skenario.docx
DESCRIPTION
menjelaskan tentang kasus penyakitTRANSCRIPT
1
I. SKENARIO
Gatal Setelah Minum Obat
Seorang wanita usia 32 tahun datang ke tempat praktek dokter dengan
keluhan gatal. Keluhan disertai kulit kemerahan, mual dan agak sesak.
Keluhan muncul setelah minum obat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
ujud kelainan kulit (UKK) makulo-papuler dengan dasar eritema diseluruh
tubuh. Dokter menyarankan untuk berhati-hati dalam mengkonsumsi obat.
II. STEP I : CLARIFY UNFAMILIAR TERMS
1. Makulo -papular berwarna merah, adanya penonjolan dengan
diameter < 5mm.
Kelainan kulit yang berubah warna dan berbatas tegas.
: kelainan kulit berupa kemerahan berbatas tegas yang disertai dengan
penonjolan berisikan zat padat dengan diameter 5 mm dan peninggian
disebabkan infiltrasi dari sel-sel yang meradang.
2. Eritema : makula yang berwarna merah.
III. STEP II : DEFINE THE PROBLEM(S)
1. Apa saja respon yang dapat timbul setelah minum obat?
2. Apa saja macam-macam ujud kelainan kulit (UKK)?
3. Mengapa pada pasien ini terjadi gatal?
4. Mengapa pasien mengeluh gatal, kulit kemerahan, mual dan agak sesak
napas setelah minum obat?
5. Apa hubungan keluhan pasien dengan obat yang diminum?
6. Apa saja yang dapat menyebabkan kelainan kulit makulo-papular
dengan eritema?
IV. STEP III : BRAINSTORM POSSIBLE HYPOTHESES OR
EXPLANATION
1. Tergantung dari komposisi efek yang diharapkan
Efek yang tidak diharapkan
2. Macam-macam UKK :
2
a. UKK primer : muncul pertama kali dari suatu etiologi
Makula : kemerahan yang berbatas tegas tanpa adanya
peninggian lapisan kulit.
Papula : kemerahan yang berbatas tegas disertai peninggian
dengan diameter < 5mm.
Nodul : penonjolan, konsistensi kenyal dengan diameter > 5mm.
Kista : ruangan dinding dan berisi cairan.
Tumor : kelainan pertumbuhan sel.
Urtika : kemerahan, adanya peninggian dan gatal.
Bula : sama seperti nodul tapi lebih besar.
Kunikuli : ?
Pustula : vesikel yang berisi pus atau nanah
Vesikula : gelembung berisi cairan
Plaque : urtika yang melebar
b. UKK sekunder : tahap lanjut dari primer bisa ke fase penyembuhan
atau penyebaran.
Skuama : sisik, kasar tahap penyembuhan luka
Krusta : tahap penyembuhan luka
Ulkus : ada jaringan yang hilang
Sikatrik : jaringan parut
Erosi : lapisan yang hilang stratum korneum dan lusidum
Ekskoriasi : lapisan yang hilang sampai stratum spinosum dan
ada pendarahan
Fissura : garis yang lebih datar dari sulkus
Sulkus : garis yang lebih dalam dari fissura
Pigmentasi : perubahan warna kulit
Likenifikasi : goresan atau garukan yang terus menerus
Abses : nanah
Guma : penyebaran seperti ular
c. UKK khusus
3
Milia : white head komedo putih
Komedo : black head milia yang teroksidasi
Eksantema : merah-merah tidak tegas
Kanalikuli : terowongan dibawah kulit akibat parasit
Roseola : kemerahan dan berbentuk seperti bunga
Purpura : bentuk merah atau petekie
3&4. a. Gatal enzim sitokrom P450
histamin
IgE dan IgM
rangsangan pada korpus pacini
psikologis (stres)
pelebaran pembuluh darah
mikroorganisme dan parasit
b. Kulit kemerahan pelebaran pembuluh darah
reaksi inflamasi
Trauma
Karena gatal (garukan)
c. sesak napas alergi
penyempitan saluran napas
obstruksi saluran napas
adanya cairan pada paru
d. mual perangsangan n. vagus
sesak nafas disertai mual
produksi asam lambung ↑
isi lambung terlalu penuh
trauma
4
5. Karena adanya alergi pada obat (antibiotik, antipiretik, analgetik), efek
samping obat, dapat diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid,
karena reaksi hipersensitifitas (tipe ?)
