slope stability (romana,bieniawski)
DESCRIPTION
SlopeTRANSCRIPT
3. DASAR TEORI
3.1 Analisis Kestabilan Lereng
Lereng merupakan permukaan tanah (material) terbuka yang membentuk sudut tertentu
dengan bidang datar (horizontal). Lereng dapat terjadi secara alamiah atau buatan yang
direkayasa oleh manusia. Lereng alamiah seperti bukit dan tebingmsungai. Lereng
buatan seperti galian, timbunan untuk membuat jalan raya, urugan bendungan, tanggul,
dan lereng-lereng penambangan. Longsoran merupakan keruntuhan dari massa tanah
(material) yang berada di bagian bawah lereng dan menunjukkan adanya ketidakstabilan
dalam lereng. Dalam peristiwa tersebut, terjadi pergerakan massa tanah dari arah bawah
ke arah luar. Longsoran dapat terjadi dengan berbagai cara, secara perlahan-lahan,
mendadak, dan dengan ataupun tanpa provokasi yang terlihat. Analisis dan perhitungan
kestabilan bukan merupakan hal mudah karena adanya ketidaksamaan yang terdeteksi
dalam tanah, rembesan dan pemilihan bentuk bidang runtuh. (Terzaghi dan Peck, 1993).
Analisis kestabilan lereng melibatkan perbandingan gaya-gaya penahan dalam lereng
seperti gaya gesek material dan gaya-gaya penggerak massa material longsoran yang
tersedia seperti gaya hidrostatik dari permukaan phreatik air dalam rekahan tarik.
Metode kesetimbangan batas dapat menghitung satu atau lebih kesetimbangan
persamaan, antara lain kesetimbangan gaya pada arah horizontal, kesetimbagan gaya
pada arah vertikal, dan kesetimbangan momen. Ketersediaan teknologi dan kecepatan
komputer telah membuat penggunaan metode-metode tersebut memudahkan
perhitungan persamaan-persamaan kesetimbangan yang terjadi dalam massa material
longsoran, sehingga proses rekayasa (engineering) geometri lereng dapat dikerjakan
secara mudah dan cepat dengan bantuan program komputer.
3.2 Tujuan Perhitungan Kestabilan Lereng
Dalam praktek, tujuan perhitungan kestabilan lereng sebagai berikut:
1. Merupakan dasar rancangan ulang lereng setelah mengalami longsoran.
2. Memperkirakan kestabilan lereng selama proses konstruksi geometri dan untuk
jangka waktu yang panjang.
3. Mencari rancangan yang aman dan murah sesuai dengan spesifikasi persyaratan
keamanan sebelum pelaksanaan pembangunan geometri dilakukan.
4. Mempelajari kemungkinan terjadinya longsoran (baik pada lereng alamiah atau
lereng buatan).
5. Mempelajari pengaruh tekanan pori air berupa permukaan phreatik air tanah dalam
lereng. (Abramson, 1996; Terzaghi dan Peck, 1993).
3.3 Faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng
Dalam analisis kestabilan lereng yang baik, dibutuhkan representasi konfigurasi dari
lereng, berupa faktor-faktor yang akan mempengaruhi kestabilan lereng, faktor-faktor
tersebut adalah :
1. Proses-proses yang menyebabkan naiknya tegangan geser, antara lain: erosi,
penggalian, pemindahan dinding penahan, penambahan beban akibat air hujan,
penambahan beban akibat adanya bangunan atau kendaraan di puncak lereng,
penambahan tekanan lateral akibat adanya air dalam rekahan tarik atau akibat
pengembangan lempung.
2. Kondisi-kondisi yang menyebabkan turunnya kekuatan geser, antara lain: bidang
perlapisan, pelapukan, kenaikan tekanan pori air, beban atau guncangan berulang
(gempa), hilangnya sementasi tanah (material), pengaruh pembekuan dan pencairan.
3.4 Analisis Kinematik Untuk Evaluasi Kestabilan Lereng
Analisis kinematik adalah analisis pergerakan benda tanpa mempertimbangkan gaya-
gaya yang menyebabkannya. Pertimbangan utama dalam analisis ini yaitu kemungkinan
terjadinya keruntuhan translasional yang disebabkan oleh adanya formasi bidang planar
atau baji. Metode ini hanya berdasarkan pada evaluasi detail mengenai struktur massa
batuan dan geometri dari bidang-bidang lemah yang dapat memberikan kontribusi
terhadap ketidakstabilan lereng. Analisis kinematik dapat dilakukan menggunakan
stereonet plot manual atau dengan program komputer.
Hal penting yang harus diperhatikan yaitu analisis kinematik hanya mempertimbangkan
kemungkinan terjadinya longsoran yang disebabkan oleh sebuah bidang lemah saja atau
perpotongan dari beberapa bidang lemah. Analisis tipe ini tidak mempertimbangkan
keruntuhan yang melibatkan multiple joints atau joint sets serta terjadinya deformasi
dan rekahan pada blok batuan. Ada beberapa jenis longsoran yang umum dijumpai pada
massa batuan di tambang terbuka, yaitu :
Longsoran Bidang (Plane Failure)
Longsoran Baji (Wedge Failure)
Longsoran Guling (Toppling Failure)
Longsoran Busur (Circular Failure)
3.4.1 Analisis Kinematik dari Kelongsoran Baji (Wedge Failure)
Longsoran baji terjadi bila terdapat dua bidang lemah atau lebih berpotongan
sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng (Gambar 3.1). Longsoran
baji ini dapat dibedakan menjadi dua tipe longsoran yaitu longsoran tunggal (single
sliding) dan longsoran ganda (double sliding). Untuk longsoran tunggal, luncuran
terjadi pada salah satu bidang, sedangkan untuk longsoran ganda luncuran terjadi pada
perpotongan kedua bidang. Longsoran baji tersebut akan terjadi bila memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. Kemiringan lereng lebih besar daripada kemiringan garis potong kedua bidang lemah
(ψfi > ψi).
b. Sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser dalamnya
(ψfi > φ).
Gambar 3.1 Longsoran dengan bidang runtuhan baji (Wedge Failure)
3.4.2 Analisis Kinematik dari Kelongsoran Bidang (Plane Failure)
Longsoran jenis ini (Gambar 3.2) akan terjadi jika kondisi di bawah ini terpenuhi :
a. Jurus (strike) bidang luncur mendekati pararel terhadap jurus bidang permukaan
lereng (perbedaan maksimum 200).
b. Kemiringan bidang luncur (ψp) harus lebih kecil daripada kemiringan bidang
permukaan lereng (ψf).
c. Kemiringan bidang luncur (ψp) lebih besar daripada sudut geser dalam (φ).
d. Terdapat bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan atau tanah
yang longsor.
Gambar 3.2 Longsoran dengan bidang runtuhan bidang (Plane Failure)
3.4.3 Analisis Kinematik dari kelongsoran Guling (Toppling Failure)
Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada batuan yang keras
di mana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom (Gambar 3.3). Longsoran jenis ini
terjadi apabila bidang-bidang lemah yang ada berlawanan dengan kemiringan lereng.
