surimi_dhara benita n_13.0.0061_d3_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Praktikum Teknologi Hasil LautTRANSCRIPT
Fillet ikan ditimbang dan diambil 100 gr
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pisau, telenan, kain saring, penggiling
daging, plastic, freezer, texture analyzer dan pengepres.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir,
polifosfat dan es batu.
1.2. Metode
Pencucian ikan
Pembuangan kepala, sirip, ekor dan isi perut
(Fillet daging ikan)
)
Penggilingan fillet menggunakan alat penggiling daging dengan ditambah es batu
Pencucian daging giling dengan es batu sebanyak 3 kali
Penyaringan daging giling hingga kering (tidak menggumpal)
Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3%
(kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5)
Pembekuan selama 1 malam di dalam freezer
Thawing
Pengujian sensori meliputi kekenyalan dan aroma
Uji hardness menggunakan texture analyzer
Surimi dipress menggunakan presser untuk mengetahui WHC
Hasil press digambar di milimeter blok
Penghitungan WHC :
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan Surimi
Kel. PerlakuanHardness
(gf)WHC
(mg H2O)Sensori
Kekenyalan Aroma
1Sukrosa 2,5% + garam 2,5%
+ polifosfat 0,1%108,24 188832,63 + + +
2Sukrosa 2,5% + garam 2,5%
+ polifosfat 0,3%121,52 216793,25 + + + +
3Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,3%188,05 130435,97 + + + + +
4Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5%103,44 271751,05 + + + +
5Sukrosa 5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5%91,87 273975,32 + + + + +
Keterangan :Kekenyalan Aroma + : tidak kenyal + : tidak amis + + : kenyal + + : amis+ + + : sanagat kenyal + + + : sanagat amis
Dari hasil yang diperoleh dalam praktikum surimi ini dapat dilihat bahwa nilai hardness
yang diperoleh untuk tiap kelompok berbeda. Nilai hardness tertinggi ada pada
kelompok D3 dengan 188,05 gf. Sedangkan untuk nilai hardness terendah ada pada
kelompok D5 dengan 91,87 gf. Nilai WHC yang diperoleh untuk masing-masing
kelompok berbeda. Nilai WHC tertinggi ada pada kelompok D5 dengan 273975,32 mg
H2O dan nilai WHC terendah ada pada kelompok D3 dengan 130435,97 mg H2O. Untuk
sensori ditinjau dari kekenyalan, kelompok D1 dan D2 diperoleh hasil yang sama yaitu
tidak kenyal dan untuk kelompok D3 dan D4 hasil yang diperoleh yaitu kenyal.
Sedangkan yang sangat kenyal adalah hasil dari kelompok D5. Untuk aroma surimi
pada kelompok D1, D4, dan D5 yaitu aroma amis. Sedangkan untuk kelompok D2 dan
D3 diperoleh aroma yang sangat amis.
3. PEMBAHASAN
Menurut Moeljanto (1994), ikan adalah salah satu bahan pangan yang mengandung
protein tinggi sehingga dapat dijadikan sumber protein bagi manusia. Di sisi lain, ikan
merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Hal ini dikarenakan ikan memiliki
kandungan air yang tinggi, dan memiliki pH yang mendekati netral sehingga dapat
digunakan untuk mikroorganisme tumbuh dan berkembang dalam daging ikan. Faktor
lain yang menyebabkan ikan mudah rusak menurut Zaitzev et al (1969) adalah karena
adanya enzim autolisis yang dapat menguraikan organ-organ pada ikan ketika ikan
sudah mati. Harris & Karmas (1987) menambahkan bahwa ikan mengandung asam
lemak tidak jenuh yang tinggi sehingga dapat sebagai faktor penyebab kerusakan pada
ikan karena adanya reaksi oksidasi.
