si budi tugu pancoran

26
Sebuah Cerpen yang luar biasa : di kutip dari http://www.nurulyaqin.org Si Budi Tugu Pancoran (1) Friday, 30 November 2007 Bahagia Berujung Petaka Jakarta awal 1980 -an. Suara riuh tawa gembira terdengar keras dari rumah besar di bilangan Tebet Timur itu. Malam itu rumah Pak Sahlan yang luas dan megah bermandi cahaya pesta. Ia merayakan hari ulang tahunnya yang ke 50 sekaligus meresmikan rumah baru yang menjadi kebanggaannya. Pohon-pohon di depan rumah dihiasi dengan lampu-lampu yang indah sehingga malam kian bertambah gemerlap. Beberapa orang pelayan lelaki berbaju putih dengan celana panjang hitam sibuk menyajikan hidangan dan melayani para tamu. Sementara itu di atas panggung kecil para musikus menghibur pesta itu dengan memainkan musik-musik yang lembut. “Ehem..ehem..Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian”, Pak Sahlan batuk-batuk di mikrofon untuk menarik perhatian orang. Nampaknya ada yang ingin disampaikannya. “Selamat datang ke rumah kami. Saya bahagia sekali karena anda semua dapat hadir pada malam ini. Izinkan saya memperkenalkan anggota keluarga saya. Perempuan cantik yang di sebelah saya ini adalah Mazlinda, isteri dan ibu anak-anak saya.” Para hadirin tertawa mendengar kata-kata Pak Sahlan yang bernada humor. “Anak kecil yang gagah ini adalah Budiman . Ini anak sulung saya. Saya menamakannya Budiman agar kelak ia menjadi orang yang berbudi pekerti luhur. Dan yang saya gendong ini adalah Zahra adiknya Budiman. Budiman ini pandai main gitar, lho. Sekarang kita akan menyaksikan kemahirannya menyanyi dan memainkan gitar. Silahkan gembirakan diri anda dalam pesta ini.” Budiman pun naik ke atas panggung sambil membawa sebuah gitar akustik. Dia duduk di atas bangku dan membetulkan kedudukan mikorofon. Wajahnya tenang dan tidak terkesan gugup. Sebentar kemudian sebuah dentingan gitar yang merdu menggema dengan indahnya di tempat itu. Budiman menyanyikan lagu yang dipelajarinya di kelas kursus gitar. Suaranya yang bening dan lembut berpadu secara harmoni dengan bunyi gitar yang dimainkannya. Indonesia..tanah air beta.. Pusaka abadi nan jaya.. Indonesia sejak dulu kala, Selalu dipuja-puja bangsa. Pak Sahlan dan seluruh hadirin terpegun menyaksikan kehebatan Budiman . Mereka terpesona mendengarkan alunan keindahan yang mengalir di udara.. Sebaik saja lagu itu selesai para hadirin memberi tepukan tangan sambil berdiri. Kehebatan Budiman bernyanyi menjadikan suasana benar-benar hangat ketika itu. Pak Sahlan mendekati panggung kecil itu untuk menyalami Budiman. Ia sangat bangga dengan kehebatan anaknya itu. . Budiman dipeluk dan dicium oleh ayahnya yang merasa gembira sekali malam itu. Zahra yang masih berusia tiga tahun pun seakan-akan turut gembira di dalam pangkuan ibunya. ********

Upload: last-samurai

Post on 09-Jun-2015

198 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Si Budi Tugu Pancoran

Sebuah Cerpen yang luar biasa : di kutip dari http://www.nurulyaqin.org

Si Budi Tugu Pancoran (1)

Friday, 30 November 2007 Bahagia Berujung Petaka

Jakarta awal 1980 -an.

Suara riuh tawa gembira terdengar keras dari rumah besar di bilangan Tebet Timur itu. Malam itu rumah Pak Sahlan yang luas dan megah bermandi cahaya pesta. Ia merayakan hari ulang tahunnya yang ke 50 sekaligus meresmikan rumah baru yang menjadi kebanggaannya. Pohon-pohon di depan rumah dihiasi dengan lampu-lampu yang indah sehingga malam kian bertambah gemerlap. Beberapa orang pelayan lelaki berbaju putih dengan celana panjang hitam sibuk menyajikan hidangan dan melayani para tamu. Sementara itu di atas panggung kecil para musikus menghibur pesta itu dengan memainkan musik-musik yang lembut.

“Ehem..ehem..Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian”, Pak Sahlan batuk-batuk di mikrofon untuk menarik perhatian orang. Nampaknya ada yang ingin disampaikannya. “Selamat datang ke rumah kami. Saya bahagia sekali karena anda semua dapat hadir pada malam ini. Izinkan saya memperkenalkan anggota keluarga saya. Perempuan cantik yang di sebelah saya ini adalah Mazlinda, isteri dan ibu anak-anak saya.” Para hadirin tertawa mendengar kata-kata Pak Sahlan yang bernada humor. “Anak kecil yang gagah ini adalah Budiman . Ini anak sulung saya. Saya menamakannya Budiman agar kelak ia menjadi orang yang berbudi pekerti luhur. Dan yang saya gendong ini adalah Zahra adiknya Budiman. Budiman ini pandai main gitar, lho. Sekarang kita akan menyaksikan kemahirannya menyanyi dan memainkan gitar. Silahkan gembirakan diri anda dalam pesta ini.”

Budiman pun naik ke atas panggung sambil membawa sebuah gitar akustik. Dia duduk di atas bangku dan membetulkan kedudukan mikorofon. Wajahnya tenang dan tidak terkesan gugup. Sebentar kemudian sebuah dentingan gitar yang merdu menggema dengan indahnya di tempat itu. Budiman menyanyikan lagu yang dipelajarinya di kelas kursus gitar. Suaranya yang bening dan lembut berpadu secara harmoni dengan bunyi gitar yang dimainkannya.

Indonesia..tanah air beta..

Pusaka abadi nan jaya..

Indonesia sejak dulu kala,

Selalu dipuja-puja bangsa.

Pak Sahlan dan seluruh hadirin terpegun menyaksikan kehebatan Budiman . Mereka terpesona mendengarkan alunan keindahan yang mengalir di udara.. Sebaik saja lagu itu selesai para hadirin memberi tepukan tangan sambil berdiri. Kehebatan Budiman bernyanyi menjadikan suasana benar-benar hangat ketika itu.

Pak Sahlan mendekati panggung kecil itu untuk menyalami Budiman. Ia sangat bangga dengan kehebatan anaknya itu. . Budiman dipeluk dan dicium oleh ayahnya yang merasa gembira sekali malam itu. Zahra yang masih berusia tiga tahun pun seakan-akan turut gembira di dalam pangkuan ibunya.

********

Page 2: Si Budi Tugu Pancoran

Ketika tawa dan kebahagiaan memenuhi udara, tiga orang polisi masuk ke ruang pesta. “Siapa yang bernama Sahlan?”, tanya mereka. Pak Sahlan yang belum habis tertawa terperanjat melihat kedatangan tiga orang aparat polisi itu. Dengan ragu-ragu ia mengacungkan jarinya.

“Ya, saya Sahlan, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”

Salah seorang anggota polisi yang lebih tua mendekati Pak Sahlan dan mengajaknya untuk duduk agak berjauhan dari yang lain. Dia kelihatan serius menerangkan sesuatu kepada Pak Sahlan.

“Ya Allaaaah…..”. Tiba-tiba Pak Sahlan berteriak keras dan mendadak jatuh pingsan!

Semua orang panik dan mendekati Pak Sahlan yang sedang pingsan. Dokter Joko, tetangga sebelah yang kebetulan hadir memberikan pertolongan pertama kepada Pak Sahlan. Beliau meminta seseorang untuk menelefon ambulan. Pak Sahlan harus mendapatkan rawatan segera.

Dokter Joko bertanya kepada salah seorang anggota polisi kabar apa yang sebenarnya yang mereka bawa sehingga membuat Pak Sahlan menjadi shock.. Salah seorang anggota polisi menerangkan bahwa pabrik sepatu Pak Sahlan yang besar itu baru saja hangus terbakar api!

Para hadirin pun menjerit histeria mendengar berita yang memeranjatkan itu. Putus rasanya tali jantung mendengar berita itu. Baru beberapa saat yang lalu mereka menikmati senyum lebar Pak Sahlan. Senyum yang menggambarkan kesuksesan dan kebahagiaan hidup. Namun kini mereka menyaksikan betapa kehidupan telah melempar nasib Pak Sahlan jauh ke bawah. Secara diam-diam para tamu pergi meninggalkan rumah keluarga Sahlan. Pesta malam yang tadinya riuh rendah dengan gelak ketawa itu kini hanya meninggalkan pekarangan rumah yang berantakan dengan piring kotor dan sisa makanan. Suara manusia kian sunyi di rumah itu saat lampu-lampu padam satu demi satu.

Si Budi Tugu Pancoran (2)

Thursday, 06 December 2007 Harta-harta Itupun Pergi

Ibu, Budiman dan Zahra tidak pernah meninggalkan Pak Sahlan sendirian. Mereka senantiasa mengawasi ayahnya yang belum juga sadar. Budiman berusaha untuk tabah. Tapi akhirnya ia menangis juga. Bukan pabrik sepatu ayahnya yang ditangisinya. Tapi justru ayahnya yang tiba-tiba pingsan dan belum bangun sampai sekarang.

Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Budiman tertidur beralaskan tikar pandan di lantai ruang rawatan. Zahra tertidur di atas sofa. Sementara Ibu baru selesai sholat dan sedang menangis memohon kepada Allah untuk kesembuhan ayah. Tiba-tiba Ibu tersentak mendengar suara Ayah.

“Sepatu..sepatuku.. Oh. Sepatu..sepatuku…”Ayah tiba-tiba bangun dari komanya dan terduduk di atas kasur sambil menyebutkan ucapan-ucapan di atas.

“Ayah sadar ayah, nyebut ayah nyebut Ayah” Ibu berusaha untuk menyadarkan ayah. Ia segera menghampiri sambil mengusap rambut ayah. Tetapi nampaknya Pak Sahlan tidak menyadari dirinya lagi. Hanya perkataan itu saja yang diulang-ulangnya. “Sepatuku.. sepatuku..Oh sepatuku..” Seorang dokter bergegas masuk dan memeriksa kesehatan Pak Sahlan. Ia memberikan sebuah suntikan penenang agar Pak Sahlan dapat beristirahat kembali.

“Ibu, tetaplah berdoa dan berusaha mendampingi Bapak agar pemikirannya kembali pulih” kata dokter itu.

Page 3: Si Budi Tugu Pancoran

“Iya Pak Dokter. InsyaAllah saya akan tetap di sini dengan anak-anak sampai beliau sembuh”.

********

Telah dua minggu lamanya Ibu dan anak-anak menemani Pak Sahlan dirawat di rumah sakit. Secara fisik tidak ada kelainan atau penyakit apapun yang dideritanya. Tapi pemikirannya sangat terganggu dan belum dapat mengenal orang lain, tidak juga anak-anak dan isterinya. Sungguh kasihan sekali melihat keadaannya. Setiap hari kerjanya hanya melamun saja dan sesekali menggumamkan perkataan yang sama, “Sepatuku..sepatuku..Oh.. sepatuku”.

Ibu merasa tidak ada gunanya mereka berlama-lama di rumah sakit. Sudah dua minggu ini Budiman tidak sekolah karena menemani ayahnya di rumah sakit.

“Budi, rasanya tidak ada gunanya kita membiarkan ayahmu dirawat di rumah sakit terlalu lama. Sebab dokter sendiri mengatakan bahwa ia tidak sakit apa-apa. Cuma pikirannya saja yang terganggu. Ibu bermaksud membawanya pulang ke rumah saja. Mungkin di sana ayah bisa lebih tenang.”