6. bakteri, alergi, makanan, jamur, virus, parasit, hormon
V. STEP IV : ARRANGE EXPLANATIONS INTO A TENTATIVE
SOLUTION
VI. STEP V : DEFINE LEARNING OBJECTIVES
1. Apa saja respon setelah minum obat?
2. Macam-macam ujud kelainan kulit?
3. Mengapa pasien mengeluh gatal, kulit kemerahan, mual dan agak sesak
setelah minum obat?
4. Apa hubungan keluhan pasien dengan minum obat?
5. Apa saja yang menyebabkan kelainan kulit makulo-papuler dengan
eritema?
VII. STEP VI : INFORMATION GATHERING AND PRIVATE STUDY
5
VIII. STEP VII : SYNTHESIZE AND TEST ACQUIRED INFORMATION
(Share the results of information gathering and private study)
1. EFEK SAMPING OBAT
A. MASALAH DAN KEJADIAN EFEK SAMPING OBAT
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek
samping, oleh karena seperti halnya efek farmakologik, efek samping
obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat
dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu
efek farmakologik terjadi secara ekstrim, akan menimbulkan pengaruh
buruk terhadap sistem biologik tubuh. Pengertian efek samping dalam
pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak dikehendaki atau yang
merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu
pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama
sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan
menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui.
Beberapa contoh efek samping misalnya:
reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik).
hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik
yang berlebihan).
osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek
samping karena penggunaan jangka lama).
hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala
penghentian obat - withdrawal syndrome), fokomelia pada anak
karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan
(efek teratogenik).
Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat
dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif
yang terjadi, misalnya:
Kegagalan pengobatan.
6
Timbulnya keluhan atau penyakit baru karena obat (drug-induced
disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh
pasien.
Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan
terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru
tadi (dampak ekonomik).
Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi
keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan
berobat.
Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah
dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang
berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis. Angka kejadian yang
dilaporkan cukup beragam. Dari negara-negara Barat, ternyata angka-
angka yang didapatkan cukup mengejutkan, yakni:
Dari pasien rawat tinggal, yang rata-rata menerima 5-10 jenis obat
selama 10 hari perawatan di rumah sakit, ± 25% nya akan
menderita 1 macam atau lebih efek samping obat dari berbagai
derajad, dan 1% menderita efek samping yang membahayakan
kehidupan. Pada pasien rawat tinggal, efek samping yang berat
paling banyak terjadi pada pengobatan kemoterapi kanker.
Di praktek swasta, kemungkinan terjadinya efek samping jauh
lebih besar. Terbukti dari pasien akut yang masuk rumah sakit
(hospital admission), ± 25% nya ternyata disebabkan karena atau
berhubungan dengan efek samping obat.
Dari kematian di rumah sakit 0,24% - 2,9% adalah karena efek
samping obat.
Golongan umur yang terbanyak mengalami efek samping adalah
orang tua. Kelompok ini umumnya menerima jenis obat cukup
banyak, sedangkan respons farmakokinetik dan farmakodinamik
tidak sama. Data di Indonesia belum banyak terungkap, namun
7
paling tidak angka-angka ini dapat memberikan gambaran kejadian
dan masalahnya.
