(sindonews.com) opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

219
DAFTAR ISI MAKAN GRATIS DI AMSTERDAM Komaruddin Hidayat 4 AKAR RADIKALISME Moh Mahfud MD 6 PEREMPUAN MENGHADAPI TANTANGAN ZAMAN Nuraini Ahmad 9 PEMIKIR DAN PENULIS YANG SOEKARNOIS Ahmad Millah Hasan 12 CELANA Sarlito Wirawan Sarwono 15 PESTA BIKINI: MENIRU NENEK-NENEK? Dedi Mulyadi 18 SK MENPORA MENGGANTUNG BOLA W Riawan Tjandra 21 BATAS KEPEMIMPINAN Rudolf Tjandra 24 REFLEKSI ENAM BULAN NAWACITA Rhenald Kasali 27 GOLF DAN REFORMASI Komaruddin Hidayat 31 DIALEKTIKA MEGA-JOKOWI Muhammad Takdir 33 IDE ABSURD LOKALISASI & SERTIFIKASI PSK Faisal Ismail 36 GURU HONORER, SIAPA PEDULI? Jejen Musfah 39 1

Upload: ekho109

Post on 29-Jul-2015

97 views

Category:

Education


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

DAFTAR ISI

MAKAN GRATIS DI AMSTERDAMKomaruddin Hidayat 4

AKAR RADIKALISMEMoh Mahfud MD 6

PEREMPUAN MENGHADAPI TANTANGAN ZAMANNuraini Ahmad 9

PEMIKIR DAN PENULIS YANG SOEKARNOISAhmad Millah Hasan 12

CELANASarlito Wirawan Sarwono 15

PESTA BIKINI: MENIRU NENEK-NENEK?Dedi Mulyadi 18

SK MENPORA MENGGANTUNG BOLAW Riawan Tjandra 21

BATAS KEPEMIMPINANRudolf Tjandra 24

REFLEKSI ENAM BULAN NAWACITARhenald Kasali 27

GOLF DAN REFORMASIKomaruddin Hidayat 31

DIALEKTIKA MEGA-JOKOWIMuhammad Takdir 33

IDE ABSURD LOKALISASI & SERTIFIKASI PSKFaisal Ismail 36

GURU HONORER, SIAPA PEDULI?Jejen Musfah 39

MARSINAH DAN TEOLOGI PEMBEBASAN BURUHTom Saptaatmaja 42

BUBURUH DI HARI BURUHDedi Mulyadi 45

KEBERHASILAN PEMBANGUNAN MELALUI GERBANG DESA

1

Page 2: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Uu Ruzhanul Ulum 48

INVESTASI UNTUK INDUSTRI HIJAUAli Masykur Musa 51

THE GEOGRAPHY OF THOUGHTKomaruddin Hidayat 54

NEPAL MASA TRANSISIElfindri 57

HUKUM YANG TIDAK ADIL BUKANLAH HUKUMNoer Fauzi Rachman 60

RAKYAT BELAJAR BERDAULATMohamad Sobary 63

KUTUKAN PERMISSIVENESSFaisal Ismail 66

SEMIOTIKA ISRA-MIKRAJMuhbib Abdul Wahab 69

TEROR GAYA HIDUPKomaruddin Hidayat 73

BOLA DI LAGA POLITIK MENPORAW Riawan Tjandra 75

RUMITNYA MASALAH ROHINGYADinna Wisnu 79

MEMIMPIN KEBANGKITANM Arief Rosyid Hasan 82

HAK ASUH ATAU PENGASUHANReza Indragiri Amriel 85

NASIB MALANG PRT MIGRANAnis Hidayah 88

KOTA PINTAR BUKAN SEKADAR TOMBOL DAN TEKNOLOGITINGGIHandi Sapta Mukti 91

PESANTREN DALAM SEJARAH KEBANGKITAN NASIONALA Halim Iskandar 94

MERDEKA! BELUM MERDEKA! BELUUUUUM...!Mohamad Sobary 97

2

Page 3: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

KAUM MUDA DAN KEKUASAANMohammad Nasih 100

MENANTI KIPRAH KAUM MUDABiyanto 103

KEJAHATAN AKADEMIKSudjito 106

MENYELAMATKAN ROHINGYADinna Wisnu 109

KPK ITU ASET REFORMASIMohamad Sobary 112

PANSEL KPKRhenald Kasali 115

KOMUNITAS BATU AKIKKomaruddin Hidayat 118

PARADOKS JUAL-BELI IJAZAHRakhmat Hidayat 120

BERAS PALSU DAN SPIRIT BARU PANGAN LOKALPosman Sibuea 123

CICAK SEKECIL ITU PUN DIMUSUHIMohamad Sobary 127

PESAN WAISAK LAWAN KEBIADABANTom Saptaatmaja 130

SEPAK BOLA DAN TATA KELOLA DUNIADinna Wisnu 133

GENGSI GELAR IJAZAH PALSULaode Ida 136

TOPENG BERNAMA IJAZAHKomaruddin Hidayat 139

BERAS PLASTIK DAN PERLINDUNGAN KONSUMENAbustan 141

RASA KEMANUSIAAN KITAHelmy Faishal Zaini 144

DERITA ROHINGYA, PANGGILAN KEMANUSIAANAnna Luthfie 147

3

Page 4: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Makan Gratis di Amsterdam

Koran SINDO

24 April 2015 

Pekan lalu saya berjumpa dengan sahabat lama, biasa saya sapa dengan panggilan Pak Rivai. Dalam usianya sekitar 70 tahunan, sebagai mantan aktivis mahasiswa dan pengusaha, dia masih rajin membaca buku dan mengikuti perkembangan politik baik dalam maupun luar negeri. 

Dalam obrolannya itu ada cerita yang menarik dan lucu yang ingin saya bagi dengan pembaca. Dalam satu kunjungannya sekian tahun lalu ke Belanda bersama teman-teman bisnisnya, dia masuk ke restoran di Amsterdam. Pemilik restoran segera tahu mereka ini rombongan dari Indonesia. Terjadi dialog yang akrab antara rombongan dan pemilik restoran. 

Pak Rivai mengemukakan kesan kekagumannya dalam hal penataan kota yang rapi, terutama dalam pengendalian air dengan membuat kanal-kanal, sehingga Kota Amsterdam bebas dari banjir meski letaknya menempel ke laut. Bahkan kanal itu juga menjadi sarana rekreasi bagi para turis. Siapa pun yang berjalan-jalan ke Belanda rasanya belum lengkap kalau belum putar-putar menelusuri Kota Amsterdam dengan kapal lewat jalur kanal. 

Obrolan Pak Rivai dan pemilik restoran juga menyinggung sejarah panjang masa penjajahan dan eksploitasi Belanda atas kekayaan alam Nusantara. Amsterdam ini tak akan bagus seperti yang Anda lihat tanpa kekayaan alam Indonesia yang diangkut ke sini di masa penjajahan, kata pemilik restoran. 

Mereka yang pernah ke Amsterdam akan melihat bangunan-bangunan tua dengan bahan kayu jati, padahal Belanda tidak punya hutan. Bahkan orang Belanda punya ungkapan, Tuhan menciptakan seluruh negeri, kecuali Belanda. Karena Belanda dibangun oleh orang Belanda sendiri dengan mengubah laut menjadi daratan. 

Demikiankah obrolan akrab dan terbuka antara rombongan Pak Rivai dengan pemilik restoran yang membuat pemilik restoran tidak mau dibayar atas semua jamuan yang dihidangkannya. Saya malu menerima uang Anda karena sesungguhnya kami banyak utang budi dan materi kepada Indonesia, katanya. 

Dialog singkat tadi membuat saya menerawang jauh. Sebuah potret imajiner bangsa dan wilayah yang demikian luas dan kaya dikuasai Belanda, sebuah negara kecil di Eropa. Sekarang ini para intelektual Belanda pun kalau ingin pikirannya mengglobal, mereka mesti menuliskannya dalam bahasa Inggris. 

4

Page 5: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Di Indonesia bahasa Belanda mati pelan-pelan sejak negeri ini merdeka. Sebuah budaya dan bahasa, bahkan juga agama, tak akan tumbuh kuat tanpa dukungan demografis dan politik yang kuat. Begitu pun nasib bahasa Belanda di Indonesia dan Eropa kalah bersaing dengan bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. 

Di samping faktor demografis, kekuatan iptek dan ekonomi sebuah negara akan menjadi pilar penyangga eksistensi dan penyebaran bahasanya. Di Jepang meski negaranya kecil, banyak orang asing tertarik belajar bahasanya karena faktor kemajuan iptek dan ekonominya. Yang paling fenomenal adalah penyebaran bahasa Mandarin. Di samping kekuatan ekonomi, adalah faktor diaspora orang China ke berbagai negara dunia. Indonesia dengan kekayaan alam, budaya, dan jumlah penduduk serta pengalaman melakukan eksperimentasi demokrasi sangat potensial membuat bangsa dan negara asing untuk belajar bahasa Indonesia.

Dibanding dengan masa pendudukan Belanda, pendudukan Jepang tentu sangat pendek. Namun dominasi automotif dalam pasar Indonesia justru semakin kuat dan menggurita. Ditambah lagi pendatang baru Korea.

Kalau saja desain Belanda dalam membangun kereta api dilestarikan dan dikembangkan ke seluruh Nusantara, wajah Indonesia akan lain. Subsidi bahan bakar untuk kendaraan automotif tidak akan membengkak seperti sekarang. Dananya bisa dialihkan untuk pembangunan bidang pendidikan dan ekonomi. Tapi apa mau dikata. Tampaknya sejarah bangsa ini merupakan potongan-potongan fragmen peristiwa yang diwarnai like or dislike atau suka tidak suka serta balas dendam akibat perebutan kekuasaan warisan Ken Arok dengan Keris Empu Gandring untuk saling menikam. Semua yang lama dibuang, padahal yang baru belum tentu lebih baik.

Sebuah negara yang terdiri atas gugusan kepulauan dan potongan-potongan memori dan agenda pembangunan yang tidak dirajut dengan solid, kokoh, rapi, dan indah. Mau sampai kapan kondisi bangsa ini dalam kondisi rapuh dan sakit meskipun wajah luar terlihat sehat dengan seremoni senyum ramai-ramai?

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYATGuru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat

5

Page 6: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Akar Radikalisme

Koran SINDO

25 April 2015

Pekan lalu, sebagai anggota pengurus Yayasan Wahid Institute (WI), saya hadir di kantor institut yang bergerak di bidang penguatan kebangsaan melalui toleransi dan kedamaian antaragama itu. 

Di kantor yang terletak di kawasan Taman Amir Hamzah itu kami berdiskusi tentang banyak hal, dipimpin oleh direktur eksekutifnya, Yenny Wahid. Kami senang karena dalam keserbaterbatasannya, yayasan yang ingin melanjutkan ide-ide perjuangan Gus Dur dalam merawat NKRI itu masih bisa terus berkiprah, bahkan mampu membentuk jejaring kerja sama dengan berbagai negara lain. Tagline The Wahid Intitute sebagai pernyataan kebulatan ide dan perjuangan Gus Dur adalah Seeding Plural and Peaceful Islam.

Di antara hal-hal yang didiskusikan saat itu adalah fakta lapangan yang berhasil digali dan dianalisis WI tentang radikalisme dan terorisme. Ada temuan, bibit radikalisme dan terorisme sangat potensial tumbuh dan berkembang di lingkungan yang intoleran terhadap perbedaan, terutama dalam urusan agama dan keyakinan. 

Secara sekilas temuan ini terasa biasa, tetapi sesungguhnya ia teramat penting sebagai bahan untuk menangani radikalisme dan terorisme yang selama ini sering menghantui kita. Soalnya, selama ini kita lebih meributkan radikalisme dan terorisme sebagai fakta yang harus diperangi secara represif tanpa secara serius memotong akarnya, yakni intoleransi terhadap perbedaan. 

Padahal kalau akan serius menangkal dan memerangi radikalisme dan atau terorisme, kita harus menggunting akar-akarnya dan sikap intoleran terhadap perbedaan ini merupakan salah satu akar tunjang yang harus dibereskan di negara kita. Tak akan banyak gunanya perang langsung atau represi terhadap radikalisme dan terorisme kalau tidak disertai, bahkan didahului, penyelesaian terhadap tumbuhnya sikap intoleransi terhadap perbedaan, terutama perbedaan atas keyakinan. 

Sesungguhnya pula bibit-bibit radikalisme dan terorisme itu ada pada setiap agama, bukan hanya pada agama tertentu. Ekspresinya memang bergantung pada lingkungan sosial dan politik, misalnya seberapa besar pengikut (mayoritas dan minoritas) di setiap negara.

Upaya memberi pengertian kepada umat dari sudut Islam bahwa perbedaan adalah fitrah (melekat pada manusia dan masyarakatnya serta tak bisa dihindari) telah dilakukan secara mati-matian oleh Gus Dur yang kini dilanjutkan, antara lain, oleh WI. Kami selalu

6

Page 7: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

menjelaskan bahwa menurut kitab suci Alquran sebagaimana tercantum di dalam Surat Al-Maidah ayat 48, perbedaan itu sengaja diciptakan oleh Allah. Oleh sebab itu tak boleh ada kekerasan karena perbedaan, apalagi mengatasnamakan perintah Tuhan atau membela agama. 

Kalau Allah menghendaki manusia di dunia hanya sejenis, misalnya hanya mau satu ras dan satu agama, Allah pasti bisa melakukannya. Kalau tidak bisa melakukan itu berarti Dia bukan Tuhan. Yang beriman kepada Allah dan kemahakuasaannya harus yakin pula bahwa perbedaan itu diciptakan oleh Allah sendiri. Untuk apa? Untuk ujian bagi yang memperjuangkan kebenaran dan agar manusia bisa berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Pemuka agama apa pun perlu menyampaikan hal yang sama kepada umat masing-masing.

Lisa Wahid, putri sulung Gus Dur, yang juga hadir pada pertemuan itu memberi pandangan yang menarik. Katanya, di lapangan ada problem pendekatan dalam mengatasi tindak kekerasan sehingga tampak ambigu dan mengawang. 

Secara hukum dan konstitusi ada dua hal yang sekilas tampak berbeda dalam menyikapi intoleransi dengan tindak kekerasan. Pada satu sisi ada ketentuan tentang hak asasi manusia yang menurut konstitusi melekat pada setiap orang dan harus dilindungi oleh negara, termasuk hak untuk beragama dan berkeyakinan. Pada sisi lain aparat penegak hukum seperti Polri diarahkan oleh konstitusi kita untuk menjaga ketertiban, mengayomi masyarakat, dan menyelesaikan masalah secara damai dan harmonis.

Di lapangan, kecuali dalam dugaan dan pendugaan terorisme, dalam menghadapi kasus konkret tindakan intoleran dan tindak kekerasan kerap kali aparat penegak hukum lebih memilih menyelesaikan secara kompromi, tidak melakukan tindakan tegas, bahkan terasa sering mengalah, terhadap pelaku kekerasan; misalnya membubarkan forum dialog atau ritual yang seharusnya dilindungi. Kepentingan untuk menjaga ketertiban ”bersama” dan tidak melanjutkan keributan kerap kali didahulukan dari perintah konstitusi untuk melindungi hak asasi ”orang” dalam berkeyakinan dan berdiskusi untuk bertukar pikiran. Kata Lisa, dilema dan ambiguitas pendekatan seperti itu harus dikaji secara cermat untuk menemukan format yang tepat agar perintah konstitusi terpenuhi. 

Yang juga mempermudah provokasi bagi radikalisme dan terorisme adalah kemiskinan dan ketidakadilan. Saya pernah mendapat beberapa SMS aneh dari nomor yang tak saya kenal pemiliknya dan mungkin dia hanya iseng. Pengirim SMS meminta dicarikan channel ke pimpinan ISIS karena dia akan mendaftar masuk ISIS. Alasannya, kata dia, kalau masuk ISIS bisa mendapat 20 juta rupiah sebulan, sedangkan di Indonesia hidupnya sangat susah karena miskin. 

Terlepas dari kemungkinan dikirim karena iseng, SMS itu mengonfirmasi bahwa ”hidup fakir dan miskin bisa mendorong orang melakukan kejahatan, termasuk terorisme”. Kata Nabi Muhammad, ”Kaada al faqru an yakuuna kufran,” kemiskinan (kefakiran) itu mendorong

7

Page 8: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

orang menjadi kafir (melanggar, bertindak nekat). Begitu pun ketidakadilan sering kali dijadikan umpan oleh para radikalis untuk mengajak orang melakukan tindak kekerasan.

MOH MAHFUD MDGuru Besar Hukum Konstitusi

8

Page 9: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Perempuan Menghadapi Tantangan Zaman

Koran SINDO

25 April 2015 

Peringatan Hari Kartini sebagai pahlawan nasional bertepatan dengan hari dan tanggal kelahiran RA Kartini, yaitu setiap tanggal 21 April setiap tahunnya. Peringatan Hari Kartini tersebut kemudian diperingati secara nasional oleh segenap bangsa ini. 

Kartini adalah lambang perjuangan kaum perempuan Indonesia untuk memajukan diri. Penetapan nama RA Kartini sebagai pahlawan nasional akhir-akhir ini banyak menuai kritikan dari kalangan ahli sejarah. Umumnya mereka menggugat kenapa Kartini, sementara banyak tokoh perempuan lain. Namun penulis tidak dalam kapasitas mempersoalkan penokohan Kartini, biarlah ahli sejarah yang meluruskannya. 

Bagi penulis, penetapan nama RA Kartini sesungguhnya adalah suatu bentuk penghormatan atau sebagai simbol dari bentuk pengakuan anak bangsa ini terhadap jasa-jasa kaum perempuan yang telah berjuang dalam mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia. Penghormatan itu tentu tidak berhenti pada Kartini, tapi semua perempuan Indonesia yang memperjuangkan hak kaumnya untuk maju. 

Ada beberapa tokoh pejuang perempuan lain yang tentu harus kita kenang dan ikuti perjuangannya, di antaranya Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Siti Manggopoh, Rasuna Said, Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiyah, Martha Christina Tiahahu, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, Nyi Ahmad Dahlan, dan masih banyak pejuang perempuan tanah air yang tak mungkin disebutkan namanya satu persatu. 

Perempuan Berdiri Sejajar 

Kiranya sudah tak pantas adanya kata marginalisasi buat kaum perempuan dewasa ini. Kenapa? Menurut hemat penulis sejauh ini perempuan Indonesia telah bergerak dan berkiprah dalam segala bidang kehidupan dan berdiri sejajar dengan kaum pria. Sumbangsih mereka dalam memajukan bangsa Indonesia sangat penting. 

Lihat saja di bidang politik Indonesia sudah punya presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarno Putri. Menteri-menteri perempuan pun sangat banyak dan tidak hanya mengurusi urusan perempuan. Kita juga punya puluhan kepala daerah perempuan. Bahkan Walikota Surabaya Tri Rismaharini masuk Wali Kota kelas dunia. 

Di tingkat dunia kita juga kenal seorang perempuan bernama Sri Mulyani Indrawati, seorang mantan menteri kita yang menjadi pimpinan Bank Dunia. Bidang pertahanan keamanan

9

Page 10: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

banyak bermunculan nama-nama perempuan, bahkan sudah beberapa orang telah menyandang pangkat Jendral berbintang. Bidang yang sangat langka di masa lalu, kini Kartini-Kartini kita sudah banyak menjadi serdadu, bahkan berpangkat jenderal. 

Dalam bidang pendidikan sudah banyak perempuan Indonesia yang bergelar profesor dan doktor di segala bidang. Bahkan tak sedikit yang menjadi rektor dan pembantu rektor dan tidak sedikit pula yang menjabat sebagai dekan dan pembantu dekan. Pada bidang kesehatan sudah banyak yang bergelar, profesor, doktor dan para tenaga-tenaga dan spesialis di bidang kesehatan. Entrepreneur perempuan pun terus lahir dan membuktikan diri bahwa jenis kelamin tak mempengaruhi kesuksesan mereka. Masih banyak contoh-contoh di berbagai sector lain.

Kartini dan Tantangan Globalisasi 

Pada era globalisasi di mana dunia semakin kecil yang dikenal dengan era kesejagatan, sekat-sekat negara sudah mulai hilang. Ideologi dan budaya negara asing akan masuk ke Indonesia tanpa bisa dibendung. Bagaimanakah peran perempuan dan bagaimana pula perempuan menghadapi tantangan yang datang bersama perubahan zaman ini?

Era ini ditandai dengan semakin majunya bidang teknologi. Kita jadi mengenal era digital dan era internet yang membuat semua hal mudah diakses. Hal ini sangat menguntungkan dalam segala bidang, termasuk komunikasi bidang pendidikan, perdagangan, perekonomian politik, dan sebagainya, tetapi di samping dampak positif tentu juga ada dampak negatifnya (Alwi Shihab, Islam Inklusif, 1997).

Kartini Indonesia harus mampu mengubah tantangan menjadi peluang. Para Kartini-Kartini terutama yang berusia muda harus bisa meningkatkan ilmu pengetahuan menjadi sarjana-sarjana yang hebat yang bisa diperhitungkan dunia. Kartini kita harus mampu bersaing dan mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, minimal menjadi pengguna teknologi yang baik dan memanfaatkan teknologi itu dengan baik untuk diri sendiri, keluarga, jangan sampai menjadi korban kemajuan teknologi. Kesempatan terbuka lebar untuk perempuan berkiprah dalam segala bidang kehidupan, kini tinggal pada kemampuan dan kemauan kaum perempuan saja.

Kaum perempuan Indonesia harus eksis dan bisa bersaing dengan penduduk dunia lainnya, namun ia harus berkarakter sebagai orang Indonesia yang dikenal agamais, ramah, santun, berjiwa sosial serta saling menghargai. Untuk itu diperlukan Kartini yang kuat di ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta kuat iman dan takwanya (imtak). Imtak yang kuat akan mampu menjadi benteng dalam kehidupannya dan tak jarang kita temui perempuan yang menjadi penopang kehidupan keluarga sekaligus menjadi kepala keluarga pencari rezeki akibat perceraian hidup atau perceraian mati. 

Tak jarang kita jumpai ibu-ibu yang hidup sendirian/janda, bisa hidup dengan layak dan berhasil mendidik dan mengantarkan anak-anak mereka pada tingkat pendidikan yang tinggi

10

Page 11: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

bahkan sampai memperoleh kesarjanaan dan mampu mendapatkan pekerjaan yang layak, bahkan menciptakan lapangan pekerjaan yang baru semuanya tak lepas dari bimbingan dan perjuangan serta kerja keras sang ibu (Kartini pejuang). 

Mari kita berdayakan kaum perempuan agar mampu mengatasi persoalan hidupnya sebagai guru pertama dari semua anak Indonesia. Selamat Hari Kartini. Jadilah Kartini-Kartini yang kuat, tangguh, mandiri serta menjaga harga diri. Jayalah Indonesiaku.

NURAINI AHMADDosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah

11

Page 12: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Pemikir dan Penulis yang Soekarnois

Koran SINDO

25 April 2015 

Sekitar 30.000 kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia melakukan doa bersama untuk keselamatan bangsa bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Masjid Al Akbar, Surabaya, Jumat malam, 17 April 2015. 

Doa bersama Presiden Jokowi ini merupakan puncak rangkaian Harlah PMII ke-55. Peringatan harlah ke-55 yang bertajuk ”Pembela Bangsa Penegak Agama” memberikan pesan bahwa PMII adalah organisasi kemahasiswaan yang akan menjadi benteng Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menyebarkan nilai Islam rahmatan lil alamin. 

PMII adalah salah satu karya dan peninggalan Pak Mahbub Djunaedi yang berprofesi sebagai jurnalis, esais, sastrawan, penerjemah dan politikus tersohor. Mahbub merupakan salah satu aktivis yang membidani kelahiran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sekaligus ketua umum pertamanya, juga sempat menjabat di GP Ansor dan PBNU.

55 tahun lalu, Pak Mahbub bersama 13 mahasiswa NU membidani berdirinya PMII. Mereka adalah Sahabat Cholid Mawardi, Sahabat Said Budairy (Jakarta), Sahabat M. Makmun Syukri BA (Bandung), Sahabat Hilman (Bandung), Sahabat H. Ismail Makky (Yogyakarta), Sahabat Munsif Nahrawi (Yogyakarta), Nuril Huda Suaidy HA (Surakarta), Sahabat Laily Mansur (Surakarta), Sahabat Abd. Wahab Jailani (Semarang), Sahabat Hisbullah Huda (Surabaya), Sahabat M. Cholid Narbuko (Malang), dan Sahabat Ahsan Husain (Makasar). 

Pada tanggal 14-16 April 1960, mereka menggodok organ baru di Yayasan Khadijah Surabaya. Akhirnya, tanggal 17 April 1960 lahirlah organisasi mahasiswa NU yang diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tidak berselang lama, tahun 1961 PMII melaksanakan Kongres I di Tawangmangu, Solo yang menghasilkan Deklarasi Tawangmangu. Dari sini dimulailah kiprah PMII dalam percaturan nasional.

Tahun 1963 Kongres II PMII digelar di Yogyakarta. Kongres ini menegaskan kembali esensi Deklarasi Tawangmangu yang dikenal dengan Penegasan Yogyakarta. Tahun 1965 PMII mengadakan TC II di Megamendung, Bogor, untuk menyikapi problem kehidupan masyarakat dan negara. 

Sebagai kader PMII, penulis lebih sering merenungkan tentang tulisan Pak Mahbub. Itu karena nama besar Pak Mahbub melebihi nama besar PMII. Orang lebih tahu Pak Mahbub sebagai penulis dan jurnalis ketimbang pendiri PMII. Pak Mahbub pernah menduduki kursi Ketua Umum PWI Pusat (1955-1970), di bidang jurnalistik ini beliau meraih popularitasnya

12

Page 13: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

sebagai penulis esai kelas wahid di Indonesia. 

Pak Mahbub pernah menjadi kolumnis tetap di Tempo dan Kompas. Ciri khas tulisannya adalah humor, kreativitas berbahasa, serta mampu menyajikan persoalan dengan sederhana. Selain itu beliau juga menulis roman yang berjudul Dari Hari ke Hari. Pada tahun 1974 roman ini mandapatkan penghargaan sebagai roman terbaik dari DewanKesenian Jakarta beserta Angin Musim. 

KH Hasyim Muzadi adalah salah satu tokoh yang mengenal dekat Pak Mahbub. Ia juga mengikutinya masuk pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan NU yang kemudian membesarkan namanya Kiai Hasyim masuk menjadi kader PMII dengan mula-mula mengikuti pendidikan dan pelatihan yang digelar Pengurus Besar PMII di Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat, tahun 1964.

Kegiatan itu diikuti mahasiswa terbaik dan terpilih dari seluruh penjuru Tanah Air. Kiai Hasyim dan beberapa teman mewakili PMII kota Malang. Saat kegiatan itulah, Kiai Hasyim mulai mengenal lebih dekat pendiri PMII, yaitu Mahbub Junaidi dan kawan-kawannya. Ia bahkan juga memahami dan mendalami pemikiran serta gerakan Pak Mahbub sebagai pendiri dan aktivis PMII. Pak Mahbub, katanya, menggabungkan pemikiran kelompok nasionalis dan keislaman. 

Kiai Hasyim bercerita, Pak Mahbub itu seorang soekarnois. Pemikirannya menggabungkan pemikiran nasionalis dan keislaman. Itu pula yang menjadi dasar gerakan PMII.

Pada masa awal berdirinya, PMII berkembang pesat. Sebab, Himpuan Mahasiswa Islam (HMI) yang lebih awal berdiri dianggap banyak kalangan terlalu radikal, sehingga para mahasiswa NU, enggan masuk HMI. Maka lahirlah PMII yang dibawa Mahbub dengan konsep baru. PMII bisa mewadahi kelompok mahasiswa yang tak mau bergabung dengan HMI. Karena itulah perkembangan PMII sangat cepat. Jumlah massa PMII di banyak kampus bahkan hampir sama dengan HMI.

Di antara tugas kader PMII ke depan adalah melestarikan dan menjaga pemikiran dan karya-karya Pak Mahbub. Pertama, sebagai penulis Pak Mahbub adalah pemikir yang moderat. Islam yang ramah bukan marah. Maka tak salah jika Jokowi menyorot soal ISIS saat hadir pada perayaan Harlah ke-55. Kedua, Pak Mahbub sebagai politisi. NU tak perlu khawatir bahwa PMII masih terus melahirkan banyak politisi ulung dan tersohor. Sebut saja, nama Khofifah Indar Parawansa, Muhaimin Iskandar, Imam Nahrowi, Hanif Dakhiri, Nusron Wahid, Marwan Jafar, Lukman Hakim Saifuddin, mereka semua adalah kader terbaik PMII di eranya yang kini jadi penerus Pak Mahbub sebagai politisi. Bahkan sebagian dari mereka menjadi menteri.

Ketiga, Pak Mahbub sebagai penulis dan jurnalis. Kini lumayan banyak kader PMII yang terjun ke dunia jurnalistik dan tulis-menulis. Karena itu, karya tulis perlu menjadi bagian dari pengaderan PMII. Dengan demikian, ke depan semua mahasiswa yang mengaku sebagai

13

Page 14: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

kader PMII dan Pak Mahbub adalah penulis. 

Satu hal yang belum bisa dilampaui kader PMII bahwa tulisan Pak Mahbub bisa jadi menjadi ”bacaan wajib” tiap pagi. Tak hanya itu, pak Mahbub diundang ke Istana untuk berdiskusi lebih dalam tentang isi tulisan Pak Mahbub. Teman-teman Pak Mahbub sangat mengenang beliau yang selalu bilang ”saya ingin menulis hingga tak lagi mampu menulis,” katanya.

AHMAD MILLAH HASANTenaga Ahli Menteri Sosial Bidang Komunikasi dan Media; Kader PMII

14

Page 15: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Celana

Koran SINDO

26 April 2015

Antara 1973-1975, Provinsi Papua (ketika itu namanya masih Irian Jaya) pernah dipimpin seorang gubernur bernama Acub Zainal (1927-2009).

Gubernur yang brigjen TNI dan sebelumnya menjabat sebagai pangdam XVII/Cenderawasih (1970-1973) ini adalah seorang kepala daerah yang luar biasa. Dalam era kepemimpinannya, baik sebagai pangdam maupun sebagai gubernur, Acub Zainal telah membangun provinsi ini secara besar-besaran, termasuk membangun perumahan dan perkantoran untuk pemda dan militer, pertukaran misi olahraga dan kebudayaan dengan PNG (Papua Nugini) yang waktu itu baru saja merdeka, memugar Stadion Mandala, dan membangun tim sepak bola, si “Mutiara Hitam” Persipura yang selalu masuk delapan besar kejuaraan nasional PSSI dan akhirnya menjadi juara PSSI tahun 1975/1976. Bukan itu saja, Persipura bahkan pernah mewakili PSSI dalam sebuah turnamen di Saigon dan berhasil masuk final, walaupun akhirnya kalah tipis 2-1 dari Vietnam. 

Namun, saya di sini bukan mau bicara tentang Acub Zainal, melainkan tentang kampanye anti-koteka yang dijalankan sejak Gubernur Frans Kasiepo (pendahulu Gubernur Acub Zainal) di Papua. Pada masa itu, koteka yang dianggap ”kurang berbudaya” dialihkan ke celana. Maka pada tahun 1971, di saat Acub Zainal menjabat pangdam XVII/Cenderawasih, digelarlah ”Operasi Koteka” yang memaksa kaum laki-laki mengganti koteka mereka dengan celana. 

Sepintas tidak ada yang salah dengan gagasan celanasisasi itu. Di luar Papua, semua orang pakai celana. Baik laki-laki maupun perempuan. Baik celana luar maupun celana dalam. Kalau orang tidak bercelana, malah disangka gelandangan schizophrenia. Apalagi, celana itu dibagi cuma-cuma oleh pemerintah. Jadi sudah pas lah proyek celanasisasi ketika itu. Buktinya, sekarang celana sudah biasa buat orang Papua. Laksamana Numberi dan Menteri Yohana Yembise adalah putera-puteri Papua yang bercelana. Tidak ada masalah.

Tetapi pada waktu Operasi Koteka digelar, banyak laki-laki kena penyakit kulit, karena dipaksa mengenakan celana. Pasalnya, orang Papua tidak terbiasa dengan air (kecuali untuk minum). Mereka bukan etnis yang berbudaya air. Memasak pun mereka menggunakan teknik bakar batu (tidak ada teknik rebus, atau kukus seperti di Jawa). 

Maka mereka tidak mencuci celana mereka. Akibatnya sakit kulitlah mereka. Sementara dengan koteka, mereka tidak memerlukan air. Untuk menghindari gigitan serangga atau nyamuk malaria, mereka cukup melumuri diri dengan lumpur dan mereka tetap sehat

15

Page 16: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

walafiat. 

Lebih celaka lagi, ketika anak-anak Papua diwajibkan sekolah, mereka pun wajib mengenakan seragam sekolah, kemeja putih dan celana merah. Akibatnya anak-anak Papua tetap tidak bisa bersekolah karena tidak serta-merta bisa berubah dari koteka (atau belum berkoteka) ke celana. 

Sekarang ini negara perlu mengimpor beras. Pemerintah berupaya keras untuk mengatasi kekurangan stok beras dengan meningkatkan produktivitas petani, tetapi sulit sekali. Padahal, orang Papua dan Ambon aslinya makan pepeda yang terbuat dari sagu, orang Madura dan NTT makan jagung, dan orang Gunung Kidul, DIY, makan singkong sebagai makanan utama mereka.

Sejak era Soeharto, semua diarahkan untuk makan nasi. Nasi dianggap lebih berbudaya sebagai makanan pokok dari pada non-nasi. Bahkan, banyak orang Indonesia yang merasa masih belum makan kalau perutnya belum kemasukan nasi (walaupun sudah makan french fries, atau hamburger). 

Ketika orang-orang di Gunung Kidul kembali ke singkong (nama lokalnya ”tiwul”) untuk mengganti beras yang langka atau mahal, media massa langsung menuding bahwa pemerintah telah gagal menyejahterakan rakyat, dan BEM pun mengerahkan massa mahasiswa untuk berdemo sambil membawa slogan-slogan turunkan presiden! 

Padahal tiwul sudah jadi makanan orang Gunung Kidul sejak mereka belum mengenal nasi. Bahkan, sekarang ini banyak ragam makanan dan camilan berbahan dasar singkong yang dikemas secara modern, diiklankan di TV, dan dijual di supermarket dengan harga mahal, dan tidak ada yang protes. 

Bayangkan kalau masyarakat sudah makan keong! Mahasiswa akan mengerahkan massa lebih banyak lagi ke Istana Presiden. Padahal, keong itu di restoran-restoran Prancis namanya escargot dan harganya seporsi (isi beberapa ekor keong) hampir sama dengan steak daging sapi. 

Saya hanya kegelian, jika saya diundang orang Prancis, di restoran Prancis, dan melihat si Prancis mencutik-cutik daging escargot dari cangkangnya dan kemudian menyeruputnya dengan nikmat. Lebih baik saya fokus ke lobster pesanan saya yang harganya bisa untuk membayar uang kos mahasiswa di Jakarta selama satu bulan. 

Jadi yang ingin saya katakan adalah bahwa pakaian, makanan, dan apa pun yang dilakukan atau diyakini orang adalah bagian dari budaya. Tidak bisa dilepaskan perilaku dari budaya. Jadi, penyeragaman perilaku adalah sesuatu yang non-budaya. Keseragaman dan penyeragaman di lingkungan militer, misalnya, ditekankan dan dipaksakan dalam waktu tertentu melalui sekolah atau akademi militer. Keluar dari pendidikan militer, perilaku menjadi seragam, ”Siap! Hormat, grak! Laksanakan!”, tetapi begitu dia menengok orang tua

16

Page 17: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

di kampung, dia kembali mencium tangan orang tuanya, lupa pada ”Siap, hormat grak!”. Si tentara kembali kepada budaya aslinya.

Pembangunan Indonesia banyak sekali melupakan pembangunan budaya. Program transmigrasi sangat berjaya di era Soeharto. Banyak penduduk asal Pulau Jawa, Bali, atau Madura menjadi transmigran sukses di tempatnya yang baru di pulau-pulau lain. Tetapi tidak dipikirkan bagaimana akulturasi budaya antaretnik yang saling berinteraksi itu, sehingga pasca-Soeharto, banyak sekali terjadi kerusuhan atau konflik antar etnik. 

Budaya itu bukan sekadar memakai celana atau makan nasi, tetapi menyangkut cara berpikir, sikap dan kebiasaan-kebiasaan terkait memakai celana atau makan nasi tersebut yang dalam ilmu tentang budaya (antropologi) disebut artifak.

SARLITO WIRAWAN SARWONOGuru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

17

Page 18: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Pesta Bikini: Meniru Nenek-Nenek?

Koran SINDO

27 April 2015

Ujian nasional merupakan ritual tahunan yang menegangkan dalam sistem pendidikan yang kita jalani. Ujian tersebut seolah menjadi peristiwa penentu perjalanan hidup dan kehidupan seorang siswa. 

Berbagai cara dilakukan oleh siswa, guru dan orangtua untuk dapat melewati peristiwa sakral dan menegangkan tersebut. Sebut saja bimbel, mencari bocoran soal, sampai hal-hal yang berbau mistis seperti mencari wangsit ke kuburan dan menggandeng dukun, dari mulai dukun tradisional yang menggunakan mantra dan sesajen sampai dukun lulusan luar negeri yang menggunakan metodologi berpikir rasional berbasis teknologi informasi. 

Kekalutan orang terhadap ujian nasional dimanfaatkan oleh para pihak yang melihat itu sebagai sisi keuntungan, maka terjadilah kebocoran soal yang mengguncang jagat pendidikan Indonesia dan dianggap aib yang menampar dunia pendidikan kita. Padahal masalah kebocoran adalah hal yang ”biasa” dalam siklus perjalanan pembangunan Indonesia. Kontraktor bikin bangunan rata-rata atapnya bocor, bikin toilet di lantai dua juga sering bocor, pipa PDAM tidak jarang mengalami kebocoran, jaringan listrik juga sering bocor di perjalanan.

Kebocoran bukan hanya melanda hal-hal yang biasa, tetapi juga melanda wilayah-wilayah yang dianggap paling sakral dan dijaga oleh ratusan pasukan. Berapa kali kita mendengar pembicaraan presiden yang dianggap rahasia sekalipun sering bocor terdengar ke luar, bahkan sampai ke negeri Australia dan Amerika Serikat. KPK, lembaga anti-rasuah yang paling ditakuti di negeri ini, surat penetapan status tersangkanya pada seseorang pernah bocor sebelum diumumkan. Jadi kenapa kita harus panik terhadap soal ujian nasional yang bocor kalau kebocoran di negeri ini sudah dianggap hal yang wajar?

*** 

Perjalanan pendidikan yang melelahkan dan berpuncak pada ujian nasional telah melahirkan peserta didik yang depresi. Bukan hanya peserta didiknya, bahkan pendidiknya pun banyak yang mengalami depresi disebabkan oleh kebingungan mereka dalam mengartikulasikan seluruh ide dan gagasan tentang hakikat pendidikan yang sering kali berbenturan dengan doktrin administratif pendidikan yang berbasis kurikulum bongkar muat. 

Ciri-ciri peserta didik yang depresi itu sangat mudah diidentifikasi, ketika ada pengumuman bahwa mereka bebas untuk tidak masuk sekolah (libur), maka tepuk tangan mereka

18

Page 19: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

menggema di ruang kelas disertai dengan senyum bahagia para gurunya. Jadi secara umum kalau murid ditanya pelajaran apa yang disukai di sekolah, sebenarnya bukan pelajaran matematika, fisika, kimia, atau biologi yang mereka sukai, tetapi pelajaran bebaslah yang menjadi pelajaran favorit. Hal tersebut menunjukkan betapa sistem pelajaran di sekolah telah menjadi monster yang menakutkan dan mencekam.

Tumpah ruah kebahagiaan atas selesainya seluruh jenjang pendidikan yang dijalani oleh siswa, banyak diekspresikan dalam berbagai tingkah polah yang sering kali bertentangan dengan spirit pendidikan itu sendiri. Ekspresi itu banyak diwujudkan dengan ritual berkonvoi di jalanan, coret-coret baju seragam, sampai pesta minuman keras, bahkan kita mendengar saat ini tidak sedikit anak sekolah yang melakukan pesta seks. Sebuah ironi dari spirit kemuliaan pendidikan yang mengajarkan nilai luhur tentang makna keutuhan manusia. 

Pada akhirnya, kekerasan doktrin pendidikan berbanding terbalik dengan realitas produk pendidikan yang telah kehilangan substansi dan terperosok ke dalam lubang seremoni pendidikan atas nama kualitas dan atas nama kompetensi seseorang. Seluruh kompetensi yang menjadi kebanggaan dan alat ukur pendidikan kita, kini terperosok ke dalam pendidikan yang terkerangkeng dan sibuk memuja metodologi serta melupakan substansi dari arah dan tujuan pendidikan itu sendiri.

***

Pertanyaan unik dapat kita ajukan dalam tesis yang sangat sederhana, betulkah pendidikan formal yang berpuncak pada ujian nasional adalah jaminan mutu bagi masa depan seseorang? Tapi mengapa para pengusaha sukses banyak lahir tanpa latar belakang pendidikan profesinya, para penemu banyak lahir dari orang-orang yang tidak sepenuhnya mengikuti pendidikan formal? 

Tukang kuli bangunan mampu mewujudkan sisi pembangunan yang indah tanpa pendidikan sekolah bangunan, tetapi justru kebudayaan mereka dalam memahami bangunan porak-poranda oleh orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi berdasarkan karakter yang lebih menekankan pada titik keuntungan dibanding watak peradaban.

Istana Negara dan Istana Cipanas sebagai simbol kebanggaan masyarakat Indonesia justru dibangun melalui kerja rodi. Gedung Sate yang tinggi megah sebagai ikonnya masyarakat Jawa Barat juga dibangun dengan kerja rodi. Jalan Anyer-Panarukan, jalur kereta api dari Jakarta hingga Surabaya, juga dibangun oleh kekuatan pekerja yang tak bersekolah. 

Yang lebih unik lagi, karya-karya musik dan lagu yang berkualitas banyak diciptakan dan dinyanyikan oleh orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan musik secara formal, tetapi mengutamakan imajinasi dan rasa serta pengalaman hidup yang membuat mereka unggul dalam kreativitas. Silakan ditanyakan kepada Bang Haji Rhoma Irama si Raja Dangdut, Iwan Fals, Ebiet G Ade, Slank, dan Melly Goeslaw, mereka sekolah musik di mana? Jawabannya ”tanyakan kepada rumput yang bergoyang,” begitulah kata Ebiet G Ade, ”Terlalu,” kata Bang

19

Page 20: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Haji Rhoma Irama, “Bongkar,” itulah kata Iwan Fals, “Ada Apa dengan Cinta,” begitulah Melly Goeslaw mengatakan. 

Ketika hari menjelang senja, Ma Icih berkata dengan nada penuh makna kepada Mang Udin suami tercintanya, ”Udin, saya tidak mengerti, katanya pendidikan dasar 9 tahun tapi kenapa pemerintah melaksanakan ujian di kelas 6...? Terus sekarang pendidikan yang baik 12 tahun, kenapa harus ada ujian nasional di kelas 9...? Selanjutnya dari kelas 6 ke kelas 7 mah bukan lulus, tapi naik... dari kelas 9 ke kelas 10 juga sama, bukan kelulusan tapi kenaikan.” 

Mang Udin menimpali sambil tersenyum, ”Iya Icih, saya juga tidak mengerti, buat apa sampai bimbel segala ya? Kalau bimbel dianggap efektif dan merupakan cara mudah untuk lulus ujian, sebaiknya sekolah dihapus saja diganti dengan bimbel, terus ujian. Kan jadi murah biaya pendidikan Indonesia.” 

Ma Icih kembali menimpali, ”Betul, Din. Kelihatannya cucu-cucu kita sekarang banyak mengalami stres, karena terlalu seriusnya belajar di sekolah. Bajunya serius, bukunya serius. Bahkan saking seriusnya itu buku, sebelum masuk ke sekolah tidak pernah dibaca dulu oleh pejabat yang menangani bukunya, sehingga gambar porno, ajaran agama abal-abal bisa masuk ke buku. Kalau buku yang menentukan arah pembelajaran di kelas, nanti mah sekolah guru harus dihapus karena tidak bermanfaat lagi ketika mengajar. Guru tidak lagi menyampaikan pemahaman pengetahuan yang dia miliki hasil dari kuliahnya, mereka hanya sekedar menyampaikan isi buku kepada murid-muridnya. Jadi guru sudah tidak lagi mewakili pengetahuan yang dimilikinya, tetapi dia lebih mewakili pesan percetakan yang dititipkan kepadanya.”