Longsoran guling pada blok fleksibel terjadi jika :
a. β > 900 + φ– α, di mana β = kemiringan bidang lemah, φ= sudut geser dalam
dan α = kemiringan lereng.
b. Perbedaan maksimal jurus (strike) dari kekar (joint) dengan jurus lereng (slope)
adalah 300.
Gambar 3.3 Longsoran dengan bidang runtuhan guling
(Toppling Failure)
Kondisi untuk menggelinciratau mengguling ditentukan oleh sudut geser dalam dan
kemiringan sudut bidang gelincirnya, suatu balik dengan tinggi h dan lebar dasar balok
b terletak pada bidang miring dengan sudut kemiringan sebesar δ yang disajikan
dibawah ini (dalam dua dimensi). Dari gambar tersebut terdapat empat daerah kondisi
yaitu :
Jika δ < ϕ dan b/h > tan δ , balok tetap stabil
Jika δ > ϕ dan b/h > tan δ , balok akan menggelincir
Jika δ > ϕ dan b/h < tan δ , Balok akan menggelincir dan mengguling
Jika δ < ϕ dan b/h < tan δ , balok akan langsung mengguling
3.4.4 Analisis Kinematik dari Kelongsoran Busur (Circular Failure)
Longsoran busur umumnya terjadi pada material yang bersifat lepas (loose material)
seperti material tanah. Sesuai dengan namanya, bidang longsorannya berbentuk busur
(Gambar 3.4). Batuan hancur yang terdapat pada suatu daerah penimbunan dengan
dimensi besar akan cenderung longsor dalam bentuk busur lingkaran (Hoek & Bray,
1981). Pada longsoran busur yang terjadi pada daerah timbunan, biasanya faktor
struktur geologi tidak terlalu berpengaruh pada kestabilan lereng timbunan. Pada
umumnya, kestabilan lereng timbunan bergantung pada karakteristik material, dimensi
lereng serta kondisi air tanah yang ada serta faktor luar yang mempengaruhi kestabilan
lereng pada lereng timbunan.
Gambar 3.4 Longsoran dengan bidang runtuhan busur (Circular Failure)
3.4.5 Prinsip Dasar Analisis Kinematik
Analisis kinematik merupakan metode yang digunakan pada tahap awal dalam
melakukan analisis kemantapan lereng sebelum melangkah ketahap perhitungan faktor
keamanan. Dengan melakukan analisis ini dapat diketahui jumlah bidang, jenis dan arah
longsoran yang mungkin terjadi (Sugiyanto, 2000).
Metode analisis stereografis (stereonet) hanya dipakai untuk batuan yang mempunyai
bidang lemah atau bidang diskontinuitas seperti perlapisan, kekar, sesar, foliasi dan
sebagainya. Hasil yang diperoleh berupa dugaan jenis longsoran atau dengan kata lain
mengetahui arah gaya – gaya yang bekerja serta arah luncuran. Sedangkan besarnya
gaya tidak dapat diketahui. Evaluasi kemantapan lereng menggunakan proyeksi
stereografis memiliki tiga hal utama yaitu (Sugiyanto, 2000) :
1. Memplot sudut lereng
2. Memplot sudut geser dalam
3. Memplot orientasi bidang-bidang lemah
Salah satu hal penting dalam analisis kemantapan lereng batuan adalah pengumpulan
data geologi dan bagaimana cara penyajian data tersebut, sehungga dengan mudah dapat
dilakukan analisis dan evaluasi (Sudarsono, 1991 dalam Sugiyanto, 2000). Apabila
suatu lereng dibentuk oleh batuan yang memiliki bidang diskontinuitas, maka data –
data yang dibutuhkan dalam analisis grafis adalah sebagai berikut :
Geometri lereng (jurus dan kemiringan lereng, tinggi lereng serta arah kemiringan
lereng)
Struktur batuan (kekar, sesar, perlapisan, foliasi dan sebagainya)
Sudut geser dalam
Selanjutnya data – data yang telah diperoleh diproses dengan proyeksi stereografis sama
luas atau sering disebut sebagai jaring – jaring Lambert atau jaring – jaring Schimdt.
Langkah – langkah pengerjaan dalam analisis ini adalah sebagai berikut :
1. Pengeplotan dan penggambaran struktur bidang
Untuk penggambaran struktur bidang diperlukan data arah dan kemiringan bidang –
bidang diskontinuitas. Cara penggambaran struktur bidang tersebut diambil rata – rata
nilai arah dan kemiringan bidang diskontinuitas.
Gambar 3.5 Bidang dan kutub pada penggambaran struktur bidang
2. Arah dan penunjaman perpotongan dua bidang
Penggambaran pada tahap ini dilakukan dengan langkah yang sama seperti pada
langkah sebelumnya.
Gambar 3.6 Arah perpotongan dua bidang
3. Sudut perpotongan dua bidang
Penggambaran dua bidang pada data – data yang ada dilakukan dengan langkah yang
sama seperti pada langkah sebelumnya, sehingga diperoleh kutub kedua bidang.
Gambar 3.7 Sudut perpotongan dua bidang
4. Penggambaran sudut geser dalam
Sudut geser dalam digambarkan sebagai sebuah lingkaran pada jarring Schmidt dengan
pusatnya berhimpit dengan pusat jarring. Besar sudut tersebut diukur dari luar jarring
kearah pusat jaring sesuai dengan besarnya sudut geser dalam.
Gambar 3.8 Penggambaran sudut geser dalam
Bila pada suatu tubuh batuan dijupai bidang – bidang diskontinuitas dan setelah
dilakukan pengambilan data serta ploting atau penggambaran pada jaring – jaring
Schmidt, maka tubuh batuan dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
Gambar 3.9 Pola utama longsoran ditunjukan dengan proyeksi stereografis
Jika hasil pengeplotan bidang – bidang diskontinuitas tidak menunjukan adanya
konsentrasi kutub seperti pada gambar 3.9 gambar a, maka dapat diinterpretasikan tubuh
batuan sudah hancur atau sudah lapuk bahkan merupakan tanah. Sehingga kemungkinan
longsoran yang ada adalah longsoran busur (circular). Tetapi bila hasil pengeplotan
menunjukan adanya konsentrasi kutub yang arahnya searah dengan kemiringan lereng
seperti pada gambar 3.9 gambar b, maka kemungkinan longsoran yang terjadi adalah
longsoran bidang (planar).
Gambar 3.10 Syarat terjadinya longsoran bidang
Apabila hasil pengeplotan bidang menunjukan dua konsentrasi kutub yang arahnya
searah dengan kemiringn lereng seperti pada gambar 3.9 gambar c, maka jenis
longsoran yang terjadi adalah longsoran baji (wedge).
Gambar 3.11 Syarat terjadinya longsoran baji
Apabila terdapat konsentrasi kutub yang menunjukan bahwa di tubuh batuan tersebut
terdapat bidang diskontinuitas tegak/hampir tegak dan mempunyai arah berlawanan
dengan kemiringan lereng, maka longsoran yang kemungkinan terjadi adalah longsoran
guling (toppling).
