studi komparatif hisab gerhana bulan dalam...
TRANSCRIPT
i
STUDI KOMPARATIF
HISAB GERHANA BULAN DALAM
KITAB AL-KHULASHAH AL-WAFIYYAH
DAN EPHEMERIS
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
WAHYU FITRIA
NIM : 0 7 2 1 1 1 0 8 2
KONSENTRASI ILMU FALAK
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
S E M A R A N G
2011
ii
iii
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang
pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-
pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 13 Juni 2011
Deklarator
Wahyu Fitria
0 7 2 1 1 1 0 82
v
ABSTRAK
Gerhana bulan merupakan fenomena unik yangmana pada zaman dahulu
fenomena alam ini ditakuti oleh masyarakat. Bahkan pada zaman Rasulullah
fenomena gerhana diyakini masyarakat sebagai suatu pertanda akan lahir atau
meninggalnya seseorang. Berbeda dengan zaman sekarang, fenomena unik ini
dijadikan ajang observasi dan kajian ilmiah masyarakat, akan tetapi sangat sedikit
yang melakukannya, karena tidak banyak orang yang mengetahui perhitungan
tentang gerhana, sehingga tidak tahu kapan gerhana itu terjadi.
Untuk mengetahui kapan gerhana bulan ini terjadi, ulama menggolongkan
atas hisab ‘urfi (istilahi) dan hisab haqiqi (haqiqi bi al-taqrib, haqiqi bi al-tahqiq
dan kontemporer). Ilmu hisab tersebut ada yang tertuang dalam bentuk buku,
software dan kitab. Salah satu ilmu hisab yang tertuang dalam kitab adalah kitab
al-Khulashah al-Wafiyyah yang tergolong hisab haqiqi bi al-tahqiq. Meskipun
tergolong kitab haqiqi bi al-tahqiq, semua bentuk hisab dimunculkan dalam kitab
al-khulashah al-wafiyyah, mulai dari hisab 'urfi, hisab haqiqi bi al-taqrib dan
hisab haqiqi bi al-tahqiq. Dalam menghitung terjadinya gerhana bulan, kitab ini
ada yang datanya diambil dari data logaritma. Kitab yang dibuat pada tahun 1930-
an ini sampai sekarang masih digunakan, bahkan menjadi bahan rujukan
dibeberapa lembaga keilmuan falak. Berangkat dari sinilah penulis mencoba
menelaah bagaimanakah metode yang digunakan oleh kitab al-Khulashah al-
Wafiyyah dan ephemeris serta bagaimana dasar hukum hisab gerhana bulan yang
digunakan kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dan ephemeris.
Untuk mempermudah penyelesaian skripsi ini, penulis menggunakan
metode Library research (penelitian kepustakaan). Sumber data primernya
yaitu data yang diperoleh dari kitab al-Khulashah al-Wafiyyah, sedangkan data
sekundernya adalah seluruh dokumen, buku-buku dan juga hasil wawancara yang
berkaitan dengan obyek penelitian. Data-data tersebut dianalisis dengan cara
pendekatan Kualitatif yaitu berupa metode content analisis atau analisis isi. Selain
itu penulis juga menggunakan analisis komparatif, dalam hal ini akan penulis
komparasikan hisab kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dengan hisab kontemporer.
Menurut penulis, metode hisab kitab al-Khulashah al-Wafiyyah jika
dibandingkan dengan hisab kontemporer, maka hasilnya masih di bawah hisab
kontemporer, karena data-data yang di gunakan hisab kontemporer lebih valid dan
lebih akurat, dan dalam pengambilan datanyapun sudah menggunakan tabel yang
sudah diprogram dalam komputer. Metode dan data yang berbeda menyebabkan
adanya hasil yang berbeda pula. Bahkan seorang hasib yang melakukan
perhitungan manual akan menghasilkan perhitungan yang berbeda dengan hasib
lainnya yang menghitung secara manual juga. Selain itu dalam setiap hisab
tentunya terdapat kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki.
Dan dasar yang digunakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah yang
menjelaskan bahwa gerhana terjadi bukan karena kematian atau hidupnya
seseorang. Karena gerhana merupakan salah satu tanda keEsaan Allah yang
diperlihatkan pada ummat manusia.
Kata kunci: Hisab, Gerhana Bulan, Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah-ephemeris
vi
M O T T O
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang,
matahari dan bulan. janganlah bersujud kapada matahari dan jangan
pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang
Menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kapada-Nya”.1
(QS. Fushshilat: 37)
1 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Bandung: Syaamil Cipta
Media, 2005, hlm 480.
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Bapak dan Ibu tercinta
(Daryadi dan Hartik Sri Wahyuni)
yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kasih sayang.
Terima kasih atas pengorbanan, nasehat dan doa yang tiada
hentinya kalian berikan kepadaku selama ini.
Adik-adikku tersayang (Risca Wulandari (bul-bul), Evi Yulianingsih (si-
centil), Ahmad Abdul Ghani, Ahmad Jauhari Amsar) dan seluruh
keluarga besarku tercinta, dukungan serta doa kalian, semoga Allah
membalas kebaikan kalian semua.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah serta ‘inayahnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul: Studi Analisis Hisab Gerhana Bulan
dalam Kitab Al-Khulashah Al-Wafiyyah, dengan baik tanpa banyak kendala
yang berarti. Shalawat serta salam senantiasa penulis sanjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya
yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang
benderang seperti sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, penulis
sampaikan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala do’a,
perhatian, pengorbanan, nasehat dan curahan kasih sayangnya yang tidak
dapat penulis ungkapkan dalam untaian kata-kata.
2. Kementerian Agama RI PD. Pontren, yang telah memberi kesempatan
mendapat Beasiswa Santri berprestrasi selama penulis menempuh
pendidikan S1 di IAIN Walisongo Semarang .
3. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya), beserta
Pembantu-pembantu Dekan, yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk menulis skripsi dan memberikan fasilitas belajar selama belajar di
IAIN Walisongo Semarang.
4. Muhammad Saifullah, M. Ag selaku pembimbing I, atas bimbingan dan
pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas.
ix
5. Ahmad Syifaul Anam, S.H.I, M.H selaku pembimbing II, atas bimbingan
dan arahan serta selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
6. Mohammad Arja Imroni, M. Ag selaku Kaprodi, dan Drs. Eman
Sulaeman, M.H. (Kaprodi sebelumnya) beserta segenap pengelola Prodi
Konsentrasi Ilmu Falak, yang selalu memberikan kasih sayang dan telah
bersusah payah memberikan arahan dan bimbingan sepenuhnya kepada
penulis dan teman-teman KIF lainnya selama belajar di Semarang, serta
dosen-dosen dan karyawan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang,
atas segala didikan, bantuan dan kerjasamanya.
7. Drs Slamet Hambali, selaku Kyai penulis yang telah memberi pemahaman
tentang Ilmu Falak.
8. Drs Anshori (ahli waris Zubair Umar al-Jaelany) atas wawancaranya dan
semua data serta informasinya yang diberikan kepada penulis.
9. Kyai Siradj Khudlari dan H. Ahmad Izzuddin, M. Ag selaku Pengasuh
Pondok Pesantren Daarun Najaah di mana penulis tinggal selama kuliah di
IAIN Walisongo Semarang, atas do’a, motivasi, nasehat dan bimbingan
yang diberikan kepada penulis.
10. Keluarga Besar Ponpes Darul Ulum Jombang, Abah Kholil, para Ustadz/
Ustadzah atas segala motivasi dan ilmu yang diberikan.
11. Teman-teman CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang khususnya teman-
teman angkatan 2007, Genk Star tercinta (Yoyo, Usro, Anop, Jadul, Ibor,
Mahyo, Niez, Entong, Katrok, Mbah Uti, Saroful, Bekong, Ada Ben,
Nyonyon, Ipeh, Opil, Aro, Ifa, Mbah Anshor, Gus Kriwil, Iyan, Oji, Jay
ndut, Gus Faqih, Ncep, Yosi, Sule, Hasan, Remon).
12. Gus Sayful Mujab, S.H.I, M.S.I., dan Ahmad Fadholi S.H.I atas segala
bantuan dan pengarahannya, Purwanto (angkatan 08), Chanif (angkatan
08), masrurah (angkatan 08), dan seluruh teman yang meminjamkan
notebooknya dalam rangka penulisan skripsi ini dan teman-teman yang
tidak dapat penulis sebutkan, trima kasih untuk semuanya.
x
13. Segenap santriah Pondok Pesantren Putri Daarun Najaah khususnya
Kamar pantai (bul-bul, yen-yen, gep-gep, otong, mak cik, panjul, oles).
14. Teman-teman KKN ke-56, khususnya posko 18, dan seluruh kerabat di
Desa Bulu Kecamatan Banyuputih Kabupaten Batang, cacak, nyon, mbak
risma, mas yan, mas ndon, mas astro dan mas troy.
15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada
penulis selama studi di Prodi Ilmu Falak Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
16. Dan yang terakhir adalah kepada seorang kekasih terkasih yang cintanya
selalu bersemi dan selalu setia mendampingi, menghibur dan menjadi
spirit dengan kekuatan cinta dan kasih sayang juga kesetiaan atas
terselesainya skripsi ini.
Atas semua kebaikannya, penulis hanya mampu berdo’a semoga Allah
membalas semua kebaikan kalian dengan balasan yang lebih baik.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca umumnya. Amin.
Semarang, 13 Juni 2011
Penulis,
Wahyu Fitria
NIM. 072111082
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL SKRIPSI ....................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................. iv
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................. v
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................... viii
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 14
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 15
D. Telaah Pustaka ................................................................. 15
E. Metode Penelitian ............................................................. 17
F. Sistematika Penulisan ...................................................... 19
BAB II HISAB RUKYAH GERHANA BULAN
A. Pengertian Gerhana Bulan.................................................. 20
B. Macam-macam Gerhana Bulan .......................................... 30
C. Dasar Hukum Gerhana Bulan ........................................... 36
D. Obyek Pembahasan Gerhana Bulan ................................... 39
E. Sejarah Gerhana Bulan ....................................................... 44
BAB III METODE HISAB GERHANA BULAN DALAM KITAB AL-
KHULASHAH AL-WAFIYYAH DAN EPHEMERIS
A. Biografi Intelektual Zubair Umar al-Jaelany ................... 49
xii
B. Gambaran Umum tentang Kitab al-Khulashah al-
Wafiyyah ......................................................................... 53
C. Konsep Hisab Gerhana Bulan dalam Kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah ..................................................... 57
D. Sejarah Ephemeris .......................................................... 68
E. Konsep Hisab Gerhana Bulan dalam Ephemeris ............. 74
BAB IV ANALISIS METODE HISAB GERHANA BULAN DALAM
KITAB AL-KHULASHAH AL-WAFIYYAH DAN
EPHEMERIS
A. Analisis terhadap metode hisab gerhana bulan dalam
kitab al-Khulasah al-Wafiyah dan Ephemeris ................. 80
B. Analisis Dasar Hukum hisab gerhana bulan yang
digunakan dalam kitab al-Khulasah al-Wafiyah dan
Ephemeris ......................................................................... 96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 104
B. Saran-Saran ...................................................................... 105
C. Penutup ............................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Fenomena gerhana sudah sering didengar, bahkan fenomena ini sering
dibicarakan dan kehadirannya dikaitkan dengan pertanda zaman atau pertanda
sesuatu yang menyeramkan. Akibatnya bila melakukan sesuatu yang dianggap
tidak biasa ketika fenomena ini terjadi, akan mendapat musibah yang besar.1
Gerhana merupakan padanan kata eclipse (dalam bahasa inggris) atau
ekleipsis (dalam bahasa yunani) atau eklipsis (dalam bahasa latin).2 Sedangkan
dalam bahasa arab dikenal dengan istilah kusuf atau khusuf 3. Pada dasarnya
istilah kusuf dan khusuf dapat digunakan untuk menyebut gerhana matahari
atau gerhana bulan. Hanya saja, kata kusuf lebih dikenal untuk menyebut
gerhana matahari, sedangkan kata khusuf untuk gerhana bulan.4
Kusuf berarti menutupi, menggambarkan adanya fenomena alam
bahwa (dilihat dari bumi) bulan menutupi matahari, sehingga terjadi gerhana
matahari. Sedangkan khusuf berarti memasuki, menggambarkan fenomena
alam bahwa bulan memasuki bayangan bumi, hingga terjadi gerhana bulan.5
Zaman dahulu gerhana merupakan fenomena alam yang ditakuti oleh
masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari penamaan gerhana dengan kata eclipse
(gerhana) yang berasal dari bahasa yunani Ekleipsis (peninggalan), yang
1 Kementrian Agama RI, Islam Untuk Disiplin Astronomi, Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, hlm 76. 2 Ibid.
3 Abis Bisri, et al, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif, Cet ke 1, 1999, hlm 84.
4 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka,
2008, Cet ke 3, hlm 187. 5 Ibid,
2
menunjukkan betapa orang-orang zaman dahulu takut terhadap fenomena ini,
yaitu sewaktu matahari ataupun bulan lenyap dari pandangan mata, tampak
benda langit itu sungguh-sungguh meninggalkan manusia. Mereka menyangka
fenomena gerhana merupakan tanda-tanda kurang baik atau bencana.6 Zaman
Rasulullah SAW pun fenomena gerhana ini diyakini masyarakat sebagai suatu
pertanda akan lahir atau meninggalnya seseorang. Namun keyakinan ini
dibantah oleh hadits yang diriwayatkan Bukhari yang berbunyi:
أخبري عورعي عبذ الرحوي بي القاسن حذث عي أبي عي : أخبري ابي ب قال: حذثا أصبغ قال
إى الشوس القور ال يخسفاى : ابي عور رضي اهلل عوا أ كاى يخبر عي البي صل اهلل علي سلن
(را البخار)لوث أحذ ال لحيات لكوا ايتاى هي اياث اهلل فإرا ر أيتووا فصلا
Artinya: “Asbagh telah bercerita kepada kami bahwasanya ia berkata: Ibnu
Wahab telah bercerita kepada-ku, ia berkata: telah bercerita
kepada-ku Umar dari Abdur Rahman bin Qasim bahwa ia telah
bercerita kepada-nya dari ayah-nya. Dari Ibnu Umar r.a,
bahwasanya Umar mendapat berita dari Nabi SAW: sesungguhnya
matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian
atau hidupnya seseorang, tapi keduanya merupakan tanda diantara
tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat keduanya
(gerhana), maka shalatlah.”
Hadits di atas dapat dimengerti bahwasanya terjadinya gerhana bukan
karena kematian atau hidupnya seseorang, melainkan sebagai salah satu tanda
kebesaran Allah, sehingga bisa direnungkan kembali tanda keMahabesaran-
Nya sebagai penguasa dan pemelihara langit yang tak pernah lengah.
6 Disampaikan oleh Shofiyulloh pada waktu “Kajian Ilmiah Falakiyah” para ahli hisab
PWNU Jawa Timur di P.P. As-Sunniyyah Kencong Jember yang dilaksanakan tanggal 29 - 31
Agustus 2003. Dan bisa di akses di http://lubanghitam.com// (di akses tanggal 7 maret 2010). 7 Imam Abi „Abdillah Muhammad bin Ismail ibnu Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardazabah al Bukhari al Ja‟fii, “Shahih al-Bukhari”, Juz 1, Beirut, Libanon: Daar al-Kitab al-
„alamiyyah, t.t, hlm 316.
3
Berbeda dengan zaman modern sekarang, fenomena gerhana tidak lagi
ditakuti manusia, malah dijadikan sebagai ajang observasi dan kajian ilmiah,
hal ini disebabkan fenomena gerhana dapat dijelaskan dengan sempurna dan
logis sebagai suatu fenomena langit yang mana semua benda langit berada di
sekitar Matahari dan di terangi olehnya, masing-masing mempunyai bayangan
yang menjulur ke dalam ruang angkasa, menjauhi matahari.8
Secara umum, fenomena gerhana adalah suatu peristiwa jatuhnya
bayangan benda langit ke benda langit lainnya, yang kadangkala benda langit
tersebut menutupi seluruh piringan matahari, sehingga benda langit yang
kejatuhan bayangan benda langit lainnya, tidak bisa menerima sinar matahari
sama sekali. Dan kadangkala benda langit tersebut menutupi sebagian piringan
matahari, sehingga benda langit yang kejatuhan bayangan benda langit
lainnya, hanya bisa menerima sebagian sinar matahari.9
Dalam ilmu falak, gerhana hanyalah merupakan kejadian terhalangnya
sinar matahari oleh bulan yang akan sampai ke permukaan bumi (gerhana
matahari). Atau terhalangnya sinar matahari oleh bumi yang akan sampai ke
permukaan bulan pada saat bulan purnama (gerhana Bulan). Semua ini
memang merupakan kebesaran dan kehendak Tuhan semesta.10
Ilmu astronomi, mengartikan fenomena gerhana dengan tertutupnya
arah pandangan pengamat ke benda langit oleh benda langit lainnya yang
8 Shofiyulloh, Loc. Cit.
9 Shofiyulloh, Loc. Cit.
10 Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm 20.
4
lebih dekat dengan pengamat.11
Menurut Cecep Nurwendaya / Widya Sawitar,
fenomena gerhana adalah peristiwa yang sangat wajar dan biasa terjadi. Hal
ini dilihat dari sifat Bulan yang mengedari Bumi, sementara Bumi mengedari
Matahari. Bumi dan Bulan sama-sama tidak memancarkan cahaya sendiri,
hanya mendapat cahaya utamanya dari Matahari. Dengan demikian, akan
dimengerti kalau Bumi dan Bulan memiliki bayang-bayang, baik bayang-
bayang utama yang disebut umbra12
maupun bayang-bayang samar atau
penumbra13
. Jadi dapat dimaklumi juga apabila permukaan Bumi terkena
bayang-bayang Bulan, terjadilah gerhana Matahari, Atau sebaliknya, jika
Bulan memasuki bayang-bayang Bumi, maka akan terjadi gerhana Bulan.14
Dalam kehidupan nyata, masalah gerhana ini jarang dibahas, tidak
seperti halnya masalah penentuan awal bulan kamariyah, pelurusan arah kiblat
dan sebagainya yang sering mendapat perhatian khusus. Padahal ketika terjadi
gerhana juga terdapat unsur ibadah. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Aisyah yang berbunyi:
حذثا عبذ اهلل بي هسلوت عي هالكالعي عشام بي عرة عي أبي عي عائشت أى رسل اهلل صل اهلل علي
فإرا رأيتن رلك فادعا , إى الشوس القور ايتاى هي اياث اهلل اليخسفاى لوث أحذ ال لحيات: سلن قال
(را البخار)اهلل كبرا صلا تصذقا
11
Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak (Metode Hisab-Rukyat dan Solusi Permasalahannya),
Semarang: Komala Grafika, 2006, hlm 79 12
Umbra adalah sebutan umum bagi daerah tergelap suatu bayangan yang sama sekali
tidak mendapat sumber cahaya. 13
Penumbra adalah sebutan umum daerah bayangan yang tidak sepenuhnya gelap. 14
Disampaikan oleh Cecep Nurwendaya/Widya Sawitar pada waktu pelatihan Gerhana
Bulan Sebagian di Planetarium dan Observatorium Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi
Provinsi DKI Jakarta yang bertepatan pada hari kamis – jum‟at yang bertepatan tanggal 7-8
September 2006, dan juga bisa diakses di www.dikmentidki.go.id (tanggal akses, 7 maret 2010). 15
Shahih al-Bukhari, Op cit, hlm 317.
5
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Musallamah dari
Malikan dari „Isyam bin Urwah dari ayahnya „Isyam dari „Aisyah
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya matahari dan
bulan merupakan salah satu tanda dari beberapa tanda kebesaran
Allah, dan tidak mengalami gerhana karena kematian atau hidupnya
seseorang, maka apabila kamu melihat keduanya (gerhana matahari
dan bulan) hendaklah berdo‟a kepada Allah, bertakbir, melaksanakan
shalat dan bersedekah.”
Hadits tersebut menjelaskan bahwasanya ketika terjadi gerhana, baik
gerhana matahari maupun gerhana bulan, Rasulullah SAW menganjurkan
kepada kita untuk melaksanakan shalat gerhana, memperbanyak do‟a,
memperbanyak takbir dan memperbanyak shadaqah. Hal ini menunjukkan
bahwa betapa pentingnya fenomena gerhana ini, karena dengan adanya
fenomena ini dapat meningkatkan ketaqwaan kepada sang Maha Pencipta.
Dilihat dari kaca mata fiqh hisab rukyah, dalam persoalan gerhana,
khususnya gerhana bulan, tidak tampak adanya sekat atau persoalan yang
terjadi antara madzhab hisab dan madzhab rukyah, walaupun pada dasarnya
kedua madzhab tersebut juga ada dalam persoalan gerhana matahari dan
gerhana bulan. Madzhab hisab yang disimbolkan mereka dengan memakai
cara menghitung (kapan) terjadi gerhana, dan madzhab rukyah yang
disimbolkan oleh mereka yang menyatakan terjadi gerhana dengan langsung
melihatnya.16
Gerhana Bulan mulai terjadi ketika bulan memasuki penumbra dan
berakhir ketika bulan meninggalkan penumbra. Namun, terjadi sedikit
penggelapan yang berarti sampai bulan memasuki umbra.17
Artinya gerhana
16
Ahmad Izzuddin, Loc. cit. 17
Berdnard S. Cayne dkk, Ilmu Pengetahuan Populer, Edisi 13, Jakarta: CV Prima
Printing, 2005, hlm 144.
6
bulan ini terjadi pada saat istiqbal (oposisi),18
yakni sekitar tanggal 14, 15, 16
(pada saat bulan purnama) dalam bulan kamariyah. Lihat gambar 1:
Gambar 1: Gerhana Bulan
Jika kita memperhatikan piringan bulan yang memasuki bayangan inti
bumi (seperti gambar di atas), maka gerhana bulan terdiri dari empat macam,
yaitu gerhana Bulan Total, gerhana Bulan Sebagian, gerhana Bulan Penumbra
Total dan gerhana Bulan Penumbra Sebagian.19
Gerhana Bulan Total terjadi manakala posisi bumi-bulan-matahari
terletak pada satu garis lurus, sehingga seluruh piringan bulan berada di dalam
bayangan inti bumi atau Umbra bumi. Inilah saat fase gerhana maksimum
gerhana, maksimum durasi terjadi gerhana Bulan Total bisa mencapai lebih
dari 1 jam 47 menit. Sedangkan gerhana Bulan Sebagian terjadi manakala
18
Istiqbal artinya berhadapan, yaitu suatu fenomena saat matahari dan bulan sedang
berhadap-hadapan, sehingga antara keduanya memiliki selisih bujur astronomi sebesar 180˚. Pada
saat ini pula bulan berada pada phase purnama. Dalam ilmu astronomi istiqbal ini dikenal dengan
oposisi. Lihat Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm 38. 19
Disampaikan pada Diklat Hisab Rukyah Tingkat lanjut di Lingkungan Depertemen
Agama Provensi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, oleh Ahmad Izzuddin, yang diselenggarakan
oleh Kementrian Agama RI Balai Pendidikan Dan Pelatihan Keagamaan Semarang, hari Kamis-
Senin, 29 Oktober – 9 November 2009 di MAJT Semarang.
7
posisi bumi-bulan-matahari tidak pada satu garis lurus, sehingga hanya
sebagian piringan bulan saja yang memasuki bayangan inti bumi dan sebagian
lagi berada dalam bayangan tambahan / Penumbra Bumi pada saat fase
maksimumnya.
Pada gerhana bulan jenis ke- 3 ini, seluruh bulan masuk ke dalam
penumbra pada saat fase maksimumnya. Tetapi tidak ada bagian bulan yang
masuk ke umbra atau tidak tertutupi oleh penumbra. Pada kasus seperti ini,
gerhana Bulannya kita namakan gerhana Bulan Penumbral Total. Dan gerhana
Bulan jenis terakhir ini, jika hanya sebagian saja dari bulan yang memasuki
penumbra, maka gerhana Bulan tersebut dinamakan gerhana Bulan Penumbra
Sebagian. Gerhana Bulan Penumbra biasanya tidak terlalu menarik bagi
pengamat. Karena pada gerhana Bulan jenis ini, penampakan gerhana hampir-
hampir tidak bisa dibedakan dengan saat bulan purnama biasa.
Jadi fenomena gerhana bulan ini, bisa diibaratkan jatuhnya bayangan
bumi kepermukaan bulan pada saat matahari dan bulan berhadapan dalam satu
garis lurus. Keadaan seperti ini menjadikan sinar matahari tidak dapat
menerobos ke bulan karena terhalang bumi.20
Akibatnya bulan tidak dapat
memantulkan sinar matahari ke bumi, sebab seperti yang kita tahu bahwa
bulan tidak bercahaya tapi hanya memancarkan sinar.
Kendati pada zaman sekarang fenomena ini menjadi ajang observasi
dan kajian ilmiah masyarakat, akan tetapi sangat sedikit yang melakukannya,
20
Abdul Karim, Mengenal Ilmu Falak, Semarang Timur: Intra Pustaka Utama, Cet ke 1,
2006, hlm 28.
8
karena tidak banyak orang yang mengetahui perhitungan tentang gerhana,
sehingga mereka tidak tahu kapan gerhana terjadi.
Perhitungan tentang Gerhana Bulan sudah dikenal sejak zaman
Babilonia. Hingga sekarang, perhitungan tersebut semakin berkembang,
bahkan sudah dapat menghitung detik-detik terjadi dan berakhirnya Gerhana
Bulan. Sebagaimana yang diketahui, Ilmu hisab merupakan ilmu yang
berkembang terus menerus dari zaman ke zaman. Ini menandakan bahwa
tingkat keakurasian dan kecermatan hasil perhitungannya akan semakin tinggi.
Aliran-aliran hisab di Indonesia jika ditinjau dari segi sistem
perhitungannya dan tingkat keakurasiannya dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yakni:21
1. Hisab „urfi
Hisab „urfi hanya didasarkan kepada kaidah-kaidah umum dari gerak atau
perjalanan bulan mengelilingi Bumi dalam satu bulan sinodis, yakni satu
masa dari ijtima‟ / konjungsi yang satu ke konjungsi lainnya. Hisab ini
dinamakan hisab „urfi karena kegiatan perhitungannya didasarkan pada
kaidah-kaidah yang bersifat tradisional, yaitu hanya didasarkan pada garis-
garis besarnya saja. Sistem perhitungan hisab urfi ini senantiasa
menggunakan bilangan tetap yang tidak pernah berubah. Oleh karena itu,
terkadang hasil perhitungannya berbeda dengan hasil dari perhitungan
hisab haqiqi.
21
Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Op cit, hlm 37-39.
9
2. Hisab haqiqi
Hisab haqiqi adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan
dan bumi yang sebenarnya. Sejarah hisab haqiqi dapat dirunut dari sejarah
hisab haqiqi bi al-taqrib, karena dalam konteks Indonesia hisab haqiqi
dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi, yaitu hisab haqiqi bi al-taqrib
dan hisab haqiqi bi al-tahqiq dan hisab haqiqi kontemporer.22
a. Hisab haqiqi bi al-taqrib
Hisab haqiqi bi al-taqrib, sesuai dengan julukannya, hasilnya
baru mendekati kebenaran, dan sistemnya sangat sederhana. Hisab
haqiqi bi al-taqrib ini dapat dihitung dan diselesaikan tanpa kalkulator
dan komputer, karena sistem perhitungannya kebanyakan hanya
menambah dan mengurangi belum menggunakan rumus-rumus
segitiga bola. Hisab haqiqi bi al-taqrib adalah hisab yang datanya
bersumber dari data yang telah disusun dan telah dikumpulkan oleh
Ulugh Beyk As-Syamarqand (w.1420M). Data ini merupakan hasil
pengamatannya yang didasarkan pada teori Geosentris (bumi sebagai
pusat peredaran benda-benda langit).
Sistem hisab haqiqi bi al-taqrib ini dapat dijumpai dalam kitab
As-Sulam an-Naiyyirain karya Manshur al-Battawiy, Fatkhur-Rauf al-
Mannan karya Abdul Djalil Kudus, dan dalam kitab al-Khulashah al-
Wafiyyah karya Zubair Umar al-Jaelany. Dalam kitab As-Sulam an-
Naiyyirain dan kitab Fatkhur-Rauf al-Mannan, sistem haqiqi bi al-
22
Disampaikan pada Seminar sehari oleh Drs Slamet Hambali, yang diselenggarakan
oleh Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo semarang, hari Sabtu, 7 Nopember 2009 di Kampus
IAIN Walisongo Semarang.
10
taqrib sudah final, sedangkan dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah,
sistem haqiqi bi al-taqrib belum final, baru proses awal yang harus
dilalui untuk melakukan hisab haqiqi bi al-tahqiq.
b. Hisab haqiqi bi al-tahqiq
Hisab haqiqi bi al-tahqiq, merupakan lanjutan dari hisab haqiqi
bi al-taqrib. Dalam hisab haqiqi bi al-tahqiq proses perhitungannya
mendetail, dengan menggunakan rumus-rumus segitiga bola. Hisab
haqiqi bi al-tahqiq adalah hisab yang metode perhitungannya
berdasarkan data astronomis yang diolah dengan spherical
trigonometri (ilmu ukur segi tiga bola) dengan koreksi-koreksi gerak
Bulan maupun Matahari yang sangat teliti. Dalam menyelesaikan
perhitungannya digunakan alat-alat perhitungan misalnya kalkulator
ataupun komputer. Salah satu kitab yang membahas perhitungan
gerhana Bulan yang sudah menggunakan sistem ini adalah Nurul
Anwar karya Noor Ahmad Jepara dan al-Khulashah al-Wafiyyah karya
Zubair Umar al-Jaelany Salatiga. Meskipun kitab-kitab tersebut
perhitungannya termasuk sistem hisab haqiqi bi al-tahqiq , akan tetapi
pada dasarnya sistem hisab yang ada pada kitab-kitab falak tergolong
klasik. Karena metode perhitungannya hanya terbatas pada pemikiran
pengarang dari kitab tersebut. Sedangkan dalam segi astronomi, ilmu
hisab terus berkembang tanpa ada keterbatasan.