Ma Icih menambahkan, ”Nini (Nenek) sekarang itu lagi ada kebahagiaan, ternyata anak-anak sekolah di Jakarta kayanya sudah bosan dan pusing dengan berbagai teori yang membuat mereka menjadi semakin asing dengan dirinya, bahkan mereka sudah bosan dengan peradaban pakaian perkotaan yang membuat mereka menjadi tersiksa. Mereka ingin hidup sederhana seperti Nini, pake baju cukup kutang wungkul sehingga diadakan pesta sebagai wujud kebahagiaan tamatnya mereka sekolah. Padahal kalau uang untuk biaya sekolah mereka itu diberikan kepada Nini, Nini bisa beli kutang baru karena kutang lama kancingnya sudah copot sebelah,” ujar Ma Icih menutup pembicaraan.

DEDI MULYADIBupati Purwakarta

20

Page 21: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

SK Menpora Menggantung Bola

Koran SINDO

27 April 2015 

Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) akhirnya membekukan kepengurusan PSSI hasil Kongres Luar Biasa melalui Surat Keputusan Nomor 01307 Tahun 2015 tertanggal 17 April 2015. 

Cukup banyak pihak menilai bahwa surat Menpora tersebut sejatinya salah alamat karena seharusnya ditujukan kepada PT Liga Indonesia, bukan kepada PSSI. Surat itu berisi pembekuan PSSI karena tidak menanggapi surat teguran pertama (8 April) dan tidak memberikan jawaban yang relevan dengan isi surat teguran kedua (15 April). PSSI juga tidak menjawab surat peringatan ketiga (16 April) sampai tenggat 24 jam berakhir.

Semua surat teguran tersebut berkaitan dengan kisruh kompetisi Liga Super Indonesia (LSI). PSSI dan PT Liga Indonesia dinilai mengabaikan rekomendasi Badan Olahraga Profesional Indonesia yang mencoret Arema Cronus dan Persebaya Surabaya dari daftar peserta kompetisi LSI 2015 karena adanya klaim kepemilikan ganda. Namun ternyata kedua klub tetap melaksanakan dua pertandingan di kandang masing-masing.

Secara yuridis dan organisatoris, kewenangan menanggapi rekomendasi pencoretan Arema dan Persebaya dari BOPI ada pada PT Liga Indonesia selaku operator Liga Super Indonesia alias QNB League. Seharusnya Kementerian Pemuda dan Olahraga melalui BOPI memberikan kesempatan lagi bagi Arema dan Persebaya yang hanya tinggal menuntaskan urusan administrasi mengenai proses rekonsiliasi kepengurusan di klub masing-masing.

***

Berdasarkan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan disebutkan, ormas hanya bisa dibubarkan bila melanggar ideologi negara dan melakukan tindakan makar. Sebagai ormas, PSSI hanya bisa dibubarkan oleh pengurusnya menurut ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PSSI. Dalam sepak bola Indonesia tidak terjadi pelanggaran atas dua alasan hukum yang memungkinkan dilakukannya pembubaran PSSI sebagai suatu ormas tersebut. 

Sebagai ormas, PSSI tidak bisa dibubarkan oleh Menpora. Soal kelembagaan ormas, kewenangannya ada di Kementerian Hukum dan HAM RI, bukan berada di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Di titik inilah sejatinya Menpora perlu meninjau ulang surat keputusan (beschikking) yang telah telanjur ditetapkannya tersebut.

21

Page 22: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Dalam teori hukum administrasi negara, suatu keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh seorang pejabat tata usaha negara selalu terbuka kemungkinan untuk dicabut kembali oleh pejabat tata usaha negara yang menetapkannya melalui mekanisme executive review. Jika Menpora tidak bersedia mencabutnya, UU Administrasi Pemerintahan membuka peluang bagi pengurus PSSI yang baru untuk mengajukan upaya administratif terhadap SK tersebut melalui langkah pengajuan keberatan (administratieve bezwaar) kepada pejabat yang menetapkan (Menpora) maupun banding administratif (administratieve beroep) kepada atasan pejabat yang menetapkan suatu keputusan tata usaha negara (baca: Presiden RI). 

Jika setelah melalui kedua langkah tersebut upaya hukum PSSI belum membuahkan hasil, masih tersedia upaya hukum bagi pengurus PSSI untuk menggugat Surat Keputusan Menpora Nomor 01307 Tahun 2015 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

***

Badan sepak bola dunia (FIFA) yang bermarkas di Zurich, Swiss, belum bisa memberikan komentar lebih jauh tentang pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang dilakukan Menpora Imam Nahrawi. David Noemi, salah seorang juru bicara FIFA, menyatakan sedang memantau dan mempelajari situasi mengenai pembekuan PSSI tersebut sehingga belum bisa memberikan komentar atau mengambil sikap tertentu. 

Noemi hanya mengingatkan bahwa pada tanggal 10 April 2015 FIFA telah mengirim surat kepada Menteri Imam Nahrawi tentang kriteria yang ditetapkan pemerintah terhadap klub-klub yang hendak berpartisipasi dalam Liga Super Indonesia. 

Dalam surat itu, FIFA menginformasikan kepada Menteri Nahrawi bahwa para anggota FIFA harus mengelola urusan mereka secara independen dan tanpa pengaruh dari pihak ketiga seperti diatur dalam Pasal 13 dan 17 Statuta FIFA. Selanjutnya, FIFA mengingatkan bahwa hanya anggota FIFA (atau liga yang terafiliasi) yang bisa memberi lisensi dan bertanggung jawab mengatur dan memaksakan kriteria yang harus dipenuhi klub yang berpartisipasi sebagaimana diatur pada butir kedua dan ketiga pada Peraturan Perizinan Klub FIFA. 

Berkaitan dengan hal itulah, substansi surat tersebut selanjutnya menyebutkan bahwa FIFA meminta Pemerintah Republik Indonesia menahan diri agar tidak mencampuri urusan PSSI dan memungkinkan PSSI memenuhi kewajibannya sebagai anggota FIFA. Noemi menyampaikan bahwa kegagalan Pemerintah Indonesia melakukan hal untuk tidak mencampuri urusan PSSI akan membuat FIFA tidak punya pilihan selain menjatuhkan sanksi kepada PSSI.

Sejatinya, dunia sepakbola Tanah Air, khususnya liga profesional, kini sedang merangkak naik untuk mulai menapaki jalur prestasi. Pembekuan PSSI oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) merugikan sepak bola nasional. Kerugian itu berupa sanksi yang bisa saja dijatuhkan FIFA karena adanya intervensi pemerintah. Sepak bola Tanah Air akan mati

22

Page 23: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

jika FIFA menjatuhkan sanksi, ketika SK Menpora ”menggantung” bola.

DR W RIAWAN TJANDRA, SH, MHUM Pengajar Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta   

23

Page 24: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Batas Kepemimpinan

Koran SINDO

28 April 2015

“Ketika seorang pemimpin yang efektif menyelesaikan pekerjaannya, orang-orang mengatakan bahwa itu terjadi secara alami.”- Lao Tzu 

Pemimpin dan kepemimpinan menjadi salah satu isu yang paling penting belakangan ini. Kepemimpinan bangsa dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kepemimpinan Ibu Kota dengan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kepemimpinan Ibu Risma dalam penanganan bencana AirAsia yang patut dipuji serta kepemimpinan dari berbagai organisasi publik, pemerintah maupun swasta telah menjadikan saat ini waktu yang tepat untuk melakukan refleksi: sejauh manakah para pemimpin mampu melakukan perubahan dan seberapa banyak perubahan dan/atau transformasi yang dapat kita harapkan dari para pemimpin kita?

“Manajemen adalah melakukan dengan benar, kepemimpinan adalah melakukan hal yang benar,” kata Peter Drucker. Namun batasan antara kedua hal tersebut menjadi kabur ketika kini muncul tuntutan agar manajer juga menjadi pemimpin yang efektif dan pemimpin juga sekaligus menjadi manajer yang andal. Tuntutan akan kepemimpinan yang mampu memberikan visi yang relevan dan memastikan visi tersebut terterapkan dengan efektif menjadi semakin besar karena baik dia seorang pemimpin bangsa dengan 250 juta penduduk, kota megapolitan dengan jumlah penduduk mencapai 20 juta, perusahaan multinasional dengan 1.000 profesional. Atau perusahaan kecil dengan 20 karyawan; semuanya adalah organisasi yang membutuhkan atau lebih tepatnya menempatkan sederet harapan kepada para pemimpinnya.

Jadi apakah sebenarnya yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang efektif? Keterampilan, kekuatan, dan kepribadian seperti apa yang dibutuhkan seseorang untuk dapat memberikan hasil yang nyata? 

Kita melihat literatur kepemimpinan penuh dengan kata-kata seperti “karisma”, “determinasi”, “komitmen”, “passion/hasrat”, dan “visi”. Apakah benar demikian adanya? Apa semua pemimpin efektif mutlak memiliki trait atau karakter seperti tertera di atas?

Hasil riset berpuluh tahun yang dilakukan Prof Brian Morgan dari Cardiff Business School ternyata membuktikan hal berbeda. Tidak ada yang konsisten dari daftar descriptor yang dapat membantu kita mengidentifikasi pemimpin yang luar biasa. Pemimpin sukses ternyata sangat beragam. Beberapa eksentrik, yang lain konformis, beberapa khawatiran, beberapa

24

Page 25: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

sangat santai, beberapa sangat memesona dan hangat, beberapa memiliki kepribadian sangat kaku dan cenderung pendiam. 

Hasil riset ini sejalan dengan 20 tahun pengalaman saya sebagai profesional di berbagai organisasi. Saya malah cenderung berpendapat bahwa tidak ada kepemimpinan yang bebas konteks dan efektivitas kepemimpinan sebagian besar sangat bersifat situasional. 

Pandangan saya ini sejalan dengan teori kepemimpinan yang menyatakan, baik model kepemimpinan transaksional maupun transformasional tidak dapat dipastikan selalu efektif dalam segala situasi dan semua waktu. Filosofi seorang pemimpin harus cukup fleksibel untuk dapat beradaptasi dengan situasi dan perubahan zaman. 

Kita membutuhkan campuran teknik kepemimpinan transaksional dan transformasional untuk dapat menyelesaikan pekerjaan. Ide dasar di balik teori tersebut adalah seseorang harus mampu menyesuaikan strategi dengan kondisi yang selalu berubah. Hidup didefinisikan dengan cerdas adalah suatu pencarian tanpa akhir terhadap pengetahuan. Jadi jika Anda berpikir bahwa mengetahui segalanya yang ada, Anda mungkin telah sampai ke akhir.

Seorang pemimpin harus selalu membuka mata dan telinganya secara terus menerus untuk selalu terbuka dalam menyerap pemikiran dan ide-ide baru, terlepas dari mana pun mereka berasal. Semua kesempatan untuk belajar keterampilan baru tidak boleh diabaikan begitu saja karena itu akan memberikan dorongan untuk berkembang. Manajemen dan kepemimpinan adalah bidang yang sangat dinamis. Gaya lama dan ideologi-ideologi menjadi kuno dan yang baru akan menggantikan mereka. Apa yang berfungsi saat itu mungkin tidak akan berfungsi sekarang. 

Bisnis saat ini menuntut pendekatan manajemen yang berbeda. Semua pemimpin tidak memiliki cara yang sama dalam memandang suatu hal. Beberapa memilih pendekatan carrot, sementara yang lainnya memilih pendekatan stick. Beberapa melihat kebebasan sebagai cara mengembangkan kreativitas dan pemikiran individu, sementara yang lain percaya bahwa sejumlah kontrol diperlukan untuk mencapai target dan menyelesaikan pekerjaan. 

Seorang pemimpin yang efektif harus mampu dan bersedia untuk mengerti dan bekerja dalam keterbatasan dari lingkungan tempat dia bekerja. Hal ini karena tidak ada sebuah lingkungan yang sepenuhnya selalu kondusif sehingga proses menghubungkan kinerja dengan kepemimpinan tidak pernah mudah. 

Pemimpin harus sangat bersemangat untuk membuat poin di mana mereka dapat membentuk visi yang jelas dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengomunikasikan rencana mereka ke seluruh organisasi sehingga akan muncul kinerja luar biasa meski dalam kenyataannya apa yang terjadi tidak akan pernah jelas sepenuhnya. Ini terjadi karena dalam urat nadi organisasi yang kompleks kepemimpinan dan pimpinan akan selalu berhadapan dengan keterbatasan.

25

Page 26: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Beberapa pemicu keterbatasan tersebut dapat dilihat dari beberapa fakta. Pertama, fakta bahwa strategic choice sering membutuhkan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk muncul. Perubahan sering kali dimulai dari single-loop, pendekatan win-win daripada evolusi double-loops atau triple-loops.

Chris Argyris (2002) mendefinisikan pembelajaran single-loop sebagai pendeteksi dan koreksi kesalahan tanpa mengubah nilai dan kultur organisasi. Sebagai contoh, termostat diprogram untuk menyala ketika suhu di dalam ruangan dingin, matikan api jika ruangan menjadi terlalu panas. Termostat adalah pembelajaran double-loops jika dapat menanyakan mengapa dia diprogram untuk mengukur suhu, kemudian menyesuaikan suhu tersebut. Sebagai catatan perubahan yang diperlukan dalam double-loops membutuhkan sebuah aktualisasi Revolusi Mental ala Presiden Jokowi yang seharusnya berarti perubahan menuntut kita melihat, mempertanyakan dan bila perlu mengubah nilai-nilai dan kultur yang selama ini berlaku. 

Sumber kedua yang berpotensi membatasi peran kepemimpinan dapat ditelusuri dari perbedaan tingkat urgensi tahap proses evolusi perusahaan yang berbeda. Organisasi yang sedang dalam kesulitan dan/atau organisasi baru mungkin akan jauh lebih bersedia untuk beradaptasi dengan cepat dibandingkan dengan organisasi yang sudah berumur dan organisasi yang sudah sukses. Ini terjadi karena perilaku yang konsisten diikuti sekian lama akan terakumulasi menjadi sebuah konsensus, sebuah kebiasaan. Di saat itu dibutuhkan keberanian yang luar biasa untuk membangun sebuah organisasi kelas dunia.

Salah satu aspek yang paling menantang dari kepemimpinan adalah menciptakan keseimbangan yang tepat antara pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin dan pembentukan atmosfer di mana visi yang jelas dikomunikasikan dengan baik ke seluruh urat nadi organisasi. Visi yang dikomunikasikan dengan baik harus meliputi komitmen dari pimpinan organisasi kepada semua anggota organisasi tersebut dan sebaliknya.

Menghargai dan rasa peduli yang nyata kepada orang-orang dalam organisasi Anda adalah satu hal mendasar dari kepemimpinan yang baik. Manusia adalah aset yang paling berharga dalam organisasi sehingga ini menjadi sangat esensial bagi seorang pemimpin untuk menginvestasikan waktu dan tenaganya untuk mengembangkan mereka dengan memberikan kesempatan-kesempatan yang ada, pengakuan jangka pendek maupun panjang dan rasa memiliki yang kuat. 

DR RUDOLF TJANDRA Chief Marketing Officer & Director Softex Indonesia

26

Page 27: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Refleksi Enam Bulan Nawacita

Koran SINDO

30 April 2015

Banyak penggemar sepak bola yang tidak habis mengerti bagaimana tim sehebat Brasil bisa dibantai 1-7 oleh Jerman pada Piala Dunia 2014. Apalagi pertandingan itu dilakukan di Brasil. Juga bagaimana Spanyol yang juara Piala Dunia 2010 dan juara Piala Eropa 2012 bisa takluk telak 1-5 kepada Belanda?

Di tingkat klub-klub Eropa sampai sekarang kita masih bingung dengan Barcelona yang kalah 0-7 secara agregat dari Bayern Muenchen pada semifinal Liga Champions 2012/2013. Atau Bayern Muenchen yang ditumbangkan Real Madrid 0-4 pada pertemuan kedua semifinal Liga Champions 2013/2014.

Jawabannya kita tahu beberapa waktu kemudian. Baik pelatih tim Brasil, Spanyol, Barcelona atau Bayern Muenchen mengakui mereka salah menerapkan strategi. Begitulah, tim sehebat apa pun, penuh dengan pemain bertalenta, bisa tak berkutik ketika sang dirigen, pelatihnya, salah menerapkan strategi. 

Kasus di Perusahaan 

Kasus serupa terjadi di dunia bisnis. Saya bersahabat dengan banyak eksekutif, baik di lingkungan BUMN maupun swasta. Beberapa di antaranya terkesan sangat hebat dalam mengkritik program orang lain. Ia paham betul tentang industrinya. Kita bisa terkagum-kagum mendengarkan paparannya. 

Tapi apa yang terjadi ketika dia diminta memimpin perusahaan yang tengah bermasalah atau yang industrinya agak bergejolak? Kinerja perusahaannya ternyata kurang optimal. Ini sama persis dengan menteri-menteri yang terkesan hebat. Ada apa?

Kita tahu, memimpin perusahaan besar, apalagi kementerian, tak bisa lagi memakai gaya one man show. Semua harus diurus bersama. Kita tak membutuhkan superman, tetapi superteam. Kata Henry Ford, “Coming together is a beginning. Keeping together is progress. Working together is success.” Usahakanlah mimpi di kasur yang sama ya harus sama, supaya selaras. 

Dalam banyak kasus, saya lihat persoalan utama yang dihadapi para CEO adalah soal membangun culture dan chemistry. Sebagai CEO, teman saya yang lain, membangun suasana kerja yang informal dan organisasi yang flat agar pengambilan keputusan bisa cepat. Untuk itu ia ingin mengembangkan robbust discussion di perusahaannya. 

27

Page 28: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Dalam robbust discussion, sebelum rapat diselenggarakan, isu-isu penting harus dibahas dulu secara informal dalam suasana yang santai. Sambil minum kopi, bisa di ruang kerja, kafe, bahkan sambil makan siang. Intinya kesepakatan sudah harus dicapai sebelum kita masuk ruang rapat. Jadi begitu di ruang rapat, kita hanya tinggal ketok palu.

Tapi, itu ternyata tidak terjadi. Para eksekutif yang ada di bawahnya telanjur terbentuk dalam kultur yang agak birokratis. Mereka terlalu takut mengambil keputusan. Mereka lebih suka keputusan diambil bersama-sama di ruang rapat yang ada notulensi dan kata putus disertai ketukan palu. Akibatnya banyak hal mesti diambil lewat jalur formal. Bahkan untuk masalah-masalah sepele sekalipun.

Anda tahu akibatnya? Pertama, agenda rapat jadi bertumpuk-tumpuk. Sebentar-sebentar rapat. Tapi, celakanya ini rupanya cocok betul dengan selera para eksekutif tadi. Sebab dengan mengikuti banyak rapat, dia jadi kelihatan sibuk bekerja. Kedua, begitu masuk rapat, suasana pun jadi serbaformal. Diskusi tidak cair. Debat menjadi kurang hangat. Hanya begitu ada ucapan yang menyinggung satu pihak, mereka akan ngotot habis-habisan mempertahankan argumentasinya. Bukan demi kebaikan perusahaan, tapi lebih memanjakan egonya.

Begitulah, dengan suasana yang semacam itu, akhirnya terlalu banyak formalitas di perusahaan tersebut. Suasana menjadi kaku. Pengambilan keputusan menjadi lambat. Pada gilirannya kinerja perusahaan pun menjadi kurang optimal. 

Culture dan Chemistry 

Mengurus negara sebetulnya mirip dengan mengurus tim sepak bola atau perusahaan. Kita perlu membangun dan memiliki culture dan chemistry kerja yang sama. Itulah yang kurang terlihat dalam jajaran Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo.

Coba saja Anda amati. Dalam rapat kabinet, suasananya masih sama. Semua menteri (betul bahwa seharusnya demikian) hadir lebih dulu dengan Presiden dan Wakil Presiden menyusul kemudian setelah semua lengkap. Tapi, ketika Presiden dan Wakil Presiden akan memasuki ruang rapat, mereka berdiri dan mengambil sikap sempurna. Apa bedanya suasana yang seperti itu dengan rapat-rapat pemerintahan terdahulu? Nyaris tidak ada.

Saya melihat banyak menteri yang masih sering pontang-panting, takut sekali kalau dipanggil Presiden. Apalagi sekarang, oknum politisi dari partai pengusungnya (dan juga dari lawan-lawannya) tak henti-hentinya bicara wacana reshuffle. Sudah ngebet betul tampaknya untuk merebut jabatan menteri. Tapi ini sekaligus mengganggu kondisi psikologis orang kerja dari kelompok profesional yang tak punya dukungan politik kuat.

Maaf saja, kini banyak beredar SMS di berbagai kementerian, di kalangan birokrat tingkat tinggi, bahwa jabatan bapak atau ibu menterinya sudah di ujung tanduk. Mereka meramalkan

28

Page 29: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

bosnya hanya bertahan paling lama setahun atau dua tahun. Maka jangan heran kalau pembangkangan akan mulai jadi biasa, merusak spirit tim dan chemistry organisasi.

Pada banyak organisasi, untuk memudahkan penilaian kinerja, sudah lama diaplikasikan balanced scorecard. Melalui aplikasi ini, setiap orang akan memiliki key performance indicator (KPI) atau target-target yang mesti dicapainya. Ini saya lihat juga belum muncul. Padahal dulu ada di Kantor UKP4 yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto.

Beruntung Kementerian Kelautan dan Perikanan dipimpin Susi Pudjiastuti yang “orang swasta”. Mereka kini mulai menerapkan appliques balanced scorecard. Kementerian lain? Padahal, balanced scorecard bukan hanya aplikasi pengukur kinerja. Aplikasi ini juga memungkinkan kita “berkomunikasi dengan bahasa yang sama”. Jadi ketika kita menilai kinerja seseorang, alat ukurnya sama. Bukan sekadar adu kuat argumentasi atau pencitraan belaka.

Alat inilah yang mestinya dipakai Presiden Jokowi jika ingin me-reshuffle kabinetnya. Bukan hanya berdasarkan bisikan, tekanan media, serbuan pasukan cyber, atau serangan balik kelompok yang terancam.

Oleh karena belum “berkomunikasi dengan memakai bahasa yang sama”, kita lihat beberapa potret kinerja pemerintahan masih kurang sesuai dengan Nawacita. Contohnya, dalam Nawacita, pemerintahan Jokowi-JK ingin memperkuat daya saing produk kita di pasar internasional. Bagaimana realisasinya? Ekspor produk kita selama Januari-Maret 2015 turun sampai 11,67% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya. Memang ini baru enam bulan, tapi baik juga sinyal ini kita perhatikan agar tidak nyungsep lagi. 

Masih dari Nawacita, pemerintah ingin menggencarkan upaya pemberantasan korupsi. Nyatanya? Di mana-mana kita justru membaca berita tentang pelemahan KPK dan serangan polisi terhadap pejuang anti-korupsi. Pemerintah menargetkan wajib belajar 12 tahun yang bebas dari pungutan. Nyatanya pungutan masih terjadi. Bahkan dalam kemasan yang lebih beragam. 

Melalui Nawacita, pemerintah ingin melakukan penegakan hukum yang bebas dari korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Cobalah Anda bertanya kepada Nenek Asyani. Itukah yang ia rasakan? Kita pasti ingin memiliki tim sepak bola yang hebat. Untuk itu kita mesti memiliki PSSI yang hebat pula. Celakanya yang terjadi pemerintah malah membekukan PSSI. 

Koordinasi tampaknya masih menjadi persoalan besar di pemerintahan kita. Betul, warisan lama bukan main gawatnya. Ditambah lagi pertumbuhan ekonomi Asia sedang mengalami ujian berat, indeks harga komoditas masih melemah.

Banyak pekerjaan rumah yang kini sudah rampung di tangan pemerintahan baru. Geraknya terasa cepat. Tapi timnya (terutama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi) belum bergerak seirama, chemistry-nya belum terbentuk, dan mereka belum pandai membaca

29

Page 30: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

sinyal kecuali beberapa menteri. Terlepas dari rongrongan politisi, saya lihat Kementerian BUMN malah bagus. Karena kelak BUMN ini akan menjadi motor penggerak yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. 

Saya merasa Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla belum sepenuhnya menjadi dirigen dari sebuah orkestra besar yang bernama Indonesia. Sebab, di sana, masih “terlalu banyak kelompok yang bermain”. Kata Lee Iacocca, “I have always found that the speed of the boss is the speed of the team.“ Saya khawatir, kalau chemistry ini tak diperbaiki, kali ini Iacocca keliru. 

RHENALD KASALIPendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali   

30

Page 31: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Golf dan Reformasi

Koran SINDO

1 Mei 2015

Saya mendapat teman baru yang mengasyikkan dalam bermain golf: Saiful Mujani, dosen FISIP UIN Jakarta yang lebih dikenal sebagai konsultan politik ternama di Tanah Air. 

Dengan modal data survei, teori, pengalaman serta naluri politiknya yang tajam dan dingin, bermain golf sambil ngobrol berbagai isu politik menjadi tak terasa capai menapaki lapangan rumput hijau sekitar 7 km panjangnya. Sebagai pemain pemula yang baru mulai pegang stik lima bulan lalu, kemajuannya sangat mengesankan karena hampir setiap hari berlatih driving dengan pelatih profesional. 

Dalam bermain golf sesungguhnya hanya ada dua prinsip atau tantangan, yaitu power untuk memukul bola agar terbang mencapai jarak yang diinginkan dan arah (direction) agar bola tepat mendekati titik lokasi yang dituju. Untuk menentukan jarak, pemain tinggal memilih stik atau club yang masing-masing sudah terukur, berapa jauh bola akan melayang selagi pukulannya benar. 

Problem yang selalu dihadapi golfer, terlebih pemain baru, adalah memukul bola agar terbang lurus mendekati titik yang dituju. Dalam konteks inilah Saiful Mujani merasa kesal dan tertantang. Ayunan pukulannya sudah powerful dan jauh, tetapi bola meleset menyimpang sehingga jauh dari target. “Pukulannya mirip dengan arah reformasi politik,” katanya. 

Mengapa? Dari segi power dan energi, kata Saiful, reformasi politik ini mendapat sumber kekuatan yang melimpah. Partisipasi dan harapan rakyat sangat tinggi. Jumlah parpol tak pernah surut dan tetap punya semangat tinggi. Instrumen lembaga-lembaga negara komplet, bahkan jumlah komisioner bermunculan, lembaga yang tidak dikenal semasa Orde Baru. 

Dukungan dana pun meningkat baik yang bersumber dari APBN maupun partisipasi rakyat, terutama kalangan pengusaha. Tak kalah pentingnya adalah iklim kebebasan berpendapat yang difasilitasi media massa seperti televisi yang jumlahnya juga selalu bertambah. 

Salah satu problem reformasi adalah tak mampu mengelola kekuatan dan semangat rakyat untuk mendekati target yang ditawarkan dan disepakati bersama rakyat. Tak ubahnya pukulan saya yang melesat jauh, tapi melenceng dari green dan hole. Alih-alih mendapatkan skor par, bogey pun hilang. Paling banter double atau tripple.

Ibarat permainan golf, begitu bola sudah masuk zona green mendekati hole, yang diperlukan adalah soft power. Mesti cermat, penuh perhitungan, tepat dalam membaca arah rumput dan

31

Page 32: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

kemiringan permukaan green karena pada zona green benar-benar diperlukan akurasi matematis. Jika itu pertandingan, persaingan kian ketat dan tajam meski tampak bersahabat. Begitulah politik, semakin mendekati pusat dan puncak kekuasaan, persaingan kian memerlukan soft skill dan soft power. 

Ketika posisi bola di bawah 100 meter dari hole yang jadi sasaran akhir, soft skill, feeling habit, dan pengendalian emosi sangat ditekankan. Jika salah chipping dan putting, perjuangan panjang yang telah mengeluarkan tenaga akan sia-sia.

Dalam konteks politik, pemilu bisa dianalogikan dengan tee off. Memukul bola sejauh dan selurus mungkin ke depan. Tapi setelah mendekati green dan hole, ibarat politik sudah sampai di puncak kekuasaan, jika tidak fokus dan tidak punya determinasi, bola meleset. Putting sampai tiga kali di zona green adalah sebuah kegagalan yang menyesakkan.

Demikianlah, pemerintahan Jokowi sudah memenangi pertarungan dan menggiring bola ke zona green. Tapi kelihatannya gagal dalam melakukan putting. Skor par tidak tercapai, bogey hilang, yang diraih skor double dan tripple. Sebuah skor yang memalukan bagi pemain pro dengan handycap single. Ibarat golfer, siapa pun yang jadi presiden dan menteri mesti memiliki kompetensi untuk mengarahkan bola agar meraih par. Syukur-syukur birdie. Yang sekarang terjadi kekuatan dan legalitas politik kuat, tetapi jalannya tidak terarah. Ibarat bola sudah in the green, tapi sampai empat kali putting. 

Dalam permainan golf, pemain akan merasa lelah dan kesal akibat kesalahan sendiri. Suasana yang mestinya ceria berubah jadi keluh kesah dan bahkan banyak yang mengumpat menyalahkan caddy. Sudah 17 tahun reformasi, rakyat mulai lelah yang bisa berujung pada kemarahan. 

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat  

32

Page 33: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Dialektika Mega-Jokowi

Koran SINDO

1 Mei 2015

Tajuk KORAN SINDO berjudul ”Megawati dan Jokowi ” (13/4/2015) menyajikan banyak hal. Anomali intrik kekuasaan yang ditata serampangan. Presiden yang rikuh dan Megawati yang dominan. Semua dikemas dalam sorotan media penuh interpretasi. Publik pun dibuat curious, menganga dan bertanya-tanya. Ada apa sesungguhnya di antara kedua tokoh politik satu partai ini?

KORAN SINDO memberikan kritik halus yang penting diperhatikan. Jokowi dan Megawati disarankan kembali duduk bersama. Keduanya mesti mendiskusikan platform politik Nawacita yang dulu mereka tawarkan sepanjang kampanye.

Kesenjangan das sein dan das solen selama lima bulan terakhir ini telah menggerogoti wibawa Presiden. Menurunkan rating kredibilitas Presiden Jokowi yang disanjung setinggi langit selama musim kampanye. Lebih fatal lagi, serangkaian blunder kebijakan yang dibuat menjadikannya teralienasi dari konstituennya, termasuk PDIP, pilar politik yang memperjuangkannya.

Megasentris 

Salah satu dari banyak hal yang menarik diulas untuk menjelaskan tafsiran tajuk KORAN SINDO adalah sikap dan pengaruh Megawati. Dari sekilas gesture yang selalu diperlihatkan Presiden Jokowi ketika berada di sekitar Mega, Ketua PDIP itu terekspos sangat dominan dan mobis. 

Megawati tidak menggubris Jokowi ketika duduk di sampingnya pada saat Kongres PDIP baru lalu. Bahkan sebagai presiden pun Jokowi tidak diberi kesempatan berpidato. Sesuatu yang selama ini sebenarnya telah menjadi tradisi ketika Presiden RI hadir dalam berbagai perhelatan sebuah parpol. 

Persoalannya, sikap Mega terhadap Jokowi, khususnya atas keputusan-keputusan politik maupun kebijakan pemerintah yang diambil Jokowi, lebih banyak dipertontonkan seperti drama. Ada intrik, agitasi, kompetisi internal, by pass, pengkhianatan, stubbornness, pembusukan, power game, dan lain-lain. 

Dari serangkaian peristiwa politik yang mempertautkan kepentingan maupun kedudukan keduanya, Megawati jarang atau tidak pernah tampil ke depan menjelaskan concern, keberatan, atau pandangan-pandangannya. Kalaupun dilakukan, hal itu selalu melalui orang

33

Page 34: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

ketiga, pengurus partai, orang kepercayaan, atau putrinya sendiri. 

Sebaliknya, Jokowi hanya menyinggungnya ketika ditanya media dengan keterangan minimal. Bahasa yang digunakan Jokowi pun tipikal khas dia: guyon dan bercanda. Hal itu membuat absensi politik Megawati—sikapnya yang diam dan pasif—sedikit agak terbantu tertutupi oleh gaya politik populis Jokowi yang disukai publik.

Sebenarnya, untuk menyudahi ”unnecessary error” dan ”exhausted drama” antara kedua tokoh politik, termasuk pula dengan figur-figur politik lain, sikap interaktif Megawati terhadap Presiden Jokowi harusnya lebih terbuka dan komunikatif. Pengertian terbuka tidak harus diartikan selalu dilakukan di hadapan publik atau media. Tetapi arahnya lebih terbuka kepada Presiden dan tidak mendiamkannya ketika terjadi miskomunikasi ataupun keputusan yang tidak dapat mereka terima.

Bagaimana pun, Presiden Jokowi tidak dapat ”dipaksa” untuk bersikap akomodatif atau outreach terhadap seluruh kepentingan partai politik. Karena semua itu sudah memiliki saluran tersendiri di parlemen dan KIH sebagai ruling coalition. Lagi pula, sebagai presiden, Jokowi tidak lagi menjadi representasi kekuasaan PDIP, melainkan telah menjadi milik dan aset seluruh rakyat Indonesia.

Kecenderungan megasentris yang membayangi pemerintahan Jokowi mesti dikikis. Jika pun tidak dapat dikurangi, Mega mesti meletakkan kontrolnya terhadap kekuasaan Jokowi tetap sebagai parpol biasa. Sama dengan parpol lain, baik di KIH ataupun KMP. Bukan sebagai perwujudan refleksi relasi ketua partai dan petugas partai. Bila ini terjadi, Mega hanya membuat double jeopardy bagi dirinya, maupun terhadap popularitas dan kredibilitas Presiden. 

Trust Deficit 

Heboh munculnya istilah ”the messenger”, ”menusuk dari belakang”, ”sembelih” dan “petugas partai” terus menambah kekisruhan dialektika kekuasaan Megawati dan Jokowi. Hal yang paling dikhawatirkan adalah jika kekisruhan itu justru bukan akibat buruknya komunikasi politik keduanya.

Publik pun sebenarnya mesti fair terhadap Mega atau Jokowi. Kita juga harus memberikan benefit of the doubt. Bisa jadi hubungan dingin tercipta di luar kontrol mereka. Tetapi dikarenakan power play yang sengaja dimainkan atau setting yang diciptakan oleh spin doctor di sekitar Megawati ataupun Jokowi. Ucapan Presiden soal ”the messenger” menyiratkan hal tersebut. 

Dipastikan bahwa kekisruhan berlarut-larut seperti ini hanya mengebiri efektivitas Presiden dalam menjalankan agenda-agenda yang dipercayakan rakyat kepadanya. Jokowi memerlukan ruang manuver yang tenang untuk mewujudkan janji-janjinya. Megawati harus memberikan ketenangan atmosfer yang dibutuhkan, termasuk menghindari uneasiness yang

34

Page 35: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

timbul akibat kompleksitas hubungan tersebut. 

Dominasi penguatan kontrol PDIP terhadap aktivitas Presiden tidak boleh lagi dilakukan secara careless dan provokatif. Sebagai seorang figur politik baru di tingkat nasional, turbulensi kekuasaan hanya akan membuat kenaifan atau karut-marut pemerintahan Jokowi menjadi lebih terekspos. 

Sebaliknya, dukungan dan confidence kita terhadap Jokowi jangan terus digerus oleh blunder kebijakan yang dibuat oleh para pembantunya ataupun Presiden sendiri. Hal itu hanya akan melanggengkan ”trust deficit” yang akan sangat memengaruhi sikap bersama publik vis-a-vis Jokowi, baik bagi yang berafiliasi maupun oposisi.

Penting bagi Jokowi untuk bersikap prudent, hati-hati, dan cautious dalam menjalankan kekuasaannya. Semakin noisy urusan di sekitar Jokowi, semakin tinggi probabilitas terjadinya gaffe politik yang berimplikasi pada kepercayaan publik.

Cara mengelola hubungan yang rumit dengan Mega ataupun para pentolan koalisi KIH, termasuk KMP, adalah test case terhadap masa depan dan kesinambungan kekuasaan Jokowi. Manajemennya bukan lagi bertumpu pada trial and error. Kekuasaan yang diraih sejak awal sudah sarat pertarungan. Maka kelanggengannya sangat tergantung pada konsistensi righteous path yang ditempuh Jokowi dan koalisi politiknya. Kepercayaan publik sebagai fondasi paling utama dari koalisi itu menjadi satu-satunya legitimasi yang dapat menyelamatkan keterpurukan tersebut. Kapitalisasinya tidak dapat digantikan oleh manuver politik apa pun, termasuk pencitraan yang sudah telanjur dipahami publik sebagai klise.

Baik Jokowi maupun Megawati, tidak ada yang lebih penting daripada menyelamatkan reputasi mereka berdua. Reputasi itu juga akan sangat menentukan masa depan PDIP sebagai partai wong cilik dalam ajang pemilu mendatang. Nilai plus-minus kepemimpinan mereka tidak akan mudah dilupakan konstituen. Hanya dengan cara itu publik akan belajar dalam memilih rasionalitas politik terbaik yang dapat mewakili, memperjuangkan, dan menjaga kepentingan mereka sebagai pemegang kedaulatan negeri ini. 

MUHAMMAD TAKDIR Policy Scenario Analyst di Swiss 

35

Page 36: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Ide Absurd Lokalisasi & Sertifikasi PSK

Koran SINDO

2 Mei 2015

Kematian tragis pekerja seks komersial (PSK) Deudeuh Alfisahrin (alias Tata Chubby) di rumah kosnya di Tebet (Jakarta) semakin membuka praktik-praktik haram prostitusi di Ibu Kota. Menyusul terbongkarnya kasus ini, sejumlah PSK yang beroperasi di rumah-rumah kos dan di Apartemen Kalibata City dirazia dan ditangkap oleh Satpol PP.

Menyaksikan bisnis esek-esek yang semakin menjamur ini, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (akrab disapa Ahok) mencetuskan ide untuk melokalisasi prostitusi dan melakukan sertifikasi para PSK di DKI Jakarta. Di lokasi prostitusi itu nanti, kata Gubernur lebih lanjut, akan dipasang peringatan: ”Orang yang merasa suci tidak boleh masuk.” Ide ini, kata Gubernur, untuk memusatkan tempat praktik pelacuran di satu lokasi (dan para pelacur itu nanti akan diberi sertifikat) agar mudah dikontrol sehingga prostitusi tidak terjadi di mana-mana.

Ide Ahok menuai reaksi keras dari kalangan agamawan dan kaum moralis. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak keras ide Pak Gubernur. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyuarakan pandangan yang sama. Tak ketinggalan Mensos Khofifah Indar Parawansa tidak setuju dengan ide kontroversial Ahok. Mensos berargumen, tak ada jaminan prostitusi tidak akan terjadi di mana-mana jika seandainya praktik mesum itu dilokalisasi. 

Lokalisasi prostitusi bukan solusi untuk meredam praktik tunasusila itu. Demikian inti penolakan kalangan agamawan dan kaum moralis terhadap gagasan nyleneh Ahok yang hendak melokalisasi prostitusi dan melakukan sertifikasi PSK di DKI Jakarta. 

Saya menilai ide Gubernur DKI yang hendak melokalisasi pelacuran dan memberi sertifikat kepada para pelacur adalah ide yang absurd. Pertama, pelacuran (dan perbuatan amoral atau asusila lainnya) tidak mengenal istilah “dilokalisasi” atau “tidak dilokalisasi”. Di mana saja ada (potensi) praktik pelacuran (dan perbuatan amoral dan asusila lainnya), semua elemen masyarakat bermoral dan aparat keamanan harus bekerja sama mencegah, meminimalisasi, dan memberantasnya. 

Jika logika absurd Ahok itu diikuti, perzinaan, kumpul kebo (living together), aborsi, pornografi, free sex, korupsi (dan perbuatan tidak bermoral lainnya), perlu juga dilokalisasi agar tidak menyebar ke mana-mana dan tidak terjadi di mana-mana. Ide Ahok adalah jelas ide sekuler dan sekularisme sudah sepantasnya tidak boleh berkembang dan tidak boleh dikembangkan di Bumi Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. 

36

Page 37: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Kedua, melokalisasi prostitusi berarti melegalisasi perbuatan amoral dan asusila di lokasi itu. Laki-laki yang mau berbuat mesum dan bersetubuh dengan perempuan (PSK) di lokasi itu adalah sah dan legal. Ini sama artinya dengan memberi kebebasan dan menyediakan fasilitas bagi prostitute dan bagi kaum laki-laki pelanggannya. 

Ini sama artinya dengan apa yang disebut dalam kitab suci ”taa’wanu alal itsmi” (bekerja sama dalam perbuatan dosa). Praktik-praktik prostitusi di lokasi itu akan menjadi dosa massal, dosa turunan, dosa struktural, dan dosa institusional. Pejabat dan jajarannya yang memfasilitasi dan melakukan lokalisasi prostitusi paling bertanggung jawab kepada Tuhan di akhirat kelak. 

Ketiga, prostitusi menyebar ke mana-mana di DKI Jakarta bukan karena penutupan lokalisasinya oleh Sutiyoso (gubernur saat itu). Bisnis esek-esek menyebar karena jumlah PSK bertambah banyak dan mereka sudah mahir menggunakan jejaring sosial dan lebih mudah menjajakan diri mereka secara on line. Yang penting adalah pencegahan dini dan pengawasan yang ketat, koordinatif, dan terukur.

Keempat, jikapun di lokasi prostitusi itu dipasang imbauan dan peringatan ”Orang yang merasa suci tidak boleh masuk,” cara seperti itu tidak menjamin berdampak efektif bagi (calon) PSK maupun bagi (calon) pelanggannya yang datang ke lokasi prostitusi itu. Alfisahrin, misalnya, dalam membela diri sebagai PSK, ia mencibir: ”Nerakaku bukan urusanmu. Apalagi surga belum tentu jadi tempatmu.” Cibiran ini dapat dipandang mewakili pembelaan para PSK pada umumnya.

Sedangkan laki-laki yang (mau) datang ke lokasi prostitusi itu sudah tahu dan memahami ajaran kitab suci bahwa perbuatan asusila adalah perbuatan tercela dan terlarang. Bagi orang yang mematuhi ajaran agama (meminjam kata-kata Ahok ”orang suci atau merasa suci”) tidak punya urusan dengan pelacuran karena perbuatan mesum seperti itu memang dilarang didekati. 

Kelima, ide sertifikasi PSK di lokalisasi prostitusi itu juga merupakan ide yang absurd. Sertifikat tersebut, kalau ide ini jadi dilaksanakan, akan ditandatangani oleh Gubernur DKI atau pejabat bawahannya yang diberi kewenangan untuk itu.

Saya yakin para prostitute tidak akan mau didata dan diberi sertifikat sebagai PSK. Sertifikat biasanya diberikan kepada orang-orang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang usaha, bisnis, keilmuan, olahraga, kesenian, pertanian, perdagangan, tata pemerintahan, atau bidang-bidang lain yang bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa. Misalnya sertifikasi guru, sertifikasi dosen, sertifikasi peneliti, sertifikasi hakim, atau sertifikasi profesi-profesi lainnya sebagai penghargaan. Bisa juga sertifikat itu diberikan kepada orang yang telah lulus kursus (ujian) atau mengikuti program pelatihan. Pemberian sertifikat itu dimaksudkan untuk mendorong penerimanya untuk lebih terpacu berdedikasi dan berprestasi di bidangnya masing-masing dan memberikan inspirasi dan motivasi kepada orang lain untuk

37

Page 38: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

mencontohnya. Para penerima sertifikat itu sangat senang dan bangga menerima sertifikat itu karena dedikasi dan prestasi mereka merasa diperhatikan dan dihargai.

Sertifikat bagi PSK? Itu ide absurd. 

FAISAL ISMAIL Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

38

Page 39: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Guru Honorer, Siapa Peduli?

Koran SINDO

2 Mei 2015

Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap 2 Mei. Pada kesempatan ini, ada baiknya mengulas tentang nasib guru honorer. 

Mengapa? Tidak ada yang membantah bahwa guru merupakan kunci utama mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang mengabaikan guru akan selamanya menjadi negara yang terbelakang. Bangsa yang maju memiliki guru yang profesional dan sejahtera. 

