarang. Apabila nilai-nilai dalam budaya

    ketimuran itu dipegang kuat-kuat, tentunya pelanggaran tidak akan terjadi. Dengan

    penerapan nilai-nilai tersebut seakan hubungan laki-laki perempuan disana seakan

    menjadi teratur dan selaras dengan tuntunan kebudayaan, namun dengan banyaknya

    kasus kehamilan diluar nikah pada remaja disana membuat hal itu dipertanyakan

    kembali.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    6/34

    Interaksi sosial pelaku seks bebas berperan besar dalam pembentukan makna

    mereka terhadap sesuatu sehingga menghasilkan perilaku seks bebas. Pola interaksi

    yang terjalin dapat dikategorikan dalam pola interaksi internal dan eksternal. Pola

    interaksi internal adalah interaksi yang terjadi dalam keluarga, sedangkan pola

    interaksi eksternal adalah interaksi yang terjadi di luar keluarga. Interaksi dalam

    keluarga dapat dilihat dari bagaiamana pola asuh yang diterapkan pada pelaku, seperti

    pola asuh permisif, dialogis atau koersif. Pola interaksi eksternal dilihat sebagai

    perkembangan wilayah sosialisasi yang sudah beranjak keluar tak hanya pada

    keluarga yaitu komunitas teman-teman sebaya atau peer group dan juga masyarakat.

    Keluarga adalah suatu kelompok primer yang berfungsi dalam membentuk 

    kepribadian seseorang, karena di dalam keluarga seseorang dari anak-anak 

    mempelajari pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dari

    masyarakat. Semua itu dipelajari dan diperoleh melalui interaksi dan sosialisasi di

    keluarga, maka dari itu keluarga juga biasa disebut sebagai agen sosialisasi. Dari

    keluarga pula lah seorang pemuda hendaknya mengetahui nilai benar dan tidaknya

    suatu perbuatan serta konsekuensi-konsekuensinya. Dengan tertanamnya nilai-nilai

    tersebut seharusnya tindakan melanggar seperti halnya perilaku seks bebas pra nikah

    tidak terjadi.

    Minimnya interaksi sosial pada pemuda dalam keluarga dan masyarakatnya

    secara umum menjadi tolok ukur yang menujukkan minimnya pula internalisasi nilai-

    nilai sosial kepada pemuda. Tidak banyak waktu yang mereka habiskan bersama

    keluarga dan masyarakat umum untuk bersosialisasi, dan mereka lebih banyak 

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    7/34

    menghabiskan waktunya bersama teman-teman sebayanya. Misalnya saja bagi

    pemuda yang masih bersekolah, mereka dari pukul 06:30 sudah beranjak dari rumah,

    di sekolah mereka bergaul bersama dengan peer group-nya. Lalu mereka pulang pada

    sore hari, belum lagi mereka yang memiliki jadwal les, bimbel, kursus dan

    sebagainya. Ketika mereka pulang pun belum tentu bertemu orang tua, karena orang

    tua mereka mungkin sedang bekerja diluar rumah, kemudian mereka bermain pun

    dengan teman sebayanya pula, malam hari mereka bertemu dengan orang tua pun

    tidak terlalu lama. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama  peer group.

    Dengan kondisi yang sedemikian rupa tidak jarang apabila pemuda merasa lebih

    nyaman berada dengan  peer group ketimbang bersama dengan orang tuanya, ia

    merasa sesamanya adalah yang paling mengerti kondisi mereka.

    Apabila kondisi sudah demikian, terjadi proses sosialisasi yang tidak 

    berimbang, internalisasi nilai dari keluarga dan masyarakat pun menjadi sulit, dan

    nilai-nilai dalam bergaul dengan sesama atau  peer group adalah nilai yang lebih

    mereka perhatikan dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ketika nilai-

    nilai negatif masuk dalam  peer group, maka akan sangat mungkin menular pada

    remaja yang lain, seperti halnya  free sex atau hubungan seksual pranikah dalam

    berpacaran.

    Akan tetapi, kondisi ini sangat tergantung pada kondisi sosial masyarakat dan

    institusi yang membingkai mereka. Kondisi seperti itu tentunya tidak berlaku dalam

    sebuah masyarakat seperti lingkungan Pondok Pesantren misalnya. Sehingga hal ini

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    8/34

    menyimpulkan bahwa adanya faktor eksternal berupa budaya masyarakat yang

    membingkai mereka yang bisa mempengaruhi tindakan mereka.

    Ketika pacaran sudah menjadi nilai keharusan begi remaja, mereka sudah

    memiliki dorongan secara sosial dan alasan akan pentingnya pacaran bagi mereka.

    misalnya saja untuk meningkatkan motivasi dalam belajar atau untuk mengikuti tren

    kebutuhan dalam usia mereka, atau mungkin alasan-alasan lain, yang pasti alasan

    mereka memilih hal tersebut karena memiliki tujuan dan keuntungan dari apa yang

    mereka lakukan. Lalu muncul stereotype apabila seusia mereka belum punya pacar

    maka mereka dicap gak laku, kuper dan sebagainya. Akan tetapi nampaknya saat ini

    pacaran tidak hanya sekedar hubungan biasa yang hanya sampai pada tahap

    berpengan tangan, pelukan, kissing, necking dan lain sebagainya, namun sudah pada

    tahap intercourse.

    Tak hanya sekedar perilaku seks bebas dan pernikahan dini saja yang menjadi

    masalah sosial, tetapi dari satu masalah tersebut menimbulkan masalah-masalah yang

    lain, berikut adalah beberapa masalah yang dapat ditimbulkannya. Aborsi menjadi

    pilihan ketika perilaku seks bebas yang dilakukan dengan tanpa alat kontrasepsi

    kemudian terjadi kehamilan yang tak diinginkan pada remaja perempuan. Pernikahan

    dini menjadi keharusan ketika pasangan perempuan telah lebih dahulu hamil dan

    tidak melakukan pengguguran kandungan. Kondisi tersebut memiliki konsekuensi

    yaitu terhentinya pendidikan bagi perempuan karena kondisinya yang tidak 

    memungkinkan atau penolakan dari sekolah. Kondisi rumah tangga bagi pasangan

    pernikahan dini juga sangat rawan terhadap konflik karena usia mereka yang masih

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    9/34

    muda sehingga belum matang secara mental, sehingga rawan terjadi kekerasan dalam

    rumah tangga dan perceraian. Belum matangnya secara fisik bagi perempuan untuk 

    hamil dan melahirkan juga memberi banyak risiko, sehingga meningkatkan angka

    kematian bayi dan ibu. Usia muda bagi pasangan pemuda dibawah umur tentunya

    belum bisa memberi nafkah bagi keluarganya sendiri sehingga perekonomiannya

    masih bergantung pada orang tua, dalam kondisi ekonomi orang tua yang sudah sulit

    tentunya akan semakin memberatkan.

