seni yang melawan lupa how to? - ftp.unpad.ac.id fileterdapat anyaman bambu yang menjulang tinggi...

1
| 17 MINGGU, 17 OKTOBER | MEDIA INDONESIA Seni yang Melawan Lupa Seni yang Melawan Lupa Winning Eleven, sang Pemenang MI / ALEXANDER PRIYASMA FOTO-FOTO: MI/CHRISTINE FRANCISKA 2 “Mengingatkan kembali bahwa kekerasan yang meng- atasnamakan agama itu masih terjadi. Bahwa seni masih dike- kang. Tak hanya di masyarakat, di lingkungan kampus pun begitu,” lanjut mahasiswa Ju- rusan Desain Produk angkatan 2006 ini. Kerja keras Acara empat tahunan ini te- lah melegenda. Tiap kali Pasar Seni datang, ribuan pengun- jung tumpah ruah menyusuri Jalan Ganesha dan lingkungan kampus ITB. Sejak 1972, Pasar Seni sudah menjadi ikon yang kebanggaan mahasiswa FSRD. T AK seperti kebanya- kan sawah yang penuh air, ‘sawah’ yang satu ini berisi hamparan rumput hijau. Di tengahnya terdapat anyaman bambu yang menjulang tinggi menyerupai caping petani. Butiran gabah pun terhampar di beberapa bagian. Alu dan lesung juga hadir, lengkap dengan ibu-ibu penumbuk padi. ‘Sawah’ ini punya padi yang tak biasa. Di tepi-tepi area, tanaman padi ditanam dengan menggunakan polybag. Kering saja tanpa air yang melimpah ruah. ‘Sawah’ ini tak lain merupa- kan sebuah instalasi seni yang dipamerkan dalam Pasar Seni ITB, Minggu (10/10) lalu. Di sekitar area ‘sawah’, pengun- jung tak akan bisa bertele- pon atau ber-SMS. Jaringan telepon sengaja dikacaukan untuk membuat pengunjung kembali pada cara komunikasi yang paling tua sekaligus pa- ling bermakna yaitu, bertatap muka, bertegur sapa, dan ber- tukar kata. Keseluruhan instalasi ‘sawah’ ini bukan hanya jadi karya seni semata. Lewat ‘sawah’, para mahasiswa mengajak kita un- tuk melawan lupa. Lupa akan tradisi komunikasi dan budaya agraris. “Ini merupakan sebuah kegelisahan akan nilai-nilai tradisi yang terlupakan oleh kita,” ujar Indra Audipriatna, Ketua Panitia Pelaksana Pasar Seni ITB 2010. Untuk semua Kolaborasi terlihat kental dalam Pasar Seni ITB kali ini. Padi ber-polybag yang sudah ditanam lebih dari setahun lalu itu merupakan kolaborasi mahasiswa Fakultas Seni Rupa ITB dan mahasiswa Jurusan Teknik Kimia. Pengacauan jaringan telepon pun tak akan bisa terlaksana kalau mahasiswa Teknologi tak ikut serta. Ada juga insta- lasi rumah pohon yang tak akan berdiri tegak kalau tak melibatkan hitungan cermat mahasiswa Arsitektur. Bagi Indra, inilah hal yang membedakan Pasar Seni kali ini dengan Pasar Seni sebelum- nya. Mahasiswa dari berbagai fakultas diajak untuk ikut serta membuat instalasi seni yang bermakna. Bukan hanya itu. Acara ini juga mengembalikan konsep yang hilang sejak 1980. “Dulu Pasar Seni itu mi- lik mahasiswa, dosen, dan alumni. Tapi setelah 1980, Pasar Seni hanya untuk mahasiswa. Sekarang kita mengembali- kan konsep yang lama bahwa Pasar Seni itu untuk semua,” jelasnya. Keterlibatan itu hadir dalam banyak bentuk. Di area Kam- pung Alumni, para alumni FSRD ITB tumpah ruah mengisi stan-stannya. Bahkan, seniman patung Nyoman Nuarta, yang juga alumnus FSRD, mem- persembahkan instalasi poton- gan patung Tiga Mojang yang dirobohkan di Bekasi beberapa bulan lalu. Tak mengherankan kalau me- reka pun kerja keras untuk menyukseskannya. Diskusi penyelenggaraan Pasar Seni 2010 ini sudah di- garap sejak 12 September 2008. Butuh dua bulan untuk meng- hasilkan tema dan enam bulan lamanya panitia kerja terus- menerus secara efektif. Salah satu dari 1.500 panitia yang terlibat adalah Rheza Arden Wiguna. Ini merupa- kan pengalaman pertamanya melihat dan terlibat langsung dalam Pasar Seni. Pada Minggu (10/10), ia tampak berjaga di wahana Kamar Vibrator. Bagi mahasiswa FSRD se- mester I seperti Rheza, terli- bat di Pasar Seni adalah soal sumbang otot dan kerja keras. Pasalnya, semua mahasiswa tingkat I berada dalam tahap persiapan bersama (TPB). Da- lam tahap ini, mahasiswa