staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/implementasi-net.docx · web...

30
1 IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PROSES PERADILAN PIDANA PERKARA ANAK Oleh Eddy Rifai Email: [email protected] Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Sumantri Brojonegoro 1 Bandar Lampung Abstrak: Penelitian mengkaji tentang implementasi restorative justice dalam proses peradilan pidana perkara anak. Penelitian dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa restorative justice telah diimplementasikan dalam proses peradilan pidana perkara anak, yaitu dengan diadakannya mediasi antara pelaku dengan korban yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim. Apabila tercapai kesepakatan, perkara akan dihentikan baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan persidangan. Tetapi, apabila mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka perkara akan diteruskan sampai dengan pemeriksaan persidangan. Hakim akan menjatuhkan putusan berupa tindakan atau pemidanaan. Penahanan dan lamanya penahanan dalam perkara anak dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim sesuai dengan persyaratan yang ditentukan undang-undang. Faktor penghambat implementasi restorative justice dalam proses peradilan pidana perkara anak adalah faktor undang- undang, faktor penegak hukum dan faktor budaya hukum. Kata kunci: Implementasi, restorative justice, perkara anak.

Upload: nguyentram

Post on 25-May-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

1

IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DALAM PROSESPERADILAN PIDANA PERKARA ANAK

OlehEddy Rifai

Email: [email protected] Hukum Universitas Lampung

Jalan Sumantri Brojonegoro 1 Bandar Lampung

Abstrak: Penelitian mengkaji tentang implementasi restorative justice dalam proses peradilan pidana perkara anak. Penelitian dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa restorative justice telah diimplementasikan dalam proses peradilan pidana perkara anak, yaitu dengan diadakannya mediasi antara pelaku dengan korban yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim. Apabila tercapai kesepakatan, perkara akan dihentikan baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan persidangan. Tetapi, apabila mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka perkara akan diteruskan sampai dengan pemeriksaan persidangan. Hakim akan menjatuhkan putusan berupa tindakan atau pemidanaan. Penahanan dan lamanya penahanan dalam perkara anak dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim sesuai dengan persyaratan yang ditentukan undang-undang. Faktor penghambat implementasi restorative justice dalam proses peradilan pidana perkara anak adalah faktor undang-undang, faktor penegak hukum dan faktor budaya hukum. Kata kunci: Implementasi, restorative justice, perkara anak.

Abstract: This study evaluated the implementation of restorative justice in the criminal justice process child case. Research using normative juridical approach and empirical jurisdiction. The results showed that restorative justice has been implemented in the case of criminal proceedings the child, with the holding of mediation between

Page 2: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

2

the perpetrator to the victim by the investigator, prosecutor and judge. If an agreement is reached, the case will be terminated either at the level of investigation, prosecution and trial examination. However, if mediation does not reach an agreement, then the case will be forwarded to the court examination. The judge will impose the form of action or criminal judgment. Detention and length of detention in the case of the child can be carried out by investigators, prosecutors and judges in accordance with the requirements prescribed by law. Factors inhibiting the implementation of restorative justice in the criminal justice process is the child's case law factors, factors of law enforcement and legal cultural factors.Keywords: Implementation, restorative justice, the case of children.

I. PENDAHULUAN

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11/2012) telah diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012 (akan berlaku 2 tahun kemudian). UU No. 11/2012 menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU No. 3/1997). Konsideran UU No. 11/2012 menyatakan bahwa UU No. 3/1997 yang dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, namun, dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan

Page 3: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

3

pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Penyusunan Undang-Undang ini merupakan penggantian terhadap UU No. 3/1997 yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin pelindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.

UU No. 3/1997 diundangkan untuk menindaklanjuti Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah R.I. dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) dengan dilengkapi instrumen khusus berupa:

1. Beijing Rules, Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Administrasi Pengadilan Anak (United Nations Standard Minimum Rules for the Adminitration of Juvenile Justice) tanggal 29 November 1985;

2. The Tokyo Rules, Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Upaya Non-Penahanan pada tanggal 14 Desember 1990;

3. Riyadh Guidelines, Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang tentang Pencegahan Kenakalan Anak (United Nations Guidelines for Prevention of Juvenile Delinquency) tanggal 14 Desember 1990;

4. Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya tahun 1990.1

Pelaksanaan dari UU No. 3/1997 ternyata masih jauh dari prinsip-prinsip perlindungan hak anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Dalam suatu kajian analisis yang dilakukan pada bulan September s.d. November 2004 oleh UNICEF bekerjasama dengan Pusat

1 Mansurzikri, 2011, Restorative Justice Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perkara yang Mengedepankan Kepentingan Perempuan Sebagai Korban Kekerasan Seksual, http://www.wordpres.com/ diakses tanggal 24 Desember 2012.