11
c. Hisab haqiqi kontemporer
Hisab haqiqi kontemporer, adalah sebagaimana sistem hisab
haqiqi bi al-tahqiq yang diprogram dalam komputer yang sudah
disesuaikan dengan perkembangan ataupun temuan-temuan baru. Dan
sistem hisab ini adalah sistem hisab yang paling menonjol dan banyak
digunakan oleh ahli falak sekarang ini. Hisab kontemporer sendiri
tertuang dalam beberapa model. Ada yang berbentuk data yang
disajikan dalam bentuk tabel seperti Astronomical Almanac dan
Ephemeris. Sedangkan yang lain dalam sebuah program komputer
seperti mawaqiit karya Ing Khafid.
Dari sistem perhitungan yang dijabarkan di atas, jika dilihat dari
definisi kedua metode hisab diatas, maka metode hisab haqiqi kontemporer
yang sudah cukup akurat untuk digunakan. Dimana metode tersebut dilakukan
dengan sangat cermat, banyak proses yang harus dilalui, rumus-rumus yang
dipergunakan lebih banyak menggunakan rumus-rumus segitiga bola. Dengan
demikian akan dapat menghasilkan data yang valid untuk diterapkan, terutama
dalam hal penentuan gerhana Bulan.
Akan tetapi terdapat kitab yang tergolong hisab haqiqi bi al-tahqiq
yang dibuat pada tahun 1930-an yang sampai sekarang masih digunakan,
bahkan menjadi bahan rujukan dibeberapa lembaga keilmuan falak, dan hasil
perhitungannyapun hampir mendekati hasil perhitungan hisab haqiqi
kontemporer, yakni kitab al-Khulashah al-Wafiyyah karya Zubair Umar al-
Jaelany, yang mana hisabnya hanya sebatas pemikiran penulis saja.
12
Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah adalah sebuah kitab yang disusun
oleh Zubair Umar al-Jaelany (salah seorang mantan Rektor IAIN Walisongo
Semarang) berkisar pada tahun 1930-1935 M. Beliau menyusun kitab ini di
Makkah al-Mukarramah. Selama berada di Makkah, Beliau berguru kepada
Syaikh Umar Hamdan.23
Oleh karena itu data-data astronomis dalam kitab al-
khulashah al-wafiyyah menggunakan acuan tahun hijriyah menggunakan
markaz Makkah al-Mukaramah, sehingga dalam melakukan perhitungan harus
berhati-hati. Sebab di masa sekarang, pada umumnya waktu atau jam yang
dipakai adalah menggunakan acuan GreenWich, sebagaimana waktu yang
dianut ephemeris dengan sistem WIB, WITA dan WIT yang masing-masing
dengan Green Wich berselisih 7 jam, 8 jam dan 9 jam.
Zubair, yang mempunyai nama lengkap Zubair Umar Al-Jaelany, lahir
di Pandangan kecamatan Pandangan Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur, 16
September 1908 M (Rabu Pahing, bertepatan 19 Sya'ban 1326 H / 1838 Jawa).
Dan wafat di Salatiga pada tanggal 10 Desember 1990 M atau 24 Jumadil ‟Ula
1411 H. Menurut Ahmad Izzuddin,24
beliau adalah seorang Ulama' juga
akademisi yang terkenal sebagai pakar ilmu falak dengan karya
monumentalnya kitab "Al-Khulashah al-Wafiyyah” yang termasuk dalam
kategori haqiqi bi al-tahqiq. Akan tetapi, meskipun tergolong kitab haqiqi bi
al-tahqiq, semua bentuk hisab dimunculkan dalam kitab al-khulashah al-
23
Ahmad Syifa'ul Anam, Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qomariyah Dalam Kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah Dengan Metode Haqiqi bit tahqiq, Skripsi Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang, 1997, hlm 49. 24
Ahmad Izzuddin, Zubair Umar al-Jaelany dalam Sejarah Pemikiran Hisab Rukyah di
Indonesia, Laporan Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang, 2002, hlm 58-61.
13
wafiyyah, mulai dari hisab 'urfi,25
kemudian hisab haqiqi bi al-taqrib lalu
dilanjutkan kepada hisab haqiqi bi al-tahqiq.
Zubair Umar Al-Jaelany menyusun kitab ini karena terpicu oleh
sebuah kasus perselisihan tentang kapan terjadinya gerhana bulan di
masyarakat. Oleh karena itu, Zubair Umar Al-Jaelany merasa terpanggil untuk
menyusun sebuah kitab yang nantinya dapat dijadikan pegangan dalam
perhitungan gerhana Bulan dan lain-lain.26
Dalam kitab ini dijelaskan bahwasanya gerhana Bulan hanya terjadi
ketika posisi istiqbal, yaitu pada saat bulan berada pada garis edar matahari
atau dekat dengan matahari, dimana bumi terletak diantara keduanya sehingga
bayangan bumi yang jatuh ke bulan menghadap ke matahari baik total ataupun
sebagian, sehingga cahaya matahari tidak sampai pada bulan. Dengan
demikian bulan dalam keadaan gelap sebagaimana aslinya, itulah yang disebut
gerhana Bulan.27
Ephemeris adalah hisab yang data-datanya sudah didasarkan pada
peredaran matahari dan bulan setiap jam. Data yang berbentuk tabel tersebut
merupakan data yang sudah di oleh sesuai dengan rumus matematika modern.
Sehingga hasilnyapun akurat jika dibanding dengan hisab haqiqi lainnya.
Hisab inilah yang bayak digunakan oleh kebanyakan ahli falak di Indonesia.
Dalam perhitungan gerhana bulanpun, hasil hisabnya tepat dengan kejadian
saat terjadinya gerhana bulan. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
25
Hisab 'Urfi dalam al-khulashah al-wafiyyah diberi istilah hisab istilahi. 26
Ahmad Syifa'ul Anam, Loc. Cit. 27
Zubair Umar al-Jaelany, al-Khulashah al-Wafiyah, Surakarta: Melati, 1935, hlm 139-
140.
14
Tabel perbandingan hisab antara kitab Al-Khulashah al-Wafiyyah dan Ephemeris
No Model Hisab
Perbandingan
Al-Khulashah
al-Wafiyyah Ephemeris
1 Waktu Istiqbal (14 September 1932 M/13 Jumadil ‟Ula 1351 H)
Jam WIB 12 j 41
m 58
d 14
j 02
m 49.44
d
2 Mulai Gerhana (15 September 1932 M/14 Jumadil ‟Ula 1351 H)
Jam WIB 02j 32
m 23
d 02
j 25
m 31.38
d
3 Selesai Gerhana (15 September 1932 M/14 Jumadil ‟Ula 1351 H)
Jam WIB 06j 01
m 11
d 05
j 48
m 7.5
d
Berangkat dari latar belakang diatas, penulis dengan segenap
kemampuan yang ada tertarik untuk mengulas lebih lanjut dan mengupas
secara tuntas mengenai hisab gerhana bulan dalam kitab al-Khulashah
al-Wafiyyah karya Zubair Umar al-Jaelany. Studi tersebut penulis
angkat dalam skripsi yang berjudul: “Studi Komparatif Hisab Gerhana
Bulan dalam Kitab Al-Khulashah Al-Wafiyyah dan Ephemeris.”
B. RUMUSAN MASALAH
Dengan berdasar pada uraian latar belakang di atas, maka dapat
dikemukakan disini pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian berikutnya. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana metode hisab gerhana bulan menurut Zubair Umar al-Jaelany
dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dan Ephemeris?
2. Bagaimana dasar hukum hisab gerhana Bulan yang digunakan Zubair
Umar al-Jaelany dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dan Ephemeris?
15
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui metode perhitungan yang dipergunakan oleh Zubair
Umar al-Jaelany dan ephemeris dalam menentukan gerhana Bulan
sehingga mempunyai karakteristik tersendiri dari metode hisab yang
lainnya.
2. Untuk mengetahui dasar hukum hisab gerhana bulan yang digunakan
Zubair Umar al-Jaelany dan ephemeris sehingga menambah pengetahuan
tentang hukum ketika terjadi gerhana bulan.
D. TELAAH PUSTAKA
Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, belum ditemukan tulisan
secara khusus dan mendetail yang membahas perhitungan gerhana Bulan
menurut Zubair Umar al-Jaelany. Walaupun demikian, namun terdapat
tulisan-tulisan yang berhubungan dengan masalah gerhana.
Di Indonesia, permasalahan gerhana memang tidak fenomenal seperti
permasalahan penentuan awal bulan kamariyah yang sering timbul perbedaan
antara golongan yang satu dengan golongan yang lain. Permasalahan dalam
meluruskan arah kiblat (yang sekarang sedang marak karena adanya fatwa
MUI yang mengeluarkan fatwa tentang arah kiblat, dimana arah kiblat cukup
menghadap ke arah barat). Oleh karena itu sangat sedikit sekali sosok yang
menulis atau meneliti masalah tentang gerhana.
16
Kitab al-khulashah al-wafiyyah sebelumnya sudah dibahas oleh Ahmad
Syifa'ul Anam dalam bentuk skripsi, skripsi tersebut berjudul Studi Tentang
Hisab Awal Bulan Qomariyah Dalam Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah
Dengan Metode Haqiqi bi al-tahqiq. Inti dari pembahasan dalam skripsi
tersebut adalah menguak kebenaran klasifikasi dan kategori hisab haqiqi bi al-
tahqiq dalam kitab al-khulashah al-wafiyyah.
Perbedaan skiripsi Ahmad Syifa'ul Anam dengan yang peneliti ajukan
terletak pada pembahasannya, yaitu pembahasan yang penulis ajukan adalah
mengenai hisab gerhana Bulan. Sedangkan skripsi Ahmad Syifa'ul Anam
membahas mengenai hisab awal bulan kamariyah.
Kemudian terdapat penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Izzuddin
yang berjudul Zubair Umar al-Jaelany dalam Sejarah Pemikiran Hisab
Rukyah di Indonesia. Dalam penelitiannya ini, Ahmad Izzuddin menguak
pemikiran Zubair Umar al-Jaelany tentang ilmu hisab dan posisi serta
pengaruh pemikiran Zubair Umar al-Jaelany dalam belantara sejarah
pemikiran hisab rukyah di Indonesia. Yang dilakukan dengan penelusuran
tarihiyah (historisitas) dalam kancah jaringan ulama yang beliau lakukan
dalam kemasan penelitian.
Selain karya-karya tersebut, penulis juga menelaah kumpulan
materi pelatihan tentang gerhana bulan baik yang penulis ikuti sendiri
maupun dari sumber-sumber yang terkait.
17
E. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian berikutnya, metode yang akan penulis pakai adalah
sebagai berikut:
Jenis Penelitian
Dilihat dari karakteristik masalahnya berdasarkan kategori
fungsionalnya untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam
penelitian ini, maka metode yang penulis gunakan adalah metode Library
research (penelitian kepustakaan) yakni penulis melakukan analisis
terhadap sumber data, yaitu kitab al-Khulashah al-Wafiyyah sebagai
data primer, dan buku lain yang berkaitan dengan masalah gerhana
serta wawancara terhadap orang dekat (ahli waris).
Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian
ini, maka metode yang penulis gunakan adalah metode dokumentasi28
dan wawancara29
.
Sumber data yang digunakan ada dua, yaitu data primer dan data
sekunder. Dalam hal ini data primer30
adalah data yang diperoleh dari
kitab al-Khulashah al-Wafiyyah, sedangkan data sekundernya31
adalah
28
Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung diajukan kepada
subjek penelitian, namun melalui dokumen. Dokumen yang digunakan dapat berupa buku harian,
surat pribadi, laporan notulen rapat, dan dokumen lainnya. Lihat Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi
Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor: Ghalia Indonesia, Cet ke 1, 2002, hlm 87. 29
Wawancara atau interview adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden dan jawaban-jawabannya dicacat atau
direkam. Ibid, hlm 85. 30
Data primer adalah data yang diperileh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh
orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Ibid, hlm 82. 31
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan
penelitian dari sember-sumber yang telah ada. Ibid.
18
seluruh dokumen, buku-buku dan juga hasil wawancara yang berkaitan
dengan obyek penelitian.
Metode Analisis Data
Dilihat dari pendekatan analisisnya, jenis penelitian ini termasuk
kedalam jenis penelitian Kualitatif.32
Metode ini penulis gunakan
dikarenakan data yang akan dianalisis berupa data yang didapat dengan
cara pendekatan Kualitatif.
Dalam menganalisis data-data, setelah data terkumpul, metode
yang digunakan oleh penulis untuk menganalisis data-data yang telah
diperoleh tersebut adalah metode content analisis atau yang lebih dikenal
dengan istilah "analisis isi" yang dalam hal ini adalah penentuan
gerhana bulan yang tertuang dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah.
Selain itu penulis juga menggunakan analisis komparatif, dalam hal
ini penulis akan mengkomparasikan metode yang terdapat dalam kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah dengan metode ephemeris. Analisis ini diperlukan
untuk mengetahui perbedaan selisih antara dua metode tersebut.
Analisis ini diperlukan untuk menguji apakah metode hisab yang
tertuang dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah sesuai dengan
kebenaran ilmiah astronomi modern. Sehingga pemikiran Zubair Umar
al-Jaelany dalam menentukan gerhana Bulan dapat digunakan sebagai
pedoman dalam menentukan gerhana Bulan.
32
Analisis Kualitatif pada dasarnya lebih menekankan pada proses dekuktif dan induktif
serta pada analisis terhadap dinamika antar fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika
ilmiah. Lihat Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet ke 5, 2004,
hlm 5.
19
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Secara garis besar, penulisan penelitian ini terdiri atas lima bab, dan
didalam setiap babnya terdapat sub-sub pembahasan, yaitu:
Bab pertama adalah pendahuluan, dalam bab ini akan dijelaskan
beberapa hal yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, merupakan kajian terhadap diskursus hisab rukyah gerhana
bulan, meliputi meliputi pengertian gerhana Bulan, macam-macam gerhana
Bulan, dasar hukum gerhana bulan, Objek pembahasan gerhana bulan,
Sejarah gerhana bulan.
Bab ketiga, akan memotret metode hisab gerhana bulan dalam kitab
al-khulashah al-wafiyyah dan ephemeris, bab ini akan membahas Biografi
Intelektual Zubair Umar al-Jaelany, Gambaran Umum tentang Kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah, Konsep Hisab Gerhana Bulan dalam Kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah, Sejarah Ephemeris, Konsep Hisab Gerhana Bulan
dalam Ephemeris.
Bab keempat, Analisis metode Hisab Gerhana Bulan dalam Kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah dan ephemeris. Bab ini merupakan pokok dari
pembahasan penulisan penelitian yang penulis lakukan yakni meliputi
Analisis terhadap metode hisab gerhana bulan dalam kitab al-Khulashah al-
Wafiyyah dan ephemeris, serta analisis dasar hukum hisab gerhana bulan
dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dan ephemeris.
20
Bab kelima, merupakan penutup, akan dilakukan penarikan
kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, saran untuk perbaikan
selanjutnya, dan penutup.
21
BAB II
HISAB RUKYAH GERHANA BULAN
A. PENGERTIAN GERHANA BULAN
Pada dasarnya penyebutan untuk gerhana Matahari dan gerhana Bulan
sama. Gerhana dalam bahasa inggris eclipse.1 Istilah ini digunakan secara
umum, baik gerhana Matahari maupun gerhana Bulan. Namun dalam
penyebutannya, terdapat dua istilah, yaitu eclipse of the sun untuk gerhana
Matahari, dan eclipse of the moon untuk gerhana Bulan.2 Selain itu ada juga
yang menggunakan solar eclipse untuk gerhana Matahari, dan lunar eclipse
untuk gerhana Bulan.3
Sedangkan dalam bahasa arab dikenal dengan istilah kusuf atau
khusuf.4 Pada dasarnya istilah kusuf dan khusuf dapat digunakan untuk
menyebut gerhana Matahari atau gerhana Bulan. Hanya saja, kata kusuf lebih
dikenal untuk menyebut gerhana Matahari, sedangkan kata khusuf untuk
gerhana Bulan.5
Diantara istilah-istilah tersebut, istilah arablah yang paling mendekati
pada pengertian sebenarnya. Yaitu kata kusuf dan khusuf yang pada dasarnya
bisa digunakan untuk menyebut kedua jenis gerhana tersebut. Kusuf berarti
menutupi, menggambarkan adanya fenomena alam bahwa (dilihat dari bumi)
1 John M. Echols, An Indonesian-English Dictionary, Hassan Shadily, “Kamus Indonesia-
Inggris”, edisi ketiga, Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama, 2003, Cet ke 9, hlm 187. 2 Oxford, Oxford Learner‟s Pocket Dictionary, New York: Oxford University Press,
2003, hlm 137.
` 3 Soetjipto dkk, Islam dan Ilmu Pengetahuan tentang Gerhana, Yogyakarta: LPPM IAIN
Sunan Kalijaga, 1983, hlm 1. 4 Abis Bisri, et al, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif, Cet ke 1, 1999, hlm 84.
5 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka,
2008, Cet ke 3, hlm 187.
22
bulan menutupi matahari, sehingga terjadi gerhana matahari. Sedangkan
khusuf berarti memasuki, menggambarkan fenomena alam bahwa bulan
memasuki bayangan bumi, hingga terjadi gerhana bulan.6
Kusuf menurut bahasa berarti berubah menjadi hitam. Dikatakan
artinya wajahnya , كسف ج ,artinya keadaannya telah berubah , كسفت حان
berubah, dan كسف انشس , artinya matahari menjadi gelap dan hilang pancaran
sinarnya.7 Sedangkan khusuf menurut bahasa berarti kekurangan. Dikatakan
artinya tempat tersebut menghilang di bumi. Kata ini , خسف انكا يخسف خسفا
diambil dari kalimat خسف انقر , artinya bulan telah menghilang cahayanya.
Jadi, kata kusuf dan khusuf bagi matahari dan bulan bermakna
perubahan dan berkurangnya sinar keduanya. Kedua kalimat ini memiliki arti
yang sama dan keduanya digunakan pada hadits-hadits shahih, sedangkan al-
Qur‟an8 menggunakan kata khusuf untuk bulan.
Sedangkan makna kusuf dan khusuf menurut istilah adalah
terhalanginya seluruh atau sebagian sinar matahari atau bulan dikarenakan
suatu sebab alamiah. Yaitu Allah menakut-nakuti hamba-Nya dengannya.
Atas dasar inilah, kata kusuf dan khusuf adalah sinonim, yaitu memiliki arti
yang sama. Maka dikatakan كسفت انشس خسفت , artinya matahari berkurang
6 Ibid.
7 Ahmad bin Ali Ibnu Hajar al-Asqalanii, Fathul Baari, Juz II, Beirut: Daar al-Fikr, t.t.
hlm 526. 8 Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, Juz II,
Beirut: Daar al-Kitab al-„ilmiyah, t.t. hlm 273.
23
cahayanya dan menjadi gelap (mengalami gerhana) dan كسف انقر خسف ,
artinya bulan berkurang cahayanya dan menjadi gelap (mengalami gerhana).9
Ada juga yang mengatakan bahwa kata kusuf ditujukan untuk
matahari. Sedangkan kata khusuf ditujukan untuk bulan. Pernyataan itu
mungkin berlaku jika kedua kalimat tersebut berkumpul sehingga
dikatakanlah kusuf (matahari) dan khusuf (bulan). Namun apabila kata-kata itu
terpisah satu sama lain, maka keduanya memiliki makna yang sama dan
memiliki beberapa padanan dalam bahasa arab. Oleh karena itu, para ulama„
masih memperselisihkan makna kata kusuf dan khusuf, apakah keduanya
masih sinonim atau tidak?
Ibnu Atsir mengatakan penyebutan kusuf dan khusuf untuk matahari
dan bulan telah berkali-kali dijumpai dalam hadits. Sekelompok ulama„
meriwayatkan keduanya dengan huruf kaf. Sekelompok ulama„ lain
meriwayatkan keduanya dengan huruf kha„. Sekelompok ulama„ yang lain lagi
meriwayatkan untuk matahari dengan menggunakan huruf kaf dan untuk bulan
dengan menggunakan huruf kha„. Meskipun demikian, mereka semua
meriwayatkan bahwa keduanya merupakan salah satu tanda kebesaran Allah
yang muncul bukan karena kematian atau hidupnya seseorang. Adapun
pendapat yang lebih banyak dalam tinjauan bahasa adalah kata kusuf
diperuntukkan untuk matahari dan kata khusuf diperuntukkan untuk bulan.
Dikatakan كسفت انشس كسفا اهلل اكسفت , artinya matahari berubah menjadi
gelap (mengalami gerhana), yaitu Allah membuat cahayanya redup sehingga
9 Sa‟id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Shalatul Mu‟min, Ahmad Yunus et, “ Ensiklopedi
Shalat Menurut al-Qur‟an dan as-Sunnah, Jilid III, Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟I, Cet ke 1,
2007, hlm 2.
24
menjadi gelap (gerhana). Dan خسف انقرخسف اهلل اخسف , artinya bulan
menghilang atau berkurang sinarnya (mengalami gerhana), yakni Allah
membuat sinarnya berkurang sehingga hilang cahayanya (mengalami
gerhana).10
Ibnu Atsir juga berkata: sesungguhnya gerhana matahari dan bulan
tidak terjadi karena kematian ataupun hidupnya seseorang. Sebenarnya yang
lebih dikenal dalam penerapan bahasa adalah penggunaan kata kusuf untuk
matahari. Adapun penyebutan kata khusuf secara mutlak, umumnya ditujukan
untuk bulan karena ia berjenis kelamin mudzakar, sementara asy-syamsi
(matahari) berjenis kelamin muannats. Dalam hadits ada yang menyebutkan إ
artinya sesungguhnya matahari dan bulan tidak , انشس انقر ال يكسفا
mengalami gerhana. Sementara itu alasan penggunaan kata khusuf untuk
matahari adalah karena adanya persamaan makna antara kata khusuf dan
kusuf, yaitu hilangnya sinar keduanya sehingga keduanya menjadi gelap.11
Al-fairuzabadi juga mengatakan خسف انكا يخسف خسفا , artinya tempat
tersebut menghilang di bumi, sedangkan خسف انقر artinya bulan mengalami
gerhana. Ia juga sepakat kata kusuf untuk matahari dan kata khusuf untuk
bulan. Atau bisa juga kata khusuf digunakan untuk menunjukkan arti
hilangnya sebagian dari keduanya, sedangkan kata kusuf untuk hilangnya
keseluruhan dari keduanya.12
10
ibid. 11
ibid. 12
Imam Majduddin Muhammad bin Ya‟kub bin Muhammad bin Ibrahim al-Fairuzabadi
asy-Syairazi asy-Syafi‟I, Al-Qaamus al-Muhid, Juz III, Beirut: Daar al-Kitab al-„Ilmiyah, Cet ke 1,
1995, hlm: 178.
25
Selain itu Imam Nawawi juga berkata: dikatakan كسفت انشس انقر
dengan mem-fat hah-kan huruf kaf dan كسفا dengan men-dhammah-kan huruf
kaaf. إكسفا خسفا خسفا اخسفا kesemuanya memiliki makna yang sama.
Dikatakan كسف انشس dengan huruf kaf dan خسف انقر dengan huruf kha„. Al-
Aqdhi „Iyah pun meriwayatkan sebaliknya dari sebagian ahli bahasa dan
orang-orang terdahulu, namun ini adalah bathil dan tidak bisa diterima
berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: “Dan apabila bulan Telah hilang cahayanya,”
Jumhur ulama„ dan yang lainnya berpendapat bahwa kata khusuf dan kusuf
dipergunakan untuk makna hilangnya seluruh sinar matahari dan bulan, juga
untuk arti hilangnya sebagian dari sinar keduanya. Al-Laits bin Sa‟ad berkata:
kata khusuf digunakan untuk arti hilangnya seluruh sinar, sedangkan kata
kusuf dipakai untuk makna hilangnya sebagian sinar. Dikatakan pula: kata
khusuf artinya hilangnya warna keduanya, sedangkan kata kusuf artinya
perubahan warna.14
Sedangkan penggunaan yang paling masyhur oleh para ahli fiqh adalah
kata kusuf untuk matahari dan kata khusuf untuk bulan. Dari beberapa
pernyataan diatas, tidak diragukan lagi bahwa penunjukan kata kusuf dan
khusuf menurut bahasa berbeda, karena kata kusuf berarti berubah menjadi
hitam (gelap), sedangkan khusuf berarti kekurangan atau kehinaan. Maka
13
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2005,
hlm 577. 14
Imam Abi Husain Muslim bin al-Hujjaaj al-Qusyairi An-Nasaburi, Shahih Muslim bi
Syarhin Nawawi, Juz 5, Beirut: Daar al-Kitab al-„alamiyyah, t.t. hlm 176.
26
sesuailah jika matahari dikatakan كسفت atau خسفت sebab memang ia mengalami
perubahan dan cahayanya bisa berkurang, demikian halnya dengan bulan.
Namun hal itu tidak mengharuskan kata kusuf dan khusuf itu sinonim.
Dikatakan bahwa penggunaan huruf kaf untuk permulaan, sedangkan
penggunaan huruf kha„ untuk akhir (gerhana). Dikatakan pula bahwa
penggunaan huruf kaf untuk arti hilangnya seluruh sinarnya, sedangkan
penggunaan huruf kha„ untuk hilangnya sebagian sinarnya. Dikatakan juga
bahwa penggunaan huruf kaf untuk hilangnya seluruh warnanya, sedangkan
penggunaan huruf kha„ untuk perubahan warnanya.15
Ibnu Hajar juga berkata: dikatakan bahwa khusuf untuk keseluruhan,
sedangkan kusuf untuk sebagian. Inilah yang lebih diunggulkan daripada
pendapat ulama„ yang mengatakan bahwa khusuf untuk bulan, sedangkan
kusuf untuk matahari, karena penggunaan kha„ untuk matahari juga terdapat
didalam hadits shahih.16
Jadi menurut bahasa arab, menurut pendapat yang paling masyhur,
kata khusuf diperuntukkan untuk gerhana bulan. Kata khusuf adalah bentuk
mashdar dari kata خسف انشيء , artinya sesuatu yang berkurang, yaitu khusus
untuk hilangnya sinar bulan baik secara keseluruhan ataupun sebagian.
Jika dikaitkan dengan ilmu falak atau ilmu astronomi, gerhana bulan
mempunyai arti tertutupnya sinar matahari oleh bumi sehingga bulan berada
didalam bayang-bayang bumi. Gerhana bulan terjadi saat matahari, bumi dan
bulan berada pada garis lurus dimana bulan terletak dibelakang bumi dan
15
Fathul Baari, Op. Cit, hlm 535. 16
Ahmad bin Ali Ibnu Hajar al-Asqalanii, Hadyus Saari, Beirut: Daar al-Fikr, t.t. hlm
111.
27
bumi berada diantara matahari dan bulan. Berhubung dalam gerhana bulan,
bulan berada dalam bayangan bumi, maka gerhana bulan terjadi dimalam hari,
yaitu malam bulan purnama.17
Artinya gerhana bulan ini terjadi pada saat
istiqbal (oposisi), yakni sekitar tanggal 14, 15, 16 (pada saat bulan purnama)
dalam bulan kamariyah. Dan pada waktu itu bulan sedang dalam peredarannya
dengan memotong bidang ekliptika.18
Muhammad Wardan mengatakan yang dimaksud Gerhana Bulan ialah
ketika bulan bergerak mengelilingi bumi, masuk kedalam inti bayangan bumi,
sehingga pada waktu itu bulan tidak menerima sinar matahari. Oleh karena itu,
Gerhana Bulan terjadi ketika bulan pada saat istiqbal (oposisi).19
Sedangkan
menurut Abdul Karim, Gerhana Bulan bisa diibaratkan jatuhnya bayangan
bumi kepermukaan bulan pada saat matahari dan bulan berhadapan dalam satu
garis lurus. Keadaan seperti ini menjadikan sinar matahari tidak dapat
menerobos ke bulan karena terhalang bumi.20 Akibatnya bulan tidak dapat
memantulkan sinar matahari ke bumi, sebab bulan tidak bercahaya tapi hanya
memancarkan sinar. Menurut Janice Van Cleave, gerhana bulan terjadi ketika
bayangan bumi jatuh di bulan dan menghalangi cahaya bulan.21
Zubair Umar al-Jaelany sendiri menjelaskan bahwa gerhana bulan
hanya terjadi ketika posisi istiqbal, yaitu pada saat bulan berada pada garis
17
Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta: Perpustakaan Nasional, 2009, Cet ke 2, hlm 101. 18
Badan Hisab Dan Rukyah Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta:
Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm 146. 19
Muhammad Wardan, Kitab Falak dan Hisab, Yogyakarta: Toko Pandu, 1957, Cet ke 1,
hlm 52-53. 20
Abdul Karim, Mengenal Ilmu Falak, Semarang Timur: Intra Pustaka Utama, Cet ke 1,
2006, hlm 28. 21
Janice Van Cleave, A+ Proyek-proyek Astronomi, Bandung: Pakar Raya, 2002, hlm
124.
