studi analisis pendapat ibnu hazm tentang...

70
i STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat Guna memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah Oleh : SAIFUDDIN ASRO NIM : 2103130 JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010

Upload: hakien

Post on 07-May-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG

KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syaratGuna memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

SAIFUDDIN ASRONIM : 2103130

JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAHFAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGOSEMARANG

2010

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Miftah AF, Drs., M. AgNIP. 19530515 198403 1 001

Moh. Khasan, M.Ag

NIP. 197411212 200312 1 004

Lamp : 4 (empat) eks. Kpd Yth.

Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah

An. Sdr. Saifuddin Asro IAIN Walisongo Semarang

Di Semarang

Assalamu'alaikum. Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini

saya kirim naskah skripsi saudara :

Nama : Saifuddin Asro

NIM : 2103130

Judul Skripsi : Studi Analisis Pendapat Ibnu Hazm

Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri

SendiriDengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera

dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Semarang, 25 Juni 2010

Pembimbing I Pembimbing II

Miftah AF, Drs., M. Ag Moh. Khasan, M.Ag NIP. 19530515 198403 1 001 NIP. 197411212 200312 1 004

iii

DEPARTEMEN AGAMA RIINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

FAKULTAS SYARI’AHJalan Raya Boja – Ngaliyan Km. 2 Semarang 50185 Telp (024) 7601291

PENGESAHAN

Skripsi Saudara : Saifuddin Asro

NIM : 032111130 / 2103130

Jurusan : Al-Ahwal Al-Syahsiyah

Judul : STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG

KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI.

Telah dimunaqasahkan oleh dewan penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam

Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal :

29 Mei 2010

Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan

studi program Strata 1 (S.1) guna memperoleh gelar sarjana dalam ilmu Syari’ah.

Semarang, 05 Agustus 2010

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Rahman El-Junusi, S.E, M.M Moh. Khasan, M.AgNIP. 1969111820003 1 001 NIP. 197411212 200312 1 004

Penguji I Penguji II

DR. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag DR. Ali Imron, M.AgNIP. 19690709199703 1 001 NIP. 19730730 200312 1003

Pembimbing I Pembimbing II

Miftah AF, Drs., M. Ag Moh. Khasan, M.AgNIP. 19530515 198403 1 001 NIP. 197411212 200312 1 004

iv

MOTTO

.

Artinya: Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Apabilamanusia meninggal dunia, putuslah pahala semua amalnya, kecuali tigamacam amal yaitu: sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anakyang saleh yang selalu mendo akan kepadanya . 1

1 Imam Muslim, Hadits Shahih Muslim Juz 2, Terj. Hadits Shahih Muslim, olehRazak dan Abdul Latief, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980, hlm. 281.

v

PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan

air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini untuk orang-orang yang selalu hadir

dan selalu mendukung. Khususnya buat:

Ø Bapak dan Ibuku tercinta ( Bapak Saiful A’zaz dan Ibu Fatwati ). Yang

telah mengenalkan aku pada sebuah kehidupan dengan kasih sayang yang

tak terhingga nilainya. Ridlamu adalah semangat hidupku.

Ø Istri aku Tercinta ( Nur Chalimah) yang selalu mendukung, mendo’akan

dan menemaniku setiap saat.

Ø Adik-adikku tersayang ( Zainuddin Afif, Zuniar Faiz, Naily ), Serta

seluruh keluargaku tercinta, semoga semuanya selalu berada dalam

lindungan Allah SWT.

Ø Keluarga besar Ibu Hj. suriyah ( Mbak ana, Mbak efi, Mas

Kholilurrahman, Mas Agung, Dek Rizal ) yang selalu mendukungku.

Ø Teman-temanku semua ( Taufik, Gus Farid, Nasukha, Andi, Fani, Anam,

Bahrul, Zainal, Luluk, Mustofa, Iwan, Kepet, Dofar, Munif ). Dan yang

tidak dapat kusebutkan satu persatu yang selalu bersama dalam meraih

cita-cita.

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa

skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau

diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain,

kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Bila terbukti melakukan tindakan plagiat, saya bersedia menerima sanksi sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

Semarang, 05 Agustus 2010

Deklarator

Saifuddin Asro NIM. 2103130

vii

ABSTRAK

Ketika tujuan dari disyariatkannya wakaf adalah untuk menjaga kesinambunganpahala bagi pihak pemberi wakaf, maka pendekatan diri kepada Allah besertakelangsungannya menjadi pokok pembahasan para ahli fiqh dalam mengkaji syaratsasaran dari wakaf itu sendiri, syarat sasaran dalam hal ini adalah barang yangdiwakafkan tidak kembali kepada si wakif ( wakaf kepada diri sendiri ).

Disini terjadi perbedaan pendapat, menurut Ibnu Hazm seseorang dibolehkanuntuk menahan harta wakaf kepada orang yang dicintainya, kepada dirinya sendiri,kemudian diserahkan kepada siapa pun yang dikehendakinya. Sedangkan menurutjumhur ulama tidak membolehkan wakaf kepada diri sendiri dengan alasan tidaksesuai dengan tujuan utama wakaf yang mana memutus kepemilikan pribadi danditujukan untuk kepentingan umum.

Dari situ dapat ditarik suatu pokok permasalahan yaitu apa latarbelakangpendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri, dan bagaimanametode istinbath yang digunakan Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada dirisendiri.

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) yangmenggunakan metode pengumpulan data berupa data primer yaitu data yangdiperoleh langsung dari subyek penelitian, yakni dari karya-karya Ibnu Hazm yangberhubungan dengan judul di atas diantarannya : kitab Al-Muhalla, yang disusun olehIbnu Hazm secara sistematis yang sesuai dengan bab-bab fikih, dan data sekunderyaitu yaitu literatur yang digunakan dalam menjelaskan tentang pokok permasalahanyaitu berupa hasil penelitian serta buku-buku, artikel yang di tulis orang lain yangberhubungan dengan wakaf. Data yang diperoleh tentang informasi daripermesalahan tersebut, dan kemudian bahan-bahan tersebut dianalisis menggunakandiskriptif analisis.

Setelah penulis melakukan penelitian berdasarkan fakta yang ada, bahwapendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri itu dilatarbelakangioleh pemikirannya yang tekstualis, dan Istinbath hukum yang sebaiknya dilakukanadalah mengarahkan pada substansi dari maksud wakaf bukan menisbatkan padasedekah. Maksud disini yaitu meskipun dalam teks dibolehkannya wakaf kepada dirisendiri, tetapi maksud syari’at dalam masyarakat tidak menginginkan wakaf kepadadiri sendiri, lebih menitikberatkan pada nilai-nilai kemaslahatan umum.

viii

Meskipun Beliau mengambil dasar hukum dari hadits nabi tetapi beliau hanyamemahami dengan makna zahirnya saja tanpa memandang kemaslahatan. Penulistidak sependapat dengan Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri,karena tidak sesuai dengan tujuan utama wakaf yang telah diterangkan dalamUndang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal I:yang berisi wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ataumenyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atauuntuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadahdan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Robbu al-

Alamin atas segala limpahan rahmat, hidayah dan ‘inayahnya. Sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul: STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU

HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI dengan

baik meskipun banyak kendala yang harus di lewati. Shalawat dan salam senantiasa

penulis sanjungkan ke pangkuan beliau Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya,

Sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan

mengembangkannya hingga sekarang ini.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih

payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari

usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sampaikan banyak

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Pembantu-pembantu

Dekan, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menulis skripsi

tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga kini.

2. Drs. Miftah AF., M. Ag, selaku pembimbing I dan Moh. Khasan, M.Ag,

selaku pembimbing II atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan

sabar dan tulus ikhlas.

3. Bapak Kajur, Sekjur, Dosen-dosen dan Karyawan Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang, atas segala didikan, bantuan dan kerjasamanya.

4. Para Dosen Pengajar dan staff di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis

mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

x

5. Orang Tua ( Bapak Saiful A’zaz dan Ibu Fatwati ) yang selalu mendidik,

memberi fasilitas, membantu do’a, dan Istri yang selalu memberi support

serta tidak henti-hentinya berdo’a. Ibu mertua (Hj. Suriyah) yang selalu

berdo’a, Mas (Kholil dan Agung), Mba (Tika, Evi n Ana) dan Adik (Afif,

Faiz, Neli n Rizal) yang selalu mendukung.

6. Teman-teman (Fani, Nasukha, Gus Farid Fad, Amoel, Taufiq mubarok,

Nasai) yang selalu memberikan bantuan hingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Semua temen-temen di Jepara: ( Mas Zen, Kak Anas, Kak Faidul, Usep )

Atas semua kebaikannya, penulis hanya mampu berdo’a semoga Allah

menerima sebagai amal kebaikan dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi sempurnanya skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis

khususnya dan para pembaca umumnya. Amin.

Semarang, 05 Agustus 2010

Penulis,

Saifuddin Asro NIM. 2103130

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv

DEKLARASI ............................................................................................. v

HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................. vi

ABSTRAKSI….............................................................................................. vii

KATA PENGANTAR................................................................................ ix

DAFTAR ISI ............................................................................................. xi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................. 8

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8

D. Telaah Pustaka .................................................................... 8

E. Metode Penelitian ................................................................ 10

F. Sistematika Penulisan ......................................................... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf ...................................14

1. Pengertian Wakaf.............................................................14

2. Dasar Hukum Wakaf .......................................................17

B. Rukun dan Syarat Wakaf ....................................................22

1. Rukun Wakaf ...................................................................22

2. Syarat Wakaf .................................................................26

C. Macam-macam Wakaf………………………………………27

1. Wakaf Ahli………………………………………………..27

2. Wakaf Khairi……………………………………………...28

xii

BAB III : PEMIKIRAN IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHANWAKAF KEPADA DIRI SENDIRI

A. Biografi Ibnu Hazm ............................................................31

B. Karya-Karya Ibnu Hazm ......................................................38

C. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri

Sendiri…………………………............................................39

1. Pengertian Wakaf Menurut Ibnu Hazm………………...39

2. Syarat Wakaf Menurut Ibnu Hazm………………......…40

3. Dasar Hukum Wakaf Menurut Ibnu Hazm……….…….40

4. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri

Sendiri…………………………………….………. 40

D. Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf

Kepada Diri Sendiri….…………………………..… 42

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IBN HAZM TENTANG WAKAF KEPADA

DIRI SENDIRI

A. Analisis Terhadap Latar Belakang Pendapat Ibnu Hazm Tentang

wakaf Kepada Diri Sendiri ………………………. .................44

B. Analisis Terhadap Istinbath Hukum Ibn Hazm tentang Wakaf

Kepada Diri Sendiri……………………………………….....46

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………52

B. Saran-saran ………………………………………………….53

C. Penutup……………………………………………………...53

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membicarakan persoalan Islam dan ekonomi, sebenarnya tidak

hanya membicarakan persoalan kamajuan dan kemunduran kehidupan yang

dialami oleh salah satu pihak (golongan agama) tertentu, melainkan turut

membicarakan persoalan kemanusiaan yang lebih luas. Indonesia sebagai

salah satu negara yang memiliki penduduk muslim terbesar, terlepas dari

berbagai variasi pemikiran dan praktik keagamaan, juga memiliki sejarah yang

begitu panjang yang menentukan arah maju mundurnya kehidupan

kebangsaan.2

Secara umum ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W

(Islam) mempunyai dasar-dasar sebagai pedoman hidup yang menyeluruh,

meliputi bidang-bidang aqidah, yaitu cara-cara bagaimana manusia harus

percaya kepada Allah SWT, ibadah yaitu cara bagaimana seharusnya manusia

bersikap yang baik dan menjauhi sikap hidup yang buruk dan yang ketiga

adalah mu’amalat atau kemasyarakatan, yaitu cara bagaimana manusia harus

melaksanakan kehidupan bermasyarakat baik dalam lingkungan keluarga,

bertetangga, berekonomi, bergaul antar bangsa dan sebagainya,3 sebagaimana

dalam surat Al-Anbiya, ayat 7:

2 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: MitraAbadi Press, 2006, hlm. 3.