baru diajak untuk menjadi pekerja kasar yang pekerjaannya tak lepas dari potong-serut bambu dan mengaitkannya dengan kawat. “Ini sudah seminggu penuh potongin bambu untuk instalasi Ini merupakan sebuah kegelisahan akan nilai-nilai tradisi yang terlupakan oleh kita.” Indra Audipriatna Ketua Panitia Pelaksana Pasar Seni ITB 2010 kapal, tower, dan lain-lain. Mu- lai dari pulang kuliah siang hari sampai jam 5 subuh. Dua hari menjelang hari H saya belum tidur,” ujarnya. Setelah tahap TPB berakhir, mahasiswa tingkat II akan naik ke tahapan wali. Di atasnya lagi ada tahap tatib, swasta, dan mega swasta. “Wali bi- asanya ngebantu kita untuk lewatin tahap TPB. Semakin tinggi tingkatannya, semakin dilibatkan dalam pembuatan konsep seni. “Kepanitiaannya sendiri su- karela kok. Jadi enggak ada paksaan sama sekali,” kata Rheza Selain mahasiswa FSRD, mahasiswa fakultas lain juga turut dilibatkan. Salah satunya adalah Latifa Dwiyanti, ma- hasiswa semester III Jurusan Sistem Teknologi Informasi. “Sebulan sebelumnya, bia- sanya anak FSRD bikin oprek untuk nawarin ke fakultas lain siapa yang mau ikutan gabung. Kebetulan saya dari klub Liga Film Mahasiswa diminta bantu- an untuk dokumentasi. Jadinya, saya niatin untuk ikut, padahal besok UTS jam 11,” katanya. Izin kampus Menyelenggarakan acara besar tentu punya banyak tantangan. Pendanaan, salah satunya. Namun, yang menu- rut Indra paling membuat susah, justru datang dari pihak kampus sendiri. “Padahal izin Pemkot udah lama turun. ITB yang paling banyak diuntungkan dengan acara ini malah memberi ham- batan paling besar,” ujarnya. Masalah izin yang dimaksud berkaitan dengan izin penem- patan instalasi dan wahana di sekitar area kampus. Salah satu- nya juga tentang izin menginjak rumput yang perlu usaha besar untuk meloloskannya. Namun, baginya, itulah yang membuatnya rindu dengan Pasar Seni. Selain proses kerja dan kebersamaannya, maha- siswa juga bisa melanggar aturan kampus yang ketat itu. Termasuk larangan beraktivitas di atas pukul 23.00. “Kapan lagi ITB diacak-acak kayak gini ? Semua orang tidur di kampus, rumput juga di injak-injak.” Pasar Seni yang ke-10 ini diadakan pada tanggal, bu- lan, dan tahun yang serba-10. Acaranya juga dibuat 10 jam saja. Dari pukul 08.00 hingga 18.00 WIB. Pemilihan waktu yang berakhir di pukul 6 sore ternyata juga punya maksud tersendiri. “Ini juga konsep dari hal yang terlupakan. Bahwa bi- asanya saat magrib merupakan saat manusia berhenti bekerja. Anak-anak disuruh pulang, orang-orang tua juga berhenti bekerja,” jelas Indra. Bila dibandingkan dengan tahun lalu, Pasar Seni kali ini dibuat lebih kecil. Kalau dulu melibatkan 600 stan, kini hanya dibuat 350 stan dengan mem- pergunakan 3/4 luas lokasi dari acara sebelumnya. Hal ini dibuat agar para pengunjung tidak terlalu lelah dan dapat melihat semua area. “Kita selalu mengadakan acara selama satu hari, supaya bikin kangen,” sambung Indra. (Christine Franciska/M-2) WAKTU Pasar Seni ITB, Minggu (10/10) lalu, booth Move diramaikan anak-anak muda yang ikut aktivitas seru. Salah satunya, bikin postcard dari barang-barang yang enggak terpakai di rumah. Ternyata anak-anak Bandung ini kreatif pisan, lo! Postcard polos dikreasikan dengan majalah bekas, kertas kado, scrap paper, hingga kawat listrik. Nah, kita juga bisa bikin postcard ini di rumah. Selain menyenangkan, postcard ini juga bisa kamu kirim beneran ke sahabat dan keluarga! Pasti mereka surprised banget! Bahan : Karton tebal Spidol, pensil warna, atau alat tulis lain Lem atau double tape Gunting dan cutter Majalah bekas Kertas kado Kain, kawat, kertas bekas yang unik Prangko Cara membuat : Potong kertas karton tebal dengan ukuran postcard (atau bisa juga sesukamu) Gunting potongan ma- jalah bekas dan bahan- bahan lain sesuai imajinasi kamu. Paling mudah, tentukan dulu tema yang mau dibuat. Kalau mau tema