sle dan ra jurnal

45
SISTEMIK LUPUS ERYTEMATOSUS 1. Definisi Sistemik Lupus Erytematosus adalah penyakit autoimun kronis yang di tandai dengan berbagai antibodi yang membentuk kompleks imun dan menimbulkan inflamasi pada berbagai organ. Oleh karena bersifat sistemik maka manifestasinya sangat luas tergantung organ yang terkena mulai dari manifestasi klinis yang ringan berupa ruam atau sampai pada manifestasi klinis yang berat misalnya lupus nefritis lupus cerebral, (lupus neuropsikiatrik) pnemonitis, perdarahan paru. Perjalanan penyakitnya bersifat fluktuatif yang di tandai dengan periode tenang dan eksaserbasi. 2. Prevalensi dan insiden SLE lebih banyak di jumpai pada wanita umur antara 13-40 tahun dengan perbandingan perempuan : laki-laki 9:1diduga ada kaitan faktor hormon dengan patogenesis. Dari berbagai laporan penelitian prevalensi masing-masing suku berbeda di perkirakan 15-50 kasus per 100.000 penduduk. Pada suku-suku di asia diperkirakan prevalensi paling tinggi terdapat pada suku cina jepang dan filiina. 3. Etiologi Genetik, lingkungan hormon dianggap sebagai etiologi SLE, yang mana ketiga faktor saling terkait erat. Faktor lingkungan dan hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor lingkungan yang di anggap sebagai pencetus antara lain infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stres mental maupun fisik. 1

Upload: retno-setyowati

Post on 03-Jan-2016

77 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: SLE Dan RA Jurnal

SISTEMIK LUPUS ERYTEMATOSUS

1. Definisi

Sistemik Lupus Erytematosus adalah penyakit autoimun kronis yang di tandai dengan

berbagai antibodi yang membentuk kompleks imun dan menimbulkan inflamasi pada

berbagai organ. Oleh karena bersifat sistemik maka manifestasinya sangat luas tergantung

organ yang terkena mulai dari manifestasi klinis yang ringan berupa ruam atau sampai pada

manifestasi klinis yang berat misalnya lupus nefritis lupus cerebral, (lupus neuropsikiatrik)

pnemonitis, perdarahan paru. Perjalanan penyakitnya bersifat fluktuatif yang di tandai dengan

periode tenang dan eksaserbasi.

2. Prevalensi dan insiden

SLE lebih banyak di jumpai pada wanita umur antara 13-40 tahun dengan

perbandingan perempuan : laki-laki 9:1diduga ada kaitan faktor hormon dengan patogenesis.

Dari berbagai laporan penelitian prevalensi masing-masing suku berbeda di perkirakan 15-50

kasus per 100.000 penduduk. Pada suku-suku di asia diperkirakan prevalensi paling tinggi

terdapat pada suku cina jepang dan filiina.

3. Etiologi

Genetik, lingkungan hormon dianggap sebagai etiologi SLE, yang mana ketiga faktor

saling terkait erat. Faktor lingkungan dan hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada

individu peka genetik. Faktor lingkungan yang di anggap sebagai pencetus antara lain infeksi,

sinar ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stres mental maupun fisik.

Berbagai gen di duga berperan pada SLE. Sehingga manifestasi klinis SLE sangat heterogen.

Perbedaan gen berperan pada manifestasi SLE. HLA-DR2 lebih menunjukkan gejala lupus

nefritis yang menonjol, sedangkan pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala

muskuloskeletal.

4. Patogenesis

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi , proses diawali dengan

faktor pencetus yang ada di lingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.

Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu:

1. Sel T dan B menjadi otoreaktif

2. Pembentukan sitokin yang berlebihan

3. Hilangnya regulator kontrol pada sistem imun, antara lain:

a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin

di dalam tubuh

1

Page 2: SLE Dan RA Jurnal

b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena

adanya mimikri molekul.

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh

yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang membentuk

kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan atau organ

yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan. Antibodi-

antibodi yang terbentuk pada SLE sangat banyak , antara lain Antinuclear antibodi

(ANA), anti double staranded DNA (ds DNA), anti-ss A (Ro), anti-ss B (La),

antiribosomal P antibody, anti Sm, sd-70

Selain itu hilangnya kontrol sistem imun pada patogenesis lupus juga diduga

berperan pada timbulnya gejala klinis pada SLE.

4. Gambaran Klinis

Manifestasi klinis SLE sangat luas, awalnya di tandai dengan gejala klinis yang tidak

spesifik antara lain: lemah, lesu, panas, mual, nafsu makan menurun dan berat badan

menurun.

Manifestasi sistem muskulo skeletal

Dapat berupa artalgia yang hampir di jumpai sekitar 70% atau atritis yang di tandai

dengan sendi yang bengkok, kemerahan yang kadang-kadang disertai efusi, sendi-sendi yang

sering terkena antara lain sendi jari-jari tangan, siku, bahu, dan lutut. Artritis pada SLE

kadang menyerupai artritis reumatoid, bedanya adalah artritis pada SLE sifatnya nonerosif

Sistem Mukokutaneus

1. Kutaneus lupus akut: malar rash (butterfly rash) merupakan tanda spesifik pada

SLE, yaitu bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan

nasolabial dan di tandai dengan adanya ruam pada hidung yang menyambung

dengan ruam yang ada di pipi. Bentuk akut kutaneus lain yaitu bentuk morbili,

ruam makular, fotosensitif, papulodermatitis, bulosa, toksik epidermal

nekrotik. Pada umumnya ruam akut kutaneus ini bersifat fotosenstif.

2

Page 3: SLE Dan RA Jurnal

2. Kutaneus lupus subakut simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema,

psoriatik LE, pitiriasis dan makulo papulo fotosensitif. Manifestasi subakut

lupus ini sangat erat hubungannya dengan antibodi Ro lesi subakut umumnya

sembuh tanpa meninggalkan scar.