Dalam beberapa kesempatan, di depan ribuan guru, Mendikbud Anies Baswedan kerap berjanji akan memperbaiki kualitas guru. Perbaikan kualitas guru bisa melalui pelatihan, beasiswa studi, atau pemberian gaji yang layak. Namun, janji tinggallah janji. Hingga saat ini, kehidupan guru honorer masih memilukan. Penantian panjangnya tak kunjung berakhir, dari pengangkatan sebagai guru PNS hingga pemberian gaji sesuai upah minimum kabupaten, kota, provinsi, atau regional. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun belum ada titik terang. 

Harapan guru pada Anies sebagai pemecah masalah tersebut sangat besar karena ia dianggap (sangat) memahami persoalan guru. Sebelum menjadi menteri, ia dikenal dengan program Indonesia Mengajar. Faktanya, dalam hal UN dan K-13, Anies berani mengambil kebijakan yang berarti; tapi ketika menghadapi nasib guru honorer, ia terkesan tak berdaya. 

Memelihara Harapan 

Pertanyaannya, mengapa guru honorer bertahan pada profesinya, padahal gaji sangat kecil? Setidaknya ada empat jawaban tentang ini. Pertama, guru sangat berharap menjadi PNS. Menjadi PNS merupakan dambaan mayoritas masyarakat karena dianggap menjanjikan kesejahteraan dan jaminan hari tua. Karena itu, apa pun akan dilakukan untuk bisa menjadi PNS, bahkan ketika harus menyuap sekalipun. 

Menjadi guru honorer merupakan satu cara untuk menjadi PNS dengan pertimbangan telah mengabdi (loyal) sampai waktu tertentu. Namun, meski sudah mengabdi 20 tahun sekalipun, belum ada jaminan guru bisa diangkat menjadi PNS. Sebaliknya, banyak guru yang pengabdiannya baru seumur jagung diangkat PNS. 

Hal ini yang menimbulkan setidaknya dua kesan: kolusi dan nepotisme pada lapis pertama, dan ketidakadilan pejabat berwenang pada lapis kedua. Akibatnya, guru berulang kali merasa kecewa terhadap sistem perekrutan guru PNS khususnya, dan kepada pemerintah umumnya. 

39

Page 40: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Meski mengalami kekecewaan berat, guru tidak lantas beralih ke profesi lain setidaknya karena tiga alasan: masih berharap suatu saat giliran dirinya yang ”lolos” sebagai PNS, tidak punya keterampilan lain selain mengajar, dan terakhir sulit mencari pekerjaan.

Ketika pemerintah abai terhadap nasib guru yang sudah mengabdi hingga puluhan tahun, mengharapkan guru berkinerja baik merupakan suatu hal yang berlebihan—untuk tidak mengatakan mustahil. Perubahan Kurikulum KTSP (2006) ke Kurikulum 2013 yang menuntut guru melaksanakan pembelajaran yang aktif dan penilaian otentik misalnya, sangat besar kemungkinan gagal, karena guru masih sibuk dengan kebutuhan dasarnya alias belum sejahtera.

Kedua, guru mengajar lebih dari satu sekolah. Untuk menutupi kebutuhan pokoknya, guru ”terpaksa” mengajar di dua bahkan tiga sekolah. Hasil mengajar di tiga sekolah lumayan untuk menyambung hidup. Pada masa lalu, hal ini berjalan baik. Setelah kebijakan sertifikasi guru yang mewajibkan guru harus mengajar minimal 24 jam pelajaran selama satu minggu, guru honorer yang belum tersertifikasi ”berebut” jam pelajaran dengan guru yang bersertifikat.Kelas atau ”lahan” yang selama ini menjadi sumber pendapatan guru honorer diambil guru bersertifikat. Sekolah tidak berdaya karena memang aturannya demikian. Sekolah secara perlahan dengan cara halus maupun ”kasar” mulai memarjinalkan guru honorer, sekalipun sudah mengabdi belasan tahun. Ekonomi guru honorer pun semakin sulit. Apalagi, Anies mengeluarkan kebijakan yang kontroversial: ”Dana BOS tidak bisa lagi dibayarkan untuk honor guru honorer.”

Ketika guru mengajar di dua atau lebih sekolah, apalagi jarak antara kedua sekolah cukup jauh, maka akan memengaruhi kualitas proses pembelajaran. Guru mengajar dengan tenaga sisa karena kelelahan. Dalam keadaan capai, tidak menutup kemungkinan, keadaan sepele semisal siswa kurang perhatian kepada pembelajaran yang sedang berlangsung, guru meresponsnya dengan cara emosional tinimbang rasional atau mendidik.

Ketiga, guru memiliki pekerjaan lain selain mengajar. Pekerjaan lain itu bisa jadi karena memang keadaan menuntut guru mencari tambahan penghasilan, atau sebelumnya ia pedagang atau peternak, misalnya. Pada kedua kondisi tersebut, jelas ini tidak baik bagi profesi guru. Ini bisa terjadi, di samping karena gaji guru kecil, juga karena guru belum menjadi profesi pertama dan utama yang diimpikan generasi muda Indonesia. Ketika gaji guru ala kadarnya saja, pekerjaan lain itu yang akan menjadi fokus utamanya.

Padahal, mengajar bukan semata menyampaikan apa yang tertulis di buku pelajaran. Mengajar memerlukan persiapan matang dan kesanggupan guru memecahkan kesulitan-kesulitan siswa, baik melalui mini riset maupun diskusi mendalam dengan para guru serumpun atau lintas ilmu. Hal ini sangat tidak mungkin dilakukan guru yang fokus profesinya tidak hanya pada pendidikan.

Bukan karena hal ini mustahil atau kurang kepedulian guru bersangkutan, melainkan itu semua membutuhkan waktu dan pikiran yang jernih. Tanpa nyambi di luar sekolah pun, guru

40

Page 41: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

ideal sudah disibukkan oleh hal-hal administratif yang menggunung, apalagi ia punya side job lain yang dianggapnya lebih penting karena lebih menjanjikan kesejahteraan. Guru hanya menjadi pekerjaan sampingan. 

Keempat, mengajar sebagai panggilan jiwa. Tentu tidak sedikit guru honorer yang mengajar tanpa pamrih. Mengajar semata dengan tujuan mencerdaskan generasi bangsa, tanpa terpengaruh oleh besar-kecilnya imbalan. Karena itu, guru semacam ini tak terlalu cemas dengan status guru honorer abadi atau pendapatan yang kecil. Bisa jadi, ia juga tak menggebu harus menjadi PNS.

Guru tipe ini yang bersedia mengajar belasan hingga puluhan tahun bahkan hingga sampai akhir hayatnya. Godaan alih profesi yang lebih menjanjikan ditepisnya demi setia mengajar anak-anak membaca, menulis, dan berhitung. Meski sadar menjadi guru harus rela hidup sulit atau hidup sederhana, ia sanggup melewatinya karena hati sudah yakin: ”Hidup dan matiku untuk pendidikan, agar anak-anak kelak berhasil sehingga hidupnya lebih baik dari diriku.” 

Kemauan Baik 

Menghadapi persoalan di atas, peran pemerintah dua hal. Pertama, memperbaiki sistem perekrutan guru honorer menjadi guru PNS. Jika ada kemauan baik dari pemerintah, tak sulit memberantas mafia (jika ada) atau oknum yang memperjualbelikan formasi PNS kepada para guru. Perbaikan data jumlah guru juga perlu dilakukan, agar tidak ada data berbeda antara pemerintah dengan pihak di luar pemerintah.

Kedua, tingkatkan pendapatan guru honorer. Ketika guru lain bicara cara pengembangan guru, guru honorer masih berkutat dengan persoalan gaji kecil yang sangat jauh dari kategori layak atau sejahtera. Jangankan biaya untuk pengembangan diri, untuk kebutuhan sehari-hari saja guru honorer harus pinjam uang; gali lubang tutup lubang.

Gaji kecil guru tidak bisa dibiarkan terus berlanjut karena gaji memengaruhi kinerja guru. Kinerja guru yang buruk akan memengaruhi standar kompetensi siswa. Generasi yang kompetensinya rendah akan menjadi beban bangsa di masa depan. Lalu, siapa peduli guru honorer? 

JEJEN MUSFAH  Dosen Analisis Kebijakan Pendidikan UIN Jakarta

41

Page 42: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Marsinah dan Teologi Pembebasan Buruh

Koran SINDO

2 Mei 2015

Menjelang perayaan May Day tahun ini, berbagai elemen buruh mengusulkan gelar pahlawan nasional bagi Marsinah. Elemen buruh dan mahasiswa di Surabaya yang mengenakan kaus merah bergambar Marsinah juga berunjuk rasa mengelilingi jalan-jalan protokol Surabaya, menyuarakan pahlawan dari unsur buruh, Kamis (30/4).

Tentang Marsinah sendiri, pasti banyak yang lupa. Padahal dalam dasawarsa 1990-an, tiada kasus yang sedemikian menyedot perhatian luar biasa kecuali kasus Marsinah. Sekadar menyegarkan ingatan, Marsinah adalah buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo. Ia menggalang demo menuntut kenaikan upah. Marsinah menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Demi tuntutan itu, pada 4 Mei 1993, para buruh PT CPS mogok total. 

Sampai dengan 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam unjuk rasa dan negosiasi. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 perwakilan karyawan yang bernegosiasi dengan pihak perusahaan.

Pada 5 Mei 1993 siang, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Kodim Sidoarjo. Mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh menggelar rapat gelap dan mengganggu stabilitas negara. Marsinah sempat mendatangi Kodim guna menanyakan keberadaan teman-temannya. Anehnya, sekitar pukul 10 malam pada 5 Mei, Marsinah lenyap. Konon ia diculik. Lalu tubuhnya ditemukan penuh bekas siksaan pada 8 Mei 1993. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk. 

Berbagai skenario dibuat, termasuk menuduh bos PT CPS sebagai pembunuh Marsinah sebagaimana diungkapkan Trimoelja D Soerjadi. Menurut pengacara senior asal Surabaya itu, kasus Marsinah sulit diungkap karena melibatkan militer. Maka sebagaimana kasus pembunuhan Munir masih tertutup kabut misteri, demikian juga kasus Marsinah. Bandingkan dengan betapa cepatnya tuduhan dalam kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Hingga kini kasus Marsinah masih terdaftar di ILO sebagai kasus bernomor 1773.

Marsinah pantas diberi gelar pahlawan, terlebih karena keberaniannya berunjuk rasa memperjuangkan kenaikan upah di era ketika rezim Soeharto melarang segala bentuk unjuk rasa. Setiap bentuk unjuk rasa dianggap melawan rezim. Dan tentu bagi kaum buruh, posisi Marsinah tetaplah istimewa karena dia menjadi simbol dari keberanian di tengah penindasan.

42

Page 43: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

***

Semangat Marsinah jelas masih relevan ketika buruh di zaman ini, setelah 16 tahun reformasi, tak kunjung membaik. Masih banyak soal yang menyandera dan membelenggu mereka sehingga kaum buruh tidak bahagia, mulai dari upah yang masih di bawah standar UMK karena banyaknya pengusaha yang meminta penundaan hingga kondisi kerja yang membahayakan.

Naiknya kapitalisme setelah ambruknya komunisme di Uni Soviet mendorong kaum kapitalis atau pemilik modal berinvestasi dan berjaya di seluruh dunia, termasuk di negeri kita. Bagi mereka, uang jauh lebih penting daripada martabat orang.

Dalam situasi seperti ini, selain butuh semangat keberanian seperti dimiliki Marsinah, kaum buruh juga perlu menimba inspirasi dari Gustavo Gutierrez, OP. Pastor Dominikan kelahiran Peru 8 Juni 1928 ini dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan teologi pembebasan. Menurut Gutierrez, ”pembebasan” sejati mempunyai tiga dimensi utama. Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan.

Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marginal. Mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari ”segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat”. Ketiga, teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan orang lain. Teologi pembebasan selalu memperjuangkan nasib kaum miskin atau tertindas yang berada di dalam struktur tidak adil karena ketidakadilan yang terstruktur menyebabkan buruh lemah, selalu dieksploitasi, dan menjadi korban (A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation, tr. and rev. Maryknoll: Orbis, 1998, hlm 63f.). 

Gutierrez bersuara lantang terhadap kaum miskin yang tertindas di Amerika Latin. Kini, buruh memerlukan teologi pembebasan karena mayoritas masih berada dalam belenggu ketertindasan. Mereka masih jauh dari merdeka: dari kemiskinan dan ketidakadilan. Tapi bagaimana membebaskan kaum buruh? Apakah lewat jalan kekerasan saja seperti demo-demo para buruh yang anarkistis?

Teologi pembebasan yang digagas Gustavo Gutierrez sering disalah-mengerti sebagai pemberi inspirasi untuk melegitimasi kekerasan. Apalagi pada awal sejarahnya ditengarai ada pengaruh marxisme pada teologi ini. Soal pengaruh Marx ini memang diakui ada, tetapi ajaran Marx hanya dimanfaatkan dalam menganalisis susunan dualistis, bangunan atas bangunan bawah: pemodal dan buruh. Gutierrez menegaskan keberpihakan teologi pembebasan pada kaum tertindas harus tetap menolak segala inisiatif yang termanifestasi dalam kekerasan, sebab kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan yang lain. 

Pembebasan dalam teologi adalah lewat proses penyadaran. Maka itu, unjuk rasa yang

43

Page 44: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

dilakukan ratusan ribu buruh di Tanah Air dalam rangka Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2015 tidak boleh jatuh dalam tindak kekerasan. Setiap kekerasan hanya akan menjebak buruh di dalam lingkaran kekerasan baru yang lebih rumit. Akibatnya, tujuan utama untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh justru terlupakan.

Pada May Day tahun ini buruh memiliki 10 tuntutan secara nasional yang tampaknya sesuai dengan apa yang diperjuangkan Marsinah dan teologi pembebasan. Sepuluh tuntutan yang diusung buruh jelas akan lebih mudah diakomodasi bila terjalin relasi yang lebih manusiawi dan saling menghargai antara buruh dan pengusaha. Bukan relasi yang hendak saling meniadakan seperti ketika rezim Orba meniadakan Marsinah. 

Selain itu, di balik sistem kapitalis yang dianggap ”jahat” sekalipun, sebenarnya masih muncul pengusaha yang memiliki hati dan menganggap buruh sebagai mitra serta aset berharga. 

TOM SAPTAATMAJA Teolog

44

Page 45: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Buburuh di Hari Buruh

Koran SINDO

4 Mei 2015

Buruh dalam pemahaman orang Sunda dapat dimaknai sebagai upah atau bayaran. Kata itu sering terdengar ketika menyuruh anak-anak untuk melakukan sesuatu, sering terungkap kalimat, ”sok, engké diburuhan” (silakan, nanti diberi upah). 

Kata “buruhan” (diupah) lebih mencerminkan ihwal yang bersifat sekadarnya atau seadanya, tidak memiliki standardisasi berapa nilai yang harus diberikan. Hubungan yang memberi buruh/upah dengan yang diburuhan lebih bersifat hubungan emosional, yang bersifat sukarela dan didasarkan pada faktor kedekatan.

Upah yang diberikan bersifat sangat subjektif, bergantung kualifikasi personal si pemberi upah. Kalau pemberi upahnya memiliki sifat yang murah hati, seringkali upahnya sangat tinggi dan yang diupahnya pun tidak diberi beban yang begitu berat. Sebaliknya, apabila sang pemberi upah punya penyakit pelit, memberi upahnya pun biasanya kecil dan pekerjaannya kadang-kadang melebihi kapasitas yang diberi upah.

Proses hubungan timbal balik yang bersifat subjektif tersebut berlangsung dalam dunia buburuh di perdesaan sampai saat ini. Seorang buruh tani memiliki jam kerja selama sabedug (waktu pagi hingga zuhur). Buruh tani memulai pekerjaan dengan sarapan pagi satu gelas kopi dan makanan pengganjal perut seperti goreng pisang, goreng singkong, atau goreng ubi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan kalori bagi seorang buruh tani. Itu pun kalau yang punya sawahnya baik. Kalau pelit, ya kelasnya di bawah itu. 

Pada pukul 10.00 WIB mereka dianteuran (diantarkan makanan) untuk mendapatkan makan yang berisi nasi, ikan, sambal, dan lalap ala makan perdesaan. Mereka makan di saung (gubuk kecil di sawah) setelah badannya bercucuran keringat. Ketika makan, mereka makan sambil ngobrol dengan pemilik sawah diiringi oleh semilir angin dan gemericik air laksana musik abadi. Burung-burung berkicau, bersembunyi di balik rimbunnya daun seakan ingin memberikan ketegasan bahwa akulah vokalis sejati.

Gelak tawa seringkali membelah suasana, di tengah-tengah senda gurau penganan apa adanya. Biasanya mereka bercerita tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kampungnya, dari mulai cerita tentang tetangga sampai politik kekuasaan ala perdesaan. Dengan penutup kalimat yang sering terucap, ”urang mah kumaha nu dibendo wé” (terserah penguasa), betapapun mereka kecewa terhadap keadaan politik dan kekuasaan, pada akhirnya mereka pasrah pada yang dibendo, diiket, diblankon, dipeci (penguasa). Tak ada sedikit pun watak pemberontakan dalam pikiran kaum tani perdesaan. 

45

Page 46: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Pada waktu tengah hari sekitar pukul 12.00, yang ditandai dengan beduk zuhur, mereka menghentikan seluruh kegiatan buburuh-nya (kuli). Mereka kembali ke rumahnya setelah sebelumnya mandi di pancuran atau di sungai, membersihkan seluruh tubuhnya yang berbalut tanah.

Siang hari berbagai aktivitas mereka lakukan setelah selesai melaksanakan salat zuhur. Ada yang pergi ke kebun, ada yang menyabit rumput untuk ternak peliharaannya, ada yang pergi mencari ikan ke sungai. Sore hari, pemilik sawah atau ladang mengantar makanan ke rumahnya sebagai ungkapan terima kasih atas seluruh energi yang telah dicurahkan oleh para kuli macul (kuli cangkul) dari pagi sampai siang.

*** 

Apabila kita mencermati hal tersebut, betapa hubungan antara pemberi pekerjaan dan pekerjanya terbangun secara harmonis, dari mulai pemberian makan sebanyak dua kali plus satu kali ngopi, komunikasi yang berjalan secara harmonis sampai waktu bekerja yang hanya enam jam dipotong satu kali istirahat, kurang lebih setengah jam.

Realitas tersebut mengalahkan sistem perburuhan yang berjalan hari ini, di mana jumlah jam kerja sebanyak delapan jam dikurangi satu jam istirahat, plus jatah makan yang hanya sekali dalam sehari. Itu pun banyak perusahaan yang tidak menyiapkan makan atau perusahaan mengurangi asupan gizi yang harus diberikan kepada para karyawannya. 

Spirit buruh dan majikan dalam sistem perburuhan modern menjadi spirit yang berhadapan antara kaum kapitalis dan kaum proletar. Kaum kapitalis melakukan penguatan relasi dengan kekuasaan untuk memperkuat basis tawarnya sebagai lembaga kapital yang terorganisasi. Sedangkan kaum proletar (buruh) melakukan konsolidasi yang bersifat gerakan massa untuk melakukan penekanan agar seluruh keringat bahkan darahnya dapat dihitung secara manusiawi untuk mendapatkan hak-hak kesejahteraan.

Peristiwa Hari Buruh atau yang lebih dikenal dengan May Day seringkali menjadi kenduri yang menegangkan. Suasana terbangun mencekam, seolah terjadi gelombang manusia yang ingin memperlihatkan kekuatannya kepada dunia. 

Ma Icih tersenyum ketika mendengar komentar seorang tokoh buruh yang berapi-api menyuarakan seluruh tuntutan yang menjadi aspirasi perjuangannya. Dengan senyum dikulum Ma Icih berkata, ”Asa ku teu ngarti aing mah (saya agak kurang mengerti). Katanya tokoh buruh mewakili orang susah, tapi rambutnya klimis, mukanya bersih, kelihatan orang yang suka ke salon, badannya kelihatan subur, penuh gizi dan vitalitas. Katanya akan menyampaikan tuntutan buruhnya agar didengar oleh Presiden, tapi di lain waktu dia bercerita sering ketemu Presiden. Kata Ema yang bodoh, kalau memang sering ketemu dan sering ngobrol sama Presiden, kenapa harus ngerahin orang segala?”

46

Page 47: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Mang Udin menimpali sambil menggosok-gosokkan batu ali kesayangannya, ”Bener Icih, kadang-kadang Aki juga suka tidak ngerti sama kelakuan tokoh-tokoh palinter (pandai). Membahas masalah kemiskinan, rapatnya di hotel berbintang. Membahas swasembada pangan, rapatnya di gedung perkantoran. Malahan hari kemarin, Aki harus rapat di Bandung dengan para penyuluh, Aki dinasehatin bagaimana cara bertani yang bagus oleh orang pintar. Nasihatnya pakai laptop, melihatnya di layar, seperti nonton film aja. Dilihat oleh Aki, tangannya mulus, kakinya bersih, mukanya putih, berbicara penuh dengan semangat, dasi meni panjang ngagebay (panjang menjurai).”

Si Ikin, tetangga Mang Udin, yang kebetulan datang sambil bersiul, ikut berbicara sambil ketawa-ketiwi, ”Betul sekali Aki, Nini, apa yang diomongkan. Dipikir-pikir, buruh yang terorganisasi banyak yang membela dan memperjuangkannya, tapi kuli cuci pakaian, kuli masak, kuli ngasuh anak, buruh tani, siapa yang memperjuangkannya? Kalau sakit, siapa yang mengobati? Kalau terkena golok, siapa yang ngurus? Nanti kalau sudah tua tidak bisa jadi buruh, siapa yang ngasih upah?

“Ah, dalam hal ini saya dan kerabat tukang kuli, tapi bukan, tidak ada harinya. Katanya Hari Buruh, tapi tetap saja kuli nyangkul, istri saya harus kuli nyuci pakaian sebab kalau tidak kuli, tidak akan punya upah. Tidak ada yang menjamin, yang menjanjikan menjaminnya hanya datang lima tahun sekali, hanya diupah kaos tipis. Dari mulai pemilihan sampai sekarang, tidak pernah nongol, lantaran selalu ribut saja di Jakarta. Enggak tahu memperebutkan apa.”

DEDI MULYADIBupati Purwakarta

47

Page 48: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Keberhasilan Pembangunan melalui Gerbang Desa

Koran SINDO

6 Mei 2015

  

Pembangunan di Kabupaten Tasikmalaya saat ini memberikan porsi lebih besar pada bidang pertanian dan pemberdayaan masyarakat di perdesaan. Ini agar masyarakat memiliki penghasilan untuk meningkatkan kehidupan perekonomian. Pembangunan itu disebar merata ke semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemkab Tasikmalaya seperti pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, gedung sekolah, dan fasilitas lain untuk menunjang aktivitas dan kreativitas masyarakat. 

Selama periode 2011/2016 Kabupaten Tasikmalaya memiliki program Gerbang Desa yakni pembangunan yang berasal dari desa demi kemajuan masyarakat di sana. Data menyebutkan lebih dari 20% rakyat miskin dan pengangguran di kabupaten ini berada di desa yang jarang tersentuh program pembangunan dan pemberdayaan. Bagi saya, omong kosong jika seorang pemimpin berbicara pembangunan daerah tidak dimulai dari desa yang jadi ujung tombak pembangunan. 

Karena itu, konsep pembangunan yang saya bawa dimulai dari desa, pedagang kecil, petani dan buruh tani, serta nelayan. Tujuannya agar mereka tidak perlu lagi mengikuti arus urbanisasi jika semua telah tersedia di desa.

Dua kebijakan yang saya lakukan saat mengawali memimpin pemerintahan adalah penataan birokrasi sesuai keahlian dan kemampuannya. Ditambah dengan penataan jalan desa dan memberikan perhatian terhadap pedagang kecil demi meningkatkan kesejahteraan hidup. Kemudian melakukan perubahan sistem karena tidak jarang anggaran di dinas yang tidak terserap. Saya pun membuat miniatur Pemkab Tasikmalaya di kecamatan demi memudahkan pelayanan masyarakat.

Pada awal pemerintahan saya pula Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tasikmalaya membahas rancangan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) bersama seluruh dinas dan elemen masyarakat dalam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). RPJMD menghasilkan visi pembangunan Kabupaten Tasikmalaya yang religius/islami, maju, dan sejahtera pada 2025. RPJMD itu membuahkan empat misi yakni mewujudkan masyarakat berkualitas, beriman, dan mandiri. Kemudian mewujudkan perekonomian tangguh berbasis keunggulan agribisnis, mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), dan mewujudkan infrastruktur lebih merata dengan memperhatikan aspek lingkungan asri dan lestari.

48

Page 49: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

RPJMD kali ini juga sejalan dengan konsep pembangunan yang mengedepankan pembangunan dari desa. Semua dinas mengedepankan berbagai program yang memberikan manfaat kepada pembangunan masyarakat desa, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga pemberdayaan masyarakat. Itu agar potensi di masing-masing desa bisa berkembang lebih baik demi kesejahteraan masyarakatnya.

Data menyebutkan, 80% warga Kabupaten Tasikmalaya bermata pencaharian petani dan buruh tani karena luas wilayahnya didominasi lahan sawah dan perkebunan. Maka itu, tidak salah lagi jika RPJMD untuk pembangunan lima tahun mendatang fokus pada upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tani. Langkah yang akan diambil adalah menginventarisasi sejumlah lahan tidur di desa untuk dioptimalkan. Baik sebagai lahan perkebunan, persawahan, ataupun untuk kepentingan peternakan demi kesejahteraan masyarakat. 

Selanjutnya, lahan tidur itu akan dijadikan pilot project desa percontohan dengan dibiayai APBD Pemkab Tasikmalaya yang telah disahkan dan memiliki payung hukum. Optimalisasinya disesuaikan dengan potensi desa itu sendiri baik untuk pertanian, perkebunan, perikanan, maupun peternakan.

Sedikitnya 43,22% sektor pertanian menjadi penyumbang penyedia lapangan kerja di Kabupaten Tasikmalaya, disusul sektor perdagangan 24,75% dan jasa 11,08%. Kenyataannya, sektor pertanian ini berada di pelosok desa yang sampai saat ini belum dimaksimalkan karena minimnya program pemerintah. Itu juga didukung luas lahan pertanian mulai dari ladang atau tegalan 37.510 hektare (ha), perkebunan 79.905 ha, dan sawah 47.158 ha dari total luas Kabupaten Tasikmalaya yang mencapai 270.818 ha. Belum lagi kawasan tidak produktif atau semak belukar belum tersentuh mencapai 36.039 ha, yang bila dimanfaatkan akan berdampak sangat baik.

Kabupaten Tasikmalaya mampu memproduksi beras organik yang dilirik pasar luar negeri mulai Amerika, Eropa, Timur Tengah, hingga sejumlah negara di Asia Tenggara. Saat ini terdapat tujuh sentra penghasil beras organik yang terus berkembang yakni Kecamatan Sukaresik, Cisayong, Sukaraja, Manonjaya, Cineam, Sukahening, dan Salawu. Namun, minimnya dorongan pemerintah menyebabkan permintaan beras organik dari luar negeri sulit terpenuhi karena terkendala modal dan peralatan.

Memasuki tahun keempat, konsep Gerbang Desa dinilai membawa keberhasilan, terutama pembangunan yang dimulai dari tingkat desa. Faktanya, pembangunan perekonomian, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur memperlihatkan angka yang naik signifikan. Tercatat, nilai IPM mencapai 13 dan menempati peringkat ketujuh di Jawa Barat.

Pada sektor ekonomi mencapai nilai 5,4, di mana secara nasional menempati 5,7. Alhasil, pada LPPD se-Indonesia, Kabupaten Tasikmalaya menempati peringkat ke-70. Artinya, secara ekonomi, pendidikan, dan kesehatan mengalami peningkatan signifikan. Begitu pun,

49

Page 50: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

bidang infrastruktur secara keseluruhan baik gedung sekolah, pemerintahan, jalan, maupun jembatan mencapai 43%, atau sedikit lebih tinggi dari rata-rata provinsi yang mencapai 40%.

Bukan hanya itu, dari keberpihakan program Gerbang Desa itu, hingga saat ini setiap desa juga diberikan alokasi anggaran sampai Rp225 juta untuk bisa membangun potensi desanya. Meski tidak akan mencukupi, diharapkan itu akan menjadi stimulan bagi seluruh aparat dan masyarakat untuk membangun desanya sendiri demi perkembangan Kabupaten Tasikmalaya ke arah lebih baik sehingga menjadikan ”Tasikmalaya Sukapura Ngadun Ngora Makarya Mawa Raharja”.  

UU RUZHANUL ULUM Bupati Tasikmalaya

50

Page 51: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Investasi untuk Industri Hijau

Koran SINDO7 Mei 2015

Industrialisasi sebagai proses dan pembangunan industri berada pada satu nafas kegiatan yaitu pada hakikatnya berfungsi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat.

Industrialisasi sendiri tidak terlepas dari upaya peningkatan mutu sumber daya manusia dan pemanfaatan sumber daya alam. Semakin berkembangnya industri di berbagai daerah, masalah lingkungan hidup juga menjadi perhatian yang sangat besar dan harus mendapat perhatian yang lebih dari pihak swasta tersebut.

Dewasa ini permasalahan lingkungan hidup akan terus muncul secara serius di berbagai pelosok bumi sepanjang penduduk bumi tidak segera memikirkan dan mengusahakan keselamatan dan keseimbangan lingkungan. Di Indonesia permasalahan lingkungan hidup seolah-olah seperti dibiarkan menggelembung sejalan dengan intensitas pertumbuhan industri walaupun industrialisasi itu sedang menjadi prioritas dalam pembangunan. Tidak sedikit jumlah korban ataupun kerugian yang justru terpaksa ditanggung oleh masyarakat luas tanpa ada kompensasi yang sebanding dari pihak industri.

Di sisi lain, makin maraknya industri besar yang berdiri serta kehidupan masyarakat yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya menambah permasalahan yang ada saat ini. Mulailah tumbuh tumpukan limbah atau sampah yang tidak dibuang sebagaimana mestinya. Ini berakibat pada kehidupan manusia di bumi yang menjadi tidak sehat sehingga menurunkan kualitas kehidupan, terutama pada lingkungan sekitar.

”Siapa yang mau berinvestasi di Indonesia harus hijau (ramah lingkungan),” kata Wakil Presiden Indonesia HM Jusuf Kalla saat memberikan sambutan dalam Tropical Landscape Summit di Jakarta beberapa hari lalu. Tuntutan tersebut sangatlah tidak berlebihan. Seyogianya, perusahaan dan industri wajib menerapkan prinsip-prinsip produksi ramah lingkungan. Mengapa? Isu mengenai lingkungan dan kampanye perusahaan ”hijau” lambat laun menjadi suatu tuntutan paradigma baru yang harus diterapkan pada setiap perusahaan. Kemunduran kelestarian alam akibat limbah industri harus diakhiri. Sebelum alam menjadi marah dan berbalik melumpuhkan kehidupan manusia.

Mewujudkan Komitmen Manila

Harus kita sadari pula bahwa pemanasan global akibat limbah industri bukan sekadar wacana lingkungan. Menurut Forum Kemanusiaan Global (GHF), kematian yang disebabkan oleh pemanasan global di seluruh dunia tidak kurang dari 315.000 orang. Jumlah sebesar itu

51

Page 52: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

berasal dari kelaparan, berbagai penyakit, dan aneka bencana alam. Diprediksi, pada 2030 jumlah kematian langsung dari pemanasan global bisa mencapai 500.000 orang. Maka, tidak heran jika kemudian kesadaran akan pentingnya kehidupan yang lebih ramah lingkungan menggema di mana-mana.

Tuntutan bukan saja terhadap individu, melainkan juga pada perusahaan yang telah begitu banyak memberikan andil besar terhadap perusakan lingkungan. Mengatasi hal tersebut, sekelompok organisasi yang bernaung di PBB dan beberapa Negara Asia hadir dalam International Conference on Green Industry in Asia di Manila Filipina pada 2009 dan menelurkan gagasan ”Declaration on Green Industry in Asia”. Deklarasi Manila tersebut bersifat non-legally binding dan merupakan komitmen bersama negara-negara di Asia dalam upaya penanganan masalah lingkungan hidup melalui efisiensi penggunaan sumber daya dan pengurangan emisi gas karbon utamanya di sektor industri.

Green industry atau industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat. Pertumbuhan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja baru bersumber dari investasi pemerintah dan swasta yang rendah karbon dan polusi, yang efisien dalam pemakaian energi dan sumber daya alam, serta mampu mencegah kerusakan keanekaragaman hayati dan lingkungan. Efisiensi sumber daya dapat dilakukan dengan menerapkan reduce, reuse, recycle, dan recovery (4R) yang merupakan inti dari cleaner production (produksi bersih).

Untuk lebih mengefektifkan aplikasi penerapan produksi bersih, prinsip rethink (konsep pemikiran pada awal operasional kegiatan) dapat ditambahkan sehingga menjadi 5R. Di samping itu, produksi bersih juga melibatkan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang dan energi di seluruh tahapan produksi. Dengan menerapkan konsep produksi bersih, diharapkan sumber daya alam dapat lebih dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Secara singkat, produksi bersih memberikan dua keuntungan, pertama efisiensi dalam proses produksi; dan kedua adalah meminimisasi terbentuknya limbah sehingga dapat melindungi kelestarian lingkungan hidup. Sedangkan rendah karbon dapat dicapai dengan menerapkan CO2 emission reduction yang sejalan dengan clean development mechanism (CDM); efisiensi energi, dan diversifikasi dalam rangka mendapatkan energi terbarukan.

Investasi Hijau

Menindaklanjuti Deklarasi Manila, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian insentif dan kemudahan bisnis untuk investor yang menanamkan modalnya pada industri hijau. Ketentuan mengenai insentif itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-Daerah Tertentu.

52

Page 53: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Kemudahan atau insentif yang akan diberikan pemerintah bersifat fiskal dan non-fiskal. Dari sisi fiskal, pemerintah akan memberikan insentif berupa keringanan pajak seperti tax holiday dan tax allowance untuk lima sampai 10 tahun kepada industri biofuel dan sumber daya alam terbarukan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015, pemberian tax allowance diberikan kepada 143 sektor bisnis.

Bukan hanya itu, pemerintah juga memberikan fasilitas non-fiskal untuk industri hijau yang mencakup pelayanan satu pintu (one stop service) untuk perizinan investasi serta penyederhanaan perizinan. Selanjutnya, industri ramah lingkungan juga akan mendapatkan perpanjangan izin secara otomatis tanpa melakukan verifikasi ulang dan dibebaskan bea masuk untuk impor teknologi yang mewujudkan investasi ramah lingkungan.

Bidang usaha ramah lingkungan atau investasi hijau yang mendapatkan insentif itu meliputi bidang pengusahaan tenaga panas bumi, industri pemurnian dan pengolahan gas alam, industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian, industri lampu tabung gas, pembangkit tenaga listrik, serta pengadaan gas alam dan buatan. Selain itu, juga penampungan penjernihan dan penampungan air bersih, angkutan perkotaan yang ramah lingkungan, kawasan pariwisata, serta pengelolaan dan pembuangan sampah yang tidak berbahaya.

Dengan ada insentif tersebut, pemerintah berharap industri hijau bisa tumbuh hingga 20% per tahun. Dalam lima tahun terakhir investasi di industri hijau mencapai USD41 miliar. Realisasi penanaman modal untuk industri ramah lingkungan ditargetkan mencapai USD100 miliar pada 2019. Agar insentif dari pemerintah semakin efektif dan untuk mempercepat langkah penerapan Standar Industri Hijau, wajib pula ada sinergi program antarlembaga dan kementerian negara. Hal tersebut juga penting agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.

Melihat komitmen pemerintah, sudah saatnya industri mengubah pandangan bahwa investasi bukan lagi semata persoalan keuntungan. Dengan pengolahan limbah yang baik, secara moril perusahaan telah ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan yang dieksploitasinya. Kenyamanan kerja bisa muncul jika kondisi perusahaan juga ramah terhadap lingkungan.

Limbah produksi yang seringkali menjadi pemicu konflik utama antara masyarakat dan perusahaan atau industri lambat laun bisa dikurangi. Dengan rendahnya tingkat limbah industri, bumi bisa menjadi lebih lega bernafas. Manusia yang hidup pada masa kini mampu mewariskan bumi sebagai taman yang indah untuk generasi mendatang. Investasi hijau adalah investasi untuk masa depan. Setujukah Anda?

ALI MASYKUR MUSA Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dan Ketua WGEA (2013-2014)

53

Page 54: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

The Geography of Thought

Koran SINDO8 Mei 2015

Pemikiran seseorang dan masyarakat sangat dipengaruhi faktor geografis dan sejarahnya. Masyarakat yang hidup di wilayah maritim dan pertanian yang subur seperti Nusantara pasti berbeda cara berpikirnya dengan masyarakat Timur Tengah yang hidup di padang pasir tandus. Juga berbeda dari masyarakat kontinental Eropa. Begitu pun sejarah masa lalunya akan memengaruhi karakternya, misalnya antara bangsa penjajah dan bekas jajahannya.

Meskipun sains, teknologi, dan beberapa agama besar merupakan kekuatan dan ideologi yang mengglobal, cara pandang terhadap dunia tetaplah plural. Makanya tidak terlalu salah ketika Huntington menulis buku Clash of Civilizations. Ketika penduduk bumi semakin berlipat jumlahnya, keragaman budaya dan agama kian mengemuka yang pada urutannya potensial memunculkan benturan. Terlebih lagi ketika benturan itu dimotori agenda perebutan sumber daya alam.

***

Judul di atas sesungguhnya merupakan judul buku yang ditulis oleh Richard E Nisbett, The Geography of Thought, How Asians and Westerners Think Differently and Why (2003). Sebagai ilmuwan dalam bidang psikologi sosial, Nisbett melihat perbedaan yang amat mencolok dalam cara berpikir dan berperilaku antara masyarakat Barat dan Timur. Dalam kajiannya, Barat ditekankan pada Eropa yang berakar pada filsafat Yunani, terutama Aristoteles, sedangkan yang dimaksud Timur adalah Cina, Jepang, dan Korea yang berakar kuat pada taoisme, konfusianisme, dan buddhisme.

Mengenai konsep waktu, Barat memandangnya sebagai garis lurus mengarah ke depan, sedangkan bagi Timur, waktu merupakan garis lingkar (circle). Barat lebih fokus untuk melihat dan mempelajari benda sebagai objek yang atomik, berdiri sendiri, untuk dipelajari karakter dan gunanya, lalu dibuat kategorisasi dan abstraksi sehingga mempercepat inovasi dan berkembangnya sains modern. Iptek modern berkembang cepat berkat kemajuan riset secara objektif terhadap objek alam.

Sedemikian besar perhatiannya pada benda-benda, rata-rata anak kecil di Barat lebih banyak mengenal kata benda. Ini kebalikan dari tradisi Timur di mana orang tua lebih banyak menekankan kata kerja pada anak-anaknya ketimbang mengenal benda.

54

Page 55: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Dalam masyarakat Barat apa yang disebut personal agency sangat menonjol sehingga mendorong paham individualisme. Makanya ”aku” ditulis dengan huruf besar ”I”. The Greek sense of agency fueled of tradition of debate, tulis Nisbett. Debat, kompetisi, penghargaan pada kemerdekaan individu serta pluralisme sangat menonjol di Barat. Kata “school” (sekolah) berasal dari bahasa Yunani “shole” yang artinya leisure, yaitu kemerdekaan dan antusiasme untuk menggali ilmu pengetahuan. Tradisi riset dan debat sangat mengakar di Yunani Kuno yang diwariskan kepada masyarakat Barat dan terjaga sampai hari ini.

Bagaimana halnya dengan Timur? Kebalikan dari personal agency, di Cina yang ditekankan adalah collective agency untuk menjaga harmoni. Every Chinese was first and for most a member of a collective, or rather of several collectives – the clan, the village, and especially the family, kata Nisbett. Pengetahuan dan sikap yang berkaitan dengan self-control agar diterima lingkungannya sangat penting dalam budaya Cina. Kepuasan dan kebahagiaan hidup bagi orang Timur bukannya meraih prestasi secara distingtif dan individualistis, melainkan keberhasilan dalam membangun jejaring sosial untuk maju bersama.

Komunalisme-sosialisme merupakan mantra bagi masyarakat Cina. Makanya musik di Cina terkesan monofonik, berbeda dari Barat yang polifonik. Di Barat relasi antara aku (I) dan objek (benda) lebih langsung. Sementara di Timur konsep kami (we) lebih menonjol sehingga dalam formula bahasa, kata kerja menjadi signifikan, yaitu bagaimana seseorang mesti bersikap dalam konteks sosial. For Westerners, it is the self who does the acting; for Easterners, action is something that it is undertaken in concert with others, tulis Nisbett.

Ketika terjadi konflik, misalnya, di Barat bisa berlangsung frontal dalam panggung pengadilan sehingga berakhir menang-kalah (a winner and a loser). Tapi di Timur yang dicari adalah intermediasi dan kompromi untuk mengurangi permusuhan. Samar-samar, kabur, tidak jelas, siapa yang menang dan kalah. Siapa yang benar dan siapa yang salah.

***

Ketika membaca buku yang tengah ulas ini, pikiran saya bertanya, bagaimana dengan budaya berpikir masyarakat Indonesia dengan emosi keagamaan yang sedemikian tinggi? Bagi ilmuwan sosial, aspek ini sangat menarik dijadikan objek penelitian. Terdapat sekelompok masyarakat yang mendekati cara berpikir Barat dan ada pula yang memang keturunan Cina dengan budayanya yang khas Timur.

Namun ada pula yang asing dengan tradisi personal agency dan collective agency karena semua realitas dan peristiwa yang dihadapi langsung dialamatkan ke Tuhan. Di sini Tuhan diposisikan sebagai aktor penentu terhadap berbagai peristiwa semesta. Implikasinya, mungkin saja, kehidupan terasa lebih pasif, nyaman, dan damai.

Hanya saja ilmu pengetahuan dan peradaban tidak berkembang dinamis karena posisi seseorang tak ubahnya wayang yang digerakkan oleh Tuhan sebagai Sang Dalang? Jangan-

55

Page 56: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

jangan secara politik dan sosial ekonomi posisi Nusantara akan jadi ajang konflik dan perebutan hegemoni antara Barat dan Timur.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat

56

Page 57: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Nepal Masa Transisi

Koran SINDO8 Mei 2015

Sebagaimana warga yang pernah merasakan gempa bumi, khususnya yang melanda masyarakat pesisir pantai barat Sumatera Barat pada 2009, warga Nepal sekarang dirundung kesedihan. Gempa bumi menghantam kawasan negara pergunungan Himalaya itu pada hitungan 7,9 SR pada 26 April 2015. Kekuatan gempa diperkirakan sama dengan gempa yang terjadi di Sumatera Barat pada 2009.

Hingga kini perkiraan angka kematian telah melebihi 7.000 orang. Sekitar 10.000 lebih dilaporkan luka akibat himpitan bebatuan rumah yang runtuh. Angka perkiraan itu akan bertambah hari demi hari, mengingat lokasi tempat kejadian gempa cukup luas. Desa-desa banyak terputus hubungan kabel dan kurang akses informasi.

Saat ini sekitar 8 juta lebih korban gempa, baik ringan maupun berat, membutuhkan pertolongan. Mulai dari keperluan pangan, tempat tinggal sementara, air minum, sanitasi, dan yang sangat perlu tentu adalah perawatan kesehatan. Mereka mendirikan tenda darurat di jalan-jalan, di lapangan terbuka, atau di bagian bangunan yang masih bisa ditempati.

Sudah dua minggu penulis mengikuti perkembangan berita ini. Ini bentuk pembelajaran yang berarti, mengingat Nepal salah satu negara miskin dengan penghasilan pada kisaran USD300 per kepala per tahun. Lokasi negara di dataran tinggi, berbukit-bukit di sepanjang Pegunungan Himalaya, antara Cina dan India.

Terlepas dari jauhnya negara itu dari tempat tinggal kita, warga Nepal mungkin sebagian berasal dari nenek moyang yang sama dengan warga Minangkabau. Sebagaimana kita hidup dalam suatu kawasan Asia, pantas kita memberikan atensi, sedikit saja sudah jauh lebih baik ketimbang tidak melakukan apa-apa untuk meringankan beban mereka.

Bangkit Cukup Sulit

Jika dibandingkan dengan warga Sumatera Barat yang sempat diguncang gempa pada 2009, warga Nepal diperkirakan akan sulit bangkit. Kondisi kemajuan sosial-ekonomi mereka jauh tertinggal dibandingkan dengan capaian kemajuan sosial ekonomi yang sudah kita raih.

Nepal masih menghadapi masalah struktural, 24% penduduknya diperkirakan masih berada pada garis kemiskinan. Ekonomi Nepal, terutama disumbangkan oleh peranan pertanian, dengan produktivitas relatif rendah akibat dari tingginya input pertanian. Nepal jelas sebuah

57

Page 58: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

negara yang terkenal dengan tingkat kebahagiaannya yang tinggi, selain juga negara tetangga Bhutan.

Sumbangan ekonomi yang juga berarti adalah berasal dari sektor pariwisata atau tourism, khususnya bagi wisatawan yang ingin mempelajari kebudayaan Hindu. Sebagian mereka juga yang berasal dari para pendaki dan penjelajahan Gunung Everest, gunung tertinggi di dunia. Dengan kapasitas sekitar 20 pesawat per hari bisa landing di Bandara Internasional Kathmandu, bisa dibayangkan dampak gempa.

Persoalan tertentu adalah bagaimana memberikan bantuan makanan dan relawan dari luar negeri. Akses mereka dengan laut tidak ada. Ini persoalan serius yang tengah dihadapi dalam minggu-minggu pertama ini.

Keunikan daerah ini menjadikan persoalan akibat gempa diperkirakan akan lebih besar. Pertama, cakupan kawasan gempa pada umumnya adalah daerah yang berbukit. Bentuk dan model bangunan mereka berasal dari batu bata dengan kualitas yang relatif rendah.

Kedua, selain daerah yang terkena gempa cukup luas, daerah pegunungan, khususnya daerah kamp pendakian ke Gunung Everest, juga mengalami dampak tersendiri. Gempa membuat reruntuhan salju menjadi gletser dan telah menimpa kamp-kamp pendakian. Sekitar 200 orang masih belum jelas keberadaannya. Selain itu, beberapa lokasi lain juga terjadi tanah longsor, di daerah padat penduduk. Kondisi ini kemudian juga membawa efek ikutan yang membuat korban gempa semakin besar.

Daerah ini memiliki infrastruktur terbatas, jalan menuju ke India utara jelas sempit dan berbelok-belok disertai jurang yang terjal. Tentunya memiliki kapasitas angkut yang terbatas, apalagi untuk berhubungan menuju ke arah utara, provinsi bagian selatan dari Tiongkok.

Dengan gempa bumi ini, Nepal diperkirakan akan mengalami kesulitan yang berarti untuk bangkit mengingat kemampuan internal negara ini relatif rendah. Bantuan negara donor diperkirakan akan sangat berarti.

Upaya

Beberapa problem utama mesti diatasi. Pertama, bagaimana menyelamatkan korban gempa yang masih dalam reruntuhan atau yang terluka agar mereka tidak mengalami luka, pengobatan massal sangat diperlukan. Untuk komponen pertama ini, kekurangan dari tenaga medis sebenarnya bisa lebih ringan jika diturunkan mahasiswa-mahasiswa yang mengambil bidang kesehatan masyarakat seperti para perawat, bidan, dan kesehatan masyarakat, dengan koordinator lapangan mereka adalah para dosen. Hari ini diperkirakan akan banyak relawan datang dari luar negeri.

Kedua, segera menyediakan dapur umum dan tempat tinggal sementara. Karena daerah ini masih mengalami musim dingin, pada kisaran 10-23 derajat Celsius, bangunan semipermanen

58

Page 59: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

dengan selimut dan pakaian akan dapat membantu mereka. Namun, pada saat bersamaan juga diperlukan dapur umum dan sumber bahan makanan.

Ketiga, persoalan sanitasi, mengingat konstruksi yang diakibatkan gempa berdampak pada rusaknya saluran air dan listrik, diperlukan sistem penyulingan air untuk mengatasi penyediaan air minum. Public latrine menjadi perlu selain dari upaya untuk mencari sisa-sisa mayat yang belum terangkat. Berdasarkan pengalaman gempa di Amerika Latin pada 2012, penyakit kolera salah satu yang paling berbahaya untuk diantisipasi.

Terakhir, untuk lebih memudahkan, sebenarnya mayoritas masyarakat kita yang islami seharusnya menaruh rasa simpati yang tinggi. Bukan karena mereka berbeda agama dengan kita, melainkan kita sebagai umat Islam mesti memperlihatkan rahmatan lil alamin. Karena itu, segeralah menyiapkan sumbangan secara terkoordinasi, kemudian dengan terkumpulnya sejumlah dana dapat kita salurkan kepada teman-teman universitas di Kathmandu untuk mengoordinasi pemanfaatannya.

ELFINDRI Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi, Universitas Andalas

59

Page 60: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Hukum yang Tidak Adil Bukanlah Hukum

Koran SINDO9 Mei 2015

Pada Kamis, 23 April 2015, Nenek Asyani, 63, dan tiga terdakwa yang terkait, diputuskan bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Situbondo dengan hukuman satu tahun penjara, dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan, denda 500 juta dengan subsider satu hari kurungan. Mereka dinyatakan bersalah memiliki dan menguasai kayu hasil hutan tanpa izin.

Hakim menyatakan bahwa terdakwa Asyani dkk. terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (d) UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Pasal itu berbunyi ”Setiap orang dilarang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin”.

Selanjutnya, hakim juga menganggap perbuatan Nenek Asyani dkk. terkena Pasal 83 ayat 1 UU P3H itu, yang memidanakan: ”Orang perseorangan yang dengan sengaja (a) memuat, membongkar, mengeluarkan, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin; (b) mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan, dan (c) memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar.”

Nenek Asyani dkk. menolak diperlakukan sebagai pencuri. Karena itu, mereka menolak vonis itu, dan naik banding. Nenek Asyani meyakini 7 potong kayu jati ukuran 1,5 meter diameter 5-6 cm tersebut dipanen suaminya dari lahan milik mereka sendiri sekitar enam tahun lalu, dan disimpan di rumahnya. Ia meminta keponakannya untuk menyewa mobil dan membawa potongan kayunya ke rumah tukang kayu untuk membuat kursi dan dipan untuk kerja memijat bayi dan anak-anak.

Nenek Asyani dkk. dilaporkan oleh empat petugas Perhutani yang tidak melihat secara langsung bagaimana kayu tersebut diambil dari pohonnya. Para saksi pelapor hanya melihat potongan-potongan kayu jati tersebut di rumah tukang kayu, dan diketahui berada di sana karena diangkut oleh keponakannya dan sopir mobil. Ketiganya ikut dilaporkan sebagai pelaku kejahatan.

Para saksi melaporkan bahwa satu pohon jati hilang dari lahan Perum Perhutani RPH Bondowoso di kebun Coto, Desa Kerangstal, Desa Jati Batang, dan mereka menduga kayu jati yang berada di rumah tukang kayu itu merupakan kayu yang hilang itu. Atas laporan tersebut, Nenek Asyani dkk. itu pun ditahan polisi, yang kemudian memprosesnya.

60

Page 61: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Jaksa bekerja atas dasar berkas dari polisi, dan pengadilan pun digelar. Nenek Asyani dkk. ditahan polisi dan jaksa serta pengadilan selama 100 hari. Mereka diizinkan menjalani tahanan luar setelah kasus ini memperoleh perhatian luas, termasuk dari media massa, Bupati Situbondo Dadang Wigiyanto dan Menteri Lingkungan dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Mengkriminalisasi Rakyat

Para peneliti politik agraria atas penguasaan hutan oleh negara di Jawa telah mafhum bahwa penguasaan dan pengendalian atas lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan merupakan bagian dari ciri utama politik agraria kehutanan di Jawa masa pascakolonial yang berakar pada praktik penguasa kolonial Belanda yang dimulai di abad ke-19 (Peluso 1992, Santoso 2005, Mary dkk. 2007).

Selain politik tanam paksa (cultuurstelsel) 1830-1870, sejak akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda menerapkan teritorialisasi negara terhadap hutan (Vandergeest dan Peluso 1995). Langkah pertama dari teritorialisasi negara itu adalah pembentukan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pengendalian negara terhadap lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan. Yang pertama adalah Peraturan Pemerintah mengenai Kehutanan di Jawa dan Madura pada 1865. Langkah berikutnya adalah pemberlakuan undang-undang yang dikenal dengan ‘Domeinverklaring’ pada 1870 yang menganggap semua tanah hutan adalah tanah milik negara, kecuali tanah-tanah yang eigendom, pemilikan pribadi (Peluso 1992, Vandergeest dan Peluso 2001, Simon 2001).

Langkah kedua dalam hal pengendalian negara atas hutan pada masa kolonial Indonesia terjadi ketika Dinas Kehutanan Kolonial (Boschwezen) melakukan proses pembuatan dan kemudian penetapan batas-batas antara wilayah ”kawasan hutan” dengan wilayah non-hutan (pertanian, perkebunan, permukiman, dsb). Penetapan batas ini adalah bagian dari proses politik (makanya Vandergeest dan Peluso 2001 menyebutnya sebagai political forest).

Kebijakan kehutanan di zaman Gubernur Jenderal Daendels, telah teguh dengan prinsip bahwa pengelolaan hutan paling baik dijamin oleh pengelolaan negara atas tanah hutan, dipimpin oleh satu dinas kehutanan pemerintah, dan dijalankan oleh ahli kehutanan profesional. Ini adalah prinsip-prinsip ”kehutanan ilmiah”. Tanggung jawabnya Boschwezen itu termasuk menguasai tanah hutan, menanami kembali hutan-hutan yang gundul, pengembangan spesies pohon jati, memperbaiki praktik-praktik pengelolaan hutan, serta memobilisasi dan mengendalikan penduduk pekerja dan rakyat miskin sekitar hutan (Peluso 1992).

Langkah ketiga adalah ”teritorialisasi fungsional”, yang terjadi ketika Dinas Kehutanan Kolonial Belanda menentukan wilayah hutan menjadi berdasar fungsi-fungsi seperti hutan produksi, hutan lindung, cagar alam.

Bisa penulis tambahkan, langkah keempat adalah penetapan legalitas dan ilegalitas dalam akses/pemanfaatan atas hutan. Mereka yang mempunyai lisensi (surat izin) dinyatakan

61

Page 62: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

sebagai akses legal, sementara akses rakyat dinyatakan ilegal karena tidak memiliki izin formal. Ujungnya adalah kriminalisasi rakyat, dalam rangka memberikan hukuman pada praktik ilegal rakyat miskin sekitar ”kawasan hutan negara”, dan kemudian penghukuman tersebut disosialisasikan dalam rangka meneguhkan pengendalian negara atas lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan itu.

Masih Cara Kolonial

Kasus kriminalisasi terhadap rakyat sekitar hutan, seperti yang dialami oleh Nenek Asyani dkk., bukanlah suatu gejala yang berdiri sendiri dan terlepas dari politik agraria yang melingkupinya. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah instrumentasi hukum sebagai taktik untuk pelanggengan penguasaan dan pengendalian Perhutani atas lahan, spesies, dan rakyat.

Dari perspektif politik agraria, kriminalisasi atas Asyani dkk. berfungsi sebagai suatu pengumuman pada rakyat miskin sekitar hutan: bahwa hukuman demikian itu dapat mengenai siapa pun yang berani menantang kuasa Perhutani mengendalikan lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan. Lebih dari itu, cara negara hadir dalam pengalaman rakyat yang lemah, masih serupa dengan yang dilakukan penguasa kolonial terdahulu.

Menurut penulis, penggunaan UUP3H Pasal 12 huruf (d) dan Pasal 83 ayat 1 untuk kasus Nenek Asyani dkk. adalah salah sasaran, karena UUP3H ditujukan memberantas kejahatan terorganisasi (pasal 1 ayat 4). Sangat jelas bahwa yang dilakukan mereka sama sekali bukan kejahatan terorganisasi.

Dari pandangan Nenek Asyani sendiri, hadirnya negara dengan cara demikian itu merupakan suatu tindakan aparatus negara menzalimi diri dan kawan-kawannya. Ketika hukum negara tidak lagi menyediakan keadilan, ia menolak mematuhinya, dan merujuk ke cara penyelesaian yang lain. Setelah hakim memutuskan menutup persidangan, Nenek Asyani menyampaikan kalimat berikut dengan lantang: ”Abbeh mak nyingla. Mara tojuk Pak Hakim. Berarti Hakim tak parcaje jhek engkok tak ngecok. Mara a sompah pocong bik engkok. (Kenapa kok keluar. Mari duduk di sini Pak Hakim. Berarti Hakim tidak percaya kalau saya tidak mencuri. Mari sumpah pocong saja sama saya).”

Nenek Asyani bertindak lebih jauh dari pada yang dimaksud oleh pepatah hukum yang bersumber dari filsuf Thomas Aquinas (1225-1274) bahwa ”hukum yang tidak adil bukanlah hukum”, malah ia menunjukkan lanjutannya, mencari rujukan lain untuk menyelesaikan pertentangan antara hukum dan rasa keadilan.

NOER FAUZI RACHMAN PhD Peneliti Utama Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-Studi Agraria; Pengajar Politik dan Gerakan Agraria di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor

62

Page 63: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Rakyat Belajar Berdaulat

Koran SINDO11 Mei 2015

Kami tidak butuh mantra/Jampi-jampi/Atau janji/Atau sekarung beras/Dari gudang makanan kaum majikan/Tak bisa menghapus kemelaratan.

Itu penggalan puisi Wiji Thukul. Judulnya “Aku Menuntut Perubahan”, ditulis pada 9 April tahun 1992. Itu zaman yang secara politik begitu mengerikan. Tapi Thukul berani bersuara seperti tak tahu-menahu akan risiko bersuara.

Apakah dia tidak tahu bahwa risiko itu ada? Dia tahu persis. Zaman itu sebentar-sebentar rakyat diculik. Sebentar-sebentar mereka yang gigih berbicara dibawa orang berseragam, berwajah seram, menerobos kegelapan entah ke mana. Kemudian ketika pulang, mereka sudah kusut. Entah diapakan. Orang bilang, beruntunglah yang masih diberi kesempatan pulang. Yang lain-lain hilang entah di mana tak pernah lagi pulang.

Tapi Thukul tetap menulis sajak. Dengan segenap keberanian yang terasa, kadang-kadang seperti begitu polos, apa adanya, dan tak dibuat-buat. Tapi apa yang polos dan punya keberanian menyatakan sikap politik dan pendirian yang tegas itu tak disukai.

Thukul pun menyadari bahwa dirinya tak disukai. Dia menulis puisi yang lain, dengan judul “Bunga dan Tembok”: Seumpama bunga/kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh/ seumpama bunga/kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri/jika kami bunga/engkau tembok. Kita tahu, bunga itu mungkin keharuman, mungkin kesegaran, mungkin harapan, dan siapa bilang tak mungkin bila bunga di dalam puisi ini maksudnya bunga bangsa yang kelak akan menjadi buah dan bukan buah sekadar buah?

Dia bilang lagi dalam bait berikutnya: tapi di tubuh tembok itu/telah kami sebar biji-biji/suatu saat kami akan tumbuh bersama-sama.

Thukul, penyair ini, bukan hanya orang berani, tetapi orang yang mengerti bahwa dia wajib bersuara dan menyatakan pendapat mengenai apa saja yang wajib diberi komentar atau kritik. Ketika orang harus berbicara, baginya, maka dia harus berbicara.

Dia mengejek orang pintar yang hanya membaca buku. Dalam puisinya yang berjudul “Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu”, dia menyindir keras dan blak-blakan: apa gunanya baca buku/kalau mulut kau bungkam melulu. Orang yang membaca buku demi membaca buku itu sendiri dan mulutnya dibungkam dengan tertib oleh kemauan sendiri, oleh ketakutan sendiri,

63

Page 64: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

tak peduli bahwa ketakutan itu diselimuti dengan baik sehingga menjadi kebijaksanaan, itu hanya kepalsuan. Bijaksana tapi palsu, bukan lagi bijaksana.

Orang seperti itu apa namanya bila bukan orang atau warga negara atau rakyat yang tak berdaulat. Dia orang, warga negara atau rakyat, yang hidupnya terinjak-injak. Mungkin oleh ketakutan sendiri. Mungkin pula oleh sepatu sepasukan orang terlatih. Mereka terlatih menginjak orang lain, membungkam orang lain, dan menghilangkan kedaulatan orang lain.

Tapi mereka pun orang yang jelas terlatih menjalankan perintah tanpa harus bertanya. Dengan kata lain, mereka terlatih ditindas. Jadi jelaslah, mereka juga tak punya kedaulatan yang agak utuh. Kedaulatan mereka sudah mereka titipkan pada atasan yang merasa anak buahnya tak memerlukan kedaulatan apa pun.

Thukul lain. Dua potret orang, warga negara, rakyat, yang berdaulat dan memahami untuk apa kedaulatannya. Thukul menyadarkan kita akan perlunya kita paham bahwa kita berdaulat dan cara menggunakan kedaulatan itu. Jika kedaulatan kita terinjak, kita memperjuangkannya dengan sepenuh jiwa raga kita, karena kedaulatan memang jiwa dan raga kita. Warga negara atau rakyat yang tak punya kedaulatan, warga negara apa dia dan rakyat macam apa dia?

Thukul sendiri sudah hilang dari keluarganya, dari masyarakatnya, dari kerumunan komunitasnya. Dia hilang karena memperjuangkan kedaulatan yang direnggut dari tangannya. Dia tak pernah mau menyerah. Kedaulatan itu miliknya. Tak boleh direnggut siapa pun. Kedaulatan itu hadiah langit, satu paket dengan hidupnya sendiri. Hidupmu dan kedaulatanmu itu satu pasang. Lepas satu, yang lain tak berarti. Hilang satu, yang lain apalah gunanya.

Thukul hilang tapi terbilang. Banyak orang yang ada, tapi adanya sama dengan tidak adanya. Banyak orang yang tidak hilang, tapi dia hakikatnya sudah hilang dari diri sendiri karena takut menyatakan apa yang wajib dinyatakan. Banyak orang yang tidak hilang karena tidak berharga untuk dibikin hilang. Pemerintah yang menakutkan sedang membikin hilang orang yang layak dibikin hilang. Tapi mereka malas dan merasa tak berarti untuk menghilangkan manusia-manusia yang tak berharga untuk dihilangkan.

Thukul itu orang yang berdaulat dan paham akan arti kedaulatannya. Dia hilang tapi tidak hilang karena tiap saat dia terbilang. Dia menjadi pahlawan bagi jiwa-jiwa yang merdeka dan menyadari kedaulatan di tangannya.

Di zaman keterbukaan seperti ini, rakyat gigih untuk belajar berdaulat. Pemerintah tunduk dan patuh pada kepentingan asing. PP No. 109 Tahun 2012, yang mencekik petani tembakau itu, lahir di dalam situasi psikologi politik yang memalukan seperti itu.

Pemerintah yang berdaulat telah berhasil dengan gilang gemilang menggadaikan kedaulatannya kepada bangsa asing. Tapi rakyat tidak begitu. Rakyat tetap belajar berdaulat. Sampai kapan pun.

64

Page 65: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

MOHAMAD SOBARY Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

65

Page 66: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Kutukan Permissiveness

Koran SINDO15 Mei 2015

Sekularisme adalah paham yang memisahkan nilai-nilai agamawi dari urusan duniawi. Sekularisme mengakibatkan terjadi ”permissiveness” (keserbabolehan) dalam masyarakat Barat sebagai penganut paham ini.

Pemerintah Swedia pernah membentuk Panitia Nasional meriset hubungan seks di kalangan remaja. Carel Gustav Boethus, sekretaris Panitia Nasional, mengatakan: ”Premarital sex relations are common and young people in most countries regard this all right.”(Hubungan seks pria-wanita di luar nikah sudah biasa dan generasi muda di kebanyakan negara Barat menganggapnya tidak apa-apa).

Perkembangan moralitas baru ini mewujud dalam bentuk diadakannya naturist camps atau nudist camp (perkampungan kaum telanjang). Terjadi commercialization of sex (komersialisasi seks) dalam skala besar dalam bentuk sex expo, prostitusi, pornografi, night life, dan night club yang mempertontonkan striptease (tarian telanjang), erotic show (pertunjukan erotis), maraknya tabloid dan majalah porno (seperti Playboy) serta blue film. Lewat lirik-lirik lagu, propaganda permissiveness itu juga gencar diserukan.

Roderick Maredith dalam majalah Plain Truth (No. 3 Maret 1971) menyebut permissiveness sebagai ”curse of western society” (kutukan terhadap masyarakat Barat). Maredith membeberkan akibat yang ditimbulkan permissiveness di Amerika Serikat (AS) sebagai berikut: (1) Kejahatan meningkat hampir sembilan kali lipat secepat populasi. (2) Sepertiga kelahiran bayi pertama pada 1964-1966 berasal dari luar perkawinan. (3) Pada 1969 diperkirakan 400.000 kelahiran bayi tidak sah. (4) Suatu survei terbuka menyatakan setidak-tidaknya 50% anak perempuan mengalami putus sekolah karena hamil. (5) Penyakit kelamin keadaannya tidak terkontrol. (6) Lebih sejuta wanita setiap tahunnya melakukan aborsi ilegal. (7) Sebanyak 8000 orang meninggal dunia diperkirakan akibat aborsi ilegal. (8) Bunuh diri merupakan penyebab utama kematian pelajar di lingkungan college. Begitulah akibat permissiveness di AS dan akibat serupa ini terjadi pula pada bangsa-bangsa Barat lainnya yang telah menjadi permissive society.

***

Banyak orang Barat sudah menerima ”permissiveness psychology”. Mereka mengatakan: ”There is no eternal truth, there can be no fixed standards by which we can judge any issues, no way of knowing what is right or wrong and certainly no God to look to for guidance .”

66

Page 67: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

(Tidak ada kebenaran abadi, tidak ada ukuran yang pasti untuk menghukumi sesuatu, tidak ada jalan untuk mengetahui yang benar dan yang salah, tentunya tidak ada Tuhan yang bisa memimpin).

Mereka tidak mengakui nilai-nilai kebenaran abadi dan tidak mengenal cara untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Pandangan inilah yang telah menimbulkan ”permissiveness” itu.

Moralitas baru yang bernama permissiveness ini melenyapkan batas antara yang halal dan yang haram di bidang moral seksual. Moralitas baru ini tidak mempunyai nilai moral yang pasti atau tidak memiliki ukuran moral yang mutlak karena kepercayaan kepada Tuhan dan akhirat telah dilucuti. Moral permisif ini sebenarnya adalah ”moral relativism” di mana kriteria baik dan buruk diserahkan kepada subjektivitas perseorangan.

Menjamurnya permissiveness di Barat karena kebanyakan masyarakat Barat melucuti bimbingan Tuhan. Agama ditinggalkan, akibatnya norma-norma moral seksual juga diabaikan, dosa dianggap ringan, kepercayaan kepada Tuhan dianggap kuno dan takhayul belaka.

David Raphael Klein dalam majalah Reader’s Digest (edisi April 1970) melukiskan ini: ”Pada suatu saat dalam perjajalan sejarah, orang Barat kehilangan kepercayaan kepada Tuhan sebagai kekuasaan tersendiri, sebagai pemutus nasibnya, dan sebagai hakim tertinggi atas perbuatan-perbuatannya. Paham bahwa Tuhan menciptakan manusia dipandang telah kuno: kita manusia mengalami evolusi (berkembang dari bentuk-bentuk sederhana menjadi wujud yang sekarang ini). Pikiran tentang neraka adalah indah, tetapi tidak lagi meyakinkan. Hidup mulai dilihat sedikit-banyak sebagai suatu yang relatif, ringan, dan bersifat sosiologis dan, bagi orang banyak, dosa itu dipandang sebagai suatu hal yang dibuat- buat saja. Sesudah beribu-ribu tahun hidup di bawah kekuasaan berbagai Tuhan, manusia memandang kepercayaan yang demikian itu sebagai kuno dan takhayul.”

Pandangan hidup sekuler inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Barat memandang kepercayaan kepada Tuhan sebagai sesuatu yang kuno dan takhayul semata. Nietzsche bahkan berteriak keras: Tuhan telah mati (God was dead).

Hilangnya kepercayaan kepada Tuhan menyebabkan hilang pula rasa takut terhadap ancaman neraka. Mereka acuh tak acuh terhadap harapan-harapan kenikmatan surga, yang mereka jalani adalah hidup, mati, dan usailah sudah. Persis seperti dikatakan Klein: In freeing himself of the terror of hell, he gave up his hope of heaven: you live, you die, that is the end of it. (Dengan membebaskan diri dari rasa takut terhadap ancaman neraka, dia (orang Barat) melepaskan pula harapannya akan kenikmatan surga: kamu hidup, kamu mati, dan selesailah sudah).

***

67

Page 68: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Demikianlah ”kutukan” permissiveness yang menimpa dunia Barat. ”Kutukan” permissiveness dalam batas tertentu juga sudah menimpa sebagian masyarakat Indonesia. Di negeri ini permissiveness di bidang hubungan seksual semakin merebak. Terjadi prostitusi online di rumah kos di Tebet dan apartemen Kalibata City (Jakarta), Bandung, Surabaya, Jember, dan kota-kota lainnya. Terakhir, polisi di Jakarta membongkar jaringan prostitusi kelas atas yang melibatkan seorang artis (berinisial AA bertarif Rp80-200 juta) dan mucikarinya. Bukankah ini merupakan ”kutukan” permissiveness?

Profesor Jacques Barzun menyerukan: ”Restore God to the fullness of His Reality” (Kembalikan Tuhan kepada kedudukan-Nya yang sesungguhnya!). Selama Tuhan tidak dikembalikan kepada kedudukan-Nya yang sejati, selama itu pula nilai-nilai ketuhanan tidak akan tercermin dalam setiap perilaku moral. Pesan Profesor Jaques Barzun itu berlaku universal, termasuk juga bagi pelaku moral permisif di negeri ini.

FAISAL ISMAILGuru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

68

Page 69: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Semiotika Isra-Mikraj

Koran SINDO15 Mei 2015

Isra-Mikraj Rasulullah SAW merupakan peristiwa luar biasa, bahkan dianggap ”tidak masuk akal” (irasional) karena supercepatnya perjalanan Mekkah-Baitul Maqdis-Sidratul Muntaha dan kembali lagi ke Mekkah yang ditempuh kurang dari satu malam.

Kemajuan sains dan teknologi saat itu memang belum mampu menjelaskan perjalanan spiritual (spiritual journey) itu secara ilmiah. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi digital dewasa ini, peristiwa Isra-Mikraj bukan hanya wajar dan rasional bagi Nabi SAW, melainkan juga menginspirasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya pembuatan pesawat supersonik, telekomunikasi nirkabel, jaringan internet dan satelit, dan sebagainya.

Peristiwa Isra-Mikraj terjadi pada tahun ke-10 kenabian setelah Nabi SAW mengalami masa-masa sulit dan penuh ujian dalam berdakwah di Mekkah. Saat itu Nabi SAW diuji keteguhan imannya oleh Allah SWT dengan wafatnya istri tercinta, Khadijah, dan paman beliau, Abu Thalib, yang selalu membela perjuangan dakwahnya. Tahun dukacita (‘amul khuzni) ini menandai betapa mentalitas Nabi SAW begitu kuat menerima segala macam cobaan, di samping permusuhan yang sangat sengit dan tiada henti dari kaum kafir Quraisy sehingga wajar jika kemudian Allah ”menghiburnya” dengan memperjalankannya menuju Sidratul Muntaha untuk beraudiensi langsung dengan-Nya.

Perjalanan dan prosesi Isra-Mikraj sungguh sarat dengan tanda-tanda yang kaya dengan pesan-pesan mulia untuk umat manusia. Salah satu tujuan Allah memperjalankan Nabi SAW dalam prosesi Isra-Mikraj adalah ”mendemonstrasikan” tanda-tanda kebesaran-Nya.

Allah SWT berfirman: ”Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan (demonstrasikan) tanda-tanda kebesaran Kami...” (QS al-Isra, ayat 1). Karena itu, peristiwa sakral ini sangat menarik dipahami dan dinarasikan dengan pendekatan semiotika karena dalam peristiwa ini terdapat aneka tanda yang sangat sarat dengan makna dan pesan kehidupan.

Isra dan Masjid Simbol Persatuan

Isra merupakan simbol perjalanan suci pada malam hari yang penuh keheningan dan kedalaman makna. Perjalanan ini dimulai dari Masjidilharam menuju Masjidilaqsa di Baitul Maqdis, Palestina. Secara semiotik, masjid melambangkan kesucian sekaligus persatuan.

69

Page 70: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Pesan moral yang dapat dipetik dari perjalanan lintas masjid ini adalah pendakian spiritual menuju Tuhan itu harus dimulai dari penyucian hati dengan menjadikan masjid sebagai basis persatuan, pengabdian, dan perjuangan. Masjid adalah pusat unifikasi, penyatuan, dan persatuan umat.

Dari Masjidilharam Nabi SAW bertitik tolak menuju Sidratul Muntaha dengan ”transit” terlebih dahulu di Masjidilaqsa di Baitul Maqdis (Rumah Kesucian). Saat transit di Masjidilaqsa, Nabi SAW melaksanakan salat dua rakaat di dalamnya. Di masjid ini pula Nabi SAW dipertemukan dengan para nabi sebelumnya dan Nabi SAW didaulat menjadi imam salat bagi mereka. Peristiwa ini melambangkan persatuan visi dan misi tauhid para nabi dan rasul dalam membebaskan umat manusia dari penjajahan akidah (syirik) menuju cahaya iman.

Mengapa Masjidilaqsa menjadi ”titik temu” dan reuni para nabi dan rasul? Karena, di Baitul Maqdis inilah para nabi dan rasul pernah mendakwahkan agama Allah. Sekurang-kurangnya Ibrahim AS, Musa AS, Sulaiman AS, dan Isa AS pernah menjadikan Baitul Maqdis sebagai tempat suci dan pusat penyatuan ibadah mereka. Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam bersumber dari sumber yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa, mengajarkan iman tauhid yang sama, dan berorientasi kepada persatuan dan kesatuan umat.

Jika asal-usul agama samawi (Abrahamic religions) itu satu, sejatinya perjalanan isra merupakan simbol yang menunjukkan makna bahwa umat beragama itu mestinya bersaudara, tidak gampang berpecah belah, apalagi terlibat konflik dan perang saudara. Semua agama tersebut sama-sama menghormati kesucian tempat ibadah mereka. Lambang-lambang kesucian itu ”dibingkai” dalam sebuah nama masjid: tempat bersujud, pusat sakralitas, dan kesucian hati.

Hati yang suci, dari pemeluk agama mana pun, pasti memancarkan pemikiran yang jernih, sikap dan tindakan yang mulia, dan jauh dari kekerasan, anarkisme, konflik, apalagi peperangan. Kesucian masjid merupakan simbol persatuan dan perdamaian abadi.

Mikraj Simbol Pendakian Spiritual

Jika isra melambangkan perjalanan horizontal, lintas masjid, lintas agama, lintas sosial-budaya, dan lintas peradaban, mikraj dari Masjidilaqsa menuju Sidratul Muntaha (puncak spiritualitas) menunjukkan tanda perjalanan vertikal, perjalanan mendaki, lintas langit, lintas planet, lintas alam menuju sebuah puncak transendensi dan spiritualitas kehidupan. Di Sidratul Muntaha inilah Nabi SAW secara langsung bertemu, beraudiensi, berdialog, dan ”bercengkerama” dengan Sang Kekasih-Nya, Allah SWT.

Menarik digarisbawahi bahwa sebelum melakukan perjalanan vertikal, setelah keluar dari Masjidilaqsa, Nabi SAW diuji ”fit and proper test” oleh malaikat Jibril. Beliau disodori dua gelas, masing-masing berisi khamr (miras, narkoba, dan sejenisnya) dan susu, lalu diminta memilih salah satu dari keduanya.

70

Page 71: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Nabi SAW memilih gelas yang berisi susu. Jibril kemudian menyatakan: ”Engkau memilih fitrah”. Artinya, Nabi SAW memilih kesucian, kesehatan, kebaikan, dan kemuliaan karena susu itu simbol minuman terbaik untuk kesehatan, kebaikan, dan kemuliaan perilaku peminumnya. Sebaliknya, khamr merupakan lambang keburukan dan kejahatan.

Dengan kata lain, sebelum mikraj atau sebelum menemui Tuhan, manusia harus memilih fitrahnya sebagai makhluk yang cenderung menyukai kesucian, kebaikan, kesehatan, dan kemuliaan, bukan memilih kotoran (karena khamr itu najis), keburukan, dan kejahatan sebab menurut sabda Nabi SAW: ”Khamr itu biang kerok segala keburukan, kekejian, dan kejahatan” (HR Ad-Daruqutni).

Dalam mikraj menuju Sidratul Muntaha, Nabi SAW dipertemukan dengan Adam AS di langit pertama, Isa bin Maryam AS di langit kedua, Yusuf AS di langit ketiga, Idris AS di langit keempat, Harun AS di langit kelima, Musa AS di langit keenam, dan Ibrahim AS di langit ketujuh. Semua Nabi menyambut baik ”visitasi” Muhammad SAW dan mendoakan kebaikan baginya dan bagi umatnya (HR Al-Bukhari). Untuk mencapai martabat yang tinggi, Nabi SAW diajak ”silaturahmi” dengan para nabi untuk mendapat suntikan mental spiritual yang meneguhkan imannya. ”Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (QS Maryam, ayat 57).

Prosesi pendakian spiritual mikraj itu menunjukkan pentingnya ”silaturahmi spiritual” dengan para nabi senior dan doa kebaikan agar memperoleh pencerahan dan dukungan moral dalam rangka mencapai puncak ”kenikmatan spiritual” bertemu Tuhan.

Dalam pertemuannya di Sidratul Muntaha, Nabi SAW mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk melaksanakan salat lima waktu. Perintah salat yang diterima langsung di Sidratul Muntaha itu menunjukkan betapa tinggi dan mulianya salat sehingga ia berfungsi sebagai tiang agama (HR At-Turmudzi, An-Nasa’i, Ahmad, Baihaqi, Ibn Majah, dan At-Thabarani).

Di akhirat kelak, yang paling pertama diperhitungkan (dihisab) oleh Allah adalah salat. Karena itu, salat menjadi barometer baik dan tidak kinerja seorang muslim. Jika salat yang dikerjakannya baik (ikhlas, khusyuk, dan bermakna), niscaya semua kinerjanya baik. Sebaliknya, jika salatnya buruk, semua kinerjanya juga buruk (HR At-Turmudzi, An-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad, dan At-Thabarani).

Salat sebagai tiang agama (‘imaduddin) melambangkan bahwa keberislaman seseorang itu akan runtuh jika tidak menegakkan salat. Sebab itu, salat harus efektif dan fungsional. Salat yang efektif dan fungsional adalah salat yang sukses mengantarkan mushalli (orang yang salat) untuk menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-‘Ankabut, ayat 45), termasuk korupsi dan prostitusi. Dengan demikian, puncak pendakian seorang muslim melalui salat itu harus membuat hidup sukses dengan tidak melakukan perbuatan tercela, menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan, kejahatan kemanusiaan, dan kebobrokan moral.

71

Page 72: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Sebagai mikraj al-mukmin, salat idealnya merupakan simbolisasi peningkatan harkat dan martabat mushalli sehingga ia tampil menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan sebaliknya, menjadi orang yang mudah tergoda dengan tipu daya urusan duniawi.

Jalan pendakian spiritual melalui salat juga semestinya dapat memberi relaksasi dan stabilisasi ketenangan jiwa mushalli sehingga melalui Isra-Mikraj ini sejatinya kita semua dididik untuk selalu menyucikan diri dengan menghiasi hati, pikiran, dan perbuatan dengan keluhuran moral, kecerdasan intelektual, kesalehan sosial, dan rasa kemanusiaan yang universal.

MUHBIB ABDUL WAHABDosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

72

Page 73: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Teror Gaya Hidup

Koran SINDO15 Mei 2015

Setiap berjalan-jalan ke mal atau pusat perbelanjaan, khususnya di wilayah Jakarta Selatan, ingatan saya sering kali kembali ke masa lalu ketika masih tinggal di Desa Pabelan, Kabupaten Magelang.

Saat berjalan-jalan ke kota, muncul perasaan kagum, senang tetapi juga perih ketika melihat toko serta restoran besar, mewah, dan gemerlap yang tak terjangkau harganya bagi keluarga desa nan miskin seperti saya. Perasaan kalah dan tertindas oleh kesombongan kapitalisme yang berpusat di kota itu muncul lagi ketika masuk mal yang menawarkan dagangan bermerek beken (branded) yang dikemas secara rapi, gemerlap, dan memesona pengunjung.

Bagi pengunjung yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), saya tahu betul berapa besar gaji resmi yang diterima setiap bulannya. Kalau mereka window shopping di mal bersama keluarganya, barang berikut harga yang dijajakan itu rasanya tak mungkin bisa terbeli. Akhirnya, cukuplah mereka menikmati suasana mal dengan duduk-duduk di food court memilih makanan dan minuman yang harga makanannya masih terjangkau.

Suasana teror gaya hidup konsumtif mulai dirasakan begitu pengunjung masuk halaman mal. Berjejer mobil-mobil mewah memenuhi halaman parkir. Gaya hidup mewah dan konsumtif kini pun bukan lagi godaan, melainkan sudah meningkat seakan menjadi teror. Pikiran dan selera masyarakat dihadang oleh iklan terutama melalui layar televisi. Masyarakat dijejali barang-barang konsumtif sejak dari minuman, makanan, peralatan dapur, parfum, kendaraan, sandal, sepatu, pakaian hingga seluruh pernik-pernik yang membangkitkan selera masyarakat untuk bisa mencoba dan memilikinya. Lewat iklan dan mal, semua itu disajikan sedemikian rupa untuk menggoda masyarakat agar membeli gaya hidup, bukannya membeli fungsi primernya.

Para pekerja rumah tangga pun sebagian gajinya habis untuk membeli handphone dan pulsa yang semula masuk tabungan untuk dikirim ke kampungnya. Dibandingkan semasa Orde Baru, jumlah pengguna telepon genggam dan pemilik televisi jumlahnya berlipat. Begitu pun jumlah saluran televisi, pilihannya semakin banyak dengan sajian acara yang sebagian semakin tidak bermutu dan miskin muatan edukasi.

Ketika kondisi ekonomi dan politik melelahkan, televisi memanfaatkan kelesuan ini dengan sajian acara-acara ringan yang menghibur. Bahkan mimbar agama pun jika sajiannya kering, kurang menghibur, akan ditinggal pemirsanya.

73

Page 74: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Sebuah program televisi biasanya tak akan bertahan kalau tidak ada iklan yang mendukungnya. Di sisi sponsor, mereka tidak mau pasang iklan jika acara televisi terbukti rating-nya rendah. Saya sekali-sekali mengamati berbagai ragam sajian televisi dan menghitung berapa banyak iklan sponsornya. Di situ terdapat korelasi antara acara yang rating-nya tinggi dengan banyaknya iklan. Sinetron dan acara dangdut termasuk banyak iklannya, berarti memiliki rating tinggi.

Apa maknanya ini? Rakyat dijejali iklan-iklan yang menawarkan gaya hidup konsumtif serta penampilan artis tampan dan cantik yang berhasil mengubah hidup tanpa harus sekolah tinggi-tinggi. Bahkan acara televisi sering kali memamerkan kekayaan para artis itu yang diraih secara cepat. Ini tentu menimbulkan imajinasi dan fantasi anak-anak muda untuk menjadi selebritas lewat jalan pintas sehingga setiap diadakan audisi untuk kontes penyanyi yang ragamnya kian merebak, jumlah peminatnya fantastis. Tentu di satu sisi ini sangat positif bagi masyarakat, bahwa media massa telah membuka jalan dan akses bagi anak-anak muda berbakat untuk berkarya dan berjuang mengubah nasibnya melalui bakat seni yang mereka miliki.

Namun, sekali lagi, ekses teror gaya hidup konsumtif dan glamor telah merusak mental masyarakat. Coba saja perhatikan. Di mana-mana berdiri mal sebagai perpanjangan pemilik modal besar yang membunuh usaha-usaha ekonomi rakyat kecil. Sampai di kota-kota kecil di daerah pun berdiri mal yang tentu menarik masyarakat untuk berkunjung karena dilengkapi dengan AC sehingga ruangnya sejuk, harga bersaing, dan pelayanan bagus. Masyarakat ke mal tidak saja sekadar ingin membeli barang, tetapi juga rekreasi.

Berita yang lagi heboh minggu ini adalah tertangkapnya selebritas yang terlibat jaringan prostitusi di kalangan atas. Menurut beberapa analis, penyebabnya tak lain adalah mereka telah terjerat dalam gaya hidup yang serbaglamor, mewah, uang banyak, pakaian mahal, rumah dan kendaraan mewah tanpa harus kerja keras dan pendidikan tinggi.

Ironis dan menyedihkan. Di saat pertumbuhan ekonomi menurun, lapangan kerja tidak tumbuh, sementara jumlah penduduk kian meningkat, yang berkembang pesat justru peredaran narkoba dan gaya hidup konsumtif-glamor di kalangan selebritas dan politisi. Nalar saya tidak sampai untuk memahami ini.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat

74

Page 75: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Bola di Laga Politik Menpora

Koran SINDOSelasa,  19 Mei 2015

Ancaman sanksi dari FIFA bagi Indonesia kini sudah di ujung tanduk. FIFA akhirnya memberikan deadline hingga 29 Mei 2015 kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan PSSI untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

Jika Kemenpora dan PSSI tak mampu melaksanakan rekomendasi dari FIFA untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi akibat tindakan Menpora menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 0137 Tahun 2015 yang berujung pembekuan PSSI dengan alasan mengabaikan dan tidak mematuhi kebijakan pemerintah.

Penegasan FIFA tersebut disampaikan melalui surat yang ditandatangani Sekjen FIFA Jerome Valcke, 4 Mei dan diterima melalui faksimile oleh PSSI. Dalam surat tersebut, FIFA memberitahukan kepada menteri pemuda dan olahraga Indonesia bahwa setiap asosiasi yang merupakan anggota FIFA harus menyelesaikan masalahnya tanpa campur tangan pihak ketiga.

Dengan keputusan FIFA tersebut, PSSI pernah berinisiatif untuk menemui Menpora Imam Nahrawi pada Selasa (5/5/2015). Hanya, niat baik dari PSSI tersebut ibarat ”bertepuk sebelah tangan” karena sang menteri tidak bersedia menemui PSSI yang dihadiri langsung Ketua Umum PSSI, Plt. Sekjen Azwan Karim dan kuasa hukum PSSI Togar Manahan Nero serta Aristo Pangaribuan.

FIFA dalam suratnya juga sempat meminta Kemenpora dan BOPI bisa menahan diri untuk tidak lagi mencampuri urusan rumah tangga PSSI dan mempersilakan PSSI memenuhi kewajibannya sebagai anggota FIFA. Jika ini tidak dilakukan, FIFA menegaskan bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain mempertimbangkan pemberian sanksi kepada PSSI.

***

Menpora resmi membekukan PSSI melalui Surat Nomor 0137 Tahun 2015 per tanggal 17 April 2015 tersebut dan dalam surat keputusannya itu segala kegiatan PSSI selanjutnya akan dikendalikan pemerintah melalui Tim Transisi, KONI, dan KOI.

Tertulis jelas di dalam surat keputusan yang ditandatangani langsung oleh Menpora bahwa keputusan Menpora tentang pengenaan sanksi administratif berupa kegiatan keolahragaan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia tidak diakui, termasuk kongres luar biasa yang telah berlangsung.

75

Page 76: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Di dalam SK Menpora akan ada tiga langkah cepat setelah dikeluarkan keputusan ini. Pertama, pemerintah akan membentuk tim transisi untuk mengambil alih hak dan kewenangan PSSI. Kedua, persiapan Tim Nasional SEA Games tetap dijalankan di bawah pengawasan KONI dan KOI. Ketiga, seluruh pertandingan Liga Indonesia tetap dijalankan yang juga masih di bawah pengawasan KONI dan KOI.

