skripsi hampir finist

167
BAB I A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kedua hal ini merupakan aset yang sangat berharga dalam suatu negara untuk dapat berkembang menjadi negara yang besar. Secara geografis wilayah Indonesia di kelilingi oleh hamparan pulau-pulau dan lautan yang luas dari Sabang sampai Merauke. Wilayah Indonesia yang berada pada iklim tropis membuat negara ini dikelilingi hutan-hutan yang merupakan salah satu paru-paru dunia. Hal tersebut menyebabkan dampak positif, karena dapat menghasilkan sumber daya alam yang bernilai ekonomis tinggi yang tidak akan habis jika dikelola dengan baik, serta bermanfaat bagi masyarakat. Seiring perjalanan waktu kerusakan lingkungan di Indonesia kian parah dengan hilangnya wilayah-wilayah penyangga seperti hutan dan lingkungan hijau lainnya. 1

Upload: ramawisnu

Post on 24-Nov-2015

56 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB I

A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kedua hal ini merupakan aset yang sangat berharga dalam suatu negara untuk dapat berkembang menjadi negara yang besar. Secara geografis wilayah Indonesia di kelilingi oleh hamparan pulau-pulau dan lautan yang luas dari Sabang sampai Merauke. Wilayah Indonesia yang berada pada iklim tropis membuat negara ini dikelilingi hutan-hutan yang merupakan salah satu paru-paru dunia. Hal tersebut menyebabkan dampak positif, karena dapat menghasilkan sumber daya alam yang bernilai ekonomis tinggi yang tidak akan habis jika dikelola dengan baik, serta bermanfaat bagi masyarakat. Seiring perjalanan waktu kerusakan lingkungan di Indonesia kian parah dengan hilangnya wilayah-wilayah penyangga seperti hutan dan lingkungan hijau lainnya. Efek dari industri dan pola konsumsi tingkat tinggi mendorong masyarakat menghancurkan hutan semata-mata hanya untuk kepentingan keuntungan ekonomi. Padahal alam yang menyediakan mereka kebutuhan hidup tidak akan habis untuk anak cucu kita jika dirawat dengan baik. Hutan sebagai paru-paru dunia telah banyak hilang oleh tangan-tangan manusia yang mengakibatkan timbulnya bencana alam yang terjadi di Indonesia. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai dampak atas masyarakat yang kehilangan rasa syukur terhadap alam yang telah memberikan kehidupan. Selama ini pengelolaan hutan di Indonesia dikelola oleh Perhutani, pengelolaan hutan tersebut bersifat konvesional sebagai warisan dari pemerintah orde baru. Karakter dari konvensional adalah ekstraktif yakni beriorentasi pada timber management, dan kapitalistik yakni menggunakan teknologi mekanik serta sentralistik yakni penguasaan berada pada pemerintah pusat. Maka, pengelolaan konvensional ini tidak selaras dengan masyarakat sekitar hutan, karena masyarakat lokal sendiri tidak dilibatkan dalam pengelolaan hutan. Sehingga pengelolaan hutan secara konvensional ini cenderung merusak kelestarian hutan dengan cara mengeksploitasi hutan yang justru hasilnya memberi keuntungan pada pihak pengusaha. Kemudian, dari sinilah laju deforestasi di Indonesia kian tinggi dari tahun ke tahun. Banyak hutan tidak lagi hijau dan lestari akibat eksploitasi berlebih. Akibatnya masyarakatlah yang terkena dampaknya dengan adanya bencana alam. Parahnya lagi, kerusakan hutan Indonesia baik lahan tidak produktif maupun lahan kritis tidak tunjukkan dalam data statistik selama bertahun-tahun. Hal ini dilakukan hanya ditujukan kepada pembangunan-pembangunan negara yang sifatnya sentralistik.Euphoria pembangunan mengubah pandangan masyarakat untuk selalu mengeksploitasi alam secara berlebih. Kerusakan alam ini berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan yang hilang sehingga terjadi over-shoot dalam ekslpoitasi sumber daya alam (Odum, 1977:23). Maka untuk menghindari kerusakan hutan, nilai kearifan lokal amat penting dalam pengelolaan dan menjaga wilayah hutan. Adanya aturan-aturan yang tertuang dalam nilai-nilai kearifan lokal menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan manusia. Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat setempat ( Sartini, 2004:37). Hutan Indonesia ditiap-tiap provinsi tentunya memiliki kearifan lokalnya sendiri-sendiri. Hal itu berasal dari sisi historis yang menjadi kebudayaan masyarakat sekitar hutan. Hutan tersebut biasanya lebih dikenal dengan hutan adat, dimana masyarakat setempat akan memperingati kebudayaan-kebudayaan dari peninggalan nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun dalam hutan tersebut.Dari beberapa kerusakan hutan yang kian marak di Indonesia seperti hutan di Sumatra dan Kalimantan ternyata di Pulau Jawa terdapat hutan yang masih lestari yang dikelola oleh masyarakat lokal. Mereka memanfaatkan dan mengelola hutan dengan adat masyarakat setempat meskipun hutan tersebut berada di tanah negara. Masyarakat berkerja sama dalam menjaga hutan sebagai sumber kehidupan. Hal ini berbanding terbalik dengan pengelolaan hutan di Indonesia pada umumnya yang berorientasi pada kayu sebagai hasil hutan. Namun, di hutan yang terletak di daerah Gunungkidul berbeda, masyarakat Gunungkidul punya cara yang berbeda dalam mengelola dan menjaga hutan sekaligus memanfaatkan hasil hutan tanpa merusak isi dari hutan tersebut.Dalam tulisan ini, penulis akan mengangkat salah satu gerakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang masih mempertahankan tatanan alam, yakni masyarakat hutan Wonosadi yang terletak di Gunungkidul yang tetap melestarikan alam serta budaya secara turun-temurun dengan terus berinteraksi dengan alam sekitarnya. Wonosadi merupakan salah satu hutan yang berada di wilayah kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang hingga saat ini masih dijaga kelestariannya dan bahkan dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Hutan Wonosadi dikelola secara adat oleh masyarakat sekitar hutan yakni masyarakat dusun Duren dan dusun Sidorejo desa Beji, kabupaten Gunungkidul. Masyarakat sekitar hutan mempercayai hutan Wonosadi sebagai hutan alam warisan nenek moyang, sehingga mereka tetap melestarikannya. Hutan Wonosadi diartikan sebagai hutan yang penuh rahasia, yang berasal dari dua pemenggalan kata yaitu Wono yang artinya Hutan dan Sandi yang artinya rahasia.

Wonosadi merupakan bagian dari Desa Wisata Wonosadi, hutan ini menjadi icon utama bagi desa wisata Wonosadi. Menurut salah satu pemangku adat, Bapak Slamet, sebenarnya sebutan Desa Wisata Wonosadi ini berdasarkan musyawarah bersama warga setempat dan KKN UGM tahun 2006 yang kemudian tertuang dalam SK Desa Beji No:12/ kpts/2006. Sehingga desa wisata Wonosadi dalam hal ini belumlah secara resmi disahkan oleh pemerintah tingkat pusat. Desa wisata Wonosadi yang mengusung kearifan lokal dari hutan Wonosadi ini, dikukuhkan menjadi desa wisata atas dasar kebudayaan yang melekat dari masyarakat tersebut dengan mitosnya yang kuat. Kebudayaan Wonosadi ini dibarengi dengan kerajinan-kerajinan lokal setempat sehingga hal ini menjadi satu paket dengan icon hutan Wonosadi. Untuk mengelola ini semua dibentuk Badan Pengelola Desa Wisata (Baladewi, 2006:29).

Hutan ini secara spesifiknya berada di daerah Ngawen Bejiharjo, Kabupaten Gunungkidul. Hutan Wonosadi memberikan sumbang asih terbesar bagi daerah sekitar hutan yakni dusun Sidorejo dan Duren karena menghasilkan air bersih. Dari segi ekonomis, air yang dihasilkan oleh hutan Wonosadi membuat kedua desa tersebut tidak pernah kekurangan air seperti desa yang lain yang juga berada di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Selain air, hutan Wonosadi ini menjadi pengikat desa Sidorejo dan Duren karena kekerabatan antara dua dusun ini bersatu sesuai dengan karakter jawa, bahwa hidup harus rukun tatatititentrem. Hutan Wonosadi ini masuk dalam kategori hutan rakyat karena hutan ini dikelola oleh inisiatif masyarakat tanpa campur tangan pemerintah sehingga masih bersifat tradisional. Wonosadi dikelola oleh swadaya masyarakat, yang secara ekonomis memanfaatkan air dan pertanian untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan air yang berlimpah dapat meningkatkan hasil pertanian di wilayah tersebut (irigasi). Saluran air dari hutan dikelola bersama oleh masyarakat dengan dialirkan ke rumah rumah warga sekitar hutan. Keberadaan hutan semata-mata bukan terjadi secara alamiah oleh tanah, air, botani dan mikroorganism melainkan peran serta manusia dan kebudayaan (Awang, 2006:78). Maka, ragam kebudayaan interaksi dengan hutan oleh masyarakat di tiap daerah berbeda-beda. Fenomena pengelolaan hutan ini menjadi sangat sosiologis ketika masyarakat mulai sadar akan pentingnya hutan dan juga secara ekonomis mereka dapat bertahan hidup di wilayah yang tandus dengan bantuan air dari hutan Wonosadi. Selain itu interaksi antar masyarakat menjadi sangat kuat ketika adanya rasa kesamaan tujuan yang menghasilkan kesadaran kolektif (masyarakat organik). Sehingga dari kesadaran kolektif ini, memunculkan gerakan pengelolaan bersama menjaga dan melindungi hutan dari kerusakan. Selain itu, simbol-simbol dalam kehidupan budaya masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat, karena simbol tersebut digunakan sebagai acuan dari gerakan pengelolaan hutan yang berdasarkan budaya masyarakat lokal. Tatanan pedesaan yang terintegrasi dengan alam menjadikan hutan Wonosadi kian bertahan di tengah maraknya kerusakan alam di Indonesia, selain itu hutan Wonosadi merupakan paru-paru di Gunungkidul. Masyarakat sekitar hutan Wonosadi bersama-sama menjaga hutan tersebut secara rukun dengan alam dan budaya para leluhur. Masyarakat Wonosadi masih menjaga kekerabatan dan adat istiadat setempat dengan baik, serta unggahungguh, yang kini mulai luntur sebagai ciri khas budaya masyarakat Jawa.

Hutan Wonosadi selain memberikan sumber kehidupan bagi kedua desa tersebut tetapi juga memberikan nilai-nilai sosial dan budaya. Masyarakat kedua desa tersebut selalu meruwat hutan Wonosadi dengan menggelar budaya upacara-upacara adat yang didalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan yang ingin disampaikan. Dari segi budaya terdapat tradisi syukuran atas hutan seperti upacara sadranan, bersih desa, rasulan dan juga terdapat alat musik rinding yang merupakan instrumen kebudayaan dalam upacara adat di hutan wisata Wonosadi.

Kondisi sosio-kultural dalam kehidupan kedua desa tersebut kental dengan kekerabatan yang menjadi nilai lebih bagi pengembangan budaya khususnya nilai budaya. Nilai budaya adalah konsep tentang hidup yang dianggap penting dan berharga dalam kehidupan. Dengan hal ini manusia akan bertindak sesuai dengan nilai budaya yang telah melekat, dan dengan kekerabatan akan memunculkan beberapa komunitas-komunitas yang didasari rasa kebersamaan dengan tujuan pengembangan dan keberlangsungan hutan serta budaya lokal dengan tindakan-tindakan secara kolektifitas. Hal ini dibuktikan dengan Wonosadi sebagai peraih nobel lingkungan Prakarsa Lestari kehati pada tahun 2009. Nobel ini diraih dengan nominasi pengelolaan lingkungan hutan berbasis masyarakat lokal atau secara adat.Organisasi Baladewi adalah gerakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat lokal yang meletakkan kesadaran kolektif dan budayaa lokal setempat untuk mengelola hutan. Hal ini senada dengan metode community based management (CBM) yang diungkapkan oleh Nikijuluw dalam jurnal penelitian perikanan laut yang berjudul Sasi sebagai Pengelolaan Sumber Daya Berdasarkan Komunitas (PSBK) di Pulau Saparua, Maluku, yakni pengelolaan sumber daya alam yang meletakkan pengetahuan lokal dan kesadaran sebagai dasar pengelolanya. Selain itu Baladewi juga sebagai wadah resmi dari masyarakat kedua dusun yang mengelola hutan Wonosadi. Baladewi ini terbagi dalam beberapa struktur dalam kepengurusannya seperti, bagian pengurusan budaya, jagawana, dan pengelolaan keluar. Baladewi ini beranggotakan masyarakat desa Duren dan Sidorejo. Keanggotaan ini dipilih atas kesepakatan kedua desa sekitar hutan wonosadi, meskipun banyak desa lain disekitar Wonosadi tapi kedua desa ini yang paling berperan dan berpengaruh pada kelestariannya karena jaraknya yang cukup dekat yakni 500 meter dibawah hutan.