B. PEMBAGIAN EFEK SAMPING OBAT
Efek samping obat dapat dikelompokkan atau diklasifikasi
dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada atau tidaknya
hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek
samping yang terjadi, dsb. Namun mungkin pembagian yang paling
praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan pengobatan adalah
pembagian seperti pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Jenis-jenis efek samping obat
EFEK SAMPING YANG
DAPAT DIPERKIRAKAN :
aksi farmakologik yang
berlebihan
respons karena penghentian
obat
efek samping yang tidak
berupa efek farmakologik
utama
EFEK SAMPING YANG
TIDAK DAPAT
DIPERKIRAKAN :
reaksi alergi
reaksi karena faktor
genetik
reaksi idiosinkratik
1. Efek samping yang dapat diperkirakan
1.a. Efek farmakologik yang berlebihan
Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek
toksik) dapat disebabkan karena dosis relatif yang terlalu besar bagi
pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang
diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik
atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien
dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan
sirkulasi darah, usia, genetik, dsb sehingga dosis yang diberikan dalam
takaran lazim menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien tertentu.
8
Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik
maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan,
sehingga efek obat menjadi lebih besar. Efek samping jenis ini
umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf
pusat, obat-obat pemacu jantung, anti-hipertensi dan hipoglikemika atau
anti-diabetika. Beberapa contoh spesifik dari jenis efek samping ini
misalnya:
Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima
pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin.
Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan
ginjal pada pasien yang menerima obat anti-hipertensi dalam dosis
terlalu tinggi.
Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam
dosis terlalu tinggi.
Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi.
Hipoglikemia karena dosis anti-diabetika terlalu tinggi.
Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima
pengobatan dengan warfarin karena secara bersamaan juga minum
aspirin.
Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek
samping karena dosis yang terlalu tinggi dan upaya pencegahan dapat
dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-
kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal,
penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain itu riwayat pasien
dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu
diperhatikan.
1.b. Gejala penghentian obat
Gejala penghentian obat (= gejala putus obat, withdrawal syndrome)
adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi
9
pembalikan terhadap efek farmakologik obat karena penghentian
pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya:
agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang
mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia
susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol.
krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi
kortikosteroid.
hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan
karena penghentian terapi klonidin.
gejala putus obat karena narkotika.
Reaksi putus obat ini terjadi karena selama pengobatan telah
berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan
toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya pasien
memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh
berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap fenobarbital atau
fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap
terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara
menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan
dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat
sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan
gejala putus obat yang lebih ringan.
1.c. Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama
Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik
utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat diperkirakan
berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik
sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya
dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi.
Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari
laporan-laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas.
Sebagai contoh misalnya:
10
Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan
muntah pada obat-obat kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika,
teofilin, eritromisin, rifampisin, dll.
Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian anti-histaminika
untuk anti mabok perjalanan (motion sickness).
Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian
rifampisin.
Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak
boleh diberikan pada wanita hamil.
Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga
memperpanjang waktu pendarahan.
Ototoksisitas karena kinin atau kinidin.
2. Efek samping yang tidak dapat diperkirakan
2.a. Reaksi alergi
Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang
sering terjadi, dan terjadi akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak
dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung
dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang
menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang
ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok
anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan
sifat-sifat khasnya, yaitu:
gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya,
seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap
obat dengan timbulnya efek,
reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan
sejumlah sangat kecil obat.
reaksi hilang bila obat dihentikan,
keluhan atau gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi
imunologik, misalnya rash (=ruam) di kulit, serum sickness,
anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll.
11
Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni:
Tipe I. Reaksi anafilaksis yaitu terjadinya interaksi antara antibodi
IgE pada sel mast dan leukosit basofil dengan obat atau metabolit,
menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi,
misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dll. Manifestasi efek
samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma bronkial, angio-edema dan
syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek samping yang
paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin,
streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung
sodium.
Tipe II. Reaksi sitotoksik yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM
atau IgA dalam sirkulasi dengan obat. Membentuk kompleks yang
akan menyebabkan lisis sel. Contohnya adalah trombositopenia karena
kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin. Anemia hemolitik karena
pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dll.