Keputusan Menpora tersebut terlihat jelas memenuhi kualifikasi sebagai tindakan pejabat tata usaha negara yang tak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration), sekaligus juga melanggar prinsip persepakbolaan internasional dalam Statuta FIFA yang pada intinya melarang intervensi kekuasaan terdapat federasi sepak bola nasional.

Dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 5/1986 jis UU No 9/2004 dan UU No. 51/2009) ditegaskan larangan bagi Menpora untuk bertindak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembekuan PSSI tanpa ada pelanggaran hukum yang dilanggar oleh PSSI tentu menunjukkan dasar hukum yang sumir sebagai rujukan SK Menpora tersebut.

Demikian pula jika pemberian sanksi pembekuan kegiatan PSSI ini dikaitkan dengan UU Sistem Keolahragaan Nasional dan PP 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. Sanksi berupa seluruh kegiatan PSSI tidak diakui oleh pemerintah terlihat tak memiliki dasar hukum yang kuat. Tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh PSSI terhadap pasal-pasal yang ada baik dalam UU Nomor 3 Tahun 2005 maupun pasal-pasal PP 16 Tahun 2007.

Dampak dari sikap keras kepala Menpora yang tetap mempertahankan Surat Keputusan 0137 Tahun 2015 tersebut menimbulkan efek bola salju. PSIS dan Persiba di Yogyakarta telah membubarkan pemainnya karena dengan tiadanya kompetisi lagi tak mungkin membayar honor pemain. Hal yang sama juga terjadi pada Persis Solo dan entah klub sepakbola mana lagi yang segera menyusul membubarkan pemainnya.

Jika berkaca pada asas kecermatan dan asas kepastian hukum yang menjadi unsur dari prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara, SK Menpora tersebut terlihat tak bersandar pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik sebagai norma hukum tak tertulis dalam hukum administrasi negara. Akibatnya, tindakan pembekuan PSSI justru memperlihatkan tindakan pejabat yang melampaui asas kepatutan dan proporsionalitas serta kini justru menyeret sepak bola nasional dari kancah profesional ke ranah politik perseteruan antara Menpora dan PSSI.

***

Perseteruan antara Kemenpora dan PSSI semakin menghangat seiring dengan pembentukan Tim Transisi oleh menpora. Tim ini disebut-sebut bakal mengintervensi PSSI. Anehnya, justru Menpora yang balik menuduh bahwa PSSI yang melanggar Statuta FIFA. Beberapa

76

Page 77: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

nama yang ditunjuk oleh Menpora untuk duduk di keanggotaan Tim Transisi seperti Velix Wanggai, Ridwan Kamil, Darmin Nasution, Farid Husain, dan entah siapa yang menyusul, telah resmi mengumumkan pengunduran diri mereka dari keanggotaan dalam Tim Transisi.

Seharusnya Menpora tak perlu harus sampai mengambil tindakan pembekuan PSSI yang diikuti dengan membuat surat kepada Polri untuk tidak mengeluarkan izin bagi pertandingan sepak bola di seluruh Indonesia yang digelar di bawah naungan PSSI. Di titik inilah persepakbolaan nasional telah disubordinasikan di bawah hegemoni kekuasaan.

Seharusnya pemerintah (menpora) tak perlu pula terlalu jauh memasuki ranah manajemen PSSI, bahkan sampai pada pembentukan Tim Transisi yang justru berpotensi melakukan intervensi secara sistematis terhadap PSSI sebagai federasi olahraga sepak bola nasional. Uniknya, tidak ada satu pun wakil dari PSSI yang duduk di dalam keanggotaan tim yang dinamakan Menpora sebagai Tim Transisi ini. Selain itu, pembentukan Tim Transisi oleh Menpora juga dilakukan menjelang Kongres Tahunan PSSI.

Jika toh Kemenpora memiliki rencana untuk meningkatkan kualitas manajemen persepakbolaan nasional, justru harus melibatkan PSSI untuk duduk bersama memikirkan strategi komprehensif untuk meningkatkan kualitas manajemen persepakbolaan di Tanah Air agar mampu menembus laga di tingkat ASEAN, Asia, dan bahkan dunia. Bukan justru menginisiasi untuk ”menggiring bola di ranah politik” menpora. Dunia olahraga yang dikotori syahwat politik sangat kontraproduktif bagi peningkatan prestasi dan bahkan akan menyebabkan olahraga prestasi bersaranakan bola tersebut akan kian tergiring menjauhi ”gawang prestasi”. Jika FIFA melaksanakan ancaman sanksinya terhadap PSSI, bisa dipastikan dunia persepakbolaan nasional mengalami kondisi kian terpuruk.

Memang, di sisi lain, masih terdapat cukup banyak pula kelemahan dalam manajemen persepakbolaan nasional di bawah PSSI yang memerlukan pembenahan secara manajerial. Namun, itu tak seharusnya sampai berujung pada tindakan negara untuk turut menyudutkan PSSI dengan melakukan pembekuan/ tidak mengakui kepengurusan PSSI tanpa alasan hukum yang memadai.

Fenomena tersebut bahkan mengundang reaksi dari DPR. Anggota Komisi X DPR RI Dadang Rusdiana menyayangkan keputusan menteri pemuda dan olahraga yang membekukan kegiatan PSSI. Tindakan pembekuan PSSI oleh Menpora justru hanya memperkeruh keadaan ibarat menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru.

Sulit dibayangkan apabila intervensi Menpora ini direspons oleh FIFA dengan jatuhnya sanksi yang berdampak Indonesia tidak bisa berkiprah dalam event di ASEAN, Asia, maupun laga internasional.

SK Menpora Nomor 0137 Tahun 2015 yang membekukan PSSI tersebut jika diukur dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, justru telah membuktikan bahwa pemerintah telah gagal melaksanakan fungsi pemberdayaan dan perlindungan persepakbolaan

77

Page 78: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

nasional karena SK Menpora tersebut telah menjadi ”license to kill” bagi persepakbolaan Tanah Air. SK Menpora telah menyeret bola ke ranah laga politik tak berujung.

DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUMPengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

78

Page 79: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Rumitnya Masalah Rohingya

Koran SINDO20 Mei 2015

Sebuah karikatur di media sosial menggambarkan bagaimana para pengungsi Rohingya ditolak oleh sebagian negara ASEAN. Di Indonesia, para pengungsi tersebut akhirnya ditolong para nelayan Aceh dan Sumatera Utara setelah ditolak oleh Angkatan Laut Indonesia yang mendasarkan tindakan mereka atas hukum positif di Indonesia yang melarang warga negara asing masuk tanpa dokumen.

Pertanyaannya apakah pertolongan yang diberikan nelayan Aceh akan dilanjutkan secara formal atau tidak oleh Pemerintah Indonesia? Apakah ada dampak bila kita menerima dan menolak para pengungsi? Apakah ada dampaknya secara politik dan ekonomi terhadap Indonesia?

Dalam konteks hak asasi manusia (HAM), masalah pengungsi diatur dalam Konvensi Pengungsi 1951, Protokol 1967, dan konvensi lain yang terkait, yaitu Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan (Statelessness) 1954 dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tanpa Kewarganegaraan (The Reduction of Statelessness). Konvensi Pengungsi 1951 meliputi prinsip-prinsip untuk tidak melakukan pemulangan (non-refoulment), tidak melakukan pengusiran (non-expulsion), tidak melakukan pembedaan (non-discrimination), dan menghindari pemidanaan akibat cara masuk yang ilegal bagi para pengungsi yang tiba.

UNHCR mencatat bahwa diperkirakan ada 400.000 pengungsi Rohingya di Bangladesh. Jumlah ini sama dengan yang ada di negara-negara Teluk. Sekitar 200.000 orang di Pakistan, 20.000 di Thailand, 15.000 di Malaysia, dan sekitar 2.000 orang di Indonesia. Sisanya sekitar 750.000 warga Rohingya tetap tinggal di sebelah utara Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Sebagian besar negara tersebut bukan penandatangan konvensi. Negara anggota ASEAN yang menjadi pihak penandatangan konvensi ini hanya Filipina (1981) dan Kamboja (1992), sementara negara anggota lain termasuk Indonesia dan Malaysia tidak ikut meratifikasi konvensi tersebut.

Bangladesh adalah negara yang paling banyak menampung pengungsi Rohingya. Mereka menerima para pengungsi karena posisi yang dekat dengan perbatasan Myanmar dan alasan persaudaraan sebagai sesama negara muslim seperti Indonesia dan Malaysia. Para pengungsi umumnya tinggal di pusat dan sekitar wilayah kamp pengungsian Cox’s Bazar. Besarnya jumlah pengungsi di Bangladesh terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama tahun 1978 sebanyak 200.000 orang dan gelombang kedua tahun 1992 sebanyak 250.000 orang.

79

Page 80: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Ada banyak versi sejarah yang melatarbelakangi gelombang pengungsi tersebut dan sulit untuk menjelaskan versi masing-masing dalam ruang yang terbatas ini. Namun pada dekade tersebut ada dua fakta penting terjadi. Pertama adalah Perang Kemerdekaan Bangladesh (Pakistan Timur) terhadap Pakistan yang menimbulkan jutaan gelombang pengungsi muslim Bangladesh ke negara-negara tetangga, termasuk di Myamar.

Kedua, Myanmar tengah mengalami konflik internal, yaitu pemerintahan militer berlaku sangat otoriter baik kepada komunitas Rohingya maupun warga negara mereka sendiri. Rezim militer yang berkuasa selain memerintah dengan keras juga berusaha mendapat simpati dari masyarakat dengan memanfaatkan konflik yang terjadi di antara komunitas dan kelompok etnik di Myanmar. Konteks tersebut yang mendorong akumulasi gelombang pengungsi Rohingya hingga saat ini.

Pada awalnya, Pemerintah Bangladesh menerima kembali dengan baik komunitas Rohingya sejak tahun 1971. Namun setelah 41 tahun, di tahun 2012 Pemerintah Bangladesh menyatakan tidak lagi menerima pengungsi Rohingya. Alasan yang dikemukakan adalah ancaman terhadap keamanan nasional dan tidak adanya kontribusi komunitas Rohingya terhadap ekonomi Bangladesh (Hasan 2014). Pemerintah Bangladesh mendasarkan argumentasi ini dengan merujuk pada Pasal 33 ayat 2 Konvensi Pengungsi 1951 yang intinya menyatakan bahwa pengungsi dapat dipulangkan apabila mengancam keamanan negara penerima dan melakukan tindakan kriminal. Dua alasan itu secara langsung atau tidak langsung menjadi keberatan bagi negara-negara lain untuk menerima pengungsi Rohingya.

Perhatian dunia internasional yang terbatas dan solusi politik yang lambat terhadap masalah Rohingya telah menimbulkan akumulasi dampak negatif baik politik maupun ekonomi bagi negara-negara penerima maupun komunitas Rohingya itu sendiri. Dampak negatif terutama disebabkan para pengungsi Rohingya membutuhkan pekerjaan dan pendapatan, sementara bantuan yang diterima tidak mencukupi. Mereka juga tinggal di wilayah pengungsian yang tidak layak sehingga mendorong mereka untuk segera mendapatkan penghasilan. Walaupun banyak yang mendapatkan pekerjaan dengan baik, tidak sedikit juga yang melanggar hukum.

Di Bangladesh sebagai contoh, Perdana Menteri Dipo Moni di tahun 2009 mengatakan bahwa ribuan pengungsi Rohingya yang tidak tercatat telah terlibat dalam illegal logging di kawasan konversi hutan lindung. Pemerintah Bangladesh juga kerap harus mendampingi warga Rohingya pemegang paspor Bangladesh di Arab Saudi yang melakukan tindakan kriminal. Di beberapa kota di Bangladesh, pengungsi Rohingya juga mengambil pekerjaan-pekerjaan kasar seperti buruh harian dan tukang becak sehingga menimbulkan kecemburuan sosial dan pengangguran.

Para pengungsi Rohingya yang telah hidup sangat menderita menjadi rentan untuk direkrut oleh kelompok-kelompok militan seperti Rohingya Solidarity Organization (RSO) dan The Arakan Rohingya Islamic Front (ARIF). Kedua organisasi ini memiliki tujuan untuk mendirikan negara Rohingya sendiri.

80

Page 81: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Gambaran yang negatif tersebut pada akhirnya membuat gambaran keseluruhan tentang orang Rohingnya menjadi suram. Situasinya makin terpojok dan solusi politik yang ditunggu tak kunjung datang. Mereka telah digolongkan sebagai warga yang tidak memiliki kewarganegaraan karena Pemerintah Myamar melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1982 memiliki tiga kategori kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan nasional, asosiasi, dan naturalisasi. Etnik Rohingya sulit untuk memenuhi kriteria itu karena sejarah dan budaya yang berbeda.

Undang-Undang Kewarganegaraaan itu kemudian juga dibalas Bangladesh yang melakukan amendemen undang-undang kewarganegaraan mereka di tahun yang sama. Amendemen mengatakan bahwa etnik Rohingya bukan bagian dari suku nasional mereka walaupun memiliki karakter fisik dan agama yang sama.

Kunci dari masalah etnik Rohingya memang harus diselesaikan bersama-sama di tingkat internasional. Ironisnya, belum ada forum yang bisa dianggap sebagai wadah pencari solusi untuk kasus ini. Etnik Rohingya adalah salah satu etnik yang dapat dikatakan terpenjara di wilayah mereka sendiri. Semakin berlarutnya masalah ini membuat stereotip orang Rohingya menjadi momok yang menghambat solusi kemanusiaan bagi kelompok ini. Untuk itulah kasus ini perlu penanganan khusus. Apakah PBB sanggup membuka jalur dialog yang efektif untuk kasus ini?

DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu  

81

Page 82: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Memimpin Kebangkitan

Koran SINDO20 Mei 2015

Kebangkitan tidak lahir dari mukjizat. Seperti berbagai gejala sosial lain dalam kehidupan masyarakat, ia adalah penjumlahan dari usaha-usaha setiap kekuatan sosial yang ada, untuk membawa hidup bersama kepada kondisi yang lebih baik, lebih adil dan makmur.

Oleh para pemula kebangsaan yang tergabung dalam Boedi Oetomo, Sjarikat Islam, atau Indische Partij, politik etis yang diniatkan oleh pemerintah kolonial untuk membentuk elite akomodatif, dibelokkan menjadi upaya melahirkan kesadaran baru kebangsaan. Walau Indonesia masih hadir secara samar-samar, harapan atas hidup bersama yang merdeka dan adil-makmur tak berhenti diperjuangkan.

Kebangkitan adalah mimpi bersama. Untuk mewujudkannya tentu butuh kepemimpinan. Namun, sebenarnya kita belum beranjak dari masa kanak-kanak ketika apa yang memikat adalah harapan tentang hadirnya para pemimpin hebat, baik yang mitis maupun yang riil. Bahkan heboh mengenai kepemimpinan barangkali muncul dari ketidakberdayaan kita sendiri untuk mewujudkan cita-cita itu. Kemudian melalui rutinitas pemilihan umum, kita bebankan ketidakberdayaan itu kepada para pemimpin, sambil berharap kebaikan hati mereka.

Dalam demokrasi, negara memang memiliki kuasa untuk mengelola usaha bersama (res publica), tapi dalam kenyataan mutakhir kuasa pemerintah untuk mengelola Indonesia ada dalam pusaran kinerja berbagai kekuasaan lain, seperti para pemodal, kuasa agama, dan kemajuan sains-teknologi. Pemerintah dibentuk dari mandat publik, namun dapat dikekang oleh kinerja berbagai kuasa lain.

Negara modern bukan sekadar pelaku, melainkan sebuah arena kekuasaan yang diperebutkan oleh berbagai kelompok kepentingan yang ada. Cita-cita res publica bisa gagal bukan hanya lantaran maksud buruk pejabat negara, melainkan juga karena mereka dikekang oleh kelompok-kelompok lain seperti pemodal, kelompok agama, militer, dan sebagainya.

Karena itu, pemenuhan atas cita-cita bersama ditentukan bukan hanya oleh negara an sich, tetapi juga melalui koreksi dan partisipasi oleh kekuatan warga untuk menghentikan keganasan setiap kuasa yang bertentangan dengan kepentingan publik.

Utang Sejarah

82

Page 83: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Di Istana Negara saat memenuhi undangan Presiden Joko Widodo pada Selasa (18/5) petang, saya sampaikan bahwa pemerintahan yang beliau pimpin berdiri di atas banyak utang sejarah yang harus segera dilunasi. Reformasi 1998 mengambil tempat dalam sejarah bangsa ini, juga sebagai hasil dari usaha bersama, untuk mengembalikan arah pengelolaan bangsa kepada cita-cita kebangkitannya. Kini, setelah 17 tahun, memang demokrasi menguat dan militer dilepaskan dari fungsi politik, namun supremasi hukum dan peningkatan kesejahteraan masih menyisakan lubang yang dalam.

Presiden Joko Widodo tampil dengan membawa harapan kita akan perubahan. Namun, sepanjang tujuh bulan terakhir tanda perubahan itu tak juga terlihat signifikan, yang tampak malah uji coba kekuasaan pada lembaga-lembaga pemerintah. Antara KPK dan Polri, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Kemenpora dan PSSI. Kinerja banyak menteri pada Kabinet Kerja belum juga optimal, bahkan beberapa belum tuntas melakukan restrukturisasi dan jauh dari memuaskan.

Rakyat banyak ingin perubahan yang cepat dan terasa, namun pemerintah ternyata tidak mampu memenuhinya. Rakyat kecil malah harus menghadapi kesulitan ekonomi karena harga-harga bahan pokok naik, terutama karena naiknya harga BBM. Keresahan dan kemarahan rakyat adalah akibat yang wajar akibat menurunnya kemampuan ekonomi dan harapan hidup. Walaupun tuntutan beberapa kelompok untuk melakukan perubahan kepemimpinan secara non-demokratis akan membawa risiko serius bagi kelanjutan demokrasi, dan karenanya perlu dihindari, bukan berarti pemerintah bisa mengabaikan begitu saja aspirasi dan kegelisahan rakyat banyak.

Mengatasi Tantangan

Kini negara-negara semisal Cina, India, Iran, tengah menggapai puncak-puncak peradaban mereka; beberapa negara lain malah mengalami devolusi peradaban. Suriah, Irak, Yaman, dan banyak negara lain tak juga bisa beranjak dari konflik yang hampir semua bersifat sektarian.

Dari dua model kenyataan itu kita dapat belajar. Kelompok negara-negara pertama memperoleh kemajuan dari kekuatan warganya sendiri yang mandiri dan mengembangkan pengetahuan dan peranti hidup bersama yang adil dan merata. Kelompok negara-negara kedua terancam jatuh dalam jurang kehancuran karena akumulasi kekuasaan-kesejahteraan yang timpang sehingga hilang rasa saling percaya satu sama lain.

Kita punya Pancasila sebagai inspirasi bagi kebangkitan hidup bersama. Kita punya keberagaman antarsuku bangsa dan kekayaan pengetahuan lokal yang bisa dikembangkan menjadi daya bangkit, menuju masyarakat yang lebih adil dan makmur. Pemerintah beserta setiap kelompok kuasa dan kepentingan perlu menjaga baik-baik dua modal kebangkitan ini.

83

Page 84: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Dalam dinamika sejarah yang akan kita temui di masa datang, Indonesia akan menjadi bangsa yang punya daya saing, juga daya hidup untuk mencapai puncak-puncak peradaban yang memuliakan kemanusiaan. Selamat Hari Kebangkitan Nasional.

M ARIEF ROSYID HASANKetua Umum PB HMI

84

Page 85: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Hak Asuh atau Pengasuhan

Koran SINDO21 Mei 2015

Penelantaran lima orang anak di Cibubur menjadi contoh nyata bahwa orang tua biologis tidak serta-merta mampu menjadi orang tua efektif. Begitu pula, tidak ada jaminan mutlak bahwa orang tua yang terdidik secara akademis akan lebih mumpuni mengasuh anak-anak mereka.

Ketika anak mengalami situasi luar biasa semacam itu, termasuk contoh lain adalah pascaperceraian, muncul pertanyaan tentang siapa yang akan menjalankan peran sebagai pengasuh anak-anak malang tersebut. Spesifik dalam kasus Cibubur, beberapa kalangan dan pejabat lembaga negara berpandangan bahwa hak asuh anak sepatutnya dialihkan ke pihak lain untuk sementara waktu.

Betapa pun keinginan memindahkan hak asuh tersebut dilatarbelakangi oleh iktikad baik, terasa mengganggu karena terkesan ada ketidaktepatan penggunaan istilah “hak asuh” yang pada gilirannya nanti berisiko menimbulkan kerumitan susulan. Ini patut menjadi perhatian lembaga-lembaga yang berurusan dengan perlindungan anak, termasuk institusi peradilan agama dan peradilan umum yang berwenang dalam perkara penentuan hak asuh anak.

Manakala anak berada dalam situasi normal, hak asuh tidak dipermasalahkan karena ayah dan ibu diasumsikan sama-sama melaksanakan tanggung jawab mereka atas diri anak. Namun, hak asuh menjadi persoalan serius ketika anak masuk dalam situasi yang tidak normal. Di situ ada kekhawatiran bahwa situasi luar biasa akan berakibat ada pihak yang berlepas tangan dari tanggung jawabnya atas anak.

“Hak asuh anak” kerap disinonimkan dengan “kuasa asuh”, menunjuk pada status hukum tentang pihak yang bertanggung jawab memenuhi kepentingan terbaik anak. Hak asuh sebagai sebuah status hukum diputuskan oleh lembaga peradilan guna memastikan bahwa dalam situasi tidak normal, proses tumbuh kembang anak tetap diupayakan dapat terjamin semaksimal mungkin. Sebagai sebuah status hukum, hak asuh tersebut ditetapkan melalui proses peradilan ke dalam bentuk dokumen formal yang mengikat pihak-pihak terkait.

***

Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, spesifik dalam kasus Cibubur, reintegrasi sepatutnya menjadi filosofi tunggal yang dianut selama berjalannya proses hukum. Filosofi reintegrasi melihat pelaku dan korban sebagai dua pihak dengan kepentingan yang mendekat bukan menjauh satu sama lain.

85

Page 86: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Berbasis pada filosofi tersebut, hilir dari situasi tidak normal adalah bersatunya kembali anak dengan orang tua kandung mereka, meski kebersatuan itu membutuhkan bantuan dari pihak ketiga. Tentu, reintegrasi seperti itu diterapkan setelah ayah-bunda dinilai sudah lebih mampu menjalankan peran sebagai orang tua atau pengasuh efektif.

Proses reintegrasi justru akan terkendala apabila pengalihan hak asuh diberlakukan. Pasalnya, proses agar pengalihan dapat diselenggarakan biasanya memakan waktu yang tidak sebentar. Di samping menempuh proses peradilan, penentuan tentang pihak yang akan menerima pemindahan hak asuh juga seharusnya didahului penaksiran kuasa asuh (custody evaluation). Lebih fatal lagi, langkah pemindahan hak asuh hanya akan semakin memperkuat label bahwa keluarga dan anak-anak di dalamnya adalah sebuah unit yang patologis alias berkelainan.

Sadar maupun tidak, pencabutan hak asuh dari orang tua kandung malah menempatkan pelaku (orang tua) dan korban (anak) dengan kepentingan yang saling menjauh. Itu, jelas, merupakan tentangan sangat mendasar dalam relasi darah daging anak dan orang tua. Padahal, agar upaya reintegrasi dapat direalisasikan, secara bertahap konsep diri positif seluruh pihak harus terbangun.

Jadi, alih-alih berfokus pada segala keburukan ayah-bunda yang menjadi alasan dialihkannya hak asuh ke pihak lain, jauh lebih tepat jika penanganan kasus ditujukan pada mencari riwayat maupun potensi positif di mana ayah-bunda pernah menjalankan peran pengasuhan secara baik. Ayah-bunda perlu didukung agar rasa percaya diri mereka, berikut keterampilan- keterampilan pengasuhan yang dibutuhkan, bisa pulih. Demikian pula dengan anak, mereka perlu diyakinkan bahwa langkah-langkah perlindungan terhadap mereka tidak akan secara ironis justru membuat mereka terpisah dari ayah-bunda.

Terlebih ketika yang dipindahkan adalah hak asuh legal (legal custody), akan sangat pelik untuk ditentukan seberapa jauh sesungguhnya dimensi hukum yang akan dialihkan tersebut. Apakah khusus pada aspek kepidanaan yakni pertanggungjawaban ketika anak melakukan pelanggaran hukum maupun “kejahatan”? Atau mencakup aspek keperdataan seperti hak waris, wali nikah, dan lainnya? Ihwal seperti ini lebih problematis lagi, utamanya bagi keluarga muslim. Islam memuat berbagai ketentuan yang bisa dikatakan ketat tentang urusan-urusan tersebut.

Memang bisa saja bahwa kelak pengalihan dilakukan sebatas pada hak asuh anak secara fisik (physical custody), sementara hak asuh anak secara legal (legal custody) tetap berada di kedua orang tua kandungnya. Namun, sekali lagi, karena penetapan hak asuh secara fisik pun tetap harus melalui proses formal dan dituangkan ke dalam dokumen hukum, pelipatgandaan efek stigma masih akan menjadi ancaman bagi proses reintegrasi anak dan orang tua.

Atas dasar itulah, ketimbang mempermasalahkan hak asuh anak dan mengalihkannya ke pihak lain, akan lebih konstruktif apabila pengasuhan (caregiving) atas diri anak saja yang untuk jangka waktu tertentu diserahkan ke sosok lain yang lebih berkompeten sebagai

86

Page 87: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

pengasuh. Pengasuhan, berbeda dengan hak asuh, adalah aktivitas pemeliharaan sehari-hari agar kepentingan terbaik anak dapat terpenuhi.

Terkait hak asuh atas anak (custody), utamanya hak asuh secara hukum (legal custody), hendaknya tetap dipertahankan seperti sediakala yakni pada ayah-bunda. Juga, selama anak dan orang tua menjalani rehabilitasi, keduanya tetap diperkenankan berinteraksi secara terukur. Ini mudah-mudahan akan berpengaruh positif bagi peredaan kekacauan yang tengah berlangsung sekaligus menghindari konflik perebutan hak asuh di kemudian hari. Allahu a’lam.

REZA INDRAGIRI AMRIELAlumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne; Penulis Buku “Ajari Ayah, ya Nak”   

87

Page 88: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Nasib Malang PRT Migran

Koran SINDO21 Mei 2015

Mari kita bayangkan kehidupan Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri tanpa pekerja rumah tangga (PRT) di dalam rumah tangga mereka. Presiden terpaksa tidak bisa blusukan setiap saat karena mesti membereskan pekerjaan rumah bersama-sama anggota keluarganya. Menaker akan berpikir dua kali atau lebih banyak lagi untuk memanjat pagar penampungan TKI karena harus membersihkan bajunya sendiri yang mungkin dapat kotor atau robek tersangkut pagar.

Tak usah mereka, kebanyakan kita tidak akan dapat bekerja dengan baik di luar rumah bila tak menggunakan jasa PRT. Karena itu, keberadaan mereka sebagai pekerja secara nyata memberikan sumbangsih dalam kehidupan kita semua. Mereka menopang hampir seluruh tata kehidupan kita baik secara langsung maupun tak langsung.

Sayangnya, pekerjaan dan keberadaan mereka tak banyak mendapatkan pengakuan yang layak dari kita semua. Konversi dari kata “pembantu” ke “pekerja” belum sepenuhnya diterima dalam masyarakat. Padahal, kata ini akan berimplikasi bagi perlakuan dan penghargaan kita kepada mereka. Kita lebih sering dan senang menggunakan istilah “pembantu” dibanding “pekerja” karena tak ingin memberikan upah yang layak bagi pekerjaan berat mereka yang sering tak mengenal waktu dan melampaui batas pengabdian atau karena kita tak ingin mereka sederajat dengan kita.

Pandangan miring terhadap mereka seperti ini yang tengah bersemayam dalam otak dan kesadaran kebanyakan kita, terutama mereka yang saat ini memiliki kesempatan membuat kebijakan. Latar ini setidaknya yang menjadi konteks kebijakan larangan pemerintah untuk mengirim PRT migran ke 21 negara di Timur Tengah. Terlebih nuansa ketidakmampuan pemerintah melindungi dan memastikan hak-hak mereka sebagai pekerja lebih menonjol dibandingkan keinginan untuk membela kepentingan dan melindungi mereka dan anggota keluarganya.

Feminisasi Migrasi

Berdasarkan data BNP2TKI, dari jumlah buruh migran yang berangkat ke luar negeri pada 2014, dari 429.872 orang, 53% adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT migran. Hanya 24,85% yang lulusan SMA, 37,86% lulusan SMP, dan 32,29% lulusan SD. Artinya, separuh lebih demografi buruh migran Indonesia di luar negeri adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT.

88

Page 89: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Data di atas mestinya cukup untuk membuka mata pemerintah yang belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan buat mereka untuk menyadari bahwa menjadi PRT migran ke luar negeri sesungguhnya bukan semata pilihan kebanyakan perempuan Indonesia, tetapi lebih karena keterpaksaan bagi mayoritas keluarga miskin yang berlatar belakang pendidikan terbatas.

Fenomena migrasi yang banyak melibatkan perempuan ini lebih dikenal dengan istilah “feminisasi migrasi” sebagai dampak dari feminisasi kemiskinan. Perempuan dipaksa miskin dan mesti menerima setiap akibat dari kemiskinan. Mereka tidak berdaya, tapi berani mengambil risiko untuk melanjutkan kehidupan yang mereka harapkan lebih baik. Tapi, harapan tak selalu bersambut dengan kenyataan. Pelanggaran demi pelanggaran banyak mereka terima. Baik sebelum maupun terutama ketika mereka menjadi PRT migran.

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dihadapi PRT migran merupakan fenomena global yang berlangsung secara sistematik dan berkelanjutan. Terlebih ketika mereka mesti berhadapan dengan kondisi kerja tidak layak karena tidak mendapatkan pengakuan sebagai pekerja dan proteksi terhadap hak-hak mereka dari negara. Fakta-fakta pelanggaran HAM terhadap PRT ini mendorong International Labour Organization (ILO) pada 16 Juni 2011 mengesahkan konvensi 189 tentang kerja layak bagi PRT.

Konvensi ini standar internasional pertama yang mengakui PRT sebagai pekerja formal yang harus dilindungi dan dijamin hak-haknya secara hukum. Konvensi ini telah diratifikasi oleh 17 negara dari berbagai kawasan. Sayangnya, di ASEAN baru Filipina yang meratifikasi, sementara sembilan negara anggota lainnya belum memiliki kesadaran akan pentingnya meratifikasi konvensi tersebut.

Mestinya, bagi Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi ILO ini menjadi sebuah kewajiban mengingat begitu besarnya jumlah PRT di dalam maupun di luar negeri. Itu juga untuk menunjukkan komitmen melindungi warganya yang bekerja sebagai PRT sekaligus alat diplomasi untuk meminta negara lain melindungi dan memproteksi PRT migran Indonesia.

Larangan bekerja bagi PRT migran Indonesia ke luar negeri sesungguhnya bukan kebijakan baru di Indonesia. Tampaknya pemerintahan Jokowi-JK ingin melanjutkan roadmap penghentian PRT atau Zero PRT 2017 yang telah dicanangkan oleh pemerintah sebelumnya. Padahal, di dalam dokumen visi-misi pencapresan Jokowi dan Jusuf Kalla, dalam halaman 23 dinyatakan bahwa mereka berkomitmen menginisiasi pembuatan peraturan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua PRT yang bekerja di dalam maupun di luar negeri. Janji inilah yang membuat banyak PRT migran Indonesia di luar negeri memilih Jokowi sebagai presiden Indonesia.

Maka itu, larangan pemerintah untuk mengirim PRT migran ke 21 negara di atas tidak hanya mengingkari janji mereka sendiri, tetapi juga melanggar hak asasi warga negara untuk bekerja yang dijamin oleh konstitusi. Apalagi, sejak September 2012, Pemerintah Indonesia terikat sebagai negara party ketika meratifikasi International Convention on The Protection

89

Page 90: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

off All the Rights of Migrant Workers and Their Families. Menurut konvensi ini, setiap buruh migran berhak atas pekerjaan di luar negeri dan dijamin bermobilitas tanpa diskriminasi.

Sejak 1984 pemerintah juga telah mengikatkan diri dengan meratifikasi konvensi CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984 yang memiliki komitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Kebijakan yang Manusiawi

Persoalan PRT (migran) sesungguhnya tidak dapat diselesaikan dengan menghentikan penempatan mereka ke luar negeri. Tetapi, mengharuskan negara untuk bersikap adil sejak dalam pikiran dengan memanusiakan mereka.

Selain itu, melakukan pembaharuan kebijakan migrasi dengan membangun mekanisme migrasi yang aman (bagi perempuan) adalah langkah mendesak yang harus segera diambil dan menyegerakan pengesahan RUU PRT serta ratifikasi konvensi ILO 189. Langkah itu setidaknya untuk mengantisipasi dan sebagai komitmen mendasar negara terhadap warga negaranya untuk mencegah dan mengatasi masalah sebelum, pada saat, dan pasca mereka bermigrasi ke berbagai negara tujuan.

Kebijakan ini jauh lebih manusiawi daripada menutup mata dan tak menghargai eksistensi mereka dengan menghentikan pengiriman buruh migran ke luar negeri yang justru berpotensi menimbulkan masalah baru seperti perdagangan dan penyelundupan manusia (trafficking and people smuggling).

ANIS HIDAYAHDirektur Eksekutif Migrant CARE

90

Page 91: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Kota Pintar Bukan Sekadar Tombol dan Teknologi Tinggi

Koran SINDO22 Mei 2015

Smart city atau kota pintar banyak dibahas akhir-akhir ini. Beberapa media dan akademisi berupaya merumuskan kriteria kota pintar dan indeks kota pintar.

Beberapa kota bahkan sudah melaksanakan program kota pintar, sebut saja Bandung dan Bogor di Jawa Barat. Melalui wali kotanya, mereka mencanangkan program kota pintar. Tentu ini hal yang sangat positif dan menggembirakan, khususnya bagi dua warga kota tersebut.

Harapan utama masyarakat warga kota saat mereka tinggal di suatu kota adalah rasa bahagia. Bahagia tentu dalam arti luas yaitu bahagia lahir maupun batin. Bahagia bagi warga kota adalah kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas dan bertempat tinggal. Kenyamanan dalam beraktivitas bisa berupa kemudahan dalam bekerja, belajar, berkomunikasi, bepergian, bermain, berolahraga, dan sebagainya. Kenyamanan dalam bertempat tinggal bersama keluarga bisa berupa waktu yang berkualitas, lingkungan yang bersih, aman dan kenyamanan dalam berinteraksi sosial.

Kota Pintar dan Kota di Indonesia

Jika kenyamanan dan keamanan adalah yang diharapkan oleh warga sebuah kota, apakah hal itu sudah sejalan dengan tujuan program kota pintar? Menurut Suhono Harso, guru besar STEI Institut Teknologi Bandung, tentang kota pintar, ”Teknologi broadband adalah salah satu yang dibutuhkan untuk mewujudkan kota cerdas selain transportasi umum, air, energi, dan lingkungan hidup. Faktor lainnya adalah kepemimpinan, komitmen, dan peran serta masyarakat, swasta, dan universitas.” (Jakarta: 2013).

Secara fisik kota pintar didefinisikan sebagai kota yang bukan saja sudah mampu menyediakan, melainkan juga mencukupi kebutuhan warganya akan kebutuhan dasar untuk bertempat tinggal dan beraktivitas. Mencukupi dalam hal ini tentu saja dalam kondisi di mana warga bisa dengan nyaman menggunakan semua fasilitas dan sarana pendukung sebuah kota, baik air, listrik, transportasi umum, sarana olahraga dan rekreasi, rumah sakit, pasar, perbankan, dan sebagainya. Warga tidak perlu membayar mahal, berebut, berdesakan, apalagi membahayakan untuk memperolehnya.

91

Page 92: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Lalu, bagaimana kondisi kota-kota besar di Indonesia, apakah sudah memberikan kenyamanan dan keamanan bagi warganya? Coba kita lihat apa yang terjadi di Jakarta sebagai ibu kota yang dapat menjadi barometer dan kiblat dari contoh kota ”modern” di Indonesia.

Di Jakarta, warga membutuhkan waktu dua hingga tiga jam untuk tiba di kantor, mereka berdesak-desakan di kendaraan umum, berjibaku dengan pencopet dan bagi yang menggunakan kendaraan sendiri harus bersiap-siap terjebak dalam kemacetan panjang dan menghadapi begal jalanan. Pejalan kaki pun harus ekstrahati-hati karena banyak trotoar dipergunakan untuk berjualan, tempat parkir, bahkan menjadi ”jalan alternatif” bagi para pengendara sepeda motor.

Setiap hari warga menghamburkan energi dengan sia-sia di jalan, membuang waktu produktif mereka, sehingga menyisakan sedikit energi untuk berkarya di tempat kerja dan stres saat kembali ke rumah. Keadaan tersebut mengakibatkan berkurangnya produktivitas, kualitas interaksi dalam keluarga dan sosial, menumbuhkan sifat egois, dan merenggangnya hubungan anak dan orang tua. Belum lagi kita bicara fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lainnya.

Apakah sebuah kota dengan kondisi warganya yang demikian tersebut dapat dikatakan sebagai kota pintar? Kalau bukan kota pintar, lalu apa namanya, bisa jadi kota tidak pintar, kurang pintar, atau kota bodoh. Jika sebuah kota dikatakan bodoh, apakah warganya juga bodoh? Mungkin saja tidak. Tetapi, paling tidak mereka hidup dalam kebodohan karena mereka hidup di kota bodoh dan memang demikianlah faktanya.

Jika suatu kota bodoh, siapa yang membuat bodoh, warganya atau pemimpinnya? Atau, kedua-duanya? Yang jelas pemimpinlah yang paling bertanggung jawab karena di tangan pemimpin seharusnya kendali itu dipegang, bukan di tangan masyarakat atau warga. Pemimpin yang harus mampu mengendalikan program dan arah pembangunan sebuah kota menjadi kota pintar, yaitu kota yang mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi warganya serta siapa pun yang berkunjung ke kota tersebut.

Tertinggal 20 Tahun di Belakang

Pada sekitar 1990, saat saya untuk pertama kalinya berkunjung ke Singapura, saya sudah bisa merasakan kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas di kota itu. Saya bisa menggunakan transportasi umum yang mereka sebut mass rapid transit (MRT) untuk melakukan berbagai aktivitas di sana. Petunjuknya sangat mudah dan jelas, demikian juga pengaturan arah dan rutenya yang mereka bagi dalam dua jalur, merah dan biru. Keretanya pun sangat bersih dan nyaman. Semua sangat memudahkan, bahkan bagi saya yang saat itu baru pertama kali berkunjung ke kota tersebut.

Berjalan kaki di kota ini pun terasa sangat nyaman, trotoar untuk pejalan kaki selalu tersedia tanpa diganggu oleh kehadiran pedagang atau kendaraan yang parkir di sembarang tempat. Berjalan kaki di malam hari pun terasa tidak menakutkan, penerangan jalan cukup tersedia di

92

Page 93: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

semua sudut kota. Keadaan tersebut tidak berubah dari tahun ke tahun dalam kunjungan saya berikutnya, malah semakin baik.

Bangkok pada awal 2000-an juga sudah memiliki semacam MRT dan keadaan lalu lintas mereka yang sebelumnya termasuk parah di Asia sudah mengalami kemajuan yang nyata walaupun mereka masih belum bisa terbebas dari masalah banjir. Demikian pula halnya dengan Kuala Lumpur. Walaupun tidak sebaik Singapura, kondisi di sana masih jauh lebih baik dari Jakarta.

Jadi jika dibandingkan dengan kota-kota ASEAN terdekat, kondisi Kota Jakarta masih sangat jauh di bawah mereka dan itu sudah mereka capai pada era 10-20 tahun yang silam, sementara Jakarta hingga detik ini masih bergumul dengan berbagai masalah infrastruktur dasar perkotaan, kemacetan yang semakin parah, dan banjir yang tidak berkesudahan.

Program kota pintar memang sangat dibutuhkan, paling tidak gaung kota pintar menyadarkan kita bahwa selama ini kita hidup dalam kebodohan karena sebagian besar kota di Indonesia masih kurang pintar hingga menjerumuskan warganya hidup dalam kebodohan. Kita tentu sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Wali Kota Bandung dan Bogor dengan mencanangkan program kota pintar di wilayahnya. Namun, yang perlu dicermati adalah kriteria kota pintar jangan sampai melupakan prinsip dasar dan tujuan dari sebuah kota bagi warganya.

Ray M Northam (1979), ahli perkotaan dari Amerika Serikat (AS), menyampaikan ada tujuh hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam melakukan perencanaan sebuah kota yaitu: 1) populasi; 2) perumahan; 3) ekonomi; 4) penggunaan lahan; 5) transportasi; 6) ruang terbuka dan rekreasi; dan 7) fasilitas pemerintahan dan komunitas.

Kota pintar bukan sekadar menghadirkan teknologi tinggi ke kota seperti jaringan nirkabel (Wi-Fi), teknologi pita lebar (broadband), kamera dan alat pengamat jarak jauh (remote CCTV/sensor kamera), itu hanyalah alat bantu dan fasilitas pendukung. Hal yang lebih fundamental untuk terbentuknya kota pintar adalah ketersediaan dan kecukupan infrastruktur, terutama infrastruktur dasar, seperti yang disampaikan Ray di atas.

Membangun kota pintar dengan hanya menghadirkan teknologi tinggi ibarat membangun sebuah bangunan bertingkat yang canggih, namun tidak memiliki fondasi yang kuat, akan sia-sia dan kurang bermanfaat. Kota pintar bukan sekadar menghadirkan layar monitor dan tombol-tombol di ruang pimpinan.

HANDI SAPTA MUKTI, SSi MMPraktisi Manajemen; Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan

93

Page 94: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Pesantren dalam Sejarah Kebangkitan Nasional

Koran SINDO23 Mei 2015

Kolonialisasi lama hanya merampas tanah. Sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan (Vandana Shiva).

Peringatan momen Kebangkitan Nasional harus selalu dimaknai dalam kerangka kontekstual, bukan tekstual. Jika hanya merujuk pada aspek tekstualitas, niscaya peringatan Kebangkitan Nasional tidak akan memberi makna berarti. Penyebabnya, banyak studi sejarah terbaru mulai mengkritisi penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Sebagaimana dikatakan Parakitri TS (2006), beberapa sejarawan menilai tanggal 20 Mei sebagai tonggak awal mula gerakan kebangkitan nasionalisme pribumi berkat kelahiran organisasi Boedi Oetomo (BO) mengandung banyak kelemahan sejarah. Di antaranya organisasi BO saat itu sesungguhnya tidak mencerminkan aspirasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda menjadi bangsa yang berdaulat, namun sekadar wadah berorganisasi bagi para priyayi dan bangsawan Jawa dengan memperjuangkan isu yang cenderung ”Jawa sentris”.

Karena itu, banyak sejarawan menawarkan alternatif tafsir dengan menyebut momen kebangkitan nasional bermula dari kelahiran Sarekat Dagang Islamijah (SDI) di Batavia (1909) dan Sarekat Dagang Islam di Bogor (1912), serta Sarekat Islam (SI) di Surakarta (1911). Perjuangan SDI (kemudian bertransformasi menjadi SI di era Tjokroaminoto) yang semula didirikan untuk menyaingi usaha dagang Tionghoa, berubah menjadi gerakan nasionalisme sejati setelah menemukan musuh bersama yaitu Belanda. Sejak itu SI merupakan gerakan yang menampung semua kelas sosial dalam perjuangan nasional yaitu kaum mustadzafin (pedagang, buruh, atau petani) dan golongan elite (guru, intelektual, wartawan, bangsawan, atau pejabat lokal).

Bahkan tafsir sejarah lebih radikal disampaikan Agus Sunyoto dalam tulisannya, ”Diponegoro Pelopor Kebangkitan Nasional Pertama” (2013) di situs pesantrenglobal.com. Melalui Perang Jawa, Pangeran Diponegoro mampu membuat Belanda kelimpungan, nyaris bangkrut dan hampir terbirit-birit meninggalkan Nusantara. Sekalipun namanya sangat lokal (Perang Jawa), sesungguhnya pertempuran itu berdimensi nasional. Pangeran Diponegoro berhasil menyatukan elemen-elemen kekuatan di Nusantara untuk berkumpul di Jawa dan

94

Page 95: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

menggempur Belanda. Karena itu, Agus Sunyoto mengusulkan Hari Kebangkitan Nasional diperingati tiap 19 Juli, merujuk pada permulaan Perang Jawa, 19 Juli 1825.