3. Kutaneus lupus kronis. Bentuk yang klasik adalah lupus dikoid yang berupa

bercak kemerahan dengan kerak keratotik pada permukaannya. Bersifat kronik

dan rekuren pada lesi yang kronik ditandai dengan parut dan atropi pada

daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah tepinya. Lesi ini sering

dijumpai pada kulit kepala yang sering menimbulkan kebotakan yang

irreversible. Daun telinga leher, lengan dan wajah juga sering terkena

panikulitis lupus atau lupus profundus di tandai dengan inflamasi pada lapisan

bawah dari dermis dan jaringan subkutan. Gambaran klinisnya berupa nodul

yang sangat dalam dan sangat keras, dengan ukuran 1-3cm. Hanya di temukan

sekitar 2% pada penderita SLE

4. Nonspesifik kutaneus lupus: vaskulitis cutaneus. Ditemukan hampir pada 70%

pasien. Manifestasi kutaneus nonspesifik lupus tergantung pada pembuluh

darah yang terkena. Bentuknya bermacam-macam antara lain:

a. Urtikaria

b. Ulkus

c. Purpura

d. Bulosa, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan

epidermal junction

e. Splinter hemorrhage

f. Eritema periungual

g. Nailfold infar bentuk vaskulitis dari arteriol atau venul pada tangan

h. Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai. Pada umumnya

biopsi pada tempat ini menunjukkan leukosistiklasik vaskulitis.

5. Raynould phenomenon. Gambaran khas dari raynouls phenomenon ini adanya

vasospasme, yang di tandai dengan sianosis yang berubah menjadi bentuk

kemerahan bila terkena panas. Kadaang disertai dengan nyeri. Raynould

phenpmenon ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP

6. Alopesia. Akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkait dengan

aktifitas penyakit biasanya bersifat difus tanpa adanya jaringan parut.

Kerontokan rambut biasanya di mulai garis rambut depan. Pada keadaan

3

Page 4: SLE Dan RA Jurnal

tertentu bisa menimbulkan alopesia yang menetap di sebabkan oleh diskoid

lupus yang meninggalkan jaringan parut.

7. Sklerodaktil. Di tandai dengan adanya sklerotk dan bengkak berwarna

kepucatan pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma. Hanya terjadi

pada 7% pasien.

8. Nodul Rheumatoid. Ini diakibatkan dengan antibodi Ro yang positif dan

adanya reumatoid artritis.

9. Perubahan pigmentasi. Bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah

yang terpapar sinar matahari.

10. Kuku. Manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangektasi pada

kutikula kuku

11. Luka mulut (oral ulcer) luka pada mulut yang terdapat pada palatum molle atau

durum mukosa pipi, gusi dan biasanya tidak nyeri.

Gambaran histopatologis kutaneus lupus yaitu didapatkannya kompleks imun yang berbentuk

seperti pita pada daerah epidermal junction (lupus band)

Manifestasi pada paru

Dapat berupa pnemonitis, pleuritis, ataupun pulmonary haemorrhage, emboli paru,

hipertensi pulmonal, pleuritis ditandai dengan nyeri dada atau efusi pleura, atau friction rub

pada pemeriksaan fisik. Efusi pleura yang dijumpai biasanya jernih dengan kadar protein

<10.000 kadar glukosa normal.

Manifestasi jantung

Dapat berupa perikarditis, efusi perikardium, miokarditis, endokarditis, kelainan katup

penyakit koroner, hipertensi, gagal jantung, dan kelainan konduksi. Manifestasi jantung

tersering adalah kelainan perikardium berupa perikarditis dan efusi perikardium 66%, yang

jarang menimbulkan komplikasi tamponade jantung, menyusul kelainan miokardium berupa

miokarditis yang di tandai dengan pembesaran jantung dan endokardium baerupa endokarditis

yang dikenal dengan nama Libmn Sachs endokarditis, sering sekali asimptomatis tanpa

disertai dengan bising katup. Yang sering terkena adalah katup mitral dan aorta.

Manifestasi Hematologi

4

Page 5: SLE Dan RA Jurnal

Manifestasi kelainan hematologi yang terbanyak adalah bentuk anemia karena

penyakit kronis, anemia hemolitik autoimun hanya didapatkan pada 10% penderita. Selain

anemia juga dapat di jumpai leukopenia, limphopenia, nitropenia, trombopenia.

Manifestasi pada ginjal

Dikenal dengan lupus nefritis. Angka kejadiannya mencapai hampir 50% dan

melibatkan kelainan glomerulus. Gambaran klinisnya bervariasi dengan tergantung derajat

kerusakan pada glomerulus dapat berupa hematuri, protein uria, seluler cast. Berdasarkan

kriteria WHO secara histopatologi dibedakan menjadi 5 klas. Sebanyak 0,5% akan

berkembang menjadi gagal ginjal kronis. Lupus nefritis ini merupakan petanda prognosis

jelek.

Manifestasi sistem gastrointestinal

Dapat berupa hepatosplenomegali non spesifik,hepatitis lupoid, peradangan sistem

saluran makanan (lupus gut).

Manifestasi klinis pada sistem saraf pusat

Manifestasinya sangat bervariasi, mulai dari depresi sampai psikosis, kejang, stroke,

dan lain-lain. Untuk memudahkan diagnosis American College Rheumatology

mengelompokkan menjadi 19 sindrom. Gambaran klinis lupus serebral dikelompokkan dalam

3 bagian yaitu fokia, difus, dan neuropsikiatrik.

5. Diagnosis

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan criteria American College of Rheumatology

(ACR) 1982 yang telah direvisi pada tahun 1997, yaitu jika paling sedikit ditemukan 4

dari 11 kriteria yang ada.

Gejala Penjelasan

Malar Rash

(Butterfly rash)

Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau

berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung

(wilayah malar)

Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler

5

Page 6: SLE Dan RA Jurnal

disertai dengan sisik keratotik adherent.

Jaringan parut atropi dapat terjadi.

Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat

menimbulkan bercak-bercak

Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang

dapat ditemukan

Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi

perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau

efusi

Serositis Pleurits atau perikarditis yang ditemukan

melalui ECG atau bukti adanya efusi pleura

Gangguan

Ginjal

Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atau

ditemukan corak seluler, tubuler atau

campuran dalam sedimen urin.

Gangguan

neurologik

Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang

jelas

Gangguan

hematologik

Anemia hemolisis dengan retikulositosis

atau leukopenia < 4000/mm3 atau limfopenia

<1500/mm3 atau thrombositopenia <100

000/mm3 tanpa pemberian obat-obatan yang

menyebabkan thrombositopenia.

Gangguan

Imunologis

Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-

phospholipid

Antibodi

Antinuklear

Jumlah ANA yang abnormal ditemukan

dengan immunofluoroscence atau

pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada

pemberian obat yang dapat memicu ANA

sebelumnya.

