searchers to make constant innovation. unair scholars “all ... · dapat diatur sendiri sesuai ......

11
“All activities of education, research and community service by UNAIR academicians are aimed to give real contributions, to develop national development and improve social welfare,” Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, MT., SE., Ak., CMA., Rector of Universitas Airlangga Technology advancement in this modern era demands re- searchers to make constant innovation. UNAIR scholars have made breakthroughs and introduced applicative ideas to solve the problems in society. Explorations in Health and Medicine, Applied Technology or Humanity are continued constantly. e objective is to give major contributions to the society and face all the exist- ing challenges. Some of their research findings and creative ideas are highlighted in this second edition newsletter.

Upload: duongnhan

Post on 23-Apr-2018

226 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

“All activities of education, research and community service by UNAIR academicians are aimed to give real contributions, to develop national development and improve social welfare,”

Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, MT., SE., Ak., CMA., Rector of Universitas Airlangga

Technology advancement in this modern era demands re-searchers to make constant innovation. UNAIR scholars have made breakthroughs and introduced applicative ideas to solve the problems in society.Explorations in Health and Medicine, Applied Technology or Humanity are continued constantly. The objective is to give major contributions to the society and face all the exist-ing challenges. Some of their research findings and creative ideas are highlighted in this second edition newsletter.

Spesialis Bedah Digestif Buat Inovasi Aplikatif dari Tempurung Kelapa

Mengolah Teh yang Kaya Manfaat dan Berkhasiat Tinggi

Racik Kulit Manggis dan Kumis Kucing Menjadi Obat Diabetes dan Kolesterol

Gelorakan Semangat “Dentalpreneurship”

Gagas Progesteron Paper Strip Demi Swasembada Daging

CSR Bukan Sekadar “Sedekah”

Pengembangan Sensor Serat Optik Sebagai Sebuah Kebutuhan

Penguatan Mental Anak Sebagai Modal Menciptakan Generasi Berkualitas

Digestive Specialist Develops Applicative Innovation from Coconut Shell

Tea Innovation with Great Benefits and Efficacy

Exploiting Mangosteen Skins and Cat’s Whiskers To be Diabetes and Cholesterol Medicine

Inciting the Spirit of “Dentalpreneurship”

Introducing Progesteron Paper Strip to Achieve National Meat Self-Sufficiency

CSR Is Not Merely “Charity”

Optical Fiber Sensor Development as a Necessity

Child Mental Reinforcement as Asset to Create Competent Generation

Dr. Vicky S Budipramana, SpB., KbD

Prof. Dr. H. Djoko Agus Purwanto, Apt., M.Si.

Prof. Dr. Sukardiman, Apt., MS

Dr. R. Darmawan Setijanto, drg., M.Kes

Prof. Dr. I Komang Wiarsa Sardjana drh.

Prof. Dr. Mustain Mashud, Drs., M.Si

Prof. Dr. Moh. Yasin M.Si

Dr. Dewi Retno Suminar, M.Si, Psikolog.

0311

13

15

17

05

07

09

TABLE OF CONTENTDAFTAR ISI

Dr. Vicky S Budipramana, SpB., KbD

Education1. Universitas Airlangga Undergraduate

program2. General Surgery Specialist program

Universitas Airlangga 3. Digestive Surgery Specialist program

Universitas Indonesia4. Universitas Airlangga Doctoral program

Medical Education

1. Laparascopy Surgery2. Abdominal Surgery3. Pathology Surgery

Dokter spesialis divisi bedah digestif Dr. Vicky S Budipramana, SpB., KbD, bukan ha­nya sosok yang giat mengajar mahasiswa atau memeriksa pasien. Lebih dari itu, dia adalah seorang peneliti yang tak henti menciptakan inovasi aplikatif bagi masyarakat.

Kali ini, dia mengkreasikan tempurung kelapa untuk digunakan sebagai skin barrier (penampung cairan) bagi pasien kanker kolos­tomi. Skin barrier ini dijamin aman, murah, dan memiliki nilai plus dibandingkan produk pabrikan.

Vicky menjelaskan, penanganan kanker kolostomi selalu bermuara pada tindakan operasi pengangkatan benjolan. Setelah ope­rasi pengangkatan kanker, bagian usus yang masih tersisa tidak bisa langsung disambung begitu saja. Solusinya, bagian usus dikeluar­kan dari dalam perut sementara waktu selama proses pemulihan.

“Nah, selama itu pula proses pengeluaran cairan ekskreta berlangsung di luar perut. Kondisi ini ternyata menyisakan persoalan baru. Pada kasus yang sering ditemui, seringkali pasien mengalami peradangan hebat di permukaan kulit disekitar perutnya,” kata peneliti di Depar­temen Ilmu Bedah Fakultas Kedok­teran Universitas Air­langga/RSUD Dr. Soetomo tersebut.

Hal itu terjadi karena mereka tidak meng­gunakan penampung cairan ekskreta yang tepat. Akibatnya, setiap kali keluar dari usus, cairan tidak tertampung dengan baik. Seba­gaimana diketahui, cairan ekskreta bersifat alkali, sedangkan permukaan kulit sifatnya asam. Kulit yang sering berkontak dengan cairan ekskreta akan mengakibatkan kerusa­kan pada pelindung kulit. Akibatnya terjadi peradangan.

Apalagi, mayoritas pasien datang dalam kondisi memprihatinkan. Mereka mengeluh kesakitan karena kulitnya lecet dan meradang. Malah saking perihnya, ada yang kemudian meninggal. Bukan karena penyakit, tapi ka­rena tidak mampu menahan rasa sakit akibat luka sepsis.

Tentu untuk mencapai kesembuhan, harus diupayakan kondisi kulit tetap kering. Dengan begitu setelah dinyatakan pulih, maka bisa segera dilakukan operasi penyambungan usus. Namun, selama kondisi kulit belum membaik,

maka operasi penyambungan usus belum bisa dilakukan.

Bertolak dari persoalan ini, dia berupaya mencari solusi. Setelah melalui sejumlah penelitian, dia mencetuskan terobosan baru. Yakni, pembuatan skin barrier dengan konsep sederhana dan harga terjangkau. Sebab, tak sedikit pasien penyakit ini yang berasal dari keluarga kurang mampu di bidang finansial.

Untuk mendapatkan skin barrier yang sem­purna, bentuk tempurung kelapa disesuaikan sehingga permukaan cembung tempurung dapat ditempelkan pada kulit peristoma dan ujung (stump) usus menonjol (protrusi) mela­lui lubang tempurung yang terletak di bagian sentral. Sementara itu, bentuk tempurung kelapa secara alamiah sudah cekung sehingga bentuknya sesuai dengan skin barrier. Yang menarik, bahan alami dari temuan ini juga memiliki daya serap yang tinggi.

Sudah barang tentu, alat ini dileng­kapi sabuk yang melingkar pada pinggang.

Sehingga, fungsinya bisa lebih optimal. Kekencangan sabuk

dapat diatur sendiri sesuai kenyamanan penderita. Lingkaran sabuk dapat diatur seperti halnya orang memakai ikat pinggang.

Dia menjelaskan, skin barrier dari batok kelapa

memiliki daya serap tinggi. Semakin sering digunakan,

maka daya serapnya semakin tinggi. Hal ini karena penggunaan yang

sering membuat pori­pori tempurung makin lama makin lebar.“Kuman usus memiliki en­zim celulase, sedangkan batok adalah selulose. Selulose pada tempurung kelapa akan dima­kan oleh enzim celulase sehingga semakin lama pori­pori tempurung semakin melebar. Ini yang membuat tempurung memiliki daya serap makin tinggi. Tapi jangan sampai tertutup kerak. Harus dibersihkan agar tidak sampai ada kerak. Karena kerak akan meng­ganggu proses penyerapan,” jelasnya.

Spesifikasi batok kelapa yang digunakan pun harus batok kelapa tua karena sudah memiliki kemampuan daya serap. Berbeda dengan batok kelapa muda yang masih banyak mengandung air sehingga sulit menyerap air. (*)

Spesialis Bedah Digestif Buat Inovasi Aplikatif dari Tempurung Kelapa

Awalnya, skin barrier tempurung kepala buatan Vicky diproduksi sendiri lalu diberikan kepada pasien secara cuma­cuma. Pertim ba­ngannya, batok kelapa bisa didapatkan secara

Ekonomis

• Medical & Health

gratis dari pasar. Sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan secara terus menerus. Sebab, saat ini Vicky harus lebih dulu membeli kelapa utuh. Satu batok bisa dibuat jadi empat sampai lima produk.

“Pasien cukup mengganti ongkos pembua­tan dan bahannya saja, murah tidak lebih dari lima ribu rupiah,” jelasnya.

Meski demikian, murah bukan berarti diminati banyak orang. Dia mengakui, tidak semua pasiennya mau menggunakan skin bar­rier batok kelapa. Jika pasien tersebut mampu, maka mereka lebih memilih menggunakan colostomy bag.

“Penggunaan batok kelapa memang spesifik untuk pasien kurang mampu dan tinggal di daerah periferi. Bayangkan, kalau mereka harus membeli yang mahal, satu kantong untuk penggunaan 3­4 hari saja, dikalikan Rp 80 ribu. Sebulan sudah habis berapa biayanya? Apalagi mereka orang desa, mau beli di mana? Karena persediaan colostomy bag hanya ada di perkotaan,” kata dia.

Lain halnya dengan batok kelapa. Selain ba­hannya mudah didapat, batok kelapa ternyata memiliki kemampuan daya serap yang tinggi dan perawatannya mudah. Jika kantong stoma sudah penuh dengan cairan ekskreta, batok kelapa bisa dilepas dan dicuci.

Sisa kerak yang menempel di permukaan batok bisa disikat sampai bersih, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 jam atau dioven 130 derajat selama 20 menit. Setelah itu dapat digunakan kembali. (*)

Suko Widodo, Eduardus Bimo Aksono, Rio F. Rachman, Faridah Hariani, Sefya H. Istighfarica, Andi Pramono, Alifian Sukma

© Pusat Informasi & Humas Universitas Airlangga

EDITORIAL TEAM

2 • Newsletter Universitas Airlangga | 2017 3Newsletter Universitas Airlangga | 2017 •

the absorption process,” he explained.The coconut shells used as skin barriers

should be the old ones due to its excellent absorption rate. Shells from young coconut con-tain a lot of water so they are difficult to absorp the water. (*)

A specialist from Digestive Surgery Division, Dr. Vicky S Budipramana, dr., SpB., KbD., is not only a figure who teaches students or exam-ines patients. More than that, he is a researcher who never stops introducing applicative innova-tions for the society.

This time, he created a skin barrier for the colostomy patients from the coconut shell. This skin barrier is guaranteed to be safe, inexpensive and better than the manufactured counterpart.

Vicky explained, bowel cancer treatment always comes down to a surgery removing the lump. After the cancer surgically removed, the remaining part of the intestines cannot be directly connected. As a solution, a part of the intestines is diverted to an artificial opening in the abdominal wall for the recovery process.