“Ya Budi setuju saja, bu. Kalau memang itu yang terbaik untuk ayah.”

Akhirnya pulanglah keluarga kecil itu ke rumahnya di Tebet, Jakarta. Ibu sudah tiga kali menghubungi Pak Dirman, supir mereka, tetapi handphone nya tidak menjawab Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang dengan taksi saja.

Taksi berhenti tepat di depan pintu gerbang. Alangkah terkejutnya Ibu dan Budiman ketika sampai di halaman rumah mereka melihat sebuah papan pengumuman terpampang di dinding rumah mereka.

“RUMAH INI TELAH DISITA BANK”.

Tulisan berwarna merah dengan cat yang masih baru itu terasa bagai petir yang menyambar di siang bolong. Ibu terduduk di meja beranda sesaat setelah membaca surat itu. Mereka semua terdiam dan terbawa oleh fikiran masing-masing.

Rumah itu juga sepi. Tidak ada seorang pun yang masih kelihatan. Pak Dirman yang supir tidak kelihatan. Pak Heru yang biasanya duduk di gardu jaga tidak ada. Bi Minah dan Bi Patmi juga tidak menyambut kedatangan mereka. Hanya Mas Parmin tukang kebun, yang tiba-tiba muncul dari pintu samping.

“Selamat datang, ndoro’, kata Mas Parmin membungkuk.

“Parmin, kemana yang lain? Kenapa Pak Dirman tidak datang ke rumah sakit untuk menjemput kita?” tanya ibu.

“Maaf ndoro, mereka sudah sejak dua hari yang lalu meninggalkan rumah ini. Sampai sekarang tinggal saya yang masih bertahan di sini. Itupun semata-mata menunggu kepulangan ndoro. Saya juga harus pergi ke kampung, karena orang tua saya sakit.”

Ibu mendudukkan ayah di bangku taman. Ibu termangu dalam diam. Tiba-tiba airmatanya mengalir deras. Ia menangis terisak-isak. Budiman sedikit mengerti apa yang terjadi. Namun Zahra yang tidak memahami keadaan ikut-ikutan menangis bersama ibu.

Dalam kesedihan yang masih kental itu, sebuah mobil sedan berwarna biru tua berhenti di halaman rumah.

Page 4: Si Budi Tugu Pancoran

Dua orang berjas hitam turun dari mobil itu dan mendekati keluarga Pak Sahlan yang sedang duduk di halaman.

“Maaf, Ibu, Bapak . Kami pengacara yang diutus oleh pengadilan. Kami harus menerangkan beberapa persoalan kepada Ibu dan Bapak”, salah seorang dari mereka membuka pembicaraan.

“Tidak perlu anda jelaskan. Memang rumah ini dan seluruh isinya kami jadikan jaminan untuk pinjaman ke bank. Itulah langkah yang kami tempuh untuk mengembangkan usaha pabrik sepatu. Sekarang jelaskan saja duduk perkaranya kepada kami.” Ibu menjawab ucapan mereka dengan lugas.

“Sekali lagi kami mohon maaf. Sejak dua hari yang lalu rumah dan isinya ini sudah kami sita atas nama bank. Maka sejak saat itu atas nama hukum, Ibu dan Bapak tidak berhak lagi untuk tinggal di sini karena ia menjadi milik resmi bank.”

Ibu terdiam mendengar keterangan bapak itu. Fikirannya melayang jauh ke belakang. Terkenang olehnya ketika Pak Sahlan baru saja mendirikan pabrik sepatu dahulu. Ada beberapa orang menasehatkan agar aset perusahaan itu dilindungi asuransi. Namun Pak Sahlan tidak mahu. Dia menganganggap orang-orang asuransi itu hanya ingin menggerogoti hartanya saja. Sekarang barulah terasa betapa menyesalnya mereka karena Pabrik Sepatu Pak Sahlan tidak dilindungi asuransi. Sebagai akibatnya seluruh harta yang telah dikumpulkan sedikit demi sedikit sejak dahulu harus disita untuk membayar hutang-hutang mereka.

Sebuah truk besar berhenti di depan rumah. Beberapa orang pekerja turun dan masuk ke rumah tanpa memberi salam. Mereka mengangkat TV, kulkas, lemari, sofa dan seluruh perabot rumah ke dalam truk. Keluarga Pak Sahlan hanya dapat mengawasi dengan air mata berlinang. Sementara Pak Sahlan hanya menatap saja dengan mata kosong tidak bermakna.

Si Budi Tugu Pancoran (3)

Thursday, 13 December 2007 Rumah Petak

Dengan menjual kalung dan cincin pernikahannya, Ibu berhasil menyewa sebuah rumah petak di belakang pasar kampung Pulo. Di sanalah mereka sekeluarga kini tinggal. Kawasan tempat mereka tinggal senantiasa hiruk pikuk dengan suasana pasar yang panas dan kotor. Budiman sudah melupakan kursus gitarnya, sekolah elit dengan kelas berAC, rumah besar dan seluruh kemewahan yang berlalu bagai mimpi. Ia kini cuma seorang anak kampung Pulo yang harus bekerja keras untuk dapat makan. Teman-temannya bukan lagi anak-anak orang kaya yang tinggal di gedung-gedung mewah di Tebet dan Menteng. Kini ia berteman dengan anak-anak penjual sayur, anak tukang becak dan penjual Koran. Budiman sekolah di SD Negeri kampung Pulo bersama anak-anak itu.

Untuk menafkahi keluarga sekarang Ibu punya kegiatan baru. Setiap pagi ia bangun jam 3.00 dini hari untuk membuat kue-kue kampung. Pada waktu sepagi itu, Ibu sudah harus menggoreng rempeyek, membuat adonan untuk kue cucur dan menggulung kue dadar hijau. Semua ia kerjakan sendiri. Ibu tidak mahu membangunkan Budiman . Sebab setelah sholat Subuh, Budiman harus berkeliling kampung untuk menjajakan kue-kue itu. Pada siangnya pula ia harus tetap belajar di sekolah.

“Budi..Budi, bangun nak. Sudah azan subuh, tuh”. Ibu membangunkan anaknya untuk sholat Subuh. Budiman duduk di atas tikar pandan yang menjadi tempat tidurnya sejak akhir-akhir ini. Ia mengucek-ngucek matanya dan menguap dalam.

“Eh, ayo dibaca dulu doa bangun tidurnya”.

“Ya, bu. Alhamdulillahilladzi ahyana ba’ada maa amaatana wa ilaihin nusyur”. Budiman pun membaca doa

Page 5: Si Budi Tugu Pancoran

bangun tidur.

“Ayo, nak wudhuk dan ke masjid, ya. Habis sholat jangan lupa berdoa biar kue kita laku.”

Budiman berjalan gontai kebelakang untuk berwudhuk. Ia menyentuh air pompa yang disediakan ibunya dengan tubuh bergetar menahan dingin. Peci dan kain sarung yang disediakan ibu dipakainya lalu ia melangkah ke masjid..

Sejak pindah ke rumah petak itu, Pak Sahlan belum juga sadar ingatan. Setiap hari ia hanya duduk di depan dengan termangu-mangu. Pandangannya masih tetap kosong. Semua orang yang lewat di depan rumah itu berusaha untuk menyapanya. Tetapi Pak Sahlan tidak pernah menjawab. Makan dan minumnya pun disuapkan Ibu. Untunglah Zahra adik Budiman yang berusia tiga tahun itu sudah bisa makan dan minum sendiri. Jadi Ibu tidak terlalu repot mengurusinya.

Penjual Kue

Sehabis sholat Subuh, Budiman menjalankan kegiatan rutinnya. Ibu membantu Budiman mengangkat bakul kue itu ke atas kepalanya. Tidak lama kemudian terdengarlah suara merdu Budiman menjajakan kue.

“Kue..kue…..cucur, pastel, nasi uduk..”. Demikian suara Budiman menembus kabut pagi di kampung Pulo itu. Beberapa hari pertama sungguh canggung rasanya Budiman meneriakkan kata-kata itu. Tapi sekarang ia sudah terbiasa dengan keadaan itu. Siapa lagi yang akan menghidupi keluarga kalau bukan ia dan ibunya.

“Kue…..kue. Kuenya mbak Sarah…..Kuenya bu Anton. Masih hangat, lho.”

“Eh..Budi. Iya deh sini..sini. Ibu perlu kue-kuemu buat sarapan Sarah dan Papanya.” Bu Anton memang biasa berlanggan kue-kue Budi. Ia memanggil Budi untuk masuk ke pekarangan rumahnya. . Ia membeli beberapa kue untuk sarapan dan juga untuk bekal Sarah ke sekolah. Setelah menerima uang Budi pun pamit untuk meneruskan perjalanannya.Tapi Sarah menahannya.

“Bang Budi, Sarah dengar Bang Budi pandai main gitar dan bernyanyi, ya?”

“Ah, siapa bilang. Bang Budi mah hanya tahu jualan kue. Sarah, kata siapa?”

“Itu, di sekolah Sarah ada murid baru, namanya Wati. Ibunya kerja di rumah orang kaya di Tebet Timur. Wati sering diajak ibunya ke rumah orang kaya itu. Kata Wati orang kaya itu punya anak seusia Abang. Namanya Yasin. Dia sering bercerita tentang temannya bernama Budi yang pandai bernyanyi dan bermain gitar.” Berdesir darah Budi mendengar nama Yasin. Yasin adalah teman akrabnya sewaktu di SD elit dulu. Ah..Tentu sekarang Yasin tidak akan mahu mengenalnya lagi. Ada jarak sosial yang membedakan mereka berdua.

“Itu pasti Budi yang lain. Udah dulu ya, Sarah. Kue Bang Budi masih banyak, nih. Assalamu’alaikum.”

“Wa alaikum salam. Hati-hati nak Budi” kata bu Anton.

“Kue…..kue…..ayo dicoba kuenya, bu. Cucurnya legit, Pak. Masih hangat.” Suara Budi kembali mendayu-dayu menembus dingin pagi di kampung Pulo itu. Pagi itu tidak banyak orang yang membeli kue Budi. Mungkin karena ini hari Minggu. Banyak orang yang mungkin keletihan bekerja dan masih lagi terlena di atas tempat tidurnya. Budi meneruskan perjuangannya untuk menjajakan kue-kue itu. Tetapi tiba-tiba sebuah bentakan yang kasar telah membuatnya cukup terperanjat.

“Hei..bocah, sini lu.” Terdengar suara anak lelaki memanggil. Marwan, seorang anak yang terkenal nakal dan suka menganggu sudah berdiri di belakang Budi. Bersamanya ada dua anak yang lain. Budi tidak mengenal mereka.

Page 6: Si Budi Tugu Pancoran

Sebenarnya sudah sering Marwan menyetop Budi saat lewat di depan rumahnya. Malah kali ini Budi sengaja berjalan lewat lapangan bola untuk menghindari rumah Marwan. Malangnya justru ia bertemu Marwan di lapangan itu..

“Hei, lu nggak dengar, ya?” tanya teman Marwan yang tiba-tiba sudah berdiri di depan Budi. Mereka mendorong tubuh Budi yang sedang menjunjung bakul kue di atas kepala. Budi berusaha mengelak, tapi tiba-tiba dari belakang kawan Marwan mendorong dengan sangat kuat. Budi kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kue-kuenya berserakan, bahkan ada beberapa yang jatuh ke dalam selokan.

Budi mengerang kesakitan sambil memegang lututnya yang berdarah. Tapi lebih pedih lagi hatinya melihat kue-kue yang dimasak ibunya jatuh ke tanah dan selokan. Kue-kue itulah harapannya untuk terus hidup bersama keluarga. Budi menahan sakitnya dan berusaha bangkit. Ia mengejar Marwan dan menyerang dengan pukulan. Tapi Marwan dan kawan-kawannya malah mengeroyoki Budi. Tendangan dan pukulan mereka begitu menghantam kepala dan perut Budi. Budi terjatuh di tanah sambil menahan sakit.