    Pernikahan usia muda juga menjadi salah satu penyebab masalah

    kependudukan. Hal ini dikarenakan semakin muda usia pernikahan semakin panjang

    masa subur bagi perempuan dan semakin banyak kemungkinan anak yang akan

    dilahirkan. Apabila tidak terjangkau program Keluarga Berencana maka kondisi ini

    akan menyebabkan masalah semakin banyaknya jumlah penduduk dan berbagai

    masalah kependudukan lain.

    Keberadaan nilai dan norma dalam masyarakat adalah untuk membimbing dan

    mengarahkan tindakan dan perilaku anggota masyarakatnya agar selalu ideal, selaras

    dengan keinginan masyarakat tersebut. Keluarga berperan sebagai agen sosialisasi

    nilai-nilai tersebut, karena dengan nilai-nilai dari hasil dari interaksi dalam keluarga

    itu akan menjadai bekal bagi pemuda dalam berperilaku. Nilai dan norma mengarah

    pada perilaku yang dianggap baik berdasarkan budaya yang ada. Apabila nilai dan

    norma tersebut dilanggar maka akan ada sanksi-sanksi sosial dan institusional yang

    berlaku terhadap setiap anggota yang melanggarnya. Begitu pula dengan perilaku

    seks pranikah sampai pada kasus kehamilan tak diinginkan, adalah bentuk 

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    10/34

    pelanggaran terhadap nilai dan norma tersebut. Secara agama pun tidak membenarkan

    perbuatan tersebut, dan apabila nilai dan norma dalam masyarakat yang ada itu selalu

    dipegang teguh, meskipun dalam kondisi sosial yang penuh dengan godaan,

    seharusnya mereka tidak akan terjerumus pada tindakan yang melanggar. Akan tetapi,

    tingginya kasus pernikahan dini yang didahului dengan kehamilan pranikah berawal

    dari perilaku seks pranikah pelakunya, menunjukkan bahwa remaja telah

    mengabaikan nilai dan norma yang berlaku.

    B. MASALAH PENELITIAN

    Fenomena sosial pernikahan dini yang dilatar belakangi kehamilan tak diinginkan

    telah menjadi masalah bagi hampir seluruh masyarakat secara nasional. Pasalnya, dari

    masalah ini melahirkan masalah-masalah sosial lain yang mengkhawatirkan.

    Penyebab dari perilaku seks bebas juga banyak, bisa berasal dari internal keluarga

    maupun eksternal dari pergaulan, teknologi dan masyarakat yang lebih luas.

    Budaya Jawa khususnya masyarakat Gunung Kidul memiliki nilai dan norma

    yang mengatur tindakan anggota masyarakatnya, lebih jauh yang mengatur hubungan

    antara laki-laki dan perempuan yang melarang perilaku seks pra nikah. Keluarga

    adalah sebagai agen sosialisasi nilai-nilai dan norma-norma tersebut kepada para

    pemuda. Dengan perannya menanamkan niai dan norma tersebut nantinya pemuda

    akan memiliki panduan berperilaku yang sebagaimana diharapkan. Apabila nilai dan

    norma tersebut dipegang teguh oleh setiap pemuda, maka tidak akan ada tindakan

    yang menyimpang dan melanggar. Akan tetapi nyatanya perilaku seks bebas pranikah

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    11/34

    terus saja terjadi meski tindakan tersebut tidak sesuai dengan nilai dan norma budaya

    serta agama. Namun sosialisasi dan interaksi mereka tak hanya terjadi dalam

    keluarga, namun berkembang pada komunitas lain hingga masyarakat yang lebih

    luas.

    Dari latar belakang dan uraian diatas, maka masalah penelitian yang dijawab

    disini adalah:

    1. Bagaimanakah pola interaksi pelaku seks bebas pra nikah di Gunung

    Kidul dalam keluarga, peer group dan masyarakat?

    2. Bagaiamanakah makna yang terbangun oleh pelaku terhadap seks bebas

    pra nikah sebagai hasil interaksi dari keluarga,  peer group dan

    masyarakat?

    C. TUJUAN PENELITIAN

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

    1. Mencari tahu dan menggambarkan interaksi-interaksi pemuda pelaku seks

    bebas pra nikah yang terjadi baik internal di keluarga maupun eksternal di

     peer group dan masyarakat sehingga mempengaruhi pemaknaan mereka

    terhadap perilaku seks bebas.

    2. Mengetahui makna yang terbentuk dari pengaruh pola interaksi pelaku seks

    bebas baik dari internal di keluarga maupun eksternal di  peer group dan

    masyarakat, sehingga dari pemaknaan tersebut membawa mereka pada

    tindakan seks bebas.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    12/34

    D. TINJAUAN PUSTAKA

    Penelitian dalam tema ini bukanlah penelitian pertama dan satu-satunya yang ada,

    beberapa judul dari tema yang mirip telah ada sebelumnya, namun hal ini justru akan

    menambah pengayaan dalam menjelaskan permasalahan secara lebih komprehensif 

    dan mendalam. Hasil penelitian tersebut yang pertama adalah skripsi sosiologi

    dengan judul “KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN (KTD) SEBAGAI

    KETIMPANGAN RELASI KUASA PADA REMAJA PEREMPUAN DALAM

    PACARAN” (Studi kasus terhadap remaja korban KTD di LSM PKBI) karya Evi

    Nur Akhidah dalam Perpustakaan Fisipol UGM.

    Hasil skripsi tersebut berfokus dalam mencari tahu dan menggambarkan

    kekerasan dalam pacaran pada remaja yang berujung pada kehamilan yang tak 

    diinginkan, serta masalah-masalah yang menyertainya dikemudian hari. Dimana

    penelitian tersebut menekankan adanya ketimpangan gender dalam hubungan remaja

    laki-laki dan perempuan. Sedangkan dalam penelitian kami berfokus pada interaksi-

    interaksi dalam keluarga menurut informan, dimana interkasi-interaksi dalam

    keluarga ini diasumsikan sebagai rujukan-rujukan informan dalam berpikir dan

    bertindak.