“So, during the recovery, excreta discharge process takes place outside the abdomen. This condition causes new problems. In cases we often encountered, patients often experienced severe inflammation on the surface of the skin around their stomach, “ said the researcher of Department of Surgery, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga / Dr. Soetomo General Hospital.

It happens because they do not use proper excreta liquid container. As a result, every time it is discharged out of the intestines, the liquid cannot be properly contained. As we all know, excreta liquid is alkaline, while the skin surface is alkaline in nature. Skin which makes contact with excreta liquid will damage the skin protec-tor and inflammation happens.

The majority of patients came in poor condi-tion. They were in pain because of the skin

blisters and inflammation. In fact, there were patients died because of the pain. Not because of his illness, but because they cannot withstand the pain of sepsis.

To heal, the skin should remain dry. After they are recovered, intestinal surgery grafting can be done. However, as long as the skin condi-tion has not improved, intestinal surgery cannot be performed.

For these problems, he tried to find a solu-tion. After some researches, he made a break-through. He developed a skin barrier with a simple method and affordable price as there are a lot of patients with limited financial resources.

To get a perfect skin barrier, the shape of the coconut shell is adjusted so the convex shell can be attached to the peristome and the stump of the protrusion go through the shell hole in the center. On the other hand, the convex natural shape of coconut shell is suitable shape for skin barrier. Interestingly, the material use for this innovation also has great absorption rate.

This skin barrier is equipped with elastic strap going round the hip, so it can function more optimal. The tightness can be set to the patients’ preferences to give comfort. It can be adjusted like a belt by the patient.

He said that coconut shells are highly absorbent. The more often it is used, the better absorption rate it has because frequent use makes the shell pores even wider. “Intestine germs have cellulase enzyme, while the coconut shell is cellulose. Cellulose in the coconut shell is consumed by cellulase enzyme so the pores of the shell widen. It makes the shell highly absor-bent but it should not be covered with crust. It should always be cleaned as crusts will disturb

At first, Vicky made the coconut shell skin bar-rier himself and gave it free of charge to his pa-tients. He thought that coconut shell is available in the market freely. But he cannot give them free now because he has to buy a whole coconut to get the shell. One coconut can be four to five products.

“The patient just need to pay for the produc-tion and material, it’s cheap, no more than five thousand rupiah,” he explained.

However, being cheap doesn’t mean people are looking for it. He admitted that not all of his patients were willing to use skin barrier from co-conut shell. If the patient was wealthy, he or she preferred to use colostomy bag.

“Coconut shell products are especially for pen-niless patients and live in periphery areas. Just imagine, if they have to buy the expensive one, one bag for 3-4 day usage times Rp 80 thousand. How much do they have to spend for a month? Not to mention they are villagers, where can they buy it? Colostomy bags are only available in town,” he explained.

Coconut shells are different. Besides easy to get, coconut shells are highly absorbent and easy to maintain. When the stoma bag is already full with excretion fluid, the coconut shell can be re-moved and washed.

The remaining crust on the surface of the shell can be brushed, then dried under the sun for 7 hours or microwaved at 130 degrees temperature for 20 minutes. After that it can be reused. (*)

Economic

Digestive Specialist Develops Applicative Innovation from Coconut Shell

Innovation made by dr. Vicky which has more benefits. (Photo: UNAIR NEWS)

Salah satu pakar farmasi dan obat herbal yang berasal dari Universitas Airlangga (UNAIR) adalah Prof. Dr. Sukardiman, Apt., MS. Dia telah banyak melakukan penelitian panjang tentang tumbuh­tumbuhan berkha­siat di Indonesia. Salah satu yang saat ini tengah digagas untuk dapat diproduksi secara massal dan dipasarkan dengan bebas adalah ramuan ekstrak kulit manggis dan kumis kucing. Manfaat ramuan yang dimaksud ada dua. Yakni, sebagai obat herbal antidiabetes (penurun kadar gula) dan antikolesterol yang merusak.

Guru Besar Farmasi itu mengungkap­kan, setidaknya ada tiga pendekatan untuk mencari khasiat obat pada tanaman. Pertama, melakukan full screening pada semua tumbu­han. Dari situ, dapat terlihat, tumbuhan yang satu berkhasiat apa, sedangkan tumbuhan yang lain, berkhasiat apa. Kedua, melakukan pemetaan berdasarkan “keluarga” tanaman. Misalnya, bila satu tanaman memiliki kand­ungan yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, bisa jadi, tanaman lain yang berasal dari “keluarga” yang sama memiliki kandungan yang sama.

Sedangkan yang ketiga, dan inilah yang dilakukan oleh Sukardiman selama ini, dengan cara etnofar­masi. Yakni, melakukan pemetaan berdasarkan data empirik yang ada di masyarakat. Tepatnya, dari kebi­asaan masyarakat di Indonesia, yang diwariskan secara turun­temurun, terkait khasiat tanaman tertentu untuk obat penyakit tertentu. “Bangsa Indonesia mesti bersyukur. Kekayaan dan kearifan lokal di negeri ini sudah membuat para leluhur gampang mendapatkan obat alami. Obat­obat tradisional itu yang bisa kita nikmati khasi­atnya hingga sekarang,” papar dia.

Khazanah alam yang begitu melimpah di Nusantara juga berpotensi membuat negara ini unggul di bidang obat­obatan herbal. Tak ayal, saat ini Kementerian Kesehatan lagi gencar­gencarnya menjalankan program kemandirian pengadaan bahan baku obat dan bahan baku obat tradisional. Meski memang, birokrasi untuk menuju ke arah swasembada itu juga perlu dibenahi.

Sukardiman mengatakan, sudah sepan­tasnya, izin produksi obat herbal terstandar melalui proses yang panjang. Namun, tidak pas juga bila birokrasi dibuat berbelit. Apalagi, bila SDM yang berada di balik produk obat

herbal itu adalah mereka yang sudah terbukti memiliki integritas dan komitmen bagi kema­juan bangsa. Di sisi lain, pengawasan terhadap promosi obat herbal juga harus dibuat propor­sional. Selama ini, ada banyak pihak yang be­bas melakukan promosi obat herbal di televisi, padahal kompetensi yang bersangkutan masih dipertanyakan. “Saya pernah lihat, ada satu obat tetes yang bisa menyembuh banyak sekali penyakit. Saya heran, itu logikanya di mana? Apakah kandungannya memang tercukupi? Apakah penelitiannya sudah melalui banyak proses?” papar dia.

Sebab, saat membuat obat herbal, ada tiga aspek yang harus diperhatikan. Pertama, kual­itas bahan baku yang terstandar. Hal ini terkait pula dengan penelitian yang komprehensif tentang bahan baku tersebut. Tak terkecuali, di mana lokasi bahan baku itu diambil. Kedua, jaminan produk yang aman bagi kesehatan. Hubungannya dengan dosis dan berapa lama produk dapat dikonsumsi. Ketiga, khasiat dari obat herbal itu sendiri. Untuk melihat khasiat,

harus melalui tahapan pengujian yang tidak pendek.

Maka itu, pemerintah harus turun tangan untuk menga­

wasi obat­obat herbal yang ada di pasaran

dan dipromosikan dengan gencar di media massa. Sebab, ini terkait standar kha­

siat dan keamanan masyarakat. Selain melaku­

kan eksteraksi kulit manggis dan kumis

kucing, Sukardiman juga telah melakukan riset tumbuh­

tumbuhan yang lain. Dia mencetuskan banyak produk yang aplikatif bagi masyarakat. Antara lain, membuat obat kanker dari sambiloto, obat kanker dari kencur, obat diabetes dari sambiloto dan mahoni, obat pegal linu dari kencur, dan peningkat stamina dari kencur.

Sukardiman optimistis, bangsa Indonesia dapat menjadi mendiri di bidang obat­obatan. Asalkan, ada koordinasi yang baik antar instansi plat merah yang mengurusi segala hal terkait. Pemerintah pun mesti mendukung program riset unggulan dari dosen ataupun peneliti yang dilakukan dengan serius dan cermat.

Sukardiman adalah salah satu dosen Fakultas Farmasi yang memiliki catatan cemerlang. Dia adalah Guru Besar Termuda Fakultas Farmasi pada 2008. Pria kelahiran Kebumen ini tercatat sebagai anggota reviewer

Prof. Dr. Sukardiman, Apt., MS

Born : Kebumen, January 9, 1963E­mail : [email protected]

Field of Expertise1. Pharmacognocy

Research Focus1. Pharmacognosy2. Pharmacology3. Toxicology and Pharmaceutics4. Biochemistry5. Genetics and Molecular Biology6. Natural Product Chemistry and

Biological Science

Racik Kulit Manggis dan Kumis Kucing Menjadi Obat Diabetes dan Kolesterol

penelitian DIKTI sejak 2010, dan Penelitian Binfarkes Kemenkes RI sejak 2013. Selain itu, dia juga menjadi Anggota Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sejak tahun 2010 dan Anggota Bidang Obat Bahan Alam dari Koligeum Ilmu Farmasi Indonesia (KIFI) pada tahun 2016. Di sela kesibukannya, dia produktif menghasil­kan buku dan menorehkan paten.

Prestasi yang sudah banyak dia raih, sudah dimulai sejak dahulu. Misalnya, pada 1999, Sukardiman mendapatkan penghargaan “Young Investigator Award” dari Perhimpunan Dokter Ahli Mikrosirkulasi Asia. Selain itu, dia juga ditetapkan sebagai Penyaji Terbaik Hasil Penelitian Ilmu Penelitian Dasar (IPD) oleh DIKTI pada 2004. (*)

• Medical & Health Medical & Health •

4 • Newsletter Universitas Airlangga | 2017 5Newsletter Universitas Airlangga | 2017 •

Produk daging sapi lokal tercatat belum bisa mencukupi kebutuhan nasional. Hingga saat ini, kebutuhan akan sumber protein hewani tersebut masih didukung oleh produk impor. Tentu saja, kondisi ini cukup mem­prihatinkan. Terlebih secara faktual, sumber daya alam nusantara sejatinya sanggup untuk memberi suasana maupun nutrisi yang baik untuk pengembangbiakkan sapi.

Di sisi lain, fenomena tersebut mem­bangkitkan semangat anak bangsa untuk bercita­cita menjadi produsen sapi unggul. Baik secara kulitas, maupun secara kuantitas. Indonesia harus bisa menjadi produsen sapi yang mampu menjadi penyedia kebutuhan nasional. Bahkan, menjadi pengekspor daging sapi. Dengan demikian, harga sapi di dalam negeri tidak lagi mahal, dan ketersediannya pun tidak lagi langka.

Bertolak dari kondisi dan semangat di atas, Prof. Dr. I Komang Wiarsa Sardjana drh., melakukan sejumlah penelitian. Harapan­nya, penelitian itu menjadi penopang atau pendukung cita­cita swasembada daging sapi. Setelah melalui banyak telaah akademik, dia sampai pada satu perspektif. Yakni, salah satu cara agar Indonesia bisa sukses menjadi produsen daging yang unggul adalah peng­etahuan tentang kebuntingan sapi sejak dini. Maksudnya, semakin cepat sapi diketahui bunting atau tidak, semakin baik bagi upaya pengembang­biakkan sapi tersebut.

