snnt case perbaikan
DESCRIPTION
SNNTTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Hipertiroidisme merupakan keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid memproduksi
hormone tiroid berlebihan.1 Berbeda dengan hipertiroidisme, tirotoksikosis adalah gejala
klinis yang disebabkan peningkatan kadar hormon tiroid di dalam darah.1 Insidensi
hipertiroid lebih sering pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki yaitu 8:1, terjadi pada
dekade ke-3 dan ke-4.2 Pembagian hipertiroid dengan tirotoksikosis diantaranya yaitu
penyakit graves, toksik adenoma, struma toksik multinodular, struma toksik ektopik.2
Penyakit graves merupakan penyebab hipertiroidisme yang tersering.3 Sekitar 60-80%
hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit graves. Pada struma multinodular toxic sekitar 15-
20% terjadi di daerah dengan defisiensi iodine, sedangkan insidensi toksik adenoma yaitu
hanya 3-5% dari hipertiroid.3
Beberapa kelainan genetik dilaporkan mempengaruhi kejadian hipertiroidisme dengan
tirotoksikosis. Mutasi pada gen TSHR dilaporkan menyebabkan hiperfungsi otonom kelenjar
tiroid, adanya TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin) menyebabkan proses autoimun
pada kelenjar tiroid.3 Proses autoimun juga sering terjadi pada perempuan setelah melahirkan,
karena pada keadaan postpartum terjadi fluktuasi dari sistem imun. Di Amerika Serikat
dilaporkan sekitar 5-10% perempuan setelah melahirkan mengalami tiroiditis postpartum.
Etiologinya disebabkan adanya anti tiroid antibodi ( anti-tiroid peroksidase, anti-
tiroglobulin). Secara klinis, pasien dapat mengalami tirotoksikosis yang diikuti dengan
hipotiroidisme. Sekitar 1/3 perempuan yang mengalami tiroiditis postpartum akan mengalami
2 fase yaitu tirotoksikosis dan hipotiroidisme, 1/3 pasien lainnya hanya akan mengalami
tirotoksikosis atau hipotiroid.4
Terdapat tiga modalitas untuk penatalaksanaan tirotoksikosis yaitu pemberian obat
anti tiroid, tindakan bedah, dan terapi radioiodine. Penatalaksanaan bertujuan mencapai
remisi yaitu keadaan dimana pasien masih dalam keadaan eutiroid setelah obat anti tiroid
dihentikan selama satu tahun.1
1
BAB 2
ILUSTRASI KASUS
2.1 Identitas Pasien
No. RM : 000934999
Nama : Ny. CB
Usia : 66 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Ciputat
Status pernikahan : Menikah
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Adanya benjolan pada leher kanan sejak 12 tahun sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada awal pasien berobat pasien menyatakan adanya benjolan yang
muncul pada leher kanan pasien sejak 12 tahun SMRS setelah pasien
melahirkan anak pertamanya. Pasien mengakui selama 10 tahun tidak berobat
ke dokter dan tidak melakukan pengobatan apapun karena tidak ada keluhan.
Dalam 2 tahun terakhir pasien berobat rutin ke Poli Penyakit Dalam RSUP
Fatmawati. Menurut pasien benjolan di leher tidak cepat membesar, bentuknya
bulat, tidak bertambah banyak benjolannya, warna sesuai dengan kulit sekitar,
benjolan tidak terasa sakit, dan tidak terasa panas. 2 tahun yang lalu pasien
mulai berobat karena merasa dada sering berdebar-debar, sering cepat lelah,
berkeringat banyak, tangan gemetaran dan sering merasa lapar. Walaupun
sering makan namun pasien mengalami penurunan berat badan ± 13 kg dalam
2
waktu beberapa bulan. Pasien tidak merasakan matanya melotot keluar. BAB
dan BAK tidak ada kelainan. Keluhan nyeri dada , demam, batuk, mual dan
muntah, nyeri menelan, nyeri tenggorok dan perubahan suara, rambut mudah
rontok disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Sejak 2 tahun lalu pasien sudah minum obat anti tiroid. Awalnya
diberikan tiamazol dengan dosis 2x10 mg. Dosis obat diturunkan menjadi
1x10mg pada bulan ke-2 pengobatan dan menjadi 1x5 mg pada bulan ke-6
pengobatan. Setelah 1 tahun 4 bulan minum obat, pengobatan di stop selama 9
bulan karena tidak ada keluhan (April 2014-Januari 2015). Pasien kontrol
kembali pada Januari 2015 diberikan obat antitiroid kembali dengan dosis
1x20mg. Bulan Februari-April 2015 pasien rutin kontrol diberikan obat
antitiroid dengan dosis 1x10mg. Riwayat tekanan darah tinggi ada sejak 2
tahun lalu minum obat anti hipertensi teratur yaitu amlodipin 1x10mg, riwayat
penyakit jantung ada 2 tahun lalu dan rutin kontrol, riwayat sakit kencing
manis disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Dikeluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat
tekanan darah tinggi dan kencing manis pada keluarga disangkal pasien.
Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien seorang ibu rumah tangga dan hanya mengasuh cucu di rumah.
Pasien mengaku jarang berolahraga. Pasien sehari-hari menggunakan garam
ber-iodium untuk memasak. Tetangga atau orang terdekat tidak ada yang
mengeluh seperti pasien. Pasien dari kecil sampai sekarang tinggal di Ciputat.
Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol.
3
2.3 Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : Pasien tampak sakit ringan
- Kesadaran : Compos Mentis
- Status gizi : berat badan 56 kg, tinggi badan 157cm.