Gerakan Pengelolaan hutan oleh Baladewi ini lebih sukses dengan berbasis masyarakat lokalnya, karena justru ketika dibantu dengan pihak-pihak yayasan, LSM, serta Pemerintah, kegiatan pengelolaan hutan ini justru tidak seberhasil saat dikelola oleh Baladewi. Dalam perjalanannya saat ini, kedua desa yakni desa Sidorejo dan Duren sedang berkerja keras dalam pengembangan Hutan Wonosadi serta Budaya yang mengikutinya. Masyarakat telah sadar akan pentingnya keberadaan hutan yang dari segi ekonomis mampu memberikan hasil yang tidak ternilai seperti air dan obat-obatan. Dalam pengembangannya, organisasi Baladewi sempat mengalami gonjangan akibat petinggi pengelola hutan telah wafat. Namun, hal ini tidak menyurutkan kedua desa tersebut untuk terus melanjutkan perjuangannya. Beberapa upaya dilakukan guna pengembangan hutan dan budaya lokal sebagai identitas masyarakat Wonosadi.

Mengelola hutan tidak hanya sebatas memanfaatkan hasilnya tetapi masyarakat juga harus menambah tanaman agar lebih hijau dengan lahan-lahan yang masih kosong. Banyak sekali gejolak dalam mempertahankan hutan serta budayanya, karena perubahan pola pikir seiring dengan perkembangan zaman yang kian maju. Perlu pemikiran yang tepat untuk tetap mengembangan dan mempertahanan hutan Wonosadi. Penelitian ini menekankan pada gerakan pengelolaan hutan oleh masyarakat hutan Wonosadi dalam mempertahankan lingkungan dan kearifan lokal agar tetap lestariB. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu Bagaimana upaya kolektif dan gerakan yang dilakukan masyarakat dusun Sidorejo dan Duren di Desa Beji, Ngawen, Gunungkidul, dalam melestarikan hutan rakyat? C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian sangatlah penting karena tujuan merupakan gambaran sebuah penelitian. Berikut beberapa hal yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:1. Mendeskripsikan proses masyarakat dalam usaha-usaha mempertahankan hutan adat.2. Memahami strategi masyarakat dalam mempertahankan alam dan budaya.3. Untuk mengetahui dinamika masyarakat dalam menjaga alam yang interaksinya dintegrasiakan dengan budaya.D. MANFAAT PENELITIAN

1. Agar masyarakat sekitar Wonosadi makin mencintai dan terus menjaga alam dan budaya agar tidak tergerus arus serta diharapkan generasi muda Wonosadi semakin mencintai dan melestarikan budaya lokal yang tidak kalah oleh budaya luar dan mengangkat harkat dan martabat budaya serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya.2. Agar keberadaan HutanWonosadi dapat mengangkat eksistensi budaya dan lebih dikenal masyarakat luas serta memberikan surplus value bagi masyarakat Sidorejo dan Duren yang tergabung dalam Baladewi.3. Merupakan suatu informasi dan tambahan khasanah pustaka bagi akademisi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada, maupun bagi masyarakat umum lainnya.4. Menjadi suatu deskripsi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah D.I.Y khususnya Kabupaten Gunungkidul maupun instansi yang terkait untuk memberikan pendampingan serta modal bagi pengembangan dan kelestarian bagi budaya dan alam Hutan Wonosadi.E. TINJAUAN PUSTAKA

Adapun tema yang diusung peneliti sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya karena banyaknya hutan yang tersebar diseluruh penjuru Indonesia. Semua orang membutuhkan hutan untuk menjaga keseimbangan alam. Seperti yang dilakukan oleh para ahli hutan oleh lembaga pemerintah departemen kehutanan yang memantau hutan-hutan di seluruh Indonesia.

Dalam riset yang berjudul Kearifan Masyarakat Dalam Mengelola Hutan Kaendia di Pulau Wangi-Wangi Wakatobi Sulteng oleh Nur Arafah pada tahun 2003. Membahas tentang pengelolaan hutan adat yang menekankan pada pola-pola adat, pengelolaannya terbagi menjadi dua yakni manajeman adat dan keluarga. Maka lebih jauh dari penelitian ini menekankan pada manajemen hutan namun dikelola oleh masyarakat yang terbagi dua jenis tersebut. Adapun didalamnya juga mengemukakan bahwa adat berperan dalam pembagian wilayah-wilayah dari pengelolaan berbasis adat, mengingat daerah yang sulit dijangkau. Dalam tulisannya nilai budaya juga lebih ditonjolkan sebagai bentuk kearifan lokal mereka yang masih kuat karena daerah yang sulit dijangkau belum terkontaminasi budaya asing.

Kemudian riset selanjutnya berjudul Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat : Peluang Usaha, Peningkatan Kesejahteraan dan Produktifitas oleh Sri Suharti dan Muniarti pada tahun 2010. Dalam riset ini peneliti lebih banyak menjelaskan peranan dari turunan PHBM sebagai metode-metode pengelolaan hutan berbasis masyarakat dari segi kehutanan. Dalam tulisannya Suharti mengungkapkan bahwa hasil pengelolaan masyarakat harus kembali pada masyarakat untuk kesejahteraan dengan hasil berupa kayu. Penelitian ini juga membedah tentang pendampingan-pendampingan tentang PHBM sebagai solusi kesejahteraan masyarakat hutan. Disamping itu dibahas juga pola-pola penanaman dengan aturan aturan dari pemerintah tentang pengelolaan masyarakat. Pada kesimpulan penelitian ini mengarah pada kebijakan legalitas dari pengelolan hutan masyarakat dalam artian diakui jika memang berhasil sebagai solusi dari kerusakan hutan yang pengelolaannya masih konvensional (timber wood). Masyarakat diberikan kepercayaan dalam mengelola hutan supaya lebih lestari dan sejahtera.

Pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat juga ditemukan pada riset yang berjudul Analisis Kebijakan Pelibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Di kota Bontang oleh Djazuli Syukur Dkk pada 2007. Riset ini menjelaskan bahwa pengelolaan hutan berbasis masyarakat khususnya di wilayah mangrove masih rendah dan kebijakan PHBM yang belum merata pada hutan di Indonesia. Dan juga peneliti juga masih membahas tentang pengelolaan pemerintah yang kurang peduli pada pengelolaan masyarakat. Dan juga hukum pada pengelolaan berbasis masyarakat yang belum jelas menjadi kendala pada pengelolaan hutan mangrove oleh masyarakat.

Beberapa riset yang telah dilakukan, mayoritas dari pihak kehutanan masih membahas tentang kebijakan dari paradigma community based sebagai paradigma baru yang sebelumnya state based (orientasi hasil). Pada penelitian ini peneliti tidak membahas pengelolaan ataupun management secara lebih jauh melainkan membahas peran dari masyarakat sebagai gerakan dari pecinta lingkungan yang mengelola hutan Wonosadi. Hal ini untuk mengisi kekosongan pembahasan tentang pola-pola gerakan dari masyarakat meskipun konsep dari gerakan berkaitan dengan management hutan. Penelitian ini hanya melihat sisi-sisi sosilogis dari peran masyarakat menjaga kelestarian alam melalui gerakan lingkungan.

F. KERANGKA TEORIDinamika kehidupan merupakan sesuatu yang bergerak terus-menerus, hal ini menghasilkan perubahan-perubahan yang dipengaruhi oleh faktor faktor tertentu dan memiliki tujuan. Adapun perubahan tersebut memiliki dampak negatif maupun positif bagi masyarakat. Masyarakat dalam kehidupannya selalu terdorong untuk selalu memenuhi kebutuhan hidupnya dan hal ini berlaku pula pada lingkungan. Lingkungan hutan dapat bertahan dari kerusakan tergantung dari individu atau aktor yang menjaga hutan tersebut. F.1 Teori Gerakan lingkunganSalah satu teori yang relevan untuk menjelaskan fenomena dari kelestarian hutan Wonosadi adalah melalui teori gerakan lingkungan. Sudut pandang dari gerakan lingkungan ini menempatkan isu lingkungan menjadi isu yang cukup beresiko akibat kerusakan lingkungan dan pola ekonomi masyarakat. Kesadaran masyarakat terbuka dengan adanya kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan mereka. Pergerakan lingkungan diwakili oleh organisasi yang terorganisir dan aktor didalamnya mempunyai tujuan dan misi yang sama. Aktor-aktor dari gerakan lingkungan tidak selalu dari kalangan atas tetapi juga kalangan bawah.

Gerakan lingkungan menempatkan dalam penelitian ini masyarakat hutan sebagai aktor dari gerakan lingkungan kelestarian hutan. Masyarakat telah sadar akan pentingnya dari sebuah hutan sebagai sumber kehidupan mereka. Maka supaya hutan tetap lestari diperlukan pengelolaan berkelanjutan. Gerakan lingkungan merupakan salah satu turunan dari gerakan sosial baru. Gerakan lingkungan berbeda dengan gerakan sosial yang sebelumnya yang masih mengangkat isu-isu politik dan identitas yang berada pada ranah politik. Gerakan lingkungan lebih menitik beratkan isu-isu baru kerusakan lingkungan (global warming), yang mengancam tatanan sosial. Penelitian ini menggunakan kerangka teori gerakan lingkungan untuk mempermudah membahas pola-pola masyarakat terhadap lingkungan. Dalam gerakan lingkungan komponen masyarakat, air, udara, tanah, dan api merupakan symbol dari gerakan lingkungan yang menjadi isu penting (Doyle, 2003: 2). Isu lingkungan yang terjadi akibat adanya interaksi politik serta momentum historis dalam suatu masyarakat tertentu tentang masalah lingkungan yang bersangkutan (George Junus, 2003: 158). Gerakan lingkungan sendiri menurut Denton E. Morisson terbagi menjadi tiga komponen, yakni 1. The organized or voluntary environment movement yaitu gerakan lingkungan yang terorganisir dan gerakan-gerakan mereka bersifat sukarela. Masyarakat menjaga lingkungan hidup atas dasar kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar.2. Tthe public environmental movement yaitu gerakan yaitu khalayak ramai yang menyatakan keengganan atau kesukaan mereka terhadap ekosistem tertentu, pola hidup tertentu, serta flora dan fauna tertentu.3. The institusional environmental movement organizations yaitu gerakan yang secara resmi membawahi dari lembaga resmi yang mempunyai kewenangan secara hukum terhadap kebijakan-kebijakan umum mengenai lingkungan hidup.

Dari ketiga komponen gerakan lingkungan tersebut memfokuskan pada komponen pertama yang dianggap sesuai dengan kondisi di wilayah hutan Wonosadi. Hal ini digunakan karena seluruh pengelolaan kelestarian hutan Wonosadi oleh masyarakat yang secara sukarela dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Selain itu, masyarakat juga melakukannya atas dasar kesadaran kolektif sehingga mempunyai tujuan dan misi yang sama. Merujuk pada definisi gerakan lingkungan, isu lingkungan yang terjadi di Wonosadi adalah tentang kerusakan akibat penebangan liar pada era orde baru. Selain itu, gerakan lingkungan kelestarian hutan juga terbentuk atas momentum sejarah dari Wonosadi itu sendiri yang hingga kini dipercaya keberadaannya. Selain itu, perspektif gerakan lingkungan memberikan jalan bagi tatanan sosial masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan isu-isu lingkungan yang ada di suatu wilayah tertentu.F.1.1 Gerakan Lingkungan Berbasis Masyarakat dan Kearifan lokalMerujuk pada apa yang akan diteliti pada gerakan kelestarian hutan ini, maka digunakan turunan dari gerakan sosial baru yaitu environmental movement dengan pendekatan post materialism thesis. Pendekatan ini digunakan untuk membedah sisi ecosentris dari gerakan kelestarian hutan Wonosadi, hal ini menjadi mitos yang diyakini oleh masyarakat Wonosadi.