Page 4: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

4

Kajian Kriminologi UI, mengemukakan bahwa: ”Di atas 4.325 anak-anak ditangkap dan ditempatkan di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia, sebagian dari mereka (84%) ditahan bersama-sama orang dewasa. Sebagai tambahan, 9.440 anak-anak ditangkap dan sambil menantikan sidang pengadilan mereka ditempatkan di dalam rumah tahanan negara dan tidak ada data yang tersedia tentang banyaknya anak-anak yang dialihkan dari sistem peradilan ke sistem perlakuan yang lebih baik untuk kepentingan anak (the best interest of the child) yang merupakan implikasi dari konsep restorative justice,  tetapi sebagian besar mereka 84% s.d. 90% dikirim ke pengadilan dan dari sana ke penjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak  di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan (penjara) sangat memprihatinkan karena minimnya akses pada pendidikan, kesehatan dan fasilitas bagi mereka pada saat mengisi waktu senggang.2

Di tahun 2009 jumlah anak yang berkonflik dengan hukum berada dalam rumah tahanan negara (Rutan) dan lembaga pemasyarakatan (Lapas) sebanyak  6.576 terdiri dari  2.188 anak berstatus tahanan dan 3.388 berstatus narapidana berada di dalam rumah tahanan negara/lembaga pemasyarakatan.3 Banyaknya anak yang berada di dalam rutan/lapas ini mengindikasikan bahwa ”Penangkapan, penahanan dan penghukuman/pemenjaraan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum bukan lagi merupakan upaya yang terakhir (ultimum meredium), karena dalam tingkatan empiris terdapat sejumlah anak yang cukup besar yang berkonflik dengan hukum justru berada dalam tahanan sambil menunggu proses hukum mulai dari penyidikan, penuntutan sampai pada tahapan menunggu putusan pengadilan berupa putusan pidana penjara”. Hal tersebut diperkuat dengan data yang ada bahwa: ”Banyak anak yang dipidana penjara  yang pidananya

2 UNICEF-Kriminologi UI, 2004. Laporan Tim Need Assesment di Lapas dan Rutan Makassar, dalam KPAI, 23 Desember 2012, Alternatif Pemidanaan Berdasarkan Restorative Justice terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Jakarta, http://www.kpai.go.id/publikasi/artikel/ diakses tanggal 24 Desember 2012.

3 Dirjen Pemasyarakatan, 2009. Data Bina Statistik Dirjen Pemasyarakatan, Jakarta.

Page 5: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

5

kurang dari 1 (satu) tahun menjalani pidananya di dalam rumah tahanan n/di dalam lapas, bahkan terdapat 529 orang anak yang berada di rutan/lapas berusia di bawah 12 tahun”.4

Pada pengadilan-pengadilan negeri di Indonesia banyak kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dijatuhi pemidanaan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Nur Rochaeti5 terhadap anak delinkuen, Faizin Sulistio6 yang mengkaji tentang mediasi penal sebagai model keadilan restoratif terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan Eka Ari Endrawati7 yang mengkaji tentang upaya hukum penanggulangan anak jalanan di Provinsi Lampung.

Pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang sampai dengan bulan November 2012 terdapat 22 kasus kejahatan yang pelakunya adalah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Usia terendah anak nakal adalah 12 tahun dan yang tertinggi 18 tahun. Klasifikasi berdasarkan usia, terdapat anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) berusia 12 tahun sebanyak 1 orang anak (4,55%), 13 tahun sebanyak 3 orang anak (13,64%), 14 tahun sebanyak 2 anak (9,09%), 15 tahun sebanyak 2 anak (9,09%), 16 tahun sebanyak 3 anak (13,64), 17 tahun sebanyak 6 anak (27,27%) dan 18 tahun sebanyak 5 anak (22,73%). Putusan pengadilan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di atas tercantum pada tabel di bawah ini.8

Tabel 1. Putusan Pengadilan Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum

4 KPAI, 23 Desember 2012, Alternatif Pemidanaan Berdasarkan Restorative Justice terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Jakarta, http://www.kpai.go.id/publikasi/artikel/ diakses tanggal 24 Desember 2012.

5 Nur Rochaeti, Model Restorative Justice Sebagai Alternatif Penananganan bagi Anak Delinkuen di Indonesia. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Fakultas Hukum Undip Semarang, Vol. 37 No. 4, 2008, hal. 239-248.

6 Faizin Sulistio, Mediasi Penal Sebagai Model Keadilan Restoratif dalam Menyelesaikan Kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Jurnal Arena Hukum Universitas Brawijaya Malang, Juli 2010, hal. 210-220.

7 Eka Ari Endrawati, Upaya Hukum Penanggulangan Anak Jalanan yang Melanggar Ketertiban Umum di Propinsi Lampung, Jurnal Praevia, PPS Magister Hukum Unila Vol.3 No. 1 Juni 2009.

8 Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang, 2012. Data Statistik Perkara Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandar Lampung.

Page 6: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

6

No Putusan Pengadilan Kasus % Ket.

1 < 2 bulan 3 13,642 3 bulan 1 4,553 4 bulan 3 13,644 5 bulan 2 9,095 6 bulan 2 9,096 7-12 bulan 2 9,097 >1 tahun 8 36,358 Dalam Proses Persidangan 1 4,55

Total 22 100

Sumber: Data sekunder diolah tahun 2012.