IMT 22.71 (berat badan berlebih)
- Tanda vital
o Tekanan darah : 130/70 mmHg
o Frekuensi nadi : 98 kali/menit, regular, teraba kuat, isi cukup.
o Frekuensi napas : 18 kali/menit, regular, sifat torakoabdominal
o Suhu : 36,6°C (suhu aksila)
- Kepala : Normosefalik, rambut tersebar merata dan tidak mudah dicabut.
- Mata : Konjungtiva pucat tidak ada, sklera anikterik, pupil bulat isokhor diameter
3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, gerak bola
mata dalam batas normal, eksoftalmus tidak ada, lid lag tidak ada, mobius sign, joffroy
sign, stellwags sign, von Grave’s sign tidak ada.
- Hidung : Deviasi septum nasi tidak ada, tidak ada nyeri tekan sinus paranasal, sekret
tidak ada, hiperemis konka tidak ada.
- Telinga : normotia/normotia, tidak ditemukan kelainan pada preaurikula dextra dan
sinistra, tidak ditemukan kelainan kulit, tidak hiperemis, tidak ditemukan kelainan
pada retroaurikula dextra dan sinistra, nyeri tekan tragus -/- , nyeri tekan aurikula -/- ,
nyeri tarik aurikula -/- , nyeri tekan retroaurikula -/-.
- Mulut : mukosa bibir tidak pucat, atrofi papil lidah tidak ada, uvula terletak ditengah
Tonsil T1/T1 tidak hiperemis.
- Leher
Inspeksi : tampak benjolan dileher kanan, ikut bergerak saat menelan, warna
kemerahan tidak ada, tidak ada tanda radang, dan tidak tampak deviasi trakea.
Palpasi : teraba benjolan 1 buah kelenjar tiroid kanan dan ukuran 4x5x2 cm, kenyal,
kesan nodul, mudah digerakkan, tidak panas, warna sama dengan kulit sekitar, nyeri
tekan (-), ikut bergerak keatas saat menelan, trakea teraba di tengah, tidak ada
pembesaran KGB. JVP 5-2 cmH2O.
Auskultasi : tidak terdengar bruit.
4
- Toraks :
o Jantung
I : Pulsasi ictus cordis tidak terihat
P: Pulsasi ictus cordis teraba ICS V linea midklavikula sinistra
P : Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Batas jantung kiri : ICS V 1 jari medial linea midklavikula sinistra
Pinggang jantung : ICS II linea parasternal sinistra
A : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-)
o Paru
Depan
I : bentuk dada normal, pergerakan dada asimetris, gerak dada kiri tertinggal,
retraksi m.intercostal (-), pelebaran sela iga (-), pelebaran vena (-), massa (-).
P : ekspansi dada asimetris, pelebaran sela iga (-), massa (-), vocal fremitus
hilang.
P : sonor / hipersonor bagian atas paru kiri dan redup pada bagian basal paru
A : vesikuler (+) / hilang, ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-)
Belakang
I : bentuk dada normal, pergerakan dada kiri tertinggal, vertebrae normal,
skoliosis (-), lordosis (-), massa (-).
P : ekspansi dada asimetris, massa (-), vocal fremitus melemah.
P : sonor / hipersonor bagian atas paru kiri dan redup pada bagian basal paru
A : vesikuler (+) / melemah, ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-)
- Abdomen
I : Datar, dilatasi vena tidak ada, scar tidak ada
A : Bising Usus (+) normal, bruit (-)
P : Defans muscular (-), hepar & lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-)
P : Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)/(-)
- Ekstremitas atas
Inspeksi : lengan kiri dan kanan simetris, tidak terlihat deformitas, tidak ada petechie
tidak sianosis, tidak ikterik, tremor tidak ada.
Palpasi : Eutrofi, normotonus, tidak terdapat nyeri tekan , akral hangat , capillary
refill time < 2 detik , edema tidak ada.
5
- Ekstremitas bawah
Inspeksi : tungkai kiri dan kanan simetris, tidak terlihat deformitas, tidak ada
petechie tidak sianosis, tidak ikterik, tremor tidak ada.
Palpasi : Eutrofi, normotonus, tidak terdapat nyeri tekan , akral hangat , capillary
refill time < 2 detik , edema non pitting +/+, maleolus lateralis tidak terlihat.
2.4 Pemeriksaan Penunjang
- Tahun 2013
6
Tahun 2014
7
-
- Pemeriksaan Laboratorium 8 April 2015
8
2.5 Resume
Ny. C 60 tahun datang ke poli RSUP Fatmawati dengan keluhan benjolan
pada leher kanan yang dirasakan pasien sejak 12 tahun SMRS. Benjolan tidak cepat
membesar, warna sesuai dengan kulit sekitar, benjolan tidak terasa sakit, dan tidak
terasa panas. 2 tahun lalu pasien mulai berobat karena merasa dada sering berdebar-
debar, sering cepat lelah, berkeringat banyak, tangan gemetaran, sering merasa lapar
dan penurunan berat badan ±13 kg.
Pemeriksaan Fisik : Pembesaran kelenjar tiroid kanan ukuran 4x5x2 cm, kenyal,
kesan nodul, mudah digerakkan, tidak panas, warna sama dengan kulit sekitar, tidak
ada tanda radang, nyeri tekan (-), ikut bergerak keatas saat menelan, trakea teraba di
tengah, tidak ada pembesaran KGB. JVP 5-2 cmH2O, tidak ada bruit.
Laboratorium :
- TSH 0.02 Miu/L dan FT4 1.02 ng/dl
- Gula darah 2 jam PP 196 mg/dl
2.6 Diagnosis Kerja
- Struma nodusa toksik remisi 12 bulan dengan obat anti tiroid 18 bulan.
- TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)
2.7 Diagnosis Banding
- Struma nodusa non toksik
- Adenoma toksik
2.8 Pemeriksaan Anjuran
- Free T4 untuk monitoring
- Skintigrafi tiroid
- Pemeriksaan GDP setiap 3 tahun sekali
9
2.9 Tatalaksana
Medika mentosa
- Tiamazol 1 x 10 mg/hari p.o
Non medika mentosa
- Edukasi mengenai DM
- Terapi gizi medis
BB = 56 kg jadi kebutuhan kalori basal 25kkal x 56 = 1400kkal
Usia 66 tahun dikurangi 10% 1400-140 = 1260
Aktifitas fisik ringan ditambah 20% 1260+280 = 1540kkal
Jadi kebutuhan kalori pasien ini 1540kkal/hari
- Latihan jasmani 3-4kali dalam seminggu selama kurang lebih dalam 30 menit ( jalan
kaki, jogging).
2.10 Prognosis
- Ad Vitam : ad bonam
- Ad Fungsionam : ad bonam
- Ad Sanationam : dubia ad bonam
10
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Hipertiroidisme merupakan keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid
memproduksi hormone tiroid berlebihan.1 Berbeda dengan hipertiroidisme,
tirotoksikosis adalah gejala klinis yang disebabkan peningkatan kadar hormon tiroid
di dalam darah.1 Berdasarkan patologinya, pembesaran tiroid umumnya disebut
struma.5
3.2 Embriologi
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4 - 4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang
kemudian membesar, tumbuh kearah bawah mengalami migrasi ke bawah yang
akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai duktus
tiroglosus, yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini
akan menghilang pada usia dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih menetap,
sehingga dapat terjadi kelenjar disepanjang jalan tersebut yaitu antara kartilago tiroid
dengan basis lidah. Dengan demikian kegagalan menutupnya duktus akan
mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letaknya abnormal yang disebut
persistensi duktus tiroglosus. Persistensi duktus tiroglosus dapat berupa kista duktus
tiroglosus, tiroid lingual atau tiroid servikal. Sedangkan turunnya kelenjar yang terlalu
jauh akan menghasilkan tiroid substernal. Sisa ujung caudal duktus tiroglosus
ditemukan pada duktus piramidalis yang menempel di isthmus tiroid. Branchial pouch
keempat pun ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan merupakan asal mula dari
sel-sel paraf olokular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin.6
3.3 Anatomi
11
Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus, yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3.Kapsul fibrosa
menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga pada setiap gerakan
menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial, yang
merupakan cirri khas kelenjar tiroid.Sifat inilah yang digunakan di klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau
tidak. Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong berukuran panjang 2,5 - 4 cm, lebar
1,5 - 2 cm dan tebal 1 - 1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan
masukan yodium. Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10-20 gram.
Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. Arteri tiroidea superior berasal dari
a. Karotis comunis atau a. Carotis eksterna, a. Tiroidea inferior berasal dari a.
Subclavia, dan a. Tiroidea ima berasal dari a. Brakiosefalik salah satu cabang arkus
aorta. Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapilar dan limfatik,
sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular yang menyatu
dipermukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah ke
kelenjar tiroid diperkirakan 5ml/gram kelenjar/menit, dalam keadaan hipertiroidisme
aliran ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar bising aliran darah
dengan jelas di ujung bawah kelenjar.5
Gambar 3.1 Anatomi kelenjar tiroid5
Secara anatomis dari kedua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar
paratiroid menempel dibelakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi dilobus
medius, sedangkan nervus laringeus rekuren berjalan disepanjang trakea dibelakang
tiroid.5
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini kearah nodus pharing yang tepat berada
12
diatas ismus menuju kearah kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada
yang lansung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga
penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.5
Dengan mikroskop terlihat kelenjar tiroid terdiri atas folikel dalam berbagai
ukuran antara 50-500mm. Dinding folikel terdiri dari selapis. Sel epitel tunggal
dengan puncak menghadap ke lumen, sedangkan basisnya mengarah ke membran
basalis. Folikel ini berkelompok-kelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk
membentuk lobulus yang mendapat darah dari end artery. Folikel mengandung bahan
yang jika diwarnai dengan hematoksilin eosin berwarna merah muda yang disebut
koloid dan dikelilingi selapis epitel tiroid. Ternyata tiap folikel merupakan kumpulan
dari klon sel sendiri. Sel folikel menghasilkan tiroglobulin (Tg) yang disekresikan
kedalam lumen folikel. Tiroglobulin adalah glikoprotein berukuran 660 kDa, dibuat di
retikulum endoplasmik, dan mengalami glikosilasi secara sempurna di aparat golgi.
Protein lain yang amat penting adalah tiroperoksidase ( TPO). Enzim ini berukuran
dengan 103 kDa yang 44%-nya berhomologi dengan mieloperoksidase. Baik
Tiroperoksidase maupun Tiroglobulin bersifat antigenik seperti halnya pada penyakit
tiroid autoimun, sehingga dapat digunakan sebagai penanda penyakit. Biosintesis
hormon T4 dan T3 terjadi di dalam tiroglobulin pada batas antara apeks sel-koloid.
Disana terlihat tonjol-tonjol mikrofili folikel ke lumen, dan tonjol ini terlibat juga
dalam proses endositosis tiroglobulin. Hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan
triiodotironin ( T3) tersimpan dalam koloid sebagai bagian dari molekul tiroglobulin.
Hormon ini hanya akan dibebaskan apabila ikatan dengan tiroglobulin ini dipecah
oleh enzim khusus. Karena yodium merupakan unsur pokok dalam pembentukan
hormon tiroid, maka harus selalu tersedia yodium yang cukup dan berkesinambungan.