Bagai tak punya belas kasihan, Marwan dan kawan-kawannya mendekati Budi dengan penuh amarah. Tapi baru saja kaki Marwan terayun untuk menendang perut budi, tiba-tiba ia terjengkang ke belakang. Sebuah tangan yang kuat menarik kerah bajunya dari belakang. Ya, Yasin, kawan lama Budi tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka. Meskipun masih seusia mereka, ayah Yasin adalah seorang guru silat yang hebat. Yasin disegani oleh kawan-kawan karena sudah belajar silat sejak kecil.

“Hei, kurang ajar! Siapa kau berani ikut campur urusan kami?.” Kata kawan Marwan.

“Saya Yasin. Saya tidak suka melihat tingkah kalian memukuli orang yang tidak berdaya”. Yasin menjawab dengan tegas. Ia melangkah mundur ke dinding untuk menjaga jangan ada lawan yang menyerang dari belakang.

“Jangan banyak ngomong, kau!” seorang teman Marwan segera maju menyerang Yasin dengan melayangkan pukulannya. Tapi pukulan seperti itu mudah sekali dielakkan oleh Yasin. Ia mengelak ke samping dengan cepat dan mendaratkan tumbukan sepenuh tenaga ke perut anak itu. Maka seketika anak itu jatuh dengan memegangi perutnya yang kesakitan. Belum sempat temannya yang lain berbut apa-apa, Yasin kembali mendaratkan sebuah tendangan belakang yang kuat. Tubuh kawan Marwan itu terpental setengah meter bagai karung beras. Marwan dan kawan-kawannya segera mengambil jurus langkah seribu, alias lari terbirit-birit.

“Terima kasih, Yasin”, kata Budiman yang mencoba untuk berdiri.

“Hah, MasyaAllah. Kamu Budiman, kan? Aduuh Budi, kamu kemana saja? Aku kangen sama kamu.” Yasin begitu gembira memeluk kawannya yang telah lama menghilang dari sekolah.

“Maafkan aku Yasin. Kami sekeluarga kena musibah sehingga harus pindah ke kampung Pulo.”

“Iya, tapi mengapa tidak memberitahu dulu kepadaku alamatmu?”

“Yasin, rasanya sekarang aku kurang pantas bergaul dengan kamu.”

“Jangan berkata begitu, Budi. Aku tidak memandang apapun dalam berteman. Lagi pula kita sudah lama berteman Oh ya, tadi aku sedang menemani ibu belanja di Pasar Pulo. Ibuku memang suka ke sini karena harganya lebih murah dan sayurnya lebih segar. Tiba-tiba aku melihat ada tiga berandal sedang memukuli seorang anak yang tidak berdaya. Rupanya anak yang dipukuli itu kamu toh. Aduh.. ajaib sekali ya cara Allah mempertemukan kita.”

“Lho, di sini toh rupanya kamu, Yasin. Ibu sudah puas mencarimu keliling pasar. Siapa ini? Lho, ini kan Budi anaknya Pak Sahlan?” Ibu Yasin tiba-tiba muncul dari belakang.

“Iya, bu. Saya Budi, temannya Yasin.”

“Ya Allah. Nak Budi, Ibu dan bapaknya Yasin pernah menjenguk ayahmu di rumah sakit. Tapi ketika kami ke

Page 7: Si Budi Tugu Pancoran

sana untuk kedua kalinya ternyata kalian sudah tidak ada. Tinggal di mana sekarang?”

“Udah, ibu jangan banyak bertanya dulu. Ini Budi sedang kesakitan habis dikeroyok sama anak-anak berandalan. Itu lihat kue-kuenya pada kotor terbuang di selokan.” Kata Yasin.

“Ya Allah, Ya Tuhan. Jahat sekali mereka. Ayo Yasin kita kumpulkan lagi kue-kue ini.”

“Biarlah, Bu, Yasin. Kue-kuenya sudah kotor. Pasti juga tidak bisa dijual.”

Ibu Yasin memandang Budiman dengan penuh kasihan. Ia mengerti bahwa keluarga Budiman mengharapkan nafkahnya hari itu dari hasil penjualan kue-kue yang jatuh itu. Ia mendekati Budiman dan memeluknya.

“Budi, dari dulu ibu sudah bilang. Kalau ada masalah datanglah ke rumah Ibu. Dulu kamu sering main ke rumah. Kenapa sekarang tidak mau main dengan Yasin?”

Budiman hanya tidak dapat menjawab pertanyaan ibu Yasin. Dia hanya diam sambil memandang ke arah Yasin.

“ Ini sayang, ambillah uang ini”. Ibu Yasin mengulurkan dua lembar uang kertas dua puluh ribuan.

“Maaf Ibu. Saya tidak bisa menerimanya. Ini semua salah saya. Ibu tidak perlu menanggung kesalahan saya. Assalamu’alaikum”. Budiman terus mengambil bakulnya dan berlari.

“Budi..hei..Budi, mau kemana?” Yasin berusaha mengejarnya. Tapi Budi telah masuk ke lorong-lorong perumahan yang sempit sehingga Yasin kehilangan jejak. Yasin berdiri di tengah perkampungan itu sambil matanya melihat kanan kiri. Tapi bayangan Budi sudah tidak dapat dilihatnya lagi.

*********

Ibu menangis melihat baju Budi sobek dan lututnya terluka. Ia sama sekali tidak bertanya tentang kue. Ibu lebihmengkhwatirkan keselamatan anaknya.

“Sudahlah, nak. Besok tidak usah jualan kue dulu, ya. Kita istirahat saja barang sehari.”

“Kalau nggak jualan kue, terus bagaimana mau beli beras, bu?”

“InsyaAllah, uang ibu masih ada kalau untuk keperluan beras sehari.”

“Ya terserah, ibu saja. Tapi jangan karena Budi terluka ya, bu. Luka segini sih, masih kecil. Kate orang Jakarte.. masih jauh dari nyawe.” Ibu tersenyum mendengar kata-kata anaknya.

********

Malam kian larut di kampung Pulo. Rumah petak berlampu redup itu pun kian hening. Ibu tertidur sambil

Page 8: Si Budi Tugu Pancoran

memeluk Budiman , anaknya dan harapannya setelah Allah. Zahra sudah lama tertidur memeluk Pak Sahlan. Sebelum tidur Budiman bersyukur kepada Allah.

“Alhamdulillah, aku berhasil menahan diri untuk tidak menceritakan pertemuanku dengan Yasin dan Ibunya. Ya Allah, aku tahu Ibu tidak suka dikasihani oleh orang lain. Ya Allah, biarlah Engkau simpan saja cerita uang dua puluh ribu itu. Kalau Ibu tahu, tentu hatinya terluka. Amin. Bismika Allahumma ahya wa amuut.”

Si Budi Tugu Pancoran (4)

Wednesday, 26 December 2007 Ayah Meninggal

Kesehatan Ayah kian memburuk.. Setiap hari yang diingat dan diigaukannya hanya pabrik sepatunya saja. Akhir-akhir ini igauan tersebut makin sering terdengar dengan suara yang lebih keras. Malah sekarang Ayah menghukum dirinya dengan tidak mahu makan dan minum. Akibatnya tubuhnya kian kurus dan kering. Pada saat seperti itu, seluruh penyakit bagai datang berlomba-lomba menyerang tubuhnya yang kurus itu. Ibu hanya menangis melihat keadaan Ayah seperti itu. Tidak berhenti ibu melayaninya dengan menyuapkan makanan atau minuman. Tetapi tetap saja mulut Ayah tertutup rapat bagai terkunci.

“Ayah.. cobalah makan sedikit. Ini tubuhmu makin kurus kering. Nanti bisa bahaya, Ayah.” Demikian Ibu menasehati Ayah sambil memegang sendok yang berisi nasi. Tapi Ayah bagai tidak mendengarkan perkataan Ibu. Iahanya berbaring saja di atas ranjang kayu tanpa mengingat apapun selain pabrik sepatunya yang telah habis terbakar itu.

Malam itu suatu keajaiban telah terjadi, Ayah terbangun sendirian. Matanya menatap nanar ke depan pintu. Kemudian ia menoleh ke sekeliling rumah bagai orang yang baru bangun dari tidur panjang. Ditatapinya wajah isteri dan anak-anaknya yang sedang tidur. Dilihatnya rumah petak tanpa kamar itu dengan wajah bingung. Perlahan ia mulai mengingat kembali peristiwa demi peristiwa yang telah melanda keluarga mereka. Ayah memandang ke bawah dan melihat isteri dan anak-anaknya tertidur pulas di atas tikar pandan. Ia menutup muka dengan kedua telapak tangannya dan mulai menangis terisak-isak. Rupanya baru saat itulah Ayah perlahan-lahan kembali kepada kesadarannya.

Mendengar suara tangisan yang cukup keras itu, Budiman pun bangun. Ia terkejut melihat ayahnya terduduk di atas ranjang dan menangis. Kemudian Ibu pula terbangun mendengarkan tangisan ayah yang kian keras.

“Bu, Ayah menangis, Bu”, kata Budiman . Ibu segera menghampiri Ayah dan memeluknya. Mereka sekeluarga berpelukan dalam tangisan yang sendu di pagi buta itu. Ibu dan Budiman menangis karena gembira Ayah telah kembali kepada kesadarannya.

“Maafkan Ayah ya Ibu, Budi.” Kata Pak Sahlan dengan suara bergetar.

“Tidak apa-apa, Ayah. Budi gembira Ayah telah sadar kembali.

“Sudahlah, Mas. Jangan diingat-ingat lagi apa yang telah terjadi.” Kata Ibu.

Mereka sekeluarga mengucapkan Alhamdulillah berulang kali sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT.

Page 9: Si Budi Tugu Pancoran

**********

Pulihnya kesadaran Ayah ternyata tidak membawa kepada kesehatan murni. Tubuh Ayah yang telah kurus kering itu tidak mampu menahan gempuran berbagai macam penyakit yang terlanjur menyerang tubuhnya. Ibu berusaha membelikan obat-obat yang mampu dibeli dengan mengurangi biaya dapur. Tapi penyakit Ayah ternyata telah menjalar hampir ke seluruh tubuh.

Malang tak dapat ditolak, kesehatan Ayah makin memburuk setiap hari. Meskipun ingatannya sudah pulih dan Ayah bisa berbicara dengan anak dan isterinya. Hari-harinya dihabiskannya dengan berzikir menyebut-nyebut Nama Allah. Ibu dan Budiman tidak berhenti berdoa setiap habis sholat agar Ayah diberi kesembuhan. Tapi kehendak Yang Maha Kuasa ternyata lain, tubuh Ayah tidak mampu lagi menahan berbagai macam penyakit yang dideritanya.

Pada suatu pagi Budiman melihat muka ayah bersih dan segar. Ayah melambaikan tangannya yang lemah meminta Budiman mendekat. Ibu yang sudah sejak Subuh membaca al-Quran di samping ayah menghentikan bacaannya.

“Ibu, Budi, ayah rasa sudah waktunya kita berpisah. Ayah sudah melihat ada cahaya menghampiri ayah. Mungkin itu cahaya malaikat maut.” Ayah meneteskan air mata saat mengatakan hal itu. Ibu juga meneteskan air mata.

“Ayah memohon keikhlasan Ibu dan Budi agar memaafkan semua kesalahan Ayah.” Budiman menangis memegang tangan Ayah.

“Ayah, kami semua sayang Ayah. Justru kamilah yang banyak salah kepada Ayah.”

Pak Sahlan tersenyum kepada anak dan istrinya. Kemudian nafasnya semakin tersengal-sengal dan tiba-tiba ia mengucapkan, “Laa Ilaaha IllaLlaah, Muhammadur Rasulullah”.