3 Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat (filantropi Islam yangHampir Terlupakan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 6.

2

Artinya: dan kami tidaklah mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)rahmat bagi semesta alam (QS. Al-anbiyaa : 107) 4

Dalam catatan sejarah Islam, wakaf sudah dipraktekkan baik dalam

bentuk yang masih tradisional atau konvensional, dalam arti bentuk wakaf

berupa benda-benda tidak bergerak maupun wakaf produktif berupa wakaf

uang atau wakaf tunai (cash waqf). Bahkan, wakaf tunai ternyata sudah

dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Dalam bukunya Achmad

Djunaidi dan Thobieb, M Syafi’i antonio mengutip hadits yang diriwayatkan

oleh Imam Bukhari, menjelaskan bahwa Imam az Zuhri (w. 124 H) salah

seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadits (tadwin al-

hadits) mengeluarkan fatwa yang berisi anjuran melakukan wakaf dinar dan

dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat

Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai

modal usaha kemudian menyalurkan keuntungan sebagai wakaf.5

Tabiat harta memang untuk dimiliki. Akan tetapi ada sebagian harta

yang tidak boleh dimiliki secara total yaitu harta yang diperuntukkan

kemashlahatan umum seperti untuk jalan umum, dan benteng pertahanan.

Disamping itu juga ada harta yang tidak boleh dimiliki kecuali dalam keadaan

darurat seperti harta bayt al-mal.6

4 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002, hlm.461.

5 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Op.Cit., hlm. 27.6 Ibid, hlm. 21.

3

Kepemilikan Individu (Private property) bukan merupakan hal yang

baru dalam ajaran Islam bahkan keberadaannya sejalan dengan keberadaan

manusia. Bangsa dan umat terdahulu seperti kaum Bani Israel, Yunani dan

bangsa Arab sebelum Islam mempunyai aturan tersendiri dalam menangani

masalah kepemilikan pribadi ini. Ketika Islam datang kepemilikan tersebut

diakui dalam satu bentuk aturan yang bernama mafhum al-khilafah yaitu satu

bentuk perwakilan dan kepercayaan penuh antara muwakkil (Allah) dan wakil

(manusia). Kepemilikan harta merupakan titik sentral dalam perkembangan

ekonomi dalam setiap umat atau kelompok manusia, maka sudah barang tentu

Islam memberikan tuntunan dalam mengatur hal tersebut.

Adapun dasar-dasar aturan tersebut adalah sebagaimana berikut:

a. Memberikan penjelasan kepada manusia bahwasannya harta adalah milik

Allah

b. Harta yang diberikan kepada manusia merupakan anugerah

c. Khilafah yang dipegang manusia adalah pemberian Allah, maka

selayaknyalah ia taat atas peraturan-Nya termasuk didalamnya peraturan

masalah harta

d. Harta bukan merupakan ukuran atau barometer kemuliaan manusia

e. Memerangi mental keinginan untuk menjadikan harta sebagai tujuan

utama dalam hidup, karena ia adalah hanya wasilah belaka.

4

Berdasarkan pernyataan tersebut kepemilikan manusia hanya bersifat

nisbi (relatif) sedangkan hakikatnya sebenarnya adalah kepemilikan Yang

Maha Pencipta.7

Islam sangat memperhatikan keadilan ekonomi dalam rangka

menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera dan meminimalisir terjadinya

kesenjangan sosial yang berlatar belakang ekonomi antara yang miskin dengan

yang kaya. Sehingga tercipta masyarakat yang makmur dan masyarakat yang

adil dalam kemakmuran. Islam memandang kekayaan sebagai amanat Allah

SWT (amanatullah) yang seharusnya menjadi sarana perekat untuk

membangun persaudaraan dan kebersamaan.8

Islam juga agama yang kaffah (sempurna). Islam tidak hanya agama

yang sarat dengan nilai-nilai normatif, secara integral juga memiliki nilai-nilai

moral yang diharapkan dapat menghancurkan ketimpangan struktur sosial

yang terjadi saat ini. Islam juga berkehendak untuk mewujudkan kesejahteraan

masyarakat dengan turut berpartisipasi dalam berbagai problem sosial

kemasyarakatan. Salah satu pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki

keterkaitan langsung secara fungsional dalam upaya pemecahan masalah-

masalah sosial dan kemanusiaan adalah wakaf. 9

Wakaf adalah sektor voluntary ekonomi Islam yang berfungsi

sebagai aset konstruksi pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan

7Machmudi muhson, http://elshohwah.tripod.com/makalah/Diskusi%201.htm,diakses tanggal 19 April 2008.

8 Departemen Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, DirektoratPemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta: 2006, hlm. 8.

9 Abdul Ghofur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: PilarMedia, 2005, hlm. 14.

5

masyarakat. Prinsip ajaran wakaf menganjurkan masyarakat yang mampu

untuk membantu yang kurang mampu dengan cara mendermakan dana abadi

yang dikelola, dan hasilnya dimanfaatkan untuk membantu kebutuhan, bahkan

membina dan mengangkat derajat mereka.10Amalan wakaf termasuk amalan

yang amat besar pahalanya menurut ajaran Islam. Hampir seluruh amal

seseorang akan terhenti atau terputus pahalanya bila orang itu meninggal

dunia.11

Sejalan dengan tujuannya, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua

macam yaitu :

1. Wakaf ahli adalah wakaf yang adakalanya untuk anak cucu atau kaum

kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang fakir.

2. Wakaf khairi adalah wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum

seperti, pembangunan masjid, madrasah, perpustakaan, kuburan dan lain-

lain yang mana wakaf tersebut dimanfaatkan oleh orang lain secara

umum.12

Ketika tujuan dari disyariatkannya wakaf adalah untuk menjaga

kesinambungan pahala bagi pihak pemberi wakaf, maka pendekatan diri pada

Allah beserta kelangsungannya menjadi pokok pembahasan para ahli fikih

dalam mengkaji syarat sasaran dari wakaf itu sendiri. Syarat tersebut, secara

global meliputi hal-hal sebagai berikut:

10 Departemen Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, DirektoratPemberdayaan Wakaf, Op.Cit., hlm. 8.

11 Departemen Agama, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, DirektoratPemberdayaan Wakaf, Bunga Rampai Perwakafan, Jakarta: 2006, hlm. 12.

12 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997, hlm. 148.

6

1. Sasaran wakaf berorientasi pada kebajikan.

2. Sasaran tersebut diarahkan pada aktivitas kebajikan yang kontinyu.

3. Barang yang telah diwakafkan tidak kembali kepada si waqif.

4. Pihak yang diberi wakaf cakap hukum untuk memiliki dan menguasai

harta wakaf.13

Untuk syarat yang ketiga yaitu sasaran barang yang telah diwakafkan

tidak kembali kepada si waqif (wakaf tidak diberikan kepada diri sendiri) ada

perbedaan pendapat dikalangan para ulama yaitu apabila wakaf itu diberikan

kepada diri sendiri bukan kepada orang lain atau orang fakir.

Mazhab zahiriyah berpendapat bahwa diperbolehkan wakaf untuk

diri sendiri. Ibnu Hazm yang merupakan salah satu tokoh mazhab ini dalam

kitabnya Al-Muhalla,14 menyebutkan seseorang dibolehkan untuk menahan

harta wakaf kepada orang yang dicintainya, kepada dirinya sendiri, kemudian

diserahkan kepada siapa pun yang dikehendakinya.

Sedangkan Mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, Maliki melarang wakaf

untuk diri sendiri, mereka berpendapat bahwa seseorang pemilik harta tidak

dapat memilikkan apa yang telah dimilikinya kepada dirinya sendiri, karena ia

telah memilikinya.15

Dari sinilah penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut pendapatnya

Ibn Hazm yang mana beliau terkenal sebagai tokoh tekstualis dan sangat anti

13 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Jakarta: Dompet DhuafaRepublik dan IIman, 2004. hlm. 284

14 Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al Fikr, t.th, hlm. 17515 Departemen Agama, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan

Wakaf, Cet. 6, 2006, hlm. 49.

7

dengan qiyas. Ibnu Hazm menganut mazhab hukum yang dibangun pada masa

dulu oleh Abu Sulaiman Daud bin Ali Al Zhahiri, setiap pernyataan (nash) di

dalam sumber hukum (Al Qur an dan Al hadits) mestilah diperpegangi

pengertian-pengertiannya secara lahiriyah (harfiyah), kecuali jikalau

sepanjang akal maupun sepanjang Indriani terpaksa harus diberikan pengertian

yang menyimpang (takwil) dari pengertian yang lahiriyah itu

Akan tetapi pemalingan pengertian sesuatu pernyataan itu mestilah

beralaskan pembuktian, ataupun berdasarkan pernyataan lain didalam sumber

hukum, ataupun berdasarkan persetujuan pendapat (ijmak) para ahli hukum,

pada saat itulah baru boleh berpaling dari pengertian lahiriah kepada

pengertian yang menyimpang (takwil).16 Oleh sebab itu penulis memilih

meneliti pendapat beliau dengan judul: STUDI ANALISIS PENDAPAT

IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI

SENDIRI.

B. Permasalahan

Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah di atas dapat

dikemukakan pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini

adalah sebagai berikut:

1. Apa latar belakang Pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada

diri sendiri?

2. Bagaimana metode istinbath yang digunakan Ibnu Hazm tentang

kebolehan wakaf kepada diri sendiri?

16 Yoesoef Souyb, Pemikiran Islam Merobah Dunia, Jakarta: Maju, 1984, hlm. 211.

8

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, ada beberapa tujuan yang hendak

dicapai penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan

wakaf kepada diri sendiri.

2. Untuk mengetahui metode istinbath yang digunakan Ibnu Hazm tentang

kebolehan wakaf kepada diri sendiri.

D. Telaah Pustaka

Telah menjadi sebuah ketentuan di dunia akademis, bahwa tidak ada

satupun bentuk karya seseorang yang terputus dari usaha intelektual yang

dilakukan generasi sebelumnya, yang ada adalah kesinambungan pemikiran

dan kemudian dilakukan perubahan yang signifikan. Penulisan ini juga

merupakan mata rantai dari karya-karya ilmiah yang lahir sebelumnya.

Pada tahapan ini penulis mencari landasan teoritis dari permasalahan

yang penulis teliti, sehingga yang dilakukan penulis bukanlah aktivitas yang

bersifat “trial and error .17 Telaah pustaka dilakukan untuk mendapatkan

gambaran tentang hubungan pembahasan dengan penelitian yang sudah

pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga dengan upaya ini tidak

terjadi pengulangan yang tidak perlu.

17 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2003, hlm. 112.