Menurut Barda Nawawi Arief9 banyaknya penahanan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) karena UU No.3/1997 menempatkan anak sebagai objek dalam proses peradilan pidana. UU No. 3/1997 banyak terdapat kelemahan-kelemahannya sekalipun didalamnya telah terdapat prinsip keadilan restoratif. Pelaksananaan penegakan hukum pidana tidak hanya tergantung pada undang-undang, tetapi juga pada aparat penegak hukum dan budaya hukum.10

Padahal sebagaimana yang ditegaskan dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Pasal 37 huruf (b) Resolusi No. 109, maupun Peraturan Minimum Standar PBB tentang Administrasi Peradilan Bagi Anak (The Beijing Rules), Resolusi No. 40/33, tanggal 29 November 1985, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Dinyatakan: ”Penangkapan, penahanan, dan penghukuman/pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir yang diambil dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum (ultimum meredium) dan untuk jangka waktu yang paling pendek/waktu yang sesingkat-singkatnya”.

9 Barda Nawai Arief, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya, hal. 153.

10 Barda Nawawi Arief, 2009, Potret Penegakan Hukum di Indonesia, Komisi Yudisial R.I., Jakarta, hal. 181. Lihat juga Lawrence M. Friedman, 1984. “What is a Legal System” dalam American Law, W.W. Norton and Company, New York., hal. 556.

Page 7: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

7

Menghadapi masalah pelaksanaan UU No. 3/1997 lahir beberapa ketentuan sebagai berikut:

1. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 Ditbinrehsos Depsos RI dan Ditpas Depkumham R.I. tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum;

2. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang kewajiban setiap pengadilan negeri mengadakan ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan;

3. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007;

4. Peraturan KAPOLRI No. 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan No. 3/2008 tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi/korban tindak pidana;

5. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi;

6. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI No. 12/PRS-2/KPTS/2009, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI No. M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional RI No. 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI No. 06/XII/2009, dan Kepolisian Negara RI No. B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum , tanggal 15 Desember 2009

7. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum Dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak RI, No.166/KMA/SKB/XII/2009, No.148 A/A/JA/12/2009, No. B/45/XII/2009, No.M.HH-08 HM.03.02 Tahun

Page 8: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

8

2009, No. 10/PRS-2/KPTS/2009, No. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum.11

Dengan adanya beberapa ketentuan di atas seyogianya proses peradilan pidana dalam perkara anak dapat mengarah pada prinsip-prinsip perlindungan anak pada Konvensi Hak-Hak Anak, tetapi dalam kenyataannya pelaksanaan penegakan hukum masih berjalan secara konvensional yang mengakibatkan banyak anak-anak yang mendekam di tahanan dan dijatuhi pemidanaan berupa pidana penjara oleh pengadilan.12

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana implementasi restoratif jusice dalam proses peradilan pidana perkara anak?

2. Apakah faktor penghambat implementasi restoratif jusice dalam proses peradilan pidana perkara anak?

II. METODE PENELITIAN

2.1 Pendekatan Masalah

Dalam membahas permasalahan penelitian ini, penulis melakukan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian, sedangkan pendekatan yuridis empiris yang dilakukan dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan

11 Rocky Marbun, 22 Agustus 2012. Membangun Restorative Justice dan Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. http://www.wordpres.com/ diakses tanggal 20 Desember 2012.

12 Mara Sutan Rambe, 21 Juni 2012. Implementasi Konsep Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana. http://www.wordpress.com/ diakses tanggal 20 Desember 2012.

Page 9: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

9

melihat fakta-fakta yang ada dalam praktek dan mengenai pelaksanaannya.

2.2 Sumber dan Jenis Data

Sumber data berasal dari dua sumber yaitu data lapangan dan data kepustakaan, sedangkan jenis data berupa data primer dan data sekunder: 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil

penelitian di lapangan, baik melalui pengamatan atau wawancara dengan para responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah penulisan penelitian ini.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut meliputi:a. Bahan hukum primer yaitu : Undang-Undang No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

b. Bahan hukum sekunder yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan dan Surat Keputusan Menteri, serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan peradilan pidana anak.

c. Bahan hukum tersier yaitu karya-karya ilmiah, bahan seminar, dan hasil-hasil penelitian para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

2.3 Penentuan Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini, populasi yang diambil penulis yaitu hakim pengadilan negeri, jaksa, polisi, pengacara/penasehat hukum, dan teoritisi/akademisi. Untuk menentukan sampel dari populasi di atas digunakan metode stratified purposive sampling yang berarti bahwa dalam menentukan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan kedudukan masing-masing sampel yang dianggap telah

Page 10: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

10

mewakili populasi terhadap masalah yang hendak diteliti/dibahas. Sesuai dengan metode penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti sebagaimana tersebut di atas maka sampel dalam membahas penelitian ini adalah: 1 orang Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang; 1 orang Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung; 1 orang Polisi Polresta Bandar Lampung; 1 orang Pengacara; 1 orang Teoritisi/Akademisi.