Umumnya, mayoritas peternak sapi di Indonesia masih memiliki pola pikir konvensional. Setelah sapi dikawinkan, baik melalui perkawinan alami ataupun ensiminasi buatan, mereka akan menunggu berbulan­bulan untuk mengetahui kepastian kondisi kebuntingan melalui kasat mata fisik betina. Bahkan, ada yang menunggu hingga sembilan bulan sepuluh hari! Karena, masa kehamilan sapi memang di rentang itu, sama seperti manusia. Kalau selama sembilan sepuluh hari tidak melahirkan, berarti perkawinan yang dulu itu gagal. Lantas, baru dikawinkan lagi.

“Tapi ini kan membuang waktu. Coba kalau sejak sedini mungkin sudah diketahui betina itu hamil atau tidak, tindakan lanjutan bisa segera diambil. Tidak usah menunggu sampai sembilan bulan” papar dia.

Berawal dari pemahaman itu, Komang mulai berpikir cara mengetahui kebuntingan

sejak dini. Dia pun terinspirasi dengan adanya paperstrip tes kehamilan pada manusia. Ber­sama rekannya dari Fakultas Kedokteran, dia melakukan penelitian panjang tentang pem­buatan paperstrip tes kebuntingan khusus bagi sapi. Yang kemudian dikenal dengan sebutan: Progesteron Paperstrip. Tentu saja, dari segi teknis ada sejumlah perbedaan dengan paper­strip yang dikhususkan bagi manusia.

Paperstrip pada manusia, dicelupkan pada urine. Nah, pada sapi perah, paperstrip diceupkan pada air susu. Sedangkan pada sapi pedaging, dicelupkan pada darah yang diambil dari ekor atau leher. “Pengetesan pada sapi dilaksanakan setelah 21 hari dari momen perkawinan,” kata dia.

Bila diketahui sapi belum hamil, perkaw­inan bisa segera dilaksanakan ulang. Tidak perlu menunggu sampai berbulan­bulan. Sedangkan jika sapi tersebut ternyata memang hamil, nutrisi yang diberikan pada betina tersebut harus terus mendapat perhatian. Dengan demikian, janinnya kuat dan sehat sampai masa melahirkan.

Salah satu problem nasional dari pola pengembangbiakkan sapi adalah pola pikir

yang masih tradisional. Yang tidak memperkenankan teknologi

menyentuh upaya peternakan. Atau bisa jadi, terdapat

kebuntuan atau ketidak­merataan informasi dan

teknologi. Maka itu, perlu peran aktif

pemerintah untuk memecahkan persoalan ini.

Bila peme­rintah serius

ingin menyelesaikn persoalan ketersedi­

aan daging sapi, eksekutif wajib melakukan pemerataan teknologi di bidang peternakan sapi. Lantas, memberikan informasi tentang manfaat dan peranannya dalam kesuksesan beternak. Paling tidak, penggunaan teknologi sederhana yang digagas Komang, dengan tujuan mengetahui kondisi kebuntingan sapi sejak dini.

Sebab, ada banyak manfaat turunan yang diperoleh bila peternak sukses mengaplikasi­kan ide tersebut di lapangan. Yang jelas, pekerjaan yang mereka lakukan bakal lebih efektif dan efisien. Sentuhan modernisasi merupakan suatu keniscayaan, bila bangsa ini ingin memiliki industri daging sapi semaju Australia, Selandia Baru, atau negara Eropa lainnya. Sejauh ini, problem terlampau laman­ya selang kelahiran dan kecilnya peluang ke­butingan adalah persoalan fundamental para

Prof. Dr. I Komang Wiarsa Sardjana drh.

Born : Jembrana Bali, March 13, 1951

Education1. Veterinary Medicine, Faculty of

Veterinary Medicine Universitas Airlangga

2. DEA Physiologie Animale Ap­pliquee, Universite de Rennees I France

3. Doctor Biologie Reproduction / Science Agronomic, Universite de Rennees I France.

Gagas Progesteron Paper Strip Demi Swasembada Daging

peternak. Terlebih, bagi mereka yang selama ini melaksanakan kerjanya secara tradisional.

Bangsa Indonesia pasti ingin mandiri di segala bidang. termasuk, di ranah peternakan. Di era erba canggih seperti sekarang ini, peng­gunaan teknologi sudah tidak dapat diabai­kan. Semua pihak mesti sadar akan hal ini. sementara pemerintah, harus giat untuk me­nerapkan optimalisasi teknologi di segala lini kehidupan masyarakat. Khususnya, di aspek­aspek yang menyangkut dengan pergerakan roda ekonomi kerakyatan dan kesejahteraan sosial. “Sebagai akademisi, saya siap melaku­kan riset aplikatif. Salah satu yang sudah saya hasilkan, inovasi Progesteron Paper Strip ini,” papar Komang. (*)

Medical & Health • • Science

One of the pharmacy and herbal medicine experts from Universitas Airlangga (UNAIR) is Prof. Dr. Sukardiman, Apt., MS. He has done lots of long researches about quality herbs in Indonesia. One of them, which is now being initiated to be mass produced and sold freely is mangosteen skins and cat’s whiskers extract concoction. There are two advantages of the concoction: as an anti-diabetes herbal medi-cine (to reduce blood sugar) and anti-harmful cholesterol.

The Professor of Pharmacy explains, at least there are three approaches to find a specific quality in a plant. Firstly, by performing full screening to all plants. By doing this, one will know which plant cures what. Secondly, by mapping plants based on their “family”. For ex-ample, if one plant has a certain quality to cure a certain disease, then other plants of the same family might have the same quality.

The last, which Sukardiman has been doing so far, by way of ethnopharmacy, that is, a way of mapping based on empiric data from society. To be precise, based on Indonesian people’s habit, which is passed down from generation to generation about a certain quality plant to cure a certain disease. “Indonesia must be thankful to God. Local assets and wisdom have made our ancestors found cures for diseases easily. The quality traditional medicines are there for us to enjoy up to this day,” he explained.

The abundant natural assets in Indonesia are also potential to make the country excels in the field of herbal medicine. It is not surprising that Health Ministry these days are vehemently executing the program of independent raw material and traditional medicine raw material

procurement. Even though, improvement in bureaucracy aspects is also mandatory.

Sukardiman said, herbal medicine produc-tion permit must be standardized through a long process. But bureaucracy must not be made complicated either, especially if the people behind the herbal medicine production have been proven to be full of integrity and commit-ted to the nation’s advancement. On the other hand, supervision towards herbal medicine promotion must also be proportional. Recently, many kinds of people promote herbal medicine on TV, while at the same time their competence is questionable. “Once I saw a drop medicine which cures so many diseases. I was wonder-ing, do they even have logic? Does this medicine have enough ingredients? Have the manufactur-er done multiple researches and gone through various process?” he questioned.

The reason is, when producing herbal medi-cine, there are three aspects to pay attention to. First, the quality of standardized ingredients, comprehensive research on the ingredients, and where the ingredients are from. Second, the product is guaranteed safe for health. This has to do with the dosage and how long the product can be consumed. Third, the quality of the herbal medicine itself. To witness its quality, long trial stages must be done.

Thus, the government must participate in su-pervising herbal medicines found in the market and which is promoted fiercely in mass media. This has to do with the quality standard and public safety.

Besides extracting mangosteen skins and cat’s whiskers, Sukardiman has also done researches

to other plants. He has proposed many ap-plicative products for people in general, such as composing cancer medication from paniculata (sambiloto), cancer medication from lesser galingale (kencur), diabetes medication from sambiloto and mahogany, sore medication from kencur, and stamina booster from kencur.

Sukardiman is optimistic that Indonesia will become independent in medicine sector as long as there is excellent coordination among relevant institutions. The government must sup-port high-ranking research programs by serious and accurate lecturers or researchers.

Sukardiman is one of the bright lecturers from the Faculty of Pharmacy. He was the Faculty of Pharmacy’s youngest professor in 2008. The man born in Kebumen has been a member of DIKTI research reviewer since 2010, and Indonesian Health Minister’s Health Pharmaceutical Instrument and Development Research since 2013. He is also a member of In-donesian Pharmacist League – Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) since 2010 and was a member of Natural Medicine Ingredients Sector from Indonesia Pharmaceutical Collegium – Koli-geum Ilmu Farmasi Indonesia (KIFI) in 2016. Although he was very busy, he productively authored books and got patents.

He has won many achievements. For ex-ample, in 1999, Sukardiman won the “Young Investigator Award” from the Asian Microcir-culation Specialists. He was also declared Best Presenter of Basic Research Discipline’s Research Result (IPD) from DIKTI in 2004. (*)

Exploiting Mangosteen Skins and Cat’s Whiskers To be Diabetes and Cholesterol Medicine

Some herbal products developed by Prof. Sukardiman (Photo: UNAIR NEWS)

6 • Newsletter Universitas Airlangga | 2017 7Newsletter Universitas Airlangga | 2017 •

Science •

Local beef products have proven to be un-able to fulfill national needs. Up to now, the need of the animal protein is still supported by imported products. This condition is worrisome. Especially when in facts, Indonesia natural re-sources are able to create good atmosphere and nutrition to breed cows.

On the other hand, the phenomenon has aroused the nation’s citizens’ interest of becom-ing quality cow producers. In terms of quantity as well as quality, Indonesia has to be able to breed cows and capable of supplying national need and better yet, exporting beef. This way, domestic beef price will no longer be expensive and abundant in supplies.

In this regard, based on above condition and spirit, Prof. Dr. I Komang Wiarsa Sardjana drh. has done a number of researches. He hoped the researches would support or hold up national beef self-sufficiency. After conducting a lot of academic researches, he came to a perspec-tive: one way for Indonesia to be successful in becoming a quality beef producer is by knowing a cow’s pregnancy as early as possible. Mean-ing, the sooner a cow breeder knoww whether the cows are pregnant, the better the chance to breed it.

Generally, the majority of Indonesian cow breeders have conventional mindset. As soon as a cow is mated, whether through natural mating or artificial insemination, they have to wait months to be able to see physically whether a female cow is pregnant. One even has to wait

nine months ten days! A cow’s pregnancy period is indeed that long, similar to a human being. If during that period a female cow doesn’t bear a calf, then that means the mating has failed. The cow is then re-mated.

“It is a waste of time. Imagine if we are able to know its pregnancy as soon as possible, the next step can be taken immediately. We don’t have to wait for nine months” he explained.

Starting from this concept, Komang thought about how to identify the cow’s pregnancy early on. He was inspired by pregnancy test paper-strip used in human. With his colleagues from the Faculty of Medicine, he researched for a long time about pregnancy test paperstrip for cows, which is later on known as Progesteron Paper-strip. Technically, there are some differences from paperstrip for human.

In human, paperstrip is dipped into urine. In dairy cows, paperstrip is dipped into the milk. In beef cattle, it is dipped in blood taken from its tail or neck. “This test is carried out after 21 days of mating season,” he said.