Yodium dalam makanan berasal dari makanan laut, susu, daging, telur, air minum,
garam beryodium dan sebagainya. Yodium diserap oleh usus halus bagian atas dan
lambung, dan 1/3 hingga ½ ditangkap kelenjar tiroid, sisanya dikeluarkan lewat air
kemih. Ditaksir sekitar 95% yodium tubuh tersimpan dalam kelenjar tiroid, sisanya
dalam sirkulasi(0,04-0,57%) dan jaringan.5
Hormon kalsitonin, yang juga dihasilkan oleh kelenjar tiroid, berasal dari sel
parafolikular(sel C). Hormon ini berperan aktif dalam metabolisme kalsium dan tidak
berperan sama sekali dalam metabolisme yodium. Mengingat asal hormon ini,
13
kalsitonin dapat digunakan sebagai penanda untuk mendeteksi adanya carcinoma
medulare tiroid.5
3.4 Fisiologi Hormon Tiroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk
aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi
hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid.
Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon
tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya
menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai
monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari
MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar
yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam
sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyrhoid-
binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-
albumine, TPBA).5
3.5 Biosintesis Hormon Tiroid
Proses biosintesis hormon tiroid secara skematis dapat dilihat dalam beberapa
tahap, sebagian distimulir oleh TSH, yaitu tahap:
1. Tahap trapping
2. Tahap oksidasi
3. Tahap coupling
4. Tahap penimbunan atau storage
5. Tahap deiyodinasi
6. Tahap proteolisis
7. Tahap pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid manusia mempunyai kemampuan untuk menyerap serta
mengkonsentrasikan yodida dari sirkulasi. Kemampuan ini dipunyai juga oleh sel-sel
kelenjar ludah, mukosa lambung, kelenjar susu, meskipun tidak satupun mempunyai
14
kapasitas untuk mengubahnya menjadi hormon tiroid. Demikian pula ditemukan NIS
di sel payudara. Sifat ini sekarang sedang diteliti bagaimana meningkatkan ekspresi
NIS hingga yodium radioaktif dapat masuk ke sel-sel kanker payudara dalam rangka
pengobatannya. Keluarnya hormon T3 dan T4 dari tempat penyimpanannya di sel
belum diketahui secara sempurna, tetapi jelas dipengaruhi TSH. Hormon ini melewati
membran basal, fenestra sel kapiler, kemudian ditangkap oleh pembawanya dalam
sistem sirkulasi yaitu thyroid binding protein. Yodium kadar tinggi menghambat
tahap ini. Sifat ini digunakan dokter untuk mengelola krisis tiroid, dimana harus
diusahakan penurunan kadar hormon secara cepat disirkulasi. Produksi sehari T4 kira-
kira 80-100 mg sedangkan T3 26-39 mg. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa 30-40%
T3 endogen berasal dari konversi ekstratiroid T4 menjadi T3.5
3.6 Transportasi Hormon
Baik T3 maupun T4 diikat oleh protein pengikat dalam serum ( binding
protein). Hanya 0,35% T4 dan 0,25% T3 total berada dalam keadaan bebas. Ikatan T3
dengan protein tersebut kurang kuat dibandingkan dengan T4, tetapi karena efek
hormonnya lebih kuat dan pergantiannya lebih cepat, maka T3 ini sangat penting.
Ikatan hormon terhadap protein ini makin melemah berturut-turut TBG ( thyroxin
binding globulin), TBPA ( thyroxin binding prealbumin, disebut pula transtiretin),
serum albumin. Dalam keadaan normal, kadar yodotironin total menggambarkan
kadar hormon bebas, namun pada keadaan tertentu jumlah protein binding dapat
berubah. Meninggi pada neonatus, penggunaan estrogen termasuk kontrasepsi oral,
penyakit hati kronik dan akut, naiknya sintesis di hati karena pemakaian
kortikosteroid dan kehamilan, dan menurun pada penyakit ginjal dan hati kronik,
penggunaan androgen dan steroid anabolik, sindroma nefrotik, dan dalam keadaan
sakit berat. Penggunaan obat tertentu misalnya salisilat, hidantoin dan obat
antiinflamasi seperti fenklofenak manyebabkan kadar hormon total menurun karena
obat tersebut mengikat protein secara kompetitif, akibatnya kadar hormon bebas
meningkat. Arti klinis kadar hormon perlu diinterpretasikan dengan memperhatikan
faktor-faktor tersebut.5
3.7 Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam, sebagian T4
endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeyodinasi menjadi T3.
jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan(konversi) ini adalah hati,
15
ginjal, jantung, hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3(reserved T3,
3, 3, 5’ triiodotironin) yang secara metabolik tidak aktif. Proses ini digunakan untuk
mengatur metabolisme pada tingkat seluler. Karena hormon aktif ialah T3 bukan T4
maka harus terjadi dulu konversi menjadi T3 dahulu supaya mampu berfungsi dengan
baik. Dengan adanya deiodinases, hormon aktif dapat dipertahankan guna mendukung
kebutuhan manusia. Dikenal 3 macam deiodinasi utama: DI, DII, DIII masing-masing
dengan fungsi khusus.
Deyodinase tipe I : konversi T4 a T3 di perifer dan tidak berubah pada waktu
hamil.
Deyodinasi tipe II : mengubah T4 a T3 secara lokal (diplasenta, otak serta
susunan saraf pusat, dan mekanisme ini penting untuk mempertahankan kadar
T3 lokal.
Deyodinasi tipe III : mengubah T4 menjadi rT3 dan T3 a T2, khususnya
diplasenta dan dimaksud mengurangi masuknya hormon berlebihan dari ibu ke
fetus.