Maka pecahlah tangis ibu dan anak di pagi yang sendu itu. Mereka berdua ikhlas terhadap keputusan Allah, meskipun sebagai manusia terlalu berat rasanya berpisah dengan Ayah yang selama ini sanggup berkorban apa saja demi membuktikan sayangnya kepada keluarga. Semoga Allah menerima ruh Ayah dan menempatkannya bersama orang-orang yang soleh. Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi Raji’un.

Ibu Sakit

Sudah sebulan lamanya Ayah meninggal. Kuburannya tidak jauh. Cuma dua kilometer dari rumah, di tanah pekuburan Menteng Pulo. Budiman sering juga ke sana dengan ibu atau sendirian sepulang sekolah. Sungguh bertubi-tubi rasanya badai cobaan menimpa keluarga mereka. Sampai Budiman sudah lupa bagaimana rasa kegembiraan yang dahulu pernah dirsakannya.

Hari ini Ibu sakit lagi dan tidak kuat membuat kue. Ibu sakit karena selalu ingat hari-hari bahagianya bersama Ayah. Budiman tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Dia harus cari uang untuk beli obat. Tapi melihat persediaan beras yang makin menipis, Budiman semakin bingung. Tanpa menjual kue, dari mana uang bisa dicari. Cobaan ini begitu berat untuk anak sebesar Budiman. Sementara anak-anak lain sedang menikmati masa kecilnya di tengah pelukan keluarga.

“Bu, jangan terus mikirin Ayah, ya bu. Nanti demam Ibu nggak sembuh-sembuh.” Ibu hanya tersenyum getir sambil mengusap rambut anaknya. Zahra yang kecil rupanya sudah terbiasa dengan kehidupan yang prihatin. Anak

Page 10: Si Budi Tugu Pancoran

usia tiga tahun itu memanjat kursi untuk mencapai air di atas meja. Dengan kedua tangannya ia mendekati Ibu dan Budiman.

“Ibu, mimik duyu, ya. Bial sembuh.”

“Iya sayang. Sini duduk sama Ibu”. Ibu mengambil air itu dan meletakkannya kembali di atas meja. Air matanya berurai tak terbendung. Ia sadar bahwa sebagai kepala keluarga ia tidak boleh lemah semangat. Sebab jika ia lemah tentu buruk akibatnya bagi Budiman dan Zahra. Dengan cepat Ibu menghapus air matanya. Kemudian ia mengambil obat dan menelannya dengan air yang disediakan Zahra.

“Allahumma isyfi ya Allah Laa syifa a Illa syifaauka..”. Ibu membaca doa kesembuhan.

“Budi, rasanya badan Ibu sudah agak enakan, nak. InsyaAllah ibu tidak apa-apa. Pergilah bermain dengan teman-temanmu, ya.

“Budi bukannya mau main, bu. Tapi kemaren Aziz anaknya Wak Abduh yang jualan koran mengajak Budi untuk ikut jualan bersama. Gimana, bu?”

Pedih rasanya hati ibu mendengar anaknya harus menjual koran seperti anak jalanan. Tapi ia sadar, bahwa pada saat sekarang ini memang sudah tidak mengerti lagi bagaimana caranya untuk mendapatkan uang. Sedangkan untuk kembali membuat kue, Ibu sudah tidak kuat.

“Anakku, Ibu ridha kamu pergi jualan koran di jalanan. Tapi Ibu khwatir keselamatan kamu, nak.”

“Ibu nggak usah khawatir. Budi kan sudah besar, bu. Lagi pula InsyaAllah budi akan lebih hati-hati.”

“Baiklah, nak. Nampaknya Allah masih sayang, ya sama kita. Buktinya Allah masih mau menguji kita dengan berbagai cobaan. Ibu ingat dahulu Ustadz Wahab pernah menyampaikan sebuah hadits, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya jika Allah SWT telah mencintai seorang hamba, maka Dia akan mengujinya.”

Ibu mencium kepala anaknya. “Pergilah, nak. Mudah-mudahan ada rezeki kita di sana.”

Si Budi Tugu Pancoran (5)

Tuesday, 08 January 2008 Menjual Koran

Aziz anak Wak Abduh, mengajak Budi ke loper koran di kawasan Pancoran. Di situlah dulu Aziz melamar untuk menjadi pengasong koran jalanan sampai sekarang ini. Penghasilannya lumayan buat bantu biaya keluarga dan buat jajan. Wak Abduh ayahnya Aziz sudah tua dan lemah. Ia tidak mampu lagi bekerja. Ada banyak lagi yang bernasib serupa. Mereka semuanya anak orang baik-baik. Arus takdir membawa mereka hingga tersudut di kampung Pulo.

Namun dari seluruh anak-anak itu hanya Budiman saja yang sekolah. Anak-anak yang lain rata-rata tidak pernah sekolah. Bahkan Budiman memiliki budi pekerti yang jauh lebih halus dibandingkan mereka. Itu sebabnya banyak di antara mereka yang segan dan kagum dengan Budiman.

“Kalau untuk koran pagi, kita sudah kelebihan orang, nih”. Kata Pak Dudung agen loper koran di Pancoran. “Tapi kalau mau, Budi bisa ambil koran sore saja.”

“Ya, Pak. Kan saya sekolahnya siang.”

Page 11: Si Budi Tugu Pancoran

“Lha, kamu masih sekolah, toh?”, kata Pak Dudung. “Saya kira kamu seperti anak-anak yang lain. Di sini mana ada anak-anak yang masih sekolah..”

“Bagaimana, Budi?”, Tanya Aziz.

“Sebentar deh. Saya pikir dulu ya Pak.” Budiman minta waktu sebentar untuk berpikir. Dia duduk di sudut ruangan dan berdialog dengan dirinya sendiri.

‘Sekarang kebutuhan utama keluargaku adalah makan’.

‘Tapi sekolah juga penting. Ibu pasti tidak suka kalau aku berhenti sekolah’.

‘Tapi kalau aku tidak jualan koran, bagaimana Ibu dan Zahra akan dapat makan? Apa lagi Ibu perlu obat untuk merawat demam dan batuknya.’

‘Ya, tapi kalau aku berhenti sekolah bagaimana mungkin aku dapat jadi orang pintar. Dan kalau aku tidak jadi orang pintar, sampai kapan pun tentu keluargaku tidak akan pernah hidup senang.’

‘Oh ya, bukankah aku bisa menghadap Kepala Sekolah dan meminta agar dipindahkan ke kelas pagi? Ya.. inilah jalan yang terbaik.’ Budi gembira dengan ide tersebut dan langsung menemui Pak Dudung.

‘Pak Dudung, berat rasanya kalau saya harus berhenti sekolah. Saya mohon diberi waktu dulu Pak untuk mengurus pindahan kelas ke pagi.’

“Baiklah, kalau itu keputusanmu. InsyaAllah kamu sudah diterima di sini. Cuma memang tidak ada lagi lowongan untuk pagi hari.”

Sesampainya di rumah Budiman menceritakan kejadian hari itu kepada Ibu. Ia menyampaikan idenya untuk bersekolah di pagi hari. Untuk itu, Ibu harus menemani Budiman bertemu kepala sekolah.

“Baiklah, nak. InsyaAllah besok kita ketemu Kepala Sekolah, ya. Badan Ibu juga sudah makin membaik, kok.”

Keesokan harinya Ibu menceritakan keinginan Budiman kepada Kepala Sekolah. Perpindahan ke sekolah pagi sebenarnya merupakan urusan yang tidak mudah. Karena melibatkan Kepala Sekolah yang lain. Tapi melihat keadaan keluarga Budiman yang memang perlu dibantu, Kepala Sekolah menyanggupi akan mengurus perpindahan Budiman kepada Sekolah Pagi.

“Nak Budi, sebenarnya Bapak tidak setuju kamu jualan koran. Tapi Bapak bangga dengan semangatmu, nak.” Kepala Sekolah menyalami Budiman.

*********

Seminggu kemudian Budiman sudah pindah ke Sekolah Pagi. Sebenarnya tidak ada perbedaan antara sekolah pagi dengan sekolah siang. Cuma masyarakat menganggap sekolah pagi ini adalah sekolahnya orang yang mampu. Sementara anak-anak yang tidak mampu semuanya mengalah untuk masuk sekolah siang. Anggapan ini Cuma kecurigaan masyarakat saja. Pemerintah yang menjamin pendidikan bangsa tidak pernah berniat ke arah itu. Justru semuanya mendapat fasilitas dan pelayanan yang sama. Semua anak sekolah SD Negeri mendapat bantuan

Page 12: Si Budi Tugu Pancoran

subsidi dari Pemerintah dan tidak membayar uang sekolah.

Hanya saja, secara kenyataan memang banyak anak-anak orang yang tidak mampu terpaksa membantu kedua orang tuanya dalam usaha sehari-hari. Sehingga tidak bisa ke sekolah kecuali pada siang hari. Itulah sebabnya diadakan sekolah siang.. Demikian pulalah dengan Budiman. Ketika berjualan kue dahulu, Budiman terpaksa memilih sekolah siang, agar bisa jualan kue pada pagi harinya.

Minggu itu Budiman resmi berjualan koran di sore hari. Sehabis pulang sekolah sekitar jam 13.00 Budiman segera mengganti pakaian dan melaksanakan sholat Zuhur. Kemudian dia makan nasi sayur yang disediakan Ibu. Ibu memintanya untuk beristirahat sejenak sebelum berangkat ke Pancoran. Jam 14.30 Budiman sudah ada di tempat Pak Dudung. Pak Dudung menyerahkan setumpuk koran dalam bungkusan plastik.

“Kalau hujan, berteduh saja. Nggak usah dipaksaain terus. Nanti korannya pada basah.” Demikian pesan Pak Dudung.

“Baik pak”. Jawab Budiman. Kemudian ia pun melangkah gembira untuk menjual koran di bawah Tugu Pancoran. Aziz sudah berhari-hari mengajarinya cara menjajakan koran.

“Kamu harus nunggu lampu merah nyala. Terus deketin tuh mobil-mobil yang pada berhenti. Kalau udah mau lampu hijau cepat-cepat ke pinggir. Sebab mobil-mobil itu udah mau pada jalan. Ngerti?” Aziz menerangkan dengan panjang lebar.

“Iya ngerti. Masa segitu aja nggak ngerti.” Jawab Budiman. Hari itu ia mulai merasakan perihnya kulit disengat cahaya matahari. Cuaca masih cukup panas untuk kulit anak sebesar Budiman. Belum lagi ditambah asap knalpot mobil yang jumlahnya ratusan.

“Korannya Pak..Korannya Pak…Pos Kota, Sinar Harapan, Kompas…Korannya Pak” Demikian suara Budi mulai menghiasi daerah macet di sekitar Tugu Pancoran. Berbeda dengan tukang koran lain, Budiman yang memang pandai bernyanyi dan bermain musik itu secara tidak sengaja menciptakan irama tersendiri dalam menjajakan korannya. Dalam penantian lampu merah di tengah ibu kota seperti Jakarta, suara merdu Budiman yang menjajakan koran sambil bernyanyi menjadi penyejuk tersendiri bagi para pengendara motor dan mobil. Akibatnya korannya cepat terjual. Sebelum Maghrib Budi sudah menyerahkan uang setoran ke Pak Dudung.

“Lho, kok cepat?” Tanya pak Dudung.

“Pakai taktik Pak Dudung”. Jawab Budiman tersenyum.

Di kuburan ayah

Sejak berjualan koran kehidupan keluarga agak sedikit lega. Uang yang dihasilkan oleh Budi minimal cukup untuk beli beras seliter dua liter dan sedikit telur. Mereka sudah bisa makan lagi meskipun dengan lauk yang sederhana. Malah kalau koran banyak terjual Budiman juga bisa membelikan Zahra adiknya beberapa butir permen coklat yang enak. Budiman sendiri tidak merasa hina menjual koran di jalanan. Biarlah orang mengatakan apapun mengenai dirinya. Baginya yang penting Allah dan Ibunya ridha terhadap apa yang dilakukannya.

