sejara islam asia tenggara.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesultanan aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan islam yang pernah berdiri di
provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota
Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 jumaidah awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam
sejarahnya yang panjang itu ( 1496- 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem
pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialism bangsa Eropa, memiliki
sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu
pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatic dengan negara lain.
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mugahayat Syah pada tahun 1496. Pada
awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian mendudukan dan
menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya , Pedir, Lidie, Nakur.
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan
kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah kesultanan aceh Darussalam ditinjau dari kejayaan dan
kemunduran nya ?
2. bagaimana sistem dan struktur pemerintahan kesultanan aceh Darussalam?
3. Apakah dasar hukum/perundang-undangan kesultanan aceh Darussalam?
4. Bagaimana studi islam pada masa kesultanan aceh abad 17 masehi?
C. Tujuan
untuk mengetahui sejarah tentang kejayaan aceh Darussalam dan sebab kemundurannya
ditinjau dari aspek ekonomi,politik dan social serta studi islam pada masa itu.
1 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam
Aceh dalam sejarah perkembangannya memiliki beberapa kerajaan besar. Di awali
dengan Kerjaaan Peureulak. Munculnya imperialisme dan kolonialisme menimbulkan
reaksi dari pihak-pihak yang menjadi korban. Banyak kerajaan di Nusantara yang
akhirnya berperang dengan kaum pendatang yang mengedepankan imperialisme dan
monopoli perdagangan. Salah satu kerajaan yang memerangi imperialisme dan
kolonialisme Barat adalah kerajaan Aceh Darussalam. Berdirinya kerajaan Aceh
Darussalam erat kaitannya dengan penaklukan kota Malaka oleh Bangsa Portugis pada
tahun 1511 M.1 Akibat pendudukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M sangat luas,
Portugis memegang kunci perdagangan di Selat Malaka dan Asia Tenggara umumnya.
Walaupun pendudukan ini bersifat komersil, namun motivasi agama (perang salib) tidak
pernah pudar dari ingatan mereka. Para ulama dan pedagang muslim pindah ke tempat
lain seperti Pidie dan Pasai. Portugis tidak mentolerir akhirnya mereka berusaha
menguasai Pidie pada tahun 1520 dan Pasai tahun 1521.
Maka pada saat itu Kerajaan Aceh Darussalam memperkuat kekuatannya untuk
mengusir Portugis. Dan pada tahun 1524 Kerajaan samudera Pasai menjadi bagian dari
kerajaan Aceh Darussalam, karena berhasil mengusir Portugis.
Kesultanan aceh darussalam diduga berdiri pada abad ke 15 M diatas puing-
puing kerajaan lamuri oleh sultan muzzafar syah (1465 – 1497 M). Menurut anas
machmud, dialah yang membangun kota Aceh Darussalam dan pada masa
pemerintahannya Aceh mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan karena saudagar
–saudagar muslim yang sebelumnya berdagang dengan malaka memindahkan kegiatan
mereka ke aceh , setelah malaka dikuasai portugis (1511 M). Kerajaan islam ini menjadi
kuat dan masyhur diseluruh dunia . banyak pedagang asing berlabuh dan datang keaceh
untuk berniaga yang menjadi tumpuan pedagang internasional. Sultan Ali Mughayat
mendirikan Kesultanan Aceh pada tahun 1496 yang pada mulanya kerajaan ini berdiri
atas wilayah kerajaan lamuri. Pemerintahan kesultanan Aceh kemudian menundukan dan
menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur.
1 Usman Husen, dkk, Aceh Serambi Mekkah, (Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hal: 42.
2 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan
Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.2 Aceh Darussalam menerima Islam dari Samudera
Pasai yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kerajaan Aceh Darussalam mendekati
pertengahan abad ke 14 M.3
Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan ’Ali Mughayat Syah itu
adalah kerajaan Islam. Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah
tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. Ali mughayat syah digdantikan oleh anak
sulungnya salah addin (1528 – 1537). ia menyerang malaka pada tahun 1537,tetapi
mengalami kegagalan .salah ad-din digantikan oleh saudaranya ,alauddin ri’ayat syah al
kahhar (1537-1568).4
Pada masa pemerintahannya ia berhasil menaklukan aru dan johor, bahkan dengan
bantuan persenjataan dinasti ottoman ,ia menyerang portugis di malaka.5 Allaudin Ri’ayat
syah digantikan oleh sultan ali ri’ayat syah (1607-1607), dan sultan iskandar muda, gelar
mahkota alam (1607-1636). Dari kesultanan itu, islam kemudian tersebar ke berbagai
negeri-negeri melayu lainnya. pengaruh dan kekuasaan kesultanan aceh darussalam pada
saat itu sangat dirasakan dikepulauan sumatra dan semenanjung tanah melayu, terutama
ketika kesultanan itu berada dibawah pemerintahan sultan iskandar muda (1608-1637) 6seluruh serangan yang dilancarkan oleh pihak portugis dapat ditangkis oleh sultan-sultan
aceh. mereka juga telah menanamkan pengaruh islam .islampun berkembang dengan
pesat dan mendapat dukungan dari penguasa diharamayn (mekkah dan madinah), dan
memperoleh keabsahan dari sana.
Berbeda dengan daerah lainnya dinusantara, dalam sejarah dan tradisi aceh, pusat
kekuasaan didirikan dan diyakini sebagai diberi dasar oleh islam dengan kata lain
islamlah yang memberi dasar bagi adanya pusat kekuasaan itu; islam berkembang seiring
dengan berdirinya kerajaan itu. Ini berbeda dengan malaka, makasar, dan kota-kota pantai
lainnya, dimana proses islamisasi dipusat kerajaan terajaan terjadi ketika pedagang islam
2 Helmiati.sejarah islamasia tenggara. (pekanbaru: zanafa pubhlising , 2011 ) hal:.31
3 Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Ar-Raniry, 2009),
hal: 208.
4 Denys lombard, kerajaan aceh jaman sultan iskandar muda (1607-1636), (jakarta :balai pustaka ,1986) hal:
49-50.
5 Siti maryam dkk.op.cit hal: 326
6 Hasan muarif ambary , ensiklopedi islam, jilid 5 (jakarta: pt ichtiar baru van hoeve, 1993) hal: 343.
3 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
yang menguasai kehidupan kota berhasil menarik “raja yang kafir” untuk masuk islam.
jika dijawa, pusat kekuasaan (keraton) dikalahkan oleh islam dari pinggiran (majapahit
dikalahkan oleh aliyansi demak-kudus), maka aceh tidak mengenal konfrontasi kekuasaan
seperti itu.
Kesultanan aceh darussalam didirikan atas dasar islam ; islamlah yan menjadi
dasar bagi adanya kekuasaan kesultanan itu. Dengan demikian penguasa kesultanan aceh
tidaklah terjerat oleh keharusan untuk melanjutkan sistem dan tradisi lama, melainkan
mendapatkan kesempatan untuk merumuskan tradisi baru yang relatif terlepas dari
keharusan doktrin dan kenyataan sosial yang ada sebelumnya. sementara defenisi
keislaman diperteguh,yang mencapai puncaknya diabad 17, pengatur sistem kekuasaan
yang relevanpun dirintis pula.