Inglehart mengungkapkan bahwa post materialism thesis ini menempatkan bahwa lingkungan tidak hanya dipandang sebagai sebuah materi tetapi juga terdapat non-material didalamnya seperti nilai historis dan kebudayaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari efek industrial yang menekankan pada aspek finansial yang menyebabkan kerusakan alam. Sisi lain dari lingkungan sebagai objek yang dipertahankan oleh gerakan lingkungan yakni memiliki historis dan kebudayaan yang melekat kuat pada masyarakat. Hal ini sangat dimungkinkan ecosentris dari suatu alam tersebut menjadi acuan dari gerakan pengelolaan hutan. Pandangan ecosentris melihat bahwa alam dan makhluk hidup di dalamnya saling berkaitan satu dengan yang lain serta tidak ada posisi sentral di dalamnya. Manusia tidak dianggap paling menguasai alam namun kehidupan manusia juga ditentukan oleh alam dan alam juga dapat dipengaruhi oleh perilaku manusia. Kemudian di tengah arus industrialisasi, pendekatan ecosentris justru menjadi jalan bagi sebuah gerakan untuk menanggulangi isu-isu lingkungan untuk hajat hidup orang banyak. Ecosentris juga menurut Hay dan Haward melihat alam memiliki nilai selain pemanfaatan sumber daya alam bagi pemenuhan kebutuhan manusia ( Doyle, 2003:36).Menurut Lewis Henkels Gerakan kelestarian hutan berbasis masyarakat adalah gerakan pengelolaan hutan yang didasarkan pada peran serta masyarakat. Pengelolaan hutan didasarkan pada komunitas-komunitas dalam masyarakat yang pengambilan keputusannya secara musyawarah masyarakat. Pengelolaan ini jika dilihat lebih mendalam menekankan pada melindungi dan menjaga kelestarian alam. Gerakan lingkungan yang bersifat lokal lebih proaktif sehingga lingkungan sekitar menjadi prioritas dari kelompok lokal tersebut. Serta gerakan lingkungan yang berasal dari bawah grass root, kepemimpinannya muncul dari dalam dan mereka mengerahkan waktunya untuk selalu melestarikan alam (Collin and Collin, 1994:1173).Gerakan lingkungan juga dapat dikatakan sebagai bentuk-bentuk inisiatif dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang ada di wilayah tertentu. Berkaca pada gerakan lingkungan di Amerika bahwa gerakan lingkungan minoritas justru berhasil dalam mempertahankan ekosistem hutan ketimbang gerakan mayoritas. Masyarakat membentukan gerakan peduli hutan sebagai solusi gejala-gejala deforestasi. Gerakan yang dibangun akan selalu identik dengan kondisi lingkungan yang menjadi identitas dari gerakan lingkungan itu sendiri. Gerakan lingkungan yang berbasis komunitas minoritas memberikan sepenuhnya pengelolaan dan pemanfaatan kepada masyarakat untuk pemberdayaan masyarakat dan lingkungan (Doyle, 2003: 38). Maka, dengan adanya gerakan lingkungan diharapkan dapat membangun sistem yang dapat menempatkan masyarakat yang berinteraksi sebagai aktor dari kelestarian alam, selain itu memberikan jalan untuk mencegah deforestasi. Menempatkan gerakan masyarakat lokal sendiri hal ini dianggap relevan bagi mereka yang tahu benar akan karakteristik dari suatu lingkungan. Gerakan lingkungan ini bertujuan untuk mencapai eksistensi masyarakat dengan proses pembangunan yang memuat proses perencanaan, transformasi dan keberlanjutan (Elmira, 2009:4).

Masyarakat yang tergabung dalam sebuah gerakan lingkungan mempunyai misi untuk menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat pun dalam mengelola lingkungan juga berpedoman pada lokasi dan kondisi lokal untuk melihat penanganan seperti yang cocok dengan kondisi lingkungan. Nilai-nilai lokal dan simbol kebudayaan dalam suatu masyarakat menjadi bagian dari komponen dalam penanganan lingkungan. Hal ini juga mengambarkan latar belakang dari terjadinya suatu lingkungan hidup yang terintegrasi dengan masyarakat sekitar.

Masyarakat yang melihat secara riil apa yang dihadapi dalam menjaga kelangsungan lingkungan baik itu tentang masalah yang berasal internal maupun eksternal, sehingga mereka dituntut untuk berfikir dan bertindak cepat untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini dilakukan agar mengurangi resiko kehancuran dengan memperkuat dari strategi-strategi kelestarian lingkungan. Isu-isu lingkungan yang kian mendesak kelangsungan suatu lingkungan kini kian kompleks, seperti kebakaran hutan, pencurian hutan, bencana tanah longsor, hal tersebut perlu diminimalisir dengan adanya suatu kesadaran lingkungan. Gerakan lingkungan juga seperti organisasi pada umumnya yang memerlukan adanya kerja sama antar sesama masyarakat yang tergabung didalamnya. Masyarakat membutuhkan adanya kerjasama, rasa kepercayaan dan tanggung jawab bersama guna memudahkan dalam setiap kegiatan dari gerakan lingkungan. Maka, disamping adanya sebuah wadah gerakan yang mengkoordinir dalam menjaga kelestarian alam sekaligus nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat perlu juga adanya penguatan kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksudkan untuk mempemudah dari proses pembagian kerja dari gerakan lingkungan itu sendiri guna tercapainya lingkungan yang lestari. Program-program yang dilakukan tentunya mempunyai cara-cara tersendiri.

G. METODE PENELITIAN1. Metode Penelitian Kualitatif

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif yaitu memaparkan penelitian secara diskriptif dan menggunakan interview guide sebagai medianya. Interview guide digunakan untuk membatasi pertanyaan agar tidak keluar dari topic permasalahan akan diteliti. Penelitian ini mencari tahu latar belakang dari permasalahan dan berperan sebagai instrument (Zamroni, 1992:81). Maka, dalam hal ini peneliti ikut aktif dalam berinteraksi, memahami dan menganalisa masalah yang akan diteliti, sehingga mudah dalam mendiskripsikan. Dengan kata lain, studi deskriptif ini merupakan pengujian yang mendalam dan merinci dari suatu konteks dari suatu objek, dari satu kumpulan dokumen, dari suatu kejadian khusus, untuk mendapatkan pemahaman mendalam, holistik, utuh, mengabaikan representatif.

Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2006: 4). Pendekatan penelitian ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan ganda yang tidak terduga, lebih peka terhadap lingkungan atau masalah yang akan dihadapi baik itu nilai-nilai dalam kehidupannnya dilapangan. Penelitian kualitatif ini membahas topik dengan masalah yang kompleks dan berhubungan erat dengan interaksi sosial dan proses sosial. Interaksi dan proses sosial merupakan langkah awal dalam proses penelitian ini. Kembali pada topik penelitian bahwa kualitatif mendiskripsikan pengelolaan hutan di Wonosadi, dan bagaimana masyarakat mempertahankannya dan bagaimana permasalahan yang dihadapi supaya tetap bisa bertahan.

Selanjutnya metode atas jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian studi kualitatif ini menggambarkan situasi dan masalah-masalah secara detail. Kemudian dari fokus dari penelitian ini adalah pengelolaan hutan sebagai subjek pada penelitian pengelolaan hutan ini di Wonosadi. Melalui studi deskriptif, hal-hal yang belum dipaparkan dan dideskripsikan dengan jelas dapat dipaparkan lebih terperinci dengan fakta-fakta yang ada.

Penelitian ini memfokuskan pada studi diskriptif yang lebih menggambarkan fenomena dan fakta yang terjadi dalam pengelolaan hutan Wonosadi dan aktor-aktor sebagai pelaku pengelolaan hutan. Penelitian ini dianggap sesuai untuk menggambarkan proses dan bagaimana pengelolaan hutan Wonosadi. Selain itu, penelitian ini tidak dapat dianalisa dengan statistik atau angka-angka melainkan dengan menggunakan narasi dan penjabaran. Dalam mendapatkan data, dilakukan dengan cara melakukan penelitian lapangan serta penelitian kepustakaan atau studi pustaka.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian akan dilaksanakan di desa Sidorejo dan Duren yang lokasinya berdekatan langsung dengan hutan Wonosadi begitu juga dengan kedua dusun. Dusun ini, Sidorejo dan Duren ini terletak di kelurahan Beji, kecamatan Ngawen, kabupaten Gunungkidul. Lokasi lebih spesifiknya terletak di pinggir jalan raya Yogyakarta menuju ibukota kecamatan Ngawen. Rutenya, dari Yogyakarta perjalanan ke arah Wonosari, setelah masuk ibukota kecamatan Patuk terus menyusuri jalan raya di pertigaan Sambapitu ke arah ibukota kecamatan Ngawen. Jadi , perjalanan Yogyakarta ke dusun Sidorejo dan dusun Duren sekitar 48 kilometer.

Daerah penelitian ini merupakan lokasi KKN tahun 2011 peneliti, dan memang berada di daerah yang sudah pernah ditinggali oleh peneliti sehingga peneliti sedikit banyak mengerti tentang permasalahan di sana, diharapkan pula dapat diperoleh data penelitian yang lebih dalam. Peneliti selama tinggal dilokasi melihat fenomena kebudayaan, kegiatan yang dilakukan dan tingkah laku atas adat yang asih terjaga hingga sekarang dan bersifat turun-temurun. Dengan demikian individu merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan latarnya atau lingkungan sosial tempat dimana mereka hidup dan bekerja. 3. Jenis dan Sumber data

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data dari sumber informan pertama yaitu hasil wawancara dengan informan. Informan dipilih secara purposive dalam hal ini dipilih didasarkan pada subjek yang menguasai dan lebih tahu tentang permasalahan. Subjek juga memiliki data dan bersedia dimintai data tersebut untuk melengkapi berkas penelitian.

Data sekunder adalah data pendukung dari data primer sebagai informasi tambahan. Data sekunder ini berupa data studi-studi pustaka yang memiliki relevansi dengan pengelolaan hutan. Selain itu data sekunder juga dapat berupa deskripsi wilayah, sejarah, dan dokumen dari kelurahan desa Beji, serta data dari organisasi Baladewi.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode-metode seperti berikut:

a. Observasi

Observasi ini dilakukan untuk mendalami lokasi yang akan diteliti dan mengetahui medan permasalahan yang akan diteliti. Beberapa informasi yang diperoleh melalui observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu dan perasaan. Observasi yang dilakukan menggunakan observasi partisipan yaitu peneliti ikut terlibat dalam keseharian informan. Hal ini dipilih karena peneliti adalah pelaksana KKN PPM UGM tahun 2011 sehingga diharapkan akan lebih mudah dalam mendapatkan data. Peneliti juga mengikuti forum diskusi bertujuan agar peneliti dapat mengenal dan menjalin keakraban dengan para informan disamping juga menjelaskan maksud dan tujuan penelitian secara singkat atau pemahaman seputar topik penelitian. Sehingga dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan para informan, penelitian dapat berjalan dengan baik dan lancar. Observasi ini dapat mengetahui dan menggambarkan keadaan sosial setempat khususnya kelompok masyarakat Wonosadi.b. Wawancara

Wawancara yang dilakukan untuk mengambil data bersifat wawancara in-deep interview tetapi tetap pada sistematika dan sesuai dengan tujuan peneliti. Wawancara in-deep interview ini peneliti hanya menanyakan hal-hal sesuai kategori rumusan masalah kepada informan kemudian peneliti memilih dari informan yang sudah diwawancarai untuk digali informasi lebih dalam dengan wawancara yang bebas untuk menghindari suasana tegang dan membuat informan nyaman. Wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau ide tetapi juga dapat menangkap perasaan, pengalaman dan emosi, serta motif yang dimiliki oleh responden yang bersangkutan (Sanapiah, 2002:109). Proses pemilihan informan di lapangan dilakukan secara purposive yaitu pemilihan informan berdasarkan pada yang ahli dan tahu betul tentang seluk beluk pengelolaan di Wonosadi. Informan yang dipilih juga harus sesuai dengan rumusan masalah dan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun informan yang diteliti memiliki kriteria sebagai tersebut adalah :

1. Ketua Baladewi

Wakil organisasi Baladewi ini merupakan pengganti sementara ketua yang wafat. Wakil ini sebagai pengambil kebijakan dalam pengelolaan hutan Wonosadi selanjutnya dan juga beliau tahu akan operasional dari Baladewi. Wawancara ini bertujuan mencari tahu latar belakang terbentuknya Baladewi, visi, misi hingga terbentuk sampai sekarang. Dan juga untuk mengetahui kebijakan kebijakan strategis apa saja yang dilakukan untuk mensejahterakan masyarakat.2. Pengurus Baladewi Pengurus Baladewi terdiri dari sekertaris, bendahara, jagawana, dan anggota. wawancara terhadap pengurus Baladewi ini bertujuan untuk mengetahui peran pengelolaan, baik kerjasama, nilai-nilai yang berlaku, membangun kepercayaan, keyakinan individu ataupun kelompok serta perilaku-perilaku yang biasa dilakukan. Selain itu juga untuk mengetahui perkembangan pengelolaan hutan Wonosadi.3. Tokoh adat Tujuan mewawancarai tokoh adat adalah untuk melihat sisi historis yang melatarbelakangi pengelolaan hutan Wonosadi. Tokoh adat dimiliki oleh tiap dusun. Tokoh adat ini juga sebagai pencetus ide peraturan-peraturan tentang pengelolaan hutan Wonosadi. Wawancara juga dilakukan dengan kepala desa dan juru kunci hutan Wonosadi, hal tersebut bertujuan utuk mendapatkan data tentang peraturan peraturan dalam menjaga hutan.