    Hasil penelitian kedua yaitu berjudul “KEHAMILAN TAK DIKEHENDAKI DI

    KALANGAN REMAJA”. Yaitu salah satu dari 30 judul penelitian yang didanai oleh

    kerjasama Ford Fondation dan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah

    Mada (PPK-UGM) yang hasilnya dipublikasikan pada tahun 1996 dan 1997.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    13/34

    Penelitian ini dikerjakan oleh Yayah Khisbiyah dan kawan-kawan dan diterbitkan

    oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada.

    Pada penelitian dijudul kedua ini lebih menekankan pada tindakan-tindakan

    remaja terkait dorongan seksual dan pertimbangannya terhadap tendensi-tendensi

    kesehatan reproduksi seperti pencegahan penularan penyakit kelamin, serta tindakan-

    tindakan penyaluran dorongan seksual yang dipilih terkait dengan masalah tendensi

    tersebut. Hasil dari penelitian tersebut menjabarkan bahwa insiden kehamilan tak 

    dikehendaki dikalangan remaja pra nikah terjadi secara relative proporsional pada

    kategori status sosial ekonomi rendah, sedang dan tinggi. Mereka juga berasal dari

    latar belakang keluarga yang dipersepsikan sendiri sebagai harmonis. Ditemukan

    fakta pengetahuan yang rendah terhadap fungsi dan proses reproduksi sehat. Dalam

    kondisi yang terlanjur hamil, remaja dihadapkan pada dua pilihan, melanjutkan

    kehamilan atau aborsi. Pada umumnya remaja yang melanjutkan kehamilannya lebih

    dikarenakan keterpaksaan. Adapun konsekuensi-konsekuensi secara psikologis dan

    sosial ekonomi yang mereka hadapi adalah beban menanggung predikat atau status

    ibu lajang, putus pendidikan, sulit mencari kerja, ketergantungan finansial pada

    orangtua dan goyahnya perkawinan.

    Penelitian-penelitian yang berfokus pada masalah seks bebas memang cukup

    banyak, namun penelitian ini mengambil sudut yang berbeda. Meletakkan keluarga

    sebagai sosialisasi primer, sumber dari internalisasi berbagai nilai dan norma yang

    mengatur pemuda dalam bertindak. Sehingga perilaku seks bebas yang dilakukan

    pemuda di Gunung Kidul dipengaruhi oleh pola asuh dan sosialisasi yang ia jalani

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    14/34

    dalam keluarga. Selain itu, penelitian ini juga berupaya menemukan nilai-nilai dan

    ataupun situasi kondisi tertentu yang ikut mendorong terjadinya perilaku seks bebas

    pranikah pada pemuda di Gunung Kidul.

    E. KERANGKA KONSEPTUAL

    Setidaknya terdapat tiga paradigma dalam sosiologi yang menyebabkan sosiologi

    disebut sebagai “Ilmu Pengetahuna Berparadigma Ganda”. Menurut Ritzer (2011)

    Paradigma itu sendiri adalah pandangan mendasar dari ilmuan tentang apa yang

    menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh satu cabang imu

    pengetahuan. Dari tiga paradigma yang ada paradigma definisi social adalah

    paradigma yang digunakan untuk menganalisis masalah ini.

    Paradigma definisi sosial memandang hakekat kenyataan sosial bersifat

    subyektif, kenyataan social lahir dari motivasi individu dan tindakan-tindakan social

    (social actions). Paradigma ini diwakilkan oleh Max Weber yang mengemukakan

    paradigma definisi sosial. Menurutnya, pokok persoalan sosiologi adalah proses

    pendefinisian sosial dan akibat-akibat dari suatu aksi serta interaksi sosial. Jadi,

    pokok perhatiannya adalah menafsirkan dan memahami (interpretatif understanding)

    mengenai proses berpikir yang bersifat intersubyektif dan intrasubyektif dengan

    melibatkan arti atau makna dan simbol-simbol dalam suatu aksi dan tindakan sosial.

    Terdapat beberapa teori yang bernaung di bawah paradigma ini, diantaranya adalah

    teori aksi sosial, teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    15/34

    Karena penelitian itu bersifat ilmiah, maka dalam penelitian itu memerlukan teori,

    meski dalam penelitian kualitatif peran teori tidak sekuat dalam penelitian kuantitatif,

    akan tetapi dalam penelitian kualitatif pun juga membutuhkan teori. Dalam penelitian

    kualitatif teori digunakan untuk bekal dalam memahami konteks sosial secara lebih

    luas dan mendalam, serta mempertajam mengenai fakta lapangan yang dipelajari.

    Dari beberapa teori yang ada dalam paradigma defenisis sosial, yang digunakan

    dalam penelitian ini adalah teori ‘interaksionisme simbolik’.

    Teori atau pendekatan interaksionisme simbolik ini bersumber dari George

    Herbert Mead yang pendapat hampir serupa dengan Weber mengenai pokok 

    perhatian sosiologi, Mead membedakan covert behavior  dan overt behavior  untuk 

    menekankan pokok perhatian interkasionisme simbolik. Covert behavior  adalah

    tingkah laku yang tersembunyi, yaitu proses berpikir yang melibatkan arti dan

    simbol-simbol. Sedangkan Overt behavior  adalah tingkah laku aktual yang tidak 

    melibatkan covert behavior  atau proses berpikir. Sehingga pokok perhatian dari

    interaksionisme simbolik adalah covert behavior, sedangkan overt behavior menjadi

    pokok perhatian dari paradigma perilaku sosial.

    Penelitian ini berfokus pada tindakan sosial, tindakan pemuda yang melanggar

    nilai dan norma dengan melakukan hubungan seks pra nikah. Tindakan sosial tersebut

    dipengaruhi oleh beberapa hal, mulai dari diri sendiri (internal), maupun orang lain

    (eksternal) melalui interaksi, sosialisasi dan internalisasi. Internalisasi yang

    dimaksud disini adalah masuknya nilai-nilai ke dalam kerangka budaya yang dianut

    individu (Saptari, 1997). Dalam proses mempengaruhi tersebut terdapat interaksi

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    16/34

    sosial di dalamnya, bisa secara timbal balik (aktif) ataupun satu arah (pasif).