Once a breeder knows a cow has not been pregnant, re-mating can be performed without having to wait for months. If the cow is preg-nant, the cow breeder must pay special atten-tion to its nutrition. This way, its embryo will be strong and healthy until its time to bear a calf.

One of the problems in cow breeding is the traditional mindset which rejects technology to step into the breeding process. Or maybe there is

an information and technology gap or block. In this case, the government’s role is mandatory in solving the problem.

If the government wants to really solve the beef availability problem, they must supply technology equality in cow breeding sector. They then have to inform the breeders about technol-ogy’s advantages and roles in breeding success. At least, the usage of simple technique invented by Komang is to know a cow’s pregnancy early on.

There are many side-advantages derived once the breeders successfully apply the idea. Clearly, their job will be much more effective and ef-ficient. Modernization touch is a must, if this nation wants to have beef industry as modern as Australia, New Zealand or other European countries. So far, the length of birth period and the low chance of pregnancy have become fun-damental problems for cow breeders. Especially for those who work traditionally.

Indonesia certainly wants to be independ-ent in all sectors, including cattle breeding. In this sophisticated era, technology utilization cannot be ignored. All elements must realize this. The government has to perform technology optimization in all aspects of their citizen’s lines especially, in the economic aspects and social welfare. “As an academician, I’m ready to do applicative research. One of my products is the Progesteron Paper Strip innovation,” explained Komang. (*)

Introducing Progesteron Paper Strip to Achieve National Meat Self-Sufficiency

FKH UNAIR always make innovations to optimize animal husbandry (Photo: UNAIR NEWS)

• Science

Pengembangan teknologi di bidang Sensor Serat Optik (SSO) merupakan sebuah kenis­cayaan bagi Indonesia. Teknologi tersebut aplikatif dan diperlukan untuk banyak kebu­tuhan fundamental sehari­hari. Yang selama ini, dicukupkan oleh produk impor.

Basis SSO diwujudkan dalam bentuk laser yang bisa digunakan untuk kebutuhan medis, analisis bahan kimia, dan kebutuhan fisika terapan. Melalui sinar laser yang melakukan scan terhadap getaran di objek yang “ditem­bak”, bisa dideteksi kondisi di lokasi tersebut. Contoh gamblangnya, terdapat teknologi laser yang dapat mendeteksi detak jantung. Bisa pula diperoleh info tentang kandungan bahan kimia pada larutan atau zat yang “ditembak”. Demikian juga, bisa diketahui kondisi pada satu lokasi yang tempatnya tersembunyi dan hanya bisa ditembus dengan sinar laser.

Penggunaan sinar laser memiliki sejum­lah keunggulan dibanding metode lainnya. Antara lain, non contact atau tanpa kontak langsung pada objek, non­listrik, dan lebih fleksibel karena ringan sekaligus efektif.

Salah satu pakar UNAIR yang mendalami bidang ini adalah Prof. Dr. Moh. Yasin, M.Si., Guru Besar dalam bidang Ilmu Fisika Optik pada Fakultas Sains dan Teknologi (FST). “Ada banyak alat di sekitar kita, yang nyaris semuanya impor. Padahal, sering kita pakai. Maka itu, Indonesia mesti punya fokus pada pengembangan teknologi ini, supaya bisa mandiri. Tidak hanya menjadi pasar pihak asing,” ungkap Yasin saat ditemui di ruang kerjanya pertengahan Mei lalu.

Alat yang dimaksud antara lain, lensa kamera, alat kedokteran dan kesehatan yang digunakan untuk mendeteksi kondisi organ dalam, mikroskop dan lain­lain. Lelaki yang kerap menjadi reviewer buku atau jurnal ilmiah internasional itu mengatakan, demi mewujudkan cita­cita swasembada tersebut, semua elemen masyarakat mesti berkolaborasi. Yang dimaksud antara lain, akademisi, pengusaha atau swasta, pemerin­tah, dan komunitas atau masyarakat.

Disampaikan oleh Yasin, Fisika Optik merupakan cabang Ilmu Fisika yang mem­pelajari tentang pembangkitan radiasi elektro­magnetik, sifat radiasi, dan interaksi cahaya dengan bahan. Interaksi cahaya dengan bahan ini dapat terjadi berdasarkan atas fenomena

optis seperti pantulan, pembiasan, transmisi, dan hamburan.

SSO merupakan bagian dari sensor optik adalah sensor yang menggunakan serat optik sebagai unsur pengindera perubahan fisis yayang akan terjadi. Intinya, ada cahaya laser ditembakkan ke suatu media dan dipantulkan. Nah, pantulan itulah yang dimodifikasi dan uraikan informasinya.

Kendati metode yang diungkapkan Prof. Yasin terbilang sederhana, namun banyak peralatan yang menggunakan metode serupa yang kemudian dibanderol dengan harga yang mahal. Bahkan, ada sebuah produk yang harganya sampai Rp 5 miliar.

Terkait metode yang telah dijelaskan tadi, Gubes yang pernah meraih penghargaan sebagai sivitas dengan Publikasi Terbanyak di UNAIR tahun 2015 ini tengah membuat se­buah prototype dengan piranti SSO. Prototype ini diharapkan dapat membantu bidang medis dan industri. Bahkan, ia berharap pada tahun 2020 nanti sudah berhasil membuat sistem SSO sebagai fundamental yang kuat dalam penguasaan teknologi SSO untuk aplikasi di bidang medis dan industri.

Menurut Yasin, teknologi SSO ini memiliki beragam keunggulan,

baik bidang medis maupun industri. Dalam bidang

industri, SSO dapat dimanfaatkan untuk banyak aplikasi

seperti suhu, getaran, tekanan, regangan, arus

listrik dan lainnya.“Salah satu keunggulan

di bidang medis adalah bisa sebagai aplikasi deteksi dini

kanker payudara. Bisa juga digunakan sebagai pengukur detak jantung,” jelasnya. (*)

Pengembangan Sensor Serat Optik Sebagai Sebuah Kebutuhan

Prof. Dr. Moh. Yasin M.Si

Born : Mojokerto, 12 Maret 1967E­mail : [email protected]

Field of Expertise:1. Optical Fiber Censor

internasional Emerald Publisher pada kategori Highly Recommended Paper Award pada 2013. Ia menduduki peringkat kedua dari 40 artikel yang ditulis penulis di seluruh dunia.

Pada 2007, Yasin mengembangkan aplikasi sensor pergeseran serap optic. Penelitian ini ia kembangkan dan sudah menghasilkan banyak publikasi. Yasin pun mendapatkan Hibah Kompetensi di bidang Serat Optik. Penelitian ini berjudul “Aplikasi Sensor Mikro Pergeser­an Dengan Menggunakan Serat Optik Bundel 1000 RF untuk Deteksi Kalsium”.

Agar aplikasi tersebut mempunyai optimal­isasi kinerja yang tinggi, Yasin akan mening­katkan stabilitas sensor dan juga meningkat­kan sensitifitas dengan teknik penyirnergian panjang gelombang sumber cahaya laser. (*)

Prof. Yasin kerap menuliskan publikasi ilmiah di beberapa jurnal internasional. Sejak 2008 hingga 2016, setidaknya sudah 49 artikel ilmiah yang membahas mengenai Sensor Serat Optik (SSO) sudah ditulisnya di jurnal terindeks Scopus. Karena kontribusinya, baru­baru ini ia tercatat di dalam 146 Sosok Panu­tan Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan, menurut situs www.indonesia2045.com. Dia menduduki peringkat 63.

Pada 2015, dia mendapat penghargaan publikasi terbanyak dan unggul di Universitas Airlangga. Prestasi gemilang lain yang ditore­hkan Yasin ialah penghargaan dari penerbit

Kaya prestasi

8 • Newsletter Universitas Airlangga | 2017 9Newsletter Universitas Airlangga | 2017 •

UNAIR tak pernah miskin terobosan. Termasuk, di bidang obat atau bahan­bahan herbal. Salah satu peneliti di ranah herbal ada­lah Prof. Dr. H. Djoko Agus Purwanto, Apt., M.Si. Pria ini merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Kimia Farma Fakultas Farmasi yang telah melakukan penelitian selama sembilan belas tahun, dengan daun teh hijau sebagai objek penelitian. Bidang keilmuan Djoko menyangkut analisis senyawa atau obat­obatan dan makanan/minuman serta bahan yang digunakan lain.

Setelah belasan tahun dan ratusan kali me­neliti ektsaksi daun teh hijau, akhirnya, pada 2015, lelaki ini me­launching hasil produk risetnya yang diberi nama Medi Tea. Medi Tea dikemas sebagai minuman kesehatan dalam bentuk serbuk yang diolah secara kimia farmasi. Aman dan baik. Sehingga, berkhasiat untuk menyembuhkan beragam penyakit pada masyarakat.

Medi Tea olahan Djoko bukan minuman teh biasa. Serbuk Medi Tea merupakan ek­straksi daun teh hijau yang berkhasiat tinggi. Dari tingginya kadar ektraksi tersebut, pen­yakit Kanker, Diabetes, tekanan darah tinggi, HIV/AIDS, Hepatitis bahkan Osteophorosis dapat disembuhkan. Sampai saat ini, sudah puluhan ribu boks kemasan Medi Tea telah tersebar dan dikonsumsi oleh pasien Djoko. Bahkan, Djoko sampai harus mengirim raci­kan tehnya tersebut ke Australia, Amerika dan Hongkong karena pesanan memang berasal dari lintas negara.

“Karena ini ekstrak, tentu bakal lebih prak­tis dikonsumsi. Secara takara kecil, namun di aspek kandungan, sangat berkhasiat,” kata dia.

Produk hasil risetnya ini berawal semenjak Djoko mengerjakan disertasi S3 di Program Pascasarjana UNAIR pada 1998. Bahkan sam­pai saat ini, walaupun produk Medi Tea sudah sangat berkhasiat, anak bimbing Djoko masih

melanjutkan penelitian terhadap produk kesehatan tersebut.

Penggunaan teh hijau sebagai bahan utama, karena memiliki sifat antioksidan 100

kali lipat dari antioksidan yang dimiliki oleh vitamin C. Selama

ini, vitamin C dengan dosis tinggi saja sudah mampu menghambat kanker. Maka itu, ada harapan bagi produk Medi Tea menjadi pengobatan yang lebih baik. Selain kadar an­tioksidan yang tinggi, Medi Tea juga menyaji­kan kenyamanan bagi mereka yang mengon­sumsinya. Sehingga, dapat dikonsumsi dalam jangka panjang, tidak seperti mengonsumsi obat­obatan yang terkadang membuat pasien bosan karena terlalu sering.