6

Page 7: SLE Dan RA Jurnal

TABEL 1 : Kriteria diagnostik untuk SLE menurut American College of

Rheumatology. (Dikutip dari: Gill J et al, “Diagnosis of Systemic Lupus

Erythematosus” American Family Physian 2003, Vol.68:11, pp.2179-2186.)

Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibodi.

Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat

medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE dengan spesifitas 95% dan

sensitivitas 75% menurut Hahn et al, 2005.

Pada beberapa pasien, gejala semakin berat dalam selang waktu tertentu.

Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien SLE selama perjalanan

penyakit. Pemeriksaan ANA berulang yang negatif menandakan diagnosisnya bukan

SLE, kecuali jika autoantibodi lainnya ditemukan. Antibodi IgG dengan jumlah

banyak pada DNA dan antibodi pada antigen Sm spesifik untuk SLE mendukung

diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa

autoantibodi pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE,

walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko, karena SLE secara

klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibodi.

Pemeriksaan penunjang antibodi anti nuclear (ANA) merupakan uji penyaring

yang terbaik untuk menegakkan diagnosis SLE. ANA hampir selalu positif pada lebih

dari 95% pasien SLE dan pemeriksaan ANA harus selalu dilakukan pada kasus yang

dicurigai sebagai SLE. ANA tidak selalu spesifik untuk SLE karena ANA dapat juga

dijumpai pada penyakit lain seperti skeloderma, artritis rematoid, atau drugs induced

lupus erythematosus seperti isoniazid. Antibodi yang lebih spesifik untuk SLE adalah

antibodi anti ds-DNA dan anti SM, walaupun sensitivitasnya pada SLE masing-

masing adalah 75% (anti ds-DNA) dan 25% (anti SM). Pemeriksaan ANA pada pasien

menunjukkan positif 1/40, titer yang tinggi anti dsDNA ( positif 949 iu/ml ), C3 adan

C4a yang menurun, serta LED meningkat menandakan proses penyakit pada pasien ini

sedang aktif dan berat. Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat proses

penyakit yang sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi.

Pemeriksaan serologis untuk deteksi ANA dalam serum penderita SLE dapat

dilakukan dengan beberapa metode, antara lain metode imunofluoresens (direk dan

indirek), immunodiffusion, immunoprecipitation (Farr assay), ELISA dan

immunoblotting.Penderita penyakit SLE cenderung mempunyai ANA dengan titer

tinggi. Hasil ANA positif palsu dapat dijumpai pada penyakit infeksi kronis, seperti

endokarditis bakterialis subakut, tuberculosis, hepatitis dan malaria.

7

Page 8: SLE Dan RA Jurnal

Menurut Tim Reumatologi Rumah Sakit Hasan Sadikin, criteria ACR 1997

mempunyai sensitivitas 85% dan specifisitas 95% dalam penegakan diagnosis

penyakit SLE. Menurut penelitian Wallach pada tahun 2000, hasil pemeriksaan

serologis ANA dan dsDNA positif, disertai hipokomplemennemia mempunyai arti

diagnostic SLE 100%.

8

Page 9: SLE Dan RA Jurnal

GAMBAR 1: Algoritme Diagnosis SLE. (Dikutip dari: Gill J et al, “Diagnosis of Systemic

Lupus Erythematosus” American Family Physian 2003, Vol.68:11, pp.2179-2186.)

6. Penatalaksanaan

Secara garis besar, penatalaksanaan SLE meliputi penatalaksanaan non farmakologis

atau penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan farmakologis seperti berikut:

1. Penatalaksanaan Umum

Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang

terjadi, sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut

yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar

yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Penatalaksanaan mencakup

penatalaksanaan umum dan terapi konservatif. Bentuk penanganan umum pasien

dengan SLE antara lain :

a. Edukasi

Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan

penyakit dengan perjalanan yang kronik. Penderita perlu dibekali informasi yang

cukup memadai tentang berbagai macan manifestasi klinis yang dapat terjadi, dan

derajat keparahan penyakit yang berbada-beda, sehingga penderita SLE memahami

dan dapat mengurangi rasa cemas yang berlebihan.

b. Kelelahan

Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus

mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit

lain yaitu anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi dari

pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manifestasi yang

berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi sehingga peningkatan

keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya mengurangi kelelahan di

samping pemberian obat ialah cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah

gaya hidup.

c. Merokok

9

Page 10: SLE Dan RA Jurnal

Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita

perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena

Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang

terkandung pada rokok.

d. Cuaca

Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya

ada dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan

artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses

inflamasi.

e. Stres dan trauma fisik

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik

dapat mempengaruhi sistem imun melalui penurunan respons mitogen limfosit,

menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural

Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma

fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa

peneliti sependapat bahawa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau dihindari

karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya.

f. Diet

Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien SLE. Makanan yang berimbang

dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak

ikan yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat

menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan

polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan

makanan agar kadar lipid kembali normal.

g. Sinar ultra violet

Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari

tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik.

Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi sehingga pukul 3 sore, sehingga

semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-

waktu tersebut.

10

Page 11: SLE Dan RA Jurnal

h. Kontrasepsi oral

Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan

memperberat SLE, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan

penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis

jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.

2. Penatalaksanaan Farmakologis

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan

mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan

dan lamanya  pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

a. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID)

NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan

antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan

arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya.

Dapat diberikan aspirin 500 mg per oral, 3 kali sehari. Keterbatasan obat ini adalah

efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. NSAID

golongan baru, COX2 inhibitor dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan

dapat mengatasi hal ini. Sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada

SLE. Efek samping lain dari NSAID adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan renal,

retensi cairan dan meningitis aseptik.

b. Antimalaria

Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama

diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit

terutama Lupus Erithematosus Diskoid dan Lupus Erithematosus Kutaneus Subakut.

Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemprosesan antigen di makrofag dan sel

penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga

menghambat fagositosis, migrasi neutrofil dan metabolisme membran fosfolipid.

Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin

menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Hidroksiklorokuin juga dapat menurunkan

kadar lipid dan kemungkinan juga bersifat sebagai anti trombotik.

11

Page 12: SLE Dan RA Jurnal

Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia iaitu hidroksiklorokuin (dosis 200

mg 2x per hari), klorokuin (250 mg per hari) dan kuinarkrin (100 mg 4x per hari).

Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan.

Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan,

kembung, mual, dan muntah, timbulnya ruam, toksisitas retina dan toksisitas

neurologis. Perlu pemantauan kelainan mata setiap 3 bulan untuk memantau efek

samping antimalaria.