3.5 Klasifikasi Massa Batuan untuk Evaluasi Kestabilan Lereng
Klasifikasi massa batuan digunakan sebagai alat dalam menganalisis kemantapan lereng
yang menghubungkan antara pengalaman di bidang massa batuan dengan kebutuhan
pemantapan di berbagai kondisi lapangan yang dibutuhkan. Namun demikian,
penggunaan klasifikasi massa batuan tidak digunakan sebagai pengganti perancangan
rinci. Pada dasarnya pembuatan klasifikasi massa batuan bertujuan (Bieniawski, 1989) :
Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi perilaku massa
batuan.
Membagi formasi massa batuan kedalam grup yang mempunyai perilaku sama
menjadi kelas massa batuan.
Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas massa
batuan.
Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi dengan lokasi
lainnya.
Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa (engineering)
Memberikan dasar umum untuk kemudahan komunikasi diantara para insinyur dan
geologiwan.
Agar dapat dipergunakan dengan baik dan cepat maka klasifikasi massa batuan harus
mempunyai beberapa sifat seperti berikut (Bieniawski, 1989) :
Sederhana, mudah diingat dan dimengerti.
Sifat-sifat massa batuan yang penting harus disertakan
Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah
Pembobotan dilakukan secara relatif
Menyediakan data-data kuantitatif
Dengan menggunakan klasifikasi massa batuan akan diperoleh paling tidak tiga
keuntungan bagi perancangan kemantapan lereng yaitu (Bieniawski, 1989) :
Meningkatkan kualitas hasil penyelidikan lapangan dengan data masukan minimum
sebagai parameter klasifikasi.
Memberikan informasi/data kuantitatif untuk tujuan rancangan
Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi lebih efektif pada suatu proyek.
3.5.1 Karakteristik Massa Batuan (Rock Mass Properties)
Bieniawski (1989) batuan selaku material penyusun lahan dalam geoteknik, khususnya
dalam mekanika batuan dianggap sebagai satu kesatuan massa. Oleh karena itu sifatnya
dianggap sebagai sifat massa. Sifat massa ini berfungsi dan bekerja menyangga beban-
beban yang terdapat di atasnya dan di dalamnya. Sehingga dalam desain dan pembuatan
konstruksi harus memperhatikan kekuatan dan pola dikontinuitas pada massa batuan.
Hudson dan Harrison (1997) batuan sebagai material digunakan untuk membangun
struktur, atau suatu struktur dibangun di atas atau dalam batuan (massa batuan). Wyllie
dan Mah (2004) massa batuan merupakan material-material batuan yang mengalami
proses kerusakan (failure) yang kompleks. West (2010) sifat massa batuan meliputi
semua karakteristik suatu massa batuan yang berhubungan dengan rekayasa konstruksi.
Sehingga menurut Hoek (2006) estimasi kekuatan dan deformasi massa batuan
dibutuhkan untuk estimasi dukungan (support) dan berbagai analisis seperti desain
lereng, fondasi dan penggalian bawah permukaan, West (2010) pekerjaan rekayasa
pemotongan jalan dan bendungan. Palmstrom (1995) struktur massa batuan yang rumit
dengan kekurangannya aplikasinya yang luas menyebabkan permasalahan dalam
rekayasa batuan dan konstruksi. West (2010) sifat fisik batuan menentukan sifatnya
sebagai material konstruksi dan sebagai struktur fondasi, sehingga kelas dan
pengukurannya dapat berupa sifat material yang diukur menggunakan percontoh kecil di
laboratorium, dan sebagai sifat massa batuan yang membutuhkan skala besar massa
batuan untuk menentukan keseluruhan sifatnya. Tipikal sifat massa batuan adalah
dikontrol oleh bidang-bidang lemah pada batuan daripada sifat padu materialnya.
Sehingga menurut Goodman (1989) batuan menjadi tidak ideal dalam sejumlah hal, dan
batuan jarang benar-benar kontinyu, karena pori-pori atau celah biasanya hadir, seperti
microfissure merupakan retakan planar kecil terjadi dalam batuan padu dan fissure
sebagai retakan yang lebih luas. Secara ideal massa batuan tersusun oleh sistem blok
batuan dan fragmen-fragmen yang terpisahkan oleh diskontinuitas membentuk material
dimana semua elemen saling bergantung sebagai suatu satuan (Matula dan Holer, 1978
dalam Palmstrom, 1995). Material tersebut dikarakteristiki oleh bentuk dan dimensi
blok batuan dan fragmen-fragmen, oleh pengaturan bersama dalam massa batuan, serta
oleh karakter kekar seperti kondisi bidang kekar dan pengisinya (Palmstrom, 1995).
Gambar 3.13 di bawah ini menggambarkan skematika komponen-komponen yang
membangun massa batuan di alam, yaitu terdiri dari material batuan berikut keberadaan
diskontinuitas di dalamnya.
Gambar 3.12 Skematik penyusun massa batuan terdiri dari material batuan beserta
diskontinuitas di dalamnya (Palmstrom, 1995).
3.5.2 Geological Strength Index (GSI)
Geological Strength Index (GSI), diperkenalkan oleh Hoek (1994), Hoek et al. (1995)
dan Hoek dan Brown (1998). Klasifikasi sisitem ini dapat memperkirakan reduksi
kekuatan massa batuan untuk setiap perbedaan kondisi geologi berdasarkan hasil
observasi langsung di lapangan. Karakteristik massa batuan dapat digambarkan
berdasarkan kenampakan langsung struktur pada batuan, dalam jarak dan spasi antar
bidang ketidakmenerusan (Discontinuitas) dan kondisi permukaan dari bidang
ketidakmenerusan (Discontinuitas) ditunjukkan oleh tingkat kekasaran dan alterasi.
Gabungan dari kedua parameter tersebut dapat menggambarkan secara praktis berbagai
jenis dari tipe massa batuan. Dengan keberagaman struktur mulai dari batuan yang
sangat kompak sampai massa batuan dengan tipe hancuran. Berdasarkan uraian tentang
parameter GSI tadi, nilai dari GSI dapat ditentukan menggunakan gambar 3.13.
Gambar 3.13 Penentuan nilai Geological Strength Index (GSI)
3.5.3 Klasifikasi Sistem RMR (Geomechanics Classification System)
Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu metode klasifikasi massa batuan yang
dikenal dengan Geomechanics Classification atau Rock Mass Rating (RMR). Metode
rating dipergunakan pada klasifikasi ini. Besaran rating tersebut didasarkan pada
pengalaman Bieniawski dalam mengerjakan proyek-proyek terowongan dangkal.