laut, misalnya, kamu tinggal cari hal yang berhubungan dengan laut, mulai dari warna biru, orang berenang, pasir, matahari, dan lain-lain. Tempel potongan-potongan itu di sisi depan postcard dan bagian belakang. Jangan lupa juga untuk menyisa- kan tempat untuk menulis pesan di bagian belakang. Tempel prangko dan tulis pesanmu dalam postcard, dan voila! Jadi, deh! HOW TO? Yuk Bikin Postcard! BERMAIN gak cuma bikin kita senang. Karena, main juga bikin otak kita terasah bukan? Gak percaya? Coba baca yang ini, nih! Selamat untuk Adrian Jourdan Muslim dari Universitas Negeri Makassar! Winning Eleven 2000 Oleh Adrian Jourdan Muslim SAYA memperoleh hadiah PlayStation ketika saya duduk di kelas 2 SD. Sebagaimana kebanyakan teman-teman, saya ser- ing memainkan video game sepak bola Winning Eleven alias Pro Evolution Soccer. Beberapa versi Winning Eleven hasil modifikasi cracker Melayu saya koleksi. Bermain Winning Eleven membuat saya tahu lebih jauh permainan sepak bola. Offside, misalnya, saya pahami sesudah bermain game ini. Sebelumnya perangkap offside tak saya kenal. Kalau bermain bola di lapangan, kami cuma menendang secara terus-menerus untuk membobol gawang lawan. Apakah saat itu pencetak gol berada pada posisi offside atau tidak, jelas bukan masalah. Kami hanya mau mencetak gol sekaligus menang. Hingga, dapat menjadi obrolan di sekolah pada besok hari. Winning Eleven mengajarkan bahwa sepak bola dilandasi aturan. Pemain tak boleh seenaknya menendang bola. Apalagi menendang pemain. Wasit, yang tidak bisa dipantau kehadiran- nya, pasti menghadiahi kartu kuning atau merah. Sepuluh tahun sudah berlalu, Winning Eleven ternyata tetap membekas di kalbu. Winning Eleven selalu terpatri di hati sampai hari ini, ketika saya telah tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Makassar. Aku datang dari Yogya- karta sama teman-teman, sengaja ingin lihat Pasar Seni ITB sekaligus ber- partisipasi dalam event ini. Menurutku, acaranya bagus banget. Banyak hal menarik yang bisa dilihat. Salah satu yang paling menarik di sini tentu saja stan saya dan teman- teman dari sana, hehehe... Booth Move MI ini juga menarik, soalnya saya bisa ikutan bikin postcard serta illustration challenge dan menang! Sedikit masukan buat panitia Pasar Seni, mungkin kinerjanya perlu ditingkatkan agar lebih profesional. Ristiyanto Cahyo Wibowo Fakultas Seni Rupa Jurusan Seni Murni Institut Seni Indonesia Yogyakarta Ini pengalaman per- tama datang ke Pasar Seni ITB. Senang banget bisa datang ke sini. Sa- lut buat anak-anak Seni Rupa ITB yang udah bisa menyelenggarakan Pasar Seni. Keren banget acara- nya. Bahkan, saya yang bukan anak seni aja bisa menikmati acara ini. Kalau bisa sih area untuk Pasar Seninya diperluas lagi. Soalnya, peminatnya kan banyak. Pengunjungnya juga membeludak. Oh ya, terima kasih buat Move MI yang udah ngadain illus- tration challenge. Terima kasih hadiahnya.... Dhaifihallah Abi Rafdi Fakultas Ekonomi Jurusan Akutansi Universitas Pasundan Bandung Gue datang bareng teman-teman kampus. Sengaja bawa kamera buat hunting foto, cari objek- objek yang menarik. Ke- betulan ada Move Photo Competition, yah ikutan aja sekalian. Menurut gue, Pasar Seni ITB keren. Banyak banget stan-stan menarik yang bisa dilihat. Belum lagi performance panggung dan atraksi jalanannya. Enggak nyesel deh datang ke sini, meskipun harus rela berjubel-jubel. Nadiya Nuranisa Rachmani Teknik Arsitektur Institut Teknologi Nasional, Bandung FOTO-FOTO: MI/DIAN PALUPI 1 3 4 Deretan tanaman padi yang ditanam di sebuah polybag sejak awal Juli lalu tumbuh subur dan siap dipanen. Di wahana sawah, Pasar Seni ITB, Kota Bandung, Jawa Barat, panitia hendak mengajak pengunjung untuk memikirkan masalah pangan yang selama ini seolah sulit terpecahkan. Patung Tiga Mojang karya Nyoman Nuarta. p in b h d p s te B ik m m p OPINI MUDA MI / HARYANTO