    Mengutip Kamanto Sunarto, untuk membicarakan tentang interaksi sosial, diperlukan

    interactionist perpective (Douglas, 1973). Terdapat beberapa pendekatan untuk 

    mempelajari interaksi sosial, termasuk teori interaksionisme simbolik yang digunakan

    dalam penelitian ini.

    Kamanto Sunarto (1993) menyimpulkan tiga pokok pemikiran yang terdapat

    dalam interaksionisme simbolik, antara lain:

    1. Manusia bertindak (act ) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning)

    yang dipunyai sesuatu tersebut baginya.

    2. Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi

    sosial anatara seseorang dengan sesamanya.

    3. Makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran

    (interpratative process), yang digunakan seseorang dalam menghadapi

    sesuatu.

    Seseorang dalam bertindak itu didasarkan oleh pemaknaan seseorang tersebut

    terhadap sesuatu yang ia jumpai. Makna dan pemaknaan terhadap sesuatu tersebut

    diperoleh seseorang dari adanya interaksi sosial seseorang itu dengan sesamanya.

    Selanjutnya seseorang tersebut melakukan proses terhadap makna yang ia peroleh

    pada proses selanjutnya, yaitu proses penafsiran. Melalui proses penafsiran inilah

    yang nantinya menentukan tindakan apa yang akan ia lakukan terhadap sesuatu yang

    ia jumpai. Meski pemuda di Gunung Kidul telah mengetahui makna dan aturan

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    17/34

    tentang nilai dan norma yang melarang perilaku seks pra nikah, akan tetapi mereka

    tetap melanggar dan melakukan tindakan tersebut.

    Ritzer menjelaskan dalam bukunya “Teori Sosiologi Modern” (2004) bahwa,

    karena manusia itu hanya memiliki kapasitas untuk berpikir, maka kapasitas tersebut

    harus dibentuk dan diperhalus melalui proses interaksi sosial, yaitu sosialisasi.

    Kemampuan berpikir dikembangkan sejak dini dan di perhalus selama sosialisasi saat

    dewasa, namun proses ini tidak berhenti sampai ia dewasa, tetapi proses ini terjadi

    terus-menerus dalam hidupnya. Menurut teoritisi interaksionisme sombolik,

    sosialisasi adalah proses yang lebih dinamis, yang memungkinkan manusia

    mengembangkan kemampuan untuk berpikir, untuk mengembangkan cara hidup

    manusia tersendiri. Sosialisasi bukanlah sebuah proses satu arah dimana aktor hanya

    pasif menerima informasi begitu saja, namun sosialisasi merupakan proses dinamis

    dimana aktor menyusun dan menyesuaikan informasi itu dengan kebutuhan mereka

    sendiri.

    Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi

    antar individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang

    dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses

    interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan bersifat langsung

    terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya. Tetapi

    tindakan itu merupakan hasil dari suatu proses interpretasi dari stimulus. Jadi,

    diperlukan proses belajar dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling

    menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    18/34

    Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu

    memberikan batasan-batasan terhadap tindakannya, namun manusia memiliki

    kemampuan berpikir, sehingga manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan

    tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya (Ritzer, 2011: 58-59). Hal

    tersebut didukung oleh pendapat Thomas dalam George Ritzer dan Douglas J.

    Goodman (2004), sebenarnya Thomas menekankan bahwa, yang menjadi sumber

    definisi sosial kita terutama adalah keluarga dan komunitas. Pada penekanan

    selajutnya ia menyebutkan bahwa kemungkinan individu mendefinisikan situasi

    secara spontan yang memungkinkan mereka mengubah dan memodifikasi arti dan

    simbol. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Robert Bogdan dan Steve J.

    Taylor (Bogdan dan Taylor, 1975; 15) yang berpendapat :

    “while people may act within the framework of organization, it is theinterpretation and not the organization determines action. Social rules, norms,

    values, and goals may set conditions and consequences for action, but do not 

    determines what person will do.”

    Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka ketika pemuda melakukan tindakan

    hubungan seks pranikah dalam suatu masyarakat yang sejatinya melarang tindakan

    tersebut, tindakannya adalah merupakan penafsirannya sendiri dan bukan masyarakat

    yang menentukan sikap dan tindakan pemuda tersebut. Aturan sosial, norma-norma,

    nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat bisa menciptakan kondisi dan konsekuensi

    atas tindakan yang dilakukan oleh pemuda tersebut, namun tidak menentukan apa

    oyang akan dilakukan oleh pemuda itu.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    19/34

    Teori interaksionisme simbolik memfokuskan pada tindakan dan sikap seseorang,

    dalam memutuskan suatu tindakan dan sikap tersebut seseorang melakukan suatu

    proses yang melibatkan makna dan kemampuan berpikir yang dibentuk dan

    dikembangkan melalui pengaruh oleh interaksi sosial. Sebagaimana yang

    diungkapkan oleh Thomas diatas, bahwa sumber dari definisi sosial adalah keluarga

    dan komunitas. Keluarga adalah kelmpok primer dalam sosialisasi seseorang, ia

    adalah agen sosialisasi inti dari masyarakat, yang mengajarkan berbagai macam nilai,

    norma, moral, agama dan lain-lain. Sehingga dari keluarga seseorang memiliki bekal

    (nilai, norma, moral dan agama) dalam melakoni interaksi dan sosialisasi yang lebih

    luas dari keluarga. Sedangkan komunitas merupakan kelompok sosial yang lebih

    besar dari keluarga yang juga merupakan bagian dari masyarakat tempat berinteraksi

    dan bersosialisasinya seorang pemuda.

    Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat

    (Khairuddin, 1985:10). Karena menurut fungsi sosialisasinya, keluarga berperan

    dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu anak 

    mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cinta-cita dan nilai-nilai dalam

    masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya (Khairuddin, 1985:60).

    Dalam kondisi normal seseorang yang lahir dan tumbuh dalam keluarga, interaksi dan

    sosialisasi yang terjadi di dalamnya tentu sangat berpengaruh dalam internalisasi nilai

    dan norma serta makna-makna yang ada dalam masyarakat. tidak hanya interaksi

    dalam kelompok primer seperti keluarga, dalam kelompok sosial pun interaksi juga

    sangat dominan. Robert K. Merton (1965:285), menyebutkan tiga kriteria obyektif 

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    20/34

    dalam suatu kelompok. Pertama, kelompok ditandai dengan sering terjadinya

    interaksi. Kedua, pihak-pihak yang berinteraksi mendefinisikan dirinya sebagai

    anggota kelompok. Ketiga, pihak-pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh orang

    lain sebagai anggota kelompok.