Dalam Adat Mahkota Alam, yaitu Undang-undang dasar Kerajaan Aceh
Darussalam, yang diciptakan atas arahan Sultan Iskandar Muda, misalnya, disebutkan
bahwa sumber-sumber hukum yang dipakai dalam negara ialah Al-Qur’an, Al-Hadits,
Ijmak’ Ulama Ahlussunnah dan Qiyas.7
Dari segi praktik, syari’at Islam juga ditegakkan tanpa pandang bulu. Iskandar
Muda dalam sejarah diceritakan bahwa ia pernah menjatuhkan hukuman mati (rajam)
kepada putranya sendiri Meurah Pupok, yang didapatinya salah melakukan zina dengan
istri seorang perwira muda. Beliau juga membatalkan adat-adat zalim yang dipusakai dari
zaman Hindu seperti saksi-saksi dikehendaki mencelur tangan ke dalam minyak panas
atau menjilat besi panas untuk menguji kebenaran pernyataan-pernyataan mereka.8
Selain itu, Iskandar Muda juga mengantar para mubaligh Islam ke negeri-negeri
yang bukan Islam seperti Batak yang telah ditaklukkannya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa baginda Raja Iskandar Muda telah menggalakkan Dakwah Islamiyah,
seperti yang dituntut oleh Syara’.
Dalam bidang pendidikan pula, Pada masa kerajaan Aceh Darussalam ini telah
menggalakkan ulama-ulama dari luar, seperti tanah Arab, India dan lain-lain untuk
menetap dan mengajarkan ilmu-ilmu agama di Aceh. Para ulama tersebut diberi
perlindungan penuh oleh pemerintah kerajaan. Dari sinilah kemudian muncul ulama-
7 A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesi; Kumpulan Pra Saran
pada Seminar 17-20 Maret 1963 di Aceh, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hal: 249.
8 Ibid., hal: 250.
4 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
ulama masyhur seperti Hamzah Fansuri, Syamsyuddin as-Sumaterani, Syekh Nuruddin
Ar-Raniry, yang berasal dari Ranir (Rander), Gujarat, India, dan Abdurrauf dari Singkil,
dan lain-lain.9
Adapun silsilah penguasa kerajaan Aceh Darussalam dapat dilihat sebagai
berikut:
1. Sultan Ali Mughayat Syah
2. Sultan Salahaddin
3. Sultan Alaaddin Riayat Syah al-Qahhar
4. Sultan Ali Riayat Syah
5. Sultan Muda
6. Sultan Sri Alam
7. Sultan Zainal Abdidin
8. Sultan Alaaddin Mansur Syah
9. Sultan Ali Riayat Syah
10. Sultan Alaaddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil
11. Ali Riayat Syah
12. Sultan Iskandar Muda
13. Sultan Iskandar Tsani, Alaain Mughayat Syah
14. Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1676 M).
15. Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1676-1678 M).
16. Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah (1678-1688 M).
17. Sultanah Kamalatuddin Syah. (1688-1699 M) 10
18. Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauharul Alam Aminuddin (1726)
22. Sultan Syamsul Alam (1726-1727)
23. Sultan Alauddin Ahmad Syah (1727-1725)
24. Sultan Alauddin Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1764)
26. Sultan Badruddin Johan Syah (1764-1765)
27. Sultan Mahmud Syah (1765-1773)
9 Ibid., hal: 250
10 Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban …, hal: 208.
5 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
28. Sultan Sulaiman Syah (1773)
29. Alauddin Muhammad Syah (1781-1785)
30. Sultan Alauddin Jauhar al-Alam (1795-1823)
31. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1820)
32. Sultan Alauddin Jauhar al-Alam (1820-1823)
33. Sultan Muhammad Syah (1823-1838)
34. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
35. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
36. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
37. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903) ia ditangkap oleh belanda dan diturunkan
tahta pada tahun 1903
Kedudukan kerajaan Aceh Darussalam di mata International ketika itu, khususnya
pada masa Sultan Iskandar Muda abad ke-16 dipandang 11sebagai suatu negeri yang
diakui kedudukannya secara istimewa di kalangan dunia Islam, disegani oleh bangsa
Eropa bahkan di akui kehebatannya oleh kesultanan Turki. Kedatangan meriam
”secupak” yang ditempatkan di halaman ”dalam” (royal enclosure) di Banda Aceh adalah
lambang pengakuan tersebut. Bahkan bukan hanya itu saja, Bendera yang berwarna
merah dengan bintang bulan yang dipakai oleh kerajaan Aceh adalah bendera yang
dipakai juga oleh kesultanan Turki pada waktu itu Dengan kekuatan senjata dan
dukungan international Aceh berusaha mengusir Portugis dari Malaka.
Selain itu Aceh memiliki keunikan tersendiri yang patut dicatat dalam sejarah
perkembangan Islam di Asia Tenggara, dimana kedudukan perempuan pada abad ke-17
telah memperlihatkan pada dunia bahwa daerah ini merupakan salah satu kerajaan Islam
yang membolehkan perempuan memimpin kerajaan. Dalam catatan sejarah kerajaan Aceh
Darussalam ada 4 ratu yang secara resmi menjadi penguasa kerajaan yaitu: Sultanah Tajul
Alam Safiatuddin Syah (1641-1676 M), Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1676-
1678 M), Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah (1678-1688 M) dan Sultanah Kamalatuddin
Syah. (1688-1699 M).12
Kepemimpinan perempuan dalam sejarah Aceh tidak hanya dalam bentuk
kekuasaan eksekutif semata tapi juga legislatif dalam parlemen. Ada banyak kebijakan
dan perubahan dari periode kepemimpinan perempuan yang layak di catat seperti upaya
11 A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya…, hal: 295
12 Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban …, hal: 212
6 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
untuk mengedepankan sistem demokrasi yang mulai dilakukan di masa pemerintahan
Tajul Alam Safiatuddin dan ratu-ratu setelahnya melalui pemerintahan tiga sagi.13
Keberhasilan kerajaan Aceh Darussalam disebabkan oleh kekuatan politik dan pola
pendidikan yang berlangsung pada saat itu. Dari segi politik pemerintahan, setiap raja di
Aceh didampingi oleh alim ulama. Dari segi lembaga pendidikan, Aceh memiliki dayah-
dayah yang cukup populer sebagai pusat studi Islam. Keberadaan dayah sebagai pusat
pendidikan Islam masa lalu yang sudah menghasilkan sejumlah ulama dan tokoh-tokoh
yang berpengaruh dimasanya memang tidak diragukan lagi. Pemimpin-pemimpin Aceh
pada masa lalu seperti Sultan Iskandar Muda adalah juga alumni dayah. Dayah pada masa
lalu telah sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama, salah
satunya adalah out put dayah bukan hanya ulama saja tapi juga mampu menjadi seorang
politikus atau negarawan yang berpengaruh. Ini semua dikarenakan bahwa pendidikan
dayah saat itu yang tidak dikotomi.
