skizoprenia 1

44
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. KONSEP SKIZOFRENIA 1.1. Definisi Skizofrenia Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003). Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif 1.2. Epidemiologi Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1%

Upload: adhiia-sriingatii

Post on 23-Dec-2015

80 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

skizoprenia

TRANSCRIPT

Page 1: skizoprenia 1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. KONSEP SKIZOFRENIA

1.1. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,

pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan

intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat

berkembang kemudian (Sadock, 2003).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok,

yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi,

kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala

negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau

isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak

bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan

dorongan kehendak atau inisiatif

1.2. Epidemiologi

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di

berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar

hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi

dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: skizoprenia 1

Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25

tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden

skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di

daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).

Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat,

terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan

nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku

menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang

terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri

(Kazadi, 2008).

Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia

prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan

perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa

ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan,

perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas.

Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur

36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih

banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila

dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: skizoprenia 1

1.3. Etiologi

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab

skizofrenia, antara lain :

1.3.1. Faktor Genetik

Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya

skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga

penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi

saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan

salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua

menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi

kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut

quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin

disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di

seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat

keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai

berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan

semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand

& Barlow, 2007).

1.3.2. Faktor Biokimia

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang

disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron

berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia

Universitas Sumatera Utara

Page 4: skizoprenia 1

berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-

bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap

dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang

berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain

seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan

(Durand, 2007).

1.3.3. Faktor Psikologis dan Sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama

semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-

anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga

(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).

Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga

mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic

mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang

memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab

skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007).

Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga

pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan

kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak

memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak

terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan

anjuran yang dibutuhkannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: skizoprenia 1

1.4. Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.

Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi

beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan

keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005).

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia,

walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala

skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa

akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa

hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa

cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif

terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita

mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot,

kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003).

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara

klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian

pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk

sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala

klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu

nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku

aneh (Buchanan, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 6: skizoprenia 1

1.5. Tipe-tipe Skizofrenia

Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation,

1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan

DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe

skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang

dominan yaitu (Davison, 2006) :

1.5.1. Tipe Paranoid

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi

auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih

terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau

keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan,

keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi

ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.

1.5.2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)

Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah

laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat

disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan.

Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada

berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

1.5.3. Tipe Katatonik

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat

meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang

Universitas Sumatera Utara

Page 7: skizoprenia 1

berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan

berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang

ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain

(echopraxia).

1.5.4. Tipe Undifferentiated

Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan

perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator

skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion),

emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi

yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme

seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan

ketakutan.

1.5.5. Tipe Residual

Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia

tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-

keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak

sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri

secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: skizoprenia 1

1.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan

terapi psikososial.

1.6.1. Terapi Biologis

Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi

dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan

bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-

gejala skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan

fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat

phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut

obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan,

tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat

tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi

penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak

relevan (Durand, 2007).

Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada

penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy

(ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah

menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan.

ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa,

termasuk skizofrenia.

Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin

memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi

Universitas Sumatera Utara

Page 9: skizoprenia 1

sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih

dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi

dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien.

Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan

mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan

pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot

yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007).

Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935,

dalam Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses

operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan

batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut

Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya,

khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-

an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan

kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

1.6.2. Terapi Psikososial

Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi

pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton

dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah

diberikan pada pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa

gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai

pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian

yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: skizoprenia 1

Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi

ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan

sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi

saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta

diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi,

sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan

berkomunikasi.

Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.

Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan

tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-

ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.

Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk

mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif

secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara

bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-

cara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh

Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan

keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya

mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi

secara individual.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: skizoprenia 1

2. KEKAMBUHAN KEMBALI (RELAPS)

Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif

merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan

atau lingkungannya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu

antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan

jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt, 2006).

Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada pasien

skizofrenia adalah hal terutama yang dilakukan atas indikasi keamanan pasien

karena adanya kekambuhan yang tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri

atau mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat

terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu memenuhi

kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya. Selain itu

rawat inap rumah sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostik

dan stabilisasi pemberian medikasi (Durand, 2007).

Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang (recurrent), apapun

bentuk subtipe penyakitnya. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien

skizofrenia yang hidup bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan,

permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan.

Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam kehidupan, seperti hal

yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan. Keluarga merupakan bagian yang

penting dalam proses pengobatan pasien dengan skizofrenia.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: skizoprenia 1

Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan pencegahan

kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan

keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit,

kekambuhan, dan memperpanjang waktu antara kekambuhan.

Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai

kriteria kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, tetapi parameter ini cukup

signifikan dalam beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan

bahaya bagi pasien dan keluarganya, yakni seringkali mengakibatkan perawatan

kembali/rehospitalisasi dan membengkaknya biaya pengobatan.