Upload: dinhphuc

Post on 08-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

| 17MINGGU, 17 OKTOBER | MEDIA INDONESIA

Seni yang Melawan LupaSeni yang Melawan Lupa

Winning Eleven, sang Pemenang

MI / ALEXANDER PRIYASMA

FOTO-FOTO: MI/CHRISTINE FRANCISKA

2

“Mengingatkan kembali bahwa kekerasan yang meng-atasnamakan agama itu masih terjadi. Bahwa seni masih dike-kang. Tak hanya di masyarakat, di lingkungan kampus pun begitu,” lanjut mahasiswa Ju-rusan Desain Produk angkatan 2006 ini.

Kerja kerasAcara empat tahunan ini te-

lah melegenda. Tiap kali Pasar Seni datang, ribuan pengun-jung tumpah ruah menyusuri Jalan Ganesha dan lingkungan kampus ITB. Sejak 1972, Pasar Seni sudah menjadi ikon yang kebanggaan mahasiswa FSRD.

TAK seperti kebanya-kan sawah yang penuh air, ‘sawah’ yang satu ini berisi hamparan

rumput hijau. Di tengahnya terdapat anyaman bambu yang menjulang tinggi menyerupai caping petani. Butiran gabah pun terhampar di beberapa bagian. Alu dan lesung juga hadir, lengkap dengan ibu-ibu penumbuk padi.

‘Sawah’ ini punya padi yang tak biasa. Di tepi-tepi area, tanaman padi ditanam dengan menggunakan polybag. Kering saja tanpa air yang melimpah ruah.

‘Sawah’ ini tak lain merupa-kan sebuah instalasi seni yang dipamerkan dalam Pasar Seni ITB, Minggu (10/10) lalu. Di sekitar area ‘sawah’, pengun-jung tak akan bisa bertele-pon atau ber-SMS. Jaringan telepon sengaja dikacaukan untuk membuat pengunjung kembali pada cara komunikasi yang paling tua sekaligus pa-ling bermakna yaitu, bertatap muka, bertegur sapa, dan ber-tukar kata.