Metode ini telah dikenal luas dan banyak diaplikasikan pada keadaan dan lokasi yang
berbeda-beda seperti tambang pada batuan kuat, terowongan, tambang batubara,
kestabilan lereng, dan kestabilan pondasi. Klasifikasi ini juga sudah dimodifikasi
beberapa kali sesuai dengan adanya data baru agar dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan dan sesuai dengan standar internasional. Sistem klasifikasi massa batuan
RMR menggunakan enam parameter berikut ini dimana rating setiap parameter
dijumlahkan untuk memperoleh nilai total dari RMR :
1. Kuat tekan batuan utuh (Strength of intact rock material)
2. Rock Quality Designation (RQD).
3. Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of discontinuities)
4. Kondisi kekar (Condition of discontinuities)
5. Kondisi air tanah (Groundwater conditions)
a) Kuat Tekan Uniaksial Batuan
Kuat tekan uniaksial batuan dapat diperoleh dari uji laboratorium yakni dengan
pengujian Uniaksial Compressive strength (UCS). Pengujian ini menggunakan mesin
tekan (compressin machine) untuk memecahkan batuan yang berbentuk silinder, balok
atau prisma dari satu arah (uniaksial) dengan luas perconto A dan panjang perconto l.
Pada pengujian ini gaya (kN) dan perpindahan (mm) menurut sumbu aksial dan lateral
direkam hingga batuan pecah. Hasil pengujian UCS dibuat kurva tegangan regangan
(Gambar 2.12). Dengan perolehan data sifat mekanik batuan seperti kuat tekan batuan
(c), modulus elastistas (E) dan Poisson Ratio (). Jika data kuat tekan hasil uji UCS
tidak diperoleh, maka dapat menggunakan kuat tekan batuan dengan uji “Point Load
Strenght Index”, dan jika kedua pengujian tersebut tidak ada maka dapat dilakukan
pendekatan “Standard Index Manual” sebagai dasar uji di lapangan (Tabel 3.1)
Tabel 3.1 Manual indeks Uniaxial Compressive Strenght (UCS)
Kode Diskripsi Uji LapanganUCS
(MPa)
Index Point Load
(MPa)
0 Sangat lemah Bisa ditekan dengan paku 0,25 – 1,0 -
1 Lemah
Hancur bila dipukul dengan
Palu/dapat digores dengan
pisau
5 – 25 -
2 Sedang
Tidak dapat digores dengan
pisau 25 – 50 <1
3 KuatDapat hancur dengan
Memukul lebih dari satu kali50 – 100 2 – 4
5 Sangat kuatDapat hancur dengan
Memukul berkali-kali100 – 250 4 – 10
6Sangat kuat
sekali
Sulit pecah dipukul dengan
palu>250 >10
Kemudian Deere (1970) membuat klasifikasi teknis batuan utuh untuk beberapa macam
batuan dalam menilai kuat tekan batuan, seperti yang terlihat pada tabel 3.2 .
Tabel 3.2 Klasifikasi teknis batuan utuh, Deere (1968)
Kekuatan Pemeraian UCS (MPa) Batuan
Sangat Lemah 1 - 25 Kalk, Batugaram
Lemah 25 - 50 Batubara, Batulanau, Sekis
Sedang 50 - 100 Batupasir, Sabak, Serpih
Kuat 100 - 200 Marmer, Granit, Genis
Sangat kuat >200 Kwarsit, Dolerit, Gabro, Basalt
b) Rock Quality Designation (RQD)
Pada perhitungan nilai RMR, parameter Rock Quality Designation (RQD) diberi bobot
berdasarkan nilai RQD-nya seperti tertera pada Tabel dibawah ini.
Tabel 3.3 Hubungan indeks RQD dengan kualitas batuan
RQD (%) Kualitas Batuan
< 25
25 – 50
50 – 75
75 – 90
90 – 100
Sangat jelek (very poor)
Jelek (poor)
Sedang (Fair)
Baik (Good)
Sangat baik (execellent)
Penentuan besarnya nilai RQD dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode langsung
dan metode tidak langsung, sebagai berikut :
1. Metode Langsung
Dalam menghitung nilai RQD, metode langsung digunakan apabila core logs tersedia.
Tata cara untuk menghitung RQD menurut Deere diilustrasikan pada Gambar 3.18.
Selama pengukuran panjang core pieces, pengukuran harus dilakukan sepanjang garis
tengahnya. Inti bor (core) yang pecah/retak akibat aktivitas pengeboran harus
digabungkan kembali dan dihitung sebagai satu bagian yang utuh. Ketika ada keraguan
apakah pecahan/retakan diakibatkan oleh ektivitas pengeboran atau terjadi secara alami,
pecahan itu bisa dimasukkan kedalam bagian yang terjadi secara alami.
Semua pecahan/retakan yang bukan terjadi secara alami tidak diperhitungkan pada
perhitungan panjang inti bor (core) untuk RQD (Deere, 1967). Berdasarkan pengalaman
Deere, semua ukuran inti bor (core) dan teknik pengeboran dapat digunakan dalam
perhitungan RQD selama tidak menyebabkan inti bor (core) pecah (Deere D. U. and
Deere D.W., 1988). Menurut Deere (1988), panjang total pengeboran (core run) yang
direkomendasikan adalah lebih kecil dari 1,5 m (Edelbro, 2003).
Call & Nicholas, Inc (CNI), konsultan geoteknik asal Amerika, mengembangkan
koreksi perhitungan RQD untuk panjang total pengeboran yang lebih dari 1,5 m. CNI
mengusulkan nialai RQD diperoleh dari persentase total panjang inti bor utuh yang
lebih dari 2 kali diameter inti (core) terhadap panjang total pengeboran (core run).
Metode pengukuran RQD menurut CNI diilustrasikan pada Gambar 3.14.
Gambar 3.14 Metode pengukuran RQD menurut Deere dan CNI
2. Metode Tidak Langsung
Dalam menghitung nilai RQD, metode tidak langsung digunakan apabila core logs tidak
tersedia. Beberapa metode perhitungan RQD metode tidak langsung :
Menurut Priest and Hudson (1976)
RQD = 100 e−0.1 λ (0.1 λ+1 ) ........................................................................................ (1)
dimana, λ = jumlah total kekar per meter.
Menurut Palmstrom (1982)
RQD = 115 – 3,3 Jv ................................................................................................... (2)
dimana, Jv = jumlah total kekar per meter3.
Hubungan antara RQD dan Jv dapat dilihat pada Gambar 3.15 di bawah ini.
Gambar 3.15 Hubungan RQD dan Jv (Palmstrom,1982)
c) Jarak Bidang Diskontinuitas
Bidang diskontinuitas adalah semua jenis bidang-bidang lemah yang mungkin berupa
kekar, sesar, bidang perlapisan dan perlipatan atau bidang-bidang lainya yang tidak
menerus dalam massa batuan.
Suatu rekahan atau kekar yang paralel disebut set, dan set-set yang saling berpotongan
disebut “joint set system”. Kemudian jarak tegak lurus antara dua kekar yang berurutan
sepanjang garis pengukuran (scan line) disebut dengan jarak bidang kekar (spacing of
diskontinuities). Untuk dapat mempermudah pengertian istilah-istilah tersebut dan cara
pengukuran jarak diskontuitas dapat dilihat pada Gambar 3.20 yang menunjukkan
1 32 4 5 6
A B
d12d23
d34d45
d56
kekar
AB = Scan line
(a)
idealisasi pengukuran jarak kekar secara normal. Dimana jarak masing-masing kekar
ditunjukkan dengan jarak d12, d23, d34 dan seterusnya, yang diukur pada scan line AB.