3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN

MINUM OBAT

Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada

skizofrenia adalah ketidakpatuhan meminum obat. Salah satu terapi pada pasien

skizofrenia adalah pemberian antipsikosis. Obat tersebut akan bekerja bila dipakai

dengan benar tetapi banyak dijumpai pasien skizofrenia tidak menggunakan obat

mereka secara rutin. Kira-kira 7% orang-orang yang diberi resep obat-obat

antipsikotik menolak memakainya (Hoge, 1990).

Penelitian tentang prevalensi ketidakpatuhan menunjukkan bahwa sebagian

besar penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Sebuah

studi follow-up sebagai contoh menemukan bahwa selama kurun waktu dua tahun,

tiga diantara empat pasien yang diteliti menolak memakai obat antipsikotiknya

selama paling tidak seminggu (Durand, 2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 13: skizoprenia 1

Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan

adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya

pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan

sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit,

mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang

mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien.

Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui

seluk beluk pengobatan serta kegunaannya.

Menurut Siregar (2006) ketidakpatuhan pemakaian obat akan

mengakibatkan penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien

akan kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan

mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk. Adapun

berbagai faktor yang berkaitan dengan ketidakpatuhan, antara lain :

3.1. Penyakit

Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada

ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk

bekerja sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh

adanya kesakitan, dan individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada

pasien lain. Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti pasien skizofrenia

telah menunjukkan suatu kejadian ketidakpatuhan yang tinggi. Pasien cenderung

menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak menghasilkan

kesembuhan kondisi.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: skizoprenia 1

Apabila seorang pasien mengalami gejala yang signifikan dan terapi

dihentikan sebelum waktunya, ia akan lebih memperhatikan menggunakan

obatnya dengan benar. Beberapa studi menunjukkan adanya suatu korelasi antara

keparahan penyakit dan kepatuhan, hal itu tidak dapat dianggap bahwa pasien ini

akan patuh dengan regimen terapi mereka. Hubungan antara tingkat

ketidakmampuan yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan dapat lebih baik,

serta diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan memotivasi

kepatuhan pada kebanyakan pasien.

Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang

kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan

keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah

penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit

penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka

mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi

maka ketidakpatuhan dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh.

Jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal

tentang penyakitnya termasuk pengobatan. Sikap pasien terhadap pengobatan juga

perlu diperhitungkan dalam hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap

pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika

memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada

pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik

bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: skizoprenia 1

3.2. Regimen Terapi

3.2.1. Terapi Multi Obat

Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan

pasien, semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis

tertentu untuk obat telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan

penampilan (misalnya, ukuran, warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat

berkontribusi pada kebingungan yang dapat terjadi dalam penggunaan multi obat.

3.2.2. Frekuensi Pemberian

Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan

lebih mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal kerja pasien akan

terganggu untuk pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan

lupa, tidak ingin susah atau malu berbuat demikian.

Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka juga perlu

diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar

mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu

regimen dosis yang sederhana dan menyenangkan.

3.2.3. Durasi dan Terapi

Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih

besar, apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko

yang lebih besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang

mempunyai penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak

berhubungan dengan terjadinya kembali segera atau memburuknya kesakitan.

Ketaatan pada pengobatan jangka panjang lebih sulit dicapai. Walaupun tidak ada

Universitas Sumatera Utara

Page 16: skizoprenia 1

intervensi tunggal yang berguna untuk meningkatkan ketaatan, kombinasi

instruksi yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk

bila menggunakan obat, dan diskusi kelompok.

3.2.4. Efek Merugikan

Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan

menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini

tidak merupakan faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi

adalah mungkin mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk

meminimalkan efek merugikan. Namun, dalam kasus lain alternatif dapat

ditiadakan dan manfaat yang diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan

terhadap risiko.

Penurunan mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah

yang hebat, mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka tidak

patuh dengan suatu regimen. Kemampuan beberapa obat tertentu menyebabkan

disfungsi seksual, juga telah disebut sebagai suatu alasan untuk ketidakpatuhan

oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan antihipertensi. Bahkan, suatu

peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat terjadi pada beberapa

individu yang tidak patuh dengan instruksi.

3.2.5. Pasien Asimtomatik (Tidak Ada Gejala) atau Gejala Sudah Reda

Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien

tidak mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana

manfaat terapi obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu

obat digunakan berbasis profilaksis. Dalam kondisi lain, pasien dapat merasa baik

Universitas Sumatera Utara

Page 17: skizoprenia 1

setelah menggunakan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama

menggunakan obatnya setelah reda. Situasi sering terjadi ketika seorang pasien

tidak menghabiskan obatnya ketika menghabiskan obatnya selama terapi

antibiotik, setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Praktik ini

meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi dan pasien wajib diberi

nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.