2.4 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Dalam pengumpulan data penulis mengambil langkah-langkah sebagai berikut:Untuk memperoleh data sekunder, dilakukan dengan serangkaian kegiatan dokumenter dengan cara membaca, mengutip buku-buku, menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Untuk memperoleh data primer, dilakukan dengan cara melakukan studi lapangan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang, dengan menggunakan metode wawancara. Dalam metode wawancara materi-materi yang akan ditanyakan telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh penulis sebagai pedoman, metode ini digunakan agar responden bebas memberikan jawaban-jawaban dalam bentuk uraian-uraian.

Setelah data tersebut terkumpul, pengolahan data dilakukan dengan cara:1. Editing, dalam hal ini data yang masuk akan diperiksa

kelengkapannya, kejelasannya, serta relevansi dengan penelitian.2. Evaluating, yaitu memeriksa dan meneliti data untuk dapat diberikan

penilaian apakah data tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan digunakan untuk penelitian.

2.5 Analisis Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul penulis menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melukiskan

Page 11: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

11

kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian yang berbentuk penjelasan-penjelasan, dari analisis tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan secara induktif, yaitu cara berpikir dalam mengambil suatu kesimpulan terhadap permasalahan yang membahas secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN3.1 Implementasi Restorative Justice dalam Proses Peradilan Pidana Perkara Anak

Restorative justice sebenarnya bukan hal yang baru dalam sistem hukum di Indonesia. Pada masyarakat adat dikenal adanya penyelesaian damai dengan pemulihan kewajiban adat.13 Konflik-konflik internal di kalangan masyarakat yang terjadi di Sulawesi Selatan banyak yang diselesaikan melalui musyawarah adat.14 Bahkan menurut Ahmad Zazili15 negara telah mengakui hak-hak masyarakat adat untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul diantara komunitas masyarakat adat.

Menurut Jeff Christian16 restorative justice adalah “Sebuah penanganan tindak pidana yang tidak hanya dilihat dari kacamata hukum semata tetapi juga dikaitkan dengan aspek-aspek moral, sosial, ekonomi, agama dan adat istiadat lokal serta berbagai pertimbangan lain.

13 Lihat. Barda Nawawi Arief. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan. http:/www.wordpres.com/ diakses tanggal 24 Desember 2012.

14 Lihat. Sri Rahmi, Aswanto, Muh.Syukri, Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Kota Makassar (Suatu Pembaruan Hukum Acara Pidana Anak). Jurnal Program Pascasarjana Universitas Hasanudin, Makasar, 2011. http://www.wordpress.com/ diakses tanggal 23 Desember 2012.

15 Ahmad Zazili, Pengakuan Negara terhadap Hak-Hak Politik (right to vote) Masyarakat Adat dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum (Studi Putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009. Jurnal Konstitusi. Vol. 9 No. 1, Maret 2012, hal. 135-162.

16 Jeff Christian, Juvenile Justice (Keadilan yang Memulihkan bagi Anak). Makalah Lokakarya Konsultatif Restorative Justice. Kerjasama KPAI-Pemerintah Swedia, Jakarta, 2009, hal. 1.

Page 12: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

12

Bagir Manan17 menjelaskan substansi restorative jutice berupa: ”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.

Helen Cowie dan Dawn Jeniffer18 mengidentifikasikan aspek-aspek utama restorative justice sebagai berikut:

1. Perbaikan, bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau menerima kekalahan, tudingan atau pembalasan dendam tetapi tentang keadilan;

2. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku kriminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara tetapi melalui proses yang terbuka dan langsung antara korban dan pelaku kriminal yang berpotensi mengubah cara berhubungan satu sama lain;

3. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas memberikan arena tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil, maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminal serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.

Dalam UU No. 3/1997 tidak dirumuskan pengertian restorative justice, tetapi dalam UU No. 11/2012 merumuskan pengertian restorative justice (keadilan restoratif) sebagai suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan

17 Bagir Manan, Restorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara R.I. Jakarta, 2008, hal. 4.

18 Helen Cowie dan Dawn Jeniffer, Penanganan Kekerasan di Sekolah: Pendekatan Lingkup Sekolah untuk Mencapai Praktik Terbaik. Indeks, Yogyakarta, 2009, hal. 103.

Page 13: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

13

pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. UU No. 11/2012 juga merumuskan pengertian diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Di kalangan dunia internasional sejak era tahun 1990 an berkembang ide “mediasi penal” dalam penyelesaian perkara pidana, hal itu terlihat diantaranya dalam laporan Kongres PBB tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders Tahun 199519 yang mengemukakan:

1. Untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan perkara) di pengadilan para peserta kongres menekankan pada upaya pelepasan bersyarat, mediasi, restitusi dan kompensasi khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda (dalam laporan No. 112);

2. Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) megemukakan mediasi penal sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban (dalam laporan No. 319).

Penggunaan mediasi penal sebagai alternatif peradilan pidana anak dapat dilakukan karena keunggulan-keunggulan yang ditawarkan mediasi penal seperti fleksibel, cepat, rendahnya biaya dan efisien. Menurut Barda Nawawi Arief20 metode ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mdeiator yang ditunjuk. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahap proses baik pada tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan. Model ini dapat diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana atau khusus anak. Mediasi penal sebagai alternatif sistem peradilan pidana sangat diperlukan karena:

1. Diharapkan dapat mengurangi tumpukan perkara;

19 Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana yang Berbasis Restorative Justice. Makalah Seminar, BPHN, Jakarta. 2012, hal. 8.