“Bagaimana Budi, berat tidak berjualan koran?”, tanya Ibu.

“Tidak, bu. Budi cuma bernyanyi-nyanyi saja tiba-tiba korannya sudah habis.” Ibu tertawa mendengar

Page 13: Si Budi Tugu Pancoran

celoteh anaknya. Ia mendengar dari Aziz tentang cara Budiman berjualan koran.

“Kalau begitu kamu layak diberi gelar ‘Biduan Koran’ ya..”Ibu masih tertawa sambil menggelitik Budiman. Mereka sekeluarga tertawa bahagia.

Budiman sungguh gembira mendengar tawa ibunya. Sudah lama benar Ibu tidak lagi pernah tertawa. Mudah-mudahan Allah semakin ridha kepadanya karena hari ini telah berhasil membuat ibunya bahagia.

Namun diam-diam Budiman menyimpan sebuah kesedihan dalam hatinya. Ia tidak akan pernah menceritakan kesedihan itu kepada ibunya. Ia sangat sedih karena ternyata di Sekolah Pagi suasananya memang berbeda. Mereka yang sekolah di sini kebanyakannya anak-anak dari golongan kelas menengah. Sebenarnya dibandingkan dengan keadaan Budiman dahulu mereka ini belum seberapa. Tapi sorotan mata mereka memancarkan kesombongan yang luar biasa. Pertama kali masuk saja ia sudah bisa merasakan bagaimana mereka memandangi baju seragamnya yang lusuh, sepatunya yang sobek dan tasnya yang dekil.

Di Sekolah Pagi itu hampir tidak ada yang mau berteman dengannya. Mereka merasa risih sebab ada anak Sekolah Siang yang masuk ke lingkungan mereka. Pada mulanya Budiman berusaha membiasakan diri dengan keadaan itu. Tapi saat waktu istirahat tiba, suasana itu terlalu menyiksa. Ia mencoba untuk berteman dan berkenalan dengan mereka. Tapi tiap kali mendekat, mereka malah menghindar.

Lagi pula kebanyakan mereka menghabiskan waktu istirahat dengan makan-makan dan minum-minum di kantin. Mana mungkin Budiman mampu mengikuti langkah mereka ke kantin. Ia tidak pernah ada uang untuk jajan dan membeli makanan di luar. Semua uang keuntungan menjual koran habis dipakai untuk beli beras, telur, ikan asin dan minyak goreng. Akhirnya Budiman duduk-duduk saja di bawah pohon asam jawa di depan sekolah sambil menghabiskan waktu istirahat.

Suatu hari Budiman kembali duduk di bangku panjang di bawah pohon asam jawa. Keteduhan pohon jawa ditambah angin yang berhembus sepoi-sepoi basah menjadikan Budiman mengantuk. Mungkin juga karena letih berjualan koran setiap hari, akhirnya Budiman tertidur dengan lelapnya. Budiman terus tertidur sampai akhirnya ia mendengar suara anak-anak. Rupanya beberapa anak sedang berkumpul di sekelilingnya. Mereka mentertawakan dirinya yang tertidur di bawah pohon asam jawa.

“He dasar kaleng rombeng. Kerjanya tiduur..terus”

“Hua.haa.haa..”mereka semua tertawa terbahak-bahak.

“Iya tuh. Udah bajunya bau apek, sepatunya menganga kayak mulut lagi nguap”. Anak yang lain menambah penghinaan terhadap dirinya.

Sakit sungguh perasaan Budiman. Tidak pernah ia dihina orang sedemikian rupa. Ia hampir menangis karena tidak sanggup lagi menahan perasaan. Budiman berlari meninggalkan mereka semua. Ia ke kamar mandi di belakang sekolah untuk membasuh mukanya dengan air dingin. Di sana ia terisak-isak menangis.

Rupanya dari kejauhan Ustadz Wahab guru agama melihat kejadian itu. Ia ingin mencegah perbuatan anak-anak nakal itu. Tapi kejadian itu berlangsung demikian cepatnya. Sudah lama Ustadz Wahab geram dengan sikap anak-anak itu. Memang sudah sering mereka menghina anak-anak baru yang bukan dari golongan mereka.

Sebenarnya Ustadz Wahab bukanlah orang yang asing bagi Budiman. Ustadz Wahab mengenal Budiman sejak kecil. Dia adalah guru mengaji Budiman sewaktu masih tinggal di Tebet. Ustadz Wahab rutin datang ke rumah keluarga Pak Sahlan setiap Senin dan Kamis untuk mengajar Budiman mengaji.. Dia mengetahui betapa beratnya penderitaan yang dihadapi oleh Budiman sejak pabrik sepatu ayahnya terbakar. Sebenarnya ingin sekali ia membantu kesusahan keluarga Budiman. Tapi ia sendiri cuma seorang guru honorer di sekolah itu yang penghasilannya tidak seberapa. Kepindahan Budiman ke Sekolah Pagi inipun berhasil karena peranan Ustadz Wahab. Ia yang menerima arsip Budiman dari Sekolah Siang. Kemudian ia juga yang membujuk Kepala Sekolah Pagi untuk

Page 14: Si Budi Tugu Pancoran

menerima Budiman.

Ustadz Wahab tahu Budiman tentu sangat sedih hatinya dihina seperti itu. Ia marah besar kepada anak-anak yang mulutnya nakal itu. Kemudia ia pun pergi ke belakang sekolah untuk menemui Budiman. Mungkin ia bisa menghibur hati Budiman yang sedang terluka. Tapi, masyaAllah, ternyata Budiman sudah tidak ada di sana. Ke mana ia pergi? Dari kejauhan Ustadz Wahab melihat bayangan Budiman berjalan lunglai menuju tanah pemakaman Menteng Pulo yang hanya berjarak 500 meter dari sekolah itu. Ustadz Wahab menuruti Budiman dari belakang karena ingin tahu apa yang hendak dilakukannya.

Rupanya Budiman melangkah menuju kuburan ayahnya. Ia terduduk di samping pusara ayahnya dengan isak tangis yang kian terdengar. Suasana di pekuburan itu hening dan bening. Suara tangis Budiman terdengar jelas oleh Ustadz Wahab dari kejauhan.

“Huu.huuu….ayah bangun ayah…baju Budi sudah lusuh. Ayah..belikan Budi baju baru ya, ayah. Huu…huu…Teman-teman Budi juga tidak suka melihat sepatu Budi yang robek. Huuu..huu…bangun ayah..bangun ayah….”

Teriris-iris rasanya hati Ustadz Wahab mendengar rintihan Budiman itu. Mengalir air mata di kedua pipinya. Rupanya itulah puncak kesedihan dan penderitaan yang dialami oleh Budiman, sehingga membuatnya dirinya tidak dapat lagi menahan perasaan. Kesedihan yang berat itulah yang membawa langkahnya menuju makam ayahnya.

Dalam hati Ustadz Wahab merintihkan sebaris doa, “Ya Allah, sungguh besar cinta-Mu pada anak ini. Kau uji dia dengan berbagai ujian. Namun daku mohon ya Allah karuniakanlah kepadanya rahmat dan kasih sayangMu.” Setelah itu Ustadz Wahab menghapus air matanya dan berjalan mendekati Budiman.

“Assalamu’alaikum nak Budi.” Budiman mengangkat kepalanya untuk mencari-cari sumber suara yang amat dikenalnya itu. Ketika melihat ke kanan ia sungguh terkejut melihat guru mengaji yang mengasuhnya membaca al-Quran sejak kecil berdiri di situ.

“Us…tadz..ustadz..Wahab, ya?” Budiman menyapa sambil menahan isak tangisnya. Ustadz Wahab melihat ke arah muka anak muridnya itu. Aduhai..sungguh berbeda sekali wajah Budiman sekarang. Dulu ia adalah anak yang bermata jernih dengan kulit yang putih dan segar. Sekarang Budiman yang di depannya adalah seorang anak berwajah sedih dengan kulit kehitaman dan mata kemerah-merahan. Mereka berdua berpelukan di kuburan Menteng Pulo itu.

Dalam pelukan Ustadz Wahab Budiman merasakan kesedihannya mulai surut dengan perlahan. Sudah lama ia ingin berbagi perasaan dengan seseorang atas berbagai peristiwa yang dialaminya. Sekarang biarlah ia memeluk Ustadz Wahab berlama-lama agar terhapus duka laranya selama ini.

Setelah puas melepaskan kesedihan, Ustadz Wahab pun memulai pembicaraan. Ia menanyakan kabar Ibu dan Zahra. Ustadz menasehati Budiman agar tetap tabah dalam menghadapi kehidupan.

“Budi, betapapun sulit dan sukarnya sebuah cobaan. Pasti Allah telah menyediakan sebuah kebahagiaan dan kegembiraan di ujung cobaan itu. Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar apapun juga yang menimpa kita. Allah tidak pernah menilai kita dari apa yang kita pakai. Allah menilai kita dari ketaatan kita kepadaNya. Justru orang yang paling mulia di sisi Allah bukan orang yang kaya harta, anakku. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Bapak yakin Budi lebih bertakwa dari mereka semua. Maka senantiasalah merasa mulia. Sebab Tuhan semesta alam saja memuliakan dirimu.”

Sungguh nasehat yang menyejukkan dan penuh dengan harapan. Nasehat seperti itulah yang didambakan oleh Budiman selama ini.

“Mari kita doakan ayahandamu. Hanya inilah santun dan bakti terbaik untuk mereka yang telah meninggalkan kita.” Ustadz Wahab pun menadahkan tangannya ke langit biru memohon kepada Allah agar mengampuni almarhum Pak Sahlan dan memasukkannya ke dalam syurga Firdaus. Budiman mengamini doa Ustadz

Page 15: Si Budi Tugu Pancoran

Wahab dalam tangis. Namun sekarang dia merasakan jiwanya lebih kuat. Dia tambah yakin bahwa di atas sana, Allah melihat dirinya dan mendengar bisikan hatinya.

Si Budi Tugu Pancoran (6)

Tuesday, 15 January 2008 Om Iwan

Nama aslinya Virgiawan Listanto. Namun orang biasa menyapanya dengan nama Iwan Fals. Iwan adalah seorang penyanyi yang sukses di tanah air. Lagu-lagu yang dibawakannya senantiasa mengalir ke dalam sanubari para pendengar dan menjadi motivasi bagi bangsa Indonesia.

Sebulan terakhir Iwan agak sering mendatangi sebuah studio di Jakarta untuk mengurus album terbarunya. Ia berada di sana sepanjang hari dan kembali ke rumah setelah sholat Ashar. Sebenarnya jam seperti itu bukanlah waktu terbaik untuk pulang. Saat itu Jakarta memang sedang macet-macetnya.

“Nanti aja pulangnya, Wan. Sekarang lagi macet-macetnya nih.” Saran Pak Joko di studio.

“He..he.. emangnya jam berapa Jakarta nggak macet?” kata Iwan sambil bergurau.

Sebenarnya Iwan juga tahu betapa beratnya menghadapi macet sambil mengendarai mobil pada jam pulang kerja seperti itu. Bisa saja ia menunggu sebentar sambil menyempurnakan albumnya dan pulang setelah sholat Maghrib. Namun, ada rahasia kecil yang ingin dicapainya di dekat Tugu Pancoran. Rahasia yang hanya diketahui oleh Allah dan Iwan sendiri. Rahasia apakah gerangan?