3.2.6. Harga Obat

Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang

relatif tidak mahal, dapat diantisipasi bahwa pasien akan lebih enggan mematuhi

instruksi penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya yang terlibat telah disebut oleh

beberapa pasien sebagai alasan untuk tidak menebus resepnya sama sekali, sedang

dalam kasus lain obat digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau

penghentian penggunaan sebelum waktunya disebabkan harga.

3.2.7. Pemberian/Konsumsi Obat

Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh pada

instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah

disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat ukur yang

tidak tepat. Misalnya, sendok teh mungkin volumenya berkisar antara 2mL

sampai 9mL. Ketidakakurasian penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat

cair dipersulit oleh kemungkinan tumpah apabila pasien diminta mengukur

dengan sendok teh. Walaupun masalah ini telah lama diketahui, masih belum

diperhatikan secara efektif dan pentingnya menyediakan mangkok ukur bagi

pasien, sempril oral atau alat penetes yang telah dikalibrasi untuk penggunaan

Universitas Sumatera Utara

Page 18: skizoprenia 1

cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat, harus ditekankan dan

apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting untuk memberikan informasi

serta jika perlu, menyediakan alat yang tepat untuk memastikan pemberian jumlah

obat yang dimaksudkan.

3.2.8. Rasa Obat

Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan penggunaan

cairan oral. Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral, penambah penawar

rasa, dan zat warna adalah praktik yang umum dilakukan oleh industri farmasi

untuk daya tarik serta pendekatan formulasi demikian dapat mempermudah

pemberian obat kepada pasien.

3.3. Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

Keadaan sekeliling kunjungan seorang pasien ke dokter dan/atau apoteker,

serta mutu dan keberhasilan (keefektifan) interaksi profesional kesehatan dengan

pasien adalah penentu utama untuk pengertian serta sikap pasien terhadap

kesakitannya dan regimen terapi. Salah satu kebutuhan terbesar pasien adalah

dukungan psikologis yang diberikan dengan rasa sayang. Selain itu, telah diamati

bahwa pasien cenderung untuk lebih mematuhi instruksi seorang dokter yang

merka kenal betul dan dihormati, serta dari siapa saja mereka menerima informasi

dan kepastian tentang kesakitan dan obat-obat mereka.

Berbagai faktor berikut adalah di antara faktor yang dapat mempengaruhi

kepatuhan secara merugikan, jika perhatian yang tidak memadai diberikan pada

lingkup dan mutu interaksi dengan pasien.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: skizoprenia 1

3.3.1. Menunggu Dokter atau Apoteker

Apabila seorang pasien mengalami suatu waktu menunggu yang signifikan

untuk bertemu dengan dokter atau untuk mengerjakan (mengisi) resepnya,

kejengkelan dapat berkontribusi pada kepatuhan yang yang lebih buruk terhadap

instruksi yang diberikan. Dari suatu penelitian ditunjukkan bahwa hanya 31% dari

pasien yang biasanya menunggu lebih dari 60 menit untuk bertemu dengan

dokternya yang benar-benar patuh, sedangkan yang menunggu dalam 30 menit,

67% dari pasien tersebut benar-benar patuh.

3.3.2. Sikap dan Keterampilan Komunikasi Profesional Kesehatan

Berbagai studi menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap sikap pelaku

pelayan kesehatan. Uraian yang umum tentang pelaku pelayan kesehatan di rumah

sakit mencakup dingin, tidak tertarik, tidak sopan, agresif, kasar, dan otoriter.

Walaupun uraian demikian tersebut tidak demikian bagi banyak praktisi yang

mengabdi dan terampil, sikap yang tidak pantas terhadap pasien telah cukup

terbukti menunjukkan suatu masalah yang signifikan.

Pelaku pelayan kesehatan cenderung menggunakan terminologi sehingga

pasien tidak dapat mengerti dengan mudah, mereka sering kurang pengetahuan

tentang teori dan praktik perilaku, dan mereka mempunyai kesadaran yang

terbatas pada tingkat, masalah, dan penyebabpasien tidak taat pada pengobatan.

Ketaatan pada pengobatan, berhubungan dengan kejelasan penjelasan dokter

penulis resep, pasien sering merasa bahwa instruksi dinyatakan kurang jelas atau

sama sekali tidak jelas. Ketepatan waktu dan kejelasan suatu pesan sangat kuat

mempengaruhi bagaimana itu diterima, dimengerti, dan diingat. Pasien mengingat

Universitas Sumatera Utara

Page 20: skizoprenia 1

dengan sangat baik instruksi pertama yang diberikan; instruksi yang perlu

penekanan adalah lebih baik diingatkan kembali; makin sedikit instruksi

diberikan, semakin besar bagian yang diingat. Jadi suatu pesan tidak saja harus

jelas dinyatakan, tetapi juga harus diorganisasikan dan disampaikan sedemikian

rupa sehingga memungkinkan pasien yang mengikuti dan memproses informasi

secara sempurna.