Namun, mengingat 20 Mei sudah telanjur jadi konsensus nasional untuk diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, kita harus memaknainya secara substantif yakni refleksi tentang keberanian para anak bangsa waktu itu untuk memerdekakan bangsanya dari cengkeraman penjajah sehingga tetap berdaulat.

Secara substantif juga kita harus mengakui fakta bahwa peran pesantren begitu besar dalam mendukung setiap fase kebangkitan nasional. Seperti peran Pangeran Diponegoro yang sempat ”direduksi” dari sejarah, peran pesantren dalam pergerakan nasional juga sering ”dikebiri” dari panggung sejarah Indonesia.

Peran Pesantren

Momentum Kebangkitan Nasional selalu memiliki isu dan konteks yang spesifik di setiap zamannya. Dalam setiap babakan sejarah itu pula, pesantren (kiai dan para santrinya) memiliki peran yang signifikan untuk mempertahankan kedaulatan tumpah darah Indonesia. Catatan sejarah membuktikan.

Pada 1512, ketika embrio NKRI masih bernama Kerajaan Demak, Pati Unus yang merupakan santri didikan Wali Songo dengan gagah berani memimpin 10.000 pasukan dalam 100 kapal untuk menyerbu Portugis di Malaka. Tujuannya sederhana, Portugis tidak lebih jauh masuk ke Nusantara dan mengancam kedaulatan.

Kemudian, pada 1852, Pangeran Diponegoro yang merupakan santri dan ahli tarekat dari Padepokan Tegalrejo, Yogyakarta mengobarkan Perang Jawa (Java Oorlog) hingga membuat Belanda mengalami kerugian 20 juta gulden dan nyaris bangkrut.

Kemudian ketika hasil politik etis menjadikan para elite pribumi memimpikan berdirinya negara Indonesia, para ulama dan kiai NU pada Muktamar NU pada 1925 di Banjarmasin telah membulatkan tekad untuk memperjuangkan lahirnya Republik Indonesia sebagai Darussalam (negara kesejahteraan), bukan Darul Islam (negara Islam). Sebuah gagasan progresif ketika belum banyak orang berpikir tentang konsep dasar negara Indonesia.

Kemudian pada era revolusi kemerdekaan, Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa progresif tentang resolusi jihad pada 22 Oktober 1945. Suatu seruan yang membangkitkan spirit para santri di Jawa Timur untuk mengusir penjajah pada perang 10 November 1945.

Tidak berhenti sampai di situ. Ketika era perang senjata (perang konvensional) sudah berakhir dan berganti rupa menjadi perang dingin (non-konvensional), Kiai Ahmad Shiddiq Jember melakukan ijtihad intelektual yang brilian sehingga menghasilkan rumusan pemikiran yang menjadikan prinsip-prinsip tauhid dan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah kompatibel

95

Page 96: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

dengan Pancasila. Sebuah landasan epistemologis yang membuat NU secara sukarela menjadikan Pancasila sebagai asas NU jauh sebelum Soeharto secara represif memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal di Indonesia. Tujuan Kiai Ahmad Shiddiq cukup sederhana yakni bagaimana agar NKRI tetap utuh dan berdaulat.

Tantangan Pesantren

Deskripsi historis di atas menjadi bukti bahwa para wali, kiai, dan santri-santrinya sudah berkomitmen sejak dahulu untuk mempertahankan Tanah Air warisan Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, hingga bertransformasi menjadi NKRI ini tetap merdeka, berdikari, dan memiliki kedaulatan.

Lantas, pada era pascamodern seperti sekarang ini, tantangan kaum pesantren adalah menghadapi bentuk kolonialisme yang sama sekali berbeda dengan para pendahulunya. Sebagaimana dikatakan Vandana Shiva di atas, wujud kolonialisasi sudah bertransformasi lebih rumit dan kompleks. Karena itu, kaum pesantren modern juga harus terus mengembangkan diri untuk meneruskan estafet perjuangan para sesepuh dalam menjaga kedaulatan Indonesia.

A HALIM ISKANDARKetua DPRD Jawa Timur; Ketua DPW PKB Jawa Timur

96

Page 97: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Merdeka! Belum Merdeka! Beluuuuum...!

Koran SINDO23 Mei 2015

Pada masa pergerakan kemerdekaan, kata ”merdeka” terasa penuh pesona, berisi kekuatan magisme yang kental, dan impian suci, impian seluruh bangsa yang teraniaya, dan diberkati Tuhan sepenuhnya.

Impian itu tiba-tiba seperti berubah menjadi sejenis janji masa depan yang mengimbau-imbau dari kegelapan yang samar-samar di mata, tapi begitu jelas di hati. Janji masa depan itu begitu pasti. Kata ”merdeka” pun menjadi ideologi pembebasan, yang menggerakkan segenap energi kehidupan, dan memperoleh rahmat Tuhan. Tak mengherankan bila kita mengakui bahwa berkat rahmat Tuhanlah, kita merdeka. Kita bersyukur impian seluruh bangsa tercapai.

Pada masa pergerakan, kata ”merdeka” nikmat didengar telinga, menggairahkan segenap cita rasa, dan suci, mungkin bahkan menjadi mantra suci. Ketika ke seluruh dunia Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat Indonesia, menyatakan kemerdekaan kita, dunia seperti diterjang sebuah ”goro-goro”. Bumi gonjang, langit gonjing, dunia kaget Indonesia merdeka. Ada pula yang kaget mendengar nama Indonesia.

Kita sendiri kaget dan bersyukur. Kita bersyukur karena berita mengagetkan itu sebenarnya sudah lama menjadi bagian dari hidup kita, aspirasi kita, perjuangan kita, pertaruhan hidup-mati kita. ”Merdeka atau mati”, tak punya alternatif lain. Tak terdengar orang berteriak: merdeka, kaya, berpangkat. Hanya ada ”merdeka atau mati” tadi. ”Perang Sabil” dikumandangkan. Orang pun dengan sendirinya tak takut mati. Mati tak menjadi masalah asal negeri ini merdeka.

Chairil Anwar melukiskan perasaan kecewa para pejuang yang sudah gugur, yang tak bisa berteriak ”Merdeka!” dan angkat senjata lagi karena ”kami mati muda”. Yang tinggal tulang diliputi debu. Tidak turut lagi meneriakkan kata ”Merdeka!” menjadi penyesalan. Para pejuang itu turut memberikan andil besar, dan dengan sendirinya memiliki pula saham besar di negeri yang telah mereka bikin merdeka.

Di taman makam pahlawan banyak pejuang, pahlawan, dan mereka yang bertaruh nyawa untuk negeri kita ini. Tapi, pahlawan-pahlawan sejati banyak juga dikubur-kubur tak bernama dan tak dikenal. Kepahlawanan mereka pun tak diakui.

***

97

Page 98: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Para pendiri bangsa kita sungguh besar jasanya. Tapi, para penerusnya, yang dulu tak pernah tahu apa arti perang kemerdekaan, apa arti perjuangan, dan bertaruh nyawa untuk membikin negeri ini merdeka, apa namanya? Ketika diberi jabatan dan kewenangan menyelenggarakan tata aturan pemerintahan yang memperlihatkan bahwa kita ini bangsa merdeka, mereka berebut kursi, tapi tak terlihat sama sekali semangat menata kehidupan sebuah bangsa merdeka.

Mereka memiliki kedaulatan penuh, tapi kedaulatan itu tak dipergunakan sebagaimana mestinya. Kedaulatan di tangannya harus disesuaikan dengan kepentingan politik global, terutama kepentingan negara-negara besar yang menjadi bos besar dalam percaturan global tadi. Kepada mereka itulah dipersembahkan segala apa yang dia punya. Mengabdi kepentingan global menjadi cita-cita suci dan semangat perjuangan untuk memenangkan citra bahwa dirinya demokratis, kawan sejati orang luar, disanjung dan dipuja oleh mereka, tapi kita sendiri dibikin telantar.

Kebijakannya membuat meriah pasar global dan sangat akomodatif pada modal global. Namanya disebut-sebut di pasaran bebas. Tapi, jangan salah, di antara para pelaku pasar global itu sendiri, biarpun dibikin beruntung, ada saja yang heran atau kaget mengapa ada pemimpin bangsa yang begitu tega menjual masa depan bangsanya sendiri pada ”kita” yaitu pemain utama pasar global tadi.

Bahkan ada juga yang meremehkannya biarpun mereka memperoleh untung besar karena kebijakannya. Orang itu disebutnya pengkhianat bagi bangsanya sendiri. Tentu saja. Orang lain dimuliakan, bangsanya sendiri dicekik lehernya. Segenap kebijakannya memiliki warna khas seperti itu. Untuk sekadar contoh, UU Pertambangan, Pengelolaan Bisnis Minyak, dan Gas Bumi, UU Perbankan, UU Perkebunan, pemasaran produk pertanian kita, semua dikhianati demi mengabdi pasar global.

Mengkhianati bangsa sendiri sekarang ini kelihatannya tak terlalu berdosa. Berkhianat bahkan disebut demokratis karena begitulah aturan yang dibuat secara global. Kita dijajah secara global, dibohongi beramai-ramai, ditindas semena-mena oleh apa yang bernama global. Dan, pemimpin kita leda-lede, tidak tegas, tidak jelas. Hanya kalau harga dirinya disentuh, barulah merasa terganggu.

Situasi seperti itu harus diteruskan sekarang? Dan, kita harus mengikuti jejak rezim pemerintahan yang tak peduli pada bangsanya sendiri dan sebentar-sebentar mengiblat kepentingan negara-negara besar? Kita telah sesat di jalan. Dalam masa sepuluh tahun, sebelum pemerintahan ini, begitu produktif menyusun UU, tak kurang dari 21 UU banyaknya, yang semuanya memastikan terjaminnya kepentingan asing, tanpa peduli kehancuran yang harus diterima bangsanya sendiri.

Tak perlu disebut reformasi baru atau revolusi mental, dan revolusi lainnya, asal semua itu tak ditiru, tak dikembangkan, tak diteruskan, kita sudah selamat. Kita tidak tersesat. Hanya jika kita bisa memastikan terputusnya pengabdian pada bangsa asing, artinya kita mengabdi

98

Page 99: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

kepada bangsa kita sendiri dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa raga kita, barulah kita layak berteriak merdeka. Hanya jika semua itu diakhiri, dan mengabdi bangsa sendiri dimulai, barulah kita layak menyebut diri kita demokrat. Itu pun boleh jadi belum tentu tepat.

Kalau kita berteriak merdeka, menganggap diri kita bangsa merdeka, mengira para penggede kita berjuang untuk bangsa, sebaiknya pelan-pelan saja. Teriak ”Merdeka!” itu harus diberi tekanan serbapenuh keraguan: betulkah kita merdeka. Tiap kata ”Merdeka!” haruslah diniatkan untuk menyatakan keragu-raguan yang jelas, apakah kita ini merdeka, apakah para pemimpin menghayati maknanya, dan apakah mereka bekerja untuk kita.

Pemerintah yang belum bisa memilih program yang tepat buat bangsanya sendiri, apa mulianya? Negeri agraris yang kebijakannya mematikan petani, yaitu petani garam, petani kopi, petani cengkeh, petani tembakau, petani teh, petani jeruk, petani pisang, petani apel, petani sayur, apa gunanya kebijakan macam itu? Apa cukup layak negeri yang dipimpin dengan gaya kepemimpinan seperti itu disebut negara merdeka?

Dulu, zaman Bung Karno, kita pernah merdeka, dan kita pernah bangga menjadi bangsa merdeka. Kita pernah punya harga diri. Kita pernah dihormati negara-negara baik dan dibenci negara-negara kolonialisme dan imperialisme. Di bawah pemerintahan yang takut dan hanya bisa membebek kepentingan asing, kita malu. Kita tidak lagi merasa terhormat karena kita tidak merdeka.

Jadi, kalau di suatu forum, ada yang memimpin kita supaya berteriak ”Merdeka!”, saya jawab: Belum. Kalau dia masih berteriak ”Merdeka!” saya jawab lagi: Belum. Kalau teriakannya lebih keras, lebih panjang: ”Merdeka!” saya jawab lebih panjang: beluuuuum.

MOHAMAD SOBARYEsais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

99

Page 100: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Kaum Muda dan Kekuasaan

Koran SINDO25 Mei 2015

Kaum muda merupakan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Tentu kaum muda yang bisa menjadi harapan adalah kaum muda yang memiliki kecerdasan tinggi yang dengan kecerdasan itu mereka merencanakan dan melakukan perbaikan.

Mahasiswa sering diidentikkan dengan kaum muda dengan kecerdasan tinggi itu. Pasalnya, mahasiswa merupakan satu entitas di dalam golongan kaum muda yang memiliki kesempatan khusus untuk mengakses ilmu pengetahuan yang lebih luas. Dengan kecerdasan itu, mereka bisa berimajinasi tingkat tinggi tentang masa depan yang lebih gemilang. Kecerdasan pulalah yang bisa menguatkan gerakan untuk merealisasikan imajinasi.

Karena membutuhkan imajinasi, yang diperlukan adalah kaum muda yang memiliki independensi, bukan anak-anak muda yang diri mereka telah tergadai, dan jiwa mereka telah terpasung. Jika independensi mereka telah terjual, walaupun mereka masih mengembuskan napas, sesungguhnya mereka telah mati. Mereka sudah tidak lagi diharapkan bisa memberikan arti sebab telah kehilangan kekuatan terhebat, yakni kekuatan moral untuk bersuara, dan tentu saja kekuatan untuk bertindak. Moral mereka telah jatuh sedalam-dalamnya dan sangat sulit untuk diangkat kembali.

Menurut Ibnu Khaldun, ada empat kategori generasi, yaitu generasi pejuang, generasi penerus, generasi penikmat, dan generasi pemboros. Dalam konteks yang berbeda dengan yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun, generasi pejuang merupakan generasi yang sangat diperhitungkan oleh penguasa. Jika penguasa melakukan penyelewengan kekuasaan, generasi pejuang akan melakukan perlawanan dengan sepenuh jiwa dan raga. Untuk melakukan itu, mereka rela mengorbankan apa saja. Mereka tidak lagi memiliki rasa sakit dan tidak takut sama sekali terhadap kematian. Mereka rela menjadi ”tumbal”, hingga yang mereka cita-citakan tercapai.

Terhadap generasi pejuang ini, penguasa akan selalu mencari cara agar mereka bisa ditaklukkan dan dimatikan. Tentu dengan cara yang berbeda-beda. Kejadian macam ini senantiasa berulang dan bisa dikatakan menjadi satu hukum alam.

Dalam hal ini, Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa ”sejarah akan selalu berulang”. Tidak sedikit peristiwa sekarang ini sesungguhnya merupakan pengulangan dari peristiwa masa lalu. Nama, penampakan, cara, dan tempatnya saja yang berbeda. Namun, substansinya sesungguhnya tetap sama.

100

Page 101: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Di antaranya kisah tentang seorang penguasa lalim yang di dalam Alquran disebut dengan nama Firaun yang mendapatkan informasi dari para tukang ramalnya, bahwa akan ada seorang anak lelaki berasal dari garis keturunan Bani Israil akan menghancurkan kekuasaannya. Untuk mengantisipasi ramalan tersebut terjadi, dia membunuh setiap anak laki-laki yang baru saja dilahirkan dari kalangan Bani Israil. Usaha tersebut dilakukan secara besar-besaran, karena Firaun menganggap bahwa kerajaannya tidak boleh berpindah kepada orang lain.

Karakter Firaun ini dalam banyak penguasa bisa ditemukan. Mereka juga tidak ingin kekuasaan yang berada di tangan mereka jatuh ke tangan pihak lain, apalagi pada saat mereka masih dalam keadaan segar bugar. Jika kekuasaan tersebut sudah tidak lagi dikuasai olehnya lagi, orang-orang terdekatnyalah yang harus menjadi pengendali pelanjut. Biasanya orang yang dianggap terdekat itu adalah anak-anak sendiri, karena kurang percaya kepada orang lain. Karena itu, orang-orang lain yang berusaha untuk mengganggu keberlangsungan alih kekuasaan kepada orang-orang yang diinginkan oleh penguasa tersebut harus dimusnahkan terlebih dahulu.

***

Belajar dari berbagai kasus di masa lalu, kaum muda harus bertindak hati-hati. Jangan sampai mereka masuk ke dalam jebakan yang dibuat oleh penguasa jahat yang ingin membunuh masa depan mereka. Bisa jadi, mereka tidak dibunuh dalam arti dihilangkan nyawa mereka, tetapi bisa dimatikan karakternya, bisa pula dipenjarakan untuk mematikan gerakan dan sekaligus mematikan karakternya, sehingga menjadi orang-orang yang kehilangan integritas. Dengan demikian, di masa depan, mereka tidak lagi bisa mendapatkan kepercayaan dari banyak orang. Padahal sesungguhnya mereka memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pemimpin masa depan.

Untuk membunuh lawan, ada banyak cara bisa dilakukan. Di tempat yang berbeda, di zaman yang berbeda, cara itu bisa berubah-ubah sesuai dengan cara pandang masyarakat. Di Jawa misalnya, untuk membunuh lawan politik, tidak melulu harus dengan cara keras dengan menggunakan benda-benda yang mematikan, tetapi bisa dengan cara halus, bahkan sangat halus. Bahkan membunuhnya dengan cara yang tidak lazim, yakni dengan cara meletakkannya pada posisi yang paling dekat. Maka ada ungkapan Jawa ”dipangku, mati”.

Karena itu, kaum muda harus memiliki seni dalam menjaga jarak dengan penguasa, terutama para penguasa yang memiliki kecenderungan jahat, apalagi benar-benar jahat, agar selamat dari pembunuhan, terutama dalam bentuk yang halus atau sangat halus, yang karena sulit dideteksi. Ibarat naik kendaraan di jalan tol, jarak dengan kendaraan di depan tidak perlu terlalu jauh, tetapi juga tidak boleh terlalu dekat. Jika terlalu jauh, tentu akan ada waktu yang terbuang untuk bisa cepat sampai tujuan. Namun, jika terlalu dekat, bisa terjadi kejadian yang membahayakan dan sulit menghindarkan diri.

101

Page 102: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Seni menjaga jarak inilah yang harus dimiliki agar kaum muda bisa selamat dari segala upaya untuk menghentikan idealisme mereka. Jika gagal menjaga jarak aman, mereka akan dimasukkan ke dalam jebakan yang membuat kaum muda yang sebelumnya memiliki kekuatan hebat, menjadi ibarat sekadar singa ompong. Mereka bisa dijerat dengan umpan berbagai kenikmatan yang bisa menyilaukan mata dan hati mereka. Dengan godaan itu, niat untuk menjadi generasi pejuang, bisa berbelok menjadi generasi penikmat.

Cukup memprihatinkan, gerakan anak-anak muda yang beberapa lalu bersuara lantang hendak mengkritisi pemerintah, tetapi kemudian mereka berbalik arah. Mereka belum pernah melakukan perjuangan sama sekali, tetapi sudah langsung menikmati makan malam yang karenanya mereka kehilangan semangat untuk melakukan perjuangan.

Karena itu, sekali lagi, kaum muda, kalangan aktivis mahasiswa harus bisa memperkirakan ”jarak aman” untuk mempertahankan idealisme mereka tetap terjaga, dan mereka tetap berada pada garis perjuangan untuk membela rakyat dan senantiasa berusaha untuk memperbaiki negara. Wallahu alam bi al-shawab.

DR MOHAMMAD NASIH Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute 

102

Page 103: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Menanti Kiprah Kaum Muda

Koran SINDO25 Mei 2015

Kongres IV Partai Demokrat belum lama ini usai. Seperti diduga banyak kalangan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali memimpin Partai Demokrat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil Kongres Partai Demokrat semakin mengukuhkan dominasi politisi senior dalam panggung politik nasional. Itu berarti yang akan menentukan proses politik dalam Pemilu 2019 mendatang hampir pasti adalah politisi-politisi kawakan.

Seperti diketahui, panggung politik nasional saat ini masih didominasi kaum tua. Itu dapat diamati dari figur-figur politisi ternama yang memimpin partai masing-masing. Misalnya Megawati Soekarnoputri (PDIP), Aburizal Bakrie (Golkar), Wiranto (Hanura), Surya Paloh (Nasdem), Agung Laksono (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), Prabowo Subianto (Gerindra), Djan Faridz (PPP), dan Yusril Ihza Mahendra (PBB).

Sementara kiprah kaum muda dalam panggung politik nasional direpresentasikan Muhaimin Iskandar (PKB), Anis Matta (PKS), dan Romahurmuzy (PPP). Kini juga muncul politisi muda yang masih segar dan dinamis seperti Hary Tanoesoedibjo (Persatuan Indonesia, Perindo) dan Grace Natalie (Partai Solidaritas Indonesia, PSI). Keduanya memimpin partai baru dan banyak mengakomodasi kaum muda semacam Ahmad Rofiq (sekjen Perindo) dan Raja Juli Antoni (sekjen PSI).

Realitas minimnya calon pemimpin dari kaum muda seharusnya menjadi perhatian elite partai politik, sebab salah satu fungsi partai politik adalah kaderisasi. Persoalan kaderisasi ini penting karena sangat terkait dengan masa depan kepemimpinan, baik level nasional maupun lokal. Tetapi jujur harus diakui, hampir semua partai politik tidak serius melakukan kaderisasi. Bahkan ada partai politik tertentu yang hanya bekerja lima tahun sekali, yakni menjelang pemilu. Pada saat pemilu itulah, elite politik baru menyadari bahwa partainya tidak memiliki kader yang kompeten untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif atau kepala daerah.

Di samping gagalnya kaderisasi, budaya ewuh pakewuh juga melanggengkan kekuasaan kaum tua. Dampaknya, kiprah kaum muda dalam ranah politik selalu berada dalam bayang-bayang politisi senior. Padahal jika bangsa ini mau belajar pada sejarah, akan ditemukan fakta bahwa kiprah kaum muda dalam gerakan kebangsaan sungguh luar biasa.

103

Page 104: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Kiprah kaum muda dalam sejarah pergerakan bermula dari pendirian Budi Utomo oleh Dokter Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar Sekolah Dokter pada 20 Mei 1908. Pendirian Budi Utomo sekaligus menjadi penanda kebangkitan nasional. Karena itu pada setiap 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Kiprah kaum muda dalam sejarah pembangunan bangsa selanjutnya tampak dalam peristiwa Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), pergerakan mahasiswa (1966), dan Reformasi (1998).

Sumbangsih kaum muda yang tergambar dalam beberapa peristiwa historis tersebut menunjukkan mereka sesungguhnya memiliki kultur keilmuan, keterampilan berorganisasi, dan jaringan yang hebat. Sangat disayangkan, kultur tersebut tenggelam dalam hiruk-pikuk politik sepanjang era Reformasi. Bahkan, kita menyaksikan adanya penguatan interes politik di kalangan kaum muda.

Kaum muda saat ini tampak lebih menunjukkan minat di bidang politik. Keterlibatan kaum muda dalam politik menemukan momentum yang tepat seiring dengan kebijakan multipartai. Dinamika politik lokal juga memberikan ruang terbuka bagi kaum muda untuk berkiprah di jalur politik. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kini terjadi peningkatan ”syahwat politik” di kalangan kaum muda.

Peningkatan syahwat politik tidak hanya terjadi di daerah, melainkan juga dalam skala nasional. Sebagai konsekuensi adanya peningkatan syahwat politik kaum muda, kiprah dan perjuangan mereka banyak disalurkan melalui aktivitas politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian kaum muda tergoda dengan kehidupan politik yang dianggap lebih menjanjikan masa depan.

Akibatnya, kultur keilmuan dan daya kritis yang semestinya menjadi ruh perjuangan kaum muda terus tergerus. Yang terjadi kemudian adalah budaya loyal pada pimpinan partai. Peningkatan interes politik kaum muda juga memunculkan kultur mudah berpecah akibat perbedaan pilihan politik. Perjuangan kaum muda pun tidak lagi didasarkan pada kepentingan jangka panjang, tetapi bertujuan pragmatis jangka pendek.

Pilihan sebagian kaum muda berkiprah melalui jalur politik mengakibatkan capaian perjuangan di ranah kultural tidak begitu tampak. Padahal kalau dipikirkan, wilayah perjuangan di bidang politik jelas terbatas dengan peminat yang sangat banyak. Akibatnya, tidak semua orang memperoleh pembagian kue kekuasaan. Sementara perjuangan di ranah kultural memiliki area yang luas dengan peminat sangat sedikit.

Sebagian kaum muda berpikiran bahwa berkiprah melalui jalur politik dapat memberikan harapan yang serba instan untuk meraih kekuasaan, kemapanan, status sosial, dan kecukupan materi. Sementara berjuang melalui jalur kultural dianggap merupakan investasi jangka panjang yang melelahkan, penuh perjuangan, berpeluh keringat, dan hasilnya baru dapat dinikmati kemudian. Penting ditekankan bahwa kiprah kaum muda melalui jalur politik atau kultural sama-sama penting.

104

Page 105: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Bangsa ini pasti membutuhkan pribadi-pribadi hebat dari kaum muda yang idealis, dinamis, penuh dedikasi, sederhana, dan tahan godaan. Tetapi sangat disayangkan, realitas masih menunjukkan bahwa panggung politik nasional belum begitu bersahabat dengan kaum muda. Semua itu terjadi karena kaum tua masih menunjukkan ”syahwat politik” untuk berkuasa. Dampaknya, kaum muda kurang memiliki keberanian untuk tampil.

Dominasi kaum tua semakin terang-benderang seiring dengan selesainya muktamar, kongres, atau musyawarah nasional (munas) partai-partai politik. Dalam permusyawaratan tertinggi partai politik itu, jelas sekali kiprah kaum muda belum terakomodasi dengan baik. Karena itu, jangan heran jika panggung politik nasional lima tahun mendatang akan tetap berada di bawah cengkeraman kaum tua. Padahal jika kita ingin serius menyiapkan pemimpin masa depan, saat inilah momentum yang tepat untuk memberikan panggung politik bagi kaum muda.

Untuk itu, politisi kaum tua harus berjiwa besar. Kaum tua harus legawa menyerahkan estafet kepemimpinan pada kaum muda. Itu penting agar lima tahun mendatang tidak terjadi gejala 4 L (lo lagi lo lagi).

BIYANTO Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

105

Page 106: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Kejahatan Akademik

Koran SINDO26 Mei 2015

Berdasarkan inspeksi mendadak (sidak) menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi (menristek dan dikti), ada dua dari 18 perguruan tinggi (PT) yang dinilai bersalah yakni ”menjual ijazah palsu”.

Dua PT dimaksud adalah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Adhy Niaga di Bekasi, dan Lembaga Manajemen Internasional Indonesia (LMII) yang mengaku sebagai cabang dari University of Berkeley, Michigan. Sebanyak 17 PT diduga bermasalah, berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, serta satu PT di Kupang Nusa Tenggara Timur. Untuk mengungkap fenomena gunung es tersebut, sekaligus menemukan bukti-bukti kejahatannya, sidak akan dilanjutkan pada PT lainnya.

Sidak menristek dan dikti itu, sebagai langkah progresif, layak diapresiasi. Ada asa/harapan, kejahatan akademik dapat diberantas sehingga martabat PT terjaga. Tulisan ini pun dibuat dalam semangat dan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Pada hemat saya, sebagai konsekuensi kehidupan bernegara hukum, langkah hukum wajib dijadikan keniscayaan. Dapat dimengerti bahwa menristek dan dikti bekerja sama dengan kepolisian dan aparat penegak hukum lain.

***

Berhadapan dengan kejahatan akademik, hendaknya menristek dan dikti dapat memobilisasi dan menghimpun kekuatan-kekuatan hukum pada berbagai lembaga penegak hukum dan elemen-elemen masyarakat, menjadi semacam ”skuadron” yang siap tempur, seia-sekata, bahu-membahu, memberantas kejahatan akademik sampai akar-akarnya.

Strategi ini akan efektif apabila sejak awal semua komponen ”skuadron” memiliki kesamaan persepsi, sikap, dan komitmen terhadap dua hal. Pertama, kejahatan akademik berada pada situasi dan kondisi yang serbakompleks. Kompleksitas dimaksud terkait industrialisasi semua aspek kehidupan, termasuk industrialisasi di bidang pendidikan. Karena itu, strategi pemberantasan kejahatan akademik disesuaikan dengan kompleksitas masalahnya.

Kedua, diinsyafi bahwa sejak kehidupan masuk abad ke-20, keperkasaan negara dengan kedaulatan hukum, secara perlahan tapi pasti, telah tumbang dengan munculnya persatuan negara-negara regional (regional arrangement) seperti: ASEAN, Amerika Latin, Timur Tengah, Uni Eropa, dan lain-lain. Apa yang disebut negara bangsa (nation state) kini sudah berakhir. Hubungan antarnegara pun berkembang melalui lalu lintas elektronik, dunia cyber,

106

Page 107: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

dan virtual reality. Perubahan-perubahan tersebut berpengaruh signifikan terhadap marak dan canggihnya kejahatan akademik.

Kejahatan akademik, setahu saya, berada pada kisaran kehidupan industrialis itu. Karena itu, dilihat dari motif, pelaku, tujuan, sarana-prasarana, maupun kecanggihannya, sangatlah terbuka, melibatkan warga negara maupun badan hukum asing. Pelaku-pelaku kejahatan akademik bukanlah orang per orang, melainkan kolektiva-kolektiva. Masyarakat akademik pun bisa menjadi pelakunya.

Menjadi sangat tragis ketika di dalam masyarakat akademik ternyata bercokol para pengusaha, penguasa (politisi), akademisi (ilmuwan asongan), dan calo-calo (brokers). Kerja sama bermotif ekonomi-finansial, glamor gelar kesarjanaan, nafsu kekuasaan, dan motif-motif lain berjumpa dalam kesepakatan jahat yakni menjadikan PT sebagai industri ijazah palsu. Dapat diyakini kebenarannya bahwa ada sejumlah ”jenderal, tokoh partai, guru besar, pengusaha” terlibat dalam kejahatan akademik.

Saya yakin, Pak Menteri dan bapak-bapak di lingkaran PT telah paham mengenai sepak terjang orang-orang haus gelar tersebut. Sekadar contoh: ketika seseorang telah memiliki jabatan formal dan keterlimpahan harta benda, terpikir kemudian, alangkah indahnya kalau namanya diembel-embeli gelar doktor atau profesor. Dicarilah ”pintu belakang” untuk mendapatkan gelar tersebut.

Melalui calo, dihubungi PT tertentu. Ditawarkan bantuan dana --katanya sebagai bukti kepedulian pada pendidikan-- asal kepadanya diberikan kompensasi berupa gelar kesarjanaan yang diinginkan. Jadilah, jual beli gelar doctor honoris causa (HC) atau profesor. Praktik jahat seperti ini masih sering dijumpai di beberapa PT walaupun praktik yang benar-benar ilmiah juga masih banyak.

***

Kembali pada masalah kompleksitas kejahatan akademik, upaya pemberantasan terhadapnya tidak hanya tertuju pada produk yaitu ijazah palsu, tetapi juga niat awal penyelenggaraan pendidikan, seluruh tahap-tahap dan persyaratan yang wajib terpenuhi selama proses pendidikan. Kejadian menyesakkan dada ketika kuliah jarak jauh dibiarkan berlangsung liar.

Di kota-kota besar, banyak orang haus gelar kesarjanaan, di situ dibuka perkuliahan kelas Sabtu-Minggu atau Program Doktor by research (tanpa perkuliahan). Untuk mencari mahasiswa dipercayakan kepada calo, dengan imbalan persentase. Sudah tentu bagi si calo, imbalan uang merupakan fokus pikiran dan aktivitasnya. Apakah hal demikian melanggar moral-etika akademik, barangkali jauh dari wawasannya.

Tragis, ketika seleksi input pendidikan dilakukan sebatas formalitas sehingga semua orang yang ditawarkan calo diterima sebagai mahasiswa. Dari kejadian itu, diingatkan bahwa

107

Page 108: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

proses seleksi dan input pendidikan di bawah standar, mestinya dijadikan salah satu indikasi terhadap terjadinya kejahatan akademik.

Benar bahwa untuk meraih gelar kesarjanaan, selama proses pendidikan mahasiswa yang bersangkutan wajib memenuhi satuan angka kredit (SKS) tertentu. Amat disayangkan bahwa selama proses pendidikan, mahasiswa yang bersangkutan jarang/tidak pernah kuliah. Boleh dikata, ke kampus hanya saat pendaftaran dan ujian. Nilai-nilai bagus adalah produk rekayasa. Wisuda, sebagai momentum sakral dan bergengsi, tak dihadirinya. Mungkin karena malu.

Bagaimana dengan bimbingan tesis atau disertasi? Etika akademik mewajibkan diselenggarakan di kampus. Sungguh naif, ada pembimbingan di hotel-hotel, atau yang menghadap hanya ajudan. Karya ilmiah berkualitas rendah, sarat plagiasi, diterima sebagai syarat ujian dan kelulusan. Alasannya, faktor kemanusiaan atau batas akhir studi sudah habis. Karena uang kuliah sudah dibayar di muka dan ada perjanjian diluluskan sesuai masa studi, mahasiswa pun dapat melenggang lulus, membawa ijazah. Proses pendidikan rekayasa demikian ini bukankah kepalsuan?

Mengembalikan marwah PT sebagai wahana persemaian ilmuwan dan pemimpin bangsa, memerlukan perjuangan berat. Semoga menristek dan dikti diberi ketahanan mental, tetap semangat, dan mampu memberantas kejahatan akademik. Wallahualam.

PROF DR SUDJITO SH MSiGuru Besar Ilmu Hukum UGM

108

Page 109: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Menyelamatkan Rohingya

Koran SINDO27 Mei 2015

   

Dalam satu minggu terakhir kita dapat melihat perubahan politik yang positif dalam penanganan kasus pengungsi yang terapung di tengah lautan.

Perubahan ini signifikan terutama dalam meredanya polemik antara apakah para pengungsi tersebut adalah pengungsi Rohingya yang berasal dari Myanmar atau kelompok masyarakat dari Bangladesh yang mencari pekerjaan secara ilegal. Rasa khawatir tentang kemungkinan aliran pengungsi yang menyusul datang apabila mereka diterima mendarat untuk sementara dapat dikurangi seiring dengan tanggapan positif dari Pemerintah Myanmar yang berjanji untuk lebih serius menangani masalah pengungsi ini.

Negara-negara lain di Asia Tenggara yang telah menandatangani Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 seperti Timor Leste, Filipina, dan Thailand juga telah membuka tangan untuk menerima para pengungsi tersebut. Di tingkat internasional, Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menyerukan juga kepada Pemerintah Myanmar untuk mengambil tindakan segera dalam menghentikan arus keluar etnis Rohingya dari Myanmar.

Beberapa angkatan perang seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Amerika Serikat telah membantu mencari para pengungsi lain yang masih berada di tengah laut dan menunggu pertolongan. Walaupun terlambat karena ratusan pengungsi banyak yang meninggal baik karena kondisi fisik yang lemah atau konflik antara pengungsi itu sendiri, bantuan tersebut perlu diapresiasi.

Perubahan atmosfer politik tersebut mungkin juga terkait dengan upaya diplomasi yang dilakukan beberapa negara, termasuk Indonesia, kepada Pemerintah Myanmar. Pertemuan antara Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan mitranya Menteri Luar Negeri Myanmar Maung Lwin pada beberapa hari lalu telah menyepakati empat hal penting yang dapat dianggap sebagai sebuah langkah besar mengingat masalah ini telah berpuluh-puluh tahun usianya.

Pertama, Pemerintah Myanmar telah menyepakati upaya untuk mencegah arus irregular migrants dari wilayah mereka. Kedua, Pemerintah Myanmar juga siap bergabung dengan negara-negara lain di kawasan untuk memberantas kejahatan human trafficking. Ketiga, Pemerintah Myanmar segera memerintahkan kedutaan besarnya untuk melakukan kunjungan kekonsuleran ke tempat-tempat penampungan sementara para irregular migrants yang saat ini berada di Aceh. Keempat, Pemerintah Myanmar juga telah menyambut baik tawaran kerja sama Indonesia untuk pembangunan Rakhine State secara inklusif dan non-diskriminatif.

109

Page 110: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Kesepakatan yang baik dan pendekatan diplomasi ”Asia” yang mengedepankan kesantunan oleh Kementerian Luar Negeri RI terhadap Myanmar mungkin adalah salah satu variabel yang menentukan penyelesaian pengungsi Rohingya lebih lanjut. Kita dapat bandingkan misalnya pendekatan Wakil Menteri Luar Negeri AS Antony J Blinken yang bicara pada hari yang sama dengan pihak RI di mana AS justru mengedepankan isu hak-hak sipil politik, demokrasi, dan HAM lebih dulu ketimbang bicara tentang kerja sama yang mungkin dapat dilakukan oleh kedua negara.

Saya tidak mengatakan bahwa isu tersebut tidak relevan, tetapi dalam konteks negara-negara Asia Tenggara, hal tersebut sangat sensitif terutama apabila prioritas utama kita adalah menyelamatkan para pengungsi yang masih ada di laut dan mereka yang mungkin masih akan keluar dari wilayah Myanmar. Sebagian besar pendekatan untuk masalah Rohingya yang muncul dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Eropa terlebih dahulu menilai bahwa Pemerintah Myanmar gagal atau tidak memiliki niat baik dalam menangani masalah pengungsi. Hal ini membuat Pemerintah Myanmar merasa terpojok, tidak dihargai, dan kemudian berlaku defensif terhadap segala tekanan.

Pendekatan dan penyelesaian yang dapat diterima dengan baik oleh Pemerintah Myanmar adalah kunci dari penyelesaian masalah pengungsi Rohingya. Masalah tersebut tidak dapat diselesaikan apabila Pemerintah Myanmar menganggap solusi atau jalan keluar yang ditawarkan oleh negara-negara di kawasan sebagai sebuah campur tangan atau intervensi terhadap politik di dalam negerinya.

Salah satu contoh adalah menghindarkan penggunaan kata “Rohingya” dalam diplomasi seperti yang dilakukan Indonesia. Pemilihan kata tersebut akan menimbulkan reaksi negatif yang keras dari Pemerintah Myanmar dan justru tidak akan produktif dalam diplomasi terutama ketika prioritas kita adalah menyelamatkan nyawa pengungsi di lautan. Hal ini terjadi ketika Pemerintah Malaysia mengundang Pemerintah Myanmar ke pertemuan tiga negara (Malaysia, Indonesia, dan Thailand) dan secara spesifik menyatakan akan membahas masalah pengungsi Rohingya. Pemerintah Myanmar menolak datang karena penggunaan kata “Rohingya” dalam pertemuan internasional akan menimbulkan gelombang protes di dalam negeri yang mungkin akan membuat pemerintahan tidak stabil.

Hal teknis dan detail seperti itu menjadi pelajaran untuk Pemerintah Thailand yang juga akan menggelar pertemuan dan membahas masalah Rohingya pada tanggal 29 Mei nanti di Bangkok. Pertemuan itu akan diselenggarakan di bawah judul ”Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean”.

Contoh di atas menunjukkan bahwa pendekatan diplomasi tidak dapat selalu sama dalam setiap keadaan. Kita perlu melihat apa yang menjadi prioritas. Walaupun niat kita baik, apabila dijalankan tidak dengan pengetahuan yang mendalam tentang negara yang menjadi mitra, usaha itu tidak akan berjalan baik.

110

Page 111: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Tekanan kepada pemerintahan Myanmar memang harus terus dilakukan terutama dari masyarakat dan organisasi sipil yang tidak terikat oleh protokol. Tekanan tersebut dapat melengkapi pendekatan-pendekatan lain yang tengah dilakukan. Namun kita juga mesti mengukur sejauh mana tekanan itu akan merugikan atau menguntungkan subjek yang menjadi perhatian.

DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu

111

Page 112: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

KPK Itu Aset Reformasi

Koran SINDO27 Mei 2015  

  

Tiap kali menoleh ke masa pemerintahan Orde Baru, kita berhadapan dengan suatu masa yang didominasi kegelapan.

Di berbagai sektor kehidupan, kegelapan itu berarti ketakutan. Gelap dan takut itu warna dominan di zaman itu. Tata kehidupan politik memang stabil karena pemerintah sendiri serbapenuh ketakutan kalau stabilitas tak terjaga. Stabilitas menjadi ukuran pencapaian target pemerintah yang nilainya tinggi sekali.

Tapi kita tidak lupa, untuk mencapai stabilitas politik itu banyak warga negara, terutama para politisi, kaum intelektual, ulama, orang-orang media massa, dan siapa saja yang bersuara lain, dan berani menyimpang dari garis yang ditetapkan pemerintah, dia musuh pemerintah. Tuduhan PKI efektif sekali untuk membungkam suara bebas yang berani berseberangan dengan rezim militeristik itu.

Pada titik akhir masa pemerintahan itu, bahkan ketika Pak Harto masih cukup kuat, suasana jenuh, perasaan bosan, kemarahan, dan tuntutan perubahan, mulai merayap dari hati ke hati, dari pemikiran ke pemikiran untuk mencari ruang kebebasan. Orang mulai bicara mengenai public sphere, ruang publik yang bisa menampung aspirasi bersama. Tuntutan ini bergerak pelan. Tapi tiap saat, dari hari ke hari, hidup kita diwarnai gerak ini.

Pemerintah yang didukung militer yang kuat lama-lama tak berdaya menghadapi gerakan tersebut. Mula-mula mereka tak percaya bahwa ada yang berani melakukan gerakan menuntut perubahan. Itu tidak mungkin. Siapa yang berani menghadapi risiko tindakannya sendiri? Dia bakal mati konyol.

Dalam masa reformasi itu memang banyak warga negara yang mati. Dan kelihatannya kematian mereka itu konyol. Tapi karena mereka ikut arus perubahan zaman yang sedang mencari dunia baru yang menyenangkan bagi masa depan bangsa, semoga mereka mati sahid. Dalam perjuangan seperti itu tidak ada yang hanya berakhir konyol.

Gerakan itu tampak bukan hanya pada wujud lahiriah ketika suatu kerumunan menguasai jalanan, dan membikin kemacetan. Gerak menuju dunia baru yang menyenangkan itu juga bukan hanya tampak ketika mahasiswa memanjat dan menduduki atap gedung DPR di Senayan. Juga bukan hanya barisan yang mendekati Istana, atau tempat-tempat strategis yang merupakan simbol pemerintahan. Semua itu penting dan masing-masing turut menentukan ke mana gelombang baru yang menuntut perubahan itu harus bergerak dan berhenti. Sekecil apa

112

Page 113: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

pun suara tuntutan, bahkan andaikata diungkapkan hanya melalui sebait pendek puisi, dia tetap penting.

Ringkas cerita, semua kekuatan, besar atau kecil, berhasil mengakhiri pemerintahan Pak Harto. Tetapi gelombang yang menuntut perubahan itu bergerak terus-menerus. Sampai beberapa tahun sesudah zaman Orde Baru berakhir, gerak menuntut perubahan itu terus berlanjut.

***

Sesudah ”goro-goro” yang mengguncangkan bumi dan langit, dan dewa-dewa pun kebingungan, pelan-pelan kehidupan ditata ulang. Tidak ada yang kelihatan sangat berpengalaman menata kembali kehidupan seperti itu. Banyak pihak hanya bermodal hati baik, niat baik dan aspirasi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Niat baik yang memandu aspirasi bersama itu modal utama kita.

Kemudian muncul gagasan mengenai perlunya KPK dibikin. Saat itu, antara tahun 2001- 2002, semangat kita menjulang tinggi ke langit. Gagasan membentuk KPK mendapat sambutan hangat dari semua kalangan di dalam masyarakat. Lalu disusun langkah dan strategi pemilihan komisioner dan ketuanya. Berbagai persyaratan menuju pemilihan yang bersih dan transparan disusun. Panitia seleksi pun dipilih dengan cara sangat terbuka. Di sana tidak ada semangat demi kawan. Cita-cita besar kita demi bangsa dan negara. Kawan, saudara, sahabat, tidak relevan sama sekali.