Ceritanya begini. Beberapa hari yang lalu Iwan terjebak macet di bawah Tugu Pancoran. Ia merasa itulah hari yang paling sial. Ketika itu udara Jakarta yang cukup panas diperburuk dengan asap ratusan knalpot mobil yang menyesakkan pernafasan. Namun dalam suasana ‘neraka’ seperti itu, Iwan mendengar seberkas suara merdu menyapa udara. Ia merasakan kesejukan dan kedamaian dari suara itu. Aduhai.. inikah suara Nabi Daud dari surga? Dari kejauhan Iwan melihat seorang bocah penajaja koran menawarkan korannya sambil bernyanyi-nyanyi. Melihatnya Iwan jadi terkesima. Ia memandangi bocah kecil bersuara merdu itu dengan hati nelangsa.

“Ya Allah, bocah ini hidup sengsara dalam kemisikinannya tapi tetap bergembira dan bernyanyi. Sementara aku baru diuji Allah dengan kemacetan begini saja sudah merasa sial.”

Iwan benar-benar terpesona dengan suara merdu bocah penjaja koran di Tugu Pancoran itu. Inilah sebabnya mengapa ia ingin cepat pulang. Lucunya, semua orang mencari jalan lain untuk menghindari kemacetan yang parah di Tugu Pancoran. Tapi Iwan malah memaksa diri untuk menuju ke arah sana. Sebab di sana ada seberkas suara yang bening dan sejuk. Suara bocah penjaja koran yang telah menawan hatinya.

Sebagai seorang musikus Iwan mengakui masih banyak suara anak-anak lain yang juga merdu seperti itu. Tapi, dia merasakan suara penjaja koran itu sarat dengan nuansa perasaan. Ada sisi kesedihan dan kepasrahan yang bergetar dari suara anak itu.

Sore itu Iwan ‘berhasil’ kembali terjebak macet di bawah Tugu Pancoran. Anak kecil penjaja koran itu sudah ada di situ. Ia menyanyikan lagu sambil menjajakan korannya. Anak itu mendekati mobil Iwan dan menawarkan koran. Iwan menatap matanya dalam-dalam. Mereka saling bertatapan beberapa saat.

“Korannya Om”. Sapa Budiman dengan santun.

Page 16: Si Budi Tugu Pancoran

“Ya..ya”. Iwan menyerahkan uang sepuluh ribuan dan mengambil dua jenis koran.

“Ini kembalinya, Om”.

“Tidak usah, nak. Ambil saja untuk kamu, ya.”

Budi menatap mata Om Iwan dengan lebih dalam. Ia memberikan senyuman yang manis seraya berkata. “Terima kasih ya, Om. Semoga selamat dalam perjalanan.”

Iwan tersenyum puas. Indah sekali pertemuan singkat itu. Terbayang olehnya istri dan anak bayinya di rumah. Ia jadi bergumam dalam hati, “Bagaimanakah kelak nasib anakku? Jadi apa ia jika sudah besar? Ah.. aku tidak ingin dia jadi apa-apa. Aku cuma ingin ia tegar dan kuat seperti penjaja koran yang bersuara merdu itu. Duhai penjaja koran, suatu hari aku akan menemuimu untuk mengenalmu lebih jauh lagi.”

********

Musim hujan tiba lebih awal dari yang diramalkan. Air deras dari langit itu mengguyur kota Jakarta tanpa ampun. Pak Dudung yang buka usaha loper koran mengumpulkan anak-anak penjaja koran.

“Dengar, ya. Bapak nggak mau tahu. Kalau ada koran yang basah atau rusak itu adalah kesalahanmu. Kamu harus menggantinya dengan uang keuntungan menjual koran. Ngerti?”

Sedih juga hati Budi mendengar peraturan baru itu. Tapi apa boleh buat. Memang benar koran itu bukan milik Pak Dudung. Ia juga harus mengganti kepada perusahaan atas kerusakan koran-koran yang dijualnya.

“Ya begitu deh si Bapak kalau udah musim hujan. Suka uring-uringan”. Aziz berusaha membesar-besarkan hati kawan-kawannya. Tapi bagaimana caranya agar koran-koran ini tidak basah. Hujan di Jakarta ini bagai tumpah dari sebuah lautan di atas langit sana. Bungkus plastik yang diberikan Pak Dudung hanya untuk menutupi bungkusan koran. Sementara kalau menjual kan harus dikeluarkan dari bungkusannya. Pasti tetap basah. Budiman mengajak Ibu untuk mendiskusikan masalah ini.

“Bagaimana caranya, ya bu? Hujannya terus-terusan milih waktu sore, lagi.”

“Anak Ibu tidak boleh putus asa. Pasti ada jalannya. Coba fikir lagi, nak.”

Tiba-tiba Budi teringat, sewaktu berjualan kue dahulu Ibu membungkus setiap kue dengan plastik atau daun pisang. Dengan cara itu setiap kue terlindung dari kekotoran dan debu.

“Ya, kenapa tidak kita bungkus saja setiap koran dengan sampul plastik?”

“Betul, nak. Tidak apa-apa modal dikit asalkan bisa terus usaha. Nanti Ibu bantu membungkusnya, ya”.

“Alhamduillah ya, bu. Ketemu juga jalan keluarnya.”

“Allah sungguh sayang dengan kita, ya nak. Dia mengajarkan kita seluruh apa yang tidak ketahui.”

Mulai hari itu, Budi berangkat ke lopernya Pak Dudung agak lebih awal. Sebab ia harus membawa dulu koran-koran tersebut ke rumah untuk dibungkus. Ibu membeli plastik tipis dari pasar Pulo dengan harga yang sangat murah. Beliau juga tidak lupa membuatkan untuk Budiman sebuah jas hujan dari bahan plastik yang agak tebal.

Page 17: Si Budi Tugu Pancoran

Budiman tersenyum melihat baju hujan itu.

“Wah keren amat, bu. Kayak orang kaya aja pakai jas hujan.”

“Iya supaya kamu nggak kehujanan. Ibu tahu kamu suka main hujan tapi itu tidak baik untuk kesehatan. Dipakai ya, nak.”

“Baik, bu. Nanti kalau hujannya turun.”

Setelah sholat Ashar, dengan setengah berlari Budiman melangkah menuju Tugu Pancoran. Jalanan sudah mulai padat sekali. Sementara hujan belum turun Budi menjajakan korannya seperti biasa. Sudah beberapa kali lampu merah Budiman turun untuk menjaja koran, tapi tidak banyak yang mau membeli. Para pengendara kebanyakan ingin cepat sampai rumah dan tidak mau terjebak dalam suasana hujan. Mungkin itu sebabnya mereka tidak mahu membuka jendela mobil untuk sekedar membeli koran.

Tidak lama kemudian hujan pun turun dengan derasnya. Budiman dan anak-anak pengasong yang lain segera mencari tempat untuk berteduh. Ia membuka baju hujan yang dibuatkan oleh Ibu. Segera ia pakai baju hujan itu dan kembali melangkah ke tengah jalan saat lampu merah menyala. Suara Budiman terdengar sayup-sayup ditengah hujan yang deras itu. Sekeras manapun Budi meneriakkan lagunya tidak ada orang yang mau mendengar. Sudah lima kali lampu merah ia berkeliling dan baru satu koran yang terjual.

Ia kembali berteduh di emperan sebuah toko. Di situ dilihatnya Agus sahabat barunya yang berjualan asongan sedang duduk saja terdiam. Mereka berdua berkenalan sejak beberapa minggu ini.

“Nggak ngasong, Gus?” Sapa Budiman.

“Nanti dulu aja, ah. Hujan lebat”.

“Kalau mau, kamu bisa pakai baju hujan aku, Gus. Aku dari tadi juga udah capek. Udah lima kali lampu merah, baru laku satu.”

“Benar kamu udah capek?” Tanya Agus heran.

“Iya, nih pakai saja baju hujanku”. Budiman membuka baju hujannya.

“Okey, deh. Horee aku bisa ngasong lagi?”

“Ya Nanti kalau kamu udah capek baru aku pakai lagi.”

Sebenarnya Budi belum letih benar. Keliling lima kali lampu merah apa beratnya. Tapi dia kasihan melihat Agus yang dari tadi hanya terduduk diam di emperan toko. Budiman sangat memahami perasaan Agus. Seperti dirinya, jika tidak ada barang yang laku berarti tidak ada uang untuk beli beras. Tidak ada beras berarti keluarga harus menahan lapar selama sehari. Berfikir demikian menjadikan hati Budiman cemas.

“Ya Allah, bagaimana kalau benar hari ini aku tidak bisa dapat uang untuk beli beras? Ibu dan Zahra pasti kelaparan.” Budiman menguatkan hatinya dan berjalan keluar dari emperan toko untuk meredah hujan yang lebat. Baru dua langkah saja bajunya sudah basah kuyup. Ia terus menguatkan hatinya sambil mengingat Ibu dan Zahra yang tidak bisa makan kalau ia tidak bawa uang untuk beli beras.

Agus yang sedang mengasongkan jualannya terkejut melihat Budiman keluar dari emperan toko.

“Hei..Budi, kok hujan-hujanan sih. Kalau mau pakai baju hujan teriak saja dari sana pasti aku anterin, kok.”

Page 18: Si Budi Tugu Pancoran

“Nggak, Gus. Pakai saja. Justru aku memang lagi suka-sukanya main hujan.”

“Nanti kamu pilek, lho Bud. Nih ambil baju hujannya.”

“Kamu nggak denger apa? Aku sedang pengen main hujan”. Budiman menaikkan nada suaranya.

“Ya sudah kalau itu maumu. Aku ngasong lagi, ya?”

“Ya ayo, kita sama-sama aja.”

Maka kedua bocah kecil itupun mengasongkan jualannya. Agus mengasongkan permen, tisu dan rokok serta barang-barang kecil lainnya. Budiman berteriak bagai orator politik menjajakan korannya..” Koran ya koran..Pos Kota, Kompas, Sinar Harapan…koran yaa…koraan…

************

Hujan kian lebat mengguyur kota Jakarta. Airnya yang dingin tanpa ampun telah membuat hidung Budiman bersin beberapa kali. Ia masih terus berusaha menjajakan korannya dengan suara terbatuk-batuk. Setelah beberapa kali lampu merah. Budiman tidak tahan lagi. Tangannya yang kecil kurus itu menggigil menahan dingin. Ia seret langkahnya menuju emperan toko. Di situ Budiman terduduk dengan tangan memeluk lutut dan koran-korannya yang masih banyak itu. Tubuhnya basah kuyup dan amat kedinginan. Ia mengeluarkan uang hasil jualan hari itu. Jumlahnya tidak seberapa.

“Aduh, ya Allah. Uang segini kalau dipotong setoran ke Pak Dudung belum cukup untuk beli beras seliterpun.” Hatinya pedih membayangkan adik kecilnya yang mungkin sedang menunggu permen coklat kegemarannya. Pikirannya kacau membayangkan wajah ibunya yang tentu sedang cemas memikirikan dirinya.

Dari jauh seorang lelaki memperhatikan Budiman. Iwan sudah sejak tadi memarkir kendaraanya dekat emperan toko. Ketika berhenti di lampu merah tadi ia sempat bertanya kepada Agus ke mana bocah penjaja koran yang pandai bernyanyi. Agus menunjuk ke arah Budiman yang sedang kuyup menggigil. Hati Iwan sedih sekali melihat ‘penyanyi cilik’ yang dikaguminya sedang duduk mengigil, menahan dinginnya udara tanpa jas hujan. Ia pun bergerak keluar dari mobil sambil membawa sebuah selimut tebal yang memang ada di bagasi mobilnya.

Budiman terdera oleh perasaannya sendiri. Ia bergerak bangun dengan langkah gontai untuk kembali meredah hujan yang kian bertambah keras. Baru beberapa langkah saja dihempas hujan dan angin, Budiman merasa matanya kian nanar. Kakinya bagai tidak mau lagi diajak melangkah. Ia hampir saja terjatuh jika Iwan tidak segera menangkap tubuhnya.

