surimi ming jen 13.70.0149 c3 unika soegijapranata
DESCRIPTION
praktikum proses pembuatan surimi dengan beberapa perlakuan berbeda.TRANSCRIPT
0
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:Nama : Ming JenNIM : 13.70.0149
Kelompok C3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, talenan, baskom, mangkok,
timbangan analitik, alat penggiling daging, kain saring, spatula, loyang, freezer, presser,
plastik bening, dan milimeter blok.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal, garam, gula pasir,
polifosfat, dan es batu.
1.2. Metode
Ikan dicuci bersih dengan air mengalir.
Daging ikan difilllet dengan cara dibuang bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya.
Daging ikan diambil dan ditimbang sebanyak 100 gram.
Daging ikan dimasukkan ke dalam alat penggiling dengan ditambahkan es batu, kemudian digiling hingga halus.
Daging ikan dicuci dengan air es sambil disaring menggunakan kain saring sebanyak 3 kali hingga didapatkan tekstur yang gempal.
Daging ikan ditaruh di dalam plastik, kemudian ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, 3, 4, 5), dan polifosfat sebanyak 0,1%
(kelompok 1); 0,3% (kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5).
Plastik diikat dan ditaruh di dalam loyang untuk kemudian dibekukan dalam freezer selama 1 malam.
Setelah dithawing, surimi diuji kualitas sensorisnya yang meliputi kekenyalan dan aroma.
Surimi diukur tingkat kekerasannya dengan menggunakan texture analyzer.
Surimi dipress dengan menggunakan presser.
Surimi diukur WHCnya dengan menggunakan milimeter blok untuk kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Luas atas=13
a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)
Luas bawah=13
a(h0+4 h1+2h2+4h3+…+hn)
Luas area basah=Luasatas−Luas bawah
mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan
Kel. Perlakuan Hardness WHCSensoris
Kekenyalan Aroma
C1sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1%
137,22 gF 293598,53 +++ +++
C2sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%
132,55 gF 267004,22 + +
C3sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,3%214,65 gF 311814,35 ++ +
C4sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,5%126,59 gF 277084,60 ++ ++
C5sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%
159,03 gF 254345,99 + +++
Keterangan:Kekenyalan Aroma+ : tidak kenyal + : tidak amis++ : kenyal ++ : amis+++ : sangat kenyal +++ : sangat amis
Pada Tabel 1. dapat dilihat WHC terbesar didapatkan dari kelompok C3 dengan perlakuan
penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% yaitu 311814,35 mg, dan WHC
terkecil didapatkan dari kelompok C5 dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam
2,5%, dan polifosfat 0,5% yaitu 254345,99 mg. Surimi yang dihasilkan pada kelompok C3
dan C4 memiliki tekstur yang kenyal, kelompok C2 dan C5 memiliki tesktur tidak kenyal dan
kelompok C1 memiliki tekstur yang sangat kenyal. Untuk aroma surimi pada kelompok C1
dan C5 tergolong sangat amis, kelompok C2 dan C3 tergolong tidak amis, sedangkan C4
memiliki aroma yang amis. Pada tingkat kekerasan (hardness), kelompok C3 memiliki
kekerasan yang paling tinggi sebesar 214,65 gf, sedangkan kelompok C4 memiliki kekerasan
yang paling rendah yaitu sebesar 126,59 gf.
3. PEMBAHASAN
Pada umumnya ikan mengandung protein hewani yang tinggi, sehingga banyak dikonsumsi
masyarakat karena harganya pun murah dan dapat dengan mudah didapatkan, namun ikan
memiliki sifat perishable (cepat membusuk). Hal ini didukung pula oleh teori dari Liptan
(2000) yang menyatakan bahwa ikan adalah salah satu sumber pangan yang memiliki kualitas
atau mutu tinggi karena kandungan proteinnya yang tinggi, teteapi sifatnya yang mudah
mengalami kerusakan sehingga diperlukan adanya pengolahan produk yang bisa
memperpanjang umur simpan dari ikan ini. Contoh pengolahan yang dapat membantu
memperpanjang masa simpan ikan adalah membuatnya menjadi produk setengah jadi atau
yang sering disebut surimi. Pembuatan surimi ini dapat membuat umur simpan dari ikan
menjadi panjang dan tidak akan mengurangi kandungan nutrisi dalam daging ikan, sehingga
produk surimi ini dapat menambah nilai ekonomi dari ikan. Irianto & Giyatmi (2009)
mengungkapkan bahwa surimi merupakan produk olahan setengah jadi dari daging ikan yang
terdiri dari konsentrat protein miofibril dan memiliki daya guna tinggi dalam pengembangan
produk olahan ikan. Bagian terbesar dari daging ikan adalah protein miofibril yang memiliki
daya guna tinggi dalam pengembangan produk olahan ikan yang larut dalam larutan garam.