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis

SLE. Sediaan topical atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intraartikuler

digunakan untuk arthritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan

sistemik. Pemberian peroral dosisnya bervariasi antara 5 mg-30 mg prednisone atau

metil prednisolon per hari, secara tunggal maupun dosis terbagi, efektif untuk

mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Sering kali,

kortikosteriod diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan

tujuan mendapatkan induksi yang cepat kemudian dapat segera diturunkan dosisnya.

Keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau

vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednisone dosis tinggi, 1-2 mg/kg/hari.

Kortikosteriod parenteral juga dapat digunakan dengan dosis sesuai ekuivalennya.

Pada keadaan sangat berat yang mengancam jiwa, bolus metilprednisolone 1000 mg

dapat digunakan selama 3 hari berturut-turut.

Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian kortikosteroid yang lama antara

lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler,

akne, hirtutism, percepatan osteoporosis, osteonekrosis, katarak, glaucoma, diabetes

mellitus, miopati, hipokalemia, menstruasi tidak teratur, iritabilitas, insomnia dan

psikosis. Oleh itu, setelah aktivitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus

segera diturunkan. Prednisone dengan dosis 15 mg/hari diberikan pada pagi hari tidak

menekan aksis hipotalamik hipofise dan ini dapat meminimalisasi beberapa efek

samping. Untuk meminimalkan efek samping osteoporosis, dapat diberikan suplemen

kalsium 1000 mg/hari dan vitamin D 50,000 unit 1-3 kali seminggu. Dalam mencegah

osteoporosis dapat juga diberikan calcitonin dan bisfosfonat.

d. Terapi Imunomodulator

12

Page 13: SLE Dan RA Jurnal

1. Cyclophosphamide

Cyclophosphamide merupakan obat pada gangguan system organ yang berat,

terutama lupus nephritis. Pengobatan dengan kortikosteroid dan cyclosphosphamide

bolus intravena 0,5-1,0 g/mm2 lebih efektif disbanding hanya kortikosteriod saja

dalam pencegahan sequel ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi

remisi ginjal. Menurut WHO dengan evidence base tingkat 4, respon paling baik

adalah pada lupus nefritis difus proliferative. Manifestasi nonrenal yang efektif dengan

cyclophosphamide adalah pada sitopenia, kelainan system saraf pusat, perdarahan paru

dan vaskulitis.

Pemberian peroral dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg dapat ditingkatkan sampai 2,5-

3,0 mg/kg dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >3500/mm3. Monitoring

jumlah leukosit dievaluasi setiap 2 minggu.

Mual dan muntah merupakan efek samping yang sering terjadi. Rambut rontok

kadang kala ditemukan dan gejala ini menghilang jika obat dihentikan. Leukopenia

yang bersifat dose dependent biasanya timbul 8-12 hari setelah pengobatan. Perlu

dilakukan penyesuaian dosis dengan jumlah leukosit. Juga terdapat resiko terjadinya

infeksi bakteri, jamur dan virus terutama herpes zoster. Efek samping pada gonad

dapat menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azoospermia.

Acrolein merupakan produk metabolic dari cyclophosphamide yang dapat

menyebabkan iritasi vesika urinaria dan mengakibatkan terjadinya sistitis hemoragik,

fibrosis dan karsinoma sel skuamosa transitional pada penggunaan jangka panjang.

Pada pemberian cyclophosphamide bolus intravena diberikan hidrasi yang adekuat dan

Mesna sebagai pengikat acrolein dengan dosis 20% dari total dosis cyclophosphamide.

Pemeriksaan rutin untuk deteksi karsinoma vesika urinaria juga perlu dilakukan.

2. Mycophenolate mofetil (MMF)

MMF merupakan inhibitor reversible inosine monophosphate dehydrogenase,

suatu enzim yang penting untuk sintesis purine. MMF akan mencegah proliferasi sel B

dan sel T dan mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF merupakan pengobatan yang

efektif terhadap lupus nefritis. MMF dapat mengurangkan proteinuria dan

memperbaiki serum kreatinin pada penderita SLE dan nefritis yang resisten dengan

cyclophosphamide. Efek samping MMF pada umumnya adalah leucopenia, nausea

dan diare. MMF diberikan dengan dosis antara 500-1000 mg, 2 kali per hari.

13

Page 14: SLE Dan RA Jurnal

3. Azathioprine

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan

mempengaruhi fungsi immune seluler dan humoral. Pada Sle, obat ini digunakan

sebagai alternative cyclophosphamide untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai

steroid sparing agent untuk manofestasi nonrenal. Azathioprine diindikasikan untuk

miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian dimulai dengan dosis 1,5

mg/kgBB/hari, jika perlu dinaikan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-

3,0 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan neutrofil >

1000/mm3.

Efek samping yang biasa terjadi adalah pada sumsum tulang dan efek samping

gastrointestinal. Oleh karena dimetabolisme di hati dan eksresinya di ginjal, fungsi

hati dan ginjal harus diperiksa secara periodic. Penyesuaian dosis diperlukan pada

gangguan fungsi hati dan ginjal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan

hipersensifitas dengan manifestasi demam, rash di kulit dan peningkatan serum

tranaminase. Keluhan biasanya bersifat reversible dan menghilang setelah obat

dihentikan. Peningkatan resiko terjadinya keganasan, seperti limfoma non Hodgkin

pernah dilaporkan pada penderita SLE yang mendapat azathioprine.

4. Leflunomide

Leflunomide merupakan suatu inhibitor sintesis pirimidin yang digunakan

pada pengobatan rheumatoid arthritis. Leflunomide bermanfaat pada pasien SLE yang

mulai ketergantungan steroid. Pemberiannya dimulai dengan loading dose 100 mg/hari

untuk 3 hari, kemudian diikuti dengan dosis 20 mg/hari.

5. Methotrexate

Methotrexate merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat

reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi

SLE, digunakan dosis 15-20 mg secara oral satu kali seminggu. Methotrexate terbukti

efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping methotrexate antara lain

adalah peningkatan serum transaminase, keluhan gastrointestinal, infeksi dan oral

ulcer.

6. Cyclosporine

14

Page 15: SLE Dan RA Jurnal

Cyclosporine terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk

sindroma nefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat

ditoleransi dan menimbulkan perbaikan nyata terhadap proteinuria, sitopenia,

parameter imunologi seperti C3, C4 dan anti-ds DNA serta aktivitas penyakit. Efek

samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hyperplasia gingival, hipertrichosis dan

peningkatan serum kreatinin.

