teknik pembuatan kompos - · pdf filebahan organik tanah asalnya, jika ada bahan organik yang...
TRANSCRIPT
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
1
TEKNIK PEMBUATAN KOMPOS1)
M. Anang Firmansyah Peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Tengah
Jl. G. Obos km 5 Palangka Raya, HP.081353738525, e-mail:[email protected]
Ringkasan Pengelolaan lingkungan dewasa ini harus dilakukan secara ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penggunaan bahan-bahan penyubur tanah dan tanaman alami dari bahan-bahan organik yang dahulunya menjadi limbah saat ini mulai dihargai. Kompos merupakan salah satu jalan keluar yang mudah untuk mengganti sebagian kebutuhan pupuk kimia yang makin mahal dan mencemari lingkungan. Pengomposan TKS (Tandan Kosong Sawit) merupakan cara untuk meningkatkan dan menyehatkan tanah dan tanaman kelapa sawit, serta mencegah berkembangbiaknya kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) di perkebunan kelapa sawit. Pemberian bioaktivator dapat mempercepat dan meningkatkan mutu kompos. Kadar hara TKS meningkat jika dilakukan pengomposan, pada 100 kg TKS menjadi 100 kg kompos TKS terjadi peningkatan hara setara pupuk Urea dari 1,74 menjadi 5,09 kg; setara pupuk SP-36 dari 0,61 menjadi 1,97 kg, dan untuk setara pupuk KCl dari 4,83 menjadi 11,65 kg. ------------ Kata Kunci: oil palm, kompos, tandan kosong sawit
PENDAHULUAN
Kompos adalah proses yang dihasilkan dari pelapukan (dekomposisi)
sisa-sisa bahan organik secara biologi yang terkontrol (sengaja dibuat dan
diatur) menjadi bagian-bagian yang terhumuskan. Kompos sengaja dibuat
karena proses tersebut jarang sekali dapat terjadi secara alami, karena di
alam kemungkinan besar terjadi kondisi kelembaban dan suhu yang tidak
cocok untuk proses biologis baik terlalu rendah atau terlalu tinggi.
1) Disampaian pada Pelatihan Pembuatan Bokhasi Tandan Kosong Kelapa Sawit bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sukamara Provinsi Kalimantan Tengah di Desa Bangun Jaya / SP3, Kecamatan Balai Riam, Kabupaten Sukamara pada hari Selasa, 5 Oktober 2010.
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
2
Dewasa ini juga ditemukan istilah fermentasi, istilah ini umumnya
digunakan dalam proses pembuatan bokhasi. Istilah tersebut jika diartikan
secara harfiah adalah proses yang khusus digunakan untuk menghasilkan
bahan-bahan seperti asam organik dan alkohol. Istilah fermentasi
nampaknya dipakai oleh para pembuat bokhasi untuk membedakan dengan
pengomposan yang umumnya memakan waktu lama, sedangkan fermentasi
hanya membutuhkan waktu sangat singkat. Berdasarkan pemahaman diatas
maka kita pengguna atau pembuat kompos harus tahu bahwa fermentasi
untuk pembuatan bokhasi adalah bagian dari proses pengomposan.
Sebagaimana Metting (1993) mengartikan bahwa penggunaan istilah
fermentasi untuk pembuatan kompos merupakan kata lain untuk proses
pelapukan bahan organik.
Makalah ini disusun untuk memberikan gambaran jelas pada para
pengguna baik petugas teknis lapangan, penyuluh, dan juga para petani
dalam pemanfaatan limbah organik untuk pembuatan kompos yang efektif.
MIKROBA KOMPOS
Menurut Rao (1994) mikroba yang berperanan dalam proses
pengomposan ada dua jenis yang dominan, yaitu: bakteri dan jamur. Jenis-
jenis bakteri penting yang mempengaruhi proses pengomposan dapat
dikelompokkan berdasarkan asal bakteri, kebutuhan oksigen, suhu, dan jenis
makanannya. Berikut ini kelompok bakteri tersebut:
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
3
1. Bakteri berdasarkan asalnya:
a. Autokton adalah bakteri asli, contoh Arthrobacter dan Nocardio.
b. Zimogar adalah bakteri pendatang, contoh Pseudomonas dan
Bacillus.
Jumlah bakteri autotrof seragam dan tetap karena berasal dari
bahan organik tanah asalnya, jika ada bahan organik yang
ditambahkan ke dalam tanah maka bakteri zimogar akan
meningkat namun akan menurun lagi jika bahan organik tersebut
habis.
2. Bakteri berdasarkan kebutuhan terhadap oksigen (O2):
a. Anaerobik, yaitu bakteri yang berkembang biak tanpa O2.
b. Aerobik, yaitu bakteri yang berkembang biak dengan O2.
c. Anaerobik Fakultatif, yaitu bakteri yang mampu berkembang
biak tanpa atau dengan O2.
3. Bakteri yang dikelompokkan berdasarkan suhu:
a. Psikrofil, bakteri yang optimal berkembang di suhu < 20o C.
b. Mesofil, bakteri yang berkembang optimal di suhu 15 – 45 oC.
c. Termofil, bakteri yang berkembang optimal di suhu 45 – 65 oC.
Contohnya: Bacillus Sp.
d. Superthermofil, bakteri yang berkembang optimal > 70oC.
Contohnya: B. Stearothermophilus (Sutedjo et al. 1991).
4. Bakteri yang dikelompokkan berdasarkan makanannya:
a. Autotrof, bakteri yang dapat menyusun makanannya sendiri.
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
4
b. Heterotrof, bakteri tergantung pada makanan yang tersedia.
c. Fotoautotrof, bakteri memperoleh energinya dari sinar matahari.
Mikroorganisme yang dominan dalam pengomposan setelah bakteri adalah
jamur (fungi), umumnya jamur dapat berkembang di lingkungan asam,
kebanyakan bersifat aerobik, dan perkembangannya akan menurun jika
kelembaban terlalu tinggi.
Bahan organik tanaman yang digunakan untuk kompos umumnya
terbagi 2 macam, yaitu:
1) Bahan organik yang memiliki kandungan N (Nitrogen) tinggi dan
Karbon (C) tinggi, contohnya pupuk kandang, daun legume (gamal,
lamtoro, kacang-kacangan) atau limbang rumah tangga.
2) Bahan organik yang memiliki kandungan N rendah dan C tinggi,
contohnya dedaunan yang gugur, jerami, serbuk gergaji, bagian
tanaman yang tua (TKS = tandan kosong kelapa sawit).
Limbah Bahan organik yang memiliki kandungan N tinggi dan C tinggi jika
akan dicampur dengan bahan yang memiliki N rendah dan C tinggi untuk
dibuat kompos, maka perbandingannya adalah 1 : 4. Dan selama proses
pengomposan diusahakan suhu diatur pada kisaran 60-65oC, maka kompos
akan memiliki proses yang sempurna (Tan, 1994). Laju pengomposan akan
menurun pada suhu diatas 70oC, dan optimal pada suhu antara 40 – 50oC
Sutedjo et al. (1991).
Suhu pengomposan menentukan mutu kompos yang dihasilkan, jika
pembuatan kompos tidak menimbulkan panas menunjukkan aktivitas mikroba
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
5
tidak berjalan sesuai harapan. Menurut Sutedjo et al. (1991) suhu kompos
mempunyai pengaruh baik karena mampu menurunkan patogen
(mikroba/gulma yang berbahaya). Jika suhu dalam proses pengomposan
hanya berkisar kurang dari 20oC maka kompos dinyatakan gagal, sehingga
perlu diulang kembali. Cek kembali jumlah bahan kompos apakah sudah
cukup banyak, kelembaban kompos apakah tidak terlalu kering, atau penutup
kompos apakah sudah cukup rapat. Jika suhu pengomposan lebih dari 20oC
maka menunjukkan aktivitas mikroba cukup baik dan laju metabolisme
meningkat cepat.
Kandungan bahan organik tanaman terdiri dari selulosa (15-60% dari
BK); hemiselulosa (10-30% dari BK); lignin (5-30% dari BK); fraksi larut air
seperti gula asam amino dan lain-lain (5-30% dari BK); bahan terlarut alkohol
seperti lemak, minyak, lilin dan lain-lain; dan proten dan mineral (1-13% dari
BK) (Alexander, 1978).
KEGUNAAN UNSUR HARA
Jenis dan kegunaan unsur hara penting diketahui oleh petani, sebab
pengetahuan itu akan meningkatkan ketepatan baik jumlah, saat pemupukan,
dan efektivitas pupuk terhadap produksi tanaman. Beberapa unsur hara
yang penting bagi kelapa sawit, antara lain:
• Nitrogen (N), unsur hara ini diperlukan dalam jumlah banyak dan berguna
bagi pertumbuhan tanaman, kekurangan N mengakibatkan pertumbuhan
tanaman menurun. Gejala kekurangan N adalah pertumbuhan terhambat
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
6
dan daun tua berwarna hijau pucat kekuningan. Sumber pupuk yang
mengandung N adalah Urea atau ZA.
• Phospor (P), merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah
banyak, berguna bagi perakaran dan batang yang kuat, serta
meningkatkan mutu buah. Kekurangan P menyebabkan tanaman tumbuh
kerdil dan daun berwarna keunguan. Sumber unsur hara P antara lain
pupuk SP-18, rock phosphat, SP-36.
• Kalium (K) unsur ini juga diperlukan dalam jumah banyak, penting untuk
penyusunan minyak dan mempengaruhi jumlah dan ukuran tandan.
Kekurangan unsur K akan terjadi pada daun tua karena K diangkut ke
daun muda. Gejalanya akan timbul bercak transparan, lalu megering.
Sumber unsur hara K adalah pupuk KCl.
• Magnesium (Mg) diperlukan dalam jumlah cukup banyak, berfungsi dalam
proses fotosintesis. Kekurangan unsur Mg ditandai dengan gejala ujung
daun tua nampak kekuningan jika terkena sinar matahari, sedangkan
daun yang terlindung tidak terjadi hal tersebut. Sumber hara Mg adalah
kapur dolomit.
• Tembaga (Cu), diperlukan dalam jumlah sedikit, merupakan pembentuk
klorofil dan mempercepat reaksi fisiologi tanaman. Umumnya terjadi
kekurangan Cu pada tanah gambut, ciri kekurangan berat Cu adalah daun
kuning pucat lalu mengering dan mati. Sumber unsur Cu adalah CuSO4.
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
7
• Boron (B), diperlukan dalam jumlah sedikit, berfungsi menyusun gula dan
karbohidrat, protein dan perkembangan ujung dan anak daun.
Kekurangan B ditandai munculnya daun pancing, daun kecil dan daun
sirip ikan. Sumber unsur B adalah borak.
• Zink (Zn), diperlukan sedikit, berperanan dalam enzimatis dan menunjang
pembentukan hormon pertumbuhan. Gejala kekurangan Zn adalah
matinya jaringan tanaman. Gambut banyak mengalami kekurangan Zn.
DOSIS PEMUPUKAN KELAPA SAWIT
Pengenalan kegunaan unsur hara yang penting bagi pertumbuhan dan
produksi kelapa sawit, maka petani perlu melengkapi dengan pengetahuan
tentang pemupukannya.
Kelapa sawit berdasarkan masa produktifnya terbagi: Tanaman Belum
Menghasilkan (TBM) dan Tanaman Menghasilkan (TM). Sehubungan jenis
tanah Podsolik paling dominan, maka disajikan dosis rekomendasi di tanah
tersebut (Tabel 1) (Winarna et al., 2000 dalam Darmosarkoro et al., 2003).
Petani juga diharapkan dapat menghitung konversi dari kadar hara ke
jenis pupuk. Jenis pupuk boleh berbeda namun harus diketahui tingkat kadar
haranya, jika direkomedasi digunakan ZA (kadar N = 21%), namun
dilapangan hanya ada Urea (kadar N = 46%), maka diperlukan penyetaraan
dengan cara membagi kadar hara kedua jenis pupuk tersebut. Contoh
perhitungan dapat dipelajari dari keterangan Tabel 1.
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
8
Tabel 1. Dosis Pemupukan Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan (TBM) di Tanah Podsolik
Jenis dan dosis pupuk (kg/pohon) Umur tanaman (bulan) ZA* RP** MOP*** Kieseriet# HGF-Borate
Lobang tanam 1 3 5 8
12 13 20 24 38 32
- 0,10 0,25 0,25 0,25 0,50 0,50 0,50 0,50 0,75 0,75
0,50 - -
0,50 -
0,75 -
1,00 -
1,00 -
- -
0,15 0,15 0,15 0,35 0,50 0,50 0,75 0,75 1,00
- -
0,10 0,10 0,25 0,25 0,50 0,50 0,50 0,75 0,75
- - - -
0,02 -
0,03 -
0,05 - -
Keterangan: * Jika hanya tersedia Urea, maka ZA (21%N) harus diubah ke Urea (46% N), maka dihitung konversinya: 21/45 = 0,47. Jika petani hanya punya pupuk Urea, maka dosis ZA harus dikalikan 0,47. Contoh: umur 1 bulan memerlukan Urea sebesar 0,1 x 0,47 = 0,047 kg/pohon Urea atau 1/2 ons/pohon Urea. Jadi kebutuhan Urea lebih sedikit dibandingkan ZA, karena kadar N pupuk Urea lebih tinggi dari kadar N pupuk ZA. ** Jika petani memiliki pupuk SP-36, maka dapat dgunakan sesuai RP (Rock Phospat) dengan catatan kandungan P2O5 sama-sama 36%. Namun jika yang tersedia pupuk SP-18, maka dosis RP harus dikalikan (36/18) = 2. Jadi jika kebutuhan RP lobang tanam 0,5 maka dikalikan 2 atau 0,5 x 2 = 1 kg. Jadi untuk SP-18 diperlukan dosis 1 kg/pohon. *** MOP dapat digunakan setara dengan pupuk KCl yang memiliki kadar K2O 60%. # jika petani memiliki pupuk dolomit (MgO 18%) dan tidak ada Kieserit (MgO 25%), maka aplikasi kiserit harus dikalikan 25/18 = 1,4. Contoh umur sawit 8 bulan memerlukan dolomit sebesar 0,25 x 1,4 = 0,35 kg/pohon. Tabel 2. Dosis Pemupukan Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan (TM) di Tanah Mineral (bukan tanah gambut)
Jenis dan dosis pupuk (Kg/pohon) Umur tanaman (tahun) Urea SP-36* MOP Kieseriet Jumlah 3 – 8 9 – 13
14 – 20 21 - 25
2,00 2,75 2,50 1,75
1,50 2,25 2,00 1,25
1,50 2,25 2,00 1,25
1,00 1,50 1,50 1,00
6,00 8,75 7,75 5,25
Keterangan: * Jika yang tersedia pupuk SP-18, maka dosis SP-36 harus dikali dengan 2 yang berasal dari (36/18).
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
9
PENGKAJIAN PEMBUATAN BOKHASI
Bokhasi yang diberi bioaktivator EM (Efektivitas Mikroorganisme) yang
dikenal sebagai bahan pembantu mempercepat pembuatan kompos dari 3
bulan hanya menjadi beberapa hari telah menjadi berita yang cukup heboh.
Namun hingga saat ini secara ilmiah EM belum lolos uji (Giller, 2008).
Meledaknya EM telah memicu bermunculan produk-produk yang
menawarkan mikroba perombak bahan organik, bahkan Badan dan Balai
Penelitian milik Pemerintah juga ikut mengeluarkan produksi sejenis.
Aspek positif beredarnya EM tidak dapat disangkal telah membantu
sosialisasi atau penyuluhan tentang pertanian organik dan menurunkan
ketergantungan terhadap pupuk kimia.
Berikut ini akan diuraikan pengalaman dan pengamatan pembuatan
bokhasi limbah kandang ternak yang dilakukan pada pertengahan tahun
2010 di Palangka Raya dengan petani kooperator Marwoto (57 th).
Bokhasi yang dibuat menggunakan bioaktivator EM-4, dan bahan
organik berupa rumput, limbah kandang ayam, limbah kandang kambing, dan
limbah kandang sapi. Tahapan-tahapan cukup mudah dan sederhana, dapat
dilihat pada gambar 1 - 7 atau tahapan seperti berikut ini:
1. Pembuatan biakan EM-4 diawali dengan pembuatan Molase dan
diikuti oleh pembiakan bakteri EM-4.
a. Pembuatan Molase (air manis) membutuhkan gula merah
atau gula pasir dan air bersih dengan perbandingan 1:1.
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
10
b. Proses pembiakan bakteri EM-4: Bahan yang diperlukan
cairan EM-4 1 liter, dedak 3 kg, molase ¼ liter, terasi ¼ kg,
dan air bersih 5 liter. Peralatan yang disiapkan: ember,
pengaduk air, panci, saringan, botol air mineral. Cara
pembuatan:
i. Panaskan 5 liter air hingga mendidih.
ii. Masukkan dedak, molase, terasi dan aduk rata.
iii. Dinginkan adonan tersebut, lalu masukkan cairan
EM-4 kemudian aduk rata.
iv. Tutup rapat selama 2 hari, jangan dibuka-buka.
v. Pada hari ke 3 tutup dikendorkan, aduk selama 10
menit setiap hari.
vi. Setelah 1 minggu, bakteri sudah dapat diambil dan
disaring dan dimasukkan kedalam botol air mineral.
vii. Simpan botol di ruang sejuk dan tidak terkena sinar
matahari langsung.
viii. Bakteri yang dibiakkan dapat dipakai membuat pupuk
organik.
2. Pembuatan pupuk organik bokashi atau kompos. Bahan yang
dibutuhkan adalah potongan sisa tanaman pertanian, dedak,
serbuk gergaji, pupuk kandang (ayam/kambing/sapi/dan lain-lain),
terpal pembungkus/penutup. Tahapan pembuatan kompos bokashi
sebagai berikut:
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
11
a. Letakkan potongan tanaman atau sampah organik pada
tumpukan dengan lebar 1,3 m panjang 2 m setebal 15 cm.
b. Letakkan diatasnya pupuk kandang setebal 5-15 cm secara
merata.
c. Taburkan serbuk gergaji kayu lalu ditutup dengan dedak
secara tipis dan merata.
d. Larutkan cairan pembiakan bakteri EM-4 (600ml) ke dalam
air 10 liter, dan aduk. Setelah merata maka tuang pada
lapisan diatas lapisan dedak tersebut.
e. Ulangi lagi tahapan pemberian sisa tanaman, pupuk kadang,
serbuk gergaji, dedak dan cairan bakteri EM-4 hingga
berlapis-lapis setinggi 1 – 1,5 meter.
f. Tutup tumpukan bahan kompos dengan terpal rapat-rapat.
Panas akan meningkat mulai 40 hingga 65oC pada
tumpukan menunjukkan bahwa mikroba sedang bekerja
melapukkan bahan kompos.
g. Setelah 7 hari maka kompos dibalik atau diaduk, bila perlu
ditambah lagi cairan pembiakan bakteri EM-4. Setelah
merata maka ditutup kembali.
h. Setelah 2 – 4 minggu kompos bisa digunakan. Kompos
yang matang umumnya berumur 2 – 3 bulan, cirinya
warnanya hitam kecoklatan, remah atau gembur, dan tidak
berbau menyengat.
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
12
Gambar 1. Pencampuran biakan EM-4 dengan air untuk menyiram tumpukan bahan bokhasi.
Gambar 2. Tumpukan bahan bokhasi (rumput, pupuk kandang, serbuk gergaji, dedak) disiram dengan biakan EM-4. Lapisan tersebut diulang hingga ketinggian 1 – 1,5 m.
Gambar 3. Tumpukan bahan bokashi sudah mencukupi, ditutupi rumput dan disiram biakan EM-4 untuk terakhir kali.
Gambar 4. Tumpukan bokhasi ditutup rapat dengan terpal.
Gambar 5. Pengukuran suhu menunjukkan peningkatan 53oC setelah 2 hari ditutup terpal. Dan grafik rata-rata suhu bokhasi dan suhu udara selama 1 minggu.
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
13
Gambar 6. 3 hari setelah ditutup terpal telah keluar uap panas dan jamur.
Gambar 7. Bokhasi digunakan untuk pupuk organik di tanaman semangka.
Tanda kompos matang terbagi menjadi 2 macam, yaitu: tanda kimia
dan tanda fisik. Tanda kimia untuk kompos yang matang apabila
perbandingan kadar karbon (C) dan nitrogen (N) atau C/N < 25 atau rata-rata
terbaik adalah 10. Namun jika C/N > 25 seperti tanda kosong kelapa sawit
yang umumnya mencapai C/N > 50 termasuk belum matang atau masih
mentah. Jika kita memberikan kompos yang mentah berakibat pada
menurunnya kadar N tanah, sebab mikroba akan menggunakan N tanah
untuk membentuk tubuhnya yang akan digunakan mengolah bahan organik
kaya C dari kompos mentah. Maka hindarilah penggunaan kompos mentah
karena mengakibatkan N tanah yang diserap tanaman akan berkurang.
Sebaliknya jika kita menambah kompos yang sudah matang, maka kompos
akan menyumbang N kedalam tanah dan tanaman mendapatkan tambahan
N.
Tanda fisik kompos yang sudah matang umumnya berwarna gelap
(coklat kehitaman) dan teksturnya remah, tidak lagi terlihat bentuk asalnya.
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
14
Saran untuk petani adalah menggunakan tanda fisik untuk menentukan
kompos matang, sedangkan tanda kimia tidak praktis dilakukan sebab
memerlukan biaya dan waktu untuk menganalisis di laboratorium. Kelebihan
lain dari tanda fisik adalah kandungan C/N untuk kompos matang akan
otomatis menunjukkan perbandingan C/N < 25. Sedangkan tanda kimia
dapat digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mencari
keuntungan misalnya menambahkan pupuk urea, sehingga C/N < 25 namun
secara fisik kompos masih mentah.
PENGOMPOSAN TANDAN KOSONG SAWIT
Tandan kosong kelapa sawit tidak boleh lagi dibakar sesuai Surat
Keputusan Mentan No.:KB 550/286/Mentan/VII/1997. Berdasarkan peraturan
tersebut terjadi berbagai upaya pemanfaatan TKS. Rolettha et al. (1999)
menggunakan TKS sebagai perangkap kumbang Oryctes rhinoceros
Hasilnya menunjukkan bahwa TKS umur 2 hingga 8 minggu sangat menarik
kumbang O. rhinoceros dan menjadi tempat berkembang bagi seluruh stadia
serangga tersebut.
Banyaknya TKS perlu diantisipasi karena bukan hanya sebagai
perangkap namun dimata petani TKS adalah tempat hidup dan berbiak yang
suatu saat dapat menghancurkan kebun sawit mereka. Bahkan tidak hanya
merusak pucuk sawit namun juga memicu timbulnya penyakit busuk pangkal
batang karena sebagai pembawa jamur Ganoderma.
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
15
Tandan kosong sawit banyak mengandung lignoselulosa dengan
penyusun utama selulosa (45,95%), hemiselulosa (22,84%), dan lignin
(16,49%), Abu (1,23%), Nitrogen (0,53%), Minyak (2,41%) (Darnoko et
al.,1993 dalam Darmosarkoro et al., 2003). Tingginya selulosa,
hemiselulosa dan lignin menjadikan kompos TKS matang cukup lama yaitu 3
bulan. Sedangkan unsur hara yang terkandung pada TKS antara lain 42,8%
C, 2,90% K2O, 0,80% N, 0,22% P2O5, 0,30% MgO, 10 ppm B, 23 ppm Cu,
dan 51 ppm Zn ( Singh et al., 1990 dalam Susanto et al., 2005). Tandan
kosong kelapa sawit masih mengandung unsur hara yang dapat
menyuburkan tanah dan tanaman. Kadar unsur hara pada TKS cukup
besar. Beberapa bahan organik yang dihasilkan perkebunan sawit dapat
dilihat pada Tabel 3.
Kompos tandan kosong kelapa sawit telah diuji dan berpengaruh baik
pada pembibitan kelapa sawit. Pemberian kompos TKS 50% dan tanah 50%
mampu meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah pelepah pembibitan kelapa
sawit sebesar 16,81 cm dan 3,17 pelepah (Susanto, 2005).
Tabel 3. Kadar Hara pada Bahan Organik dari Perkebunan Kelapa Sawit.
Kadar hara (kg/ha/th) Bagian tanaman N P K Mg Ca
Pelepah tunasan Tandan kosong Serat Cangkang Limbah cair
107,9 5,4 5,2 3,0
12,9
10,0 0,4 1,3 0,1 2,1
139,4 35,3 7,6 0,8 26,6
17,2 2,7 2,0 0,2 4,7
25,6 2,3 1,8 0,2 5,4
Sumber: Sutarta dan Winarna ( 2002)
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
16
Pengomposan tandan kosong merupakan salah satu cara mengurangi
populasi hama Oryctes rhinocceros maupun penyakit busuk pangkal batang
(Ganoderma boninense) dengan pemberian jamur Trichoderma spp.
Penelitian Susanto et al. (2005) bahwa pemberian Trichoderma koningii
konsentrasi 5% merupakan konsentrasi terbaik sebagai fungisida.
Aplikasi bahan organik seperti kompos tandan kosong sawit (TKS)
adalah 100 kg/pohon yang diaplikasikan 2 tahap dalam setahun. Untuk
melihat penambahan hara dari TKS dan setelah TKS dikomposkan serta
dibandingkan dengan pupuk rekomendasi maka telah dihitung dan dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan Kadar Hara antara Pupuk Rekomendasi, Tandan Kosong Sawit, dan Kompos Tandan Kosong Sawit
Bahan Urea (kg/pohon)
SP-36 (kg/pohon)
KCl (kg/pohon)
Pupuk Rekomendasi tanam-an sawit umur 9 – 13 tahun
2,75 2,25 2,25
100 kg TKS 1,74 0,61 4,83 100 kg Kompos TKS* 5,09 1,97 11,65 Keterangan: * Kadar hara Kompos TKS diacu produksi PPKS yaitu: 35% C; 2,34% N; 15 C/N; 0,31% P;
5,53% K; 1,46% Ca; 0,96% Mg; dan 52 % air.
Perhitungan untuk konversi N ke pupuk Urea. Jika TKS memiliki
kadar N = 0,80% untuk diubah ke Urea (46%), maka 100 kg TKS
mengandung 100 x (0,53/100) = 0,80 kg N atau setara 0,80 x (100/46) = 1,74
kg Urea. Jika kompos TKS mengandung N = 2,34% maka kompos TKS
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
17
mengandung 100 x (2,34/100) = 2,34 kg N atau setara 2,34 x (100/46) =
5,09 kg Urea.
Perhitungan untuk konversi P ke pupuk SP-36. Jika TKS memiliki
kadar P2O5 = 0,22% maka 100 kg TKS mengandung 100 x (0,22/100) = 0,22
kg P2O5 atau setara dengan 0,22 x (100/36) = 0,61 kg SP-36. Jika kompos
TKS mengandung 0,31% P maka 100 kg kompos TKS mengandung 100 x
(0,31/100) = 0,31 kg P. Konversi 0,31 P ke P2O5 adalah menghitung berat
atom (O = 16, P = 31) yaitu 0,31 x (((2x31)+(5X16))/(2x31)) = 0,31 x 2,29 =
0,71 kg P2O5. Konversi 0,71 P2O5 ke SP-36 adalah 0,71 x (100/36) = 1,97 kg
SP-36.
Perhitungan untuk konversi K ke pupuk KCl. Jika TKS
mengandung 2,90% K2O maka 100 kg TKS terdapat 100 x (2,90/100) = 2,9
kg K2O atau setara dengan 2,9 x (100/60)= 4,83 kg KCl. Jika kompos TKS
mengandung 5,83 % K maka 100 kg kompos TKS terdapat 100 x (5,83/100)
= 5,83 kg K. Konversi 5,83 K ke K2O menghitung menggunakan berat atom
(O = 16; K = 39) adalah 5,83 x (((2x39)+(1X16))/(2X39)) = 6,99 kg K2O.
Konversi 6,99 K2O ke pupuk KCl adalah 6,99 x (100/60) = 11,65 kg KCl.
Berdasarkan Tabel 4, ternyata proses pengomposan TKS
meningkatkan kandungan unsur hara N, P dan K, bahkan kandungan hara
tersebut lebih besar daripada rekomendasi pemupukan kimia. Hanya pada
unsur P kompos TKS masih dibawah pupuk rekomendasi untuk umur sawit 9
-13 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan TKS perlu
diusahakan agar kebutuhan hara tidak seluruhnya dari pupuk kimia yang
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
18
mahal dan langka namun dapat dibuat pupuk organik yaitu kompos ataupun
kompos TKS yang murah dan sederhana. Dan perlu diingat oleh para petani
plasma kelapa sawit, agar kompos TKS efektif meningkatkan produksi TBS
(Tandan Buah Segar) maka diperlukan pemberian kompos yang teratur dan
terus-menerus.
KESIMPULAN
1. Pemanfaatan limbah organik menjadi kompos akan mengurangi
ketergantungan terhadap pupuk kimia dan memperbaiki lingkungan tanah
dan tanaman.
2. Kandungan hara TKS makin meningkat jika dilakukan pengomposan TKS.
3. Kompos tandan kosong sawit berpengaruh baik pada pembembibitan
kelapa sawit.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1978. Introduction to soil microbiology. Willey Eastern Limited. New Delhi. 467p.
Darmosarkoro, W., E.S. Sutarta, dan Winarna 2003. Teknologi pemupukan
tanaman kelapa sawit. Dalam Lahan dan Pemupukan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal: 113-134.
Giller, K. 2008. Fantasi EM. Salam majalah pertanian berkelanjutan. No. 24
Juli 2008. LEISA - Indonesia. Hal:32. Metting, F.B. 1993. Soil microbial ecology: aplication in agricultural and
environment management. Marcel Dekker. New York. 646p. Rao, N.S.B. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman.
Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 353 hal.
Pelatihan Petani Plasma Kelapa Sawit di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah
2010
19
Rolettha, Y.P., S. Prawirosukarto, dan R.D. Chenon. 1999. Pemanfaatan
tandan kosong kelapa sawit sebagai perangkap Oryctes rhinoceros (L) di perkebunan kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 7(2):105-114.
Sutarta, E.S. dan Winarna. 2002. Upaya peningkatan efisiensi dan langkah
alternatif pemupukan pada tanaman kelapa sawit. Warta PPKS. 10(2-3):23-32.
Sutedjo, M.M., A.G. Kartasapoetra, R.D.S. Sastroatmodjo. 1991.
Mikrobiologi tanah. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 447p. Sutanto, A., A.E. Prasetyo, Fahroidayanti, A.F. Lubis, dan A.P. Dongoran.
2005. Viabilitas bioaktivator jamur Trichoderma koningii pada media tandan kosong kelapa sawit. Jurnal Penelitian Ktandan kelapa sawit. 13(1):25-33.
Tan, K.H. 1994. Environmental soil science. Marcel Dekker, INC. New
York. 304 p.