Keseluruhan instalasi ‘sawah’ ini bukan hanya jadi karya seni semata. Lewat ‘sawah’, para mahasiswa mengajak kita un-tuk melawan lupa. Lupa akan tradisi komunikasi dan budaya agraris. “Ini merupakan sebuah kegelisahan akan nilai-nilai tradisi yang terlupakan oleh kita,” ujar Indra Audipriatna, Ketua Panitia Pelaksana Pasar Seni ITB 2010.

Untuk semuaKolaborasi terlihat kental

dalam Pasar Seni ITB kali ini. Padi ber-polybag yang sudah ditanam lebih dari setahun lalu itu merupakan kolaborasi mahasiswa Fakultas Seni Rupa ITB dan mahasiswa Jurusan Teknik Kimia.

Pengacauan jaringan telepon pun tak akan bisa terlaksana kalau mahasiswa Teknologi tak ikut serta. Ada juga insta-

lasi rumah pohon yang tak akan berdiri tegak kalau tak melibatkan hitungan cermat mahasiswa Arsitektur.

Bagi Indra, inilah hal yang membedakan Pasar Seni kali ini dengan Pasar Seni sebelum-nya. Mahasiswa dari berbagai fakultas diajak untuk ikut serta membuat instalasi seni yang bermakna.

Bukan hanya itu. Acara ini juga mengembalikan konsep yang hilang sejak 1980.

“Dulu Pasar Seni itu mi-lik mahasiswa, dosen, dan alumni. Tapi setelah 1980, Pasar Seni hanya untuk mahasiswa. Sekarang kita mengembali-kan konsep yang lama bahwa Pasar Seni itu untuk semua,” jelasnya.

Keterlibatan itu hadir dalam banyak bentuk. Di area Kam-pung Alumni, para alumni FSRD ITB tumpah ruah mengisi stan-stannya. Bahkan, seniman patung Nyoman Nuarta, yang juga alumnus FSRD, mem-persembahkan instalasi poton-gan patung Tiga Mojang yang dirobohkan di Bekasi beberapa bulan lalu.

Tak mengherankan kalau me-reka pun kerja keras untuk menyukseskannya.

Diskusi penyelenggaraan Pasar Seni 2010 ini sudah di-garap sejak 12 September 2008. Butuh dua bulan untuk meng-hasilkan tema dan enam bulan lamanya panitia kerja terus-menerus secara efektif.

Salah satu dari 1.500 panitia yang terlibat adalah Rheza Arden Wiguna. Ini merupa-kan pengalaman pertamanya melihat dan terlibat langsung dalam Pasar Seni. Pada Minggu (10/10), ia tampak berjaga di wahana Kamar Vibrator.

Bagi mahasiswa FSRD se-mester I seperti Rheza, terli-bat di Pasar Seni adalah soal sumbang otot dan kerja keras. Pasalnya, semua mahasiswa tingkat I berada dalam tahap persiapan bersama (TPB). Da-lam tahap ini, mahasiswa baru diajak untuk menjadi pekerja kasar yang pekerjaannya tak lepas dari potong-serut bambu dan mengaitkannya dengan kawat.

“Ini sudah seminggu penuh potongin bambu untuk instalasi

Ini merupakan sebuah kegelisahan akan nilai-nilai tradisi yang terlupakan oleh kita.”Indra AudipriatnaKetua Panitia Pelaksana Pasar Seni ITB 2010

kapal, tower, dan lain-lain. Mu-lai dari pulang kuliah siang hari sampai jam 5 subuh. Dua hari menjelang hari H saya belum tidur,” ujarnya.

Setelah tahap TPB berakhir, mahasiswa tingkat II akan naik ke tahapan wali. Di atasnya lagi ada tahap tatib, swasta, dan mega swasta. “Wali bi-asanya ngebantu kita untuk lewatin tahap TPB. Semakin tinggi tingkatannya, semakin dilibatkan dalam pembuatan konsep seni.

“Kepanitiaannya sendiri su-karela kok. Jadi enggak ada paksaan sama sekali,” kata Rheza

Selain mahasiswa FSRD, mahasiswa fakultas lain juga turut dilibatkan. Salah satunya adalah Latifa Dwiyanti, ma-hasiswa semester III Jurusan Sistem Teknologi Informasi.

“Sebulan sebelumnya, bia-sanya anak FSRD bikin oprek untuk nawarin ke fakultas lain siapa yang mau ikutan gabung. Kebetulan saya dari klub Liga Film Mahasiswa diminta bantu-an untuk dokumentasi. Jadinya, saya niatin untuk ikut, padahal besok UTS jam 11,” katanya.

Izin kampusMenyelenggarakan acara

besar tentu punya banyak tantang an. Pendanaan, salah satunya. Namun, yang menu-rut Indra paling membuat susah, justru datang dari pihak kampus sendiri.

“Padahal izin Pemkot udah lama turun. ITB yang paling banyak diuntungkan dengan acara ini malah memberi ham-batan paling besar,” ujarnya.

Masalah izin yang dimaksud berkaitan dengan izin penem-patan instalasi dan wahana di sekitar area kampus. Salah satu-nya juga tentang izin menginjak rumput yang perlu usaha besar untuk meloloskannya.

Namun, baginya, itulah yang membuatnya rindu dengan Pasar Seni. Selain proses kerja dan kebersamaannya, maha-siswa juga bisa melanggar aturan kampus yang ketat itu. Termasuk larangan beraktivitas di atas pukul 23.00. “Kapan lagi ITB diacak-acak kayak gini? Semua orang tidur di kampus, rumput juga di injak-injak.”

Pasar Seni yang ke-10 ini diadakan pada tanggal, bu-lan, dan tahun yang serba-10. Acaranya juga dibuat 10 jam saja. Dari pukul 08.00 hingga 18.00 WIB. Pemilihan waktu yang berakhir di pukul 6 sore ternyata juga punya maksud tersendiri.

“Ini juga konsep dari hal yang terlupakan. Bahwa bi-asanya saat magrib merupakan saat manusia berhenti bekerja. Anak-anak disuruh pulang, orang-orang tua juga berhenti bekerja,” jelas Indra.

Bila dibandingkan dengan tahun lalu, Pasar Seni kali ini dibuat lebih kecil. Kalau dulu melibatkan 600 stan, kini hanya dibuat 350 stan dengan mem-pergunakan 3/4 luas lokasi dari acara sebelumnya. Hal ini dibuat agar para pengunjung tidak terlalu lelah dan dapat melihat semua area.

“Kita selalu mengadakan acara selama satu hari, supaya bikin kangen,” sambung Indra. (Christine Franciska/M-2)

WAKTU Pasar Seni ITB, Minggu (10/10) lalu, booth Move diramaikan anak-anak muda yang ikut aktivitas seru. Salah satunya, bikin postcard dari barang-barang yang enggak terpakai di rumah.

Ternyata anak-anak Bandung ini kreatif pisan, lo! Postcard polos dikreasikan dengan majalah bekas, kertas

kado, scrap paper, hingga kawat listrik.Nah, kita juga bisa bikin postcard ini di rumah. Selain

menyenangkan, postcard ini juga bisa kamu kirim beneran ke sahabat dan keluarga! Pasti mereka surprised banget!

Bahan :

Karton tebal Spidol, pensil warna, atau alat tulis lain Lem atau double tape Gunting dan cutter Majalah bekas Kertas kado Kain, kawat, kertas bekas yang unik Prangko

Cara membuat :

Potong kertas karton tebal dengan ukuran postcard (atau bisa juga

sesukamu)

Gunting potongan ma-jalah bekas dan bahan-bahan lain sesuai imajinasi kamu. Paling mudah,

tentukan dulu tema yang mau dibuat. Kalau mau tema laut, misalnya, kamu tinggal cari hal yang berhubungan dengan laut, mulai dari warna biru, orang berenang, pasir, matahari, dan lain-lain.

Tempel potongan-potongan itu di sisi depan postcard dan bagian belakang. Jangan lupa juga untuk menyisa-kan tempat untuk menulis pesan di bagian belakang.

Tempel prangko dan tulis pesanmu dalam postcard, dan voila! Jadi, deh!

HOW TO?

Yuk Bikin Postcard!

