s2-2013-309667-chapter5
DESCRIPTION
chapter 5 caseTRANSCRIPT
-
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Upaya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat diajukan
baik oleh individu ataupun oleh perusahaan dengan tujuan untuk
merestrukturisasi utang-utangnya melalui cara pengajuan rencana
perdamaian oleh Debitor kepada Para Kreditornya. Pengajuan rencana
perdamaian tersebut harus mendapatkan persetujuan kuorum dari Para
Kreditor sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU agar dapat
diimplementasikan menjadi perdamaian yang sah dan mengikat
restrukturisasi utang antara Debitor dan Para Kreditornya.
Proses PKPU yang dilaksanakan oleh PT. Mandala Airlines sudah
memenuhi ketentuan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam mensahkan rencana perdamaian
yang telah diajukan PT. Mandala Airlines telah memenuhi persyaratan
dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 281 Undang-Undang Kepailitan
dan PKPU tersebut.
Pengesahan Rencana Perdamaian PT. Mandala Airlines yang kemudian
mengikat menjadi Perjanjian Perdamaian dengan Para Kreditornya
-
89
tersebut meskipun telah memenuhi persyaratan dan ketentuan dalam
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, terlihat bahwa masih kurangnya
perlindungan yang diberikan oleh mekanisme restrukturisasi utang
dengan PKPU melalui Pengadilan Niaga terhadap Para Kreditor yang
memiliki tagihan kecil (para pemegang tiket, agen perjalanan, atau
supplier) karena berdasarkan kuorum yang telah terpenuhi secara
Undang-Undang, Para Kreditor tak terkecuali Kreditor Kecil harus
tunduk terhadap skema perdamaian yaitu konversi utang menjadi saham
yang telah terpenuhi secara formalitas tersebut, meskipun dapat saja
terdapat beberapa atau bahkan banyak Kreditor yang memiliki tagihan
kecil yang tidak menyetujuinya. Dilihat dari satu sisi, dapat dijelaskan
bahwa Para Kreditor yang memiliki jumlah tagihan yang kecil belum
tentu memahami peran dan fungsi mereka sebagai pemegang saham di
perseroan (Debitor). Apabila dilihat dari sisi lain (misalnya dari segi
bisnis), menjadi pemegang saham dari suatu perusahaan akan tetap
memiliki resiko, yaitu bisa saja perusahaan tersebut mengalami kerugian
sehingga para pemegang saham yang berasal dari konversi utang akan
semakin mengalami kerugian.
2. Alasan-alasan yang telah dikemukakan pada poin-poin sebelumnya
membuktikan bahwa Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Nomor 37
Tahun 2004 belum dapat secara optimal/maksimal memberikan manfaat
ataupun perlindungan terhadap Para Kreditor yang memiliki tagihan
kecil. Seharusnya terdapat batasan-batasan baik dalam Undang-Undang
-
90
Kepailitan dan PKPU maupun dalam peraturan lainnya mengenai
perlindungan terhadap Para Kreditor yang memiliki jumlah tagihan kecil
tersebut, misalnya khusus untuk utang kepada Para Kreditor yang
memiliki jumlah tagihan kecil, Debitor yang bersangkutan dapat
melakukan pembayaran cicilan utang tersebut dalam periode waktu
tertentu atau diberikan suatu masa grace period untuk Debitor melakukan
pembayaran kepada Para Kreditor yang dimaksud, atau kepada investor
baru yang menjadi pemegang saham pada Debitor menyelesaikan jumlah-
jumlah tagihan kecil yang seharusnya tidak perlu dikonversi menjadi
saham.
B. Saran
1. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Nomor 37 Tahun 2004 masih
memiliki kelemahan, khususnya yang terkait dengan PKPU sehingga
diperlukan adanya perangkat hukum lainnya untuk menunjang peraturan
perundang-undangan yang telah ada dan perangkat hukum tersebut dapat
memberikan perlindungan hukum bagi Para Kreditor yang memiliki
jumlah tagihan kecil yang tidak menyetujui adanya konversi tagihannya
tersebut menjadi saham.
2. Diperlukan adanya revisi atau penyempurnaan terhadap Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU Nomor 37 Tahun 2004 terutama untuk Bab yang
berkaitan dengan PKPU.