    Keluarga merupakan sumber bagi internalisasi yang utama bagi individu yang

    mempengaruhinya dalam berpikir dan bertindak, George H. Mead (Gillin dan Gillin.

    Cultural Sociology, 1954;489) berpendapat bahwa struktur-struktur sosial peran-

    peran sosial dan institusi-intitusi mempengaruhi perilaku melalui makna-makna

    bersama yang terungkap dalam simbol-simbol kelompok dan cara simbol-simbol ini

    ditafsirkan dalam pertukaran diantara individu-individu. Sehingga dengan interaksi

    yang cukup dan internalisasi nilai dan norma yang memadahi, hendaknya simbol

    nilai-dan norma tersebut mampu mempengaruhi pemuda dalam berpikir dan

    bertindak. Realitas banyaknya pemuda yang menikah karena latar belakang

    kehamilan tak diinginkan mengindikasikan fenomena seks bebas pra nikah yang

    signifikan. Kenyataan tersebut mengindikasikan masalah interaksi dalam keluarga

    yang berakibat pada kurangnya internalisasi nilai dan norma yang semestinya

    menjadi pertimbangan pemuda dalam berpikir dan bertindak.

    Di dalam keluarga seseorang mendapatkan makna dasar dari seseuatu seperti

    halnya nilai dan norma, misalnya seseuatu itu dikatakan baik untuk dilakukan atau

    buruk dan dilarang untuk dilakukan. Dari sini ia belajar mengenai makna mengenai

    perilaku-perilaku yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan, mungkin ini

    berkaitan dengan pola asuh yang diterapkan orang tua pemuda dalam interkasinya di

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    21/34

    dalam keluarga. Kohn (Krisnawaty. 1986: 46) berpendapat bahwa pola asuh

    merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua

    ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara

    orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta

    tanggapan terhadap anaknya. Menurut Hourlock dalam Chabib Thoha (1996 : 111-

    112) mengemukakan ada tiga jenis pola asuh orang tua terhadap anaknya, yakni: 1.)

    Pola asuh koersif, ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturanaturan yang

    ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya(orang tua),

    kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anakjarang diajak 

    berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua menganggap bahwa

    semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak. Pola

    asuh yang bersifat koersif juga ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras,

    lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala keperluan

    dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan meskipun sudah menginjak 

    usia dewasa. Anak yang dibesarkan dalam suasana semacam ini akan besar dengan

    sifat yang ragu-ragu, lemah kepribadian dan tidak sanggup mengambil keputusan

    tentang apa saja. 1.) Pola asuh dialogis, ditandai dengan adanya pengakuan orang tua

    terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung

    pada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa

    yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam

    pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak 

    diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    22/34

    sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan

    diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya. 3.) Pola asuh

    permisif, ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak 

    dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluasluasnya untuk 

    melakukan apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah,

     juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Semua apa yang

    telah dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran, arahan

    atau bimbingan.

    Akan tetapi, bukan hanya keluarga dan komunitas saja yang menentukan cara

    berpikir dan bertindak seseorang. Masih ada masyarakat dan media massa yang juga

    memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi tersebut. Karena keluarga merupakan

    unit terkecil dalam masyarakat, sehingga setidaknya keluarga juga di pengaruhi oleh

    hal-hal yang ada dalam masyarakat seperti halnya nilai norma dan aturan-aturan yang

    ada. Masyarakat meliputi hal yang lebih luas dan kompleks daripada keluarga,

    diantaranya ada kelompok-kelompok social lain diluar keluarga, lembaga-lembaga

    social dan juga terdapat media massa. Luasnya jaringan interaksi social seseorang

    dalam masyarakat serta komunitas yang ia ikuti juga berpengaruh terhadap cara pikir

    dan pemberian makna terhadap perilaku seks. Semakin luas jalinan interaksi

    sosialnya semakin luas pengetahuannya akan semakin membuka pikiran dan cara

    pandang yang ia miliki. Komunitas dalam hal ini mudahnya diartikan sebagai  peer 

    group atau teman-teman sebaya. Perkembangan teknologi dalam informasi telah

    membawa perubahan sosial yang membuat nilai seks bukan lagi sebagai hal yang

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    23/34

    tabu bagi masyarakat. Akan tetapi, pengetahuan dan pembelajaran yang kurang bagi

    mereka baik dari keluarga maupun sekolah, ketika berhadapan dengan perubahan

    sosial ini akan menjadi masalah. Pasalnya, pendidikan seks dalam keluarga dan

    sekolah masih sangat minim, dengan banyaknya pemberitaan yang terbuka mengenai

    seks atau yang berbau seksual, menjadi pertanyaan besar bagi mereka yang

    membuatnya penasaran. Terlebih karena pemuda telah memliki dorongan secara

    seksual. Dalam kondisi yang seperti ini, mereka akan mencari tahu sendiri akan rasa

    ketertarikannya tersebut. Media teknologi adalah sarana yang sangat membantunya,

    melalui internet dan HP yang canggih kini semua informasi dapat diakses. Akan

    tetapi konten porno pun bertebaran yang sangat mudah masuk dalam gadget mereka

    yang nantinya menjadi pengaruh buruk bagi perkembangan perilakunya.

    Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian diatas adalah bahwa manusia dalam

    kehidupannya bermasyarakat itu tidak lepas dari interaksi sosial dan sosialisasi

    sepanjang hidupnya. Adanya kemampuan manusia untuk berpikir, dalam proses

    interaksi dan sosialisasi ia melakukan penafsiran terhadap sesuatu yang ia hadapi,

    sehingga dapat membantunya menentukan perilaku atau tindakan. Bagaimana

    penafsiran atau pemaknaan terhadap seseuatu berpengaruh terhadap tindakan yang

    akan ia lakukan. Keluarga merupakan sumber bagi internalisasi yang utama bagi

    individu yang mempengaruhinya dalam berpikir dan bertindak. Lemahnya nilai dan

    norma yang ditanamkan pada pemuda berpengaruh pada semakin permisifnya

    tindakan mereka. Hal ini menyebabkan semakin rendahnya moral seseorang hingga

    melanggar nilai dan norma yang melarang perilaku seks pranikah. Agama sebagai

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    24/34

    salah satu sumber ajaran-ajaran keyakinan dan sumber aturan nilai serta norma pun

    pengaruhnya semakin berkurang dengan adanya perubahan sosial di berbagai bidang.