Di dunia yang kotor ini, anehnya, kita bersih. Mungkin karena kesadaran bahwa dunia di sekitar sudah terlalu kotor maka kita tidak boleh ikut kotor. Kita sudah terbiasa pula menjaga diri dari debu, dari comberan dan segenap najis yang tak boleh menodai tubuh kita. Jadi dalam momentum pendek ketika kita memilih panitia seleksi, dan kemudian ketika panitia seleksi memilih para komisioner, kita harus membuat diri kita bersih. Dan itu ternyata dimungkinkan. Bersih di tengah kekotoran itu bukan perkara mustahil.

Semangat kita sama hebatnya dengan jiwa dan semangat para pendahulu yang mendirikan negara ini. Kita memiliki tokoh-tokoh yang bagus di negeri kita ini. Mereka mengabdi dan membantu mencapai tujuan Reformasi. Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa bila urusan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi diserahkan pada lembaga-lembaga yang sudah ada, reformasi tak mungkin mencapai apa yang hendak dicapai. KPK dibentuk. Dan terbentuklah sudah. Kita lalu memiliki lembaga terhormat, hasil keputusan bangsa kita sendiri, dipimpin bangsa kita sendiri. Para pimpinan itu dipilih dengan cermat dan demokratis oleh wakil-wakil bangsa kita sendiri pula.

KPK bukan gagasan satu kelompok elite, kecil, terbatas, yang kesepian. KPK merupakan aset Reformasi, dan memanggul mandat Reformasi. Artinya KPK memanggul mandat yang dipercayakan seluruh bangsa.

113

Page 114: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Jika ditarik garis lurus, dengan warna tebal yang jelas, kelihatan oleh kita bahwa KPK itu sambungan aspirasi rakyat yang bergerak mencari ruang publik demi kebebasan sejak zaman Orde Baru dulu. Gerak perubahan itu berlanjut ke zaman Reformasi, yang kemudian membentuk KPK.

Jika ditanya, siapa yang merasa aspirasinya diwakili KPK, niscaya mayoritas, di atas 99%, angkat tangan dan mengatakan tanpa keraguan bahwa diri mereka diwakili KPK. Mungkin, maaf, maling, garong, kecu, berandal, begal, dan kawan-kawannya, golongan kecil di dalam masyarakat kita, bukan hanya menyatakan KPK tak mewakili kepentingan mereka, melainkan jelas, KPK musuh utama mereka.

***

Di seluruh dunia,di mana ada warna putih, di situ selalu ada warna hitam, di mana ada orang baik di situ ada orang jahat. Orang baik selalu berhadapan dengan orang jahat. Orang baik suka lengah dan wataknya memang mudah lengah. Orang jahat selalu waspada.

Kelengahan berhadapan dengan kewaspadaan saja sudah berat urusannya. Apalagi orang jahat yang waspada itu juga punya watak licik, culas, siap menipu, dan siap menelikung kaki lawan. Siapa saja yang menghalangi mereka dianggap lawan. Dan lawan juga harus dibunuh. Dibunuh itu tidak hanya berarti secara harfiah orang dihilangkan nyawanya. Orang baik yang tiba-tiba diborgol juga berarti dibunuh. Harga dirinya dibunuh. Kejujurannya dibunuh. Integritas moralnya dibunuh. Keberaniannya dibunuh.

Jadi, kita tidak bisa hanya menjadi sekadar orang baik. Orang baik itu sudah baik di dalam dirinya sendiri. Tetapi belum baik untuk menjadi pansel KPK, komisioner KPK, staf umum dan juru bicara KPK. Di sana orang harus baik, harus berpikir taktis, harus bertindak strategis dan tak mudah ditipu oleh keculasan para bandit, kecu, maling, garong, perampok, begal, dan sejenisnya.

KPK itu aset Reformasi dan memanggul mandat suci Reformasi. Kesucian di dalam diri mereka, dan dalam misi mereka, membuat mereka tak mudah tertipu. Bekerja dalam kesucian itu kemuliaan yang tak usah diragukan. Koruptor yang dilawan KPK memang banyak. Tapi rakyat yang mendukungnya jauh lebih banyak. Sebagai aset Reformasi, KPK kuat dan agung. Terkutuklah mereka yang memusuhinya.

MOHAMAD SOBARY Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

114

Page 115: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Pansel KPK

Koran SINDO28 Mei 2015

Surprise! Prediksi banyak pihak tentang nama-nama yang bakal menjadi tim panitia seleksi (pansel) untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meleset semua. Bahkan sangat jauh. Sebab nama-nama yang sebelumnya beredar semuanya ”arjuna”. Kini ternyata tim Pansel KPK seluruhnya berisi ”srikandi”.

Dan ketika nama-nama tim pansel diumumkan, seperti biasa, selalu muncul pro dan kontra. Intinya mereka mempertanyakan kompetensi dan kapabilitas anggotanya. Tapi ini adalah soal biasa terjadi di negeri kita. Saya tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Dari dulu juga begitu. Namanya juga numpang tenar.

Bagi saya masalah yang serius adalah tugas Pansel KPK ini sungguh berat. Jika melihat persyaratannya, mereka dituntut mampu memilih ”orang-orang suci” (menurut persepsi publik lagi) atau ”manusia setengah dewa”. Mereka seakan-akan harus mampu memilih orang-orang yang rekam jejak perjalanan hidupnya tidak punya cacat cela. Padahal, orang yang suci itu bisa jadi belum teruji. Kata orang bijak, semakin teruji, ada saja bocel-bocelnya. Jangan-jangan stoknya sudah habis. Apalagi yang masih mau. Bersih saja tentu tak cukup bukan?

Anda ingat kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Sejatinya, yang menjadi soal bukan benar atau tidaknya duduk perkara kasus tersebut. Yang terpenting adalah adanya rekam jejak yang bisa dijadikan alat untuk mempersoalkan posisi keduanya. Padahal dulu waktu kita uji kita pun sudah minta kepada Polri, BIN, PPATK, dan lembaga resmi lainnya untuk memberikan informasi. Toh dalam perjalanan waktu, bisa saja mereka dianggap ”memicu” pihak lain menemukan fakta-fakta baru di masa lalu yang bisa menyurutkan langkah, bahkan mematikan lembaganya. Maka Pansel KPK kali ini harus mampu memilih orang-orang yang bebas dari kemungkinan jadi ”sasaran tembak”.

Tambahan pula, kandidat itu harus mampu berpikir dan membangun langkah strategis, bukan yang emosional dan gampang tersulut atau sekadar mendapat keprokan heroik. Misalnya, kenapa sih korupsi ini makin hari makin merajalela? Apa bijak kita menuntut perubahan kalau gaji PNS, penegak hukum, dan pejabatnya cuma segini aja? Artinya kita butuh pegulat baru, bukan sekadar pejuang gagah-berani seperti yang sudah-sudah. Itu sebabnya saya menyebutnya tugas mereka adalah memilih ”manusia setengah dewa”.

115

Page 116: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Di luar itu, dalam menjalankan tugasnya mereka juga masih harus menghadapi gangguan-gangguan dari luar. Misalnya soal pro-kontra yang terus bergulir. Ini sebetulnya gangguan kecil, tapi bisa menjadi besar kalau mereka tak sanggup mengelolanya. Lalu, gangguan yang lumayan besar adalah intervensi dari banyak pihak yang ingin ”jagonya” terpilih. Apakah mereka akan mampu mengatasinya?

Belajar dari Cina

Saya mengenal sebagian dari tim Pansel KPK kali ini. Sepengetahuan saya, mereka yang saya kenal itu bersih, memiliki integritas, visi sebagai pemimpin, dan pintar. Kalau ada yang ragu soal ini, saya cuma bisa menyunggingkan bibir sambil berguman: ”hebat juga ya cari sensasinya”. Emangnya jadi pansel itu kita berani bayar berapa? Sudah syukur kalau ongkos transpornya dibayar tepat waktu. Jadi belajarlah menghormati mereka yang masih mau meminjamkan kecerdasan dan kebersihan dirinya.

Jadi kalau tugas tim Pansel KPK ini adalah memilih orang-orang yang kompeten, memiliki kapabilitas dan integritas untuk memimpin KPK, saya yakin tim ini mampu. Namun memilih ”orang-orang suci” yang sama sekali tidak mempunyai cacat cela? Apakah ada di antara kita yang betul-betul tidak mempunyai cacat cela?

Bicara soal ini, saya jadi teringat dengan ucapan Bapak Bangsa yang juga mantan Wakil Perdana Menteri Cina, mendiang Deng Xiaoping. Ucapan Deng yang kemudian melegenda adalah ”Saya tidak peduli apa warna kucingnya, yang penting dia bisa menangkap tikus.”

Ucapan itu dilontarkan ketika Deng menyaksikan betapa tertinggalnya Cina. Maka Deng mengirimkan ratusan ribu mahasiswa untuk belajar ke luar negeri. Setelah kembali, mereka memberikan kontribusi yang hebat dalam memodernisasi Cina. Bahkan lebih dari itu. Ucapan Deng tadi juga mampu menyatukan perbedaan ideologi. Pertikaian ideologi ”yang diada-adakan” inilah yang membuat Cina terbelakang.

Dalam konteks yang sama, saya kira ucapan Deng bisa menginspirasi kita dalam memerangi korupsi. Bukankah kita semua setuju bahwa korupsi di negara kita sudah menjadi masalah yang akut? Korupsi bukan saja mengakibatkan kerugian keuangan negara, tetapi juga merusak moral dan mental bangsa. Korupsi juga membuat kita menjadi bangsa yang terbelakang. Bahkan kalau mengingat kisruh ”cicak vs buaya” atau KPK vs Polri, korupsi terbukti mampu memecah-belah bangsa kita.

Apa yang kita alami sebetulnya sama dengan pengalaman Cina. Maka, kita memodifikasi ucapan Deng menjadi ”Lupakan siapa orangnya, yang penting dia bisa menangkap para koruptor.” Jadi, kita tak perlu lagi menuntut tim Pansel KPK untuk mencari ”orang-orang suci” atau ”manusia setengah dewa”. Juga tak perlu mempersoalkan siapa Destri. Saya kenal orangnya dan saya kira kita bisa memercayainya. Kita terima orang yang bersungguh- sungguh dan alhamdulillah kalau ketemu yang setengah dewa tadi. Kalau tidak ada, kita cari saja orang-orang yang bisa menangkapi para koruptor dan membangun masa depan baru.

116

Page 117: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Komisi dan Pansel

Baiklah sekarang kita bicara tentang pansel-pansel yang lain. Ini penting, sebab selain KPK, kita juga mempunyai banyak sekali komisi negara. Sebagian kalangan menyebut kita mengalami kelebihan pasok komisi. Beberapa komisi dibentuk atas perintah UU. Misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komnas HAM atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Beberapa lainnya dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah.

Lalu, beberapa komisi sangat kita kenal, beberapa lainnya terdengar asing. Misalnya, saya yakin sebagian Anda tentu masih asing dengan Komnas Lansia atau Komnas FPBI. Komnas Lansia tentu Anda sudah tahu. Ini yang menangani kalangan lanjut usia. Kalau Komnas FPBI? Itu singkatan dari Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Pandemi Influenza.

Kalau saya menyebut komisi-komisi tadi, itu karena sebagian pengurusnya mesti dipilih oleh panitia seleksi. Contohnya KPK tadi, lalu KPU, KPPU atau KPI. Bahkan sekarang untuk mendapatkan pejabat eselon I dan II pun membutuhkan pansel. Saat ini saya juga terlibat dalam pansel di sejumlah kementerian untuk memilih pejabat tinggi tersebut.

Jadi kalau ada kelebihan pasok komisi, tentu bakal ada kekurangan pasok pansel. Mencari anggota pansel menjadi sangat sulit. Mungkin bakal ada orang-orang itu saja yang menjadi anggota pansel. Maklum pengorbanan waktunya lumayan banyak. Apalagi selain komisi-komisi tadi, masih ada lagi sejumlah petinggi negara yang prosesnya juga harus dipilih lewat seleksi terbuka. Ini untuk membangun sistem meritokrasi dan sekaligus menangkal KKN. Jangan sampai posisi-posisi penting di pemerintah diisi oleh kerabat pejabat tertentu atau orang-orang terdekatnya. Birokrasi pemerintahan kita rusak, antara lain, karena faktor ini. Jadi, mesti ada tim seleksi. Di antaranya posisi untuk jabatan pimpinan tinggi (JPT).

Alhasil, mereka yang masuk tim pansel harus orang-orang mempunyai kapasitas secara akademis, dapat dipercaya, dan berpengalaman. Lalu, orang-orang ini harus menghasilkan orang-orang terpilih. Sebab orang-orang inilah yang akan mengisi posisi-posisi penting di pemerintahan.

Belajar dari tim Pansel KPK tadi, guna mengisi orang-orang di komisi-komisi lainnya, saya berharap kita tidak terjebak untuk mencari ”orang-orang suci” atau ”manusia setengah dewa”. Kalau tidak, kita bakal kesulitan mencari orang yang mau duduk di komisi-komisi tadi dan kesulitan mencari anggota panselnya. Kecuali orang-orang suci yang sudah masuk surga mau turun kembali ke bumi untuk mengurusi masalah ini. Anda mau?

RHENALD KASALIPendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali

117

Page 118: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Komunitas Batu Akik

Koran SINDO29 Mei 2015

Saya tidak ahli dan tidak pula hobi mengumpulkan batu akik, tetapi senang mendengar cerita dan obrolan seputar batu akik mulai dari kalangan sopir-sopir sampai artis dan politisi. Bahkan juga teman dosen.

Faktor pertama yang saya nilai positif adalah menciptakan lapangan kerja, melahirkan pusaran ekonomi baru, serta menambah pengetahuan betapa kayanya ragam bebatuan di bumi Nusantara ini.

Tampaknya terjadi pergeseran sikap masyarakat terhadap batu akik. Dulu batu akik sering diasosiasikan dengan pandangan mistis. Batu akik mengandung kekuatan gaib, misalnya saja kesaktian atau pengasihan. Orang berburu batu akik yang bisa mendatangkan aura agar orang lain terpikat atau takluk pada pemakainya. Makanya batu akik dikategorikan sebagai jimat. Sampai sekarang pun masih banyak orang memitoskan batu akik khususnya jenis batu yang dianggap memiliki khasiat mendatangkan keberuntungan.

Meski begitu yang saat ini mengemuka dan heboh di masyarakat cenderung sekadar mode. Artinya batu akik sebagai perhiasan dan koleksi. Harganya pun berkisar mulai puluhan ribu, ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Beberapa daerah asal yang diperebutkan misalnya saja dari Ambon, Garut, Aceh, Bengkulu, Kalimantan. Pusat-pusat perajin batu akik bermunculan. Bahkan dijual juga gerinda alat pemotongan dan penghalusan batu untuk dijadikan mata cincin dengan ukuran yang dikehendaki.

Tak pelak lagi maraknya jual beli batu akik ini telah menciptakan karya seni dan ekonomi kreatif bagi rakyat. Saya sendiri sering mendengar cerita jual-beli akik yang dilakukan sopir saya, Toni. Keuntungan tidak seberapa, tetapi lumayan untuk menambah penghasilan dan punya topik obrolan baru, katanya. Daripada ngegosip.

Kita tidak tahu sampai kapan batu akik naik daun dan meramaikan pasar. Semoga saja berlangsung terus. Kalau saja kalangan selebritas ikut mempromosikan dengan mengenakan cincin berbatu akik secara berganti-ganti, pasti rakyat akan ikut-ikutan.

Adanya batu akik yang bisa menyembuhkan penyakit, secara rasional, mudah dijelaskan. Mungkin sekali ada bebatuan yang mengandung zat kimia tertentu dan punya daya medis yang menyembuhkan bagi pemakainya. Kebetulan saja cocok dengan penyakit yang diderita. Jadi itu semata interaksi alami, tak ada faktor magisnya. Berbagai obat itu pun asalnya dari bumi. Bebatuan itu juga dari bumi.

118

Page 119: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Sangat mungkin terdapat jenis bebatuan yang mengandung obat melalui sentuhan kulit manusia. Atau mengeluarkan energi penyembuh ketika memperoleh cahaya matahari.

Naiknya posisi batu akik ini konon ceritanya bermula dari hadiah Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama berupa batu akik jenis bacan berwarna hijau berasal dari Maluku dan ketika dipakai telah mengundang perhatian para wartawan foto. Sejak itu batu akik menjadi booming. Bahkan ketika diselenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) belum lama ini, para delegasi KKA masing-masing diberi cendera mata berupa batu akik Indonesia.

Yang pasti sekarang bermunculan perajin dan pedagang batu akik karbitan sekalipun dalam batas skala ekonomi kecil. Meski begitu denyutnya telah meramaikan wacana dalam komunitas pencinta batu akik berkat dukungan media massa.

Orang bilang, kita kembali ke zaman batu, tapi tidak sembarang batu karena batu akik yang heboh sekarang ini telah mendapat sentuhan seni dan teknologi modern. Namun ada juga suara lain, mencuatnya batu akik ini merupakan sindiran alam bahwa hati kita telah membatu. Tak lagi memiliki getaran kepekaan terhadap berbagai penyimpangan dan kerusakan moral yang terjadi di sekeliling kita.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat

119

Page 120: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Paradoks Jual-Beli Ijazah

Koran SINDO30 Mei 2015     

Dunia pendidikan tinggi kita sedang diramaikan gara-gara jual-beli ijazah yang dilakukan beberapa kampus swasta yang abal-abal.

Ini bukan masalah baru yang dihadapi oleh dunia pendidikan tinggi Indonesia. Fenomena ini sudah lama terjadi, bahkan cenderung dibiarkan oleh negara. Beberapa kali terjadi pergantian mendiknas/mendikbud yang diiringi dengan pergantian pejabat di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), tetapi juga nyaris tak tersentuh. Ibarat kebal dari hukum, praktik jual-beli ijazah terus berlangsung, bahkan semakin subur.

Hal ini yang saya katakan tak tersentuh oleh negara karena memang tak ada tindakan tegas terhadap praktik-praktik curang tersebut. Negara seolah tak berdaya menghadapi berbagai praktik tersebut. Apa yang dilakukan Menristek-Dikti M Nasir dengan melakukan sidak ke beberapa PTS yang ilegal menurut saya juga bukan sesuatu yang istimewa karena itu tidak bisa menyelesaikan masalah dan bukan hal yang prinsip.

Kita memerlukan tindakan pemerintah yang tegas, disiplin, dan berani menghadapi kampus-kampus abal-abal yang mencoreng wajah pendidikan tinggi kita. Kita memerlukan aparatur pemerintah yang berdiri tegas, bersih, dan berani menghadapi perilaku-perilaku yang menjualbelikan ijazah tersebut.

Hal yang penting kita perlukan adalah prinsip sistemik yang harus dilakukan pihak Ditjen Dikti untuk lebih transparan, akuntabel, dan anti-korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam mengelola perizinan. Saya kira, berdasarkan pengalaman saya, salah satu akar masalah ini adalah proses perizinan yang diberlakukan oleh Ditjen Dikti kepada kampus-kampus swasta yang relatif mudah dan cenderung melalui proses yang kolutif.

Reformasi Birokrasi

Posisi saya jelas untuk memberikan catatan penting dalam urusan ijazah dengan reformasi birokrasi di kalangan internal Ditjen Dikti, Kopertis (sekarang berubah menjadi Lembaga Layanan Dikti), maupun kampus-kampus swasta yang abal-abal tersebut. Jual-beli ijazah ini dialami oleh kampus-kampus swasta yang dulu pasti berurusan dengan Kopertis untuk mengajukan izin pembukaan program studi ke Ditjen Dikti.

Sebelum berurusan ke Ditjen Dikti, pintu yang harus ditempuh oleh sebuah kampus swasta harus melalui persetujuan izin Kopertis, baru kemudian berurusan dengan Ditjen Dikti. Di

120

Page 121: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

sinilah sebenarnya yang kemudian menjadi masalah. Sebelum perubahan nomenklatur menjadi Kemenristek-Dikti, proses pembukaan prodi baru dilakukan secara konvensional alias tatap muka. Praktik tatap muka sangat mungkin dilakukan dengan cara-cara yang kolutif atau KKN.

Saya banyak mendapatkan informasi dari berbagai sumber dengan berbagai istilah seperti ”setoran” atau ”amplop” yang marak dilakukan oleh kampus-kampus swasta untuk mempermudah pembukaan izin program studi baru tersebut. Jangan tanya saya, apa dan bagaimana buktinya karena memang perilaku kolutif tersebut dilakukan di bawah meja yang tersembunyi dan tujuan akhirnya jelas meloloskan proposal pembukaan program studi baru-baru tersebut.

Di mana proses ini berlangsung? Dengan siapa proses ini berlangsung? Anda bisa menganalisisnya sendiri. Mari saya ceritakan pengalaman saya mengurus pembukaan izin program studi baru di kampus saya. Pada 2010 saya bersama kolega kampus mengurus pembukaan program magister di Ditjen Dikti. Ketika itu proses pengajuannya masih manual, melalui tatap muka. Proposal pembukaan program magister kami yang sudah lengkap dan mendapatkan persetujuan dari rektor kami kirimkan ke Ditjen Dikti.

Sekali-dua kali kami mendapatkan balasan karena dokumen kurang lengkap. Kami perbaiki revisi tersebut dan kemudian kami kirimkan kembali. Setelah beberapa revisi tersebut, tak ada kabar lagi. Sampai berlaku moratorium dan kemudian terjadi restrukturisasi Kemdikbud ke Kemenristek-Dikti sampai kemudian per Januari 2015 pengajuannya dilakukan secara online.

Ironisnya sebelum pemberlakuan moratorium, ketika kolega saya mengecek berkas dan posisi proposal kami, berkas proposal kami hilang keberadaannya di Kantor Ditjen Dikti. Hilang entah ke mana. Sesuatu yang sangat aneh dan tak bisa diterima akal sehat.

Ketika proses pengajuan tersebut sebelum diberlakukan moratorium, kami melihat sendiri bagaimana izin-izin baru berkeluaran yang diajukan kampus swasta. Nyaris tanpa kendala. Berkasnya tak hilang dan keluar dalam waktu yang singkat. Di situlah kemudian saya mendengar banyak cerita tentang dunia ”setoran” atau ”amplop” yang berseliweran dalam jagat pembukaan izin program studi baru.

Saya juga mendengar banyak cerita, kampus-kampus swasta berhasil mendapatkan izin dari Ditjen Dikti hanya bermodalkan ruko satu atau dua lantai dengan dosen yang tak jelas mudah meraih izin baru. Sedangkan kampus saya mengajar, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), harus bolak-balik mengembalikan berkasnya. Kampus kami jelas PTN bahkan LPTK Pembina di Indonesia. Gedungnya jelas, dosennya juga sangat jelas dengan kualifikasi profesor dan doktor. Yang membedakannya adalah: kami tak melakukan setoran yang jamak dilakukan kampus-kampus ruko tersebut. Kami tak ingin menggadaikan marwah lembaga kami demi meloloskan pembukaan izin baru tersebut.

121

Page 122: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Singkat cerita, selama empat tahun, izin kami tak juga keluar. Baru pada tanggal 30 Maret 2015, proposal izin tersebut kembali kami up load sesuai dengan aturan baru Kemenristek- Dikti yang tidak lagi memungkinkan tatap muka dengan pihak Ditjen Dikti. Tahun ini UNJ mengajukan pembukaan 12 program studi baru untuk tingkat sarjana dan pascasarjana. Dengan pengalaman tersebut, saya tak asal bicara.

Menyalahkan pihak kampus swasta tak menyelesaikan masalah. Pihak kampus swasta hanyalah salah satu pihak yang terlibat dalam relasi dengan aparatur Dikti. Menteri Nasir harus juga berkaca secara lebih kritis kepada aparaturnya. Aparaturnya juga punya peran dalam meloloskan pembukaan izin bagi kampus ruko-ruko yang bertebaran di wilayah Jabodetabek.

Menteri Nasir memang baru menjadi menristek-dikti kurang dari satu tahun. Tentu dia belum paham mendetail birokrasi dan permainan yang kerap terjadi di lapangan. Tetapi, sebagai akademisi di Undip, saya kira Menteri Nasir sudah mengetahui itu dari jauh. Karena itu, yang diperlukan adalah tak cukup dengan sidak. Yang diperlukan adalah menghapus anasir-anasir kolutif di internal Ditjen Dikti untuk lebih transparan dan akuntabel dalam mengeluarkan izin. Sebagaimana pengalaman saya, PTN mengalami kesulitan dalam pembukaan izin baru, tetapi PTS yang tak jelas justru lebih mudah izinnya keluar. Ini kan jelas ada logika uang yang bermain di dalamnya.

Menteri Nasir jangan hanya galak kepada kampus-kampus swastanya, tapi juga tegas kepada aparaturnya dan tak ada istilah kompromi dengan modus-modus atau kongkalikong dan sejenisnya. Kampus-kampus swasta yang bermasalah tersebut bekukan operasionalnya dan audit ulang seluruh proses perizinannya. Telusuri pejabat-pejabat yang terlibat dalam proses perizinan tersebut dan jika teridentifikasi ada kongkalikong yang melibatkan pejabat tersebut, Menteri Nasir harus berani mengambil keputusan dengan sanksi tegas.

Jika ini berani dilakukan oleh Menteri Nasir, dia telah melakukan terobosan fundamental dalam membenahi karut-marut ijazah dalam pendidikan tinggi kita. Jadi, tak hanya cukup dengan sidak.

RAKHMAT HIDAYAT Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Research Fellow di Universitat Leipzig, Jerman

122

Page 123: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Beras Palsu dan Spirit Baru Pangan Lokal

Koran SINDO30 Mei 2015

Harian KORAN SINDO terbitan Medan (Senin, 25/5) mengangkat berita utama tentang kepanikan masyarakat terkait peredaran beras palsu. Pasalnya, sejumlah warga di Sumatera Utara semakin cemas, khawatir mutu beras yang dikonsumsi tidak aman dan belum ada kepastian siapa yang memproduksi karena pemerintah masih terus mendalami motivasi mereka yang mengedarkan beras bermasalah itu.

Kian besarnya perhatian masyarakat tentang pemberitaan beras jadi-jadian ini memberikan dampak dari berbagai sisi. Salah satunya masyarakat semakin peduli tentang mutu bahan makanan yang dikonsumsi meskipun selama ini sangat jarang mereka memperoleh informasi tentang beras bermutu baik dari lembaga terkait. Hal lain adalah momen ini menjadi awal kebangkitan dan spirit baru tentang pangan lokal non-beras yang kandungan gizinya tak kalah dengan beras berbahan baku padi.

Mengingatkan Pemerintah

Terlepas dari motif ekonomi dan politik di balik temuan beras plastik yang kini diduga semakin luas peredarannya di tengah masyarakat, pemerintah diingatkan bahwa negeri ini memiliki potensi pangan lokal yang sangat besar untuk dikembangkan menyubsitusi beras sebagai makanan pokok. Tetapi, potensi ini belum digali secara serius karena pemerintah tetap nyaman dengan hobi lamanya untuk mengimpor berbagai bahan pangan termasuk beras.

Saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi-JK mengemas janjinya dalam dokumen Nawacita (sembilan cita-cita utama) untuk memajukan ketahanan pangan. Salah satu program aksi utamanya adalah membangun kedaulatan pangan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi kerakyatan.

Sebagai bukti, Presiden Jokowi tengah meluncurkan kebangkitan pangan lokal. Lewat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi yang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014 tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara mendorong penguatan kedaulatan pangan dengan menyajikan menu makanan tradisional produksi dalam negeri pada setiap penyelenggaraan rapat.

Implikasi dari kebijakan ini membawa banyak manfaat. Salah satunya adalah petani akan memperbaiki usaha taninya supaya masyarakat lebih nyaman dan nikmat mengonsumsi pangan lokal. Pangan lokal berbahan dasar singkong, ubi jalar, pisang bahkan dapat diolah

123

Page 124: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

sedemikian rupa sehingga pantas disajikan di acara-acara resmi kenegaraan. Implikasi dari semangat baru yang dikemas dalam bingkai Nawacita mendorong singkong rebus menjadi menu saat rapat kabinet di Istana Negara. Sebuah langkah maju untuk menjadi contoh ketimbang anjuran dalam pidato. Jika para pejabat mulai mengadopsi gaya hidup sederhana, langkah ini akan mengedukasi masyarakat untuk menjauhi pola hidup boros dengan mengonsumsi pangan impor yang terkesan mewah.

Produk olahan singkong tidak seharusnya dianggap sebagai lambang kemiskinan dan inferior. Anjuran pemerintah agar para pejabat mulai makan ubi rebus, selain meningkatkan martabat singkong sebagai pendamping makanan pokok beras, juga mendorong petani mengoptimalkan penggunaan lahan pertanian, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk memenuhi permintaan pasar global yang terus berkembang.

Selama ini singkong selalu dipandang lebih rendah dari beras sebagai bahan pangan pokok karena kandungan proteinnya yang relatif minim. Namun, masyarakat Batak Toba memiliki budaya makan lokal untuk menyiasati mahalnya beras di masa penjajahan Belanda. Mengonsumsi ubi singkong rebus sebagai makanan ”pembuka” menjadi pilihan yang amat populer saat itu. Pola konsumsi ini dikenal ”manggadong” untuk menyebut mengonsumsi ubi rebus sebelum makan nasi.

Sayangnya, berbagai budaya makan lokal yang dimiliki setiap daerah dan sudah dikenal sejak berabad-abad silam secara perlahan mulai terpinggirkan karena pesatnya perkembangan korporasi pangan global memproduksi pangan olahan berbasis gandum. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangan telah menghabisi budaya makan berbasis kearifan lokal. Dengan penguasaan ilmu dan teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan mengatur sistem distribusi pangan. Harga pun mereka atur sedemikian rupa. Struktur oligopoli bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan baru bernama food capitalism.

Momen Kebangkitan

Imbauan pemerintah agar semua instansi pemerintahan menyediakan singkong rebus saat rapat memberi pemahaman baru tentang ketahanan pangan. Selain mengembalikan martabat singkong sebagai pangan lokal potensial dan menjadi spirit baru bagi para petani lokal karena hasil keringat mereka dihargai pemimpinnya, juga menjadi momen kebangkitan pangan lokal.

Sebagai kebutuhan dasar, pangan senantiasa harus tersedia secara beragam, bergizi seimbang, dan aman untuk dikonsumsi (UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan). Namun, belakangan ini ketersediaan pangan lokal mulai tergerus dan Indonesia makin bergantung pada pangan impor. Devisa negara pada 2014 terkuras sekitar Rp135 triliun untuk mengimpor berbagai bahan pangan, mulai dari garam, beras, daging, kedelai, hingga gula.

Bahan pangan dapat dijadikan sebagai kekuatan politik dan kepentingan kelompok tertentu. Banyak kalangan berpendapat bahwa pangan sesungguhnya identik dengan senjata (food is

124

Page 125: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

the weapon) untuk melemahkan kedaulatan suatu bangsa. Negara yang sangat menggantungkan diri pada pangan impor, ia bak sebuah negara jajahan baru bagi bangsa maju. Kini ancaman krisis pangan menjadi bayang-bayang menakutkan bagi sebagian bangsa, termasuk Indonesia.

Harga pangan menjadi bola liar yang kian sulit dikendalikan membuat setiap negara berupaya menyelamatkan kepentingan dalam negeri dan membatasi ekspor. Fenomena ini perlu disikapi secara baik dengan mengoptimalkan pemanfaatan pangan berbasis sumber daya lokal untuk memantapkan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Mengonsumsi produk pangan lokal berarti melepas ketergantungan impor dan keluar dari jebakan pangan asing.

Persoalan krisis pangan semakin masif. Pemerintah harus lebih serius melakukan pembangunan pertanian. Jika tidak, sebanyak 250 juta jiwa rakyat Indonesia akan kelaparan. Bangsa yang dikenal sebagai negara agraris, namun masih menggantungkan diri pada pangan impor, bisa jadi pemerintahan Jokowi-JK tidak punya harga diri lagi di mata dunia. Petani merupakan pahlawan ketahanan pangan yang selama ini telah menjaga kedaulatan bangsa.

Kita berharap pemerintahan Jokowi-JK tidak mengulangi praktik politisasi petani seperti yang dilakukan pemerintahan SBY. Saat dilantik pada 2004, ia berjanji untuk melakukan revitalisasi pertanian sebagai agenda utama pemerintahannya di bidang ekonomi. Namun, hingga akhir masa jabatannya kinerja sektor pertanian tidak semakin baik. Produktivitas sektor pertanian sedemikian rendah menyebabkan hampir 65% kebutuhan pangan harus diimpor dan janji surplus beras sebanyak 10 juta ton pada 2014 kandas di tengah jalan.

Keberhasilan pembangunan sektor pertanian harus menjadi jawaban bagi kemandirian bangsa ke depan. Pembangunan pertanian harus disertai riset berkelanjutan guna meletakkan dasar industrialisasi pertanian yang kuat. Langkah yang patut ditempuh untuk mendukung program ini adalah memperbesar subsidi di sektor pertanian agar Indonesia bisa segera mencapai kedaulatan pangan. Subsidi untuk sektor pertanian jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp300 triliun.

Minimnya subsidi di sektor pertanian berkorelasi positif dengan kurangnya minat generasi muda bekerja di sektor pertanian. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan sektor pertanian masih mengandalkan sekitar 33% petani berusia tua. Sebaliknya, persentase petani dengan usia muda hanya sekitar 12,87%. Angka ini mengisyaratkan kurangnya minat dan perhatian generasi muda di bidang pembangunan pertanian pangan. Fenomena ini patut diwaspadai karena dapat membahayakan pembangunan kedaulatan pangan pada masa datang.

Pemerintahan harus serius mengawal kebangkitan pangan lokal dengan memosisikan pertanian sebagai sektor ekonomi yang seksi bagi generasi muda bangsa. Sketsa kehidupan perdesaan yang miskin seolah menjadi mimpi buruk bagi mereka. Data BPS (2013) menunjukkan kemiskinan petani bukan sekadar isapan jempol. Dari sekitar 30 juta penduduk miskin, 65% tinggal di perdesaan yang bekerja sebagai petani dan buruh tani.

125

Page 126: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

POSMAN SIBUEA Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara; Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

126

Page 127: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Cicak Sekecil Itu pun Dimusuhi

Koran SINDO1 Juni 2015

Sebelum KPK lahir, penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, boleh dikatakan sama sekali tidak berjalan sebagaimana diharapkan seluruh rakyat Indonesia. Usaha memberantas korupsi sudah ditempuh dengan berbagai cara.

Lembaga-lembaga yang diberi mandat memerangi korupsi dibentuk dengan niat yang sungguh-sungguh dan dipimpin tokoh-tokoh yang memiliki integritas moral yang tinggi, tapi hasilnya sama sekali tak memuaskan. Orang baik, orang bersih, orang jujur tampil sebagai tokoh utama melawan korupsi, tapi mereka boleh dikatakan tak berdaya. Mereka menjadi “panglima” dalam misi tersebut, tetapi yang sebenarnya panglima bukan mereka, melainkan presiden.

Tiap saat ditemukan tindak pidana korupsi yang layak diberantas, para “panglima” itu harus lapor dulu kepada presiden, menanti bagaimana tindakan presiden selanjutnya. Tapi presiden tidak bertindak. Sang “panglima” tak diberi kewenangan melakukan tindakan. Jadi korupsi hanya “ditemukan”, jumlah uang negara yang dikorup diketahui dengan pasti, koruptornya sudah diperiksa dengan saksama oleh “panglima” tadi. Tindakan selanjutnya tinggal memecatnya secara langsung dari jabatannya.

Bila presiden yang melakukannya, jelas pemecatan tak memiliki dampak hukum apa pun. Presiden bisa membujuknya untuk mengundurkan diri dengan aman dan tak dipermalukan, tapi uang hasil korupsinya segera dikembalikan kepada negara. Aman sekali.

Jenderal Yusuf, orang bersih dan tegas, setegas sifat-sifat etnisnya, etnis Bugis yang tak usah diragukan, bila diberi kewenangan bertindak langsung oleh presiden, niscaya semuanya beres. Tapi jenderal yang bersih dan tegas itu hanya diberi tugas untuk turun ke lapangan dan melihat sendiri secara langsung bagaimana suatu jenis korupsi dilakukan, tapi tak diberi tugas untuk mengambil tindakan. Kabarnya jenderal itu pernah geregetan dan marah kepada presiden, tapi presiden mengajaknya tersenyum. Dan bubarlah tim pemberantasan korupsi. Tim basa-basi yang tak sepenuhnya bergerak dengan landasan politik dan moral yang jelas.

Karena di masyarakat orang mengeluh akan kejamnya korupsi, yang membuat yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin, maka dibentuklah lembaga tadi biar suasana psikologis-politis di dalam masyarakat stabil dan terkendali dengan baik. Di zaman itu apa yang disebut “stabilitas” itu bukan hanya merupakan kata sifat, kata keadaan, melainkan juga kata kerja yang suci, sesuci mantra-mantra yang memiliki kekuatan magis yang besar. Koruptor dimanjakan dengan sebaik-baiknya, semanja-manjanya.

127

Page 128: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Tapi, kelahiran KPK di zaman ketika presiden itu sudah tidak berkuasa, lain sekali. KPK lahir dengan ketulusan politik. Landasan etisnya pun jelas: korupsi yang terlalu merajalela sudah saatnya dihentikan. Rakyat sudah saatnya turut menikmati kekayaan negara. Kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan banyak pelayanan publik yang baik, sudah waktunya dinikmati rakyat. Semua itu bisa dinikmati rakyat hanya jika korupsi diberantas.

KPK memanggul mandat itu. Presiden boleh gulung koming ketika orang-orang terdekatnya ditangkap KPK dan dihukum dengan hukuman selayaknya. Tapi presiden tak punya kewenangan apa pun. KPK memegang kewenangan penuh untuk bertindak.

Kita tahu tindakan KPK atas suatu mandat suci, yang merupakan suara hati nurani rakyat Indonesia. KPK sebagai lembaga tak memiliki kepentingan. Tokoh-tokoh KPK secara perseorangan, apa kepentingan politiknya? Kalau mereka bekerja dengan baik, dengan tegas tapi tulus dan jujur, untuk memperoleh kredit kinerja yang baik, di mana letak salahnya? Apa dosa mereka bila timbul harapan agar kelak bisa memangku jabatan lain sesudah masa kerjanya di KPK berlalu dengan mulus?

Jika diingat dengan baik bahwa KPK lahir dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia di zaman Reformasi dulu, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali taat, patuh, dan tunduk pada keputusan besar itu. Kita tahu keputusan itu sangat strategis dilihat dari segi mana pun. Seluruh dunia mendukung kita. Bumi dan langit membenarkan langkah kita. Para wali, para nabi, dan roh-roh suci yang selama ini merasa kecewa, kini semua merasa lega. Jalan rohaniah dan politik telah kita tempuh demi kebaikan seluruh rakyat Indonesia. Betapa mulianya kita.

Tapi mengapa ada lembaga-lembaga, tokoh-tokoh, dan para petinggi lembaga bersangkutan yang tak begitu berkenan di hati kepada KPK? Makin lama makin terasa menjadi lebih jelas, lebih terang, bahwa mereka iri, dengki, dan penuh sikap memusuhi KPK. Bukan iri dan dengki? Mereka jengkel dan marah secara terang-terangan karena KPK menangkap saudara mereka, sahabat mereka, besan mereka atau petinggi mereka? KPK lalu disebut sok kuasa, sok berani, dan sok ingin menjadi pahlawan? Juga dianggap superbodi yang kelewat berkuasa?

KPK memiliki tugas dan segenap kewenangan yang sudah digariskan secara resmi. Tugas itu bukan mereka sendiri yang menentukan. Mereka hanya tinggal menjalankannya. Dan hanya dalam bingkai kewenangan itu mereka bekerja. Hanya itu. Tidak ada yang tampak berlebihan. Bukankah karena hanya terbatas seperti itu kewenangannya, maka lalu ada yang menyebutnya sekadar seperti cicak di tembok?

Cicak itu gambaran kelemahan dan ukuran serbakecil dibandingkan hewan lain, misalnya buaya. Mengapa hanya cicak yang begitu kecil dan lemah pun dimusuhi dengan segenap kedengkian? Mengapa makin lama cara memusuhinya makin sistematis dan mengarah pada niat untuk meniadakannya?

128

Page 129: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Usaha melemahkan, menuju semangat meniadakan KPK, tak bisa dibiarkan begitu saja. Ini lembaga yang kita miliki bersama. Ini milik negara, milik rakyat, dan milik seluruh bangsa. Juga milik mereka yang memusuhinya dengan kedengkian tadi. Cicak kecil itu berkembang sesudah dibentuk dan dilahirkan dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Mereka yang memusuhi cicak kecil itu berarti memusuhi seluruh rakyat. Musuh sang cicak jelas musuh rakyat.

MOHAMAD SOBARYEsais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

129

Page 130: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Pesan Waisak Lawan Kebiadaban

Koran SINDO2 Juni 2015

Hari Trisuci Waisak memperingati tiga peristiwa suci dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gautama, yaitu: kelahiran Sidhartha Gautama yang masih calon Buddha, pencapaian pencerahan sempurna Pangeran Sidharta menjadi Buddha, serta mangkatnya Sang Buddha.

Tiga peristiwa agung itu terjadi pada hari yang sama, yaitu hari purnama sidi, bulan Waisak, dengan tahun yang berbeda. Sebab Sidharta lahir pada 623 SM di Kapilavasthu, India Utara. Pencerahannya sehingga disebut Buddha terjadi pada 588 SM di Bodhgaya, India, dan mangkatnya Sang Buddha pada usia 80 tahun, di Kusinara, India. Hari Trisuci Waisak 2559 tahun ini jatuh pada 2 Juni 2015.

Pangeran Siddharta pernah diramal kelak apabila tidak menjadi raja akan menjadi petapa. Ayahnya yang raja tidak menginginkan putera mahkotanya menjadi petapa. Karena itu, ia membesarkan Pangeran dengan segala kesenangan dan kemewahan dan menjauhkan dari orang-orang yang mengalami kesusahan.

Pangeran dinikahkan dengan Puteri Yasodhara yang memberinya seorang putera. Namun, selalu ada kegelisahan dalam jiwanya, tiap kali Pangeran menyaksikan bagaimana orang menderita, ditelan usia tua, sakit, dan mati. Pangeran terus bertanya bagaimana semua itu terjadi. Maka pada usia 29 tahun, Pangeran mengambil keputusan besar yang kelak mengubah sejarah hidupnya, bahkan dunia.

Dia memilih menjadi rakyat jelata dan menjadi satu dengan yang menderita serta melupakan segala yang berbau duniawi. Banyak guru ditemui, tetapi tidak satu pun mampu menunjukkan cara mengatasi penderitaan. Dia berpuasa menahan lapar hingga maut hampir merenggutnya.

Lalu, timbul kesadaran untuk mengambil jalan tengah, menghindari dua bentuk ekstrem: mengumbar nafsu dan menyiksa diri. Akhirnya, pada usia 35 tahun, Pangeran berhasil mencapai pencerahan atau Penerangan Sempurna. Dia menjadi Buddha.

Ajaran Mulia

Buddha tidak hanya mengajarkan spiritualitas personal, tetapi juga struktural. Dia mendirikan struktur monastik, yang dinamakan Sangha, yang membawa orang, individual, dan kelompok melatih diri mengatasi penderitaan. Sangha adalah komunitas yang membongkar struktur sosial yang timpang dan diskriminatif. Atas dasar kasih sayang Sangha bertugas melayani

130

Page 131: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

dan membahagiakan masyarakat banyak. Itulah cara mengubah penderitaan dengan rahmat bagi semesta alam.

Momentum Waisak adalah kesempatan bagi umat Buddha memperjuangkan nilai kemanusiaan daripada sekadar mempertahankan simbolisme agama yang kosong. Apalagi, dalam teologi Buddhis, agama hanyalah rakit. Orang beragama menggunakan rakit, tidak harus dimiliki, karena kalau seseorang melekat pada apa pun, kemelekatan itu dalam kehidupan rohani akan merugikan.

Tiap rakit punya keunikan, kecepatan dan jenis yang berbeda. Meski demikian, tujuannya sama: ke pantai seberang. Karena itu, ajaran Buddha menegaskan bahwa mengorbankan manusia demi kepentingan agama secara fundamental keliru dan sulit diterima akal sehat. Sebab, agama bukan tujuan. Agama hanyalah jalan. Menurut Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, banyak sekali orang menganggap agama sama dengan Tuhan, padahal agama bukan Tuhan. Agama juga terlalu rendah jika dipakai sebagai kendaraan politik, apalagi jika untuk membenarkan segala bentuk kekerasan.