Keadaan dimana konversi T4 atau T3 berkurang terjadi pada : kehidupan fetal,
restriksi kalori, penyakit hati, penyakit sistemik berat, defisiensi selenium, dan
pengaruh berbagai obat ( propiltiourasil, glukokortikoid, propanolol, amiodaron,
beberapa bahan kontras seperti asam yopanoat, natrium ipodas).5
3.8 Efek Metabolik Hormon Tiroid5
Hormon tiroid memang satu hormon yang dibutuhkan oleh hampir semua proses
tubuh termasuk proses metabolisme, sehingga perubahan hiper atau hipotiroidisme
berpengaruh atas berbagai peristiwa. Efek metaboliknya antara lain:
Termoregulasi (jelas pada miksedema atau koma miksedema dengan temperatur sub-
optimal) dan kalorigenik.
Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik tetapi dalam
dosis besar bersifat katabolik.
Metabolisme karbohidrat bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal meningkat,
cadanga glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis dan degradasi
insulin meningkat.
Metabolisme lipid. Meski T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
16
hiperfungsi tiroid kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total,
kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon
tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia, kulit kekuningan.
Gangguan metabolisme kreatin fosfat menjadi miopati, tonus GI tract. meningkat
sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defisiensi Fe dan hipertiroidisme.
3.9 Efek Fisiologis Hormon Tiroid5
Efeknya membutuhkan waktu beberapa jam sampai hari. Efek genomnya
menghasilkan panas dan konsumsi oksigen meningkat, pertumbuhan, maturasi otak
dan susunan saraf yang melibatkan Na+K+ATPase sebagian lagi karena reseptor beta
adrenergik yang bertambah. Tetapi ada juga efek yang nongenomik misalnya
meningkatnya transpor asam amino dan glukosa, menurunnya enzim tipe -2’5’-
deyodinase di hipofisis.
- Pertumbuhan fetus
Tidak adanya hormon yang cukup menyebabkan lahirnya bayi kretin (retardasi mental
dan cebol).
- Efek pada konsumsi oksigen, panas, dan pembentukan radikal bebas
Efek ini dirangsang oleh T3, lewat Na+K+ATPase disemua jaringan kecuali otak, testis
dan limpa. Metabolisme basal meningkat. Hormon tiroid menurunkan kadar
superoksida dismutase hingga radikal bebas anion superoksida meningkat.
- Efek kardiovaskular
T3 menstimulasi :
1. Transkripsi miosin hc-B dan meghambat miosin hc-B, akibatnya kontraksi otot
miokard menguat.
2. Transkripsi Ca2+ATPase di retikulum sarkoplasma meningkatkan tonus diastolik
3. Mengubah konsentrasi protein G, reseptor adrenergik, sehingga akhirnya hormon
tiroid ini mempunyai efek inotropik positif.
Secara klinis terlihat sebagai naiknya curah jantung dan takikardi.
17
- Efek simpatik
Karena bertambahnya reseptor adrenergik-beta miokard, otot skelet, lemak dan
limfosit, efek pasca reseptor dan menurunnya reseptor adrenergik alfa miokard,
maka sensitivitas terhadap ketekolamin amat tinggi pada hipertiroidisme dan
sebaliknya pada hipotiroidisme.
- Efek hematopoetik
Kebutuhan akan oksigen pada hipertiroidisme menyebabkan eritopoesis dan
produksi eritropoetin meningkat. Volume darah tetap namun red cell turn over
meningkat.
- Efek gastrointestinal
Motilitas usus meningkat pada hipertiroidisme sehingga dapat menyebabkan
diare. Pada hipotiroidisme terjadi obstipasi dan transit lambung melambat. Hal ini
dapat menyebabkan bertambah kurusnya seseorang.
- Efek pada skelet
Turn-over tulang meningkat resorbsi tulang lebih terpengaruh daripada
pembentukannya. Hipertiroidisme dapat menyebabkan osteopenia. Dalam
keadaan berat mampu menyebabkan hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan penanda
hidroksiprolin dan cross-link piridium.
- Efek neuromuskuler
Turn over yang meningkat juga menyebabkan miopati disamping hilangnya otot.
Dapat terjadi kretinuria spontan. Kontraksi serta relaksasi otot meningkat
(hiperrefleksia)
- Efek endokrin
Meningkatkan metabolik pertukaran banyak hormon serta bahan farmakologik.
Contoh : waktu paruh kortisol adalah 100 menit pada orang normal tetapi pada
orang hipertiroid menurun jadi 50 menit dan 150 menit pada hipotiroid. Jadi perlu
diingat bahwa hipertiroidisme dapat menutupi (masking) atau memudahkan
(unmasking) kelainan adrenal.
18
3.10 Pengaturan Faal Kelenjar Tiroid5
Ada 3 dasar pengaturan faal tiroid yaitu oleh :
Autoregulasi
Terjadi lewat terbentuknya yodolipid pada pemberian yodium banyak dan akut,
dikenal sebagai wolff-chaikoff. Efek ini bersifat selflimiting. Dalam beberapa
keadaan mekanisme escape ini dapat gagal dan terjadilah hipotiroidisme.
TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan
meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi
efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH
(thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi
hiperplasi dan hiperfungsi
3.11 Klasifikasi Struma.7,8
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Nodusa
2. Struma Non Toxic Diffusa
3. Stuma Toxic Nodusa
4. Struma Toxic Difusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan istilah nodusa
dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
1. Struma Non Toxic Nodusa
19
Pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala
hipertiroid. Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan
iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,
penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu :
a. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang
yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah
kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
b. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting
penyakit tiroid autoimun
c. Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan
resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,
brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam
rumput liar.
d. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar
tiroid.
e. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna.
2. Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi :
a. Defisiensi Iodium.
b. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis.
c. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan
penurunan pelepasan hormon tiroid.
d. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating
immunoglobulin
20
e. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis
hormon tiroid.
f. Terpapar radiasi.
g. Penyakit deposisi.
h. Resistensi hormon tiroid.
i. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis).
j. Silent thyroiditis.
k. Agen-agen infeksi.
l. Suppuratif Akut : bacterial.
m. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit.
n. Keganasan Tiroid.
3. Struma Toxic Nodusa
Insidensi struma nodusa toksik sekitar 15-30% dari kasus
hipertiroidisme. Pada daerah endemik defisiensi iodine, kejadian struma
nodusa toksik yaitu sekitar 58% dari kasus hipertiroid. Lebih sering terjadi
pada perempuan daripada laki-laki dan sering terjadi pada usia lebih dari 40
tahun. Kejadian tirotoksikosis biasanya sering pada dekade ke-6 dan ke-7,
terutama pada pasien dengan riwayat keluarga yang mengalami struma nodusa
toksik.9
Etiologi10 :
a. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4.
b. Aktivasi reseptor TSH.
c. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G.
d. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1),
insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast
growth factor.
Manifestasi klinis dari struma nodusa toksik seperti palpitasi, tremor,
berat badan turun, sering merasa lapar, dan peristaltic usus yang meningkat.
Pada pasien dengan lanjut usia, gejala yang paling sering dikeluhkan adalah
penurunan berat badan yang drastis, palpitasi, tremor, dan komplikasi
21
kardiovaskular. Beberapa pasien mengalami gejala yang asimptomatik,
biasanya ini terjadi pada pasien dengan hasil laboratorium nilai TSH menurun
dengan nilai normal FT4.11 Mutasi TSH dan TSHR menjadi 20-80% etiologi
dari struma nodusa toksik dimana mutasi tersebut menyebabkan hiperaktivitas
otonom kelenjar tiroid, dan 10% menjadi toksik pada pasien.12
4. Adenoma Toksik
Adenoma tiroid merupakan neoplasma jinak yang berasal dari epitel
folikel. Meskipun sebagian besar adenoma tidak fungsional, sebagian kecil
menghasilkan hormone tiroid dan menyebabkan gejala klinis tirotoksikosis.
Pembentukan hormone pada adenoma fungsional terjadi tanpa bergantung
pada stimulasi TSH. Oleh karena itu, adenoma ini disebut nodul otonom.
Analisis genetik terakhir memperlihatkan bahwa adenoma toksik sering
memiliki mutasi yang bersifat mengaktifkan gen reseptor TSH atau GNAS1.
GNAS1 mengkode subunit α protein heterodimer Gs. Dalam keadaan normal,
pengikatan TSH ke reseptornya mengaktifkan Gsα , yang kemudian
menyebabkan peningkatan adenil siklase dan produknya, AMP siklik. Jika
terdapat mutasi yang secara konstitutif mengaktifkan reseptor TSH atau
protein Gsα terjadi pembentukan terus menerus dan hipertiroidisme, walaupun
tidak terdapat stimulasi TSH.13
Sebagian besar adenoma tiroid bermanifestasi sebagai nodul tak nyeri.
Massa yang lebih besar dapat menimbulkan gejala lokal seperti kesulitan
menelan. Adenoma toksik akan tampak sebagai nodul hangat atau panas.
Teknik tambahan yang digunakan dalam evaluasi adenoma adalah
ultrasonografi dan biopsi jarum halus.13
3.12 Patofisiologi
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan
dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH,
TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin,
akan menyebabkan struma diffusa. Jika terjadi pada suatu kelompok kecil sel tiroid,
sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma
nodusa. Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang
termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise
22
yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar
hipofisis, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.7,8
Penyebab tersering hipertiroidisme adalah penyakit Graves suatu penyakit
autoimun dimana tubuh menghasilkan LATS (Long Acting Thyroid Stimulator) atau
TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin) . LATS merupakan antibody yang
sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid. LATS menstimulus sekresi dan
pertumbuhan tiroid, namun LATS tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpan balik
hormone tiroid sehingga sekresi dan pertumbuhan tiroid tidak terkendali.14
Gambar 3.2 Peran TSI pada hipertiroid14
3.12 Diagnosis
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang
diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
23
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma
tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
Batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :
Status Generalis :
1. Tekanan darah meningkat
2. Nadi meningkat
3. Mata :
Exopthalmus
Stelwag Sign : Jarang berkedip
Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli
waktu melihat ke bawah
Morbus Sign : Sukar konvergensi
24
Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup
4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
5. Jantung : Takikardi
Status Lokalis :
1. Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
Bergerak waktu menelan
2. Palpasi
Permukaan, suhu
Batas :
Atas : Kartilago tiroid
Bawah : incisura jugularis
Medial : garis tengah leher
Lateral : M. Sternokleidomastoideus
Diagnosis hipertiroid juga dapat ditegakkan dengan menggunakan indeks
Wayne’s dan indeks New Castle.
25
3.13 Pemeriksaan Penunjang5
1. Pemeriksaan sidik tiroid.
Pemeriksaan tiroid dilaksanakan dengan menggunakan radiofarmaka Tc99m per
technetate untuk angka penangkapan tiroid (uptake) dan sidik tiroid, serta
pemeriksaan in vitro menggunakan I125 untuk T3, T4, dan TSH (RIA). Hasil
26
pemeriksaan dengan radioisotop yang utama ialah mengetahui fungsi bagian-
bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam
secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh
tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk :
o Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan keadaan sekitarnya.
o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti
fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
o Kista: kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dindingnya tipis.
o Adenoma/nodul padat: iso atau hiperekoik, kadang-kadangdisertai halo yaitu
suatu lingkaran hipoekoik di sekelilingnya.
o Kemungkinan karsinoma: nodul padat, biasanya tanpa halo,
o Tiroiditis: hipoekoik, difus, meliputi seluruh kelenjar.
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27.Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul. Dilakukan khusus pada keadaan
yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri,
hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian
pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang
tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau
positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
4. Termografi
27
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat
dengan memakai Dynamic Telethermography.Pemeriksaan ini dilakukan
khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas
apabila perbedaan panas dengan sekitamya > 0,9°C dan dingin apabila < 0,9°C.