Budiman memandang ke atas dengan mata sayu dan lemah. Ia seakan-akan kenal dengan wajah yang memeluknya itu. Lelaki baik itu telah menyelimutinya dengan kain tebal dan membimbingnya masuk ke dalam mobil. Ia terduduk di jok depan dengan gigi gemeretak ketika dingin mulai menusuk-nusuk tulangnya. Iwan keluar sebentar dan kembali dengan segelas air teh manis hangat. Dengan hati-hati ia menyuapkan teh tersebut ke mulut Budiman, sesendok demi sesendok. Setelah habis setengah gelas Budiman merasakan badannya mulai bertenaga kembali. Matanya kian cerah dan terang. Saat itulah ia mulai bisa melihat wajah orang yang menolongnya.

“Om siapa?”, katanya terbata-bata.

“Panggil saja Om Iwan. Nama kamu siapa?”

Page 19: Si Budi Tugu Pancoran

“Saya Budiman, Om. Panggil aja Budi.”

“Sebentar, ya”. Om Iwan membuka tasnya dan mengeluarkan sekotak susu coklat segar. “Nah, Budi. Supaya kekuatan kamu pulih minumlah susu coklat ini.”

Berbinar mata Budiman melihat susu coklat itu. Dahulu itulah susu coklat kegemarannya. Sudah lama ia termimpi-mimpi untuk bisa minum coklat itu. Sekarang ada orang yang menawarkannya kepadanya.

“Buat Budi, nih Om?”

“Iya diminum, ya.”

Budiman pun meminum susu itu dengan lahapnya. Ia menutup mata seraya menghirup susu dari sedotan. Terkejut rasanya lidah merasakan susu coklat yang enak ini. Sementara itu Iwan merasa terharu karena bisa memberikan setetes kebahagian kepada Budiman. Tanpa disadarinya kebahagiaan merembas ke seluruh pori-porinya saat melihat Budiman menghirup susu coklat tersebut.

Budiman baru sadar bahwa sikapnya yang keterlaluan dalam menikmati susu tersebut menjadikannya lupa keadaan sekeliling.

“Eh..maaf ya Om. Saya jadi lupa nih saking nikmatnya minum susu.”

“Tidak apa-apa. Habiskan supaya badanmu segar kembali.”

Setelah menikmati sekotak susu hujan tiba-tiba menjadi reda. Langit cerah kembali menyisakan awan-awan putih yang indah.

“Om terima kasih ya atas bantuannya. Saya tidak akan melupakan jasa Om. Tapi maaf koran-koran saya tadi mana, ya Om?”

“Itu om simpan di jok belakang.”

Budiman menoleh ke arah jok belakang dan melihat koran-korannya masih utuh di sana. Tapi..aduhai.. benda apakah itu yang tersandar berdiri di samping koran? Bukankah itu sebuah gitar akustik yang hebat. Jari Budiman yang sudah lama tidak memetik gitar terasa gatal saat melihat gitar seindah itu.

“Emm.. Om maaf itu gitar, ya?”

“Iya Budi mau coba main?”

“Em..kalau diijinkan mau sih Om.”

“Okey silahkan”. Om Iwan mengambil gitar itu dan langsung memberikannya ke Budiman. Budiman memegang gitar itu dengan perasaan gembira sekali.

“Aduuh Om, udah lama nih saya nggak pegang gitar. Masih bisa nggak, ya?”

“Ikuti saja irama hatimu, Budi.”

Mata Budi terpejam sejenak. Jari-jarinya mulai menggenggam gitar akustik itu. Dan tiba-tiba terdengarlah dentingan gitar klasik dan suara Budi yang bening mengalir lembut, menghiasai udara.

Page 20: Si Budi Tugu Pancoran

Indonesia..tanah air beta…

Pusaka…abadi nan jaya.

Indonesia sejak dulu kala

Selalu dipuja-puja bangsa.

Om Iwan terpaku mendengar keindahan petikan gitar Budiman serta alunan suaranya yang merdu. Tanpa sadar ia mengeluarkan sebatang harmonika dari jaketnya dan mulai mengiringi petikan gitar Budiman dengan hembusan harmonika. Kedua-dua anak manusia itu larut dalam arus musik yang mengalir. Kedua-duanya memejamkan mata dengan nikmatnya hingga lagu selesai. Budiman menyelesaikan lagu dengan petikan gitarnya yang luar biasa.

“Bravo..bravo..” Om Iwan bertepuk tangan dengan gembiranya. Sementara mata Budiman memancarkan kebahagiaan yang sangat besar.

“Om, sekali lagi terima kasih ya. Budi harus jualan koran lagi.”

“Budi, kalau sekadar cari uang kenapa kamu harus jualan koran. Sayang dong bakat nyanyi kamu.”

“Maksud Om?”

“Gini, kita ngamen aja, yuk. Nanti biar Om yang temenin. Kita kan ada gitar dan harmonika. Lagunya terserah kamu aja.”

“Benar Om mau nemenin Budi ngamen?”

“Mau dong. Udah lama nih Om nggak ngamen. Jadi kangen juga. Tapi kita ngamennya di Blok M aja, ya. Di situ tokonya gede-gede, tipsnya juga pasti gede-gede.”

“Mau Om. Ayo kita ke Blok-M.”

Maka mobil Om Iwan pun meluncur ke Blok-M. Sore itu warung-warung makanan sudah mulai dibanjiri orang. Om Iwan dan Budiman melangkah masuk ke warung-warung makanan dan juga ke toko-toko di sekitar Blok-M

Budi bermain gitar dengan baik dan bernyanyi dengan suara merdu. Sementara Om Iwan meniup harmonika dan sekali-kali mengiringi dengan suara latar. Duet mereka berdua tentu saja mengundang perhatian masyarakat. Mereka terkejut melihat Iwan Fals penyanyi idola mereka mengamen di pinggir jalan bersama seorang bocah.

Budiman yang belum mengenal siapa Om Iwan sebenarnya heran sekali, kemanapun mereka pergi selalu saja orang-orang mengiringi langkah mereka. Bahkan toko yang mereka singgahi memberikan tips uang yang amat besar. Mungkin Om Iwan benar, di Blok-M ini orangnya baik-baik.

Baru sejam mereka mengamen topinya Om Iwan sudah penuh dengan uang. Mereka memutuskan untuk mencukupkan sampai di situ dan kembali ke mobil. Om Iwan menghitung uang yang terkumpul.

Page 21: Si Budi Tugu Pancoran

“Nah Bos, nih uangnya. Semuanya ada Rp 375.000. Supaya adil, ini buat kamu Rp 300.000 dan untuk Om Iwan Rp 75.000.”

Budi memandang uang sebanyak itu dengan mata tidak berkedip. Belum pernah ia punya penghasilan sebesar itu.

“Kok, banyakan untuk Budi, Om?”

“Lha iyalah. Kan Om Iwan cuma niup harmonika. Budi main gitar dan nyanyi. Lagian orang-orang juga senang mendengar suara Budi. Makanya pada ngasih uang gede-gede.”

“Emm..terima kasih ya Om”. Budi menatap wajah Om Iwan dengan mata sendu. Sudah jarang ia menemukan orang sebaik itu. Hari ini Allah benar-benar sayang kepadanya. Ia terus menatap wajah Om Iwan dan kemudian memeluknya.

“Ayo Om anterin, pulang. Nanti kita sholat Maghrib di Manggarai saja.”

Keduanya meluncur di atas jalan Jakarta. Iwan menghantar Budi ke Pak Dudung untuk menyerahkan setoran. Kemudian mereka sholat Maghrib di Manggarai. Ternyata Om Iwan kemudian malah mengajak Budiman makan di sebuah restoran besar. Di sanalah mereka menjadi lebih akrab dan saling berbagi cerita. Iwan menceritakan bahwa ia punya seorang istri dan satu anak bayi yang baru lahir. Budi pula menceritakan bahwa ia punya seorang adik perempuan dan seorang Ibu.

“Om bangga dengan kehebatan semangat kamu, Budi. Om berdoa agar anak Om kelak juga punya mental dan semangat baja seperti kamu.”

“Alah..Om, nggak usah muji deh. Saya begini bukan karena punya semangat baja. Tapi karena keadaan yang memaksa.” Mereka berdua tertawa lepas.

Iwan memesan berbagai jenis lauk dan nasi untuk adik dan Ibu. Setelah itu baru mereka kembali ke mobil dan pulang ke kampung Pulo. Tapi sebelum sampai di rumah Om Iwan berhenti di sebuah toko olahraga dan musik. Ia meninggalkan Budi sendirian di mobil dan kembali dengan sebuah gitar dan sebatang harmonika.

“Budi, ini hadiah tanda jadi persahabatan kita. Tolong diterima, ya. Om akan kecewa sekali kalau kamu tidak mau menerimanya.” Om Iwan menyerahkan kedua alat musik itu dengan sepenuh hormat kepada Budiman.

“Om Iwan, sungguh banyak kebaikan Om kepada saya hari ini. Entah bagaimana saya akan membalasnya. Rasanya hanya Allah saja yang InsyaAllah akan melimpahkan rahmat dan keberkahanNya kepada Om sekeluarga.”

Malam itu, rumah petak di bilangan kampung Pulo itu bagai berpesta. Ada banyak makanan dan minuman. Ibu mengajak beberapa tetangga untuk ikut menikmati hidangan yang lezat itu. Om Iwan membuat gurauan-gurauan lucu sehingga mereka tertawa bahagia. Budi dan Om Iwan juga menyanyikan sebuah lagu dengan iringan gitar dan harmonika baru.

Langit malam yang berhiaskan ribuan bintang dan rembulan serasa menurunkan kedamaian ke hati Budiman, Ibu dan Zahra. Malam ini mereka dapat mengingat kembali warna dan harum kebahagiaan yang telah lama mereka lupakan.

Si Budi Tugu Pancoran (7) - Tamat

Friday, 25 January 2008 Belajar Menyanyi

Page 22: Si Budi Tugu Pancoran

Setelah hari itu di sekolah tidak ada lagi teman-teman yang berani menghina Budiman. Ustadz Wahab telah memanggil anak-anak nakal yang sering menghina Budiman. Beliau memberikan sangsi yang keras kepada mereka. Lagi pula, sekarang Budiman sudah memakai baju dan sepatu baru. Sudah sama dengan pakaian yang mereka pakai. Tidak ada lagi alasan mereka untuk memandang rendah kepada Budiman. Uang hasil ngamen yang diberikan Om Iwan cukup untuk membeli sepasang baju dan sepatu baru.

Ternyata ketika Budiman dan Om Iwan mengamen di Blok-M beberapa hari yang lalu itu ada wartawan TV yang diam-diam meliput mereka. Tanpa disadari acara ngamen mereka berdua sudah disiarkan di berita selebritis. Budiman yang tidak punya TV tidak tahu menahu masalah itu. Tetapi baru saja ia melangkah masuk ke pekarangan sekolah, sejumlah guru dan anak-anak sudah menyalaminya.

“Waah.. Budi selamat ya. Bisa tampil bareng sama Iwan Fals. Ngamen berdua lagi. Aduuh Budi, itu kan penyanyi kesayangan aku.” Demikian kata beberapa orang kakak kelasnya. Budiman terdiam beberapa saat sambil mengingat kembali kegiatan ngamennya bersama Om Iwan.

“Lho, memangnya Om Iwan itu penyanyi terkenal, ya?”

“Idih kamu ini gimana sih. Itukan Iwan Fals penyanyi yang sedang digandrungi saat ini oleh para remaja dan dewasa. Masak kamu nggak kenal?”

Budi terkejut. Baru sekarang dia sadar bahwa Om Iwan memang benar adalah penyanyi Iwan Fals yang terkenal itu. “Aduh betapa bodohnya aku.” Kata budi dalam hati. Di sekolah dan di lingkungan kampung Pulo, Budiman kian terkenal dan makin disayang. Mereka semua saling bertanya sehingga mengetahui masa lalu Budiman yang sebenarnya adalah anak seorang hartawan dari Tebet. Mereka salut dan bangga dengan Budiman yang baik budi pekertinya dan memiliki semangat yang kental dalam menghadapi kehidupan.