9

Untuk membedakan kajian ini dengan kajian sebelumnya di bawah

ini akan penulis sebutkan beberapa studi pustaka tentang ketentuan wakaf

yaitu sebagai berikut:

Karsiyati (2101021) dalam skripsinya yang berjudul Analisis

Pendapat Imam Syafi i Tentang Jual Beli Harta Wakaf menerangkan tentang

kebolehan jual beli harta wakaf dan alasan-alasan kebolehan jual beli harta

wakaf. Dijelaskan demi terciptanya kemaslahatan bersama harta wakaf dapat

diperjualbelikan apabila sudah tidak dapat dipergunakan lagi akibat rusak dan

kurang bermanfaat. Mengingat hal itu menjadi alasan yang kongkrit adanya

perbuatan untuk menyelamatkan harta wakaf dari kemubadziran.18

Juniyanto (2101079) dalam skripsinya yang berjudul Analisis

Pendapat Ibnu Abidin tentang Wakaf Barang yang Digadaikan menerangkan

kebolehan wakaf barang yang digadaikan, dengan alasan sesungguhnya sesuatu

yang seorang gadaikan itu tetap jadi haknya yang menggadaikan bahwa barang

yang digadaikan tersebut tidak dikusai penerima gadai atau masih berada pada

penggadai maka barang gadai itu menjadi sah untuk diwakafkan karena adnya

kemungkinan untuk dapat diserahterimakan antara wakif dan nazir wakaf.

Sehingga barang gadai tersebut dapat dimanfaatkan sesuai denga tujuan wakif.19

Dari berbagai kepustakaan di atas menunjukkan bahwa penelitian-

penelitian terdahulu berbeda dengan permasalahan yang diangkat penulis.

18 Karsiyati, Analisis Pendapat Imam Syafi i Tentang Jual Beli Harta Wakaf, FakultasSyari”ah IAIN Walisongo, Semarang: 2007.

19 Juniyanto, Analisis pendapat Ibnu Abidin Tentang Wakaf Yang Digadaikan, FakultasSyari’ah IAIN Walisongo, Semarang: 2006.

10

Oleh karena itu penulis termotifasi untuk membahas dan menganalisis masalah

pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri.

E. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode

penelitian sebagi berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan Penelitian kepustakaan (library

research). Yaitu penelitian yang dilakukan untuk menelaah bahan-bahan

dari buku utama yang berkaitan dengan pendapat Ibnu Hazm tentang

kebolehan wakaf kepada diri sendiri. dan buku penunjang berupa sumber

lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji.20

2. Sumber Data

Sumber data yang dimaksud dalam penelitian adalah subjek dari

mana data dapat diperoleh.21 Data penelitian ini diperoleh dari buku-buku

atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan ini, Sementara

sumber data tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber data

primer dan sumber data sekunder.

a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian,

yakni dari karya-karya Ibnu Hazm yang berhubungan dengan judul di

atas diantarannya : kitab Al-Muhalla, yang disusun oleh Ibnu Hazm

secara sistematis yang sesuai dengan bab-bab fikih.

20 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT RinekaCipta,1991, Cet 1, hlm. 109.

21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PTRineka Cipta, 2006, hlm. 129.

11

b. Data sekunder yaitu literatur yang digunakan dalam menjelaskan

tentang pokok permasalahan yaitu berupa hasil penelitian serta buku-

buku yang di tulis orang lain yang berhubungan dengan wakaf.22 Data

ini berfungsi sebagai pelengkap data primer, yaitu tulisan-tulisan

seputar persoalan wakaf kepada diri sendiri yang tertuang dalam buku,

makalah, artikel dan lainnya, yang berkaitan dengan masalah yang

penulis kaji.

3. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data atau permasalahan yang diangkat dalam

skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

a. Diskriptif Analitis

Yaitu cara penulisan dengan mengutamakan pengamatan

terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang.23

Skripsi ini merupakan kajian sebuah konsep pemikiran, maka dengan

metode ini dapat digunakan untuk menggambarkan dan menguraikan

secara menyeluruh pemikiran Ibnu Hazm baik dari pendapat maupun

istinbath yang di gunakan, sehingga akan didapatkan informasi secara

utuh. Sedangkan maksud dan tujuan analisis ini bertujuan memberikan

analisa yang bersifat ilmiah dan sistematis terhadap makna yang

terkandung dalam fatwa atau pendapat yang mana penulis akan

menganalisa pemikiran Ibnu Hazm tentang wakaf kepada kepada diri

sendiri.

22 Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama,Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 100.

23 Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi,Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000, hlm. 17.

12

F. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab, agar

dapat memudahkan pembahasan sekaligus membantu dalam penulisan, dimana

satu bab dan bab yang lainnya saling mendasari dan terkait. Hal ini guna

memudahkan pekerjaan dalam penulisan dan memudahkan pembaca dalam

memahami dan menangkap hasil penelitian. Adapun sistematika penulisannya

adalah sebagi berikut:

I. Pendahuluan, memuat tentang latar belakang masalah, selanjutnya dari

latar belakang masalah tersebut dirumuskan masalah yang ada, tujuan

penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

II. Tinjauan Umum Tentang Wakaf. Bab ini merupakan landasan teori yang

berisikan tiga sub bab. Bab pertama tentang pengertian dan dasar hukum

wakaf. Bab kedua tentang rukun dan syarat wakaf. Bab ketiga tentang

macam-macam wakaf.

III. Pemikiran Ibnu Hazm tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri Sendiri, Bab

ini mencakup berbagai hal diantaranya tentang Biografi Ibnu Hazm,

pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri dan

metode istimbath hukum Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri

sendiri.

IV. Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri

Sendiri. Dalam bab ini dijelaskan analisis terhadap latar belakang pendapat

Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri dan analisis

terhadap metode istinbath hukum Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf

kepada diri sendiri.

V. Penutup, bab ini memuat kesimpulan, saran-saran, dan penutup.

13

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Wakaf

1. Pengertian Wakaf

Kata wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata --

berarti “berdiri, berhenti”.24 Kata wakaf sering disebut juga dengan

habs.25 Dengan demikian, kata wakaf itu dapat berarti berhenti,

menghentikan dan dapat pula berarti menahan. Pengertian menahan

dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud wakaf dalam

bahasa ini. Menurut istilah syara’, wakaf berarti menyerahkan suatu hak

milik yang tahan lama zatnya kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau

kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau

manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at

Islam.26 Dalam hal tersebut, benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik

yang mewakafkan, dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi

ia menjadi hak milik Allah (hak umum).

Wakaf menurut mazhab Hanafi ialah menahan harta dari hukum

kepemilikan wakif dan disadaqahkan manfaatnya untuk kebaikan. Pada

dasarnya harta yang diwakafkan tidak hilang dari sifat kepemilikannya,

dan diperbolehkan untuk memintanya kembali dan menjualnya karena

24 Irfan Zidny, et al., Kamus Arab-Indonesia Kosa Kata Populer, Jakarta: Dian Rakyat,1998, hlm. 548.

25 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1997, hlm. 148.26 Harun Nasution, et all., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm.

981.

14

sesungguhnya wakaf itu mubah, tidak diwajibkan seperti halnya barang

pinjam-meminjam.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan

harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut

mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan

kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif

berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik

kembali wakafnya.

Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa

wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif,

setelah sempurna prosedur perwakafan dan wakif tidak boleh melakukan

apa saja terhadap harta yang diwakafkan.27

Wakaf menurut jumhur ulama’ ialah suatu harta yang mungkin

dimanfaatkan selagi barangnya utuh. Dengan putusnya hak penggunaan

dari wakif, untuk kebajikan yang semata-mata demi mendekatkan diri

kepada Allah.28 Harta wakaf atau hasilnya, dibelanjakan untuk

mendekatkan diri kepada Allah. Dengan diwakafkannya harta itu, maka

harta keluar dari pemilikan wakif, dan jadilah harta wakaf tersebut secara

hukum milik Allah. Bagi wakif, terhalang untuk memanfaatkan dan wajib

mendermakan hasilnya sesuai tujuan.

27 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu Juz 8, Beirut: Dar al-fikr, t.th, hlm153.

28 Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf DiNegara Kita, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 20

15

Rumusan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam, dimana

disebutkan dalam pasal 215 ayat (1) bahwa wakaf adalah, perbuatan

hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang

memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk

selama-lamanya, guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya

sesuai dengan ajaran Islam.29

Dalam pengertian lain, sebagaimana disebutkan dalam UU RI No

41 tahun 2004 tentang wakaf, mendefinisikan wakaf sebagai berikut:

“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya, untuk dimanfaatkan

selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan

kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut

syari’ah.”30

Walau definisi wakaf berbeda antara satu dengan yang lain, akan

tetapi definisi tersebut nampaknya berpegang pada prinsip bahwa benda

wakaf, pada hakikatnya adalah pengekalan dari manfaat benda wakaf itu.

Namun demikian, dari beberapa definisi dan keterangan di atas,

dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa wakaf itu meliputi beberapa

aspek sebagai berikut:

a. Harta benda itu milik yang sempurna.

b. Harta benda itu zatnya bersifat kekal dan tidak habis dalam sekali atau

dua kali pakai.

29 Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,Jakarta: Gema Insani Press, 1994. pasal 215 ayat 1.

30 Undang-Undang RI no 41 tahun 2004, pasal 1 ayat 1.

16

c. Harta benda tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh pemiliknya.

d. Harta benda yang dilepaskan kepemilikannya tersebut, adalah milik

Allah dalam arti tidak dapat dihibahkan, diwariskan atau

diperjualbelikan.

e. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum yang

sesuai dengan ajaran Islam.31

2. Dasar Hukum Wakaf

Walaupun perwakafan yang dimaksud dalam kajian ini tidak

dijelaskan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an, namun demikian ada

beberapa ayat yang memerintahkan agar manusia berbuat kebajikan

kepada masyarakat. Adapun yang dijadikan landasan hukum perwakafan

adalah:

a. Al-Qur’an

Tidak ada dalam ayat Al-Qur’an yang secara tegas

menjelaskan tentang ajaran wakaf. Bahkan tidak ada satupun ayat Al-

Qur’an yang menyinggung kata “waqf , sedangkan pendasaran ajaran

wakaf dengan dalil yang menjadi dasar utama disyari’atkannya ajaran

ini lebih dipahami berdasarkan konteks ayat Al-Qur’an, sebagai sebuah

amal kebaikan.32 Ayat-ayat yang berkaitan dengan wakaf sebagai

berikut :

31 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Semarang: LSMDamar, Cet. ke-1, 2004, hlm. 320.

32 Achmad Junaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju era Wakaf Produktif Sebuah UpayaProgresif untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Mitra Abadi Press, Cet. ke-3, 2006, hlm

17

Firman Allah:

s̀9(#q ä9$oY s?§ŽÉ9ø9$#4Ó®Lym(#q à)ÏÿZè?$£J ÏBšcq ™6 ÏtéB4$tBur(#q à)ÏÿZè?Ï̀B&ä óÓx«¨b Î*sù

©!$#¾Ïm Î/ÒOŠÎ=tæÇÒËÈ

Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yangsempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yangkamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkansesungguhnya Allah mengetahuinya ..33

Ayat ini menyatakan bahwa yang dinafkahkan hendaknya

harta yang disukai, karena kamu sekali-kali tidak akan meraih

kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dengan cara

yang baik dan tujuan serta motivasi yang benar, yakni harta benda

yang kamu sukai maupun yang tidak kamu sukai, maka sesungguhnya

tentang segala sesuatu yang menyangkut hal itu Allah Maha

Mengetahui, dan Dia akan memberi ganjaran untuk kamu baik di dunia

maupun di akhirat kelak.34

$yg•ƒ r' ¯» tƒšúï Ï% ©!$#(#q ãZtB#uä(#q ãèŸ2ö‘$#(#r߉àfó™$#ur(#r߉ç6 ôã $#uröN ä3 ­/ u‘(#q è=yèøù$#ur

uŽö•y‚ø9$#öN à6 ¯=yès9šcq ßsÎ=øÿè?)ÇÐÐÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlahkamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan,supaya kamu mendapat kemenangan. (Q. S. Al. Hajj: 77).35

33 Departemen Agama, Al-Qur an dan Terjemahnya, Semarang: CV Toha Putra, 1989,hlm. 91.

34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an, Ciputat:Lentera Hati, 2005, hlm. 151.