28
edar matahari atau dekat dengan matahari, dimana bumi terletak diantara
keduanya sehingga bayangan bumi yang jatuh ke bulan yang menghadap ke
matahari baik total ataupun sebagian, sehingga cahaya matahari tidak sampai
pada bulan. Dengan demikian bulan dalam keadaan gelap sebagaimana
aslinya, itulah yang disebut Gerhana Bulan.22
Gerhana Bulan ini hanya terjadi bila bujur astronominya berselisih
180˚ serta deklinasinya 0˚ atau mempunyai deklinasi yang harga mutlaknya
hampir sama, meskipun berlawanan positif-negatifnya. Dalam astronomi
gerhana bulan dimungkinkan terjadi bila bulan pada saat bulan purnama
berada pada posisi 12˚ atau kurang dari titik simpul.23
Agar Gerhana Bulan terjadi, maka bulan harus berada pada bulan
penuh dan bulan harus berada di dekat salah satu simpul orbitnya. Panjang
umbra bumi kira-kira 1.400.000 km dan jarak-rata-rata bulan dari bumi kira-
kira 385.000 km. Oleh karena itu, ketika bulan masuk ke dalam kerucut
bayangan sempurna, bulan ini berada jauh lebih dekat ke dasar kerucut
daripada ke ujung kerucut itu. Deameter kerucut, tempat bulan melintas
melaluinya, kira-kira 2 ½ kali deameter bulan.
Pada saat terjadi Gerhana Bulan, bumi akan membentuk 2 bayangan,
yaitu bayangan yang paling luar yang disebut dengan bayangan Penumbra
atau bayangan semu (bayangan ini tidak terlalu gelap) dan bayangan dalam
yang disebut bayangan Umbra atau bayangan inti. Karena bentuk lingkaran
matahari lebih besar dari pada lingkaran bumi, maka bayangan umbra bumi
22
Zubair Umar al-Jaelany, al-Khulashah al-Wafiyyah, Surakarta: Melati, 1935, hlm 139-
140. 23
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm 45.
29
berbentuk kerucut. Sedangkan bentuk dari bayangan penumbra bumi juga
berbentuk kerucut yang terpancung dengan puncaknya di bumi yang makin
jauh bayangan ini semakin membesar sampai menghilang di ruang angkasa.
Pada bayangan penumbra hanya sebagian piringan matahari yang
ditutupi oleh bumi, sedangkan pada bayangan umbra seluruh piringan
matahari tertutup oleh bumi, sehingga ketika bulan melewati umbra, bulan
akan terlihat gelap, karena cahaya matahari yang masuk ke bulan dihalang-
halangi oleh bumi. Sedangkan jika bulan berada dalam penumbra, sebagian
sumber cahaya masih akan terlihat. Gerhana bulan mulai terjadi ketika bulan
memasuki penumbra dan berakhir ketika bulan meninggalkan penumbra.
Namun terjadi sedikit penggelapan sampai bulan memasuki umbra.24
Meskipun gerhana bulan ini terjadi pada saat bulan purnama, akan
tetapi gerhana bulan ini tidak terjadi setiap bulan. Hal ini dikarenakan orbit
bulan mengelilingi bumi tidak sama dengan orbit bumi mengelilingi matahari.
Orbit bulan tidak sebidang dengan orbit bumi, tetapi orbit bulan memotong
orbit bumi dan membentuk sudut sebesar 5. (Lihat gambar 1). Dengan
kemiringan bidang orbit bulan sebesar 5 terhadap bidang ekliptika, bulan
dapat berada di atas atau di bawah daerah bayang-bayang bumi saat bulan
purnama. Demikian halnya dengan bumi yang dapat berada di atas atau di
bawah bayang-bayang bulan saat bulan baru.25
Jadi gerhana bulan hanya akan
24
Berdnard S. Cayne dkk, Ilmu Pengetahuan Populer, Edisi 13, Jakarta: CV Prima
Printing, 2005, hlm 143-144. 25
Adriana Wisni Ariasti dkk, Perjalanan Mengenal Astronomi, Bandung: Penerbit ITB,
1995, hlm 33.
30
terjadi jika bulan berada di dekat titik pertemuan orbit bulan dan bumi yang
dinamakan titik simpul.
Gambar 1.
Bumi Bulan
Orbit Bumi
Titik simpul 5
Jumlahnya titik simpul ada dua:
1. Titik simpul naik (Ascending Node), titik ini dilalui oleh bulan ketika
bergerak dari selatan ekliptika menuju utara ekliptika.
2. Titik simpul turun (Descending Node), titik yang dilalui bulan ketika
bergerak dari utara ekliptika menuju selatan ekliptika.
Jika suatu ketika terjadi bulan purnama, sedangkan pusat bayangan
bumi terletak pada 10,9 dari titik simpul, maka gerhana bulan mungkin
terjadi, akan tetapi gerhana bulan total hanya akan terjadi jika pusat bayangan
bumi terletak 5,2 dari titik simpul.26
B. MACAM-MACAM GERHANA BULAN
Seperti yang kita tahu, jika memperhatikan piringan bulan yang
memasuki bayangan bumi, maka gerhana bulan ada empat macam, yaitu
gerhana bulan total, gerhana bulan sebagian, gerhana bulan penumbra total
dan gerhana bulan penumbra sebagian.27
26
Disampaikan oleh Shofiyulloh pada waktu “Kajian Ilmiah Falakiyah” para ahli hisab
PWNU Jawa Timur di P.P. As-Sunniyyah Kencong Jember yang dilaksanakan tanggal 29 - 31
Agustus 2003. Dan bisa di akses di http://lubanghitam.com// (di akses tanggal 7 maret 2010). 27
Disampaikan pada Diklat Hisab Rukyah Tingkat lanjut di Lingkungan Depertemen
Agama Provensi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, oleh Ahmad Izzuddin, yang diselenggarakan
Matahari
31
1. Gerhana Bulan Total
Gerhana bulan total terjadi manakala posisi bumi-bulan-matahari
terletak pada satu garis lurus, sehingga seluruh piringan bulan berada di
dalam bayangan inti bumi atau umbra bumi (lihat gambar 2) inilah saat
fase gerhana maksimum. Maksimum durasi terjadi gerhana bulan total
bisa mencapai lebih dari 1 jam 47 menit. Ketika terjadi gerhana bulan
total, maka akan terjadi empat kontak, yaitu:28
kontak pertama adalah
ketika piringan bulan mulai menyentuh masuk pada bayangan bumi, pada
posisi inilah waktu mulai gerhana. Kontak kedua, ketika seluruh piringan
bulan sudah memasuki bayangan bumi, pada posisi inilah waktu mulai
total gerhana. Kontak ketiga, adalah ketika piringan bulan mulai
menyentuh untuk keluar dari bayangan bumi, pada posisi inilah waktu
akhir total gerhana. Kontak keempat, ketika seluruh piringan bulan sudah
keluar dari bayangan bumi, pada posisi ini gerhana berakhir.
Akan tetapi, Perlu diketahui pada saat gerhana bulan total, meski
bulan berada dalam umbra bumi, bulan tidak sepenuhnya gelap total
karena sebagian cahaya masih bisa sampai kepermukaan bulan oleh
refraksi atmosfir bumi.
oleh Departemen Agama RI Balai Pendidikan Dan Pelatihan Keagamaan Semarang, hari Kamis-
Senin, 29 Oktober – 9 November 2009 di MAJT Semarang. 28
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Op Cit, hlm 191-192.
32
Gambar 2: Gerhana Bulan Total
2. Gerhana Bulan Sebagian (parsial)
Sedangkan gerhana bulan sebagian terjadi manakala posisi bumi-
bulan-matahari tidak pada satu garis lurus, sehingga hanya sebagian
piringan bulan saja yang memasuki bayangan inti bumi dan sebagian lagi
berada dalam bayangan tambahan / penumbra Bumi pada saat fase
maksimumnya (lihat gambar 3). Seperti yang terjadi pada hari Sabtu
tanggal 26 Juni 2010. Pada saat itu bulan mulai masuk daerah penumbra
bumi pada pukul 15: 15: 18 WIB, pada fase ini bulan tidak teramati karena
posisinya belum terbit, bulan masih berada di bawah ufuk. Kemudian
bulan mulai masuk penumbra bumi pada pukul 17: 16: 24 WIB, bulan
masih tidak dapat dilihat karena masih di bawah ufuk. Bulan terbit
berlangsung pada pukul 17: 26 WIB, pada sudut azimuth 114˚ 09‟ 28”
atau 24˚ 09‟ 28” dari arah timur ke arah selatan, pada saat bulan terbit, saat
itulah sedang berlangsung gerhana parsial. Tengah gerhana dengan 54 %
permukaan bulan purnama menjadi gelap terhalang oleh umbra bumi yang
berlangsung pukul 18: 38 WIB. Bulan mulai keluar dari pukul 20: 00
33
WIB, pada saat itu pula bulan memasuki daerah penumbra bumi. Bulan
mulai meninggalkan daerah penumbra bumi pukul 21: 21 WIB.29
Gambar 3: Gerhana Bulan Sebagian (parsial)
3. Gerhana Bulan Penumbra Total
Pada gerhana bulan jenis ke- 3 ini, seluruh Bulan masuk ke dalam
penumbra pada saat fase maksimumnya. Tetapi tidak ada bagian Bulan
yang masuk ke umbra atau tidak tertutupi oleh penumbra (lihat gambar 4).
Pada kasus seperti ini, gerhana bulannya kita namakan gerhana bulan
penumbral total. Pada gerhana bulan jenis ini, bulan hanya melewati
bayangan penumbra bumi dan hal ini hanya bisa dilihat apabila lebih dari
setengah (0,5) piringan bulan masuk pada bayangan penumbra bumi,
bahkan ada Astronom yang mengatakan bahwa gerhana penumbra hanya
akan bisa dilihat apabila magnitudenya minimal 0,7.
29
Disampaikan pada Pengamatan Gerhana Bulan Parsial dan Penyuluhan Astronomi,
oleh Planetarium dan Observatorium Jakarta dalam hal ini disampaikan oleh Bapak Cecep
Nurwendaya, yang diselenggarakan oleh Dinar Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, di SMA Muhammadiyah Prambanan dan Pelataran Candi Prambanan Yogyakarta, hari
Jum‟at-Sabtu tanggal 25-26 Juni 2010.
34
Gambar 4: Gerhana Bulan Penumbra Total
4. Gerhana Bulan Penumbra Sebagian
Dan gerhana bulan jenis terakhir ini, jika hanya sebagian saja dari
Bulan yang memasuki penumbra, maka gerhana bulan tersebut dinamakan
gerhana bulan penumbra sebagian (lihat gambar 5). Gerhana bulan
penumbra sebagian ini biasanya tidak terlalu menarik bagi pengamat.
Karena pada gerhana bulan jenis ini, penampakan gerhana hampir-hampir
tidak bisa dibedakan dengan saat bulan purnama biasa.
Gambar 5: Gerhana Bulan Penumbra Sebagian
Bumi beredar mengelilingi matahari dalam kurun waktu satu tahun.
Bersamaan dengan itu bulan juga mengelilingi bumi selama 29 hari. Hal ini
mengakibatkan kedudukan bumi dan bulan relatif terhadap matahari berubah
35
setiap saat. Dengan memperhatikan gerak dan kedudukan matahari, bumi dan
bulan, maka dapat diramalkan gerhana bulan terjadi setiap tahun. Jika gerhana
bulan dan gerhana matahari digabungkan dalam satu tahun kalender, maka
akan terdapat maksimum 7 gerhana, dengan rincian sebagai berikut:30
1. 5 kali gerhana matahari dan 2 kali gerhana bulan.
2. 4 kali gerhana matahari dan 3 kali gerhana bulan.
Hanya saja gerhana-gerhana ini tidaklah seluruhnya dapat disaksikan
di seluruh daerah. Untuk gerhana bulan lebih sering terlihat dibanding dengan
gerhana matahari. Gerhana bulan lebih sering terlihat karena terjadi pada
malam hari pada saat bulan berada dalam fase purnama. Dan daerah di bumi
yang dapat menyaksikan gerhana bulan ini meliputi daerah yang sangat luas.
Seluruh bagian malam atau separuh bumi dapat melihat gerhana bulan. Karena
itu jarang orang yang mencatat data mengenai gerhana bulan ini. Gerhana
bulan dapat dilihat dengan mata telanjang, karena cahaya bulan yang
dipantulkan berasal dari cahaya matahari, maka tidaklah sekuat cahaya
matahari itu sendiri.31
Sebenarnya gerhana bulan jarang terjadi jika dibandingkan dengan
gerhana matahari. Umpama terjadi 8 gerhana, maka yang 5 adalah gerhana
matahari dan yang 3 adalah gerhana bulan. Hanya saja orang-orang banyak
beranggapan bahwa gerhana bulan lebih sering terjadi daripada gerhana
matahari. Hal ini disebabkan karena gerhana bulan bisa dilihat hampir dari 2/3
permukaan bumi yang mengalami malam hari, sedangkan gerhana matahari
30
Soetjipto, Op Cit, hlm 24-25. 31
Adriana Wisni Ariasti, Op Cit, hlm 34.
36
hanya bisa dilihat dari daerah yang tidak terlalu luas di permukaan bumi yang
mengalami siang hari. Pada satu tahun kalender, sedikitnya ada 2 gerhana
matahari dan paling banyak ada 5 gerhana matahari. Sebaliknya, di dalam satu
tahun kalender tidak akan ada gerhana bulan lebih dari 3 kali dan mungkin
saja tidak akan terjadi gerhana bulan sama sekali.
C. DASAR HUKUM GERHANA BULAN
Dalam setiap peristiwa pasti ada hukumnya, baik yang bersandar pada
nash yang qath‟i maupun nash dhonni, ataupun bukan nash. Dalam agama
islam terdapat sumber hukum yang dapat dijadikan rujukan, yaitu
1. Dasar hukum dari al-Qur‟an
Gerhana merupakan salah satu tanda kebesaran Allah, baik gerhana
bulan atau gerhana matahari. Dalam al-Qur‟an tidak ada lafadz yang
secara spesifik membicarakan tentang gerhana. Namun kalau diperhatikan
dalam al-Qur‟an banyak dijumpai ayat-ayat yang menjelaskan gejala-
gejala di jagat raya ini merupakan bukti kekuasaan Allah. Diantara firman-
firman Allah tersebut adalah:
QS al-Qiyamah : 8
Artinya: “Dan apabila bulan Telah hilang cahayanya,”
QS Fushshilat : 37
32
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Loc. Cit.
37
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam,
siang, matahari dan bulan. janganlah sembah matahari
maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya,
jika ialah yang kamu hendak sembah.”
Dari ayat-ayat diatas dapat dipahami bahwa fenomena dalam alam
semesta terutama matahari dan bulan, tidak terlepas dari ketentuan yang
ditetapkan oleh Allah. Kekuasaan-Nya tidak ada yang dapat
menandinginya, bagaimanapun hebatnya dan kuatnya manusia, betapapun
maju dan memuncaknya ilmu pengetahuan manusia masa kini ataupun
masa mendatang, tidak akan pernah mampu merubah ketentuan Allah.
Gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa alam yang begitu banyak dan
mengagumkan, tak lain hanya merupakan sebagian saja dari bukti-bukti
kekuasaan Allah yang diperlihatkan kepada makhluk-makhluk Nya.
Begitu halnya dengan peristiwa gerhana, baik gerhana matahari ataupun
bulan, total atau sebagian, hanya merupakan salah satu dari sekian banyak
peristiwa alam yang merupakan bukti sari kekuasaan Allah yang
diperlihatkan kepada manusia.
2. Dasar hukum dari hadits
Hadits-hadits Nabi yang membicarakan tentang gerhana sangatlah
banyak, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan. Diantara hadits-
hadits yang membicarakan tentang gerhana bulan adalah:
a. Hadits Riwayat Bukhari dari Ibnu Umar
أخثري عرع عثذ انرح ت انقاسى حذث ع : أخثري ات ة قال: حذثا أصثغ قال
إ انشس : أتي ع ات عر رضي اهلل عا أ كا يخثر ع انثي صه اهلل عهي سهى
33
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op. Cit, hlm 480.
38
انقر ال يخسفا نت أحذ ال نحيات نكا ايتا ي ايات اهلل فإرا رأيتا فصها
(را انثخار)
Artinya: “Asbagh telah bercerita kepada kami bahwasanya ia
berkata: Ibnu Wahab telah bercerita kepada-ku, ia berkata:
telah bercerita kepada-ku Umar dari Abdur Rahman bin
Qasim bahwa ia telah bercerita kepada-nya dari ayah-nya.
Dari Ibnu Umar r.a, bahwasanya Umar mendapat berita
dari Nabi SAW: sesungguhnya matahari dan bulan tidak
mengalami gerhana karena kematian atau hidupnya
seseorang, tapi keduanya merupakan tanda diantara tanda-
tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat keduanya
(gerhana), maka shalatlah.”
b. Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah
كا عذ : حذثا خانذ ع يس ع انحس ع أتي تكرج قال : حذثا عر ت ع قال
فقاو انثي صه اهلل عهي سهى يجر رداء , رسل اهلل صه اهلل عهي سهى فاكسفت انشس
فقال انثي صه اهلل , فصه تا ركعتي حت اجهت انشس , فذخها , حت دخم انسجذ
فإرا ر أيتا فصها ادعا حت , إ انشس انقر ال يخسفا نت أحذ : عهي سهى
(را انثخار)يكشف يا تكى
Artinya: “telah bercerita kepada kami Umar bin „aun, ia berkata telah
bercerita kepada kami Khalid dari Yunus dari al Hasan dari
Abi Bakrah, ia berkata: kami tengah bersama Rasulullah
SAW ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah SAW
berdiri menarik jubahnya hingga masuk ke dalam masjid.
Nabi Muhammad SAW memimpin kami shalat dua rakaat
sampai matahari kembali bercahaya. Lalu Nabi SAW
bersabda: gerhana matahari dan gerhana bulan terjadi
bukan disebabkan oleh kematian seseorang, maka siapapun
yang menyaksikan dua gerhana ini, shalatlah dan berdoalah
kepada Allah hingga tersingkap apa yang menimpa kalian.”
c. Hadits Riwayat Muslim dari „Ubaid bin „Umair
سعت عطاء يقل : قال , أخثرا ات جريج . أخثرا يحذ ت تكر , حذثا إسحاق ت إتريى
, أ انشس اكسفت عه عذ رسل اهلل صه اهلل عهي سهى : سعت عثيذ ت عير يقل :
إ انشس انقر ال يخسفا نت : فقال . فصه رسل اهلل صه اهلل عهي سهى تأصحات
34
Imam Abi „Abdillah Muhammad bin Ismail ibnu Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardazabah al Bukhari al Ja‟fii, “Shahih al-Bukhari”, Juz 1, Beirut, Libanon: Daar al-Kitab al-
„alamiyyah, hlm 316. 35
ibid.
39
فإرا رأيتى كسفا فاركرا . نكا ايتا ي ايات اهلل يخف اهلل تا عثاد , أحذ ال نحيات
(را يسهى)اهلل حت يجهي
Artinya: “telah bercerita kepada kami Ishaq bin Ibrahim Muhammad
bin Bakar telah bercerita kepadaku, telah bercerita kepada
kami Ibnu Juraij, ia berkata: aku mendengar „Atha„ berkata:
aku mendengar „Umar bin „Ubaid berkata: sesungguhnya
telah terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah SAW,
kemudian Rasulullah SAW shalat bersama para sahabatnya.
Lalu Rasulullah SAW bersabda: seseungguhnya matahari
dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian dan
hidupnya seseorang, tetapi keduanya termasuk tanda-tanda
kebesaran Allah, dan dengan keduanya Allah menakut-nakuti
hamba-Nya. Maka jika kalian melihat gerhana, berzikirlah
kepada Allah (shalat) hingga ia terang kembali.“
Hadits-hadits diatas semuanya menjelaskan bahwasanya gerhana, baik
gerhana matahari ataupun gerhana bulan terjadi bukan karena kematian atau
kehidupan seseorang, melainkan kerena gerhana tersebut merupakan salah
satu tanda kebesaran Allah. Oleh karena itu, ketika terjadi gerhana sebaiknya
kita melakukan hal-hal yang disunnahkan pada saat gerhana itu terjadi.
D. OBJEK PEMBAHASAN GERHANA BULAN
Sebagaimana yang kita tahu, terjadinya gerhana bulan ada
hubungannya dengan posisi matahari dan bulan serta waktu terjadinya gerhana
tersebut di bumi. Jadi obyek pembahasan gerhana bulan meliputi tiga obyek,
yaitu matahari, bulan dan bumi. Berikut penjelasannya:
1. Matahari
Matahari merupakan bola api yang sangat besar yang
mengeluarkan panas dan cahaya yang berwarna biru, putih, kuning dan
36
Imam Abi Husain Muslim bin al-Hujjaaj al-Qusyairi An-Nasaburi, Shahih Muslim, Juz
1, Beirut: Daar al-Kitab al-„alamiyyah, hlm 365.
40
orange (antara kuning dan merah).37
Deameter matahari kira-kira
1.400.000 km, lebih dari 100 kali deameter bumi.38
Bumi dan juga
beberapa planet yang ada di dekatnya beredar mengelilingi matahari.
Matahari merupakan benda satu-satunya dalam tata surya yang
memancarkan cahayanya. Matahari adalah sebuah bintang. Diantara
bintang-bintang lain yang ada di alam semesta, matahari adalah bintang
yang jaraknya paling dekat dengan bumi. Namun diantara bermilyar-
milyar bintang, matahari tidaklah terlalu besar bahkan dapat dikatakan
kerdil.39
Dalam kehidupan manusia, matahari memiliki manfaat yang
cukup banyak, diantaranya bumi mendapat cahaya dan sinar matahari yang
sangat diperlukan makhluk hidup yang hidup di bumi.
Sebagian besar adanya bumi ini karena adanya cahaya dan panas
dari matahari. Matahari secara langsung atau tidak langsung memberikan
energi untuk menerangi bumi kita ini. Meskipun demikian ada juga daerah
di bumi yang jarang mendapat sinar matahari.40
Selain itu, tidak hanya
bumi yang dapat merasakan sinar yang dikeluarkan oleh matahari, benda-
benda angkasa lainnya juga dapat merasakannya, tak terkecuali satelit
bumi yaitu bulan. Bulan akan tampak jelas terlihat di bumi ketika malam
hari, cahaya yang dihasilkan bulan merupakan pantulan dari sinar
matahari. Namun adakalanya sinar matahari tidak dapat sampai ke bulan,
hal ini terjadi karena terhalang bumi. Pada saat itulah matahari-bumi-bulan
37
Fachruddin, Ensiklopedia Al-Qur‟an, Jilid 2, Jakarta: PT. Melton Putra, Cet ke 1,1992,
hlm 60. 38
Berdnard S. Cayne, Op. Cit, hlm 66. 39
Adriana Wisni Ariasti, Op Cit, hlm 17. 40
Ibid,
41
berada pada satu garis lurus. Akibatnya bulan tidak dapat memantulkan
sinar matahari ke bumi. Pada saat ini terjadilah fenomena gerhana.
2. Bulan
Bulan adalah satu-satunya satelit alami Bumi, dan merupakan
satelit alami terbesar ke-5 di Tata Surya. Begitu halnya bumi, bulan tidak
mempunyai sumber cahaya sendiri dan cahaya Bulan sebenarnya berasal
dari pantulan cahaya Matahari dan bagian bulan yang terang, hanya bagian
yang berhadapan dengan matahari. Bulan lebih kecil dari bumi, kira-kira
seperlima bumi. Dan bulan juga merupakan satu-satunya benda langit
yang pernah didatangi dan didarati oleh manusia.
Bulan, salah satu dari benda langit yang sudah dikenal sejak zaman
pra-sejarah. Bulan selalu berubah-ubah bentuk, hal ini disebabkan
berubahnya letak bulan dalam peredarannya mengelilingi bumi. Dalam
perjalanannnya mengitari bumi, jarak antara bulan dan bumi berbeda-beda,
paling dekat 221.463 mil dan paling jauh 252.710 mil.41
Bulan mengalami perubahan bentuk, membesar dari sabit menjadi
setengah lingkaran, kemudian lingkaran penuh dan menyusut kembali.
Dikarenakan perubahan posisi bulan relatif terhadap matahari jika ditinjau
dari bumi.42 Ilmu astronomi menyebut perubahan bentuk bulan dengan
istilah Phase Bulan (lihat gambar 6), dalam bahasa inggris disebut Phase
41
Fachruddin, Ensiklopedia Al-Qur‟an, Jilid 1, Jakarta: PT. Melton Putra, Cet ke 1, 1992,
hlm 242. 42
Nathalie Fredette, Understanding The Universe, Hendro Setyanto, “Memahami Alam
Semesta”, Bandung: PT Bhuana Ilmu Populer, Cet ke 1, 2006, hlm 34.
42
of the Moon.43 Phase bulan dapat dilukiskan menjadi 8 macam
berdasarkan letak dan bentuknya. Delapan buah bagian luar, itu adalah
gambaran yang sebenarnya sesusi letak bulan menerima sinar matahari.
Dan delapan buah bagian dalam, adalah gambaran bentuknya yang tampak
dari bumi.44
Gambar 6: Phase Bulan
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa para ahli falak melihat
bulan pada saat sabit muda. Karena pada saat sabit muda tersebut
merupakan pergantian awal bulan baru dalam tahun kamariyah.45
Peredaran bulan dari bentuk sabit hingga kembali lagi menjadi bentuk
43
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm
29. 44
Simamora, Ilmu Falak (Kosmografi), Jakarta: CV Pedjuang Bangsa, Cet XXX, 1985,
hlm 38 45
Dinamakan tahun Qomariyah dikarenakan perhitungannya berdasarkan peredaran
Bulan. Lihat dalam Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa, Semarang: IAIN Walisongo, tt,
hlm. 5.
PERUBAHAN PENAMPAKAN BENTUK BULAN (FASE BULAN)
Purnama
Sabit Tua
Sabit Muda
Kwartir Pertama
Kwartir Ketiga
Bulan Susut
Bulan Besar
sinar matahari
Bumi
Hilal
Periode fase bulan = 29,53055 hari
Bulan Baru
(Ijtima’)
43
sabit membutuhkan waktu 29,530588 hari. Oleh karena itu umur bulan
kamariyah ada yang 29 dan ada pula yang 30 hari, berdasar ijtima‟.46
Fenomena lain yang berdapat pada phase bulan terjadi pada saat
bulan-bumi-matahari barada pada satu garis lurus. Dimana bulan berada
pada kedudukan oposisi terhadap matahari dan letaknya dekat pada sumbu
bayang-bayang bumi. Fenomena ini dikenal dengan fenomena gerhana,
tepatnya gerhana bulan.
3. Bumi
Bumi adalah tempat dimana kita tinggal dan merupakan satu-
satunya planet dalam tata surya yang berpenghuni. Setelah wahana
antariksa yang membawa kamera berhasil diluncurkan cukup jauh dari
bumi. Diketahui bahwa bumi terlihat kebiru-biruan, tidak seterang venus
karena daya pantulnya lebih rendah dan jaraknya dari matahari lebih jauh
dibanding dengan planet lain. Bentuk-bentuk di permukaan bumi tidak
sejelas yang terlihat di Mars akibat lebih tebalnya atmosfer dan adanya
awan putih yang cemerlang.47
Bumi terdiri dari air dan daratan, kurang lebih 71% lautan. Bumi
berputar mengelilingi sumbunya dari barat ke timur atau searah dengan
jarum jam yang biasa dikenal dengan sebutan rotasi, sehingga matahari
kelihatan terbit dari timur ke barat. Satu kali putaran bumi membutuhkan
46
Ijtima‟ juga disebut Iqtiran, yaitu antar bumi dan bulan berada pada bujur astronomi,
(Dawa Irul Buruj) yang sama, dalam istilah astronomi disebut konjungsi, para ahli hisab dijadikan
pedoman untuk menentukan bulan baru (qamariah), Badan Hisab Dan Rukyah Departemen
Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981,
hlm. 219. 47
Adriana Wisni Ariasti, Op Cit, hlm 25-26.
44
waktu 24 jam dalam sehari, sehingga terjadilah siang dan malam. Daerah
yang melintasi matahari menjadi terang (siang) dan yang membelakangi
matahari menjadi gelap (malam). Karena peredaran bumi ini, di bumi juga
terjadi musim dingin dan musim panas, kecuali di daerah khatulistiwa.48
Disamping bumi berputar mengelilingi sumbunya, bumi juga
berputar mengelilingi matahari (revolusi), dalam satu kali putaran
menghabiskan waktu 365 hari, yang disebut satu tahun syamsiyah. Dalam
satu tahun bumi mengelilingi matahari selama 12 kali putaran. Bumi juga
memiliki satelit. Satelit bumi hanya satu, yaitu bulan. Seperti halnya bumi,
bulan juga mengelilingi bumi. Satu kali putaran bulan menghabiskan
waktu 354 hari, disebut tahun kamariyah. Pada saat bumi mengelilingi
matahari dan bulan mengelilingi bumi, ada kalanya ketiganya berada
dalam satu garis lurus. Jika hal itu terjadi, dan bumi berada ditengah antara
bulan dan matahari, maka terjadilah gerhana bulan.
E. SEJARAH GERHANA BULAN
Sejak zaman peradaban Mesopotamia, orang-orang telah memikirkan
apa sebenarnya gerhana dan apa pula penyebab terjadinya gerhana yang
sangat mengagumkan itu. Mereka yang berkecimpung dalam disiplin ilmu
yang bersangkutan dengan alam jagat raya, menamainya dengan Ilmu
Astronomi. Para pakar ilmu astronomi ini selalu mengadakan penelitian
tentang gerhana, bahkan mereka juga menghubungkan peristiwa alam ini
dengan penentuan nasib, mitos-mitos yang berkembang pada zaman itu.
48
Fachruddin, Op. Cit, hlm 264.
45
Penelitian ini berlanjut hingga tahun 721 SM. Pada masa ini, orang-
orang Babilonia telah mampu membuat suatu perhitungan tentang terjadinya
gerhana, yang dikenal dengan istilah “Tahun Saros” (dari bahasa Babilonia
“Sharu”). Lama tahun saros ini kurang lebih 18 Tahun 11 hari 8 jam. Jika
diukur dengan tahun Hijriyah, lamanya sekitar 18 tahun 7 bulan 6 hari 12 jam
atau 223 bulan sinodis49
sekitar 6585,32 hari.50
Pada tahun 585 SM filosof kenamaan yaitu “Thales”, menstranmisikan
pengetahuan tentang siklus saros dari Babilonia ke bangsa Yunani.51
Ia juga
pernah meramalkan bahwa pada tahun itu akan terjadi gerhana. Ramalan
Thales ini ternyata tepat sekali dan pada saat itu memang benar-benar terjadi
gerhana. Tahun-tahun selanjutnya sudah bermunculan para ahli yang
berkecimpung dalam dunia ilmu astronomi, misalnya Cladius-ptolemus, Al
Battany dan lainnya. Dan sekitar abad ke XVI dan abad ke XVII M oleh para
pakar astronomi kenamaan, diantaranya Johanes Kepler, Galileo Galilei, Sir
Isaac Newton dan lainnya, ilmu astronomi makin diperhalus dan
dikembangkan.
Perlu diketahui, Seorang ahli falak dari Mesir yang terkenal bernama
“Mahmud Phasya Al-Falaky” dengan menggunakan bilangan tahun saros telah
memperhitungkan terjadinya gerhana matahari yang terjadi pada saat wafatnya
Sayyid Ibrahim putra Nabi Muhammad SAW. Yaitu terjadi pada tahun 10
49
Bulan sinodis adalah Peredaran bulan dari bulan baru ke bulan baru berikutnya,artinya
dalam satu peredaran bulan tersebut adalah waktu yang digunakan bulan untuk mengelilingi bumi,
sekitar 29,3 hari. Lihat Iratius Radiman, Ensiklopedi – Singkat Astronomi dan Ilmu Yang
Bertautan, Bandung: ITB, 1980, hlm 16. 50
Soetjipto, Op. Cit, hlm 22-23. 51
Departemen Agama RI, Islam Untuk Disiplin Astronomi, Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, hlm 196.
46
Hijriyah, tepatnya pada hari senin 29 Syawal 10 H bertepatan dengan tanggal
27 Januari 632 M, jam 08.30 pagi.52
Memang di zaman Nabi SAW pernah terjadi gerhana. Yang bertepatan
dengan kematian putra Nabi SAW, yaitu Sayyid Ibrahim. Lalu segolongan
kaum mengatakan bahwa matahari mengalami gerhana karena wafatnya
Ibrahim. Mereka mengatakan demikian dengan maksud mengagungkan Nabi
SAW dan putranya. Ketika Nabi Saw mendengar apa yang mereka katakan,
Beliau marah, lalu berkhotbah kepada mereka yang isinya menjelaskan bahwa
matahari dan bulan merupakan dua pertanda diantara tanda-tanda yang
menunjukkan kekuasaan Allah SWT dan tidak ada satu kekuasaan pun bagi
seseorang terhadap keduanya. Keduanya tidak mengalami gerhana karena
mati atau hidupnya seseorang, betapapun besarnya orang tersebut. Jadi
kematian atau kelahiran seseorang tidak berpengaruh sama sekali terhadap
terjadinya gerhana matahari dan bulan.53
Sebagaimana Hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi :
: سعت أتا يسعد يقل : حذثا إترايى ت حيذ ع إساعيم ع قيس قال: حذثا شاب ت عثاد قال
نكا ايتا ي , إ انشس انقر ال يكسفا نت أحذ ي اناس : قال انثي صه اهلل عهي سهى
(را انثخار)فإرا رأيتا فقيا فصها , ايات اهلل
Artinya: “Syihab bin „ibad telah bercerita kepada kami, ia berkata: telah
bercerita kepada kami Ibrahim bin Humaid dari Ismail dari qais, ia
berkata: aku mendengar Aba Mas‟ud berkata: Nabi SAW bersabda:
sesungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena
kematian seorang manusia, tapi keduanya merupakan tanda
diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat
keduanya (gerhana), maka berdirilah lalu shalatlah.”
52
Soetjipto, Loc. cit. 53
„Alawin Abbas al-Maliki, Ibaanatul Ahkaam, Bahrun Abu Bakar, “Penjelasan Hukum-
hukum Syari‟at Islam”, Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet ke 1, 1994, hlm 802-803. 54
Shahih al-Bukhari, Loc. Cit.
47
Sebenarnya gerhana terjadi secara periodik, pada waktu-waktu tertentu
yang dapat diketahui dengan hisab (perhitungan). Sama halnya seperti
munculnya hilal atau timbul tenggelamnya bulan purnama. Ibnul Qayyim
berkata: penyebab terjadinya gerhana bulan adalah posisi bumi yang berada
diantara matahari dan bulan sehingga bulan terhalangi untuk memperoleh
cahaya matahari hingga yang tertinggal hanyalah gelapnya bayangan bumi
pada orbit (jalur peredaran)nya. Karena sebagaimana yang kita tahu bulan
tidak memiliki cahaya, tapi ia memperoleh cahayanya dari matahari.55
Sedangkan masyarakat indonesia sendiri, umumnya masyarakat
tradisional dulu lebih banyak mendasarkan gerhana pada tahayul-tahayul dan
mitos-mitos yang diwariskan dari mulut ke mulut. Khayalan dan mitos
tersebut diantaranya ialah yang menyatakan bahwa gerhana terjadi karena
matahari ditelan oleh raksasa yang bernama “Kala” atau “Kalarahu”. Raksasa
ini dibayangkan mempunyai kepala yang besar dan mulut yang lebar. Ia
mempunyai leher tetapi tidak mempunyai badan. Oleh sebab itu, masyarakat
yang memiliki kepercayaan seperti ini, berusaha melakukan perbuatan-
perbuatan mengusir raksasa tersebut. Mereka kan menabuh semua alat yang
dapat menimbulkan bunyi, misalnya memukul kentongan, lesung, lumping
dan sebagainya. Mereka beranggapan, apabila raksasa mendengar bunyi-
bunyian yang ribut tersebut akan lari dan memuntahkan kembali matahari dari
mulutnya sehingga matahari bersinar kembali seperti sediakala.56
55
Sa‟id bin Ali bin Wahf al-Qathani, Shalatul Mu‟min, Op. Cit, hlm 8. 56
Soetjipto, Op. Cit, hlm 6-7.
48
Akan tetapi lambat laun pemahaman dan kepercayaan itu hilang,
terutama karena terjadinya kontak ilmu pengetahuan, meskipun bekas-
bekasnya masih bisa dirasakan. Ilmu pengetahuan yang mengikis pemahaman
dan kepercayaan tersebut adalah ilmu astronomi, dengan ilmu ini terjadinya
gerhana tidak lagi dianggap sebagai tahayul-tahayul ataupun mitos-mitos,
melainkan dianggap sebagai suatu femomena alam yang sangat indah sebagai
bentuk salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah yang dihadiahkan kepada
seluruh makhluk di bumi.
49
BAB III
METODE HISAB GERHANA BULAN DALAM KITAB AL-
KHULASHAH AL-WAFIYYAH DAN EPHEMERIS
A. BIOGRAFI INTELEKTUAL ZUBAIR UMAR AL-JAELANY
Zubair Umar al-Jaelany adalah seorang ulama‟ dan juga akademisi
yang terkenal sebagai pakar ilmu falak. Beliau lahir di Bojonegoro,
tepatnya di Desa Padangan Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro
Jawa Timur yang bertepatan pada Hari Rabu Pahing tanggal 16 September
1908 M.1
Beliau seorang yang gigih, tekun, ulet dan bijaksana serta penuh
kewibawaan. Dalam kehidupan sehari-hari beliau adalah seorang sosok
yang sangat disiplin terhadap waktu, meskipun demikian beliau tidak
fanatik dalam pendidikan.2
Dalam dunia pendidikan, hampir seluruhnya beliau tempuh dalam
pendidikan tradisional yakni madrasah dan pondok pesantren, termasuk
mukim li-thalab al-ilmi di Makkah al-Mukarromah pada waktu menjalankan
ibadah haji. Karena pada masa itu pesantren merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan yang tersedia untuk masyarakat pribumi di pedesaan.
Beliau memulai pendidikannya dari Madrasah Ulum yang ditempuh
selama lima tahun, yaitu tahun 1916-1921 M. Setelah itu beliau melanjutkan
pendidikannya di dunia pesantren, yaitu di Pondok Pesantren Termas Pacitan
1 Daftar riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh Zubair Umar al-Jaelany tertanggal 22
Maret 1976, hlm 1. 2 Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Anshori yang merupakan putra mantu dari Zubair
Umar al-Jaelany, pada tanggal 11 Oktober 2010 di Salatiga.
50
selama 4 tahun, mulai tahun 1921 sampai tahun 1925 M. Kemudian Pondok
Pesantren Simbang Kulon, Pekalongan tahun 1925 – 1926 M dan Pondok
Pesantren Tebu Ireng Jombang tahun 1926 – 1929 M.3
Setelah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng,
beliau melanjutkan sekolahnya ke Makkah al-Mukarromah selama lima tahun
(1930-1935 M). Setelah sebelumnya menikah dengan Jainab yang lahir di
Salatiga pada tanggal 6 Januari 1916 M pada tanggal 15 September 1929 M di
Kenaiban Suruh Salatiga.
Selama bermukim di Makkah beliau belajar pada seorang guru ahli di
bidang hisab yang bernama Umar Hamdan. Dengan kitab rujukan al-Matlaus
Said fi Hisab al-Kawakib ‘Ala Rushdi al-Jadid karya Husain Zaid al-Mirsa
dengan markaz mesir dan al-Manahij al-Hamidiyah karya Abdul Hamid
Mursy dengan markaz mesir.4 Setelah mahir di bidang ilmu falak, beliau
menyusun kitab al-Khulashah al-Wafiyyah (kesimpulan yang sempurna).
Menurut penuturan bapak Slamet Hambali, beliau menyusun kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah saat beliau bermukim di Makkah.5
Dalam kehidupannya, beliau banyak terlibat secara aktif di lembaga-
lembaga negara. Adapun jabatan beliau yang pernah didapatkan adalah
sebagai berikut:
1. Penghulu (Hakim) pada Pengadilan Negeri Salatiga, tahun 1945 – 1947.
3 Daftar riwayat hidup, Loc. Cit.
4 Ahmad Izzuddin, Zubair Umar al-Jaelany dalam Sejarah Pemikiran Hisab Rukyah di
Indonesia, Laporan Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang, 2002, hlm 63. 5 Hasil wawancara dengan Bapak Drs Slamet Hambali yang merupakan salah satu murid
beliau yang melanjutkan kepakarannya di bidang ilmu falak, pada tanggal 12 Januari 2011 di
Semarang.
51
2. Penghulu Kabupaten Semarang di Salatiga pada tahun 1947 – 1951.
3. Kepala KUA Semarang di Semarang pada tahun 1951 – 1952.
4. Kepala KUA Semarang di Salatiga pada tahun 1952 – 1954.
5. Koordinator Urusan Agama Karesidenan Pati di Pati pada tahun 1954
sampai 1956.
6. Pd Kepala KUA Jawa Tengah di Semarang pada tahun 1956 – 1959.
7. Kepala KUA Jawa Tengah di Semarang pada tahun 1959 – 1962.
8. Ketua Mahkamah Islam Tinggi di Surakarta pada tahun 1962 – 1968.
9. Impassing Pembina Agama/Ketua Mahkamah Islam Tinggi pada tahun
1968 – 1970.
10. Pd. Rektor IAIN Walisongo Semarang pada tahun 1970 – 1972.
Selain aktif di lembaga-lembaga negara beliau juga aktif di lembaga
sosial keagamaan, lembaga-lembaga yang pernah diikuti antara lain:
1. Ketua himpunan para pelajar dari Jawa di Makkah (Raudlatul Munazhirin)
tahun 1931-1935
2. Ketua Himpunan Pendidikan Agama Islam (HPAI) daerah Kec Suruh
tahun 1937-1942
3. Ketua jaam‟iyah cabang Nahdlatul Ulama (NU) cabang Kab. Semarang
4. Ketua Masyumi cabang Salatiga sampai menjadi partai politik
5. Ketua barisan kyai atau barisan sabil kab. Semarang di Salatiga
6. Ketua Syuriah partai NUcabang Semarang di Salatiga tahun 1946
7. Rais Syuriah NU wilayah Propinsi Jateng tahun 1956-1970
8. Anggota Koopri IAIN Walisongo Semarang
52
9. Anggota pengurus dewan pimpinan daerah GUPPI Jateng sebagai
WANBINDA tahun 1970
10. Anggota Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) Jateng
tahun 1975
11. Kepala tasawuf di IAIN Yogyakarta dan lain sebagainya.
Semenjak tahun 1977 M beliau mulai mengakhiri karirnya dengan
merintis pondok pesantren Joko Tingkir, akan tetapi pondok tersebut sekarang
tinggal petilasannya dan hanya terkenal sebagai kampung pondok tingkir.
Jasa-jasa beliau sangat banyak, salah satu hasil jasa beliau yang
sekarang masih eksis adalah STAIN Salatiga. Lembaga ini, sebelum menjadi
STAIN Salatiga, ia merupakan Pesantren Luhur kemudian menjadi FIP IKIP-
NU yang akhirnya menjadi Fakultas cabang, yaitu Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo di Salatiga yang akhirnya sekarang menjadi STAIN Salatiga.6
Murid-muridnya antara lain: Kyai Musyafak (Salatiga Jawa Tengah),
Kyai Subkhi (Jawa Timur), Hamid Nawawi (Bulu Manis, Pati, Jawa Tengah),
Drs KH Slamet Hambali (Dosen IAIN Walisongo Semarang), dan Drs Habib
Thoha, M.A. (mantan Kakanwil Depag Jawa Tengah). Drs KH Slamet
Hambali adalah salah satu murid beliau yang meneruskan kepakarannya di
bidang ilmu falak.7 Beliau wafat pada tanggal 10 September 1990 M yang
bertepatan pada tanggal 24 Jumadil Awal 1411 H, dan dimakamkan di
Salatiga.
6 Buku Panduan Program S.1 dan Diploma IAIN Walisongo Semarang, tahun 2010, hlm
27. 7 Ahmad Izzuddin, Op. Cit, hlm 61.
53
Beliau tidak banyak menulis. Karena kehidupan beliau hampir
semuanya disibukkan dengan urusan-urusan beliau sebagai pegawai negeri,
sehingga wajar kalau karya-karya beliau sangat sedikit. Salah satu karya
beliau yang dipublikasikan hanyalah kitab al Khulashah al Wafiyyah. Bahkan
awalnya kitab ini hanya berupa lembaran-lembaran yang masih berantakan,
hingga akhirnya dicetak pertama kali di Surakarta. Ada juga karya beliau yang
tidak dicetak yaitu tentang hasil-hasil Bahtsul Masail keagamaan.8
B. GAMBARAN UMUM TENTANG KITAB AL-KHULASHAH AL-
WAFIYYAH
Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah merupakan sebuah kitab monumental
yang disusun sekitar tahun 1930-an oleh seorang intelektual, yaitu disusun
oleh Zubair bin Umar bin al-Jaelany. Secara global, kitab yang bernama
lengkap kitab al Khulashah al Wafiyyah fi al Falaki bi Jadwal al
Lughartimiyah ini mempunyai tebal 269 halaman yang terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu; bagian utama, bagian tambahan dan bagian lampiran.
a. Bagian Utama
Pada bagian utama ini terdiri atas 12 bab, dengan rincian sebagai
berikut:
- Bab pertama menerangkan tentang berbagai macam jenis
penanggalan, dari penanggalan hijriyah, masehi dan jawa, serta
tahwilus sanah (konversi tahun) dari satu macam penanggalan ke jenis
penanggalan yang lain.
8 Wawancara Drs. Anshori, Op, Cit .
54
- Bab kedua menerangkan dasar-dasar ilmu falak seperti: hal-hal yang
berkaitan dengan masalah bumi, bulan, matahari, bintang-bintang,
yang meliputi ukuran, gerakan-gerakannya, dan lain sebagainya.
- Bab ketiga menerangkan tentang petunjuk tehnis atau petunjuk
operasional dalam mengerjakan hisab, seperti bagaimana mencari
besarnya angka ta’dil dalam mencari thul qamar, syams (moon/sun
eclpitic longitude), matholi’ul baladiyah (asensiorechta) dan lain
sebagainya.
- Bab keempat menerangkan tentang bagaimana cara mencari lima
waktu shalat, dan mencari azimut qiblat (simtu al-qiblat) sebuah
negara/tempat.
- Bab kelima menerangkan tentang ijtima‟ (konjungsi) dan istiqbal
(oposisi) bulan dan matahari.
- Bab keenam menerangkan tentang hilal meliputi: posisi hilal, tinggi
hilal, azimut hilal, mukuts hilal, besar cahaya dan lain sebagainya.
- Bab ketujuh dan Bab kedelapan menerangkankan tentang bagaimana
cara menentukan dan menghitung terjadinya gerhana bulan dan
matahari.
- Bab kesembilan menerangkan tentang bintang-bintang yang lain
(asteroid).
- Bab kesepuluh menerangkan tentang komet (al-mudzannabat).
- Bab kesebelas menerangkan tentang udara (jawwu), suhu udara.
- Bab terakhir menerangkan tentang bintang sejati (zodiak).
55
b. Bagian Tambahan
Pada bagian ini, sebenarnya tidak banyak berhubungan dengan
ilmu falak secara umum, sehingga semestinya dapat dijadikan bab
tersendiri dan terpisah dari kitab ini. Namun Zubair Umar al-Jaelany
menyatukan dan memasukkannya dalam kitab ini.
Bagian ini memuat tentang maqaayis (ukuran, satuan) seperti
satuan berat, panjang, luas serta ukuran-ukuran yang dipakai oleh orang
Arab dalam standar internasional.
c. Bagian Lampiran
Bagian ini memuat lampiran yang berupa tabel-tabel untuk
menyempurnakan bagian utama, jadi bagian lampiran ini merupakan
bagian penting dari kitab ini, karena tidak bisa melakukan perhitungan
tanpa adanya bab ini.
Tabel-tabel yang dimuat berupa tabel gerak matahari dan bulan,
tabel algoritma serta data-data arah kiblat kota-kota penting di seluruh
dunia dan juga terdapat data-data astronomi lainnya. Perlu diketahui,
bahwa dalam mencantumkan tabel-tabel, kitab ini masih menggunakan
singkatan-singkatan dan simbol-simbol tertentu untuk mewakili sesuatu
yang panjang, diantaranya:
a. و singkatan dari yaum (hari)
b. ت singkatan dari sa’ah (jam)
c. ح singkatan / simbol dari derajat dan buruj (zodiak)
d. ق simbol dari menit ( ذقیقة )
56
e. ي singkatan dari detik ( ثىاى )
f. ″′ singkatan dari secon ( ثىا هث )
g. ″″ singkatan dari seperenampuluh secon ( رىابغ )
h. ◦ simbol dari derajat
i. ′ simbol dari menit derajat
j. ″ simbol dari detik derajat
Sedangkan dalam menuliskan tanda operasi bilangan seperti
pertambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian berbeda dengan
tanda yang terkenal atau yang lazim. Dalam menandai operasi bilangan
tersebut kitab ini menggunakan: ( ═ ) untuk pertambahan, ( ─ ) untuk
pengurangan, ( X ) untuk perkalian dan ( / ) untuk pembagian.
Begitu halnya dengan penggunaan angka-angka, angka-angka yang
digunakan dalam tabel ada yang masih menggunakan angka-angka arab
(misalnya dalam pencarian hari). Yaitu dengan menggunakan huruf-huruf
yang biasa disebut dengan angka jumali9, angka jumali tersebut terkumpul
dalam kalimat:
ا بجذ هىز حغي كهمه
Di mana angka satu dilambangkan dengan huruf alif, angka 2
dilambangkan dengan ba’, angka 3 dilambangkan dengan jim, angka 4
dilambangkan dengan dal, angka 5 dilambangkan dengan ha’, angka 6
dilambangkan dengan wawu, angka 7 dilambangkan dengan za’.
9 Yang dimaksud dengan angka jumali adalah salah satu model angka yang biasa
digunakan oleh para ulama hisab tempo dulu untuk menyajikan data astronomis benda-benda
langit. lihat Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm 41.
57
Angka tersebut dipakai hanya dalam menyebutkan alamat al-
ayyam saja. Jadi dalam penggunaannya hanya sampai pada huruf za’
karena disesuaikan dengan jumlah bilangan hari. Sedangkan untuk
pemulaan hari, hari pertama adalah hari Ahad, kemudian Senin, begitu
seterusnya. Dan untuk penyebutan buruj (zodiak) dimulai dari buruj Haml.
Untuk waktu yang digunakan, dihitung dari waktu zawal al wustha atau
sekitar pukul 12.00 waktu pertengahan (waktu kota makkah).
C. KONSEP HISAB GERHANA BULAN DALAM KITAB AL-
KHULASHAH AL-WAFIYYAH
Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah meskipun tergolong kitab yang
menganut sistem haqiqi bi al-tahqiq, dalam menentukan gerhana bulan
memuat beberapa sistem, yaitu sistem haqiqi bi al-taqrib dan juga sistem
haqiqi bi al-tahqiq. Dalam kitab ini, sistem haqiqi bi al-taqrib dipakai untuk
dasar mengerjakan hisab haqiqi bi al-tahqiq. Dengan kata lain untuk
mengerjakan hisab haqiqi bi al-tahqiq terlebih dahulu harus mengerjakan
hisab haqiqi bi al-taqrib. Berikut penjelasannya:
a. Hisab haqiqi bi al-taqrib
Hisab haqiqi bi al-taqrib adalah adalah sistem hisab yang amat
sederhana, dalam sistem ini tidak ada rumus-rumus segitiga bola. Baik
Sistem hisab haqiqi bi al-taqrib untuk mengetahui ijtima’ ataupun sistem
hisab haqiqi bi al-taqrib untuk mengetahui waktu istiqbal. Pada proses
perhitungannya, sistem hisab haqiqi bi al-taqrib menggunakan tabel.
Perhitungan yang terdapat dalam tabel hanyalah penjumlahan (jika
58
mencari waktu ijtima’), namun lain halnya ketika mencari waktu istiqbal
yang terdapat harakah al-istiqbal untuk mengurangi harakah al- ijtima’.
Sedangkan dalam pencarian ta‟dilnya yang ada hanyalah menjumlah,
mengurangi dan ada dua kali perkalian sederhana, yaitu pertama al-bu'du
al-ghairu al-mu'addal di kalikan 5 menit, kedua al-bu'du al-muaddal
dikalikan khishshah al-sa'ah.
Sistim hisab haqiqi bi al-taqrib dalam kitab falak al-khulashah al-
wafiyyah, yang merupakan proses menuju hisab haqiqi bi al-tahqiq,
dibahas pada halaman 116 sampai dengan halaman 121.10
Sedangkan data-
data pendukung yang diperlukan dalam sistim hisab ini dapat dijumpai
pada halaman 226, 227, 228, 262 dan 264.
b. Hisab haqiqi bi al-tahqiq
Hisab haqiqi bi al-tahqiq berpangkal pada pemikiran aliran
heliosentris yakni matahari merupakan pusat orbit bumi dengan bulannya
serta planet-planet lainya. Hal ini berbeda dengan hisab haqiqi bi al-taqrib
yang berangkat dari teori geosentris yakni anggapan bahwa bumi
merupakan pusat dan benda-benda langit lainnya mengitari bumi.
Gerak benda-benda langit dari timur ke arah barat merupakan
akibat dari perputaran bumi pada porosnya (rotasi). Sedang berpindah-
pindahnya matahari dari buruj satu ke buruj lainnya merupakan akibat dari
gerak bumi mengitari matahari (revolusi).
10
Zubair Umar al-Jaelany, al-Khulashah al-Wafiyyah, Surakarta: Melati, 1935, hlm 116-
121.
59
Orbit bumi, bulan dan benda-benda langit lainnya berbentuk ellips,
sementara itu gaya tarik benda-benda langit mengganggu gerak bumi dan
bulan. Oleh karena itu gerak bumi dan bulan tidak selalu rata. Akibatnya
gerak matahari (gerak semu) di bola langit sebagai akibat gerakan bumi
dan bulan, juga tidak rata. Dari sini maka posisi rata-rata matahari dan
bulan perlu dikoreksi (di-ta’dil).11
Posisi matahari dan bulan dapat dibedakan menjadi posisinya
terhadap titik perigeenya, yang disebut dengan khasshah (geraknya disebut
dengan anomali), dan posisinya terhadap titik vernel equinok, yang disebut
dengan wasat. Karena orbit bumi berbentuk ellips maka untuk menemukan
posisi haqiqi matahari di bola langit harus dikoreksi sebagai akibat bentuk
orbit ellips tersebut, dengan koreksi yang disebut koreksi pusat.
Sementara bulan sebagai satelit bumi yang bersama-sama dengan
bumi mengitari matahari, maka geraknya banyak mengalami gangguan
dari berbagai gaya gravitasi benda langit lainnya. Oleh karena itu untuk
menemukan posisi bulan haqiqi perlu dikoreksi yang lebih banyak
terhadap posisi rata-rata bulan. Sehingga koreksi bulan lebih banyak dan
lebih komplek.12
Untuk melakukan proses perhitungan lebih lanjut, maka setelah
selesai mengerjakan hisab Hisab haqiqi bi al-taqrib, kemudian dilanjutkan
Hisab haqiqi bi al-tahqiq.
11
Ahmad Syifa'ul Anam, Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qomariyah Dalam Kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah Dengan Metode Haqiqi bit tahqiq, Skripsi Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang, 1997, hlm 57. 12
Ibid,
60
Tahap awal untuk mengetahui kapan terjadinya gerhana bulan
yaitu dengan menghitung kemungkinan terjadinya gerhana bulan dengan
menambahkan data tahun dengan data bulan. Data-data tahun dan bulan
tersebut bisa didapat pada halaman 224. Dan data hari yang digunakan
adalah 13.
Gerhana bulan mungkin terjadi jika hasil penjumlahan tersebut:13
Antara 0b 0˚ s/d 0
b 14˚
Antara 5b 15˚ s/d 6
b 14˚
Antara 11b 15˚ s/d 11
b 29˚
Kemudian ingat kembali istiqbal haqiqi bi al-taqrib yang telah
dihitung di awal, Lalu menghitung istiqbal haqiqi bi al-tahqiq sebagai
bentuk kelanjutan dari proses perhitungan haqiqi bi al-taqrib untuk
mengetahui jam istiqbal haqiqi bi al-tahqiq. Sebagaimana hisab haqiqi bi
al-taqrib, hisab haqiqi bi al-tahqiq juga menggunakan tabel dalam proses
perhitungannya, tabel tersebut digunakan agar mendapat nilai Thul al-
Syams dan Thul al-Kamar.
Ketika mencari Thul al-Syams dan Thul al- Kamar terdapat
beberapa koreksi. Dalam kitab ini koreksi (ta’dil) untuk bulan dilakukan
sebanyak lima kali. Sedangkan untuk mencari posisi matahari cukup hanya
dengan satu kali koreksi saja. Koreksi-koreksi terhadap bulan secara
global adalah sebagai berikut:14
13
Zubair Umar al-Jaelany, Op. Cit, hlm 224. 14
Disampaikan oleh Slamet Hambali pada waktu pembelajaran mata kuliah Kajian Kitab
Falak II mengenai hisab awal bulan kamariyah dalam kitab al-khulashah al-wafiyyah pada tanggal
31 Agustus 2009.
61
1. Koreksi perata Tahunan, sebagai akibat gerak tahunan bulan bersama-
sama dengan bumi mengelilingi matahari dalam orbit yang berbentuk
ellips. Koreksi (ta’dil) tersebut diambilkan dari angka yang diperoleh
khashshah matahari (dalil awal). Angka Ini juga digunakan juga untuk
mengoreksi „uqdah.
2. Koreksi sebagai akibat berubahnya eccentricity bulan. Koreksi tersebut
diambil dari angka hasil dalil tsani, yang diperoleh selisih dari
khashshah dan wasat bulan dengan thul matahari.
3. Koreksi yang mengakibatkan bulan baru atau bulan purnama tiba
terlambat atau lebih cepat. Koreksi ini diambilkan dari hasil khashshah
matahari (dalil awal).
4. Koreksi yang besarnya diambil dari hasil angka khashshah bulan (dalil
tsalis).
5. Koreksi yang di ambil dari data dalil rabi’, yang didapat dari selisih
antara wasat bulan dengan thul matahari.
6. Koreksi yang terakhir adalah koreksi perata pusat sebagai bentuk ellips
orbit bulan, yang besarnya diambilkan dari data dalil rabi’ dan „uqdah
yang telah terkoreksi.
Koreksi-koreksi tersebut dituangkan dalam bentuk tabel koreksi,
kesatu, kedua, ketiga, keempat dan kelima serta koreksi bagi uqdah dan
khashshah bulan. Dalam kitab ini ada cara khusus untuk mencari besarnya
angka ta’dil. Yaitu dengan rumus: A-(A-B) X C/ interval, di mana:
62
A. = Satar awal
B. = Satar tsani
C. = Selisih antara satar awal dengan satar tsani
Jika Thul al Syams dan Thul al Kamar nya sudah ditemukan,
kemudian carilah selisih di antara keduanya. Jika hasil dari selisih tersebut
kurang dari 33 ثىاو, maka perhitungan dilanjutkan pada tahap selanjutnya.
Akan tetapi jika perhitungan lebih dari 33 ثىاو, maka dihitung kembali
sebagaimana rincian dalam tabel, hingga hasil selisih tersebut kurang dari
.ثىاو 3315
Setelah selisih di dapat, maka selisih tersebut dijadikan satuan روابغ
yang kemudian di bagi dengan Sabaq al-Mu’addal dengan satuan ثىاو.
Sabaq al-Mu’addal didapat dari Sabaq al-syams untuk mengurangi sabaq
qamar fi al-thul yang hasilnya dijadikan satuan ثىاو. Hasil dari pembagian
tersebut adalah nilai jam selisih yang digunakan untuk mengurangi jam
istiqbal haqiqi bi al-taqrib, hasilnya di sebut Sa’at al-bu’di.
Untuk menghitung jam istiqbal haqiqi, di perlukan daqaiq ta’dil
al-zaman (perata waktu) dan Sa’at al-bu’di untuk menambah jam zawal
haqiqi.16
Setelah melalui tahapan tersebut, maka langkah selanjutnya adalah
menghitung terjadinya gerhana bulan. Adapun tahapan-tahapannya adalah:
15
Zubair Umar al-Jaelany, Op. Cit, hlm 147. 16
Ibid,
63
(Lintang Astronomi Bulan) ػرض انقمر .1
Ardl al- Kamar di dapat dari Aqrab al-I’tidal di tambah Nisbah
al-Jaibiyah li ardl al-Kamar al-Kuli. Jika hasil Ardl al-Kamar tersebut
lebih dari 65‟ 7”, maka berhentilah menghitung. Dan jika lebih kecil
dari 60‟ 24” maka teruskanlah.
(kecepatan bulan di bumi) سبق انقمر ف انؼرض .2
Sabaq al-Kamar fi al-Ardl di dapat dari hasil penjumlahan
antara Aqrabu al-inqilab dan Nisbah al-Jaibiyah li sabaq al-Kamar fi
al-Ardl al-Kuli.
(deklinasi semu bulan) انميم انىسب .3
Al-mail al-Nisbi di dapat dari Ansab al-Sabaq fi al-Ardl di
kurangi Ansab al-Sabaq al-Mu’adal.
(gerak bulan) انحركة انساػية .4
Al-harakat al-Sa’iyah di dapat dari hasil pengurangan antara
Ansab al-Sabaq al-Mu’adal dan Nisbah al-Jaibiyah li tamam al-Mail
al-Nisbi.
(simpanan pertama) انمخفىػ االول .5
Al-Mahfudz al-Awwal di dapat dari hasil penjumlahan antara
Ansab ardlu al-Kamar dan Nisbah al-Jaibiyahli al-Mail al-Nisbi.
(menit-menit setelah pertengahan gerhana) دقائق بؼذ وسظ انخسىف .6
Daqaiq ba’ad wasat al-Khusuf di dapat dari hasil penjumlahan
antara Ansab Al-Mahfudz al-Awwal dan Ansab daqaiq saa’at, yang
kemudian dikurangi dengan Ansab Al-harakat al-Sa’iyah.
64
(simpanan ke dua) انمخفىػ انثاو .7
Al-mahfudz al-tsani di dapat dari nilai penjumlahan Nisbah al-
Jaibiyah li tamam al-Mail al-Nisbi dan Ansab ardlu al-Kamar.
(semi diameter bayangan inti bumi) وضف قغر انظم .8
Nisfu qathr al-dlil di ambil dari halaman 225 dengan
menggunakan data dalil 3.
(semi diameter bulan) وصف قغر انقمر .9
Nisfu qathr al-Kamar di ambil dari halaman 225 dengan
menggunakan data dalil 3.
(simpanan ke tiga) انمخفىػ انثانث .10
Al-mahfudz al-Tsalis di dapat dari Nisfu qathr al-dlil yang
ditambahkan dengan Nisfu qathr al-Kamar.
(simpanan ke empat) انمخفىػ انرابغ .11
Al-mahfudz al-Rabi’ di dapat dari Al-mahfudz al-Tsalis yang
ditambahkan dengan Al-mahfudz al-tsani.
(simpanan ke lima) انمخفىػ انخامس .12
Lain halnya dengan Al-mahfudz al-Rabi’, Al-mahfudz al-
Khamis di dapat dari hasil pengurangan antara Al-mahfudz al-Tsalis
dan Al-mahfudz al-tsani.
ساػات انسقىط .13
Untuk mengetahui nilai sa’at al-suqut, pertama-tama harus
mengetahui nilai al hasil terlebih dulu. Al-hasil di dapat dari
penjumlahan antara Ansab al-mahfudz al-Rabi’ dan Ansab Al-mahfudz
65
al-Khamis. Setelah di ketahui hasilnya, maka yang di pakai adalah
Nisfu al-hasil (separuh dari nilai al-hasil). Lalu Nisfu al-hasil tersebut
di kurangi Ansab al-harakah al sa’iyah setelah sebelumnya
dijumlahkan dengan nilai Ansab daqaiq saat.
(pertengahan gerhana) ساػات وسظ انخسىف .14
Sa’at wasat al-khusuf di dapat dari nilai Sa’at al-Istiqbal yang
dikurangi dengan Daqaiq ba’ad wasat al-khusuf.
(awal gerhana) ساػات ابتذاء انخسىف .15
Sa’at ibtida’ al-khusuf di dapat dari pengurangan antara Sa’at
wasat al-khusuf dan Sa’at al-suqut.
(akhir gerhana) ساػات اوتهاء انخسىف .16
Berbeda dengan Sa’at ibtida’ al-khusuf, Sa’at intaha al-khusuf
di dapat dari penjumlahan antara Sa’at wasat al-khusuf dan Sa’at al-
suqut.
17. (sisa) انباق
Al-baqi di dapat dari al-mahfudz al-tsalis dikurangi ‘ard
Kamar, hasilnya dijadikan satuan tsawani kemudian dikalikan 12.
(diameter bulan) قغر انقمر .18
Qatr al-Kamar di dapat dari nisfu qatr al-Kamar yang
dilipatgandakan, kemudian dijadikan satuan tsawani.
(ukuran gerhana) اصابغ انخسىف .19
Asabi’ al-khusuf di dapat dari nilai Al-baqi di bagi dengan
Qatr al-Kamar. Di kalangan ahli falak qatr al-Kamar dan qatr al-
66
syams secara istilahi terbagi menjadi 12 bagian, yang mana setiap
bagian di sebut satu jari (اصبغ) dan setiap jari adalah 60 menit.
(jenis gerhana) وىع انخسىف .20
Untuk mengetahui gerhana apa yang akan terjadi, maka
gunakan ‘ard al-Kamar untuk mengurangi nisfu qatr al-dhil. Apabila
hasilnya sama dengan nisfu qatr al-Kamar berarti terjadi gerhana total
dan totalnya tidak lama (langsung memulih). Jika hasilnya lebih besar,
maka totalnya agak lama. Dan jika hasilnya lebih kecil, maka terjadi
gerhana bulan sebagian.
Jika gerhana bulan total yang terjadi maka harus diketahui
kapan awal total dan akhir total, yaitu dengan cara:
a) Nisfu qutr dhil- nisfu qutr Kamar + al-mahfudz al-tsani
b) Nisfu qutr dhil- nisfu qutr Kamar - al-mahfudz al-tsani
c) Setelah di dapat hasil dari keduanya, lalu di cari nilai ansabnya.
Jika nilai ansab sudah ditemukan, maka ambil nisfu ansabnya
untuk menambahkan ansab daqaiq sa’ah, lalu hasilnya di
kurangkan dengan nilai al-harakah al-sa’iyah. Nilai yang di dapat
tersebut adalah nilai sa’ah al-muks yaitu setengah dari masa
gerhana total.
d) Untuk mengetahui awal total, gunakan sa’ah al-muks untuk
mengurangi sa’ah wasath al-khusuf. Dan untuk mengetahui akhir
total gunakan sa’ah al-muks untuk menambah sa’ah wasath al-
khusuf.
67
(warna gerhana) نىن انخسىف .21
Adapun warna khusuf tidak bisa diketahui secara pasti, tetapi
dikatakan bahwa jika ‘ard al-Kamar 10˚ ke bawah, maka warnanya
hitam pekat. Jika ‘ard al-Kamar sampai 20˚, maka warnanya hitam
kehijauan. Jika ‘ard al-Kamar sampai 30˚, maka warnanya hitam
kemerahan. Jika ‘ard al-Kamar sampai 40˚, maka warnanya hitam
kekuningan. Jika ‘ard al-Kamar sampai 50˚, maka warnanya. Jika
‘ard al-Kamar sampai 60˚, maka warnanya kelabu.
انمركاز .22
Hasil yang di hitung masih bermarkaz Makkah, untuk
mengubah ke daerah yang kita inginkan maka diperlukan selisih bujur
makkah dengan bujur daerah yang akan kita cari.17
Setelah kita
mengetahui jam terjadinya gerhana di kota yang kita cari, hal tersebut
masih belum sempurna. Karena untuk mengetahui gerhana benar-benar
terjadi di kota tersebut masih harus di sesuaikan dengan bujur daerah
masing-masing wilayah, dengan menggunakan rumus:
Jam yang di ketahui – perata waktu + (BD - BT) / 15
23. Konversi Hijriyah ke Masehi
Setelah hasil kita dapatkan, kita masih belum tahu dalam
kalender Masehi gerhana tersebut terjadi pada tanggal berapa. Untuk
mengetahui tanggal masehinya maka dalam menentukan tanggal dan
bulan di ambil dari data thul matahari. Untuk menentukan tanggal, jika
17
Ibid, hlm 267.
68
burujnya berkisar antara buruj 4 – 12 maka nilai buruj tersebut di +4,
namun untuk buruj 1 -3, burujnya -8. Sedangkan untuk menentukan
tanggalnya, jika burujnya berkisar antara buruj 2 – 7 maka derajatnya
+9, akan tetapi jika burujnya berkisar antara buruj 8 – 1 maka
derajatnya -8.
Untuk mencari tahunnya, tahun Hijriyahnya di bagi dengan
33,33, hasilnya dikalikan dengan 33,33 untuk mengurangi tahun
hijriyahnya. Kemudian hasilnya ditambahkan dengan 622, maka tahun
yang di cari akan ditemukan.
D. SEJARAH EPHEMERIS
Ephemeris biasa disebut astronomical handbook, merupakan table
yang memuat data-data astronomis benda-benda langit. Ephemeris dibuat
oleh IQsoft yang pada tahun 1993 dipelopori oleh Taufik beserta putranya
atas biaya Depertemen Agama RI. Taufik lahir di Babat-Lamongan pada
tanggal 2 Januari 1938 M. Taufik adalah seorang yang aktif, mulai dari
mengikuti seminar, studi perbandingan sampai konferensi tentang hisab
dan rukyat, baik tingkat regional maupun international, antara lain
Malaysia, Brunai Darussalam dan Saudi Arabia. Gelar sarjana Syari‟ah
diraihnya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1967 M / 1387
H, sedang gelar Master Hukum diperolehnya dari Universitas Airlangga
Surabaya.18
18
Susiknan Azhari, Ensiklipedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm
50.
69
Adapun karya tulisnya di bidang hisab rukyat antara lain: Peranan
Hisab Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan Kamariyah, Menentukan Hari
Raya Idul Adha 1405 H, Bagaimana Cara Menetapkan Awal Bulan
Ramadhan dan Syawal, Perkembangan Ilmu Hisab di Indonesia, Mengkaji
Ulang Metode Hisab Sullamun Nayyirain, dan Probletika Penyatuan
Takwim Islam Internasional.
Ephemeris ini berbentuk program software data astronomis yang
dikenal dengan “Hisab for Windows versi 1.0” yang hasilnya juga mirip
dengan Nautical Almanac atau semacamnya. Pada tahun 1998, program ini
disempurnakan dan berganti nama menjadi “WinHisab versi 2.0” dengan
hak lisensi pada Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI. Perhitungan
yang menggunakan data dari program WinHisab ini dikenal dengan sistem
ephemeris hisab rukyat atau sistem ephemeris.19
Dalam tabel ephemeris tersedia beberapa data mengenai matahari dan
bulan yang dapat digunakan untuk kegiatan hisab maupun rukyat, baik untuk
menentukan arah kiblat, waktu-waktu shalat, awal bulan kamariyah dan
gerhana. Data tersebut juga bisa di dapat dalam sebuah buku yang berjudul
Ephemeris Hisab Rukyah yang setiap tahun diterbitkan oleh Departemen RI
(sejak tahun 2005 ditangani oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syari„ah).20
Tabel ephemeris tersebut data-datanya sudah diolah dengan
menggunakan persamaan rumus-rumus spherical trigonometri, sehingga
19
Muhyidin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Jogjakarta: Buana Pustaka,
Cet ke 3, 2008, hlm 36-37. 20
Muhyidin Khazin, op.cit, hlm 152-153.
70
menghasilkan data-data setengah jadi, dan ini memudahkan bagi orang yang
menggunakannya. Dalam tabel tersebut terdapat tiga data astronomi penting,
yaitu:
1. Data tentang keadaan matahari dan bulan
Pada tabel ini ditampilkan bermacam-macam data keadaan
matahari dan bulan pada tanggal tertentu, untuk setiap jam-nya. Mungkin
data ini sangat asing bagi kita, karena terlihat sangat spesifik untuk bidang
astronomi. Data matahari yang disediakan adalah:21
a. Ecliptic Longitude, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Bujur
Astronomi atau عىل انشمس dalam bahasa Arab. Data disini adalah Bujur
Astronomi Matahari, yaitu jarak matahari dari titik aries diukur
sepanjang lingkaran ekliptika.
b. Ecliptic Latitude, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Lintang
Astronomi atau ػرض انشمس dalam bahasa Arab. Data ini adalah jarak
titik pusat matahari dari lingkaran Ekliptika. Sebetulnya Ekliptika
adalah lingkaran yang ditempuh oleh gerak semu matahari secara
tahunan. Oleh karena itu matahari selalu berada di lingkaran Ekliptika.
Namun jalannya tidak selalu rata, tapi ada sedikit geseran, hal ini dapat
dilihat dari nilainya yang selalu mendekati nol.
c. Apparent Right Ascencion dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
Asensio Rekta atau panjatan tegak, ini adalah jarak matahari dari titik
aries diukur sepanjang Lingkaran Equator.
21
Departemen Agama RI, Ephemeris Hisab Rukyah, Jakarta: Rektorat Urusan Agama
Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2007, hlm 1-2.
71
d. Apparent Declination dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
Deklinasi Matahari atau ميم انشمس dalam bahasa Arab adalah jarak
matahari dari Equator. Bila nilai Deklinasi positif berarti matahari
berada di sebelah utara Equator, tapi bila nilai Deklinasi negatif berarti
matahari berada di sebelah selatan Equator.
e. True Geocentric Distance dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
jarak Geosentric. Data ini menggambarkan jarak antara bumi dan
matahari dalam satuan AU (Astronomical Unit). Oleh karena bumi
mengelilingi matahari tidak berbentuk bulat bola, melainkan berbentuk
ellips, sehingga terkadang dekat dan terkadang jauh. Jarak terdekat
antara bumi dengan matahari disebut perigee, sedangkan jarak
terjauhnya disebut apogee.
f. Semi Diameter dalam bahasa Indonesia dikenal dengan jari-jari atau
dalam bahasa Arab. Data disini adalah jari-jari matahari وصف قغر انشمس
yaitu jarak titik pusat matahari dengan piringan luarnya.
g. True Obliquity dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kemiringan
Ekliptika dan dikenal pula انميم انكهي dalam bahasa Arab adalah
Kemiringan Ekliptika dari Equator.
h. Equation of Time dalam bahasa Indonesia dikenal dengan perata
waktu atau تؼذیم انشمس dalam bahasa Arab, ini adalah selisih antara
waktu kulminasi matahari hakiki dengan waktu kulminasi matahari
rata-rata.
72
Sedangkan data bulan yang disediakan meliputi:22
a. Apparent Longitude yaitu Bujur Astronomi atau عىل انقمر dalam bahasa
Arab. Data disini adalah Bujur Astronomi Matahari, yaitu jarak antara
titik aries sampai bulan diukur sepanjang lingkaran ekliptika.
b. Apparent Latitude, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Lintang
Astronomi atau ػرض انقمر dalam bahasa Arab. Data ini adalah jarak
antara bulan dengan lingkaran Ekliptika diukur sepanjang lingkaran
kutub Ekliptika. Nilai maksimum lintang Astronomi Bulan adalah 5˚
8„. Nilai positif berarti bulan bulan berada di utara Ekliptika dan nilai
negatif berarti bulan bulan berada di selatan Ekliptika.
c. Apparent Right Ascencion dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
Asensio Rekta atau panjatan tegak, ini adalah jarak titik pusat bulan
dari titik aries diukur sepanjang Lingkaran Equator.
d. Apparent Declination dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
Deklinasi Bulan atau ميم انقمر dalam bahasa Arab. Data ini adalah jarak
bulan dari Equator. Nilai Deklinasi positif jika bulan di sebelah utara
Equator dan nilai Deklinasi negatif jika bulan di sebelah selatan
Equator.
e. Horizontal parallax adalah besaran sudut yang ditarik dari titik pusat
bulan ketika di ufuk (horizon) ke titik pusat Bumi dan garis yang
ditarik dari titik pusat bulan ketika itu ke permukaan bumi.
22
Ibid, hlm 3-4.
73
f. Semi Diameter disini adalah jari-jari bulan atau وصف قغر انقمر adalah
jarak sudut antara titik pusat bulan dengan piringan luarnya.
g. Angle Bright Limb dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sudut
kemiringan hilal, adalah sudut kemiringan piringan hilal yang
memancarkan sinar sebagai akibat arah posisi hilal dari matahari.
Sudut ini diukur dari garis yang mengghubungkan titik pusat bulan
dengan titik zenith ke garis yang menghubungkan titik pusat hilal
dengan titik pusat matahari searah dengan perputaran jarum jam.
h. Fraction Illumination adalah besar atau luas piringan bulan yang
menerima sinar matahari yang tampak dari bumi. Jika seluruh piringan
yang menerima sinar matahari terlihat dari bumi, maka bentuknya akan
berupa bulatan penuh. Dalam keadaan seperti ini nilai Fraction
Illumination bulan adalah 1, yaitu persis saat bulan purnama. Setelah
bulan purnama, nilai Fraction Illumination akan semakin mengecil
sampai pada nilai yang paling kecil, yaitu pada saat ijtima„. Setelah itu
nilai akan kembali membesar sampai mencapai nilai 1, pada saat bulan
purnama. Dengan demikian, data Fraction Illumination ini dapat
dijadikan pedoman untuk mengetahui kapan terjadinya ijtima„ dan
istiqbal.
2. Jadwal Shalat bulanan
Hanya dengan menekan ikon gambar kubah masjid, dan
menentukan waktu dan lokasinya, jadwal shalat bulanan akan segera
ditampilkan dalam bentuk tabel. Hampir semua kota kabupaten di
74
Indonesia telah penulis tambahkan pada versi portablenya (hanya berjalan
normal untuk pembutan jadwal shalat), sehingga sebaiknya program
diinstall terlebih dulu (ada pada menu installer pada cd/dvd bonus), lalu
file databasenya ditimpa (overwrite) dengan yang ada di versi portable.
Ada informasi arah kiblat dan keterangan garis lintang dan bujur untuk
tiap lokasi yang dihitung, di atas tabel yang dihasilkan.
3. Tinggi hilal saat matahari terbenam (ijtimak) bulanan
Akan tetapi dalam menyajikan data bulan dan matahari ini berdasarkan
tanggal, bulan dan tahun masehi. Sehingga apabila akan menghitung waktu
istiqbal yang biasanya terjadi pada pertengahan bulan kamariyah, maka harus
dikonversi terlebih dahulu dengan kalender syamsiyah. Data yang disajikan
tersebut juga berdasarkan waktu Greenwich Mean Time (GMT). Sehingga
untuk mencari data matahari dan bulan bagi wilayah Indonesia, maka waktu-
waktu tersebut terlebih dahulu diubah menjadi GMT.
E. KONSEP HISAB GERHANA BULAN DALAM EPHEMERIS
Dalam menentukan gerhana bulan juga mengambil data dari tabel
Winhisab atau Ephemeris Hisab Rukyah. Perhitungan Gerhana Bulan dengan
data Ephemeris Hisab Rukyat ditempuh dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Menghitung kemungkinan terjadinya gerhana bulan dengan menggunakan
tabel gerhana, dengan cara menjumlahkan data dari Kelompok Tahun
(Tabel A), Satuan Tahun (Tabel B) dan Gerhana Bulan (Tabel C). Gerhana
75
Bulan dimungkinkan terjadi apabila hasil penjumlahan tersebut berkisar
antara: 000o s/d 014
o, 165
o s/d 194
o dan 345
o s/d 360
o.
2. Melakukan konversi dari penanggalan hijriyah ke penanggalan masehi
untuk tanggal kemungkinan terjadi gerhana bulan tersebut. Ingat bahwa
gerhana bulan hanya akan terjadi saat bulan purnama, sekitar tanggal 15
bulan kamariyah. Jadi yang harus dilakukan adalah menghitung tanggal 15
bulan kamariyah yang ada kemungkinan terjadi gerhana bulan dan
bertepatan tanggal berapa menurut penanggalan masehi. Lalu menyiapkan
data astronomis untuk tanggal masehi tersebut.
3. Mencari FIB terbesar pada kolom Fraction Illumination Bulan, periksa
FIB terbesar terjadi pada jam berapa waktu Greenwich. Lalu periksa lagi
adanya kemungkinan gerhana bulan dengan melihat harga mutlak lintang
bulan (pada kolom Apparent Latitude Bulan) saat FIB terbesar.
Catatan : - Jika harga mutlak Lintang Bulan lebih besar dari 1o 05‟ 07”
maka tidak akan terjadi gerhana bulan.
- Jika harga mutlak Lintang Bulan lebih kecil dari 1o 00‟ 24”
maka akan terjadi gerhana bulan.
4. Menghitung Sabaq Matahari (B1) atau gerak matahari setiap jam dengan
cara menghitung harga mutlak selisih antara dara ELM pada jam FIB
terbesar dengan satu jam berikutnya.
5. Menghitung Sabaq Bulan (B2) atau gerak bulan setiap jam dengan cara
menghitung harga mutlak selisih antara ALB pada jam FIB terbesar
dengan satu jam berikutnya.
76
6. Menghitung jarak Matahari dan Bulan (MB) dengan rumus:
MB = ELM – (ALB- 180)
7. Menghitung Sabaq Bulan Mu‟addal (SB) dengan rumus: SB = B1 – B2
8. Menghitung Titik Istiqbal (TI) dengan rumus: TI = MB : SB
9. Menghitung waktu Istiqbal (Is) dengan rumus:
Is = Waktu FIB + TI – 00 : 01 : 49.29
10. Melacak data dari Ephemeris saat terjadi istiqbal secara interpolasi:
a) Semi Diameter Bulan (SD) pada kolom semidiameter bulan
b) Horizon Parallax Bulan (HP ) pada kolom Horizon Parallax Bulan
c) Lintang Bulan (L) pada kolom Apparent Latitude Bulan
d) Semi Diameter Matahari (SDo) pada kolom Semi Diameter Matahari
e) Jarak Bumi (JB) pada kolom True Geocentric Distance Matahari
11. Menghitung Horizon Parallax (HPo) dengan rumus:
Sin HPo = sin 08.794” : JB
12. Menghitung jarak bulan dari titik simpul (H) dengan rumus:
sin H = sin L : sin 5o
13. Menghitung lintang bulan maksimum terkoreksi (U) dengan rumus:
tan U = [tan L : sin H]
14. Menghitung lintang bulan minimum terkoreksi (Z) dengan rumus:
sin Z = [sin U x sin H]
15. Menghitung koreksi kecepatan bulan relatif terhadap matahari (K) dengan
rumus: K = cos L x SB : cos U
77
16. Menghitung besarnya semidiameter bayangan inti bumi (D) dengan
rumus: D = (HP + HPo – SDo) x 1,02
17. Menghitung jarak titik pusat bayangan inti bumi sampai titik pusat bulan
ketika piringan bulan mulai bersentuhan dengan bayangan inti bumi (X)
dengan rumus: X = D + SD
18. Menghitung jarak titik pusat bayangan inti bumi sampai titik pusat bulan
ketika seluruh piringan bulan mulai masuk pada bayangan inti bumi (Y)
dengan rumus: Y = D – SD
19. Menghitung jarak titik pusat bulan ketika piringan bulan mulai
bersentuhan dengan bayangan inti bumi (C) dengan rumus:
cos C = cos X : cos Z
20. Menghitung waktu yang diperlukan oleh bulan untuk berjalan mulai ketika
piringan bulan bersentuhan dengan bayangan inti bumi sampai ketika titik
pusat bulan segaris dengan bayangan inti bumi (T1) dengan rumus:
T1 = C : K
Catatan : Bila Y lebih kecil daripada Z maka akan terjadi gerhana bulan
sebagian. Oleh karena itu, E dan T2 berikut ini tidak perlu dihitung
21. Menghitung jarak titik pusat bulan saat segaris dengan bayangan inti bumi
sampai titik pusat bulan ketika seluruhpiringan bulan masuk pada
bayangan inti bumi (B) dengan rumus: cos E = cos Y : cos Z
22. Menghitung waktu yang diperlukan oleh bulan untuk berjalan mulai titik
pusat bulan saat segaris dengan bayangan inti bumi sampai titik pusat
78
bulan ketika seluruh piringan bulan masuk pada bayangan inti bumi (T2)
dengan rumus: T2= E : K
23. Koreksi pertama terhadap kecepatan bulan (Ta) dengan rumus:
Ta = cos H : sin K
24. Koreksi kedua terhadap kecepatan bulan (Tb) dengan rumus:
Tb = sin L : sin K
25. Menghitung waktu gerhana (T0) dengan rumus: T0 = [sin 0.05 x Ta xTb]
26. Menghitung waktu titik tengah gerhana (Tgh) dengan cara : Perhatikan
Lintang Bulan (LÄ) dalam kolom Apparent Latitude Bulan pada jam FIB
terbesar dan pada satu jam berikutnya.
- Jika harga mutlak Lintang Bulan semakin mengecil maka
Tgh = Istiqbal + T0 – ΛT
- Jika harga mutlak Lintang Bulan semakin membesar maka
Tgh = Istiqbal – T0 – ΛT
Catatan:
ΛT adalah koreksi waktu TT menjadi GMT
Bila dikehendaki dengan waktu WIB, tambahkanlah 7 jam.
Bila hasil penambahan terbenut lebih dari 24, maka kurangilah dengan
24. Sisanya itulah waktu titik tengah gerhana tetapi pada tanggal
berikutnya dari tanggal Ephemeris.
27. Menghitung waktu mulai gerhana dengan rumus:
Mulai Gerhana = Tgh – T1
28. Menghitung waktu mulai gerhana total dengan rumus:
79
Mulai Total = Tgh – T2
29. Menghitung waktu selesai gerhana total dengan rumus:
Selesai Total = Tgh + T2
30. Menghitung waktu selesai gerhana dengan rumus:
Selasai Gerhana = Tgh + T1
Catatan:
Gerhana bulan akan terlihat pada malam hari, sehingga jika awal gerhana
lebih besar daripada waktu terbit matahari, atau akhir gerhana lebih kecil
daripada waku terbenam matahari di suatu tempat maka gerhana bulan
tersebut tidak dapat terlihat dari tempat ybs.
31. Jika terjadi gerhana bulan sebagian ( Y < Z ), maka untuk menghitung
lebar gerhana (LG) atau magnitudo yakni lebar piringan bulan yang masuk
dalam bayangan inti bumi dapat dilakukan dengan rumus:
LG = (( D + SD – Z ) : 2 x SD ) x 100%
Apabila dikehendaki satuan ukurnya dengn ushbu‟ (jari), maka hasil
perhitungan lebar gerhana ini dikalikan 12.
32. Mengambil kesimpulan dari perhitungan yang telah dilakukan, yakni
menyatakan hari apa, tanggal, dan jam berapa terjadi kontak-kontak
gerhana bulan, serta menyatakan lebar gerhana untuk gerhana sebagian.
80
BAB IV
ANALISIS METODE HISAB GERHANA BULAN DALAM KITAB AL-
KHULASHAH AL-WAFIYYAH DAN EPHEMERIS
A. ANALISIS TERHADAP METODE HISAB GERHANA BULAN
DALAM KITAB AL-KHULASHAH AL-WAFIYYAH DAN EPHEMERIS
Di antara ilmu pengetahuan dari langit yang bisa kita gunakan dalam
kehidupan nyata ada yang langsung bisa dimanfaatkan oleh syari‟at islam.
Terutama ilmu yang berkaitan dengan penentuan waktu-waktu ibadah,
penentuan awal atau akhir bulan islam (kamariyah), serta pengetahuan tentang
terjadinya gerhana bulan.
Dalam khazanah keilmuan islam di Indonesia, pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan dan canggihnya teknologi serta meningkatnya peradaban
dan sumber daya manusia, ilmu hisab juga mengalami perkembangan dan
kemajuan. Bermula dari hisab „urfi atau hisab istilahi, kemudian muncul
generasi hisab haqiqi, lalu generasi kontemporer.
Banyak ulama‟ Indonesia yang telah mengarang kitab-kitab falak
dengan berbagai macam sistem dan bervariasi markaz, seperti: Sullam al-
Nayyirain (markaz Jakarta) oleh Muhammad Mansur Bin Abdul Hamid
Muhammad Damiri al-Batawi, Fathur Ra‟uf al-Mannan (markaz Semarang)
oleh Abu Hamdan Abdul Jalil bin Abdul Hamid Kudus, Nur al-Anwar
(markaz Jepara) oleh Noor Ahmad SS Jepara, al-Khulashah al-Wafiyyah
(markaz Makkah) oleh Zubair Umar al-Jaelany Salatiga.
81
Dalam sejarah kitab, kitab hisab tertua yang berkembang di Indonesia
adalah kitab Sullam al-Nayyirain. Kitab ini masih tergolong hisab haqiqi bi al-
taqrib. Meskipun demikian kitab ini masih dipelajari di lembaga pendidikan,
misalnya di Pondok Pesantren Ploso Kediri dan Madrasah al-Mansyuriyah
Jakarta. Tingkat akurasi dari hasil perhitungan hisab haqiqi bi al-taqrib masih
rendah, sehingga tidak banyak dikembangkan. Justru para ahli falak lebih
menyukai kitab-kitab yang bersistem haqiqi bi al-tahqiq seperti kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah, karena di nilai lebih akurat dan cermat meskipun
masih ada yang menggunakan tabel dalam melakukan proses perhitungan.
Kitab-kitab yang ada tersebut, sudah ada yang dapat menghitung kapan
terjadinya gerhana bulan, mulai dari awal terjadi gerhana hingga usai gerhana,
dan berlaku untuk daerah mana saja perhitungan tersebut. Hal ini dilakukan
agar kita dapat bersiap-siap menanti tibanya gerhana dan membuktikan
keakurasian metode yang kita pakai. Kitab yang didalamnya terdapat
perhitungan gerhana bulan misalnya kitab Fathur Ra‟uf al-Mannan, kitab Nur
al-Anwar dan lain-lain.
Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah yang didalamnya juga terdapat
perhitungan tentang gerhana bulan, merupakan kitab yang tergolong hisab
haqiqi bi al-tahqiq. Perhitungan yang didasarkan pada metode tersebut proses
perhitungannya sudah mendetail. Seperti halnya yang diungkapkan oleh
Slamet Hambali bahwa rumus yang dipakai untuk menentukan posisi bulan,
82
tinggi bulan dan matahari sudah menggunakan rumus-rumus trigonometri,
walaupun masih dalam bentuk sederhana.1
Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, peralatan perhitungan
semakin canggih dan menyediakan data yang akurat, sehingga perbandingan
dari satu metode dengan metode lainnya sangat perlu. Hal ini untuk mengukur
tingkat akurasi dan supaya tahu titik kelemahan antara satu metode dengan
metode pembandingnya. Dengan diketahuinya titik kelemahan dari metode
itu, supaya ada upaya untuk pengembangan dan untuk mendapatkan hasil
yang maksimal.
Pada pembahasan sebelumnya sudah sedikit penulis singgung tentang
hisab yang termasuk ke dalam metode kontemporer. Hisab tersebut tertuang
dalam beberapa model. Beberapa hisab data yang disajikan tertuang dalam
bentuk tabel seperti Astronomical Almanac dan Ephemeris. Sedangkan yang
lain dalam sebuah program komputer seperti mawaqiit karya Ing Khafid.
Dari beberapa model hisab tersebut, tentunya hasil perhitungan yang
dihasilkan oleh hisab-hisab tersebut berbeda. Salah satu nya disebabkan oleh
sumber data yang diambil oleh masing-masing hisab. Dalam perbandingan ini,
Penulis menggunakan data-data al-Khulashah al-Wafiyyah yang merupakan
objek penelitian, membandingkan dengan data-data kontemporer yang tingkat
akurasinya sudah tinggi, dalam hal ini adalah hisab Ephemeris.
Hisab ephemeris merupakan salah satu hisab kontemporer yang
menggunakan tabel untuk mendapatkan data Bulan-martahari, yang mana
1 Disampaikan oleh Slamet Hambali pada waktu pembelajaran mata kuliah Kajian Kitab
Falak II mengenai hisab awal bulan kamariyah dalam kitab al-khulashah al-wafiyyah pada tanggal
31 Agustus 2009.
83
tabel tersebut sudah diprogram dalam komputer yang bernama WinHisab.
Dalam tabel ephemeris tersedia beberapa data mengenai matahari dan bulan
yang dapat digunakan untuk kegiatan hisab maupun rukyat, baik untuk
menentukan arah kiblat, waktu-waktu shalat, awal bulan kamariyah dan
gerhana. Data tersebut juga bisa di dapat dalam sebuah buku yang berjudul
Ephemeris Hisab Rukyah yang setiap tahun diterbitkan oleh Departemen RI
(sejak tahun 2005 ditangani oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syari„ah).2
Data matahari yang disediakan adalah Bujur Astronomi ( ,(طل انشس
Lintang Astronomi (عرض انشس), Asensio Rekta, Deklinasi (ييم انشس), Jarak
Geosentris, Semi Diameter (صف قطر انشس), Kemiringan Ekliptika (انيم انكهي)
dan Perata Waktu (حعذيم انشس). Sedangkan data bulan yang disediakan adalah
Bujur Astronomi (طل انقر), Lintang Astronomi (عرض انقر), Asensio Rekta,
Deklinasi (ييم انقر), Horizontal Paralaks (إخخالف انظر), Semi Diameter
.dan Luas Cahaya Bulan (سج انرأس) Semi Kemiringan Bulan ,(صف قطر انقر)3
Standar perbandingannya adalah karena hisab Ephemeris sudah
tergolong hisab kontemporer yang mana hasilnya akurat dan hisab
kontemporer ini banyak digunakan oleh para ahli falak masa kini, sehingga hal
ini memungkinkan keduanya untuk dibandingkan. Selain itu, hal ini dilakukan
supaya diketahui besarnya perbedaan hasil hisab dan mengetahui besar tingkat
akurasinya.
2 Muhyidin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Jogjakarta: Buana Pustaka, Cet
ke 3, 2008, hlm 152-153. 3 Departemen Agama RI, Ephemeris Hisab Rukyah, Jakarta: Rektorat Urusan Agama
Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2007, hlm 1.
84
Tabel perbandingan hisab antara kitab Al-Khulashah al-Wafiyyah dan Ephemeris
No Model Hisab
Perbandingan
Al-Khulashah
al-Wafiyyah Ephemeris
1 Waktu Istiqbal (15 Juni 2011 M/13 Rajab 1432 H)
Jam WIB 20 j 32
m 09
d 20
j 10
m 09
d
2 Mulai Gerhana (16 Juni 2011 M/14 Rajab 1432 H)
Jam WIB 00j 53
m 51
d 01
j 32
m 12,09
d
3 Mulai Total (16 Juni 2011 M/14 Rajab 1432 H)
Jam WIB 01j 49
m 12
d 02
j 19
m 25,44
d
4 Pertengahan Gerhana (16 Juni 2011 M/14 Rajab 1432 H)
Jam WIB 02j 32
m 33
d 03
j 10
m 09
d
5 Akhir Total (16 Juni 2011 M/14 Rajab 1432 H)
Jam WIB 03j 15
m 54
d 04
j 00
m 52,56
d
6 Selesai Gerhana (16 Juni 2011 M/14 Rajab 1432 H)
Jam WIB 04j 11
m 15
d 04
j 48
m 05,91
d
Perbedaan yang mendasar antara kitab al-Khulashah al-Wafiyyah
dengan hisab ephemeris diantaranya terletak pada metode yang dipakai oleh
keduanya. Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah menggunakan metode hisab
haqiqi bi al-tahqiq, dengan alasan bahwa rumus yang dipakai untuk
menentukan posisi bulan dan matahari sudah menggunakan rumus-rumus
trigonometri, walaupun masih dalam bentuk sederhana. Meskipun dalam
melakukan perhitungan di runut dari hisab haqiqi bi al-taqrib yang kemudian
dilanjutkan dengan hisab haqiqi bi al-tahqiq.
Hisab haqiqi bi al-tahqiq berpangkal pada pemikiran teori Heliosentris,
yakni matahari merupakan pusat orbit bumi dengan bulannya serta planet-
planet lainnya. Gerak benda-benda langit dari timur ke arah barat merupakan
85
akibat dari perputaran bumi pada porosnya (rotasi). Sedangkan berpindah-
pindahnya matahari dari buruj satu ke buruj yang lainnya merupakan akibat
dari gerak bumi mengelilingi matahari (revolusi).
Gerak matahari yang dimaksudkan dalam kitab ini adalah gerak semu
matahari yang diakibatkan oleh rotasi bumi. Sedangkan gerak bulan adalah
gerak haqiqi (gerak nyata) bulan dalam rangka mengelilingi bumi. Orbit bumi,
bulan dan benda-benda langit lainnya berbentuk ellips, sehingga gaya tarik
benda-benda langit mengganggu gerak bumi dan bulan. Oleh karena itu, gerak
bumi dan bulan tidak selalu rata, akibatnya gerak matahari (gerak semu) di
bola langit sebagai akibat gerakan bumi dan bulan juga tidak rata.4 Dari sini
maka posisi matahari dan bulan perlu dikoreksi (di-ta„dil).
Posisi matahari dan bulan dapat dibedakan menjadi dua macam, yang
pertama posisinya terhadap titik perigeenya disebut dengan khashshah, dan
posisinya terhadap titik vernel equinok disebut wasat. Oleh karena orbit bumi
berbentuk ellips maka untuk menemukan posisi haqiqi matahari di bola langit
harus dikoreksi sebagai akibat bentuk orbit ellips tersebut, dengan koreksi
yang disebut kereksi pusat.5
Sementara bulan sebagai satelit bumi yang bersama-sama dengan bumi
mengelilingi matahari, maka geraknya banyak mengalami gangguan dari
berbagai gaya gravitasi benda langit lainnya. Oleh karena itu untuk
menentukan posisi bulan haqiqi perlu dikoreksi terhadap posisi rata-rata bulan.
4 Ahmad Syifa'ul Anam, Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qomariyah Dalam Kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah Dengan Metode Haqiqi bit tahqiq, Skripsi Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang, 1997, hlm 57. 5 Ibid.
86
Sehingga koreksi bulan lebih banyak dan lebih kompleks.6 Dalam kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah, koreksi (ta„dil) untuk bulan dilakukan sebanyak lima
kali. Sedangkan untuk mencari posisi matahari cukup hanya dengan satu kali
koreksi saja.
Untuk menghitung posisi bulan dan matahari pada sistem koordinat
ekliptika lebih dahulu ditentukan posisi rata-rata pada akhir bulan (ijtima„)
atau pertengahan bulan (istiqbal). Kemudian rata-rata tersebut dikoreksi
hingga lima kali sebagai akibat adanya gaya-gaya dalam sistem matahari yang
besarnya tergantung kepada posisi bulan dan matahari.
Dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dalam menentukan terjadinya
gerhana bulan, maka yang ditentukan adalah waktu istiqbal. Waktu istiqbal
diperoleh dari tabel yang didalamnya terdapat koreksi-koreksi terhadap bulan
dan matahari sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Koreksi-koreksi terhadap bulan secara global adalah sebagai berikut:7
1. Koreksi perata Tahunan, sebagai akibat gerak tahunan bulan bersama-
sama dengan bumi mengelilingi matahari dalam orbit yang berbentuk
ellips. Koreksi (ta‟dil) tersebut diambilkan dari angka yang diperoleh
khashshah matahari (dalil awal). Angka Ini juga digunakan juga untuk
mengoreksi „uqdah.
2. Koreksi sebagai akibat berubahnya eccentricity bulan. Koreksi tersebut
diambil dari angka hasil dalil tsani, yang diperoleh selisih dari khashshah
dan wasat bulan dengan thul matahari.
6 Ibid,
7 Slamet Hambali, Loc. Cit
87
3. Koreksi yang mengakibatkan bulan baru atau bulan purnama tiba
terlambat atau lebih cepat. Koreksi ini diambilkan dari hasil khashshah
matahari (dalil awal).
4. Koreksi yang besarnya diambil dari hasil angka khashshah bulan (dalil
tsalis).
5. Koreksi yang di ambil dari data dalil rabi‟, yang dapat dari selisih antara
wasat bulan dengan thul matahari.
6. Koreksi yang terakhir adalah koreksi perata pusat sebagai bentuk ellips
orbit bulan, yang besarnya diambilkan dari data dalil rabi‟ dan „uqdah
yang telah terkoreksi.
Dari koreksi tersebut akan mendapatkan data Thul al-Syams dan Thul
al-Kamar, yang nantinya digunakan untuk mengetahui waktu istiqbal. Untuk
menghitung hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya gerhana bulan, misalnya
awal dan akhir terjadi gerhana, kitab ini menggunakan menggunakan daftar
logaritma yang sudah tersaji di dalam kitab. Dari daftar logaritma tersebut bisa
diketahui awal dan akhir gerhana bulan. Jika sudah diketahui awal dan akhir
gerhana bulan, baru dikonversi pada kalender syamsiyah.
Metode perhitungan gerhana bulan yang digunakan kitab al-Khulashah
al-Wafiyyah tersebut sangat panjang dan rumit karena menggunakan data-data
lengkap yang yang terdapat dalam tabel dan bervariasi, rumus-rumus dan
88
koreksi-koreksi yang disajikan juga teliti, baik yang berkaitan dengan data
matahari, data bulan dan data lokasi tempat perhitungan.8
Sedangkan dalam ephemeris dalam mencari data bulan dan matahari
hanya melihat pada tabel WinHisab atau buku ephemeris hisab rukyah. Akan
tetapi dalam menyajikan data bulan dan matahari ini berdasarkan tanggal,
bulan dan tahun masehi. Sehingga apabila akan menghitung waktu istiqbal
yang biasanya terjadi pada pertengahan bulan kamariyah, maka harus
dikonversi terlebih dahulu dengan kalender syamsiyah.9 Begitu halnya dengan
menghitung awal dan akhir terjadinya gerhana, pengambilan datanya juga
mengambil dari tabel tersebut, yang kemudian dimasukkan dalam rumus
matematika yang sudah tersedia. Data bulan dan matahari disajikan setiap jam,
sehingga data bulan dan matahari untuk menit dan detiknya dapat diperoleh
dengan melakukan penta‟dilan atau interpolasi terhadap data yang ada.
Perbedaan-perbedaan lain yang mendasar antara hisab dalam kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah dengan hisab ephemeris antara lain:
1. Dasar Pemikiran
Ilmu hisab yang pada masa generasi sebelum kitab al-Khulashah
al-Wafiyyah, pemikirannya didasarkan pada teori Ptolomeus (90-168 M)
atau teori geocentris. Menurut teori tersebut, bumi tidak bergerak
melainkan tetap. Bumi menjadi pusat tata surya. Oleh karena itu, seluruh
benda-benda langit, yaitu Matahari, Bulan, dan benda-benda angkasa
8 Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet ke 2, 2007, hlm 137. 9 Muhyidin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Op. Cit, hlm 154-155.
89
lainnya bergerak mengelilingi bumi.10 Berpangkal dari sini maka koreksi
yang dipakai dalam kitab sistem ini, yakni koreksi terhadap posisi Bulan
dan Matahari bisa dibilang sangat sederhana.
Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah yang muncul setelah generasi
hisab haqiqi bi al-taqrib, berpangkal pada teori yang dikemukakan oleh
Copernicus (1473-1543) yakni teori Heliocentris.11
bahkan telah
menyerap Hukum Keppler12
tentang bentuk lintasan orbit bumi dan
hukum gravitasi dan lain sebagainya.
Menurut teori heliosentris bahwa yang menjadi pusat tata surya ini
bukanlah bumi, melainkan Matahari sebagai pusat tata surya. Jadi komet,
planet-planet (termasuk bumi), dan satelit-satelit dari planet tersebut
(termasuk Bulan sebagai satelit dari bumi) berputar mengelilingi
Matahari. Dan juga menurut hukum keppler menyatakan bahwa bentuk
lintasan dari orbit planet-planet yang mengelilingi Matahari tersebut
berbentuk ellips (bulat lonjong).13
Oleh karena itu, kitab tersebut dalam
menghitung posisi Bulan dan Matahari melakukan koreksi-koreksi hingga
beberapa kali berdasarkan gerak Bulan dan Matahari yang tidak rata.
Dari sinilah kitab al-Khulashah al-Wafiyyah yang muncul pada
tahun 1935 (yang merupakan salah satu kitab tertua) mengenal istilah-
istilah rotasi, revolusi, gerak semu, perihelium, aphelium dan lain-lain
10
Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm 114. 11
Teori heliosentris merupakan teori yang menempatkan Matahari sebagai pusat
tatasurya. Lihat dalam Susiknan Azhari, Ilmu falak (teori dan praktek), Yogyakarta: Lazuardi,
2001, hlm.19. 12
Penemu hukum ini yaitu John Kepler. Lihat M.S.L. Toruan, Pokok-Pokok Ilmu Falak
(kosmografi), Cet IV, Semarang: Banteng Timur, tt, hlm. 104. 13
Ibid,
90
yang masih diungkapkan dalam bahasa arab dan menerjemahkannya
dalam istilah astronomi yang lazim di pakai.
2. Rumus yang Dipakai
Pada dasarnya kitab al-Khulashah al-Wafiyyah belum
memformulasikan suatu metodenya ke dalam sebuah formula matematis,
akan tetapi kitab tersebut telah menjelaskan secara sistematis dan urut,
mulai dari menentukan waktu istiqbal hingga awal dan akhir terjadinya
gerhana bulan. Langkah-langkah pasti yang harus dikerjakan untuk
mencari hasil perhitungan seperti mencari besarnya angka ta‟dil, Thul al-
Syams, Thul al-kamar, „ard al-kamar dan lain-lain.
Dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah, rumus-rumus yang
digunakan adalah menggunakan acuan buruj, dan dalam menentukan
kemungkinan terjadinya gerhana bulan tahap awal yanng dilakukan adalah
dengan menambahkan data tahun dengan data bulan yang di cari. Gerhana
bulan mungkin terjadi jika hasil penjumlahan tersebut antara 0b 0˚ s/d 0
b
14˚, antara 5b 15˚ s/d 6
b 14˚, atau antara 11
b 15˚ s/d 11
b 29˚.
14
Langkah-langkah dan proses-proses perhitungan yang harus dan
selalu dilakukan dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah, berkat pemikiran
dan kreatifitas para ahli hisab, maka dapat diturunkan rumus-rumus praktis
sehingga mempercepat dan mempermudah dalam melakukan perhitungan.
Rumus-rumus yang telah diturunkan kitab al-Khulashah al-
Wafiyyah antara lain:
14
Zubair Umar al-Jaelany, al-Khulashah al-Wafiyyah, Surakarta: Melati, 1935, hlm 224.
91
Untuk mencari lintang astronomi bulan („ard al-kamar) diturunkan
rumus sebagai berikut:
Log sin a = log sin dalil 5 x log sin 5˚ 1„
Untuk mencari kecepatan bulan (sabaq al-kamar) diturunkan rumus:
Log sin b = log sin 0˚ 5„ 34“ x log cos dalil 5
Untuk mencari deklinasi semu bulan (mail al-nisbi) diturunkan rumus:
Log sin c = log sin sabaq al-kamar / log sin sabaq al-mu„addal
Selain itu masih banyak rumus-rumus yang dapat diturunkan dari
kitab al-Khulashah al-Wafiyyah. Dan jika di lihat dari metode yang
digunakan oleh kitab al-Khulashah al-Wafiyyah, rumus yang digunakan
dalam menyatakan posisi bulan dan matahari, menurut penulis metode
tersebut sudah benar. Akan tetapi posisi bulan yang dimaksudkan dalam
kitab al-Khulashah al-Wafiyyah adalah posisi bulan pada sistem koordinat
ekliptika, bukan posisi bulan yang dapat di lihat dari bumi. Sehingga
dalam menentukan gerhana bulan, meskipun kitab ini sudah menampilkan
cara-cara mengetahui posisi bulan pada sistem koordinat ekliptika, hal ini
dirasa belum cukup karena posisi bulan di lihat dari bumi sangat
diperlukan untuk mengamati bulan pada saat awal gerhana bulan terjadi
hingga usai.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa posisi bulan sangat
penting untuk diketahui, hal ini dimaksudkan agar para pengamat gerhana
bulan bisa langsung fokus mengarah pada posisi bulan ketika terjadi
gerhana Bulan.
92
Sedangkan rumus yang digunakan dalam hisab ephemeris
menggunakan rumus matematika modern, yaitu rumus yang merupakan
hasil formulasi ahli astronomi Badan Hisab dan Rukyat kementerian
Agama RI yang di pelopori oleh Taufik dan mulai dipublikasikan pada
tahun 1996.15
Rumus-rumus yang digunakan untuk menentukan gerhana bulan
adalah menggunakan acuan derajat, dan dalam menentukan kemungkinan
terjadinya gerhana bulan tahap awal yanng dilakukan adalah dengan
menambahkan data tahun dengan data bulan yang dicari. Gerhana bulan
mungkin terjadi jika hasil penjumlahan tersebut antara 000o s/d 014
o,
antara 165o s/d 194
o, atau antara 345
o s/d 360
o.
3. Data-data yang dipakai
Data-data yang terdapat dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah di
ambil dari kitab-kitab yang muncul dan dikarang setelah generasi hisab
haqiqi bi al-taqrib. Kitab yang dijadikan rujukan kitab al-Khulashah al-
Wafiyyah adalah kitab al-Matlaus Said fi Hisab al-Kawakib „Ala Rushdi
al-Jadid karya Husain Zaid al-Mirsa dengan markaz mesir dan al-Manahij
al-Hamidiyah karya Abdul Hamid Mursy dengan markaz mesir. Data
tersebut dianggap lebih teliti dan up to date dalam menghitung posisi
matahari dan bulan.
Sedangkan data-data hisab kontemporer dibuat dengan
menggunakan alat-alat canggih dan dalam menghitungnya menggunakan
15
Susiknan Azhari, Op.Cit, hlm 165.
93
rumus matematika modern. Oleh karena itu, data yang terdapat dalam
hisab kontemporer dianggap paling teliti dan paling akurat sehingga hasil
garapan hisab kontemporer inilah yang dijadikan parameter dalam menilai
tingkat keakurasian hisab-hisab sistem lainnya. Misalnya data Almanak
Nautika dikeluarkan oleh TNI AL Dinas Hidro-Oceanografi Jakarta, yang
di ambil dari Her Majesty‟s Nautical Almanac Office, Royal Greenwich
Observatory Cambridge, London. Sedangkan data Ephemeris dikeluarkan
oleh Kementerian RI.
Data Ephemeris dikeluarkan oleh Kementerian RI ini dibuat oleh
non muslim, namun data itu cukup bisa dipegangi. Karena sebagian data
tersebut disusun oleh badan bertaraf internasional yang betul-betul ahli.
Data ini juga banyak dipakai oleh negara-negara maju dan bahkan negara
superpower, jadi tidak mungkin akan terjadi faktor manipulasi atau
menjerumuskan ummat islam. Insya Allah.16
Data berbeda yang mencolok dapat penulis temukan dalam tabel
setengah diameter bulan, yang mana setengah diameter ini berubah-ubah
setiap waktu. Dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah harga rata-rata
setengah diameter bulan sebesar 0˚ 14„ 47“ sampai 0˚ 18„ 25“.17
Sedangkan dalam ephemeris harga rata-rata setengah diameter bulan dapat
diketahui setiap jamnya, harga rata-rata tersebut berkisar antara 0˚ 14„ 42“
sampai 0˚ 16„ 41“.
16
Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm 111. 17
Zubair Umar al-Jaelani, Op. Cit, hlm 223.
94
Untuk benda langit yang dekat dengan bumi, khususnya matahari
dan bulan, setengah diameter ini sangat diperlukan untuk dikoreksi karena
posisi setiap benda-benda di langit yang diukur dan dinyatakan oleh hasil
perhitungan adalah diukur dari titik pusat benda tersebut. Dalam
pengamatan yang menjadi sasarannya bisa jadi pinggiran permukaan atas
atau pinggiran permukaan bawah, atau juga diantara keduanya.18
Begitu halnya dengan koreksi setengah diameter bulan, yang mana
koreksi setengah diameter bulan ini berubah-ubah setiap jamnya.
Perubahan harga koreksi ini secara detail dapat diketahui dari data yang
terdapat dalam tabel daftar ephemeris dalam setiap jamnya. Harga koreksi
setengah diameter bulan berubah-ubah setiap waktu disebabkan oleh dua
hal, yaitu: (1) bentuk lintasan bulan adalah ellips, (2) dalam pergerakan
harian bulan, jarak relatif terhadap pengamat juga berubah karena adanya
rotasi bumi.19
4. Perhitungan waktu
Dalam penentuan waktu, perhitungan didasarkan atas berputarnya
bumi pada porosnya. Pada dasarnya ada tiga jenis waktu yang
dipergunakan sebagai dasar perhitungan waktu, yaitu: waktu bintang
(waktu peninjauan bola langit yang didasarkan pada titik aries), waktu
matahari sejati dan waktu pertengahan (matahari menengah).20
Ketiga
waktu inilah yang diakui dan diberlakukan secara internasional.
18
Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Op. Cit, hlm 125. 19
Ibid, 20
Ibid, hlm 162.
95
Dalam penentuan waktu hasil istiqbal atau waktu-waktu lainnya
kitab al-Khulashah al-Wafiyyah berbeda dengan hisab lainnya. Dalam
menghitung waktu istiqbal (hasil perhitungan) dihitung dari zawal al-
wustha. Waktu yang kita tahu dalam sehari ada 24 jam, dalam pandangan
kitab al-Khulashah al-Wafiyyah 24 tersebut di hitung saat matahari
berkulminasi sampai kembali hari berikutnya, inilah yang di sebut 1 hari
matahari. Dengan asumsi bahwa pukul 00.00 matahari berada di titik nadir
(kulminasi bawah) dan waktu matahari menunjukkan pukul 12.00 jika
matahari berada di titik zenit (kulminasi atas). Oleh karena itu kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah dalam menghitung waktu menggunakan pukul
12.00 waktu matahari.21
Akan tetapi kadang-kadang kitab al-Khulashah
al-Wafiyyah masih menggunakan waktu ghurub, yakni waktu yang di
hitung mulai dari terbenamnya matahari atau sekitar pukul 18.00 waktu
pertengahan.
Perlu penulis tegaskan bahwa perhitungan waktu yang di pakai
kitab al-Khulashah al-Wafiyyah adalah waktu Makkah sesuai dengan
markaznya, sehingga dalam melakukan perhitungan harus berhati-hati.
Sebab masa sekarang, pada umumnya waktu atau jam yang dipakai adalah
menggunakan acuan GreenWich. Seperti halnya hisab ephemeris yang
menggunakan acuan GreenWich, dan jika akan menggunakan data yang
termuat dalam tabel selain waktu GreenWich, maka harus disesuaikan
waktunya dengan waktu GreenWich sebanding dengan selisih bujurnya.
21
Ibid,
96
Indonesia terbagi atas tiga pembagian wilayah waktu yaitu Waktu
Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu
Indonesia Timur (WIT) yang masing-masing mempunyai selisih 7 jam, 8
jam dan 9 jam.
Perbedaan mentah inilah, jika dilihat dari beberapa pemaparan diatas,
kiranya dapat dimengerti bahwa nilai perhitungan kitab al-Khulashah al-
Wafiyyah nilai keakurasiannya hampir setara dengan sistem hisab
kontemporer yang menggunakan data-data lebih valid dan lebih akurat.
B. ANALISIS DASAR HUKUM HISAB GERHANA BULAN DALAM
KITAB AL-KHULASHAH AL-WAFIYYAH DAN EPHEMERIS
Seiring dengan perkembangan zaman, fenomena gerhana tidak lagi
dikaitkan dengan kepercayaan-kepercayaan yang berupa mitos dan cerita-
cerita khayal yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat, atau
kejadiannya dikaitkan dengan kematian atau hidupnya seseorang. Zaman
sekarang malah dijadikan ajang observasi dan kajian ilmiah, hal ini
disebabkan karena fenomena gerhana dapat dijelaskan dengan sempurna
secara logis sebagai suatu fenomena langit yang mana semua benda langit
berada di sekitar matahari dan di terangi olehnya, masing-masing mempunyai
bayangan yang menjulur ke dalam ruang angkasa.
Ketika gerhana bulan terjadi, masyarakat yang melihat gerhana bulan
tersebut akan melaksanakan shalat gerhana, berdoa, bertakbir dan lain-lain.
Hal ini dikarenakan masyarakat sudah memahami bahwa melaksanakan
ibadah pada saat gerhana bulan terjadi adalah sebuah bentuk rasa syukur
97
terhadap sang Pencipta. Karena fenomena tersebut menandakan salah satu
keMahabesarannya yang diperlihatkan kepada manusia. Unsur ibadah yang
dianjurkan pada saat terjadinya gerhana bulan tersebut didasarkan pada hadits
Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah yang berbunyi:
حذثا عبذ اهلل ب يسهت ع يانكالع عشاو ب عرة ع أبي ع عائشت أ رسل اهلل صه اهلل عهي
فإرا رأيخى رنك فادعا , إ انشس انقر ايخا ي اياث اهلل اليخسفا نث أحذ ال نحياح: سهى قال
(را انبخار)اهلل كبرا صها حصذقا
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Musallamah dari
Malikan dari „Isyam bin Urwah dari ayahnya „Isyam dari „Aisyah
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya matahari dan
bulan merupakan salah satu tanda dari beberapa tanda kebesaran
Allah, dan tidak mengalami gerhana karena kematian atau hidupnya
seseorang, maka apabila kamu melihat keduanya (gerhana matahari
dan bulan) hendaklah berdo‟a kepada Allah, bertakbir,
melaksanakan shalat dan bersedekah.”