    Perubahan sosial juga membawa dampak terhadap nilai tabu terhadap seks menjadi

    sesuatu yang umum dan hal yang wajar sampai menjadi perbincangan publik, seperti

    halnya banyak diberitakan dalam media massa, serta konten-konten negative (porno)

    yang dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja.

    F. METODE PENELITIAN

    Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi

    kasus. Pemilihan penelitian secara kualitatif dikarenakan studi kualitatif dapat

    menganalisa realita sosial secara lebih mendalam. Pengertian motode penelitian

    kualitatif sendiri menurut R. Bogdan dan S. Taylor dalam  Introduction to qualitative

    reaserch, adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif kata-kata

    tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati dilanjutkan dengan

    analisa dan interpretasi terhadap data tersebut, sehingga dapat menelaah dan

    menganalisa data dengan baik dan sistematis (R.Bogdan dan S.Taylor dalam Partini

    dan Raharjo, Aplikasi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, 2008)

    Studi kasus sendiri menurut Faisal (1995;22) merupakan tipe pendekatan dalam

    penelitian yang penelaahnya kepada satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam,

    mendetail dan komprehensif. Lebih lanjut mengenai studi kasus, menurut Yin

    (2003;1-21) studi kasus adalah inquiri empiris yang menyelidiki fenomena dan

    konteks tak nampak dengan tegas; dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    25/34

    Studi kasus lebih dikehendaki untuk melacak peristiwa-peristiwa kontemporer, dan

    bila peristiwa-peristiwa yang bersangkutan tidak dapat dimanipulasi. Penelitian ini

    menggunakan desain studi kasus tunggal holistik. Penggunaan studi kasus tunggal

    dipilih karena penelitian sesuai dengan dua dari tiga kriteria kecocokan yang

    disebutkan Yin (2003; 46-54) Pertama, merupakan suatu peristiwa yang ekstrem atau

    unik. Kedua, berkaitan dengan tujuan penyingkapan. Rasional lain untuk memilih

    desain kasus tunggal dan bukan desain kasus ganda adalah bahwa peneliti memiliki

    akses (izin masuk) terhadap suatu situasi yang semula tak memberi peluang bagi

    pengamatan ilmiah. Sedangkan dipilihnya desain kasus tunggal holistik dan bukan

    kasus tunggal terjalin, dikarenakan kasus perilaku seks bebas pra nikah dengan teori

    interaksionisme simbolik yang mendasari adalah sifat yang holistik. Selain itu, desain

    holistik dipilih karena analisis berfokus pada satu unit analisis atau beberapa kasus

    yang sama dalam satu masyarakat dan data-data lain dikumpulkan dari sekitarnya

    untuk mendukung, bukan untuk dianalisis sendiri-sendiri. Desain holistik ini

    meminimalisir perubahan fokus penelitian pada subunit analisis yang lain jika

    menggunakan studi kasus terjalin, mengingat tema seks bebas adalah tema yang

    sangat luas dengan berbagai masalah yang melatarbelakangai dan mengikutinya.

    F.1. Penentuan Unit Analisis dan Pemilihan Informan

    Dalam penelitian kualitatif penerapan satuan kajian atau unit analisis adalah

    penting. Unit analisis dalam penelitian ini adalah perseorangan atau individu dan

    bukan kelompok. Individu tersebut adalah pemuda dengan latar belakang pernikahan

    yang didahului dengan kehamilan tak diinginkan.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    26/34

    Satuan kajian ini pula yang merupakan penentu dari informan dan strategi

    pemilihan informan. Pada penelitian kualitatif pemilihan informan tidak dilakukan

    secara acak, tetapi secara purposive, yang dimaksud adalah perseorangan atau bagian

    yang telah ditunjuk sebagai kajian sesuai dengan kriteria-kriteria yang dibutuhkan,

    sehingga pengumpulan data dipusatkan disekitarnya, data yang dikumpulkan adalah

    apa yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang mempengaruhi, hingga bagaiamana

    pemikirannya (Maleong, 1990).

    Penelitian ini berfokus pada pasangan pemuda pelaku seks bebas pranikah untuk 

    menggambarkan interaksinya dalam keluarga,  peer group dan masyarakat. Perilaku

    seks bebas tersebut tergambar dalam tingginya angka pernikahan dini yang sebagain

    besar dikarenakan keterpaksaan, yaitu kondisi perempuan yang sudah lebih dahulu

    hamil. Pasangan pemuda yang dimaksud disini adalah mereka yang telah menikah

    (laki-laki dan perempuan) dengan didahului kehamilan tak diinginkan.

    Pemuda adalah fokus dari penelitian ini, pemuda itu sendiri memiliki definisi

    yang beragam dari berbagai sudut pandang. Menurut sosiologi dan sejarah, mereka

    lebih menekankan kepada nilai subyektifnya  ─ kepemudaan dirumuskan berdasarkan

    tanggapan masyarakat dan kesamaan pengalaman historis. Sedangkan psikologi

    membantu dalam memperkirakan periode pertumbuhan kepribadian, yang sangat erat

    pula hubungannya dengan latar belakang kebudayaan (Yasin, M. (et al.): 1974;1-2).

    Pemuda adalah mereka yang sedang mengalami perkembangan secara fisik dan

    secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional. Pemuda adalah individu

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    27/34

    dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis, namun belum

    memiliki pengendalian emosi yang stabil.

    Lembaga internasional WHO menyebut pemuda dengan istilah “ young people”

    dengan batasan usia 10-24 tahun, sedangkan mereka yang berusia 10-19 tahun

    disebut sebagai “adolescenea” atau remaja. Definisi berdasarkan usia adalah definisi

    teknis yang berbeda-beda berdasar pada konsep dan budaya yang melatar belakangi

    masyarakatnya. Sedangakan di Indonesia berdasarkan UU No. 40 Tahun 2009

    tentang Kepemudaan, pemuda adalah mereka yang dengan rentang usia 16-30 tahun.

    Berdasarkan pertimbangan konsep, karakter dan budaya masyarakat Indonesia,

    definisi teknis yang akan digunakan adalah definisi berdasarkan UU Kepemudaan.

    Informan inti adalah pasangan (suami isteri) dengan rentang usia 16-30 tahun, lebih

    lanjut yaitu pasangan yang menikah dengan didahului kehamilan tak diinginkan.