35 Departemen Agama, Al-Qur an dan Terjemahnya, Op. Cit., hlm..523

18

$yg•ƒ r' ¯» tƒtûï Ï% ©!$#(#þq ãZtB#uä(#q à)ÏÿRr&Ï̀BÏM» t6 ÍhŠsÛ$tBóO çFö;|¡ Ÿ2!$£J ÏBur$oY ô_t• ÷z r&N ä3 s9

z̀ ÏiBÇÚö‘F{ $#(Ÿwur(#q ßJ £J u‹ s?y]ŠÎ7 y‚ø9$#çm ÷ZÏBtbq à)ÏÿY è?N çG ó¡ s9urÏmƒ É‹Ï{$t«Î/HwÎ)b r&

(#q àÒ ÏJ øóè?Ïm‹Ïù4(#þq ßJ n=ôã $# ur¨b r&©!$#;ÓÍ_xîÏJ ymÇËÏÐÈ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah di jalan Allahsebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagiandari apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlahkamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahalkamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan denganmemicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilahbahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji (Q. S. Al-Baqarah:267).36

Ayat ini menjelaskan bahwa barang yang dinafkahkan

seseorang haruslah miliknya yang baik, yang disenanginya, bukan

barang yang buruk, yang ia sendiri tidak menyukainya, baik berwujud

makanan, buah-buahan, atau barang-barang maupun binatang ternak,

dan sebagainya.37

b. Al-Sunnah

Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa sunnah nabi

bisa berupa sunnah qauliyah, yaitu hadits-hadits Rasulullah saw yang

beliau katakan dalam berbagai tujuan dan konteks. Sunnah fi liyah

yaitu perbuatan Rasulullah saw, dan sunnah taqririyah yaitu sesuatu

yang timbul dari sahabat Rasulullah saw yang telah diakui oleh

Rasulullah saw baik berupa ucapan maupun perbuatan.38

36 Ibid, hlm. 67.37 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Tafsirnya, Semarang: CV Wicaksana, Jilid 1,

Juz 1-2-3, hlm. 453.38 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Kutub, 1986. hlm. 45

19

Para ulama menilai bahwa wakaf itu termasuk kategori

sedekah jariah, yang nilai pahalanya senantiasa mengalir selagi

manfaatnya bisa dipetik. Dalam konteks inilah, maka para ahli fiqih

mengemukakan hadits Nabi SAW, yang berbicara tentang keutamaan

sedekah jariah sebagai salah satu sandaran wakaf. Pengertian amal

jariah dalam hadits tidak secara khusus menyatakan wakaf, akan tetapi

perbuatan mewakafkan termasuk shadaqah jariyah.Sabda Nabi SAW:

:

.

.

) ..(Artinya: “Dari bin Umar ra katanya Umar (bapaknya) mendapat

bagian tanah/kebun di Khaibar, ia datang kepada Rasulullah minta pendapat beliau. Kata Umar kepada beliau, haiRasulullah saya telah mendapat sebidang tanah di Khibar,belum pernah saya mendapat suatu harta yang saya anggaplebih berharga dari padanya. Dengan apa tuan perintahkankepada saya tentang tanah itu? jawab Rasulullah SAW: jikaanda rela, tanah/kebun itu wakafkan saja, dan hasilnyadermakan, maka oleh Umar perintah Rasulullah diturutinya.Bahwa tanah itu tidak dijualbelikan, tidak diwariskan dantidak pula dihibahkan. Kata bin Umar, maka hasil kebun itudidermakan Umar kepada fakir miskin, sanak famili,melunaskan penebusan diri sahaya yang akan memerdekakandirinya, fisabilillah, ibnu sabil dan buat tamu-tamu. Bagipengurus kebun itu dibolehkan mengambil nafkah sederhana

20

daripada hasilnya, dan memberi makan teman-teman tanpamemboroskannya. (H. R. Muslim) 39

Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang dikemukakan di

atas, ada anjuran yang mengandung perintah yang tidak harus

dilakukan. Perintah wakaf disini tidak menunjukkan wajib, sebab

wakaf kalau dihukumi wajib, berarti memaksa kepada orang yang

mempunyai harta untuk berwakaf. Perintah ini hanya sunnat, yang

dapat memberikan dorongan kepada orang-orang yang mempunyai

harta untuk beribadah melalui wakaf. Maka dapat dikemukakan bahwa

status hukum wakaf adalah sunnat, yaitu merupakan perbuatan yang

sangat mulia, dan akan diberi pahala atau imbalan bagi siapa yang

melakukannya. Meskipun demikian, tidak dibebani dosa jika tidak

melakukannya. Dengan demikian perbuatan wakaf adalah merupakan

anjuran dalam syari’at Islam.40

B. Rukun Dan Syarat Wakaf

1. Rukun Wakaf

Rukun adalah sesuatu yang merupakan sendi utama dan unsur

pokok dalam pembentukan sesuatu hal. Perkataan rukun berasal dari

bahasa Arab “ruknun yang berarti tiang, penopang atau sandaran.41

Dengan kata lain, sesuatu yang karenanya baru ada hukum dan dengan

39 Imam Abi Muslim Ibnu Al-Hajj Sahih Muslim, Juz 2, Beirut-Libanon: Dar al- Kitab al-‘Alamiyah, tt. hlm. 14.

40 Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta:Sinar Grafika, Cet-02, 1996, hlm. 106-107.

41 Anton M. Moelyono, (et.al), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta: BalaiPustaka, 1989, hlm. 757.

21

ketiadaannya tidak akan ada hukum.42 Atau dengan kata lain rukun adalah

sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perbuatan.

Dengan demikian, sempurna tidaknya wakaf sangat dipengaruhi

oleh rukun-rukun yang ada dalam perbuatan wakaf tersebut. Masing-

masing rukun tersebut harus saling menopang satu dengan yang lainnya.

Karena keberadaan yang satu sangat menentukan keberadaan yang

lainnya. Wakaf dikatakan sah, maka harus memenuhi ketentuan-ketentuan

sebagai berikut:

a. Wakif )(

Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum

yang mewakafkan benda miliknya (KHI Pasal 215 ayat (1)).43

Adapun syarat-syarat wakif yang harus dipenuhi adalah

sebagai berikut:

1. Cakap berbuat tabarru. Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia

bukan muslim.44

2. Kehendak sendiri tidak sah bila dipaksa.

3. Sehat akalnya dan dalam keadaan sadar.

4. Telah mencapai umur (balig) dan cakap.

5. Pemilik sah dari barang (benda) wakaf.45

42 Muhammad Rifa’i, Ushul Fiqh, Semarang: Wicaksana, 1991, hlm. 15.43 Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal

215 ayat (1), hlm. 95.44 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Alqensindo, 2007, hlm. 341.45 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2003, hlm. 493.

22

b. Maukuf )(

Maukuf adalah benda yang diwakafkan. Benda wakaf adalah

segala benda, baik benda bergerak atau benda tidak bergerak yang

memiliki daya tahan dan tidak hanya dapat sekali pakai serta bernilai

menurut ajaran Islam.46

Adapun syarat-syarat maukuf adalah sebagai berikut:

1. Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak

sekali pakai

2. Benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum

3. Hak milik wakif jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda

wakaf merupakan benda yang bebas dari segala pembebanan,

ikatan, sitaan dan sengketa

4. Benda wakaf itu tidak dapat dimiliki dan dilimpahkan

kepemilikannya

5. Benda wakaf dapat dialihkan jika hanya jelas-jelas untuk maslahat

yang lebih besar

6. Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau

diwariskan.47

c. Maukuf Alaih atau Tujuan Wakaf

Seharusnya wakif menentukan tujuan ia mewakafkan harta

benda miliknya. Apakah diwakafkan hartanya itu untuk menolong

keluarganya sendiri, untuk fakir miskin, sabilillah dan lain-lain, atau

46 Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit., hlm. 95.47 Ahmad Rofiq, Op.Cit., hlm. 493.

23

diwakafkan untuk kepentingan umum. Yang utama adalah bahwa

wakaf itu diperuntukkan pada kepentingan umum. Yang jelas, syarat

dari tujuan wakaf adalah untuk kebaikan, mencari ridlo Allah SWT

dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kegunaan bisa untuk sarana ibadah

murni, seperti pembangunan masjid, mushola dan pesantren atau juga

dapat berbentuk sarana sosial keagamaan lainnya yang lebih besar

manfaatnya.

d. Sighat atau Ikrar/Pernyataan Wakaf

Sighat adalah pernyataan wakif sebagai tanda penyerahan

barang atau benda yang diwakafkan itu, dapat dilakukan dengan lisan

maupun melalui tulisan.48 Dlam KHI Pasal 218 menjelaskan pihak

yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan

tegas kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf

sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (6), yang kemudian

menuangkannya dalam bentuk Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh

sekuran-kurangnya 2 orang saksi.49 Dengan pernyataan itu, tanggallah

hak wakif atas benda yang diwakafkannya. Benda itu kembali menjadi

hak milik mutlak Allah yang dimanfaatkan oleh orang atau orang-

orang yang disebut dalam ikrar wakaf tersebut.50

48 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm. 20.49 Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Op. Cit., hlm.143.50 Mohamad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI. Press, 1998,

hlm. 87.

24

Karena tindakan mewakafkan sesuatu itu di pandang sebagai

perbuatan hukum sepihak, maka dengan pernyataan wakif yang

merupakan ijab, perwakafan telah terjadi.51

e. Nazhir Wakaf atau Pengelola Wakaf

Sesuai dengan tujuan wakaf yaitu untuk melestarikan manfaat

dari benda wakaf, maka kehadiran nazhir sangat diperlukan.

Nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola

wakaf. Nazhir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta

wakaf, baik untuk mengurusnya, memeliharanya, dan mendistribusikan

hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya.52

2. Syarat Wakaf

Menurut hukum, untuk sahnya amalan wakaf diperlukan syarat-

syarat sebagai berikut:

a. Wakaf harus secara tunai

Wakaf harus dilakukan secara tunai, sebab pernyataan wakaf

berakibat lepasnya hak milik seketika setelah wakif menyatakan

berwakaf.53

b. Tujuan wakaf harus jelas

Oleh karena itu bila seseorang mewakafkan hartanya tanpa

menyebutkan tujuannya sama sekali, maka di pandang tidak sah.

Meskipun demikian, jika wakif mengesahkan wakafnya itu kepada

51 Ibid.52 Said Agil Husin Al-Munawir, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, Jakarta:

Penamadani, hlm. 151.53 Ibid., hlm. 30.

25

suatu badan hukum, maka ia di pandang sah. Sebab penggunaan harta

wakaf menjadi tanggung jawab badan hukum.54

c. Wakaf yang sah harus dilaksanakan

Wakaf yang sah itu wajib dilaksanakan, dengan syarat tidak

boleh ada khiyar (membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah

dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlangsung seketika dan untuk

selamanya.55 Dalam hubungannya dengan syarat-syarat wakaf di atas,

apabila wakif mengajukan syarat mengenai harta wakaf, maka syarat

itu harus dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.

C. Macam – macam Wakaf

Bila ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu,

maka wakaf dapat dibagi menjadi 2 macam :

1. Wakaf ahli (khusus)

Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus, yang

dimaksud dengan wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-

orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang

lain.

Wakaf untuk keluarga ini secara hukum Islam dibenarkan

berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari

Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum

kerabatnya. Diujung hadits tersebut dinyatakan sebagai berikut :

54 Ibid.55 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press,

1988, hlm.

26

, ,

Artinya : Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut, sayaberpendapat sebaiknya kamu memberikannya kepada keluargaterdekat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk parakeluarga dan anak-anak pamannya56

Dalam satu sisi, wakaf ahli ini baik sekali, karena si wakif akan

mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya juga

kebaikan silaturahmi dengan keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan

tetapi di sisi lain, wakaf ahli ini banyak disalahgunakan. Penyalahgunaan

itu misalnya :(1) Menjadikan wakaf keluarga itu sebagai alat untuk

menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan pada ahli waris

yang berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia, dan (2) wakaf

keluarga itu dijadikan alat untuk mengelakkan tuntutan kreditor terhadap

hutang-hutang yang dibuat oleh seseorang, sebelum ia mewakafkan

hartanya itu.57

Disamping itu masalah yang mungkin akan timbul dalam wakaf

ahli ini adalah apabila orang-orang yang ditunjuk sudah tidak ada lagi

yang mampu mempergunakan benda wakaf. Bila terjadi hal-hal tersebut

maka benda wakaf itu dikembalikan kepada syarat umum wakaf bahwa

wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu, dengan demikian meskipun

orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda wakaf

56 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, op.cit.,hlm. 15

57 Moh.Daud Ali, op-cit, hlm.90

27

telah punah, benda wakaf tersebut digunakan oleh keluarga yang lebih

jauh atau bila tidak ada lagi digunakan oleh umum.58

Dalam perkembangannya, wakaf ahli mengalami kesulitan dalam

pelaksanaannya sesuai dengan tujuan wakaf yang sesungguhnya. Oleh

karena itu sudah selayaknya jenis wakaf ini ditinjau kembali untuk

diperbaiki.

2. Wakaf Khairi (umum)

Wakaf Khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk

kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.

Seperti wakaf untuk pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit,

dan lain sebagainya.

Wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan

dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin

mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang paling sesuai dengan

tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dengan demikian, benda-

benda wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan

umum, tidak hanya untuk keluarga atau kerabat saja. 59

Selanjutnya bila ditinjau dari harta benda wakaf terbagi menjadi 2

macam :

1. Harta benda tidak bergerak.

Benda tidak bergerak ini seperti tanah, bangunan , pohon untuk diambil

buahnya, sumur untuk diambil airnya. Benda-benda macam inilah yang

58 Hendi Sihendi, Fiqh Muamalah; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. hlm.24559 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Loc-cit.

hlm.16

28

sangat dianjurkan, karena mempunyai nilai jariyah lebih lama. Ini sejalan

dengan praktek wakaf yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab

atas tanah Khaibar atas perintah Rasulullah SAW.

2. Harta benda bergerak

a. Hewan

Wakaf hewan ini tergolong dalam wakaf benda untuk diambil

manfaatnya, seperti kuda yang digunakan mujahidin untuk berjihad.

Atau bisa juga wakaf hewan sapi yang diberikan kepada pelajar untuk

diminum air susunya.

b. Senjata

Seperti wakaf perlengkapan perang yang dilakukan oleh Khalid bin

Walid.

c. Buku

Wakaf buku yang memiliki manfaat secara terus menerus sebaiknya

diserahkan kepada pengelola perpustakaan, sehingga manfaat buku itu

bersifat abadi selama buku tersebut masih baik dan bisa dimanfaatkan

untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

d. Mushaf

Wakaf mushaf ini memiliki kesamaan manfaat sebagaimana wakaf

buku yang bersifat abadi selama mushaf itu tidak rusak.

e. Uang, saham, dan surat berharga lainnya.60

60 Ibid.,hlm. 42-44

29

BAB III

PEMIKIRAN IBNU HAZM TENTANG KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI

A. Biografi Ibnu Hazm

1. Latar Belakang Kehidupan Ibnu Hazm

Ibnu Hazm adalah seorang tokoh besar intelektual muslim

Spanyol yang produktif dan jenius. Beliau salah seorang ulama dari

golongan Zahiri yang sangat terkenal pemikirannya yang tekstual terhadap

dalil al- Qur’an maupun Hadits Nabi. Setiap orang yang mengetahui

pandapat Ibnu Hazm dalam karya-karyanya, akan tertarik untuk

membahasnya secara lebih mendalam baik itu berupa pribadi, perilaku dan

peninggalannya yang membuat orang merasa ingin menghormati,

memperhatikan dan mengagungkannya. Nama lengkap Ibnu Hazm adalah

Ali Ibnu Ahmad Sa’id Ibnu Hazm Ghalib Ibnu Shalih Ibnu Sufyan Ibnu

Yazid. Kunyah-nya adalah Abu Muhammad dan inilah yang sering

digunakan dalam kitab-kitabnya akan tetapi beliau lebih terkenal dengan

sebutan Ibnu Hazm.61 Beliau lahir di Cordova pada hari Rabu waktu dini

hari diakhir bulan Ramadhan tahun 384 H atau bertepatan dengan tanggal

7 November 994 M.62 Dalam sejarah-sejarah Islam yang telah menulisnya,

beliau lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Hazm, ulama besar dari

61 Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang,1993, hlm. 288.

62 Ibn Hazm, Al-Muhalla Bi al-Atsar, Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, th., hlm.5.

30

Spanyol, ahli Fikih, dan Ushul Fikih. Beliau adalah pengembang madzhab

adz- Dzahiri, bahkan dinilai sebagai pendiri kedua Daud adz-Dzahiri.63

Ayahnya bernama Ahmad Ibnu Sa’id seorang menteri pada masa

pemerintahan khalifah al-Mansur dan putranya, al-Muzaffar, Kakeknya

bernama Yazid adalah berkebangsaan Persi, Maula Yazid Ibn Abi Sufyan,

saudara Mu’awiyah yang diangkat oleh Abu Bakar menjadi panglima

tentara yang dikerahkan untuk mengalahkan Negeri Syam. Dengan

demikian Ibn Hazm seorang berkebangsaan Persia yang dimasukkan ke

dalam golongan Quraisy dengan jalan mengadakan sumpah setia dengan

Yazid Ibn Abi Sufyan, karenanyalah Ibnu Hazm memihak kepada Bani

Umayyah.64

2. Pertumbuhannya

Ibnu Hazm dibesarkan dalam keluarga kaya. Namun demikian ia

memusatkan perhatiannya mencari ilmu, bukan mencari harta dan

kemegahan. Ia menghafal Al-Qur’an dari purinya, diajarkan oleh inang

pengasuhnya yang merawatnya. Ayahnya memberi perhatian yang penuh

kepada pendidikannya dan memperhatikan bakat dan arah kehidupannya.

Oleh karena gerakgeriknya di dalam istana diawasi dengan ketat oleh

inang pengasuhnya, maka terpeliharalah dia dari sifat-sifat anak muda, ia

mempelajari ilmu-ilmu yang dipelajari oleh pemuda-pemuda bangsawan

dan penguasa, yaitu menghafal Al-Qur’an, menghafal sejumlah syair dan

63 Abdul Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1996, Cet. I, hlm. 608.

64 Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 291.

31

menghadapi guru-guru utama untuk memperoleh ilmu dan meneladani

akhlak mereka65

Sebagai seorang anak pembesar, Ibnu Hazm mendapat

pendidikan dan pengajaran yang baik. Pada masa kecilnya ia dibimbing

dan diasuh oleh guru-guru yang mengajarkan Al-Qur’an, syair dan tulisan

indah arab (khatt). Ketika meningkat remaja, ia mulai mempelajari fikih

dan hadits dari gurunya yang bernama Husein Ibn Al-Farisi dan Ahmad

Muhammad Bin Jasur. Ketika dewasa, ia mempelajari bidang ilmu lainya,

seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantik dan ilmu jiwa disamping

memperdalam fikih dan Hadits.66

Tokoh yang terkenal sangat kritis ini pada mulanya adalah

penganut Mazhab Syafi’i yang ia dalami dari ulama’ Syafi’iyah di

Cordova. Kemudian ia tertarik dengan Mazhab Dzahiri, setelah ia

mendalaminya lewat buku-buku dan para ahlinya yang di daerah itu, dan

akhirnya ia terkenal sebagai seorang paling gigih mempertahankannya.

Bahkan ada yang menyebutnya sebagai pendiri kedua dari madzhab yang

hampir terbenam itu.67

Pada mulanya Ibnu Hazm mempelajari fikih Mazhab Maliki

karena kebanyakan masyarakat Andalusia dan Afrika Utara menganut

65 Ibid., hlm. 289.66 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan

Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, Ensiklopedi Islam, 1993, hlm. 391.67 IAIN Syrif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Jambatan, 1992 hlm.

358.

32

Mazhab ini.68Al-Muwattha sebagai kitab fikih standar untuk Mazhab

Maliki di pelajarinya dari gurunya, Ahmad bin Muhammad bin Jasur,

tidak hanya Al-Muwattha Ibnu Hazm pun mempelajari Kitab Ikhtilaf

Imam Malik. Menurutnya, meskipun ia menyukai Mazhab maliki akan

tetapi ada yang lebih disenanginya, yaitu kebenaran. Hasil pemahaman

Ibnu Hazm dari kitab lain mendorongnya untuk mendalami kitab fikih

yang dikarang oleh Imam Syafi’i dan murid-muridnya. Akan tetapi di

Mazhab ini pun ia tidak bertahan lama. Selanjutnya ia tertarik dan pindah

ke Mazhab Adz-Dzahiri setelah ia mempelajari kitab fikih karangan

Munzir Bin Said Al-Ballut (w. 355 H), seorang ulama’ dari Mazhab Adz-

Dzahiri.69

Berbagai ilmu pengetahuan keislaman lainnya sempat

dikuasainya. Ia menekuni dan mendalami ilmu-ilmu keIslaman, terutama

setelah ia meninggalkan suatu jabatan dalam pemerintahan waktu itu,

karena dengan kedudukannya itu, ia di pandang kurang berwibawa,

bahkan banyak mendapat kecaman dari sebagian kalangan ulama. Karena

itu jabatan tersebut ditinggalkannya dan memutuskan untuk selanjutnya

mendalami ilmu-ilmu keislaman, terutama mengenai aliran-aliran hukum

dalam Islam. Sehingga pada akhirnya ia muncul sebagai seorang ulama

68 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazhahib Al-Islamiyah, Juz I, Beirut : DarKutubil Ilmiyah, 1989, hlm. 555.

69 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek PeningkatanPrasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, Op. Cit., hlm. 391.

33

yang amat kritis baik terhadap ulama pada masanya, maupun terhadap

yang sebelumnya.70

3. Keilmuannya

Selaku anak seorang wazir, pada masa kecilnya ia diasuh dan di

didik oleh para inang pengasuhnya. Setelah beranjak besar dan menghafal

Al-Qur’an ia diasuh dan di didik oleh Abu Husain Al-Fasi, seorang yang

terkenal saleh, zahid dan tidak beristri. Al-Fasi inilah yang petama sekali

membentuk dan mengarahkan Ibnu Hazm, sehingga hasil didikan Al-Fasi

sangat terkesan pada dirinya. Al-Fasi membawa Ibnu Hazm ke majlis

pengajian Abu Al-Qosim ‘Abdur Rahman Al-Azdi (w. 410) untuk belajar

bahasa arab dan Hadits. Ilmu Fikih dipelajarinya pada ‘Abdullah bin

Yahya Ibn Ahmad Ibn Dahlan, Mufti Cordova dan Ibn Fardli wafat

terbunuh oleh tentara barbar pada tahun 403 H, seorang ahli dalam bidang

Hadits, Rijal (biogarfi perawi Hadits), Adab (peradaban) dan Sejarah.71

Dalam bidang tafsir dipelajarinya kitab tafsir Baqi Ibnu Makhlad,

teman Ahmad bin Hambal, Kitab ini oleh Ibnu Hambal di nilai tak ada

taranya. Ibn Hazm mempelajari juga kitab tafsir Al-Ahkam Al-Qur an,

tulisan Umayyah Al-Huzaz berMazhab Syafi’i dan kitab Al-Qadli Abu Al-

Hakam Ibn Said yang sangat keras membela Mazhab Daud Dzahiri.72

Menurut Ibnu Hazm ada tiga macam hukum yang secara tegas di

terapkan oleh agama dan terdapat di dalam Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’

Sahabat, yaitu wajib, haram, dan mubah. Bagi Ibnu Hazm tidak ada tempat

70 IAIN Syrif Hidayatullah, Op. Cit., hlm. 357.71 Ibid., hlm. 556.72 Ibid., hlm. 558.

34

bagi ra’yu (akal) untuk terlibat secara langsung di dalam menetapkan

hukum. Oleh karena itu, ia hanya mengakui empat macam dalil hukum

yang dijadikan sumber dan sandaran untuk menetapkan hukum, yaitu:

a.Al-Qur’an.

b.Hadits.

c.Ijma’ Sahabat.

d.dan Dzahir (lahir) nash yang mempunyai satu arti saja.73

Pada mulanya Ibn Hazm mempelajari fikih Maliki, karena guru-

gurunya berMazhab dengan Mazhab itu. Selain itu Mazhab Maliki adalah

Mazhab resmi di Andalusia. Ibnu Hazm pernah mengatakan bahwa dua

Mazhab yang berkembang melalui tangan kekuasaan penguasa adalah

Mazhab Hanafi di Timur dan Mazhab Maliki di Barat.74

Ibnu Hazm menemukan kritikan-kritikan yang dilakukan oleh

Asy-Syafi’i terhadap Maliki. Karena itu ia pun mempelajari Mazhab

Syafi’I dengan sungguh-sungguh, walaupun Mazhab ini tidak populer di

Andalusia. Ketika guru-gurunya dan penganut Mazhab Maliki bertanya

kepadanya, ia menjawab : ‘Uhibbu Malikan Walakin Mahabbati lil Haqqi

Akbaru Min Mahabbati li Malik = Aku mencintai malik, akan tetapi

cintaku kepada kebenaran lebih besar daripada cintaku kepada malik’.

Ibnu Hazm pun beralih dari Mazhab Maliki ke Mazhab Syafi’i. Ibnu Hazm

mengagumi Syafi’i karena ia teguh berpegang kepada nash dan qiyas yang

di qiyaskan kepada nash. Namun pada akhirnya ia tertarik pada Mazhab

73 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek PeningkatanPrasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, loc.cit,.

74 Hasbi Ash-Shiddieqy, loc,cit,.

35

Dzahiri yang dikembangkan oleh Daud al-Asbahani. Mazhab Dzahiri

berprinsip hanya berpegang pada nash semata, kalau tidak ada nash baru di

pakai Istihsan.75 Mazhab inilah yang dipeganginya sampai ke akhir masa

hayatnya.

Menurut Hasby Asy-Sydiqi, Ibnu Hazm memiliki jiwa dan

pikiran bebas. Ia tidak mau terikat kepada sesuatu Mazhab. Selain

mengikuti Mazhab Syafi'i ia juga mempelajari Mazhab ulama-ulama yang

ada di Irak, seperti Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Kepada merekalah

dia belajar. Dengan mempelajari Mazhab-Mazhab lain, Ibnu Hazm

melakukan perbandingan Mazhab yang ada pada saat itu. Akhirnya ia

tertarik kepada Mazhab Zahiri.76 Ibnu Hazm memutuskan memilih

Mazhab Zahiri karena dalam Mazhab ini tidak ada taqlid. Mazhab ini

adalah Mazhab al-Kitab, Sunnah dan ijma' sahabat. Masing-masing tokoh

Mazhab ini langsung membina Mazhabnya, tanpa bertaqlid kepada

seorang imam.77

B. Karya-karya Ibnu Hazm

Menurut pengakuan putranya, Abu Rafi’ al Fadli Ibn Ali, sepanjang

hidupnya Ibnu Hazm sempat menulis lebih kurang 400 judul buku yang

meliputi lebih kurang 80.000 halaman. Buku-buku tersebut menyangkut

75 Ibid., hlm. 557.76 Mazhab Zahiri adalah mazhab yang dikembangkan oleh, Daud al-A bbahani. Mazhab

Zahiri berprinsip hanya berpegang kepada na semata, bahwa larangan dan suruhan harusberdasarkan na atau atsar, kalau tidak ada na baru berpindah dan memakai istishan, lihat, HasbiShiddiqi, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, cet I., (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),edisi ke-2, hlm. 557

77 Ibid., hlm. 312

36

berbagai didisiplin ilmu. Namun, tidak semua bukunya bisa ditemukan karena

banyak yang dibakar dan dimusnahkan oleh orang-orang yang tidak sepaham

oleh Ibnu Hazm. Di antara buku-buku tersebut adalah sebagai berikut :

a. Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam (2 jilid), memuat ushul fiqh Mazhab Adz-

Dzahiri, menampilkan juga pendapat-pendapat ulama di luar Mazhab Adz-

Dzahiri sebagai perbandingan ;

b. Al-Muhalla (13 jilid), buku fikih yang di susun dengan metode

perbandingan; penjelasan luas; Argumen Al-Qur’an, Hadits dan ijma’

yang dikemukakan pun memadai;

c. Ibtal Al-Qiyas, pemikiran dan berbagai argumentasi dalam menolak

kehujahan qias;

d. Tauq Al-Hamamah, karya autobiografi Ibnu hazm yang meliputi

perkembangan pendidikan dan pemikirannya, ditulis pada tahun 418 H;

e. Nuqat Al-Arus Fi Tawarikh Al-Khulafa , yang mengungkap para khalifah

di Timur dan Spanyol;

f. Al-Fasl Fi Al-Milal Wa Al-Ahwa Wa An-Nihal. Teologi yang disajikan

dalam metode perbandingan agama dan sekte-sekte dalam Islam;

g. Al-Abtal, pemaparan Ibnu Hazm mengenai argumen-argumen Mazhab

Adz-Dzahiri;

h. At-Talkhis Wa At-Takhlis, pembahasan rasional masalah-masalah yang

tidak disinggung oleh Al-Qur’an dan Sunnah ;

i. Al-Imamah Wa Al-Khilafah Al-Fihrasah, sejarah Bani Hazm dan asal usul

leluhur mereka;

37

j. Al-Akhlaq Wa As-Siyar Fi Mudawwanah An Nufus, sebuah buku sastra

Arab ;

k. Risalah Fi Fada il Ahl Al-Andalus, catatan-catatan Ibnu Hazm tentang

Spanyol, ditulis khusus untuk sahabatnya, Abu Bakar Muhammad Bin

Ishaq.78

C. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada Diri Sendiri

Sebelum penulis menjelaskan tentang pendapat Ibnu Hazm tentang

kebolehan wakaf kepada diri sendiri maka terlebih dahulu penulis akan

memaparkan tentang:

1. pengertian wakaf menurut Ibnu Hazm

Dalam pembahasan wakaf Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla hanya

menjelaskan pengertian secara bahasa saja yaitu:

Artinya: Penahanan harta adalah wakaf. 79

2. Syarat wakaf menurut Ibnu Hazm.

.

Artinya: wakaf dalam keasliannya boleh seperti rumah, tanah dansesuatu yang ada di atas nya, seperti tanaman, bangunan, tanah yangluas, muskhaf-muskhaf dan buku-buku, boleh juga wakaf budak, senjata,kuda dan berjuang dijalan Allah.80

78 Abdul Aziz Dahlan, op.cit., hlm. 610.79 Ibn Hazm, Al Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al Fikr, t.th, hlm. 17580 Ibid, hlm. 175.

38

3. Dasar hukum wakaf menurut Ibnu Hazm.

Dalam hal ini Ibnu Hazm menggunakan dasar hadits yaitu:

.Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW

bersabda: apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, makaputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmuyang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orangtuanya. 81

4. Adapun pendapat Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada diri sendiri

yaitu dalam kitab Al-Muhalla adalah:

.Artinya: seseorang dibolehkan untuk menahan harta wakaf kepada orang

yang dicintai atau kepada diri sendiri kemudian diserahkankepada siapa pun yang dikehendakinya. 82

Dengan melihat pendapat Ibnu Hazm yang tersurat di atas maka

dapat ditarik suatu pegertian yang tersirat wakaf kepada diri sendiri

menurut Ibnu Hazm yaitu menahan hartanya sendiri, yang dikelola sendiri,

dan hasilnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum.83

Hal ini juga sependapat dengan Abu yusuf yang mengatakan

bahwa wakaf untuk diri sendiri sah secara mutlak dengan alasan karena

wakaf untuk diri sendiri adalah salah satu bentuk taqarrub, maka

diperbolehkan untuk memprioritaskan diri sendiri dibanding lainnya.84

81 Ibidt, hlm. 176.82 Ibid, hlm.175.83 Ibid, hlm. 175.84 Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, Jakarta: Dompet Dhuafa Republik dan

IIman, 2004. hlm. 318.

39

Sedangkan Para fuqaha sepakat bahwa wakaf pada diri itu tidak

sah, diantaranya yaitu Imam maliki, Muhammad bin Hasan, Hilal bin

Yahya dan Imam Syafi’I yang mengatakan bahwa wakaf pada diri sendiri

itu tidak sah. Dasar pendapatnya pada dalil sebagai berikut: wakaf adalah

akad yang membuat hak atas kepemilikan harta terhapus. Seperti halnya

jual beli dan hibah (pemberian). Maka, apabila jual beli dan hibah untuk

diri sendiri itu tidak sah, begitu pula dengan wakaf. Sebab hal itu sama

saja dengan tahsil al-hasil (menghasilkan yang sudah ada), dan hal itu

merupakan sesuatu yang mustahil (sia-sia).85

D. Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Kebolehan Wakaf Kepada

Diri Sendiri.

Metode dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh Ibnu Hazm

adalah al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan dalil-dalil yang tidak keluar dari

ketentuan nash itu sendiri.

Dalam masalah ini dasar yang keempat dipakai oleh Ibnu Hazm dari

golongan Zahiriyah, yaitu mempergunakan dalil sebagai ganti qiyas, apa yang

ada dalam istilah Ibnu Hazm dinamakan dalil, hal ini telah diungakapkan oleh

al Khatib al Baghdadi, Zahiriyah mengatakan bahwa dasar yang mereka

namakan dalil itu tidak keluar dari nash.86

contohnya sabda Rasulullah :

.

85 As Syeikh Muhammad Khatib As Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, juz 2, hlm. 380.86 Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Jakarta, Bulan Bintang,

1973, hlm. 305.

40

Artinya: Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalahharam .

Sabda Nabi Muhammad SAW tersebut terjadi atas dua muqaddimah,

yang pertama adalah khamr sedangkan yang kedua adalah setiap khamr adalah

haram, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa setiap yang

memabukkan adalah haram.88 Hal ini menurut Ibnu Hazm bukan qiyas, tetapi

penerapan nash.

Adapun istinbath hukum Ibnu Hazm tentang kebolehan wakaf kepada

diri sendiri adalah:

a. Hadits Nabi

:

" : "

.Artinya: seseorng boleh menyediakan sesuatu untuk dirinya

sendiri dan kepada orang yang dikehendaki sebagaimanasabda Rasulullah saw: awali dengan dirimu kemudiansedekahkanlah kepada yang lain, dan Rasulullah berkatakepada Umar bersedekahlah dengan buahnya. Maka sahdan boleh sedekahnya kepada diri sendiri dan kepadaorang yang di kehendaki, demikian yang dikatakan Abiyusuf. 89

Dari hadits diatas dapat di pahami bahwa Ibnu Hazm dalam

masalah wakaf kepada diri sendiri menggunakan istinbath al-Dalil:

yang mana menurut beliau al-dalil adalah menetapkan apa yang

87 Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, Juz II, Dar al Fikr, t.th, hlm. 1124.88 Dr. Jaih Mubarak, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, PT.

RemajaRosada Karya, 2000, hlm. 154.89 Hazm, Al Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al Fikr, t.th, hlm. 182

41

diambil dari Ijmâ atau dari nash atau sesuatu yang diambil dari nash

atau Ijmâ itu sendiri, baru diambil dengan jalan mempertautkan

kepada nash yang di ambil langsung dari nash. Demikian itu al-Dalîl

yang dipergunakan dalam ber-Istinbâth, sehingga Ibnu Hazm lebih

dikenal dengan Ibnu Hazm al-Zhahirî.

42

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU HAZM TENTANG

KEBOLEHAN WAKAF KEPADA DIRI SENDIRI

A. Analisis Terhadap Latar Belakang Pendapat Ibnu Hazm Tentang Wakaf

Kepada Diri Sendiri

Ibnu Hazm dalam hal ini dilatarbelakangi oleh pemikirannya yang

yang tekstualis dan beliau tidak mau terikat dengan suatu mazhab yang

menggunakan qiyas, beliau hanya berpedoman pada Alqur’an, hadist, ijmak

para sahabat dan dalil, oleh sebab itu beliau memilih mazhab zahiri.

Ketika meyakini teks dan menganggapnya lebih mulia dari pendapat

dan ijtihad, serta keyakinan bahwa teks mengandung keadilan, kebenaran, dan

maslahat sebagaimana firman Allah: Dan tidaklah Kami mengutus kamu,

melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam . (QS. Al-Anbiya:107),

maka tidak berbuat lain kecuali menjadikan teks sebagai standar dalam

menilai kemaslahatan, dalam membedakan maslahat dan mudarat, dalam

membedakan kemaslahatan ukhrawi dengan kemaslahatan duniawi, serta

dalam membedakan bahaya yang besar dari bahaya yang ringan.90

Saya tidak mengatakan bahwa teks akan selalu memberi jawaban

yang terperinci dan kongkrit atas kemaslahatan, kemudaratan dan segala

tingkatannya. Akan tetapi saya katakan bahwa teks menjadi standar pasti

terhadapnya, dan terbuka lebar ruang untuk berkreasi dan berijtihad dan selalu

meluas dan terus berkesinambungan dalam menilai hal-hal yang baru,

90 Ahmad Al Raysuni, Ijtihad Antara Teks Realita dan Kemaslahatan Sosial, Jakarta:Erlangga, 2002, hlm. 31.

43

menyikapi perkembangan zaman, membandingkan antara berbagai prioritas,

dan itu dengan menjadikan teks sebagai titik tolak dan standar penilaian.91

Dari pemikirannya Ibnu Hazm itulah muncul pendapat beliau tentang

wakaf kepada diri sendiri yaitu: seseorang dibolehkan untuk menahan harta

wakaf kepada orang yang dicintainya atau kepada dirinya sendiri kemudian

diserahkan kepada siapa pun yang dikehendakinya.

Ulama Zaidiyah juga membolehkan wakaf kepada diri sendiri

apabila didasari dengan niat takarub, takarub disini yang di maksud adalah

dengan wakaf tersebut dia tidak merepotkan orang lain.

Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wakaf kepada diri

sendiri itu tidak sah, karena wakaf adalah akad yang membuat hak atas

kepemilikan harta terhapus, seperti halnya jual beli dan hibah (pemberian).

Maka, apabila jual beli dan hibah untuk diri sendiri itu tidak sah, begitu pula

dengan wakaf. Sebab, hal itu sama saja degan penghasilan yang sudah ada,

dan hal itu merupakan sesuatu yang mustahil (sia-sia).

Pendapat ulama Malikiyah yang paling menolak keras tentang wakaf

kepada diri sendiri. Dalam pandangan beliau, wakaf batal dan tidak sah, baik

mengedepankan pernyataan untuk dirinya, mengakhirkan, ataupun

meletakkannya di tengah-tengah. Misalnya kalau seseorang berkata saya

berwakaf untuk diri sendiri atau untuk orang setelahku. Wakaf seperti ini

semuanya batal dan tidak sah. Sebab dengan begitu berarti dia telah

91 Ibid, hlm. 31

44

membatasi harta wakaf tersebut untuk dirinya dan untuk ahli warisnya

sepeninggalnya.92

Ketika teks dijadikan sebagai standar penilaian kemaslahatan oleh

Ibnu Hazm, maka secara otomatis beliau telah berperan besar dalam

menghilangkan pertentangan antara teks dan kemaslahatan, karena saat itu

beliau telah berinteraksi dengan kemaslahatan yang selaras dengan teks.

Beliau sedikitpun tidak meragui tentang kebenaran pendapatnya. Ini

merupakan suatu kekurangan dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa golongan

dhahiriyah adalah golongan yang menegakkan kebenaran. Karena itu Ibnu

Hazm sangat membesarkan pendapat dirinya sendiri.93

Dari keterangan diatas menurut penulis, pendapat Ibnu Hazm tentang

kebolehan wakaf kepada diri sendiri dilatarbelakangi oleh pemikirannya yang

tekstualis dan beliau tidak meragukan pendapatnya tersebut.

B. Analisis Terhadap Istinbath Hukum Ibnu Hazm Tentang Wakaf Untuk

Diri Sendiri.

Dengan melihat keterangan yang sudah penulis kemukakan pada bab-

bab sebelumnya, bahwa Ibnu Hazm adalah salah seorang ulama dari golongan

Zahiri yang sangat terkenal pemikirannya yang tekstual terhadap dalil al-

Qur’an maupun Hadits Nabi. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa,

apapun yang termasuk seorang mujtahid mutlak berpikiran bebas, hal ini ia

92 Muhammad Abid Abdullah Al-kabisi, Hukum Wakaf, Jakarta, Dompet DhuafaRepublika. 2003. hlm. 332.

93 Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab, Jakarta: BulanBintang, 1973, hlm. 307.

45

buktikan dengan pendapat-pendapat Ibnu Hazm yang cenderung

berseberangan dengan ulama atau Mazhab yang lain.

Ibnu Hazm dalam melakukan istinbath hukum ketika dihadapkan

pada suatu permasalahan Ia langsung mengambil dari empat sumber tasyri’

yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Sahabat, dan Dzahir (lahir) nash yang

mempunyai satu arti saja.

Istinbath yang digunakan Ibnu Hazm dalam menentukan hukum

tentang wakaf kepada diri sendiri beliau berpedoman kepada zahir dari nash

Al-Quran dan hadist. Sebagaimana ditegaskan :

........( )Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)

bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nyatelah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan(yang lain) tentang urusan mereka . 94

Dan Hadits Nabi:

.Artinya: awali dengan dirimu kemudian sedekahkanlah kepada yang

lain.95

Adapun dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 36, dapat dipahami

bahwa sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya tidak boleh di

langgar, ayat tersebut sebagai penegas istinbath Ibnu Hazm.

94 Departemen Agama RI, Al Qur an dan Terjemahannya, Jakarta, YayasanPenyelenggara Penterjemah al-Qur’an. hlm. 673.

95 Hazm, Al Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al Fikr, t.th, hlm.182

46

Dalam Tafsir Al-Maraghiy dijelaskan bahwa tidaklah patut bagi

orang Mu’min laki-laki maupun perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya

telah memutuskan suatu ketetapan untuk mempunyai pilihan lain tentang

urusan mereka selain yang telah ditetapkan pada mereka dan tidak patut pula

mereka menyalahi dan tidak mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta

keputusan-Nya. Kesimpulan dalam Tafsir Al-Maraghiy, tidak patut bagi orang

Mu’min laki-laki maupun perempuan untuk memilih suatu perkara bila telah

ada keputusan Rasul.96

Yang kedua Sabda Rasulullah saw: awali dengan dirimu kemudian

sedekahkanlah kepada yang lain, dan Rasulullah berkata kepada Umar

bersedekahlah dengan buahnya. Maka sah dan boleh sedekahnya kepada diri

sendiri dan kepada orang yang di kehendaki.

Asbabul wurud hadits diatas yang dikutip H. M. Suwarta Wijaya,

B.A adalah Jabir telah menjelaskan, Hadits ini timbul berkenaan dengan

seorang laki-laki telah memerdekakan seorang hamba setelah hamba itu

meninggal. Maka datanglah Rasulullah, bertanya kepadanya: ”Apakah engkau

mempunyai harta yang lain?”. Jawab orang itu ”Tidak”. Rasulullah bersabda:

siapa yang mau membeli daripadaku?” Maka Na’im Al ’Udzri membelinya

seharga 800 dirham kemudian Rasulullah menyerahkan uang tersebut kepada

orang laki-laki tersebut seraya berkata: Mulailah dari dirimu.97

96 Ahmad Mustofa Al-Maragyi, Tafsir Al-Maragyi Juz XXII, Semarang, CV Toha Putra,hlm. 20.

97 Suwarta Wijaya, Asbabul Wurud 1 Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-haditsRasul, Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hlm. 14.

47

Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Isnadnya shahih, oleh sebab itu

hadits tersebut termasuk hadits yang shahih.

Dari keterangan hadits diatas dapat dipahami bahwa wakaf

merupakan salah satu bentuk dari sedekah, dan wakaf kepada diri sendiri

terhitung sebagai sedekah juga. Oleh karena itu wakaf untuk diri sendiri

dibolehkan, bahkan itu lebih utama daripada untuk orang lain, sesuai dengan

zahir hadits. Periwayat hadits tersebut dalam bab wakaf karena sesungguhnya

ulama menafsirkan “shadaqah Jariyah” itu sama dengan wakaf itu.98

Al-dalil dalam pandangan Ibnu Hazm adalah sesuatu yang diambil

secara langsung dari nash atau ijmak dan dipahami secara langsung dari segi

dilalah keduanya.

Istinbath Ibnu Hazm apabila dimasukkan dalam tradisi pemikiran

ulama klasik masuk pada wilayah istinbath yang berkutat pada bagaimana

memahami hukum berdasar pada makna sebuah nash. Pendekatan ini

memfokuskan pada persoalan kebahasaan nash seperti amr-nahy.

Terkait dengan kebolehan wakaf untuk diri sendiri, para ulama

terbagi menjadi dua yaitu antara yang berpendapat sah dan yang berpendapat

tidak sah. Penulis sepakat dengan pendapat kedua yang menilai tidak sah

wakaf untuk diri sendiri karena inti dari wakaf adalah memutus kepemilikan

harta pribadi untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana yang terdapat dalam

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Pasal I: yang berisi wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan

98 As Shan’ani, Terjemahan Subulussalam, Abubakar Muhammad, Semarang, Al-ikhlas,1995, hlm. 312.

48

atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan

selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya

guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.99

Selain itu peruntukan harta wakaf seharusnya untuk orang yang

membutuhkan bukan untuk dirinya sendiri. Sebagai mana dalam Pasal 22

yang isinya yaitu: dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta

benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: sarana dan kegiatan ibadah,

sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, bantuan bagi fakir miskin,

anak terlantar, yatim piatu, bea siswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi

umat dan untuk kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak

bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.100

Sebagai bagian dari amal jariyah yang bersifat tabarru atau tindakan

sukarela yang tidak mengharapkan kontraprestasi (imbalan), Islam

mengajarkan agar jika tangan kanan orang yang memberikannya, maka tangan

kirinya tidak mengetahuinya. Ini membawa implikasi yang kurang

menguntungkan dan berkepanjangan bahwa di kemudian hari sosialisasi

keharusan adanya pengganti /Akta Ikrar Wakaf (P/AIW) sebagai pendahuluan

sertifikasi tanah mengalami hambatan besar. Ada kekhawatiran pada sebagian

masyarakat, dengan adanya pencatatan melalui akta/pengganti ikrar wakaf,

akan mengurangi nilai jariah wakaf tersebut, utamanya dalam hal keikhlasan si

wakif. Tidak dibayangkan sama sekali di benak mereka, bahwa wakaf mereka

akan dengan mudah disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak

99 Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, PeraturanPerundangan Perwakafan, Jakarta: 2006, hlm.2.

100 Ibid, hlm. 12

49

bertanggung jawab, dialihkan untuk kepentingan pribadi. Demikian juga

ketentuan teknis lainnya, nadzir, saksi dalam ikrar wakaf yang kesemuanya

bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan administrasi wakaf dalam

masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih luas dan

proporsional sejalan dengan tuntunan hukum modern, di mana bukti-bukti

autentik merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari, demi pencapaian

tujuan wakaf itu sendiri.101

Istinbath hukum yang sebaiknya dilakukan adalah mengarahkan pada

substansi dari maksud wakaf bukan menisbatkan pada sedekah. Pada posisi ini

menurut saya tepat jika mengutamakan kemaslahatan umun, yaitu dengan

mengutamakan atau menitikberatkan pada nilai-nilai kemaslahatan manusia,

maksudnya disini meskipun dalam teks di bolehkannya wakaf pada diri

sendiri, tetapi maksud syari’at dalam masyarakat tidak menginginkan wakaf

pada diri sendiri karena tidak sesuai dengan tujuan utama wakaf.

101 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media,2001, Hlm.125.

50

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada dua kesimpulan terkait dengan kebolehan wakaf untuk diri sendiri

menurut Ibnu Hazm:

1. Dalam hal wakaf kepada diri sendiri Ibnu Hazm di latarbelakangi oleh

pemikirannya yang tekstualis, dan beliau tidak mau terikat dengan suatu

mazhab yang menggunakan qiyas. Dari pemikirannya Ibnu Hazm itulah

muncul pendapat beliau tentang wakaf kepada diri sendiri yaitu: seseorang

dibolehkan untuk menahan harta wakaf kepada orang yang dicintainya

atau kepada dirinya sendiri kemudian diserahkan kepada siapa pun yang

dikehendakinya. Tetapi dalam masalah wakaf kepada diri sendiri belum

sesuai dengan kemaslahatan.

2. Istinbath hukum Ibnu Hazm mengenai kebolehan wakaf kepada diri

sendiri yaitu beliau menggunakan metode yang ke empat yaitu al-Dalil

yang mana Al-dalil dalam pandangan Ibnu Hazm adalah sesuatu yang

diambil secara langsung dari nash, menurut saya tepat jika mengutamakan

kemaslahatan umun, yaitu dengan mengutamakan atau menitikberatkan

pada nilai-nilai kemaslahatan manusia, maksudnya disini meskipun dalam

teks di bolehkannya wakaf pada diri sendiri, tetapi maksud syari’at dalam

masyarakat tidak menginginkan wakaf pada diri sendiri karena tidak sesuai

dengan tujuan utama wakaf.

51

B. Saran-Saran

Kesimpulan di atas, janganlah dijadikan pedoman final, tetapi

sebagai landasan awal untuk proses pengkajian lebih lanjut, sehingga upaya

pembaharuan pemahaman Islam perlu dilakukan secara terus menerus supaya

lebih dinamis dan akomodatif terhadap persoalan peradaban dan realitas

masyarakat.

C. Penutup

Alhamdulillah, berkat petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT,

penulisan skripsi ini dapat terselesaikan, meskipun dengan segala keterbatasan

dan kekurangan. Namun, penulisan skripsi ini sudah dilakukan secara optimal,

dan penulis yakin bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran

dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini selalu dinantikan.

52

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Gani, , Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata HukumIndonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Abdul Aziz, Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,1997.

Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah WakafDi Negara Kita, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Abu Zahrah, Muhammad, Usul Fiqh, ( Dar al-Fikr, ttp, tt)

Al-Amidi, Saifuddin Abi Hasan 'Ali bin 'Ali bin Muhammad, al-Ihkam fi Usulal-Ahkam, (Beirut :Dar al-Fikri,147 H/1996 M), .I:139.

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, Jakarta: Dompet DhuafaRepublik dan IIman, 2004.

Al-Maragyi, Ahmad Mustofa, Tafsir Al-Maragyi Juz XXII, Semarang, CV TohaPutra, 1989.

Al-Munawir, Said Agil Husin, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, Jakarta:Penamadani, 2004.

Al Raysuni, Ahmad, Ijtihad Antara Teks Realita dan Kemaslahatan Sosial,Jakarta: Erlangga, 2002

Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu Juz 8, Beirut: Dar al-fikr,t.th.

Anshari Abdul Ghofur, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia,Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PTRineka Cipta, 2006.

As-Shidieqy, Teng ku Muhammad Hasbi, Pokok-pokok Pegangan ImamMadzhab, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997

As Syarbini As Syeikh Muhammad Khatib Mughni Al-Muhtaj, juz 2, hlm. 380.

___________, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang,1973.

53

Daud Ali, Mohamad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI. Press,1998.

Departemen Agama, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat danWakaf, Cet. 6, 2006.

___________, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, DirektoratPemberdayaan Wakaf, Bunga Rampai Perwakafan, Jakarta: 2006

___________, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, DirektoratPemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan dan PengembanganWakaf, Jakarta: 2006.

___________, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, PeraturanPerundangan Perwakafan, Jakarta: 2006.

___________, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam ProyekPeningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN,Ensiklopedi Islam, 1993.

___________, Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal215 ayat (1).

___________, RI, Al Qur an dan Terjemahannya, Jakarta, YayasanPenyelenggara Penterjemah al-Qur’an.

Halim, Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Hazm, Ibnu, Al-Ihkam fi al-Ushul al-Ahkam, Jilid I, Beirut-Libanon: Dar al-Kutubal-Ilmiah, t.th.

___________, Al Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al Fikr, t.th.

IAIN Syrif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Jambatan, 1992.

Imam Muslim, Shohih Muslim, Juz III, Dar al-Kutub al-Ilmiah, t. th,

___________, Muslim, Shohih Muslim juz II, Beirut: Dar Al kutub Al ilmiyah,t.th.

Junaidi, Achmad dan Thobieb al-Asyhar, Menuju era Wakaf Produktif SebuahUpaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Mitra AbadiPress, Cet. ke-3, 2006.

Juniyanto, Analisis pendapat Ibnu Abidin Tentang Wakaf Yang Digadaikan,Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Semarang: 2006.

54

Kahmad, Dadang, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu PerbandinganAgama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.

Karsiyati, Analisis Pendapat Imam Syafi i Tentang Jual Beli Harta Wakaf,Fakultas Syari”ah IAIN Walisongo, Semarang: 2007.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Kutub, 1986.

Majjah, Ibnu, Sunan Ibnu Majjah, Juz II, Dar al Fikr, t.th.

Moelyono, Anton M., (et.al), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta:Balai Pustaka, 1989.

Mubarak, Dr. Jaih, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, PT.RemajaRosada Karya, 2000.

As Shan’ani, Terjemahan Subulussalam, Muhammad Abubakar, Semarang, Al-ikhlas, 1995

Muhson, Machmudi, http://elshohwah.tripod.com/makalah/Diskusi%201.htm,diakses tanggal 19 April 2008.

Nasution, Harun, et all., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.

Pasaribu, Chairuman, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,Jakarta: Sinar Grafika, Cet-02, 1996.

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Alqensindo, 2007.

Rifa’I, Muhammad, Ushul Fiqh, Semarang: Wicaksana, 1991.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I,1995.

___________, Fiqh Kontekstual: dari Normative ke Pemahaman Sosial,Semarang: Pustaka Pelajar, 2004.

___________, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, GamaMedia, 2001.

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an,Ciputat: Lentera Hati, 2005.

Sihendi, Hendi, Fiqh Muamalah; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Souyb, Yoesoef , Pemikiran Islam Merobah Dunia, Jakarta: Maju, 1984

55

Subagyo P. Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT RinekaCipta,1991.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2003.

Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi,Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000.

Undang-Undang RI no 41 tahun 2004, pasal 1 ayat 1.

Wadjdy, Farid dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat (filantropi Islamyang Hampir Terlupakan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Wijaya Suwarta, Asbabul Wurud 1 Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-hadits Rasul, Jakarta: Kalam Mulia, 2006.

Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh Al-Mazhahib Al-Islamiyah, Juz I, Beirut : DarKutubil Ilmiyah, 1989.

Zidny, Irfan, et al., Kamus Arab-Indonesia Kosa Kata Populer, Jakarta: DianRakyat, 1998.

56

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : SAIFUDDIN ASRO

NIM : 2103130

Tempat, Tanggal Lahir : Jepara, 27 Desember 1984

Fakultas / Jurusan : Syari’ah / Ahwal al-Syakhshiyah

Alamat Asal : Jl. Raden Tubagus RT: 01 / 01 Jepara 59419 Jawa

Tengah.

JENJANG PENDIDIKAN:

1. MI ’Hidayatul Mubtadi, Lulus Tahun : 1997

2. SLTP 3 Jepara, Lulus Tahun : 2000

3. MA Walisongo Jepara, Lulus Tahun : 2003

4. IAIN Walisongo Semarang Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal al-

Syakhshiyah Angkatan : 2003

57

BIODATA

Nama : Saifuddin Asro

Tempat, Tanggal Lahir : Jepara 27 Desember 1984

Agama : Islam

Alamat Asal : Jl. Raden Tubagus Rt: 01/01 Jepara 59419 Jawa Tengah

Nama Ayah : Saiful A’zaz

Nama Ibu : Fatwati

Alamat : Jl. Raden Tubagus Rt: 01/01 Jepara 59419 Jawa Tengah

58