Hadits tersebut menyatakan bahwa gerhana tidak ada kaitannya dengan
kematian atau hidupnya seseorang, dan juga tidak semestinya dikait-kaitkan
dengan musibah ketika gerhana terjadi, karena gerhana merupakan kejadian
alam yang kejadiannya selalu berulang-ulang. Hal ini dikarenakan fenomena
gerhana dapat dijelaskan dengan sempurna dan logis sebagai suatu fenomena
langit yang mana semua benda langit di sekitar dan di terangi Matahari,
masing-masing mempunyai bayangan yang menjulur ke dalam ruang angkasa.
Secara umum, fenomena gerhana adalah suatu peristiwa jatuhnya
bayangan benda langit ke benda langit lainnya, yang kadangkala benda langit
tersebut menutupi seluruh piringan matahari, sehingga benda langit yang
22
Imam Abi „Abdillah Muhammad bin Ismail ibnu Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardazabah al Bukhari al Ja‟fii, “Shahih al-Bukhari”, Juz 1, Beirut, Libanon: Daar al-Kitab al-
„alamiyyah, t.t. hlm 317.
98
kejatuhan bayangan benda langit lainnya, tidak bisa menerima sinar matahari
sama sekali. Dan kadangkala benda langit tersebut menutupi sebagian piringan
matahari, sehingga benda langit yang kejatuhan bayangan benda langit
lainnya, hanya bisa menerima sebagian sinar matahari.23
Ketika bulan yang mengedari bumi, dan bumi mengedari matahari,
adakalanya ketiga benda tersebut berada pada satu garis lurus. Karena bumi
dan bulan sama-sama tidak memancarkan cahaya sendiri, dan hanya mendapat
cahaya utamanya dari matahari, maka akan dimengerti kalau bumi dan bulan
memiliki bayang-bayang, baik bayangan umbra atau penumbra. Jadi dapat
dimaklumi juga apabila permukaan bumi terkena bayang-bayang bulan,
terjadilah gerhana matahari, dan jika bulan memasuki bayang-bayang bumi,
maka akan terjadi gerhana bulan.24
Jadi dapat dimengerti bahwa gerhana terjadi bukan karena kematian
atau kehidupan seseorang. Gerhana terjadi karena matahari, bumi dan bulan
berada pada satu garis lurus. Justru yang paling penting, dengan adanya
fenomena gerhana ini hendaknya muraqabah kepada Allah sebagai bentuk
rasa syukur terhadap salah satu tanda kekuasaan Allah di alam semesta ini.
Rasa syukur tersebut bisa dilakukan melaksanakan shalat gerhana, selain
shalat gerhana juga dianjurkan untuk bersedekah, beristighfar dan berdzikir
sampai gerhana usai.
23
Disampaikan oleh Shofiyulloh pada waktu “Kajian Ilmiah Falakiyah” para ahli hisab
PWNU Jawa Timur di P.P. As-Sunniyyah Kencong Jember yang dilaksanakan tanggal 29 - 31
Agustus 2003. Dan bisa di akses di http://lubanghitam.com// (di akses tanggal 7 maret 2010). 24
Disampaikan oleh Cecep Nurwendaya/Widya Sawitar pada waktu pelatihan Gerhana
Bulan Sebagian di Planetarium dan Observatorium Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi
Provinsi DKI Jakarta yang bertepatan pada hari kamis – jum‟at yang bertepatan tanggal 7-8
September 2006, dan juga bisa diakses di www.dikmentidki.go.id (tanggal akses, 7 maret 2010).
99
Mengenai shalat gerhana ada beberapa pendapat, diantaranya adalah
ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah.
Imam an-Nawawi berkata: para ulama sepakat dalam konteks ijma‟ bahwa
shalat gerhana hukumnya sunnah.25
Imam Ibnu Qudamah berkata: shalat
gerhana hukumnya sunnah muakkadah karena Nabi SAW pernah
melakukannya dan memerintahkannya.26
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
„jumhur ulama sepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah.‟
Al-Allamah as-Sa‟di berkata: sebagian ulama berpendapat bahwa
shalat gerhana hukumnya wajib karena Nabi SAW pernah melakukannya dan
memerintahkannya. Al-„Alamah Ibnu „Utsaiman juga berkata: sebagian ulama
berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya wajib. Ibnu Qayyim juga
mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang kuat, yaitu pendapat
yang mengatakan hukumnya wajib. Karena pada saat terjadi gerhana Nabi
memerintahkan untuk melaksanakan shalat gerhana, dan beliau berseru bahwa
gerhana itu terjadi untuk menakut-nakuti manusia. Lalu Beliau menyampaikan
khutbah yang luar biasa mengenai surga dan neraka yang pernah ditampakkan
kepadanya. Semua ini menunjukkan wajibnya shalat gerhana. Ibnu Qudamah
mengatakan mengerjakan shalat gerhana secara berjamaah lebih utama, karena
Nabi melaksanakan shalat gerhana secara berjamaah.27
Menurut penulis sendiri hukum dari shalat gerhana adalah sunnah
muakkadah. Arti dari hadits-hadits mengenai shalat gerhana yang
25
Imam Abi Husain Muslim bin al-Hujjaaj al-Qusyairi An-Nasaburi, Shahih Muslim bi
Syarhin Nawawi, Juz 5, Beirut: Daar al-Kitab al-„alamiyyah, t.t. hlm 176. 26
Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, Juz
II, Beirut: Daar al-Kitab al-„ilmiyah, t.t. hlm 273. 27
Ibid, hlm 274.
100
dimaksudkan tidak sampai pada derajat wajib. Hal ini dikarenakan perintah
wajib melakukan shalat gerhana tidak tercantum dalam al-qur‟an.
Sedangkan waktu shalat gerhana dimulai sejak permulaan terjadinya
gerhana sampai ia bergeser dan menjadi terang. Sebagaimana sabda Nabi
yang diriwayatkan oleh Muslim dari „Ubaid Ibnu „Umar:
سعج : سعج عطاء يقل : قال , أخبرا اب جريج . أخبرا يحذ ب بكر , حذثا إسحاق ب إبريى
فصه رسل اهلل , أ انشس اكسفج عه عذ رسل اهلل صه اهلل عهي سهى : عبيذ ب عير يقل
نكا, إ انشس انقر ال يخسفا نث أحذ ال نحياح : فقال . صه اهلل عهي سهى بأصحاب
(را يسهى)فإرا رأيخى كسفا فاركرا اهلل حخ يجهي . ايخا ي اياث اهلل يخف اهلل با عباد
Artinya: “telah bercerita kepada kami Ishaq bin Ibrahim Muhammad bin
Bakar telah bercerita kepadaku, telah bercerita kepada kami Ibnu
Juraij, ia berkata: aku mendengar „Atha„ berkata: aku mendengar
„Umar bin „Ubaid berkata: sesungguhnya telah terjadi gerhana
matahari di zaman Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW
shalat bersama para sahabatnya. Lalu Rasulullah SAW bersabda:
seseungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana
karena kematian dan hidupnya seseorang, tetapi keduanya
termasuk tanda-tanda kebesaran Allah, dan dengan keduanya Allah
menakut-nakuti hamba-Nya. Maka jika kalian melihat gerhana,
berzikirlah kepada Allah (shalat) hingga ia terang kembali.“
Hadits tersebut menunjukkan bahwa waktu shalat gerhana dimulai
ketika terjadinya gerhana hingga ia terang kembali. Jika tertinggal, maka
shalat itu tidak perlu diqadha‟. Karena Nabi menjadikan kembali terang
sebagai akhir (batas) dari shalat karena shalat gerhana disyari‟atkan dengan
tujuan memohon kepada Allah guna menolak terjadinya bencana. Dengan
demikian, jika kondisi cuaca telah terang kembali, maka tercapailah maksud
dari pelaksanaan shalat itu.
28
Shahih al-Bukhari, loc. cit.
101
Adapun apabila cuaca terang kembali, sementara seseorang masih
melakukan shalat, maka hendaklah ia menyelesaikan dengan meringankan
shalatnya. Jika matahari dan bulan tertutup awan, padahal keduanya sedang
mengalami gerhana, maka seseorang tetap shalat karena hukum asalnya
gerhana tersebut benar-benar terjadi. Apabila ketika terjadi gerhana, matahari
menghilang atau terbit di atas bulan yang sedang mengalami gerhana, maka
seseorang tidak perlu shalat karena waktu memanfaatkan cahaya keduanya
telah hilang. Jika seseorang telah selesai dari shalatnya, sementara gerhana
masih berlangsung, maka ia tidak perlu menambahkan shalat lainnya,
melainkan cukup dengan menyibukkan diri dengan berdzikir, berdo‟a dan
beristighfar, karena Nabi tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat.
Apabila bulan menghilang pada malam hari, padahal ia sedang
mengalami gerhana, maka tidak perlu melakukan shalat, seperti halnya ketika
matahari menghilang. Karena menuntut dilaksanakannya shalat itu telah sirna.
Meskipun ada yang mengatakan bahwa shalat tetap harus dilakukan karena
pengaruhnya masih ada. Seperti al-Qadhi yang memilih pendapat ini dengan
mengatakan bahwa shalat gerhana tetap dikerjakan meskipun bulan telah
menghilang pada malam hari, sebab waktu pemanfaatan cahaya bulan tidak
hilang dan pengaruhnya masih ada. Pendapat serupa dikemukakan oleh al-
Mardawi yang mengatakan bahwa jika bulan menghilang dalam keadaan
gerhana, maka pendapat yang paling masyhur dalam madzhab adalah tetap
dilakukan shalat gerhana.29
29
Al-Mughni, Op. Cit, hlm 280.
102
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa shalat gerhana tidak
bisa dilakukan kerena dua hal, yaitu: 1) kembali terang, apabila semuanya
telah kembali terang, maka tidak perlu mengerjakan shalat gerhana. 2)
terbitnya matahari. Apabila fajar telah terbit, padahal bulan masih mengalami
gerhana, maka tetap dilakukan shalat gerhana selama tidak ada yang
menghalangi sinar bulan itu. Karena pengaruh bulan belum hilang secara
keseluruhan, maka tetap dilakukan shalat gerhana.
Abdul Aziz bin Baz berkata: „yang lebih utama adalah segera
melaksanakan shalat gerhana sebelum shalat subuh. Demikian pula
seandainya bulan mengalami gerhana pada akhir malam, sementara hal itu
tidak diketahui melainkan setelah terbit fajar maka hendaklah ia mengerjakan
shalat gerhana terlebih dahulu, baru kemudian melakukan shalat shubuh,
dengan tetap memperhatikan pelaksanaannya, yaitu meringankan shalat
gerhana supaya ia bisa melaksanakan shalat shubuh pada waktunya.30
Jika bulan mengalami gerhana setelah terbit fajar, maka pendapat yang
benar adalah disyari‟atkan untuk segera melaksanakan shalat gerhana karena
shalat gerhana termasuk diantara shalat-shalat yang memiliki sebab dan boleh
dilakukan pada waktu-waktu yang dilarang. Demikianlah yang shahih diantara
dua pendapat para ulama.
Jika peristiwa gerhana berbarengan dengan shalat jum‟at, shalat fardhu
atau shalat witir, maka harus memulainya dari shalat yang paling
30
Sa‟id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Shalatul Mu‟min, Ahmad Yunus et, “ Ensiklopedi
Shalat Menurut al-Qur‟an dan as-Sunnah, Jilid III, Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟I, Cet ke 1,
2007, hlm 43.
103
dikahawatirkan akan terlewat. Namun apabila kekhawatiran atas keduanya
sama, maka yang dimulai adalah shalat wajib.31
Dalam setiap peristiwa, tentunya ada faedah dan hikmah yang dapat
diambil. Mengenai fenomena gerhana bulan ini, faedah dan hikmah yang
dapat diambil diantaranya adalah:
1. Memberitahukan adanya pengaturan terhadap matahari dan bulan,
sehingga keduanya bisa dijadikan acuan waktu bagi kehidupan manusia di
bumi.
2. Meningkatkan rasa syukur terhadap sang Pencipta, yang bisa dilakukan
dengan cara melaksanakan shalat gerhana, beristighfar, bersedekah dan
lain-lain.
3. Meningkatkan ilmu pengetahuan tentang benda-benda langit.
31
Ulama berbeda pendapat jika gerhana berbarengan dengan shalat jenazah. Ada yang
berpendapat bahwa shalat jenazah lebih didahulukan, tetapi ada juga yang berpendapat shalat
gerhana yang didahulukan. Adapun jika shalat gerhana berbarengan shalat tarawih, maka yang
benar, insya Allah, adalah melakukan shalat gerhana terlebih dahulu. Al-Mughni, ibid.
104
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis dari beberapa bab terdahulu,
maka selanjutnya penulis akan menyimpulkan sebagai jawaban akhir dari
pokok-pokok permasalahan yang di angkat penulis, kesimpulannya sebagai
berikut:
1. Metode hisab gerhana Bulan yang terdapat dalam kitab al-Khulashah al-
Wafiyyah karangan Zubair Umar al-Jaelany yang dirunut dari hisab haqiqi
bi al-taqrib kemudian hisab haqiqi bi al-tahqiq ini hampir setara hisab
ephemeris, yang mana data-datanya sama-sama sudah didasarkan pada
gerak matahari dan bulan. Sistem hisab manapun, pastinya terdapat
kelebihan dan kelemahan didalamnya, begituhalnya dengan kitab al-
Khulashah al-Wafiyyah dan ephemeris.
2. Dasar hukum yang digunakan dalam kitab al-Khulashah al-Wafiyyah dan
Ephemeris ketika gerhana bulan ini terjadi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah, didalamnya menjelaskan bahwa gerhana bulan
ini tidak ada kaitannya dengan kematian atau kehidupan seseorang, dan
peristiwa ini juga tidak boleh dikait-kaitkan dengan musibah-musibah
yang terjadi pada saat gerhana bulan ini sedang berlangsung. Justru dengan
adanya fenomena gerhana bulan ini hendaknya lebih mendekatkan diri
kepada Allah, misalnya dengan melakukan shalat gerhana, bersedekah,
105
beristighfar dan berdzikir, dan ini bisa dilakukan mulai dari terjadi gerhana
hingga usai gerhana.
B. Saran-saran
1. Hendaknya para pakar ilmu hisab lebih banyak lagi membahas tentang
masalah gerhana bulan seperti halnya membahas urusan penetapan awal
bulan kamariyah, waktu shalat dan lain-lain. Karena ketika terjadi gerhana
bulan juga terdapat unsur-unsur ibadah, misalnya melaksanakan shalat
gerhana, memperbanyak do’a, memperbanyak takbir dan memperbanyak
shadaqah, meskipun gerhana bulan itu sendiri jarang terjadi.
2. Hendaknya hasil hisab gerhana bulan juga bisa ditampilkan dalam
kalender-kalender yang beredar di masyarakat seperti halnya jadwal waktu
shalat dan awal bulan kamariyah. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat
tahu bahwa dalam satu tahun kalender terdapat gerhana bulan, dan mereka
langsung dapat menyaksikannya serta melakukan ibadah-ibadah yang
terdapat didalamnya.
3. Dengan munculnya program-program komputer berbasis astronomi
modern yang mendukung penentuan gerhana bulan bukan berarti kita tidak
perlu lagi belajar ilmu hisab khususnya yang terdapat dalam kitab-kitab
klasik. Oleh karena itu, untuk menjaga khazanah keilmuan kitab klasik,
hendaknya kita harus tetap memelihara dan melestarikan ilmu hisab yang
terdapat dalam setiap kitab dengan cara mempelajarinya guna ilmu hisab
tersebut tidak punah.
106
4. Terhadap para pengguna kitab al-Khulashah al-Wafiyyah hendaknya
melakukan koreksi terhadap data-data yang kurang akurat dalam kitab
tersebut. Misalnya data lintang dan bujur tempat.
C. Penutup
Alhamdulillahirabbil‘alamin rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat
Ilahi Rabbi. Setelah perjalanan panjang yang penulis tempuh akhirnya skripsi
ini bisa diselesaikan. Penulis berkeyakinan bahwa apa yang penulis hasilkan,
meskipun merupakan upaya optimal, penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih banyak kekurangan dan kelemahan dari berbagai segi serta masih jauh
dari kesempurnaan. Meskipun demikian penulis berharap mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya.
Atas saran, masukan dan kritik konstruktif demi kebaikan dan
kesempurnaan tulisan ini, penulis ucapkan terima kasih.
Wallahu a’lam bi al-shawab…
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Noor, Nur al-Anwar, Kudus: Tashwiq al-Tullab Salafiyah, tt.
, Syamsu al-Hilal, Kudus: Tashwiq al-Tullab Salafiyah, tt.
Al-Batawi, Muhammad Mansur, Sullam al-Nayyirain, Jakarta: al-Madrasah al-
Khoiriyah al-Mansyuriyah, 1925.
Al-Jaelany, Zubair Umar, al-Khulashah al-Wafiyah, Surakarta: Melati, 1935.
Anam, Ahmad Syifa'ul, Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qomariyah Dalam
Kitab al-Khulashah al-Wafiyyah Dengan Metode Haqiqi bit tahqiq,
Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 1997.
Ariasti, Adriana Wisni dkk, Perjalanan Mengenal Astronomi, Bandung: Penerbit
ITB, 1995.
Asqalanii, Ahmad bin Ali Ibnu Hajar, Fathul Baari, Juz II, Beirut: Daar al-Fikr.
t.t.
Azhari, Susiknan, Ensiklipedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet ke 2, 2007.
, Ilmu falak (teori dan praktek), Yogyakarta: Lazuardi, 2001.
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet ke 5,
2004.
Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981.
Bisri, Abis, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif, Cet ke I, 1999.
Bukhari al Ja‟fii, Imam Abi „Abdillah Muhammad bin Ismail ibnu Ibrahim bin al-
Mughirah bin Bardazabah, “Shahih al-Bukhari”, Juz 1, Beirut, Libanon:
Daar al-Kitab al-„alamiyyah, t.t.
Buku Panduan Program S.1 dan Diploma IAIN Walisongo Semarang, tahun 2010.
Cayne, Berdnard S. Ilmu Pengetahuan Populer, Edisi 13, Jakarta: CV Prima
Printing, 2005.
Cleave, Janice Van, A+ Proyek-proyek Astronomi, Bandung: Pakar Raya, 2002.
Daftar riwayat hidup Zubair Umar al-Jaelany tertanggal 22 Maret 1976.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro,
2005.
, Islam Untuk Disiplin Astronomi, Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000.
Echols, John M. An Indonesian-English Dictionary, Hassan Shadily, “Kamus
Indonesia-Inggris”, edisi ketiga, Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama, Cet
ke 9, 2003.
Fachruddin, Ensiklopedia Al-Qur’an, Jilid 2, Jakarta: PT. Melton Putra, Cet ke 1,
1992.
Fachruddin, Ensiklopedia Al-Qur’an, Jilid 1, Jakarta: PT. Melton Putra, Cet ke 1,
1992.
Fredette, Nathalie, Understanding The Universe, Hendro Setyanto, “Memahami
Alam Semesta”, Bandung: PT Bhuana Ilmu Populer, Cet ke 1, 2006.
Ghazali, Ahmad, Irsyadul Murid, Jember: PP Annuriyah, 2005.
Hambali, Slamet, Almanak Sepanjang Masa, Semarang: IAIN Walisongo, t.t.
, Disampaikan pada Seminar sehari yang diselenggarakan oleh
Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo semarang, hari Sabtu, 7
Nopember 2009 di Kampus IAIN Walisongo Semarang.
, Disampaikan pada waktu pembelajaran mata kuliah Kajian Kitab
Falak II mengenai hisab awal bulan kamariyah dalam kitab al-khulashah
al-wafiyyah pada tanggal 31 Agustus 2009.
Hasan, Iqbal, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor:
Ghalia Indonesia, Cet ke 1, 2002.
Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyah, Jakarta: Erlangga, 2007.
, Ilmu Falak (Metode Hisab-Rukyat dan Solusi Permasalahannya),
Semarang: Komala Grafika, 2006.
, Disampaikan pada Diklat Hisab Rukyah Tingkat lanjut di
Lingkungan Depertemen Agama Provensi Jawa Tengah dan D.I
Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh Departemen Agama RI Balai
Pendidikan Dan Pelatihan Keagamaan Semarang, hari Kamis-Senin, 29
Oktober – 9 November 2009 di MAJT Semarang.
, Zubair Umar al-Jaelany dalam Sejarah Pemikiran Hisab
Rukyah di Indonesia, Laporan Penelitian Individual IAIN Walisongo
Semarang, 2002.
Karim, Mohammad Zuber Abdul, Ittifaqi Dzati al-Bain, Gresik: Lajnah
Falakiyah NU Jatim, tt.
Karim, Abdul, Mengenal Ilmu Falak, Semarang Timur: Intra Pustaka Utama, Cet
ke 1, 2006.
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana
Pustaka, Cet ke 3, 2008.
, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005.
Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta: Perpustakaan Nasional, Cet ke 2, 2009.
Maliki, „Alawin Abbas, Ibaanattul Ahkaam, Bahrun Abu Bakar, “Penjelasan
Hukum-hukum Syari‟at Islam”, Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet ke
1, 1994.
M.S.L. Toruan, Pokok-Pokok Ilmu Falak (kosmografi), Semarang: Banteng
Timur, Cet ke 4, t.t.
Nasaburi, Imam Abi Husain Muslim bin al-Hujjaaj al-Qusyairi, Shahih Muslim bi
Syarhin Nawawi, Juz 5, Beirut: Daar al-Kitab al-„alamiyyah. t.t.
Nurwendaya, Cecep, Disampaikan pada waktu pelatihan Gerhana Bulan Sebagian
di Planetarium dan Observatorium Dinas Pendidikan Menengah dan
Tinggi Provinsi DKI Jakarta yang bertepatan pada hari kamis – jum‟at
yang bertepatan tanggal 7-8 September 2006, dan juga bisa diakses di
www.dikmentidki.go.id (tanggal akses, 7 maret 2010).
, Disampaikan pada Pengamatan Gerhana Bulan Parsial dan
Penyuluhan Astronomi, oleh Planetarium dan Observatorium Jakarta yang
diselenggarakan oleh Dinar Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, di SMA Muhammadiyah Prambanan dan Pelataran Candi
Prambanan Yogyakarta, hari Jum‟at-Sabtu tanggal 25-26 Juni 2010.
Oxford, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford University
Press, 2003.
Qahthani, Sa‟id bin Ali bin Wahf, Shalatul Mu’min, Ahmad Yunus et,
“Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur‟an dan as-Sunnah,” Jilid III, Jakarta:
Pustaka Imam asy-Syafi‟I, Cet ke 1, 2007.
Qudamah, Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al-Mughni, Juz
II, Beirut: Daar al-Kitab al-„ilmiyah. t.t.
Radiman, Iratius, Ensiklopedi – Singkat Astronomi dan Ilmu Yang Bertautan,
Bandung: ITB, 1980.
Shofiyulloh, disampaikan pada waktu “Kajian Ilmiah Falakiyah” para ahli hisab
PWNU Jawa Timur di P.P. As-Sunniyyah Kencong Jember yang
dilaksanakan tanggal 29 - 31 Agustus 2003. Dan bisa di akses di
http://lubanghitam.com// (di akses tanggal 7 maret 2010).
Simamora, Ilmu Falak (Kosmografi), Jakarta: CV Pedjuang Bangsa, Cet XXX,
1985.
Soetjipto, Islam dan Ilmu Pengetahuan tentang Gerhana, Yogyakarta: LPPM
IAIN Sunan Kalijaga, 1983.
Syafi‟I, Imam Majduddin Muhammad bin Ya‟kub bin Muhammad bin Ibrahim al-
Fairuzabadi asy-Syairazi, Al-Qaamus al-Muhid, Juz III, Beirut: Daar al-
Kitab al-„Ilmiyah, Cet ke 1, 1995.
Wardan, Muhammad, Kitab Falak dan Hisab, Yogyakarta: Toko Pandu, Cet ke 1,
1957.
Wawancara dengan Bapak Drs. Anshori yang merupakan anak dari Zubair Umar
al-jaelany pada tanggal 11 Oktober 2010 di Salatiga.
Wawancara dengan Bapak Drs Slamet Hambali yang merupakan salah satu murid
beliau yang melanjutkan kepakarannya di bidang ilmu falak, pada tanggal
12 Januari 2011 di Semarang.
Lampiran 1
HISAB GERHANA BULAN DALAM
KITAB AL-KHULASHAH AL-WAFIYYAH
A. Hisab haqiqi bi al-taqrib
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa gerhana bulan terjadi
pada saat istiqbal. Jadi dalam perhitungan sistim hisab bit taqrib ini, akan
ditentukan waktu istiqbal. Tahap awal dalam mengerjakan hisab haqiqi bi al-
taqrib, data-data yang dibutuhkan yaitu data tahun, data bulan dan waktu
istiqbal. Untuk data tahun, menggunakan data data tahun sebelumnya. Dan
untuk data bulan adalah data bulan yang di cari tersebut. Sebagai contoh kita
akan menghitung waktu istiqbal hisab haqiqi taqribi pertengahan Rajab 1432
H. berikut penjelasannya.
المركز
- o ح
الخاصت
- o ح
الىسط
- o ح
العالمت
ق م عت
الحركاث
32 15 5
16 19 11
23 24 10
47 9 10
57 27 8
16 19 11
8 0 5
48 8 4
1 المجمىعت ف 1430
2 المبسىطت ف 1
48 4 5
44 23 6
10 4 9
43 0 6
13 17 8
44 23 6
56 8 2
8 17 3
المجمىعاث3 رجة
32 28 11
33 14 0
53 4 3
54 12 6
57 10 3
33 14 0
4 2 6
22 18 0
عحركاث االجتما
- 4 حركاث االستقبال
59 13 11 59 21 8 24 26 2
21 2 -
42 7 5
30 21 -
الحركاث المطلىب
تعذيالن
ساعت االستقبال 4 10 12 2 24 3
Ta'dil-ta'dil / koreksi-koreksi:
- o ح
Ta'dil al-khashshah5
Ta'dil al-markaz6
58
24
9
1 +
Al-bu'du al-ghair al-mu'addal
Qaidah7
22
5
11
x
Hasil perkalian
Ta'dil markaz
50
56
24
1 +
Ta'dil al-wasath 50 20 2
1 Ibid, hal. 226
2 Ibid,
3 Ibid,
4 Ibid,
5 Ibid, hal. 227, di ambil dari data al-khossoh.
6 Ibid, hal 228, di ambil dari data al-markaz.
7 Ibid, hal 119, qaidah.
Detik dibulatkan menjadi 1 menit. Setelah itu dimasukkan ke tabel al-
wasath, dengan mengurangkan nilai al-wasath.
- o ح
Al-bu'du al-ghair al-mu'addal
Daqaiq ta'dil al-ayyam8
22
9
11
0 -
Al-bu'du al-mu'addal
Khishshah al-sa'ah9
13
55
11
1 x
ta'dil al-'alamah 55 30 21
Detik dibulatkan menjadi 1 menit. Setelah itu dimasukkan ke tabel al-
alamah, dengan mengurangkan nilai al-alamah. Hasilnya akan menjadi hari
dan jam terjadinya istiqbal. Jadi saat istiqbal terjadi pada hari ke-4 (hari rabu)
pada pukul 10.12 waktu makkah.
B. Hisab haqiqi bi al-tahqiq
Kemungkinan gerhana bulan pada pertengahan bulan Rajab 1432 H.
ق ح ح
21 23 5 : 1411السنح المغلىتح
59 18 5 : 12المثسىعح
+ 22 19 6 : الشهر المغلىب رجة
42 1 5: حاصل الجمغ
Karena hasil dari penjumlahan tersebut antara 5b 15˚ s/d 6
b 14˚, maka
kemungkinan terjadi gerhana bulan pada pertengahan bulan Rajab 1432 H.
Hasil perhitungan istiqbal taqribi terjadi pada hari rabu jam 10 dan 12 menit.
Kemudian kita akan menghitung jam istiqbal haqiqi bi al-tahqiq.
8 Ibid, hal 262, di ambil dari data al-thul.
9 Ibid, hal 264, di ambil dari data al-khossoh.
10 Ibid, hal 224,
11 Ibid,
12 Ibid,
العقذة
ي ق ح ح
خاصتها
ي ق ح ح
وسط القمر
ي ق ح ح
خاصتها
ي ق ح ح
وسط الشمس
ي ق ح ح
عالمت
االيام
الحركاث
1 22 25 7
1 4 5 31
8 12 0 39
0 29 38 48
4 11 24 24
4 18 44 40
0 17 50 6
4 14 48 58
4 0 50
48
4 15 11
13
2
1
13 ف1410
المجمىعت
21المبسىطت ف 14
38 30 26
2
23 22 9 0
27 39 11 9
11 30 2 5
4 9 0 9
20 13 22
5
4 39 2 5
2 27 24 5
1 2 16 8
34 27 24
5
3
2
حاصل الجمع
جمادالثان 15
1 53 5 3
18 41 0 0
38 9 14 2
41 50 19 5
24 22 22 2
35 17 21 5
6 6 27
10
46 48 12 0
35 29 10 2
48 48 12 0
6
6
حاصل الجمع
االيام 1316
19 34 6 3
19 1 0 0
19 0 4 8
38 26 5 0
59 39 13 8
25 29 5 0
52 54 9
11
38 24 0 0
23 18 23 2
38 24 0 0
4
حاصل الجمع
ساعاث 1017
38 35 6 3
2 0 0 0
57 26 9 8
32 6 0 0
24 9 19 8
35 6 0 0
30 19 10 11
30 0 0 0
1 43 23 2
30 0 0 0
حاصل الجمع
دقائق 1218
40 35 6 3
57 2 0 +
29 33 9 8
45 3 0 -
59 15 19 8
45 3 0 -
0 20 10 11
(دليل االول )
(طىل القمر )
31 43 23 2
8 38 0 +
حاصل الجمع
التعذيل
37 38 6 3 44 29 9 8
29 19 1 -
14 12 19 8
29 19 1 -
39 21 24 2
(طىل الشمس )
15 10 8 8
44 7 0 -
33 23 18 8
34 59 5 +
31 2 8 8
(دليل الثالث)
7 23 24 8
2 0 0 -
5 23 24 8
33 1 0 -
32 21 24 8
Keterangan:
No Dalil-dalil Data 1 Data 2 hasil interpolasi
1 Dalil Awal : 11b 10˚ 20’ 0”
Ta‟dil 1
19 ( وسظ الشمس ) ”08 ‟38 ˚0 ”53 ‟36 ˚0 ”45 ‟38 ˚0
Ta‟dil 220
-0˚ 3‟ 49” -0˚ 3‟ 38” -0˚ 3‟ 45”
13
Ibid, hal 213. 14
Ibid, hal 215. 15
Ibid, hal 214. 16
Ibid, hal 216. 17
Ibid, hal 217. 18
Ibid, 19
Ibid, hal 218-219, di ambil dari data dalil al awal.
( وسظ القمر و خاصتها )
Ta‟dil 321
( الؼقذج ) ”57 ‟2 ˚0 ”51 ‟2 ˚0 ”0 ‟3 ˚0
No Dalil-dalil Data 1 Data 2 hasil interpolasi
2 Dalil Tsani
وسظ القمر
عىل الشمس
8b 19˚ 12‟ 14”
2b 24˚ 21‟ 39”
-
مثله5
b 24˚ 50‟ 35”
5b 24˚ 50‟ 35”
+
خاصح القمر
11b 19˚ 41‟ 10”
8b 9˚ 29‟ 44”
-
3b 10˚ 11’ 26”
Ta‟dil 22
-1˚ 19‟ 32” -1˚ 19‟ 18” -1˚ 19‟ 29”
( وسظ القمر و خاصتها )
3 Dalil tsalis ?
Ta‟dil 1
23 ( خاصح القمر ) ”44 ‟7 ˚0- ”29 ‟7 ˚0- ”52 ‟7 ˚0-
Ta‟dil 224
( وسظ القمر ) ”34 ‟59 ˚5 ”30 ‟1 ˚6 ”27 ‟59 ˚5
4 Dalil Robi‟
وسظ القمر
عىل الشمس
8b 24˚ 23‟ 9”
2b 24˚ 21‟ 39”
-
6b 0˚ 1’ 30”
Ta‟dil 25
(وسظ القمر ) ”2 ‟0 ˚0- ”18 ‟1 ˚0- ”0 ‟0 ˚0-
5 Dalil Khomist
دليل الرتيغ
الؼقذج
6b 0˚ 1‟ 30”
3b 6˚ 38‟ 37”
+
9b
6˚ 40’ 7”
Ta‟dil 26
(وسظ القمر ) ”33 ‟1 ˚0- ”38 ‟1 ˚0- ”24 ‟1 ˚0-
Kemudian mencari selisih antara thul matahari dan thul bulan, yaitu:
2 : عىل الشمسb 24˚ 21‟ 39”
6b +
8b 24˚ 21‟ 39”
8 : عىل القمر b 24˚ 21‟ 32”
0b 0˚ 0‟ 7”
20
Ibid, hal 219-220, di ambil dari data dalil al awal. 21
Ibid, hal 225, di ambil dari data dalil al awal. 22
Ibid, hal 220-221, di ambil dari data dalil ats tsani. 23
Ibid, di ambil dari data dalil al awal. 24
Ibid, hal 221-222, di ambil dari data dalil ats tsalits. 25
Ibid, di ambil dari data dalil al robi‟. 26
Ibid, hal 225, di ambil dari data dalil al khomits.
Selisih yang di dapat adalah 7”, kemudian 7” dijadikan satuan
.ثىانى yang kemudian di bagi dengan Sabaq al-Mu’addal dengan satuan رواتغ
Berikut perinciannya;
7” = 25200 (7 x 60 x 60) رواتغ
سثق القمر 27
: ta‟dil : 11b 10˚ : 0˚ 29‟ 56”
11b 11˚ : 0˚ 29‟ 51”
Interpolasi : 0˚ 29‟ 51”
سثق الشمس 28
: ta‟dil : 11b 10˚ : 0˚ 2‟ 23”
11b 11˚ : 0˚ 2‟ 23”
Interpolasi : 0˚ 2‟ 23”
51 ‟29 ˚0 : سثق القمر : سثق المؼذل”
– ”23 ‟2 ˚0 : سثق الشمس
0˚ 27‟ 31” = 1651 (27 x 60 + 31) ثىانى
1651 25200 15
24765
435 (karena kurang dari ½ (1800) ثىانى, maka dibuang)
Kemudian 15 dijadikan jam, yaitu 0j 0
m 15
d
Jam pada istiqbal taqribi : 10j 12
m
Jam selisih : 0j
0m
15d -
Sa’at al-bu’di
10j 11
m 45
d
Saa’at al-istiqbal al-haqiqi = Saa’at al-Zawal al-Haqiqi + Daqaiq ta’dil
al-Zaman + Saa’at al-Bu’di
= 6j 0
m 0
d + 0
j 0
m 0
d + 10
j 11
m 45
d
= 4j 11
m 45
d
Langkah selanjutnya untuk menghitung terjadinya gerhana bulan. adalah:
ػرض القمر .1
Ardl al-Qamar = 9064929
+ 8941730
= 80066 (bentuk derajad : 0˚ 34‟ 54”)
سثق القمر فى الؼرض .2
Sabaq al-Qamar fi al-Ardl = 9997031
+ 7209332
= 72063 (bentuk derajad : 0˚ 5‟ 34”)
27
Ibid, hal 223, di ambil dari data dalil al awal. 28
Ibid, di ambil dari data dalil al awal. 29
Ibid, hal 240-243, di ambil dari data dalil 5, yaitu 6˚ 40‟ 7”, menggunakan kalkulator
dengan cara log sin 6˚ 40‟ 7”. 30
Ibid, qaidah yang diuraikan pada halaman 84 besarnya 5˚ 1‟, menggunakan kalkulator
dengan cara log sin 5˚ 1‟. 31
Ibid, di dapat dari data dalil 5, yaitu 6˚ 40‟ 7”, menggunakan kalkulator dengan cara log
cos 6˚ 40‟ 7” 32
Ibid, qaidah yang diuraikan pada halaman 141 besarnya 0˚ 5‟ 34”, menggunakan
kalkulator dengan cara log sin 0˚ 5‟ 34”
الميل النسثى .3
Al-mail al-Nisbi = 2523733
– 32178
= 93059 (bentuk derajad : 11˚ 40‟ 08”)
الحركح الساػيح .4
Al-harokat al-Sa’iyah = 32178 – 9990934
= 32269 (bentuk derajad : 0˚ 28‟ 6”)
المخفىػ االول .5
Al-Mahfudz al-Awwal = 33210 + 93059
= 26269 (bentuk derajad : 0˚ 7‟ 4”)
دقائق تؼذ وسظ الخسىف .6
Daqoiq ba’ad wasat al-Khusuf = 26269 + 3556335
– 32269
= 29563 (bentuk derajad: 0˚15‟ 5”)
المخفىػ الثانى .7
Al-mahfudz al-tsani = 99909 + 33210
= 33119 (bentuk derajad : 0˚ 34‟ 11”)
نضف قغر الظل .8
Nisfu qathr al-dlil, yaitu : 8b 8˚ 2‟ 31”
8b 5˚ : 0˚ 44‟ 39”
8b 10˚ : 0˚ 44‟ 28”
Interpolasi : 0˚ 44‟ 38”
نصف قغر القمر .9
Nisfu qathr al-Qamar, yaitu : 8b 8˚ 2‟ 31”
8b 5˚ : 0˚ 17‟ 9”
8b 10˚ : 0˚ 16‟ 59”
Interpolasi : 0˚ 17‟ 8”
المخفىػ الثالث .10
Al-mahfudz al-Tsalis = 0˚ 44‟ 38” + 0˚ 17‟ 8”
= 0˚ 61‟ 46”
المخفىػ الراتغ .11
Al-mahfudz al-Robi’ = 0˚ 61‟ 46” + 0˚ 34‟ 11”
= 0˚ 95‟ 57”
33
Bentuk derajat dari sabaq al-qamar fi al-„ard yang di lihat pada tabel halaman 237-239.
Nilai ansab pada setiap perhitungan di lihat pada tabel halaman tersebut dengan cara melihat dari
bentuk derajat. 34
Bentuk log cos dari mail al-nisbi, yaitu log cos 11˚ 36‟ 35
Qaidah yang diuraikan pada halaman 141 besarnya 0˚ 5‟ 34”, yang kemudian di lihat
nilai ansabnya pada tabel.
المخفىػ الخامس .12
Al-mahfudz al-Khamis = 0˚ 61‟ 46” - 0˚ 34‟ 11”
= 0˚ 27‟ 35”
ساػاخ السقىط .13
Al-hasil = 37601 + 32188
= 68863
Nisfu al-hasil = 69789 / 2
= 34894
Al-kharij min al-ansab = Nisfu al-hasil + Ansab daqoiq saat - Ansab
al-harakah al sa’iyah
= 34894 + 35563 – 32269
= 38188 (bentuk jam 0j 109
m 48
d)
Jadi Sa’at al-suqut = 1j 49
m 48
d
ساػاخ وسظ الخسىف .14
Sa’at wasat al-khusuf = 4j 11
m 45
d - 0
j 15
m 5
d
= 3j 56
m 40
d
ساػاخ اتتذاء الخسىف .15
Sa’at ibtida’ al-khusuf = 4j 11
m 45
d - 1
j 49
m 48
d
= 2j 21
m 57
d
ساػاخ انتهاء الخسىف .16
Sa’at intaha al-khusuf = 4j 11
m 45
d + 1
j 49
m 48
d
= 6j 1
m 33
d
الثاقى .17
Al-baqi = 0˚ 61‟ 46” - 0˚ 34‟ 54”
= 0˚ 26‟ 52” = 1612 (26 x 60 + 52) ثىانى
= 1612 x 12
= 19920
قغر القمر .18
nisfu qatr al-qamar (0˚ 17‟ 8”) yang dilipatgandakan = Qatr al-qamar
Qatr al-qamar = 0˚ 34‟ 16” = 1924 (34 x 60 + 16) ثىانى
اصاتغ الخسىف .19
Asabi’ al-khusuf = 19920 / 1924
= 10˚ 31‟
نىع الخسىف .20
Nisfu qatr al-dhil = 0˚ 54‟ 38”
‘Ard al-qamar = 0˚ 34‟ 54” -
= 0˚ 19‟ 44”
Hasil yang di dapat dari pengurangan tersebut menunjukkan bahwa nilai
tersebut lebih besar dari nisfu qatr al-qamar, maka terjadi gerhana bulan
total. Untuk mencari awal dan akhir total, berikut langkah-langkahnya:
a. 0˚ 54‟ 38” - 0˚ 17‟ 8” + 0˚ 34‟ 11” = 0˚ 61‟ 41”
Nilai ansabnya adalah 35683
b. 0˚ 54‟ 38” - 0˚ 17‟ 8” - 0˚ 34‟ 11” = 0˚ 6‟ 41”
Nilai ansabnya adalah 26032
c. Hasil ansab ditambahkan = 35683 + 26032 = 61715
Nisfu ansabnya = 61715 / 2 = 30857
Sa’ah al-muks = 30857 + 35563 – 32269
= 34151 (bentuk derajat 0j 43
m 21
d
d. Awal total = 3j 56
m 40
d - 0
j 43
m 21
d = 3
j 13
m 19
d
e. Akhir total = 3j 56
m 40
d + 0
j 43
m 21
d = 4
j 40
m 1
d
لىن الخسىف .21
‘Ard al-qamar yang kita hitung lebih kecil dari 10˚, maka warna
gerhana bulan kali ini adalah hitam pekat.
المركاز .22
Kita akan menentukan gerhana bulan kota Semarang, maka kita harus
mengetahui sa’at thul Semarang, yaitu:
a) Sa’at wasat al-khusuf = 10j 11
m 45
d + 4
j 42
m 24
d
= 2j 54
m 9
d
b) Sa’at ibtida’ al-khusuf= 2j 54
m 9
d – 1
j 38
m 42
d
= 1j 15
m 27
d
c) Sa’at ibtida’ kulli = 2j 54
m 9
d - 0
j 43
m 21
d
= 2j 10
m 48
d
d) Sa’at intaha kulli = 2j 54
m 9
d + 0
j 43
m 21
d
= 3j 37
m 30
d
e) Sa’at intaha al-khusuf = 2j 54
m 9
d + 1
j 38
m 42
d
= 4j 32
m 51
d
Setelah kita mengetahui jam terjadinya gerhana di kota semarang, hal
tersebut masih belum sempurna. Karena untuk mengetahui gerhana benar-
benar terjadi di kota Semarang maka harus di sesuaikan dengan bujur
daerah Semarang. Untuk daerah semarang karena termasuk WIB maka
bujur daerah yang di gunakan adalah 105˚. Cara menghitungnya adalah:
Rumus = jam yang di ketahui – perata waktu + (BD - BT) / 15
Sa’at wasat al-khusuf = 2j 54
m 9
d - 0
j 0
m 0
d + (105˚ - 110˚ 24‟) / 15
= 2j 54
m 9
d - 0
j 21
m 36
d
= 2j 32
m 33
d
Sa’at ibtida’ al-khusuf = 1j15
m 27
d - 0
j 0
m 0
d + (105˚ - 110˚ 24‟) / 15
= 1j 15
m 27
d - 0
j 21
m 36
d
= 0j 53
m 51
d
Sa’at ibtida’ kulli = 2j10
m 48
d - 0
j 0
m 0
d + (105˚ - 110˚ 24‟) / 15
= 2j 10
m 48
d - 0
j 21
m 36
d
= 1j 49
m 12
d
Sa’at intaha kulli = 3j 37
m 30
d - 0
j 0
m 0
d + (105˚ - 110˚ 24‟) / 15
= 3j 37
m 30
d - 0
j 21
m 36
d
= 3
j 15
m 54
d
Sa’at intaha’ al-khusuf = 4j 32
m 51
d - 0
j 0
m 0
d + (105˚ - 110˚ 24‟) / 15
= 4j 32
m 51
d - 0
j 21
m 36
d
= 4j 11
m 15
d
23. Konversi Hijriyah ke Masehi
Untuk menentukan tanggal dan bulan
2b 24˚ 21‟ 39”
2b
+ 4 = 6 jadi hasilnya adalah tanggal 16 juni
24‟ - 8 = 16
Untuk mencari tahunnya = 1432 / 33,33 = 43 (dibulatkan)
= 1432 – 1389
= 1389 + 622
= 2011
24. Kesimpulan
Dari perhitungan gerhana bulan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Gerhana bulan total terjadi pada hari kamis, 16 juni 2011
Mulai gerhana : 0: 53: 51 WIB
Awal total : 1: 49: 12 WIB
Pertengahan : 2: 32: 33 WIB
Akhir total : 3: 15: 54 WIB
Akhir gerhana : 4: 11: 15 WIB
Lampiran 2
Perhitungan Gerhana Bulan Sistem Ephemeris Hisab Rukyat
Perhitungan Gerhana Bulan dengan sistem Ephemeris Hisab Rukyat
ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menghitung kemungkinan terjadinya gerhana bulan dengan menggunakan tabel
gerhana (terlampir), dengan cara menjumlahkan data dari :
Tahun 1430 H = 326 o 14‟ 12”
Tahun 2 = 016 o 05‟ 12”
Rajab = 199 o 21‟ 37” +
Jumlah = 541 o 41‟ 25”
360 o 00‟ 00” -
Sisa/hasil = 181 o 41‟ 25”
Gerhana Bulan dimungkinkan terjadi apabila hasil penjumlahan tersebut
berkisar antara 000o s/d 014
o, 165
o s/d 194
o dan 345
o s/d 360
o
Hasil 181 o
41‟ 25” diantara 165 o
s/d 194 o
berarti ada kemungkinan terjadi
gerhana bulan pada pertengahan bulan Rajab 1432 H.
2. Melakukan konversi dari penanggalan hijriyah ke penanggalan masehi tanggal
kemungkinan terjadi gerhana bulan tersebut dan hanya akan terjadi saat bulan
purnama, sekitar tanggal 15 bulan qamariyah.
Tanggal 15 Rajab 1432 H
Waktu yang telah dilalui sebanyak 1431 th. Lebih 7 bln lebih 15 hr.
1. Sampai dengan akhir Dzulhijjah 1458 H
30 1431 = 47 DH x 10631 = 499657 h
1410 _
21 tahun = x 354 + 8 (k) = 7442 h
2. Akhir Jumadil Akhir 1431 H s/d 15 Rajab 1432 H = 192 h +
Jumlah = 507291 h
3. Perbedaan Hijriyah – Masehi = 227012 h +
Jumlah (dibagi 1461) = 734303 h
4. = 502 DM ( x 1461) = 733422 h _
Sisa (dibagi 365) = 881 h
5. = 2 tahun M. ( x 365) = 730 h _
Sisa = 151 h
6. Tahun 1 M + 502 x 4 + 2 th = 2011
7. Anggaran Consili dan Gregorius (3+10+3) = 16 h +
Jumlah = 167 h
8. = jumlah akhir bulan Mei (tahun 2011) = 151 h _
Sisa = 16 h
9. Sisa 16, jadi 16 Juni 2011 M
Jadi 15 Rajab 1432 H bertepatan 16 Juni 2011 M (Kamis Kliwon)
3. Mencari FIB terbesar pada kolom Fraction Illumination Bulan,
Karena pada tanggal 16 Juni 2011 tidak dijumpai FIB terbesar, maka diambil
FIB tanggal sebelumnya, yaitu tanggal 15 Juni 2011 yaitu 1,00000 yang terjadi
pada jam 20 GMT. Pada jam 20 GMT harga mutlak Lintang Bulan pada kolom
Apparent Latitude Bulan sebesar 0o 04‟ 24”.
Catatan :
- Jika harga mutlak Lintang Bulan lebih besar dari 1o 05‟ 07” maka tidak
akan terjadi gerhana bulan.
- Jika harga mutlak Lintang Bulan lebih kecil dari 1o 00‟ 24” maka akan
terjadi gerhana bulan.
4. Menghitung Sabaq Matahari (B1)
ELM jam 20 = 84o 22‟ 56”
ELM jam 21 = 84o 25‟ 19” -
B1 = 0 o 2’ 23”
5. Menghitung Sabaq Bulan (B2)
ALB jam 20 = 264 o 14‟ 59”
ALB jam 21 = 264 o 49‟ 38” -
B2 = 0 o 34’ 39”
6. Menghitung jarak Matahari dan Bulan (MB) dengan rumus :
MB = ELM – (ALB- 180)
= 84 o 22‟ 56” – (264
o 14‟ 59” -180)
MB = 0 o
7’ 57”
7. Menghitung Sabaq Bulan Mu‟addal (SB) dengan rumus: SB = B1 – B2
SB = 0 o 34‟ 39” – 0
o 2‟ 23”
= 0 o 32’ 16”
8. Menghitung Titik Istiqbal (TI) dengan rumus : TI = MB : SB
TI = 0 o 7‟ 57” : 0
o 32‟ 16”
= 0j 14
m 46,98
d
9. Menghitung waktu Istiqbal (Is) dengan rumus:
Is = (Waktu FIB + TI) – 00 : 01 : 49.29
= ( 20 o 0‟ 0” + 0
j 14
m 46,98
d ) - 00 : 01 : 49.29
= 20j 12
m 47,69
d
10. Melacak data dari Ephemeris saat terjadi istiqbal secara interpolasi :
a) Semi Diameter Bulan (SD) jam 20j 12
m 47,69
d
SD Jam 20 = 0 o 15‟ 57,41” 0
o 15‟ 57,41”
SD Jam 21 = 0 o 15‟ 57,00” -
0 o 0‟ 0,41”
0 o 12‟ 47,69” x
0o 0‟ 00,09” 0
o 0‟ 00,09” -
SD = 0o 15‟ 57,32”
b) Horizon Parallax Bulan (HP ) jam 20j 12
m 47,69
d
HP ) jam 20 = 0o 58‟ 33” 0
o 58‟ 33”
HP ) jam 21 = 0o 52‟ 32” -
0o 0‟ 0,1”
0o 12‟ 47,69” x
0o 0‟ 0,22” 0
o 0‟ 0,22” -
HP = 0o 58‟ 32,78”
c) Lintang Bulan(L) pada kolom Apparent Latitude Bulan
L jam 20 = 0o 04‟ 24” 0
o 04‟ 24”
L jam 21 = 0o 07‟ 36” -
- 0o 03‟ 12”
0o 12‟ 47,69” x
- 0o 0‟ 41,48” - 0
o 0‟ 41,48” -
L jam = 0o 05‟ 05,48”
d) Semi Diameter Matahari (SDo)
SDo jam 20 = 0o 15‟ 44,74” 0
o 15‟ 44,74”
SDo jam 21 = 0o 15‟ 44,74” -
0o 0‟ 00”
0o 12‟ 47,69” x
0o 0‟ 00” 0
o 0‟ 00” -
SDo jam 0o 15‟ 44,74”
e) Jarak Bumi (JB) pada kolom True Geocentric Distance Matahari jam 20 =
1.0157622
11. Menghitung Horizon Parallax (HPo) dengan rumus:
Sin HPo = sin 08,794” : JB
= sin 08,794” : 1.0157622
= 0o 0„ 08,66“
12. Menghitung jarak bulan dari titik simpul (H) dengan rumus:
sin H = sin L : sin 5o
= Sin 0o 05‟ 05,48” : sin 5
o
= 0o 58‟ 25,16”
13. Menghitung lintang bulan maksimum terkoreksi (U) dengan rumus:
tan U = [tan L : sin H]
= [tan 0o 05‟ 05,48” : sin 0
o 58‟ 25,16”]
= 4o 58‟ 51,86”
14. Menghitung lintang bulan minimum terkoreksi (Z) dengan rumus:
sin Z = [sin U x sin H]
= [sin 4o 58‟ 51,86” x sin 0
o 58‟ 25,16”]
= 0o 05‟ 04,33”
15. Menghitung koreksi kecepatan bulan relatif terhadap matahari (K) dengan
rumus : K = cos L x SB : cos U
K = cos 0o 05‟ 05,48” x 0
o 32‟ 16” : cos 4
o 58‟ 51,86”
= 0o 32‟ 23,34”
16. Menghitung besarnya semidiameter bayangan inti bumi (D) dengan rumus:
D = (HP + HPo – SDo) x 1,02
= (0o 58‟ 32,78” + 0
o 0„ 08,66“ – 0
o 15‟ 44,74”) x 1,02
= 0o 43‟ 48,23”
17. Menghitung jarak titik pusat bayangan inti bumi sampai titik pusat bulan
ketika piringan bulan mulai bersentuhan dengan bayangan inti bumi (X)
dengan rumus: X = D + SD
X = 0o 43‟ 48,23” + 0
o 15‟ 57,32”
= 0o 59‟ 45,55”
18. Menghitung jarak titik pusat bayangan inti bumi sampai titik pusat bulan
ketika seluruh piringan bulan mulai masuk pada bayangan inti bumi (Y)
dengan rumus : Y = D – SD
Y = 0o 43‟ 48,23” – 0
o 15‟ 57,32”
= 0o 27‟ 50,91”
19. Menghitung jarak titik pusat bulan ketika piringan bulan mulai bersentuhan
dengan bayangan inti bumi (C) dengan rumus :
cos C = cos X : cos Z
= cos 0o 59‟ 45,55” : cos 0
o 05‟ 04,33”
= 0o 52‟ 52,45”
20. Menghitung waktu yang diperlukan oleh bulan untuk berjalan mulai ketika
piringan bulan bersentuhan dengan bayangan inti bumi sampai ketika titik
pusat bulan segaris dengan bayangan inti bumi (T1) dengan rumus :
T1 = C : K
= 0o 52‟ 52,45” : 0
o 32‟ 23,34”
= 1j 37
m 56,91
d
Catatan : Bila Y lebih kecil daripada Z maka akan terjadi gerhana bulan
sebagian. Oleh karena itu, E dan T2 berikut ini tidak perlu dihitung
21. Menghitung jarak titik pusat bulan saat segaris dengan bayangan inti bumi
sampai titik pusat bulan ketika seluruhpiringan bulan masuk pada bayangan
inti bumi (B) dengan rumus: cos E = cos Y : cos Z
cos E = cos 0o 27‟ 50,91” : cos 0
o 05‟ 04,33”
= 0o 27‟ 22,96”
22. Menghitung waktu yang diperlukan oleh bulan untuk berjalan mulai titik
pusat bulan saat segaris dengan bayangan inti bumi sampai titik pusat bulan
ketika seluruh piringan bulan masuk pada bayangan inti bumi (T2) dengan
rumus : T2 = E : K
T2 = 0o 27‟ 22,96” : 0
o 32‟ 23,34”
= 0j 50
m 43,56
d
23. Koreksi pertama terhadap kecepatan bulan (Ta) dengan rumus :
Ta = cos H : sin K
= cos 0o 58‟ 25,16” : sin 0
o 32‟ 23,34”
= 106o 07‟ 32”
24. Koreksi kedua terhadap kecepatan bulan (Tb) dengan rumus:
Tb = sin L : sin K
= sin 0o 05‟ 05,48” : sin 0
o 32‟ 23,34”
= 0o 09‟ 25,9”
25. Menghitung waktu gerhana (T0) dengan rumus:
T0 = [sin 0.05 x Ta xTb]
= [sin 0.05 x 106o 07‟ 32” x0
o 09‟ 25,9”]
= 0j 0
m 52,41
d
26. Menghitung waktu titik tengah gerhana (Tgh) dengan cara : Perhatikan
Lintang Bulan (LÄ) dalam kolom Apparent Latitude Bulan pada jam FIB
terbesar dan pada satu jam berikutnya.
- Jika harga mutlak Lintang Bulan semakin mengecil maka Tgh = Istiqbal
+ T0 – ΛT
- Jika harga mutlak Lintang Bulan semakin membesar maka Tgh = Istiqbal
– T0 – ΛT
T = (tahun - 2000) : 100
T = ( 2011 - 2000) : 100
= 0o 6‟ 36”
ΛT = (102,3 + 123,5 x t + 32,5 x t2) : 3600
= (102,3 + 123,5 x 0,37 + 32,5 x 0o 6‟ 36”
2) : 3600
= 0o 0‟ 56,28”
Tgh = 20j 12
m 47,69
d - 0
j 0
m 52,41
d - 0
o 0‟ 56,28”
Tgh = 20j 10
m 09
d
GMT (tanggal 15 Juni 2011 )
07j 00
m 00
d +
= 3j 10
m 09
d WIB (tanggal 16 Juni 2011)
Catatan :
o ΛT adalah koreksi waktu TT menjadi GMT
o Bila dikehendaki dengan waktu WIB, tambahkanlah 7 jam.
o Bila hasil penambahan terbenut lebih dari 24, maka kurangilah dengan 24.
Sisanya itulah waktu titik tengah gerhana tetapi pada tanggal berikutnya
dari tanggal Ephemeris.
27. Menghitung waktu mulai gerhana dengan rumus : Tgh – T1
Mulai Gerhana = 3j 10
m 09
d – 1
j 37
m 56,9
d
= 1j 32
m 12,1
d
28. Menghitung waktu mulai gerhana total dengan rumus : Tgh – T2
Mulai Total = 3j 10
m 09
d – 0
j 50
m 43,56
d
= 2j 19
m 25,44
d
29. Menghitung waktu selesai gerhana total dengan rumus: Tgh + T2
Selesai Total = 3j 10
m 09
d + 0
j 50
m 43,56
d
= 4j 0
m 52,56
d
30. Menghitung waktu selesai gerhana dengan rumus: Tgh + T1
Selesai Gerhana = 3
j 10
m 09
d + 1
j 37
m 56,9
d
= 4j 48
m 05,9
d
Catatan : Gerhana bulan akan terlihat pada malam hari, sehingga jika awal
gerhana lebih besar daripada waktu terbit matahari, atau akhir gerhana lebih
kecil daripada waku terbenam matahari di suatu tempat maka gerhana bulan
tersebut tidak dapat terlihat dari tempat ybs.
31. Kesimpulan:
Gerhana Bulan sebagian terjadi pada :
Hari, Tanggal : Kamis, 16 Juni 2011 M
Mulai Gerhana : 1j 32
m 12,1
d WIB
Mulai Total : 2j 19
m 25,44
d WIB
Selesai Total : 4j 0
m 52,56
d WIB
Selesai Gerhana : 4j 48
m 05,9
d WIB
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
N a m a : Wahyu Fitria
Tempat Tanggal Lahir : Situbundo, 31 Mei 1989
Alamat Asal : Jl Raya Banyuwangi Rt/Rw 01/11 Nyiorcangka
Kesambirampak Kapongan Situbondo Jawa Timur
Alamat Sekarang : Ponpes Daarun Najaah Jl. Stasiun No 275 Jrakah
Tugu Semarang 50151
Jenjang Pendidikan :
a. Pendidikan formal
1. Sekolah Dasar Negeri II Kapongan Situbondo lulus tahun 2001
2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Nurul Jadid Paiton Probolinggo
lulus tahun 2004
3. Madrasah Aliyah Darul Ulum Peterongan Jombang lulus tahun
2007
b. Pendidikan Informal
1. Madrasah Nurul Islam Kapongan
2. Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo 2001-2004
3. Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang 2004-2007
4. Pondok Pesantren ”Daarun Najaah” Jerakah Tugu Semarang 2007-
sekarang
Semarang, 13 Juni 2011
Wahyu Fitria
NIM. 072111082