Dalam praktikum ini digunakan bahan utama yaitu ikan bawal atau Colossoma
macropamum yang dikategorikan sebagai ikan air tawar yang memiliki bentuk tubuh
bulat pipih, sisik berukuran kecil, dan bentuk kepala membulat. Ikan bawal ini termasuk
ke dalam kelompok omnivora, namun di sisi lain karena memiliki gigi yang tajam,
dapat pula dikatakan sebagai ikan pemakan daging (karnivora). Di dalam 100 gram ikan
bawal terkandung 84 gram kalori, 18.2 gram protein, 0.7 gram lemak, 44 mg kolesterol,
dan 0.4 mg zat besi (Eigenmann & Kennedy, 1903).
Praktikum ini merupakan praktikum pembuatan surimi. Surimi merupakan suatu bahan
pangan yang terkenal di Asia dan Amerika (Jafarpour & Gorczyca, 2009). Menurut
Hajidoun & Jafarpour (2013), surimi berasal dari Bahasa Jepang yang berarti daging
yang dihilangkan tulangnya, dicincang, dan dicuci dengan air. Ditambahkan oleh Dey &
Dora (2011), surimi adalah produk setengah jadi yang penting dimana produk ini
mengandung protein miofibril yang sudah distabilkan yang didapat dari daging ikan
yang sudah dibuang tulangnya dan sudah melalui proses pencucian yang mempunyai
tujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasmanya, dan dicampur dengan senyawa
krioprotektan yang setelah itu dihasilkan produk yang siap dimakan. Surimi dikenal
sebagai sumber nutrisi dan merupakan makanan yang dibuat untuk memenuhi
permintaan makanan yang rendah kolesterol dan rendah lemak. Tahapan penting untuk
menentukan tekstur pada makanan laut adalah gelasi dari protein ikan yang meliputi
beberapa aspek yaitu warna, tekstur, dan water holding capacity (WHC) (Hajidoun &
Jafarpour, 2013).
Langkah pertama yang dilakukan dalam praktikum ini adalah mempersiapkan ikan
bawal yang akan digunakan. Persiapan ini dilakukan dengan cara membuang isi perut,
sirip, ekor, dan kepala yang kemudian dicuci bersih menggunakan air mengalir. Suzuki
(1981) menyatakan bahwa surimi merupakan produk makanan yang terbuat dari ikan
yang sudah dihilangkan isi perut, sisik kepala, dan ekornya, yang kemudian dicuci
bersih, lalu dilumatkan atau digiling. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Fortina
(1996), bahwa pada pembuatan surimi ini yang digunakan hanyalah bagian daging
ikannya saja, sedangkan untuk bagian-bagian lain tidak diperlukan, selain itu dalam isi
dari perut ikan mengandung senyawa-senyawa yang dapat menyebabkan kegagalan
dalam menghasilkan suatu surimi, misalnya saja enzim protease (terdapat pada organ
pencernaan ikan) yang merupakan enzim proteolitik, dimana enzim ini dapat digunakan
untuk menghambat pembentukan gel (Pranoto, 2006).
Langkah selanjutnya adalah daging ikan difilet hingga didapatkan 100 gram filet daging
ikan. Kemudian filet ikan diblender hingga halus sambil ditambahkan es batu dengan
tujuan agar suhunya terjaga pada suhu rendah. Setelah itu filet ikan yang telah
diblender, dicuci dengan air es sebanyak 2 kali sambil disaring dengan kain saring pada
setiap selesai proses pencuciannya.
Tujuan dari penghancuran dikarenakan surimi ini merupakan produk ikan yang
dilumatkan (Suzuki, 1981). Tujuan lain yaitu untuk memperluas permukaan daging ikan
yang sesuai dengan pernyataan dari Arpah (1993) bahwa penghancuran dapat
memperluas permukaan bahan dan memperluas kontak bahan dengan pereaksi. Untuk
penambahan es batu ini pada saat penghancuran dengan blender dan pada saat
pencucian mempunyai tujuan agar menjaga suhu ikan tetap dingin, meminimalisir
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, serta menginaktivasi enzim-enzim yang
mempercepat kebusukan dan kerusakan pada ikan (Gaman & Sherrington, 1994). Hal
ini didukung oleh pendapat Zaitzev et al (1969) bahwa ikan adalah bahan pangan yang
mudah rusak karena kandungan air tinggi, pH mendekati netral, adanya enzim autolisis
pada kian yang dapat menguraikan organ-organ pada ikan sehingga sangat diperlukan
penambahan es batu.
