stratifikasi anak angkat dalam keluarga di...
TRANSCRIPT
STRATIFIKASI ANAK ANGKAT DALAM KELUARGA
DI KELURAHAN PONDOK PINANG JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Ayu Pertiwi
NIM: 1111111000036
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
STRATIFIKASI ANAK ANGKAT DALAM KELUARGA
DI KELURAHAN PONDOK PINANG JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Ayu Pertiwi
NIM: 1111111000036
Pembimbing,
Muhammad Ismail, M.Si
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
STRATIFIKASI ANAK ANGKAT DALAM KELUARGA
DI KELUARAHAN PONDOK PINANG JAKARTA SELATAN
Oleh
Ayu Pertiwi
1111111000036
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18
September 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Husnul Khitam, M.Si
NIP. 197609182003122003 NIP.
Penguji I, Penguji II,
Dra. Ida Rosyidah, MA Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 196306161990032002 NIP. 197609182003122003
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 18 September 2015
Ketua Program Studi Sosiologi
FISIP UIN Jakarta
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 197609182003122003
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
STRATIFIKASI ANAK ANGKAT DALAM KELUARGA
DI KELURAHAN PONDOK PINANG JAKARTA SELATAN
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya
asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Agustus 2015
Ayu Pertiwi
ABSTRAK
Skripsi ini mengenai masalah stratifikasi anak angkat dalam keluarga
dan masyarakat di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan sebagai studi
kasusnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
faktor penyebab terjadi perbedaan perilaku sosial pada anak angkat yang berasal
dari stratifikasi kelas sosial dan bagaimana peran orang tua dalam memberikan
nilai-nilai sosialisasi kepada anak angkat sehingga terdapat perbedaan tingkah
laku anak angkat dalam keluarga kelas sosial berbeda. Penelitian ini bersifat
kualitatif-deskriptif dengan menggunakan metode field research dan wawancara
dengan 9 orang informan. Peneliti menemukan, bahwa persoalan perbedaan
perilaku sosial anak angkat dalam keluarga di kelurahan Pondok Pinang Jakarta
Selatan dipengaruhi oleh kedudukan kelas sosial keluarga, disini dapat terlihat
dari kondisi sosial-ekonomi keluarga, dimana keluarga kelas sosial menengah
memiliki tempat tinggal cenderung lebih besar daripada keluarga kelas sosial
bawah. Kemudian, keluarga kelas bawah cenderung tidak memasukan anak
angkat mereka miliki pendidikan non-formal daripada keluarga kelas menengah
akan demikian sebagai bentuk peran orang tua terhadap anak angkat mereka
miliki. Jadi, salah satu peran orang tua ini yang dianggap sebagai nilai-nilai
sosialisasi yang diberikan terhadap anak mereka miliki agar mampu mengikuti
jejak orang tuanya dalam menghasilkan priviledge dan prestige bahkan lebih
dikemudian hari.
Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori kelas
sosial dan keluarga, socialization and class, serta social class and “life of style”.
Dari hasil analisa dengan menggunakan ketiga teori tersebut dapat disimpulkan
bahwa permasalahan stratifikasi anak angkat dalam keluarga dapat digambarkan
melalui 3 dimensi, yaitu adanya kedudukan kelas sosial keluarga anak angkat
dilatarbelakangi oleh perbedaan dalam memiliki priviledge dan prestige yang
baik, hal itupun berlaku pada nilai-nilai sosialisasi yang diinternalisasi dari
pengalaman hidup orang tua dan generasi sebelumnya, dan terbangunya gaya
hidup yang berbeda sehingga membentuk perilaku sosial anak angkat yang
cenderung bertentangan.
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Stratifikasi Anak Angkat
dalam Keluarga di Kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan ini dengan baik. Shalawat
serta salam tak lupa peneliti haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
semoga nantinya di akhirat kelak kita diberi syafaatnya.
Banyak kesulitan yang peneliti hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini. Prosesnya
yang cukup sulit menguji fisik serta mental peneliti. Alhamdulillah dengan bantuan
banyak pihak akhirnya skripsi ini dapat rampung, peneliti ingin berterima kasih yang
sedalam-dalamnya diantaranya kepada;
1. Prof. Dr.Zulkifli, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif hidayatullah Jakarta.
2. Mohammad Hasan Ansori, Ph.D. Selaku dosen Pembimbing Akademik (PA)
Tahun Angkatan 2011 kelas B Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universtias Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si. Selaku Ketua Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Husnul Khitam, M.Si. Selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Muhammad Ismail, M.Si Selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
selalu memberikan arahan.
6. Dra. Ida Rosyidah, MA. Selaku dosen pengampu mata kuliah sosiologi keluarga
yang telah banyak memberikan saran dan kritik atas penulisan skripsi ini.
7. Seluruh dosen pengajar Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik yang tak dapat disebutkan satu persatu.
8. Kepada Bapak Jajang (Staff Jurusan) yang membantu hal administratif.
9. Kepada teman-teman Sosiologi angkatan 2011 kelas A dan B khusunya, dan
seluruh teman-teman UIN yang tak dapat disebutkan satu persatu
10. Segenap para informan orang tua dari anak angkat di Kelurahan Pondok
Pinang Jakarta Selatan yang telah memberikan waktu dan informasi yang peneliti
butuhkan.
Terakhir, terima kasih kepada Bapak H. Mahadi Mansyur dan Ibu Hj. Sukinah
selaku orang tua angkat tercinta yang senantiasa ikhlas berdoa untuk menyegarkan hati
peneliti dalam proses skripsi ini dan untaikan terima kasih kepada calon suami Abdul
Yasir Baasith yang menjadi motivasi dan inspirasi.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Karena itu, saran dan
kritik yang membangun sangat peneliti harapkan guna perbaikan di kemudian hari.
Peneliti berharap nantinya hasil dari penelitian ini berguna baik dalam segi akademis
maupun kapada orangtua yang memiliki anak angkat dalam keluarga yang mereka
miliki, dan khusunya kepada orangtua anak angkat keluarga di Kelurahan Pondok
Pinang Jakarta Selatan.
Jakarta, 20 Agustus 2015
Ayu Pertiwi
DAFTAR TABEL
Tabel I.F.2.a.1 Data Wawancara Informan …………...……………………………. 20
Tabel I.F.4.1 Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 22
Tabel II.A.1 Populasi Jumlah KK Di Tingkat RT yang Mengadopsi
Anak Angkat ...................................................................................... 25
ARTI SINGKATAN DAN LAMBANG
Ha : Hektar
HP : Handphone
IKSK : Ikatan Keluarga Setia Kawan
KK : Kepala Keluarga
PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini
RW : Rukun Warga
RT : Rukun Tetangga
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMP : Sekolah Menengah Pertama
TK : Taman Kanak-Kanak
TPA : Taman Pendidikan Al-Qur’an
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah stratifikasi anak angkat dalam
keluarga, dengan mengambil keluarga di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan
sebagai studi kasus. Secara lebih spesifik, skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan dan
menggambarkan faktor penyebab terjadi perbedaan perilaku sosial pada anak angkat
yang berasal dari stratifikasi kelas sosial berbeda, serta bagaimana peran orang tua dalam
memberikan nilai-nilai sosialisasi kepada anak angkat sehingga terdapat perbedaan
tingkah laku anak angkat dalam keluarga kelas sosial berbeda.
Keluarga memiliki peran penting dalam proses memberikan pembelajaran
(sosialisasi) terhadap anak mengenai mekanisme konstruksi sosial. Nilai-nilai sosialisasi
yang diberikan keluarga terhadap anak yang mereka miliki cenderung mengikuti standar
kelas yang dimiliki. Kencenderungan ini, terlihat pada perbedaan pengedalian keluarga,
gaya hidup, motivasi dan dukungan, sejarah kelas sosial orang tua, dan nilai yang
diterima dari generasi sebelum, sebagai nilai sosialisasi yang diberikan keluarga terhadap
anak mereka miliki. Maka demikian, hal itu mendorong terbentuknya perbedaan perilaku
sosial di antara anak dalam keluarga kelas sosial yang berbeda di masyarakat.
Perbedaan kelas sosial antara keluarga satu dengan lainnya di masyarakat
merupakan hal yang umum, adanya suatu tingkatan kelas sosial sebuah keluarga
didasarkan pada kedudukan kelas sosial keluarga itu sendiri. Demikian, apa yang
dilakukan Jack Alexander (1975) dalam sebuah catatan mengenai penelitian atas
hubungan di antara stratifikasi dan keluarga di Carribbean, dengan fokus pada pelbagai
aspek stratifikasi dan kehidupan keluarga, seperti pendidikan, kekayaan, penghasilan,
2
kondisi tempat tinggal, pekerjaan, prestige, gaya hidup, ras atau etnik (Jack Alexander.
1975:124).
Jika apa yang terdeskripsikan di atas bagian daftar perbedaan di antara kelas sosial
keluarga, secara instrinsik perbedaan itu juga berlaku di dalam sebuah keluarga itu
sendiri. Perbedaan itu bisa terlihat daripada jenis kelamin dan usia, namun demikian,
perbedaan stratifikasi itu terlepas dari kelas sosial keluarga itu sendiri, anggota keluarga
cenderung untuk tidak terlalu melihat perbedaan bentuk prestige seperti jenis kelamin
dan usia, karena dalam “kelas sosial sebuah keluarga, mereka cenderung untuk memiliki
kelas yang sama di antara anggota satu dengan yang lain dalam sebuah keluarga” (Ernest
A. T. Barth & Walter B. Watson. 1967:392).
Harry M Johson (1976) mengungkapkan hal yang sama bahwa meskipun dalam
sebuah keluarga ada perbedaan prestige di sana, perbedaan itu hanya berdasarkan usia
dan jenis kelamin, mengabaikan perbedaan stratifikasi ini pada kelas sosial; dengan
menganggap bahwa anggota keluarga memiliki kelas yang sama (Harry M Johson.
1976:236). Sehingga, apa yang dimaksudkan William J. Goode bahwa konsepsi
mengenai stratifikasi dan keluarga bukan semata-mata pada perorangan yang
digolongkan dalam struktur kelas tetapi keluargalah yang merupakan kunci sistem
stratifikasi dan mekanisme sosial yang memeliharanya (William J. Goode. 2007:162).
Di sini, terlihat pada kedudukan keluarga menentukan perilaku setiap anggota di
dalamnya, sehingga tidak mengherankan jika perilaku sosial anak cenderung mengikuti
apa yang menjadi gaya hidup kelas sosial keluarganya. Satu studi stratifikasi dan
pendidikan anak menemukan untuk contoh bahwa “anak keluarga kaya di Indonesia
lebih banyak menikmati fasilitas pendidikan baik bahkan menambahkan pengetahuan
dengan les privat, dan sebaliknya, anak-anak keluarga miskin harus memasuki sekolah
3
yang tidak bermutu, baik fasilitas maupun sistem pembelajaranya” (Didin Saripudin.
2010:62).
Perilaku sosial anak dalam kelas sosial yang berbeda juga terlihat pada peran orang
tua dalam pengawasan atau pengedalian keluarga terhadap anak mereka miliki, dimana
satu studi mengenai kedudukan kelas keluarga menemukan, untuk contoh, bahwa
“keluarga-keluarga kelas menengah di Amerika Serikat membesarkan anak-anak mereka
dengan lebih banyak kebebasan daripada keluarga-keluarga kelas rendah, tetapi
menuntut hasil yang lebih tinggi dalam bidang keahlian, pengetahuan dan prakarsa”
(William J. Goode. 2007:164).
Oleh karena itu, Perilaku anak dipengaruhi oleh kedudukan kelas, pola
pengendalian keluarga dan nilai-nilai sosial kelas orang tua, studi yang dilakukan oleh
Melvin Kohn menemukan, untuk contoh, bahwa keluarga kelas pekerja cenderung untuk
memerhatikan nilai-nilai konfirmitas agar anak mereka dapat menginternalisasikan nilai
ketaatan, maka orang tua cenderung menggunakan hukuman fisik. Berbeda dengan kelas
menengah cenderung mengembangkan rasa ingin tahu, ekspresi diri, dan pengendalian
diri terhadap anak-anak mereka (Cherlin J.A. 2002:322).
Untuk itu, David B Brinkerhoft dan Lynn K. White mengatakan bahwa berawal dari
keluargalah, seorang anak mempelajari atau menerima pengetahuan, nilai, norma,
perilaku esensial, dan harapan yang ditransmisikan dari orang tua (keluarga) yang
mereka miliki agar mampu berpartisipasi efektif dalam masyarakat (Damsar. 2011:66).
Begitupun, dengan anak angkat yang diadopsi oleh seseorang atau sebuah keluarga.
Anak angkat di sini, meskipun bukan dari garis keturunan tetapi memiliki kedudukan
yang sama dalam sebuah keluarga inti, karena merupakan bagian di dalamnya.
Giddens Sebagai seorang teoritisi sosial Inggris yang terkenal pada masa kini dan
berpengaruh di dunia (George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2007:554) menyatakan
4
bahwa keluarga inti (Nuclear Family) adalah dua orang dewasa yang tinggal bersama
dalam suatu rumah tangga dengan anak kandung ataupun adopsi yang mereka miliki
(Giddens. 1997:140-141). Terkait dengan pandangan Gidden tentang anak adopsi (anak
angkat) dalam sebuah keluarga inti.
Keberadaan anak angkat dalam sebuah keluarga menjadi suatu hal yang berbeda
dari sudut pandang biologis. Perbedaan bisa terlihat dari bentuk wajah, rambut, postur
badan, dan seterusnya. Namun, daftar itu tidak menunjukkan pembahasan disini
mengenai stratifikasi anak angkat dalam keluarga. Perbedaan yang dilihat disini lebih
mengacu kepada perilaku sosial yang ditimbulkan akibat dari perbedaan kelas sosial
keluarga yang terjadi di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan.
Anak angkat yang berada pada keluarga di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta
Selatan merupakan seorang anak yang diambil (adopsi) di luar dari bagian keluarga inti
tetapi masih memiliki ikatan darah (keluarga besar), dikarenakan pasangan suami-istri
tidak memiliki anak, dan bahkan di luar dari ikatan keluarga besar. Meskipun, rata-rata
keseluruhan keluarga anak angkat tersebut, tidak memiliki surat keputusan dan
penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan yang sah (Peraturan Pemerintah Nomor
57 Tahun 2007; tentang pelaksanaan pengangkatan anak)
Secara sosial, keluarga di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan sangat
“senang” dengan kehadiran seorang anak angkat dalam keluarga mereka. Terlebih lagi,
dengan keberadaan anak angkat tersebut memberikan suatu “keberkahan” tersendiri di
dalam keluarga mereka miliki. Untuk itu, senantiasa mereka memiliki tanggung jawab
atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, serta memberikan
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Maka dari itu, tidak ditemukan kasus
kekerasan keluarga terhadap anak angkat mereka miliki terjadi di sini.
5
Sesuai dengan pandangan peneliti, pada dasarnya keluarga anak angkat di kelurahan
Pondok Pinang, Jakarta Selatan menganggap anak angkat bagian dari keluarga dengan
ungkapan “senang” sebagai kontrol sosial yang merupakan nilai khusus (particularistic
value) dalam menjalin hubungan sosial di antara anggota keluarga. Dengan nilai khusus
ini, membuat keluarga di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan mengasuh “anak
angkat yang bukan anak kandung, seperti anak sendiri” (G. Kartasapoetra & Hartini,
2007:156). Kedudukan inilah yang mendasari peneliti untuk mengkaji lebih dalam
mengenai anak angkat dalam keluarga kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan.
Seperti pada kasus yang terjadi di Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar Propinsi
Bali. Kedudukan anak angkat sama seperti anak kandungnya sendiri menurut hukum
adat bali (Ida Bagus, 2006:ix). Senada dengan hal ini, Yulianti Katidjan dalam jurnal
yang berjudul ”Hak Dan Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan Di
Masyarakat Minahasa,” juga menyatakan bahwa hak dan kedudukan anak adopsi
merupakan ahli waris dari orang tua asuh karena anak memiliki status dan kedudukan
sama dengan anak kandung (Yulyanti Kartidjan, 2013:ix).
Adanya kedudukan dan hak yang sama dengan anak kandung, membuat keluarga
anak angkat di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan dalam memberikan sosialisasi
mengenai mekanisme sosial kepada anak angkat berdasarkan pola keluarga yang
dimiliki. Pola keluarga yang diberikan kepada anak dalam proses sosialisasi, berbeda di
antara keluarga yang satu dengan yang lain, bergantung pada kedudukan kelas sosial
keluarga tersebut. Dapat dicontohkan pada posisi atau kedudukan keluarga anak angkat
terlihat pada kondisi tempat tinggal atau rumah.
Keluarga kelas sosial menengah di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan
cenderung memiliki tempat tinggal kondisi rumah yang cukup besar, berbeda dengan
keluarga kelas social bawah dengan kondisi rumah yang relatif kecil, bahkan tidak
6
memiliki tempat tinggal (rumah ngontrak). Begitupun, dengan kondisi sosial-ekonomi
keluarga anak angkat memberikan corak tersendiri pada perilaku sosial anak angkat
dalam kehidupan sehari-hari ditemukan, bahwa perilaku sosial anak angkat dapat dilihat
dengan pilihan sekolah, pilihan peralatan keseharian, seperti; pakaian, fasilitas berupa
kamar, uang saku, dan tempat berlibur.
Alasan lain yang membuat peneliti tertarik ialah dengan mengacu pada yang
diungkapkan oleh Soerjono Soekanto menyatakan perbedaan status dalam kelas-kelas
sosial, memberikan fasilitas hidup tertentu (life chance) dan membentuk gaya tingkah
laku (life style) bagi masing-masing individu atau kelompok (Didin Saripudin. 2010:74).
Hal ini, terlihat pada perbedaan pengendalian keluarga kelas anak angkat di kelurahan
Pondok Pinang Jakarta Selatan. Dimana, realitas yang terjadi pada orang tua keluarga
kelas sosial menengah di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan dalam
mengendalikan anak angkat mereka miliki cenderung memasukannya ke tempat les yang
diadakan oleh sekolah sebagai fasilitas hidup yang diberikan. Berbeda dengan keluarga
kelas sosial bawah yang cenderung tidak dapat memasukannya untuk anak mereka miliki
disebabkan les tersebut memerlukan finansial yang tidak sedikit.
Adanya fasilitas pendidikan tambahan les yang diadakan sekolah sebagai pola
pengendalian keluarga angkat di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan, memberikan
kemudahan hidup bagi anak angkat keluarga kelas sosial menengah dalam hal
pendidikan yang lebih baik, dibandingkan dengan anak angkat dalam keluarga kelas
sosial bawah. Oleh karena itu, gaya hidup kelas sosial keluarga anak angkat di kelurahan
Pondok Pinang Jakarta Selatan menentukkan gaya tingkah laku (life style) anak angkat
yang mereka miliki. Seperti apa yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto bahwa setiap
kelas sosial cenderung untuk memiliki sejumlah “gaya hidup” kelas sosial mereka miliki
sendiri (Didin Saripudin. 2010:74).
7
Meskipun memiliki status sosial yang sama dalam sebuah keluarga sebagai seorang
anak adopsi (anak angkat), namun pada kenyataanya anak angkat pada keluarga kelas
sosial menengah berbeda dengan keluarga kelas sosial bawah mengenai perilaku sosial
dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan perilaku sosial yang terjadi pada anak angkat
dalam keluarga di kelurahan Pondok Pinang disebabkan oleh perbedaan kedudukan
kelas, pengendalian keluarga, dan gaya hidup. Dengan perbedaan kelas sosial ini
mengakibatkan kemudahan hidup bagi anak angkat dalam keluarga kelas sosial
menengah, jika dibandingkan anak angkat dalam keluarga kelas sosial bawah di
kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran secara jelas dan lengkap, khususnya
tentang stratifikasi anak angkat dalam keluarga, peneliti memandang perlu untuk
dilakukan penelitian tersendiri secara lebih seksama dan mendalam. Penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi awal untuk melakukan studi secara lebih
luas baik oleh kelompok, maupun perorangan.
Dari latar belakang masalah di atas, untuk itu peneliti melakukan penelitian dengan
mengambil judul: “Stratifikasi Anak Angkat Dalam Keluarga di Kelurahan Pondok
Pinang Jakarta Selatan.”
B. Pertanyaan Penelitian
Dengan mengacu pada pernyataan penelitian seperti yang terurai diatas, maka
pertanyaan penelitian ini adalah:
1. Apa faktor penyebab terjadi perbedaan perilaku sosial pada anak angkat yang
berasal dari stratifikasi kelas sosial berbeda ?
2. Bagaimana peran orang tua dalam memberikan nilai-nilai sosialisasi kepada anak
angkat sehingga terdapat perbedaan tingkah laku anak angkat dalam keluarga
kelas sosial berbeda ?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini, tentunya memiliki dasar tujuan dan manfaat yang ingin
didapatkan.
1. Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan faktor penyebab terjadi perbedaan
perilaku sosial pada anak angkat yang berasal dari stratifikasi kelas sosial
berbeda.
b. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan peran orang tua dalam
memberikan nilai-nilai sosialisasi kepada anak angkat sehingga terdapat
perbedaan tingkah laku anak angkat dalam keluarga kelas sosial berbeda.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini adalah:
a. Manfaat secara teoritis, penelitian ini memberikan kontribusi terhadap
sosiologi keluarga yang mengkaji permasalahan-permasalahan sosial
keluarga, khususnya mengenai stratifikasi anak angkat dalam keluarga.
b. Manfaat secara praktis yaitu penelitian ini mendeskripsikan segala bentuk
terjadinya stratifikasi anak angkat dalam keluarga dan tingkah laku anak
angkat dalam keluarga dengan strata sosial yang berbeda.
D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Sebelum melakukan penelitian terkait permasalah yang akan diteliti, peneliti telah
melakukan tinjauan pustaka terlebih dahulu. Peneliti telah membaca jurnal dan tesis
yang berhubungan dengan penelitian stratifikasi anak angkat dalam keluarga. Awal
pencarian tinjauan pustaka ini peneliti meringkas salah satu jurnal yang ditulis oleh
Dessy Balaati dengan judul “Prosedur dan Penetapan Anak Angkat Di Indonesia.”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pengangkatan anak yang sah di
9
Indonesia dan bagaimana penetapan dan status hukum anak angkat yang berlaku di
Indonesia dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif (Dessy Balaati.