Tipe III. Reaksi imun-kompleks yaitu interaksi antara antibodi IgG
dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian kompleks yang terbentuk
melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotelium
kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran
limfonodi, urtikaria, dan ruam makulopapular. Reaksi ini dikenal
dengan istilah "serum sickness", karena umumnya muncul setelah
penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).
Tipe IV. Reaksi dengan media sel yaitu sensitisasi limfosit T oleh
kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru menimbulkan
reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan reaksi
inflamasi. Contohnya adalah dermatitis kontak yang disebabkan salep
anestetika lokal, salep antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal.
Walaupun mekanisme efek samping dapat ditelusuri dan dipelajari
12
seperti uraian di atas, namun dalam praktek klinik manifestasi efek
samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya akan
meliputi:
1. Demam.
Umumnya demam dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan akan
hilang dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari.
2. Ruam kulit (skin rashes).
Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura,
eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi, dll.
3. Penyakit jaringan ikat.
Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang
melibatkan sendi yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin,
prokainamid, terutama pada individu asetilator .
4. Gangguan sistem darah.
Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis), anemia
hemolitika dan anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan
akan dijumpai meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.
5. Gangguan pernafasan
Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena
aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin
kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau anti-
inflamasi lain.
2.b. Reaksi karena faktor genetik
Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu
obat mungkin dapat memberikan efek farmakologik yang berlebihan.
Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang
13
mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali
tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada
pelayanan kesehatan rutin). Sebagai contoh misalnya:
Pasien yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter
tidak dapat memetabolisme suksinilkolin (suatu pelemas otot),
sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis
dan apnea yang berkepanjangan.
Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-
fosfat dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia
hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida
dan kinidin.
Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi
oleh faktor genetik. Contoh yang paling populer adalah perbedaan
kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid
karena adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat
tersebut. Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi
menjadi 2 kelompok, yakni individu-individu yang mampu
mengasetilasi secara cepat (asetilator cepat) dan individu-individu
yang mengasetilasi secara lambat (asetilator lambat). Di Indonesia,
65% dari populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35% adalah
asetilator lambat. Pada kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain,
proporsi distribusi ini berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih
banyak dijumpai pada asetilator lambat daripada asetilator cepat.
Sebagai contoh misalnya:
neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada
asetilator lambat
sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering
terjadi pada asetilator lambat.
Pemeriksaan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam
kelompok asetilator cepat atau lambat sampai saat ini belum dilakukan
14
sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan kesehatan, namun
sebenarnya prosedur pemeriksaannya tidak sulit dan dapat dilakukan
di Laboratorium Farmakologi Klinik.
2.c. Reaksi idiosinkratik
Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian
efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak
dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya
reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi. Beberapa contoh
misalnya:
Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika
secara serampangan.
Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen
jangka lama tanpa pemberian proestrogen sama sekali.
Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid.
Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan
sarkomata pada tempat penyuntikan.
Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien
yang pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif sebelumnya.
2. MACAM-MACAM UJUD KELAINAN KULIT (UKK)
Ada 2 jenis ruam kulit :
A. Ruam kulit primer :
Makula adalah efloresensi primer yang hanya berupa perubahan
warna kulit tanpa perubahan bentuk, seperti pada tinea versikolor,
morbus Hansen.
Eritema adalah makula yang berwarna merah, seperti pada
dermatitis, lupus eritomatosus.
Papula adalah penonjolan padat di atas permukaan kulit, berbatas
tegas, berukuran kurang dari 1 cm.
Nodula sama seperti papula tetapi diameternya lebih besar dari 1
cm, misalnya pada prurigo nodularis.
15
Vesikula adalah gelembung yang berisi cairan serosa dengan
diameter kurang dari 1 cm, misalnya pada varisela, herpes zoster.
Bula adalah vesikel dengan diameter lebih dari 1 cm, misal pada
pemfigus, luka bakar. Jika vesikel atau bula berisi darah disebut
vesikel atau bula hemoragik. Jika bula berisi nanah disebut bula
purulen.