Memang, tak ada perbedaan berarti antara teh hijau dengan variasi teh lainnya. Hanya saja, kandungan EGCG (Epigallocatechin gallate) yang ada pada daun teh hijau paling tinggi dibandingkan varian teh lain. Terkait kandungan kafein yang umumnya menyebab­kan lambung perih, Djoko sudah mengurangi kadarnya dalam ekstraksi Medi Tea. Saat ini, sudah ada bermacam testimoni yang diterima langsung oleh Djoko. Penderita kanker pay­udara, diabetes, bahkan hepatitis, dinyatakan sembuh setelah berangsur mengonsumsi produk hasil penelitiannya. “Untuk menda­patkan hasil maksimal, teh ini setidaknya perlu dikonsumsi lebih dari tiga gelas sehari,” kata dia.

Setidaknya, ada empat mekanisme kerja teh ini. Pertama, menguatkan sistem imun tubuh. Kedua, melalui optimalisasi antioksidan yang berkhasiat bagi tubuh. Ketiga, melalui opti­malisasi antiangiogenesis. Keempat, melaku­kan blocking dari dalam terhadap metastasis sel kanker tersebut.

Secara prinsip, Indonesia memiliki banyak tanaman dan bahan herbal yang bermanfaat bagi kesehatan. Semua itu dapat dimaksi­malkan untuk pencegahan penyakit maupun pengobatan. Yang terpenting adalah adanya peran aktif semua elemen masyarakat. Baik akademisi, pengusaha yang bersedia mem­

produksi dan mendistribusikan obat herbal tadi, dan pemerintah selaku regulator. Di samping itu, dukungan publik untuk mem­promosikan dan menggunakan produk dalam negeri berbasis alam tentu menjadi salah satu kunci sukses pula.(*)

Technological development of Optical Fiber Sensor is inevitable. It is an applicative and fundamental technology on daily basis of our life. All this time, we imported products with this technology.

The Optical Fiber Sensor is actualized in a laser form potential for medical treatment, chemical analysis and applied physics necessity. The laser beam can scan the vibration of the targeted object so the condition can be detected. The real example shown from a laser technol-ogy which can detect heart beats. It can also be used to identify the chemicals contained in the liquid or substance targeted. It is also capable of scanning location which can be only penetrated by the laser beam.

The use of laser brings more advantages compared to other method as it is non contact method, non-electrical and more flexible be-cause of its lightness and effectiveness.

One of the experts of UNAIR who studies this field is Prof. Dr. Moh. Yasin, M.Si., a Professor of Optical Physics from Faculty of Science and Technology (FST). “There are a lot of devices around us and most of them are imported when we often use them. Therefore, Indonesia should focus on developing this technology so we can be independent. Not only be the market for other countries,” said Yasin in his office in the middle of May.

Those devices are camera lenses, medical equipment to detect internal organs’ condition, microscopes and many other devices. The man who often reviews books and scientific journals said that to achieve this independent aspiration, all elements of society must collaborate. They are academicians, businessmen or private par-

ties, government, and the communities.Yasin said that that Optical Physics is the

branch of Physics which studies of the genera-tion of electromagnetic radiation, the properties of that radiation, and the interaction of that radiation with matter. This interaction is based on optical phenomena such as reflection, refrac-tion, transmission and dispersion.

Optical fiber sensor (SSO) is a part of optical sensor which uses optical fiber as the sensor for physical changes happening. The point is, there is a laser shot to a medium and reflected. The reflection is modified and the information is dispersed.

Even though the method explained by Prof. Yasin is simple, there are devices invented with the same method and sold expensive. A product even priced at Rp 5 billion.

Regarding the method explained previously, the Professor who won a award as the acad-emician with the most publications in UNAIR in 2015 is currently developing a prototype with SSO device. This prototype is expected to develop medical and industrial fields. He even hoped that in 2020 there will be an SSO system as an important foundation in developing SSO technology for medical and industrial applica-tion.

According to Prof. Yasin, SSO technology brings a lot of advantages either for medical field or industry. In industrial field, SSO can be used for a lot of applications such as tempera-ture, vibration, pressure, straining, electricity and other uses.

“One of its uses in medical field is to detect breast cancer early on. It can also be used to measure the heart rate,” he said. (*)

Optical Fiber Sensor Development as a Necessity

Prof. Yasin has made scientific publications in some international journals. From 2008 to 2016, there are at least 49 scientific articles fo-cused on Optical Fiber Sensor (SSO) published in Scopus indexed journal. For his excellent contributions, he was just appointed in 146 Role Model Figure in Science development based on the website www.indonesia2045.com. He was at the 63rd rank.

In 2015, he was awarded for the most and excellent publications in Universitas Airlangga. He has been awarded by international publish-ing company, Emerald Publisher for Highly Recommended Paper Award category in 2013. He was ranked second from the 40 articles writ-ten by authors around the world.

In 2007, Yasin developed optical fiber shifting sensor application. The research is being de-veloped and he has written more publications. Yasin also got Competition Grants on Optic Fiber. The research was titled “Application of Micro Sensor Shifting with 1000 Optical Pack-age to detect Calsium.

To improve the application so it achieves high performance optimization, Prof. Yasin will improve the sensor stability and improve sensitivity on the laser through laser wavelength synergy of the whitelight. (*)

Great Achievements

Science • • Science

Mengolah Teh yang Kaya Manfaat dan Berkhasiat Tinggi

Prof. Dr. H. Djoko Agus Purwanto, Apt., M.Si.

Born : Surabaya, 5 Agustus 1959

Field of Expertise1. Pharmaceutical Chemistry

Education 1. UNAIR Pharmacy Undergraduate

Program 1978­19852. UNAIR Apothecary Profession

Program 1985­19863. UNAIR Master Program

1991­19944. UNAIR Doctoral Program

1994­2000

Associations1. Traditional Medicine Development

Commission, UNAIR Research and Community Service Institute.

2. REVIEWER of International Journal of Food Sciences and Nutrition, Manuscript No. ID CIJF­2008­0285

Product1. Medi Tea, Green Tea Leaves Extract,

2015

Here are some international books edited by Prof. Yasin (Photo: UNAIR NEWS)

10 • Newsletter Universitas Airlangga | 2017 11Newsletter Universitas Airlangga | 2017 •

Dekan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Dr. R. Darmawan Setijanto, drg., M.Kes selalu berupaya membentuk pribadi tahan bant­ing untuk para mahasiswanya. Maka itu, mereka harus punya jiwa entrepreneur atau kewirausahaan. Oleh karena ranahnya adalah kedokteran gigi, bisa pula diistilahkan dengan “dentalpreneurship”.

Pria yang lulus pendidikan kedokteran gigi pada 1986 ini menyatakan, mental seorang entrepreneur adalah mutlak dimiliki seorang dokter gigi. Selain dua karakter lain: berin­tegritas dan profesional. “Jadi, saya ini sedang gethol menebarkan semangat IPE. Integritas, Profesional, dan Entrepreneurship,” kata Dar­mawan saat ditemui di ruang kerjanya.

Dia menyatakan, mental entre­preneurship itu tidak melulu soal berjualan. Meski memang, salah satu bentuknya adalah berdagang. Sebab, aktifitas itu paling bisa diukur secara matematis.

Dilanjutkan lelaki asal Madiun ini, entrepreneurship sejatinya mental tahan banting atau tangguh. Gampangnya, mereka yang menjiwai semangat ini, tidak akan pernah menyerah. Kalau ada masalah di hadapan­nya, dia akan berbe­lok atau menembus celah penghalang, sampai men­emukan jalan agar cita­citanya tercapai. laksana air yang terus mengalir dan memiliki kekuatan atau daya do­brak. Meski lemah lembut, tapi punya prinsip hidup.

Dalam banyak kesempatan, dia menularkan paradigma penguatan nilai IPE pada para mahasiswa. Juga, pada para dosen dan tenaga kependidikan di lingkun­gan FKG UNAIR. Sistem kinerja di fakultas yang dipimpinnya, dibuat sedemikian rupa sehingga menumbuhkan iklim yang penuh integritas, profesionalisme, dan bersemangat entrepreneurship.

Darmawan mengatakan, dirinya ter­golong dekat dengan mahasiswa. Termasuk, dengan Badan Eksekutif Mahasiswa di level fakultas. Salah satu bentuk dukungannya terhadap para mahasiswa, terkait peningkatan kualitas soft skill mereka, adalah mengawal segala kegiatan agar lebih bernilai.

“Misalnya, mereka diberi anggaran tahunan seratus tiga puluh juta rupiah. Nah, kegia­tan mereka nanti seharusnya bernilai tujuh ratus juta rupiah atau semiliar rupiah. Dalam

wujud, sponsorship atau kolaborasi kegiatan dengan pihak luar. Kemampuan bekerjasama dengan pihak lain itu kan merupakan latihan untuk mengasah jiwa entrepreneurship,” kata Darmawan.

Dia juga menegaskan, karir seorang mahasiswa sejatinya dimulai saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus. Bukan setelah lulus. Maksudnya, pembentukkan karakter yang siap dan sigap untuk bekerja atau meng­abdi pada masyarakat mesti dilakukan sedini mungkin. Akan sangat terlambat, bila baru dilaksanakan tatkala mereka memakai toga.

Dosen yang menamatkan kuliah program magister pada 1994 ini mengung­kapkan, saat melakukan research training di Jepang sekitar 1999­2000 silam, dia melihat ada pola di negeri Sakura, yang layak dijadi­kan referensi di dalam negeri. Yakni, terkait dengan etos kerja orang­orang Jepang yang berkomitmen dan tangkas.

Juga, sehubungan dengan kemampuan mengelola kemampuan di bidang

kedokteran gigi. Tak terkec­uali, keahlian klinik­klinik

memromosikan jasa perawatan gigi. Meski

demikian, yang ter­penting tetaplah kualitas keilmuan yang ada di sana. Nah, elemen­ele­men yang dijelaskan tadi, bila disinergi­

kan dengan rapi dan konsisten oleh lulusan

kedokteran gigi di tanah air, pastilah SDM

bangsa ini dapat bersaing di ranah global.

Khususnya, bagi para alumnus di FKG UNAIR. Sebab, fakultas ini telah memi­liki banyak jejaring internasional yang pasti dapat menjadi media penambah wawasan bagi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan yang ada. Sudah banyak kampus­kampus dari Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan Ma­laysia, yang menjalin hubungan baik dengan fakultas ini. Model kerjasamanya beraneka rupa. Mulai dari student exchange, staff exchange, lecturer exchange, kolaborasi riset, dan kegiatan akademik lainnya.

“Sivitas akademika bisa belajar dari mana saja. Termasuk, dari narasumber asing di luar negeri. Tujuannya, meningkatkan kualitas dan wawasan internasional,” papar dia.

Sementara itu, selain aktif men­jadi Dekan, Darmawan juga dikenal sebagai peneliti yang memiliki banyak publikasi. Baik di jurnal terakreditasi nasional, maupun be­

Gelorakan Semangat “Dentalpreneurship”

Dr. R. Darmawan Setijanto, drg., M.Kes

Born : Madiun, 5 Oktober 1961E­mail : [email protected]

Field of Expertise1. Public Dental Health2. Dental and Oral Disease Prevention

Research Focus 1. Oral epidemiology2. Measurement of oral diseases3. Quality of life4. Social inequalities5. Surveillance in oral health

reputasi internasional. Penelitian yang sudah dipublikasikan itu di antaranya “Prevalence of a Second Canal in the Mesiobuccal Root of Permanent Maxiliary First Molars from an Indonesian Population” pada tahun 2011, dan “Hubungan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dengan Karies pada Pengunjung Poli Gigi Puskesmas Kenjeran” pada tahun 2013,

Juga, “The Toddlers Caries in Urban and Rural Area” pada tahun 2014, “Hubungan Karies dengan Status Gizi pada Balita Usia 4 – 5 tahun di Kota Mojokerto” tahun 2014, dan “Hubungan Tingkat Keparahan Karies dengan Status Gizi pada Anak Umur 6 – 12 tahun” tahun 2015.

Darmawan juga aktif dalam berbagai asosiasi. Darmawan pernah aktif sebagai ang­gota Persatuan Dokter Gigi Indonesia cabang Surabaya pada tahun 1988 – 2015. Pada tahun 2004 – 2008, Darmawan tercatat sebagai Pen­gurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Pada tahun 2015, Darmawan tergabung dalam Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia. Pada tahun 2015 sampai sekarang, Darmawan tercatat aktif sebagai anggota Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia. (*)

• HumanioraScience •

Universitas Airlangga has never stops making breakthroughs includ­ing in medicine or herbal medicine. One of its researchers in herbal medicine is Prof. Dr. H. Djoko Agus Purwanto, Apt., M.Si. He is the Professor of Pharmaceutical Chemistry who has conducted research on green tea leaves for nineteen years. His field of expertise is about analysis of compounds, drugs, food and other materials.

After years of research studying green tea leave extract, in 2015 he succeeded in launching his research product called Medi Tea. Medi Tea is a health drink powder produced with a pharmaceutical chemistry process. It is safe and good for health with great efficacy to cure various illnesses in society.

Medi Tea developed by Djoko is not like usual healthy tea products. Powder of Medi Tea is the extract of green tea leaves with great efficacy. Its high concentration extract restores health of Cancer, Diabetes, hypertension, HIV/AIDS, Hepatitis and Osteoporosis patients. To date, thousands of Medi Tea boxes are distributed and consumed by Djoko’s patients. He has even received orders and distributed his tea product internationally to Australia, America and Hongkong.

“Because it is an extract, it is more practical for consumption. It is small in dosage but its benefits are great,” he said.

His research started when he was working on his doctoral disserta­tion in 1998. Now, even though the product has already shown great efficacy, his apprentices are carrying on his research on green tea leaves.

Green tea as the main material has 100 times stronger antioxidant level than the vitamin C. Great dosage of vitamin C has been able to suppress cancer growth. Therefore, Medi Tea is hoped to provide a bet­ter medication. Besides its high antioxidant level, Medi Tea also gives comfort to the consumers so it is better for a long­term consumption compared to other medication.

In comparison to other kinds of tea, green tea has greater EGCG (Epigallocatechin gallate). The content of caffeine of the tea which often causes stomach pain has been reduced by Djoko from Medi Tea Extract. Various testimonies have been given directly to Djoko. Patients of breast cancer, diabetes even hepatitis were healed after consuming the product. “To get the best results, this tea should be consumed more than three glasses a day,” he said.

The tea works through four mechanisms. First, it strengthens the immune system. Second, it employs effective anti­oxidant optimization. Third, there is antiangiogenesis optimization. Fourth, it blocks cancer cell metastasis from the inside.

Indonesia has a lot of plants and herbal materials with great benefits for health. They can be used for medication as preventive measure or treatments. The most important is the involvement of elements of the society, such as academicians, industrials which produce and distribute the herbal product and the government as the regulator. Furthermore, the public supports to promote and use the domestic products based on nature will also be the key of success.(*)

Tea Innovation with Great Benefits and Efficacy

Tea product created by Prof. Djoko Agus (Photo : UNAIR NEWS)

12 • Newsletter Universitas Airlangga | 2017 13Newsletter Universitas Airlangga | 2017 •

• HumanioraHumaniora •

The Dean of Faculty of Dental Medicine(FKG) Dr. R. Darmawan Setijanto, drg., M.Kes has always made efforts to instill resilient character in his students. He believes that they must have entrepreneurial spirit. Therefore, as the context is dental medicine, it can be termed as “dentalpreneurship”.

The man graduated from dental medicine institution in 1986 said that the trait of an entrepreneur is a must have for every dentist besides integrity and professionalism. “So, I am currently trying to incite the spirit of IPE, In-tegrity, Professionalism and Entrepreneurship,” stated Darmawan in his office.

He said that entrepreneurship is not always about selling. It is indeed one of the forms of entrepreneurship and it is most notice-able because it is the easiest to be measured mathematically.

The man from Madiun continued that entrepreneurship is actually the spirit of re-silience or toughness. It is the spirit of persever-ance. If he faces a problem ahead, he will make a turn or break through the obstructing wall, until he finds the way to achieve his aspiration. Like water which keeps flowing, it has power or gushing force and even it flows softly, it has a life principle.

On many occasions, he shares his IPE values’ improvement paradigm not only to stu-dents but also to lecturers and educational staffs in FKG UNAIR. Work system in his faculty is managed well so it creates favorable climate full of integrity, professionalism and entrepreneur-ship.

Darmawan said that he is quite close with the students, including with Student Executive Board (BEM) of his faculty. One of

his supports to students regarding the improve-ment of their soft skill is by making sure that all activities have great value of meaning.

“For example, they are given one hundred and thirty million rupiah. Their activities later on must worth seven hundred million rupiah or a billion rupiah. They can be from sponsorship or third party collaboration. This collaborating skill is a practice to hone their entrepreneurship skill,” said Darmawan.

He also emphasized that the students’ career is actually started from the first time they stepped on campus, not after their graduation. It means that the character building to make them ready to work and serve the community should be done early on. It will be too late if it is started when they are graduated.

The lecturer who finished his master program in 1994 said that when he was con-ducting a research training in Japan around 1999-2000, he noticed a pattern from Japan, which can be our reference. It is related to the Japanese work ethics, committed and skillful.

It is also related to their ability in manage-ment especially in dental medicine as well as their clinical expertise to promote dental care service. However, the most important thing is still their scientific quality. Those explained ele-ments, if they can be applied through excellent and consistent synergy by all dental medicine graduates in the country, our human resources will be able to compete at global level.

Especially for alumni of FKG UNAIR, the faculty has established many international network which can be a medium for students, lecturers and educational staff to gain more knowledge. There are universities from Japan, China, South Korea and Malaysia which have

established good relations with the faculty. The model of partnership can be various, from student exchange, staff exchange, lecturer exchange, research collaboration and other academic activities.

“Academicians can study anywhere, including form the native speaker abroad. The objective is to improve quality and international insight,” he said.

Meanwhile, besides being a Dean, Darmawan is also known as research who has made a lot of publications, either in national accredited journals or international reputable journals. Some of the publications were on “Prevalence of a Second Canal in the Mesiobuc-cal Root of Permanent Maxillary First Molars from an Indonesian Population” in 2011, and “The correlation of Dental Health Maintenance with Caries from Dental clinic of Puskesmas Kenjeran” in 2013.

There was also “The Toddlers Caries in Urban and Rural Area” in 2014, “Correlation of Caries and Nutritional Status from 4-5 year old Babies in Mojokerto,” in 2014 and “Correlation of Caries Severity rate with Nutritional Status from 6-12 years of child in 2015.

Darmawan is also active in various as-sociations. He used to be in Indonesian Dentist Association of Surabaya from 1988 – 2015. In 2004-2008, Darmawan is a member of Indonesian Dentist Association Central Com-mittee. In 2015, Darmawan became a member of Indonesian Dental Medicine Collegium. Since 2015, Darmawan has been an active member of Indonesian Dental Medicine Faculty Associa-tion. (*)

Inciting the Spirit of “Dentalpreneurship”Dental Medicine exploration has great potential. (Photo: FKG Public Relations)

Semua perusahaan sudah selayaknya menyediakan slot anggaran untuk program Corporate Social Responsibility (CSR). Terle­bih, bila perusahaan itu berhubungan dengan penggalian potensi sumber daya alam. Dana CSR umumnya diberikan pada masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut menjalankan usaha.

Selama ini, sudah banyak perusahaan yang menyalurkan CSR dalam jumlah besar. Namun pertanyaannya, apakah gelontoran uang tersebut tepat sasaran dan benar­benar berdampak positif secara simultan? Untuk menjawab pertanyaan itu, bisa dilihat dari kondisi para penerima CSR selama ini. Apa­kah mereka mengalami pemberdayaan secara kontinu. Khususnya, di aspek sosial, ekonomi, dan pemeliharaan lingkungan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR Prof. Dr. Mustain Mashud, Drs., M.Si menyatakan, ada banyak hal yang mesti disiapkan sebuah perusahaan sebelum menjalankan usahanya. Apalagi, bila usaha itu secara khusus berhubungan dengan pengelolaan atau penggalian sumber daya alam. Biasanya, perusahaan melakukan analasia mengenai dampak terhadap lingkun­gan. Termasuk di dalamnya, analisa terhadap polusi yang mungkin terjadi, lalu lintas yang bisa jadi tambah padat di area usaha, dan lain seba­gainya.

Meski demikian, ada yang jauh lebih penting. Yakni, analisa pen­erimaan masyarakat pada keberadaan perusahaan tersebut. Kalau problem yang bukan manusia, pasti ada treatment penanggulangannya yang sudah baku. Namun, bila masalah yang muncul bersumber dari dampak gesekan dengan masyarakat, formula yang digunakan untuk mengatasi masalah ini pun pasti berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lain.

Penerimaan masyarakat ini juga memiliki hubungan dengan penyaluran dana CSR. Sebab, penerima dana CSR itu, harus diutam­akan berasal dari masyarakat sekitar tempat usaha. Maka itu, sedari awal, harus ada ko­munikasi antara perusahaan dan masyarakat setempat. Di dalamnya, dibahas pula tentang pengaplikasian program CSR.

Perusahaan harus melakukan pemetaan menyeluruh tentang kondisi, kebutuhan, dan potensi masyarakat. Sehingga, program CSR bisa dijalankan secara tepat sasaran. “CSR itu

bukan sekadar pemberian uang untuk keg­iatan sosial atau sedekah, bangun jembatan, atau bantuan dana untuk acara di kelura­han. Lebih dari itu, CSR harus dialokasikan untuk program yang bisa memberdayakan masyarakat,” kata dosen Sosiologi tersebut.

Harus ada telaah mendalam yang ekstra detail dari perusahaan. Pihak perusahaan tidak boleh malas untuk melakukan ini. Ke­butuhan masyarakat harus dipetakan, lantas ditanya pada masyarakat itu secara langsung terkait apa yang mereka butuhkan. Setelah itu, ajak elemen masyarakat atau tokoh setempat merumuskan program bersama.

Misalnya, di kawasan itu potrensi batik, maka harus ada pelatihan batik yang meli­batkan pihak berkompeten. Selain disiapkan sarana dan prasarananya, disediakan pula modalnya. Demikian pula, bila di daerah tersebut potensinya adalah beternak ayam. Maka, mesti disiapkan apa saja yang diperlu­kan agar masyarakat dapat terus berkarya dan berjalan roda ekonominya di bidang ternak tersebut.

“Para akademisi atau peneliti bisa berperan sebagai pihak yang mengawal proses pem­etaan ini. Nanti, ikut pula dalam melakukan evaluasi,” ungkap Musta’in.

Dengan demikian, lambat laun, ekonomi rakyat dapat ber­

daya dan makin kuat. Bisa jadi, pada satu waktu,

program itu sudah tidak mendapat ban­tuan CSR lagi. Ka­rena, kalau sudah mandiri dan ber­daya, masyarakat pasti sudah tidak butuh bantuan di

bidang itu. Lantas, dana CSR yang ada

bisa digunakan untuk kebutuhan lain yang

perlu dikembangkan. Kalau konsep dasar yang

digunakan perusahaan sejak awal berbasis kondisi, kebutuhan, potensi, modal sosial, dan jaringan masyarakat yang bersifat lokalitas semacam itu, secara umum, warga pasti dengan senang hati menerima perusa­haan tersebut. Lebih dari itu, CSR juga memi­liki manfaat kongkret. “CSR idealnya menjadi investasi produktif. Bukan yang dipakai habis, dipakai habis,” ungkap profesor kelahiran Tulungagung tersebut. . Problemnya, tidak semua perusahaan mengacu pada standar ideal itu. Bahkan, kata Musta’in, dia pernah melakukan pengamatan pada sebuah kabupaten yang punya banyak perusahaan. Di sana, nyaris semua pola CSR di sana hanyalah

CSR Bukan Sekadar “Sedekah”

Prof. Dr. Mustain Mashud, Drs., M.Si

Born : Tulungagung, January 20, 1960

Field of Expertise1. Development Sociology2. Corporate Social Responsibility 3. Community Development

berbentuk hibah atau bantuan yang sifatnya langsung habis.

Imbasnya, tidak ada pendidikan, pembela­jaran, dan pemberdayaan yang meningkatkan kualitas warga setempat. Apa yang dibutuhkan warga, hanya ditanyakan oleh perusahaan melalui Camat atau Lurah. Hasilnya, tidak ada interaksi intensif yang berkesinambungan antara perusahaan dan masyarakat akar rum­put. Transformasi masyarakat utuk menjadi kekuatan yang lebih baik tidak bisa terwujud secara komprehensif.

Padahal, bila CSR dikelola dengan standar ideal secara cermat, akuntabilitasnya pun tetap terjaga. tidak ada pihak­pihak yang be­rani melakukan penyelewengan dana. Sebab, semua masyarakat dilibatkan. Semua warga turut mengontrol.

Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Sosiologi UNAIR ini meya­kini program CSR yang ditawarkan perusa­haan swasta di Indonesia bisa membangun masyarakat yang mandiri. Program CSR pun harus didasari dengan pendekatan pember­dayaan masyarakat (community develop­ment). Melalui pendekatan tersebut, program CSR diharapkan mengembangkan masyarakat berdasarkan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Kesejahteraan sosial dan penguatan ekonomi dapat terwujud. (*)

14 • Newsletter Universitas Airlangga | 2017 15Newsletter Universitas Airlangga | 2017 •

Anak­anak adalah calon generasi penerus bangsa. Mereka harus dididik dengan baik dan benar. Jangan dibiarkan manja, karena imbasnya adalah kehilangan mental kemandi­rian.

Semua orang tua pasti menyayangi anaknya. Bahkan, ingin selalu bersama buah hati untuk secara langsung menjaga dan melindungi. Meski demikian, orang tua harus bijak dengan tidak over protective. Sebab, sikap itu justru menjerumuskan dan membuat anak kurang bermental pemberani.

Sebagai contoh, tatkala anak sudah mengin­jak usia SD. Orang tua tidak perlu menunggui mereka di luar pagar sekolah. Tindakan ini seolah­olah menunjukkan rasa tidak percaya dengan sekolah. Padahal, sekolah seharusnya sudah mendapat kepercayaan penuh dari wali siswa. Maka itu, sejak awal semestinya orang tua telah memilih sekolah yang diyakini baik.

Pakar Psikologi UNAIR Dr. Dewi Retno Suminar, MSi., Psikolog, mengatakan, di sejumlah kota besar, sikap over protective ini masih terlihat. Dia menuturkan, orang tua

kadang campur tangan terhadap siapa guru yang mengajar siswa. Pernah, di suatu kota, terdapat mutasi guru besar­besaran, orang tua protes. Karena orang tua menganggap, guru yang selama ini mengajari anaknya sudah mapan dan baik.

Padahal, pergantian guru sebenarnya mem­buat wawasan anak bertambah. Para siswa jadi belajar bertemu orang­orang baru. Kalau memang orang tersebut pada awalnya kurang sesuai dengan mereka, anak­anak itu pun se­cara alamiah dapat belajar menyesuaikan diri.

Di masyarakat, anak tidak bisa memilih untuk hanya bersosialisasi dengan orang­orang tertentu. Maka itu, anak harus siap bila suatu saat berjumpa dengan orang­orang yang tidak diduga. Nah, pelajaran untuk beradap­tasi dengan orang baru itu bisa dimulai sejak di sekolah.

“Kalau anak tidak bisa beradaptasi untuk hal yang fundamental seperti ini, dia sangat mungkin menghadapi persoalan di masa datang,” ungkap Dewi. (*)

Penguatan Mental Anak Sebagai Modal Menciptakan Generasi Berkualitas

Di samping soal penguatan mental kemandirian, anak juga mesti diajari untuk menjadi sosok yang disiplin. Orang tua dapat melatih kedisiplinan anak dengan konsep rea­soning, atau pemberian alasan. Maksudnya, setiap mengingatkan pentingnya suatu peker­jaan, orang tua mesti menjelaskan mengapa anak mesti melakukannya.

Sebagai contoh, saat orang tua menyuruh anak beribadah, dijelaskan pula alasan­nya. Sebagai misal, karena beribadah dapat mendekatkan diri pada Tuhan Yang Mahaesa. Mengapa anak harus belajar, karena itu adalah pangkal kesuksesan di masa datang. Mengapa anak harus bangun pagi, karena itu membuat tubuh lebih segar dan siap melakukan aktifitas sepanjang hari.

Jadi, orang tua tidak hanya asal perintah. Namun, mesti memberi pengertian pada anak. Dengan demikian, anak tahu efek positif dari apa yang mereka kerjakan. Bila sudah memahami manfaatnya, otomatis anak akan lebih bersemangat untuk melakoni. Anak akan mengerjakannya tanpa disuruh.

Di bagian ini, kemampuan berkomunikasi orang tua berperan penting. Termasuk, ke­mampuan menyelami kondisi psikologi anak. Yang jelas, anak harus dapat menerima alasan secara logis atau masuk akal.

Kegiatan positif yang dilaksanakan pada momentum tertentu akan melekat pada

memori anak. Dengan demikian, anak akan lebih mudah untuk memanggil ingatan terse­but dan mengaplikasikannya kembali. “Orang tua harus berperan menjaga konsistensi kedisplinan anak yang sudah dimulai,” ungkap Dewi. (*)

Gencarnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sudah menyentuh kebiasaan hidup anak­anak. Di banyak kesem­patan, dapat disaksikan anak­anak yang begitu serius menghadap layar smart phone untuk menikmati keasyikan di dunia maya. Me­mang, internet memiliki banyak efek positif. Namun, piranti atau media ini juga memiliki tak sedikit dampak negative.

Anak­anak sebagai generasi penerus bangsa mesti dilindungi dari dampak dekonstruktif yang mungkin muncul. Orang tua dan guru mesti memiliki formula khusus yang sifatnya fundamental. Penguatan mental sejak dini adalah kunci utama membentengi anak dari ekses jelek kemajuan zaman.

Kalau di masa lalu, orang tua berpikir bahwa kebutuhan anak­anak adalah sandang, papan, dan pangan. Di zaman sekarang, hal­hal tadi relatif sudah bisa teratasi. Maka itu, kebutuhan yang mestinya harus ikut diperha­tikan adalah penguatan mental.

Wakil Dekan III Fakultas Psikologi ini mengutarakan, mental merupakan kondisi psikis seseorang saat menghadapi sesuatu di sekitarnya atau yang terjadi di hadapannya.

Disiplin

Menyikapi Kemajuan Teknologi

Dr. Dewi Retno Suminar, M.Si, Psikolog.

Born : Pacitan, March 13, 1967E­mail : [email protected]

Field of Expertise1. Developmental Psychology and Child

PsychologyResearch Interest

1. Child Development2. Elderly Development3. Psychology of Play4. Theory of Mind

• HumanioraHumaniora •

Every company is expected to provide a budg-et for Corporate Social Responsibility (CSR) program. Let alone if the company is related to natural resource potentials excavation. CSR funds are typically given to the local community around where the company does its business.

To date, there have been numerous com-panies which distribute a big number of CSR funds. However the question is, are the overwhelming funds right on target and defi-nitely make a simultaneous positive impact? To answer this, we can have a look at the condition of CSR recipients all this time. Are they continu-ously developed, particularly in the aspects of social, economy, and environment preservation?

A professor at Faculty of Social and Politi-cal Sciences (FISIP) UNAIR Prof. Dr. Mustain Mashud, Drs., M.Si said that there are a lot of things need to be prepared by a company before starting its business; moreover if the business is specifically related to natural resources manage-ment and excavation. In general, the company conducts an environmental impact analysis which includes an analysis of the possibilities on pollution, heavier traffic in the business area, and many others.

Nevertheless, there is one more important thing; an analysis of the community’s acceptance of the company’s existence. There is always a standard countermeasure treatment for prob-lems concerning anything but people. However, if the problem arises from the impact of friction with the community, the formula needed to solve it in every region certainly differs from one another.

The community’s acceptance is also related with the distribution of CSR funds since the lo-cal community where the business run has to be prioritized to receive the funds. Therefore, since the beginning, a communication between the company and the local community is needed.

Therefore, there should be an initial discussion between the company and the local community which includes a discussion on the implementa-tion of CSR program.

The company should conduct a comprehen-sive mapping on the condition, necessities, and potential of the community so the CSR program can be implemented right on target. “CSR is not merely a social donation or charity, about building bridges or giving funds for an event at the village. More than that, CSR has to be al-located for programs to develop the community,” says the Sociology lecturer.

There should be a further meticulous review from the company. The company is not sup-posed to be reluctant to conduct it. The commu-nity’s necessities have to be mapped and a direct survey regarding what the community needs has to be done. After that, the elements of commu-nity or local public figures shoud be involved to formulate mutual programs.

For instance, the region has potential on batik then a workshop regarding batik which involves a competent party should be conducted. Besides the facilities and infrastructures, the funding should be prepared as well. Likewise, if the region has potential on chicken farming then it is better to prepare anything necessary for the community to keep it working and maintain the sustainability of the business.

