section4 hal 135

40
Chapter 13 Dermatitis Kontak Alergi Sekilas Tentang Dermatitis Kontak: Dermatitis Kontak Alergi (DKA) merupakan presentasi klasik dari respon hipersensitifitas tipe-lambat terhadap agen-agen eksogen. Lebih dari 3700 alergen telah dilaporkan menyebabkan DKA pada manusia. DKA bisa secara kliis tampak secara akuat setelah keterpaparan alergen dan pemekaan awal atau setelah elisitasi pada individu yang sebelumnya telah peka. Fase akut ditandai dengan terjadinya plak eritematosa, berlepuh, bersisik, dengan kasus-kasus parah yang menunjukkan vesikulasi dan bula pada bagian yang terpapar. Bagian-bagian yang terkena sering menyerupai pola keterpakaran dan bisa memberikan informasi tentang sumber alergen dan pemicu penyakit. Keterpaparan berulang atau terus-menerus orang yang peka terhadap alergen menyebabkan penyakit kronis, yang biasanya ditandai dengan plak eritematosa berlichen dengan hiperkeratosis, sisik, dan fisur yang bervariasi. Tangan, kaki, kelopak mata, dan bibir, yang umum bersentuhan dengan lungkungan, merupakan bagian tubuh yang besar kemungkinan mengalami DKA. Presentasi histopatologi terdiri dari spongiosis epidermal dengan infiltrat dermal superfisial, perivaskular, limfohistiositik. Sebagai penghubung utama dengan lingkungan luar, kulit memiliki posisi yang sangat rawan karena terus menerus terpapar dan terserang zat-zat kimia dan faktor

Upload: hadi-firmansyah

Post on 20-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

fitzpatrick

TRANSCRIPT

Page 1: Section4 Hal 135

Chapter 13Dermatitis Kontak Alergi

Sekilas Tentang Dermatitis Kontak: Dermatitis Kontak Alergi (DKA) merupakan presentasi klasik dari

respon hipersensitifitas tipe-lambat terhadap agen-agen eksogen. Lebih dari 3700 alergen telah dilaporkan menyebabkan DKA pada

manusia. DKA bisa secara kliis tampak secara akuat setelah keterpaparan

alergen dan pemekaan awal atau setelah elisitasi pada individu yang sebelumnya telah peka.

Fase akut ditandai dengan terjadinya plak eritematosa, berlepuh, bersisik, dengan kasus-kasus parah yang menunjukkan vesikulasi dan bula pada bagian yang terpapar. Bagian-bagian yang terkena sering menyerupai pola keterpakaran dan bisa memberikan informasi tentang sumber alergen dan pemicu penyakit.

Keterpaparan berulang atau terus-menerus orang yang peka terhadap alergen menyebabkan penyakit kronis, yang biasanya ditandai dengan plak eritematosa berlichen dengan hiperkeratosis, sisik, dan fisur yang bervariasi.

Tangan, kaki, kelopak mata, dan bibir, yang umum bersentuhan dengan lungkungan, merupakan bagian tubuh yang besar kemungkinan mengalami DKA.

Presentasi histopatologi terdiri dari spongiosis epidermal dengan infiltrat dermal superfisial, perivaskular, limfohistiositik.

Sebagai penghubung utama dengan lingkungan luar, kulit memiliki posisi yang sangat rawan karena terus menerus terpapar dan terserang zat-zat kimia dan faktor fisik eksogen. Untungnya, kebanyakan dari keterpaparan ini tidak menimbulkan penyakit yang tampak secara klinis. Akan tetapi, pada beberapa keadaan, sistem imun menimbulkan sensitisasi (pemekaan) dan selanjutnya mengakibatkan dermatitis kontak alergi (DKA).

Pemahaman klasik tentang kulit sebagai sawar sederhana terhadap penetrasi oleh agen-agen eksogen memandang remeh kapasitas imunologis dari kulit ini. Konsep-konsep modern telah menemukan hubungan atau interaksi antara sistem-sistem pertahanan host yang menangani serangan-serangan dari luar ini. Pada tahun 1950an, Landsteiner dan Chase secara meyakinkan menemukan DKA (dermatitis kontak alergi) sebagai salah satu bentuk hipersensitifitas berperantara sel. Akan tetapi, barulah sekitar pertengahan abad 20 diketahui peranan mendasar dari sistem-sistem limfatik utuh, elemen-elemen sel (sel Langerhans, keratinosit, dan sel limfoid), dan

Page 2: Section4 Hal 135

sitokin-sitokin spesifik pada fase sensitisasi dan elisitasi DKA.Sekarang ini kita sudah paham bahwa mekanisme-mekanisme

berperantara sel-T yang kompleks ini ditargetkan secara spesifik dan sensitif untuk satu atau lebih entitas kimiawi. Ketika tingkat keterpaparan melebihi ambang-batas sensitisasi dan elisitasi, maka memori imunologik terhadap mekanisme tersebut akan terbentuk. Sekalipun begitu, sering kurangnya agen kausatif yang nyata atau hubungan temporal antara alergi dan dermatitis mengarah pada upaya analitis dan penyelidikan intens untuk menentukan dan selanjutnya menghindari agen kimia penyebab.

EPIDEMIOLOGI

Banyak data epidemiologi tentang DKA yang telah diambil laporan-laporan pemerintah tentang prevalensi dan imbas ekonomis dari penyakit kulit yang terkait pekerjaan. Asumsi dasar dalam banyak penelitian adalah bahwa kebanyakan dermatitis yang terkait pekerjaan adalah iritasi. Akan tetapi, bukti terbaru menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak dermatitis alergi dibanding yang sebelumnya diperkirakan. Dari 5839 pasien yang diuji tempel untuk dermatitis kontak oleh North American Contact Dermatitis Group antara 1998 sampai 2000, sebanyak 1097 (19 persen) dianggap mengalami penyakit yang terkait pekerjaan. Pada kohort ini, 60 persen kasus bermula dari alergi dan 32 persen bermula dari iritasi. Yang perlu diperhatikan, tangan lebih umum terkena pada dua per tiga kasus alergi dan empat per lima kasus iritan (Gbr. 13-1; lihat Chap. 211).

Pada tahun 2001, sebanyak 4714 kasus dermatitis kerja dilaporkan ke Bureau of Labor Statistics, dimana kurang dari 50 persen dari 9472 kasus yang terdaftar 10 tahun sebelumnya. Penurunan jumlah kasus secara substansial pada dekade tersebut baik dalam hal persentase maupun jumlah mutlak kasus dermatitis kerja bisa disebabkan oleh membaiknya kondisi-kondisi bekerja dan bisa menjelaskan penurunan dermatitis kontak iritan (DKI) dan peningkatan DKA. Penting untuk diperhatikan bahwa prevalensi DKA dalam populasi umum sering diperkurakan berdasarkan data-data dikumpulkan dari penelitian-penelitian tentang dermatitis kerja atau dari klinik-klinik dan kelompok-kelompok yang melakukan tes-tempel terhadap pasien-pasien yang sebelumnya mengalami dermatitis.

Karena masih sedikit penelitian cross-sectional pada populasi umum tentang prevalensi dan kejadian DKA, maka data epidemiologi yang lain diperoleh dari penelitian-penelitian retrospektif yang mereview bagian-bagian tubuh tertentu yang terlibat. Data-data ini memiliki tingkat ketidakakuratan yang berbeda-beda akibat bias seleksi yang terjadi pada saat perujukan ke pusat tes tempel dan mungkin tidak mewakili populasi umum. Meskipun demikian, data-data seperti ini memungkinkan pengidentifikasian alergen-alergen yang memiliki potensi sensitisasi tinggi dan strategi-strategi untuk

Page 3: Section4 Hal 135

penggantiannya dengan zat-zat yang memiliki potensi sensitisasi rendah. Tabel 13-1 memuat banyak alergen umum yang menunjukkan hasil tes positif pada sekelompok individu yang dites tempel oleh North American Contact Dermatitis Groups.

Tabel 13-1. Prevalensi/Persentase Subjek yang Menunjukkan Reaksi-Reaksi Positif terhadap Alergen-Alergen yang Diuji oleh North American Contact Dermatitis Group.

1. Nikel Sulfat (2,5%)3

2. Neomisin (20%) 3. Balsem Peru 925%) 4. Campuran Parfum (8%) 5. Thimerosal (0,1%) 6. Sodium gold thiosulfat (0,5%)a

7. Kuaternium-15 (2%)b

8. Formaldehida (1% aqs)b

9. Basitrasin (20%) 10. Kobalt klorida (1%)a

11. MDGN/PE (2,5%)b

12. Carba mix (30%)c 13. Para-fenilendiamin (1%) 14. Thiuram (1%)c 15. Kalium dikromat (0,25%)a 16. Benzalkonium klorida (1% aqs)b 17. Propilen glikol (30% aqs)18. 2-Bromo-2-nitropropana-1,3-diol (0,5%)b

19. Diazolidinilurea (1% aws)b 20. Imidazolidinilurea (2%)b 21. Toksokortol-21-pivalat (1%) 22. Disperse Blue 106 (1%) 23. Etilendiamin dihidroklorida (1%) 24. DMDM hydantoin (1%)b

25. Kokamidopropil betain (1% aqs) 26. MDGN/PE (4%)b 27. Kolofoni (20%) 28. Resin epoksi (1%) 29. MCI/MI (100 ppm aqs)b 30. Amidoamin (0,1% aqs)

16,711,611,610,410,210,29,38,47,97,45,84,94,84,54,34,34,23,3

3,23,03,03,02,8

2,82,82,72,62,32,32,3

31. Resin EU/MF (5%) 32. Lanolin (30%) 33. Resin p-tert-butilfenol formaldehida (1%) 34. Gliseril tioglikolat (1%) 35. Benzokain (5%) 36. Resin tilsilamida formaldehida (10%)37. Metil methakrilat (2%) 38. Glutaraldehida (1%)b 39. Etil akrilat (0,1%) 40. dl-alfa-tokoferol 41. Budenosida (0,1%) 42. DMDHEY (4,5% aqs) 43. Minyak ylang-ylang (2%) 44. Campuran karet hitam (6%)c

45. Campuran kompositae (6%) 46. Merkaptobenzothiazol (1%)c 47. Dibukain (2,5%) 48. Thiourea (1%) 49. Jasmine absolute (2%) 50. Campuran merkapto (1%)c 51. Lidokain (15%) 52. Campuran Paraben (1%)b 53. Seskuiterpen lakton (0,1%) 54. Benzofenon (3%) 55. PCMX (1%)b 56. Tetrakain (1%) 57. Hidrokortison-17-butirat (1%) 58. dl-alfa-tokoferol asetat 59. IPBC (0,1%) 60. PE (1%)b 61. Prilokain (2,5%)

2,32,21,9

1,91,71,6

1,41,41,31,11,11,11,11,01,00,90,90,80,70,70,70,60,60,60,60,60,50,50,30,20,1

Aqs = aqueous (cair); DMDHEU = dimetiloldihidroksietilenurea; DMDM = dimetilol-dimetil; EU/MF = etilenurea/melamin formaldehida; IPBC = iodopropinil butil karbamat; MCI/MI = metilkloroisothiazolinon/metilisotiazolinon; MDGN = metildibromo glutaronitril; PCMX = paraklorometaksilenol; PE = fenoksietanol. Balergen logam bbiosida/pengawetcaditif karet

Page 4: Section4 Hal 135

Yang dicetak tebal menandakan komponen tes T.R.U.E (Thin-layer Rapid use Epicutaneous). (Tes T.R.U.E. Menggunakan campuran kain ketimbagn benzokain).

Dalam dua penelitian cross-sectional, sebanyak 769 pasien usia 15-41 tahun yang diseleksi secara acak dari daerah sebelah barat Copenhagen, Denmark, diuji dengan tes tempel pada tahun 1990 dan 1998 untuk mengevaluasi prevalensi DKA poada populasi ini. Persentase reaksi positif terhadap sekurang-kurangnya satu alergen adalah 15,9 persen dan 18,6 persen, masing-masing. Nikel merupakan alergen yang paling umum. Lebih lanjut, beberapa penelitian menemukan peningkatan alergi terhadap zat kosmetik selama interval waktu antar penelitian.

Para peneliti ini juga melakukan penelitian cross-sectional lain pada tahun-tahun tersebut. Mereka secara acak menguji-tempel 567 pasien yang berusia 15 sampai 69 tahun dari Copenhagen barat pada tahun 1990. Pada tahun 1998, mereka menguji ulang 365 dari pasien yang sama untuk mengamati kasus-kasus insiden. Dari individu-individu yang sebelumnya menunjukkan hasil tes tempel negatif pada tahun 1990, sebanyak 12 persen menunjukkan satu atau lebih hasil tes tempel positif (alergi kontak insiden). Khususnya, 6 persen dan 8 persen pasien yang dites ulang yang sebelumnya menunjukkan hasil tes tempel negatif mengalami alergi terhadap nikel dan hapten selain nikel, masing-masing. Jenis kelamin perempuan, usia muda, dan tindik telinga (sebelum 1990) adalah faktor risiko untuk terjadinya alergi nikel.

Pada salah satu penelitian yang berbasis di Amerika Serikat, Templet, hall, dan Belsito menemukan bahwa dermatitis tangan merupakan salah satu dari alasan yang paling sering disebutkan untuk perujukan ke sebuah pusat tes tempel. Dari 1034 pasien yang telah dites tempel selama periode 8 tahun, 32 persen mengalami dermatitis tangan; 54 persen didiagnosa dengan DKA, sedangkan hanya 27 persen yang mendapatkan diagnosis dermatitis kontak iritan. Perbedaan jenis kelamin juga ditemukan: prevalensi puncak pada pria terjadi pada usia 50an, sedangkan tidak ada puncak kejadian spesifik pada wanita. Penelitian lain di Ameirka Serikat menemukan bahwa 17 persen populasi berasuransi di AS mengalami dermatitis tangan, dengan satu diantara enam pasien yang terkena tidak berobat. Efek penyakit tangan kronis diperkirakan meningkatkan biaya pengobatan sebesar 25 persen atau $70 per bulan berdasarkan biaya resep dan pemberian perawatan medis.

Dengan kejadian keterpaparan tangan dan wajah yang tinggi terhadap lingkungan, maka bisa diperkirakan bahwa data tentang dermatitis wajah dan kelopak mata pada populasi umum tidak tersedia. Justru, data prevalensi yang jarang tersedia dari pusat-pusat perujukan perawatan tersier, yang hanya mewakili sekitar 17 persen dari semua individu yang dites tempel. Dari individu-individu yang mengalami dermatitis kelopak mata yang dirujuk untuk tes tempel, sekitar 50 persen sampai 75 persen dilaporkan mengalami

Page 5: Section4 Hal 135

sekurang-kurangnya satu reaksi tes tempel positif. Sedikit data yang tersedia untuk epidemiologi berbasis sumber. Penelitian-penelitian tentang prevalensi alergi kosmetik di Amerika Serikat sudah lama berlangsung (20 tahun), dan karena produk kosmetik yang terus berkembang, maka data yang diberikan oleh penelitian-penelitian ini tidak lagi akurat. Salah satu penelitian di India menunjukkan persentase 66 persen reaksi positif terhadap kosmetik pada tes tempel. Individu-individu yang alergi cenderung berusia muda (usia rata-rata 27,5 tahun), dengan dermatitis yang mengenai wajah, leher, dan kulit kepala. Produk pewangi, bahan pengawet, dan para-fenilendiamin (PPD) merupakan agen-agen pemicu yang paling umum.

Usia

Walaupun pasien DKA (dermatitis kontak alergi) pada pasien anak telah mendapatkan perhatian besar di Eropa, namun tingkat perhatian yang diberikan belum menyamai dengan yang ada di Amerika Utara. Meskipun dengan ini, banyak bukti menunjukkan bahwa bahkan anak kecil memiliki tingkat prevalensi yang cukup tinggi ketika mereka dites-tempel pada kondisi-kondisi yang sesuai (Gbr. 13-2). Di Italia, dari 1094 anak-anak yang dites tempel secara konsekutif, 570 terbukti alergi (52,1 persen). Pada kohort pasien anak yang berusia di bawah 12 tahun ini, persentase sensitisasi (pemekaan) tertinggi diamati pada mereka yang berusia 7 bulan sampai 3 tahun (63,4 persen alergi). Logam, varian merkuri (thimerosal dan merkuri metalik), neomisin, alkohol wool, metilchloroisothiazolon-metilisothiazolinon (Kathon CG), dan campuran zat pewangi merupakan alergi kontak yang paling sering. Para anak perempuan menunjukkan kecenderungan untuk alergi terhadap nikel yang lebih besar dibanding anak laki-laki. Leher dan fosae antekubital/popliteal paling sering terlibat pada individu-individu yang alergi terhadap nikel dan Kathon CG, dan sensitisasi (pemekaan) lebih sering ditemukan pada pasien yang atopik dibanding pada pasien yang non-atopik.

Secara klinis, individu yang berusia di atas 65 tahun memiliki berbagai gangguan dalam induksi dan/atai elisitasi DKA. Pada penelitian-penelitian tentang aktifitas Rhus, individu yang lebih muda (18 sampai 25 tahun) memiliki onset dan penyembuhan dermatitis yang lebih cepat dibanding orang yang lebih tua. Apabila persentase sensitisasi terhadap alergen-alergen standar dianalisis sebagai sebuah fungsi usia, maka persentase kejadiannya jauh lebih rendah pada individu-individu yang berusia lebih tua dibanding dengan pasien yang lebih mudah (40,7 persen berbanding 47,8 persen, p < 0,0001). Akan tetapi, relevansi klinis perbedaan ini masih diperdebatkan, dan bisa mengisyaratkan diperlukannya memodifikasi alergen-alergen tertentu dalam menjaga keterpaparan sesuai usia atau memungkinkan waktu yang lebih lama diantara pelepasan zat tempel dan pembacaan yang tertunda. Alergen-alergen yuang digunakan dengan

Page 6: Section4 Hal 135

frekuensi lebih tinggi pada populasi ini, seperti neomisin, alkohol lanolin, campuran paraben, dan metil dibromoglutaronitril/fenoksilethanol (Euxil K400) menunjukkan persentase sensitisasi lebih tinggi pada pasien yang lebih tua dibanding pada pasien dewasa yang lebih muda (Gbr. 13-3).

Jender dan ras

Perbedaan jender dalam terjadinya DKA belum banyak diketahui, karena masih sedikit penelitian yang telah meneliti pencetusasn sensitisasi pada pria dan wanita di bawah kondisi-kondisi yang terkontrol. Ketika metode tes tempel repeat-insult digunakan untuk menilai persentase pencetusan untuk 10 alergen yang umum, maka para wanita ditemukan lebih sering tersensitisasi terhadap 7 dari 10 alergen yang diteliti. Pada penelitian-penelitian maksimisasi yang meneliti berbagai alergen, para wanita bereaksi lebih sering terhadap pemeka (sensitizer) yang paling lemah.

Peranan wajah, jika ada, dalam terjadinya DKA terhadap alergen-alergen kuat seperti dinitroklorobenzen parafenilendiamin tetap masih kontroversial. Goh tidak menemukan adanya perbedaan kejadian DKA diantara sub-populasi pribumi (Malaysia, China, dan India) di Singapura. Beberapa penelitian menunjukkan persentase pemekaan yang lebih rendah terhadap nikel dan neomisin pada orang-orang Amerika Afrika dibanding pada orang Kaukasoid. Selain itu, pemeriksaan eritema semakin sulit pada jenis kulit tertentu, yang menjadikan pemeriksaan ini bervariasi dan memerlukan agar lebih menitikberatkan perubahan pada edema dan pelepuhan. Juga diperlukan penelitian lain yang mengevaluasi pengaruh ras terhadap faktor imunologi dan non-imunologi (yakni fungsi sawar) dan pengaruh etnis yang mempengaruhi terjadinya DKA.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV atau delayed) terhadap lebih dari 3700 zat kimia eksogen yang telah diketahui memicu reaksi ini. Karena DKA merupakan alergi sejati dengan efek samping imunologik, maka hanya sedikit zat kimia yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi alergi yang besar. Bukti yang diperoleh sejak tahun 1940an menandakan bahwa kemampuan untuk menjadi peka terhadap agen tertentu melibatkan komponen genetik. Penelitian yang ada sekarang menghubungkan antara keberadaan alel antigen leukosit manusia tertentu dengan alergi terhadap nikel, kromium, dan kobal.

Untuk menimbulkan sebuah reaksi imun terhadap alergen, individu harus dipekakan secara genetik, memiliki kontak yang cukup dengan sebuah zat kimia pemeka, dan kemudian mengalami kontak berulang dengan zat tersebut selanjutnya. Ini berbeda dengan DKI (dermatitis kontak iritan)

Page 7: Section4 Hal 135

dimana tidak ada reaksi imunologi yang terjadi dan intensitas reaksi sebanding dengan dosis zat kimia yang diberikan (yang terkait langsung dengan konsentrasi kimiawi, durasi keterpaparan, dan integritas kulit secara umum).

Sehingga, DKA adalah penyakit sistemik yang ditentukan oleh inflamasi kulit berperantara sel T spesifik-hapten dan sensitisasi, elisitasi, dan tiga fase, yaitu: sensitisasi, elisitasi, dan resolusi. Pada fase sensitisasi (pemekaan) zat-zat kimia hapten hidrofilik atau elektrofilik yang berbobot molekul rendah (biasanya kurang dari 500 sampai 1000 D) menembus kulit dan membentuk kompleks hapten-protein dengan protein-protein karier epidermal, yang menghasilkan sebuah alergen lengkap. Protein-protein pengikat ini kemungkinan merupakan molekul permukaan sel pada sel Langerhans, seperti molekul MHC kelas I dan II. Untuk deskripsi rinci tentang mekanisme yang terlibat dalam pembentukan dan perjalanan DKA, lihat Bab 10.

Ikatan yang terbentuk antara hapten dan protein dermal biasanya adalah ikatan kovalen, walaupun hapten-hapten logam bisa membentuk ikatan non-kovalen yang stabil dengan protein karier, seperti kobal pada vitamin B12. Beberapa dari zat kimia hapten ini pada dasarnya bukan alergen (pro-hapten) dan harus menajalani biotransformasi metabolik agar mampu berpartisipasi dalam sebuah respons alergenik. Karena kulit memiliki kapabilitas metabolik yang sangat baik, termasuk berbagai enzim fase I dan fase II, maka biotransformasi seperti ini bisa terjadi pada kulit di bagian yang bersentuhan dengan zat kimia. Peranan hubungan antara karier dan hapten tidak bisa diabaikan, karena pemeka kontak yang kuat, ketika membentuk kompleks dengan karier non-imunologik, bisa mencetuskan kekebalan ketimbang pemekaan.

PENDEKATAN KLINIS

Pendekatan klinis terhadap pasien dijelaskan pada bagian-bagian berikut ini.

Pertimbangan diagnosis

Dermatitis kontak alergi harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding berbagai dermatosa ekzematosa (Box 13-1). Sebagai contoh, seorang pasien yang mengalami dermatitis geometris atau spesifik pola setelah keterpaparan terhadap agen eksogen harus dicurigai mengalami DKA. Selain itu, diagnosis harus dipertimbangkan pada individu-individu yang dermatitisnya persisten meskipun telah menjalani terapi-terapi standar. Ini juga terkait dengan pasien yang mengalami penyakit kulit lain, seperti dermatitis atopik dan psoriasis, yang menunjukkan presentasi klasik.

Page 8: Section4 Hal 135

Box 13-1

Diagnosis Banding Dermatitis Ekzematosa

DIAGNOSIS BANDINGDISTRIBUSI GEOGRAFIK-MORFOLOGIK

PETUNJUK DIAGNOSTIK

Dermatitis kontak alergi Plak ekzematosa, edematosa bersisik dengan vesikulasi

Lesi primer pada distribusi kontraktan; pruritus

Dermatitis asteotik Bercak mirip crackled parchment, tidak ada edema danv esikulasi

Betis bawah

Dermatitis atopik Plak ekzematosa, berkerak, bersisik; lesi kronis bisa berlichenifikasi

Area fleksural pada anak-anak dan penonjolan leher

Reaksi autosensitisasi Bercak vesikulasi ekzematosa, yang sulit diidentifikasi

Riwayat dermatitis kronis atau infeksi dengan bercak baru yang menyebar.

Ekzema dishidrotik Papulovesikel dalam pada permukaan palmar-plantar dan pinggir-pinggir volar.

Telapak tangan dan telapak kaki lazimnya terlibat

Dermatitis kontak iritan Eritema makular berbatas tegas, hiperkeratosis, tidak ada vesikulasi.

Sensasi terbakar melebihi gatal-gatal

Mykosis fungoides (stadium bercak menjadi plak)

Bercak dan plak pink bersisik, atropik, tidak berbatas tegas

Penonjolan torso

Dermatitis nummular Plak berbentuk koin, berbatas tegas dengan sisik dan vesikulasi; eksudatif

Betis, tangan dorsal, permukaan ekstensor

Psoriasis Plak papuloskuamous berbatas tegas tanpa vesikulasi

Kulit kepala, area retro-aurikular, siku, lutut, genitalia, kuku; dominasi pada area-area trauma (Koebrenisasi); pustula bisa terdapat secara akut; khususnya pada telapak tangan dan telapak kaki; arthritis yang menyertai.

Dermatitis seborheik Plak bersisik, herminyak papuloskuamous.

Daerah yang ditumbuhi rambut, glabella, dan lipatan nasolabial.

Dermatitis stasis Plak papuloskuamous dengan diskromia

Betis depan, dan permukaan medial, kaki bawah, varikositis yang menyertai.

Konstruksi montage keterpaparan

Page 9: Section4 Hal 135

Sensitisasi dan pencetusan (elisitasi) dermatitis merupakan konsekuensi langsung dari keterpaparan terhadap zat kimia tertentu pada orang yang peka. Ada banyak variabel yang mempengaruhi kepekaan seseorang. Sebagai contoh, perubahan fungsi sawar kulit atau mekanisme reparasi, yang juga bisa dipengaruhi oleh faktor genetik, usia, jenis kelamin, kebiasaan, dan pengaruh-pengaruh fisiologis, bisa meningkatkan predisposisi. Lokasi geografis dimana pasien tinggal juga bisa menjadi faktor penting, karena ini bisa meningkatkan misalnya kemungkinan untuk menemui alergen botani spesifik daerah. Terakhir, keterpaparan insidentil harus dipertimbangkan. Sehingga, bisa dianggap bahwa untuk setiap zat kimia ada dosis tertentu (ambang-batas sensitisasi) pada setiap orang yang pada kondisi optimal bisa berpotensi menghasilkan sensitisasi dan outcome klinis selanjutnya dari DKA.

Pemeriksaan riwayat

Pertimbangan dalam tes tempel adalah kesederhanaan pengaplikasian berbanding keahlian yang diperlukan untuk pemilihan alergen dan interpretasi serta pengidentifikasian signifikansi klinis. Keahlian dalam tes tempel dimulai dengan memeriksa riwayat secara komprehensif dalam beberapa tahun terakhir berkenaan dengan penyakit yang ada. Sebuah pendekatan algoritmik lagi-lagi diperlukan. Informasi tentang karakteristik demografi pasien, riwayat medis diri dan keluarga, dan lingkungan kerja dant empat tinggal, serta riwayat spesifik dermatitis yang mencakup penggunaan obat-obat resep dan obat yang dijual bebas harus diperoleh (Tabel 13-2).

Tabel 13-2. Pemeriksaan riwayat pada dermatitis kontak alergi

Riwayat pekerjaan dan demografi

Usia, jenis kelamin, ras, suku, agama, aspek sosial 9status perkawinan), jabatan, pekerjaan, keterpaparan terhadap bahan kimia baik reguler maupun kadang-kadang, lokasi pekerjaan, waktu bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat medis keluarga Faktor genetik, predisposisi

Riwayat medis personal Alergi obat, penyakit lain, obat, bedah.

Riwayat spesifik dermatitis Onset, lokasi, hubungan temporal, pengobatan

Pemeriksaan pola-pola keterpaparan

Pola-pola keterpaparan mengarahkan dokter untuk

Page 10: Section4 Hal 135

mempertimbangkan penyebab-penyebab yang mungkin untuk erupsi. Seorang dokter harus tidak hanya mempertimbangkan variabel-variabel keterpaparan potensial untuk setiap pasien tetapi juga harus mengecek-silang keterpaparan-keterpaparan alergen ini untuk mencapai sebuah daftar alergen yang kemungkinan paling suspek untuk individu tersebut. Pasien yang mengalami dermatitis kelopak mata dan kulit kepala pasca penggunaan pewarna rambut harus diteliti untuk mencari tahu penggunaan produk-produk pewarna rambut terbaru, bahan tato henna hitam, sunscreen berbasis asam aminobenzoat, ester anesthetik, dan obat-obat yang bereaksi silang (misal: hidroklorothiazida, sulfonilurea, dan inhibitor siklooksigenase 2). Lebih lanjut, seorang anak umur 2 tahun dengan dermatitis wajah dan tangan yang terjadi bersamaan kemungkinan besar akan menjadi peka terhadap zat-zat pewangi dan bahan-bahan pengawet dalam produk-produk pembersih bayi. Penting untuk berfokus pada zat yang paling besar kemungkinan sebagai penyebab tetapi juga penting untuk mempertimbangkan laternatif-alternatif yang memiliki probabilitas tinggi.

Yang perlu diingat, setiap pendekatan sama spesifiknya bagi pasien dengan lingkungan pasien itu sendiri. Alergen-alergen baru yang potensial sering memasuki lingkungan individu. Sebagai contoh, teknologi deterjen betain pertama kali diperkenalkan ke perawatan diri dan produk-produk kesehatan (seperti sampo bayi tanpa iritasi) pada akhir tahun 1960an. Pada tahun 1983, kasus alergi betain kokamidopropil pertama dilaporkan; sejak itu terjadi peningkatan prevalensi kondisi alergi terhadap zat ini. Hampir dua dekade kemudian, kejadian alergi betain kokamidopropil yang terus meningkat mengarah pada dimasukkannya alergen ini dalam uji-uji screening standar komprehensif dan penetapan kokamidopropil betain sebagai alergen pada tahun itu oleh American Contact Dermatitis Society. Walaupun ada keterbatasan dan bias-bias dalam data yang ditangani oleh anggota-anggota kelompok referral yang melaporkan data epidemiologi, peranan data-data ini tidak bisa terlalu dibesar-besarkan, karena data-data ini juga menimbulkan kesadaran tentang peningkatan alergi kimia yang sebelumnya dianggap jarang )misal: terhadap kortikosteroid, emas, dan anestetik amida).

MANIFESTASI-MANIFESTASI KLINIS

Gambaran kutaneous

Dengan banyaknya alergen potensial dan keunikan kulit setiap orang, maka logikanya bahwa harus ada banyak variasi gambaran klinis dari DKA. Akan tetapi, aspek-aspek tertentu kurang bervariasi dan cenderung mengikuti pola-pola yang berulang. Secara umum, ketika kepekaan (sensitisasi) telah terbentuk, maka DKA akut berkembang dari eritema menjadi edema sampai papulovesikulasi, dengan respons yang meningkat (lihat Gbr. 13-2 dan 13-3).

Page 11: Section4 Hal 135

Salah satu pengecualiannya bisa berupa area kulit tipis dengan koefisien absorpsi yang lebih tinggi, seperti kelopak mata, permukaan mukosa, dan genitalia. Area-area ini bisa menjadi edematosa dengan cepat, yang menyebabkan individu menghindari perilaku-perilaku atau mencari perhatian medis, dan sehingga stadium yang lebih lanjut bisa terinterupsi. Kedua, DKA biasanya terjadi pada distribusi kontaktan (bagian yang tersentuh). Sebagai contoh, sebuah lengan yang mengalami memar karena rumput beracun bisa menunjukkan sebuah plak edematosa vesikular linear. Akan tetapi, pada situasi dimana keterpaparan alergen berlangsung persisten, maka lichenifikasi dan sisik akan mendominasi. Bersamaan dengan evolusi ini terjadi juga kemungkinan erupsi yang elbih tersebar pada pola yang tidak khas. Dengan ini, diagnosis dini sangat penting.

Pendekatan Morfologi

Apabila pemeriksaan riwayat yang komprehensif telah dilakukan, tahapan ke-dua adalah pemeriksaan dermatologi pasien secara lengkap. Ini sangat membantu karena pasien biasa hanya menyadari tempat yang paling menonjol dari dermatitis, dan sebuah dermatitis terbaru pada tempat lain bisa memberikan petunjuk menyeluruh tentang diagnosis. Pengetahuan tentang bentui, karakter, dan lokasi dermatitis meningkatkan kemungkinan alergen penyebab akan dipilih secara akurat untuk pengujian.

Pendekatan dermatitis spesifik tempat

Kulit kepalaMeskipun dengan potensi besar untuk mengalami keterpaparan

alergen, kulit kepala tetap relatif kebal terhadap dermatitis alergi. Alasan-alasan yang mungkin untuk menurunnya reaktivitas ini bisa disebabkan oleh ketebalan kulit yang meningkat, perubahan lingkungan seluler karena unit-unit rambut folikular, variasi vaskularitas, dan efek dilusional perspirasi. Sering alergen yang diaplikasikan ke rambut dan kulit kepala, misalnya, pewarna rambut (PPD) dan sampo (pewangi, pengawet, dan surfaktan) bisa mencetuskan dermatitis pada area-ara sekitar, seperti batas tumbuh rambut, kelopak mata, dan ara-area postaurikular. Pada pasien yang mengalami dermatitis kulit kepala, pertimbangan harus diberikan pada diagnosa-diagnosa alternatif seperti dermatitis seborheik dan ICD.

Wajah dan kelopak mataWajah selalu terpapar terhadap banyak alergen potensial (lihat Gbr.

13-2 dan 13-3). Keterpaparan insidental terhadap aeroalergen bisa mengarah pada konsekuensi-konsekuensi yang parah, sebagai contoh, dermatitis melepuh setelah pembakaran daun yang secara aksidental dikontaminasi

Page 12: Section4 Hal 135

oleh pohon beracun atau dermatitis kontak cahaya kronis dari tanaman feverfew atau tanaman pengandung lakton seskuiterpen lainnya. Lebih lanjut, penularan yang tidak disengaja dari tangan ke tangan sering terjadi di daerah ini, dan dermatitis bisa dilihat meskipun hanya sedikit bukti tentang alergi pada tangan (dermatitis kontak ektopik). Karena wajah merupakan area yang paling besar kemungkinannya tersentuh oleh alat-alat dan bahan-bahan kosmetik terbaru, maka berbagai alergen harus dipertimbangkan. Bahan-bawah pengawet yang menggunakan wahana juga merupakan sumber dermatitis wajah yang signifikan.

LeherSeperti wajah, leher terpapar langsung terhadap lingkungan dan

keterpaparan tidak langsung dari tangan. Dengan gangguan yang berulang dari berbagai zat kimia pewangi (parfum, eau de toilette, pewangi), leher dan pergelangan tangan sangat rentan terhadap dermatitis berloque (berloque adalah bahasa perancis yang berarti “mirip perhiasan kecil,” dan menunjuk pada pigmentasi mirip anting-anting pada leher dan dada. Alergi logam juga bisa bermanifestasi sebagai dermatitis kronis akibat keterpaparan terhadap kalung dan jepitan perhiasan yang mengandung nikel atau kobalt.

TorsoKondisi torso yang relatif terlindungi menyebabkan memiliki sumber

alergen yang berbeda. Walaupun torso juga bersentuhan dengan zat pewangi, zat pengawet, dan deterjen yang digunakan seharu-hari (sabun, losion, body wash), ia juga peka terhadap alergen-alergen tekstil (zat warna dan resin formaldehida). Alergen terkait tekstil yang paling signifikan adalah zat warna dispersi (azoanilin) dan resin urea formaldehida. Lebih khusus, panas, kelembapan, dan gesekan daerah-daerah lipatan tubuh (periaksilari dan perikrural) bisa berkontribusi bagi terlepasnya resin tekstil dan zat warna sehingga menyebabkan menonjolnya dermatitis pada area-area ini.

Aksila

Bagian aksilari mengalami banyak keterpaparan yang sama dengan batang tubuh, dengan satu perbedaan utama yatu penggunaan deodoran dan antiperispiran (Gbr. 13-4). Formulasi produk-produk ini menggunakan berbagai konstituen, seperti zat pewangi (balsem Peru, Lyral (hidroksiisoheksil 3-sikloheksen karboksaldehid)), pengawet (pelepas formaldehida, parabens), dan eksipien lain )ekstrak lichen, vitamin E, propilen glikol). Efek yang umum ditemukan pada adalah tidak terkenanya kubah aksila, akibat dilusi perspirasi alergen. Lebih lanjut, keterpaparan terhadap alergen di udara bisa mengarah pada pola menyebar dengan papula-papula satelit.

Page 13: Section4 Hal 135

Tangan dan kaki

Kejadian dermatitis tangan yang tinggi (lihat bagian Epidemiologi) adalah akibat langsung dari adanya fakta bahwa tangan merupakan perkakas kita yang paling penting dalam melakukan interaksi dengan lingkungan. Bahkan, dermatitis tangan bisa mewakilisebanyak 80 persen dari semua penyakit kulit terkait pekerjaan, khususnya pada lingkungan pekerjaan yang “basah” (misal: perawatan kesehatan, penanganan makanan, kosmetologi, dll). Pertimbangan cermat harus diberikan pada keterpaparan sesifik pekerjaan dalam evaluasi dermatitis tangan. Sebagai contoh, seorang pekerja konstruksi bangunan bisa menjadi peka terhadap kromium yang berasal dari keterpaparan semen, sedangkan para penata rambut bisa alergi terhadap parafenilendiamin (zat warna), kokamidopropil betain (deterjen surfaktan), atau monotioglikolat gliserol (larutan pelurus dan pengombak rambut permanen).

Etiologi dermatitis tangan yang disebabkan banyak faktor menambah sulit diagnosis dan pengobatan (Gbr. 13-1). Gangguan-gangguan lain, seperti atopi, dishidrosis, psoriasis, dan dermatofitosis, bisa ditemukan pada pasien-pasien ini. Kadang-kadang, dermatitis endogen yang bersangkutan bahkan bisa disamarkan atau diperparah dermatitis kontak sekunder (baik alergenik maupun iritan). Sebagai contoh, kasus-kasus dermatitis kontak iatrogenik baik terhadap zat aditif karet pada sarung tangan (thiuram, karbamat) atau terapeutik tpikal (pengawet dan kortikosteroid) bisa ditemukan. Petunjuk-petunjuk klinis yang harus menimbulkan indeks kecurigaan DKA tinggi pada dokter antara lain keterlibatan ruang antar jari tangan dan tangan dorsal, dan pruritus.

Seperti telapak tangan, permukaan telak kaki relatif resisten terhadap terjadinya DKA, dan pemeriksa harus mempertimbangkan ko-morbiditas dan kemungkinan adanya penyakit lain (psoriasis, dishidrosis, dermatosis plantar remaja, dll) untuk mengevaluasi secara komprehensif pasien-pasien yang mengalami manifestasi-manifestasi seperti ini. Dorsum kaki, di sisi lain, sering terlibat. Pemeriksaan menyeluruh harus mencakup tes dengan alergen-alergen dasar yang umum terkait dengan dermatitis kaki, yang mencakup akselerator karet (yang terdapat dalam bahan berbasia karet dan/atau lem), isosianat (dalam karet busa), resin formaldehida p-tert-butilfenol (dalam lem), potasium dikromat (pada kulit yang ditanning), krim-krim antibiotik dan kortikosteroid topikal (dari obat resep dan pengobatan sendiri dengan obat yang dijual bebas), selain pengujian komponen sumber suspek dengan menggunakan sampel biopsi jarum dari sepatu. Seringkali, kontak yang lama dengan komponen sepatu diperlukan untuk mencetus sebuah reaksi.

Keterpaparan Mukosa Perioral dan Perianal

Page 14: Section4 Hal 135

Dermatitis kontak alergi (DKA) mukosa, seperti afthae dan erosi lingual yang disebabkan oleh kontak dengan alergen yang terkandung dalam pasta gigi, cukup langka tetapi bisa jadi prevalensinya tinggi hanya saja tingkat pelaporannya tidak tepat. Yang lebih umum, pasien-pasien yang mengalami dermatitis perioral persisten ketimbang lesi intra-oral. Penyedap rasa, deterjen (kokamidopropil betain), dan pemutih (peroksida) sering ditemukan dalam produk-produk kesehatan gigi. Untungnya, sangat jarang orang bereaksi dengan logam-logam amalgam gigi (nikel, kobalt, merkuri, dan emas) dengan dermatosa mirip lichen-planus oral, stomatitis, atau gejala-gejala sistemiatik. Persentase reaksi yang rendah bisa menunjukkan efek dilusional sekresi-sekresi mukosal atau perbedaan imunitas mukosal. Lebih lanjut, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa keterpaparan mukosal primer terhadap sebuah alergen bisa mengarah pada toleransi. Sebagai contoh, frekuensi sensitifitas nikel lebih rendah pada individu-individu yang mengalami pengobatan ortodontik sebelum pemasangan tindik telinga.

Dengan semakin banyaknya orang tua (di atas 65 tahun) yang terdapat dalam komunitas, maka perubahan-perubahan terkait usia seperti kekeringan mukosa, pertarakan, dan ketidakmampuan membersihkan diri dengan baik telah menyebabkan meningkatnya penggunaan produk-produk kesehatan genital dan perianal dan meningkatnya keterpaparan terhadap alergen-alergen terkait, seperti tisu toilet basah (metilkloroisotiazolinon dan metildibromoglutaronitril) dan suppositori (pewangi dan parabens). Walaupun reaktifitas yang lebih rendah atau lebih lambat dilaporkan pada populasi tua, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa DKA terus terjadi pada populasi ini. Sehingga, kewaspadaan yang meningkat akan diperlukan untuk menemukan hubungan-hubungan alergen baru yang melibatkan produk-produk ini dan produk lainnya yang digunakan oleh populasi ini.

Dermatosa paradoksikal

Alergen inti yang menimbulkan dermatitis paradoksikal adalah emas. Penting untuk diperhatikan bahwa reaksi-reaksi alergi terhadap emas sangat jarang melibatkan bagian yang bersentuhan dengan perhiasan yang mengandung emas, seperti jam tangan atau cincin. Reaksi-reaksi bisa terlihat pada kelopak mata, pipi, atau pada bagian depan hidung, tetapi juga pada kondisi dimana emas bersentuhan dengan logam yang lebih keras seperti titanium dioksida atau zink oksida dalam sebuah suscreen, krim kosmetik, atau krim dasar.

Beberapa alergen lain (seperti lanolin dan paraben) juga mendapatkan perhatian karena pencetusan DKA paradoksikal yang dihasilkan dimana diketahui bahwa alergen-alergen ini terlalu lemah untuk mencetuskan sebuah respon pada kulit utuh tetapi bisa menghasilkan DKA jika diaplikasikan pada

Page 15: Section4 Hal 135

sebuah epidermis yang rusak(seperti atopi, stasis dermatitis) – sehingga istilah paraben paradox dan lanolin paradox digunakan. Lebih lanjut, kortikosteroid, yang dianggap sebagai alergen pada tahun 2005 oleh American Contact Dermatitis Society, karena sifat anti-inflamasi intrinsiknya, memerlukan pembacaan tes tempel tertunda (setelah 96 jam) untuk memastikan reaksi alergi. Pada kasus dermatitis resisten pengobatan atau kasus dimana progresi klinis terjadi meskipun dengan penggunaan kortikosteroid poten, alergi kortikosteroid harus dicurigai. Seseorang harus menyadari lima golongan struktural dari kortikosteroid (golongan A, B, C, D1, dan D2; lihat Chapter 216) dan reaktifitas-silang potensial diantara golongan-golongan ini.

Manifestasi sistemik dan dermatitis menyeluruh

Dermatitis kontak sistemik merupakan sebuah aspek DKA yang relatif umum dan belum banyak dipahami dimana aspek ini menyoroti potensi untuk ingatan imunologi yang lama pada area-area kulit yang telah menjadi peka sebelumnya. Fenomena ini terjadi utamanya pada individu-individu yang pada awalnya mengalami pemekaan secara topikal terhadap sebuah alergen dan kemudian selanjutnya terpapar secara sistematik, yang menghasilkan berbagai outcome, mulai dari reaksi reacall (dermatitis pada tempat pemekaan pertama) sampai dermatitis ekstensif dengan kenampakan aneh dan eritroderma.

Semakin banyak alergen terdapat di alam dan lingkungan pasien, semakin tidak jelas hubungan-hubungan temporal antara keterpaparan dan dermatitis. Salah satu alergen yang terkenal adalah balsem Peru, yang diperoleh dari getah batang pohon ElSavadoran Myroxylon pereirae (lihat Gbr. 13-2, 13-5). Alergen ini ditemukan pada bahan-bahan kebersihan bayi dan pada orang bahan-bahan yang digunakan orang dewasa seperti parfum hingga bahan adhesif gigi. Lebih lanjut, balsem ini sendiri sering digunakan sebagai pewangi dan zat aditif makanan (misal: pada lozenges, sirup batuk, suspensi antibiotik anak, dan kola). Yang lebih penting, karena zat-zat kimia ini (asam sinamat, sinamat sinamil, benzil benzoat, asam benzoat, dan benzil alkohol dan polimer teresterifikasi dai alkohol coniferil) diperoleh secara alami, mereka memiliki beberapa reaktan-silang alami (sinamon, cengkeh, eugenol). Pada salah satu laporan analisis-analisis khusus membuktikan bahwa tomat tomat yang mengandung alkohol sinamat dan alkohol koniferil, dua alergen utama dalam campuran balsem Peru. Konsumsi alergen-alergen ini bisa menghasilkan reaksi reacall secara topikal pada bagian tubuh lain dimana zat-zat kimia serupa sebelumnya diaplikasikan adau menyebabkan suar sistemik (lihat Gbr. 13-5). Sebanyak 47 persen dari pasien yang alergi terhadap balsem Peru dan/atau zat pewangi lain memerlukan modifikasi diet untuk mengontrol dermatitis mereka; 18 persen pasien yang gagal

Page 16: Section4 Hal 135

memodifikasi diet mereka mengalami penyakit persisten, dan hanya 36 persen yang membaik tanpa modifikasi diet.

Logam adalah sekelompok alergen yang sering ditemui (nikel, kobal, dan kromium). Logam-logam ini terdapat pada berbagai objek logam (perhiasan, jepitan, kancing baju, klip kertas, dan koin) selain sumber yang tidak terduga seperti asap rokok, vitamin, air, dan makanan.

Alergen yang sering dan tidak terduga lainnya adalah formaldehida. Zat ini memiliki banyak aplikasi industri, termasuk dalam plastik dan lem, dan umum digunakan sebagai biosida spektrum luas. Dengan demikian, sumber keterpaparannya bisa berkisar mulai dari material insulasi, lem sepatu, produk kertas, pengeras kuku, resin pakaian, dan asam rokok, hingga produk-produk kesehatan personal dan krim medis yang umum digunakan. Bahan-bahan pengawet formaldehida (FRP) mencakup kuaternium-15 (Dowicil), imidazolidinil urea (Germal I), diazolidinil urea (Germal II), 2-bromo-2-nitropropana-1,3-diol (Bronopol), dimetiloldimetil hidantoin (Glydant), dan tris-(hidroksi-metil)-nitro-metana (Tris Nitro). Banyak kosmetik dan krim yang mencakup bahan-bahan pengawet alergenik yang umum ini. Yang patut diperhitungkan. Beberapa preparasi steroid topikal mengandung jumlah FRP yang cukup tinggi, dan kegagalan untuk sembuh mengharuskan dilakukannya tes tempel dengan kortikosteroid dan bahan pengawet. Lebih lanjut, kortikosteroid yang mengandung FRP tidak boleh digunakan oleh pasien yang hipersensitif terhadap formaldehida.

Bagi banyak pasien, diagnosis alergi karet melibatkan banyak zat yang harus dihindari, karena zat kimia karet alami dan sintetik sangat umum. Tempat yang sering bersentuhan dengan alergen dan tempat terjadinya reaksi lanjutan adalah wajah (sponges makeup), area periokular (sarung tangan, pelengkung bulu mata), saluran telinga (earplug dan ear phone), beha, dan/atau area garis pinggang, area genital (kondom, diafragma, pressarie), tangan (sarung tangan, pita karet), kaki (sepatu), dan/atau sendi (kawat ortopedi). Penting untuk diperhatikan bahwa untuk setiap 100 lb karet, terdapat 4 sampai 5 lb zat aditif karet (90 persen diantaranya menjadi akselerator dan antidegradasi), dan zat-zat aditif ini bertanggung jawab atas kebanyakan reaksi. Sensitisasi tipikal terhadap zat pengakselesari (seperti thiuram, karbamat, guanidin, dan/atau benzothiazol) atau antioksidan (campuran karet hitam/turunan PPD) yang ditemukan pada karet alami dan karet sintetik, dengan campuran thiuram (62 persen) dan campuran karet hitam (38 persen) yang merupakan penyebab yang paling umum.

Varian-varian non-ekzematosa dari dermatitis kontak alergiDKA, seperti syfilis, merupakan peniru ulung dengan banyak varian

non-ekzematosa, termasuk tetapi tidak terbatas pada dermatitis kontak lichenoid, erythema multiformis (EM), hipersensitifitas kontak dermal yang tampak seperti selulitis, leukoderma kontak, purpura kontak, dan eritema

Page 17: Section4 Hal 135

diskromikum perstans. Dari kondisi-kondisi ini, lichenoid dan varian mirip erytema multiformis merupakan yang paling umum.

Reaksi-reaksi kontak alergik lichenoid biasanya terjadi setelah keterpaparan dan pemekaan terhadap logam, pewarna, dan agen perasa. Logam khususnya telah terkait dengan lichen planus oral. Banyak obat yang juga bisa menyebabkan hipersensitifitas lichenoid sistemik, yang paling umum adalah turunan kuinin, hidroksiurea, inhibitor enzim pengubah angiotensin, beta-blocker, dan agen anti-epilepsi. Reaksi-reaksi DKA yang mirip erytema-multiformis lebih sering ditemukan setelah kontak dengan kayu-kayu eksotik, tanaman-tanaman umum, dan obat topikal. Varian non-ekzematosa lainnya dari DKA cukup langka. Yang perlu diingat, kebanyakan kasus leukoderma kontak disebabkan baik oleh hipopigmentasi pasca-inflamasi atau toksisitas kimiawi langsung (seperti hidrokuinon, catechol, fenol, merkaptoamin). Dermatitis granulomatosa telah dilaporkan sebagai respon terhadap logam, termasuk merkuri, kromat, kobalt, berilium, emas, dan palladium (Gbr. 13-6). Urtikaria kontak alergi

Urtikaria kontak alergi (UKA) mewakili salah satu dari bentuk yang paling tidak umum dari dermatitis kontak. UKA merupakan reaksi hipersensitifitas tipe-cepat berperantara imunoglobulin yang berbeda dari reaksi hipersensitifitas tipe IV berperantara sel T pada DKA. Yang lebih penting. UKA telah dilaporkan terjadi akibat beberapa agen yang juga mampu menimbulkan reaksi tipe IV, contohnya basitrasin (antibiotik), merkaptobenzothiazol (akselerator karet), dan kolofoni (adhesif).

Alergen yang paling terkenal menyebabkan UKA di seluruh dunia adalah lateks karet alam. Kejadian UKA di Amerika Serikat sebagian besar tidak diketahui; akan tetapi, perkiraan-perkiraan yang ada menunjukkan bahwa kurang dari 1 persen hingga 2 persen populasi umum terkena. Diantara para pekerja rumah sakit yangpaling besar kemungkinannya terpapar terhadap sarung tangan karet alam. Persentase UKA lateks telah dilaporkan berkisar antara 5,5 persen sampai 38 persen. Lebih lanjut, kondisi-kondisi komorbid yang memerlukan perawatan rumah sakit dan perawatan medis di awal-awal masa kehidupan, seperti dermatitis atopik sedang hingga parah, spina bifida, atau meningomyelosel, menyebabkan rentan mengalami UKA, seperti keterpaparan mukosal terhadap lateks.

UKA akibat lateks bisa terjadi sebagai gejala-gejala langsung 9seperti sensasi terbakar, sengatan, atau gatal-gatal dengan atau tanpa urtikaria terlokalisasi pada saat bersentuhan dengan protein-protein lateks) atau, dengan keterpaparan aerosolisasi, bisa mencakup urtikaria menular, rhinitis alergik, dan/atau anafilaksis. Pasien-pasien yang alergi lateks juga bisa mengalami reaksi hipersensitifitas tipe IV terhadap komponen-komponen non-lateks sarung tangan, biasanya pada aspek dorsal tangan; contoh, terhadap zat aditif karet (thiuram) yang bisa ditemukan dalam sarung tangan

Page 18: Section4 Hal 135

lateks, nitril, dan vinil. Berbeda dengan DKA, UKA sebagai respon terhadap sarung tangan lateks bisa terjadi dengan melibatkan telapak tangan, yang mana bisa terkait dengan kelarutan protein lateks atau kandungan lipid dari permukaan volar hiperkeratotik yang disebabkan oleh hidrosis normal.

Walaupun terdapat lebih dari 250 protein lateks karet alam, namun hanya sekitar 25 persen yang menunjukkan reaktivitas dengan autoantibodi imunoglobulin E. Sampai tahun 2003, International Union of Immunological Societies Committee on Nomenclature memuat 13 alergen protein Hevea brasiliensis (Hev b). kemajuan signifikan dalam teknologi DNA dan kloning telah memungkinkan pemurnian dan karakterisasi alergen-alergen ini. Sekarang diketahui bahwa alergen Hev b yang paling penting adalah Hev b 1 sampai 3 untuk anak-anak yang mengalami spina bifida dan hev b 2 dan 5 sampai 7 untuk pekerja perawatan kesehatan.

Diagnosis alergi lateks harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang memiliki riwayat urtikaria atau angioedema ketika mengenakan kondom atau sarung tangan, atau ketika meniup balon. Tes radioalergosorben in vitro dan uji ELISA sebaiknya dilakukan sebagai tahapan diagnostik awal. Ada tiga uji serologi in vitro yang telah disetujui FDA untuk tujuan diagnostik, yaitu: ImmunoCAP, AlaSTAT FEIA, dan HY-TEC EIA.

Walaupun tes cucuk kulit merupakan standar emas, tetapi perlu diperhatikan bahwa saat ini belum ada obat alergen lateks yang disetujui FDA. Profil stabilitas dan dan keterkendalian mutu dari lateks tak-beramonium menjadikannya sebagai kandidat teratas untuk pemberian izin oleh FDA. Saat ini, ekstrak-ekstrak ekstemporaneous atau elute yang dibuat dengan merendam sarung-tangan alergen-tinggi dalam air pada suhu kamar digunakan. Pada kebanyakan tetapi tidak semua kasus, fraksi yang keluar ini sudah mencukupi untuk memungkinkan konfirmasi UKA dengan tes cucuk kulit. Harus ditekankan bahwa tes in vivo bisa mempotensiasi reaksi-reaksi anafilaksis.

TEMUAN LABORATORIUM

Tes Tempel In VivoMetode standar emas untuk diagnosis DKA masih tetap tes tempel.

Rincian prosedur tes tempel tidak dibahas di bab ini tetapi bisa ditemukan dalam beberapa buku teks standar. Perlu diperhatikan bahwa hanya 23 alergen yang ada di pasaran yang saat ini disetujui FDA di Amerika Serikat untuk digunakan dalam sistem siap pakai. Tabel 13-1 secara jelas menunjukkan bahwa hampir setengah dari 25 alergen teratas di Amerika Utara tidak tersedia di Amerika Serikat. Tes T.R.U.E (Thin-layer Rapid Use Epicutaneous) memiliki dua baki panel. Sehingga, peneliti yang ingin mengevaluasi lengkapi pasien mereka harus mempersiapkan baki alergen dengan alergen standar yang tersedia di apsaran dan menambahkan

Page 19: Section4 Hal 135

material tes spesifik pasien untuk kelengkapan.

Hasil true positive and true negativePengidentifikasian reaksi-reaksi true-positif yang memiliki relevansi

klinis merupakan tujuan utama tes tempel dan paling dapat dicapai dengan probabilitas pra-tes tinggi. Seperti yang telah diketahui, salah satu tantangan utama dalam tes tempel adalah bagaimana mendapatkan hasil true-positif (sensitisasi sejati) tanpa relevansi klinis dengan masalah dermatologi terkni pasien dan dengan mengasumsikan bahwa mereka terkait. Upaya-upaya untuk menentukan relevansi alergen seperti ini bisa mengarah pada konsekuensi yang sulit baik bagi dokter maupun pasien. Penentuan relevansi klinis terhadap sebuah hasil tes tempel true-positif memerlukan korelasi antara area-area kulit yang terlibat dan keterpaparan lingkungan pasien, dan catatan perbaikan signifkan pada penghindaran alergen atau rekurensi dengan re-introduksinya.

Badan The North American Contact Dermatitis Group sering melaporkan data-data prevalensinya dengan penetapan relevansi, dan kegagalan relevansi yang terus menerus menandai alergen untuk dikeluarkan dari screening standar. Salah satu contoh yang baik tentang ini adalah thimerosal. Banyak pasien dengan hasil tes tempel positif terhadap thimerosal telah dipekakan oleh vaksin tetapi asimtomatik. Perlu diperhatikan bahwa kurangnya relevansi tidak berarti pasien tidak alergi terhadap zat kimia yang dimaksud, tetapi lebih spesifik bahwa zat kimia ini bukan merupakan agen penyebab untuk dermatitis yang sedang dievaluasi.

Hasil True-negatif adalah komponen yang sama pentingnya dari tes tempel, karena memberikan jaminan bahwa zat kimia yang dipertanyakan tidak menyebabkan dermatitis. Jika ada pertanyaan muncul tentang apakah hasil true-negatif benar-benar tidak relevan, maka tes aplikasi terbuka berulang provokatif bisa menjadi alat diagnostik yang sangat bermanfaat. Pasien diperintahkan untuk mengaplikasikan produk secara berulang ke kulit normal utuh beberapa kali sehari selama 1 sampai 2 pekan untuk menimbulkan sebuah reaksi. Hasil false-positive dan false-negative

Tidak ada tes in vivo yang sempurna, dan pengetes tempel investigatif harus selalu mempertimbangkan kemungkinan adanya reaksi false-positive dan false-negative ketika melakukan tes tempel.

Karena terdapat lebih dari 3700 alergen manusia potensial, dan karena keterbatasan baku screening yang tersedia secara komersial seperti tes T.R.U.E dan Alat Tes Tempel Alergen, maka cukup beralasan jika disebutkan bahwa banyak alergen relevan yang tidak terdientifikasi. Dalam sebuah analisis terhadap data North American Contact Dermatitis Group untuk tahun 1994 sampai 1996 pada 3120 pasien ditemukan bahwa 62 persen memiliki sekurang-kurangnya satu reaksi positif terhadap alergen

Page 20: Section4 Hal 135

yang terdapat pada Tes T.R.U.E, yang diantaranya 45 persen relevan dengan dermatitis terbaru. Dalam penelitian mereka terhadap 732 pasien selama 5,5 tahun, Cohen dkk menemukan bahwa hanya 23 persen dari pasien yang bereaksi eksklusif terhadap alergen dalam seri standar Allergen patch Test, 37 persen bereaksi terhadap alergen baik pada seri alergen standar maupun tes suplemen lain, dan 40 persen bereaksi hanya pada alergen suplemen.

Tes In Vitro untuk Dermatitis Kontak Alergi Tes in vitro dan tes pada hewan untuk diagnosis ACD seperti

transformasi limfosit dan tes inhibisi migrasi makrofage telah dikembangkan selama dekade terakhir. Salah satu kendala utama dalam mengembangkan sistem-sistem in vitro adalah kurangnya spesifitas untuk mendeteksi gugus-antigenik dari sebuah zat kimia tertentu. Tes transformasi limfosit yang dilakukan pada sel-seld arah dari pasien yang mengalami reaksi tes tempel positif terhadap campuran thiuram dan/atau yang menunjukkan pemekaan terhadap tetrametiltiuram monosulfida dan tetrametiltioram disulfida menunjukkan proliferasi signifikan sel-sel mononuklear darah perifer sebagai respons terhadap konyugat-konyugat hapten, sedangkan sel-sel dari pasien yang mengalami reaksi tes tempel negatif terhadap thiuram dan donor kontrol dengan tanpa riwayat DKA gagal memberikan respons yang signifikan. Uji kelenjar-getah-bening lokal, yang menggunakan model mencit, memungkinkan penilaian kuantitatif terhadap potensi pemekaan alergen. Akant etapi, tes tempel masih tetap menjadi satu-satunya bioassay yang terpercaya untuk menilai pemekaan terhadap zat-zat kimia eksogen.

DIAGNOSIS BANDING

Dermatosa EkzematosaDiagnosis banding DKA mencakup berbagai gangguan kulit inflamatori

(lihat Box 13-1). Keberadaan spongiosis eosinofilik dan sel fibrohistiositik dendritikd ermal khususnya sangat menandakan DKA ketika ditemukan bersama dengan adanya acanthosis, infiltrat limfositik, eosinofil dermal, dan hiperkeratosis.

Varian Non-ekzematosaTemuan patologik varian DKA non-ekzematosa mungkin hampir identik

dengan temuan patologik pada penyakit yang distimulasinya. DKA lichenoid memiliki beberapa ciri yang membantu membedakannya dari lichen planus idiopatik, termasuk infiltrat lichenoid itnens yang lebih sedikit dengan neutrofil dan eosinofil yang lebih banyak, hiperplasian epidermal yang lebih sedikit dengan keratinosit nekrotik yang lebih sedikit, dan spongiosis epidermal. Berbeda dengan itu, DKA mirip EM (erythema multiformis) tidak memiliki spongiosis epidermal, dan karakteristiknya tidak dapat dibedakan dari

Page 21: Section4 Hal 135

karakteristik EM yang disebabkan penyebab lain. Hipersensitifitas kontak dermal juga kekurangan spongiosis tetapi memiliki infiltrat limfohistiositik karakteristik, perivaskular yang sering menembus lebih dalam ke dermis (dermal tengah) dibanding DKA ekzematsa. Ciri histopatologi dari leukoderma kontak alergi akut belum diteliti. Pada kasus-kasus yang telah dilaporkan, reaksi tes tempel ekzematosa terhadap PPD selanjutnya berdepigmentasi, pada waktu mana spesimen biopsit idak dapat dibedakan dari vitiligo imbas kimiawi. Purpura kontak alergi secara patologi mirip dengan varian DKA ekzematosa tetapi dengan capillaritis yang menghasilkan ekstravasasi sel darah merah. Cukup sulit untuk membedakannya dari dermatosa purpura berpigmen lainnya.

Pada semua varian non-ekzematosa dan varian ekzematosa dari DKA, tes tempel merupakan satu-satunya alat untuk diagnosis akurat. Riwayat, pemeriksaan fisik, dan/atau patologi biasanya tidak diagnostik.

KOMPLIKASI

Komplikasi dari Bukan Tes TempelPada tahun 2004, The American Academy of Dermatology dan Society

for Investigative Dermatology menentukan bahwa 72 juta orang Amerika hidup dengan dermatitis kontak dan bahwa ini merupakan alasan paling umum ke-tiga bagi para pasien untuk pergi konsultasi dengan dokter. Kondisi ini mewakili 9,2 juta kunjungan pada tahun tersebut,d engan biaya $1,9 milyar. Pada tahun 1989, Rietschel menentukan bahwa tes tempel terhadap 5,7 juta orang yang diperkirakan mengalami dermatitis/ekzema diterjemahkan menjadi rasio biaya/manfaat positif sebesar $40 juta terhadap $90 juta per tahun, apabila pengeluaran tes tempel dibandingkan dengan biaya pengobatan. Lebih lanjut, Van der Valk, Devos, dan Coentraads melaporkan bahwa tes tempel bahkan lebh efektif apabila tes dilakukan pada pasien yang indeks kecurigaannya tinggi untuk diagnosis DKA, karena kemungkinan yang meningkat untuk pendeteksian alergen relevan dengan outcome klinis yang jauh lebih baik.

Komplikasi dari Tes TempelKekecewaan pasien adalah masalah signifikan dengan tes tempel,

karena tidak ada jaminan pendeteksian alergen yang relevan secara klinis atau jaminan perbaikan kulit dengan menghindari alergen tertentu. Hal ini diantisipasi dan diharapkan terjadi, tetapi risiko-risiko kecil untuk menyebabkan suar deramtitis dan, walaupun terpencil, dan risiko untuk menimbulkan pemekaan terhadap salah satu dari beberapa alergen. Pasien harus diberikan pengertian bawha reaksi-reaksi tes positif bisa berlangsung selama beberapa pekan, dan terkadang lebih lama, Hiperpigmentasi pasca-inflamasi bisa terjadi pada tempat reaksi tes tempel positif.

Page 22: Section4 Hal 135

PROGNOSISCukup sulit untuk menilai prognosis sebenarnya dari DKA, karena

tidak ada instrumen baku untuk itu. Kuisioner quality-of-life (yang menilai parameter gejala, emosional, dan fungsional), jumlah kunjungan dermatologi pasien-rawat-jalanm dan evalasi subjektif semuanya telah digunakan. Pada kenyataannya, banyak informasi tentang prognosis yang diekstrapolasi dari data-data tentang dermatitis kontak kerja, karena implikasi penting untuk kompensasi pekerja. Penting untuk diperhatikan bahwa data-data ini mengalami bias seleksi, karena kebanyakan penelitian menyelidiki pasien-pasien yang sedang dievaluasi pada klinik rujukan dermatitis kontak perawatan tersier.

Hampir dua dekade yang lalu, prognosis untuk dermatitis kontak kerja relatif buruk, dengan hanya 30 persen sampai 50 persen pasien yang menunjukkan perbaikan. Untungnya, review-reivew yang lebih terbaru menunjukkan bahwa dengan intervensi dini dan penatalaksanaan yang tepat, lebih dari 75 persen pasien sembuh tanpa gangguan permanen. Kecenderungan terhadap prognosis positif ini bisa terkait dengan pengidentifikasian alergen-alergen, standardisasi alat diagnostik yang lebih baik, upaya preventif meningkat, dan pendidikan pasien.

Cahill dkk melakukan telaah pustaka yang ekstensif untuk mengidentifikasi variabel-variabel umum yang mempengaruhi prognosis. Mereka secara spesifik mengamati efek usia, jenis kelamin, atopi, pengetahuan pasien, etiologi penyakit, durasi gejala, dan perubahan pekerjaan, dan tidak menemukan perbedaan-perbedaan yang terkait dengan faktor-faktor ini. Perubahan kondisi kerja tidak selalu terkait dengan prognosis yang membaik, karena pasien mungkin masih belum menghindari alergen pencetus secara memadai. Lebih lanjut, perubahan pekerjaan, walaupun bisa memperbaiki DKA, bisa memiliki imbas negatif langsung terhadap kualitas hidup.

Walaupun penilaian dasar pengetahuan pasien cukup sulit, namun umumnya disepakati bahwa pengetahuan yang lebih tinggi terkait dengan outcome klins yang lebih baik. Dalam sebuah studi follow-up yang dilakukan oleh Agner, Flyvholm, dan Menne, pasien-pasien yang didiagnosa dengan alergi formaldehida diberitahukan tentang diagnosis mereka dan alergen penyebab, dan diberikan penilaian keterpaparan untuk produk-produk mereka. Pada 1 sampai 5 tahun pasca tes-tempel, pasien diwawancarai dan diperiksa oleh dermatologist, dan diberikan penilaian keterpaparan lebih lanjut untuk produk yang sedang mereka pakai. Seperti yang diharapkan, pasien yang melaporkan tidak memperhatikan alergen mereka ketika membeli atau menggunakan produk konsumen terpapar terhadap formaldehida dalam produk yang sedang mereka gunakan. Lebih lanjut, pasien yang melaporkan memperhatikan untuk menghindari alergen mereka

Page 23: Section4 Hal 135

memiliki flare yang lebih sedikit dari dermatitis mereka. Penggunaan alat Contact Allergen Replacement Database

memungkinkan untuk waktu konseling rata-rata yang lebih singkat dan kadar kepuasan pasien yang lebih tinggi, walaupun tidak ada perbedaan yang signifikan menurut statistik ditemukan pada tolok-tolok ukur klinis aktivitas penyakit.

Nielsen dkk melakukan sebuah penelitian cross-sectional terhadap sebuah sampela cak yang terdiri dari 567 orang (berusia antara 15 sampai 69 tahun) dan penelitian tempel ulang selanjutnya terhadap 365 (68 persen) populasi awal. Hasil tes tempel positif dikonfirmasi ulang pada 71 persen subjek (37 dari 52) 8 tahun setelah penelitian awal. Nikel memicu frekuensi tertinggi reaksi positif pada 79 persen 919 dari 24 subjek), sedangkan komposisi kosmetik frekuensi terendah, 50 persen (5 dari 10 subjek). Yang perlu diperhatikan, 60 persen (21 dari 35 subjek) memiliki reaksi tes tempel positif terhadap satu atau lebih alergen. Penelitian ini menguatkan diperlukannya menghindari alergen untuk menghindari timbulnya DKA. Sayangnya, ada beberapa faktor yang di luar kemampuan pasien untuk dikontrol. Ini mencakup sifat alergen itu sendiri atau ketidakmampun untuk melindungi kulit dari lingkungan (misal: wajah dan tangan selalu terpapar). Laporan-laporan menandakan bahwa pemekaan terhada nikel, kromium, dan epoksi terkait signifikan dengan prognosis yang kurang mendukung, khususnya jika kontak terkait dengan pekerjaan, bahkan jika keterpaparan berlanjut dihentikan.

Meding, Wrangsjo, dan Jarvhom mengevaluasi relevansi kerja, dan implikasi mediko-sosial dari dermatitis tangan pada pasien-pasien yang didiagnosa melalui sebuah penelitian berbasis populasi pendahuluan. Pasien-pasien dievaluasi dengan menggunakan dua kuisioner, satu diberikan pada awal penelitian dan yang satu diberikan 15 tahun kemudian. Dari pasien-pasien yang melengkapi kedua kuisioner, 66 persen melaporkan pemburukan berkala pada ekzema tangan kronis (44 persen diantaranya terjadi pada tahun sebelumnya), sedangkan 12 persen mengalami gejala-gejala kontinyu. Temuan-temuan ini menggarisbawahi kekronisan kebanyakan kasus dermatitis tangan. Faktor-faktor prediktif untuk severitas ekzema tangan juga dinilai dengan menggunakan model regresi logistik. Faktor prediktif yang paling penting untuk persistensi penyakit adalah riwayat ekzema anak, keterlibatan ekzema yang lebih besar pada pemeriksaan awal, dan usia di bawah 20 tahun sat onset ekzema tangan. Selain itu, mereka menemukan bahwa dermatitis tangan terkait dengan perubahan fungsi psikososial, contoh, gangguan tidur (36 persen) dan aktivitas waktu-luang yang terganggu (72 persen). Pada 3 persen pasien yang melaporkan perubahan kerja akibat dermatitis tangan mereka, peribahan ini berkorelasi dengan perbaikan klinis.

Page 24: Section4 Hal 135

PENGOBATAN

Penatalaksanaan dasar dari pasien yang mengalami DKA tergantung pada pengobatan gejala dan penghindaran kontak selanjutnya dengan orang yang alergi.

Intervensi FarmakologisUntuk menangani dermatitis kontak kronis simtomatik atau akut,

intervensi farmakologi diperlukan untuk menghindari gejala-gejala dan keterbatasan fisik yang ditimbulkan oleh erupsi. Imbas dermatitis terhadap aktivitas hidup keseharian dan kemampuan untuk melakukan fungsi kerja tidak boleh diremehkan.

Erupsi akut vesikular bisa dibantu dengan penggunaan agen pengering seperti aluminium sulfat tropikal/kalsium asetat. Erupsi lichenoid kronis paling baik diobati dengan emolien. Pruritus bisa dikendalikan dengan anti-pruritus topikal atau antihistamin oral, tetapi antihistamin topikal dan anestesi sebaiknya dihindari karena risiko menimbulkan alergi sekunder pada kulit yang sebelumnya telah mengalami dermatitis.

Meskipun dengan kekurangan-kekurangan yang terkait dengan penggunaan jangka-panjangnya, kortikosteroid masih tetap menjadi standar emas dan unggulan utnuk menghindari gejala-gejala dan mempercepat penyembuhan dari DKA. Kortikosteroid topikal (dibagi menjadi lima kelas struktural stereokimia, seperti dengan mekanisme kerja dan efektifitas luas) telah dibuktikan pada beberapa model untuk mengurangi tanda-tanda dan gejala-gejala DKA. Lebih lanjut, obat-obat ini umumnya ditolerir dengan baik jika digunakan dalam jangka pendek. Akan tetapi, penggunaan jangka-panjang steroid topikal bisa menghasilkan atropi kutaneous, hirsutisme, hipopigmentasi, folikulitis, akne, dan absorpsi sistemik. Penggunaan kortikosteroid sistemik, di sisi lain, hanya dianjurkan pada kasus sedang sampai akut dan pada kasus DKA yang membandel.

Dalam satu dekade terakhir, inhibitor-inhibitor kalsineurin telah digunakan sebagai opsi pengobatan untuk berbagai gangguan kulit inflamatori. Mekanisme kerjanya dirinci pada bab 221. Siklosporin oral dan takrolimus topikal dan pimekrolimus telah menunjukkan efikasi dalam pengobatan dermatitida ekzematosa, yang mencakup dermatitis atopik, serta dermatitis kontak. Siklosporin telah digunakan secara oral untuk mengobati DKA, tetapi penetrasi terbatas telah membatas penggunaan topikalnya. Selain itu, takrolimus dan pimekrolimus telah terbukti efektif sebagai obat anti-inflamasi topikal.

FototerapiFototerapi telah dipersiapkan untuk pasien-pasien yang mengalami

DKA membandel yang tidak merespons terhadap kortikosteroid dan utnuk

Page 25: Section4 Hal 135

pasien yang tidak mampu menghindari semua faktor pemicu dalam lingkungan keseharian mereka. Beberapa penelitian telah menunjukkan efektifitas sinar ultraviolet (fotokemoterapi psoralen oral plus ultraviolet A, dan terapi dengan sinar ultraviolet B gelombang-pendek), karena sifat imunosupresif intrinsiknya, dalam pengobatan DKA kronis dan DKI tangan. Lebih lanjut, terapi sinar ultraviolet B dikatakan menghasilkan efek yang sangat baik pada 7 dari 10 pasien yang mengalami DKA tangan. Lebih khusus, durasi pengobatan cukup lama (5 bulan), terapi penjagaan diperlukan, dan kontrol tidak dilakukan.

PENCEGAHAN

Pencegahan bergantung pada penghindaran alergen. Terkadang, sensitisasi terhadap alergen seperti nikel dan zat kimia pewangi seperti balsam Peru bisa mencetuskan reaksi-reaksi non-terlokalisasi melalui absorpsi sistemiknya (Tabel 13-3).

Tabel 13-3. Makanan dan item-Item Topikal yang Dilaporkan Memicu Reaksi Pada Orang-Orang yang Alergi terhadap Zat Pewangi dan Balsam Peru

- Tomat - Buah jeruk - Rempah-rempah seperti kayu manis, cengkeh, vanila, pala, kari, paprika, minyak adas manis, dan jahe. - Coklat- Cabe rawit - Bir dan anggur - Cuka - Produk susu - Kopi - Makanan panggang - Obat rangsang hemoroid- Produk kesehatan pribadi dan kosmetik

- Teh, kopi, dan tembakau berasa - Deodoran - Losion cukur - Permen - Tinktur benzoin - Kola dan minuman ringan lainnya - Semprot luka - Krim obat - Losion kalamin- Bedak bayi - Semen dental - Tabir surya- Tablet batuk - Losion tanning - Preparasi bibir

Pada beberapa keadaan, penghindaran alergen-alergen ini dalam diet bisa menghasilkan perbaikan klinis. Pada kejadian manapun, pengobatan DKA cukup dengan menghindari alergen. Adalah proses elusidasi dan implementasi rencana pengobatan ini yang bisa sulit dicapai. Konsep ini diperkuat oleh hasil dari salah satu penelitian terhadap 230 pekerja, dimana hanya sepertiga partisipan penelitian yang secara akurat mengingat diagnosis mereka dan resimen pengobatan mereka, dan dermatitis persisten

Page 26: Section4 Hal 135

tiga kali lebih mungkin pada pekerja yang tidak dapat mengingat informasi ini dibanding yang tidak. Manfaat penghindaran alergen dan konsekuensi untuk tidak melakukannya dibahas pada bagian Prognosis.

Untuk alergen tertentu yang ditemukan dalam preparasi topikal (misal: wahana, pengawet, pengstabil, dan pengemulsi), penting untuk memberitahukan kepada pasien tentang pentingnya membaca label. Selain itu, database elektronik yang diupdate secara teratur tentang komposisi kosmetik dan obat topikal resep atau yang dijual bebas sudah tersedia di Internet dan memungkinkan para dokter untuk membuat daftar obat topikal yang sesuai untuk orang yang mengalami alergi spesifik.

Pasien-pasien dengan alergi terhadap zat pengawet (misal: metilkloroisothiazolon) harus mengetahui bahwa zat-zat ini bisa ditemukan pada banyak formulasi cair, seperti cat lateks. Lebih lanjut, nama yang diberikan kepada zat kimia yang digunakan dalam sebuah kosmetik atau produk farmaseutik sering berubah jika digunakan pada produk industri. Sebagai contoh, zat pengawet kosmetik kuaternium-15, jika digunakan dalam industri, disebut sebagai Dowicil 100 atau Dowicil 200. Para dokter yang memandu pasien tentang nama-nama kimia ini disarankan untuk merujuk buku-buku teks standar tentang masalah ini.

Sayangnya, untuk pasien dan dokter, komponen-komponen alergen dari banyak bahan akan gagal diidentifikasi (seperti alergen terkait karet, tekstil, dan logam). Dalam konseling pasien yang memiliki reaksi terhadap material-material ini, dokter harus memberikan informasi tentang jenis produk apa yang kemungkinan mengandung alergen, serta pengganti apa yang cocok. Informasi seperti ini bisa ditemukan dalam buku-buku teks standar. Lebih lanjut, beberapa alergen bisa diberi label secara tak lengkap; misalnya, dengan sifat sebuah fproduk pewangi, masing-masing zat pewangi yang dikombinasikan dalam produk tersebut bisa tidak tertulis di label. Pasien yang alergi terhadap sebuah zat pewangi harus dianjurkan utnuk menggunakan bahan yang bebas zat pewangi, yang mencakup tidak hanya preparasi topikal tetpai juga berbagai produk lain seperti tisu kamar mandi, serbet kebersihan, dan popok.

Karena banyak alergen yang memiliki gugus antigenik umum yang sama, maka pasien perlu diinstruksikan tidak hanya tentang alergen yang diketahui tetapi tentang kemungkinan alergen-alergen yang bereaksi silang. Contoh, orang yang alergi terhadap benzokain harus mengetahui zat-zat yang berpotensi bereaksi silang, yang mencakup agen-agen seperti anestesi ester (misal: prokain), obat tertentu (misal: sulfonamida), zat pewarna rambut (misal: PPD), zat pewarna tekstil (misal: zat pewarna anilin), beberapa sunscreen (misal: asam paraaminobenzoat), dan produk-produk lain.

Sampai sekarang, hiposensitisasi atau induksi toleransi masih tetap menjadi metode yang elusif untuk menangani DKA.