2013:ix).
Penelitian ini menemukan bahwa seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2
(dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun. Untuk sahnya pengangkatan
anak di Indonesia, setelah permohonan pengangkatan anak melalui prosedur dari aturan
dalam perundang-undangan yang ada, pengangkatan anak selanjutnya disahkan melalui
langkah terakhir yaitu dengan adanya putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh
pengadilan dengan bentuk penetapan pengadilan atau dikenal dengan putusan deklarator,
yaitu pernyataan dari majelis hakim bahwa anak angkat tersebut adalah sah sebagai anak
angkat dari orang tua angkat yang mengajukan permohonan pengangkatan anak.
Mengutip sebuah thesis yang ditulis Novi Kartiningrum yang berjudul
“Implementasi Pelaksana Adopsi Anak Dalam Perspektif Perlindungan Anak (Studi di
Semarang dan Surakarta.” Berdasarkan temuan dari penelitian ini, dapat disimpulkan
bahwa prospek pelaksanaan adopsi anak dalam perspektif perlindungan anak,
pengawasan diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan atau pelanggaran
dalam proses adopsi. Seharusnya, untuk ke depan dibentuk suatu lembaga pengawas
untuk mengontrol jalannya adopsi anak. Dan belum adanya peraturan perundang-
undangan yang mengatur sacara khusus tentang adopsi anak (Novi Kartiningrum,
2008:95).
Yulyanti Katidjan dalam jurnal yang berjudul ”Hak Dan Kedudukan Anak Angkat
terhadap Harta Warisan Di Masyarakat Minahasa.” Hasil penelitianya membuktikan
bahwa secara umum, dalam hal pengangkatan anak sistem hukum yang dipakai adalah
mengacu pada sistem yang berlaku dalam hukum positif yang di atur oleh pemerintah,
lewat putusan pengadilan, sehingga status anak yang di adopsi menjadi anak sah dari
10
orang tua angkat. Sedangkan hak dan kedudukan anak adopsi merupakan ahli waris dari
orang tua asuh karena anak memiliki status dan kedudukan sama dengan anak kandung
(Yulyanti Kartidjan, 2013:ix).
Ida Bagus Indra (2006) dalam thesis yang berjudul ”Kedudukan Anak Angkat yang
Berasal dari Anak Saudara Kandung Menurut Hukum Adat di Kecamatan Gianyar
Kabupaten Gianyar Propinsi Bali Diponegoro.” Dari hasil penelitian menunjukkan
kedudukan anak angkat menurut hukum adat di Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar
Bali yaitu a. Pengangkatan anak di kecamatan Gianyar kabupaten Gianyar Bali adalah
mengangkat anak saudara sendiri oleh orang tua angkat untuk dijadikan anak sendiri
sesuai ketentuan pengangkatan anak menurut hukum adat Bali, selanjutnya anak itu
mempunyai kedudukan yang sama seperti anak kandungnya sendiri. b. Hubungan anak
angkat dengan orang tua kandungnya terputus sama sekali, sehingga ia tidak berhak
mewarisi harta dari keluarga orang tua kandungnya sendiri melainkan ia menjadi ahli
waris dari orang tua yang mengangkatnya (Ida Bagus Indra, 2006:ix).
Dari apa yang digambarkan terkait hasil penelitian-penelitian sebelumnya mengenai
anak angkat dapat disimpulkan kembali bahwa: pertama, putusan pengadilan juga
mencakup mengenai status hukum dari anak angkat dalam keluarga yang telah
mengangkatnya, mengenai hak waris dari anak angkat diatur secara beragam baik dari
hukum adat maupun peraturan perundang-undangan, hak waris anak menurut hukum
adat mengikuti aturan adat dari masing-masing daerah. Kedua, belum adanya peraturan
perundang-undangan yang mengatur sacara khusus tentang adopsi anak.
Ketiga, secara umum, dalam hal pengangkatan anak sistem hukum yang dipakai
adalah mengacu pada sistem yang berlaku dalam Hukum Positif yang diatur oleh
pemerintah, lewat Putusan Pengadilan, sehingga status anak yang di adopsi menjadi anak
sah dari orang tua angkat. Sedangkan hak dan kedudukan Anak Adopsi merupakan Ahli
11
Waris dari orang tuanya karena anak memiliki status dan kedudukan sama dengan anak
kandung.
Keempat, praktek pelaksanaan pengangkatan anak di Kecamatan Gianyar
Kabupaten Gianyar Bali yaitu pasangan suami istri harus sepakat untuk mengangkat
anak, pengangkatan anak saudara sendiri oleh orang tua angkat untuk dijadikan anak
sendiri sesuai ketentuan pengangkatan anak menurut hukum adat Bali, anak itu
mempunyai kedudukan yang sama seperti anak kandungnya sendiri, tidak berhak
mewarisi harta dari keluarga orang tua kandungnya sendiri.
Sesuai dengan apa yang disimpulkan dalam penelitian-penelitian sebelumnya terkait
permasalahan anak angkat, maka daripada itu dalam justifikasi studi melihat adanya
persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Persamaanya pada konsep variabel objek yang diteliti yaitu mengenai anak angkat
sebagai anak adopsi yang ditempatkan di dalam masyarakat dengan memiliki
kedudukanya tersendiri. Adapun perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya yaitu,
bahwa penelitian sebelumnya melihat posisi anak dari aspek hukum waris, hukum adat,
dan hukum pengangkatan anak angkat. Penelitian ini lebih memfokuskan pada
stratifikasi anak angkat dalam keluarga dalam perspektif sosiologi keluarga.
E. Kerangka Teori
1. Teori Stratifikasi
Konsepsi stratifikasi sosial secara umum merupakan perbedaaan status yang berlaku
dalam masyarakat. Adanya perbedaaan status menciptakan masyarakat terbagi-bagi
dalam kelas-kelas sosial secara bertingkat (hierarki). Perbedaan status ditunjukkan
dengan ketidakseimbangan hak, kesempatan, dan kewajiban di antara individu atau
kelompok, sehingga perbedaan tersebut cenderung dipertentangkan dalam masyarakat.
12
Pitrim Sorikin menjelaskan bahwa stratifikasi sosial adalah “pembedaan penduduk
atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat yang diwujudkan dalam kelas
tinggi, kelas sedang, dan kelas rendah dengan ditandai oleh adanya ketidakseimbangan
dalam pembagian antara hak dan kewajiban serta tanggung jawab individu dan
kelompok di dalam suatu sistem sosial.” (Didin Saripudin, 2010:42)
Karl Marx dan Weber, secara fungsional menjelaskan bahwa pembagian masyarakat
kedalam kelas-kelas sosial tertentu, dapat mendorong timbulnya konflik sosial akibat
dari ketidak-adilan sosial dalam pembagian atau distribusi hak, kesempatan dan
kewajiban (George Ritzer, 2007:123). Namun, Kingsley David dan Willbet E. Moore
dalam literatur naskah yang berjudul “some principle of stratification”, mengatakan, hal
itu justru mendorong individu untuk menempati status-status sosial tertentu. (Rhonda F.
Levine, 2006:93-95).
Lebih lanjut lagi, Soerjono Soekanto menyatakan perbedaan status dalam kelas-
kelas sosial, memberikan fasilitas hidup tertentu (life chance) dan membentuk gaya
tingkah laku (life style) bagi masing-masing individu atau kelompok. Secara tipologi,
sistem stratifikasi sosial terbentuk karena atas dasar tiga bentuk, yaitu;
1. Perbedaan status yang diperoleh seseorang secara alamiah, seperti perbedaan
usia, stratifikasi berdasakan jenis kelamin, keahlian, kelompok tertentu, dan status
yang didasarkan pada sistem kekerabatan. Istilah ini biasa disebut sebagai
ascribed status.
2. Perbedaan status yang disandangnya karena diperoleh melalui perjuangan,
seperti; stratifikasi berdasarkan jenjang pendidikan, senioritas, bidang pekerjaan,
dan ekonomi. Istilah ini lebih dikenal dengan sebutan achieved status.
3. Assigned status, namun status ini diperoleh biasanya atas penghargaan dan
keahlian, dan jenis ini lebih disamakan ke dalam kategorisasi achieved status.
13
Mengacu pada bentuk-bentuk tipologi sistem startifikasi sosial, dapat dikatakan
menurut sifatnya, status sosial yang diperoleh secara alamiah cenderung, lebih ke arah
stratifikasi sosial tertutup, karena secara perolehannya tanpa perjuangan dan
keterampilan tertentu yang berarti, seperti pada masyarakat feodal, sistem kekastaan, ras
manusia. Berbeda dengan status yang diperoleh melalui perjuangan dan keterampilan,
dapat menjadikan perubahan lebih terbuka ke arah kelas sosial sebelumnya yang dimiliki
baik kelas sosial atas, kelas sosial menengah, dan kelas sosial bawah.
Perwujudan sistem stratifikasi sosial, dengan adanya lapisan masyarakat kelas atas,
kelas menengah, dan kelas bawah. Menururt William J Goode, Perbedaan penempatan
individu atau kelompok dalam tiap-tiap lapisan sosial berbeda dalam suatu masyarakat.
Tergantung pada kriteria mana yang dipergunakan untuk menempatkan orang dalam
tiap-tiap kelas berbeda dari satu masyarakat kepada yang lain, misalkan; berdasarkan
kekayaan, kekuasaan, kehormatan bangsawan, dan tingkat pendidikan (William J.
Goode, 2007:169). Menurut Hasan Syadili, kelas sosial adalah golongan yang terbentuk
karena adanya perbedaan kedudukan yang tinggi dan yang rendah, dan adanya rasa
golongan di antara kelas masing-masing, sehingga kelas yang satu dapat dibedakan dari
kelas yang lain (Didin Saripudin, 2010:47).
Adanya kenyataan bahwa, sistem stratifikasi sosial itu merupakan gejala sosial yang
tidak dapat dihindari, artinya terdapat pada setiap masyarakat. Hal ini, juga berlaku pada
keluarga sebagai unit satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan suatu
kelompok kecil dalam masyarakat. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Randall
Collins, bahwa stratifikasi sosial adalah “institusi yang menyentuh begitu banyak ciri
kehidupan, seperti; kekayaan, politik, karier, keluarga, klub, komunitas, dan gaya hidup”
(George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2007:161). Sesuai dengan pandangan Collins
14
artinya, keluarga merupakan bagian dari salah satu ciri kehidupan yang tidak dapat
terhindar dari gejala sosial.
2. Kelas Sosial dan Keluarga
Harry M. Johnson dalam bukunya “Sociology: a Systematic Introduction”,
menyatakan bahwa keluarga meupakan bagian dari kelas. Esensi pernyataan Johnson ini,
mengacu pada walaupun terdapat perbedaan prestise di antara sebuah keluarga,
perbedaan itu berdasarkan usia dan jenis kelamin. Perbedaaan ini terdapat di dalam
stratifikasi dari kelas sosial. Lebih lanjut lagi, Johnson menyatakan bahwa keluarga
merupakan faktor penentu dalam kehidupan sosial setiap anggota yang ada di dalamnya
(Harry M. Johnson, 1973:470).
Kelas sosial sebuah keluarga mengidentifikasikan perilaku sosial setiap individu
yang ada didalamnya, setiap anggota keluarga akan merasa sama derajatnya, karena
merupakan bagian dari satu sama lainnya. Pada kenyataanya, setiap keluarga memiliki
perbedaan sosial di antara keluarga lainnya. Perbedaan ini terletak pada kedudukan kelas
dan faktor keluarga itu sendiri, sesuai dengan apa yang dikemukkan oleh William J
Goode, dalam bukunya “the family”, perilaku sosial seseorang dalam sebuah keluarga di
tentukkan oleh faktor keluarga dan kedudukan kelas sosial keluarganya (William J.
Goode, 2007:163-165).
Sementara Cherlin J.A dalam bukunya yang berjudul “public and private families:
an introduction”, membagi tipologi kelas sosial keluarga ke dalam empat tingkatan
kelas, yaitu; keluarga kelas atas (upper-class families), keluarga kelas menengah
(middle-class families), keluarga kelas pekerja (working-class families), dan keluarga
kelas bawah (lower-class families). Perbedaan kelas sosial, mengacu pada tolak ukur
daripada keluarga kelas atas (Cherlin J.A, 2002:115).
15
Keluarga kelas atas memiliki kemampuan baik akan kesehatan, keselamatan,
penghargaan, membesarkan perumahan, mengenakan pakaian mahal, dan perlengkapan
rumah untuk menunjukkan kepada masyarakat sebagai pengakuan bahwa mereka dari
budaya dan komunitas elit. Keluarga kelas sosial menengah dalam menyediakan
ekonomi, memiliki pemasukan dan tingkat standar penghidupan berbeda keluarga kelas
sosial atas. Namun begitu, keluarga kelas menengah biasanya mampu menghasilkan
priviledge yang baik seperti; rumah, mobil baru, sebuah pendidikan yang layak untuk
anaknya, pakaian modern, berlibut ke pantai dan seterusnya (Cherlin J.A, 2002:115).
Keluarga kelas pekerja itu punya pendapatan, keuangan cukup untuk mendaftarkan
anaknya sekolah di sebuah sekolah umum. Namun orangtua kelas pekerja, biasanya
menyediakan tenaga di dalam pekerjaan, seperti; pekerja bengkel perbaikan mobil,
tukang bangunan dan sebagainya. Berbeda dengan keluarga kelas atas, menengah dan
pekerja, pada keluarga kelas bawah, Menurut Cherlin J A bahwa keluarga kelas bawah
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup standar. Kepala keluarga tidak memiliki
pekerjaan (serabutan) dan tidak mampu mensekolahkan anak-anaknya pada sekolah
umum (Cherlin J.A, 2002:16).
3. Kelas Sosial dan “Style of Life”
Dengan adanya perbedaan kelas sosial pada setiap keluarga, menyebabkan
munculnya perbedaan gaya hidup bagi setiap anggota kelurga yang satu dengan yang
lainnya. Kata “gaya hidup” menurut Johnson merupakan keharusan alasan yang luas
dalam menjelaskan keadaan. Baik itu keadaan kondisi rumah, letak tempat tinggal
rumah, kualitas pakaian, keuangan, pendidikan anak, pekerjaan orangtua, dan sebagainya
(Harry M. Johnson, 1973:475).
Hal ini dapat terlihat dari perilaku sosial anggota dalam keluarga, anak keluarga
menengah memiliki banyak fasilitas kehidupan, yang sehingga memudahkan mereka
16
untuk mendapatkan hal itu. Berbeda dengan keluarga kelas bawah, cenderung kurang
memadai dalam memperoleh fasilitas kehidupan. Anak keluarga kelas memengah dapat
bersekolah di tempat yang mereka inginkan, dengan fasilitas sekolah yang sangat
terjamin, dan memperoleh sekolah informal sebagai tambahan dalam meningkatkan
kualitas kemampuan berbeda dengan anak dari kalangan keluarga kelas pekerja dan
bawah.
Soerjono Soekanto menyatakan perbedaan status dalam kelas-kelas sosial,
memberikan fasilitas hidup tertentu (life chance) dan membentuk gaya tingkah laku (life
style) bagi masing-masing individu atau kelompok. Setiap kelas sosial cenderung untuk
memiliki sejumlah “gaya hidup” kelas sosial mereka miliki sendiri, kelas sosial tersebut
membeda-bedakan beberapa daripada kenyataan kurang dari kelas sosial lainnya pada
masyarakat yang sama (Didin Saripudin. 2010:74). Status sosial ekonomi keluarga
memberikan corak tersendiri pada kehidupan sosialnya, misalnya pada anak dapat dilihat
dengan pilihan sekolah, pilihan peralatan keseharian (seperti; pakaian, fasilitas rumah
yang serba ada), dan cita-cita (keinginan) (Didin Saripudin, 2010:61-62).
4. Teori Sosialisasi dan Kelas Sosial
Menurut David B. Brinkerhoft dan Lynn K. White, sosialisasi terhadap anak diberi
pengertian sebagai “suatu proses belajar peran, status, dan nilai yang diperlukan untuk
keikutsertaan (partisipasi) dalam institusi sosial (Damsar, 2011:66).” Keluarga
mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja, melainkan,
suatu proses, dimana seorang anak mempelajari atau menerima pengetahuan, nilai,
norma, perilaku esensial, dan harapan yang ditransmisikan dari orangtua (keluarga) agar
mampu berpartisipasi efektif dalam masyarakat.
Sosialisasi orang tua kepada anak mereka, menurut Charlin J, A dapat dilakukan
dengan pertama, orang tua memberikan dukungan emosional-cinta, kehangatan, atau
17
penerimaan. Dukungan emosional menunjukkan aksi orangtua merawat anak-anak
mereka. Memberikan dukungan emosional sebagai pilihan dari orang tua, karena
menurut mereka baik dalam memberikan kenyamanan kepada anaknya dalam keluarga.
Kedua, orangtua melatih kontrol terhadap perubahan perilaku anak. Orangtua boleh
melatih kontrol bersamaan ancaman kepada cinta mereka jika anak itu tidak bertingkah
laku baik, namun harus memiliki kewajaran dalam menggunakan ancaman atau
hukuman fisik, sehingga anak tersebut mau mengikuti dan menjalankan sesuai yang
diinginkan (Cherlin J.A, 2002:318).
Banyak studi yang dilakukan dalam menjelaskan sosialisasi orang tua terhadap
anaknya dalam memberikan dukungan dan kontrol. Salah satunya yang dilakukan oleh
Dianna Baumrind, membedakan tiga gaya di atas dari perilaku orang tua. Pertama, gaya
memaksa orang tua dengan menggambungkan dukungan emosional tetap tinggi dengan
kontrol sedang. Memberikan anak dengan kehangatan kemudian cinta yang kuat disiplin
tetap. Tetapi disiplin sama moderat atas dasar pilihan dan penjelasan dari pada di atas
penggunaan hukuman fisik. Kedua, gaya kebebasan, orang tua memberikan dukungan
tetapi kurang melatih control, namun anak tersebut pada akhirnya dituntut memiliki
kekayaan apa saja. Ketiga, gaya kekuasaan, orang tua menggabungkan dukungan rendah
bersama usaha di dalam mengotrol kekerasan. Implikasinya adalah bahwa sosialisasi
anak yang paling baik ketika orang tua meletakkan ukuran yang jelas. Menjalankan
konsistensi mereka tetapi tanpa hukuman kejam, dan memberikan substansi dukungan
emosional (Cherlin J.A, 2002:320).
Pada keluarga kelas, umumnya nilai-nilai sosialisasi dilakukan oleh keluarga
terhadap anak berdasarkan pola keluarga yang dimiliki. Benstein menemukan dua tipe
ideal dari pola keluarga, yaitu “keluarga yang berorientasi kepada posisi dan pribadi
(Damsar, 2011:70-71).” Berbeda dengan penelitian Benstein dalam studi literature yang
18
dilakukan oleh Henslin terhadap kajian Kohn dan rekannya ditemukan bahwa kelas
sosial suatu keluarga memengaruhi cara dan isi sosialisasi dalam keluarga ini (Damsar,
2011:70).
Hal ini, terlihat pada kelas pekerja orang tua yang cenderung memerhatikan nilai-
nilai konformitas seperti taat, rapi, dan bersih pada anak-anak mereka. Agar anak mereka
dapat menginternalisasikan nilai ketaatan, maka orang tua cenderung menggunakan
hukuman fisik. Berbeda dengan kelas pekerja, orang tua dari kelas menengah cenderung
mengembangkan rasa ingin tahu, ekspresi diri, dan pengendalian diri terhadap anak-anak
mereka.
Oleh karenanya, orang tua dari kelas menengah cenderung mengembangkan
motivasi dan penggunaan nalar bagi anak-anak mereka ketimbang ancaman dan
hukuman fisik. Perbedaan antara dua kelas yang berbeda terjadi menurut Henslin karena
pengalaman hidup, khususnya dalam kaitannya dengan dunia kerja, dimana ketaatan
terhadap aturan dalam prosedur kerja sebagai kunci sukses atau keberhasilan dalam
kehidupan para kelas pekerja (Damsar, 2011:71).
Oleh sebab itu, nilai ini dipandang penting untuk disosialisasikan dan
diinternalisasikan kepada anak mereka agar generasi muda dapat mengikuti jejak
generasi tua. Berbeda dengan kelas pekerja, kelas menengah mengalami kenyataan
bahwa kunci sukses atau keberhasilan kehidupan terletak pada kemampuan pengambilan
inisiatif dalam pekerjaan sehingga nilai seperti inilah yang dipandang penting untuk
diwariskan pada generasi berikutnya (Damsar, 2011:71).
Untuk itu analisis yang tepat mengenai stratifikasi anak angkat dalam keluarga,
dimana keluarga memiliki peran penting dalam proses pembelajaran anak mengenai
mekanisme konstruksi sosial seperti; kedudukan kelas dan faktor keluarga anak angkat
tersebut yang berada dalam sebuah keluarga. Dikarenakan “orangtua umumnya condong
19
menanamkan pada anak-anak mereka nilai-nilai tingkatan mereka sendiri, karena itulah
isi kelas yang mereka mengerti dan terima (William J. Goode. 2007:168).
Itulah paparan teori yang dimaksudkan guna memberikan kemudahan dalam
menjelaskan dan menjawab pertanyaan penelitan yang terkait akan fokus penelitian,
tentang Apa yang menyebabkan perbedaan perilaku sosial anak angkat pada keluarga
kelas menengah dengan strata keluarga kelas bawah dan bagaimana peran keluarga
dalam pemeliharaan anak angkat sehingga terdapat perbedaan tingkah laku anak angkat
dalam keluarga dengan strata sosial yang berbeda.
F. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian ialah suatu cara yang digunakan oleh peneliti dalam
penelitian ilmiah yang berguna untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pendekatan kualitatif
menurut Tylor yang dikutip oleh Lexy J. Moleong adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang dan
perilaku yang dapat diamati (Lexy J. Moleong 2009:3). Dengan demikian, penulis
berupaya menghimpun, mengolah, dan menganalisa data secara kualitatif dengan
tujuan agar dapat memperoleh informasi yang mendalam tentang masalah yang
diteliti. Penelitian ini juga berusaha menerangkan suatu fenomena sosial mengenai
stratifikasi anak angkat dalam keluarga kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan.
Peneliti memilih kelurahan Pondok Pinang sebagai tempat penelitian, dikarenakan
terdapat fenomena sosial anak angkat (adopsi) dalam keluarga kelas sosial yang
berbeda di lingkungan RW 02 yang memiliki tingkah laku sosial yang berbeda
dalam kehidupan sehari-hari.
20
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Dengan wawancara mendalam atau betatap muka secara langsung antara
penanya dengan informan yang dilengkapi dengan pedoman wawancara
yang sesuai agar mempermudah dalam mengajukan pertanyaan serta
eksplorasi. Teknik ini merupakan yang terbaik dalam mendapatkan data
pribadi dan dapat dijadikan pelengkap teknik pengumpulan data (Husnainy
Usman dan Purnomo Setiadi Akbar 2008:57). Wawancara dilakukan
terhadap 9 orang informan dimana, 7 orang informan selaku orang tua, dan 2
orang anak angkat. Adapun data hasil wawancara yang didapatkan sebagai
berikut;
Tabel I.F.2.a.1
Data Wawancara Informan
b. Observasi, merupakan pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap
gejala-gejala yang diteliti (Husnainy Usman dan Purnomo Setiadi Akbar,
2008:52). Hal tersebut dilakukan guna memperkuat jawaban yang
didapatkan dari informan agar lebih akurat.
c. Dokumentasi, yaitu pengambilan gambar melalui alat elektronik seperti;
menggunakan kamera digital dan Handphone (HP), rekaman dilakukan
No Informan Temuan Kelas Usia/
(Tahun)
Status
dalam Keluarga
1 NS Kelas Menengah 42 Istri
2 SK Kelas Menengah 59 Istri
3 IE Kelas Menengah 30 Istri
4 AS Kelas Bawah 55 Kepala keluarga
5 IH Kelas Bawah 55 Istri
6 BR Kelas Bawah 50 Kepala Keluarga
7 IS Kelas Bawah 34 Istri
8 RK Kelas Menengah 20 Anak
9 EW Kelas Bawah 9 Anak
21
dengan menggunakan HP atau tape recordes dan surat-surat resmi lain yang
dianggap perlu untuk mendukung hasil penelitian yang dilakukan.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung
dari objek yang diteliti. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan
narasumber dalam hal ini para orang tua angkat dalam keluarga anak angkat
kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan, dan anak angkat itu sendiri sedangkan
data tambahan diperoleh melalui observasi langsung dengan melihat gejala-gejala
sosial yang terjadi pada objek penelitian, yaitu; anak angkat itu sendiri, keadaan
keluarga angkat secara sosial-ekonomi, dan lingkungan tempat tinggal keluarga
angkat.
Pemilihan informan utama diambil dengan teknik purposive sampling yang
bertujuan untuk memperluas informasi sebanyak-banyaknya dan dapat dipilih untuk
mendapatkan informasi yang diperoleh terlebih dahulu, sehingga mulai dari satu
menjadi makin lama semakin banyak dan sampel ini tidak dapat ditentukan dengan
berapa jumlahnya seorang responden (Lexy J. Moleong, 2009:186).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yang
merupakan model dari penelitian yang penelaahanya difokuskan kepada satu kasus
dan dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komperhensif. Sehingga,
nantinya akan diperoleh pemahaman yang lebih tentang mengapa suatu
permasalahan terjadi dan dalam penelitian ini merujuk pada tulisan-tulisan yang
berkaitan langsung dengan permasalahan penelitian seperti: buku, artikel, jurnal,
dan internet.
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah kepala keluarga atau ibu rumah tangga dan anak
angkat itu sendiri dalam keluarga di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan, ada
22
sebanyak 7 orang informan selaku orang tua, dan anak angkat itu sendiri yang
terdiri dari 2 orang (atau lihat kembali pada Tabel I.F.2.a.1: 21). Jika diuraikan
terlihat bahwa ada 3 orang informan keluarga kelas sosial menengah yang bernisial
NS, SK, dan IE serta 4 orang informan dari keluarga kelas sosial bawah yang
bernisial AS, IH, BR, dan IS yang terlibat langsung sebagai orang tua angkat serta
peneliti mewawancarai 2 orang informan anak angkat yang berinisial RK dari
keluarga kelas sosial menengah dan EW dari keluarga kelas sosial bawah sebagai
bentuk komparasi penyesuaian informasi yang diberikan orang tua terhadap realitas
yang dialami oleh anak angkat dalam keluarga tersebut.
4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan RW 02 kelurahan Pondok Pinang,
Jakarta Selatan, rukun warga disini yang merupakan terdiri tiap-tiap rukun tetangga
dan dari tiap rukun tetanga ada beberapa kepala keluarga yang memiliki anak
angkat (anak adopsi) yang tinggal didalamnya. Waktu penelitian dimulai pada bulan
Januari 2015 sampai dengan bulan Maret 2015. Adapun waktu penelitian ini
dilakukan 80 hari (terhitung dari tanggal 05 Januari 2015 sampai 27 Maret 2015),
sehingga teknik pengumpulan data dapat diuraikan dalam table berikut;
Tabel I.F.4.1
Teknik Pengumpulan Data
No Informan Nama
Anak Angkat RT
Tanggal
Wawancara
1 SK AP, RK, NH 011 09 Maret 2015
2 NS MA 007 22 Maret 2015
3 BR EW 012 30 Januari 2015
4 AS DA 011 19 Maret 2015
5 IE IK 001 13 Februari 2015
6 IS RM 011 23 Maret 2015
7 IH CH 007 18 Februari2015
8 RK - 011 09 Maret 2015
9 EW - 012 30 Januari 2015
23
5. Analisis Data
Analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi,
sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah dipahami
dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan
penelitian. Dengan demikian, teknik analisis data dapat diartikan sebagai cara
melaksanakan analisis terhadap data, dengan tujuan mengolah data tersebut menjadi
informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat datanya dapat dengan mudah
dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan
kegiatan penelitian (Lexy J. moleong, 2009:102).
Penganalisaan data dilakukan setelah hasil penelitian data diperoleh dan
kemudian diolah. Hal ini berguna untuk memahami kesesuaian hasil dengan
masalah yang diteliti agar mempermudah dalam penyususnan data dan pelaporan
dikemudian hari. Penyusunan tersebut disusun berdasarkan pembuatan kategorisasi
agar urutan data dapat terpola kemudian dilakukan pengecekan keabsahan data.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab yang meliputi: Bab I yang
membahas pernyataan masalah, pertanyan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Selanjutnya pada bab II menjelaskan keadaan kondisi lingkungan RW 02 kelurahan
Pondok Pinang, Jakarta Selatan, profil anak angkat, keadaan sosial-ekonomi keluarga
anak angkat, dan kondisi perilaku sosial anak angkat dalam keluarga dan di lingkungan.
Kemudian pada bab III peneliti memaparkan temuan penelitian dengan menganalisis
hasil penelitian dan temuan-temuan dilapangan, mengenai stratifikasi anak angkat dalam
keluarga kelurahan Pondok Pinang, Jakarta. Dengan melihat perilaku sosial anak angkat
24
dalam keluarga strata sosial berbeda, peran keluarga dalam pemeliharaan anak angkat
dan penjelasan mengenai korelasi stratifikasi dan anak angkat dalam keluarga kelas
sosial yang berbeda. [Terakhir pada bab IV, yaitu bab penutup, peneliti menyimpulkan
beberapa hal terkait dengan bab-bab sebelumnya yaitu bab I-III, serta memberikan saran
terkait permasalahan yang dibahas].
25
BAB II
GAMBARAN UMUM ANAK ANGKAT DALAM KELUARGA
DI KELURAHAN PONDOK PINANG JAKARTA SELATAN
A. Keadaan Lingkungan Rukun Warga 02 kelurahan Pondok Pinang
Secara geografis batas wilayah RW 02 kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan
sebelah utara berbatasan dengan kali sodetan, selatan berbatasan dengan RW 06 atau
jalan H. Eman, timur berbatasa dengan Pondok Pindah, dan barat berbatas dengan jalan
Ciputat Raya (Laporan Kegiatan PKK RW 02. 2014:5). Keseluruhan jumlah penduduk
RW 02 kurang lebih sekitar 7.210 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) kurang
lebih 1160 KK yang terdaftar sampai dengan akhir Desember 2014 dengan luas wilayah
sekitar kurang lebih 30 Hektar (Ha), dan Jumlah rukun tetangga yang berada di wilayah
RW 02 adalah 12 RT (Laporan Kegiatan PKK RW 02. 2014:4).
Sesuai hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa setiap rukun tetangga tidak
seluruhnya kepala keluarga yang mengadopsi anak angkat. Berikut uraian data yang
terhimpun dari hasil penelitian sebagai berikut;
Tabel II.A.1
Populasi Jumlah KK Di RW 02 Tingkat RT
Yang Mengadopsi Anak Angkat
No Rukun
Warga
Rukun
Tetangga
Jumlah KK
1
02
001 1
2 002 -
3 003 -
4 004 -
5 005 -
6 006 -
7 007 2
8 008 -
9 009 -
10 010 -
11 011 2
12 012 1
Total 6
26
Dari jumlah keseluruhan rukun tetangga yang berada pada wilayah RW 02, hanya
4 RT yang terdiri dari RT 001, 007, 011, dan 012 dari jumlah keseluruhan yang di
dalamnya terdapat anak angkat yang diadopsi oleh kepala keluarga tiap rukun tetangga
tersebut. Sedangkan dalam observasi yang peneliti lakukan, peneliti melihat bahwa
kondisi masyarakat RW 02 di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan terdiri dari
berbagai suku dengan tingkat sosial ekonomi dan pendidikan yang berbeda-berbeda.
Dengan kondisi masyarakat yang beragam sudah tentu memunculkan
keanekaragaman dinamika masyarakat yang ada didalamnya. Pada masyarakat
lingkungan RW 02 memiliki kehidupan kolektifitas yang tinggi antara satu sama lain
didalamnya, hal ini terlihat dari bebagai macam bentuk perkumpulan, komunitas sosial,
dan komunitas keagamaan, diantaranya yaitu, IKSK (ikatan keluarga setia kawan),
Majelis ta‟lim, Yayasan Pendidikan Yatim dan Dhuafa serta Pendidikan Anak Usia Dini
(Laporan Kegiatan PKK RW 02. 2014:7). Sudah tentu, dengan kondisi ini
memungkinkan masyarakat didalamnya memiliki ikatan sosial yang tinggi. Mereka
saling mengenal satu sama lain, sehingga memudahkan mereka dalam menjalin
hubungan sosial.
B. Profil Anak Angkat
Sesuai dengan hasil data wawancara peneliti dengan para informan (lihat kembali
tabel I.F.4.1: 22) bahwa anak angkat di lingkungan RW 02 keluruhan Pondok Pinang
Jakarta Selatan, ada sejumlah 9 anak angkat yang berinisial AP, RK, NH, MA, EW, DA,
IK, RM, dan CH. Usia anak angkat di lingkungan RW 02 sangat bervariasi, usia mereka
meliputi masa bermain (4-5 Tahun), masa sekolah (6-12 Tahun), masa remaja (12-18
Tahun), dan masa dewasa (19-25 Tahun). Umunya, usia anak angkat yang berada di
lingkungan RW 02 memiliki kesamaan dalam memperoleh pendidikan.
27
Hal ini dapat terlihat data hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan para
informan ditemukan bahwa dari total keseluruhan ada 9 anak angkat, terdiri dari 1 anak
angkat masih duduk dibangku Taman Kanak-Kanak (TK), seperti yang diungkapkan
oleh salah satu informan orang tua angkat dari keluarga kelas menengah yang berinisial
NS selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... Di TPA ALLOHUGHOYATUNA. (hasil wawancara tanggal 22 Maret 2015).
2 anak angkat di tingkat Sekolah Dasar (SD), seperti yang diungkapkan oleh orang
tua angkat yang berinisial BR dari keluarga kelas sosial bawah dan IE dari keluarga
kelas sosial menengah yang masing-masing menyatakan:
... SDN 04 Petang, kemauan anaknya sendiri untuk sekolah di SD, mengaji di TPA.
(hasil wawancara dengan BR selaku kepala keluarga tanggal 30 Januari 2015).
... SDN 011 Pagi dekat rumah sama halnya dengan anak-anak warga sini. (hasil
wawancara dengan IE selaku ibu rumah tangga tanggal 13 Februari 2015).
2 anak di Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), seperti yang diungkapkan
oleh orang tua angkat yang berinisial IH dan AS dari keluarga kelas sosial bawah yang
masing-masing menyatakan;
... SMP Al-Fajar. (hasil wawancara dengan IH selaku ibu rumah tangga tanggal 18
Februari 2015).
... PAUD, MI.Al- Khairiyah, Madrasah Tsanawiyah Nurussalam. (hasil wawancara
dengan AS selaku kepala keluarga tanggal 19 Maret 2015).
3 anak angkat di Perguruan Tinggi dan 1 anak angkat lainnya sudah tidak bersekolah
atau bekerja. Seperti yang diungkapkan oleh informan yang berinisial SK yang memiliki
tiga orang anak angkat dari keluarga kelas sosial menengah dan informan yang berinisial
IS dari keluarga kelas sosial bawah, masing-masing menyatakan;
... AP, di MAN 11 dulu SMA-nya sekarang di UIN kuliahnya, RK di SMAN 108,
sekarang di UIN kuliahnya, dan NH di SMAN 7 SMA-nya sekarang di UIN juga, ia
saya masukan anak angkat saya di TPA-ALLOHUGOYATUNA waktu kecil. (hasil
wawancara dengan SK selaku ibu rumah tangga tanggal 09 Maret 2015).
28
... SDN 04 Petang, SMP YPUI, SMA Makarya, kalau sekarang kan dia sudah
bekerja di Pondok Indah jadi sales. (hasil wawancara dengan IS selaku ibu rumah
tangga tanggal 23 Maret 2015).
Perbedaan pendidikan anak angkat di lingkungan RW 02 dapat terlihat dari
pendidikan non-formal yang diberikan oleh keluarga seperti les tambahan yang diadakan
oleh pihak sekolah, dan lembaga pendidikan agama (TPA), sementara untuk pendidikan
formal bersekolah di sekolah pada umumnya.
C. Kondisi Sosial-Ekonomi Keluarga Anak Angkat
Tempat tinggal menjadi salah satu ukuran adanya perbedaan kelas sosial keluarga
anak angkat di lingkungan RW 02 kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Keluarga
anak angkat pada kelas sosial menengah cenderung memiliki kondisi tempat tinggal
dengan ciri bangunan rumah relatif lebih besar dengan banyak kamar sehingga mampu
memberikan fasilitas kamar pribadi untuk anak angkat mereka miliki. Seperti yang
diungkapkan oleh informan yang berinisial IE selaku ibu rumah tangga salah satu
keluarga kelas sosial menengah menyatakan:
… Tentu saja, karena dirumah saya ada 3 kamar, 1 kamar buat saya dan suami, 1
kamar buat anak tersebut, dan 1 kamar lagi masih kosong. (hasil wawancara tanggal
13 Februari 2015).
Berbeda dengan keluarga anak angkat kelas sosial bawah dengan kondisi tempat
tinggal dengan ciri bangunan rumah yang cenderung relatif lebih kecil, hanya memiliki
satu kamar mandi, satu kamar tidur, satu ruang dapur, dan satu ruang tamu dan itupun
bukan tempat tinggal mereka miliki (ngontrak). Seperti yang diungkapkan oleh informan
yang berinisial AS dan IH dari keluarga kelas sosial bawah menyatakan:
… Tidurnya di ruang tamu bareng-bareng karena rumahnya ngontrak cuma ada 1
kamar dan 1 kamar mandi. (hasil wawancara dengan AS selaku kepala keluarga
tanggal 19 Maret 2015).
… Saya tinggal dikontrakan. (hasil wawancara dengan IH selaku ibu rumah tangga
tanggal 18 Februari 2015).
29
Dengan perbedaan kelas keluarga anak angkat pada lingkungan RW 02, tentu hal ini
juga mempengaruhi kondisi ekonomi keluarga anak angkat tersebut. Ekonomi menjadi
salah satu ukuran dalam penentuan lapisan-lapisan masyarakat, karena menurut Soerjono
Soekanto salah satu macam-macam bentuk stratifikasi adalah stratifikasi ekonomi
dimana bentuk stratifikasi ekonomi ini dapat dilihat dari segi pendapatan, kekayaan, dan
pekerjaan. (Didin Saripudin. 2010:45). Seperti yang sudah dijelaskan di awal
pembahasan ini, adanya perbedaan kondisi tempat tinggal antara keluarga kelas sosial
menengah dengan keluarga kelas sosial bawah sebagai bentuk stratifikasi ekonomi yang
dilihat dari segi kekayaan yang dimilikinya.
Hal lain dapat dilihat dari segi pendapatan atau jumlah penghasilan yang diperoleh
masing-masing keluarga angkat pada keluarga kelas sosial menengah berbeda dengan
keluarga kelas sosial bawah. Menurut data hasil wawancara dengan para informan,
penghasilan keluarga anak angkat di permukiman RW 02 dalam satu bulan sangat
beragam, hal ini disebabkan karena profesi yang dijalankan seorang ayah atau ibu dalam
tiap keluarga berbeda.
Dari 7 KK yang diwawancarai, 3 KK mengatakan untuk satu bulan memiliki
penghasilan antara Rp. 3.000.000,- sampai Rp. 5.000.000,-/bulan, hal ini diungkapkan
oleh informan dari keluarga kelas sosial menengah yang berinisial SK, NS, dan IE yang
menyatakan:
... Rp. 5.000.000,-(lima juta rupiah), ia kadang cukup kadang tidak, karena
membiayai anak angkat saya untuk kuliah, dan membeli kebutuhan sehari-hari untuk
anak kandung saya dan cucu saya. (hasil wawancara dengan SK selaku ibu rumah
tangga tanggal 09 Maret 2015).
... 3 jt (suami) karyawan swasta, ia alhamdulillah sangat cukup sekali untuk hidup.
(hasil wawancara dengan NS selaku ibu rumah tangga tanggal 22 Maret 2015).
... Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), sangat cukup untuk kebutuhan keluarga baik
kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan pendidikan anak. (hasil wawancara dengan
IE selaku ibu rumah tangga tanggal 13 Februari 2015).
30
Sedangkan 4 KK mengatakan untuk satu bulan memiliki penghasilan dibawah
Rp.1.000.000,-/bulan, hal ini diungkapkan oleh informan dari keluarga kelas sosial
bawah yang berinisial AS, IH, BR, dan IS yang menyatakan:
... Ia tidak menentu mba kadang Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) atau Rp.
700.000,-(tujuh ratus ribu rupiah), cukup untuk kebutuhan keluarga baik kebutuhan
sehari-hari ataupun pendidikan anak. (hasil wawancara dengan AS selaku kepala
keluarga tanggal 19 Maret 2015).
... Rp. 700.000,-(tujuh ratus ribu rupiah), karena saya bekerja sebagai kuli cuci dan
setrika, suami saya hanya buruh yang mendapatkan gaji tidak menentu. Iya cukup
karena saya mendapatkan BLT dari pemerintah. (hasil wawancara dengan IH selaku
ibu rumah tangga tanggal 18 Februari 2015).
... 500 ribu sampai 1 jutaan, sangat minim kalau ada kerjaan tapi kita harus
bersyukur saja karena Tuhan yang memberikan rezeki (hasil wawancara dengan BR
selaku kepala keluarga tanggal 30 Januari 2015).
... Rp. 1.000.000,-(satu juta rupiah), ya cukup untuk kebutuhan keluarga baik
kebutuhan sehari-hari ataupun sekolah anak. (hasil wawancara dengan IS selaku ibu
rumah tangga tanggal 23 Maret 2015).
Dengan adanya perbedaan dari segi kekayaan, pekerjaan, dan pendapatan antara
keluarga kelas sosial menengah dengan keluarga kelas sosial bawah di kelurahan Pondok
Pinang Jakarta Selatan menjadikan adanya bentuk stratifikasi ekonomi yang
mendasarkan pelapisan pada faktor ekonomi. Jadi, orang-orang yang mampu
memperoleh kekayaan ekonomi (dalam hal ini ditemukan pada keluarga anak angkat
kelas sosial menengah) dalam jumlah besar akan menduduki lapisan atas. Sebaliknya,
mereka yang kurang atau tidak mampu (dalam hal ini ditemukan pada keluarga anak
angkat kelas sosial bawah) akan menduduki lapisan bawah. Dengan demikian,
kemampuan ekonomi yang berbeda menyebabkan terjadinya stratifikasi ekonomi.
D. Keadaan Anak Angkat Dalam Keluarga dan Lingkungan
Anak angkat dalam keluarga di lingkungan RW 02 kelurahan Pondok Pinang
Jakarta Selatan, kebanyakan memiliki kepribadian yang mudah bergaul dengan
31
sesamanya. Memiliki hubungan sosial yang baik dengan keluarga, anak angkat yang
berada di lingkungan RW 02 juga cenderung lebih banyak mendapatkan rasa kasih
sayang, cinta, dan perhatian yang lebih dari orang tua angkat mereka, sehingga mereka
dapat menjalin interaksi dengan orang tua dan anggota keluarga yang mereka sendiri
dengan positif. Terlihat pada kejujuran dan kebenaran pernyataan yang diungkapkan oleh
salah satu informan yang berinisial IS selaku ibu rumah tangga dari keluarga kelas sosial
bawah menyatakan:
… Mengetahui keluarga besar saya dan lingkungan tempat tinggal saya, dan tidak
ada yang mempertentangkanya (hasil wawancara tanggal 23 Maret 2015).
Adanya pernyataan “mengetahui” yang diungkapkan oleh keluarga anak angkat di
kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan sebagai modal sosial merupakan nilai khusus
(particularistic value) yang berfungsi sebagai media integrasi dan solidaritas. Nilai ini
membantu anak angkat dalam menjalin hubungan sosial dengan “keluarga besar” orang
tua angkat, bahkan dengan “lingkungan tempat tinggal” agar terjalin nilai-nilai
kebersamaan antara anak angkat dengan keluarga dan lingkunganya.
Selain itu, adanya bentuk kasih sayang yang tinggi yang selalu diberikan kepada
orang tua terhadap anak-anak mereka. Menjadikan anak-anak mereka lebih menghargai
dan menghormati anggota keluarga dan dengan lingkungan sekitarnya. Untuk contoh,
terlihat pada pernyataan yang diungkapkan oleh salah satu informan yang berinisial IE
selaku ibu rumah tangga dari keluarga kelas sosial menengah menyatakan:
… Kalau ada masalah dia tidak sungkan untuk bicara dengan saya (hasil wawancara
tanggal 13 Februari 2015).
Bentuk kasih sayang yang tinggi yang diberikan kepada orang tua terhadap anak
angkat mereka miliki terlihat pada bentuk pernyataan “tidak sungkan bicara dengan
saya” sebagai bukti adanya hubungan sosial yang baik di antara orang tua dengan anak.
Namun, tak jarang juga orang tua anak angkat cenderung “memarahi” dan selalu
32
memberikan “nasihat” jika anak angkat tersebut melakukan tindakan yang tidak baik
atau tidak mengikuti perintah atau atauran agar tidak terjerumus dalam pelanggaran
norma atau aturan yang berlaku dalam keluarga, agama, dan masyarakat. Seperti yang
diungkapkan oleh informan yang berinisial IH selaku ibu rumah tangga dari keluarga
kelas sosial bawah menyatakan:
… Saya ajarin agar menuruti keinginan saya dan patuh terhadap ibu bapaknya, tidak
nakal, tidak merokok dan jangan keluar rumah kalau udah malam (hasil wawancara
tanggal 18 Februari 2015).
Begitupun hubungan sosial dengan lingkungan keluarga anak angkat tinggal. Anak
angkat sangat aktif berinteraksi dengan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Mengenal
lebih banyak teman bermain (peer group) mereka, lingkungan sekitar juga mengenal
anak-anak angkat tersebut, dan tidak ada yang mempertentangkan dengan kehadiran
anak angkat tersebut, baik di lingkungan keluarga besar maupun lingkungan sekitar
tempat anak tersebut tinggal. Kesemua ini yang menjadikan nilai-nilai sosial yang
dilakukan anak angkat menjalin aktivitas kehidupan sehari. Tentu juga didukung dengan
pembelajaran nilai-nilai sosial yang diberikan oleh orang tua mereka.
Dengan adanya perbedaan kedudukan kelas keluarga anak angkat sudah tentu
membuat perbedaan dari segi gaya hidup yang dimiliki anak angkat tersebut. Terlihat
dari cara berpaikan mereka masing-masing anak angkat di lingkungan RW 02 kelurahan
Pondok Pinang Jakarta Selatan. Pada keluarga kelas sosial menengah orang tua mereka
cenderung membelikan pakaian untuk anak mereka pastinya memilih kualitas bagus dan
layak. Sedangkan untuk keluarga kelas sosial bawah cenderung tidak memiliki pakaian
yang mahal dan bagus, bahkan tidak sama sekali memiliki pakaian yang mahal dan
layak.
Hal lain yang terlihat berbeda daripada gaya hidup anak angkat tersebut adalah
fasilitas yang mereka miliki. Kamar pribadi, uang saku, sampai kendaraan pribadi yang
33
dimiliki anak angkat dengan apa yang diberikan oleh orang tua angkat tersebut. Untuk
keluarga kelas sosial menengah, anak angkat yang mereka miliki diberikan kamar
pribadi, uang saku yang baik sampai memiliki kendara pribadi seperti sepeda motor.
Berbeda dengan keluarga kelas sosial bawah dengan keterbatasan ekonomi yang dimiliki
dan tidak memiliki tempat tinggal (ngontrak) tidak mampu memberikan kamar pribadi,
uang saku yang cukup, dan kendaraan pribadi. Kesemua ini menjadi salah satu perilaku
sosial yang dimiliki anak angkat pada keluarga kelas sosial menengah dan keluarga kelas
sosial bawah di lingkungan RW 02 kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan.
34
BAB III
ANALISIS PERMASALAHAN STRATIFIKASI ANGKAT
DALAM KELUARGA DI KELURAHAN PONDOK PINANG
A. Keadaan Anak Angkat Dalam Keluarga Strata Berbeda
Setiap anak dalam proses pembelajaran di fase awal mengenali kehidupan
membutuhkan arahan dan bimbingan dari orang dewasa, terutama orang tua mereka
sendiri yaitu ayah dan ibu. Meskipun anak angkat yang berada pada sebuah keluarga inti
di permukiman kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan bukan dari keturunan mereka
sendiri, namun pada kenyataan, keluarga menerima kehadiran seorang anak angkat yang
mereka adopsi, terlebih lagi bagi mereka pasangan suami-istri yang belum memiliki
seorang anak. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan yang berinisial IE
selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... Ia sangat bahagia karena anak tersebut membuat saya bahagia, karena saya juga
belum dikaruniakan seorang anak dari Allah, dulu saya pernah hamil tetapi bayi
yang ada didalam kandungan saya tidak berkembang, sehingga saya diambil bayinya
dari rahim atau “dikiret” sehingga saya tidak memiliki anak, dan saya mengangkat
anak tersebut dari keluarga saya. (hasil wawancara tanggal 13 Februari 2015).
Ungkapan „bahagia‟ menjadi bukti modal sosial IE dan orang tua angkat lainnya
untuk merawat dan membesarkan anak angkat yang dimiliki, dan sebagai bentuk
tanggung jawab terhadap orang tua anak tersebut. Rasa bahagia ini yang tentu saja
membuat setiap keluarga di permukiman kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan yang
memiliki anak angkat cenderung untuk memberikan sosialisasi mengenai nilai-nilai
sosial yang sama dengan anak kandung yang mereka miliki, seperti yang diungkapkan
oleh salah satu informan yang berinisial BR selaku kepala keluarga, menyatakan:
... Bersama dan fasilitas tidak dibeda-bedakan. Tidak, standar dan tidak dibedakan
pakaianya. (hasil wawancara tanggal 30 Januari 2015).
35
Adanya ungkapan tidak membedakan antara anak kandung dan anak angkat yang
mereka miliki dalam memberikan fasilitas menunjukkan bentuk dari membangun nilai-
nilai kesamaan sosial dalam sebuah keluarga, sehingga tidak ada perbedaan di antara
anggota keluarga, dengan begitu keluarga di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan
cenderung untuk mengasuh anak yang bukan anak kandung seperti anak sendiri (G.
Kartasapoetra & Hartini. 2007:156).
Nilai-nilai sosial yang diterima setiap anak angkat dalam sebuah keluarga berbeda
satu dengan lainnya. Perbedaan terletak pada perilaku sosial yang dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari, terlihat dari pemilihan sekolah, fasilitas yang dimiliki,
keselamatan dan keamanan. Rangkaian perbedaan ini muncul dengan latar belakang
perbedaan kelas sosial keluarga anak angkat yang berbeda-beda. Hasil temuan di
lapangan menunjukkan bahwa kondisi kelas sosial keluarga angkat di kelurahan Pondok
Pinang Jakarta Selatan, hanya terdapat dua kelas sosial keluarga, yaitu; keluarga kelas
sosial menengah dan keluarga kelas sosial bawah.
1. Kedudukan Kelas Keluarga
Secara umum, menurut Cherlin J.A. keluarga kelas sosial menengah biasanya
menghasilkan priviledge yang baik seperti; rumah, mobil baru, sebuah pendidikan yang
layak untuk anaknya, pakaian modern, berlibut ke pantai dan seterusnya, berbeda dengan
keluarga kelas pekerja itu punya pendapatan, keuangan cukup untuk mendaftarkan
anaknya sekolah di sebuah sekolah umum sedangkan untuk keluarga kelas bawah tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidup standar (Cherlin J.A, 2002:16).
Pada keluarga kelas sosial menengah di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan,
keluarga cenderung dapat memiliki penghasilan per/bulan yang baik, dapat mengajak
anak angkat mereka berlibur ke pantai, dapat memberikan fasilitas berupa kamar pribadi,
dan dapat membelikan kendaraan roda dua untuk anak angkat yang mereka miliki.
36
Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan keluarga kelas sosial menengah
berinisial SK selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... Pernah, ke pantai anyer bersama keluarga. Ia memberikan bekas kamar anak saya
yang sudah menikah. Ia saya memberikan motor untuk NH. (hasil wawancara
tanggal 09 Maret 2015).
Hal ini senada juga diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial menengah lainnya
yang berinisial NS selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... Ia dibeliin pakaian yang bagus biar dekat dengan saya, memiliki kamar sendiri.
(hasi wawancara tanggal 22 Maret 2015).
Hal ini diperkuat pula oleh anak angkat SK, yang diungkapkan oleh informan yang
berinisial RK, menyatakan:
... Pernah. Ia dikasih bekas kamar kakak saya. (hasil wawancara tanggal 09 Maret
2015).
Selain itu, seorang istri di keluarga kelas sosial menengah sama baiknya dengan
suami mereka dalam memperoleh penghasilan, dengan pendidikan dan warisan kekayaan
dari orang tua yang seorang istri miliki, mampu memberikan kontribusi dalam
menghasilkan prestige dan priviledge yang baik bagi keluarga. Seperti yang diungkapkan
oleh informan keluarga kelas sosial menengah yang berinisial NS selaku ibu rumah
tangga, menyatakan:
... ia harta warisan dari ibu saya hasil jual sawah di kampung setelah saya menikah,
dahulu saya belum mendapatkan kerjaan jadi ibu kandung saya memberikan uang
hasil jual sawah kepada saya untuk membeli rumah atau ngontrak rumah di
Jakarta.saya mempunyai asuransi jiwa dari kantor, Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah)
per/bulan (istri) kerja di bank swasta, Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah) per/bulan
(suami) karyawan swasta. Ia alhamdulillah sangat cukup sekali untuk hidup. D3
(suami), S1 (istri) pernah kursus membuat kripik apel di kampung. (hasil wawancara
tanggal 22 Maret 2015).
Dengan memiliki pendidikan tinggi (S1), kekayaan (harta waris), memiliki
pekerjaan upah tinggi (kerja di bank swasta), dan ditambah dengan pernah mengikuti
pendidikan non-formal (kursus membuat kripik) menjadi bukti bahwa baik seorang istri
atau suami pada keluarga kelas sosial menengah sama-sama memiliki kemampuan dalam
37
menghasilkan priviledge yang baik sehingga mampu untuk memberikan anak angkat
mereka miliki fasilitas berupa kamar pribadi, dapat mengajak berlibur ke pantai, dan
mampu memberikan kendaraan roda dua.
Menariknya, terdapat salah satu keluarga yang masuk dalam kategorisasi keluarga
kelas sosial menengah, namun berbeda dalam hal pekerjaan yang dijalankan. Seperti
yang diungkapkan oleh informan yang berinisial SK selaku ibu rumah tangga,
menyatakan:
... Suami saya bekerja sebagai mubaligh. Riwayat pendidikan terakhir suami saya
sekolah menengah atas (PGA). Rp, 5.000.000,- (lima juta rupiah). Ya kadang cukup
kadang tidak, karena membiayai anak angkat saya untuk kuliah, dan membeli
kebutuhan sehari-hari untuk anak kandung saya dan cucu saya. (hasil wawancara
dengan SK tanggal 09 Maret 2015).
Dengan pekerjaan sebagai „mubalig‟ yang lebih familiar dengan tokoh agama, sebagai
seorang pemimpin yang disegani dengan kelebihan memiliki nilai-nilai kesucian.Sudah
tentu, memberikan kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat.
Dengan meminjam pernyataan yang diungkapkan oleh Max Weber tentang
pemimpin kharismatik menduduki tingkat paling tinggi dalam stratifikasi sosial yang
terjadi di masyarakat (Didin Saripudin. 2010:52). Status yang diperoleh dalam
masyarakat melihat ukuran kekuasaan menempatkan keluarga ini memiliki kedudukan
yang tinggi, namun dengan melihat penghasilan (kondisi ekonomi) cenderung masuk ke
dalam kategorisasi keluarga kelas sosial menengah.
Kesemuan inilah yang menjadi ciri keluarga anak angkat kelas menengah di
kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan. Sesuai dengan apa yang diungkapakan oleh
Chelin J.A (2002) dalam bukunya yang berjudul “public and private families: an
introduction”, bahwa keluarga kelas menengah biasanya menghasilkan privilege yang
baik seperti; rumah, mobil baru, sebuah pendidikan yang layak untuk anaknya, pakaian
modern, berlibut ke pantai dan seterusnya (Cherlin J.A, 2002:115).
38
Berbeda dengan keluarga anak angkat kelas sosial bawah dimana kepala keluarga
hanya memiliki pendidikan setara tingkat atas (SMA) dengan tidak memiliki pekerjaan
yang tetap atau bekerja sebagai buruh, tidak memiliki pendapatan yang tetap sehingga
keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan tidak mampu memberikan
fasilitas yang mahal. Seperti yang diungkapkan oleh informan berinisial AS selaku
kepala keluarga yang menyatakan:
... Pekerjaan buruh. Saya tidak bersekolah, sedangkan istri Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Kami tidak pernah memiliki pendidikan non-formal di luar daripada
pendidikan formal dikarenakan keterbatasan biaya. Ia tidak menentu mba kadang
Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) atau Rp.700.000,-(tujuh ratus ribu), cukup
untuk kebutuhan keluarga baik kebutuhan sehari-hari ataupun pendidikan anak.
(hasil wawancara tanggal 19 Maret 2015).
Hal senada juga diungkapkan oleh keluarga kelas sosial menengah lainnya yang
berinisial IH dan BR, yang masing-masing menyatakan:
... Istri (SMA), suami (SMA), tidak pernah ikut keterampilan apapun saya hanya
memiliki kemampuan tenaga saja. Rp, 700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah), karena
saya bekerja sebagai kuli cuci dan setrika, suami saya hanya buruh yang mendapat
gaji tidak menentu. Iya cukup karena saya mendapatkan BLT dari pemerintah. (hasil
wawancara dengan IH selaku ibu rumah tangga tanggal 18 Februari 2015).
... Pekerjaan buruh. Ibu (SD) bapak (SMA), pernah khursus menjahit dulu. 500rb
sampai 1 jutaan, sangat minim kalau ada kerjaan tapi kita harus bersyukur saja
karena Tuhan yang memberikan rezeki. (hasil wawancara dengan BR selaku kepala
keluarga tanggal 30 Januari 2015).
Meskipun kebutuhan sehari-hari tercukupi, namun terkadang keluarga anak angkat
kelas bawah mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan dikarenakan tidak
menentu penghasilan yang diperoleh oleh kelapa keluarga yang hanya bekerja sebagai
buruh, sehingga terkadang mereka sampai meminjam uang dengan keluarga terdekat.
Seperti yang dikatakan oleh Cherlin J. A bahwa keluarga kelas bawah tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup standar. Kepala keluarga cenderung tidak memiliki
pekerjaan (serabutan) dan tidak mampu membelikan barang-barang mewah bagi anak
mereka miliki (Cherlin J.A, 2002:116). Dengan keadaan seperti ini, tentu saja, orang tua
39
anak angkat keluarga kelas bawah tidak bisa memberikan fasilitas yang mahal terhadap
anak adopsi yang mereka miliki.
Kelas sosial keluarga kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan dapat dilihat dari
kedudukan jumlah kekayaan yang mereka miliki masing-masing satu sama lain berbeda.
Untuk contoh, empat dari dua tujuh kepala keluarga di RW 02 yang menjadi informan
mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kekayaan apapun, dikarenakan kondisi
mereka yang tidak memungkinkan untuk memiliki sesuatu yang bernilai. Begitupun juga
mengenai permasalah kekayaan yang diwariskan orang tua mereka sama sekali tidak ada,
selain orang tua hanya seorang petani dan tidak memiliki pendidikan yang memadai.
Seperti yang diungkapkan oleh inisial AS selaku kepala keluarga, menyatakan:
... Tidak punya apa-apa. (hasil wawancara tanggal 19 Maret 2015).
Hal senanda juga diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial bawah lainnya yang
berinisial IH, BR, dan IS yang masing-masing menyatakan:
... Saya tinggal dikontrakan dan saya tidak punya harta berharga. (hasil wawancara
dengan IH selaku ibu rumah tangga tanggal 18 Februari 2015).
... Tidak, memang tidak ada yang diwariskan ke saya atau istri miskin memang dari
orang tua dan buat makan aja susah. (hasil wawancara dengan BR selaku kepala
keluarga tanggal 30 Januari 2015).
... Tidak, saya tidak punya, karena saya hanya ibu rumah tangga, dan suami saya
karyawaan swasta, selain itu keluarga orangtua baik saya dan suami saya hanya
sebatas orang biasa saja, tidak memiliki kekayaan atau barang-barang berharga yang
dapat diwariskan kepada anak-anaknya. (hasil wawancara dengan IS selaku ibu
rumah tangga tanggal 23 Maret 2015).
Tiga kepala keluarga mengatakan bahwa mereka memiliki kekayaan yang didapat
dari warisan orang tua mereka, baik itu dari pihak laki-laki (suami) maupun dari pihak
perempuan (istri). Bentuk kekayaan yang diterima kelurga mereka miliki seperti; tanah,
sawah, kebun, uang dari hasil jual sawah, dan tanah yang di atasnya sudah didirikan
bangunan rumah (kontrakan). Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan
40
keluarga kelas sosial menengah yang berinisial SK selaku ibu rumah tangga,
menyatakan:
... Ia memiliki usaha kontrakan, merupakan harta warisan dari orang tua suami saya.
(hasil wawancara tanggal 09 Maret 2015).
Hal senada juga diungkapakn oleh informan dua keluarga kelas sosial menengah lainnya
yang berinisial NS dan IE yang masing-masing menyatakan:
... Ia harta warisan dari ibu saya hasil jual sawah di kampung setelah saya menikah,
dahulu saya belum mendapatkan kerjaan jadi ibu kandung saya memberikan uang
hasil jual sawah kepada saya untuk membeli atau mengontrak rumah di jakarta.
(hasil wawancara dengan NS selaku ibu rumah tangga tanggal 22 Maret 2015).
... Ia, sawah dan tanah kebun milik mertua saya dari suami soalnya suami saya anak
laki satu-satunya, sisanya saudaranya perempuan tiga. (hasil wawancara dengan IE
selaku ibu rumah tangga tanggal 13 Februari 2015).
Rumah dan „kontrakan‟ sebagai bentuk kekayaan yang dimiliki pada saat ini,
dikarenakan atas dasar keturunan (kelahiran) tanpa melalui usaha untuk memperolehnya.
Membuat seseorang atau keluarga memiliki kedudukan yang berbeda di masyarakat.
kedudukan yang mereka dapatkan sekarang dinamakan ascribed status, yang menurut
Soerjono Soekanto kedudukan yang diperoleh karena secara otomatis melalui kelahiran
(Didin Saripudin. 2010:77).
Dengan melihat hasil yang terdeskripsikan di atas, jelas bahwa keluarga anak angkat
di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan memiliki perbedaan kelas sosial yang
berbeda, perbedaan kelas sosial ini merupakan perwujudan sistem stratifikasi sosial,
dengan adanya lapisan keluarga kelas menengah dan keluarga kelas sosial bawah. Harry
M. Johnson dalam bukunya “Sociology: a Systematic Introduction”, menyatakan bahwa
keluarga meupakan bagian dari kelas. Lebih lanjut lagi, Johnson menyatakan bahwa
keluarga merupakan faktor penentu dalam kehidupan sosial setiap anggota yang ada di
dalamnya (Harry M. Johnson, 1973:470).
41
Perilaku sosial anak angkat di keluarga permukiman kelurahan Pondok Pinang
Jakarta Selatan selalu mengidentifikasikan diri dengan kondisi kelas sosial keluarga yang
dimiliki. Karena, setiap anggota keluarga akan merasa sama derajatnya, yang merupakan
bagian dari satu sama lain di dalamnya. Implikasi dari akan hal ini, perilaku anak angkat
dalam keluarga di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan berbeda-beda satu dengan
lain. William J Goode juga mengungkapkan akan hal yang sama, bahwa perilaku sosial
seseorang dalam sebuah keluarga di tentukkan oleh faktor keluarga dan kedudukan kelas
sosial keluarganya (William J. Goode, 2007:163-165).
2. Pengendalian keluarga
Melihat perbedaan kedudukan kelas keluarga anak angkat di permukiman kelurahan
Pondok Pinang, Jakarta Selatan tentu juga memiliki dampak terhadap perbedaan
pengendalian keluarga terhadap anak angkat itu sendiri. Bukan hanya keluarga kelas atas
dalam sebuah sistem stratifikasi yang terlibat dalam perjuangan mempertahankan
kedudukan kelas sosial milik mereka (William J. Goode. 2007:169). Namun, kepada
keluarga anak angkat kelas sosial menengah di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan
mengalami sedemikian rupa dalam mengendalikan anak-anak mereka agar bertahan pada
standar kelas yang sama, ataupun meningkat ke atas.
Untuk contoh, anak angkat keluarga kelas sosial menengah lebih banyak
menghabiskan diri dalam keseharian dengan mengikuti kegiatan les baik diadakan
sekolah maupun pendidikan non-formal tambahan seperti belajar agama, karena orang
tua angkat mereka menganggap pendidikan itu sangat penting untuk masa depan anak
angkat yang mereka miliki agar dapat memiliki derajat kedudukan tingkat kelas yang
sama seperti orang tua angkatnya bahkan lebih. Seperti yang diungkapkan oleh informan
keluarga kelas sosial menengah berinisial IE selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... SDN 011 pagi dekat dengan rumah sama halnya dengan anak-anak warga sini,
dinilai kualitas terlebih dahulu sekolah saya yang pilih, saya takut anak tersebut
42
salah pergaulan. Saya ikutin les bahasa inggris yang diadakan oleh sekolahnya, dan
kalau sore hari anak saya paling belajar di Taman Pendidikan Al-qur‟an (TPA)
Allohughoyatuna dekat rumah. (hasil wawancara tanggal 13 Februari 2015).
Berbeda dengan kondisi ekonomi yang tidak terlalu baik, keluarga kelas sosial
bawah tidak dapat menyediakan pendidikan tambahan seperti les untuk anak angkat
mereka miliki. Seperti yang diungkapkan oleh informan salah satu keluarga kelas sosial
bawah yang berinisial IS selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... SDN 04 petang, SMP YPUI, SMA Makarya, ya tentu. tapi karena kemampuan
anaknya kurang, jadi tidak dapet sekolah negeri terus, hanya SD. Tidak pernah
memasukan anak tersebut ke pendidikan non-formal. (hasil wawancara tanggal 23
Maret 2015).
Dari hasil di atas, ditemukan bahwa keluarga kelas sosial menengah memiliki
kemampuan untuk memasukan anak angkat mereka miliki les yang diadakan sekolah
dan tambahan pendidikan non-formal yaitu pendidikan agama. Berbeda dengan keluarga
kelas bawah yang cenderung tidak dapat menyediakan pendidikan tambahan untuk anak
mereka, meskipun demikian, keluarga anak angkat kelas sosial bawah dapat memberikan
pengawasan secara maksimal terkait dengan pengedalian perilaku sosial keseharian yang
dijalankan anak angkat mereka miliki, seperti yang diungkapakan salah satu keluarga
kelas sosial bawah yang berinisial BR selaku kepala keluarga, menyatakan:
... Belajar sendiri, larangan bergaul kalau dia tidak baik jangan diikuti, boleh kasar
dengan anak tapi mengikuti perkembangan anak tersebut. (hasil wawancara tanggal
30 Januari 2015).
Hal senada juga diungkapkan oleh informan salah satu keluarga kelas sosial bawah yang
berinisial IS selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... Kalau berteman cari yang baik jangan yang buruk, kalau sekarang kan dia sudah
bekerja di Pondok Indah jadi sales, karena dibawa juga sama tetangga anaknya
tinggi berangkat kerja pagi-pulangya jam 8-an biasanya, ya saya mengawasi
anaknya seperti; kalau bergaul jangan asal bergaul, jangan mengikuti perilaku temen
yang tidak baik, waktu dia masih sekolah pulang sekolah harus tepat waktu, jika
pulang terlambat harus kabari saya dulu dan beri alasan kenapa pulang terlambat.
(hasil wawancara tanggal 23 Maret 2015).
43
Adanya bentuk kontrol sosial dalam memberikan peraturan kepada anak angkat
mereka miliki untuk “pulang sekolah tepat waktu” dan “memiliki batasan dalam
“bergaul” sebagai bentuk pengawasan secara maksimal yang dilakukan oleh keluarga
kelas sosial bawah. Pada kenyataanya, keluarga kelas sosial bawah memberikan
kebebasan kepada anak angkat tersebut untuk berinteraksi sosial dengan siapa saja.
Pengendalian ini, keluarga lakukan tidak lain agar anak angkat mereka miliki tidak
melanggar aturan yang berlaku dalam keluarga, agama, dan masyarakat.
Kecenderungan keluarga kelas menengah yang menyediakan les dalam pengendalian
keluarga terhadap anak angkat mereka miliki daripada keluarga kelas sosial bawah di
kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Menunjukkan bahwa itu sebagai jalan untuk
mempertahankan kedudukan kelas sosial keluarga mereka. Terlihat dari, keluarga kelas
bawah cenderung untuk lebih memberikan kebebasan kepada anak angkat mereka miliki
“bergaul” daripada keluarga kelas menengah mengenai hal itu.
3. Kelas Sosial dan Gaya Hidup (style of life)
Perbedaan status dalam kelas-kelas sosial yang berbeda pada keluarga anak angkat
di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan berimplikasi pada perbedaan dalam
memberikan fasilitas hidup tertentu (life chance). Fasilitas yang diberikan keluarga
terhadap anak angkat mereka, memiliki perbedaan satu sama lain, tergantung pada kelas
sosial keluarga angkat mereka miliki. Keluarga anak angkat kelas sosial menengah
cenderung mampu memberikan fasilitas hidup berupa kamar pribadi, membelikan
pakaian-pakaian yang bagus dan layak, bahkan memberikan kendaraan roda dua. Seperti
yang diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial menengah yang berinisial SK
selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... Iya memberikan bekas kamar anak saya yang sudah nikah.. Ia, saya memberikan
motor untuk (hasan) dan kedua kakanya naik kendaraan umum. (hasil wawancara
tanggal 09 Maret 2015).
44
Hal senada juga diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial menengah lainnya
yang berinisial NS dan IE yang masing-masing menyatakan:
... Ia, saya berikan biar anaknya tidak bermain di luar,punya mainan sendiri, alat
musik. Ia di beliin pakaian yang bagus biar dekat dengan saya, memiliki kamar
sendiri. (hasil wawancara dengan NS selaku ibu rumah tangga tanggal 22 Maret
2015).
... Tentu saja, karena dirumah saya ada 3 kamar, 1 kamar buat saya dan suami, 1
kamar buat anak tersebut, dan 1 kamar lagi masih kosong. Memberikan fasilitas
yang layak dan sama dengan apa yang dia pilih. (hasil wawancara dengan IE selaku
ibu rumah tangga tanggal 13 Februari 2015).
Dengan kondisi tempat tinggal yang cukup besar cenderung untuk membuat
keluarga kelas sosial menengah mampu untuk memberikan fasilitas berupa kamar pribadi
terhadap anak angkat mereka. Begitupun dengan fasilitas lain berupa pakaian-pakaian
yang bagus dan layak, cenderung untuk dapat dimiliki oleh anak angkat keluarga kelas
sosial menengah. Berbeda dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan keluarga kelas sosial
bawah terhadap anak angkat mereka miliki. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu
infoman keluarga kelas sosial bawah yang berinisial AS selaku kepala keluarga,
menyatakan:
... Tidak, tidurnya ya di ruang tamu bareng-bareng karena rumahnya ngontrak cuma
ada 1 kamar dan 1 kamar mandi. Standar belinya juga di Masjid Jami‟ aja. (hasil
wawancara tanggal 19 Maret 2015).
Hal senada juga diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial bawah lainnya yang
berinisial IH, BR, dan IS yang masing-masing menyatakan:
... Ia anak saya satu kamar untuk berdua. Tidak biasanya saya membelikan pakaian
di pasar yang murah-murah. (hasil wawancara dengan IH selaku ibu rumah tangga
tanggal 18 Februari 2015).
... Bersama dan fasilitas tidak dibeda-bedakan. Tidak, standar dan tidak di bedakan
pakaiannya. (hasil wawancara dengan BR selaku kepala keluarga tanggal 30 Januari
2015).
... Ia saya kasih, tidurnya berdua sama anak saya maklum aja namanya ngontrak,
kamar ada 4 (1 ruang tamu, 1 kamar mandi, 2 kamar tidur). Saya dan suami
memberikan pakaian yang layak tapi tidak mahal yang penting bagus, sekarang dia
sudah bekerja, jadi bisa beli sendiri keinginan dia. (hasil wawancara dengan IS
selaku ibu rumah tangga tanggal 23 Maret 2015).
45
Tidak memiliki tempat tinggal pribadi (ngontrak) membuat keluarga anak angkat
kelas sosial bawah tidak dapat memberikan fasilitas berupa kamar pribadi walaupun ada,
ditempatkan berdua dengan anak kandung yang mereka miliki dan tidak mampu untuk
memberikan fasilitas berupa pakaian yang “layak tapi tidak mahal,” sangat berbeda
dengan anak angkat dalam keluarga kelas sosial menengah yang mendapatkan fasilitas
itu semua.
Daftar ini yang menjadi alasan mengapa keluarga anak angkat di kelurahan Pondok
Pinang, Jakarta Selatan memiliki perbedaan satu sama lain dalam memberikan fasilitas
hidup. Perbedaan fasilitas hidup tidak terlepas daripada perbedaan “gaya hidup” yang
dimiliki keluarga anak angkat kelas masing-masing, meskipun dalam kelas sosial yang
sama. Kata “gaya hidup” memiliki pengertian yang sangat luas, gaya hidup tidak dapat
didefinisikan dengan salah satu budaya kelas sosial tertentu, menurut Harry M. Johnson,
bisa saja gaya hidup dalam kelas yang sama memiliki perbedaan gaya hidup satu dengan
lain (Harry M. Johnson. 1975:475).
Permasalahan fasilitas hidup yang dimiliki keluarga anak angkat di kelurahan
Pondok Pinang, Jakarta Selatan juga tidak terlepas daripada “uang saku” sehari-hari yang
menjadi ciri khas perbedaan gaya hidup anak angkat pada keluarga kelas sosial yang
berbeda-beda. Menurut hasil di lapangan, ditemukan bahwa anak angkat yang berada di
keluarga kelas sosial bawah cenderung untuk memiliki “uang saku” yang relatif kecil
dibadingkan dengan anak angkat yang berada pada keluarga kelas sosial menengah.
Jika nominal “uang saku” yang diberikan keluarga kepada anak angkat mereka
menjadi ukuran daripada gaya hidup, permasalahanya terletak pada usia anak angkat
yang relatif berbeda-beda antar keluarga kelas sosial yang satu dengan keluarga kelas
sosial lainnya. Untuk itu, penulis kategorikan berdasarkan usia yang sama anak angkat
dalam membandingkan perbedaan kelas sosial keluarga. Anak angkat yang memiliki usia
46
delapan sampai dua belas tahun pada keluarga kelas bawah cenderung memperoleh
“uang saku” sekitar dua ribu rupiah sampai delapan ribu rupiah. Seperti apa yang
diungkapkan oleh informan keluarga anak angkat kelas sosial bawah yang berinisial AS
selaku kepala keluarga yang memiliki anak angkat bernama DA 11 tahun (lihat kembali
tabel I.F.4.1: 22) dan IH selaku ibu rumah tangga yang memiliki anak angkat bernama
CH usia 12 tahun, yang masing-masing menyatakan:
... Rp. 8.000,-(delapan ribu rupiah), saya bawain bekel lagi pula tidak naik
kendaraan umum untuk sekolah. (hasil wawancara tanggal 19 Maret 2015).
... Rp. 8.000,-(delapan ribu rupiah) untuk pergi sekolah, kalau pergi les saya tidak
memberi uang karena dekat. (hasil wawancara dengan IH tanggal 18 Februari 2015).
Hal senada juga diungkapakan oleh inisial BR selaku kepala keluarga (anak angkat
berinisial EW usia 9 tahun) yang menyatakan:
... Rp. 2.000,- atau Rp. 3.000,-(dua ribu rupiah atau tiga ribu rupiah), tergantung
rejekinya. (hasil wawancara dengan BR tanggal 30 Januari 2015).
Hal ini dipertegas pula oleh anak angkat BR yang berinisial EW, menyatakan:
… Rp. 2.000,- atau Rp. 3.000,- uang jajanya (hasil wawancara tanggal 09 Maret
2015).
Terlihat bahwa, meskipun terkadang memiliki usia yang tidak jauh berbeda namun
“uang saku” yang diperolah setiap anak angkat berbeda, hal ini tergantung dengan
kondisi finansial keluarga yang tidak menentu, begitupun dengan waktu pemberian
“uang saku” kepada anak angkat dikarenakan memiliki alasan selain daripada kondisi
finansial keluarga yang tidak menentu, seperti; menyiapkan makanan (bekel) untuk ke
sekolah, membedakan antara “uang saku” untuk sekolah dan bermain, agar anak tidak
boros (cepat habis) dalam pemakaian “uang saku”, dan tempat sekolah yang dekat
dengan tempat tinggal mereka.
Alasan yang sama juga terjadi pada keluarga anak angkat kelas sosial menengah.
Memberikan “uang saku” relatif tidak tetap, selalu berubah-ubah setiap harinya.
47
Tergantung dengan kondisi finansial yang dialami keluarga mereka miliki. Seperti yang
diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial menengah yang berinisial IE selaku ibu
rumah tangga (anak angkat berinisial IK usia 10 tahun), menyatakan:
... Ya memberikan uang jajan sehari Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah), untuk
sekolah dan main, karena anaknya masih umur 10 tahun. Namun juga tidak
menentu, terkadang Rp.12.000,-atau lebih, kalau bapaknya dapet uang tambahan
kerja (lembur). (hasil wawancara tanggal 13 Februari 2015).
Tambahan penghasilan didapat oleh kepala keluarga mampu memberikan fasilitas
lebih kepada anak angkat mereka miliki berupa penambahan “uang saku”. Penambahan
“uang saku” yang diperoleh anak angkat dalam keluarga kelas sosial menengah
memberikan gaya hidup yang berbeda dengan anak angkat keluarga kelas sosial bawah
yang cenderung lebih kecil nominal “uang saku” yang diperoleh.
Mengenai liburan yang dilakukan keluarga dengan anak angkat yang mereka miliki.
Tempat berlibur disini yaitu pantai, dengan mengacu apa yang diungkapkan Cherlin J. A,
bahwa keluarga kelas atas cenderung untuk mampu menyediakan uang untuk berlibur ke
pantai, begitupun sama baiknya yang dilakukan keluarga kelas sosial menengah berbeda
dengan keluarga kelas pekerja dan keluarga kelas bawah (Cherlin J.A. 2002:115). Seperti
yang diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial menengah yang berinisial SK,
menyatakan:
... Pernah, ke pantai anyer bersama keluarga. (hasil wawancara tanggal 09 Maret
2015).
Hal ini pula dipertegas oleh salah satu anak angkat SK yang berinisial RK yang
menyatakan:
… Pernah (hasil wawancara tanggal 09 Maret 2015).
Meskipun keluarga anak angkat kelas menengah jarang, tapi tidak mengurangi kenyataan
bahwa keluarga kelas menengah mampu untuk menyediakan dan mengajak anak angkat
mereka untuk berlibur ke pantai kapanpun bersama keluarga.
48
Berbeda dengan pernyataan yang diungkapkan oleh keluarga anak angkat kelas
sosial bawah yang tidak pernah melakukan rekreasi bersama keluarga dan anak angkat
yang mereka miliki untuk berlibur ke pantai, hanya waktu liburan tertentu dimanfaatkan
untuk berlibur mengunjungi tempat sanak saudara (pulang kampung) atau rekreasi ke
tempat terdekat rumah. seperti yang diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial
bawah berinisial AS, BR, dan IS yang masing-masing menyatakan:
... Tidak pernah. (hasil wawancara dengan AS selaku kepala keluarga tanggal 19
Maret 2015).
... Tidak, ketempat saudara atau sanak family. (hasil wawancara dengan BR selaku
kepala keluarga tanggal 30 Januari 2015).
... Tidak, kalau libur dirumah aja, pulang kampung setiap lebaran Idul Fitri. (hasil
wawancara dengan IS selaku ibu rumah tangga tanggal 23 Maret 2015).
Hal ini pula dipertegas oleh anak angkat keluarga kelas sosial bawah BR yang berinisial
EW yang menyatakan:
… Tidak pernah, sukanya kerumah saudara. (hasil wawancara tanggal 30 Januari
2015).
Perilaku sosial anak angkat yang dicerminkan dalam tingkah laku keseharian juga
terlihat mengenai tempat pemilihan sekolah. Konsepsi pemilihan sekolah disini, terlihat
dari kualitas dan kedudukan sekolah itu sendiri. Memang sangat sulit untuk mengukur
kualitas sekolah itu lebih baik atau tidak dari sekolah lain, hanya dengan observasi atau
pengamatan saja. Pada kenyataanya, keluarga anak angkat di kelurahan Pondok Pinang,
Jakarta Selatan memiliki pertimbangan tersediri dalam menentukan pemilihan sekolah
untuk anak angkat mereka miliki. Seperti apa yang diungkapkan oleh salah satu informan
keluarga anak angkat kelas sosial bawah yang berinisial IS selaku ibu rumah tangga,
menyatakan:
... SDN 04 petang, SMP YPUI, SMA Makarya, ya tentu. Tapi, karena kemampuan
anaknya kurang, jadi tidak dapet sekolah negeri terus, hanya SD. Tidak pernah
memasukan anak tersebut ke pendidikan non-formal. (hasil wawancara tanggal 23
Maret 2015).
49
Hal senada juga diungkapakan oleh informan keluarga kelas sosial bawah lainnya yang
berinisial BR selaku kepala keluarga yang menyatakan:
... SDN 04 petang, kemauan anaknya sendiri untuk sekolah di SD, mengaji di TPA.
(hasil wawancara tanggal 30 Januari 2015).
Hal ini pula dipertegas oleh anak angkat keluarga kelas sosial bawah BR yang berinisial
EW yang menyatakan:
… SDN 04 Petang. Ia pilihan saya sendiri. (hasil wawancara tanggal 30 Januari
2015).
Dari terdeskripsikan di atas, bahwa keluarga kelas sosial bawah lebih
mempertimbangkan secara ekonomi dalam pemilihan sekolah, pilihan sendiri “kemauan
anak sendiri,” dan disesuaikan dengan kemampuan dan tidak memasukan anak angkat
mereka miliki untuk mengikuti pendidikan non-formal yang memerlukan biaya finansial
yang lebih.
Meskipun, pemilihan sekolah ditentukan dengan mempertimbangkan kualitas
sekolah, perbedaan terlihat daripada kemampuan memberikan pendidikan non-formal
yang dilakukan keluarga kelas sosial menengah dan keluarga kelas sosial bawah. Seperti
yang diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial menengah yang berinisial IE
selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... SDN 011 pagi dekat dengan rumah sama halnya dengan anak-anak warga sini,
dinilai kualitas terlebih dahulu sekolah saya yang pilih, saya takut anak tersebut
salah pergaulan. Saya ikutin les bahasa inggris yang diadakan oleh sekolahnya, dan
kalau sore hari anak saya paling belajar di Taman Pendidikan Al-qur‟an (TPA)
Allohughoyatuna dekat rumah. (hasil wawancara tanggal 13 Februari 2015).
Hal ini berbeda dengan diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial bawah yang
berinisial IS selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... SDN 04 petang, SMP YPUI, SMA Makarya, ya tentu. Tapi karena kemampuan
anaknya kurang, jadi tidak dapet sekolah negeri terus, hanya SD. Tidak pernah
memasukan anak tersebut ke pendidikan non-formal. (hasil wawancara tanggal 23
Maret).
50
Jelas, kualitas pendidikan menjadi prioritas penting bagi keluarga kelas sosial
menengah bahwa bentuk pendidikan non-formal keluarga kelas sosial menengah
cenderung lebih baik dengan menyedikan fasilitas pengadaan “les diadakan sekolah”
dibandingkan dengan keluarga kelas sosial bawah yang “tidak pernah memasukan anak
tersebut ke pendidikan non-formal (les), perbedaan ini dikarenakan pendidikan non-
formal diluar kegiatan sekolah tersebut memerlukan biaya dan meskipun sekolah yang
dijalankan anak angkat keluarga kelas sosial bawah sama (sekolah dasar negeri pada
umunya) dengan keluarga kelas sosial menengah.
Adanya fasilitas hidup berupa; pakaian bagus dan layak, fasilitas kamar pribadi,
uang saku lebih, dan dapat berlibur ke pantai. Kesemua ini menjadi fasilitas hidup yang
dimiliki anak angkat keluarga kelas sosial menengah, sehingga membentuk gaya tingkah
laku yang berbeda daripada anak angkat pada keluarga kelas sosial bawah. Perbedaan
gaya tingkah laku (life style) ini, menurut Soerjono Soekanto tidak terlepas daripada
“gaya hidup” kelas sosial yang dimiliki, meskipun pada masyarakat kelas yang sama
(Didin Saripudin. 2010:74).
B. Peran Keluarga Dalam Memberikan Nilai-Nilai Sosialisasi Terhadap Anak
Angkat
Perilaku sosial anak angkat yang berbeda-beda dalam keluarga di kelurahan Pondok
Pinang, Jakarta Selatan tentu tidak lepas dari peran keluarga dalam pemeliharaan anak
angkat mereka miliki. Karena, keluarga merupakan awal dimana anak angkat belajar dan
menghabiskan waktu sehari-hari. Keluarga menjadi hal dasar pembentukan perilaku
sosial anak angkat, setiap tindakan perilaku anak sangat mencermikan keadaan keluarga
yang telah mendidik mereka.
Maka dari itu, nilai-nilai sosialisasi yang diberikan keluarga terhadap anak angkat
tergantung pada pola kelas sosial yang mereka miliki. Kelas sosial disini, meliputi
51
keluarga anak angkat kelas sosial menengah dan keluarga kelas sosial bawah. Hubungan
mengenai kelas sosial terhadap nilai-nilai sosialisasi yang diberikan keluarga terhadap
anak angkat mereka, terlihat nilai-nilai orang tua pada kelas-kelas sosial tertentu
berbeda-beda, serta nilai-nilai sejarah yang didapat orang tua angkat dari generasi
sebelumnya ikut menentukkan perilaku sosial anak angkat tersebut.
1. Sosialisasi sebagai Dukungan dan Kontrol
Banyak cara yang dilakukan orang tua atau keluarga anak angkat di kelurahan
Pondok Pinang, Jakarta Selatan dalam memberikan nilai-nilai sosialisasi terhadap anak
angkat mereka miliki. Meskipun setiap anak angkat dibesarkan pada keluarga kelas
sosial yang berbeda. Pada kenyataanya, keluarga memberikan sosialisasi terhadap anak
angkat mereka miliki dengan dukungan emosional-cinta,”kekeluargaan” dan penerimaan
terhadap kehadiran anak tersebut dalam keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh
informan keluarga kelas sosial menengah yang berinisial IE dan NS yang masing-masing
menyatakan:
... Sangat bahagia, karena anak saya memiliki saudara untuk bermain di rumah
kebetulan saya punya anak perempuan jadi sepasang lah anaknya. (hasil wawancara
dengan NS selaku ibu rumah tangga tanggal 22 Maret 2015).
... Ia sangat bahagia karena anak tersebut membuat saya bahagia, karena saya juga
belum dikaruniakan seorang anak dari Allah, dulu saya pernah hamil tetapi bayi
yang ada didalam kandungan saya tidak berkembang, sehingga saya diambil bayinya
dari rahim atau “dikiret” sehingga saya tidak memiliki anak, dan saya mengangkat
anak tersebut dari keluarga saya. (hasil wawancara dengan IE selaku ibu rumah
tangga tanggal 13 Februari 2015).
Hal senada juga diungkapakan oleh informan keluarga kelas sosial bawah yang berinisial
IH, AS, dan BR yang masing-masing menyatakan:
... Bersama dan fasilitas tidak dibeda-bedakan. (hasil wawancara dengan BR selaku
kepala keluarga tanggal 30 Januari 2015).
... Ya nyaman, karena anak adalah titipan Allah dan saya senang merawatnya, ia
karena saya berkeinginan membantu adik saya. (hasil wawancara dengan IH selaku
ibu rumah tangga tanggal 18 Februari 2015 ).
52
... Bahagia, saya angkat anak tersebut ia karena ibu kandungnya tidak ada di sini ini
suaminya yang menitipkan anaknya ke saya, ia kadang-kadang bapaknya main
kesini ngasih duit ke saya untuk anaknya. (hasil wawancara dengan AS selaku
kepala keluarga tanggal 19 Maret 2015).
Nilai-nilai penerimaan “bahagia”, “nyaman”, dan “tidak membedakan dengan anak
kandung” merupakan dukungan emosional yang menunjukkan aksi orang tua merawat
anak angkat yang mereka miliki. Memberikan dukungan emosional sebagai pilihan orang
tua, karena menurut mereka baik dalam memberikan kenyamanan kepada anak angkat
mereka miliki dalam keluarga, sesuai dengan pernyataan Cherlin J.A, bahwa salah satu
cara sosialisasi yang dapat dilakukan orang tua terhadap anak mereka, dengan
memberikan dukungan emosional-cinta, kehangatan, atau penerimaan untuk memberikan
kenyamanan dalam keluarga (Cherlin J.A. 2002:318).
Selain memberikan dukungan emosional-cinta, kehangatan, atau penerimaan
keluarga anak angkat di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, orang tua juga
melatih kontrol bersamaan dengan ancaman hukuman berkaitan dengan masalah
perubahan tingkah laku anak angkat yang kurang baik. Sehingga, diharapkan anak
tersebut mau mengikuti dan menjalankan sesuai yang diinginkan (Cherlin J.A.
2002:318). Untuk itu, dalam menjelaskan hal ini, penulis mengikuti pandangan Dianna
Baumrind, yang membedakan tiga gaya orang tua dalam memberikan dukungan dan
motivasi terhadap perilaku anak dalam keluarga, yaitu; authoritative style, permissive
style, dan authoritarian style.
a) Authoritative Style
Menurut Dianna Baumrind authoritative style yaitu; gaya memaksa orang tua
dengan menggambungkan dukungan emosional tetap tinggi dengan kontrol sedang.
Memberikan anak dengan kehangatan kemudian cinta yang kuat disiplin tetap. Tetapi
disiplin sama moderat atas dasar pilihan dan penjelasan daripada di atas penggunaan
hukuman fisik (Cherlin J.A. 2002:320). Begitupun sama yang dilakukan orang tua
53
keluarga anak angkat di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan dalam memberikan
pelatihan kedisplinan, cara melatih kontrol, mendidik, dan membimbing agar anak
mengikuti sesuai dengan harapan orang tua, Seperti yang diungkapkan oleh informan
keluarga kelas sosial menengah yang berinisial SK selaku ibu rumah tangga,
menyatakan:
... Memasukanya ke pengajian serta sekolah Islam atau mengarahkan bersekolah di
sekolah negeri, menyuruh belajar dan mengulang pelajaran di rumah.
Menghukumnya, seperti dikurangi atau tidak memberikan uang jajan dan tidak
diberi makan, dengan hal seperti itu mereka akan sadar dan mengikuti aturan. (hasil
wawancara dengan SK tanggal 09 Maret 2015).
Hal senada juga diungkapakan oleh informan keluarga kelas sosial bawah yang berinisial
IH selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... Saya ajarin agar menuruti keinginan saya dan patuh terhadap ibu bapaknya, tidak
nakal, tidak merokok dan jangan keluar rumah kalau udah malam. (hasil wawancara
tanggal 18 Februari 2015).
Adanya bentuk kata seperti; larangan (tidak boleh), “menyuruh”, dan mengarahkan
sebagai dukungan emosional tetap tinggi dalam memberikan perintah (kontrol sedang)
untuk tidak; keluar rumah larut malam; belajar dan mengulang pelajaran di rumah;
larangan bergaul (tidak boleh bermain diluar rumah). Menjadi penjelasan yang
digunakan dalam memberikan kehangatan-cinta (tidak menggunakan fisik, hanya
menggunakan bahasa lisan), sehingga anak angkat tersebut menerima dan mengikuti dari
apa yang diperintahkan orang tua dalam keluarga.
b) Permissive Style
Merupakan gaya kebebasan yang dimiliki orang tua dalam memberikan dukungan
tetapi kurang melatih kontrol. lebih lanjut lagi, Diana Baumrind menyatakan dengan
gaya kebebasan orang tua seperti ini, anak tersebut pada akhirnya dituntut memiliki
kekayaan apa saja (Cherlin J.A. 2002:320). Seperti yang diungkapkan oleh informan
keluarga kelas sosial bawah yang berinisial IS dan BR yang masing-masing menyatakan:
54
... Menegur aja, saya paling juga menegur tapi sambil contohin yang ada di TV (agar
dia seperti orang hebat yang ada di TV). (hasil wawancara dengan IS selaku ibu
rumah tangga tanggal 23 Maret 2015).
… Marahin aja, saya paling juga marah-marahin tapi sambil mencontohkan seperti
kakaknya yang sudah bekerja. (hasil wawancara dengan BR selaku kepala keluarga
tanggal 30 Januari 2015).
Hal senada juga diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial menengah yang
berinisial IE selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... Ya saya hanya menegur saja karena kan masih kelas 4 SD kalau dibilangin masih
ngelawan, namanya juga anak-anak. Namun, kalau ada masalah dia tidak sungkan
untuk bicara dengan saya. (hasil wawancara tanggal 13 Februari 2015).
Terlihat bahwa melatih kedisplilan setiap waktu dan memilih pergaulan yang baik
sebagai bentuk dukungan yang diberikan orang tua terhadap anak angkat mereka miliki.
Menjadikan dukungan nilai-nilai sosial yang diberikan dalam proses pembelajaran dan
pelatihan terhadap anak angkat, meskipun jika anak tersebut melanggar aturan yang
ditentukan orang tua, hanya “menegur saja”. Teguran ini, mengisyaratkan bahwa orang
tua kurang melatih kontrol dalam melatih, medidik, dan membimbing anak untuk mau
mengikuti aturan.
Artinya, dengan kurang melatih kontrol (menegur saja) merupakan suatu bentuk
gaya kebebasan yang dimiliki orang tua angkat dalam keluarga di Kelurahan Pondok
Pinang, Jakarta Selatan, pada akhirnya dituntut memiliki prestige dan priviledge (Cherlin
J.A:2002; William J. Goode:2007) dengan dicontohkan dalam ungkapan mengingkan
anak yang mereka miliki menjadi orang sukses (agar dia seperti orang hebat yang ada di
TV) daripada seperti kedua orang tuanya, dihormati dan dihargai orang lain dewasa
nanti.
c) Authoritarian Style
Merupakan gaya kekuasaan, orangtua menggabungkan dukungan rendah bersama
usaha di dalam mengontrol kekerasan anak dalam menjalankan konsistensi mereka tetapi
55
tanpa hukuman kejam, dan memberikan substansi dukungan emosional (Cherlin J.A,
2002:320). Dukungan emosional disini, terlihat pada orang tua angkat dalam keluarga di
kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan dengan memberikan kasih sayang
“menggendong,” meskipun terlebih dahulu “memarahi” atas perilaku yang tidak
mengikuti perintah orang tua. Seperti yang diungkapkan oleh informan keluarga kelas
menengah yang berinisial NS selaku ibu rumah tangga, menyatakan:
... Saya kasih hukuman (tidak di belikan mainan mobil-mobilan) cara mendidiknya
ya di marahin dulu baru saya gendong. (hasil wawancara tanggal 22 Maret 2015).
Ungkapan perintah menjaga kedisiplinan (pake baju sendiri, pulang sekolah tepat
waktu) dan ketaatan setiap waktu (memberikan kabar kepada perihal terlambat pulang ke
rumah) yang dilakukan orang tua terhadap anak angkat mereka miliki dalam keluarga
kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Sebagai bentuk gaya kekuasan orang tua
menggabungkan dukungan rendah (hanya menanyakan tugas-tugas yang diberikan
sekolah), bersama usaha di dalam mengontrol kekerasan anak (tidak dibelikan mainan
mobil-mobilan) dalam menjalankan konsistensi mereka tanpa hukuman kejam, dan
memberikan “pelukan hangat”, “Menggendong”, dan mengikuti kenginan anak sebagai
substansi dukungan emosional (Cherlin J.A, 2002:320).
Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa gaya memaksa, gaya kebebasan, dan
kekuasaan orang tua dalam memberikan nilai-nilai sosial (sosialisasi) terhadap anak
angkat mereka miliki dalam keluarga di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan
memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya. Perbedaan tidak terletak pada budaya
kelas tertentu, apakah itu gaya kekuasaan dimiliki kelas sosial menengah atau gaya
kebebasan dimiliki kelas sosial bawah, meskipun tidak terdapat keluarga kelas menengah
daripada gaya kebebasan. Esensi yang dapat ditemukan bahwa gaya memaksa, gaya
kebebasan, dan gaya kekuasaan yang dimiliki orang tua yang diberikan terhadap anak
angkat mereka miliki bukan tergantung pada kelas sosial keluarga yang mereka miliki,
56
namun lebih kepada sosialisasi yang diberikan sebagai dukungan dan kontrol terhadap
perilaku sosial anak angkat tersebut.
2. Sosialisasi dan Kelas Sosial
Meskipun antara kelas sosial keluarga tidak berkaitan langsung dengan gaya orang
tua yang dimiliki, namun, nyatanya sosialisasi orang tua terhadap anak angkat dalam
keluarga di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan dilakukan berdasarkan pola
keluarga yang dimiliki. Cara dan isi sosialisasi yang diberikan tentu berbeda satu sama
lain dalam sebuah keluarga. Henslin terhadap kajian Kohn dan rekannya ditemukan
bahwa kelas sosial suatu keluarga memengaruhi cara dan isi sosialisasi dalam keluarga
(Damsar.2011:70: Cherlin J.A.2002:322).
Terkait antara kelas sosial dan sosialisasi ditentukan dengan pekerjaan ayah (kepala
keluarga). Meskipun masuk dalam kategorisasi keluarga kelas sosial bawah, namun ada
salah satu keluarga kelas sosial bawah yang laki-laki dewasa (suami/ayah) sebagai
kepala rumah dengan memiliki pekerja, seperti; karyawan swasta, lebih menanamkan
nilai-nilai kedisplinan yang tinggi dan kerapihan kepada anak angkat mereka miliki.
Seperti yang diungkapkan oleh informan keluarga kelas sosial bawah yang berinisial IS,
menyatakan:
... Kalau berteman cari yang baik jangan yang buruk, kalau sekarang kan dia sudah
bekerja di Pondok Indah jadi sales, karena dibawa juga sama tetangga anaknya
tinggi berangkat kerja pagi-pulangya jam 8-an biasanya, ya saya mengawasi
anaknya seperti; kalau bergaul jangan asal bergaul, jangan mengikuti perilaku temen
yang tidak baik, waktu dia masih sekolah pulang sekolah harus tepat waktu, jika
pulang terlambat harus kabari saya dulu dan beri alasan kenapa pulang terlambat.
(hasil wawancara tanggal 23 Maret 2015).
Hal ini, terlihat pada pekerjaan yang dimiliki orang tua yang cenderung
memerhatikan nilai-nilai konformitas seperti disiplin tepat waktu dan sejak dini, taat, dan
rapi, dan pada anak angkat mereka miliki, agar anak angkat mereka dapat
menginternalisasikan nilai ketaatan dari pengalaman hidup orang tua (parental values)
57
dalam dunia kerja. Menurut Henslin karena pengalaman hidup, khususnya dalam
kaitannya dengan dunia kerja, dimana ketaatan terhadap aturan dalam prosedur kerja
sebagai kunci sukses atau keberhasilan dalam kehidupan (Damsar, 2011:71).
Oleh sebab itu, nilai ini dipandang penting untuk disosialisasikan dan
diinternalisasikan kepada anak angkat mereka agar generasi muda dapat mengikuti jejak
generasi tua. Berbeda dengan kelas sosial bawah, keluarga kelas sosial menengah
mengalami kenyataan bahwa kunci sukses atau keberhasilan kehidupan terletak pada
kemampuan pengambilan inisiatif dalam pekerjaan sehingga nilai seperti inilah yang
dipandang penting untuk diwariskan pada generasi berikutnya (historical Trends in
Social Class Value) (Damsar, 2011:71). Seperti yang diungkapkan oleh informan
keluarga kelas sosial menengah yang berinisial NS selaku ibu rumah tangga,
menyatakan:
... Ia selalu saya ajarin mana yang baik dan mana yang buruk dia kan masih kecil
belum tau apa-apa jadi saya hanya nasehati dan saya juga biasanya mencontohkan
kepada kakaknya biar dia melihat sendiri. (hasil wawancara tanggal 22 Maret 2015).
Dengan ungkapan “selalu saya ajarin mana yang baik dan mana yang buruk dan
biasanya mencotohkan kepada kakaknya biar dia melihat sendiri” cara yang dilakukan
orang tua keluarga kelas sosial menengah dalam memberikan motivasi dan penggunaan
nalar bagi anak angkat mereka ketimbangan ancaman dan hukuman fisik dalam
mengontrol perilaku sosial anak yang tidak mengikuti aturan orang tua. Oleh karena itu,
orang tua dari kelas menengah cenderung mengembangkan rasa ingin tahu, ekspresi diri,
dan pengendalian diri terhadap anak-anak mereka (Cherlin J.A. 2002:323).
C. Stratifikasi dan Anak Angkat dalam keluarga
Sesuai dengan apa yang terdeskripsikan di atas bahwa adanya perbedaan kelas sosial
pada keluarga anak angkat di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan merupakan salah
58
satu gejala munculnya stratifikasi sosial. Konsepsi hubungan antara stratifikasi dan anak
angkat dalam keluarga di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan, bukan pada anak
angkat yang digolongkan ke dalam struktur sosial melainkan keluargalah yang
merupakan sistem stratifikasi dan mekanisme sosial yang memeliharanya (William J.
Goode. 2007:162), dimana kelas sosial keluarga berdampak pada cara dan isi sosialisasi
yang diberikan terhadap anak angkat yang mereka miliki sebagai proses belajar peran,
status, dan nilai yang diperlukan untuk partisipasi dalam institusi sosial. Adapun
sosialisasi yang dilakukan berdasarkan pola keluarga yang dimiliki karena nilai-nilai
sosialisasi inilah yang mereka terima dan mengerti.
Pada kasus ini, penyebab stratifikasi anak angkat dalam keluarga di kelurahan
Pondok Pinang, Jakarta Selatan terlihat dengan tidak adanya kesimbangan dalam
memberikan fasilitas kehidupan berupa; pendidikan, uang saku, kamar pribadi, pakaian
mewah, rekreasi ke pantai, yang diberikan keluarga terhadap anak angkat mereka miliki.
Tidak adanya keseimbangan memberikan fasilitas kehidupan disebabkan oleh kedudukan
kelas sosial keluarga anak angkat, dimana menurut Harry M Johnson (1973) dan William
J Goode (2007) bahwa kelas sosial sebuah keluarga mengidentifikasikan perilaku sosial
setiap individu yang ada didalamnya karena setiap anggota keluarga merasa sama
derajatnya dan merupakan bagian satu lainnya (1973:470; 2007:165).
Hal ini, terlihat pada keluarga anak angkat kelas sosial menengah di kelurahan
Pondok Pinang, Jakarta Selatan cenderung untuk memberikan fasilitas pendidikan yang
lebih dengan mengikutsertakan anak angkatnya les. Seperti yang diungkapkan oleh
informan keluarga kelas sosial menengah berinisial IE selaku ibu rumah tangga,
menyatakan:
... Saya ikutin les bahasa inggris yang diadakan oleh sekolahnya. Dan kalau sore hari
anak saya paling belajar di Taman Pendidikan Al-qur‟an (TPA) Allohughoyatuna
dekat rumah. (hasil wawancara tanggal 13 Februari 2015).
59
Berbeda dengan yang diungkapkan oleh informan salah satu keluarga anak angkat kelas
sosial bawah berinisial IS selaku ibu rumah tangga yang menyatakan:
... Tidak pernah memasukan anak tersebut ke pendidikan non-formal. (hasil
wawancara tanggal 23 Maret 2015).
Pendidikan non-formal keluarga kelas sosial menengah cenderung lebih baik dengan
menyedikan fasilitas mengikuti les yang diadakan oleh sekolah, terlebih pada keluarga
kelas sosial bawah cenderung tidak mengikutsertakan anak angkat mereka les yang
diadakan sekolah, dikarenakan les tersebut memerlukan finansial yang tidak sedikit.
Dengan begitu, atas kelebihan fasilitas yang dimiliki anak angkat dalam keluarga kelas
sosial menengah dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi daripada anak angkat pada
keluarga kelas sosial bawah yang hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki.
Menurut Pitrim A. Sorikin, Soerjono Soekanto, dan Hasan Sadilly mengatakan
selama pada masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai maka hal itu akan menjadi bibit
yang menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis. Dimana, sesuatu yang berharga dalam
jumlah banyak maka akan dianggap memiliki kedudukan di lapisan atas. Bagi mereka
yang hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki sesuatu yang berharga maka
akan dipandang memiliki kedudukan rendah (Didin Saripudin. 2010:41).
Dengan demikian, fasilitas kehidupan yang lebih atas dasar kemampuan finansial
(bernilai ekonomis) keluarga anak angkat kelas sosial menengah memberikan kedudukan
sosial yang lebih tinggi bagi anak tersebut daripada anak angkat dalam keluarga kelas
sosial bawah. Munculnya stratifikasi anak angkat dalam keluarga di kelurahan Pondok
Pinang Jakarta Selatan merupakan konsekuensi logis dari beberapa faktor yang
berkenaan dengan perbedaan kekayaan keluarga yang dimiliki oleh orang tua angkat,
kedudukan orang tua angkat di masyarakat, pendidikan, dan profesi pekerjaan.
Dari daftar ini menjadi penjelas terjadinya permasalahan bentuk-bentuk stratifikasi
anak angkat dalam keluarga di kelurahan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Adanya nilai-
60
nilai yang berharga secara ekonomis dilihat dari kekayaan, pendapatan, dan profesi
pekerjaan orang tua angkat dalam keluarga kelas sosial menengah, menempatkan
keluarga tersebut dalam kategorisasi lapisan sosial atas berdasarkan tingkat ekonomi
yang lebih besar daripada keluarga kelas sosial bawah. Menurut Hasan Sadily bahwa
tolak ukur bentuk stratifikasi berdasarkan kelas ekonomi adalah seberapa banyak
seseorang atau kelompok memiliki pendapatan atau kekayaan (Didin Saripudin.
2010:46).
Namun demikian, status sosial berdasarkan kriteria ekonomi ini bersifat terbuka,
dalam arti, meskipun orang tua atau keluarga anak angkat kelas sosial menengah
mempunyai lebih banyak secara ekonomi daripada keluarga kelas sosial bawah, ada
kecenderungan bahwa dimana sistem stratifikasi ekonomi itu berdasarkan keberhasilan
individual yaitu anak angkat itu sendiri (William J. Goode. 2010:174). Meskipun anak
angkat yang di adopsi oleh keluarga kelas sosial menengah dengan serba berkecukupan
bahkan lebih, namun, tidak memiliki kemampuan dalam keahlian bidang pendidikan atau
lainnya, sewaktu-waktu dapat mengalami kemiskinan inteletual dan menyebabkan
kemiskinan secara ekonomi bagi anak tersebut. Sebaliknya, tidak mustahil anak angkat
yang berada pada keluarga kelas sosial bawah dapat mengubah nasibnya menjadi orang
kaya asal bersedia berusaha dalam meraih prestasi dalam bidang akademik.
Untuk itu, sesuai dengan hasil wawancara dan observasi peneliti, bahwa ditemukkan
pada keluarga kelas sosial menengah untuk berusaha semaksimal mungkin dalam proses
pengendalian anak angkat yang mereka miliki dalam mengatasi permasalahan penurunan
kelas sosial anggota keluarga yang terjadi nantinya dengan memberikan fasilitas yang
lebih berupa memasukan pendidikan non-formal atau les yang diadakan sekolah dan
pendidikan agama sebagai bekal agar nanti anak mereka mampu berprestasi dalam
bidang akademik dan memiliki kecerdasan spritual sehingga mampu mempertahankan
61
dan bahkan lebih memiliki kekayaan, penghasilan, dan pekerjaan seperti yang dimiliki
orang tua atau keluarganya.
62
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan penelitian di lapangan dapat disimpulkan bahwa penyebab
terjadi perbedaan perilaku anak angkat dari stratifikasi kelas sosial yang berbed dalam
keluarga di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan didasarkan pada faktor sebagai
berikut;
1. Kedudukan kelas sosial keluarga; dimana pada keluarga kelas sosial menengah,
kepala keluarga cenderung memiliki penghasilan per/bulan yang baik, pekerjaan
yang tetap, pendidikan yang baik dan seorang istri di keluarga kelas sosial
menengah sama baiknya dengan suami mereka dalam menghasilkan prestige dan
priviledge yang baik bagi keluarga. Berbeda dengan keluarga anak angkat kelas
sosial bawah dimana kepala keluarga dengan hanya memiliki pendidikan yang
tidak terlalu memadai dengan tidak memiliki pekerjaan yang tetap (bekerja sebagai
buruh), tidak memiliki pendapatan yang tetap, sehingga keterbatasan dalam
memenuhi kebutuhan keluarga.
2. Pengendalian keluarga; dimana pada keluarga kelas sosial menengah memiliki
kemampuan untuk memasukan anak angkat mereka miliki les yang diadakan
sekolah dan tambahan pendidikan non-formal yaitu pendidikan agama. Berbeda
dengan keluarga kelas bawah yang cenderung tidak dapat menyediakan pendidikan
tambahan untuk anak mereka, meskipun demikian, keluarga anak angkat kelas
sosial bawah dapat memberikan pengawasan secara maksimal terkait dengan
pengedalian perilaku sosial keseharian yang dijalankan anak angkat mereka miliki.
63
3. Gaya Hidup; dimana pada keluarga kelas sosial menengah dapat mengajak anak
angkat mereka berlibur ke pantai, dapat memberikan fasilitas berupa kamar
pribadi, dan dapat membelikan kendaraan roda dua untuk anak angkat yang mereka
miliki. Berbeda dengan keluarga anak angkat kelas sosial bawah yang cenderung
tidak dapat menyediakan fasilitas-fasilitas tertentu kepada anak angkat mereka
miliki, seperti apa yang diberikan oleh keluarga anak angkat kelas sosial
menengah.
Selanjutnya, Sosialisasi yang diberikan keluarga terhadap anak angkat dilakukan
berdasarkan pola keluarga yang dimiliki. Sehingga, muncul perbedaan mengenai
pemberian motivasi dan dukungan yang diberikan keluarga terhadap anak angkat pada
keluarga kelas sosial yang berbeda. Ada tiga bentuk gaya yang digunakan keluarga anak
angkat di kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan, yaitu: pertama, gaya memaksa
(authoritative style), orang tua cenderung “melarang”, “menyuruh”, dan mengarahkan
sebagai dukungan emosional tetap tinggi dalam memberikan perintah untuk tidak; keluar
rumah larut malam; belajar dan mengulang pelajaran di rumah. Menjadi penjelasan yang
digunakan dalam memberikan kehangatan-cinta, sehingga anak angkat tersebut menerima
dan mengikuti dari apa yang diperintahkan orang tua dalam keluarga.
Kedua, pada keluarga yang memiliki gaya kebebasan cenderung kurang melatih
kontrol, pada akhirnya dituntut memiliki kekayaan apa saja dengan dicontohkan dalam
ungkapan menginginkan anak yang mereka miliki menjadi orang sukses daripada seperti
kedua orang tuanya, dihormati dan dihargai orang lain dewasa nanti. Terakhir, untuk
keluarga yang memiliki gaya kekuasaan, orang tua cenderung memberikan perintah
menjaga kedisiplinan dan ketaatan setiap waktu sebagai dukungan rendah dalam
mengontrol kekerasan anak dan menjalankan konsistensi mereka tanpa hukuman kejam,
64
dan memberikan “pelukan hangat”, “Menggendong”, dan mengikuti kenginan anak
sebagai substansi dukungan emosional.
Begitupun mengenai masalah sosialisasi dan kelas sosial dilakukan berdasarkan pola
keluarga yang dimiliki. Terlihat, pada keluarga anak angkat kelas sosial bawah orang tua
yang cenderung memerhatikan nilai-nilai konformitas seperti disiplin tepat waktu dan
sejak dini, taat, dan rapi, agar anak angkat mereka dapat menginternalisasikan nilai
ketaatan dari pengalaman hidup orang tua (parental values) dalam dunia kerja. Berbeda
pada keluarga kelas sosial menengah mengalami kenyataan bahwa kunci sukses atau
keberhasilan kehidupan terletak pada kemampuan pengambilan inisiatif seperti; ungkapan
“Ia selalu saya ajarin mana yang baik dan mana yang buruk dan biasanya mencontohkan
kepada kakaknya biar dia melihat sendiri” cara yang dilakukan orang tua keluarga kelas
menengah dalam memberikan motivasi dan penggunaan nalar bagi anak angkat mereka
ketimbangan ancaman dan hukuman fisik dalam mengontrol perilaku sosial anak yang
tidak mengikuti aturan orang tua. Nilai ini dipandang penting untuk disosialisasikan dan
diinternalisasikan kepada anak angkat mereka agar generasi muda dapat mengikuti jejak
generasi tua.
B. Saran
Penelitian lapangan mengenai stratifikasi anak angkat dalam keluarga di kelurahan
Pondok Pinang Jakarta Selatan mempunyai beberapa saran sebagai berikut:
Pertama, pada keluarga kelas bawah meskipun tidak mampu memberikan sesuatu
yang bernilai lebih dalam hal memberikan fasilitas hidup, agar senantiasa selalu merawat
dan menjaga anak angkat yang dimiliki, tumbuh dan perkembang dengan baik terutama
perihal dengan pendidikan. Karena pendidikan sangat penting untuk bekal kehidupan anak
angkat yang dimiiki pada dewasa nanti agar kehidupan anak tersebut lebih baik dan
berguna bagi keluarga dan bangsa.
65
Kedua, bagi para keluarga anak angkat baik keluarga kelas sosial menengah dan
keluarga kelas sosial bawah untuk lebih dioptimalkan perihal pengangkatan anak secara
hukum yang sah. Dengan adanya legitimasi hukum secara sah, tentu keluarga yang
memiliki anak angkat lebih diupayakan dalam segala bentuk tanggung jawab dan
perawatan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dan peneliti, berharap
nantinya, ada penelitianya selanjutnya mengenai stratifikasi anak angkat dalam keluarga
ditinjau dalam aspek tingkat keberagamaan dengan pendekatan sosiologi agama..
Selanjutnya, untuk stackholder seperti instansi pemerintah kelurahan Pondok Pinang
Jakarta Selatan beserta jajaran di tingkat wilayah rukun warga dan rukun tetangga, untuk
diperhatikan masalah keberadaan anak angkat dalam keluarga. Diperlukan pembukuan
yang jelas mengenai siap saja keluarga yang memiliki anak angkat (adopsi), sehingga
persentasi jumlah kesuluruhan anak angkat di tingkat rukun tetangga, rukun warga, sampai
dengan kelurahan jelas. Dan tambahan, agar pemerintah setempat khususnya yang
berwenang dalam hal proses pengesahaan anak angkat untuk bisa menyediakan sarana dan
prasarana dalam pengurusan administratif dan memberikan sosialisasi mengenai
mekanisme pengangkatan anak angkat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Bungin, Burhan. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif .—Ed. 1, Cet. 3.—Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Cherlin. 2002. Public and Private Families: An Introduction. New York: McGraw-Hill.
112-349
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana: 65-91
Giddens, 1997. Sociology. h. 140-141
Goode, William J. 2007. The Family. Penerjemah. Dra. Lailahanoum Hasyim. Cet.ke-7.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kartasapoetra, G & Hartini. 2007. Kamus Sosiologi dan kependudukan. Jakarta: PT
Bumi Aksara
Koentjaraningrat . 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. (redaksi)
Koentjaraningrat., Cet. 7.—Jakarta: PT Gramedia.129-155
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern,.terj:
Alimandan..-ed.6-- Cet.ke-4-- Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 117-121.
Saripudin, Didin. 2010. Interpretasi Sosiologi dalam Pendidikan. Bandung: Karya Putra
Darwati: 41-65.
Soehartono, Irawan DR. 1995.Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainya., Cet.8--Bandung: PT Remaja
Rosdakarya:57-62.
Johnson, Harry M. 1973.Sociology: A Syatematic Introduction. ed.4--New York: Allied
Publishers private Ltd:467-485.
INTERNET
Balaati, Dessy.2013.”Prosedur Dan Penetapan Anak Angkat Di Indonesia.”Journal
UNSRAT Vol. 1, 1:00-00. Diunduh 26 Maret 2014
(http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/pdf)
Indra, Ida Bagus. 2006.” Kedudukan Anak Angkat Yang Berasal Dari Anak Saudara
Kandung Menurut Hukum Adat di Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar
xi
Propinsi Bali.” Masters thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Diunduh 1 April 2014
(http://eprints.undip.ac.id/17799/pdf)
Kartiningrum, Novi. 2008.” Implementasi Pelaksana Adopsi Anak Dalam Perspektif
Perlindungan Anak (Studi di Semarang dan Surakarta).“Masters thesis, Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro. Diunduh 1 April 2014
(http://eprints.undip.ac.id/18419/pdf)
Katidjan, Yulyanti. 2013.”Hak Dan Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan
Di Masyrakat Minahasa.”Journal UNSRAT Vol.1, 3:00-00. Diunduh 1 April 2014
(http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/pdf)
JURNAL
Forner, Anne. 1978. “Age Stratification and Changing Family.” American Journal Of
Sociology, Vol.84: The University Of Chicago Press. Diunduh 24 Februari 2015
(http://www.jstor.org/stable/3083232)
Alexander, Jack. 1975. “A Note Concerning Research on the Relation Between
Stratification and the Family in Caribbean .” Caribbean Studies, Vol.15: Institute
of Caribbean Studies, UPR, Rio Piedras Campus. Diunduh 24 Februari 2015
(http://www.jstor.org/stable/25612679)
Barth, Ernest A. T. and Walter B. Watson.1967. “Social Stratification and the Family in
Mass Society.” Social Forces, Vol.45, No.3: Oxford University Press. Diunduh 24
Februari 2015
xii
(http://www.jstor.org/stable/2575198)
Identitas Diri:
Nama : SK (istri)
Tempat, Tanggal Lahir : Madiun, 06 Juli 1956
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nama Suami : HM
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 24 April 1959
Pekerjaan : Mubaligh
Jumlah, Nama Anak Angkat : 3 (tiga), AP (usia 22 tahun), RK (usia 20 tahun),
NH (usia 19 tahun)
Alamat : JL. Pondok Pinang No.75, IV RT.011 RW.02
Tanggal Wawancara : 09 Maret 2015
1. Apakah ibu/bapak memiliki kekayaan ?
Ia memiliki usaha kontrakan, merupakan harta warisan dari orang tua
suami saya.
2. Berapa jumlah penghasilan ibu/bapak sebulan?
Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), ia kadang cukup kadang tidak, karena
membiayai anak angkat saya untuk kuliah, dan membeli kebutuhan sehari-
hari untuk anak kandung saya dan cucu saya.
3. Apa pendidikan terakhir ibu dan bapak ?
Saya SLTA (istri) suami SLTA. Saya kursus menjahit, memandikan orang
meninggal dan suami saya juga pernah ikut pelatihan memandikan
jenazah dari orang tua-nya.
4. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi jiwa?
Tidak punya atau tidak memiliki asuransi jiwa baik dari pribadi saya
maupun keluarga saya, karena suami saya tukang mandiin orang mati aja,
saling menjaga diri dengan baik.
5. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi kesehatan ?
Keluarga kami memiliki BPJS yang bayar untuk saya dan suami saya,
sedangkan kalau anak angkat saya baru mau saya buatin atau tidak
memiliki sekarang.
6. Apakah anda merasa nyaman atau bahagia dengan kehadiran anak angkat di keluarga
anda, Apakah benar anda mengangkat anak karena kemauan sendiri, apa alasanya?
Merasa nyaman karena saya rawat dari kecil dari adik kandung saya meninggal
dan menitipkan kepada saya sebelum meninggal.
7. Apakah, keluarga besar, dan lingkungan mengetahui anda memiliki anak angkat,
pernakah keluarga besar atau masyarakat mempertentangkan akan hal ini ?
Mengetahui, tidak mempertangkan karena keluarga sudah tau dan tetangga
juga mengetahui karena saya tidak menutupi-nutupi hal ini kalau mereka bukan
anak saya, saya tidak memiliki surat karena mereka keponakan saya.
8. Dimanakah anda memasukan pendidikan sekolah formal anak angkat anda ?
AP, di MAN 11 dulu SMA-nya sekarang di UIN kuliah, RK di SMAN 108,
sekarang di UIN kuliahnya, dan NH di SMAN 7 SMA-nya sekarang di UIN
juga, ia saya masukan anak angkat saya di TPA ALLOHUGOYATUNA
waktu kecil.
9. Berapa jumlah uang yang anda berikan per/hari kepada anak angkat anda ?
Rp. 25.000,-(dua puluh lima ribu rupiah)
10. Apakah bapak/ibu menghabiskan liburan dengan berlibur bersama keluarga anda ?
Pernah, ke pantai anyer bersama keluarga tapi saya lupa kapan gitu, kalau yang
baru-baru mah saya bulan kemaren ke Madiun kampung kelahiran saya cuman
AP aja yang tidak ikut karena KKN katanya.
11. Apa anda memberikan fasilitas berupa kamar pribadi kepada anak angkat dalam keluarga
anda ?
Iya memberikan bekas kamar anak saya yang sudah nikah.
12. Apakah anda membelikan pakaian-pakaian yang bagus dan mahal, serta fasilitas-fasilitas
lainnya kepada anak angkat anda?
Ia, saya memberikan motor untuk NH dan kedua kakanya naik kendaraan
umum.
13. Apakah anda memberikan motivasi kepada anak angkat anda, dalam segala hal
terkait permasalah proses pembelajaran anak ?
Iya, kadang memarahi atau memberi contoh yang baik untuk dilakukan
anak-anak angkat saya atau memberikan hukuman jika mereka
melakukan kesalahan.
14. Bagaimana cara anda memberikan pelatihan kedisplinan kepada anak angkat anda?
Memasukkanya ke pengajian serta sekolah islam atau mengarahkan
bersekolah di sekolah negeri, menyuruhnya belajar dan mengulang
pelajaran dirumah.
15. Jika anak angkat anda tidak mau mengikuti aturan dan perintah anda dalam proses
pembelajaran dan pelatihan mengenai nilai-nilai sosial yang anda berikan,
bagaiman cara anda melatih, mendidik, dan membimbing agar anak tersebut mau
mengikuti ?
Menghukumnya, seperti dikurangi atau tidak memberikan uang dan tidak
diberi makan, dengan hal seperti itu mereka akan sadar dan mengikuti
aturan.
Identitas Diri:
Nama : NS (istri)
Tempat, Tanggal Lahir : Malang, 09 Januari 1973
Pekerjaan : karyawan swasta
Nama Suami : RS
Tempat, Tanggal Lahir : Purwokerto, 26 Januari 1966
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Jumlah, Nama Anak Angkat : 1 (satu), MA (usia 4 tahun)
Alamat : JL. Pondok Pinang RT.07 RW.02
Tanggal Wawancara : 22 Maret 2015
1. Apakah ibu/bapak memiliki kekayaan ?
Ia harta warisan dari ibu saya hasil jual sawah di kampung setelah saya
menikah, dahulu saya belum mendapatkan kerjaan jadi ibu kandung saya
memberikan uang hasil jual sawah kepada saya untuk membeli atau
mengontrak rumah di jakarta.
2. Berapa jumlah penghasilan ibu/bapak sebulan?
Rp. 3.000.000,-(tiga juta rupiah) per/bulan (istri) kerja di bank swasta, Rp.
3.000.000,-(tiga juta rupiah) per/bulan (suami) karyawan swasta. Ia
alhadulillah sangat cukup sekali untuk hidup.
3. Apa pendidikan terakhir ibu dan bapak ?
D3 (suami), S1 (istri) pernah kursus membuat kripik apel di kampung.
4. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi jiwa?
Ia saya mempunyai asuransi jiwa dari kantor, kalau keluarga saya sakit
saya kasih obat dahulu kalau masih belum sembuh juga baru saya bawa ke
mantri.
5. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi kesehatan ?
Keluarga kami memiliki BPJS Kesehatan, yang dengan adanya asuransi
kesehatan ini, saya dan keluarga saya rutin untuk memeriksakan
kesehatan ke puskesmas.
6. Apakah anda merasa nyaman atau bahagia dengan kehadiran anak angkat di keluarga
anda, Apakah benar anda mengangkat anak karena kemauan sendiri, apa alasanya?
Sangat bahagia, karena anak saya memiliki saudara untuk bermain di rumah
kebetulan saya punya anak perempuan jadi sepasang lah anaknya.
7. Apakah, keluarga besar, dan lingkungan mengetahui anda memiliki anak angkat,
pernakah keluarga besar atau masyarakat mempertentangkan akan hal ini ?
Sangat setuju, dan tidak mempertentangkan saya tidak punya surat untuk
adopsi anak, soalnya masih saudara saya sendiri jadi percaya saja keluarga dan
warga tentang anak tersebut.
8. Dimanakah anda memasukan pendidikan sekolah formal anak angkat anda ?
Di TPA. ALLOHUGHOYATUNA aja ngajinya
9. Berapa jumlah uang yang anda berikan per/hari kepada anak angkat anda ?
Rp. 5.000,-(Lima ribu rupiah), buat nabung di pengajian
10. Apakah bapak/ibu menghabiskan liburan dengan berlibur bersama keluarga anda ?
Ia biasanya sekeluarga liburan ke Malang sekalian pulang kampung
11. Apa anda memberikan fasilitas berupa kamar pribadi kepada anak angkat dalam keluarga
anda ?
Ia, saya berikan biar anaknya tidak bermain di luar, punya mainan sendiri, alat
musik.
12. Apakah anda membelikan pakaian-pakaian yang bagus dan mahal, serta fasilitas-fasilitas
lainnya kepada anak angkat anda?
Ia di beliin pakaian yang bagus biar dekat dengan saya, memiliki kamar sendiri.
13. Apakah anda memberikan motivasi kepada anak angkat anda, dalam segala hal
terkait permasalah proses pembelajaran anak ?
Ia selalu saya ajarin mana yang baik dan mana yang buruk dia kan masih
kecil belum tau apa-apa jadi saya hanya nasehati dan saya juga biasanya
mencontohkan kepada kakaknya biar dia melihat sendiri.
14. Bagaimana cara anda memberikan pelatihan kedisplinan kepada anak angkat anda?
Ia kalau dia mengaji biasanya saya suruh pakai baju sendiri, mandi
sendiri, iqro di taro di dalam tas, paling saya hanya mengecek dan
menanyakan tugas yang di kasih oleh ibu gurunya.
15. Jika anak angkat anda tidak mau mengikuti aturan dan perintah anda dalam proses
pembelajaran dan pelatihan mengenai nilai-nilai sosial yang anda berikan,
bagaiman cara anda melatih, mendidik, dan membimbing agar anak tersebut mau
mengikuti ?
Saya kasih hukuman (tidak di belikan mainan mobil-mobilan) cara
mendidiknya ya di marahin dulu baru saya gendong.
Identitas Diri:
Nama Suami : BR (suami)
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 30 Oktober 1965
Pekerjaan : buruh
Nama Istri : IN
Tempat, Tanggal Lahir : Tegal, 16 Mei 1973
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Jumlah, Nama Anak Angkat : 1 (satu), EW (usia 8 tahun)
Alamat : JL. Pondok Pinang IV RT.011 RW.02
Tanggal Wawancara : 30 Januari 2015
1. Apakah ibu/bapak memiliki kekayaan ?
Tidak, memang tidak ada yang diwariskan ke saya atau istri, miskin
memang dari orang tua dan buat makan aja susah.
2. Berapa jumlah penghasilan ibu/bapak sebulan ?
500rb sampai 1 jutaan, sangat minim kalau ada kerjaan tapi kita harus
bersyukur saja karena tuhan yang memberikan rezeki.
3. Apa pendidikan terakhir ibu dan bapak ?
Ibu (SD) bapak (SMA), pernah khursus menjahit dulu.
4. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi jiwa?
Tidak memiliki asuransi jiwa baik pribadi saya maupun keluarga saya,
waktu jam main harus di jaga oleh orang tua.
5. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi kesehatan ?
Keluarga kami memiliki BPJS Kesehatan gratis, menjaga kesehatan jajan
atau makanannya jangan sampai sakit.
6. Apakah anda merasa nyaman atau bahagia dengan kehadiran anak angkat di keluarga
anda, Apakah benar anda mengangkat anak karena kemauan sendiri, apa alasanya?
Nyaman dan berkah, semenjak ibunya sakit menitipkan anaknya kepada
adiknya di Jakarta.
7. Apakah, keluarga besar, dan lingkungan mengetahui anda memiliki anak angkat,
pernakah keluarga besar atau masyarakat mempertentangkan akan hal ini ?
Ia mengetahui dan tidak mempertentangkan dan saya juga tidak memiliki surat-
surat perjanjian.
8. Dimanakah anda memasukan pendidikan sekolah formal anak angkat anda ?
SDN 04 petang, kemauan anaknya sendiri untuk sekolah di SD, mengaji di
TPA.
9. Berapa jumlah uang yang anda berikan per/hari kepada anak angkat anda ?
Rp. 2.000,- atau Rp. 3.000 (dua ribu rupiah atau tiga ribu rupiah), tergantung
rejekinya.
10. Apakah bapak/ibu menghabiskan liburan dengan berlibur bersama keluarga anda ?
Tidak, ketempat saudara atau sanak family
11. Apa anda memberikan fasilitas berupa kamar pribadi kepada anak angkat dalam keluarga
anda ?
Bersama dan fasilitas tidak dibeda-bedakan.
12. Apakah anda membelikan pakaian-pakaian yang bagus dan mahal, serta fasilitas-fasilitas
lainnya kepada anak angkat anda?
Tidak, standar dan tidak di bedakan pakaiannya.
13. Apakah anda memberikan motivasi kepada anak angkat anda, dalam segala hal
terkait permasalah proses pembelajaran anak ?
Belajar sendiri, larangan bergaul kalau dia tidak baik jangan diikuti, boleh
kasar dengan anak tapi mengikuti perkembangan anak tersebut.
14. Bagaimana cara anda memberikan pelatihan kedisplinan kepada anak angkat anda?
Pasti, baju sekolah harus di ganti dulu sebelum mau main.
15. Jika anak angkat anda tidak mau mengikuti aturan dan perintah anda dalam proses
pembelajaran dan pelatihan mengenai nilai-nilai sosial yang anda berikan,
bagaiman cara anda melatih, mendidik, dan membimbing agar anak tersebut mau
mengikuti ?
Marahin aja, saya paling juga marah-marahin tapi sambil mencontohkan
seperti kakaknya yang sudah bekerja.
Identitas Diri:
Nama : AS (suami)
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 13 Mei 1960
Pekerjaan : Buruh
Nama Istri : SG (istri)
Tempat, Tanggal Lahir : Kebumen, 10 November 1965
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Jumlah, Nama Anak Angkat : 1 (satu), DA (usia 11 tahun)
Alamat : JL.Gg.Aqua RT.011 RW.02
Tanggal Wawancara : 19 Maret 2015
1. Apakah ibu/bapak memiliki kekayaan ?
Tidak punya apa-apa.
2. Berapa jumlah penghasilan ibu/bapak sebulan?
Ia ga menentu mba kadang Rp, 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) atau
Rp.700.000,-(tujuh ratus ribu), cukup untuk kebutuhan keluarga baik
kebutuhan sehari-hari ataupun pendidikan anak.
3. Apa pendidikan terakhir ibu dan bapak ?
Saya tidak bersekolah, sedangkan istri Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Kami tidak pernah memiliki pendidikan non-formal di luar daripada
pendidikan formal dikarenakan keterbatasan biaya.
4. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi jiwa?
Tidak berdoa aja.
5. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi kesehatan ?
BPJS Kesehatan gratis,ia saya bawain bekel aja palingan buat dia makan
di sekolah.
6. Apakah anda merasa nyaman atau bahagia dengan kehadiran anak angkat di keluarga
anda, Apakah benar anda mengangkat anak karena kemauan sendiri, apa alasanya?
Bahagia, saya angkat anak tersebut ia karena ibu kandungnya tidak ada di sini
ini suaminya yang menitipkan anaknya ke saya, ia kadang-kadang bapaknya
main kesini ngasih duit ke saya untuk anaknya
7. Apakah, keluarga besar, dan lingkungan mengetahui anda memiliki anak angkat,
pernakah keluarga besar atau masyarakat mempertentangkan akan hal ini ?
Ia mengetahui, tidak ada yang mempertentangkan saya bantu aja sebisa saya.
8. Dimanakah anda memasukan pendidikan sekolah formal anak angkat anda ?
Paud, MI.Al- Khairiyah, Madrasah Tsanawiyah Nurussalam.
9. Berapa jumlah uang yang anda berikan per/hari kepada anak angkat anda ?
Rp. 8.000,-(delapan ribu rupiah), saya bawain bekel lagi pula tidak naik
kendaraan umum untuk sekolah.
10. Apakah bapak/ibu menghabiskan liburan dengan berlibur bersama keluarga anda ?
Tidak pernah.
11. Apa anda memberikan fasilitas berupa kamar pribadi kepada anak angkat dalam keluarga
anda ?
Tidak, tidurnya ya di ruang tamu bareng-bareng karena rumahnya ngontrak
cuma ada 1 kamar dan 1 kamar mandi.
12. Apakah anda membelikan pakaian-pakaian yang bagus dan mahal, serta fasilitas-fasilitas
lainnya kepada anak angkat anda?
Standar belinya juga di Masjid Jami’ aja.
13. Apakah anda memberikan motivasi kepada anak angkat anda, dalam segala hal
terkait permasalah proses pembelajaran anak ?
Belajar sendiri
14. Bagaimana cara anda memberikan pelatihan kedisplinan kepada anak angkat anda?
Pasti saya ajarin kalau jadi anak perempuan jangan jorok sepatu di taruh
pada tempatnya baju ditaruh pada tempatnya juga.
15. Jika anak angkat anda tidak mau mengikuti aturan dan perintah anda dalam proses
pembelajaran dan pelatihan mengenai nilai-nilai sosial yang anda berikan,
bagaiman cara anda melatih, mendidik, dan membimbing agar anak tersebut mau
mengikuti ?
Marahin aja.
Identitas Diri:
Nama : IE (istri)
Tempat, Tanggal Lahir : Ciamis, 17 September 1985
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nama Suami : WA
Tempat, Tanggal Lahir : Solo, 14 Maret 1973
Pekerjaan : karyawan Swasta
Jumlah, Nama Anak Angkat : 1 (satu), IK (usia 10 tahun)
Alamat : JL. Kramat III No.102, RT.001 RW.02
Tanggal Wawancara : 13 Februari 2015
1. Apakah ibu/bapak memiliki kekayaan ?
Ia, sawah dan tanah kebun milik mertua saya dari suami soalnya suami
saya anak laki satu-satunya, sisanya saudaranya perempuan tiga.
2. Berapa jumlah penghasilan ibu/bapak sebulan?
Rp, 5.000.000,- (lima juta rupiah), sangat cukup untuk kebutuhan keluarga
baik kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan pendidikan anak.
3. Apa pendidikan terakhir ibu dan bapak ?
Pendidikan saya (ibu) Sekolah Dasar (SD), sedangkan suami saya lulusan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Namun kami tidak memiliki
pendidikan non-formal di luar daripada pendidikan formal.
4. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi jiwa?
Memiliki asuransi jiwa dari kantor pribadi saya, namun untuk keluarga
saya istri maupun anak tidak ada asuransi jiwa, untuk menjaga
keselamatan keluarga dan pribadi saya, saling menjaga diri dengan baik,
kita tidak memiliki pengawai ataupun security keamanan rumah.
5. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi kesehatan ?
Istri dan anak saya BPJS kesehatan, bayar tiap bulan.
6. Apakah anda merasa nyaman atau bahagia dengan kehadiran anak angkat di keluarga
anda, Apakah benar anda mengangkat anak karena kemauan sendiri, apa alasanya?
Ia sangat bahagia karena anak tersebut membuat saya bahagia, karena saya
juga belum dikaruniakan seorang anak dari Allah, dulu saya pernah hamil
tetapi bayi yang ada didalam kandungan saya tidak berkembang, sehingga saya
diambil bayinya dari rahim atau “dikiret” sehingga saya tidak memiliki anak,
dan saya mengangkat anak tersebut dari keluarga saya.
7. Apakah, keluarga besar, dan lingkungan mengetahui anda memiliki anak angkat,
pernakah keluarga besar atau masyarakat mempertentangkan akan hal ini ?
Ia semua keluarga saya mengetahui dan terima dan tidak ikut campur dalam
keluarga saya dan saya juga yang menerima resikonya sendiri kalau terjadi
masalah. Jadi tidak ada yang mempertentangkan saya memiliki anak angkat.
Kalau surat kuasa hak asuh saya tidak punya.
8. Dimanakah anda memasukan pendidikan sekolah formal anak angkat anda ?
SDN 011 pagi dekat dengan rumah sama halnya dengan anak-anak warga
sini, dinilai kualitas terlebih dahulu sekolah saya yang pilih, saya takut
anak tersebut salah pergaulan. Saya ikutin les bahasa inggris yang
diadakan oleh sekolahnya. Dan kalau sore hari anak saya paling belajar di
Taman Pendidikan Al-qur’an (TPA) Allohughoyatuna dekat rumah.
9. Berapa jumlah uang yang anda berikan per/hari kepada anak angkat anda ?
Ya memberikan uang jajan sehari Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah), untuk
sekolah dan main, karena anaknya masih umur 10 tahun. Namun juga tidak
menentu, terkadang Rp. 12.000,-atau lebih, kalau bapaknya dapet uang
tambahan kerja (lembur).
10. Apakah bapak/ibu menghabiskan liburan dengan berlibur bersama keluarga anda ?
Ia kalau libur setelah ulangan/ testing selesai, saya berlibur ke kebun binatang
aja.
11. Apa anda memberikan fasilitas berupa kamar pribadi kepada anak angkat dalam keluarga
anda ?
Tentu saja, karena dirumah saya ada 3 kamar, 1 kamar buat saya dan suami, 1
kamar buat anak tersebut, dan 1 kamar lagi masih kosong.
12. Apakah anda membelikan pakaian-pakaian yang bagus dan mahal, serta fasilitas-fasilitas
lainnya kepada anak angkat anda?
Memberikan fasilitas yang layak dan sama dengan apa yang dia pilih.
13. Apakah anda memberikan motivasi kepada anak angkat anda, dalam segala hal
terkait permasalah proses pembelajaran anak ?
Tentu saja, dengan bertanya kegiatan di sekolah dan diluar sekolah (sesuai
keinginan anaknya). Ya karena kita merawat anak sendiri, tidak punya
pembatu dan guru privat, jadi cara kita memberikan motivasi dengan
seperti ini.
14. Bagaimana cara anda memberikan pelatihan kedisplinan kepada anak angkat anda?
serta bagaimana cara anda membimbing ?
Mendidikan dengan benar, dan disiplin waktu sejak usia dini, misalkan
pulang sekolah harus tepat waktu.
15. Jika anak angkat anda tidak mau mengikuti aturan dan perintah anda dalam proses
pembelajaran dan pelatihan mengenai nilai-nilai sosial yang anda berikan,
bagaiman cara anda melatih, mendidik, dan membimbing agar anak tersebut mau
mengikuti ?
Ya saya hanya menegur saja karena kan masih kelas 4 SD kalau dibilangin
masih ngelawan, namanya juga anak-anak. Namun, kalau ada masalah dia
tidak sungkan untuk bicara dengan saya.
Identitas Diri:
Nama : IS (istri)
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 15 Maret 1987
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nama Suami : SWT
Tempat, Tanggal Lahir : Madiun, 03 oktober 1980
Pekerjaan : karyawan Swasta
Jumlah, Nama Anak Angkat : 1 (satu), RM (usia 20 tahun)
Alamat : JL. Pondok Pinang IV RT.011 RW.02
Tanggal Wawancara : 23 Maret 2015
1. Apakah ibu/bapak memiliki kekayaan ?
Tidak, saya tidak punya, karena saya hanya ibu rumah tangga, dan suami
saya karyawaan swasta, selain itu keluarga orangtua baik saya dan suami
saya hanya sebatas orang biasa saja, tidak memiliki kekayaan atau barang-
barang berharga yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya.
2. Berapa jumlah penghasilan ibu/bapak sebulan?
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), ya cukup untuk kebutuhan keluarga
baik kebutuhan sehari-hari ataupun sekolah anak.
3. Apa pendidikan terakhir ibu dan bapak ?
Saya SLTA, suami SLTA, namun kami tidak memiliki pendidikan non-
formal di luar daripada pendidikan formal dikarenakan keterbatasan
biaya.
4. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi jiwa?
Tidak punya, jangan makan sembarangan atau memasak sendiri.
5. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi kesehatan ?
Kami memiliki BPJS Kesehatan gratis dari pemerintah.
6. Apakah anda merasa nyaman atau bahagia dengan kehadiran anak angkat di keluarga
anda, Apakah benar anda mengangkat anak karena kemauan sendiri, apa alasanya?
Nyaman, saya dititipkan saja karena ibunya dari anak itu TKW di Arab
semenjak suaminya meninggal karena sakit gula. Ini anak saya ambil karena
saya itu adiknya dari ayah anak tersebut. Jadi tidak tega melihat keponakanya
di kampung tidak ada bapaknya.
7. Apakah, keluarga besar, dan lingkungan mengetahui anda memiliki anak angkat,
pernakah keluarga besar atau masyarakat mempertentangkan akan hal ini ?
Mengetahui keluarga besar saya dan lingkungan tempat tinggal saya, dan tidak
ada yang mempertentangkanya, kalau hak asuh anak saya tidak punya.
8. Dimanakah anda memasukan pendidikan sekolah formal anak angkat anda ?
SDN 04 petang, SMP YPUI, SMA Makarya, ya tentu. Tapi karena
kemampuan anaknya kurang, jadi tidak dapet sekolah negeri terus, hanya
SD. Tidak pernah memasukan anak tersebut ke pendidikan non-formal.
9. Berapa jumlah uang yang anda berikan per/hari kepada anak angkat anda ?
Rp. 20.000,-(dua puluh ribu rupiah), buat beli bensin dan makan
10. Apakah bapak/ibu menghabiskan liburan dengan berlibur bersama keluarga anda ?
Tidak, kalau libur dirumah aja, pulang kampung setiap lebaran idul fitri
11. Apa anda memberikan fasilitas berupa kamar pribadi kepada anak angkat dalam keluarga
anda ?
Ia, saya kasih, tidurnya berdua sama anak saya maklum aja namanya ngontrak,
kamar ada 4 (1 ruang tamu, 1 kamar mandi, 2 kamar tidur).
12. Apakah anda membelikan pakaian-pakaian yang bagus dan mahal, serta fasilitas-fasilitas
lainnya kepada anak angkat anda?
Saya dan suami memberikan pakaian yang layak tapi tidak mahal yang penting
bagus, sekarang dia sudah bekerja, jadi bisa beli sendiri keinginan dia.
13. Apakah anda memberikan motivasi kepada anak angkat anda, dalam segala hal
terkait permasalah proses pembelajaran anak ?
Ia pasti saya ajarin buat masa depan dia sendiri, dengan cara memberikan
nasehat aja.
14. Bagaimana cara anda memberikan pelatihan kedisplinan kepada anak angkat anda?
kalau berteman cari yang baik jangan yang buruk, kalau sekarang kan dia
sudah bekerja di Pondok Indah jadi sales, karena dibawa juga sama
tetangga anaknya tinggi berangkat kerja pagi-pulangya jam 8-an biasanya,
ya saya mengawasi anaknya seperti; kalau bergaul jangan asal bergaul,
jangan mengikuti perilaku temen yang tidak baik, waktu dia masih sekolah
pulang sekolah harus tepat waktu, jika pulang terlambat harus kabari saya
dulu dan beri alasan kenapa pulang terlambat.
15. Jika anak angkat anda tidak mau mengikuti aturan dan perintah anda dalam proses
pembelajaran dan pelatihan mengenai nilai-nilai sosial yang anda berikan,
bagaiman cara anda melatih, mendidik, dan membimbing agar anak tersebut mau
mengikuti ?
menegur aja, saya paling juga menegur tapi sambil contohin yang ada di
TV (agar dia seperti orang hebat yang ada di TV).
Identitas Diri:
Nama : IH (istri)
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 15 Juli 1960
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nama Suami : BT
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 11 Januari 1954
Pekerjaan : Pensiunan
Jumlah, Nama Anak Angkat : 1 (satu), CH (usia 12 tahun)
Alamat : JL. Pondok Pinang No.65,V RT.007 RW.02
Tanggal Wawancara : 18 Februari 2015
1. Apakah ibu/bapak memiliki kekayaan ?
Saya tinggal dikontrakan dan saya tidak punya harta berharga
2. Berapa jumlah penghasilan ibu/bapak sebulan? Cukupkah dengan penghasilan
yang bapak dan ibu miliki untuk kebutuhan keluarga ?
Rp, 700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah), karena saya bekerja sebagai kuli
cuci dan setrika, suami saya hanya buruh yang mendapat gaji tidak
menentu. Iya cukup karena saya mendapatkan BLT dari pemerintah.
3. Apa pendidikan terakhir ibu dan bapak ?
Istri (SMA), suami (SMA), tidak pernah ikut keterampilan apapun saya
hanya memiliki kemampuan tenaga saja.
4. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi jiwa?
Tidak, saya tidak punya asuransi jiwa karena saya tidak mampu
membayarnya, tetapi saya punya JKN yang tidak pernah saya gunakan
karena saya takut ditolak rumah sakit, saya hanya berdo’a karena hidup
dan mati hanya milik Allah.
5. Apakah bapak/ibu memiliki asuransi kesehatan ?
Punya JKN, kebetulan saya mampu membuat jamu sehingga kalau
keluarga saya ada yang sakit hanya diberikan jamu biasanya langsung
sembuh, jadi saya jarang membawa anggota keluarga saya ke rumah sakit.
6. Apakah anda merasa nyaman atau bahagia dengan kehadiran anak angkat di keluarga
anda, Apakah benar anda mengangkat anak karena kemauan sendiri, apa alasanya?
Ya nyaman, karena anak adalah titipan Allah dan saya senang merawatnya, ia
karena saya berkeinginan membantu adik saya.
7. Apakah, keluarga besar, dan lingkungan mengetahui anda memiliki anak angkat,
pernakah keluarga besar atau masyarakat mempertentangkan akan hal ini ?
Ya mengetahui, tidak karena anak yang saya rawat adalah keluarga saya sendiri
tidak hanya sekedar wewenang dari ayah dan ibunya saja kalau anaknya saya
yang merawat.
8. Dimanakah anda memasukan pendidikan sekolah formal anak angkat anda ?
SMP Al-Fajar, tidak cuman mengaji kepada bapaknya aja setiap habis
magrib.
9. Berapa jumlah uang yang anda berikan per/hari kepada anak angkat anda ?
Rp. 8.000,-(delapan ribu rupiah) untuk pergi sekolah.
10. Apakah bapak/ibu menghabiskan liburan dengan berlibur bersama keluarga anda ?
Ia, biasanya setahun sekali ketempat yang murah meriah agar anak saya senang.
11. Apa anda memberikan fasilitas berupa kamar pribadi kepada anak angkat dalam keluarga
anda ?
Ia, anak saya satu kamar untuk berdua.
12. Apakah anda membelikan pakaian-pakaian yang bagus dan mahal, serta fasilitas-fasilitas
lainnya kepada anak angkat anda?
Tidak biasanya saya membelikan pakaian di pasar yang murah-murah.
13. Apakah anda memberikan motivasi kepada anak angkat anda, dalam segala hal
terkait permasalah proses pembelajaran anak ?
Ia, biasanya saya mengajarkan agar dia selalu rajin belajar dengan
motivasi jangan hidup miskin seperti saya.
14. Bagaimana cara anda memberikan pelatihan kedisplinan kepada anak angkat anda?
Saya ajarin agar menuruti keinginan saya dan patuh terhadap ibu
bapaknya, tidak nakal, tidak merokok dan jangan keluar rumah kalau
udah malam.
15. Jika anak angkat anda tidak mau mengikuti aturan dan perintah anda dalam proses
pembelajaran dan pelatihan mengenai nilai-nilai sosial yang anda berikan,
bagaiman cara anda melatih, mendidik, dan membimbing agar anak tersebut mau
mengikuti ?
Biasanya saya marahi dengan begitu dia tidak mengulanginya saya
memberikan contoh kalau anak yang tidak mengikuti peraturan orang tua
bukan anak baik.
Identitas Diri:
Nama : RK
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 11 Mei 1995
Nama Orang Tua Angkat : HM (ayah) dan SK (ibu)
Tanggal Wawancara : 09 Maret 2015
1. Bagaimana cara orang tua angkat adik menjaga kesehatan adik ?
Kalau sakit dibawa ke puskesmas.
2. Bagaimana respon orang tua angkat adik dengan keberadaan adik di keluarga ini?
Ia Senang.
3. Apakah keluarga dan lingkungan dekat tinggal adik mengetahui keberadaan adik
dalam keluarga tersebut ?
Ia sangat mengetahui karena sudah dari kecil saya tinggal di keluarga ini.
4. Dimanakah adik bersekolah?
SMA 108 Jakarta dan sekarang di UIN kuliahnya.
5. Apakah sekolah yang adik jalankan merupakan pilihan adik sendiri ?
Ia pilihan saya sendiri.
6. Berapa jumlah uang jajan yang diberikan kepada adik dari orang tua?
Rp. 25.000,-(dua puluh lima ribu rupiah).
7. Pernakah adik menghabiskan liburan dengan berlibur bersama keluarga ?
Pernah.
8. Apakah adik diberikan fasilitas berupa kamar pribadi ?
Ia dikasih bekas kamar kakak saya.
9. Apakah adik dibelikan pakaian-pakaian yang memiliki harga mahal ?
Standar saja kalau pakaian harganya.
10. Bagaimana cara orag tua adik memberi dukungan yang berkaitan dengan kegiatan,
keinginan atau cita-cita adik ?
Ya mendukung saja kalau positif kegiatanya.
11. Bagaimana cara orang tua angkat adik dalam melatih kedisiplinan dan membimbing adik
dalam kegiatan ?
Saya waktu kecil dimasukin ke pengajian biar mengerti agama.
12. Apa hukuman yang biasa orang tua adik terapkan jika adik tidak mengikuti aturan yang
diberlakukan dalam keluarga ?
Menghukum dengan cara uang jajan tidak dikasih sama tidak dikasih
makan.
13. Apakah sikap orang tua adik jika adik salah bergaul ?
Dimarahin sama mama saya.
14. Apakah adik diberikan kebebasan dalam menjalankan keinginan adik ?
Ia tergantung kalau sekolahan saya dipilihin, kalau kuliah tidak karena
kita sudah besar dan disitu juga ada kakak saya yang kuliah.
15. Pernakah orang tua adik mencontohkan perilaku yang mendidik ?
Ya marah-marah saja sama dikurangin uang jajanya.
Identitas Diri:
Nama : EW
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 09 September 2006
Nama Orang Tua Angkat : BR (ayah) dan IN (ibu)
Tanggal Wawancara : 30 Januari 2015
1. Bagaimana cara orang tua angkat adik menjaga kesehatan adik ?
Tidak boleh jajan sembarangan.
2. Bagaimana respon orang tua angkat adik dengan keberadaan adik di keluarga ini?
Sangat Senang.
3. Apakah keluarga dan lingkungan dekat tinggal adik mengetahui keberadaan adik
dalam keluarga tersebut ?
Ia mengetahui.
4. Dimanakah adik bersekolah?
SDN 04 Petang.
5. Apakah sekolah yang adik jalankan merupakan pilihan adik sendiri ?
Ia pilihan saya sendiri.
6. Berapa jumlah uang jajan yang diberikan kepada adik dari orang tua?
Rp. 2.000,- atau Rp. 3.000,-(dua ribu atau tiga ribu rupiah).
7. Pernakah adik menghabiskan liburan dengan berlibur bersama keluarga ?
Tidak pernah, sukanya ke rumah saudara.
8. Apakah adik diberikan fasilitas berupa kamar pribadi ?
Tidak, tidurnya bareng-bareng.
9. Apakah adik dibelikan pakaian-pakaian yang memiliki harga mahal ?
Tidak mahal tapi bagus.
10. Bagaimana cara orag tua adik memberi dukungan yang berkaitan dengan kegiatan,
keinginan atau cita-cita adik ?
Disuruh belajar sendiri biar pintar.
11. Bagaimana cara orang tua angkat adik dalam melatih kedisiplinan dan membimbing adik
dalam kegiatan ?
Kalau pulang sekolah baju disuruh ganti sebelum pergi main.
12. Apa hukuman yang biasa orang tua adik terapkan jika adik tidak mengikuti aturan yang
diberlakukan dalam keluarga ?
Dimarahin.
13. Apakah sikap orang tua adik jika adik salah bergaul ?
Tidak boleh main lagi dan dikurung di rumah.
14. Apakah adik diberikan kebebsan dalam menjalankan keinginan adik ?
Ia terserah aku.
15. Pernakah orang tua adik mencontohkan perilaku yang mendidik ?
Ia dimarahin tapi sambil dikasih contoh