Protein ini terdiri dari miosin, aktin, tropomiosin serta aktomiosin yang merupakan gabungan
aktin dan miosin. Plastisitas dan daya ikat air daging, tekstur produk-produk perikanan, serta
sifat fungsional daging lumat sangat dipengaruhi oleh keberadaan protein miofibril ini
(Irianto & Giyatmi, 2009).
Peranginangin, et al. (1999) mengatakan bahwa surimi merupakan daging ikan yang
dilumatkan, dibersihkan, dan dicuci berulang-ulang, sehingga sebagian besar komponen bau,
darah, pigmen dan lemak hilang. Dalam penyimpanannya, surimi harus disimpan beku dan
ditambahkan bahan antidenaturasi atau cryoprotectant. Peranginangin, et al. (1999)
menambahkan bahwa secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi, akan tetapi ikan
yang berdaging putih, tidak berbau lumpur, dan tidak terlalu amis, serta mempunyai
kemampuan membentuk gel yang bagus akan menghasilkan surimi yang lebih baik.
Sedangkan menurut Sonu (1986), surimi adalah bentuk olahan daging ikan lumat yang
terbuat dari daging yang telah dipisahkan dari bagian ikan yang lainnya (kulit, tulang, dan
usus). Surimi merupakan produk antara, sehingga surimi masih dapat diolah menjadi
berbagai macam produk makanan dan dapat pula digunakan sebagai campuran olahan mulai
dari bakso, sosis ikan, kamaboko (daging ikan kukus), hanpen, tempura, satsunage, chikuwa,
burger ikan, imitasi daging kepiting, dan produk olahan lainnya. Suzuki (1981) menjelaskan
bahwa berdasarkan kandungan garamnya, surimi dibedakan menjadi dua jenis yaitu mu-en
surimi (surimi tanpa garam) dan ka-en surimi (surimi dengan garam), serta ada pula yang
disebut dengan na-ma surimi (surimi mentah yang tidak mengalami proses pembekuan).
Menurut Suzuki (1981), kualitas surimi dapat dilihat dari kekuatan gel yang dipengaruhi oleh
jenis ikan; umur; kematangan gonad; tingkat kesegaran ikan; pH; kadar air; volume,
konsentrasi, dan jenis penambahan anti denaturan (cryoprotectant); serta frekuensi
pencucian. Jenis, umur, kematangan gonad, dan kesegaran ikan dalam pembuatan surimi
yang sesuai telah diatur oleh SNI 01-2694-1992 yang membahas syarat mutu bahan baku
yang digunakan untuk membuat surimi. Menurut SNI 01-2694-1992, bahan baku yang
digunakan dalam pembuatan surimi harus bersih, bebas dari bau yang menandakan
pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain
yang menurunkan mutu, serta tidak membahayakan kesehatan. Berdasarkan teori Arfat &
Benjakul (2012), jenis ikan juga mempengaruhi kualitas dari ikan karena tidak semua ikan
dapat dijadikan bahan dasar pembuatan surimi. Ikan yang mengandung enzim proteolitik
dalam jumlah yang tinggi dapat menghambat pembentukan gel pada produk surimi. Sehingga
daging ikan yang tidak segar, pH yang tidak sesuai, jenis ikan yang mengandung banyak
enzim proteolitik dapat menurunkan kualitas produk surimi.
Pembuatan surimi pada praktikum ini digunakan ikan bawal. Proses awal yaitu mencuci ikan
hingga bersih dengan air mengalir. Kemudian dilanjutkan dengan pemisahan bagian seperti
kepala, isi perut, insang, sisik, sirip, tulang, ekor, dan kulit, hingga didapatkan fillet daging
ikan. Pembuangan bagian bukan daging ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh
Peranginangin, et al. (1999) yang menyatakan bahwa kepala, isi perut ikan, dan sisik dari
ikan yang akan dibuat surimi harus dihilangkan dan dicuci bersih. Hal ini semakin diperkuat
dengan pernyataan Fortina (1996) yang menjelaskan bahwa tahap pemisahan ini dilakukan
karena bagian yang tidak diperlukan pada pembuatan surimi, seperti kepala dan isi perut
mengandung banyak minyak dan lemak yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis
pada produk surimi. Selain itu, menurut Miyake, et al. (1985), isi perut juga mengandung
enzim protease yang dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel dari produk surimi.
Amalia (2002) mengungkapkan bahwa pencucian ikan perlu dilakukan untuk menghilangkan
komponen larut air, lemak dan darah, serta dapat meningkatkan kekuatan gel dan
memperbaiki penampakan. Hamzah et al., (2015) menyatakan bahwa adanya proses
pencucian bisa meningkatkan kekuatan gel dari produk surimi karena bisa meningkatkan
konsentrasi protein miofibrial.
Setelah didapatkan fillet daging dan dicuci maka sebesar 100 gram daging putih ditimbang
dan kemudian di haluskan dengan blender. Selama penggilingan dilakukan dengan
penggilingan suhu rendah, dimana selama proses penggilingan ditambahkan es batu agar
suhu ikan tetap terjaga rendah. Menurut Arpah (1993), tujuan dari proses penggilingan ikan
adalah memperluas permukaan daging ikan, sehingga bahan-bahan lain yang ditambahkan
lebih mudah dan optimal untuk diserap oleh daging ikan tersebut. Penambahan es batu pada
proses ini berdasarkan teori Irianto (1990) bertujuan agar menjaga kesegaran daging ikan dan
protein tidak mengalami denaturasi. Jafarpour & Gorczyca (2009) menyatakan juga
dilakukan penggilan suhu rendah dalam proses pembuatan surimi, hanya saja caranya yang
berbeda dimana mata pisau dan tempat blendernya dimasukan dalam freezer selama 5 menit
supaya suhu tetap terjaga dikisaran 4-100C. Gaman & Sherrington (1994) berpendapat pula
bahwa penggunaan es batu dapat meminimalkan tumbuhnya mikroorganisme pembusuk
karena suhu rendah dapat menginaktivasi enzim-enzim yang mempercepat kerusakan ikan.
Oleh karena itu, penambahan es batu sangat penting karena ikan sangat mudah sekali
mengalami kerusakan akibat kandungan air yang tinggi, dan pH yang mendekati netral
(Zaitzev, et al, 1969).
Selanjutnya daging ikan yang telah dihaluskan dicuci kembali dengan menggunakan air es
sebanyak 3 kali. Dalam jurnalnya Jafarpour & Gorczyca (2009) juga melakukan proses yang
sama dimana ada perlakuan pencucian sebanyak 3 kali, hanya saja dalam jurnalnya
sebelumnya dilakukan pengirisan fillet daging. Matsumoto & Noguchi (1992)
mengungkapkan bahwa proses pencucian merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan
surimi karena frekuensi dari pencucian dapat mempengaruhi kekuatan gel dari produk dan
dapat mencegah protein miofibril terdenaturasi selama penyimpanan beku. Hal tersebut juga
sesuai dengan teori Nopianti, et al., (2011) bahwa kualitas produk juga dipengaruhi dengan
proses pencucian dengan air es ini karena dapat menghilangkan lemak, darah, pigmen, dan
komponen penyebab bau, selain itu pencucian juga dapat meningkatkan kemampuan dari
konsentrasi protein miofibril dan memperbaiki kemampuan pembentukan gel. Penggunaan air
dalam keadaan dingin pada proses pencucian juga bertujuan agar meminimalisir kerusakan
ikan.
Proses berikutnya yaitu penyaringan menggunakan kain saring. Menurut Kimball (1992),
penyaringan bertujuan untuk memisahkan bagian-bagian yang tidak diharapkan. Hal ini juga
sesuai dengan pernyataan Suyitno (1989) yang mengatakan dengan penyaringan maka
partikel padat dengan partikel cair dapat dipisahkan. Partikel dalam praktikum ini yaitu
daging ikan, sedangkan partikel cair adalah air yang digunakan dalam tahap pencucian.