Pencucian sendiri dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan komponen-komponen
yang larut dalam lemak, darah, enzim, bau yang tidak enak, pigmen, dan komponen
logam (Amalia, 2002). Ditambahkan oleh Nielsen (1994), proses pencucian dapat juga
digunakan untuk melarutkan lemak, enzim, protein sarkoplasma, dan darah, dimana zat-
zat tersebut dapat digunakan untuk menghambat pembentukan gel pada surimi. Untuk
pencucian dengan suhu dingin dapat meningkatkan konsentrasi protein miofibril dan
dapat meningkatkan kemampuan pembentukan gel sehingga kekuatan gel dari surimi
juga akan meningkat (Nopianti et al, 2011). Menurut Andini (2002), pada suhu dingin,
yaitu pada suhu sekitar 5-10°C, protein sarkoplasma yang menghambat pembentukan
gel dapat dilarutkan sehingga dapat dipisahkan dari daging ikan giling. Penyaringan
dilakukan untuk memisahkan partikel padat dan partikel cair, yaitu antara daging ikan
dengan air pencucian agar yang didapatkan untuk dapat digunakan pada tahap
selanjutny hanya daging ikannya saja (Suyitno, 1989).
Setelah disaring, daging ikan tersebut dipindahkan ke dalam wadah lalu ditambahkan
sukrosa sebanyak 2.5% (untuk kelompok D1 dan D2), dan sebanyak 5% (untuk
kelompok D3, D4, dan D5); garam sebanyak 2.5% (untuk semua kelompok); dan
polifosfat sebanyak 0.1% (untuk kelompok D), 0.3% (kelompok D2 dan D3), 0.5%
(kelompok D4 dan D5). MacDonald et al (1997) yang diacu dalam Dey & Dora (2011)
berpendapat bahwa krioprotektan dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan
dari makanan beku dengan mencegah perubahan pada protein miofibril karena
pembekuan. Krioprotektan yang sering digunakan menurut Pigott (1986) yang diacu
dalam Dey & Dora (2011) antara lain adalah sukrosa, sorbitol, dan fosfat. Sukrosa
berfungsi sebagai pencegah terjadinya denaturasi protein pada suhu pembekuan
(Suzuki, 1981) dan dapat memperpanjang umur simpan dengan mengikat molekul air
bebas pada suatu makanan, sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dengan baik
akibat kekurangan air bebas (Winarno et al, 1980). Agen krioprotektan ini juga dapat
menstabilkan protein, mencegah pertukaran molekul air pada protein, serta dapat
meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat (Zhou et al, 2006).
Penambahan garam memiliki fungsi sebagai pelarut protein miofibril, dan menyebabkan
miosin lepas dari protein miofibril yang dengan mudah dapat berikatan dengan aktin,
dan akan terbentuk aktomiosin yang penting untuk proses pembentukan gel yang kuat.
Di sisi lain, penambahan gula dan garam dapat sebagai penyedap rasa dan juga sebagai
penambah aroma (Winarno et al, 1980). Dalam praktikum ini, penambahan polifosfat
menurut Peranginangin et al (1999), adalah untuk meningkatkan kemampuan daya ikat
air atau WHC (water holding capacity) dari protein dan menyebabkan terbentuk tekstur
yang lembut dan kenyal pada surimi.
Setelah itu daging ikan dimasukkan ke dalam plastik dan dibungkus dengan rapat dan
dibekukan dalam freezer selama 1 malam. Hal ini bertujuan untuk pencegahan oksidasi
akibat kontak langsung dengan udara karena produk surimi masih sedikit mengandung
lemak, dan jika lemak teroksidasi akan menimbulkan bau tengik (Miyake et al, 1985).
Ditambahkan oleh Desrosier (1988), hal ini dilakukan dengan tujuan mencegah
terjadinya freezer burn yang memiliki arti sebagai suatu fenomena yang menyebabkan
perubahan tekstur, warna, rasa, dan nilai gizi pada produk makanan beku. Pembekuan
sendiri menurut Murniyati (2005) memiliki tujuan untuk menjaga mutu surimi agar
tetap baik. Selanjutnya surimi dithawing, kemudian diukur WHC (water holding
capacity) serta kualitas sensori meliputi kekenyalan dan aroma. Pengujian WHC dan
kualitas sensoris memiliki tujuan untuk mengetahui apakah produk surimi yang dibuat
sudah sesuai dan dapat diterima konsumen atau belum, karena kekenyalan, aroma,
WHC dan hardness merupakan kriteria yang dapat menentukan kualitas dari surimi
(Sa’nchez-Gonza’les et al, 2006).
Dari hasil yang didapatkan, semakin banyak polifosfat yang ditambahkan, maka WHC
dari surimi yang dihasilkan pun akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Peranginangin et al (1999) bahwa polifosfat merupakan bahan tambahan yang dapat
meningkatkan kemampuan daya ikat air atau WHC pada produk surimi. Namun pada
kelompok D4 dan D5 mengalami penurunan. Hal ini juga sesuai dengan teori dari
Peranginangin (1999), bahwa semakin tinggi WHC, tekstur yang dihasilkan akan
semakin lembut dan kenyal, dan karena itu semakin banyak polifosfat yang
ditambahkan, tekstur yang dihasilkan juga akan semakin kenyal. Semakin banyak
sukrosa yang ditambahkan juga akan meningkatkan efek dari krioprotektan yang
memiliki fungsi untuk mencegah terdenaturasinya protein pada suhu pembekuan (Dey
& Dora, 2011), sehingga akan membuat tekstur surimi menjadi semakin kenyal.
Penambahan garam dalam praktikum ini tidak terlihat jelas hasilnya karena garam yang
ditambahkan pada setiap kelompok sama. Menurut Winarno et al (1980), penambahan
garam memiliki fungsi dalam pembentukan gel yang kuat.
Jika dilihat dari segi sensoris, surimi masih memiliki aroma yang amis bahkan sangat
amis. Hal ini tidak sesuai dengan toeri dari Nielsen (1994) dan Amalia (2002) yang
menyatakan bahwa pada tahap pencucian daging ikan yang sudah digiling dapat
melarutkan darah yang terdapat pada daging ikan dimana darah tersebut yang membuat
daging ikan menjadi bau amis.
Menurut Suzuki (1981) ada beberapa factor yang dapat menurunkan kualitas surimi jika
proporsinya tidak sesuai, yaitu pH, suhu, kadar air, jumlah krioprotektan yang
ditambahkan, dan jenis ikan yang digunakan sebagai bahan dasar. Menurut arfat &
benjakul (2012), tidak semua ikan dapat dijadikan bahan dasar pembuatan surimi,
contohnya adalah ikan yang mengandung banyak enzim proteolitik, karena enzim
proteolitik ini dapat menghambat pembentukan gel pada produk surimi. Arfat &
benjakul (2012) juga menambahkan bahwa suhu inkubasi surimi juga menentukan
kualitas dari surimi tersebut, inkubasi yang terbaik adalah pada suhu 25-40oc, pada suhu
mendekati atau lebih dari 60oc, kekuatan gel akan melemah dan menurunkan kualitas
surimi.