    Dengan kriteria informan tersebut, didapat empat pasangan atau delapan orang

    pemuda, empat orang laki-laki dan empat orang perempuan. Dalam proses

    pengerjaan penelitian ini, salah satu pasangan informan resmi bercerai, namun data

    yang didapat dari informan tersebut tetap dipakai dan memperkaya analisis pada bab

    IV.

    F.2. Lokasi Penelitian

    Berdasarkan data yang ada, jumlah kasus pernikahan dini secara keseluruhan

    sudah sangat tinggi. Kasus ini terjadi merata pada seluruh daerah, dan tidak hanya

    terbatas pada sisi geografis, tetapi juga merata secara sosial dan ekonomi, terjadi pada

    orang kaya dan miskin, status sosial tinggi dan rendah, serta tidak berdasar agama.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    28/34

    Lokasi penelitian ini berada di sebuah desa di Kabupaten Gunung Kidul, Dearah

    Istimewa Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara  purposive,

    yaitu suatu teknik penentuan lokasi penelitian secara sengaja berdasarkan atas

    pertimbangan-pertimbangan tertentu. Mengingat Gunung Kidul adalah sebagai salah

    satu tempat yang kaya budaya dan tradisi, serta sumber dari beberapa kesenian

    tradisional seperi  Jathilan dan Campur Sari. Tersohornya Gunung Kidul adalah

    karena sifat-sifat tradisional dan nilai-nilai luhur yang masih terjaga, akan tetapi seks

    bebas yang terjadi bertentangan dengan nilai luhur dan norma masyarakatnya. Hal ini

    tentunya akan mengikis budaya masyarakat Gunung Kidul yang senantiasa

    menjunjung sifat-sifat ketradisionalannya. Gunung Kidul dirasa cocok sebagai lokasi

    penelitian ini guna menyingkap masalah yang bertentangan dengan nilai luhur dan

    budaya Ketimurannya.

    Selain alasan-alasan tersebut diatas, pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan

    atas pertimbangan (1) data hasil Susenas Tahun 2009 dan 2010 dari Badan Pusat

    Statistik Provinsi DIY, Kabupaten Gunung Kidul tercatat sebagai daerah di

    Yogyakarta dengan jumlah kasus pernikahan dini terbanyak dan terus mengalami

    peningkatan ; (2) secara geografis, letaknya tidak terlalu jauh dari kota Yogyakarta

    sehingga tidak mengalami kesulitan untuk menjangkau wilayah tersebut ; (3) peneliti

    telah memiliki pengalaman tinggal bersama dengan masyarakat dan informan,

    sehingga secara empiris telah memiliki pengetahuan tentang kondisi sosialnya,

    sehingga memberi nilai tambah bagi interpretasi dan kemudahan dalam melakukan

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    29/34

    pengumpulan data ; (4) dalam satu desa dimana lokasi penelitian ini dipilih, hampir

    setiap tahunnya selalu terjadi kasus pernikahan yang didahului dengan kehamilan.

    F.3. Teknik Pengumpulan Data

    Untuk mendapatkan data mengenai pola interaksi remaja dialakukan observasi

    terhadap kehidupan informan. Kemudian, dilakukan wawancara untuk menggali

    kesadaran remaja tentang seks pranikah. Melaui metode tersebut tergambar makna

    yang disusun oleh subjek berdasarkan sudut pandang subjek itu sendiri, namun

    peneliti juga membuat penafsiran dengan menggunakan skema konseptual.

    a. Observasi atau Pengamatan Langsung

    Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk 

    mngehimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Observasi

    langsung telah dilakukan sejak sebelum penelitian dimulai, saat penelitian

    berlangsung dan sampai penelitian berakhir, terhitung sejak awal februari hingga

    akhir maret 2013. Bukti-bukti observasi bermanfaat untuk memberikan informasi

    tambahan untuk topik yang diteliti. Pengamatan langsung dilakukan dengan

    mengamati kegiatan warga masyarakat seperti kegiatan pertanian, keagamaan,

    pendidikan dan kegiatan sosialisasi masyarakat serta isu-isu yang berkembang terkait

    seks dan kehamilan tak diinginkan. Data umum yang diperoleh dari pengamatan

    langsung ini menjadi dasar bingkai besar kondisi dan posisi masyarakat.

    b. Wawancara Mendalam

    Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang menurut Maleong

    (1989;112) dimaksudkan untuk mengumpulkan data mengenai sikap, kelakuan,

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    30/34

    pengalaman, cita-cita dan harapan manusia seperti yang dikemukakan oleh informan

    atas pertanyaan peneliti. Wawancara mendalam dilakukan di rumah informan,

    wawancara secara langsung (bertatap muka) dengan informan menggunakan

    pedoman wawancara (interview guide). Untuk memperoleh data yang valid dan

    mendalam, sebelum wawancara terlabih dahulu melakukan perjanjian waktu kapan

    dilakukan untuk mendapat waktu luang informan agar bisa lebih leluasa dan tak 

    terburu-buru waktu. Kondisi yang dipilih adalah saat informan sedang sendiri atau

     jauh dari pengaruh orang lain agar merasa bebas dalam mengatakan sesuatu yang

    bersifat pribadi dan rahasisa. Selain itu ada syarat-syarat khusus yang diminta

    informan agar nyaman untuk diwawancarai seperti, menyamarkan nama dan alamat,

    tidak memberitahukan hasil wawancara pada orang lain yang dikenal, dan ada pula

    yang terus terang untuk meminta imbalan atas informasi yang diberikan. Dalam

    kondisi lain, syarat-syarat itu diajukan oleh peneliti sendiri untuk membujuk 

    informan agar mau diwawancarai. Lamanya wawancara bervariasi antara satu jam

    hingga dua jam, ada beberapa informan yang dilakukan wawancara sebanyak dua kali

    tergantung pada kecukupan informasi dan keterbukaan informan.