B. Kejayaan aceh darussalam
Kesultanan aceh darussalam mencapai kejayaan pada abad ke 17 M. hal ini agaknya
sangat terpengaruh oleh kemunduran kerajaan malaka yang mengalami pendudukan
orang–orang portugis. Antara lain karena saudagar muslim yang sebelumnya berdagang
dengan malaka memindahkan kegiata mereka ke aceh, setelah malaka dikuasai portugis
(1511 M). ketika malaka jatuh sultan ali mughayat syah mulai melebarkan kekuasaan
kedaerah sekitarnya, bahkan kesultanan ini berhasil mengusir portugis dari pasai tahun
1524. Pada puncak kemegahannya hegemoni politik kesultanan ini mencapai pesisir barat
minangkabau dan mencakup pedir, pasai, perlak, dehi, johor, kedah, pahang dll.
Dalam bentuk pemerintahan negara kota abad ke 17, aceh bukan saja jauh dikenal,
tetapi menurut A.H Johns,berdasar kan semua bukti yang ada nampaknya aceh sangat
penting, aceh menjdi pusat perkembangan sebuah kerajaan maritim yang perkasa yang
sangat islami dan mandiri dalam perdagangan .kesultanan ini juga punya hubungan
internasional yang luas jangkauannya .sejauh menyangkut hubu gan dengan timur
tengah ,tidak ada negara lain dinusantara yang mempunyai hubungan politik dan
diplomatik yang begitu intens dengan kerajaan islam dimughal,persia dan turki ustmani
kecuali aceh . dengan jalinan persahabatan itu turki utsmani membantu aceh dibidang
politik militer . karena itu posisi aceh pada abad ke-16 diakui didunia islam secara
13 Ibid., hal: 214-218
7 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
internasional . pada masa ini aceh merupakan negri yang sangat kaya dan makmur ,selain
dikenal sebagai penghasil kapur barus dan menyan ,juga dikenal sebagai penghasil timah
dan rempah – rempah seperti lada dan kopi .aceh juga menempati letak strategis dengan
posisi nya sebagai pusat pelabuhan dagang dan jalur transportasi dengan negara negara
lain.
Kemajuan aceh dibidang agama ditandai dengan munculnya aceh sebagai kiblat
pengajaran islam ,aceh menjadi center ilmu pengetahuan diasia tenggara yang melahirkan
nama-nama para intelektual muslim seperti Hamzah fansuri (w.1600 ) ,syamsuddin al-
sumatrani (w.1630) nuruddin al-raniri (w.1657) dan abdul rauf al-sinkili
(w.1660 ) .sekitar abad ke-17/18 M .keempat tokoh tersebut mewarnai pemikiran
keagamaan kesultanan aceh . al- raniri dan sinkili adalah dua ulama dengan peranan yang
penting dalam menghadirkan pembaharuan –pembaharuan keagamaan dan dalam
membawa tradisi besar islam ke wilayah melayu indonesia dengan menghalangi
kecendrungan kuat pengaruh tradisi lokal kedalam islam .
Selain itu aceh juga berperan sebagai pintu gerbang ke tanah suci bagi para peziarah
dan pelajar jawi yang menuju ke mekkah , madinah , dan pusat pengetahuan di mesir
serta bagian-bagian lain dari pusat kesultanan turki hingga tak heran jika aceh dijuluki
sebagai serambi mekah, peran ini membuat aceh berhubungan erat dengan kota kota
pelabuhan muslim lain dinusantara. Selain itu aceh juga berperan sebagai tempat
pertemuan ulama dan intelektual muslim dari berbagai dunia melayu dan muslim dari
timur tengah, kesultanan aceh darussalam berbentuk negara islam dalam sisitem
pemerintahan terdapat jabatan kadhi malikul adil yang harus dijabat oleh ahli hukum
agama, selain itu ulama mempunya peran yang dominan dalam menentukan kebijakan-
kebijakan pemerintah karena perannya sebagai penasehat sultan . dimasa sultan iskandar
tsani,para ulama besar mulai meletakkan dasar bagi corak pengaturan sosial ,diantaranya
adalah kemitraan antara pemegang otoritas politik dan pemegang otoritas spiritual
diseluruh tingkat pemerintahan.
Dalam sistem pemerintahan , terdapat jabatan kadhi malikul adil yang harus dijabat
oleh ahli hukum agama. Selain itu kedudukan ulama – walau tidak menjadi bagian dari
struktur kekuasaan yang utama tetapi mempunyai peran yang dominan dalam menentukan
kebijakan-kebijakan pemerintahan karena perannya sebagai penasehat kadhi.
8 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
Dimasa sultan iskandar tsani,para ulama besar mulai meletakan dasar bagi corak
pengaturan sosial diantaranya adalah kemitraan antara pemegang otoritas spiritual
diseluruh tingkat pemerintahan. seorang sultan bukan bukan saja harus didampingi oleh
seorang kadhi malikul addil, seorang pejabat negara dalam persoalan hukum, dan seorang
ulama besar sebagai penasehat rohani; tetapi pada pemerintahan tingkat gampongpun,
seorang keucik (kepala desa) harus didampingi oleh imam meunasah, disamping apa yang
disebut Tuhapeut (para tetua desa) begitu juga pada tingkat mukim, (lurah) seorang
imeum mukim didampingi , diawasi dan dikontrol oleh “miniperlemen” yang dikenal
Dengan istilah tuhalapan jika dikampung kepala desa dianggap ayah, sementara imam
meunasah harus dianggap ibu, maka pada tingkat kesulatanan dikenal aturan ‘adat bok
potieu meureuhum; hukombok syiah kuala “-kekuasaan adat ada ditangan
sultan,ketentuan hukum atau (keagamaan) ada ditangan syiah kuala. Namun demikian
wewenang antara kedua wilayah ini tidaklah sama sekali terpisah. sering sekali sebelum
sultan atau ulibalang membuat putusan ia harus terlebih dahulu bermusyawarah dengan
para ulama dan orang – orang tua. Dengan demikian dapat dipertimbangkan apakah suatu
putusan sah atau idak menurut pandangan agama, sehingga pengaruh islam sangat besar
sekali pada adat istiadat aceh, Keduanya bahkan telah menyatu sedemikian rupa.
C. Empat Ulama Besar di Aceh
Seperti diuraikan di atas, Aceh dalam sejarahnya pernah menjadi center ilmu
pengetahuan di Asia Tenggara yang melahirkan nama- nama para intelektual Muslim atau
ulama- ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri (w. 1600), Syamsuddin al- Sumatrani (w.
1630), Nuruddin al- Raniri (w.1657), dan Abdul Rauf al- Sinkili (w. 1660).
Hamzah Fansuri adalah seorang sufi terkemuka, sastrawan besar, pengembara dan
ahli agama. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan di perkirakan hidup antara
pertengahan abad ke-16 dan 17M. Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi
anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dan di dalam
tarekat ini pula ia dibai’at. Setelah mengembara ke berbagai pusat ilmu seperti Baghdad,
Mekah, Madinah, dan Yerussalem, dia kembali ketanah air serta mengembangkan ajaran
tasawuf sendiri. Tasawuf yang dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran
Wujudiyah Ibnu Arabi.14
Ada tiga risalah tasawuf karangan al- Fansuri yang dijumpai, yaitu Syarab
al-‘Asyiqin, (Minuman orang Birahi), Asrar al-Arifin (Rahasia ahli Ma’rifat)dan al-
14 Helmiati.sejarah islamasia tenggara .(pekanbaru: zanafa pubhlising ,2011 ) hlm.45-50
9 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
Mutahi. Selain itu juga dijumpai tidak kurang dari 32 ikatan – ikatan atau untaian
syairyang digubahnya. Syair –syairnya dianggap sebagai ‘syair Melayu’ pertama yang
ditulis dalam bahasa Melayu. Begitu pula karyanya Syarb al- Asyiqin, oleh al- Attas
dianggap sebagai risalah keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru.