c. Data Sekunder

Data sekunder adalah data berlandaskan pada sumber data lokal, dimana dokumen dan artikel yang ada dilapangan menjadi sumber data. Data itu berasal dari dokumentasi arsip organisasi Baladewi, catatan historis Wonosadi, hasil penelitian terdahulu, dan foto yang relevan dengan rumusan masalah serta tujuan penelitian.4. Analisis Data

Proses analisis data penelitian kualitatif dapat dilakukan pada saat mulainya pengumpulan data di lapangan dan secara berkelanjutan sampai pada penulisan laporan penelitian. Menurut Milles dan Huberman (1992: 16) ada tahapan atau alur kegiatan dalam analisis data, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Singkatnya adalah saat penelitian berlangsung peneliti sudah dapat melakukan tahap seperti :a. Reduksi data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah. Peneliti melakukan pemilihan dan penyederhanaan data hasil penelitian di lapangan. Catatan-catatan tertulis yang masih bersifat kasar diubah menjadi data yang bersifat halus kemudian membuang data yang tidak diperlukan. Reduksi data berlangsung terus-menerus selama penelitian dilakukan. b. Penyajian Data (Display data)Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam melihat hasil penelitian, khususnya pada penelitian kualitatif data ditampilkan pada teks naratif. Karena banyaknya data yang diperoleh, peneliti kesulitan dalam menganalisisnya, maka, peneliti memilah dan menyederhanakan data. Penyajianpenyajian data dirancang guna untuk menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk padu dan mudah diraih. Sehingga, dapat dipahami apa yang sedang terjadi, apa yang harus dilakukan peneliti lebih jauh lagi dalam menganalisis pengambilan tindakan selanjutnya. c. Penarikan kesimpulan

Setelah display data, langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan dengan pencarian arti, pola-pola penjelasan konfigurasi alur sebab-akibat dari proposisi dan dengan demikian hal ini menjadi singkat, padat, dan jelas. Dalam analisa data ini, peneliti dituntut ketajaman, kedalaman, dan keluasan wawasan agar dapat menyentuh pada akar kebenaran sesungguhnya. Artinya selain harus mampu mengungkapkan melalui pisau analisisnya pada permukaan luar dari suatu perilaku atau setting social subyek, juga harus mampu mengungkapkan aspek permukaan dalam lapisan mengapa sesuatu tersebut terjadi.BAB IIKONTEKS SOSIAL WILAYAH PENELITIAN

A. Letak AdministratifDesa Beji merupakan salah satu dari kecamatan Ngawen yang ada di Gunungkidul yang terdiri dari 14 pedukuhan, yaitu: Pedukuhan Tegalrejo, Pedukuhan Sidorejo, Pedukuhan Duren, Pedukuhan serut, Pedukuhan Grojogan, Pedukuhan Bejono, Pedukuhan Bendo, Pedukuhan Tungkluk, Pedukuhan Daguran Lor, Pedukuhan Daguran Kidul, Pedukuhan Ngelo Lor, Pedukuhan Ngelo Kidul, Pedukuhan Beji dan Pedukuhan Banaran. Batas-batas dari Desa Beji adalah :

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kaliteluk Kecamatan Semin Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Nalas Kecamatan Nglipar Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kampung Ngawen Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Watusigar Kecamatan NgliparWilayah yang menjadi lokasi penelitian ini merupakan dua dusun yang terdapat di Desa Beji yaitu Dusun Duren dan Sidorejo. Berikut adalah batas-batas wilayah Desa Beji : Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Suru kecamatan Kampung Sebelah selatan berbatasan dengan Dusun Serut Sebelah Barat berbatasan dengan Dusun Tungkluk Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah kampongPenelitian ini memfokuskan pada dusun yang mengelola Hutan Wonosadi yaitu dusun Sidorejo dan dusun Duren. Semua dusun tidak menjadi lokasi karena tersebar di perbukitan dan batu-batuan besar sehingga antara dusun satu dengan yang lainnya berjauhan. Maka, dari beberapa dusun di Desa Beji hanya Duren dan Sidorejo saja yang langsung berdekatan dengan hutan Wonosadi, lebih tepatnya dibawah kaki Hutan Wonosadi. Seperti yang tergambar pada peta berikut ; Gambar 2.1

B. Kondisi Geografis

Kondisi alam di Dusun Sidorejo dan Duren dikelilingi perbukitan dan batu-batuan besar bekas gunung purba yang mewarnai lokasi sekitaran hutan Wonosadi. Batu-batu besar dan tanah yang berwarna merah kehitaman menjadi ciri khas dari daerah pegunungan. Ada beberapa pendapat dari masyarakat sekitar bahwa bebatuan disekitar memiliki legenda yang kisahnya hampir mirip dengan cerita Bandung Bondowoso. Namun, dalam pandangan yang lebih ilmiah bahwa bebatuan yang ada merupakan proses geologis dari peristiwa masa lampau.Lokasi desa Beji lebih tepatnya terletak di pinggir jalan raya Yogyakarta menuju ibukota Ngawen, Beji merupakan desa pertama yang ditemui setelah masuk di wilayah Kecamatan Ngawen. Kemudian, untuk mencapai pada hutan Wonosadi harus melewati Dusun Tungkluk dan Duren barulah kita dapat naik ke hutan Wonosadi. Melalui jalur timur, dapat dilakukan dengan melewati Dusun Sidorejo, namun kondisi jalannya relatif lebih mudah dari jalur barat, karena melalui jalur barat yakni Dusun Duren memiliki tingkat tanjakan tinggi sehingga dapat beresiko terpeleset. Hutan Wonosadi berada pada ketinggian 400 meter diatas permukaan laut. Hutan ini dikelilingi suasana alam yang masih sejuk dan asri. Pertanian dan perladangan mengelilingi hutan Wonosadi yang subur setiap musim karena aliran air dari hutan. Hasil pertanian yang baik dan unggul menurut masyarakat sekitar merupakan berkah dari hutan Wonosadi. Hutan Wonosadi ini memiliki luas 25 ha, inti hutan dan hutan penyangga yang boleh diambil oleh masyarakat seluas 28,7 ha. Meskipun begitu masyarakat enggan memakai atau memanfaatkan hutan penyangga karena takut berefek buruk pada hutan inti. Sebenarnya status tanah hutan ini adalah milik negara yang diminta oleh masyarakat setempat untuk dikelola sendiri mengingat sisi historis dari hutan dan manfaat yang begitu besar. Jadi, status dari tanah di Hutan Wonosadi ini adalah tanah Oro-oro. Sifat masyarakat yang masih plural menjadikan legalisasi belum dilakukan meskipun kini sudah diajukan namun belum ada tanggapan dari pihak pusat. Hutan Wonosadi merupakan hutan rakyat tetapi masyarakat sekitar menganggap Hutan Wonosadi adalah hutan adat karena sisi historis yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat sekitar. Untuk menjelaskan proses historis tersebut dilakukan prosesi budaya Sadranan Wonosadi.Hutan Wonosadi dikelola oleh kedua dusun yaitu dusun Duren dan Sidorejo yang mengelola hutan langsung secara swadaya masyarakat. Hutan Wonosadi menjadikan berkah bagi kedua dusun karena manfaatnya yang amat besar bagi kehidupan masyarakat. Hampir semua kegiatan bersinggungan dengan hutan, baik dalam mendapatkan tumbuhan-tumbuhan obat maupun air yang tidak pernah habis bahkan mereka tetap survive. Jadi, dapat dikatakan bahwa sebenarnya pusat dari kehidupan kedua dusun ini adalah Hutan Wonosadi. Masyarakat sangat menghormati hutan yang memberikan kehidupan bagi mereka. Masyarakat tidak segan-segan menindak lanjuti secara tegas orang orang yang ingin merusak hutan. Pengabdiannya terhadap Hutan Wonosadi membuat masyarakat mensakralkan Hutan Wonosadi. Namun, tidak hanya sekedar mensakralkanya, tetapi terdapat sisi historis sejarah dari hutan Wonosadi tersebut yang diyakini kebenarannya sampai sekarang oleh masyarakat sekitarnya. Wonosadi sendiri terbagi atas empat wilayah yaitu hutan inti atau pelataran ngenuman, sumber mata air klamapeyan, mata air pek blembem dan kalas. Adapun penjelasan dari bagian Wonosadi tersebut. Pelataran Ngenuman adalah tempat prosesi upacara adat Wonosadi yang berada ditengah hutan yang didalamnya terdapat pohon-pohon yang umurnya ratusan tahun. Kemudian tiga mata air klamapeyan merupakan mata air yang selama ini menghidupi Dusun Duren dan Sidorejo sehingga mereka tetap survive ketika musim kemarau datang. Semua bagian dari hutan ini saling berhubungan dan masing-masing memiliki nilai historis sendiri-sendiri. Filosofi dari bagian-bagian hutan ini diyakini pula kebenarannya oleh masyarakat sekitar. Maka untuk menghormatinya, masyarakat sekitar menuangkannya dalam upacara adat Wonosadi tiap-tiap keluarga selalu membawa sesaji ke hutan dimana mereka ingin meminta sesuatu kepada leluhur Wonosadi. Selain itu, hal ini pula yang mendorong munculnya gerakan pengelolaan hutan.C. Kondisi Sosial Masyarakat

Tiap-tiap daerah memiliki kondisi sosialnya yang berbeda-beda antara satu dengan daerah yang lain. Kondisi sosial adalah setting dimana menggambarkan tentang pola kehidupan masyarakat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Mayoritas pekerjaan penduduk daerah sekitar Wonosadi adalah petani. Masyarakat sekitar Wonosadi merupakan petani tadah hujan, meskipun begitu daerah Hutan Wonosadi bukanlah tempat yang sulit air karena sumber air juga disokong dari Hutan Wonosadi. Selain kegunaan air hutan untuk pertanian juga difokuskan untuk kebutuhan sehari-hari. Sumber air yang bersal dari hutan dialirkan ke rumah-rumah warga secara bergantian. Kehidupan bermasyarakat sekitar Hutan Wonosadi sangatlah harmonis dan rukun, nyaris tidak ada masalah yang cukup berarti. Karena warga yang ramah dan selalu menjunjung norma-norma masyarakat yang berlaku.Selain kehidupan masyarakat yang harmonis juga dimbangi kehidupan yang religius karena mayoritas penduduk beragama islam dan hindu. Banyaknya agama islam dan hindu yang lebih dominan menjadikan wilayah di kecamatan Ngawen banyak ditemui pura dan masjid yang bangunannya berdampingan. Masyarakat dalam kesehariannya juga menjunjung sikap saling menghargai dan tolerasi antar umat beragama. Setiap ada kegiatan keagamaan yang dilakukan, agama satu dengan yang lainnya cenderung membantu melancarkan kegiatan tersebut. Perbedaan keyakinan bukanlah hal yang menjadi masalah justru hal ini menjadi pembelajaran dalam hidup bahwa kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan wajib saling menghormati.D. Organisasi Lokal Di Dusun Duren dan Sidorejo sudah banyak organisasi-organisasi yang ruang lingkupnya di dalam dusun maupun desa. Masyarakat membangun organisasi guna mengurusi kebutuhan hidup di pedesaan misalnya kelompok tani, karena mayoritas penduduk adalah petani. Masyarakat dalam kegiatannya selalu aktif dalam setiap kegiatan organisasi yang tingkat guyupnya tinggi seperti kegiatan yasinan, PKK, sekolah lapang, dan kumpulan banyu yang hampir mereka tidak pernah melewatkannya. Berikut ini adalah penjelasan dari kegiatan-kegiatan tersebut :1. Organisasi Yasinan

Yasinan adalah pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilakukan setiap malam jumat. Masyarakat selalu menggunakan bacaan yasin tidak hanya untuk malam jumat saja tetapi juga untuk hajatan baik itu syukuran khitanan, mitoni yakni selamatan tujuh bulanan bagi wanita hamil, kelahiran anak dan orang meninggal. Di setiap dusun masyarakat memiliki anggota masing-masing dalam kegiatan yasinan. Kegiatan yasinan selalu bergiliran tempatnya baik itu rumah yang jauh maupun rumahnya dekat, mengingat daerahnya adalah pegunungan. Masyarakat sangat antusias dalam mengikuti kegiatan yasinan karena disamping silaturahmi juga untuk beribadah kepada Allah SWT. Yasinan sendiri di wilayah dilakukan dengan cara yang unik ada yang seperti dilagukan mirip lagu jawa ilir-ilir, tetapi ada pula yang dilakukan biasa saja.2. Organisasi PKK

Kegiatan PKK (pendidikan kesejahteraan keluarga) adalah kegiatan yang dilakukan ibu-ibu biasanya membahas kegiatan khusus ibu-ibu seperti pelatihan membuat makanan, kesehatan reproduksi yang sengaja didatangkan untuk melatih ibu-ibu di tiap dusun. Kegiatan PKK ini menjadi wadah bagi ibu-ibu atau kaum hawa untuk lebih lebih meningkatkan kemampuan dalam hal berumah tanggga. Selain itu kegiatan PKK juga sebagai ajang bertukar pikiran para ibu-ibu untuk berbagi pengalaman serta yang paling ditunggu yaitu arisan dan simpan pinjam. Pada kegiatan PKK hampir setiap kegiatan dilakukan dengan antusiasme masyarakat yan tinggi baik kegiatan lingkup dusun maupun desa.3. Organisasi Kelompok Tani

Kelompok tani adalah kegiatan perkumpulan para petani baik sebagai wadah para masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani untuk lebih meningkatkan produktifitas tani. Kelompok tani tiap dusun mempunyai fokus masing-masing dalam artian terdapat usaha untuk mendapatkan hasil tani yang bagus juga permodalan dalam pengembangan pertanian bagi anggota kelompoknya, seperti Dusun Sidorejo kelompok taninya memfokuskan pada pembuatan pupuk organik, selain untuk dijual juga untuk anggotanya. Program lain dari kelompok tani yang mayoritas sama adalah sekolah lapang. Sekolah lapang adalah pelatihan dan pengembangan tanaman pertanian yang dilakukan oleh dinas pertanian setempat. Di sekolah ini masyarakat diajarkan tentang teknik tata cara menanam yang baik, serta cara menangani hama, dll.4. Organisasi Banyu Wonosadi

Kegiatan perkumpulan pengguna air in hanya ada di Dusun Duren dan Sidorejo saja sebagai pengelola langsung Wonosadi. Perkumpulan ini membahas tentang kelangsungan dari sumber air Wonosadi. Masyarakat biasanya melakukan perbaikan-perbaikan pipa-pipa yang menyalurkan air dari Wonosadi ke rumah-rumah. Selain itu, masyarakat juga diajak untuk selalu antri dalam penggunaan air biasanya setelah air rumah-rumah di atas penuh baru yang dibawah karena daerahnya adalah pegunungan. Perkumpulan air ini dilakukan sebulan sekali setiap hari Kamis.5. Organisasi seni

Masyarakat Dusun Duren dan Sidorejo terdapat kelompok seni yang masing-masing mempunyai alat musik yang berbeda-beda. Perkumpulan seni pada dusun Sidorejo menggunakan alat musik gejlok lesung dan dusun Duren menggunakan rinding gumbeng. Kegiatan ini dilakukan untuk melestarikan budaya selain itu juga untuk pentas keluar daerah mewakili Desa Beji dan juga sebagai pengiring upacara Sadranan Wonosadi.Masyarakat hanya cukup mendengarkan panggilan yang disiarkan dari masjid, mereka akan berbondong-bondong datang untuk menghadiri acara organisasi yang akan dilakukan. Jadi, memobilisasi masyarakat di dua dusun ini bukanlah hal yang sulit. Mereka sadar akan kehidupan bermasyarakat bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Masyarakat merasa rikuh atau malu jika sampai tidak saling tolong-menolong, biasanya mereka takut mendapatkan predikat jelek dari orang lain. Misalnya saja akan menjadi omongan orang lain bahwa dirinya tidak aktif atau dianggap tidak srawung.

6. Organisasi BaladewiSalah satu organisasi yang menaungi Hutan Wonosadi supaya menjadi hutan yang lestari adalah Organisasi Baladewi. Hutan Wonosadi menjadi potensi yang sangat berharga bagi masyarakat sekitar hutan untuk menghidupi kehidupannya. Dengan adanya Hutan Wonosadi ini mereka mendapatkan berbagai tanaman obat, air dan udara yang segar, yang membuat tubuh mereka sehat. Masyarakat juga dilanda ketakutan bila bencana tahun 1960 yakni ketika mereka terkena longsoran tanah karena tidak adanya hutan akibat penebangan liar terjadi kembali. Hal ini dituturkan oleh Bapak Kasno :

Masyarakat itu takut mas kalau hutan itu rusak kembali seperti pada tahun 1960. Saat orde baru hutan itu gundul dan banyak batu-batu yang jatuh kebawah akibat tidak adanya penyangga karena dulu sudah ditebangi untuk makan. (wawancara Bapak Kasno, 7 mei, pukul 10.01 wib)

Dari sini mereka mulai timbul kesadaran untuk menjadikan dasar untuk membentuk gerakan peduli lingkungan hutan. Selain itu, gerakan ini juga mendasarkan budaya yang sudah melekat pada Hutan Wonosadi serta mengamalkan nilai-nilai luhur didalamnya.Gerakan dari pengelolaan hutan ini masih sebatas sederhana saja mereka secara gotong-royong merawat hutan supaya lestari dan memberikan banyak manfaat pada masyarakat sekitar hutan. Segala keperluan baik itu obat-obatan, air bersih serta kayu yang diperlukan masyarakat setempat hampir semuanya didapat dari Hutan Wonosadi. Maka, dengan adanya reward dari hutan, warga Duren dan Sidorejo yang secara ikhlas mengabdi untuk Hutan Wonosadi dengan menjaga dan melestarikannya. Mereka juga menjaga sisi historis dari hutan Wonosadi agar tetap menjadi pedoman dari pengelolaan yang sudah dilakukan selama ini. Wonosadi menurut cerita dari masyarakat setempat, didirikan oleh putra Majapahit yaitu Onggoloco. Mitos ini menceritakan bahwa asal usul dari Wonosadi berawal dari warisan nenek moyang Ongoloco putra salah seorang selir Prabu Brawijaya V dan kemudian menjadi tempat pelarian kelompok Majapahit yaitu Roro Resmi dan anaknya. Kesaktian Ki Ongoloco hingga saat ini masih dipercaya keberadaannya sebagai penjaga hutan sehingga hutan Wonosadi tidak pernah kekurangan air. Menurut narasumber yaitu Bapak Kasno, Ki Ongoloco menjadi panutan dan dipercaya masih menetap di hutan Wonosadi meskipun telah wafat di hutan tanpa meninggalkan jasad, mitos ini masih melekat kuat dalam diri masyarakat setempat.

Mitos inilah menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi masyarakat mengelola hutan tersebut selain ketakuan akan terjadinya bencana alam seperti tahun 1960. Mereka meyakini adanya sejarah dari Hutan Wonosadi yang memberikan mereka nilai kehidupan. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Bapak Slamet

hutan Wonosadi bagi kami adalah sumber kehidupan yang merupakan warisan dari mbah Onggoloco, namun tidak hanya sekedar warisan saja dia juga berpesan untuk selalu menjaga hutan karena disaat musim kemarau air hutan tidak akan habis dan tumbuhan obat serta makanan tersedia di hutan (wono usodo). Jadi, kami masyrakat tinggal melanjutkan saja apa yang sudah dipesankan mbah Onggoloco dan pengelolaan hutan ini tidak dapat dipisahkan dari aspek budaya serta nilai-nilai didalamnya. ( wawancara 7 mei, pukul 10.01 wib)

Pengelolaan selama ini juga menggunakan pendekatan budaya yang setiap kegiatannya masyarakat sekitar percayabahwa mereka harus meminta ijin kepada leluhur Wonosadi. Pendekatan budaya yang dimaksud adalah pemberian sesaji di tempat bagian Ngenuman. Hal ini dilakukan supaya mendapatkan berkah dan perlindungan selama melakukan kegiatan di hutan Wonosadi. Meskipun begitu, mereka yang beragama islam tetap menggunakan cara-cara ritual secara hindu meskipun bacaan dalam setiap ritualnya menggunakan ayat suci Al-Quran. BAB III

ORGANISASI BALADEWI SEBAGAI GERAKAN PENGELOLAAN HUTAN WONOSADI

A. Awal Mula Berdirinya Organisasi Baladewi

Banyaknya kerusakan hutan yang melanda diberbagai tempat di Indonesia karena ulah tangan manusia tidak hanya terjadi di luar Pulau Jawa, tetapi di Pulau Jawa sendiri seperti Hutan Wonosadi. Masyarakat awalnya kurang peduli terhadap hutan sehingga mereka mengekspoitasi hutan secara berlebihan yang mengakibatkankan bencana alam. Bencana yang terjadi akibat kerusakan hutan tidak tanggung-tangung, seringkali merusak pemukiman warga. Dengan keadaan ini masyarakat menjadi sadar akan pentingnya hutan. Masyarakat yang sadar akan pentingnya hutan mulai berbenah dengan mendirikan gerakan pecinta alam guna melestarikan hutan mengingat banyaknya isu-isu kerusakan alam yang kian marak terjadi. Kondisi ini juga dilakukan oleh masyarakat Dusun Duren dan Sidorejo dalam menjaga Hutan Wonosadi yang membentuk gerakan pengelolaan hutan untuk menjaga kelestarian Hutan Wonosadi.

Begitu banyak dinamika masyarakat yang dilalui selama mengelola hutan Wonosadi yang menjadi sumber kehidupan bagi Dusun Duren dan Sidorejo. Mereka berusaha menjaga hutan agar tetap lestari, sehingga dapat diwarisan kepada anak cucu. Dengan mengelola Hutan Wonosadi agar tetap lestari, masyarakat akan mendapatkan hasil hutan yang tidak akan habis berupa air dan tanaman obat yang sangat bermanfaat bagi masyarakat Dusun Duren dan Sidorejo. Masyarakat yang mengelola hutan secara tradisional menggunakan alat-alat seadanya.

Pengeloaan hutan oleh masyarakat yang masih tradisional kini mulai berubah menjadi pemikiran yang modern seiring dengan perkembangan zaman. Masyarakat mulai berfikir tentang pengelolaan hutan lestari yang sifatnya jangka panjang. Pengelolaan jangka panjang yang dimaksud adalah bagaimana hutan itu tetap lestari dan dapat dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Mayoritas kehidupan masyarakat setempat bersinggungan dengan hutan, sehingga masyarakat tidak hanya semata-mata sekedar menerima takdir dengan memanfaatkan dan menikmati hasil hutan tetapi masyarakat yang mengelola hutan Wonosadi juga melestarikan dan menjaganya. Selama bertahun-tahun masyarakat senantiasa menjaga dan melestarikan Hutan Wonosadi dalam keadaan suka maupun duka, selalu ikhlas dalam menjaga dan melestarikan hutan Wonosadi tanpa pamrih. Adapun hal yang melatarbelakangi masyarakat pengelolaan kelestarian hutan Wonosadi ini yaitu :1. Faktor Warisan

Menjadi pengelola dari hutan Wonosadi adalah untuk mempertahankan kehidupan yang mana untuk menghindari kekeringan yang berkepanjangan serta meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Selain untuk meningkatkan kehidupan dari hutan, juga sebagai sarana meneruskan pengelolaan yang sudah ada sebelumnya yaitu menjadikan hutan lebih asri dan lestari. Hampir semua yang menjadi narasumber peneliti mengatakan bahwa menjaga hutan adalah bagian warisan yang terdahulu. Jika pengelolaan sebelumnya dilakukan oleh ayahnya sekarang anaknya yang ikut menjaga dan melestarikan hutan. Rasa saling memiliki hutan dan merasakan manfaat dari hutan menjadikan rasa tanggung jawab untuk mengelola hutan lebih lanjut tetapi hanya sebatas mengembangkan daerah diluar hutan inti. Sehingga hal ini menjadi tradisi dengan dibarengi sisi-sisi historis dari hutan Wonosadi. Masyarakat setempat merasa berdosa ketika tidak ikut menjaga hutan dan mereka malu jika tidak ikut berkerja tapi ikut merasakan manfaatnya. Dengan begini, hampir masyarakat dari dua dusun tersebut tertib dalam menjaga amanat dari pengelolaan yang sebelumnya dan juga mengamalkan nilai-nilai warisan dari leluhur Wonosadi. Apalagi di zaman ini hampir kerusakan hutan terjadi dimana-mana akibat ilegal logging. Sehingga, menjaga hutan menjadi sangat penting untuk kehidupan manusia dan menjaga keseimbangan. Hal ini disadari benar oleh salah seorang yang menjadi informan, Bapak Kasno yang kini menjadi sesepuh dari pengelolaan hutan Wonosadi. Sebagaimana yang dituturkan oleh Pak Kasno :

Kula Derek garap hutan menika saking bapak kula mas, kula nggeh diwarisi bapak derek mawon. Kula diwarisi nggeh pesen sejarah saking leluhur wonosadi sing ingkang dipun yakini deneng masyarakat Duren lan Sidorejo. Kula Derek kepanggeh ngelingi rumiyen tahun 50-an wonten bencana tanah lonsor amargi hutanipun gundul. Wah niki mbah Onggoloco nesu marang masyarakat mergo hutani mboten dijaga. Saiki hutan hutan wes ijo margi tandurane sampun kebak maleh. Musim ketiga pun mboten wedi kentean banyu megi banyu hutan sampun nyukupi nggeh urip lan tanduran. Kita sadar mas manfaate pun lan janji mboten ngrusak hutan maleh. Trus kesadaran ingkang maringi hutan dados lestari

(Saya mengelola hutan ini dari warisan bapak saya mas, saya juga diwarisi pesan sejarah dari leluhur hutan Wonosadi yang hal ini diyakini oleh masyarakat khususnya Duren dan Sidorejo. Saya merasa terpanggil mengingat tahun 50-an terjadi bencana besar tanah longsor karena hutan digunduli sebagian. Kami menganggap mbah Onggoloco marah kepada masyarakat karena tidak menjaga hutan. Kini hutan sudah hijau kembali penuh dengan tumbuhan. Kami kini tidak perlu takut lagi jika musim kemarau datang air hutan sudah cukup menghidupi kehidupan dan sistem pertanian ini. Kami sadar akan manfaatnya dan berjanji tidak akan merusak hutan lagi. Kesadaranlah mas yang membuat hutan ini lestari. ( wawancara 7 mei, pukul 10.01 wib).

Layaknya hutan adalah milik keluarga meskipun dikelola oleh masyarakat Wonosadi namun hampir tiap-tiap keluarga mewakilkan anggotanya. Meskipun begitu, pengelolaan melibatkan semua masyarakat dusun Duren dan Sidorejo sebagai gerakan peduli hutan Wonosadi. Masyarakat Wonosadi adalah masyarakat asli daerah Duren dan Sidorejo yang diberikan ilmu oleh alam dari generasi sebelumnya. Mereka mentransformasi ilmu yang diperoleh sebelumnya kepada generasi yang baru. Sehingga mengenai hal-hal teknis bagian-bagian mana yang perlu diperbaiki dan ditambah langsung disampaikan. Kemudian bagaimana caranya mendapatkan hasil dari hutan tanpa mengambil dari hutan inti. Seperti yang diungkap Bapak Slamet :

saya hanya lulusan SMA tetapi saya paham akan hutan dari generasi yang sudah-sudah. Saya diajarkan cara mengelola hutan dari cara penanaman hingga pemanfaatan lebih lanjut. Ya kula mboten bodo-bodo bangetlah kula nggeh mangertos sejarah lan tinggalanipun mbah Onggoloco. Hutan niki aset ingkang kathah manfaate selain membantu kehidupan ninga yo aset budaya lan tradisi Wonosadi. Kulo nggrasa kepanggeh anggenipun ngelola hutan Wonosadi amargi pesenipun leluhur dan neruske ganti bapak. Ya selain itu memberikan conto kanggeh genererasi setelah kula mangkeh supados saget tresno kalian alam lan budaya Wonosadi. Apa iyo arep rusak meneh trus ana bencana meneh malah kabeh kapiran. Leluhur mbah Onggoloco nggeh pun nyontoni anggenipun jaga alam mula kudu diteruske lan dlestariake. Selain nguripi bentuk banyu uga iso bentuk duite inggkang mangkeh dados wisata inggkang pembelajaran alam. (wawancara tgl 6 Mei, 09.09 wib)

Rasa saling memiliki dan rasa tanggung jawab tumbuh dalam diri masyarakat yang telah merasakan manfaat dari hutan Wonosadi, menjadikan spirit dari gerakan yang telah dilakukan masyarakat dua Dusun tersebut karena mempertahankan kelestarian hutan bukanlah persoalan yang mudah. Perlu spirit yang tinggi akan rasa kesadaran cinta terhadap alam yang telah memberikan kehidupan, meskipun demikian, masih banyak di lain tempat yang masih banyak pengrusakan hutan untuk kepentingan pribadi. Menjaga kelestarian Wonosadi adalah bukti dari kesetiaan masyarakat mempertahankan alam dan tradisi Wonosadi sebagai alam budaya. Karena tradisi adalah segala sesuatu yang disebarkan dan diwariskan dari masa ke masa (Piot Sztompka, 2005 :70)2. Faktor Rasa Menjalin Silaturahmi dan mitos

Selain faktor warisan, terdapat jawaban jujur dari informan adalah tentang faktor menjalin rasa silaturahmi dan pesan dari mitos yang diyakini masyarakat. Umumnya masyarakat menjadi pengelola hutan untuk menjalin silaturahmi dengan para pengelola hutan yang lainnya. Selain itu, mengelola hutan Hutan Wonosadi juga mempererat jalinan trah mbah Onggoloco yang menjadi leluhur Wonosadi. Kondisi pedesaan yang masih kental dengan gotong royong mempererat hubungan antarsesama masyarakat Wonosadi. Bagi masyarakat Wonosadi mengelola dan menjaga hutan adalah kewajiban bagi masyarakat, karena telah memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat. Mereka ikut serta dalam pengelolaan atas dasar pemikiran yang rasional, mereka beranggapan mengelola hutan adalah mengemban tugas dari mbah Onggoloco yaitu leluhur Hutan Wonosadi yang menurut kisahnya beliau mati muksa di tengah Hutan Wonosadi dan juga kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup. Sebagai masyarakat yang diberikan ilmu oleh alam mereka tahu betul apa yang harus dilakukan dalam pengelolaan hutan.

Faktor silaturahmi sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Wonosadi, hal tersebut terbukti bahwa dengan silaturahmi dapat meminimalisir dan menghilangkan konflik dalam tubuh gerakan masyarakat. Hal ini dituturkan oleh Bapak Slamet :

Silaturahmi sesama warga Wonosadi ini juga berpengaruh mas dalam gerakan dari pengelolaan hutan. Sebenarnya keikutsertaan ini juga sebagai menjalin silaturahmi yang dulu kadang nyirik-menyirik menjadi hilang dengan silaturahmi sehingga kita menjadi rukun. Kita sama-sama orang desa khususnya warga Wonosadi wajib menhilangkan perbedaan yang ada. Jadi, tidak ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Hampir semua yang kita lakukan adalah kesadaran mas, kesadaran itu membuat kita nyaman akan melakukan sesuatu. Kadang kalau dipaksa malah suka tidak ikhlas kerjanya. Jadi sebel kalau disuruh... (wawancara 6 mei, 2012 pukul 08.59 wib)

Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi alasan bagaimana sebuah gerakan lingkungan dalam mengelola hutan. Dan ini menjadi dasar dari keikutsertaan masyarakat dalam mengelola hutan Wonosadi. Hal serupa juga diutarakan oleh Bapak Gadud :

Selama ini yang saya rasakan sebagai kepala duren yang bagian dari masyarakat Wonosadi. Keikutsertaan ini menyambung silaturahmi dengan dusun Sidorejo dan juga sama-sama menikmati berkah hutan Wonosadi. Dari sini kita juga banyak menyadarkan akan pentingnya hutan Wonosadi. Koordinasi anatar dusun pun menjadi lancar mas dengan adanya silaturahmi yang kadang pertemuan pengelola hutan bergiliran kadang di Duren dan di Sidorejo. (wawancara 10 Mei 2012, )

Selain dari Silaturahmi, faktor mitos juga berpengaruh dalam keikutsertaan masyarakat akan pengelolaan Wonosadi. Mitos Wonosadi yang diyakini oleh masyarakat Wonosadi menjadi salah satu alat mempersatukan antar masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh penuturan Bapak Slamet :

Mitos Wonosadi tidak dapat dipisahkan dari hutan Wonosadi, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap pengelolaan yang mana mitos ini membawa pesan untuk selalu menjaga kebersamaan dan juga mitos kami gunakan meskipun di jaman yang sudah maju sekalipun. Karena, mitos ini yang berfungsi agar kita senantiasa menghormati apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita melalui mbah Onggoloco. Dengan pesan-pesan yang dapat kita kaji dari mitos ini maka hal ini wajib kita jaga dan hormati sebagai warisan dari leluhur Wonosadi dan juga sebagai budaya yang belum tentu dimiliki oleh masyarakat yang lainnya. ... (wawancara 6 mei, 2012 pukul 08.59 wib)

Hal senada juga dituturkan oleh Bapak Kasno, yang memutuskan ikut terjun dalam pengelolaan hutan Wonosadi karena adanya rasa kesamaan budaya dari mitos yang dibarengi oleh rasa silaturahmi.

Orang desa seperti saya ini kalau tidak ikut serta dalam pengelolaan hutan ini berarti bukan orang. Orang yang tidak peduli terhadap hutan Wonosadi tapi kalau ikut menikmati berkah dari hutan Wonosadi malu mas. Seperti yang dipesankan oleh leluhur Wonosadi bahwa kita harus bersama-sama menjaga hutan agar tetap lestari dan juga budaya Wonosadi. Begitu banyak pesan yang bisa diwariskan oleh anak cucu kita, jadi bagi saya mitos ini menjadi sangat penting meskipun dijaman sudah maju dan saya juga orang beragama. Saya wajib menjaga dan menghormati apa yang sudah diwariskan. (wawancara 7 Mei 2012, pukul 10.01 wib)

Tidak berbeda jauh dengan yang dituturkan oleh Mas Sadimin dalam keikutsertaan mengelola hutan.

saya bergabung dalam mengelola hutan Wonosadi karena pertama adalah silaturahminya mas. Karena, sebagai orang desa saya juga wajib ikut guyup dan gotong royong yang kini mulai luntur. Selain itu mitos yang konon membawa pesan dari leluhur Wonosadi. Saya juga mendapat warisan dari bapak saya untuk menggantikannya. Pokoknya saya bersyukur sekali dengan berkah yang didapat dari Wonosadi berupa air dan tumbuh-tumbuhan yang dapat dimanfaatkan yang amat melimpah. (wawancara 9 Mei 2012, pukul 19.21 wib)

Mereka sadar akan pentingnya mengelola hutan dan manfaat dari hutan, hal ini menjadi salah satu kunci kelestarian hutan juga melestarikan budaya. Mereka didisplinkan oleh pesan-pesan terdahulu agar selalu menjaga hutan. Masyarakat sadar akan potensi yang besar dari hutan Wonosadi yang selama ini selalu memberikan manfaat sehari-harinya. Hutan Wonosadi selalu memberikan pengairan setiap harinya selain itu tanaman obat, udara sejuk yang menyehatkan. Maka, dari semua itu memunculkan kesadaran kolektif akan pentingnya hutan. Masyarakat juga didekatkan dengan masyarakat yang lain dengan kebersaman mitos yang menjadi warisan budaya Wonosadi.

Pengelolaan hutan yang digeluti masyarakat Duren dan Sidorejo merupakan gerakan memelihara dan mempertahankan hutan agar tetap lestari. Masyarakat kedua dusun merupakan pengelola yang diwarisi oleh generasi sebelumnya untuk menjaga hutan Wonosadi. Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat Wonosadi mengelola hutan secara turun-temurun dan juga mereka diajarkan oleh alam bagaimana menjaga hutan. Peran dari masyarakat amatlah penting guna tercapainya hutan yang lestari. Masyarakat perlu berkerja-sama dalam mengelola hutan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi.

Peran dari hutan sendiri amatlah penting bagi kehidupan manusia dan juga sebagai pengatur iklim serta melindungi dari global warming (pemanasan global). Selain dari sisi kesehatan dan keseimbangan alam, hutan juga berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi. Maka, masyarakat perlu menyadari akan pentingnya hutan bagi kehidupan. Manusia membutuhkan hutan, begitu pula sebaliknya, hal ini membuktikan bahwa antara hutan dan manusia telah terjalin interaksi simbiosis mutualisme menguntungkan kedua pihak.

Dalam mengelola hutan Wonosadi masyarakat perlu adanya ketrampilan dan pola-pola dalam mengelolanya. Hampir sebagian besar masyarakat secara keilmuan sudah mampu menjaga hutan. Mereka selalu diajarkan oleh alam, ketika banyak pohon tumbang dan banyak tanah yang longsor. Jadi, dari peristiwa-peristiwa terdahulu, selain memunculkan ketakutan akan terjadi kembali, juga sebagai pembelajaran bagi masyarakat di masa depan.

Dalam perjalanannya gerakan dari pengelolaan hutan ini mengalami beberapa fase-fase penting dalam setiap kegiatannya. Perlu diketahui bahwa pengelolaan Hutan Wonosadi ini bersifat swadaya masyarakat dan sedikit campur tangan dari pemerintah. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat dari gerakan dari pengelolaan hutan. Justru, mereka lebih survive dengan apa yang mereka kerjakan secara swadaya masyarakat. A. Berdirinya Organisasi Baladewi

Pengelolaan hutan di Wonosadi merupakan salah satu bentuk kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hutan. Keberadaan masyarakat dalam lingkungan alam khususnya hutan tidak lepas dari interaksi masyarakat terhadap alam. Masyarakat memulai mengelola hutan sudah berpuluh-puluh tahun lamanya dan bersifat turun-temurun. Bukanlah perkara mudah dalam menjaga dan melestarikan alam. Menanamkan jiwa-jiwa seorang pelestari alam juga menjadi salah satu faktor penting dalam menjaga dan melestarikan hutan. Banyak yang beranggapan bahwa menjaga hutan adalah persoalan mudah, namun sebenarnya amatlah sulit baik itu menata, menambah dan teknik-tekniknya dari penanaman supaya tumbuhan tidak mati. Perlu kesabaran dari para pengelola Wonosadi yang selalu tulus dan ikhlas dalam setiap mengemban tugas di Hutan Wonosadi. Masyarakat Wonosadi awalnya kurang peduli terhadap alam di Hutan Wonosadi, tetapi mereka menggantungkan kehidupan ekonomi dari hutan. Setiap harinya hanya mengambil kayu dari hutan kemudian dijual mengakibatkan hutan menjadi gundul akibat eksplorasi hasil hutan yang berlebihan dan hanya menyisakan bagian Ngenuman yang berada ditengah hutan yang merupakan tempat di mana lelehur Wonosadi mbah Onggoloco mati muksa.

Selain itu juga masyarakat belum bisa memberdayakan keindahan alam yang ada, keindahan panoramanya, keindahan flora dan fauna yang ada hutan tersebut mengalami kerusakan tidak terhindarkan. Kerusakan yang terjadi mengakibatkan bencana alam tanah longsor dan berkurang sumber air. Keadaan ini menimbulkan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya mengelola hutan. Kesadaran akan pentingnya mengelola hutan telah membawa perubahan besar bagi warga Wonosadi, seperti dituturkan oleh Bapak Kasno :

Rumiyen mas, hutan niki dipun tebangi ngantos dados gundul lan hawanipun panas,mula sak trus dadi kedadean longsong wong-wong do kurang banyu. La seko kene masyarakat trus do sadar ngelingi pesene mbah Onggoloco. Trus yo mbok saiki hutane dgarap bareng-bareng supoyo ora kedadean meneh watu glundung lan kurang banyu nggo urip lan pertanian. Trus saiki dipikirke piye carane nandur supaya lestari maneh hutane. Nah seko kene mas masyarakat do iso sadar lan mulai mikir angen ne le arep dandani hutan. Apa iya uripki ra butuh banyu lan hawa seger. Trus saiki bareng-bareng kabeh masyarakat wonosadi garap hutan dibagi kelompok wetan yaiku Sidorejo lan sing kulon Duren. (wawancara 7 Mei 2012, pukul 10.01 wib)( Dulu mas, hutan ditebangi hingga gundul dan udaranya menjadi panas. Maka dari sini terjadi bencana longsor dan masyarakat kekurangan air. Masyarakat kemudian sadar dan ingat akan pesan leluhur Mbah Onggoloco. Dan sekarang hutan dikelola bareng-bareng supaya tidak terjadi bencana lagi seperti batu jatuh dan kekurangan air untuk hidup dan pertanian. Kemudian sekarang dipikirkan bagaimana caranya memberbaiki hutan. Apa iya hiudp tidak butuh air dan udara segar. Dan sekarang masyarakat Wonosadi dibagi kelompok timur yaitu Sidorejo dan kelompok barat yaitu Duren.)

Kerusakan Alam telah mengakibatkan masyarakat mengalami masa-masa sulit karena sumber air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat telah mati. Masyarakat sulit mendapatkan air baik sebagai sumber air minum maupun irigasi pertanian. Kejadian ini membuat masyarakat sadar akan pentingnya pengelolaan hutan seperti penuturan Bapak Slamet :

Wah rumiyen pas hutane gundul mas kabeh susah kurang banyu tandurane garing. Cen biyen uripe susah mas trus ngantos lali pesene mbah Onggoloco dadi biyen jamane bapak kula wes luweh jukuk wae nggo kayu bakar didol. Nah hutane do gundul apa-apane wes ora ana. Nek udan halah banjir biyen lan tanahe do longsor uripe do nelongso. Lagi kena bencana iku masyarakat lagi do sadar oh ngene ki kleru. Cen wong uripki lagi sadar nek wes kedadean mas.ya akhirnya kita menyadari semua dari bencana. Nah trus iki dadi tonggak awale ana pengelolaan hutan mas. Kesadaran masyarakat timbul seko kedadean mau trus nggrasa duweni hutan ki do digarap bareng-bareng. Trus ngelingi pesane leluhur aja lali nglaleake mila trus dpengeti Sadranan Wonosadi.

(wah dahulu hutan gundul semua mas, masyarakat susah kurang banyu pertaniannya. Dulu hidupnya menjadi susah karena lupa akan pesan leluhur mbah Onggoloco. Kemudian juga jaman bapak saya hutan diambil ga peduli siapapun diambil untuk kayu bakar untuk dijual. Dan hutanm gundul gundul hingga tidak ada apa-apa. Pada musim penghujan banjir dan tanah longsor hidup makin sulit. Dari bencana masyarkat sadar kalau begini keliru. Memang orang hidup akan sadar jkalau sudah kejadian, akhirnya kita menyadari semua dari bencana. Kemudian ini manjadi tonggal awal adanya pengelolaan hutan mas. Kesadaran masyarakat timbul dari bencana tadi hingga merasa memiliki hutan dan mengelola bersama-sama. Dan disamping itu juga mengingat pesan leluhur, maka diperingati Sadranan Wonosadi.)

Dari pernyataan Bapak Slamet ini membuktikan, bahwa pengelolaan hutan ini adalah tanggung jawab bersama masyarakat Wonosadi dalam satu ikatan bersama dengan rasa saling memiliki, kerja sama bahu-membahu antar masyarakat. Hal ini ditujukan untuk eksistensi hutan Wonosadi guna mencapai hutan yang lestari. Semangat rasa mengelola hutan ini didorong oleh rasa saling memiliki dan rasa kekeluargaan.

Di era sebelum reformasi pengelolaan hutan masih bersifat sederhana, masyarakat hanya menanami kembali lahan-lahan gundul dan merawatnya secara bergiliran. Hal ini berlangsung cukup lama dikarenakan organisasi yang belum ada sehingga masyarakat terjun langsung untuk menanam dan masyarakat hanya guyup saja. Hal tersebut dilakukan dengan terorganisir secara baik serta koordinasi antar masyarakat terjalin baik dan membuat rasa kekeluargaan mereka lebih dekat. Sampai akhirnya muncul gagasan-gagasan untuk menjadikan hutan Wonosadi sebagai tujuan wisata alam. Wonosadi menjadi salah satu pariwisata dan keindahan panorama hutan yang ada. Dengan adanya gagasan itu masyarakat membuat wadah organisasi yang mengelola Hutan Wonosadi dari segi wisata alam maupun budaya yang diberi nama Baladewi.

Organisasi Baladewi didirikan pada tahun 2006 pada tanggal 20 Agustus dengan bantuan tim KKN UGM dan masyarakat tingkat Desa. Proses dari pembentukan Baladewi ini dilakukan secara musyawarah antara pihak kedua Dusun Duren dan Sidorejo serta pemerintah desa setempat dengan difasiliatatori oleh tim kkn UGM. Organisasi Baladewi yang disahkan oleh Desa untuk dilegalkan secara administrasi, meskipun masih setingkat desa dengan SK Lurah Desa Beji No:12/ kpts/2006. Dalam proses berdirinya Baladewi ini dibentuk kepengurusan untuk menjalankan organisasi baladewi dengan susunan keanggotaan sebagai berikut :Tabel 3. 1SUSUNAN KEANGGOTAAN ORGANISASI BALADEWI

Ketua1. Bpk Sudiyo

2. Bpk Slamet

SekertarisBpk Surip

BendaharaBpk Ronggo

Jagawono (penjaga Wonosadi)1. Bpk Sukiyo (koordinator Dusun Sidorejo)2. Bpk Sariyo (koordinator Dusun Duren)

HumasDedi Irawan

Juru Kunci Bpk Yatmo

Kesenian Mas Sadimin

Arsip Baladewi tahun 2006Dibentuknya organisasi ini diharapkan mampu mewadahi kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan Hutan Wonosadi baik itu pengelolaan serta kelestarian budaya dan alam di Wonosadi.1. Struktur dan Fungsi Organisasi BaladewiBaladewi berfungsi sebagai sarana masyarakat dalam mengatur tata ruang hutan, melestarikan hutan supaya tetap lestari, mengelola keindahan alam sebagai wisata alam Wonosadi serta kebudayaan Wonosadi. Adapun peran Baladewi ini memberi transparansi pengelolaan yang sifatnya swadaya masyarakat. Masyarakat bisa melihat dengan jelas peran-perannya dalam pengelolaan hutan. Dengan cara membagi tugas- tugas dari masyarakat antar dua dusun Duren dan Sidorejo secara adil seperti yang dituturkan Bapak Slamet : selain pembentukan kepengurusan juga diberikan tugas dan perannya masing masing dalam yang telah dijelaskan dalam forum. Ini dilakukan agar tidak terjadi iren-iren dalam proses pengelolaan. Dan siapapun berhak untuk dibantu dalam tugasnya, sehingga kekompakan dan kerja sama itu tetap terjalin (wawancara 6 Mei 2012, Sidorejo pukul 08.59 Wib)Fungsi-fungsi struktur organisasi Baladewi yang tercantum diatas mempunyai tugas masing-masing, seperti Ketua dan beberapa jajaran dibawahnya. Berikut ini adalah tugas-tugas yang ada dalam struktur organisasi Baladewi :a. Ketua Baladewi

Ketua Baladewi bertugas memimpin dan mengatur jalannya organisasi, dengan memberikan pengarahan tentang program-program yang akan dilakukan di Hutan Wonosadi. Selain itu, ketua juga bertanggung jawab dalam setiap program yang akan dijalankan. Ketua juga mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan setelah itu dilakukan perbaikan. Dalam hal ini tugas ketua sama seperti tugas-tugas ketua pada umumnya. Ketua kedua dapat dikatakan sebagai wakil dari ketua satu jika ketua satu berhalangan.b. Sekertaris

Dalam organisasi Baladewi sekertaris bertugas membuat laporan dan mencatat hasil- hasil rapat sebelumnya. Sekertaris juga seperti tugas pada umumnya serta membuat surat-menyurat jika ada kegiatan yang akan dilakukan kemudian melaporkannya dalam forum musyawarah Baladewi. Hal ini dilakukan untuk selalu transparan untuk mengindari konflik dalam tubuh Organisasi. Selain mengerjakan hal-hal admistratif, sekertaris juga bertugas menerima tamu dari luar yang akan berkunjung ke Wonosadi, kemudian untuk lebih lanjutnya sekertaris memberitahukan pada jajaran yang lain.c. Bendahara

Tugas bendahara organisasi Baladewi ini mengatur dan mencatat pengeluaran kegiatan yang dilakuakan serta melaporkan perkembangan uang masuk dan uang keluar organisasi. Uang masuk disini berasal dari sumbangan rutin warga pada setiap pertemuan dan pencarian dana usaha dari donatur yang mendukung adanya kegiatan peduli Wonosadi.d. Jagawana

Jagawana adalah sebutan bagi penjaga hutan Wonosadi, divisi ini bertugas mengamankan dan mengontrol seisi hutan secara bergantian dengan jadwal yang sudah disepakati bersama. Jagawana dibagi menjadi dua unit koordinasi yaitu Duren dan Sidorejo. Masing-masing koordinator dalam setiap dusun juga bertugas mengkoordinir masyarakatnya masing-masing untuk melakukan kegiatan di dalam hutan.e. Humas

Humas Baladewi ini bertugas amat penting dalam hal mempublikasikan kegiatan alam. Humas ini beranggotakan pemuda dan pemudi dari Dusun Duren dan Sidorejo. Humas ini dipilih mereka yang masih fresh untuk berinovasi mengembangkan daerah sendiri agar lebih maju lagi. Humas juga bergerak melobi pihak-pihak pusat untuk mendapatkan dana kegiatan penghijauan Wonosadi.f. Juru Kunci Wonosadi

Juru kunci Wonosadi ini bertugas memimpin adanya upacara adat maupun kegiatan yang akan dilakukan di hutan Wonosadi untuk keselamatan masyarakat. Beliau ini juga sebagai sejarawan Wonosadi yang tahu persis bagaimana peristiwa-peristiwa yang terjadi di Wonosadi. Jadi, setiap tahunnya diadakan sadranan Wonosadi yang dilakukan dengan membawa gunungan dan makanan jajan pasar untuk dibawa ke Wonosadi setelah didoakan oleh Juru kunci Hutan Wonosadi. Gunungan yang sudah didoakan kemudian berangkat dari rumah juru kunci setelah itu dibawa naik ke atas dari dusun Duren.g. Kesenian

Kesenian berfungsi mendidik dan mengajarkan para warganya, kegiatan kesenian warisan leluhur di dusun Duren berupa kesenian musik rinding gumbeng dan di dusun Sidorejo berupa gejlok lesung. Kesenian ini nantinya bertugas mengiringi prosesi upacara di Wonosadi. Selain itu, kesenian juga digunakan dalam upacara penyambutan tamu yang hendak berkunjung ke Wonosadi.2. Perkembangan Organisasi BaladewiBaladewi telah berjalan beberapa tahun ini dengan segala perubahan yang sifatnya progress. Banyak masyarakat yang mulai ikut serta dalam organisasi yang mewadahi gerakan hutan. Selain itu, Baladewi juga menginventariskan beberapa aset yang dapat dikelola bersama antara dusun Duren dan Sidorejo. Baladewi ini membagi rata hasil hutan seperti air dan tanaman obat, itupun hanya sebatas keperluan saja tidak terus meminta setiap harinya. Mata air hutan yang terbagi antara barat dan timur dibagi secara adil, barat untuk Duren dan timur untuk Sidorejo. Sehingga dengan pembagian yang adil kerukunan dari masyarakat tetap terjaga. Karena sebagai mana yang dlihat dilapangan yang terpenting dalam gerakan Baladewi ini adalah kerukunan sesuai dengan yang wariskan mbah Onggoloco. Gerakan yang dilakuan bukan mengejar sebuah profit melainkan untuk menjaga kelestarian hutan semata. Adapun hasil-hasil hutan yang didapat yakni non kayu yang dianggap sebagai berkah reward dari hutan Wonosadi untuk masyarakat Wonosadi yang tergabung dalam gerakan Baladewi. Keindahan alam menjadi hasil akan kinerja dari tim pengelola Hutan Wonosadi yang beranggotakan masyarakat dusun Duren dan Sidorejo. Dengan tertatanya hutan maka berpengaruh juga pada sektor pariwisata. Masyarakat pun menerima hasil dari jerih payah dalam mengelola hutan jika nantinya pariwisata sudah berjalan, tetapi tidak berfokus pada profit melainkan pada kelestarian hutan dengan mengenalkan kepada masyarakat luas akan pentingnya hutan dan bagaimana mencintai alam.Perbedaan dari sebelum adanya organisasi Baladewi sebagai wadah dari gerakan pengelolaan hutan sebenarnya tidak terlalu begitu jauh. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan dulu dan sekarang masih sama, yaitu menanam dan merapikan tumbuhan yang ada, tetapi tidak mengubah tatanan alami di bagian Ngenuman. Tetapi justru memperbesar arus sumber air di 3 lokasi sumber di Wonosadi. Perbedaannya hanya sekarang ini ada gagasan untuk membangun pariwisata alam di Wonosadi untuk tahun-tahun kedepan guna membantu pembiayaan Hutan Wonosadi. Maka, kelegalan akan sebuah organisasi menjadi sangat penting. Keinginan menjadikan daerah yang maju dalam kata lain dikenal banyak orang, hal ini membuat masyarakat kini mulai berbenah. Masyarakat perlu berkerjasama antar masyarakat agar program tersebut dapat berjalan tanpa mengganggu keseimbangan alam dalam arti penguatan dari dalam masyarakat.3. Kegiatan Organisasi BaladewiOrganisasi Baladewi dalam usaha menjaga kelestarian hutan Wonosadi memiliki kegiatan yang harus dijalani. Selama ini setelah hutan sudah kembali hijau, kegiatan rutin ng biasa dilakukan meliputi penanaman tumbuhan baru, menjaga budaya Wonosadi, dan pengamanan hutan secara bergilir. Usaha-usaha Baladewi terlihat lebih simple tetapi kenyataannya sulit karena perlu pendekatan-pendekatan dengan semua anggota Baladewi untuk melancarkan semua kegiatan penyelamatan hutan. Selain kegiatan inti khususnya menjaga kelestarian hutan, kegiatan internal dari organisasi ini setiap bulannya hanya sebatas pertemuan rutin membahas agenda-agenda dalam kepengurusan serta melaporkan progres dan hambatan dalam setiap kegiatan. Pertemuan rutin dilakukan sebulan sekali dengan waktu disesuaikan dengan kondisi masyarakat, biasanya anggota diberikan undangan kehadiran oleh pihak sekretaris Baladewi. Kegiatan lain dari Baladewi yakni membuka dan menerima bilamana ada yang ingin study banding di hutan Wonosadi. Baladewi siap menerima dan memandu siapapun yang ingin mengenal tentang hutan Wonosadi dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Dalam hal ini, Baladewi membuka relasi dengan pihak-pihak luar guna menambah ilmu dan juga berbagi pengalaman. Organisasi Baladewi saat ini sedang berusaha go public, selain menjaga hutan juga mengenalkan pada masyarakat luas tentang hutan Wonosadi. Semenjak adanya rencana mengembangkan lebih jauh hutan Wonosadi, banyak ide muncul untuk membuat wisata hutan alam Wonosadi. Hal ini juga dipengaruhi munculnya desa-desa wisata yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Baladewi percaya bahwa mereka juga memiliki aset alam dan juga budaya yang cukup potensial. Yang dimiliki dapat bersaing dengan wisata-wisata alam lainnya. Rencana Baladewi ke depan adalah keinginannya untuk membuat suatu area bermain alam jika semua manajemen sudah dibenahi dan terorganisir dengan baik.4. Pendanaan Organisasi Baladewi

Pendanaan organisasi Baladewi dari awal terbentuknya adalah swadaya masyarakat. Selama ini kegiatan berkaitan dengan hutan sebenarnya hanyalah bermodalkan tenaga dari masyarakat sekitar hutan. Namun, semenjak berdirinya organisasi Baladewi ini pendanaan mulai muncul dari beberapa instansi yang setidaknya cukup untuk menopang berjalannya kegiatan kelestarian hutan. Adanya pihak-pihak yang menjadi donatur dari kegiatan kelestrian hutan tidak membuat masyarakat lupa akan semangat kegotongroyongan yang masih selalu dijaga. Para anggota dan pengurus lebih sering berkerja bermodalkan tenaga daripada dengan uang. Baladewi bukanlah organisasi yang berdiri sendiri dalam proses pendiriannya tetapi disaksikan oleh perangkat desa dan tokoh masyarakat desa. Semenjak itu Baladewi bergerak dibawah naungan desa Beji khususnya yang menangani aset desa Beji. Hutan Wonosadi adalah milik desa Beji tetapi anggota yang mengelola hutan yang tergabung dalam Baladewi dipilih dari dusun Duren dan Sidorejo karena yang paling dekat dengan Wonosadi. Jadi, selama ini dukungan untuk Wonosadi disupport oleh desa Beji dengan dibantu swadaya masyarakat setempat khususnya dusun Duren dan Sidorejo.Selain pendanaan dari desa, pendanaan lain juga masuk setelah terbentuknya Baladewi melalui study banding dari masyarakat lain yang telah menyelesaikan administrasi kepada sekretariat Baladewi. Baladewi sudah mengatur peraturan sebagaimana mestinya, disamping untuk membiayai hutan juga untuk mengisi kas Baladewi. Kegiatan yang dilakukan meskipun ada dana Baladewi tetap lebih mengutamakan swadaya masyarakat lokal dengan gotongroyong. Bahkan, Baladewi cenderung lebih saving dalam penggunaan dana. Hal ini dilakukan agar semangat gotongroyong tidak luntur karena masalah uang, biasanya uang dikeluarkan hanya untuk pembiayaan pupuk dan perayaan sadranan Wonosadi. Pendanaan lain juga berasal dari donatur yayasan ataupun pihak yang peduli terhadap Wonosadi sebagai asset yang tidak ternilai harganya. Dalam hal ini Wonosadi juga memdapatkan bantuan dari pihak LSM yang menaungi masalah lingkungan hidup. Baladewi terbantu dengan adanya donatur dari pihak swasta tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Meskipun begitu, hasil dari pendanaan ini banyak sarana dan prasarana yang didapat misalnya sudah terbangunnya infrastruktur seperti tanggul air yang berfungsi menampung debit air dan pipa-pipa yang menyalurkan air ke rumah-rumah warga. Yang terakhir adalah Baladewi didanai dari iuran para anggota organisasi itu sendiri. Baladewi memberlakukan iuran bagi masyarakat untuk mengisi kas dari organisasi yang tentu saja bersifat seikhlasnya. Iuran ini dilakukan oleh Baladewi ketika akan dilakukan kegiatan baik sadranan maupun sebatas gotongroyong membersihakan hutan Wonosadi. Dari semua pendanaan Baladewi ini diharapkan mampu menunjang organisasi itu sendiri dan tidak lupa bagi kesejahteraan anggota khususnya staf untuk pengurusan apapun, dalam hal kependudukan di Desa Beji dibebaskan untuk biaya admistrasi.5. Jaringan Organisasi Baladewi

Baladewi sebagai organisasi tingkat masyarakat dusun menjalin beberapa kelompok-kelompok masyarakat. Baladewi sendiri sebagai organisasi kelestarian hutan turut menggandeng organisasi masyarakat setempat untuk memudahkan dalam setiap kegiatannya, meskipun kegiatan itu tidaklah setiap hari ada. Jaringan yang dibangun organisasi Baladewi antara lain adalah kelompok tani, ibu-ibu PKK, Jamaah Yasin, kelompok air ,dan organisasi karang taruna yang merupakan jaringan lokal dusun. Ini dilakukan juga sebagai wadah lain untuk mensosialisasikan kelestarian hutan dan juga mengkoordinasi kegiatan yang akan dilakukan serta guba menguatkan kerja sama anggota masyarakat lainnya. Hubungan yang dijalin merupakan hubungan silaturahmi sekaligus membesarkan jaringan didalam dua dusun. Dalam setiap hubungan tingkat lokal dusun, kerjasama yang dilakukan cukup beragam. Hubungan Baladewi dan kelompok tani di masing-masing dusun meliputi Baladewi yang menawarkan kerjasama dalam hal penataan hutan dan juga hal perawatan seperti pupuk dengan di support kelompok tani Sidorejo. Berbeda halnya dengan karangtaruna, Baladewi melibatkannya dalam hal pemasaran dan promosi dari hutan Wonosadi khususnya dalam hal perayaan sadranan disetiap tahunnya. Hubungan dengan jamaah yasin dilakukan biasanya dengan meminta bantuan guna mendoakan pada setiap prosesi sadranan. Ibu-ibu PKK melakukan tugasnya sebagai seksi konsumsi untuk kegiatan di hutan dengan mengirim makanan, biasanya makanan dibuat per rumah dibebani beberapa bungkus nasi dan aneka makanan sesuai ketentuannya. Jaringan diluar, Baladewi menjalin hubungan tingkat desa Beji, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan serta Dinas Kehutanan. Dari ketiga hubungan ini semua dijalin untuk memudahkan kelegalan dari organisasi tersebut, meskipun untuk yang berkaitan dengan dinas dilakukan melalui tingkat desa. Kerjasama dengan instansi pemerintah ini untuk