    Mengingat wawancara adalah pengumpulan data yang bersifat langsung, maka

    peneliti melakukan pencatatan dan pemilihan data yang diperlukan dan penting yang

    akan digunakan unutuk analisa. Selain itu dilakukan dokumentasi menggunakan alat

    rekam untuk memperolah data yang dapat disimpan dengan mudah dan menyeluruh,

    serta dapat ditelaah ulang agar lebih meyakinkan. Ini adalah salah satu teknik 

    pengumpulan data yang masuk dalam metode dokumentasi, rekaman suara yang

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    31/34

    masuk. Dalam hal dokumen, Bogdan dalam Sugiyono (2009;240) menyatakan “in

    most tradition of qualitative research, the phrase personal document is used broadly

    to refer to any first person narrative produced by an individual which describes his

    or her own actions, experience and belief”.

    c. Rekaman Arsip

    Rekaman arsip dalam penelitian ini adalah dengan memanfaatkan data-data hasil

    survey dan data sensus yang sebelumnya sudah terkumpul. Dalam hal ini adalah data

    mengenai kondisi ekonomi, pendidikan, sosial, dan agama yang diperoleh dari data

    yang dirilis BPS (Badan Pusata Statistik)  – Gunung Kidul Dalam Angka  – dan juga

    beberapa data dari BAPPEDA pada situs resminya.

    d. Observasi partisipan

    Observasi partisipan adalah suatu bentuk obsevasi khusus dimana peneliti tidak 

    hanya menjadi pengamat yang pasif melainan juga mengambil berbagai peran dalam

    situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang diteliti (Yin, 2012:

    114). Secara teori peneliti melakukan partial participation atau melakukan partisipasi

    pada beberapa kegiatan informan terkait dengan kasus yang mereka alami pada masa

    lalunya. Dalam praktiknya, peneliti menjadi bagian dari anggota masyarakat dan

    menjalin hubungan spesial dengan seorang pemuda, meski proses ini sudah berjalan

    sebelum penelitian, namun diperdalam selama satu bulan penelitian ini. Menjadi

    bagian dari anggota masyarakat karena memang telah menjadi membaur dan

    memiliki KTP disana. Dengan menjalin hubungan spesial dengan seseorang disana

    mendapatkan gambaran mengenai bagaiamana masyarakat menanggapi hubungan

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    32/34

    dua orang yang menjalin kasih. Merasakan secara langsung lemahnya kontrol sosial

    yang ada, serta merasakan dorongan-dorongan dari masyarakat untuk segera

    mengikatkan hubungan pada tingkat yang lebih serius (Nyeksekne). Selain itu

    peneliti juga tinggal bersama salah satu informan (Ranto) dan keluarganya dan ikut

    membantu kegiatan ekonomi keluarga sebagai petani, sehingga mendapatkan data

    lebih mengenai kehidupan petani dan buruh tani. Dikatakan Partial Obsrvation

    karena hubungan kasih yang dijalin dengan seorang warga disana tidak sampai pada

    tahap pernikahan yang didahului dengan kehamilan.

    Dengan menjadi warga dan ikut menjalani kegiatan hariannya serta bergaul

    dengan masyarakat mendapatkan berbagai argumen-argumen mengenai isu seks

    bebas pra nikah yang terjadi disana. Dari observasi ini pula mendapatkan informasi

    pelaku-pelaku lain sehingga mendapatkan informan sejumlah empat pasang atau

    delapan orang.

    F.4. Metode Analisis Data

    Analisis yang digunakan dalam penelitian studi kasus ini adalah dengan

    mendasarkan pada proposisi teoritis. Proposisi teoritis tersebut membentuk 

    pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka dan rencana pengumpulan data. Melalui

    proposisi tersebut pula yang membantu memfokuskan perhatian pada data tertentu

    dan mengabaikan data yang lain (Yin, 2012:136). Proposisi yang diambil dari teori

    interkasionisme simbolik adalah bahwa manusia dalam berperilaku itu didasarkan

    pada interpretasi simbol-simbol hasil dari interaksi, sedangkan keluarga adalah

    sumber simbol dan interaksi primer. Maka dalam kasus perilaku seks bebas pra nikah,

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    33/34

    data-data yang dikumpulkan adalah interaksi-interaksi yang terjadi dalam keluarga

    dan sekitar pelaku.

    a. Reduksi data

    Data-data yang telah terkumpul melalui berbagai teknik pengumpulan,

    kemudian direduksi atau memilah-milah data sesuai dengan focus penelitian

    yang telah ditentukan, yaitu data tentang interaksi pemuda dalam keluarga.

    Data-data yang muncul kemudian adalah mengenai sejarah perkawinan orang

    tua, pendidikan orangtua, ekonomi dan yang terpenting adalah pola asuh

    orang tua serta penanaman dan pendidikan agama, serta pendidikan seks.

    Selanjutnya adalah pemuda itu sendiri, data yang diambil adalah bagaimana

    perilaku-perilaku yang mengarah pada tindakan seks bebas seperti sejarah

    hubungannya dengan lawan jenis, bagaimana dan mengapa ia bisa sampai

    menjadi pelaku seks bebas beserta efek yang dirasakan. Data-data pribadi

    yang mendukung tentunya juga termasuk didalamnya.

    Pada perjalanannya, berbekal proposisi teoritis bahwa interpretasi dan

    pemaknaan akan suatu hal yang berpengaruh terhadap tindakan seseorang itu

    adalah proses yang terus berjalan dalam interaksi sepanjang hidupnya,

    sehingga membuat pencarian data yang lebih luas. Pencarian data dilakukan

    pada hubungan interaksi sosial pelaku di luar keluarga, yaitu pada Peer 

    Group.

  • 8/17/2019 S1-2013-267370-chapter1 (2)

    34/34

    b. Display data

    Data-data yang telah direduksi kemudian disajikan dalam bentuk 

    uraian singkat berwujud teks naratif yang tersaji pada Bab II dan sebagian

    Bab III yang sekaligus dianalisis disana.

    c. Analisis data

    Analisis data dilakukan dengan bentuk analisis penjodohan pola, yaitu

    dengan menganalisis pola-pola yang terjadi pada hubungan pola asuh,

    penanaman nilai agama dan pendidikan seks dengan perilaku pemuda. Dalam

    prosesnya, tidak diketemukan pola yang sesuai dengan proposisi teoritis

    antara keduanya (keluarga dan pemuda), terdapat pola namun bertentangan

    dengan proposisi teoritis yang digunakan. Analisis berikutnya pada interaksi

    pemuda diluar keluarga, dari delapan orang informan kemudian ditemukan

    pola yang lebih sesuai dengan teori yang digunakan sebagai penjelasan

    fenomena perilaku seks bebas pranikah. Dengan mendasarkan pada proposisi

    teoritis, telah membantu pengorganisasian keseluruhan studi kasus dan

    menetapkan alternatif jawaban yang disajikan dalam Bab III dan Bab IV.