Setelah disaring, kemudian dilakukan penambahan sukrosa, dimana pada kelompok C1, C2,
dan C5 ditambahkan sebanyak 2,5%; pada kelompok C3 dan C4 ditambahkan sukrosa
sebesar 5% dari berat daging ikan. Dilakukan juga penambahan garam sebesar 2,5% dari
berat daging untuk semua kelompok. Kemudian dilakukan penambahan polifosfat sebanyak
0,1% pada kelompok C1; pada kelompok C2 dan C3 ditambahkan sebanyak 0,3%; sedangkan
pada kelompok C4 dan C5 ditambahkan sebesar 0,5% dari berat daging ikan. Penambahan
sukrosa dalam praktikum ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Suzuki (1981) bahwa
penambahan sukrosa berguna sebagai bahan anti denaturasi protein oleh suhu rendah pada
surimi (cryoprotectant). Protein miofibril akan dapat dilindungi ketika ada pemambahan zat
cryoprotectant. Beberapa jenis cryoprotectant yang biasa digunakan yaitu sukrosa, sorbitol,
maltodekstrin dan masih banyak lagi (Nopianti et al, 2009). Dalam pembuatan surimi adanya
penambahan chitosan juga berfungsi hampir sama seperti cryoprotectan dimana dapat
memberikan peningkatan yang cukup signifikan baik secara kekuatan gel, Water Holding
Capacity, viskositas, kekerasan dan lain lain. Selain itu juga memberikan karakteristik sensori
khusus pada produk surimi, baik secara warna dan juga aroma (Hajidoun & Jafarpour, 2013).
Namun dalam praktikum ini Cryoprotectant yang digunakan yaitu suksrosa. Cryoprotectan
ini sangat berguna untuk menstabilkan dan melindungi produk surimi dari denaturasi protein
akibat penyimpanan suhu rendah(pembekuan). Hal ini dikarenakan sukrosa akan
meningkatkan tegangan permukaan air maupun pengikatan energi, selain itu juga menjaga
terambilnya molekul air dari protein sehingga protein bisa terjaga dengan baik pada surimi.
Cryoprotectant dapat digunakan untuk mengurangi efek negatif pada bahan pangan yang
dibekukan baik itu secara fisikokimia,biokimia dan parameter sensori (Dey & Dora, 2010).
Penambahan garam juga memiliki tujuan supaya protein miofibril dapat dilarutkan. Pelarutan
protein miofibril bertujuan supaya miosin dapat dengan mudah berikatan dengan aktin
sehingga membentuk aktomiosin yang berguna dalam pembentukan gel. Dengan adanya
penambahan garam ini maka jenis surimi yang dibuat pada praktikum ini adalah jenis surimi
ka-en. Penambahan garam sebanyak 2,5% juga sesuai dengan teori Tan, et al. (1988) dan
Shimizu & Toyohara (1992) yang menyatakan konsentrasi garam yang sering digunakan
dalam pembuatan produk surimi adalah 2-3%. Penambahan polifosfat yaitu dalam bentuk
sodium tripolifosfat (STTP) ini bertujuan untuk memperbaiki sifat surimi. Yaitu sifat
elastisitas dan kelembutannya. Nopianti et al (2009) dalam jurnalnya juga menuliskan
penambahan fosfat biasa dilakukan dalam pembuatan surimi dan dikombinasikan dengan
penambahan cryoprotectan untuk mengurangi viskositas, meningkatkan daya
simpan/retentivitas kadar air dan kemampuan protein untuk menyerap kembali cariran pada
proses thawing dan meningkatkan pH secara sedikit demi sedikit. Suzuki (1981) juga
mengatakan polifosfat juga memiliki manfaat yaitu memperbaiki Water Holding Capacity
(WHC) dan juga menambahkan sifat yang lembut pada produk surimi. Menurut Shaviklo, et
al. (2010), penambahan polifosfat bertujuan untuk meningkatkan efek cryoprotectant, karena
polifosfat dapat memberi efek buffer pada pH daging ikan selain itu juga sebagai agen
pengkelat atau pengikat ion logam. Pemberian konsentrasi yang berbeda pada setiap
kelompok bertujuan untuk mengetahui konsentrasi mana yang paling tepat untuk produk
surimi yang baik.
Setelah semua bahan tambahan berupa sukrosa, garam, dan polifosfat dimasukkan, maka
daging yang dihasilkan dimasukkan kedalam plastik dan kemudian dibekukan di dalam
freezer pada suhu -10oC hingga -20oC selama semalam. Menurut Winarno (1993)
penyimpanan surimi dalam freezer bertujuan untuk memertahankan kualitas surimi tetap
optimal karena dengan suhu yang rendah maka aktivitas mikroba dapat dihambat akibat tidak
aktifnya enzim-enzim dalam mikroba. Sedangkan surimi dikemas dalam plastik bertujuan
untuk menghindari kontak dengan udara. Menurut Lee (1984), surimi harus diberi perlkuan
thawing terlebih dahulu sebelum dilanjutkan ke proses selanjutnya. Pernyataan tersebut
sesuai seperti yang dilakukan dalam praktikum surimi ini, dimana surimi di thawing terlebih
dahulu selama 1 jam sebelum dilakukan uji sensori oleh 1 orang panelis dari salah satu
kelompok dan juga kemudian dilakukan pengukuran Water holding capacity (WHC) dengan
menekan produk dan kemudian digambar pada milimeter blok.
WHC (Water Holding Capacity) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi
produk seperti surimi yang akan berdampak, baik secara ekonomi maupun kualitas produk
akhir itu sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai WHC yang didapat pada masing-
masing kelompok berbeda-beda. WHC terbesar didapatkan dari kelompok C3 dengan
perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% yaitu 311814,35 mg,
dan WHC terkecil didapatkan dari kelompok C5 dengan perlakuan penambahan sukrosa
2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,5% yaitu 254345,99 mg. Hal ini sesuai dengan teori yang
diungkapkan oleh Lilis & Rudy (2011) dimana dengan penambahan anti denaturan (dalam
hal ini sukrosa 5%) maka nilai WHC (Water Holding Capacity) juga akan mengalami
kenaikan, karena manfaat dan sistem kerja dari cryoprotectant yaitu menghambat terjadinya
denaturasi protein selama pembekuan sehingga menginkativasi kondensasi dengan mengikat
molekul air melalui ikatan hidrogen(Fennema, 1985). Menurut Winarno, et al. (1980), adanya
penambahan sukrosa akan mempengaruhi daya ikat air atau WHC, dimana jika sukrosa
semakin banyak maka WHC juga akan semakin tinggi. Sukrosa sendiri juga bisa berperan
sebagai agen supaya pertumbuhan mikroorganisme terhambat karena sifat sukrosa yang
mengikat air sehingga akan menurunkan kadar air bahan (Aw).
Selain konsentrasi garam dan sukrosa yang berpengaruh dalam hasil nilai WHC yang didapat,
konsentrasi polifosfat juga berpengaruh, dimana penambahan sukrosa dan polifosfat juga
akan berpengaruh pada nilai WHC surimi, hal ini disebabkan karena penambahan polifosfat
pada daging giling lumat akan mempertahankan pH dan apabila pH terjaga hal ini akan
berdampak pada peningkatan WHC. Penambahan phospat/fosfat biasa dilakukan dalam
pembuatan surimi dan dikombinasikan dengan penambahan cryoprotectan untuk mengurangi
viskositas, meningkatkan daya simpan/retentivitas kadar air dan kemampuan protein untuk
menyerap kembali cariran pada proses thawing dan meningkatkan pH secara sedikit demi
sedikit (Nopianti et al, 2011). Jadi seharunya hasil terbesar untuk WHC seharusnya pada
kelompok C4 dengan penambahan sukrosa dan fosfat paling banyak. Ketidaksesuaian hasil
pengamatan dengan teori disebabkan karena tekanan dan waktu pemberian pressing pada
surimi masing-masing kelompok berbeda dan ketidaktepatan konsentrasi dalam penambahan
garam, sukrosa maupun polifosfat. Juga bisa disebabkan karena konsentrasi paling optimal
untuk penambahan fosfat yaitu 0,3 % yang baik untuk membuat produk surimi. Seperti yang
ada dinyatakan oleh Nopianti, et al. (2011) bahwa berdasarkan tingkat kekenyalannya,
semakin tinggi penambahan polifosfat hingga 0,3%, maka surimi yang dihasilkan semakin
kenyal.
Pengamatan secara sensoris pada surimi dilakukan untuk menentukan tingkat kekenyalan dan
aroma. Menurut Heruwati, et al. (1995), salah satu kriteria penentuan mutu surimi dapat
dilihat pada tingkat elastisitas dari produk yang dihasilkan (pembentukan gel ikan). Semakin
kenyal surimi, maka kualitas yang dihasilkan akan semakin bagus. Nopianti, et al. (2011)
menjelaskan bahwa fosfat merupakan komponen alami yang terdiri dari garam fosfor dan
mineral lain. Komponen fosfat sodium tripolyphosphate (STTP), sodium pyrophosphate
(SPP), sodium hexametaphosphate (SHMP), dan tetrasodium pyrophosphate (TSP) sering
digunakan dalam produk surimi. Penggunaan bahan tambahan ini berfungsi sebagai penurun
viskositas pasta. Selain itu, fosfat juga berfungsi untuk meningkatkan retensi air dan juga
kemampuan untuk menyerap kembali cairan saat surimi di thawing.
Nopianti, et al. (2011) menambahkan bahwa berdasarkan tingkat kekenyalannya, semakin
tinggi penambahan polifosfat hingga 0,3%, maka surimi yang dihasilkan semakin kenyal
karena senyawa fosfat dapat meningkatkan pH yang berdampak membaiknya pembentukan
gel, hal ini disebabkan karena peningkatan kemampuan daya ikat air umumnya terjadi pada
pH yang tinggi, sedangkan penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan
pembentukan kekuatan gel yang tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal,
namun semakin keras. Surimi yang dihasilkan pada kelompok C3 dan C4 memiliki tekstur
yang kenyal, kelompok C2 dan C5 memiliki tesktur tidak kenyal dan kelompok C1 memiliki
tekstur yang sangat kenyal. Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Karena justru
didapatkan kelompok C1 dengan kadar polifosfat paling kecil yang memiliki kekenyalan
paling tinggi. Hal ini bisa jadi disebabkan karen dalam uji sensori sang panelis melakukan
kesalahan dalam menentukan tekstur karen sifat uji sensoris ini yang sangat subyektif.
Menurut Aitken, et al. (1982), metode sensoris memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah dapat diaplikasikan pada semua produk, tidak membutuhkan fasilitas
laboratorium lengkap, cepat, tidak merusak sampel untuk diolah lebih lanjut, dan sesuai
dengan kriteria evaluasi yang mampu diterima oleh konsumen, sedangkan kekurangannya
adalah sulit untuk distandarisasi karena penilaian bersifat subjektif. Seharusnya kekenyalan
tertinggi pada kelompok C2 dan C3 dengan polifosfat 0,3%. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Peranginangin, et al. (1999) bahwa penambahan polifosfat yang baik yaitu
sebesar 0,2 %-0,3% dalam bentuk garam natrium tripolifosfat yang berpengaruh terhadap
kekenyalan surimi. Kekenyalan yang tinggi atau kekuatan gel yang besar juga merupakan
salah satu indikator yang penting dalam kualitas produk surimi. Chen, et al. (1997)
mengungkapkan bahwa kekuatan gel dan kekenyalan yang menurun pada praktikum
kemungkinan disebabkan karena oksidasi yang mempercepat perubahan ikatan kimia,
termasuk diantaranya ikatan sulfida dan menyebabkan denaturasi protein. Selain itu,
ketidaksesuaian hasil dengan teori dan pada masing-masing kelompok yang menggunakan
polifosfat dalam jumlah yang sama dapat terjadi dikarenakan penimbangan polifosfat yang
tidak akurat, sehingga mempengaruhi tingkat kekenyalan surimi.
Bau amis pada surimi dapat timbul karena adanya reaksi oksidasi pada ikan yang
menyebabkan asam lemak berubah menjadi off-flavor dan dapat dihilangkan pada saat tahap
pencucian (Peranginangin, et al., 1999). Untuk aroma surimi pada kelompok C1 dan C5
tergolong sangat amis, kelompok C2 dan C3 tergolong tidak amis, sedangkan C4 memiliki
aroma yang amis. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa penambahan konsentrasi
sukrosa dan polifosfat tidak berpengaruh pada aroma produk surimi. Bau amis dalam produk
surimi dikontribusi oleh senyawa trimetilamin yang masih terkandung dalam surimi,
walaupun telah dilakukan proses pencucian. Hal ini menunjukkan bahwa proses pencucian
surimi pada tahap awal produk tidak berjalan optimal sehingga masih terdeteksi bau amis.
Irianto & Giyatmi (2009) mengungkapkan bahwa perlakuan pencucian seharusnya dapat
menghilangkan bau / aroma yang tidak diinginkan, seperti bau yang disebabkan oleh senyawa
trimetilamin (salah satu senyawa utama pembentuk aroma pada ikan). Teori ini didukung
pula oleh Peranginangin, et al. (1999) yang mengatakan bahwa surimi merupakan daging
ikan lumat yang telah dibersihkan dan dicuci berulang-ulang sehingga sebagian besar
komponen bau, darah, pigmen dan lemak hilang. Peranginangin, et al. (1999) menambahkan
pula bahwa aroma amis surimi juga dipengaruhi oleh bahan baku ikan. Jika bahan baku ikan
yang digunakan untuk diolah menjadi surimi tidak terlalu amis, maka surimi yang dihasilkan
juga tidak akan beraroma terlalu amis. Menurut Aitken, et al. (1982), metode sensoris
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah dapat diaplikasikan pada
semua produk, tidak membutuhkan fasilitas laboratorium lengkap, cepat, tidak merusak
sampel untuk diolah lebih lanjut, dan sesuai dengan kriteria evaluasi yang mampu diterima
oleh konsumen, sedangkan kekurangannya adalah sulit untuk distandarisasi karena penilaian
bersifat subjektif.
Pada tingkat kekerasan (hardness), kelompok C3 memiliki kekerasan yang paling tinggi
sebesar 214,65 gf, sedangkan kelompok C4 memiliki kekerasan yang paling rendah yaitu
sebesar 126,59 gf. Hasil ini kurang sesuai dengan teori yang dinyatakan Nopianti, et al.
(2011) bahwa berdasarkan tingkat kekenyalannya, semakin tinggi penambahan polifosfat
hingga 0,3%, maka surimi yang dihasilkan semakin kenyal karena senyawa fosfat dapat
meningkatkan pH yang berdampak membaiknya pembentukan gel, hal ini disebabkan karena
peningkatan kemampuan daya ikat air umumnya terjadi pada pH yang tinggi, sedangkan
penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan kekuatan gel
yang tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal, namun semakin keras. Jadi
berdasarkan teori tersebut seharusnya surimi dengan tingkat kekerasan tertinggi adalah pada
kelompok C4 dan C5 dengan penambahan polifosfat paling tinggi yaitu 0,5%.
4. KESIMPULAN
Surimi merupakan produk olahan setengah jadi dari daging ikan yang terdiri dari konsentrat protein miofibril dan memiliki daya guna tinggi dalam pengembangan produk olahan ikan.
Dalam penyimpanan surimi harus disimpan beku dan ditambahkan bahan antidenaturasi atau cryoprotectant.
Kualitas surimi dapat dilihat dari kekuatan gel yang dipengaruhi oleh jenis ikan; umur; kematangan gonad; tingkat kesegaran ikan; pH; kadar air; volume, konsentrasi, dan jenis penambahan anti denaturan (cryoprotectant); serta frekuensi pencucian.
Kualitas produk dipengaruhi dengan proses pencucian dengan air es ini karena dapat menghilangkan lemak, darah, pigmen, dan komponen penyebab bau
Dengan penyaringan maka partikel padat dengan partikel cair dapat dipisahkan. Penambahan sukrosa berguna sebagai bahan anti denaturasi protein oleh suhu rendah
pada surimi (cryoprotectant). Cryoprotectan ini berguna untuk menstabilkan dan melindungi produk surimi dari
denaturasi protein akibat penyimpanan suhu rendah(pembekuan). Penambahan garam memiliki tujuan supaya protein miofibril dapat dilarutkan. Penambahan polifosfat yaitu dalam bentuk sodium tripolifosfat (STTP) ini bertujuan
untuk memperbaiki sifat surimi. WHC (Water Holding Capacity) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi
produk seperti surimi yang akan berdampak, baik secara ekonomi maupun kualitas produk akhir itu sendiri.
Penambahan anti denaturan maka nilai WHC (Water Holding Capacity) juga akan mengalami kenaikan
Penambahan sukrosa akan mempengaruhi daya ikat air atau WHC Fosfat juga berfungsi untuk meningkatkan retensi air dan juga kemampuan untuk
menyerap kembali cairan saat surimi di thawing. Penambahan polifosfat hingga 0,3%, maka surimi yang dihasilkan semakin kenyal
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrat Yasir, A. & Benjakul, S. (2012). Gelling Characteristics of Surimi from Yellow Stripe Trevally (Selaroides leptolepis). www.intaquares.com. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2015 pukul 18.17 WIB.
Aitken, A.; I. M. Mackie.; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.
Allah Hajidoun H. & Ali Jafarpour (2013). The Influence of Chitosan on Textural Properties of Common Carp (Cyprinus Carpio) Surimi. Sarl University of Agricultural Science and Natural Resources, Sarl, Iran.
Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Chen H. H.; Chiu E. M. & Huang J. R. (1997). Color and Gel-Forming Properties of Horse Mackerel (Trachurus japonicus) as Related to Washing Conditions. Journal of Food Science. Vol. 62 (5): 985 –991.
Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan (Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Hamzah N. & N. M. Sarbon & A. M. Amin (2014). Physical properties of cobia (Rachycentron canadum) surimi: effect of washing cycle at different salt concentrations. Association of Food Scientists & Technologists. India.
Heruwati E. S.; Murtini J.T.; Rahayu S. & Suherman. (1995). Pengaruh Jenis Ikan dan Zat Penambah terhadap Elastisitas Surimi Ikan Air Tawar. Jurnal Penelitian Perikanan Inonesia 1: 12-17.
Irianto B. (1990). Teknologi Surimi: Salah Satu Cara Mempelajari Nilai Tambah Ikan yang Kurang Dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9 (2): 35-39.
Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Jafarpour A. & Elisabeth M. Gorczyca (2009). Rhelogical Characteristics and Microstructure of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi and Kamaboko Gel. School of Apllied Science. RMIT University. Melbourne. Australia.
Kimball, J.W. (1992). Biologi jilid 1 Edisi 5. Erlangga. Jakarta.
Lee C. M. (1984). Surimi Process Technology. Journal Food Techonology 38 (11) : 69-80.
Liptan (Lembar Informasi Pertanian). (2000). Pengolahan Ikan Nila Merah. LPTP Puntikayu. Sumatera Selatan.
Matsumoto J.J. & Noguchi S. F. (1992). Cryostabilization of Protein in Surimi. In: Lanier T.C. and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Miyake, Y.; Y. Hirasawa & M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.
Nopianti, R.; Nurul Huda & Noryanti Ismail. (2011). A Review on The Loss of The Functional Properties of Proteins During Frozen Storage and The Improvement of Gel-forming Properties of Surimi. American Journal of Food Technology Vol. 6 (1): 19-30.
Peranginangin R; Wibowo S; Nuri Y. & Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta
Sadhan Dey S. & Krushna Chandra Dora (2010). Suitability of chitosan as cryoprotectant on croaker fish (Johnius gangeticus) Surimi During Frozen Storage. Association of Food Scientists & Technologists. India.
Shaviklo, G. R.; Gudjon T. & Sigurjon Arason. (2010). The Influence of Additives and Frozen Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein Isolated from Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 333-340.
Sonu S. C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island. California.
Standar Nasional Indonesia. (1992). Surimi Beku. Badan Standarisasi Nasional [SNI 01-2694-1992]. Jakarta.
Suyitno. (1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas. Jakarta.
Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein. Applied Science Publ., Ltd. London.
Tan S. M.; Ng M. C.; Fujiwara T.; Kok K. H. & Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.
Winarno F. G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno F. G.; Fardiaz S. & Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Zaitsev, V.; I. Kizevetter; L. Lagunov; T. Makarova; L. Minder & V. Podselalov. (1969). Fish Curing and Processing. MIR Publishers. Moscow.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Luas atas=13
a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)
Luas bawah=13
a(h0+4 h1+2h2+4h3+…+hn)
Luas area basah=Luasatas−Luas bawah
mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948
Kelompok C1
Luas atas=13
∙37 ( 82+4 ∙ 181+2∙ 201+4 ∙194+143 )=35350,11
Luas bawah=13
∙ 37 (82+4 ∙37+2∙30+4 ∙ 44+143 )=7508,97
Luas area basah=35350,11−7508,97=27841,14
mg H 2O=27841,14−8,00,0948
=293598,53
Kelompok C2
Luas atas=13
∙ 45 (119+4 ∙ 200+2∙208+4 ∙201+95 )=33510
Luas bawah=13
∙ 45 (119+4 ∙33+2 ∙ 26+4 ∙37+95 )=8190
Luas area basah=33510−8190=25320
mg H 2O=25320−8,00,0948
=267004,22
Kelompok C3
Luas atas=13
∙ 48 (122+4 ∙ 218+2 ∙230+4 ∙207+120 )=38432
Luas bawah=13
∙ 48 (122+4 ∙ 34+2 ∙20+4 ∙34+120 )=8864
Luas area basah=38432−8864=29568
mg H 2O=29568−8,00,0948
=311814,35
Kelompok C4
Luas atas=13
∙ 46 (90+4 ∙184+2 ∙201+4 ∙ 190+120 )=32315,64
Luas bawah=13
∙ 46 (90+4 ∙19+2 ∙ 8+4 ∙23+120 )=6040,02
Luas area basah=32315,64−6040,02=26275,62
mg H 2O=26275,62−8,00,0948
=277084,60
Kelompok C5
Luas atas=13
∙ 45 (120+4 ∙ 198+2 ∙ 222+4 ∙217+112 )=35040
Luas bawah=13
∙ 45 (120+4 ∙ 50+2 ∙ 44+4 ∙52+112 )=10920
Luas area basah=35040−10920=24120
mg H 2O=24120,00−8,00,0948
=254345,99