Menurut Haryati (2001), ada pula beberapa hal yang dapat menentukan kualitas surimi,
yaitu daya ikat air (water holding capacity), emulsifikasi dan gel yang terbentuk atau
pembentukan gel. Karena pembentukan gel sangat mempengaruhi kualitas dari surimi,
maka untuk meningkatkan kualitas surimi dapat ditambahkan agen pereduksi (Benjakul
et al, 2005). Benjakul et al (2005) berpendapat bahwa pada umumnya ikan beku tidak
dapat digunakan untuk menjadi bahan dasar pembuatan surimi, karena terjadinya
denaturasi protein pada saat pembekuan, dimana produk surimi sangatlah bergantung
pada protein dalam pembentukan gelnya. Kemampuan pembentukan gel dan tekstur
pada produk ikan giling juga pada umumnya akan menurun pada proses pembekuan.
Hal ini dapat dicegah dengan menambahkan agen pereduksi pada produk ikan giling
tersebut yang akan meningkatkan kekuatan gel. Agen pereduksi, terutama sistein sangat
efektif untuk memulihkan protein yang sudah terdenaturasi yang disebabkan karena
pembekuan.
Menurut Andini (2006), pada pembuatan surimi juga suhu air yang digunakan pada saat
tahap pencucian daging ikan giling juga harus diperhatikan, hal ini dikarenakan suhu air
tersebut akan mempengaruhi jumlah protein yang larut air (protein sarkoplasma).
Protein ini akan hilang jika suhu air pencuciannya tepat.
Penambahan sukrosa sebagai krioprotektan yang memberikan efek tinggi kalori pada
surimi juga menjadi masalah, sehingga para peneliti mencari solusi bahan krioprotektan
lain yang tidak memberikan efek tinggi kalori pada surimi. Menurut Dey & Dora
(2011), chitosan dapat digunakan untuk menggantikan sukrosa maupun sorbitol sebagai
bahan krioprotektan tanpa memberikan efek merugikan lain, selain itu dapat
meningkatkan kekuatan gel pada surimi. Menurut Hajidoun & Jafarpour (2013),
chitosan merupakan biopolimer yang dihasilkan melalui proses deasetilasi kitin. Beliau
juga menambahkan bahwa konsentrasi penambahan chitosan ini berpengaruh terhadap
karakteristik surimi yang dihasilkan, dalam penelitiannya yang menggunakan chitosan
dengan konsentrasi 0.5 %, 1 %, dan 1.5 %, penambahan 1.5 % chitosan yang
menghasilkan surimi dengan kekenyalan, whc, dan kekuatan gel yang terbaik.
4. KESIMPULAN
Enzim proteolitik pada ikan dapat menghambat pembentukan gel.
Surimi merupakan bahan pangan setengah jadi yang terbuat dari daging ikan yang
dilumatkan.
Sukrosa merupakan agen krioprotektan yang digunakan dalam praktikum ini.
Krioprotektan digunakan untuk mencegah terjadinya denaturasi protein pada
penyimpanan atau proses pembekuan.
Polifosfat dapat meningkatkan daya ikat air pada protein.
Semakin banyak polifosfat yang ditambahkan pada adonan surimi, maka WHC dan
kekenyalannya semakin meningkat.
Proses pencucian daging ikan giling pada saat praktikum tidak sempurna sehingga
surimi masih berbau amis.
Pencucian yang baik dilakukan pada suhu 5-10oC, oleh karena itu pada saat pencucian
ditambahkan es batu.
Garam memiliki fungsi untuk membentuk gel yang kuat.
Pengemasan dapat mencegah terjadinya freeze burn pada surimi.
Semarang, 26 Oktober 2015
Praktikan, Asisten dosen,
- Yusdhika Bayu S.
Dhara Benita N.
13.70.0061
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrat Yasir, A & Benjakul, S. 2012. Gelling characteristics of surimi from yellow stripe trevally (Selaroides leptolepis). http://www.intaquares.com/content/4/1/5. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2015.