“Academicians or researchers can take part as a party who supervise the mapping process. Later on, they will also be involved in doing the evaluation,” Mustain mentioned.

Therefore, the community’s economy can gradually be more powerful and stronger. It is possible that some time the program will no longer receives CSR help anymore; since when the program is independent and powerful, the community will need no more help in the field. Thus, the available CSR fund can be disbursed

for other under developed programs. If since the beginning the company has opted

to use a basic concept which is based on such local condition, necessities, potential, social funding, and community network then in general the community will cordially accept the company. Moreover, the CSR will also bring concrete benefit. “Ideally CSR should become a productive investment, not a one-time funding,” said the professor born in Tulungagung.

The problem is, not all companies refer to the ideal standard. Moreover, Mustain reveals that he has observed a district where considerable companies exist yet the general pattern of CSR there is merely a present or a one-time funding.

Consequently, there is no education, learning, and development which improve the quality of the local community. What the community needs has only been found out by the company from the sub-district head or the village chief. Hence, there is no continuous intensive interac-tion between the company and the grass-root community. The community’s transformation to be more powerful cannot be comprehensively realized.

Whereas if CSR is carefully managed based on the ideal standard, it will necessarily be kept accountable; there are no parties who have the chance to do incorrect fund disbursement. Every part of the local community will take control.

The man who once became the Head of Program at Sociology UNAIR believed that CSR program which is offered by private companies in Indonesia will develop an independent com-munity. CSR program should be based on com-munity development approach as well. Through the approach, CSR program is expected to develop the community based on their necessi-ties and potential. Therefore social welfare and economic reinforcement will be actualized. (*)

CSR Is Not Merely “Charity”

Corporate Social Responsibility (CSR) should not be merely ‘charity’. (Photo: Alifian Sukma)

Bila seorang anak memiliki mental yang baik, dia akan menghadapi persoalan dengan tepat. Mental yang kuat akan mampu memfilter pengaruh dari luar. Pengaruh tidak baik, pasti bisa ditolak.

Bagaimana cara menguatkan mental anak? Pertama, dengan mengajarkan disiplin ber­sama alasan kenapa dia harus melakukan itu. Misalnya, saat anak diminta disiplin bangun pagi, dia harus pula dijelaskan mengapa harus bangun pagi. “Nalar mereka dibentuk. Logika diasah sehingga mulai dapat berpikir sebab dan akibat. Baik dan buruk,” ungkap dia.

Kedua, melatih anak­anak bertindak den­gan orientasi Problem Solving. Contohnya, saat kendaraannya rusak, orang tua tidak langsung memperbaiki. Tapi, memberikan dia pertanyaan pancingan yang bisa melatih kemampuan berpikirnya. “Tanyakanlah, apa yang harus dilakukan jika kendaraan rusak. Biarkan anak menggunakan nalarnya untuk menyelesaikan masalahnya,” ungkap Dewi.

Dengan melatih kedisiplinan dan bertindak dengan orientasi Problem Solving, mental anak­anak dilatih untuk menjadi kuat. Kekua­tan mental itu bakal membantu pertumbuhan­nya di masa datang. Khususnya, dalam men­gatasi persoalan di sekitar dan membentengi diri dari pengaruh negatif dari luar.

Selain itu, kepekaan orang tua dalam mengamati tahapan perkembangan anaknya juga akan menghasilkan generasi yang berkualitas. “Perhatian itu membuat semua persoalan terdeteksi secara dini, sehingga solusinya lebih bisa dilaksanakan secepat mungkin pula,” kata dia. (*)

16 • Newsletter Universitas Airlangga | 2017 17Newsletter Universitas Airlangga | 2017 •

Humaniora •

Children are candidates for the next generation. They have to get proper and right education. Do not spoil them or consequently they will lose their sense of independence.

It is undeniable that every parent loves their children. They even wish to spend every minute with their babies to personally protect and keep them safe. However, parents are expected to be wise by not being over protective since the attitude will make children fall down and not courageous enough.

For instance, when children start their first day at Elementary School, parents do not necessar-ily need to wait for them at the school’s gate. It is as if the parents do not trust the school enough; whereas the school should have received complete trust from them since day one. Therefore, since early on parents are expected to choose a school which they believe to be qualified.

An expert of Psychology from UNAIR Dr. Dewi Retno Suminar, MSi., Psychologist, said that in a number of big cities, this over protective attitude is still obviously seen. She mentions that parents even sometimes interfere in the matter of which teacher has to teach the students. Once in some city, parents protested about a massive transfer of teachers because in their opinion the teachers who had been teaching their children were established and good enough.

On the other side, teacher exchange will actually broaden children’s mind. The students will learn to meet new people. If at the beginning the new teacher is not in tune with the students, they will naturally learn how to be adaptive.

In the society, children cannot choose to socialize only with some particular people. Therefore, they have to be ready for the time when they have to meet with unexpected people. Well, they can learn the first lesson to adapt with new people from school.

“If children cannot adapt with a fundamental thing like this, there is a big chance that they will have some difficulties in the future,” Dewi said. (*)

Child Mental Reinforcement as Asset to Create Competent Generation

Besides about independence mental reinforce-ment, children also need education to be a discipline figure. Parents can train children’s discipline using the reasoning concept, or giving reasons. It means every time parents remind their children of the importance of a work, they must explain why their children have to accomplish that.

For instance, when parents tell their children to pray, they need to propose the reasons; for ex-ample, because praying builds a closer connec-tion to The One Almighty God. Why children have to study, because it is the root of success in the future. Why children have to wake up early, because it makes the body feels more fresh and ready to do activities all day long.

Hence parents do not merely give orders; they

must give their children some understanding. Therefore, the children will learn about the posi-tive effects of what they have to do. When they understand the benefit, they will necessarily be more enthusiastic to do the work. They will do it voluntarily.

At this stage, parents’ ability to communicate plays a great role. Including in it, is the ability to see through their children’s psychological condition. What important is children need to understand the reasons logically and rationally.

Positive activities which are conducted in special moments will be unforgettable for chil-dren. Therefore it will be easier for the children to recall the memories and re-implement them. “Parents must take part to keep consistent children’s discipline which has been started,” Dewi said.

The continuous communication technology and information advances have touched chil-dren’s daily routines. In many chances, we can see children so seriously stare at a smartphone screen to enjoy the fun of cyberspace. Indeed the internet has a lot of positive effects. However, the negative effects of the device or media are not a few as well.

Children as the next generation must be pro-tected from the potential deconstructive impact. Parents and teachers need to have a fundamen-tal, special formula. Mental reinforcement at the early stage is the key to protect the children from the excess of the latest era.

In the past, parents thought that children’s ne-cessities were clothing, food, and a place to live. Nowadays, those things are relatively fulfilled. Therefore another necessity which needs to be taken care of is mental reinforcement.

This Vice Dean III of Faculty of Psychology said that mental is someone’s psychological condition when dealing with his/her surround-ing or what happens before him/her. If a child has a good mental, he/she will handle problems properly. A strong mental will be able to filter outside influences. Negative influences will be easily avoided.

How do we reinforce children’s mental? First, by training the children discipline and giving them reasons why. For example, when children are asked to be discipline in getting up early, they need to know the reason why. “Their rea-soning is shaped, logic is sharpened so that they will start thinking of the cause and effect, good and bad,” she said.

Second is by training the children to take problem solving oriented actions. For exam-ple, when their vehicle is broken, parents need not to fix it straight away. Instead, they raise persuasive questions which are expected to train their children’s thinking ability. “Ask them what they need to do if their vehicle is broken. Let them use their logic to solve the problem,” Dewi suggested.

By training them to be discipline and to take problem solving oriented actions, children’s mental is trained to be strong. That mental strength will help them growing up in the future; particularly in dealing with surrounding problems and to protect themselves from outside negative influences.

Besides that, parents’ sensitivity in observing the stages in their children’s development will also create a competent generation. “Attention detects all problems since early on, so that the solution can also be implemented as fast as pos-sible,” she stated . (*)

Lembaga yang melakukan pengembangan dan pengelolaan sistem pembelajaran, kompetensi pedagogik dan andragogik dosen dan peningkatan kualitas proses pembelajaran.

Kantor Manajemen Gedung Kahuripan lt. 2 Kampus C UNAIRTelp. : +62 ­ ­031 ­ 5920424Fax. (031) 5920532Web : http://lp3.unair.ac.id/ e­mail : [email protected]

Lembaga yang memunyai fungsi berkaitan dengan peneli­tian terapan dan inovasi pada sains, industri, dan penelitian berbasis masyarakat.

Gedung Kahuripan lt. 2 Kampus C Mulyorejo, SurabayaTelp. : +62 ­ 031 ­ 5995247Fax. : +62 ­ 031 ­ 5923584Website : http://lpi.unair.ac.id/

Lembaga yang merencanakan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kegiatan pengabdian, pendidikan, pelatihan, dan pengembangan masyarakat, serta ikut mengusahakan administrasi sumberdaya yang diperlukan.

Gedung Kahuripan lt. 2 Kampus C Mulyorejo, Surabaya.Telp. : +62 ­ 031 ­ 5995247Fax. : +62 ­ 031 ­ 5923584

Lembaga yang merencanakan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kegiatan pengabdian, pendidikan, pelatihan, dan pengembangan masyarakat, serta ikut mengusahakan administrasi sumberdaya yang diperlukan.

Gedung Kahuripan lt. 2 Kampus C Mulyorejo, Surabaya.Telp. : +62 ­ 031 ­ 5995247Fax. : +62 ­ 031 ­ 5923584

Lembaga yang melakukan pembinaan, pengembangan dan pe ngelolaan penelitian penyakit tropis, menyelenggarakan sosia­lisasi informasi keilmuan kesehatan dan pelayanan kesejahteraan masyarakat dibidang penyakit tropis.

Kampus C Mulyorejo, SurabayaTelp. : +62 ­ 031 ­ 5992446Fax. : +62 ­ 031 ­ 5992445Web : www.itd.unair.ac.id e­mail : [email protected]

Lembaga yang memfasilitasi pengelolaan sertifikasi pro­fesi di lingkungan UNAIR dan memfasilitasi sertifikasi profesi dari kalangan sivitas akademika di lingkungan UNAIR pada Lembaga Sertifikasi Profesi terindeks dan bereputasi nasional dan interna­sional.

Kantor Manajemen lt.3 Kampus C Mulyorejo, SurabayaTelp. : +62 031­5914042/5914043 ext. 304Fax. : +62 031­5981841web : http://lsp.unair.ac.id/

Discipline

Dealing with Technological Advances

LEMBAGA PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN (LP3)

LEMBAGA PENELITIAN DAN INOVASI (LPI)

LEMBAGA PENGABDIAN, PENDIDIKAN, PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT (LP4M)

LEMBAGA PENGEMBANGAN BISNIS DAN INKUBASI

LEMBAGA PENYAKIT TROPIS (LPT) LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI (LSP)

18 • Newsletter Universitas Airlangga | 2017