Pustula adalah vesikel berisi nanah, seperti pada variola, varisela,
psoriasis pustulosa.
Urtika adalah penonjolan di atas permukaan kulit akibat edema
setempat dan dapat hilang perlahan-lahan, misalnya pada
dermatitis medikamentosa, dan gigitan serangga.
Tumor adalah penonjolan di atas permukaan kulit berdasarkan
pertumbuhan sel maupun jaringan tubuh.
Kista adalah penonjolan di atas permukaan kulit berupa kantong
yang berisi cairan serosa atau padat atau setengah padat, seperti
pada kista epidermoid.
B. Ruam kulit sekunder :
Skuama adalah pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kulit.
Dapat berupa sisik halus (TV), sedang (dermatitis) atau kasar
(psoriasis). Skuama dapat berwarna putih (psoriasis), coklat (TV),
atau seperti sisik ikan (iktiosis).
Krusta adalah onggokan cairan darah, kotoran, nanah, dan obat
yang sudah mengering di atas permukaan kulit, misalnya pada
impetigo krustosa, dermatitis kontak. Krusta dapat berwarna hitam
(pada jaringan nekrosis), merah (asal darah) atau coklat (asal darah,
nanah, serum).
Erosi adalah kerusakan kulit sampai stratum spinosum. Kulit
tampak menjadi merah dan keluar cairan serosa, misalnya pada
dermatitis kontak.
16
Ekskoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris
sehingga kulit tampak merah disertai bintik-bintik perdarahan.
Ditemukan pada dermatitis kontak dan ektima.
Ulkus adalah kerusakan kulit (epidermis dan dermis) yang
memiliki dasar, dinding, tepi dan isi. Misal, ulkus tropikum, ulkus
durum.
Rhagaden adalah belahan-belahan kulit dengan dasar yang sangat
kecil atau dalam misal pada keratoskisis, keratodermia.
Parut (sikatriks) adalah jaringan ikat yang menggantikan epidermis
dan dermis yang sudah hilang. Jaringan ikat ini dapat lebih cekung
dari kulit sekitarnya (sikatriks atrofi), dapat lebih menonjol
(sikatriks hipertrofi), dan dapat normal (eutrofi atau luka sayat).
Sikatriks tampak licin, garis kulit dan adneksa hilang.
Keloid adalah hipertrofi yang pertumbuhannya melampaui batas.
Abses adalah efloresensi sekunder berupa kantong berisi nanah di
dalam jaringan. Misalnya abses Bartholini dan abses banal.
Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan
atau relif kulit tampak lebih jelas, seperti pada prurigo,
neurodermatitis.
Guma adalah efloresensi sekunder berupa kerusakan kulit yang
destruktif, kronik, dengan penyebaran serpiginosa. Misal, pada
sifilis gumosa.
Hiperpigmentasi adalah penimbunan pigmen berlebihan sehingga
kulit tampak lebih hitam dari sekitarnya. Misal, pada melasma dan
pascainflamasi.
Hipopigmentasi adalah kelainan yang menyebabkan kulit manjadi
lebih putih dari sekitarnya, misal pada skleroderma dan vitiligo.
Ada beberapa efloresensi khusus yaitu :
1. Kanalikuli yaitu ruam kulit berupa saluran-saluran pada stratum
korneum, yang timbul sejajar dengan permukaan kulit, seperti yang
terdapat pada skabies.
17
2. Milia (white head) ialah penonjolan di atas permukaan kulit yang
berwarna putih yang ditimbulkan oleh penyumbatan saluran kelenjar
sebasea, seperti pada akne sistika.
3. Komedo (black head) ialah ruam kulit berupa bintik-bintik hitam yang
timbul akibat proses oksidasi udara terhadap sekresi kelenjar sebasea di
permukaan kulit, seperti pada akne.