5. Penanda Tumor.
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum.
Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata 323
ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
28
Gambar 3.3 Evaluasi Tirotoksikosis15
3.14 Penatalaksanaan
Terdapat tiga modalitas untuk penatalaksanaan tirotoksikosis yaitu pemberian
obat anti tiroid, tindakan bedah, dan terapi radioiodine. Penatalaksanaan bertujuan
mencapai remisi yaitu keadaan dimana pasien masih dalam keadaan eutiroid setelah
obat anti tiroid dihentikan selama satu tahun.
29
Obat utama hipertiroid adalah karbimazol, methimazole dan prophyltiouracyl
(PTU). Setiap obat tersebut bekerja menghambat kerja dari thyroid peroxidase (TPO),
menurunkan oksidasi dan mengnurangi organifikasi iodium. PTU menghambat
konversi T4 menjadi T3 pada jaringan perifer sehingga efek dari hormon tiroid dapat
ditekan pada kasus hipertiroid yang berat. Dosis awal pemberian karbimazol dan
metimazol adalah 10-20 mg setiap 8-12 jam. Obat tersebut dapat diberikan satu kali
dalam sehari apabila kadar hormon tiroid sudah kembali normal. Dosis awal
pemberian PTU adalah 100-200 mg setiap 6-8 jam. Obat golongan beta blocker
seperti propanolol atau atenolol dapat berguna untuk memberikan efek inhibisi
terhadap aktivitas beta adrenergik yang berlebihan. Dosis propanolol dalam terapi
hipertiroid adalah 20-40 mg setiap 6 jam namun pemberian obat golongan beta bloker
perlu diperhatikan pada penderita asma. Pengobatan hipertiroid berlangsung selama
12-24 bulan. Efek eutiroid dapat mulai muncul ketika pengobatan telah mencapai 8-
12 bulan.
Terapi iodium radioaktif diberikan jika pasien gagal terapi dengan
menggunakan obat antitiroid seperti metimazol dan propiltiourasil. Cara kerja dari
iodium radioaktif adalah dengan men-destruksi kelenjar tiroid secara progresif
sehingga setelah pemberian radioaktif diharapkan dapat mengurangi dosis pemberian
obat antitiroid. Untuk memberiakkn efek uptake radioaktif yang maksimal, terapi
antitiroid diberhentikan dua hari sebelum pemberian radioaktif. Pasien dengan
hipertiroid yang berulang atau gagal dengan pengobatan menggunakan obat antitiroid
dan terapi radioaktif, pasien dengan curiga keganasan kelenjar tiroid, pasien grave
disease yang alergi dengan obat antitiroid dapat dilakukan tiroidektomi parsial atau
total.
Indikasi terapi medikamentosa :
Pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang.
Rekurensi pasca bedah
Pada persiapan operasi tiroidektomi
Struma residif
Pada kehamilan, misalnya pada trimester ke-3, pasien tua
Pasien dengan krisis tiroid
Indikasi pengobatan dengan iodium radioaktif pada : Pasien 35 tahun atau lebih
30
Hipertiroidisme yang kambuh sesudah operasi
Gagal remisi dengan obat antitiroid
Tidak mampu atau menolak rawatan dengan antitiroid
Adenoma toksik, goiter multinoduler toksik.
Indikasi operasi adalah:
Pasien muda dengan struma besar yang tidak berespon pada obat antitiroid
Pada wanita hamil (trimester ke-2) yang memerlukan obat antitiroid dosis besar
Alergi obat antitiroid, yodium radioaktif
Penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
Adenoma toksik atau struma multinodular toksik
Tindakan operasi:
Isthmulobectomy , mengangkat isthmus
Lobectomy, mengangkat satu lobus, bila subtotal sisa 3 gram
Tiroidectomi total, semua kelenjar tiroid diangkat
Tiroidectomy subtotal bilateral, mengangkat sebagian lobus kanan dan sebagian
kiri.
Near total tiroidectomi, isthmulobectomy dextra dan lobectomy subtotal sinistra
dan sebaliknya.
RND (Radical Neck Dissection), mengangkat seluruh jaringan limfoid pada leher
sisi yang bersangkutan dengan menyertakan n. accessories, v. jugularis eksterna dan
interna, m. sternocleidomastoideus dan m. omohyoideus serta kelenjar ludah
submandibularis.
3.15 PrognosisPenyakit ini bermula secara bertahap, progresif, kecuali ditangani. Jika tidak
ditangani dengan baik, komplikasi yang serius bisa terjadi termasuk fraktur tulang,
kecacatan waktu lahir, dan aborsi. Pada kondisi yang parah seperti krisis tiroid,
menyebabkan gangguan neurologis yang berat dan progresif, yang akhirnya bisa
koma. Jika tidak diobati dengan baik, penyakit Graves ini bisa menyebabkan
31
kecacatan dan kematian. Remisi bisa terjadi jika terdapat faktor autoimun pada
pasien. Prognosis juga bergantung pada durasi dan keparahan penyakit sebelum
diobati. Peluang untuk mencegah hipertiroid yang rekuren adalah sangat tinggi
dengan tindakan tiroidektomi total.