Maka umat Buddha senantiasa berharap agar perayaan Waisak membawa pencerahan dan kebebasan dari segala penderitaan. Pesan Waisak mengajak umat Buddha senantiasa mengasah kembali kesadaran dan pengendalian diri dari perbuatan jahat. Pesan itu dilandasi konsep Dhamma bahwa pikiran menjadi lokomotif dari suatu tindakan.

Kecam Kebiadaban Atas Rohingya

Terdorong oleh ajaran mulia di atas, maka umat Buddha merasa jengah ketika terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran tersebut. Tidak heran organisasi kemasyarakatan Buddha se-Jawa Timur baru-baru ini menggelar aksi unjuk rasa mengecam penindasan dan pembantaian etnis muslim Rohingya oleh mayoritas umat Buddha Myanmar di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jumat (22 Mei 2015).

Menurut Pengurus Wali Umat Buddha (Walubi) Jawa Timur, Romo Sunarto, tidak ada ajaran dalam agama mana pun yang membolehkan penindasan terhadap umat agama lain. Karena itu, pihaknya mengutuk keras tindakan umat Buddha Myanmar yang menindas minoritas muslim Rohingya. Penindasan itu melanggar moralitas agama Buddha.

Memang menurut Romo Sunarto, kebiadaban yang terjadi pada etnis Rohingya merupakan eksternalisasi dari pikiran jahat dari pihak junta militer dan umat Buddha Myanmar, yang diselimuti kebencian. Kebencian itu menyusup secara perlahan ke dalam pikiran, ketika nafsu angkara murka akibat ingin berkuasa atas orang lain sudah sedemikian kuat mencengkeram. Yang menarik dalam unjuk rasa itu ormas Islam dan agama lain juga ikut.

Karena itu, agar kasus keji terhadap Rohingya tidak merambat ke mana-mana, termasuk Indonesia, umat Buddha bersama umat beragama apa pun perlu belajar menghapus kebencian

131

Page 132: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

dan siap menaburkan kasih dalam kerangka memahami, menghormati, dan mengembangkan toleransi.

Kita juga belajar toleran di tengah perbedaan etnis, agama, suku bangsa, dan budaya yang ada. Cinta kasih yang luas kepada semua orang melampaui segala perbedaan, karena cinta kasih yang universal akan meluaskan pikiran baik, menyingkap sekat pembatas dan menjadi kekuatan sejati dalam membina persaudaraan antarsesama. Seperti sabda Sang Buddha: ”Kebencian tidak akan pernah usai jika dibalas dengan kebencian, tapi kebencian akan berakhir dengan cinta kasih. Inilah hukum yang abadi.” (Dhammapada 5).

Selama ini hambatan primordial untuk mencintai sesama adalah egoisme. Kepentingan diri membuat orang memberi tanpa ketulusan. Kepentingan diri membuat kita melihat sesama manusia sebagai ”yang lain”. Orang lain pun dijadikan alat pemuas untuk arogansi diri. Bahkan yang tidak sependapat, bisa diinjak-injak, asal ”aku” senang sendiri.

Bumi pun lalu menangis menyaksikan perilaku manusia diselimuti amuk kegelapan dan kebiadaban. Bumi meronta menatap kaum jelata kelaparan di tengah pusaran perut penguasa atau pengusaha yang tak beradab. Bumi mengecam para elite yang tidak peduli nasib korban luapan lumpur sial Lapindo, meski sudah sembilan tahun berlalu. Bumi mengutuk para pemimpin yang pandai mengumbar janji kesejahteraan, tapi giliran berkuasa, sudah menjadi lupa di tengah nasib buruk kaum miskin. Bumi merintih dan menjerit akibat ulah manusia yang mengeksploitasi alam tanpa henti.

Waisak harus menjadi momentum mengintrospeksi diri. Ajaran Buddha perlu jadi referensi untuk pembentukan sikap dan tingkah laku yang lebih beradab. Jadi, mari kita semua kembali ke ajaran mulia agama yang kita anut. Sedang sebagai bangsa Indonesia, kita perlu menengok dan mengimplementasikan lagi sila-sila dalam Pancasila (kebetulan 1 Juni 2015 adalah peringatan hari lahir Pancasila), agar tidak terjadi kebiadaban yang mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan.

TOM SAPTAATMAJA Teolog dan Aktivis Lintas Agama

132

Page 133: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Sepak Bola dan Tata Kelola Dunia

Koran SINDO3 Juni 2015

Kita menghadapi ragam persoalan internasional yang serius dalam beberapa bulan terakhir, mulai dari masalah hukuman mati terpidana narkoba, hukuman mati terhadap para TKI, hingga masalah Rohingya.

Dalam seminggu ini kita juga mengalami masalah internasional yang ringan-ringan tapi berat, yaitu dihukumnya PSSI dari pergaulan sepak bola internasional hingga batas waktu yang tidak ditentukan. FIFA sebagai induk organisasi sepak bola menganggap bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan intervensi dalam dunia PSSI dan tindakan itu sangat haram dalam statute FIFA. Segala macam dalih yang disampaikan Kementerian Pemuda dan Olahraga tidak membuat FIFA berubah pikiran. Sanksi akhirnya tetap dijatuhkan pada 29 Mei yang lalu.

Apa yang menarik dari persoalan sepak bola ini adalah sejumlah pendapat yang tidak menyadari bahwa dunia saat ini tidak lagi diatur sepenuhnya oleh sebuah kedaulatan negara, tetapi juga diatur aktor-aktor non-negara (non-state actors), termasuk dalam hal ini FIFA sebagai induk organisasi sepak bola internasional.

Dalam bahasa politik luar negeri, FIFA adalah perwujudan dari yang disebut dengan kedaulatan baru (new sovereignty). Kedaulatan baru adalah fenomena yang semakin kuat setelah usainya Perang Dunia II dan Perang Dingin. Kedaulatan baru ini paling kental terasa kehadirannya dalam wilayah hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.

Chayes dan Chayes (1998, 27) menekankan bahwa dalam kedaulatan baru, kedaulatan tidak lagi semata soal kebebasan negara untuk bertindak secara independen sesuai dengan kepentingan nasionalnya, tetapi bertindak sebagai bagian dari keanggotaan dalam rezim (internasional) yang dianggap lebih bermakna. Persisnya mereka mengatakan “sovereignty no longer consists in the freedom of states to act independently, in their perceived self-interest, but in membership ... in regimes that make up the substance of international life”.

Di dalam kedua wilayah tersebut, kita merasakan kehadirannya paling jelas pada masa Orde Baru, yakni ketika organisasi internasional dan beberapa negara Barat menyoroti dan menekan Pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintahan Orde Baru mulai dari masalah buruh hingga kasus penghilangan paksa.

133

Page 134: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Tekanan terakhir yang kita terima adalah permintaan untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup bagi terpidana narkoba berdasarkan Konvensi Hak Sipil dan Politik di mana Indonesia telah setuju untuk menandatanganinya. Tekanan itu menjadi relevan untuk dipertimbangkan ketika Indonesia, khususnya organisasi buruh migran, menggunakan bahasa HAM yang sama ketika menekan negara yang ingin menghukum mati buruh migran yang melakukan pelanggaran hukum di negara penerima.

Menguatnya kedaulatan baru berangkat dari asumsi dan fakta bahwa dunia sudah terlalu rumit dan kompleks untuk hanya dapat diatur oleh negara per negara. Contoh adalah industri sepak bola. Industri sepak bola tidak hanya mengatur 22 pemain di lapangan hijau ditambah dengan tiga wasit yang mengawasi dan mengatur jalannya pertandingan.

Di belakang layar industri tersebut berdiri ribuan pabrik besar hingga kecil yang mencakup jutaan pekerja. Bola atau sepatu yang digunakan para pemain di Liga Inggris kemungkinan diproduksi oleh buruh-buruh pabrik di Cikokol Tangerang yang mengimpor bahan baku murah dari Cina dengan pabrik yang menggunakan sistem dari India dan desainnya dibuat di Manchester, sementara kantor pusatnya berada di Jerman atau Amerika Serikat.

Rangkaian produksi tersebut berjalan pada sistem hukum dan demokrasi yang berbeda dan sayangnya banyak industri yang memetik keuntungan dengan menanamkan investasi ke negara dengan sistem hukum yang lemah dan koruptif. Oleh sebab itu diperlukan sebuah tata kelola baru yang menjamin bahwa keuntungan yang dipetik oleh perusahaan berasal dari kompetisi yang sehat di mana indikator utamanya adalah penghormatan terhadap HAM dan demokrasi.

Tata kelola bertindak seperti sebuah negara yang memiliki sistem yudisial dan eksekutif untuk mengatasi perselisihan dan menjalankan organisasi. Dengan kata lain, tata kelola ini adalah rezim internasional yang mengatur sebuah wilayah politik ekonomi sektor-sektor tertentu.

Ciri paling penting dari tata kelola baru ini adalah sifatnya yang sukarela tanpa paksaan. Tidak ada yang memaksa Indonesia untuk bergabung dengan FIFA, tetapi apabila sudah bergabung, industri sepak bola harus patuh dengan peraturan FIFA. Sama seperti tidak ada yang memaksa Indonesia untuk menjadi penandatangan Konvensi Hak Sipil dan Politik, tetapi ketika sudah menandatanganinya, Indonesia harus patuh dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh konvensi tersebut.

Ada beberapa asosiasi sepak bola lain yang berdiri di luar FIFA seperti Confederation of Independent Football Associations (CONIFA) atau New Federations Board. Dalam HAM banyak pula negara yang tidak menandatanganinya. Dalam konteks kedaulatan baru tersebut, kita perlu menempatkan solusi sepak bola dan masalah politik internasional lainnya secara tepat dan proporsional.

134

Page 135: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Masalah sepak bola dan masalah HAM bukan barang yang berbeda dalam konteks kedaulatan baru tersebut. Negara perlu memiliki dasar-dasar argumentasi yang kuat tentang untung dan ruginya bagi Indonesia untuk ikut atau tidak ikut dalam dinamika politik kedaulatan baru tersebut.

Salah satu tantangan utama di sini adalah bahwa rezim tata kelola tersebut tidak sempurna. Seperti dalam kasus FIFA, praktik korupsi sudah puluhan tahun dibicarakan dan diinvestigasi, tetapi tidak berhasil dibawa ke tingkat pengadilan karena dianggap masuk dalam wilayah internal organisasi dan bukan masalah publik. Dalam rezim tata kelola HAM juga demikian. Beberapa negara yang mendorong HAM bertindak keras kepada negara-negara yang lebih lemah posisi politiknya, tetapi tidak kepada negara yang memiliki posisi tawar kuat.

Apa pun keputusannya, dengan perkembangan di atas, pemerintah dan masyarakat patut konsisten dengan pilihan terdahulu untuk membersihkan sistem tata kelola pemerintahan ke segala lini dan memperbaiki sistem rekrutmen dalam politik kita. Kita tidak dapat menyerahkan perbaikan demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan HAM kepada negara lain.

Kasus PSSI adalah momentum untuk perubahan tidak hanya di ranah industri sepak bola, tetapi juga di ranah yang lain. Perbaikan ini hendaknya dilaksanakan paralel dengan upaya kita untuk tetap kritis memperbaiki sistem tata kelola dunia yang ada, baik di FIFA, dewan HAM, PBB maupun rezim tata kelola lainnya. Kita juga perlu ingat bahwa kita hanya dapat memperbaiki sistem politik dan tata kelola dunia menjadi lebih adil apabila kita juga melakukannya di dalam sistem politik dan demokrasi kita sendiri.

DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu

135

Page 136: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Gengsi Gelar Ijazah Palsu

Koran SINDO4 Juni 2015

Setidaknya dua kementerian di negeri ini baru saja terguncang dengan temuan ijazah palsu. Menteri Ristek dan Dikti M Nasir memperoleh laporan dari masyarakat tentang dugaan ada 18 kampus di Jabodetabek dan NTT yang terlibat pembuatan ijazah palsu. Natsir kemudian berkoordinasi dengan Menpan Yuddy Chrisnandi untuk menindaklanjuti temuannya itu.

Kasus ijazah palsu itu pun kemudian dilaporkan ke kepolisian. Sementara Yuddy Chrisnandi menerbitkan surat edaran (SE) yang ditujukan ke seluruh pimpinan lembaga/instansi pemerintah agar meningkatkan derajat ketelitian agar penggunaan ijazah palsu dapat tercegah. Itu juga sekaligus merupakan bagian dari keseriusan pemerintah supaya tidak main-main dengan ijazah palsu.

Reaksi cepat pemerintah itu memang patut diapresiasi. Namun, apakah isu ijazah palsu itu sesuatu yang mengejutkan? Sebenarnya, setidaknya bagi saya dan banyak pihak yang memeliki perhatian serius terhadap penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, kasus ijazah palsu temuan menristek dan dikti itu ”sama sekali tidak mengejutkan”. Bahkan sangat janggal jika indikasi seperti itu baru sekarang diketahui atau mau diributkan oleh pejabat di bidang pendidikan dan Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. Aneh juga kalau yang terdeteksi hanya di dua daerah (Jabodetabek dan NTT) itu. Faktanya, itu sudah merebak di seluruh Tanah Air.

Fenomenanya, meski tidak sama persis dengan proses-proses lahirnya ijazah palsu, sebenarnya sudah terjadi juga di banyak perguruan tinggi negeri (PTN). Indikasi nyata yang bisa dicermati adalah dengan keberadaan berbagai kemudahan dalam memperoleh ijazah melalui berbagai proses belajar-mengajar yang instan. Tengok saja misalnya pembukaan program pascasarjana (S-2 dan S-3) oleh PTN. Memang semua itu resmi. Namun, proses-prosesnya lebih bersifat formalitas saja atau sama sekali tak ada tuntutan untuk terpenuhinya standar kualitas tertentu. Atau, memang barangkali sudah dirancang untuk tidak terstandar (unstandardized education).

Karya skripsi, tesis, dan atau disertasi pun, bukan rahasia lagi, dibuatkan oleh pihak ketiga. Peserta didiknya hanya tahu konsultasi dengan pihak dosen pembimbing dan setelah itu tanda tangan. Pihak perguruan tinggi dan para tenaga pengajar pun, kalau mau jujur, sudah tahu proses-proses formalitas kuliah seperti itu, dianggap suatu yang wajar-wajar saja. Apalagi, para pesertanya adalah pihak yang berduit, para pejabat dari berbagai instansi yang sedang berburu gelar demi gengsi.

136

Page 137: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Singkatnya, penyelenggara pendidikan baik oleh swasta (masyarakat) maupun pihak pemerintah telah memanfaatkan atau terlibat dalam bisnis ijazah untuk melegalkan gelar atau capaian jenjang pendidikan secara formal kepada mereka-mereka yang mengejarnya.

***

Praktik bisnis pendidikan seperti itu pada dasarnya merupakan buah atau respons dari banyaknya warga bangsa yang haus gelar untuk sebuah status sosial dan atau posisi formal. Pengukuhan pemberian gelar itu diupacarakan dengan istilah ”wisuda” (graduation ceremony) yang dihadiri oleh keluarga dengan perasaan bangga. Pihak penyelenggara pendidikan pun memperoleh pemasukan uang dari acara penganugerahan gelar sarjana itu. Setelah itu gelar itu pun dengan mapan dilekatkan menyertai nama penerimanya. Jangan coba-coba kalau menulis nama yang bersangkutan tanpa menyertakan gelar yang disandangnya karena itu bisa membuatnya marah besar atau tersinggung.

Baik penyelenggara pemberian gelar maupun pesertanya jelas sangat tidak peduli tentang proses instan dan atau penguasaan materi sebagai substansi dari ijazah yang diperoleh. Maklum, masyarakat atau orang-orang yang ditemui pemegang ijazah seperti itu tak akan pernah berani (dan memang tak punya otoritas) untuk menguji kemampuan atau penguasaan materinya.

Pemerintah pun, jangankan menerapkan standar baku tentang penguasaan materi untuk bisa layak memperoleh gelar di bidang tertentu, proses-proses penyelenggaraannya saja dibiarkan begitu bebas. Pejabat yang berwenang pun tak mempersoalkannya karena sudah saling memahami melalui hubungan-hubungan khusus baik melalui administrasi resmi maupun informal. Penyelenggara pendidikan pemberian gelar bahkan bisa berbagi hasil bisnis dengan oknum yang berwenang sehingga selamanya akan aman-aman saja.

Kenyataan kondisional seperti itulah yang menjadikan suburnya praktik pemberian gelar di negeri ini. Tak heran kalau tiba-tiba saja sejumlah orang bergelar sarjana, magister, ataupun doktor. Padahal, untuk memperoleh gelar kesarjanaan (apalagi setingkat doktor, PhD) sebenarnya diperlukan standar karya ilmiah tertentu, yang setidaknya diharapkan bisa bermanfaat untuk pengembangan ilmu dan atau bermanfaat bagi masyarakat di bidang tertentu.

Sejenis dengan itu adalah guru besar. Begitu banyak pula hari-hari ini yang bergelar profesor. Sementara karya ilmiahnya masih dipertanyakan. Apalagi kalau ditanyakan ”sudah berapa karya ilmiah yang diterbit di jurnal internasional yang terkait dengan bidang keahlian Sang Penyandang gelar guru besar itu”? Sungguh sulit menemukan nama mereka terpampang dalam jurnal komunitas akademis internasional. Makanya, tidak heran banyak ditemukan guru besar yang hanya ”jago kandang”. Secara pribadi saya banyak menemukan fakta orang-orang seperti itu dan lembaga pendidikan penyelenggaranya yang berstatus semacam ”francais”.

137

Page 138: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Sekali lagi, itu bukan barang baru atau bukan rahasia lagi. Tapi, tetap saja dibiarkan, bahkan sebagian difasilitasi oleh pemerintah daerah sebagai sarana agar para pejabat, pegawai, dan atau sebagian masyarakatnya peroleh gelar yang diharapkan. Bagi para pegawai, selain memiliki status sosial-lokal yang bergengsi, juga untuk memudahkan untuk penjenjangan kariernya.

Para pembaca yang budiman tak perlu kaget juga kalau banyak pejabat yang berburu gelar melalui cara-cara instan dan merusak nilai-nilai pendidikan seperti itu. Bagi mereka ini, tidak tanggung-tanggung, yang dikejar adalah gelar akademis yang tertinggi yakni doktor. Pihak perguruan tinggi pun memberi kemudahan dan menganggap itu sebagai bisnis empuk yang berkeuntungan ganda.

Pertama, berupa biaya langsung penyelenggaraan pendidikan yang biasanya jauh lebih mahal ketimbang program reguler. Program-program seperti itu niscaya tak bisa dijangkau oleh rakyat biasa, apalagi dari keluarga tergolong miskin. Kedua, para dosennya berpeluang untuk memperoleh proyek-proyek tertentu yang bisa digarap oleh kelompok akademisi yang pada tingkat tertentu bisa dikatakan sudah melacurkan nilai-nilai akademis, atau setidaknya sudah jadi ”akademisi tukang”. Ya ..., tak lain karena orientasi untuk dapat uang, mereka pun akan kerja ”proyek akademis” itu sesuai pesanan. Maka itu, tak heran jika banyak PTN membuka program doktor dengan kategori ”kelas eksekutif” yang tak lain pesertanya adalah para pejabat atau pengusaha berduit.

Semua ini jadi fakta telanjang yang sebenarnya ”sudah memuakkan dan memalukan”, tetapi tetap saja dibiarkan. Sudah pasti akan sulit diberantas karena yang jadi stakeholders-nya pun dari kalangan pejabat.

Apa yang mau dikatakan di sini bahwa para pembuat ijazah palsu, baik itu resmi dikeluarkan oleh perguruan tinggi swasta maupun barangkali dicetak di pinggir jalan dengan label suatu lembaga pendidikan tertentu, merupakan bagian dari upaya memenuhi kehausan sebagian warga bangsa yang haus titel atau formalitas gelar berbekal ”selembar kertas”.

LAODE IDASosiolog; Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014

138

Page 139: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Topeng Bernama Ijazah

Koran SINDO5 Juni 2015

Memakai topeng tutup muka itu punya nilai estetika dan hiburan ketika dilakukan dalam panggung pertunjukan semisal wayang atau sinetron. Tapi ketika topeng itu tidak sesuai dengan ukuran muka, akan cepat melelahkan bagi yang mengenakannya.

Kalau dalam tindakan kriminal, topeng dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan wajah aslinya untuk mengelabui orang lain. Makanya para penjahat sering mengenakan topeng, misalnya para perampok.

Sekarang ini ada fenomena topeng gaya baru bernama ijazah dan titel kesarjanaan. Pada awalnya titel sarjana itu sebagai bukti dan indikasi bahwa seseorang telah berhasil menguasai disiplin keilmuan tertentu sehingga dipercaya memiliki kompetensi atau keahlian tertentu yang berbasis keilmuan. Lalu yang bersangkutan berhak menyandang titel kesarjanaan, misalnya saja doktor. Pada dekade 1970-an, siapa pun yang berhasil jadi sarjana akan sangat mudah mendapatkan pekerjaan, khususnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Perlu ditekankan sekali lagi bahwa ijazah dan titel sarjana adalah sekadar tanda bahwa seseorang telah menamatkan studi. Yang bernilai autentik itu bukan tandanya berupa selembar ijazah atau titel yang disandangnya, melainkan kualitas orangnya.

Ketika ada orang terobsesi dengan ijazah dan titel sarjana yang terpisah dari kualitas keilmuannya, yang demikian itu tak ubahnya seseorang mengenakan topeng. Fungsinya mungkin saja untuk mengelabui orang lain sebagai kedok untuk menutupi wajah aslinya yang ingin disembunyikan atau sengaja memerankan diri sebagai badut.

Sejak masih mahasiswa di tahun 1980-an saya sudah mendengar cerita adanya jual-beli penyusunan skripsi di beberapa kota. Tapi waktu itu belum meluas dan terang-terangan seperti yang terjadi hari-hari ini.

Maraknya ijazah palsu masih serumpun dengan plagiat, mencontek waktu ujian, memalsukan tanda tangan daftar hadir kuliah, membeli jasa untuk menyusun skripsi, tesis, dan disertasi. Kesemuanya itu masih senapas dengan korupsi, menipu orang lain, serta merendahkan martabat dirinya. Lebih jauh lagi mereka itu telah merusak dunia pendidikan dan keilmuan.

Lebih menyakitkan lagi diberitakan bahwa yang juga menyandang titel dan memiliki ijazah palsu adalah pejabat negara. Mereka jadi badut-badut yang menjijikkan dan telah menipu orang lain. Bahkan juga anggota keluarganya.

139

Page 140: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Bisakah pemerintah memberantasnya? Jawabnya tentu bisa. Tapi saya pesimistis mengenai siapa, dengan cara apa, dan berapa lama bisa diberantas. Alasan saya sederhana saja. Saat ini, sudah ada KPK saja korupsi masih marak. Kayu gelondongan berkubik-kubik bisa diselundupkan. Dana APBN ditilap. Dibandingkan dengan semua itu, jual-beli jasa agar seseorang mendapatkan ijazah sarjana tanpa jerih payah menghadiri kuliah dan menulis skripsi jauh lebih mudah. Syaratnya, mengorbankan integritas dan menyediakan uang suap.

Wajah dunia pendidikan memang mengenaskan. Perburuan bocoran soal ujian masih juga terjadi. Ada lagi manipulasi angka rapor para siswa untuk mendongkrak agar sebuah sekolah dicitrakan bagus kualitas pembelajarannya. Jangan tanya kualitas dan pemerataan guru bagus. Saat ini masih banyak wilayah yang sangat tertinggal dan sekarang masyarakat disuguhi berita beredarnya ijazah palsu yang sesungguhnya sudah lama berlangsung. Ketika ijazah tadi dijadikan modal masuk PNS ataupun promosi jabatan, bisa dibayangkan betapa rapuh dan busuk tubuh birokrasi kita.

Banyaknya jumlah penduduk dan universitas ternyata belum sanggup bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam pengembangan dan inovasi sains dan teknologi modern. Yang justru heboh adalah pertikaian politik dan ijazah palsu. Memalukan dan menyedihkan.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat

140

Page 141: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Beras Plastik dan Perlindungan Konsumen

Koran SINDO5 Juni 2015

Dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa, konsumen Indonesia merupakan konsumen keempat terbesar di dunia di belakang Cina, India, dan Amerika Serikat. Sungguh secara kualitatif merupakan anugerah yang tak ternilai harganya.

Karena itu, sangat wajar jika isu yang terkait kebutuhan pokok konsumen pasti akan mengundang sorotan tajam dan perbincangan serius di tengah masyarakat. Katakanlah kemunculan beras plastik ternyata cukup menghebohkan jagat Indonesia. Bagaimana tidak, berita tersebut ternyata mampu menenggelamkan berita peristiwa besar lain.

Harus diakui, hebohnya isu ini cukup membawa dampak yang tidak kecil bagi masyarakat dan pemerintah. Bahkan, kehebohan isu beras plastik menggiring masyarakat beralih membeli kebutuhan pokok ini dari pasar tradisional ke pasar modern.

Masalah ini terus menggelinding bak bola salju, kini mengalir ke meja Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Uji laboratorium dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Laboratorium Sucofindo. Hasilnya, seperti yang kita ketahui terdapat campuran kimia yang terkandung dalam beras itu. Pertanyaan yang mendasar, siapa di belakang semua ini?

Sikap kritis konsumen

Sesungguhnya konsumen adalah pengguna semua bentuk barang dan jasa yang harus diberi kepastian atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan terhadap barang yang dikonsumsinya. Pelayanan yang berkualitas dan optimal terhadap publik menjadi sebuah keniscayaan. Namun, hal itu bisa dilakukan jika pemerintah dan pelaku usaha (produsen) memberikan perlindungan yang optimal kepada konsumen dan pada gilirannya akan meningkatkan harkat dan martabat konsumen.

Perlu kiranya ditumbuhkan kebiasaan mengadu yang merupakan bagian dari sikap kritis konsumen sekaligus menjadi indikator baik atau tidaknya perlindungan konsumen di suatu negara. Budaya mengadu konsumen Indonesia masih sangat rendah. Sebaliknya sikap pasrah atau nrimo masih menjadi suatu pilihan dari masyarakat. Karena itu, apa yang dilakukan Dewi Septiani, pelapor akan adanya beras sintetis di Bekasi, adalah refleksi dari sikap kritis konsumen. Bukan sebaliknya yang bersangkutan diancam untuk dipidanakan karena dianggap menyebarkan isu yang meresahkan masyarakat.

141

Page 142: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Masalah beras plastik ini sesungguhnya di satu sisi memberi dampak positif (hikmah), yaitu membangun sikap kritis konsumen terhadap hak-hak dasar yang dimilikinya. Terbukti dari masalah tersebut konsumen tampak lebih reaktif terhadap berbagai ketidaknyamanan dan berbagai ancaman terhadap makanan yang bisa merusak kesehatan konsumen.

Hal lainnya, kita juga menyaksikan berbagai pemangku kepentingan dalam hal ini berperan aktif mengkritik persoalan beras plastik yang ditemukan di daerah Bekasi. Bahkan Badan Urusan Logistik (Bulog) dibuat panik. Tidak hanya itu, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian juga menunjukkan rasa empati atas kejadian yang menimpa kepada konsumen.

Penemuan beras palsu atau beras sintesis asal Cina mengingatkan kepada kita semua (konsumen) bahwa lingkungan kita saat ini tidak terbebas dari produk makanan dan minuman berbahaya. Fenomena beras sintetis hanya sekian kasus dari berbagai penemuan produk makanan dan minuman ”aspal” alias asli tapi palsu di Tanah Air.

Lebih Dilindungi

Pemerintah tentu diharapkan lebih antusias dan berempati kepada hak-hak konsumen (vide UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen). Sebab, sangat mustahil kita berbicara kualitas perlindungan terhadap hak-hak konsumen jika pemerintahan yang berjalan tidak peduli pada hal-hal yang berkaitan dengan konsumen itu sendiri.

Dengan demikian, sekali lagi harapan kita (konsumen) terkait kebijakan atau regulasi pemerintah selaku regulator haruslah benar-benar memberi pemihakan dan atau perlindungan kepada konsumen. Dengan kata lain, kebijakan yang dikeluarkan oleh para menteri terkait haruslah inheren dan berkorelasi dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat (konsumen).

Dalam kemerosotan wibawa pemerintah yang terjadi akhir-akhir ini, tentu akibat berbagai kebijakan yang tidak pro-konsumen atau tidak memberikan pemihakan kepada konsumen selaku objek kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal, tanpa kebijakan yang memberi perlindungan kepada konsumen atau tanpa agenda perlindungan konsumen yang jelas, mustahil pemerintah mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen.

Kesemuanya itu dapat dibuktikan ketika kecemasan konsumen semakin memprihatinkan akhir-akhir ini. Dapat dilihat ketika kebutuhan pokok seperti beras plastik di Bekasi, terungkapnya pabrik es batu di Cakung Jakarta Timur, terbongkarnya pembuatan nata de coco yang dicampur pupuk ZA, bahan kimia berbahaya lain yang sering digunakan adalah formalin, pabrik susu di Klaten diduga menggunakan zat pewarna kimia.

Padahal bagaimana pun negara harus hadir ketika terjadi gangguan kebutuhan dasar konsumen yang berdampak pada terjadinya ketidaknyamanan konsumen. Dengan kata lain, negara harus memberi pemihakan yang jelas untuk melindungi kepentingan rakyat sebagai sebuah wujud nyata peranan negara kepada rakyatnya.

142

Page 143: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Bukan sebaliknya, sejumlah kebijakan pemerintah justru membuat rakyat negeri ini, selaku konsumen, merasa dirugikan. Atau seperti istilah para tukang ojek dan bincang-bincang di warung kopi, kebijakan pemerintah hanya membuat ”pusing kepala rakyat”. Artinya, dampak dari berbagai kebijakan pemerintah sekarang yang membuat rasa tidak puas, kekecewaan, dan kecemasan konsumen.

Akhirnya, kita semua berharap peringatan Hari Konsumen Nasional (Harkonas 2015) yang diperingati pada 20 April lalu akan menjadi titik berangkat para stakeholder untuk menghormati hak-hak konsumen. Jika hal ini terus berlanjut, mau tak mau efek positifnya adalah berkurangnya kecemasan konsumen dalam mengonsumsi bahan makanan dan minuman.

DR H ABUSTAN Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN); Pengajar Hukum Perlindungan Konsumen

143

Page 144: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Rasa Kemanusiaan Kita

Koran SINDO5 Juni 2015

Beberapa pekan ini wajah suram langit Asia Tenggara tidak bisa kita tutup-tutupi. Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar saat ini adalah penyebab utamanya. Konflik internal yang berwujud diskriminasi rasial tersebut sungguh sangat memprihatinkan.

Persoalannya kemudian bagaimana kita harus menempatkan diri dalam persoalan ini? Bagaimana sikap kita dalam tragedi tsunami manusia ini? Apa pemerintah sudah memiliki regulasi yang bisa dijadikan pijakan untuk mengambil langkah strategis dan manusiawi dalam persoalan ini? Tiga pertanyaan di atas merupakan persoalan utama yang segera membutuhkan jawaban untuk kemudian disikapi.

Namun, yang tidak kalah penting sesungguhnya harus kita dudukkan dulu peta persoalan tragedi kemanusiaan ini. Sesungguhnya, terkait tragedi Rohingya ini saya sependapat dengan Syed Sirajul Islam (2007) yang membagi jenis terorisme menjadi dua varian besar. Pertama, terorisme yang dilakukan sekelompok orang dengan skala yang terbatas; dan kedua, terorisme yang dilakukan oleh negara dengan skala yang lebih besar.

Pada tataran ini apa yang terjadi di Rohingya, meminjam klasifikasi yang ditawarkan Syed Sirajul Islam, masuk dalam kategori kedua. Kategori kedua ini sesungguhnya lebih sangat mengerikan sebab aktor utamanya adalah pemerintah atau penyelenggara negara.

Kesimpulan ontologis yang menempatkan pemerintah Myanmar sebagai aktor terorisme kemanusiaan bukanlah hal yang berlebihan. Sebagaimana kita tahu, sampai hari ini sikap pemerintah Myanmar seakan menutup mata dan telinga dengan apa yang terjadi di negaranya.

Tembok Prinsip Non-intervensi

Tsunami manusia hari ini sudah ada di hadapan mata, Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi tujuan para pengungsi yang telah berpuluh-puluh hari terombang-ambing di tengah lautan. Selain Indonesia, sesungguhnya para pengungsi itu ada yang menyasar ke Malaysia dan Thailand.

Sesungguhnya tsunami manusia ini merupakan problem yang sangat berat. Hal ini bisa dipahami mengingat dampaknya langsung dirasakan oleh negara-negara yang terkait. Terlebih sebagai sesama anggota ASEAN, kita diikat untuk saling menghormati sesama anggota. Prinsip menghormati sesama anggota tersebut kita kenal sebagai prinsip non-

144

Page 145: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

intervensi. Dalam prinsip tersebut disebutkan bahwa negara-negara anggota ASEAN dilarang ikut campur urusan domestik negara lainnya.

Akar historis ide prinsip non-intervensi ini sesungguhnya didasarkan oleh dua pertimbangan utama, yakni pertama menjadi mekanisme penting dalam menjaga kekuatan dominan dalam konteks Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua, sebagai jaminan keamanan, kedaulatan dan juga kebebasan dalam berhubungan dengan negara tetangga.

Prinsip non-intervensi ini sesungguhnya telah banyak menuai kritik. Nurul Wahidah (2013) dalam catatan penelitiannya menemukan bahwa prinsip non-intervensi ini pada praktiknya diterapkan terlampau kaku sehingga prinsip tersebut menjelma menjadi tembok penghambat proses penyelesaian konflik.

Adanya penerapan prinsip non-intervensi yang kaku ditambah dengan kondisi domestik negara anggota yang masih memiliki catatan yang buruk dalam penegakan HAM, menyebabkan upaya ASEAN dalam penyelesaian masalah Rohingya ini menjadi tersendat-sendat. Pada saat banyak negara lain yang menggunakan kacamata legal-formal mengecam imigran Rohingya, sebab dikategorikan sebagai pendatang gelap, kita masih menyaksikan betapa antusiasme rakyat Indonesia dalam menolong pengungsi Rohingya.

Menurut hemat saya, sesungguhnya apa yang sedang terjadi hari ini yang menimpa etnis Rohingya adalah tragedi kemanusiaan. Oleh karena tragedi kemanusiaan, dia juga harus disikapi dalam sudut pandang kemanusiaan. Artinya meskipun hari ini kita belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai penanganan pencari suaka, bukan berarti kita ”tercegah” untuk memberikan bantuan dan pertolongan.

Kita tahu, sebagaimana dikatakan Agung Notowiguno (2015) presiden South East Asia Humanitarian Commite (SEAHUM) penanganan para pengungsi Rohingya masih bergantung pada UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pada undang-undang ini, sesungguhnya rombongan pengungsi Rohingya sama belaka posisinya dengan imigran gelap. Sungguh keadaan yang patut disayangkan memang.

Namun demikian, sebagaimana yang kita saksikan tidak membuatnya dijadikan alasan. Pemerintah daerah menangani pengungsi Rohingya dengan pelayanan yang cukup baik. Pengungsi tersebut diperlakukan laiknya manusia pada umumnya. Ini anomali, atau bahkan patologi, sebab saat undang-undang memperlakukan Rohingya masuk dalam kategori imigran gelap, pemerintah daerah dan juga rakyat sipil memperlakukan mereka laiknya saudara.

Langkah ke Depan

Dengan kenyataan yang sebagaimana kita hadapi hari ini, menurut hemat saya ada dua langkah strategis yang harus ditempuh pemerintah dalam menyikapi tragedi pengungsi Rohingya ini. Pertama, langkah internal, yakni cara langkah men-support semaksimal mungkin bantuan terhadap para pengungsi. Bentuk support yang dimaksud tidak hanya

145

Page 146: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

sebatas finansial namun juga moril bahkan bila perlu mengambil langkah cepat untuk membentuk semacam tim untuk menangani kasus pengungsi ini.

Kedua, langkah eksternal. Langkah ini ditempuh dengan cara mendorong kerja sama dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) atau bahkan dengan Badan Imigrasi PBB (UNCHR) untuk duduk bersama dan merumuskan langkah terbaik yang bisa diambil bersama secara sinergis untuk menyelesaikan masalah ini. Langkah ini sangat penting diambil mengingat kompleksitas persoalan yang dihadapi.

Diharapkan dengan terlaksananya dua langkah tersebut, kasus pengungsi dari Rohingya ini bisa tertanggulangi dengan baik. Lebih dari itu, kedua langkah tersebut juga penting dalam rangka mengembangkan Masyarakat ASEAN 2015 yang salah satu pilarnya adalah mewujudkan masyarakat yang damai dan juga menghargai perbedaan sesama. Wallahualam bisshowab.

HELMY FAISHAL ZAINI Ketua Fraksi PKB DPR RI

146

Page 147: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Derita Rohingya, Panggilan Kemanusiaan

Koran SINDO5 Juni 2015

Bisa dibayangkan bagaimana jika kita hidup berbulan-bulan di atas perahu kayu yang retak dan atau tidak muat untuk menampung puluhan, bahkan ratusan orang sekaligus. Tanpa persediaan makanan, bahkan yang lebih memprihatinkan dan menyayat hati adalah perjalanan mereka tanpa tujuan jelas. Belum lagi mereka terombang-ambing oleh kerasnya ombak dan gelombang lautan lepas yang amat keras. Perasaan khawatir dan putus asa berhari-hari merasuki dan menyelimuti hati mereka masing-masing. Itulah bagian yang dirasakan oleh para warga Rohingya, imigran dari daratan Myanmar yang mencoba mencari peruntungan setelah ”terusir” dari tanah leluhur yang puluhan tahun mereka tinggali.

Keputusan Pemerintah Indonesia menampung sementara pengungsi Rohingya adalah langkah yang tepat dan menyejukkan. Pertimbangan kemanusiaan menjadi alasan utama sekaligus menjadi panggilan kebangsaan dan kenegaraan. Dalam hal ini termasuk menjadi alasan dan cita-cita republik ini didirikan. Apalagi salah satu dasar negara ini terbentuk dan dilahirkan adalah adanya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak ada pilihan yang lebih manusiawi selain menerima mereka sebagai kelompok yang membutuhkan uluran tangan dan empati.

Selain Indonesia, Malaysia juga sepakat tidak akan mengusir kapal-kapal pengungsi dan menampung mereka yang masuk wilayah teritorial Malaysia. Kedua negara sepakat memberi tempat penampungan sementara, yang pada gilirannya puluhan pondok pesantren juga terpanggil untuk ikut menampung pengungsi Rohingya. Kedua negara juga menyepakati proses pemukiman kembali dan pemulangan akan dilakukan dalam waktu satu tahun oleh masyarakat internasional.

Namun, tidak semua negara yang berdekatan dan menjadi tujuan pengungsi Rohingya ini menerima dengan lapang dada sebagai tragedi kemanusiaan. Thailand bersikap berbeda dengan Indonesia dan Malaysia. Mereka tidak bersedia memberikan penampungan sementara kepada pengungsi Rohingya dengan alasan mereka sudah mengurus puluhan ribu pengungsi atau imigran gelap yang masuk lewat perbatasan dengan Myanmar.

Terlepas dari keputusan menampung ini diambil dengan dasar kemanusiaan, Indonesia mestinya juga berjuang membujuk Myanmar agar mengubah kebijakannya dalam masalah kaum Rohingya. Komunitas ASEAN menjadi salah satu alternatif untuk menawarkan solusi atas persoalan pengungsi Rohingnya. Myanmar harus bertanggung jawab atas pengungsi Rohingnya, meskipun terjadi perdebatan dan polemik terkait status kewarganegaraan yang disandang oleh kaum Rohingya tersebut. Pemerintah Myanmar berpandangan mereka bukan

147

Page 148: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

warga negaranya, namun fakta menyebutkan para imigran dan pengungsi ini bertahun-tahun tinggal di wilayah Myanmar dan mereka berangkat mengungsi dari daratan Myanmar atas tragedi politik yang meminggirkan mereka.

Sikap Myanmar yang bersikeras terhadap kaum Rohingya mestinya menjadi catatan bagi dunia internasional bahwa sebuah negara harus bertanggung jawab atas persoalan yang terjadi di negerinya. Pengungsi Rohingnya adalah potret gagalnya negara di Myanmar menciptakan kohesi sosial di wilayahnya.

Selama ini yang beredar menyebutkan terusirnya Rohingnya dari wilayah Myanmar tidak lepas dari konflik agama antara Buddha dan Islam. Namun, kacamata yang semestinya dipandang secara holistis yakni kasus ini sarat masalah kemanusiaan (baca: tragedi kemanusiaan).

Tragedi Minoritas

Tragedi kemanusiaan yang melanda kaum Rohingya adalah sekaligus potret tragedi minoritas. Rohingya tidak sekadar minoritas agama, namun juga etnis. Lebih parah lagi, minoritas ini juga tidak mendapatkan sumbangan politik dari para elite politik di Myanmar, termasuk dari tokoh sekelas Aung San Suu Kyi.

Tokoh oposisi pro-demokrasi dan penerima Nobel Perdamaian ini cenderung diam tak bersuara untuk meneriakkan ketidakadilan, sesuatu yang dia perjuangkan selama ini, termasuk diganjar sebagai peraih Nobel Perdamaian. Sang tokoh telah menjelma sebagai politisi yang berhitung untung-rugi, kalkulasi politik atas kejadian ini. Suu Kyi tengah mempersiapkan diri maju sebagai calon presiden. Tentu, membela kaum Rohingya akan ”melawan” arus utama di negaranya yang cenderung diam atas tragedi Rohingya.

Diam dalam politik tentu saja tanpa sikap, menjaga jarak, dan membangun persepsi bahwa Rohingya bukanlah urusan mereka. Suu Kyi membutuhkan suara mayoritas untuk mendukungnya di pemilihan presiden. Lengkap sudah tragedi minoritas Rohingya, mulai dari agama, etnis, dan politik.

Kritikan dan desakan para elite Indonesia terhadap diamnya Suu Kyi menjadi wajar ketika sang tokoh oposisi Myanmar tersebut seakan bertolak belakang dengan sosoknya selama ini yang berani, tegas, dan berjuang atas nama hak asasi manusia dan keadilan. Suu Kyi tak ubahnya para politisi lain yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan politiknya, sehingga cukup wajar kalau publik dunia kecewa atas sikap Suu Kyi yang memble tersebut.

Perlindungan

Namun, kini yang lebih diutamakan adalah menyelamatkan para pengungsi Rohingya dengan dua jalan sekaligus. Jalan pertama adalah memberikan perlindungan kepada mereka dengan menampung mereka dalam satu tempat yang disediakan khusus. Indonesia pernah melakukan

148

Page 149: (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

hal ini dalam kasus Tionghoa di Singkawang dan Tangerang. Mereka kemudian diakui sebagai warga negara Indonesia setelah pemberlakuan Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 2006. Pengalaman ini tentu menjadi modal sosial bagi Indonesia untuk bisa lebih terbuka secara kemanusiaan untuk memberikan bantuan kepada warga Rohingya.

Jalan kedua adalah diplomasi internasional. Rohingya bukanlah problem Indonesia yang menjadi tempat penampungan. Rohingya adalah problem regional dan internasional. Pemerintah Myanmar harus diajak berdiskusi secara persuasif untuk mengubah haluan kebijakannya tentang Rohingya. Sanksi internasional bisa saja diambil jika Myanmar tetap kukuh pada kebijakan politiknya terkait Rohingya. Peran ASEAN secara kolektif penting untuk membangun komunikasi dalam menyelesaikan tragedi Rohingya ini.

Langkah Presiden Joko Widodo mengajak Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) untuk membahas solusi terkait Rohingya adalah langkah strategis untuk membuka wajah dunia akan tragedi kemanusiaan ini. Kasus Rohingya memberi kesempatan sekaligus menguji peran Indonesia yang secara aktif diamanati oleh konstitusi untuk berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dan kedamaian dunia yang lebih baik. Semoga!

ANNA LUTHFIE Ketua DPP Partai Perindo dan Pegiat Kemanusiaan

149