Gambar 3.16 (a) Jarak bidang kekar dan (b) Pengukuran jarak bidang kekar di
lapangan.
Sedangkan arah strike/dip kekar yang dijumpai di lapangan tidak semudah yang
ditunjukkan oleh gambar 3.16 (a), sehingga scan line AB tidak memungkin untuk
dibuat tegak lurus dengan bidang-bidang kekar, maka dilakukan pengukuran dan
pengamatan dengan membuat scan line AB secara sembarang (Gambar 2.15 b),
kemudian dihitung jarak kekar dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
d i+i+1=J i+i+1cos(θ i+θi+1)
2 ............................................................................... (3)
cos = cos(n-s) cos n cos s + sin n sin s ............................................... (4)
Dimana :
s = arah dip scan line
d = arah dip kekar
1
2
A B
d14
kekarAB = Scan line
(b)
J14
normal normal
1 4
3 4
2normal
5
6
7 8
s = dip garis scan line
d = dip kekar
n = 90 - d
d 180o maka n = d + 180
d > 180o maka n = d - 180
Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara diskontinuitas
terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki frekuensi kemunculan,
frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah jarak setiap unit berbanding terbalik
terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi dipetakan dari permukaan batuan dan core
bor, dan spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu untuk diskontinuitas yang miring
terhadap permukaan (Gambar ). Pengukuran spasi set kekar memberikan ukuran dan
bentuk blok. Hasilnya berupa model stabilitas dan kekuatan massa batuan (Wyllie dan
Mah, 2004).
S = Sapp x Sin θ ........................................................................................................ (5)
S = Panjang Scanline
Jumlah Diskontinuitas ........................................................................... (6)
Dimana :
S = Jarak antar diskontinuitas
Sapp = Spasi semu diskontinuitas
Gambar 3.17 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya (S) dalam
satu set diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004)
Panjang minimum “scan-line” untuk pengukuran jarak diskontinuitas adalah sekitar 50
kali jarak rata-rata diskontinuitas yang diukur. Sedangkan ISRM (1981) panjang ”scan
line” cukup sekitar 10 kali saja, tergantung kepada tujuan pengukuran. Jarak
diskontinuitas dan keterangannya menurut Attewell (1993) dan Deere (1968) dapat
dilihat pada tabel 3.4. dan tabel 3.5.
Jarak bidang diskontinuitas yang rapat dapat terdiri dari tiga atau lebih set yang saling
berpotongan membuat massa batuan menjadi blok-blok kecil, sehingga memperlemah
kekuatan batuan. Kondisi ini menjadi lebih buruk jika kekar mempunyai kuat geser
yang rendah maka blok batuan tersebut dapat jatuh.
Tabel 3.4. Klasifikasi jarak kekar menurut Attewell (1993).
Diskripsi Struktur Bidang Diskontinuitas Jarak (mm)
Sangat lebar
Lebar dan luas
Lebar sedang
Dekat
Sangat dekat
Sangat dekat sekali
Perlapisan sangat tebal
Perlapisan tebal
Perlapisan sedang
Perlapisan tipis
Perlapisan sangat tipisSangat berlapisPerlaisan tipis (Batuan Metamorf & Beku)Berfoliasi, belahan aliran perlapisan, dll
Perlapisan tipis (sedimen)Sangat berfoliasi, belahan aliranPerlapisan, dll (Batuan metamorf & Beku)
> 2000
600 – 2000
200 – 600
60 – 200
20 – 606 – 206 – 206 – 20
< 20< 6< 6
Tabel 3.5. Klasifikasi jarak kekar menurut Deere (1968).
Diskripsi Struktur Bidang Diskontinuitas Jarak (mm)
Sangat lebar
Lebar
Cukup dekat
Dekat
Sangat rapat
Padat
Masif
Blooky/seamy
Terpecah
Hancur dan tersebar
> 3000
1000 – 3000
300 – 1000
50 – 300
< 50
d) Panjang Bidang Diskontnuitas
Menurut Wyllie dan Mah (2004) panjang bidang diskontinuitas (persistence)
merupakan pengukuran panjang diskontinuitas atau luas diskontinuitas. Parameter ini
menetapkan ukuran blok dan panjang potensi permukaan gelincir. Giani (1992) panjang
bidang diskontinuitas (persistence) secara kasar dapat dikuantifikasi melalui observasi
panjang diskontinuitas pada permukaan batuan. Pahl (1981) dalam Wyllie dan Mah
(2004) membuat perhitungan panjang diskontinuitas, dengan asumsi panjang
merupakan distribusi
l = H' (1+m )
(1−m) .......................................................................................................... (7)
H’ = L1 L2
( L1cosψ+L2 sin ψ ) ............................................................................................ (8)
m = ( N t−N c )¿¿
............................................................................................................. (9)
Dengan l merupakan rata panjang persistence, L1 dan L2 ukuran panjang dan lebar
daerah yang dipetakan (Gambar 3.18), Nt dan Nc jumlah diskontinuitas pada area
pemetaan singkapan, N total diskontinuitas.
Gambar 3.18 Pengukuran spasi dan persistence diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004).
Keterangan : c kekar dalam area, t kekar memotong area, dip ψ , rata-rata spasi S
e) Kondisi Bidang Diskontnuitas
Kondisi bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kekasaran (roughness), regangan
(separation), pelapukan batuan samping dan material pengisi.
Kekasaran (Roughness)
Kekasaran merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk kekar yang
mengalami pergeseran atau yang terisi oleh material lain. Kekasaran yang saling
mengunci dan menempel akan mempertinggi kuat geser. Di lapangan penentuan
kekasaran dapat dilakukan dengan meraba permukaan kekar.
Stepped
Undulating
Planar
rough
smooth
slickensided
rough
smooth
slickensided
rough
smooth
slickensided
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan diskripsinya diberikan oleh ISRM
(1981). Panduan ini untuk panjang profil dalam 1 – 10 m dengan skala vertikal dan
horizontal sama (Gambar 3.19)
Dengan istilah diskripsi sebagai berikut.
Sangat kasar (very rough surfaces) ; terdapat banyak gelombang yang sangat
berdekatan pada permukaan kekar.
Kasar (rough surfaces) ; terdapat beberapa gelombang, kekasaran jelas terlihat dan
permukaan kekar terasa sangat abrasif.
Sedikit kasar (slightly rough surface) ; permukaan kekar dapat dibedakan dan
dirasakan antara yang relatif kasar dengan yang relatif halus.
Halus (smooth surfaces) ; permukaan kekar terasa halus ketika disentuh.
Polesan (slickensided surfaces) ; terlihat seperti dipoles (digosok).
Gambar 3.19 Profil Kekasaran dan Diskripsinya (ISRM, 1981)
Tertutup Separasi
Rengangan (Separation)
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh
daripengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan berdekatan dari
bidangdiskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air. Dimana kehadiran rongga
pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya hidraulic
conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku massa batuan.