Seperti dikemukakan di atas, Hamzah Fansuri adalah pendukung keras
doktrin’wujudiyah’. Doktrin Wujudiyah ini mempunyai banyak penganut kata itu. Karena
kedudukan baik Hamzah maupun Syamsuddin, sebagai pendukung utama faham ini,
mempunyai kedudukan yang penting dalam pemerintahan. Kedudukan mereka sebagai
Syekh al- Islam di Kesultanan Aceh, memungkinkan mereka untuk menguasai kehidupan
religio-intelektual kaum Muslim kesultanan Aceh dan menyebar- luaskan faham
‘wujudiyah’ ini sebelum kedatangan ar- Raniri. Selain itu, ia adalah juga seorang penulis
produktif, yang menghasilkanbukan hanya karya- karya keagamaan tetapi juga karya-
karya prosa yang sarat dengan gagasan-gagasan mistis. Mengingat karya- karyanya, dia
dianggap sebagai salah seorang tokoh sufi awal paling penting di wilayah Melayu
Indonesia dan juga seorang oerintis terkemuka tradisi kesusasteraan Melayu.
Tentang Syamsuddin al- Sumatrani, tidak banyak informasi yang didapat
menyangkut kehidupanya. Yang jelas, ia juga memegang jabatan sebagai penasehat
agama di kesultanan Aceh. Syamsuddin termasuk dalam aliran pemikiran keagamaan
yang sama dengan Hamzah, yaitu sama- sama pendukung faham Wahdat al-wujud.
Seperti Hamzah, Syamsuddin adalah penulis produktif dan menguasai beberapa bahasa.
Dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab, dan sebagian besar karya- karyanya
berkaitan dengan kalam dan tasawuf.
Periode sebelum kedatangan ar- Raniri merupakan masa di mana Islam mistik,
terutama dari aliran Wujudiyah berjaya, bukan hanya di Aceh tetapi juga di banyak
bagian wilayah Nusantara. Yang berkembang saat itu adalah satu faham tasawuf yang
bersifat pantheistic dan anti dunia yang terutama dikembangkan oleh Ibn Arabi (w.1240).
Setelah kedatangan Naruddin ar- Raniri, mucul gerakan- gerakan pembaharuan tasawuf
yang hasilnya adalah muculnya suatu bentuk tasawuf yang diistilahkan dengan non-
sufisme, yaitu suatu bentuk tasafuw yang merekonsiliasi (memadukan) dan
mengharmoniskan antara syariat dan tasawuf.
Azra mensinyalir bahwa Nuruddin ar- Ranirilah yang memprakarsai gerakan awal
neo-sufisme di Nusantara. Neo sufisme adalah faham tasawuf yang merekonsiliasikan
(mendamaikan) antara pengamalan syariat dan tasawuf. Dengan posisinya sebagai Syekh
al- Islam di kesultanan Aceh, Ar- Raniri berhasil mendapatkan dukungan politik dari
10 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
Iskandar Tsani dan ajarannya berhasil mendominasi wilayah kesultanan melalui metode
debatyang selalu ia menangkan atas tokoh- tokoh pengikutdua sufi sebelumnya.
Menurutnya Islam di wilayah ini telah dikacaukan oleh kesalahfahaman atas doktrin sufi.
Sesuain dengan inti neo- sufisme, ar- Raniri memberikan penekanan yang lebih kuat
kepada ortodoksi (kemurnian) atau syariah di dalam pemikiran dan pengamalan tasawuf.
Ar-Raniri hidup selama tujuh tahun di Aceh sebagian seorang alim, mufti dan
penulis produktif. Menurut berbagi sumber, dia menulis tidak kurang dari 29 karya. Di
antara karyanya yang paling banyak ditelaah adalah al- shirat al- Mustaqim. Karya-
karyanya banyak membicarakan tentang tasawuf, kalam, hadis, fiqih, hadis, sejarah, dan
perbandingan agama. Ar- Raniri mencurahkan banyak tenaganya untuk mnentang faham
Wujudiyah. Dia bahkan melangkah lebih jauh dengan mengeluarkan fatwa yang
mengarah pada semacam pemburuan terdapat orang-orang sesat, membunuh orang –
orang yang menolak melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktek sesat mereka, dan
membakar hingga menjadi abu seluruh buku-buku tokoh sufi sebelumnya.
Namun demikian, kedudukan Ar- Raniri dalam sejarah pembeharuan Islam
Indonesia tidaklah dapat dipandang remeh, setidak- tidaknya ia yang hanya beberapa
tahun menetap di Aceh berhasil menyalakan sumbu pembaharuan, yag dalam beberapa
daswarsa selanjutnya telah membakar dan merangsang dinamika pemikiran Islam bukan
hanya di kawasan Nusantara,tetapi juga di Timur Tengah, tatkala al- Singkili membawa
persoalan radikalisme pembaharuan ar- Raniri kepa gurunya, Ahmad al- Qushasi dan
Ibrahim al-Kurani di Haramayn (Mekah dan Madinah).
Ulam besar Aceh lainnya adalah Abdurrauf al- Singkili. Al- Singkili hidup dalam
enam periode kesultanan Aceh: Sultan Iskandar Muda, Iskandar Tsani, Sultanah Zakiyat
al- Din, dan Sultanah Kamala al- Din. Pada masa 4 Sultanan inilah al- Singkili sebagai
seorang alim dan mufti, (syekh Islam). Posisi al- Singkili sebagai seorang alim dan mufti
dari sebuah kesultanan yang besar seperti Aceh, yang pernah belajar di Mekah dan
Madinah, mempunyai hubungan dengan beberapa ulama dari berbagai negara, serta
menjadi khalifah terekat Syattariyah, telah membutnya bukan hanya mempunyai
legitimasi keagamaan yang otoritatif, tetapi juga legitimasi politik yang kuat. Al- Singkili
menafsirkan kembali doktrin wujudiyah secara ortodoks (murni). Ia sependapat dengan
gurunya yang menekankan pentingnya kesesuaian pengalaman tasawuf dan pengalaman
syari’ah. Menurutnya, keempurnaan bathin yang dicita-citakan seorang salik tidak akan
tercapai bila ia meninggalkan ketentuan- ketentuan syari’ah seperti kewajiban shalat,
puasa , haji, dan lain-lain.
11 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
Al-Singkili jelas punya pengaruh yang sangat luas, melampaui negeri asalanya
(Aceh). Hal ini karena Aceh menjadi tempat pemukiman sementara bagi para jamaah haji
maupun pelajar yangbelajar ke Haramayn ketika mereka menuju atau kembali dari Arab.