4. Eksantema adalah ruam permukaan kulit yang timbul serentak dalam
waktu singkat dan tidak berlangsung lama, biasanya didahului demam,
seperti pada demam berdarah.
5. Roseola ialah eksantema lentikular berwarna merah tembaga seperti
pada sifilis dan frambusia.
6. Purpura yaitu perdarahan di dalam atau di bawah kulit yang tampak
kemerahan, dan tidak hilang pada penekanan kulit, seperti pada
dermatitis medikamentosa.
3. MEKANISME GATAL, KULIT KEMERAHAN, MUAL DAN
SESAK NAFAS
Mekanisme hipersensitivitas tipe I. Pajanan awal ke alergen (fase
sensitisasi) menyebabkan diproduksinya IgE oleh sel plasma yang berbeda
dengan sel B yang spesifik terhadap alergen (tidak ditunjukkan). IgE yang
disekresi mengikat reseptor spesifik IgE (fcer) yang terdapat pada basofil
darah dan sel mast jaringan. Pajanan ulang antigen menyebabkan pertautan
silang IgE terkait membran (fase efektor). Pertautan silang ini menyebabkan
degranulasi sitoplasmik dan pelepasan mediator yang memicu vasodilatasi,
kontraksi otot polos, dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Efek ini
menyebabkan timbulnya gejala klinik yang khas untuk hipersensitas tipe I.
Mediator Efek Gejala klinis
Histamin, serotonin,
leukotrien, prostaglandin,
bradikinin, protease, faktor
Kontraksi otot polos,
vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular,
Asma, demam hay, ruam
kulit, anafilaksis lokal,
anafilaksis sistemik
18
kemotaktik eosinofil, faktor
kemotaktik neutrofil
agregasi trombosit,
aktivasi komplemen,
sekresi mukus
4. HUBUNGAN KELUHAN DENGAN MINUM OBAT
Reaksi adversi pada orang – orang yang sensitif
a. Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan efek farmakologis yang
meninggi. Misalnya gejala tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil.
b. Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan efek
farmakologis dan tidak juga disebabkan reaksi imunologis, misalnya
primakuin yang menyebabkan anemia hemolitik.
c. Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat terjadi pada pasien tertentu.
Gejala yang ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi
reaksi alergi obat merupakan sebagian dari reaksi adversi.
d. Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu terjadinya keadaan yang
mempunyai reaksi tipe I tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE.
Beberapa obat seperti opiat, vankomisin, polimiksin, tubokurarin dan
zat kontras dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator. Proses
di atas tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu.
Hipersensitivitas
19
Tipe 1
Manisfestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat
reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk yang menyebabkan
kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi
kelenjar mukus.
a. Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang – kadang kejang
bronkus di sertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan ini
bisa sangat gawat karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas.
b. Urtikaria
c. Angiodema
d. Pingsan dan hipotensi. Renjatan anakfilaktik dapat terjadi beberapa menit
setelah suntikan seperti penisilin.
Manisfestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30
menit setelah pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ
dan secara potensial membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai
anafilaktik. Penyebab yang tersering adalah penisilin. Pada tipe I ini terjadi
beberapa fase yaitu :
a) fase sensitasi, yaitu waktu yang di butuhkan untuk pembentukan IgE.
b) Fase aktivasi, yaitu fase yang terjadi karema paparan ulang antigen
spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast / basofil mengeluarkan kandungan
yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi
c) Fase efektor yaitu fase yang terjadinya respon imun yang kompleks
akibat penglepasan mediator.
Tipe II
Reaksi hiversensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi oleh karena
terbentuknya IgM/IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-
antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen.
Manisfestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah
seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan
20
granulositopenia. Nefritis intertisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe
ini.