Gambar 3.20 Ilustrasi Pengertian Separasi
Giani (1992) rongga dibedakan berdasarkan besarnya bukaan diskontinuitas, seperti
pada Gambar 3.20. Secara umum rongga-rongga massa batuan di bawah permukaan
adalah kecil, mungkin kurang dari setengah milimeter. Menurut Wyllie dan Mah (2004)
rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai kategori yang besar dan jika (< 0,1 mm)
dikategorikan sangat rapat. Secara lengkap pembangian kategori rongga dilakukan oleh
Barton (1973) lihat tabel 3.6 Giani (1992) asal mula terbentuknya rongga dapat
merupakan hasil shear displacement diskontinuitas dengan kekasaran dan gelombangan
cukup besar dari bukaan tarikan, pencucian (outwash), pelarutan dan dari tarikan
diskontinuitas vertikal oleh erosi lembah atau proses glasiasi.
Table 3.6 Deskripsi keadaan rongga pada permukaan diskontinuitas (Barton, 1973)Deskripsi Lebar Rongga
Tertutup Sangat Rapat < 0,1 mm
Rapat 0,1 – 0,25 mm
Sedikit Terbuka 0,25 – 0,5 mm
Celah (Gap) Terbuka 0,5 – 2,5 mm
Lebar Menengah 2,5 – 10 mm
Lebar > 10 mm
Terbuka Sangat Lebar 10 – 100 mm
Lebar Sekali 100 – 1000 mm
Besar > 1 m
Pelapukan Batuan Samping
Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan, disebabkan oleh
air, karbon dioksida dan oksigen (Giani, 1992), atau proses eksternal menyebabkan
hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi kondisi yang baru. Prosesnya melibatkan
agen-agen fisika, kimia, biologi (Bates, 1987), atau melalui proses mekanika dan
dipengaruhi oleh keadaan iklim (Giani, 1992). Wyllie dan Mah (2004) pelapukan
berbentuk desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi adalah hasil perubahan
lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan pemanasan. Sedangkan dekomposisi
menunjukkan perubahan batuan oleh agenagen kimia seperti proses oksidasi pada
batuan mengandung besi, hidrasi seperti perubahan feldspar menjadi kaolinit, dan
karbonisasi seperti pelarutan batugamping. Giani (1992) dampak pelapukan tidak hanya
terbatas di permukaan saja tetapi lebih dalam, umumnya pada kedalaman yang dangkal,
tergantung kehadiran saluran yang memungkinkan aliran air dan kontak dengan
atmosfer. Wyllie dan Mah (2004) berkurangnya kekuatan batuan oleh pelapukan akan
mengurangi kuat geser diskontinuitas. Sehingga pelapukan juga akan mengurangi kuat
geser massa batuan diakibatkan pengurangan kekuatan batuan padu. pelapukan
menghasilkan pengurangan kompetensi batuan dari sudut pandang engineering atau
mekanika batuan (Giani, 1992).
Seringkali massa batuan di sisi bidang diskontinuitas mengalami pelapukan dan kadang
teralterasi oleh proses hidrotermal. Derajat pelapukan batuan samping dapat ditentukan
sebagai berikut.
Tidak lapuk (unweathered / fresh) : tidak ada tanda-tanda pelapukan, batuannya
segar dan kristalnya tampak jelas, walaupun terdapat beberapa pada kekar ada
sedikit pelapukan.
Sedikit terlapukkan (slightly weathered) : pelapukan terdapat pada kekar-kekar
terbuka, tetapi pada batuan utuh pelapukan terjadi hanya sedikit saja, dan perubahan
warna pada kekar dapat mencapai jarak 10 mm.
Terlapukkan sedang (moderately weathered) : perubahan warna mencapai bagian
yang lebih luas, batuan tidak mudah lepas (kecuali pada batuan sedimen dengan
penyemenan yang jelek).
Sangat terlapukkan (highly weathered) : pelapukan mencapai semua bagian massa
batuan dan mudah pecah, tidak mengkilap, semua material lain kecuali kwarsa
sudah berubah warna, batuan mudah pecah (digali hanya dengan palu geologi).
Terlapukkan sempurna (completely weathered) : massa batuan secara keseluruhan
sudah berubah warna dan mengalami dekomposisi serta dalam keadaan rapuh,
hanya terlihat bekas struktur saja, kenampakan luar sudah seperti tanah (soil).
Material Pengisi
Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang memisahkan
dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani (1992) pengisi ini
biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe pengisi bisa berupa pasir,
lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun untuk mineral pengisi seperti kalsit,
kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika material
pengisi ini mempengaruhi kuat geser diskontinuitas. Lebih lanjut menurut Wyllie dan
Mah (2004) material pengisi dapat dipergunakan untuk memprediksi perilaku
diskontinuitas batuan. Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi
pada diskontinuitas, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memprediksi arah bukaan
rekahan dan kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar 3.21 (Pluijm dan
Marshak, 2004). Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan batuan menurut
Giani (1992) serta Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik diskontinuitas berikut
harus dicatat seperti : meneralogi, tingkatan dan ukuran partikel, kandungan air dan
permeabilitas, perpindahan geser sebelumnya (offset), kekasaran dinding, lebar, rekahan
dan hancuran dinding batuan dan rasio over-cosolidation.
Gambar 3.21 Tipe urat pengisi (Pluijm dan Marshak, 2004) : (a) blocky vein, (b) fibrous
vein, (c) dan (d) arah bukaan diskontinuitas sama dengan sumbu fiber
e) Kondisi Air tanah
Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran air tanah dalam
liter/menit per panjang 10 m penggalian. Tetapi di lapangan dipakai cara yang relatif
mudah yaitu dengan melihat dan meraba permukaan batuan lalu kondisi airtanahnya
dinyatakan dengan kondisi ; kering (dry), lembab (dam), basah (wet), menetes
(dripping) dan mengalir (flowing).
f) Orientasi Bidang Diskontinuitas
Orientasi bidang diskontinuitas digambarkan oleh jurus dan kemiringan. Jurus dicatat
dengan mengacu pada kutub utara megnet bumi, sedangkan kemiringan adalah sudut
yang dibentuk antara bidang horizontal dengan bidang kekar searah dengan bidang
kemiringan. Orientasi bidang diskontinuitas dalam terowongan dapat dikategorikan
dengan istilah menguntungkan dan tidak menguntungkan. Bidang kekar yang
menguntungkan dalam terowongan, jika jurus kekar relatif tegak lurus terhadap arah
sumbu aksis terowongan, sedangkan jika jurus kekar relatif sejajar terhadap arah sumbu
aksis terowongan maka kondisi ini dikatakan tidak menguntungkan.