BERMAIN gak cuma bikin kita senang. Karena, main juga bikin otak kita terasah bukan? Gak percaya? Coba baca yang ini, nih! Selamat untuk Adrian Jourdan Muslim dari Universitas Negeri Makassar!

Winning Eleven 2000Oleh Adrian Jourdan Muslim

SAYA memperoleh hadiah PlayStation ketika saya duduk di kelas 2 SD. Sebagaimana kebanyakan teman-teman, saya ser-ing memainkan video game sepak bola Winning Eleven alias Pro Evolution Soccer.

Beberapa versi Winning Eleven hasil modifikasi cracker Melayu saya koleksi. Bermain Winning Eleven membuat saya tahu lebih jauh permainan sepak bola.

Offside, misalnya, saya pahami sesudah bermain game ini. Sebelumnya perangkap offside tak saya kenal. Kalau bermain bola di lapangan, kami cuma menendang secara terus-menerus untuk membobol gawang lawan.

Apakah saat itu pencetak gol berada pada posisi offside atau tidak, jelas bukan masalah. Kami hanya mau mencetak gol sekaligus menang. Hingga, dapat menjadi obrolan di sekolah pada besok hari.

Winning Eleven mengajarkan bahwa sepak bola dilandasi aturan. Pemain tak boleh seenaknya menendang bola. Apalagi menendang pemain. Wasit, yang tidak bisa dipantau kehadiran-nya, pasti menghadiahi kartu kuning atau merah.

Sepuluh tahun sudah berlalu, Winning Eleven ternyata tetap membekas di kalbu. Winning Eleven selalu terpatri di hati sampai hari ini, ketika saya telah tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Makassar.

Aku datang dari Yogya-karta sama teman-teman, sengaja ingin lihat Pasar Seni ITB sekaligus ber-partisipasi dalam event ini. Menurutku, acaranya bagus banget. Banyak hal menarik yang bisa dilihat. Salah satu yang paling menarik di sini tentu saja stan saya dan teman-teman dari sana, hehehe... Booth Move MI ini juga menarik, soalnya saya bisa ikutan bikin postcard serta illustration challenge dan menang! Sedikit masukan buat panitia Pasar Seni, mungkin kinerjanya perlu ditingkatkan agar lebih profesional.

Ristiyanto Cahyo WibowoFakultas Seni Rupa Jurusan Seni Murni

Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Ini pengalaman per-tama datang ke Pasar Seni ITB. Senang banget bisa datang ke sini. Sa-lut buat anak-anak Seni Rupa ITB yang udah bisa menyelenggarakan Pasar Seni. Keren banget acara-nya. Bahkan, saya yang bukan anak seni aja bisa menikmati acara ini. Kalau bisa sih area untuk Pasar Seninya diperluas lagi. Soalnya, peminatnya kan banyak. Pengunjungnya juga membeludak. Oh ya, terima kasih buat Move MI yang udah ngadain illus-tration challenge. Terima kasih hadiahnya....

Dhaifihallah Abi RafdiFakultas Ekonomi Jurusan Akutansi

Universitas Pasundan Bandung

Gue datang bareng teman-teman kampus. Sengaja bawa kamera buat hunting foto, cari objek-objek yang menarik. Ke-betulan ada Move Photo Competition, yah ikutan aja sekalian. Menurut gue, Pasar Seni ITB keren. Banyak banget stan-stan menarik yang bisa dilihat. Belum lagi performance panggung dan atraksi jalanannya. Enggak nyesel deh datang ke sini, meskipun harus rela berjubel-jubel.

Nadiya Nuranisa RachmaniTeknik Arsitektur

Institut Teknologi Nasional, Bandung

FOTO-FOTO: MI/DIAN PALUPI

1

34

Deretan tanaman padi yang ditanam di sebuah polybag sejak awal Juli lalu tumbuh subur dan siap dipanen. Di wahana sawah, Pasar Seni ITB, Kota Bandung, Jawa Barat, panitia hendak mengajak pengunjung untuk memikirkan masalah pangan yang selama ini seolah sulit terpecahkan.

Patung Tiga Mojang karya Nyoman Nuarta.

pinbhdpsteBikmmp

OP

INI

MU

DA

MI / HARYANTO