Tipe III
Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila
kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah
IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu
dengan penglepasan komplemen. Manisfestasi klinis :
a. Urtikaria, agiodema, eritema, makulopapuler, eritema multiforme, dan
lain-lain. Gejala ini sering di sertai pruritus.
b. Demam
c. Kelainan sendi, atralgia dan efusi sendi
d. Limfadenofati
e. Lain-lain ( kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, syndrom
lupus eritematosus sistemik, gejala vaskulitis lain)
Tipe IV
Reaksi tipe ini disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga di
kenal sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini
tidak terjadi karena respon sel T yang telah di sensitasi oleh obat antigen
tertentu. Berbagai jenis DTH :
a. Cutaneus Basofil Hypersensitivity
b. Dermatitis kontak
c. Reaksi tuberkulin
d. Reaksi granuloma
Manisfestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang
tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratoin, nerfritis intertisial,
ensefalomielitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manisfestasi reaksi
alergi obat.
5. PENYEBAB KELAINAN KULIT MAKRO PAPULER DENGAN
ERITEMATOSA
21
Erupsi makulopapular atau morbiliformis merupakan EOA yang
tersering dan dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali erupsi ini
generalisata dan simetris, dan dapat terdiri atas eritema, makula yang
berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan dan
kaki. Membran mukosa tidak terkena. Lesi biasanya mucul dalam 1 – 2
minggu setelah inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul obat
dihentikan. Lesi diikuti pruritus, demam, edema fasial / kelopak mata,
malaise, dan nyeri sendi, dan biasanya hilang dalam beberapa hari sampai
minggu setelah obat dihentikan. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat,
namun sangat jarang terjadi. Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif
menjadi eritoderma atau dermatitis eksfoliativa dengan melanjutkan terapi.
Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata akut
(PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak diikuti
malaise dan demam tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula, pustul, dan bula
yang terjadi hampir diseluruh tubuh. Membran mukosa jarang terlibat.
Gambaran klinis menyerupai psoriasis pustular.
Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum
diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme,
yaitu mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah
beberapa hari pemberian obat dan tidak terjadi setelah pemberian dosis
pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode sensitisasi sebelum reaksi
terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh sel T. Baru-baru
ini dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi
obat morbiliformis dan bulosa Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi obat
dihasilkan dari bioaktivasi obat menjadi intermediate reaktif. Intermediate
reaktif intraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara kovalen,
kemudian dipresentasikan oleh MHC kelas I kepada sel T CD8+.
Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin,
allopurinol fenobarbital, dan bahkan retinoid. Penyebab utama adalah
antibiotika laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat bahwa tidak semua
eksantem morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi
tertentu khususnya virus dapat menginduksi eksatema yang sukar dibedakan
22
dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan
dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.
Diagnosis erupsi obat berdasarkan :
1. Anamnesis ; adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan
penggunaan obat.
2. Pemeriksaan klinis ; adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing-
masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis
merupakan petunjuk. Pemeriksaan klinis ; adanya kelainan klinis sesuai
dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti
penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi
disebabkan oleh obat tersebut.
3. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup
sensitif dan dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu
memastikan penyebab erupsi obat alergik :
1. Pemeriksaan in vivo :
a. uji tempel (patch test)
b. uji tusuk (prick/scratch test)
c. uji provokasi (exposure test)
Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi
kemungkinan reaksi anafilaksis.
2. Perneriksaan in vitro :
a. Yang diperantarai antibodi :
Hemaglutinasi pasif
Radio immunoassay
Degranulasi basofil
Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel :
Tes transformasi limfosit
Leucocyte migration inhibition test
23
Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis
yang mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan
tersebut merupakan pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan
interpretasi yang teliti.
24
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, A. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 6. FKUI : Jakarta
Guyton, AC. & Hall, JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 11. EGC.
Jakarta.
Katzung, Bertram G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik ed.1. EGC : Jakarta
Kumar, RC. 2007. Bukua Ajar Patologi edisi 7 vol.1. EGC : Jakarta
Price, AS & Wilson, LM. 2005. Patofisiologi volume 1 edisi 6. EGC : Jakarta.
Sudoyo A.W., Setiyohadi B, et all. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam edisi IV
jilid I. FKUI : Jakarta.