Amalia, Z. I. Z. 2002. Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Andini YS. (2002). Karakteristik surimi hasil ozonisasi daging merah ikan tongkol (Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Benjakul, S; Thongkaew, C & Visessanguan, W. 2005. Effect of reducing agents on physicochemical properties and gel-forming ability of surimi produced from frozen fish. Food Res Technology 220:316–321. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2014.
Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah Muchji M. UI-Press. Jakarta.
Dey Satya, S & Dora Krushna, C. 2010. Suitability of chitosan as cryoprotectant on croaker fish (Johnius gangeticus) surimi during frozen storage. Association of Food Scientists & Technologists. India. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2014.
Eigenmann, C.H. and C.H. Kennedy. 1903. On a collection of fishes from Paraguay, with a synopsis of the American genera of cichilds. Proc. Acad. Nat. Sci. Priladelphia, 55: 497-537
Fortina, Des. 1996. Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan (Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Gaman, P. M & K. B. Sherrington. 1994. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Hajidoun Habib, A & Jafarpour, A. 2013. The Influence of Chitosan on Textural Properties of Common Carp (Cyprinus Carpio) Surimi.
http://dx.doi.org/10.4172/2157-7110.1000226. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2015.
Harris, R. S. & E. Karmas. (1987). Nutritional Evaluation of Food Processing Third
Haryati S. (2001). Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp) terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Jafarpour, A & Gorczyca E.M. 2009. Rheological Characteristics and Microstructure of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi and Kamaboko Gel. Springer Science: Food Biophysics. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2011.
MacDonald GA, Lanier TC, Swaisgood HE, Hamman DD (1997) Mechanism for stabilization of fish actomyosin by sodium lactate. J Agric Food Chem 44:106–112.
Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe. 1985. Technology of Surimi Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.
Moeljanto. 1994. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Murniyati, A.S. 2005. Pembekuan Ikan, SUPM Tegal. Tegal.
Nielsen, R.G. dan G.M. Pigott. 1994. Gel Strength Increased In Low-Grade Heat-Seat Surimi With Blended Phospates. Journal Food Science. 2(59):246-250.
Nopianti, R., Nurul Huda and Noryanti Ismail. 2011. A review on the Loss of the Functional Properties of Proteins during Frozen Storage and the Improvement of Gel-forming properties of Surimi. American Journal of Food Technology 6 (1): 19-30.
Oktadina, F. D. 2013. Pemanfaatan Nanas (Ananas Comosus L. Merr) untuk Penurunan Kadar Kafein dan Perbaikan Citarasa Kopi (Coffea Sp) dalam Pembuatan Kopi Bubuk. 1:3. Fakultas Teknologi Pertanian: Universitas Brawijaya. Diakses pada tanggal 10 September 2014.
Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.
Pigott GM (1986) Surimi: the ‘High Tech’ raw materials from minced fish flesh. Food Rev Int 2:213–246
Pranoto, Y. (2006). Potensi Gelatin Ikan Untuk Menggantikan Gelatin Mamalia di Bidang Pangan. Seminar Nasional PATPI.
Sa’nchez-Gonza’les, Ignacio; Pedro Carmona; Pilar Moreno; Javier Border as; Isabel Sa’nchez-Alonso; Arantxa Rodri’Guez-Casado; Mercedes Careche. (2006). Protein and Water Structural Changes in Fish Surimi During Gelation as Recealed by Isotopic H/D Exchange and Raman Spectroscopy. Madrid, Spain.
Suyitno.(1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas.
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Applied Science Publishing. Ltd. London.
Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.
Zaitsev, V.; I. Kizevetter; L. Lagunov; T. Makarova; L. Minder & V. Podselalov. (1969). Fish Curing and Processing. MIR Publishers. Moscow.
Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. (2006). Cryoprotective effect of trehalose and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi durimg frozen storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Kelompok D1
Kelompok D2
Kelompok D3
Kelompok D4
Kelompok D5
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal