teknologi pengawetan kelompok 5

15
Kelompok 5 Lidya Ariyani 123020163 Anis Hamidah 123020163 Aulia Rahmani 123020166 Putri Rizqi Zulhiyati 123020169 Yolanda Agustina 123020170 Puri Siti Rahmawati 123020171 Yulia Erlanda 123020172 Sarah Restu Putri 123020173 Nur Mariyam Saleha 123020174 Maysharah Derianty 123020175 Ai Teti 123020176 Nurul Hikmah 123020178 1. Bagaimana semua parameter dalam teknologi pengawetan dapat memperpanjang umur simpan? Jawab : Suhu Tinggi ` Penggunaan suhu tinggi sudah diterapkan dalam metode pengawetan makanan misalnya memasak, membakar, mengukus, menggoreng dan cara-cara lain yang menggunakan suhu panas. Suhu panas digunakan dengan tujuan tertentu yaitu makanan menjadi lebih lunak, lebih enak dengan adanya panas maka akan terjadi penonaktifan enzim-enzim dan mematikan sebgain dari mikroorganisme. Selain itu racun yang dikeluarkan oleh mikroorganisme akan mati sehingga makanan menjadi lebih awet. Suhu yang digunakan dalam proses pengawetan

Upload: nurul-hikmah

Post on 13-Nov-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pengawetan

TRANSCRIPT

Kelompok 5Lidya Ariyani123020163Anis Hamidah123020163Aulia Rahmani123020166Putri Rizqi Zulhiyati123020169Yolanda Agustina123020170Puri Siti Rahmawati123020171Yulia Erlanda 123020172Sarah Restu Putri123020173Nur Mariyam Saleha123020174Maysharah Derianty123020175Ai Teti123020176Nurul Hikmah123020178

1. Bagaimana semua parameter dalam teknologi pengawetan dapat memperpanjang umur simpan?Jawab : Suhu Tinggi`Penggunaan suhu tinggi sudah diterapkan dalam metode pengawetan makanan misalnya memasak, membakar, mengukus, menggoreng dan cara-cara lain yang menggunakan suhu panas. Suhu panas digunakan dengan tujuan tertentu yaitu makanan menjadi lebih lunak, lebih enak dengan adanya panas maka akan terjadi penonaktifan enzim-enzim dan mematikan sebgain dari mikroorganisme. Selain itu racun yang dikeluarkan oleh mikroorganisme akan mati sehingga makanan menjadi lebih awet. Suhu yang digunakan dalam proses pengawetan dengan suhu tinggi adalah suhu dengan panas yang terkontrol, karena itu dikatakan sebagai proses pemanasan komersial. Adapun metode yang digunakan dalam proses pengawetan menggunakan suhu tinggi antara lain :1) BlansingBlansing adalah perlakuan panas pada bahan pangan yang dapat dilakukan dengan merendam bahan dalam air panas atau pemberian uap air pada bahan pangan. Proses tersebut biasanya dilanjutkan dengan pendinginan bahan baik dengan cara merendam maupun dengan cara menyemprotnya dengan air dingin. Blansing merupakan suatu perlakuan pemanasan dengan menggunakan suhu 60-75oC, dengan waktu kurang dari 10 menit.Tujuan dari blansing adalah (i) menonaktifkan enzim, terutama polifenoloksidase (penyebab pencoklatan enzimatis), lipoksigenase (penyebab ketengikan), ascorbic acid oksidase (penyebab penguraian vitamin C), katalase dan peroksidase (keduanya digunakan sebagai indikator kecukupan blansing), (ii) menghilangkan kotoran yang melekat, (iii) mengurangi jumlah mikroba, (iv) mempermudah pengupasan dan memperkecil bahan, karena bahan akan lebih lentur, melenturkan jaringan hingga mudah memasukkan ke dalam kemasan, (v) mengeluarkan udara dari jaringan, untuk mencegah oksidasi, mencegah tekanan dalam kemasan sewaktu sterilisasi jangan terlalu tinggi, (vi) memudahkan sortasi berdasarkan berat jenis, (vii) membuat jaringan yang hijau tampak lebih cerah. Biasanya warna dan flavor bahan akan lebih tajam ketika bahan pangan mengalami blansing.Blansing menyebabkan terhambatnya aktivitas enzim sehingga dapat mencegah reaksi pencoklatan (browning) seperti pada buah-buahan seperti apel atau pir.2) PasteurisasiPasteurisasi merupakan sebuah proses pemanasan makan dengan suhu 65-78oC selama 30 menit. Biasanya suhu yang digunakan adalah kurang dari 100oC. Dengan tujuan membunuh mikroorganisme patogen seperti bakteri, virus, protozoa, kapang, dan khamir. Selain itu untuk memperpanjang daya simpan produk makanan dengan mematikan mikroorganisme dan menonaktifkan enzim-enzim pemanasan. Tidak seperti sterilisasi pasteurisasi tidak dimaksudkan untuk membunuh seluruh mikroorganisme dalam makanan. Produk-produk makanan atau minuman yang dipasteurisasi adalah jus buah atau sayur, susu, sari buah, anggur, bir, koktil, cider, madu, minuman olahraga dan makanan kaleng.3) SterilisasiSterilisasi adalah perlakuan panas sekitar 120oC selama 15 menit, dengan tujuan untuk mematikan mikroorganisme beserta spora-sporanya. Pemanasan dengan cara sterilisasi menggunakan autoklaf, karena suhunya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan blansing dan pasteurisasi maka kualitas dari makanan yang disterilisasi akan berkurang. Tetapi makanan sterilisasi mempunyai daya tahan yang lebih lama.Suhu yang digunakan pada pemanasan sterilisasi adalah menggunakan suhu panas komersial, artinya masih ada bakteri tertentu (bakteri pembusuk) yang masih bisa hidup. Jadi pemanasannya bukan sterilisasi total seperti pada alat-alat kedokteran yang penting bakteri beserta sporanya bisa dimatikan.Makanan steril mempunyai daya tahan sampai dua tahun, kerusakan yang terjadi biasanya hanya pada sifat-sifat organoleptiknya saja karena terjadi perubahan dari reaksi-reaksi kimia.Kesimpulannya pengawetan dengan parameter suhu tinggi terletak pada proses penginaktifan enzim dan membasmi mikroorganisme patogen. Suhu RendahPendinginan makanan dengan suhu rendah digunakan untuk memperpanjang daya simpan makanan. Cara yang sering dilakukan pada pendinginan tersebut adalah secara mekanis. Pengendalian suhu dari ruang penyimpanan makanan tidak hanya mendinginkan makanan, tetapi juga mengkondensasikan air pada evaporator dari sistem pendinginan. Air yang dikondensasikan tersebut berasal dari makanan. Pengaetan dengan suhu rendah dibedakan atas refrigrasi dan pembekuan. Refrigrasi adalah penyimpanan pada suhu diatas titik beku antara -2oC -16oC. Suhu dalam lemaries umumnya berkisar antara 4oC 8oC tetapi unit-unit pendinginan komersial biasanya memiliki suhu yang lebih rendah bergantung pada jenis produk yang akan disimpan. Hal ini dimungkinkan karena bahan pangan umumnya memiliki titik beku sekitar -2,2oC. Pengawetan dengan pembekuan dilakukan dengan cara menyimpan makanan dalam keadaan beku, dan suhu penyimpanan yang baik adalah -18oC. Pada suhu rendah, kecepatan pertumbuhan mikroorganisme serta kecepatan reaksi-reaksi kimia dan biokimia akan berlangsung lebih lambat sehingga kerusakan akan diperlambat. Penurunan aktivitas airKandungan air dalam bahan pangan merupakan faktor yang paling dominan sebagi penyebab kerusakan bahan pangan setelah lepas panen. Pada tingkatan kadar yang cukup tinggi setelah panen, maka kegiatan biologi dalam bahan pangan masih tetap berlangsung. Kegiatan tersebut adalah secara biokimia, dan kimiawi seperti aktivitas enzim, respirasi, dan mikrobiologis sehingga bahan pangan menjadi cepat rusak dan akhirnya busuk. Pengawetan makanan dengan menurunkan kadar air yang lebih penting adalah aktivitas air (aw) telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan pangan yang paling tua. Pengeringan atau dehidrasi adalah cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan sebagian besar air yang terkandung dalam bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Pengeringgan dengan alat pengering buatan disebut dengan dehidrasi yaitu suatu operasi yang melibatkan baik transfer panas atau masa dibawah kondisi pengeringan yang terkendali dengan menggunakan berbagai metode pengeringan. Panas akan dihantarkan pada air dalam bahan pangan yang hendak dikeringkan dan air akan menguap dan dipindahkan keluar dari pengering.Energi yang diberikan untk mengurangi kadar air dalam pengeringan bahan pangan biasanya berupa energi panas. Dengan pemberian panas diharapkan mobilitas air dalam bahan pangan akan meningkat dan tekanan uapnya bertambah sehingga air tersebut dapat keluar dari bahan pangan. Berbagai cara pengeringan telah banyak dilakukan dalam proses pengolahan bahan pangan. Secara garis besar cara pengeringan dilakukan dengan pengeringan alami dan pengeringan buatan (artificial) Penurunan potensi redoksAwalnya fermentasi merupakan suatu reaksi oksidasi reduksi dimana zat yang dioksidasi (pemberi elektron) maupun zat yang mau direduksi (penerima elektron) adalh zat organik dengan melibatkan mikroorganisme (bakteri, kapang dan ragi). Zat organik yang digunakan umumnya glukosa yang dipecah menjadi aldehida, alkohol atau asam. Penambahan bahan pengawetPengawetan dengan menggunakan bahan pengawet, yaitu pengawetan dengan zat pengawet makanan yang dibedakan menjadi 3 jenis. Pertama GRAS (Generally Recognized as Safe), yang biasanya bersifat alami sehingga menimbulkan efek racun pada tubuh. Kedua, pengawet yang ditentukan pemakaiannya oleh ADI (Acceptable Daily Intake), yang disesuaikan dengan batas penggunaan hariannya untuk kesehatan konsumen. Ketiga, zat pengawet yang tidak layak dikonsumsi sama sekali, seperti boraks dan formalin.Menurut FDA (Food And Drug Administration) yang disebut dengan pengawet kimia adalah senyawa-senyawa yang mampu menghambat, memperlambat atau menahan segala proses fermentasi, pengasaman, oksidasi, dan proses dekomposisi lainnya dalam bahan pangan, seperti mencegah terjadinya interaksi antar bahan-bahan kimia yang terkandung di dalam campuran bahan pangan tersebut.Contohnya penggunaan pengawet benzoat dimaksudkan untuk mencegah kapang dan bakteri khususnya pada produk sirup, margarin, kecap, selai, jelly, dan cider. Mekanisme kerja natrium benzoat sebagai bahan pengawet adalah berdasarkan permeabilitas membran sel mikroba terhadap molekul-molekul asam benzoat. Penggunaan bahan pengawet natrium benzoat tidak selalu aman terutama jika digunakan dalam jumlah yang berlebihan. Mikroorganisme kompetitorBeberapa strategi telah dilakukan untuk menanggulangi pencemaran A. flavus maupun aflatoksin yang dihasilkan seperti secara fisik, radiasi dan perlakuan dengan berbagai bahan kimia (KUBENA et al., 1993). Walaupun demikian, beberapa metode fisika dan kimia yang dikembangkan belum sepenuhnya diterima secara internasional untuk penanggulangan A. flavus maupun aflatoksin (CAST, 1989; PARK dan LEE, 1990; PEMBERTON dan SIMPSON, 1991). Pendekatan lain yang juga sedang dikembangkan adalah penggunaan mikroorganisme sebagai biokompetitor (SARDJONO et al., 1992; FARAJ et al., 1993). Telah dilaporkan beberapa mikroorganisme yang dapat berfungsi sebagai biokompetitor dari A. flavus toksigenik diantaranya adalah strain non-toksigenik dari A. flavus dan A. parasiticus, bakteri asam laktat dan khamir (TAYLOR dan DRAUGHON, 2001). Kemampuan sebagai biokompetitor tersebut dapat disebabkan oleh kompetisi ruang dan nutrisi serta sintesis antifungi oleh mikroorganisme kompetitor. Saccharomyces cerevisiae yang mempunyai kemampuan fermentasi telah lama dimanfaatkan untuk pembuatan berbagai produk makanan dan sudah banyak digunakan sebagai probiotik (AGAWANE dan LONKAR, 2004). YIANNIKOURIS et al. (2006) juga melaporkan bahwa -D-glucans pada dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin yang diproduksi oleh A. flavus melalui pembentukan ikatan hidrogen dan van der walls. Walaupun demikian, kemampuan S. cerevisiae untuk menekan pertumbuhan A. flavus belum banyak diketahui sehingga pada penelitian ini akan diuji kemampuan S. cerevisiae sebagai biokompetitor A. flavus dengan melihat pengaruh S. cerevisae terhadap kemampuan hidup dan pertumbuhan A. flavus secara in vitro. Dapat disimpulkan bahwa S. cerevisiae dapat digunakan sebagai kandidat biokompetitor A. flavus. Aktivitas biokompetitif ditunjukkan dengan hambatan pertumbuhan koloni A. flavus oleh S. cerevisiae. S. cerevisiae juga tumbuh lebih cepat daripada A. flavus dalam rentang waktu yang sama sehingga A. flavus tidak dapat bersaing dengan S. cerevisiae dalam penyerapan nutrisi.2. Bagaimana hubungkan dan keterkaitan satu sama teknologi pengawetan tersebut jika diaplikasikan pada olahan bahan pangan (berikan contoh)Jawab : Sayuran hijau yang dibekukan perlu dilakukan blansing agar aktivitas enzim katalase dan peroksidase menjadi terhambat, sehingga sayuran hijau tersebut tidak mengalami perubahan bau dan flavor selama penyimpanan. Sayuran hijau yang tidak mengalami blansing mempunyai warna hijau keabu-abuan, serta mempunyai flavor dan baunya yang tidak dikehendaki. Pada proses pengalengan, bahan makanan yang akan dikalengkan misalnya buah ditambahkan larutan gula setelah itu dipasteurisasi dengan suhu dan waktu yang disesuaikan dengan bahan. Pada makanan seperti daging dan ikan ditambah bahan pengawet lalu setelah dikalengkan dipasteurisasi.

3. Bagaimana pengaruh suhu tinggi (blansing, pasteurisasi, sterilisasi) terhadap pertumbuhan mikroba. Jelaskan hubungannya terhadap nilai D, Z dan F.Jawab :Proses blansing akan meningkatkan kualitas pada bahan pangan, karena bahan menjadi bersih dan mengurani populasi bakteri. Mikroba tidak akan mati semua hanya sebagian saja karena pengaruh pemanasan blansing.Pada pasteurisasi tidak membunuh mikroorganisme hanya mengurangi mikroorganisme patogennya saja sedangkan spora masih terdapat dalam sel mikroba.Pada sterilisasi membunuh seluruh sel vegetatif mikroorganisme beserta sporanya karena dilakukan pada suhu diatas 100oC.Para ahli mikrobiologi dan insinyur telah banyak menggunakan parameter termal seperti D, Z, dan F untuk menggambarkan proses termal yang diterapkan dalam makanan. Beberapa parameter yang biasa digunakan antara lain: Nilai D (waktu pengurangan desimal): Waktu yang diperlukan pada suhu T untuk mengurangi populasi mikroba homogen tertentu sebesar 90%. Ini merupakan timbal balik negatif dari kemiringan garis yang dipasang pada grafik logaritma dari jumlah mikroba yang selamat vs waktu. Agar nilai D menjadi lebih bermakna, kurva mikroba yang selamat semilogaritma harus memperkirakan suatu garis lurus bila menggunakan metode umum untuk perhitungan proses kematikan mikroba. Nilai F (waktu proses sterilisasi ekuivalen): Setara dengan waktu dalam menit dari proses panas (nilai yang terintegrasi di bawah tingkat letal (kurva L vs t). Ukuran mikroba yang mati di dalam atau di produk, dihitung dengan menggunakan spesifik nilai Z. L (tingkat kematikan): Tingkat kerusakan mikroba pada suhu T dinyatakandalam suhu referensi, tREF. Unit tingkat kematikan beberapa menit pada ref T per menit pada tingkat Lethal T. dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Nilai Z (koefisien suhu kematian mikroba): Kebalikan negatif dari kemiringan waktu kematian termal (TDT) atau kurva waktu kematian relatif (RKT). Jumlah derajat perubahan suhu diperlukan untuk menyebabkan F, D, atau nilai RKT untuk diubah dengan faktor 10, diukur dalam derajat Fahrenheit atau Celsius.Industri makanan, terutama industri pengalengan, telah menggunakan metode umum untuk proses perhitungan kematian dan untuk desain pengendalian mikroba proses sejak 1920. Perhitungan proses awal melibatkan rasio kematikan dan berkaitan ini ke grafik TDT untuk proses tersebut. Perhitungan kematian dari suatu proses menggunakan persamaan berikut: di mana L adalah tingkat kematikan (menit pada tREF / menit pada T), T adalah suhu produk pada waktu tertentu, tREF adalah suhu referensi, dan Z adalah nilai Z dari patogen tertentu.Pemilihan nilai Z dapat memiliki dampak yang signifikan pada proses kematikan dan harus dihitung secara konservatif. Tabel tingkat kematikan dapat dipersiapkan untuk kisaran suhu produk tertentu dan nilai Z. Untuk mendapatkan waktu kematikan pada suhu referensi, jumlah tingkat kematikan pada setiap suhu produk dikalikan dengan waktu efektif.Jadi, proses letal (pengurangan desimal patogen) dapat diperoleh dengan membagi FTrefdengan nilai D dari patogen tertentu pada Tref. Meskipun ini merupakan bentuk sederhana dari evaluasi proses letal, harus diamati ketika menggunakan metode ini dalam evaluasi proses termal. Metode umum untuk proses perhitungan letalitas memiliki aplikasi luas dalam industri pengalengan dan dapat diterapkan untuk proses termal dalam sistem tertutup, di mana hilangnya kelembaban dari produk (perpindahan massa) sangat kecil.

4. Produk keju oles memiliki pH diatas 4,5 dengan aw diatas 0,85. Supaya produk ini memiliki umur simpan yang panjang dan tetap terjamin keamanan pangannya, maka produk ini perlu dilakukan pengawetan dengan metode yang mana, apakah perlu mengkombinasikan metode pengawetan bagaimana dengan kualitas secara kimia, fisik, dan organoleptiknya.Jawab :Dari proses awalnya sudah difermentasi sehingga memberikan pengaruh terhadap pengawetan keju tersebut kemudian ditambahkan pula bahan tambahan pangan yang akan lebih memperpanjang umur simpan keju oles dalam arti lain proses pengawetan produk ini merupakan kombinasi metode pengawetan. Dapat pula dilakukan proses refrigrasi pada suhu 0-8oC. Secara kimia proses pengawetan fermentasi menghasilkan asam-asam organik yang akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen secara fisik misalnya pada proses pengawetan secara refrigrasi sifat fisik keju oleh menjadi lebih padat yang membuat keju lebih awet dan kualitas organoleptiknya aroma dan warna menjadi lebih memudar namun rasanya tidak berubah.

5. Secara tradisional daging asap atau produk curing lainnya diberi garam nitrit untuk mencegah pertumbuhan clostridium dan membentuk warna serta flavor. Namun, adanya nitrit dapat menyebabkan pembentukan yang bersifat karsinogenik ketika produk digoreng. Oleh karena itu untuk menjamin keamanan dan kualitas sensorik, dikembangkan proses dengan kadar nitrit yang dikurangi, namun untuk menjamin keamanan pangan, selama proses ditambahkan bakteri asam laktat dan sukrosa. Jika terjadi peningkatan suhu selama penyimpanan, maka bakteri asam laktat akan tumbuh dan memfermentasi gula serta menghasilkan asam. Asam yang dihasilkan menurunkan pH sekaligus juga bersifat antimikroba, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Dengan demikian, daging asap ini distabilkan dengan apa?Jawab :Mekanismecuringmenurut Winarno (2002) dalam Septa (2010) adalah nitrit bereaksi dengan gugus sulfhidril dan membentuk senyawa yang tidak dapat dimetabolisasi oleh mikrobia dalam kondisi anaerob. Pada daging, nitrit membentuk nitroksida yang dengan pigmen daging akan membentuk nitrosomioglobin yang berwarna merah cerah.Nitrat/nitrit berfungsi untuk fiksasi warna merah daging, antimikrobial terutama Clostridium botulinum, dan menstabilkan flavor. Nitrit dan nitrat merupakan bahan tambahan yang dapat memperbaiki warna dan rasa daging pada proses curing. Selain itu, nitrit pun dapat mencegah pertumbuhan clostridium botulinum yang bersifat racun bila dikonsumsi manusia sehingga menyebabkan botulisme. Nitrit dapat berubah menjadi nitrit oksida yang akan bergabung dengan myoglobin (Mb). Myoglobin merupakan pigmen yang menentukan warna merah alami pada daging yang tidak diasin. Setelah itu nitrit oksida dan myoglobin berubah menjadi nitrit oksida myoglobin (NOMb). Nitrit yang digunakan dalam pengasinan daging ini telah diproduksi secara komersial dengan nama sodium nitrite.Gula berfungsi untuk memperbaiki flavor, mengurangi rasa asin akibat penambahan garam,mengurangi kekerasan akibat adanya penambahan garam (pelunak), mempengaruhi warna melalui karamelisasi. Waktu curing yang lama akan memberi kesempatan bakteri untuk memanfaatkan gula sebagai sumber nutrient. Gula efektif sebagai pemgawet karena menghambat pertumbuhan bakteri.Jadi pada pengolahan daging asap yang berfungsi sebagai penstabil adalah nitrit yang merupakan zat yang digunakan sebagai pengawet dan penstabil warna pada pengolahan daging. Nitrit berfungsi sebagai bahan pembentuk faktor-faktor sensori yaitu warna, aroma, dan cita rasa. Oleh karena itu dalam industri makanan kaleng penggunaan zat pengawet ini sangat penting karena dapat menyebabkan warna daging olahannya menjadi merah atau pink dan nampak segar sehingga produk olahan daging tersebut disukai oleh konsumen.