Dengan demikian mereka menjadi akrab dengan pemikiran yang berkembang di Aceh
saat itu yaitu pemikiran Islam yang menekanakan ortodoksi. Dan ini dapat menolak
pengaruh ekses- ekses liar mistisisme heterodoks (bid’ah). Dan sejak saat itu pemikiran
mistik dapat ditetapkan lebih sejajar dengan garis- garis ortodoksi.
Pengaruh al- Singkili ini diperluas oleh murid- muridnya seperti Syekh Abd al-
Muhyi yang berhasil menyebarkan semangat baru Islam ini ke daerah asalnya Jawa Barat
kemudian merembes ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Murid beliau lainnya adalah
Burhanuddin dari Minangkabau bersama 4 orang temannya. Setelah ditunjuk sebagai
khalifah tarekat Syattariyah oleh al-Singkili, Burhanuddin, yang juga terkenal sebagai
Tuanku Ulakan, segera mendidirikan suraunya. Yang terbukti menjadi salah satu sarana
yang paling efektif dalam proses transamisi gaagasan- gagasan islam baru itu. Selama
masa hidupnya, suraunya iti dianggap sebagai pemegang otoritas tunggal dalam masalah-
masalah keagamaan di Minangkabau. Dia sendiri dianggap sebagai pemimpin masyarakat
Muslim Minangkabau kala itu.
Sama dengan pendahuluanya, Al-Singkili juga seorang penulis yang produktif.
Dialah orang yang pertama menulis tafsir lengkap al- Quran dalam bahasa Melayu
dengan judul Tarjuman al-Mustafid. Dia jugalah orang pertama di wilayah Melayu-
Indonesia yang menulis mengenai fiqh Muamalah. Melalui karyanya, Mirad al- Thullab,
dia menunjukan kepada kaum Muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum islam tidak
terbatas pada ibadah saja tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari- hari
mereka. Karyanya Miratut Tullab, tidak hanya membahas tentang aspek ibadah tetapi
mengemukakan aspek muamalat, termasuk kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan
keagamaan kaum Muslim. Makanya tidak mengherankan kalu dulu karyanya ini menjadi
acuan utama kitab kumpulan hukum islam yang digunakan kaum Muslim di Kesultanan
Manguindanao (Filipina), yang disebut dengan Lumaran atau Manguindanao Code of
Law.
Bila dilihat pada misi dan pemikiran ar- Raniri dan Al- Singkil, keduanya
mempunyai misi dan pemikiran yang sama, yaitu sama-sama menekankan kemurnian
ajaran Islam sesuai dengan ajaran dasarnya. Namun mereka menempuh pendekatan yang
berbeda. Al- Singkili lebih bersikap toleran terhadap pemikiran dan praktek sufisme
heterodoks yang pantheistic. Baginya tidaklah tepat, misalnya mengkafirkan sesame
12 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
Muslim sebagaimana yang dilakukan ar- Raniri terhadap pengikut Hamzah maupun
Syamsuddin. Di samping itu, ia lebih cendrung persuasif dan dialogis, sehigga lebih dapat
diterima oleh masyarkat secara rasional dan berdampak positif terhadap penyebaran dan
kesinambungan misi gagasan neo sufisme. Sebaliknya ar- Raniri bersikap radikal dan
menggunakan pendekatan politis dengan berpegang pada patronase (perlindungan)
penguasa, Iskandar Tsani, sehingga ia pun diterima secara emosional.
D. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan di dunia Islam Tujuannya adalah untuk mencapai
kesempurnaan bagi manusia sebab ia mencerminkan kesempurnaan agama sebagai
penyelamat ummat di dunia dan di akhirat. Penulis tidak menemukan secara langsung apa
tujuan pendidikan pada masa kerajaan Aceh Darussalam. Namun tujuan tersebut
barangkali dapat dilihat dari tujuan di dirikan dayah yaitu sebagai lembaga atau pusat
belajar pendidikan agama sekaligus sebagai benteng terhadap kekuatan melawan
penjajah.15
Jika dibaca dari makalah Fadhlullah Jamil yang berjudul Kerjaan Aceh
Darussalam dan hubungannya dengan semenanjung tanah melayu dikatakan bahwa
Iskandar Mudah pernah mengirim para da’i/ mubaligh Islam kepada negeri-negeri yang
bukan Islam seperti Batak yang telah ditaklukkannya.16 Ini berarti bahwa tujuan
pendidikan pada saat itu sebagai center atau pusat ilmu pengetahuan agama, sebagaimana
yang disampaikan oleh Hasbi Amiruddin dimana Aceh ketika itu sampai menjadi pusat
perhatian umat Islam di Asia Tenggara. Artinya jika persoalan Islam diperselisihkan di
negaranya mereka bersepakat merujuk ke Aceh untuk mendapatkan jawaban.17
E. Sumber Daya Manusia (Guru)
Bukti lain adalah terdapat sejumlah kita-kitab yang bereputasi internasional yang
ditulis oleh sejumlah ulama Aceh. Salah satunya kitab Tarjuman al-Mustafid yang
merupakan kitab tafsir al-qur’an lengkap 30 juz dalam bahasa Melayu (sekarang telah
menjadi bahasa Indonesia) yang pertama adalah ditulis oleh ulama Aceh, yaitu Syekh
Abdurrauf as-Singkili. Jika kita bandingkan di masa lalu semua pejabat negara adalah
tamatan dayah mulai dari pejabat rendahan sampai raja, demikian juga dalam dunia
15 Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban …, hal. 218.
16 A. Hasymy, Sejarah Masuk …, hal. 249
17 M. Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Mekkah, (Banda Aceh: Penerbit Pena, 2006). 56
13 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
militer, mulai dari tamtama sampai panglima adalah tamatan dayah. Itu berarti lembaga
pendidikan dayah di masa lalu menyediakan berbagai mata pelajaran di dayah. Banyak
ulama-ulama pada masa lalu ahli dalam ilmu pertanian, ilmu falak bahkan ilmu
persenjataan. 18
Sejumlah ulama-ulama Aceh yang memiliki pengaruh pada abad ke-16-17 telah
menghasilkan karya-karya yang monumental di ataranya adalah:
1. Hamzah Fansury, seorang ulama dan pujangga besar yang menganut aliran filsafat
wahdatul wujud. Diantara kitab karangannya adalah Asyrabul Asyiqin wa Zinatul
Muwahhidin, Kitab filsafat yang membahas thariqat, syari’at, hakikat dan ma’rifat.
2. Samsuddin Sumatrany, seorang ulama dan negarawan yang menjadi qadhi Malikul Adil
pada zaman Iskandar Muda. Diantara kitab karanggnya itu adalah Mir’atul Mukminin,
Jauharul Haqaiq, Kitabatul Martabah dan lain-lain.
3. Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang ulama besar, politikus, negarawan, yang menjadi
Qadhi Malikul Adil masa Sultan Iskandar Muda dan Ratu Safiatuddin, 1045-1086 H
(1641-1675 M). Kitabnya berbahasa Melayu, antara lain: Ash Shiratul Mustaqim
(berisikan hukum Islam, fiqh), Darul Faraidl bi Syarhil’Aqaid (Filsafat dan Ketuhanan),
Bustanus Salatin fi Zikril wa Akhirin (Sejarah), Akhbarul Akhirah fi Awwali Yaumil
Oiyamah (bahasan Hari Kebangkitan), Havatul Habib fi Targhib wa Targhib (Filsafat
Akhlak), At-Tibyan fi ma’rifatil Adyan (hal ihwal Aliran Agama), Asrarul Insan fi
Ma’rifatir Ruhi war Rahman (Ruh dan Ketuhanan), Lahiful Asrar (Rahasia Alam),
Nubzah Fi Dakwazil Mada Shahibin (berisikan Filsafat, menolak Wihdatul Wujud),
Hilluz Zil (membahas Ketuhanan dan menolak Wihdatul Wujud), Syifaul Qulub (Filsafat
dan Akhlak), Umdatul I’tiqad (masalah Keimanan), Maul Hayati, Li Ahlil Mamati
(membahas Hidup dan Mati, Filsafat), Jawahirul Ulum fi Kasyil Ma’lum (membahas
masalah Ketuhanan), Bad – U Khalqis Samawati Wal Ardhi (membahas tentang Langit
dan Bumi), Hujjatus Shadiq Li Dafiz Zindiy (membahas kesalahan Kaum Zindiq,
Ateisme), Fathul Mubin’AIaI Mulihidin (kitab yang membantah Kaum Mulihid,
membantah Ateisme), Al – Lam’u ft Tafkiri Man Qalabil Khalqil Our’an (menolak Kaum
Mu’tazilah yang mengatakan Al-Quran itu makhluk), Tambihul Awamili fi Tahqiqil
Kalami fi Nawafil (membahas masalah Tasauf), Shawarinush Shadiq li Qath’iz Zindiq
(kitab yang menolak Kaum Zindiq, kaum sesat), Rahiqul Muhammadiyah fi Thariqish
18 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hal.. 39.
14 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
Shufiyah (kitab yang membahas Tasawuf berdasarkan Sunnah Nabi), Kisah Iskandar
Zulkarnain (Kitab Sejarah), Hikayat Raja Badar (karya sastra dalam puisi/syair, kisah
Perang Badar), Babun Nikah, Saqyur Rasui (Kitab yang membahas perjuangan hidup dan
sejarah Rasul), Mu’amadul I’tiqad, Hidayat Mubtadi fi Padhli Ilahi Muhdi (Kitab Ilmu
Tasauf).
4. Abdurrauf As-Sinkily, seorang ulama besar, negarawan, filosof, yang menjadi Qadhi
Malikul Adil masa Ratu Safiatuddin dan tiga Ratu sesudahnya (1086-1109 H, 1675-1699
M). Beliau adalah ulama yang mendamaikan rakyat dan para pemimpin Aceh pada masa
itu, karena bertentangan pendapat akan Ratu wanita dan perselisihan perebutan
kekuasaan. Karena kebijaksanaannya, semua lapisan masyarakat hidup rukun dan damai,
beliau juga mengarang kitab ilmu pengetahuan dalam bahasa Melayu, antara lain:
Turjumanul Mustafid (Kitab yang berisikan Tafsir Al-Quran pertama dalam bahasa
Melayu), Mir’atul Thullab (Kitab yang berisikan Hukum Islam, melengkapi segala bidang
hukum termasuk Hukum Dagang dan Tata Negara), Umdatul Ahkam (Kitab Pengantar
Ilmu Hukum Islam), Umdatul Muhtajin Ila Suluki maslaki Mufradin (Filsafat Akhlak),
Kifayatul Muhtajin (Akhlak), Daqaiqul Huruf (Rahasia-rahasia Huruf), Hidayatul
Balaghah’Ala Jumatil Mukhasamah (Kitab Hukum Acara dalam Islam), Bayan Tajalli
(Kitab Filsafat Ketuhanan, menolak faham Wihdatul Wujud), Syair Ma’rifat (karya sastra
yang berbentuk puisi membahas tentang Ma’rifat/Ketuhanan).
5. Jalaluddin Tursany seorang ulama, ahli hukum Islam kenamaan yang menjadi Qadhi
Malikul Adil masa Sultan Alaiddin Johan Syah, 1147-1174 H (1733-1760 M), dengan
karangannya yang terkenal Mudharaul ajla ila rutbatil A’la (kitab yang mengandung
Filsafat, membahas hubungan makhluk dengan Khaliq, Tuhan), Safinatul Hukam (kitab
Hukum Islam yang membahas Hukum Dagang, Hukum Keluarga, Hukum Tata Negara,
Hukum Perdata/Pidana dan Teori-teori Pemerintahan yang Maju, bahkan wanita menjadi
Raja).
6. Syekh Daud Rumym yang lebih dikenal dengan julukan Teugku Chiek di Leupeu yang
bersama Syekh Abdur Rauf As-Singkily mendirikan Pusat Pendidikan Dayah Manyang
Leupeu Banda Aceh. Hasil karangannya antara lain Risalah Masail Muhtadihi ikhwanil
Mubtadi yang ditulis dalam bahasa Melayu. Kitab ini berisi pelajaran lengkap tentang
agama Islam dan digunakan di seluruh Negara Asia Tenggara. Hingga sekarang sudah
100 (seratus) kali dicetak, dipakai oleh seluruh dayah di Nusantara.
7. Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Al – Asyi. beliau bermukim di Mekkah, pada abad ke-
19 telah mengumpulkan naskah karangan ulama terdahulu dan mencetaknya. Salah satu
15 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
kumpulan karangan itu dinamakan Jam’u Jawamil Mushasanfat dan satu kumpulan lain
bernama Tajul Muluk.
F. Materi Pendidikan Islam
Adapun materi yang diberikan pada lembaga-lembaga pendidikan di Aceh itu
berbeda-beda satu tingkat dengan tingkat lainnya. Untuk tingkat dasar, misalnya balai
pengajian (rumoh beut) diajarkan Al-qur’an, setelah selesai khatam, para santri belajar
dasar-dasar pokok ajaran agama dalam kitab Masailal Muhtadiy sebuah kitab yang
berisikan tanya jawab di dalamnya. Setelah itu murid mempelajari Bidayatul Muhtadiy,
atau kitab Bidayah dalam sebutan orang Aceh.
Kemudian untuk tingkat lanjutan pengajian diberikan sesuai dengan kapasitas dan
kemampuan guru sehingga ada guru yang mengajarkan majmu’ al-mushannafat yang
lazim dikenal dengan kitab lapan, kitab Darussamin dan lain-lain.19
Di Meunasah murid-murid diajarkan menulis dan membaca huruf Arab, membaca
Qur’an, cara beribadat, akhlak, rukun Islam, rukun iman dan lain-lain.
Kemudian di pondok-pondok sekeliling masjid yang disebut rangkang juga
diajarkan fiqh, ibadah, tauhid, tasawuf, sejarah Islam/ umum, bahasa Arab, disamping
digunakan kitab-kitab dalam bahasa melayu juga ada bahasa Arab.
Di dayah diajarkan fiqh muamalat, tauhid, tasawuf/akhlak, geografi (ilmu bumi)
sejarah/ ilmu taata negara dan bahasa Arab. Di samping Dayah umum juga adanya dayah-
dayah khusus wanita yang di dalamnya juga diajarkan ilmu pertanian, ilmu pertukangan,
ilmu perniagaan dan sebagainya.
Kemudian di dayah Teungku Chik/dayah Manyang yang masa sekarang bisa
disamakan dengan Akademi. Di sini diajarkan bahasa Arab, Fiqh Jinayat, figh
Munakahat, fiqh dauly (hukum tata negara), sejarah Islam, sejarah negara-negara, tauhid/
filsafat, tasawuf/ akhlak, ilmu falak, tafsir, hadits dan lain-lain.
Dan untuk tingkat lembaga pendidikan paling tinggi setingkat dengan universitas
ada Jami’ah Baiturrahman yang menjadi satu kesatuan dengan masjid Baiturrahman. Di
sini diajarkan ilmu tafsir/ hadits, ilmu kedokteran, Kimia, Sejarah, sosial politik, filsafat
dan lain-lain.20
19 Usman Husein, Lembaga Pendidikan Kuttab dan Rumoh Beut (Lembaga Pendidikan Islam dasar Arab di
Abad Tengah dan dalam Masyarakat Aceh Tradisional), Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,
2011), hal: 112.
20 Munawiyah, dkk, Sejarah… hal: 221-222
16 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
G. Metode Pendidikan Islam
Dalam memperlajari Islam, pengenalan pertama adalah mengenai Al-Qur’an.
Dasar-dasar pelajaran yang diterima murid pada tingkat dasar ini yaitu dengan
mempelajari huruf-huruf Arab dan menghafal ayat-ayat yang terdapat dalam Al-qur’an.
Dalam mempelajari huruf-huruf Arab tersebut mengikuti metode baghdadiyah. Metode
ini adalah melafazkan huruf-huruf Arab secara alphabet yang diucapkan dalam dialeg
lidah orang Aceh seperti Aleh untuk huruf Alif, zou untuk huruf zai, keuh untuk huruf kaf
dan lain sebagainya, namun terkadang ditemui perbedaan pengucapan antara satu daerah
dengan daerah lain.
Dalam pengajaran pendidikan Islam pada dayah-dayah juga menggunakan metode
Targhib dan Tarhib. Hal ini diterapkan baik dengan cara menakut-nakuti dan mengancam
peserta didik dengan berbagai tingkatan, mulai dari Ancaman yang bersifat teoritis hingga
praktis. Juga diberikan ganjaran seperti pujian dan sejenisnya.21
Disamping itu untuk tingkat yang lebih tinggi tentunya memiliki metode-metode
pendidikan lain layaknya pendidikan umumnya seperti metode hafalan, tanya jawab,
diskusi, prakti (demonstrasi), dan lain-lain.
H. Sarana-prasarana (Institusi Pendidikan)
Pendidikan Islam di Aceh dimulai sejak masuk Islam ke Aceh, yaitu semenjak
abad I Hijriah. Sebagaimana dinyatakan oleh sejarawan bahwa Islam masuk ke Indonesia
melalui Aceh, maka lembaga pendidikan ini juga telah berjalan seiring masuknya Islam
ke Aceh.22 Semenjak itu pendidikan Islam di Aceh terus dimulai dan berkembang hingga
abad ke-3 H/ awal abad ke-10 M pendidikan Islam di Aceh sudah lengkap dari tingkat
rendah sampai ke perguruan tinggi seperti Dayah Cot kala, bertempat di Cot Kala Aceh
Timur.
Dayah Cot Kala ini merupakan pusat pendidikan tinggi yang pertama di Aceh
bahkan untuk Indoensia dan Asia Tenggara. Dari sini kemudian berdirilah dayah-dayah
lain baik dalam Kerajaan Perlak sendiri maupun di Kerajaan Pasai, termasuk kerajaan
21 Tasnim Idris, Aplikasi Targhib dan Tarhib pada Pendidikan Dayah Aceh, Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-
Raniry Banda Aceh, 2011), hal: 57.
22 M. Hasbi Amiruddin, Jam’iyatu al-Diniyah: Pemrakarsa Lahir Madrasah di Aceh, Banda Aceh: P3KI IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh, 2011), hal: 29. Lihat juga A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hal: 358.
17 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
Aceh Darussalam. Semenjak kerajaan Aceh dikuasai oleh Islam, seperti daerah-daerah
lainnya, juga di Pidie keadaan pendidikan Islam telah mengalami kemajuan. Dimana-
mana terdapat dayah, dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi, seperti Dayah Pante
Geulima di Meureudu, Dayah Teungku Chik di Simpang Teupin Raya, Dayah Teungku
Chik di Reubee, Dayah Teungku Chik Pante Kulu di Titie Keumala, Dayah Teungku
Chik di Tiro sampai periode Syaikh Muhammad Saman, dan Dayah Teungku Chik Dian
di Kumbang Tanjong.
Dayah-dayah tersebut smuanya merupakan dayah-dayah tingkat tinggi. Kebiasaan
dari dayah-dayah tinggi disertai tingkat menengah yaitu tingkat rangkang yang menjadi
gurunya adalah murid (santri) dari dayah tinggi tersebut. Sedangkan pendidikan agama
tingkat rendah atau tingkat dasar itu telah ada di tiap-tiap Meunasah pada tiap desa, selain
yang terdapat di rumah-rumah, kadang-kadang juga terdapat di dalam komplek Dayah
Tinggi.
Pada masa kerajaan Aceh Darussalam, dayah menawarkan tiga tingkatan
pengajaran, rangkang (junior), bale (senior) dan dayah manyang (universitas). Di
beberapa dayah hanya terdapat junior (rangkang) dan senior (bale), sedangkan ditempat
lain hanya ditemui tingkat universitas saja. Meskipun demikian, di tempat tertentu juga
terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai dari junior sampai universitas. Sebelum murid
belajar di dayah, mereka sudah mampu membaca al-Qur’an. Kemampuan membaca al-
Qur’an tersebut mereka dapatkan dari rumah atau seorang teungku di meunasah.23
Keadaan pendidikan Islam mengalami puncak kemajuan pada masa kerajaan Aceh
Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda. Namun setelah itu pada abad ke 18
tepatnya pada peperangan melawan Belanda tahun 1873 keadaan pendidikan Islam mulai
mundur. Banyak Dayah-dayah dibakar oleh Belanda. Hampir semua masyarakat Aceh
mengalihkan aktifitasnya untuk berperang melawan Belanda, termasuk para Teungku
dayah dan para santri memimpin peperangan tersebut. Dan tidak sedikit para teungku dan
santri yang syahid dalam melawan kafir Belanda. Perang ini berlangsung hingga tahun
1912.
Keadaan perang yang demikian telah menyebabkan para pemuda dan guru syahid
sebagai pahlawan. Meunasah-meunasah, rangkang-rangkang, dayah-dayah menjadi
porak-poranda. Bahkan Jami’ Baiturrahman sebagai Universitas dan pusat kegiatan Islam
Aceh ketika itu di bakar oleh tentara Belanda.24 Padahal pendidikan pada Al-Jami’ah
Mesjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh yang pada masa Iskandar Muda itu telah
23 Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, (Banda Aceh: Pena, 2008), hal: 47.
18 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
memilki 44 orang guru besar yang berasal dari Arab, Turki, Persia, dan India.
Jami’ah Baiturrahman ini setingkat dengan Universitas yang didalamnya memiliki
berbagai fakultas (daar), seperti daarut tafsir (ilmu tafsir/ hadits), daarut thib wal kimia
( ilmu kedokteran, Kimia), daarut tarikh (Sejarah), Daarut siyasah (sosial politik), dan
daarut falsafah (filsafat) dan lain-lain
Aceh ketika itu sampai menjadi pusat perhatian umat Islam di Asia Tenggara.
Artinya jika persoalan Islam diperselisihkan di negaranya mereka bersepakat merujuk ke
Aceh untuk mendapatkan jawaban. Demikian juga kekuatan tauhid yang dimiliki umat
Islam di Aceh telah menjadi kekuatan besar dalam mempertahankan negeri Islam dari
penjajahan kolonialis kafir Belanda. Hal-hal tersebut menjadi beberapa faktor sehingga
Aceh diberi gelar Serambi Mekkah.
I. Masa Kemunduran Kesultanan Aceh Darussalam
Aceh mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Iskandar Tsani berpulang ke
rahmatullah. Sebagai penggantinya, beberapa orang sultan ( pemimpin wanita)
menduduki singgasana pada tahun 1641-1699. Mereka adalah Sultanah Safiat al-din,
Sulatanah Nakiyat al- Din, dan Sultan Zakiyat al- Din,dan Sultanah Kamala al- Din.
Kepemimpinan para sultanah ini mendapat perlawanan dari kaum ulama Wujudiah yang
beujung dengan datangnya fatwa dari Mufti Besar Mekah yang menyatakan keberatannya
akan kepemimpinannya wanita. Padahal menurut satu sumber, Sultanah Safiat al-din
adalah seorang wanita yang cakap. Ia adalah puteri Sultan Iskadar Muda dan menjadi
isteri Sultan Iskandar Muda dan menjadi isteri Sultan Iskandar Tsani. Ia disebutkan
menguasai enam bahasa; Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab dan Parsia.
Pada masa pemerintahan sultanah ini,beberapa wilayah taklukan lepas dan
kesultanan menjadi terpecah belah. Meski upaya pemulihan dilakukan, namun tidak
banyak membawa kemajuan. Menjelang abad ke-18, kesultanan Aceh merupakan
bayangan belaka dari masa silam, Aceh tidak lagi memiliki kepemimpinan yang tangguh.
Aceh mengalami kemerosotan politik dan ekonomi,selain itu wacana pemikiran islam
yang sempat berkembang pesatpun mengalami kemunduran.
Kemunduran kesultanan Aceh selain disebabkan oleh faktor internal juga sangat
dipengaruhi oleh faktor ekternal. Sejak awal abad ke-16 kesultanan Aceh terlibat
perebutan kekuasaan yang berkepanjangan, pertama dengan Portugis, lalu sejak abad ke-
24 M. Hasbi Amiruddin, Jam’iyatu al-Diniyah …, hal. 30-31. Lihat Juga A. Hasjmi, Keadaan Pendidikan Islam
di Aceh dalam Perjalan Sejarah, Sinar Darussalam Nomor 63, (tahun 1975), hal: 8.
19 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
18 dengan Inggris dan Belanada. Pada akhir abad ke- 18, Aceh terpaksa menyerahkan
wilayahnya di Kaedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Inggris. Melalui
Anglo-Dutch Treaty pada tahun 1824, Inggris dan Belanda menetapkan demarkasi bagi
wilayah pengaruh mereka di Aceh di kepulauan Melayu. Inggris mengklaim bahwa Aceh
adalah wilayah jajahan mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Inggris
membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh. Aceh kemudian terlibat perang
berkepanjangan, namun demikian Aceh tidak pernah dapat ditaklukkan secara total oleh
Belanda. Sehingga saat Indonesia merdeka tahun 1945, Aceh masih tetap menjadi sebuah
negara yang berdaulat.25
25 Helmiati hal: 52
20 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aceh melewati sejarah yang panjang sebagai wilayah terbesar dan terpenting bagi
islam.Aceh pernah dikenal sebagai pusat Islam pertama di Nusantara Aceh sebagai
sebuah kerajayaan Islam yang pernah terkenal di wilayah Asia Tenggara. Aceh
mengalami kejayaan politik, ekonomi dan pendidikan pada masa Kerajaan Aceh
Darussalam khususnya pada masa Sultan Iskandar Muda.ia membangun kerajaan aceh
atas dasar keislaman ,baik ditinjau dari hukum dan perundang undangannya, Banyak
keunggulan yang sudah pernah dicapai diantaranya adalah Aceh pernah menjadi pusat
studi Islam di Asia Tenggara, para mubaligh pAceh dikirim untuk menyiarkan Islam ke
wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukkan.
Disamping itu Aceh sendiri memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang eksis
hingga saat ini. Di antara lembaga pendidikan yang ada pada saat itu yang memberikan
kontribusi terbesar dalam perjuangan melawan penjajah adalah Dayah, dayah dalam
perkembangannya kemudian telah mengajarkan berbagai materi, bukan hanya materi
Agama tapi juga materi pendidikan umum. Sehingga bisa dipastikan tidak adanya
dikotomi ilmu pada saat itu. Melalui lembaga pendidikan inilah kemudian islam tersebar
ke seluruh asia tenggara. Namun dibalik kejayaan adanya kemunduran aceh yang
berlangsung setelah wafatnya sultan iskandar dan posisi kepemimpinan di pegang oleh
wanita...sejak saat itu terjadi perebutan kekuasaan di aceh darussalam, ada pula faktor
eksternal dan internal yang mempengaruhi sehingga aceh mengalami kemunduran.
21 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesi; Kumpulan Pra Saran
pada Seminar 17-20 Maret 1963 di Aceh, Bandung: Al-Ma’arif, 1993
Abdullah sani usman .krisis legitimasi politik dalam sejarah pemerintahan di aceh .
(Jakarta :puslitbang lektur keagamaan. 2010)
Ali. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta: Beuna, 1983
Bustami Usman, Dayah, Banda Aceh: Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD), 2009.
Hasbi Amiruddin, Jam’iyatu al-Diniyah: Pemrakarsa Lahir Madrasah di Aceh, Banda Aceh:
P3KI IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2011
Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, Banda Aceh: Pena, 2008
Helmiati.sejarah islamasia tenggara .(pekanbaru: zanafa pubhlising, 2011 )
Ismail Yakub, “Gambaran Pendidikan di Aceh Sesudah Perang Aceh-Belanda Sampai
Sekarang” dalam Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bharata, 1981.
Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, Banda Aceh: Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN
Ar-Raniry, 2009
Tasnim Idris, Aplikasi Targhib dan Tarhib pada Pendidikan Dayah Aceh, Banda Aceh: P3KI
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2011
Usman Husein, Lembaga Pendidikan Kuttab dan Rumoh Beut (Lembaga Pendidikan Islam
dasar
Arab di Abad Tengah dan dalam Masyarakat Aceh Tradisional), Banda Aceh: P3KI IAIN Ar-
Raniry Banda Aceh, 2011
Usman Husen, dkk, Aceh Serambi Mekkah, Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2008.
.
22 | S e j a r a h I s l a m A s i a T e n g g a r a