7. Agen Biologis

Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel

B dalam mengambil autoantigen dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin

spesifik terhadap sel T di permukaan sel yang selanjutnya akan mempengaruhi respon

imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibody monoclonal chimeric yang

melawan reseptor DC 20 yang dipresentasikan sel B limfosit. Anti CD 20 atau

Rituximab memiliki potensi terapi untuk SLE yang refrakter, antara lain pada system

saraf sentral, renal, vaskulitis dan gangguan hematologic. LJP 394 atau Abetimus

sodium dapat mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan mengurangi

antibody terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi

ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoxyribonukleotida

yang terikat pada rangka trietilen glikol. Stimulator limfosit B atau BlyS merupakan

bagian dari keluarga tumor necrosis factor (TNF) cytokine yang mempresentasikan sel

B. LymphoStatB merupakan antibody monoclonal human terhadap BlyS.

8. Terapi Hormon

Bromocriptine secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi

prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit SLE.

Dehydroepiandrosterone (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas ringan dan

sedang. Danazole, sejenis sintetik kortikosteroid dengan dosis 400-1200 mg/hari

bermanfaat untuk mengkontrol sitopenia autoimmune terutama trombositopenia dan

anemia hemolitik. Terapi estrogen pengganti (Estrogen Replacement Therapy) dapat

dipertimbangkan pada pasien-pasien menopause.

9. Terapi Lain

Thalidomide dapat digunakan untuk pengobatan lupus discoid dengan dosis

maintenance 25-50 mg/hari. Thalidomide dapat menginduksi remisi partial sebanyak

15

Page 16: SLE Dan RA Jurnal

30% dan remisi lengkap sebanyak 60%. Thalidomide berguna pada kasus lupus

discoid yang refrakter dengan kortikosteroid dan antimalaria. Neuropati perifer dapat

terjadi pada penggunaaan thalidomide dan obat ini tidak boleh digunakan pada

kehamilan karena efek teratogeniknya.

Dapsone merupakan suatu sulfone yang efektif untuk mengatasi beberapa

kelainan kulit termasuk lupus discoid. Retinoid yang memiliki efek anti inflamasi dan

immunosuppressive telah digunakan luas baik secara oral maupun topical untuk

pengobatan lupus cutaneous yang kronis.

Immunoglobulin intravena (IVIgG) adalah immunomodulator dengan

mekanisme kerja yang luas, meliputi blockade reseptor Fc, regulasi komplemen dan

sel T. Tidak seperti immunosuppressant, IVIgG tidak mempunyai efek meningkatkan

resiko terjadinya infeksi. Dengan dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut

terjadi perbaikan trombositopenia, arthritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan

parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit

kepala, arthralgia, dan kadang meningitis aseptika. Kontraindikasinya adalah penderita

SLE yang disertai defisiensi IgA.

7. Follow Up

Apabila diagnosis SLE telah dibuat, maka penting untuk menentukan beratnya

serta potensi reversibilitas penyakit dan kemungkinan pengobatannya. Tidak ada

istilah sembuh untuk penyakit SLE, dan jarang didapatkan remisi sempurna yang

bertahan lama. Dalam pengelolaan SLE, penting untuk ditentukan apakah kondisinya

mengancan jiwa, atau mungkin untuk menimbulkan kerusakan organ, di mana

keadaan tersebut memerlukan terapi yang agresif. Juga penting untuk ditentukan

apakah manifestasi penyakit SLE tersebut berpotensi reversible dan bagaimana upaya

terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit tersebut dan pengelolaannya. Dalam

monitoring aktivitas penyakit SLE, dapat digunakan MEX LESDAI Score.

16

Page 17: SLE Dan RA Jurnal

TABEL 2: MEX LESDAI Score. (Dikutip dari: Tim Reumatologi RS Dr. Hasan Sadikin,

“Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik” Bandung 2007.)

17

Page 18: SLE Dan RA Jurnal

8. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya

sendiri atau komplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE sendiri

yang paling sering terjadi adalah infeksi sekunder karena system immune penderita

yang immunocompromised. Selain itu, sering juga terjadi komplikasi penyakit

aterosklerosis akibat peningkatan antiphospholidip antibody.

Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapi

imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan infark

miokard prematur.

9. Prognosis

Prognosis dari perjalanan penyakit SLE bervariasi. Sebelum steroid

ditemukan, 52% penderita meninggal dalam 2 tahun dan sisanya bertahan sampai 11

tahun. Pada tahun 1977, 91% penderita dilaporkan hidup hingga 5 tahun. Sekarang,

75% penderita mampu hidup hingga 15 tahun dan lebih dari 90% dilaporkan hidup

hingga 10 tahun. Prognosis penderita tergantung dari organ-organ yang terkena.

Keterlibatan organ ginjal dan sistem saraf pusat memberikan prognosis yang buruk.

84% penderita tanpa kelainan pada ginjal mampu bertahan hidup hingga 15

tahun dibandingkan dengan penderita yang mengalami kelainan (57%). Penderita

yang mengalami remisi spontan sebanyak 35% dapat hidup hingga 20 tahun.

Prognosis yang lebih baik pada penderita tidak hanya karena pemberian

kortikosteroid, tetapi juga karena adanya penegakan diagnosis yang dini.

Penyebab kematian pada penderita biasanya disebabkan karena kerusakan

ginjal yang parah, bronchopneumonia, atau peritonitis spontan yang merupakan

komplikasi dari lupus nephritis yang dapat diterapi dengan kortiosteroid. Selain itu,

dapat juga terjadi karena vaskulitis pada sistem saraf pusat yang muncul dengan

kejang, psikosis dan paralisis pada penderita. Penderita yang meninggal awal,

biasanya terjadi pada fase aktif dari lupus erythematosus disertai kelainan pada organ

ginjal, menerima dosis tinggi dari steroid, serta mempunyai insidens yang tinggi untuk

penyakit infeksi. Sedang pada penderita yang meninggal belakangan mempunyai

angka insiden yang tinggi karena atherosclerotic heart disease dan infarct

myocardial. Walaupun penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan, namun

prognosisnya lebih buruk pada penderita laki-laki.

18

Page 19: SLE Dan RA Jurnal

ARTRITIS REUMATOID

1. Definisi

Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui

penyebabnya dikarakteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membran sinovial yang

mengarah pada destruksi kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut. ( Susan Martin

Tucker.1998 ).