Gambar 3.22 Sketsa orientasi bidang diskontinuitas
Gambar 3.23 Sketsa parameter-parameter untuk mendeskripsikan massa batuan
Tabel 3.7 Parameter klasifikasi dan pembobotan, Bieniawski (1973)
Parameter Selang Nilai
1
KuatTekanBatuanUtuh
PLI (MPa) > 10 4 - 10 2 – 4 1 - 2
Untuk nilai yang kecil di pakai hasil UCS
UCS(MPa) > 250 100 – 200 50 – 100 25 – 50 5-25 1-5 <1
Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0
2RQD (%) 90 – 100 75 – 90 50 – 75 25 - 50 25
Pembobotan 20 17 13 8 3
3Jarak Diskontinuitas > 2 m 0,6 – 2 m
200 - 600 mm
60 – 200 mm
< 60 mm
Pembobotan 20 15 10 8 5
4
KondisiDiskontinuitas
Permukaan sangat kasar,
tidak menerus,
tidak renggang, tidak lapuk
Agak kasar,
separasi < 1 mm,
agak lapuk
Agak kasar,
separasi < 1 mm, sangat lapuk
Slikensided/gouge < 5 mm, atau
separasi 1 – 5 mm, menerus
Gouge lunak > 5 mm, atau separasi >
5 mm, menerus
Pembobotan 30 25 20 10 0
5 Air
tan
ah
Aliran / 10 m
panjang tunnel
(L/min)
Tidak ada < 10 10 – 25 25 – 125 > 125
Tekanan pori dibagi tegangan
utama
0 < 0,1 0,1 – 0,2 0,2 – 0,5 > 0,5
Keadaan Umum Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
Pembobotan 15 10 7 4 0
Tabel 3.8 Klasifikasi kondisi diskontinuitas, Bieniawski (1973)
Panduan Klasifikasi Untuk Kondisi Diskontinuitas
Panjang Diskontinuitas < 1m 1 - 3 m 3 - 10 m 10 - 20 m > 20 m
Bobot6 4 2 1 0
Lebar BukaanTidak Ada < 0.1 mm 0.1 – 1 mm 1 - 5 mm > 5 mm
Bobot6 5 4 1 0
KekasaranSangat Kasar Kasar Halus
Sangat Halus
Gores Garis
Bobot6 5 3 1 0
Material Pengisi Tidak Ada
Isian Keras < 5 mm
Isian Keras > 5 mm
Isian Lunak < 5
mm
Isian Lunak > 5
mmBobot
6 4 2 2 0Pelapukan
Tidak Lapuk Sedikit LapukLapuk Sedang
Sangat lapuk
Telah Berubah
Bobot6 5 3 1 0
Tabel 3.9 Efek jurus/kemiringan diskontinuitas di dalam Terowongan
Arah jurus tegak lurus sumbu terowongan Arah jurus sejajar sumbu terowongan
MengabaikanJurusMaju Searah Kemiringan
Maju Melawan Kemiringan
Dip45o – 90o
Dip20o – 45o
Dip45o – 90o
Dip20o – 45o
Dip45o – 90o
Dip20o – 45o
Dip0o – 20o
Sangat Mengun-tungkan
Mengun- tungkan
SedangTidak
Mengun- tungkan
Sangat tidak Mengun-tungkan
Sedang Sedang
Tabel 3.10 Penyesuaian bobot dan orientasi bidang diskontinuitas, Bieniawski
(1973)
Jurus dan KemiringanOrientasi Diskontinuitas
SangatMengun-tugkan
Mengun-tungkan
SedangTidak
Mengun tungkanSangat tidak
Menguntungkan
Pembobotan
Terowongan 0 -2 -5 -10 -12
Pondasi 0 -2 -7 -15 -25
Lereng 0 -5 -25 -50 -60
Tabel 3.11 Deskripsi kelas massa batuan, Bieniawski (1973)
Pembobotan 100 – 81 80 – 61 60 – 41 40 - 21 < 20
No. Kelas I II III IV V
DiskripsiSangat
baikBaik Sedang Jelek Sangat Jelek
Tabel 3.12 Arti kelas massa batuan
No. Kelas I II III IV V
Stand-up timeRata-rata
20 Tahun untuk span
15 m
6 Bulan untuk span
8 m
1 Minggu untuk span
5 m
10 jam untuk span
2,5 m
30 Menit untuk span 1 m
Kohesi Massa Batuan (Kpa)
> 400 300 – 400 200 – 300 100 – 200 < 100
Sudut Geser Dalam Massa Batuan (derajat)
> 45 35 – 45 25 – 35 15 – 25 < 15
3.5.3 Klasifikasi Slope Mass Rating (SMR)
Beberapa ahli mengembangkan beberapa pendekatan yang lebih sistematis untuk
analisis kestabilan lereng dengan membuat klasifikasi lereng dengan cara menggunakan
pendekatan Slope Mass Rating (SMR). SMR dapat memberikan panduan awal dalam
analisis kestabilan lereng, memberikan informasi yang berguna tentang tipe keruntuhan
serta hal-hal yang diperlukan untuk perbaikan lereng. Slope Mass Rating merupakan
modifikasi dari sistem Rock Mass Rating (RMR) yang dikembangkan oleh Bieniawski.
Slope Mass Rating dihasilkan dengan melakukan beberapa faktor koreksi terhadap nilai
yang diperoleh dengan Rock Mass Rating. Nilai SMR dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut yaitu :
SMR = RMRbasic + (F1 x F2 x F3) + F4 ................................................................. (10)
Faktor-faktor koreksi (F1, F2 dan F3) adalah faktor koreksi terhadap orientasi kekar
(joint) serta F4 adalah faktor koreksi terhadap metode penggalian lereng. Faktor-faktor
koreksi untuk kekar (joint) seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.13 berikut, adalah
merupakan perkalian dari tiga faktor sebagai berikut :
• F1, nilainya tergantung pada arah jurus kekar terhadap permukaan lereng.
• F2, nilainya mengacu pada sudut kemiringan kekar.
• F3, nilainya menggambarkan hubungan antara permukaan lereng dengan kemiringan
kekar seperti yang dikembangkan oleh Bieniawski (1976).