3.3.3. Gagal Mengerti Pentingnya Terapi

Alasan utama untuk tidak patuh adalah bahwa pentingnya terapi obat dan

akibat yang mungkin, jika obat tidak digunakan sesuai dengan instruksi yang tidak

mengesankan pasien. Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan

mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan terapi obat.

Oleh karena itu, mereka menyimpulkan pikiran sendiri berkenaan dengan

kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak

memenuhi pengharapan, mereka lebih cenderung menjadi tidak patuh. Perhatian

yang lebih besar diperlukan untuk memberi edukasi pada pasien tentang

kondisinya, dan manfaat serta keterbatasan dari terapi obat, akan berkontribusi

pada pengertian yang lebih baik dari pihak pasien tentang pentingnya

menggunakan obat dengan cara yang dimaksudkan.

3.3.4. Pengertian yang Buruk Pada Instruksi

Berbagai investigasi telah menguraikan masalah dari jenis ini. Dari suatu

studi pada sekitar 6000 resep, 4% dari resep itu terdapat instruksi pasien ditulis

“Sesuai Petunjuk”. Akibat yang mungkin dari salah pengertian dapat serius.

Misalnya, seorang pasien menggunakan tiga kali dua kapsul fenitoin (100mg)

Universitas Sumatera Utara

Page 21: skizoprenia 1

sehari, daripada seharusnya tiga kali satu kapsul sehari seperti instruksi dokter.

Pada pasien skizofrenia yang menggunakan obat antipsikotik haloperidol 2,5

mg/hari dan fluphenazine Hydrochloride 2,5 mg/hari.

Alasan untuk penggunaan instruksi oleh beberapa dokter “Gunakan sesuai

petunjuk” telah diteliti. Walaupun penggunaan penandaan ini diadakan dalam

situasi yang terseleksi dipertahankan, kemungkinan untuk membingungkan dan

mengakibatkan kesulitan, dibuktikan dalam penelitian serta menyimpulkan bahwa

perlu membuat instruksi penggunaan obat sespesifik mungkin. Bahkan, apabila

petunjuk kepada pasien sudah lebih spesifik dari “ sesuai petunjuk” kebingungan

masih dapat terjadi.

3.3.5. Pasien takut bertanya

Pasien sering ragu bertanya kepada tim pelaku pelayan kesehatan untuk

menjelaskan kondisi kesehatan mereka atau pengobatan yang diajukan. Keragu-

raguan ini dapat dihubungkan pada ketakutan dianggap bodoh, perbedaan status

sosial, dan bahasa atau tidak didorong oleh pelaku pelayan kesehatan tersebut.

Interaksi pasien dengan pelaku pelayan kesehatan yang lebih berhasil dapat

didorong dengan meningkatkan kepekaan pada pihak pelaku pelayan kesehatan.

3.3.6. Ketidakcukupan waktu konsultasi

Profesional pelayan kesehatan kebanyakan bersifat kurang berinteraksi

dengan pasien karena tekanan pekerjaan. Dalam beberapa bagian rumah sakit,

waktu atau praktik sibuk, waktu konsultasi sangat terbatas dan ini jelas menjadi

sautu masalah. Jika seorang pasien diberi hanya satu atau dua menit untuk waktu

konsultasi, dapat terjadi hal yang lebih buruk. Biaya yang dikeluarkan pasien

Universitas Sumatera Utara

Page 22: skizoprenia 1

tinggi, berkenaan dengan waktu, transport dan pengeluaran untuk obat. Hal ini

dapat meningkatkan ketidakpatuhan pasien terhadap instruksi karena mereka

merasa bahwa profesional pelayan kesehatan tidak ada perhatian pada

penyembuhan penyakit mereka. Untuk itu pentingnya rumah sakit agar

mempertimbangkan untuk memperpanjang waktu konsultasi bagi pasien.

Profesional pelayan kesehatan harus didorong untuk mengerti bahwa komunikasi

yang efektif dengan pasien bukanlah suatu ideal yang tidak realistik, tetapi

merupakan suatu aspek inti dari keberhasilan praktik klinik.

3.3.7. Kesediaan Informasi Tercetak

Ketaatan pada pengobatan mungkin meningkat, dengan tersedianya

informasi tercetak dalam bahasa yang sederhana. Di beberapa negara maju, semua

IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) harus mempunyai lembaran informasi

untuk pasien, tersedia untuk setiap obat. Instruksi sederhana untuk obat yang

paling banyak digunakan dan obat yang paling banyak disalahgunakan dapat

dicetak pada kertas murah.

Universitas Sumatera Utara