20 Barda Nawawi Arief, loc. cit.

Page 14: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

14

2. Merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap cepat, murah dan sederhana;

3. Dapat memberikan akses yang seluas mungkin kepada pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan;

4. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Pelaksananaan penanganan perkara pada Polresta Bandar Lampung berupa laporan masyarakat terhadap tindak pidana anak diterima oleh Unit Layanan Perempuan dan Anak (UPPA) dan penyidik wajib melaksanakan diversi dalam forum mediasi dengan pendekatan restorative justice dihadiri oleh petugas BAPAS, anak, orang tua, penasehat hukum/pendamping, korban/orang tua dan perwakilan masyarakat dengan tujuan pemulihan bagi pelaku, korban dan masyarakat. Apabila mediasi berhasil dengan pendekatan restorative justice, maka ditandatangani kesepakatan perdamaian, selanjutnya penyidik membuat surat permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk mengeluarkan penetapan penghentian penyidikan. Apabila tidak berhasil, maka penyidik membuat berita acara dan melimpahkan berkas perkara kepada kejaksaan.

Terhadap perkara-perkara anak yang tidak menimbulkan korban/kerugian yang sangat besar seperti kasus penganiayaan ringan, pencurian kecil-kecilan pada umumnya mediasi dengan pendekatan restorative justice berhasil dengan ditandanganinya perdamaian antara pelaku dengan korban, tetapi dalam kasus-kasus korban menderita luka berat/cacat seumur hidup dan kerugian materil yang besar, tidak tercapai perdamaian antara kedua belah pihak, sehingga perkara diteruskan ke kejaksaan. Mengenai tindakan penahanan, dilakukan penyidik berdasarkan syarat-syarat yang terdapat dalam KUHAP agar tersangka tidak melarikan diri, merusak barang bukti dan mengulangi kejahatan. Lamanya penahanan oleh penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum selama 40 hari.

Page 15: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

15

Berkas perkara pidana diterima oleh kejaksaan selanjutnya kepala Kejaksaan Negeri menunjuk jaksa anak, kemudian jaksa wajib melakukan diversi dengan cara mediasi yang dihadiri oleh petugas BAPAS, anak, orang tua, penasehat hukum/pendamping, korban/orang tua dan perwakilan masyarakat dengan tujuan pemulihan bagi pelaku, korban dan masyarakat. Apabila mediasi berhasil dengan pendekatan restorative justice, maka ditandatangani kesepakatan perdamaian, selanjutnya penuntut umum membuat surat permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk mengeluarkan penetapan penghentian penuntutan. Apabila tidak berhasil, maka penuntut umum membuat berita acara dan melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri. Mengenai tindakan penahanan, penuntut umum melanjutkan penahanan yang dilakukan penyidik apabila tersangka ditahan, tetapi apabila tidak ditahan, penuntut umum akan memperimbangkan perlu tidaknya tindakan penahanan dalam kaitan dengan kelancaran proses penyelesaian perkara di pengadilan. Lamanya penuntut umum menahan adalah 20 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri selama 30 hari.

Berkas perkara anak yang diterima oleh pengadilan negeri, selanjutnya ketua pengadilan negeri menunjuk hakim anak, kemudian hakim anak wajib melakukan diversi dengan cara mediasi yang dihadiri oleh petugas BAPAS, anak, orang tua, penasehat hukum/pendamping, korban/orang tua dan perwakilan masyarakat dengan tujuan pemulihan bagi pelaku, korban dan masyarakat. Apabila mediasi berhasil dengan pendekatan restorative justice, maka ditandatangani kesepakatan perdamaian, selanjutnya hakim pengadilan negeri membuat surat permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan penghentian pemeriksaan persidangan. Apabila tidak berhasil, maka hakim anak membuat berita acara dan melanjutkan pemeriksaan sesuai dengan KUHAP dan UU No. 3/1997.

Page 16: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

16

Dalam praktek mediasi di pengadilan, pihak yang terlibat dalam mediasi adalah mediator (hakim anak) dan para pihak yang terlibat dalam mediasi seperti jaksa anak, petugas BAPAS, terdakwa anak, orang tua terdakwa, korban, orang tua korban, penasehat hukum dan perwakilan masyarakat. Mediator dalam penanganan perkara pidana anak adalah hakim yang bertugas di pengadilan negeri, terutama hakim anak yang secara khusus memang ditugaskan oleh ketua pengadilan negeri dan ditetapkan oleh ketua MA. Ketika bertugas menjadi mediator, hakim anak didampingi oleh jaksa anak dan petugas BAPAS sebagai co-mediator. Untuk menjadi hakim anak terdapat dua syarat yang harus dipenuhi yaitu telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan negeri dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Seorang hakim anak yang bertugas sebagai mediator mempunyai skill/pengetahuan yang memadai tentang anak seperti: Mempunyai wawasan tentang anak, berperan netral, bersikap sabar, tidak mudah terpancing emosi, dapat membangun kepercayaan para pihak, dapat membangun komunikasi para pihak, dapat menggali kepentingan tersembunyi baik pelaku maupun korban, dapat memberikan wacana terkait dengan kasus yang dihadapi dan dapat memberikan alternatif solusi bagi pelaku, korban dan masyarakat dengan tujuan pemulihan pelaku, korban dan masyarakat.

Sebelum melakukan mediasi, mediator menyampaikan beberapa hal mengenai aturan main (ground rules) yang harus disepakati dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat agar proses mediasi dapat berjalan dengan lancar. Aturan main tersebut adalah:

1. Semua informasi penting akan disampaikan untuk didiskusikan bersama;

2. Informasi yang bersifat pribadi boleh disimpan atau dirahasiakan;3. Mendengarkan orang lain;4. Tidak boleh ada tuduhan, hinaan atau interupsi ketika ada pihak

yang berbicara;5. Semua pihak harus mengendalikan emosi;

Page 17: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

17

6. Jika diperlukan mediator dapat melakukan kaukus (pertemuan terpisah) dengan salah satu pihak dalam proses mediasi;

7. Setiap pihak berhak untuk mundur dari proses mediasi, tetapi harus menjelaskan alasan dan memberitahu waktu yang cukup bagi pihak lain untuk memberikan komentar;

8. Kesepakatan yang dicapai dibuat secara tertulis dan harus dihormati.

Setelah mediator membuka mediasi dan para pihak menyepakati aturan main, maka tahapan mediasi di pengadilan negeri adalah sebagai berikut:

1. Semua pihak yang hadir diharapkan menciptakan suasana akrab dan kekeluargaan (meja dalam bentuk lingkaran);

2. Pertemuan diawali dengan ritual khusus (sesuai dengan budaya dan kondisi yang dihadapi) untuk mengangkat semangat kebersamaan serta mendukung ketulusan dan keterbukaan;

3. Setiap orang memperkenalkan diri seraya menjelaskan alasan kehadiran dalam pertemuan;

4. Mediator memulai dengan menanyakan kepada pelaku tentang apa yang ia rasakan ketika dan sesudah melakukan perbuatan tersebut serta menanyakan pula apa yang dirasakan orang tua pelaku;

5. Mediator kemudian menanyakan kepada korban tentang apa yang ia rasakan ketika dan sesudah perbuatan tersebut terjadi serta menanyakan pula apa yang dirasakan orang tua pelaku (apabila korban adalah anak);

6. Mediator menanyakan kepada perwakilan komunitas masyarakat bagaimana perilaku pelaku sebelum dan sesudah melakukan perbuatan pidana dan mengaitkan dengan latar belakang terjadinya peristiwa pidana dari laporan litmas petugas BAPAS;

7. Mediator bertanya kepada pihak lain yang hadir tentang pengalaman/pendapat mereka mengenai perbuatan yang terjadi;

Page 18: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

18

8. Mediator kemudian bertanya bagaimana mencapai keadilan yang memuaskan dalam situasi yang terjadi dan bertanya kepada pelaku/orang tua dan korban/orang tua apa yang menjadi harapan masing-masing;

9. Apabila mencapai kesepakatan maka kesepakatan itu dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh pelaku/keluarga, korban/keluarga dan pihak-pihak yang hadir.

10. Proses mediasi diakhiri dengan ritual khusus.

Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam mediasi, maka pemeriksaan persidangan perkara anak diteruskan. Tetapi, sebagaimana ketentuan undang-undang agar pidana penjara terhadap anak merupakan upaya terakhir (ultimum remedium), maka putusan pengadilan yang terbaik berupa tindakan untuk mengembalikan terdakwa anak kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya. Tetapi implementasi restorative justice tidak berarti bahwa semua perkara pidana anak harus dijatuhkan putusan berupa tindakan, karena hakim juga harus mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu seperti:

1. Anak tersebut baru pertama melakukan kenakalan (first offender);2. Anak tersebut masih sekolah;3. Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan

yang serius, tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup atau tindak pidana yang mengganggu kepentingan umum;

4. Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi anak tersebut secara baik.21

Implementasi restorative jutice dalam proses peradilan pidana perkara anak pada umumnya dilaksanakan pada perkara-perkara tindak pidana ringan yang tidak menimbulkan korban jiwa, luka berat/cacat seumur hidup. Pada perkara-perkara yang menimbulkan korban, proses peradilan pidana dilaksanakan secara konvensional mulai dari tahap

21 M.S. Dewi, Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia. Indi Publishing, Jakarta, 2011, hal. 94.

Page 19: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

19

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta terhadap pelakunya dikenakan penahanan dan pemidanaan.

Tidak dapat dicapainya kesepakatan dalam mediasi dan perkara diteruskan dengan pemeriksaan persidangan sehingga terhadap pelakunya dikenakan pemidanaan karena UU No. 3/1997 memberi peluang kepada hakim untuk menjatuhkan pemidanaan. Begitu juga tentang tindakan penahanan, dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim sesuai dengan lamanya masa penahanan yang terdapat dalam KUHAP.22

Proses peradilan pidana demikian menunjukkan bahwa peradilan pidana dalam perkara anak masih menggunakan peradilan konvensional berdasarkan KUHAP, terutama terhadap tindak-tindak pidana yang menimbulkan korban luka berat atau cacat, dimana tidak tercapai kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak, sehingga hakim dapat menjatuhkan pemidanaan kepada pelakunya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa restorative justice telah diimplementasikan dalam proses peradilan pidana perkara anak, yaitu dengan diadakannya mediasi antara pelaku dengan korban yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim, dimana apabila tercapai kesepakatan, perkara akan dihentikan baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan persidangan. Tetapi, apabila mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka perkara akan diteruskan sampai dengan pemeriksaan persidangan, dimana hakim akan menjatuhkan putusan yang diupayakan berupa tindakan (berdasarkan kriteria tertentu) atau pemidanaan sebagai ultimum remedium. Penahanan dalam perkara anak dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim sesuai dengan persyaratan yang ditentukan KUHAP serta lama masa penahanan yang diatur dalam KUHAP. Lamanya masa penahanan ini tidak sesuai dengan Konvensi

22 Dalam UU No. 11/2012, lamanya masa penahanan yang dapat dilakukan penyidik, penuntut umum dan hakim dipersingkat.

Page 20: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

20

Hak-Hak Anak, maka dalam UU No. 11/2012 lamanya masa penahanan dipersingkat.

3.2 Faktor Penghambat Implementasi Restorative Justice dalam Proses Peradilan Pidana Perkara Anak

(1) Faktor Hukum

Dalam UU No. 3/1997 terdapat prinsip-prinsip restorative jutice, tetapi tidak terdapat ketentuan yang tegas mengenai diversi (penyelesaian di luar proses). Bahkan dikatakan Barda Nawawi Arief23 bahwa di beberapa negara lain, mediasi penal dimungkinkan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan untuk kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga – domestic violence). Namun di Indonesia, ketentuan mediasi penal itu tidak terdapat dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak maupun dalam UU No. 23/2004 tentang KDRT. Pengaturan dalam UU No. 11/2012 sudah memasukkan diversi dari tingkat penyidikan, penuntutan sampai pengadilan, dimana apabila tercapai kesepakatan perdamaian antara pihak pelaku dan korban maka perkara akan dihentikan. Putusan pengadilan diupayakan berupa tindakan sedangkan pemidanaan sebagai ultimum remedium. Tetapi dengan adanya ketentuan pemidanaan akan memberi peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana yang akan menempatkan anak kedalam penjara. Pengaturan mengenai penahanan perkara anak sama dengan perkara dewasa yang syarat-syarat dan lamanya berdasarkan ketentuan KUHAP

23 Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa undang-undang harus secara tegas menyatakan bahwa penyelesaian di luar proses menggugurkan penuntutan. Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Konsep KUHP Baru: Kewenangan penuntutan gugur, jika: a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; b. terdakwa meninggal dunia; c. daluwarsa; d. penyelesaian di luar proses; e. maksimum pidana denda dibayar dengan suka-rela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II; f. maksimum pidana denda dibayar dengan suka-rela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III; g. Presiden memberi amnesti atau abolisi; h. penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian; i. tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau j. pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung. Barda Nawawi Arief, loc. cit.

Page 21: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

21

yang tidak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak, maka dalam UU No. 11/2012 ketentuan lamanya penahanan dipersingkat.

(2) Faktor Penegak Hukum

Aparat penegak hukum sebagai pelaksana proses peradilan pidana perkara anak dengan pendekatan restorative justice memegang peranan yang sangat penting. Penegak hukum yang kurang berpengalaman dibidangnya dan tidak mempunyai skill/pengetahuan yang memadai tentang anak akan mengakibatkan proses peradilan pidana perkara anak dijalankan secara konvensional sehingga merugikan hak-hak anak. Dalam UU No. 3/1997 dan UU No. 11/2012 tidak mensyaratkan mediator yang melakukan mediasi adalah mediator yang bersertifikasi, seperti halnya mediator dalam penyelesaian sengketa perdata dalam pengadilan perdata. Para mediator adalah polisi anak, jaksa anak, dan hakim anak yang berkemungkinan kurang berpengetahuan terhadap persoalan-persoalan yang dialami anak-anak dan penyelesaiannya.

(3) Faktor Budaya Hukum

Budaya hukum adalah seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang dipatuhi dan dilaksanakan aparat pengak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Budaya hukum polisi, jaksa dan hakim yang ada di Indonesia adalah budaya praduga bersalah (presumption of guilt), “mengadili” dan memidana. Budaya demikian akan menjadi penghambat aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya manakala harus melakukan mediasi untuk tercapainya perdamaian antara pelaku dengan korban. Begitu pula dengan adanya korupsi/suap sebagai budaya yang juga terdapat pada penegak hukum, adanya pranata diversi dapat dijadikan “lahan” penegak hukum untuk melakukan korupsi/suap dengan “tawaran” terhadap pelaku agar perkaranya dapat dihentikan.

Page 22: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

22

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa faktor penghambat implementasi restorative justice dalam proses peradilan pidana perkara anak adalah faktor undang-undang, faktor penegak hukum dan faktor budaya hukum.

IV. PENUTUP4.1 Simpulan

(1)Restorative justice telah diimplementasikan dalam proses peradilan pidana perkara anak, yaitu dengan diadakannya mediasi antara pelaku dengan korban yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim, dimana apabila tercapai kesepakatan, perkara akan dihentikan baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan persidangan. Tetapi, apabila mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka perkara akan diteruskan sampai dengan pemeriksaan persidangan, dimana hakim akan menjatuhkan putusan yang diupayakan berupa tindakan (berdasarkan kriteria tertentu) atau pemidanaan sebagai ultimum remedium. Penahanan dalam perkara anak dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim sesuai dengan persyaratan yang ditentukan KUHAP serta lama masa penahanan yang diatur dalam KUHAP. Lamanya masa penahanan ini tidak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak, maka dalam UU No. 11/2012 lamanya masa penahanan dipersingkat.

(2)Faktor penghambat implementasi restorative justice dalam proses peradilan pidana perkara anak adalah faktor undang-undang, faktor penegak hukum dan faktor budaya hukum.

4.2 Saran

(1)Mediator polisi anak, jaksa anak dan hakim anak yang melaksanakan kegiatan mediasi sebaiknya adalah mediator yang

Page 23: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

23

tersertifikasi untuk meningkatkan profesionalitas mediator dalam melaksanakan tugasnya.

(2)Peningkatan pengetahuan, keahlian dan keterampilan aparat penegak hukum yang menangani proses peradilan pidana perkara anak.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Zazili, Pengakuan Negara terhadap Hak-Hak Politik (right to vote) Masyarakat Adat dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum (Studi Putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009. Jurnal Konstitusi. Vol. 9 No. 1, Maret 2012.

Barda Nawawi Arief, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung.

----------, 2009. Potret Penegakan Hukum di Indonesia, Komisi Yudisial R.I., Jakarta.

----------, 2012. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan. http:/www.wordpres.com/

Bagir Manan, 2008. Retorative Justice (Suatu Perkenalan), dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara R.I. Jakarta.

Dirjen Pemasyarakatan, 2009. Data Bina Statistik Dirjen  Pemasyarakatan, Jakarta.

Eka Ari Endrawati, Upaya Hukum Penanggulangan Anak Jalanan yang Melanggar Ketertiban Umum di Propinsi Lampung, Jurnal Praevia, PPS Magister Hukum Unila Vol.3 No. 1 Juni 2009.

Faizin Sulistio, Mediasi Penal Sebagai Model Keadilan Restoratif dalam Menyelesaikan Kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Jurnal Arena Hukum Universitas Brawijaya Malang, Juli 2010.

Helen Cowie dan Dawn Jeniffer, 2009. Penanganan Kekerasan di Sekolah: Pendekatan Lingkup Sekolah untuk Mencapai Praktik Terbaik. Indeks, Yogyakarta.

Jeff Christian, 2009. Juvenile Justice (Keadilan yang Memulihkan bagi Anak). Makalah Lokakarya Konsultatif Restorative Justice. Kerjasama KPAI-Pemerintah Swedia, Jakarta.

Page 24: staff.unila.ac.idstaff.unila.ac.id/.../files/2011/11/IMPLEMENTASI-net.docx · Web viewpenjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan

24

KPAI, 2009. Alternatif Pemidanaan Berdasarkan Restorative Justice terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Jakarta. http://www.kpai.go.id/publikasi/artikel.

Lawrence M. Friedman. 1984. “What is a Legal System” dalam American Law, W.W. Norton and Company, New York.

Mara Sutan Rambe, 2012. Implementasi Konsep Restorative Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana. http://www.wordpress.com/.

M.S. Dewi, 2011. Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia. Indi Publishing, Jakarta.

Mansurzikri, 2011, Restorative Justice Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perkara yang Mengedepankan Kepentingan Perempuan Sebagai Korban Kekerasan Seksual, http://www.wordpres.com/

Nur Rochaeti, Model Restorative Justice Sebagai Alternatif Penananganan bagi Anak Delinkuen di Indonesia. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Fakultas Hukum Undip Semarang, Vol. 37 No. 4, 2008.

Rocky Marbun, 2012. Membangun Restorative Justice dan Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. http://www.wordpres.com/.

Setyo Utomo, 2012. Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana yang Berbasis Restorative Justice. Makalah Seminar, BPHN, Jakarta.Sri Rahmi, Aswanto, Muh.Syukri, Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Kota Makassar (Suatu Pembaruan Hukum Acara Pidana Anak). Jurnal Program Pascasarjana Universitas Hasanudin, Makasar, 2011. http://www.wordpress.com/

UNICEF-Kriminologi UI, 2004. Laporan Tim Need Assesment di Lapas dan Rutan Makassar. Jakarta.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.