Tabel 3.13 Pembobotan F1, F2 dan F3 SMR, Romana (1985)
Kasus Keruntuhan Lereng Sangat
Menguntu
ngkan
Menguntungkan Sedang Tak
Menguntungkan
Sangat Tak
Menguntungkan
P |αj−αs|> 300 300 – 200 200 - 100 100 - 50 < 50
T |αj−αs−180|
W |αi−αs|
P/W/T F1 0.15 0.4 0.7 0.85 1.0
P |βj|< 200 200 - 300 300 - 350 350 - 450 > 450
W |βi|
P/W F2 0.15 0.4 0.7 0.85 1.0
T F2 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
P |βj−βs|> 100 100 - 00 00 00 – (-100) < -100
W |βi−βs|T |βj+βs| < 1100 1100 - 1200 > 1200
P/W/T F3 0 -6 -25 -50 -60
Keterangan :αj = Dip direction Kekar βj = Dip Kekar P = Longsoran Bidangαs = Dip direction Lereng βs = Dip Lereng W = Longsoran Bajiαi = Arah Perpotongan Longsoran Baji βi = Dip Baji T = Longsoran Guling
Tabel 3.14 Pembobotan metode penggalian SMR, Romana (1985)
Metode Lereng Alami Peledakan Prespliting
Peledakan Smooth
Peledakan atau
Mekanisasi
Peledakan Buruk
F4 +15 +10 +8 0 -8
Tabel 3.15 Deskripsi Kelas SMR, Romana (1985)
Profil Massa Batuan
Deskripsi
No Kelas V IV III II I
Nilai SMR 0 – 20 21- 40 41 - 60 61 - 80 81 - 100
Deskripsi Massa Batuan
Sangat Buruk
Buruk Normal Baik Sangat Baik
Stabilitas
Sangat Tidak Stabil
Tidak Stabil
Setengah Stabil
Stabil Sangat Stabil
Kelongsoran
Bidang Besar Atau
Seperti Tanah
Bidang Atau Baji
Besar
Beberapa Kekar Atau Banyak Baji
Beberapa Blok
Tidak Ada
Kemungkinan Kelongsoran
0.9 0.6 0.4 0.2 0
Penyanggaan Re-excavation
Sangat Perlu
Perbaikan
Sistematis Sewaktu-waktu
Tidak Ada
Tabel 3.16 Rekomendasi jenis perkuatan lereng SMR (Romana, 1985)
Kelas SMR Support
Ia 91 - 100 None
Ib 81 - 90 None atau Scalling
IIa 71 – 80 (None, Toe ditch atau fence), Spot bolting
IIb 61 – 70 Toe ditch atau fence, nets, spot atau systematic bolting
IIIa 51 – 60 Toe ditch dan atau nets, spot atau systematic bolting, spot
shotcrete
IIIb 41 – 50 (Toe ditch dan atau nets), systematic bolting. Anchors,
systematic shotcrete toe wall dan atau dental concrete
IVa 31 – 40 Anchors, systematic shotcrete, toewall dan atau concrete,
(reexcavation) drainage
IVb 21 – 30 Systematic reinforced shotcrete, toewall dan atau
concrete, rexcavation, deep drainage
Va 11 - 20 Gravity atau anchored wall atau reexcavation
3.6 Analisis Faktor Keamanan Lereng
Dalam analisis kestabilan dengan metode kesetimbangan batas, faktor keamanan
dihitung dengan satu atau lebih dari tiga kesetimbangan persamaan, yaitu,
kesetimbangan pada arah vertikal, kesetimbangan pada arah horizontal, dan
kesetimbangan momen. Faktor keamanan (FK ) didefinisikan sebagai berikut:
FK = Gaya−gaya Penahan
Gaya−gaya Penggerak .................................................................................. (10)
Lereng diasumsikan berada pada kondisi kritis longsoran ketika sama dengan satu atau
gaya-gaya penahan yang tersedia seimbang dengan gaya-gaya penggerak yang terjadi.
Secara teori, lereng akan stabil jika FK > 1 , tidak stabil jika FK < 1 , dan berada dalam
kondisi kritis jika FK = 1 .
Secara umum, probabilitas longsoran kritis akan berkurang seiring dengan
meningkatnya nilai faktor keamanan. Bagaimanapun, hubungan unik antara probabilitas
longsoran dan faktor keamanan tidak dapat ditetapkan secara tepat karena bermacam-
macam ketidaktentuan kondisi lereng dari site ke site. Dalam banyak kasus,
ketidaktentuan kondisi lereng yang paling banyak digunakan adalah kekuatan material
(soil strength) dan kondisi air bawah tanah (groundwater).
Pada penelitian ini prinsip dasar yang digunakan untuk mencari faktor keamanan adalah
metode kesetimbangan batas, dengan persamaan yang dipakai adalah metode bishop
yang disederhanakan.
3.6.1 Prinsip Dasar Metode Kestimbangan Batas (Limit Equilibrium Method/LEM)
Kestabilan lereng biasanya dianalisis dengan membagi profil lereng menjadi beberapa
bagian irisan dan menghitung faktor keamanan rata-rata dari irisan tersebut dengan
metode kesetimbangan batas. Sebagai contoh, profil lereng yang tersusun atas material
tanah homogen, faktor keamanan terkadang dihitung dengan menganalisis kestabilan
lereng dengan asumsi yang lebih sederhana, seperti dengan metode busur kritis Taylor.
Analisis-analisis tersebut membutuhkan pengetahuan terhadap geometri lereng dan
perkiraan kekuatan material.
Kesetimbangan batas adalah metode yang menggunakan prinsip kesetimbangan gaya.
Metode analisis ini pertama – tama mengasumsikan bidang kelongsoran yang terjadi.
Terdapat dua asumsi bidang kelongsoran, yaitu beideng kelongsoran berbetntuk busur
(circular) dan bidang kelongsoran yang berberntu planar (non-circular) (Tjie Liong, 2012).
Metode ini mengasumsikan bahwa material bertindak sebagai sebuah massa yang kaku
atau keras dan tidak membutuhkan sifat regangan geser material tersebut. Asumsi yang
umum digunakan bahwa nilai faktor keamanan adalah sama untuk semua irisan dan
tegangan geser diterapkan secara simultan pada keseluruhan bidang runtuh longsoran.
Kebanyakan longsoran bergerak secara progresif, oleh karena itu, memungkinkan tidak
adanya asumsi yang tepat bagi semua kestabilan lereng. Terlepas dari keterbatasan
tersebut, penggunaan metode ini tetap berkembang luas dan telah banyak dibuktikan
bahwa lereng dapat didesain secara aman, mudah, dan cepat dengan metode ini.
3.6.2 Perhitungan Faktor Keamanan Menggunakan Metode Bishop Sederhana
Metode bishop sederhana (Bishop Simplified Method) menggunakan prinsip-prinsip
irisan dalam penentuan faktor keamanan dari suatu massa tanah yang berpotensi
mengalami longsoran. Metode ini hanya memenuhi kesetimbangan gaya pada arah
vertikal dan kesetimbangan momen pada titik pusat lingkaran bidang runtuh kritis.
Akan tetapi, metode ini mengabaikan gaya geser antar irisan (X1 - X2 ). Persamaan yang
digunakan dalam perhitungan faktor keamanan (FK ) dengan Metode Bishop Sederhana
(Hoek dan Bray, 1981) sebagai berikut :
Gambar 3.24 Perumusan metode Bishop Sederhana
FK = ∑ n
i=1A
(1+B )
∑ ni=1
C+D ................................................................................... (11)
Rincian rumus :
A = (c’ + ( γh – γw hw ) tan ϕ ) ∆ x
cosα .......................................................................... (12)
B = tan α tan ϕ ........................................................................................................... (13)
C = γh ∆ x sin α .......................................................................................................... (14)
D = 12
γw z2 aR
............................................................................................................ (15)
Keterangan :
C’ = gaya kohesi material
γ = berat jenis material
γw = berat jenis air
h = tinggi material dalam tiap-tiap irisan
hw = tinggi air dalam tiap-tiap irisan
ϕ = sudut gesek dalam material
∆ x = lebar tiap-tiap irisan
α = sudut dasar tiap-tiap irisan
z = kedalaman rekahan tarik
a = elevasi dari titik pusat busur kritis sebesar sepertiga kedalaman rekahan tarik
R = radius busur lingkaran