BAB 4
ANALISA KASUS
Ny. CB, perempuan, 66 tahun datang ke poli RSUP Fatmawati dengan keluhan
benjolan pada leher kanan yang dirasakan pasien sejak 12 tahun SMRS. Dari keluhan utama
dapat kita tentukan diagnosis banding, yaitu SNNT, SNT, karsinoma tiroid. Pada anamnesis
selanjutnya didapatkan bahwa benjolan tidak cepat membesar, warna sesuai dengan kulit
sekitar, benjolan tidak terasa sakit, dan tidak terasa panas. 2 tahun lalu pasien mulai berobat
karena merasa dada sering berdebar-debar, sering cepat lelah, berkeringat banyak, tangan
gemetaran serta didapatkan adanya penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya pembesaran kelenjar tiroid kanan ukuran 4 x 5 x 2 cm, kenyal, tidak
panas, warna sama dengan kulit sekitar, tidak nyeri tekan, ikut bergerak saat menelan, tidak
ada bruit. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil, TSH 0.02 Miu/L (hipertiroid) dan
Free T4: 1.02 ng/dl (Normal).
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut diagnosis untuk SNNT dan karsinoma
tiroid dapat disingkirkan karena pada anamnesis didapatkan adanya manifestasi klinis dari
hipertiroid yang dialami oleh pasien, seperti berdebar-debar, cepat lelah, berkeringat banyak,
tangan gemetaran serta didapatkan adanya penurunan berat badan. Sedangkan pada SNNT
hanya didapatkan pembesaran kelenjar tiroid tanpa disertai adanya manifestasi klinis akibat
peningkatan dari produksi hormon tiroid. Diagnosis karsinoma tiroid dapat disingkirkan
32
karena dalam anamnesis didapatkan pembesaran benjolan pada pasien terjadi secara perlahan,
sedangkan pada karsinoma tiroid umumnya benjolan membesar secara cepat.
Dari hal tersebut, diagnosis kerja yang cukup mendekati adalah struma nodusa toksik.
Untuk tatalaksana, diberikan obat anti tiroid berupa tiamazol 1 x 10 mg perhari, bersaaman
dengan itu dilakukan pemeriksaan tambahan lainnya berupa pemeriksaan laboratorium Free
T4, Free T3, TSH, rontgen thorax untuk melihat apakah sudah terjadi komplikasi pada
jantung, USG tiroid dan scan tiroid untuk memastikan apakah ada keganasan atau tidak.
BAB 5
KESIMPULAN
Struma adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid
akibat kelaianan glandula tiroid yang dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan
kelenjar dan morfologinya. Hipertiroidisme merupakan keadaan yang disebabkan kelenjar
tiroid memproduksi hormone tiroid berlebihan dan tirotoksikosis adalah gejala klinis yang
disebabkan peningkatan kadar hormon tiroid di dalam darah karena hipersekresi kelenjar
tiroid.
Struma nodusa toksik adalah salah satu gambaran tirotoksikosis dimana insidensinya
lebih sering terjadi pada perempuan dan pada usia dekade ke-6 dan ke-7. Mutasi TSH dan
TSHR menjadi 20-80% etiologi dari struma nodusa toksik dimana mutasi tersebut
menyebabkan hiperaktivitas otonom kelenjar tiroid, dan 10% menjadi toksik pada pasien.
Pemeriksaan TSH dan FT4 diperlukan dalam mengevaluasi pasien dengan tirotoksikosis.
Selain pemeriksaan TSH dan FT4 diperlukan juga pemeriksaan rontgen thorax untuk melihat
apakah sudah terjadi komplikasi pada jantung, USG tiroid dan scan tiroid untuk memastikan
apakah ada keganasan atau tidak.
33
Penatalaksanaan pada kasus ini bertujuan untuk mencapai remisi. Apabila tidak
ditatalaksana optimal, kondisi tirotoksikosis akan mengakibatkan berbagai komplikasi seperti
penyakit jantung tiroid, aritmia, krisis tiroid, dan eksoftalmus maligna.
DAFTAR PUSTAKA
1. Priantono D, Dyah PS. Hipertiroidisme dalam kapita selekta kedokteran ed IV.
Jakarta : Media Aesculapius; 2014.h 787-90.
2. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas Airlangga;
2007. h 88-92.
3. Bahn CRS, Burch HB, Cooper DS, et al. Hyperthyroidism and other cause of
thyrotoxicosis: management guidelines of the American Thyroid Association and
American Association of Clinical Endocrinologist. Thyroid. Jun 2011;21(6): 593-646.
4. American Thyroid Association. Post Partum Thyroiditis. American thryroid
association. Jun 2014: 1-2.
5. Sudoyo A. Setiyohadi B; Alwi I, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal. 2254.
6. Rani, Aziz; S, Sidartawan; dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: PB PAPDI. hal 16-19
7. National Endocrine and Metabolic Diseases Information Service. Hyperthyroidsme.
2007;
34
8. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Kelenjar Tiroid, Hipitiroidisme
dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta. 2006.
9. Abraham NM, et al. Incidence of hyperthyroidism in Stockholm,Sweden,2003-2005.
Eu J Endocrinol. Jun 2008;158(6):823-7.
10. Lado AJ, Palos PF, et al. Prevalence of mutation in TSHR, GNAS, PRKAR1A, and
RAS genes in a large series of toxic thyroid adenomas from Galicia, an iodine
deficient area in NW Spain. Eu J Endocrinol. Aug 2008.
11. American Association of Clinical Endocrinologist and Associazione Medici
Endocrinologi medical guideline for clinical practice for the diagnosis and
management of thyroid nodules. Endocr Pract. Jan 2006;12(1):63-102.
12. Cerci C, Eroglu E, et al. Thyroid cancer in toxic and non toxic multinodular goiter. J
Postgrad Med. Sep 2007;53(3):157-60.
13. Kumar, Cotran and Robbins. 2007. Basic Pathology. 5th Edition, WB Saunders,
Philadephia. P 818-20.
14. Sherwood, Lauralee. 2007. Human Physiology: from cells to systems, 6 th Edition.
Cengage Learning, p762-63.
15. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Kasper, et al. 2005. Harrisson’s Principles of
Internal Medicine, 16th Edition, McGraw-Hill. p2115.
35