Artritis Reumatoid ( AR ) adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai

membran sinovial dari persendian dan umumnya ditandai dengan dengan nyeri persendian,

kaku sendi, penurunan mobilitas, dan keletihan. ( Diane C. Baughman. 2000 )

Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi kronik dengan manifestasi utama

poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. ( Arif Mansjour. 2001 )

Artritis reumatoid ini merupakan bentuk artritis yang serius, disebabkan oleh

peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut persendian. Ditandai dengan

sakit dan bengkak pada sendi-sendi terutama pada jari-jari tangan, pergelangan tangan, siku,

dan lutut.

2. Epidemiologi

AR terjadi antara usia 30 tahun dan 50 tahun dengan puncak insiden antara usia 40

tahun dan 50 tahun. Wanita terkena dua sampai tiga kali lebih sering dari pada pria. AR

adalah suatu penyakit inflamasi sistematik yang paling sering dijumpai, menyerang sekitar

1% populasi dunia.

3. Etiologi

Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai

patogenesisnya telah terungkap. AR adalah suatu penyakit autoimun yang timbul pada

individu – individu yang rentang setelah respon imun terhadap agen pencetus yang tidak

diketahui. Faktor pencetus mungkin adalah suatu bakteri, mikoplasma, virus yang

menginfeksi sendi atau mirip dengan sendi secara antigenis. Biasanya respon antibodi awal

terhadap mikro-organisme diperantarai oleh IgG. Walaupun respon ini berhasil mengancurkan

mikro-organisme, namun individu yang mengidap AR mulai membentuk antibodi lain

19

Page 20: SLE Dan RA Jurnal

biasanya IgM atau IgG, terhadap antibodi IgG semula. Antibodi ynng ditunjukan ke

komponen tubuh sendiri ini disebut faktor rematoid ( FR ). FR menetap di kapsul sendi, dan

menimbulkan peradangan kronik dan destruksi jaringan AR diperkirakan terjadi karena

predisposisi genetik terhadap penyakit autoimun.

4. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor pencetus dari atritis reumatoid yang banyak menyebabkan gejala,

meliputi :

Aktifitas/mobilitas yang berlebihan

Aktifitas klien dengan usia yang sangat lanjut sangatlah membutuhkan perhatian yang

lebih, karena ketika klien dengan kondisi tubuh yang tidak memungkinkan lagi untuk banyak

bergerak, akan memberatkan kondisi klien yang menurun terlebih lagi sistem imun yang

sangat buruk. Sehingga klien dengan sistem imunitas tubuh yang menurun, sangatlah

dibutuhkan perhatian lebih untuk mengurangi /memperhatikan tipe aktifitas/mobilitas yang

berlebih. Hal ini dikarenakan kekuatan sistem muskuloskeletal klien yang tidak lagi seperti

usianya beberapa tahun yang lalu, masih dapat beraktifitas maksimal.

Lingkungan

Mereka yang terdiagnosis atritis reumatoid sangatlah diperlukan adanya perhatian

lebih mengenai keadaan lingkungan. Ketika lingkungan sekitarnya yang tidak mendukung,

maka kemungkinan besar klien akan merasakan gejala penyakit ini. Banyak diantaranya

ketika keadaan suhu lingkungan sekitar klien yang cukup dingin, maka klien akan merasa

ngilu, kekakuan sendi pada area-area yang biasa terpapar, sulit untuk mobilisasi, dan bahkan

kelumpuhan.

5. Patofisiologi

Reaksi autoimun dalam jaringan sinovial akibat faktor genetik, yang melakukan proses

fagositosis menyerang sinovium menghasilkan enzim – enzim dalam sendi untuk memecah

kolagen sehingga terjadi edema proliferasi membran sinovial yang mengakibatkan adanya

pelepasan kolagenesa dan produksi lisozim oleh fagosit yang mengakibatkan terjadinya erosi

sendi dan periartikularis tekanan sendi distensi serta putusnya kapsula & ligamentum.

Kemudian terjadi pembengkakan, kekakuan pergelangan tangan & sendi jari tangan dan

akhirnya membentuk pannus. Pannus tersebut akan menghancurkan tulang rawan dan

menimbulkan erosi tulang sehingga akan berakibat menghilangnya permukaan sendi yang

akan mengganggu gerak sendi.

20

Page 21: SLE Dan RA Jurnal

Pathway

21

Bakteri, mikroplasma, virus

menginfeksi sendi

Proses fagositosis menyerang sinovium

Edema proliferasi membran sinovial

Produksi lisozimoleh fagosit

Pelepasan kolagenesaoleh fagosit

Cemas

Terjadi proses autoimundalam jaringan sinovial

Faktor genetik

Terjadi erosi sendi dan periartikularis Tekanan sendiDistensi Serta putusnya kapsula & ligamentum

pembengkakan Gejala-Gejala Konstitusional

kekakuan di pagi hari Deformitas

Membentuk pannus

Menghancurkan tulang rawan

Menghilangkan permukaan sendiyang mengganggu gerak sendi

1.Gangguan rasa nyaman

2.Gangguan mobilitas fisik

4.Gangguan perawatan

diri

3.Gangguan citra tubuh

Situasi berubah 5.Kurang informasi

Page 22: SLE Dan RA Jurnal

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang timbul sesuai dengan tahapan dan keparahan dari penyakit

AR itu sendiri. Nyeri sendi, bengkak, hangat, eritema, dan kurang berfungsi adalah gambaran

klinis yang klasik. Seringkali dapat diaspirasi cairan dari sendi yang mengalami

pembengkakan. Artritis sering diawali dengan timbulnya rasa sakit serta lemah pada sendi

tangan dan pinggang. Juga disertai bengkak dan kadang terjadi peradangan, tetapi sering tiba-

tiba hilang.

Pola karakteristik dari persendian yang terkena :

- Mulai pada persendian kecil ditangan, pergelangan , dan kaki.

- Secara progresif menenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki,

tulang belakang serviks, dan temporomandibular.

- Biasnya akut, bilateral, dan simetris.

- Persendian dapat teraba hangat, bengkak, dan nyeri ; kaku pada pagi hari berlangsung

selama lebih dari 30 menit.

- Deformitasi tangan dan kaki adalah hal yang umum.

Beberapa gejala klinis yang kerap kali terjadi pada para penderita atritis reumatoid ini,

yakni :

- Gejala-Gejala Konstitusional.

Beberapa gejala tersebut meliputi lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam.

Bahkan terkadang kelelahan yang sangat hebat.

- Poliatritis Simetris.

Terutama terjadi pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi  di tangan namun biasanya

tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diatrodial dapat

terserang.

- Kekakuan di pagi hari.

Kejadian ini terjadi selama lebih dari 1 jam, dapat bersifat generalisata tetapi terutama

menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada

osteoatritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu

kurang dari satu jam.

- Atritis Erosif.

Atritis erosif merupakaan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan

sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada

radiogram.

- Deformitas.

22

Page 23: SLE Dan RA Jurnal

Kerusakan struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau

jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa.

Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari

subluksasi metatarsal.

- Nodula-Nodula Reumatoid.

Nodula-nodula reumatoid adalah masa subkutan yang ditemukan pada sekitar

sepertiga penderita dewasa. Lokasi tersering yakni di daerah sepanjang sendi sikut

atau sepanjang permukaan ekstensor lengan. Nodul ini merupakan tanda bahwa

penyakit tersebut aktif.

- Manifestasi Ekstraartikuler.

a. Kulit Nodula subkutan Vaskulitis, bercak-bercak coklat lesi-lesi ekimotik

b. Jantung

Perikarditis Temponade pericardium. Lesi peradangan miokardium dan katup

jantung

c. Paru-paru

Pleuritis dengan atau tanpa efusi peradangan paru-paru

d. Mata terjadi skleritis

e. Syaraf

Neuropati perifer sindrom kompresi perifer (sindrom terowongan kapal,

neuropati syaraf ulnaris, paralisis peronealis, abnormalitas vertebra servikal)

f. Sitemik Anemia Osteoporosis generalisata Syndrome felty Sindrom Sjogren

(keratokonjungtivitis sika) Amiloidosis.

7. Pemeriksaan Fisik

23

Page 24: SLE Dan RA Jurnal

Pemeriksaan umum yang lengkap penting di lakukan. Disamping menilai adanya

sinovasi pada setiap sendi, perhatian juga hal –hal berikut ini :

Keadaan umum : komplikasi steroid, berat badan.

Tangan : meliputi vaskulitasi dan fungsi tangan.

Lengan : siku dan sendi bahu, nodul rematoid dan pembesaran kelenjar

limfe aksila.

Wajah : periksa mata untuk sindroma Sjorgen, skleritis, episkleritis,

skleromalasia perforans, katarak, anemia dan tanda – tanda

hiperviskositas pada fundus. Kelenjar parotis membesar (

sinroma Sjogren ).

Mulut : ( kering, karies dentis, ulkus ), suara serak, sendi

temporomandibula ( krepitus ). Catatan : artritis rematoid tidak

menyebabkan iritasi.

Leher : adanya tanda – tanda terkenanya tulang servikal.

Toraks : jantung ( adanya perikarditis, defek konduksi, inkompetensi

katup aorta dan mitral ). Paru – paru ( adanya efusi pleural,

fibrosis, nodul infark, sindroma Caplan ).

Abdomen : adanya splenomegali dan nyeri tekan apigastrik.

Panggul dan lutut : tungkai bawah – adanya ulkus, pembengkakan betis ( kista

Baker yang reptur ) neuropati, mononeuritis multipleks dan

tanda – tanda kompresi medulla spinalis.

Kaki : efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan medial dan kantong

suprapatelar mengakibatkan pembengkakan di atas dan sekitar

patela yang berbentuk seperti ladam kuda dan efusi sendi

pergelangan kaki akan terjadi pembengkakan pada sisi anterior

Urinalisis : untuk protein dan darah, serta pemeriksaan rektum untuk

menentukan adanya darah.

8. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menyokong diagnosa (ingat bahwa ini terutama merupakan diagnosa klinis)

24

Page 25: SLE Dan RA Jurnal

1. Tes erologik

a. Faktor rematoid – 70% pasien bersifat seronegatif.

Catatan: 100% dengan factor rematoid yang positif jika terdapat nodul

atasindroma Sjogren

b. Antibodi antinukleus (AAN)- hasil yang positif terdapat pada kira-kira 20 kasus

2. Foto sinar X pada sendi-sendi yang terkena. Perubahan-perubahan yang dapat di temukan

adalah:

a. Pembengkakan jaringan lunak

b. Penyempitan rongga sendi

c. Erosi sendi

d. Osteoporosis juksta artikule

3. Untuk menilai aktivitas penyakit:

a. Erosi progresif pada foto sinar X serial.

b. LED. Ingat bahwa diagnosis banding dari LED yang meningkat pada artritisreumatoid

meliputi :

- penyakit aktif

- amiloidosis

- infeksi

- sindroma Sjorgen ;

c. Anemia : berat ringannya anemia normakromik biasanya berkaitan

dengan aktifitas.

d. Titer factor rematoid : makin tinggi titernya makin mungkin terdapat kelainan

ekstra artikuler. Faktor ini terkait dengan aktifitas artritis.

9. Terapi

Prinsip utama pengobatan penyaki artritis adalah dengan mengistirahatkan sendi yang

terserang, karena jika sendi yang terserang terus digunakan akan memperparah peradangan.

Dengan mengistirahatkan sendi secara rutin dapat mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan.

Pembidaian bisa digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau beberapa sendi,

tetapi untuk mencegah kekakuan dapat dilakukan beberapa gerakan yang sistematis.

Obat-obatan yang dipakai untuk mengobati penyakit ini adalah:

1.Obat anti peradangan non steroid, yang paling sering digunakan adalah aspirin dan

ibuprofen. Obat ini mengurangi pembengkakan sendi dan mengurangi nyeri.

25

Page 26: SLE Dan RA Jurnal

2.Obat slow-acting, obat ini ditambahkan jika terbukti obat anti peradangan non

steroid tidak efektif setelah diberikan selama 2-3 bulan atau diberikan segera apabila

penyakitnya berkembang cepat.

Yang sekarang digunakan adalah

(a) Senyawa emas, yang berfungsi memperlambat terjadinya kelainan bentuk tulang.

Diberikan sebagia suntikan mingguan. Jika obat ini terbukti efektif, dosis

dikurangi.

(b) Penisilamin, efeknya menyerupai senyawa emas dan bisa digunakan bila

senyawa emas tidak efektif dan menyebabkan efek samping yang tidak dapat

ditoleransi. Dosis dinaikan secara bertahap hingga terjadi perbaikan. Penisilamin

yang biasa dipakai antara lain hydroxycloroquinine dan sulfasalazine.

3.Kortikosteroid, misalnya prednison merupakan obat paling efektif untuk mengurangi

peradangan dibagian tubuh manapun. Kortikosteroid efektif digunakan pada

pemakaian jangka pendek, dan kurang efektif bila dipakai dalam jangka panjang. Obat

ini tidak memperlambat perjalanan penyakit ini dan pemakaian jangka panjang

mengakibatkan berbagai efek samping, yang melibatkan hampir setiap organ. Untuk

mengurangi resiko terjadinya efek samping, maka hampir selalu digunakan dosis

efektif terendah. Obat ini disuntikan langsung ke dalam sendi, tetapi dapat

menyebabkan kerusakan jangka panjang, terutama jika sendi yang terkena digunakan

secara berlebihan sehingga mempercepat terjadinya kerusakan sendi.

4.Obat imunosupresif (contohnya metotreksat, azatioprin, dan cyclophosphamide)

efektif untuk mengatasi artritis yang berat. Obat ini menekan peradangan sehingga

pemakaian kortikosteroid bisa dihindari atau diberikan dengan dosis rendah.

10. Penatalaksanaan

Tujuan dari penatalaksanaan termasuk penyuluhan, keseimbangan antara istirahat dan

latihan, dan rujukan lembaga di komunitas untuk mendapatkan dukungan.

AR dini : penatalaksanaan pengobatan termasuk dosis terapeutik salisilat

atau obat – obat antiinflamasi nonsteroid ( NSAIDS );

antimalaria emas, pensilamin,atau sulfasalazin, methotreksat;

analgetik selama periode nyeri hebat.

AR sedang , erosit : program formal terapi okupasi dan terapi fisik.

AR persisten, erisif : pembedahan rekonstruksi dan kortikosteroid.

26

Page 27: SLE Dan RA Jurnal

AR tahap lanjut yang tak pulih : preparat immunosupresif, seperti metotreksat,

siklosfosfamid, dan azatioprin.

Pasien AR sering mengalami anoreksia, penurunan berat badan, dan anemia, sehingga

membutuhkan pengkajian riwayat diit yang sangat cermat untuk mengidntifikasi kebiasaan

makan dan makanan yang disukai. ( kortikosteroid dapat menstimulasi napsu makan dan

menyebabkan penambahan berat badan ).

Penatalaksanaan artritis reumatoid didasarkan pada pengertian patofisiologis penyakit

ini. Selain itu perhatian juga ditujukan terhadap manifestasi psikofisiologis dan kekacauan

psikososial yang menyertainya yang disebabkan oleh perjalana penyakit yang fluktuatif dan

kronik. Untuk memuat diagnostik yang akurat dapat memakan waktu sampai bertahun-tahun,

tetapi pengobatan dapat dimulai secara lebih dini.

Tujuan utama dari program pengobatan adalah sebagai berikut:

1. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.

2. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari pasien.

3. Untuk mencegah dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi.

Ada sejumlah cara penatalaksanaan yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan-

tujuan ini: pendidikan, istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi dan obat-obatan.

Langkah pertama dari program penatalaksanaan ini adalah memberikan pendidikan

yang cukup tentang penyakit kepada pasien, keluarganya, dan siapa saja yang berhubungan

dengan pasien. Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian tentang patofisiologis,

penyebab, dan prognosis penyakit ini, semua komponen program penatalaksanaan termasuk

regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini, dan

metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses

pendidikan ini harus dilakukan secara terus-menerus. Bantuan dapat diperoleh melalui club

penderita, badan-badan kemasyarakatan, dan dari orang-orang lain yang juga penderita artritis

reumatoid, serta keluarga mereka.

Istirahat penting karena artritis reumatoid biasanya disertai rasa lelah yang hebat.

Walaupun rasa lelah itu bisa timbul setiap hari, tetapi ada masa-masa ketika pasiem merasa

lebih baik atau lebih berat. Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat apabila

beristirahat, hal ini berarti bahwa pasien dapat mudah terbangun dari tidurnya pada malam

hari karena nyeri.

Latihan-latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi.

Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya dua

kali sehari. Kompres panas pada sendi-sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat

27

Page 28: SLE Dan RA Jurnal

mengurangi nyeri. Mandi parafin dengan suhu yang bisa diatur dan mandi dengan suhu panas

dan dingin dapat dilakukan di rumah.

Alat-alat pembantu dan adaktif mungkin diperlukan untuk melakukan aktivitas

kehidupan sehari-hari.

11. Komplikasi

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik

yang merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau

obat pengubah perjalanan penyakit ( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang

menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid.

Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan

antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati

akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.

12. Diet

Penatalaksanaan diet untuk Reumatoid yaitu :

Diet khusus : Tim Cakar Ayam

Untuk diet keseluruhan dapat dilihat sebagai berikut :

1. Asupan protein : 0,8 g/kg BB/hari

2. Asupan buah dan sayuran > dari 5x sajian per hari

3. Diet rendah lemak : < 5 % (asam lemak omega 6) dan > 10 % ( asam lemak omega

9)

4. Meningkatkan asupan asam lemak omega 3

5. Cukup vitamin B6 dan C

6. Suplemen multivitamin dan mineral jika asupan tidak mencukupi

7. Suplemen Fe jika pasien anemia

8. Pasien dengan kortikosteroid perlu diberikan makanan tinggi kalsium dan kalium

9. Makanan diberikan dalam porsi kecil tapi sering dan batasi minyak serta gula.

13. Prognosis

Perjalanan penyakit artritis reumatoid sangat bervariasi, bergantung pada ketaatan

pasien untuk berobat dalam jangka waktu lama. Sekitar 50 – 70% pasien artritis reumatoid

akan mengalami prognosis yang lebih buruk. Golongan ini umumya meninggi 10 – 15 tahun

28

Page 29: SLE Dan RA Jurnal

lebih cepat dari pada orang tanpa arthritis rheumatoid. Penyebab kematiannya adalah infeksi,

penyakit jantung, gagal pernapasan, gagal ginjal, dan penyakit saluran cerna. Umumnya

mereka memiliki keadaan umum yang buruk, lebih dari 30 buah sendi yang mengalami

peradangan, dengan manifestasi ekstraartikuler, dan tingkat pendidikan yang rendah.

Golongan ini memerlukan terapi secara agresif dan dini karena kerusakan tulang yang luas

dapat terjadi dalam 2 tahun pertama.

29