Siang itu Budi baru saja kembali dari sekolah. Ia segera mandi dan sholat Zuhur. Setelah itu Budiman menikmati hidangan yang disediakan Ibu; sayur oncom dan tahu goreng.

Baru saja Budiman akan melangkah keluar menuju tempat Pak Dudung, sebuah mobil sedan terlihat berhenti di ujung gang. Om Iwan keluar dari sedan itu dan melangkah memasuki gang kecil menuju rumah petak Budiman. Budiman segera berlari menyambutnya. Ia mencium tangan Om Iwan dan mempersilahkannya masuk.

“Begini Ibu, Budi.” Om Iwan memulai pembicaraan. “Bagaimana kalau mulai hari ini Budi bekerja dengan Om Iwan saja?”

“Kerja apaan, Om. Memangnya Budi bisa bantu Om Iwan apa, ya?”

“Begini Ibu, Budi. Om Iwan merasa Budi sangat berbakat dalam bidang musik dan seni suara. Sayang sekalai rasanya kalau bakat tersebut harus hilang begitu saja. Jadi Om meminta Budi untuk berlatih musik dan olah suara setiap hari di rumah Om. Tapi karena ini adalah suatu pekerjaan Budi harus mau digaji, ya”.

“Om ini bagaimana. Masak Budi belajar sama Om, terus dibayar lagi. Dulu waktu Budi kursus musik kan Budi yang bayar gurunya.”

“Bukan begitu maksud Om, Budi. Sebenarnya sudah lama Om ingin menerbitkan album anak-anak. Tapi sejauh ini Om belum menemukan penyanyi yang sesuai. Setelah berkenalan dengan Budi, Om merasakan Budilah calon penyanyi cilik yang Om cari. Budi harus banyak berlatih agar bisa tampil dengan prima.”

Page 23: Si Budi Tugu Pancoran

Budi melihat ke arah Ibu dengan wajah memohon. Sungguh ingin sekali ia menerima tawaran Om Iwan. Alhamdulillah Ibu menggangguk tanda setuju. Budiman amat gembira dan segera memeluk Ibunya.

Mulai hari itu, Budiman ikut Om Iwan ke studio musik di rumahnya. Rumah Om Iwan seperti sanggar musik saja. Berbagai alat musik dari yang moderen sampai tradisional ada di situ. Om Iwan memperkenalkan Budi dengan seseorang wanita setengah baya.

“Budi, ini Tante Ros isteri Om Iwan. Dialah yang akan melatih bakatmu dalam seni musik dan olah suara. Om sendiri tidak bisa tiap hari menemanimu. Nanti supir Om yang akan menjemputmu tiap hari ke rumah.”

Budi menyium tangan Tante Ros. Orangnya ramah dan murah senyum. Tante Ros tidak setengah-setengah melatih Budi mengolah suara dan bermain gitar. Sesekali mereka istirahat dan berbicara tentang banyak hal. Tante Ros juga mengajari Budi teknik pernafasan saat bernyanyi. Mereka berdua sering tertawa berdua karena lelucon yang diceritakan Om Iwan.

Ternyata gaji yang diberikan Om Iwan setiap minggu amat banyak. Lebih banyak dari penghasilan Budi jualan koran selama dua bulan. Budiman merasa malu menerimanya. Tapi Tante Ros membujuknya dengan bahasa yang lembut.

“Kalau Om Iwan memberikannya dengan ikhlas, Budi juga harus menerimanya dengan ikhlas.”

“Baiklah, Tante. Tapi Om Iwan itu baik sekali, ya?”

“Iya, kamu juga baik sekali, kok..”

“He..he..Tante Ros bisa aja.”

Sehabis latihan Budiman merasa haus sekali. Tante Ros menyiapkan es jeruk campur sedikit asam jawa. Rasanya enak sekali. Mereka berdua minum sampai bergelas-gelas. Tante Ros bilang minuman itu bagus untuk melancarkan pernafasan dan menyaringkan suara.

“Kalau saja seluruh obat rasanya seperti ini, enak ya Tante?”

“Iya, tapi esnya jangan banyak-banyak. Nanti malah sakit tenggorokan. Udah yuk, latihan lagi.

Menjadi Penyanyi Cilik

Budiman berlatih musik dan bernyanyi dengan penuh semangat. Ia tidak pernah merasa bosan atau letih. Sebab menyanyi dan bermain musik adalah kesukaannya. Mana mungkin ia bisa bosan dan capek disuruh melakukan kesukaannya sendiri. Tante Ros bangga sekali menceritakan perkembangan pesat Budiman kepada Om Iwan.

“Budiman itu benar-benar punya bakat yang besar. Saya malah banyak menemukan hal-hal baru dari gaya improvisasinya.” Kata Tante Ros.

“Ya begitulah. Sejak pertama kali mendengar suaranya di jalanan, saya sudah merasakan hal itu.”

Latihan baru berjalan tiga minggu Om Iwan sudah mengajaknya untuk membicarakan album yang akan

Page 24: Si Budi Tugu Pancoran

digarap.

“Budi, album yang akan kita buat ini bukan sekedar album anak-anak biasa. Ia tidak bercerita tentang angsa, atau kucing yang manis. Album ini sarat dengan nuansa pelajaran akhlak dan moral yang sekarang ini menjadi penyakit parah di kalangan anak-anak bangsa.”

“Wah bagus sekali ya, Om. Budi setuju, tuh. Memang perlu teman-teman diberi tuntunan mengenai budi pekerti dan menghargai sesama manusia.” Budi menimpali dengan penuh semangat. “Tapi Om, bagus juga kalau kita sisipkan pesan-pesan keimanan dari Allah dan Rasulullah.”

“Nah, inilah yang Om ingin bicarakan sebenarnya. Om sendiri dari dulu ingin memasukkan nuansa keislaman dalam album ini. Tapi Om tidak punya pengetahuan yang cukup untuk membuat lirik lagu bernafaskan Islam.”

Budiman dan Tante Ros terdiam atas apa yang dikatakan oleh Om Iwan. Mereka berdua berfikir keras. Tiba-tiba Budiman berkata.

“Kalau sekedar lirik bernafaskan Islam. Om Iwan nggak usah repot-repot. Budi kenal Ustad Wahab. InsyaAllah beliau bisa menolong kita untuk urusan ini.”

“Ustad Wahab yang mana?”

“Guru ngaji Budi, Om. Besok deh Budi ajak ke sini, ya.”

**********

Seharusnya Budiman berlatih delapan minggu. Tapi karena ketekunan dan bakatnya yang hebat, baru enam minggu saja dia sudah bisa menguasai seluruh pelajaran yang diberikan oleh Tante Ros. Tante Ros sendiri sangat bangga dengan Budiman. Ia memberikan rekomendasi langsung kepada Om Iwan bahwa Budiman sudah siap untuk masuk ke dalam dapur studio.

“Wah selamat ya Budi. Tante Ros bilang kamu sudah siap untuk rekaman.”

“InsyaAllah, Om. Tapi kalau Budi nanti gugup diulang-ulang lagi, ya?”

“Itu sih biasa. Om saja dulu pertama rekaman sampai diulang tujuh belas kali.”

“Itu rekaman album kedua”, timpal Tante Ros. “Rekaman album pertama diulang sampai 21 kali.” Mereka tertawa lepas.

Mulai hari itu, Budiman pun berlatih menyanyikan lagu-lagu yang diciptakan oleh Om Iwan. Liriknya menjadi bernafaskan Islam setelah mereka melibatkan Ustadz Wahab. Om Iwan sangat gembira sekali melihat kemajuan Budiman. Setelah menguasai lagu-lagu itu merekapun masuk ke dalam dapur rekaman. Mereka hanya memerlukan waktu sebulan saja untuk merampungkan album itu.

Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar. Rekaman pun sempurna dilakukan. Album sulung Budiman yang diberi judul ‘Hati Suci’ itu dicetak ribuan kopi. Om Iwan dan Tante Ros mengatur beberapa langkah untuk memasarkan album sulung Budiman itu. Mereka akan roadshow ke beberapa kota besar dan selanjutnya mengadakan ‘Grand Launching’ di sebuah hotel di Jakarta. Pamflet-pamflet dan brosur-brosur juga sudah dicetak untuk keperluan roadshow itu.

Sejak hari itu suara Budiman yang bening dan sejuk sering terdengar di puluhan radio di seantero

Page 25: Si Budi Tugu Pancoran

nusantara. Banyak orang yang terkesima mendengar suaranya yang khas itu. Album baru itu pun laku seperti kacang goreng. Apalagi mereka semua tahu bahwa pencipta lagunya adalah penyanyi kesayangan mereka; Iwan Fals.

Setelah puas mengadakan roadshow ke beberapa kota besar di Jakarta. Maka sampailah saatnya mereka untuk mengadakan ‘Grand Launching’ atau pelancaran resmi album ‘Hati Suci’. Budiman mengundang teman-temannya ke hotel dan mendudukkan mereka di baris terdepan. Agus, Aziz, Yasin serta beberapa orang guru datang. Ibu, Zahra dan Tante Ros punya tempat sendiri di bangku VIP.

Satu demi satu lagu dari album ‘Hati Suci’ dinyanyikan oleh Budiman. Para hadirin terkesima mendengar keindahan alunan musik dan suara Budiman. Ia tampil dengan penuh kesantunan dan rasa hormat kepada penonton.

Satu persatu lagu-lagu dari album itu habis dinyanyikan. Setelah itu Om Iwan tampil ke tengah panggung. Para hadirin berdiri untuk member penghormatan kepadanya dan juga kepada Budi. Om Iwan memberikan mikrofon kepada Budi.

“Katanya kamu ada yang ingin disampaikan, silahkan Budi.”

Budiman memegang mikrofon itu dan memulai bicara dengan suara bergetar.

“Saya ingin meyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT yang begitu sayang mendidik saya dalam kehidupan. Saya juga mengucapkan ribuan terima kasih kepada Om Iwan yang sekarang menjadi pengganti ayah saya. Saya menyampaikan doa tulus saya kepada ayahanda saya yang telah meninggalkan saya. Suara Budiman kian bergetar. “Dan tentu juga kepada Ibu saya dan adinda Zahra yang begitu tabah berdiri bersama di bawah hujanan penderitaan selama ini. Juga ustad Wahab yang mengembalikan keyakinan saya kepada Allah SWT. Terima kasih semuanya. Saya cinta kamu semua.”

Terharu sekali para hadirin mendengar penyampaian Budiman yang mengalir dari lubuk sanubarinya yang terdalam.

Om Iwan memeluk Budi dengan penuh kasih sayang. Kemudian ia berkata.

“Budi, sebagai rasa kagum Om kepada semangat kamu. Om telah menciptakan sebuah lagu untuk mengenang pertemuan kita. Judulnya Sore Tugu Pancoran.”. Om Iwan meraih gitar yang ada di tangan Budi dan duduk mendekatkan dirinya kepada mikrofon. Para hadirin kembali bertepuk tangan dengan gemuruh. Selanjutnya terdengarlah suara merdu Om Iwan menyanyikan lagu berikut.

SORE TUGU PANCORAN

(Iwan Fals)

Si budi kecil kuyup menggigil

Menahan dingin tanpa jas hujan

Di simpang jalan Tugu Pancoran

Page 26: Si Budi Tugu Pancoran

Tunggu pembeli jajakan koran

Menjelang maghrib hujan tak reda

Si Budi murung menghitung laba

Surat kabar sore di jual malam

Selepas Isya melangkah pulang

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu

Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu

Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu

Dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal.

Cepat langkah waktu pagi menunggu

Si Budi sibuk siapkan buku

Tugas dari sekolah selesai setengah

Sanggupkah si Budi diam di dua sisi.