surimi_dhara benita n_13.0.0061_d3_unika soegijapranata

26
1. MATERI METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pisau, telenan, kain saring, penggiling daging, plastic, freezer, texture analyzer dan pengepres. 1.1.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir, polifosfat dan es batu. 1.2. Metode Pencucian ikan Pembuangan kepala, sirip, ekor dan isi perut (Fillet daging ikan) )

Upload: praktikumhasillaut

Post on 03-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Praktikum Teknologi Hasil Laut

TRANSCRIPT

Page 1: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Fillet ikan ditimbang dan diambil 100 gr

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pisau, telenan, kain saring, penggiling

daging, plastic, freezer, texture analyzer dan pengepres.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir,

polifosfat dan es batu.

1.2. Metode

Pencucian ikan

Pembuangan kepala, sirip, ekor dan isi perut

(Fillet daging ikan)

)

Page 2: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Penggilingan fillet menggunakan alat penggiling daging dengan ditambah es batu

Pencucian daging giling dengan es batu sebanyak 3 kali

Penyaringan daging giling hingga kering (tidak menggumpal)

Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3%

(kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5)

Pembekuan selama 1 malam di dalam freezer

Page 3: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Thawing

Pengujian sensori meliputi kekenyalan dan aroma

Uji hardness menggunakan texture analyzer

Surimi dipress menggunakan presser untuk mengetahui WHC

Hasil press digambar di milimeter blok

Page 4: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Penghitungan WHC :

Page 5: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengamatan Surimi

Kel. PerlakuanHardness

(gf)WHC

(mg H2O)Sensori

Kekenyalan Aroma

1Sukrosa 2,5% + garam 2,5%

+ polifosfat 0,1%108,24 188832,63 + + +

2Sukrosa 2,5% + garam 2,5%

+ polifosfat 0,3%121,52 216793,25 + + + +

3Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,3%188,05 130435,97 + + + + +

4Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,5%103,44 271751,05 + + + +

5Sukrosa 5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,5%91,87 273975,32 + + + + +

Keterangan :Kekenyalan Aroma + : tidak kenyal + : tidak amis + + : kenyal + + : amis+ + + : sanagat kenyal + + + : sanagat amis

Dari hasil yang diperoleh dalam praktikum surimi ini dapat dilihat bahwa nilai hardness

yang diperoleh untuk tiap kelompok berbeda. Nilai hardness tertinggi ada pada

kelompok D3 dengan 188,05 gf. Sedangkan untuk nilai hardness terendah ada pada

kelompok D5 dengan 91,87 gf. Nilai WHC yang diperoleh untuk masing-masing

kelompok berbeda. Nilai WHC tertinggi ada pada kelompok D5 dengan 273975,32 mg

H2O dan nilai WHC terendah ada pada kelompok D3 dengan 130435,97 mg H2O. Untuk

sensori ditinjau dari kekenyalan, kelompok D1 dan D2 diperoleh hasil yang sama yaitu

tidak kenyal dan untuk kelompok D3 dan D4 hasil yang diperoleh yaitu kenyal.

Sedangkan yang sangat kenyal adalah hasil dari kelompok D5. Untuk aroma surimi

pada kelompok D1, D4, dan D5 yaitu aroma amis. Sedangkan untuk kelompok D2 dan

D3 diperoleh aroma yang sangat amis.

Page 6: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Menurut Moeljanto (1994), ikan adalah salah satu bahan pangan yang mengandung

protein tinggi sehingga dapat dijadikan sumber protein bagi manusia. Di sisi lain, ikan

merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Hal ini dikarenakan ikan memiliki

kandungan air yang tinggi, dan memiliki pH yang mendekati netral sehingga dapat

digunakan untuk mikroorganisme tumbuh dan berkembang dalam daging ikan. Faktor

lain yang menyebabkan ikan mudah rusak menurut Zaitzev et al (1969) adalah karena

adanya enzim autolisis yang dapat menguraikan organ-organ pada ikan ketika ikan

sudah mati. Harris & Karmas (1987) menambahkan bahwa ikan mengandung asam

lemak tidak jenuh yang tinggi sehingga dapat sebagai faktor penyebab kerusakan pada

ikan karena adanya reaksi oksidasi.

Dalam praktikum ini digunakan bahan utama yaitu ikan bawal atau Colossoma

macropamum yang dikategorikan sebagai ikan air tawar yang memiliki bentuk tubuh

bulat pipih, sisik berukuran kecil, dan bentuk kepala membulat. Ikan bawal ini termasuk

ke dalam kelompok omnivora, namun di sisi lain karena memiliki gigi yang tajam,

dapat pula dikatakan sebagai ikan pemakan daging (karnivora). Di dalam 100 gram ikan

bawal terkandung 84 gram kalori, 18.2 gram protein, 0.7 gram lemak, 44 mg kolesterol,

dan 0.4 mg zat besi (Eigenmann & Kennedy, 1903).

Praktikum ini merupakan praktikum pembuatan surimi. Surimi merupakan suatu bahan

pangan yang terkenal di Asia dan Amerika (Jafarpour & Gorczyca, 2009). Menurut

Hajidoun & Jafarpour (2013), surimi berasal dari Bahasa Jepang yang berarti daging

yang dihilangkan tulangnya, dicincang, dan dicuci dengan air. Ditambahkan oleh Dey &

Dora (2011), surimi adalah produk setengah jadi yang penting dimana produk ini

mengandung protein miofibril yang sudah distabilkan yang didapat dari daging ikan

yang sudah dibuang tulangnya dan sudah melalui proses pencucian yang mempunyai

tujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasmanya, dan dicampur dengan senyawa

krioprotektan yang setelah itu dihasilkan produk yang siap dimakan. Surimi dikenal

sebagai sumber nutrisi dan merupakan makanan yang dibuat untuk memenuhi

permintaan makanan yang rendah kolesterol dan rendah lemak. Tahapan penting untuk

menentukan tekstur pada makanan laut adalah gelasi dari protein ikan yang meliputi

Page 7: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

beberapa aspek yaitu warna, tekstur, dan water holding capacity (WHC) (Hajidoun &

Jafarpour, 2013).

Langkah pertama yang dilakukan dalam praktikum ini adalah mempersiapkan ikan

bawal yang akan digunakan. Persiapan ini dilakukan dengan cara membuang isi perut,

sirip, ekor, dan kepala yang kemudian dicuci bersih menggunakan air mengalir. Suzuki

(1981) menyatakan bahwa surimi merupakan produk makanan yang terbuat dari ikan

yang sudah dihilangkan isi perut, sisik kepala, dan ekornya, yang kemudian dicuci

bersih, lalu dilumatkan atau digiling. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Fortina

(1996), bahwa pada pembuatan surimi ini yang digunakan hanyalah bagian daging

ikannya saja, sedangkan untuk bagian-bagian lain tidak diperlukan, selain itu dalam isi

dari perut ikan mengandung senyawa-senyawa yang dapat menyebabkan kegagalan

dalam menghasilkan suatu surimi, misalnya saja enzim protease (terdapat pada organ

pencernaan ikan) yang merupakan enzim proteolitik, dimana enzim ini dapat digunakan

untuk menghambat pembentukan gel (Pranoto, 2006).

Langkah selanjutnya adalah daging ikan difilet hingga didapatkan 100 gram filet daging

ikan. Kemudian filet ikan diblender hingga halus sambil ditambahkan es batu dengan

tujuan agar suhunya terjaga pada suhu rendah. Setelah itu filet ikan yang telah

diblender, dicuci dengan air es sebanyak 2 kali sambil disaring dengan kain saring pada

setiap selesai proses pencuciannya.

Tujuan dari penghancuran dikarenakan surimi ini merupakan produk ikan yang

dilumatkan (Suzuki, 1981). Tujuan lain yaitu untuk memperluas permukaan daging ikan

yang sesuai dengan pernyataan dari Arpah (1993) bahwa penghancuran dapat

memperluas permukaan bahan dan memperluas kontak bahan dengan pereaksi. Untuk

penambahan es batu ini pada saat penghancuran dengan blender dan pada saat

pencucian mempunyai tujuan agar menjaga suhu ikan tetap dingin, meminimalisir

pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, serta menginaktivasi enzim-enzim yang

mempercepat kebusukan dan kerusakan pada ikan (Gaman & Sherrington, 1994). Hal

ini didukung oleh pendapat Zaitzev et al (1969) bahwa ikan adalah bahan pangan yang

mudah rusak karena kandungan air tinggi, pH mendekati netral, adanya enzim autolisis

pada kian yang dapat menguraikan organ-organ pada ikan sehingga sangat diperlukan

penambahan es batu.

Page 8: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Pencucian sendiri dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan komponen-komponen

yang larut dalam lemak, darah, enzim, bau yang tidak enak, pigmen, dan komponen

logam (Amalia, 2002). Ditambahkan oleh Nielsen (1994), proses pencucian dapat juga

digunakan untuk melarutkan lemak, enzim, protein sarkoplasma, dan darah, dimana zat-

zat tersebut dapat digunakan untuk menghambat pembentukan gel pada surimi. Untuk

pencucian dengan suhu dingin dapat meningkatkan konsentrasi protein miofibril dan

dapat meningkatkan kemampuan pembentukan gel sehingga kekuatan gel dari surimi

juga akan meningkat (Nopianti et al, 2011). Menurut Andini (2002), pada suhu dingin,

yaitu pada suhu sekitar 5-10°C, protein sarkoplasma yang menghambat pembentukan

gel dapat dilarutkan sehingga dapat dipisahkan dari daging ikan giling. Penyaringan

dilakukan untuk memisahkan partikel padat dan partikel cair, yaitu antara daging ikan

dengan air pencucian agar yang didapatkan untuk dapat digunakan pada tahap

selanjutny hanya daging ikannya saja (Suyitno, 1989).

Setelah disaring, daging ikan tersebut dipindahkan ke dalam wadah lalu ditambahkan

sukrosa sebanyak 2.5% (untuk kelompok D1 dan D2), dan sebanyak 5% (untuk

kelompok D3, D4, dan D5); garam sebanyak 2.5% (untuk semua kelompok); dan

polifosfat sebanyak 0.1% (untuk kelompok D), 0.3% (kelompok D2 dan D3), 0.5%

(kelompok D4 dan D5). MacDonald et al (1997) yang diacu dalam Dey & Dora (2011)

berpendapat bahwa krioprotektan dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan

dari makanan beku dengan mencegah perubahan pada protein miofibril karena

pembekuan. Krioprotektan yang sering digunakan menurut Pigott (1986) yang diacu

dalam Dey & Dora (2011) antara lain adalah sukrosa, sorbitol, dan fosfat. Sukrosa

berfungsi sebagai pencegah terjadinya denaturasi protein pada suhu pembekuan

(Suzuki, 1981) dan dapat memperpanjang umur simpan dengan mengikat molekul air

bebas pada suatu makanan, sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dengan baik

akibat kekurangan air bebas (Winarno et al, 1980). Agen krioprotektan ini juga dapat

menstabilkan protein, mencegah pertukaran molekul air pada protein, serta dapat

meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat (Zhou et al, 2006).

Penambahan garam memiliki fungsi sebagai pelarut protein miofibril, dan menyebabkan

miosin lepas dari protein miofibril yang dengan mudah dapat berikatan dengan aktin,

dan akan terbentuk aktomiosin yang penting untuk proses pembentukan gel yang kuat.

Di sisi lain, penambahan gula dan garam dapat sebagai penyedap rasa dan juga sebagai

Page 9: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

penambah aroma (Winarno et al, 1980). Dalam praktikum ini, penambahan polifosfat

menurut Peranginangin et al (1999), adalah untuk meningkatkan kemampuan daya ikat

air atau WHC (water holding capacity) dari protein dan menyebabkan terbentuk tekstur

yang lembut dan kenyal pada surimi.

Setelah itu daging ikan dimasukkan ke dalam plastik dan dibungkus dengan rapat dan

dibekukan dalam freezer selama 1 malam. Hal ini bertujuan untuk pencegahan oksidasi

akibat kontak langsung dengan udara karena produk surimi masih sedikit mengandung

lemak, dan jika lemak teroksidasi akan menimbulkan bau tengik (Miyake et al, 1985).

Ditambahkan oleh Desrosier (1988), hal ini dilakukan dengan tujuan mencegah

terjadinya freezer burn yang memiliki arti sebagai suatu fenomena yang menyebabkan

perubahan tekstur, warna, rasa, dan nilai gizi pada produk makanan beku. Pembekuan

sendiri menurut Murniyati (2005) memiliki tujuan untuk menjaga mutu surimi agar

tetap baik. Selanjutnya surimi dithawing, kemudian diukur WHC (water holding

capacity) serta kualitas sensori meliputi kekenyalan dan aroma. Pengujian WHC dan

kualitas sensoris memiliki tujuan untuk mengetahui apakah produk surimi yang dibuat

sudah sesuai dan dapat diterima konsumen atau belum, karena kekenyalan, aroma,

WHC dan hardness merupakan kriteria yang dapat menentukan kualitas dari surimi

(Sa’nchez-Gonza’les et al, 2006).

Dari hasil yang didapatkan, semakin banyak polifosfat yang ditambahkan, maka WHC

dari surimi yang dihasilkan pun akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Peranginangin et al (1999) bahwa polifosfat merupakan bahan tambahan yang dapat

meningkatkan kemampuan daya ikat air atau WHC pada produk surimi. Namun pada

kelompok D4 dan D5 mengalami penurunan. Hal ini juga sesuai dengan teori dari

Peranginangin (1999), bahwa semakin tinggi WHC, tekstur yang dihasilkan akan

semakin lembut dan kenyal, dan karena itu semakin banyak polifosfat yang

ditambahkan, tekstur yang dihasilkan juga akan semakin kenyal. Semakin banyak

sukrosa yang ditambahkan juga akan meningkatkan efek dari krioprotektan yang

memiliki fungsi untuk mencegah terdenaturasinya protein pada suhu pembekuan (Dey

& Dora, 2011), sehingga akan membuat tekstur surimi menjadi semakin kenyal.

Penambahan garam dalam praktikum ini tidak terlihat jelas hasilnya karena garam yang

ditambahkan pada setiap kelompok sama. Menurut Winarno et al (1980), penambahan

garam memiliki fungsi dalam pembentukan gel yang kuat.

Page 10: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Jika dilihat dari segi sensoris, surimi masih memiliki aroma yang amis bahkan sangat

amis. Hal ini tidak sesuai dengan toeri dari Nielsen (1994) dan Amalia (2002) yang

menyatakan bahwa pada tahap pencucian daging ikan yang sudah digiling dapat

melarutkan darah yang terdapat pada daging ikan dimana darah tersebut yang membuat

daging ikan menjadi bau amis.

Menurut Suzuki (1981) ada beberapa factor yang dapat menurunkan kualitas surimi jika

proporsinya tidak sesuai, yaitu pH, suhu, kadar air, jumlah krioprotektan yang

ditambahkan, dan jenis ikan yang digunakan sebagai bahan dasar. Menurut arfat &

benjakul (2012), tidak semua ikan dapat dijadikan bahan dasar pembuatan surimi,

contohnya adalah ikan yang mengandung banyak enzim proteolitik, karena enzim

proteolitik ini dapat menghambat pembentukan gel pada produk surimi. Arfat &

benjakul (2012) juga menambahkan bahwa suhu inkubasi surimi juga menentukan

kualitas dari surimi tersebut, inkubasi yang terbaik adalah pada suhu 25-40oc, pada suhu

mendekati atau lebih dari 60oc, kekuatan gel akan melemah dan menurunkan kualitas

surimi.

Menurut Haryati (2001), ada pula beberapa hal yang dapat menentukan kualitas surimi,

yaitu daya ikat air (water holding capacity), emulsifikasi dan gel yang terbentuk atau

pembentukan gel. Karena pembentukan gel sangat mempengaruhi kualitas dari surimi,

maka untuk meningkatkan kualitas surimi dapat ditambahkan agen pereduksi (Benjakul

et al, 2005). Benjakul et al (2005) berpendapat bahwa pada umumnya ikan beku tidak

dapat digunakan untuk menjadi bahan dasar pembuatan surimi, karena terjadinya

denaturasi protein pada saat pembekuan, dimana produk surimi sangatlah bergantung

pada protein dalam pembentukan gelnya. Kemampuan pembentukan gel dan tekstur

pada produk ikan giling juga pada umumnya akan menurun pada proses pembekuan.

Hal ini dapat dicegah dengan menambahkan agen pereduksi pada produk ikan giling

tersebut yang akan meningkatkan kekuatan gel. Agen pereduksi, terutama sistein sangat

efektif untuk memulihkan protein yang sudah terdenaturasi yang disebabkan karena

pembekuan.

Menurut Andini (2006), pada pembuatan surimi juga suhu air yang digunakan pada saat

tahap pencucian daging ikan giling juga harus diperhatikan, hal ini dikarenakan suhu air

tersebut akan mempengaruhi jumlah protein yang larut air (protein sarkoplasma).

Protein ini akan hilang jika suhu air pencuciannya tepat.

Page 11: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Penambahan sukrosa sebagai krioprotektan yang memberikan efek tinggi kalori pada

surimi juga menjadi masalah, sehingga para peneliti mencari solusi bahan krioprotektan

lain yang tidak memberikan efek tinggi kalori pada surimi. Menurut Dey & Dora

(2011), chitosan dapat digunakan untuk menggantikan sukrosa maupun sorbitol sebagai

bahan krioprotektan tanpa memberikan efek merugikan lain, selain itu dapat

meningkatkan kekuatan gel pada surimi. Menurut Hajidoun & Jafarpour (2013),

chitosan merupakan biopolimer yang dihasilkan melalui proses deasetilasi kitin. Beliau

juga menambahkan bahwa konsentrasi penambahan chitosan ini berpengaruh terhadap

karakteristik surimi yang dihasilkan, dalam penelitiannya yang menggunakan chitosan

dengan konsentrasi 0.5 %, 1 %, dan 1.5 %, penambahan 1.5 % chitosan yang

menghasilkan surimi dengan kekenyalan, whc, dan kekuatan gel yang terbaik.

Page 12: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Enzim proteolitik pada ikan dapat menghambat pembentukan gel.

Surimi merupakan bahan pangan setengah jadi yang terbuat dari daging ikan yang

dilumatkan.

Sukrosa merupakan agen krioprotektan yang digunakan dalam praktikum ini.

Krioprotektan digunakan untuk mencegah terjadinya denaturasi protein pada

penyimpanan atau proses pembekuan.

Polifosfat dapat meningkatkan daya ikat air pada protein.

Semakin banyak polifosfat yang ditambahkan pada adonan surimi, maka WHC dan

kekenyalannya semakin meningkat.

Proses pencucian daging ikan giling pada saat praktikum tidak sempurna sehingga

surimi masih berbau amis.

Pencucian yang baik dilakukan pada suhu 5-10oC, oleh karena itu pada saat pencucian

ditambahkan es batu.

Garam memiliki fungsi untuk membentuk gel yang kuat.

Pengemasan dapat mencegah terjadinya freeze burn pada surimi.

Semarang, 26 Oktober 2015

Praktikan, Asisten dosen,

- Yusdhika Bayu S.

Dhara Benita N.

13.70.0061

Page 13: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrat Yasir, A & Benjakul, S. 2012. Gelling characteristics of surimi from yellow stripe trevally (Selaroides leptolepis). http://www.intaquares.com/content/4/1/5. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2015.

Amalia, Z. I. Z. 2002. Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Andini YS. (2002). Karakteristik surimi hasil ozonisasi daging merah ikan tongkol (Euthynnus sp.) [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Benjakul, S; Thongkaew, C & Visessanguan, W. 2005. Effect of reducing agents on physicochemical properties and gel-forming ability of surimi produced from frozen fish. Food Res Technology 220:316–321. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2014.

Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah Muchji M. UI-Press. Jakarta.

Dey Satya, S & Dora Krushna, C. 2010. Suitability of chitosan as cryoprotectant on croaker fish (Johnius gangeticus) surimi during frozen storage. Association of Food Scientists & Technologists. India. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2014.

Eigenmann, C.H. and C.H. Kennedy. 1903. On a collection of fishes from Paraguay, with a synopsis of the American genera of cichilds. Proc. Acad. Nat. Sci. Priladelphia, 55: 497-537

Fortina, Des. 1996. Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan (Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Gaman, P. M & K. B. Sherrington. 1994. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.

Hajidoun Habib, A & Jafarpour, A. 2013. The Influence of Chitosan on Textural Properties of Common Carp (Cyprinus Carpio) Surimi.

Page 14: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

http://dx.doi.org/10.4172/2157-7110.1000226. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2015.

Harris, R. S. & E. Karmas. (1987). Nutritional Evaluation of Food Processing Third

Haryati S. (2001). Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp) terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Jafarpour, A & Gorczyca E.M. 2009. Rheological Characteristics and Microstructure of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi and Kamaboko Gel. Springer Science: Food Biophysics. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2011.

MacDonald GA, Lanier TC, Swaisgood HE, Hamman DD (1997) Mechanism for stabilization of fish actomyosin by sodium lactate. J Agric Food Chem 44:106–112.

Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe. 1985. Technology of Surimi Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.

Moeljanto. 1994. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Murniyati, A.S. 2005. Pembekuan Ikan, SUPM Tegal. Tegal.

Nielsen, R.G. dan G.M. Pigott. 1994. Gel Strength Increased In Low-Grade Heat-Seat Surimi With Blended Phospates. Journal Food Science. 2(59):246-250.

Nopianti, R., Nurul Huda and Noryanti Ismail. 2011. A review on the Loss of the Functional Properties of Proteins during Frozen Storage and the Improvement of Gel-forming properties of Surimi. American Journal of Food Technology 6 (1): 19-30.

Oktadina, F. D. 2013. Pemanfaatan Nanas (Ananas Comosus L. Merr) untuk Penurunan Kadar Kafein dan Perbaikan Citarasa Kopi (Coffea Sp) dalam Pembuatan Kopi Bubuk. 1:3. Fakultas Teknologi Pertanian: Universitas Brawijaya. Diakses pada tanggal 10 September 2014.

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.

Page 15: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Pigott GM (1986) Surimi: the ‘High Tech’ raw materials from minced fish flesh. Food Rev Int 2:213–246

Pranoto, Y. (2006). Potensi Gelatin Ikan Untuk Menggantikan Gelatin Mamalia di Bidang Pangan. Seminar Nasional PATPI.

Sa’nchez-Gonza’les, Ignacio; Pedro Carmona; Pilar Moreno; Javier Border as; Isabel Sa’nchez-Alonso; Arantxa Rodri’Guez-Casado; Mercedes Careche. (2006). Protein and Water Structural Changes in Fish Surimi During Gelation as Recealed by Isotopic H/D Exchange and Raman Spectroscopy. Madrid, Spain.

Suyitno.(1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas.

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Applied Science Publishing. Ltd. London.

Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.

Zaitsev, V.; I. Kizevetter; L. Lagunov; T. Makarova; L. Minder & V. Podselalov. (1969). Fish Curing and Processing. MIR Publishers. Moscow.

Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. (2006). Cryoprotective effect of trehalose and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi durimg frozen storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.

Page 16: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA
Page 17: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:

Kelompok D1

Kelompok D2

Kelompok D3

Page 18: surimi_Dhara Benita N_13.0.0061_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Kelompok D4

Kelompok D5

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal